PENERAPAN STRATEGI MODELING PARTISIPAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENGUNGKAPKAN PENDAPAT Purwanti Ningsih1 dan Sutijono2
Abstrak: Tujuan penelitian yang dilakukan adalah untuk mengetahui pengaruh penerapan strategi modeling partisipan dalam meningkatkan kemampuan mengungkapkan pendapat pada siswa kelas XI IPS 3 SMA Negeri 22 Surabaya. Jenis penelitian ini adalah pre-experimental dengan menggunakan one group pre-test and post-test design. Subyek penelitian ini adalah 5 siswa kelas XI IPS 3 SMA Negeri 22 Surabaya yang memiliki kemampuan rendah dalam mengungkapkan pendapat di kelas. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah angket kemampuan mengungkapkan pendapat di kelas. Jenis angket yang digunakan adalah angket tertutup dengan 4 pilihan jawaban yang terdiri dari selalu, sering, jarang dan tidak pernah. Analisis data yang digunakan adalah statistik non parametrik dengan uji tanda (sign test). Setelah diadakan analisis dengan menggunakan uji tanda, dapat diketahui bahwa ρ = 0,031 lebih kecil dari α sebesar 5% = 0,05. Artinya setelah penerapan strategi modeling partisipan, siswa mengalami peningkatan kemampuan mengungkapkan pendapat dari kategori rendah menjadi kategori sedang. Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada perbedaan skor antara sebelum dan sesudah penerapan strategi modeling partisipan terhadap peningkatan kemampuan mengungkapkan pendapat pada siswa kelas XI IPS 3 SMA Negeri 22 Surabaya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penerapan strategi modeling partisipan dapat digunakan untuk membantu siswa dalam meningkatkan kemampuan mengungkapkan pendapat di kelas. Kata kunci: Strategi modeling partisipan, kemampuan mengungkapkan pendapat
1 2
Alumni Prodi BK FIP Unesa Staf Pengajar Prodi BK FIP Unesa
Pendahuluan Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat (Kavie, 2009). Sekolah adalah suatu sistem sosial yang merupakan lembaga pendidikan, dimana siswa mulai melakukan interaksi sosial dengan guru dan teman sebaya serta merupakan tempat belajar yang kedua bagi siswa setelah keluarga. Selain itu, sekolah juga merupakan salah satu cara untuk mengembangkan potensi, minat serta kepribadian siswa. Sekolah sebagai lembaga yang menyelenggarakan pendidikan formal mempunyai peranan yang sangat penting dalam usaha mendewasakan anak dan menjadikannya sebagai anggota masyarakat yang berguna. Kenyataan sekarang menunjukkan bahwa dalam dunia pendidikan telah terjadi perubahan-perubahan, seperti perubahan sistem pendidikan, kurikulum, metode mengajar dan masih banyak lagi perubahan-perubahan yang muncul dalam dunia pendidikan. Perubahan–perubahan tersebut dapat menimbulkan berbagai masalah, khususnya bagi peserta didik serta pihak yang berkecimpung dalam dunia pendidikan. Untuk menangkal dan mengatasi masalah tersebut perlu dipersiapkan insan dan sumber daya manusia Indonesia yang bermutu, yaitu manusia yang harmonis lahir dan batin, sehat jasmani dan rohani, bermoral, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi secara profesional, serta dinamis dan kreatif. Sekolah inilah yang merupakan lembaga umum untuk menampung anak-anak, mendidik anak, dengan memberikan kecakapan–kecakapan yang dibutuhkan si anak, memberikan pengajaran, memberikan latihan–latihan praktis berwujud keterampilan, ketabahan, keberanian dan sebagainya. Kesemuanya itu akan dipergunakan sebagai bekal bagi si anak dalam kehidupannya. Anak yang mendapat bekal semacam inilah yang akan mampu mempengaruhi, memajukan, bahkan merubah kehidupan yang lebih baik. Hal tersebut merupakan bagian dari suatu proses belajar. Untuk mencapai cita–cita seperti di atas, tentulah lebih dahulu perlu diketahui siapa si terdidik tersebut. Makin banyak mengetahui siapa–siapa