Seminar Nasional Teknologi dan Sains (SNTS) II 2016 Peran Perguruan Tinggi dalam Pembangunan Berkelanjutan Untuk Kesejahteraan Masyarakat Jakarta, 23-24 Agustus 2016
PENERAPAN STUDI GERAK TARIAN DAN MUSIK BETAWI DALAM SIRKULASI BANGUNAN PUSAT SENI PERTUNJUKAN Kenny Punsu1, Priscilla Epifania2 dan Andi Surya Kurnia3 1
Jurusan Arsitektur, Universitas Tarumanagara, Jl. Let. Jend S. Parman No.1 Jakarta 11440 Email:
[email protected] 2 Jurusan Arsitektur, Universitas Tarumanagara, Jl. Let. Jend S. Parman No.1 Jakarta 11440 Email:
[email protected] 3 Jurusan Arsitektur, Universitas Tarumanagara, Jl. Let. Jend S. Parman No.1 Jakarta 11440 Email:
[email protected] ABSTRACT Betawi culture preservation is a complex issue and the form of national to international challenges. The more the Betawi culture that we can not enjoy today, which will lead to extinction. Thus the authors designed a conservation point such as the Performing Arts Center to preserve faded Betawi with the re-introduction into the community through the performing arts which is the monad of Betawi culture. Applying the "antipodal Architecture" with the study of motion and music formations performing arts in architectural design. Analyzing some Betawi dance movements that turned out to have a core movements are equal to each other. In this case study carried out on the dance Samrah, Zafin, Betawi, Cokek, Blenggo, Uncul, and Pencak Silat that the end result is applied to the main circulation of the building, while the musical analogy learn Betawi music Gambang Kromong, Tanjidor, and Gambus as a kind of music to accompany the Betawi dances that the end result is used as a building material selection considerations. By utilizing lane coastal tourism destinations are being emphasized government, the way to restore the Betawi culture in place increasingly facilitated if supported by other Betawi organizations. The end result embodies a new interpretation of Betawi art performances with no escape from the past while projecting towards the future of their community with the form of tropical architecture. Keywords: Preservation, Performing Arts Center, Betawi Littoral, Dance Movement Study, Resemblance
1. PENDAHULUAN Latar Belakang Pemikiran Jakarta adalah rumah bagi lebih dari 10 juta orang. Ibu kota negara ini mengemban begitu banyak fungsi. Pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat pendidikan, bahkan pusat pariwisata. Multifungsi ini membuat Jakarta tak pernah berhenti berdenyut. Jakarta adalah jantung Indonesia. Roda pemerintahan dan ekonomi tak pernah berhenti bergulir di kota seluas 661,26 kilometer persegi ini. Sebagai pusat perputaran rupiah, Jakarta adalah magnit bagi warga daerah. Kaum pendatang yang kemudian menetap di Jakarta - dan mengklaim sebagai warga Jakarta tidak hanya menimbulkan harmonisasi atas penetrasi dalam budaya yang berkembang di kota ini. Pergulatan hidup yang keras membuat mereka saling sikut, bahkan berselisih. Dan ada satu kelompok yang merasa tersisih atas dinamika ini: Betawi. Merekalah yang seharusnya pertama menikmati hasil dinamika dan pembangunan Jakarta. Sayangnya, suku bangsa ini semakin terpinggirkan. Padahal, jumlah masyarakat Betawi di Jakarta tidak sedikit. Sensus 2001 mencatat angka 27 persen atau 2.310.587 jiwa, menempati urutan kedua setelah suku Jawa. Mereka tersebar di lima wilayah kota, dan masih ada sekitar 2.340.000-an jiwa yang berdiam di Bekasi, Tangerang, dan Depok.
