NEGARA KESATUAN, DESENTRALISASI, DAN FEDERALISME Oleh
: Edie Toet Hendratno
Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2009 Hak Cipta 2009 pada penulis, Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun, secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya, tanpa izin tertulis dari penerbit. Diterbitkan atas kerjasama
Candi Gebang Permai Blok R/6 Yogyakarta 55511 Telp. : 0274-882262; 0274-4462135 Fax. : 0274-4462136 E-mail :
[email protected] dan
Penerbit Universitas Pancasila Jl. Srengseng Sawah Jagakarsa Jakarta Selatan 12640 Telp. : 021-78880309 Fax. : 021-7271868 E-mail :
[email protected]
Hendratno, Edie Toet NEGARA KESATUAN, DESENTRALISASI, DAN FEDERALISME/Edie Toet Hendratno - Edisi Pertama – Yogyakarta; Graha Ilmu, 2009 xx + 368 hlm, 1 Jil. : 23 cm. ISBN:
978-979-756-470-4
1. Sosial
2. Politik
I. Judul
PENGANTAR Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H Guru Besar dan Ketua Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia
E
ra reformasi yang telah berlangsung sekitar hampir 11 (sebelas) tahun terakhir ini di Indonesia dimulai dengan peristiwa berhentinya Presiden Soeharto pada tangggal 21 Mei 1998, yang diikuti dengan naiknya B.J. Habibie – yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Presiden – sebagai Presiden. Selama sekitar 1,5 masa kepresidenan B.J. Habibie, telah terjadi perubahan berbagai produk hukum – terutama dalam bentuk undang-undang (UU) –, di antaranya dalam bidang Pemerintahan Daerah, atau yang lebih umum dikenal sebagai otonomi daerah. Perubahan itu dilakukan dengan mencabut UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah1 dan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa2, dan menggantikannya dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.3 Berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang belum mengalami perubahan pada saat UU tentang Pemerintahan Daerah disahkan, antara lain dinyatakan bahwa pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintah annya ditetapkan dengan undang-undang.4 Dalam Penjelasan UUD 1945 yang berkaitan dengan pasal tersebut antara lain dinyatakan se bagai berikut:5
Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek and locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undangundang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa UUD 1945 memberikan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan otonomi dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah, sebagaimana tertuang dalam Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.6 Sesuai dengan Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tersebut, penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada Daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah juga dilaksanakan de ngan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.7 Pasca diberlakukannya Ketetapan MPR tersebut, DPR dan Presiden kemudian memberlakukan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,8 yang diikuti pula dengan pemberlakuan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.9 Sebagaimana diketahui, UU Nomor
vi Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme
22 Tahun 199910 tersebut kemudian digantikan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004;11 Sementara itu, UU Nomor 25 Tahun 199912 tersebut kemudian digantikan dengan UU Nomor 33 Tahun 2004.13 Semenjak diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 199914 dan UU Nomor 25 Tahun 199915 tersebut, puluhan peraturan perundangundangan dari berbagai tingkatan – mulai dari UUD 1945 (melalui berbagai perubahannya), Ketetapan MPR, UU, PP, Keppres, Perpres, dan sebagainya – telah dikeluarkan oleh berbagai lembaga Negara untuk memberikan landasan dan mengatur lebih lanjut berbagai aspek yang berkaitan dengan pemerintahan daerah. Di dalam berbagai peraturan perundang-undangan tersebut baru juga termasuk perubahan terhadap ketentuan Pasal 18 UUD 1945. Perubahan tersebut berpengaruh besar terhadap landasan penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia. Tujuan utama penerapan otonomi daerah yang sebenarnya berintikan 2 hal, yakni pertama, untuk menciptakan kesejahteraan, dan kedua, untuk mendukung demokrasi di tingkat lokal. Untuk konteks pertama,muncul permasalahan bagaimana menjadikan