yang terdidik akan bermanfaat lebih efektif, efisien, terarah, dan memperoleh hasil yang memuaskan. Selain itu, semuanya harus didukung oleh peningkatan profesionalisme dan sistem manajemen tenaga kependidikan serta pengembangan kemampuan peserta didik untuk menolong diri sendiri dalam memilih dan mengambil keputusan demi pencapaian cita citanya. Menurut Surakhmad (1994 : 60), proses belajar dapat dikatakan mencapai titik akhir sementara apabila usaha murid telah menghasilkan pola tingkah laku yang dituju semula. Pola tingkah laku tersebut terlihat pada pembuatan reaksi dan sikap murid secara fisik maupun mental. Bersamaan dengan hasil utama itu terjadi bermacam–macam proses mengiring yang juga menghasilkan “tambahan“ perubahan tingkah laku, sehingga akhirnya terdapat satu kesatuan yang menyeluruh. Menurut Sujanto (1988 : 267) dalam proses belajar ada tiga faktor yang terlihat di dalamnya yaitu ; faktor pendidik, faktor terdidik, dan tujuan
pendidikan. Faktor pendidik merupakan komponen instrumental yang bertanggung jawab penuh dalam proses belajar yaitu guru. Sedangkan faktor terdidik adalah individu yang dijadikan pusat kegiatan pendidikan agar ia dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Faktor terdidik tersebut adalah siswa. Adapun tujuan dari pendidikan adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Oleh karena itu, proses belajar dapat dikatakan berhasil apabila ketiga faktor tersebut dapat berjalan sesuai dengan fungsinya masing–masing. Dalam hal ini, guru sebagai pendidik dan siswa sebagai terdidik. Keduanya saling bekerjasama untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan sebelumnya. Sebagai contoh bentuk kerjasama antara guru dan siswa yaitu ; ketika guru menerangkan di depan kelas , maka siswa akan mendengarkan dan bertanya jika mereka belum memahaminya. Kemudian saat guru bertanya, maka siswa akan menjawab dan mengungkapkan pendapatnya. Akan tetapi, terkadang masih ada siswa yang kurang mampu untuk mengungkapkan pendapatnya pada saat proses belajar mengajar berlangsung. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah tersebut, maka akan diberikan strategi modeling partisipan. Penerapan strategi modeling partispan ini dimaksudkan untuk membantu siswa dalam meningkatkan kemampuan mengungkapkan pendapat. Strategi modeling partisipan ini diterapakan, agar siswa termotivasi untuk lebih mampu mengungkapkan pendapat dengan adanya suatu model, sehingga menumbuhkan perilaku baru yang lebih baik. Strategi Modeling Partisipan Bandura (dalam Cormier, 1985:336), menyatakan bahwa “participant modelling quickly achieved very high levels of change on behavioral, attitudinal, and perceived self efficacy measures in dealing with a feared stimulus“ yang artinya, “Modeling partisipan mempercepat level perubahan terhadap perilaku, sikap dalam menghadapi rangsangan yang mengkhawatirkan“. Dalam Kamus Psikologi (1987:285), Kartono menyatakan modeling partisipan merupakan bentuk pelajaran dimana seseorang siswa melakukan suatu tindakan dengan memperhatikan dan meniru sikap serta tingkah laku orang lain. Sedangkan menurut Gunarsa (2001:220), memberikan pengertian Modeling Partisipan adalah : “Proses belajar mengobservasi perilaku individu atau kelompok tertentu, dan kemudian individu tersebut beraksi sesuai dengan individu atau kelompok yang diobservasi sesuai dengan stimulus (pikiran sikap, atau perilaku) yang telah ditangkapnya”. Menurut Bandura, strategi modeling partisipan merupakan suatu proses belajar mengajar mengamati tingkah laku individu atau kelompok melalui kegiatan demonstrasi dengan ketentuan adanya seseorang sebagai model, adanya pihak pengamat yang mengamati tingkah laku untuk menghasilkan tingkah laku baru yang diinginkan (Udiyastutik, 2009).
