Penerbit Lintang Fajar
Terima Kasih dan Maaf 100 Cerita 100 Kata Copyright © 2015 oleh Aditya Prahara Desain Sampul : Indri Wulandari & Aditya Prahara Desain Isi : Indri Wulandari Penerbit Lintang Fajar Jl. Kotta Blater, Jember Diterbitkan melalui: NulisBuku www.nulisbuku.com
Cetakan Pertama, Desember 2015
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2: 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72: 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Cerita 100 Kata Pengantar Penulis Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya saya berhasil menerbitkan buku pertama saya. Proses penyelesaian buku ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Setidaknya saya butuh hampir empat tahun untuk membuat buku ini sampai ke tangan pembaca. Mungkin beberapa dari pembaca bertanya-tanya, apa maksud “100 Cerita 100 Kata”? Atau kenapa hanya 100 kata? Semua ini bermula pada awal tahun 2011, ketika saya masih kelas 2 SMA di Jember, saat saya masih sangat bersemangat untuk belajar Sastra. Sore itu saya berniat pergi ke sebuah toko buku di kota kelahiran saya untuk sekedar membaca karena tak punya uang untuk membelinya. Sampel buku yang tidak terbungkus plastik adalah sasaran saya untuk membaca. Namun, niat saya itu berubah ketika saya menuju rak ‘Sastra’ dan berjumpa dengan buku yang berjudul 100 Kata karya Andi F. Yahya bersama rekan-rekannya. Saya membaca sampelnya sekilas dan langsung membuat saya membatin, ‘Saya harus beli buku ini.’ Begitu menariknya buku itu sehingga saya merelakan uang makan saya untuk membelinya. Saya pun mulai membaca tulisannya satu per satu. Dalam sekejap, buku itu membuat saya takjub. Coba
bayangkan, bagaimana mungkin penulis bisa menyampaikan pesan atau maksud hanya ke dalam tulisan 100 kata? Itulah kemampuan yang dimiliki oleh para penulis buku ini. Mereka mampu menyampaikan sebuah kisah beserta pesannya hanya dengan 100 kata! Bagi saya cerita 100 kata ini merupakan variasi baru dalam menulis prosa. Tak ayal, saya pun terpancing untuk ikut menulisnya. Di bulan Februari 2011, tulisan “Meminjam” menjadi cerita 100 kata pertama yang saya tulis untuk kemudian masuk blog pribadi saya. Karena begitu takjubnya, saya pun akhirnya ketagihan untuk menulis cerita 100 kata lagi sehingga melahirkan cerita-cerita lainnya. Hingga di penghujung tahun 2015 ini, lengkaplah berjumlah 100. Ada berbagai macam tema yang saya tulis di buku ini. Ada tentang cinta, teman, keluarga, guru, masyarakat dan lain sebagainya. Inspirasi saya dapat dari berbagai tempat. Ada yang saya alami sendiri, cerita teman, dan juga dari berita. Problemnya pun beragam, ada tentang pencopetan, pengalaman percintaan, guru yang menyampaikan hal kurang pas, lelucon dalam pertemanan, obrolan di keluarga, sampai korban ulah pikiran kotor alias koruptor (kalau kata Warkop). Dari hal-hal itu cerita lantas saya bumbui dengan fiksi sehingga menjadi buku ini. Saya menganggap momen-momen yang saya alami itu harus saya abadikan lewat tulisan. Akan sangat disayangkan bila akhirnya berlalu begitu saja. Kendati demikian, tetap saja ada momen penting yang justru tidak sukses saya tiwikramakan menjadi sebuah tulisan.