ARS-41
Seminar Nasional Teknologi dan Sains (SNTS) II 2016 Peran Perguruan Tinggi dalam Pembangunan Berkelanjutan Untuk Kesejahteraan Masyarakat Jakarta, 23-24 Agustus 2016
Pelestarian budaya Betawi hingga pendaftaran budaya Betawi sebagai budaya warisan dunia terus dilakukan Pemerintah. Namun keberadaan sanggar seni betawi di ibukota kian memprihatinkan dengan tercatatnya hanya puluhan sanggar seni Betawi yang masih eksis, itupun tidak terlalu diperhatikan oleh masyarakat lainnya. Era tahun 80 hingga 90an warga Ibukota Jakarta, mungkin tidak ada yang tidak mengetahui seni budaya ondel-ondel dan lenong sebagai seni budaya leluhur Betawi, suku bangsa penduduk asli Ibukota Jakarta. Pusat Seni Pertunjukan Betawi adalah angan-angan yang sudah lama didambakan oleh masyarakat Betawi sejak lama, diharapkan dapat berkesinambungan dengan Pusat Kebudayaan Betawi di Setu Babakan dan dengan pengawasan Lembaga Kebudayaan Betawi yang merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Memanfaatkan jalur destinasi wisata pesisir yang sedang ditekankan pemerintah, jalan untuk mengembalikan kebudayaan Betawi pada tempatnya semakin dimudahkan jika didukung oleh organisasi pendukung Betawi lainnya. Mendirikan sebuah Pusat Seni Pertunjukan (Performing Arts Center) di Kawasan Betawi Pesisir dapat menguatkan kembali identitas Jakarta yang sesungguhnya, karena dapat mewakili wajah utama Jakarta yang diperlihatkan sebagai ibukota negara. 2. KAJIAN PUSTAKA Tarian dalam Arsitektur Tambahan dari pengalaman multicultural memperkaya edukasi perancangan. Kreativitas melalui asosiasi dengan seni dan seniman lain; keterlibatan pribadi dengan seni lain dan proyek yang jauh diluar perkiraan sederhana memiliki keaslian tersendiri dalam surealis (Anthony C. Antoniades, 1990). Tarian dan Arsitektur mempelajari pada formasi tari yang berhubungan dengan kemiripan pada arsitektur; tari yang memberikan kehidupan pada seni, tarian hadir dalam waktu dan ruang; dinamika komunikasi dari berbagai macam situasi penglaman waktu terpaparkan dengan jelas pada diagram (Frederick Kiesler, 1930); gerakan dari sebuah tarian memjelaskan karakteristik dan temperamental dari orang tersebut; bukti antropologi menunjukkan bahwa seluruh umat manusia dapat diklasifikasikan melalui diagram koreografi dari tarian-tarian purba. Waktu dan ruang yang dibawakan melalui tarian, menghadirkan pengalaman ruang yang berubah-ubah dan ketidakterbatasan ruang. Ruang yang telah beku menjadi bentuk solid membentuk dimensi yang luas dimana kita dapat tinggal. Ruang yang tercipta melalui tarian menambahkan sebuah elemen kehidupan yaitu kelompok yang tidak terbatas dari formati koreografi. Konsep dasarnya berupa individualis, kebebasan, dan demokrasi. Arsitektur memerlukan mekanisme yang memperbolehkannya terhubung dengan kebudayaan. Hal itu dapat tercapai dengan cara terus menerus menangkap gaya yang membentuk masyarakat sebagai materi untuk digunakan dengan bahan baku gerak gerik anggota tubuh. Persepsi dari gerakan hasil analogi musik membaurkan bentukan dan material. Warna, tekstur, level pembubuhan, dan reflektivitas dari material merupakan beberapa indera selain penglihatan yang dapat dijalin untuk memperkuat pengalaman dari waktu. Dari reflektivitas material juga dapat menggunakan perubahan temperatur, kebisingan, dan bau. Elemen dari musik mewakili elemen arsitektur; nada mewakili warna dan vibrasi cahaya, durasi mewakili panjang spasial, kerasnya suara mewakili lompatan atai transisi lembut dari volume, warna nada mewakili komposisi material. Struktur dari musik terdidi dari: ritme yang mewakili repetisi, artikulasi, ARS-42