Dari pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa strategi modeling partisipan adalah suatu strategi yang digunakan untuk membantu seseorang yang mengalami kesulitan dalam menghadapi kondisi yang mengkhawatirkan melaui observasi terhadap perilaku yang dimodelkan oleh seseorang sehingga dapat menumbuhkan motivasi pada diri konseli dan akhirnya memperoleh perubahan perilaku yang semakin membaik. Tujuan modeling partisipan dalam Cormier (1985:328), berbunyi : “Modelling can help a person perform an already acquire new behavior in more appropriate ways or at more desirable times” yang artinya Modeling dapat membantu penampilan seseorang yang memiliki tingkah laku yang belum siap di dalam cara yang lebih tepat/pada waktu yang lebih diinginkan. Nursalim (2005:75), menyatakan Modeling partisipan digunakan untuk mengurangi perasaan dan perilaku menghindar pada diri seseorang yang dikaitkan dengan aktivitas atau situasi yang mengkhawatirkan. Menurut Gunarsa (2001:222), tujuan modeling atau peniruan melalui penokohan adalah membantu klien menghadapi phobia, gangguan psikologi, gangguan dalam pergaulan misalnya di sekolah. Dari ketiga pendapat di atas, dapat disimpulkan tujuan dari Modeling partisipan adalah untuk membantu klien dalam mengurangi perasaan dan perilaku yang menghindar, mendapatkan keterampilan sosial, modifikasi perilaku verbal dan mendapatkan respon– respon phobia pada situasi yang mengkhawatirkan. Dalam Nursalim (2005:76) ada 4 komponen dasar Modeling Partisipan yaitu rationale, modeling, partisipasi terbimbing, dan pengalaman yang berhasil. Di bawah ini akan diuraikan keempat komponen tersebut. Pertama, Rasional. Berikut ini adalah contoh rasional Modeling partisipan yang dapat diberikan oleh konselor kepada klien: “Prosedur ini digunakan dalam membantu anda untuk mengatasi ketakutan atau perilaku baru. Ada tiga hal utama yang akan kita lakukan yaitu ; pertama, anda akan melihat beberapa orang mendemonstrasikan. Kedua, anda akan mempraktekkan kemampuan tersebut dengan bimbingan saya selama wawancara konseling ini berlangsung. Ketiga, kami akan mengatur bagi anda untuk melakukan kemampuan tersebut di luar wawancara konseling yang memungkinkan anda memperoleh keberhasilan. Jenis praktek ini akan membantu anda menampilkan apa yang anda rasa sulit anda lakukan. Apakah anda mau mencobanya sekarang?”. Kedua, Modeling. Komponen modeling dari Modeling partisipan terdiri dari 5 bagian, yaitu : 1) Perilaku sasaran. Langkah pertama yang harus dilakukan konselor adalah menentukan perilaku sasaran. Perilaku sasaran yang kompleks harus dibagi dalam sub skill / subtask dalam suatu rangkaian hirarki. 2) Mengatur subskill. Konselor dan klien perlu mengatur subskill atau sub task dalam suatu hirarkhi. Suatu hirarkhi dimulai dari situasi yang paling sedikit ancamannya atau situasi ynag paling tidak menakutkan ; kemudian diikuti kemampuan atau situasi yang lebih kompleks dan yang lebih besar ancamannya. Hirarkhi yang paling ringan dikerjakan terlebih dahulu menyusul hirarkhi yang lebih kompleks. 3) Memilih model. Sebelum melaksanakan komponen modelling, perlu dilakukan seleksi terhadap model yang tepat. Kadang – kadang yang paling efisien adalah menggunakan