Dan saya tekankan, 100 tulisan dalam buku ini masing-masing hanya berisikan 100 kata! Tak kurang dan tak lebih. Anda boleh menghitungnya. Sebenarnya saya pun kesulitan untuk bisa menulis hanya dengan 100 kata. Perlu latihan berulang-ulang. Saya masih sering menulisnya melebihi 100 kata. Oleh sebab itu, saya berikan pula ‘bonus’ berupa tulisan yang melebihi 100 kata di akhir buku ini. Judul “Terima Kasih dan Maaf” sendiri saya ambil dengan mengadopsi dari salah satu judul cerita 100 kata dalam buku ini. Selain itu, saya merasa ucapan ‘terima kasih’ dan ‘maaf’ merupakan ucapan yang acap kali kita ucapkan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Interaksi dengan banyak orang tentu membuat kita sering mengucapkannya. Keduanya merupakan ucapan baik yang dapat menjaga hubungan antar sesama menjadi semakin baik. Akhirnya, saya pun harus mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang selama ini mewarnai dan melengkapi hidup saya. Saya juga meminta maaf, kalau saja saya pernah berbuat salah kepada semuanya. Well, buku ini saya persembahkan untuk semuanya dan juga untuk pembaca yang berkenan meluangkan waktunya untuk membaca buku ini. Selamat menikmati! Surabaya, 4 Desember 2015 Aditya Prahara
Sampai di Sini Tadi siang kekasihku mengirim pesan padaku bahwa ia ingin bertemu denganku malam ini, penting katanya. Nampaknya hubungan kami mulai serius. Aku pun bersemangat untuk berjumpa dengan belahan jiwaku. Dua tahun menjalin kasih kami memang jarang bertemu karena kesibukan masing-masing. Aku tiba di tempat yang ditentukannya, dan kulihat ia melambaikan tangan ke arahku. Aku menghampirinya disambut dengan senyum manis di bibirnya. Ingin sekali kucium bibir manis itu. “Kau masih mencintaiku, Sayang?” tanyanya tibatiba. “Tentu saja, Sayangku. Memangnya kenapa?” tanyaku balik. “Aku sudah tidak. Sampai di sini saja ya kita.” Aku terkejut mendengarnya. “Mengapa?” “Aku sudah mencintai perempuan lagi. Maaf,” jawabnya lugas.
Nasihat Kurang Pas “Sudah kubilang, jangan nongkrong-nongkrong tak jelas. Kena kan akibatnya!” bentak ayahku. “Kalau nongkrongnya jelas, boleh, Yah?” tanyaku. “Diam! Masih berani melawan kau!” “Lagipula, ayah menasihati kalimatnya kurang pas.” Ayah sudah ancang-ancang hendak menamparku, tiba-tiba kakakku datang. Ayah urung menampar. Semoga aku mendapat pembelaan. “Ini dia anak yang kelayapan terus kerjanya. Tahu rasa, berapa hari kau dipenjara?! Hari gini masih ikutikutan judi adu ayam. Makanya kalau masih kuliah jangan macam-macam!” bentak kakakku. Ternyata sama. “Jadi judi yang lain boleh? Kalau sudah tidak kuliah boleh macam-macam?” balasku. “Masih berani melawan!” “Makanya, Yah, Mas, kalau mau menasihati bikin naskahnya dulu, biar penghayatannya pas!”
Makan Bareng Jalanan begitu macet ketika langit sudah gelap. Motorku pun sama sekali tak bisa bergerak. Kulihat ada beberapa anak penjual koran mulai menghampiri mobil yang antri satu per satu. Salah satu dari mereka tiba-tiba menghampiriku. Nasib seorang jomblo, naik motor tidak ada yang dibonceng. Mungkin mereka bisa menghiburku. “Bang, koran?” tawarnya. Kutaksir ia berusia 10 tahun. “Hmm, beritanya nggak menarik,” balasku. “Tolonglah, Bang. Saya belum makan.” “Ya sama dong. Saya juga belum makan.” “Tapi, Abang kan punya motor,” jawabnya. “Terus? Apa hubungannya?” tanyaku. “Jual saja motornya. Terus kita makan bareng deh. Daripada nggak ada yang dibonceng. Perih, Bang,” ujarnya sambil tersenyum.