Seminar Nasional Teknologi dan Sains (SNTS) II 2016 Peran Perguruan Tinggi dalam Pembangunan Berkelanjutan Untuk Kesejahteraan Masyarakat Jakarta, 23-24 Agustus 2016 hirarki; harmoni mewakili komposisi, proporsi, kepadatan; melodi mewakili komposisi dari material dan bukaan. Arsitektur Antipodal Karya arsitektur adalah makhluk hidup yang berubah dari waktu ke waktu dan menyesuaikan penggunaan. Arsitektur antipodal bertahan pada sisi berlawanan dari bumi. Menolak untuk kembali menuju tradisi lama yang kemudian menciptakan arsitektur vernakular kontemporer. Pada hasil akhirnya akan mewujudkan gambaran modern dari tradisi lama yang tetap menjaga hubungan dengan masa lampau sementara memprediksikan komunitas mereka menuju masa depan. Metode yang dapat digunakan berupa transformasi dengan pengartian ulang suatu budaya, dengan target pada ekspresi kultural. Seni Pertunjukan Betawi Secara konseptual, kebudayaan Betawi mempunyai akar yang sangat kuat dari pengaruh agama, khususnya Islam. Penyebaran agama Islam di Bandar Jakarta (Sunda Kelapa) dan Batavia cenderung lebih langsung. Saudagar / pedagang Arab dan Tionghoa muslim, datang ke Sunda Kelapa untuk berdagang sekaligus menyebarkan agama Islam. Selain itu, pada masa lalu, di daerah Batavia tidak mengakar secara kuat kebudayaan Hindu. Oleh karena interaksi agama (Islam) dengan penduduk lokal terjadi secara langsung, maka ritual-ritual yang terbentuk ke dalam konsep kebudayaan (Betawi) lebih original dan tidak tereduksi. Sesuai istilahnya, wilayah kebudayaan Betawi Pesisir berada di daerah pesisir seperti Pantai Marunda, Cilincing dan Tanjung Priuk. Kebudayaan Betawi Pesisir terbagi menjadi dua yaitu Betawi Pesisir Darat dan Betawi Pesisir Pulo.Daerah Betawi Pesisir Darat meliputi Dadap, Muara Baru, Sunda Kalapa, Kampung Japad, Kampung Bandan, Ancol, Tanjung Priuk dan Marunda. Sementara yang termasuk daerah Betawi Pesisir Pulo adalah Kabupaten Kepulauan Seribu. Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerahdaerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Dengan semakin beragamnya etnis di Betawai, maka setiap etnis biasanya mempengaruhi setiap perayaan etnis Betawi. Seperti budaya penyalaan petasan, Lenong, Cokek, hingga pakaian pernikahan adat Betawi yang didominasi warna merah, itu semua dipengaruhi kuat oleh budaya Tionghoa. Kemudian etnis Arab sangat mempengaruhi musik gambus dalam warna musik marawis dan Tanjidor. Tanjidor sendiri adalah perpaduan budaya Eropa, Cina, Melayu dan Arab. Sementara di kampung Tugu terkenal dengan budaya keroncong yang bersal dari Portugis. Kesenian Betawi tersebut antara lain : 1. Lenong Lenong sebagai tontonan, sudah dikenal sejak 1920-an. Almarhum Firman Muntaco, seniman Betawi terkenal, menyebutnya kelanjutan dari proses teaterisasi dan perkembangan musik Gambang Kromong. Jadi, Lenong adalah alunan Gambang Kromong yang ditambah unsur bodoran alias lawakan tanpa plot cerita. 2. Tari Zafin Tarian ini mendapat pengaruh besar dari budaya Arab.Yang membedakan tarian betawi Japin dengan Zapin pada umumnya adalah musik pengiringnya. Tari Japin menggunakan musikmusik lagu betawi seperti gambus. Tari Zapin ditarikan secara melompat-lompat sambil memukul sebuah kendang rebana kecil. Memukulnya pun serentak dengan gerakan yang menghentak. ARS-43
Seminar Nasional Teknologi dan Sains (SNTS) II 2016 Peran Perguruan Tinggi dalam Pembangunan Berkelanjutan Untuk Kesejahteraan Masyarakat Jakarta, 23-24 Agustus 2016 3. Tari Topeng Betawi Tarian betawi yang cukup lama dikenal masyarakat adalah Tari Topeng Betawi. Dalam Tari Topeng Betawi, Anda dapat melihat tiga unsur seni sekaligus. Yaitu tari, teater dan musik. Musik pengiring Tari Topeng Betawi banyak sekali. Topeng Betawi tumbuh dan berkembang di pinggir-pinggir Jakarta. Biasanya digelar saat ada pernikahan, acara sunatan dan membayar nazar. 