konselor sebagai model. Keuntungan yang lebih besar diperoleh bila digunakan model yang agak serupa dengan klien. 4) Instruksi sebelumnya bagi klien. Sebelum demonstrasi model, untuk menarik perhatian klien pada model, konselor harus memberi instruksi kepada klien tentang apa yang akan dimodelkan. Klien disuruh mencatat bahwa model akan dimintai tanggapan–tanggapan tertentu tanpa mengalami akibat yang merugikan. Ketiga, demonstrasi model. Dalam Modeling partisipan, seorang model mendemonstrasikan satu bagian kemampuan sekaligus. Sering kali diperlukan demonstrasi yang diulang atas tanggapan yang sama. Setelah demonstrasi perilaku atau aktivitas, klien diberikan kesempatan dan bimbingan yang perlu untuk menampilkan perilaku yang dimodelkan. Partisipasi terbimbing adalah salah satu komponen pembelajaran yang paling penting untuk mengatasi situasi yang menakutkan, dan untuk memperoleh perilaku yang baru. Partisipasi ini ditujukan untuk “pengangkatan kemampuan baru dan keyakinan, daripada membuka kekurangan“. Partisipasi terbimbing terdiri atas 5 langkah yang masing masing langkah akan digambarkan dan diilustrasikan sebagai berikut. 1) Praktek Klien. Setelah model mendemostrasikan aktivitas atau perilaku, klien diminta melakukan apa yang dimodelkan. Konselor meminta klien menampilkan setiap perilaku dalam hirarkhi. Klien menampilkan setiap aktivitas atau perilaku, mulai dengan langkah pertama dalam hirarkhi, sampai dia dapat melakukan dengan penuh terampil dan percaya diri. 2) Umpan Balik Konselor. Setelah klien mempraktekkan, konselor memberikan umpan balik verbal kepada klien tentang penampilannya. Ada 2 bagian umpan balik : a) menyanjung atau meneguhkan praktek yang berhasil dan b) usulan memperbaiki atau mengubah kesalahan. 3) Penggunaan Bantuan Induksi. Bantuan induksi merupakan bantuan yang mendukung (suportif) yang diatur oleh konselor untuk membantu klien dalam melakukan tanggapan yang menakutkan atau sulit. Banyak orang yang mempertimbangkan penampilan yang berhasil dengan cara yang baik untuk mengurangi kecemasan. Namun demikian, kebanyakan orang justru tidak akan berpartisipasi dalam sesuatu yang benar-benar menakutkan mereka karena mereka diminta untuk melakukan begini. 4) Penghilangan Bantuan Induksi. Bantuan induksi dapat ditarik secara bertahap oleh konselor agar klien bisa belajar lebih mandiri. 5) Praktek Klien yang diarahkan pada diri Dalam hal ini, klien harus mampu melakukan aktivitas atau tanggapan yang diharapkan tanpa bantuan atau pertolongan induksi. Masa praktek klien yang diarahkan pada diri, memperkuat perubahan-perubahan dalam kepercayaan dan evaluasi diri dari klien dan bisa mengarah ke perbaikan fungsi perilaku. Keempat, Pengalaman Sukses atau Penguatan. Komponen terakhir dari prosedur Modeling partisipan adalah pengalaman-pengalaman keberhasilan (penguatan). Bandura (1976) menyatakan bahwa perubahan-perubahan psikologis tak mungkin berjalan efektif jika klien tidak mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman berhasil diatur melalui suatu program yang mengalihkan kemampuan tambahan dari interview (sesi konseling) ke kehidupan klien. Program transfer pelatihan ini meliputi langkah-langkah
sebagai berikut. 1) Konselor dan klien mengidentifikasi situasi dalam lingkungan klien dimana klien ingin melakukan tanggapan-tanggapan target. 2) Situasi-situasi ini diatur dalam hirarkhi, mulai dengan situasi yang mudah, aman dimana klien mungkin berhasil dan berakhir dengan situasi yang lebih tak dapat diramalkan dan beresiko. 3) Konselor menyertai klien masuk ke dalam lingkungan dan berlatih dengan masing–masing situasi dalam daftar modeling dan partisipan terbimbing. Secara bertahap level partisipasi konselor dikurangi. 4) Klien diberikan serangkaian tugas untuk melakukan dengan cara yang diarahkan pada diri. Kemampuan Mengungkapkan Pendapat