Pemda sebagai instrumen untuk menciptakan kesejahteraan; sedangkan untuk konteks kedua muncul permasalahan bagaimana menjadikan Pemda sebagai instrument pendidikan politik di tingkat lokal untuk mendukung proses demokratisasi menuju civil society. Dalam perkembangannya, saya melihat bahwa implementasi unsur yang kedua justru lebih dominan daripada unsur yang pertama. Di luar kedua isu tersebut, proses desentralisasi yang terjadi dalam era pasca reformasi juga ditandai dengan tarik-menarik penerapan konsep antara negara kesatuan dan negara federal. Wacana ini terutama menguat saat dilakukan pembahasan mengenai sistem lembaga perwakilan. Pada saat banyak pihak menginginkan agar kita menerapkan sistem lembaga perwakilan bikameral, muncul pendapat yang salah bahwa seolah-seolah jika kita menerapkan sistem bikameral, maka negara kita akan berubah menjadi federal. Kesalahpahaman ini
Pengantar vii
kemudian reda setelah diberikan penjelasan bahwa sistem bikameral juga banyak diterapkan dalam negara-negara kesatuan. Tarik-menarik tersebut juga juga masih terjadi ingá saat ini, misalnya tarik-menarik dalam hal-hal yang berkaitan dengan pembentukan daerah-daerah baru – atau yang lebih dikenal dengan istilah “pemekaran wilayah” – dan sebagainya. Tarik-menarik tersebut di satu sisi menimbulkan efik yang positif sepanjang berkaitan dengan norma-norma demokrasi, dan di sisi lain juga berimplikasi kepada hal-hal yang negatif. Hal ini mungkin wajar terjadi dalam negara-negara yang sedang mengalami proses transisi menuju demokrasi. Dalam konteks ini saya sangat menghargai upaya-upaya yang dilakukan oleh Dr. Edie Toet Hendratno, S.H., M.Si., Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Rektor Universitas Pancasila di Jakarta untuk menerbitkan buku yang berjudul Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme ini. Buku ini berasal dari disertasinya yang telah dipertahankan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kata Pengantar ini saya selesaikan di sela-sela partisipasi saya dalam International Symposia dalam bidang Comparative Constitutional Law dengan tema “Constitutionalism in Muslim Countries” dan “Challenges to the Afghan Constitution – Impulses from A Comparative Perspective” yang diselenggarakan oleh Max Planck Institute for Comparative Public Law and International Law di Dubai, United Arab Emirates, 12-15 Februari 2009 Semoga cita-cita luhur penerbitan buku ini dapat tercapai.
1
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, UU Nomor 5 Tahun 1974, Lembaran Negara (LN) Nomor 38 Tahun 1974, Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 3037.
2
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Desa, UU Nomor 5 Tahun 1979, LN Nomor 5 Tahun 1979, LN Nomor 56 Tahun 1979, TLN Nomor 3153.
3
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 22 Tahun 1999, LN Nomor 60 Tahun 1999, TLN Nomor 3839.
viii Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme
4
Lihat Pasal 18 UUD 1945 sebelum mengalami perubahan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), Perubahan Pertama UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 1999), hal. 6.; Lihat pula dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2000), hal. 6.
8
Ibid., hal 17.
6
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Hasil Sidang Istimewa Tahun 1998 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 1998).
7
Lihat Penjelasan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
8
Lihat Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 22 Tahun 1999, loc. cit.
9
Repulik Indonesia, Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, UU Nomor 25 Tahun 1999, LN Nomor 72 Tahun 1999, TLN Nomor 3848.
10 Lihat Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 22 Tahun 1999, loc. cit. 11 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, LN Nomor 125 Tahun 2004, TLN Nomor 4437. 12 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, UU Nomor 25 Tahun 1999, loc. cit. 13 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, UU Nomor 33 Tahun 2004, LN Nomor 126 Tahun 2004, TLN Nomor 4438. 14 Lihat Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 22 Tahun 1999, loc. cit. 15 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, UU Nomor 25 Tahun 1999
Pengantar ix