4. Tari Cokek Tarian betawi yang satu ini dibawa oleh para cukong atau tuan tanah peranakan tionghoa yang kaya raya. Dulu mereka merawat penari cokek dan pemain-pemain Gambang Kromong. Tarian cokek ini diiringi oleh musik Gambang Kromong dan sering ditampilkan dalam acaraacara yang diadakan oleh Tuan Tanah. Oleh karena itu, tarian dan pakaian tari Cokek Betawi agak mirip dengan tarian-tarian di Cina. 5. Tari Ronggeng Topeng Blantek Tarian ini berasal dari dua suku kata, yaitu topeng dan blantek. Kata topeng berasal dari bahasa Cina tepatnya di zaman Dinasti Ming yaitu to dan peng yang berarti sandiwara. Kata blantek mempunyai beragam arti dari beberapa pendapat dari suku Betawi, seperti suara musik yakni rebana biang, rebana anak dan kecrek yang kemudian dinamakan Blantek. Beberapa contoh kesenian suara dan seni Betawi yang menjadi ciri khas suku Betawi: 1. Samrah 2. Rebana 3. Gambang kromong Kesenian musik ini merupakan perpaduan dari kesenian musik setempat dengan budaya musik Cina. Hal ini dapat dilihat dari instrumen musik yang digunakan, seperti alat musik gesek dari Cina yang bernama Kongahyan, Tehyan dan Sukong. Sementara alat musik Betawi antara lain; gambang, kromong, kemor, kecrek, gendang kempul dan gong. 3. METODE PERANCANGAN Merancang sebuah titik konservasi untuk melestarikan Betawi yang pudar dengan mengenalkan kembali ke masyarakat melalui seni pertunjukan yang merupakan monad dari budaya Betawi. Mengaplikasikan “Antipodal Architecture” dengan studi formasi gerak dan musik seni pertunjukan pada rancangan arsitektur, yang menerapkan studi formasi gerak pada sirkulasi utama bangunan dan analogi musik dari seni pertunjukan Betawi diterapkan pada penggunaan material di setiap “gerakan” bangunan. Dalam merancang bangunan berbasis teori gerakan harus menerapkan hirarki prioritas desain yang dapat membantu keberhasilan proyek, dalam kasus ini hirarki tersebut adalah: 1. Proposi, skala, dan persepsi; 2. Bentuk bangunan; 3. Fungsi auditorium. Metode Penyusunan Ulang (Resemblance) Menganalisa gerakan beberapa tarian Betawi yang ternyata memiliki gerakan-gerakan inti yang sama satu sama lain. Pada kasus ini studi dilakukan pada tari Tari Samrah, Tari Zafin, Tari Topeng Betawi, Tari Cokek, Tari Blenggo, Tari Uncul, dan Pencak Silat. Sedangkan untuk analogi musik mempelajari musik Betawi Gambang Kromong, Tanjidor, dan Gambus yang juga merupakan jenis musik untuk mengiringi tarian Betawi.
ARS-44
Seminar Nasional Teknologi dan Sains (SNTS) II 2016 Peran Perguruan Tinggi dalam Pembangunan Berkelanjutan Untuk Kesejahteraan Masyarakat Jakarta, 23-24 Agustus 2016
Gambar 1. Diagram Hasil Studi Formasi Gerak dan Musik pada Tarian Betawi Dari hasil studi formasi, ke empat tarian inti Betawi ini memiliki gerakan-gerakan inti yang sama dan bahkan tahapan gerakan tersebut dilakukan sama di setiap tarian. Gerakan inti tersebut antara lain: 1. Movement ( Mendek), 2. Pair/Group ( Madep), 3. Pivot (Dongko), 4. Cross, 5. Positioning ( Ngengkreg), dan 6. Tighten & Widen (Ngepang & Megar). Dan untuk hasil studi analogi musik Betawi yang digunakan, menghasilkan lima buah klasifikasi alat musik yaitu: 1. String Instrument (Alat musik petik), 2. Percussion (Perkusi), 3. Modern Instrument (instrumen musik modern), 4. Wind Instrument (alat musik tiup) dan 5. Melody (instrumen melodi). Berdasarkan hasil analisa memaparkan bahwa harmonisasi musik di kesenian Betawi rata-rata monoton yang berarti seluruh alat musik dimainkan dengan porsi sama dari awal.
Gambar 2. Diagram Hasil Metode Resemblance
ARS-45
Seminar Nasional Teknologi dan Sains (SNTS) II 2016 Peran Perguruan Tinggi dalam Pembangunan Berkelanjutan Untuk Kesejahteraan Masyarakat Jakarta, 23-24 Agustus 2016 Kemudian menghasilkan rangkaian gabungan tahapan susunan gerakan inti dan analogi musik yang digunakan dalam pemilihan material setiap “gerak”, menjadi sebuah strategi desain yang digunakan untuk menciptakan pengalaman ruang Betawi dengan ambience “tarian” pada sirkulasi utama yaitu dari Entrance menuju Auditorium.