Dalam Badudu (2001:854) Kemampuan adalah kesanggupan, menguji seseorang atau otaknya untuk berfikir luar biasa. Sedangkan dalam kamus bahasa indonesia kemampuan berarti keahlian yang dimiliki. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (1995:1105) mengungkapkan berarti: melahirkan perasaan hati, menunjukkan, membuktikan, penyikapan, mengungkapkan, menyatakan, memaparkan, kesimpulan (sesudah mempertimbangkan, menyelidiki dan sebagainya). Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (1990:991) mengungkapkan berarti “melahirkan perasaan hati (dengan perkataan, air mata, gerak-gerik)”. Ahmadi dan Umar (1992:131) mengungkapkan pendapat adalah hasil pekerjaan pikir, meletakkan hubungan antara tanggapan yang satu dengan yang lain, antara pengertian satu dengan pengertian yang lain yang dinyatakan dalam satu kalimat. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (1995:209) pendapat adalah pikiran, anggapan, buah pikiran atau perkiraan (tentang sesuatu hal, seperti orang, peristiwa), orang yang mula-mula menemukan atau menghasilkan (sesuatu yang tadinya belum ada atau belum diketahui), kesimpulan (sesudah mempertimbangkan, menyelidiki, dsb). Pengertian “pendapat“ dalam kamus besar Bahasa Indonesia (1990:185) adalah pikiran atau tanggapan. Kemudian dalam Ahmadi dan Umar (1992:50) “Pendapat“ ialah hasil perbuatan akal untuk meletakkan hubungan arti antara dua buah pengertian atau lebih. Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kemampuan mengungkapkan pendapat adalah keahlian yang dimiliki oleh seseorang dalam menyatakan, memaparkan, menguraikan hasil buah pikiran benar dengan menghubungkan antara tanggapan pengertian yang satu dengan yang lain, yang dinyatakan dalam kalimat atau kata – kata. Proses pembentukan pendapat menurut Ahmadi dan Umar (1992:131) yaitu : 1) Menyadari adanya tanggapan atau pengertian, karena tidak mungkin kita membentuk pendapat tanpa menggunakan pengertian atau tanggapan. 2) Menguraikan tanggapan atau pengertian. Misalnya : kepada seseorang anak-anak kita memberikan sepotong karton kuning berbentuk persegi empat. Dari tanggapan yang majemuk itu sepotong, karton, kuning, persegi, empat dianalisis. Kalau anak tersebut ditanya apakah yang kau terima. Mungkin jawabanya hanya “karton kuning“. Karton kuning adalah suatu pendapat. Sujanto (2008 : 60) menyatakan “pendapat“ dibentuk dari pengertian-pengertian. Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa, proses pembentukan pendapat yaitu menyadari adanya tanggapan atau pengertian-pengertian.
Menurut Agus Sujanto (2008:60) ada dua macam pendapat: Pendapat yang positif ialah pendapat yang menggabungkan. Misalnya : anak laki-laki, anak Pak Amat, yang pincang, yang sekarang kelas V SD, yang nakal sekali, adalah Amat. Pendapat yang negatif ialah pendapat yang menceraikan. Misalnya Amat, yang anak Pak Amat, yang pincang yang sekarang duduk di kelas V SD. Adalah nakal sekali. Ahmadi dan Umar (1992:50) menyebutkan macam-macam pendapat terdiri dari: Pendapat positif : pendapat yang menerangkan keadaan sesuatu. Contoh : Ali pandai, Kartono kaya, dan sebagainya. Pendapat negatif : pendapat yang menerangkan ketidakadaan suatu unsur dari barang sesuatu. Contoh: Ahmad tidak bodoh, Ramli tidak miskin, dan sebagainya. Pendapat modalitet : pendapat yang menyatakan kebarangkalian, kemungkinankemungkinan sutu unsur dari barang suatu. Contoh: Tini barang kali pandai, Aminah barang kali gembira, dan sebagainya. Ahmadi dan Umar (1992:132) menyatakan bahwa pendapat terdiri dari pendapat tunggal dan majemuk. 1) Kalau dalam suatu rangkaian kata-kata terdiri dari dua pengertian yang dirangkumkan menjadi satu kalimat, disebut pendapat tunggal. Misalnya : Rumah itu besar. 2) Bila suatu rangkaian kata-kata terdiri dari dua pengertian yang dirangkum menjadi beberapa pendapat, disebut pendapat majemuk. Misalnya : Rumah itu Besar dan sekarang dibongkar. Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa macam- macam pendapat terdiri dari, 1) Pendapat Positif, 2) Pendapat Negatif, 3) Pendapat Modalitet, 4) Pendapat Tunggal, 5) Pendapat Majemuk. Faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang kurang mampu dalam mengungkapkan pendapatnya adalah: 1) berpikir bahwa mengemukakan pendapat di depan umum merupakan hal yang menegangkan. 2) berusaha menyampaikan terlalu banyak informasi dalam waktu yang singkat. 3) pikiran kosong sehingga tidak tahu apa yang harus diungkapkan. 4) Takut tidak bisa berbicara. 5) memiliki tujuan yang keliru. 6) takut mendapat kesan negatif dari orang lain. 7) berusaha mengontrol perilaku. 8) mengetahui terdapat teman yang lebih tahu/lebih dari pembicara (Sharbinie & Suryana 2006). Sedangkan Natalie (2003) menyebutkan bahwa seseorang yang mampu mengungkapkan pendapat adalah seseorang yang mempunyai keberanian untuk berbicara di depan umum serta dapat mengelola emosi dengan baik saat menyatakan suatu pendapat. Metode Untuk dapat mengumpulkan data yang relevan, akurat, valid serta sesuai dengan kebutuhan penelitian, maka perlu digunakan metode pengumpulan data. Menurut Arikunto (2006:149), Metode pengumpulan data adalah suatu cara untuk memperoleh data dalam kegiatan penelitian. Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah angket. Pembahasan
Dari hasil pre test angket kemampuan mengungkapkan pendapat di kelas, maka dapat diketahui terdapat 5 subyek yang memiliki kemampuan mengungkapkan pendapat di kelas dengan kategori rendah yaitu DPP dengan skor 70, FWS dengan skor 56, HZN dengan skor 66, NRS dengan skor 75 dan SLA dengan skor 75. Untuk meningkatkan kemampuan mengungkapkan pendapat di kelas tersebut, maka selanjutnya diberikan perlakuan strategi modeling partisipan selama 8 kali pertemuan. Setelah mendapatkan perlakuan strategi modeling partisipan, siswa mengalami kemajuan yang positif dengan ditandai peningkatan skor yang diperoleh siswa pada hasil post test. Dari hasil post test terlihat peningkatan yang diperoleh DPP menjadi 80, FWS menjadi 78, HZN menjadi 79, NRS menjadi 91 dan SLA menjadi 88. Perbedaan skor pre test dan post test tersebut dapat dilihat dari hasil analisis statistik nonparamentrik dengan uji tanda. Dari hasil analisis dengan menggunakan Uji tanda, dapat diketahui bahwa ρ = 0,031 lebih kecil dari α sebesar 5% = 0,05 atau 0,031 < 0,05 berarti Ho yang berbunyi tidak ada perbedaan skor yang signifikan antara sebelum dan sesudah diberikan strategi modeling partisipan ditolak dan Ha yang berbunyi ada perbedaan skor yang signifikan antara sebelum dan sesudah diberikan strategi modeling partisipan diterima. Dengan demikian dapat diartikan bahwa penerapan strategi modeling partisipan dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan mengungkapkan pendapat pada siswa kelas XI IPS 3 SMA Negeri 22 Surabaya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bandura (Nursalim, 2005 : 75), bahwa modeling partisipan merupakan cara yang efektif untuk mengadakan. “uji realitas yang cepat, yang memberikan pengalaman korektif untuk berubah. Dari hasil pembahasan yang telah disajikan diatas, maka dapat dibenarkan bahwa strategi modeling partisipan dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan mengungkapkan pendapat pada siswa kelas XI IPS 3 SMA Negeri 22 surabaya. Seperti yang diungkapkan oleh Bandura yang menyatakan bahwa tingkah laku baru dikuasai atau dipelajari mula-mula dengan mengamati dan meniru suatu model / contoh / teladan. Simpulan Dari hasil analisis dengan menggunakan Uji Tanda, diperoleh ρ (kemungkinan harga di bawah H0) = 0,031. Bila taraf α (taraf kesalahan) sebesar 