2
Penerapan Program “Top-Down” Inpari 13 dalam Menanggulangi Ledakan Hama Wereng Batang Coklat di Kecamatan Polanhajo, Kabupaten Klaten. Runy Setiyati Rahayu Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Pembimbing: Yunita T. Winarto Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Abstract This thesis examines in the taking over the roles in decision making at agricultural management from farmers by government in their individual rice field. That phenomenen occured when the top down inpari 13 programme held on Polanharjo district. The implementation of the top down Inpari 13 programme was the main focus because the government's role as decision maker had the hegemonic power in the agricultural building issue in food commodity. The top down programme implemented as the response from the Central Java Government in case of saving the rice stock production because the "disaster" effect from the outbreak of brown planthopper that not overcome by farmers individual decision. This programme implemented in the middle of independent farmers in making some decisions. In examining the successful implementation policy of top down inpari 13 programme, researcher should watch the actors who had roles in the decision making process and in various ways of many actor to actualize that program from provincial government level into farmers level. This thesis also exposes the evaluation and interpretation from the policy decision maker and the farmer about the inpari 13 programme. Key word : Government role, Evaluation,Interpretation, Brown Plant Hoppers Outbreaks, Actor, Agent, Farmers, Hegemony, Inpari 13 Programme. Abstrak Skripsi ini mengaji pengambilalihan peran pengambilan keputusan pengelolaan budi daya tanam padi dari tangan petani oleh pemerintah di lahan garapan individual petani. Fenomena itu terjadi pada saat Program “top-down” Inpari 13 berlangsung di Polanharjo. Penerapan Program Inpari 13 secara “top-down” menjadi fokus kajian karena peran pemerintah sebagai penentu kebijakan memiliki kekuasaan yang hegemonik dalam permasalahan pembangunan pertanian dalam hal ini menyangkut komoditas pangan. Program secara “top-down” diterapkan sebagai respons pemerintah Jawa Tengah dalam rangka mengamankan produksi beras karena adanya “bencana” akibat ledakan Wereng Batang Coklat (WBC) yang tidak tertanggulangi oleh keputusan individual petani. Program ini diterapkan di tengah kondisi petani yang telah mandiri dalam pengambilan keputusan. Dalam mengaji keberhasilan penerapan kebijakan Program “top-down” Inpari 13 itu , peneliti harus memerhatikan aktoraktor yang berperan dalam proses pengambilan keputusan dan cara berbagai aktor itu mewujudkan program itu dari jajaran pemerintah di tingkat propinsi hingga tingkat petani. Skripsi ini juga memaparkan hasil evaluasi dan interpretasi yang dilakukan para pengambil kebijakan serta petani mengenai program Inpari 13 Kata kunci: Evaluasi,Interpretasi, Ledakan WBC, Aktor, Agen, Petani, Peran Pemerintah, Hegemoni, Program Inpari 13. Universitas Indonesia Penerapan program..., Runy Setiyati Rahayu, FISIP-UI, 2012
3
Pendahuluan Artikel ini menjabarkan fenomena pengambilalihan peran pengambil keputusan oleh pemerintah dari petani dalam pengelolaan budi daya tanam padi di lahan individual garapan petani. Proses pengambilalihan keputusan itu terjadi saat pemerintah menerapkan kebijakan melalui progran secara “top-down” untuk menanggulangi wereng batang coklat (WBC) dan demi keberlanjutan dan keutuhan produksi pangan. Pemerintah menjadi agen yang mencoba untuk mengintervensi, menyeragamkan, dan menentukan setiap keputusan dan pilihan petani dalam mengelola lahannya masing-masing tanpa partisipasi petani dalam merancang program itu. Tulisan ini memperlihatkan kajian terhadap peran pemerintah yang hegemonik dalam pembangunan pertanian di era otonomi daerah saat ini. Peran pemerintah yang dominan dan hegemoni
sepanjang
sejarah
pembangunan
pertanian
di
Indonesia
dimulai
saat