Gambar 4. Design Scheme (Mendek – Madep – Dongko – Ngengkreg – Ngepang & Megar)
5. APLIKASI FORMASI GERAK PADA SIRKULASI Pengaplikasian skema desain pada bangunan dibagi menjadi 5 jenis gerakan inti yang saling berurutan diiringi dengan hasil analogi musik yang diterapkan pada pembagian zoning yang ada dan menghasilkan beberapa bagian massa bangunan dengan ambience tersendiri, yang kemudian dirangkai menjadi satu kesatuan bagian inti bangunan (inner skin layer).
Gambar 5. Potongan Memanjang Walaupun hasil yang didapat berupa sebuah pengalaman ruang yang menerus dan berombak pada ketinggian plafon maupun lantai, namun tetap menyediakan beragam variasi ruang yang menggambarkan visualisasi dan rasa tarian Betawi yang mengiringi alur sirkulasi bangunan. Pemilihan material dan komposisi bukaan akan dirasakan pada bangunan ini, yang proporsinya disesuaikan dengan hasil dari metode perancangan resemblance.
ARS-46
Seminar Nasional Teknologi dan Sains (SNTS) II 2016 Peran Perguruan Tinggi dalam Pembangunan Berkelanjutan Untuk Kesejahteraan Masyarakat Jakarta, 23-24 Agustus 2016 Tabel 1.. Tabel Komposisi dan Proporsi
Gambar 6. Inner Skin Layer Kelima buah massa utama saling menyatu didasarkan juga pada urutan zoning yaitu circulation, learning, operation, fitness, collective, dan concentration. Para pengunjung akan memasuki keseluruhan ambience untuk menuju fungsi utama. Konsep ini juga merupakan adaptasi dari program linear yang berurutan dan diorganisasikan sebagai lintasn tunggal.
ARS-47
Seminar Nasional Teknologi dan Sains (SNTS) II 2016 Peran Perguruan Tinggi dalam Pembangunan Berkelanjutan Untuk Kesejahteraan Masyarakat Jakarta, 23-24 Agustus 2016
Gambar 7. Aksonometri Sirkulasi Lt 1 dan Lt. 2
Gambar 8. Potongan Perspektif 6. KESIMPULAN Dalam merancang sebuah bangunan fasilitas kebudayaan perlu dipahami lebih lanjut mengenai budaya yang akan diangkat tersebut, apa kelebihannya, dimana titik vital yang dapat diangkat menjadi konsep bangunan. Mengkonservasi sebuah kebudayaan tidak perlu semata-mata membangun ulang arsitektur tradisionalnya saja, gaya arsitektur vernakular kontemporer dapat dipertimbangkan sebagai pedoman baru untuk melestarikan kebudayaan melalui arsitektur, misalnya dengan menerapkan studi formasi gerak tarian dan musik seni pertunjukan khas kebudayaan tersebut.
ARS-48
Seminar Nasional Teknologi dan Sains (SNTS) II 2016 Peran Perguruan Tinggi dalam Pembangunan Berkelanjutan Untuk Kesejahteraan Masyarakat Jakarta, 23-24 Agustus 2016 DAFTAR PUSTAKA Antoniades, Anthony C. (1990). “Poetics of Architecture: Theory of Design”. Van Nostrand Reinhold, New York. Appleton, Ian. (1996). “Buildings for the Performing Arts: A Design and Development Guide”. The Bath Press, Bath. Bielfield, Bert, and Sebastian El Khouli. (2007). “Basics: Ide-ide Desain”. Erlangga, Jakarta. Memmott, Paul, and James Davidson. (2008). “Exploring a Cross-Cultural Theory of Architecture”. TSDR volume XIX number II. Neufert, Ernst. (2002). “Data Arsitek”. Erlangga, Jakarta. Panero, Julius, and Martin Zelnik. (1979). “Dimensi Manusia dan Ruang Interior”. Erlangga, Jakarta. Prijotomo, Josef. (2009). “Kuliah Mata Kuliah Arsitektur Nusantara”. Tjahjono, Gunawan. “Metode Perancangan”. Universitas Indonesia, Jakarta. Tjahjono, Gunawan. (2003). “Reviving the Betawi Tradition: The case of Setu Babakan, Indonesia”. TDSR volume XV. Thompson, James. “Antipodal Architecture: Traces of the ‘Other Tradition’ in Piano’s Tjibaou Cultural Centre”. University of Washington, Seattle. Tschumi, Bernard. (1997). “Architecture and Disjunction”. MIT Press, Massachusetts.
ARS-49