5% = 0,05, maka harga 0,031 lebih kecil daripada 0,05. Dengan demikian H0 ditolak dan Ha diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan tingkat kemampuan mengungkapkan pendapat di kelas antara sebelum dan sesudah diberi perlakuan strategi modeling partisipan. Hal ini terlihat dari hasil DPP 70 kategori rendah (pre test) 80 kategori sedang (post test), FWS 56 kategori rendah (pre test) 78 kategori sedang (post test), HZN 66 kategori rendah (pre test) 79 kategori sedang (post test), NRS 75 kategori rendah (pre test) 91 kategori sedang (post test) dan SLA 75 kategori rendah (pre test) 88 kategori sedang (post test). Sehingga diketahui strategi modeling partisipan memberi pengaruh untuk meningkatkan kemampuan mengungkapkan pendapat siswa di kelas. Hal ini telah menjawab hipotesis yang berbunyi “ Strategi modeling partisipan dapat digunakan untuk membantu
meningkatkan kemampuan mengungkapkan pendapat di kelas pada siswa kelas XI IPS 3 SMA Negeri 22 Surabaya ”dapat diterima. Saran Penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi konselor sekolah yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan bantuan pada siswa khususnya untuk membantu meningkatkan kemampuan mengungkapkan pendapat di kelas. Agar dapat menambah wawasan bagi penulis lain khususnya penggunaan strategi modeling partisipan untuk meningkatkan kemampuan mengungkapkan pendapat di kelas serta dapat menambah teori-teori baru yang dapat memperbaharui hasil penelitian ini dan hendaknya memperhatikan aspek alokasi waktu yang diberikan dalam proses pelaksanaan strategi modeling partisipan lebih maksimal hasilnya.
Daftar Rujukan Ahmadi, Abu dan Umar, M. 1992. Psikologi Umum (Edisi Revisi). Surabaya : P.T Bina Ilmu. Amalia, Tiennuk. 2003. Pengaruh Latihan Asertif Terhadap Keberanian Mengungkapkan Pendapat di Kelas Pada Mata Pelajaran Non Eksata Siswa Kelas II-9 SMU Negeri 1 Blitar Tahun Ajaran 2002/2003. Skripsi tidak diterbitkan. Surabaya : Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan, FIP, UNESA. Badudu. 2001. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Cormier and Cormier. 1985. Interviewing Strategies For Helpes Fundamental Skill and Cognitive Behaviour Interviution. Calivornia Books : Cole Publishing Company. Gunarini, Febriana. 2008. Penggunaaan Strategi Modelling Partisipan Untuk Membantu Meningkatkan Rasa Percaya Diri Siswa Kelas VII-C SMP Negeri 4 Surabaya. Skripsi tidak diterbitkan. Surabaya : Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan, FIP, UNESA. Gunarsa, D. Singgih. 2001. Konseling & Psikoterapi. Jakarta : BPK Gunung Mulia. Kavie. 2009. Pengertian Pendidikan (Online), (http://kaviedesign.indonesianforum.net/pendidikan-f5/pengertian-pendidikan-t8.htm, diakses 7 November 2010). Nursalim, Mochammad, dkk. 2005. Strategi Konseling. Surabaya : UNESA University Press. Rogers, Natalie. 1997. Berani Berbicara Di Depan Umum. Lala Herawati D. Penerjemah. Bandung : Nusa Cendekia. Sharbinie, M, Ully dan Suryana, Agus.2006. Seni Berbicara Di Depan Publik Bebas Rasa Takut. Jakarta : EDSA Mahkota. Sujanto, Agus. 1988. Psikologi Perkembangan. Surabaya : Aksara Baru. Sujanto, Agus. 2008. Psikologi Umum. Jakarta : P.T Bumi Aksara..
Surakhmad. 1994. Pengantar Interaksi Mengajar – Belajar Dasar & Teknik Metodologi Pengajaran. Bandung : Tarsito. Udiyastutik. 2009. Dampak Strategi Modeling Partisipan Terhadap Materi Tata Krama Pribadi (Berpakaian, Berhias, Adab dalam Perjalanan, Bertamu dan Menerima Tamu) Pada Siswa Kelas 1 SMA Muhammadiyah Surabaya (Online), (http://digilib.sunan-ampel.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=hubptain-gdludiyastuti-7498, diakses 7 November 2010).