diintroduksikannya Revolusi Hijau. Sebelum paradigma Revolusi Hijau lahir, petani merupakan manajer di lahannya sendiri (Winarto, 2004a). Petanilah pengambil keputusan utama di lahannya sendiri. Namun lain halnya pada saat Revolusi Hijau: “Everything has been determined by the government: when to plant, what to plant, and how to plant; this is how a farmer described the changes he has experienced since the introduction of high-yielding or ‘modern varieties’ of crops during the socalled green revolution,” (Winarto, 2011c: 276). Pemerintah telah mengambilalih peran pengambil keputusan dalam pengelolaan budi daya tanam padi dari tangan petani. Revolusi Hijau (RH) dalam produksi tanaman padi ternyata menimbulkan konsekuensi yang tidak diduga dan diharapkan, kerentanan ekosistem dengan meledaknya berbagai OPT (Organisme Pengganggu Tanaman), antara lain WBC yang mengganggu produktivitas padi di pertengahan tahun 1980 saat Indonesia baru memprokalmirkan swasembada beras di tahun 1985. Program Pengendalian Hamat Terpadu (PHT) dilaksanakan menindaklanjuti INPRES 3/1986 mengenai peningkatan pengendalian hawa wereng batang coklat (WBC) pada tanaman padi. Dalam program itu, PHT dinyatakan sebagai strategi nasional pengendalian OPT dan dengan meningkatkan pengetahuan petugas pertanian dan petani dalam PHT. Petugas pertanian itu dikenal dengan sebutan three-in-one (lihat juga Sudhiastiningsih 2012) yang terdiri dari Petugas Penyuluh Lapangan (PPL), Pengamat Organisme Pengganggu Tanaman (POPT) dan Mantri Tani. Salah satu program PHT adalah pelaksanaan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) dengan tujuan memberdayakan petani. Melalui pencanangan PHT, pemerintah memberdayakan petani Universitas Indonesia Penerapan program..., Runy Setiyati Rahayu, FISIP-UI, 2012
4
dalam mengambil keputusan (Winarto 2004 , 2011). PHT adalah upaya merebut kembali karakter desentralisasi dan nondeterministik pertanian tradisional yang menempatkan individu petani sebagai pembuat keputusan independen dalam menanggapi perubahan kondisi lingkungan (Dove, 2011). Kini saat terjadi ledakan hama, pemerintah justru merespons dengan mencoba untuk mengintervensi lewat program berpendekatan“top-down” tanpa melibatkan petani sebagai pengambil keputusan. Fenomena ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Winarto (2011c) tentang terjadinya “ayunan bandul” dalam peran pengambilan keputusan dari petani ke pemerintah di masa RH, dan kembali ke petani pada masa PHT dan saat ini kembali pada pemerintah. Kondisi yang terjadi saat ini adalah “ayunan bandul” menuju ke pencapaian target produksi dengan paket teknologi yang diperkenalkan oleh pemerintah Dalam kaitan dengan hegemoni negara dalam era pembangunan “demokrasi” (terkait Otonomi Daerah) dan pemberdayaan petani dalam pengambilan keputusan (terkait PHT). Program Inpari 13 merupakan bentuk upaya pemerintah dalam mengendalikan wabah Wereng Batang Coklat (WBC) di Kabupaten Klaten. Berbagai strategi promosi dan perlengkapan teknologi merupakan target negara untuk mamasok sarana produksi guna mencapai produktivitas pangan yang tinggi (Winarto, 2011a). Salah satu capaian itu ialah dengan pelepasan varietas unggul untuk meningkatkan produksi beras. Benih padi Inpari 13 telah dianggap “tahan” terhadap WBC pada masa kini (lihat Suprihatno, dkk., 2010: 56). Pemilihan benih padi Inpari 13 merupakan hasil dari uji coba Kementerian Pertanian RI yang sebelumnya diolah di Balai Besar Padi Sukamandi Jawa Barat. Tindakan pengambilalihan keputusan dalam pengendalian ledakan WBC dilakukan secara sepihak oleh Gubernur Jawa Tengah. Terjadi suatu peristiwa yang “unik” dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah. Kewenangan yang dimiliki oleh Bupati sebagai pemegang kekuasaan di daerah ternyata tidak berlaku dalam kasus program Inpari 13 ini, karena kewenangan langsung berada di tangan Gubernur Provinsi Jawa Tengah. Otonomi daerah yang telah diimplementasikan sejak tahun 2001 mengalokasikan power ‘kekuasaan’ kepada kabupaten, “More power to make decisions to the region (daerah), in this case the regency (kabupaten),” (Sulistiyanto, Priyambudi, dan Maribeth, 2005: 2). Dalam otonomi daerah, kuasa pengambilan keputusan untuk memberikan instruksi operasional ada di tangan bupati, tetapi gagasan dan realisasi Program Inpari 13 sepenuhnya berada di bawah komando Gubernur Jawa Tengah (pemerintah provinsi) setelah berkoordinasi dengan dinas pertanian provinsi dan langsung ke tingkat kecamatan (lihat juga Sudhiastiningsih 2012).
Universitas Indonesia Penerapan program..., Runy Setiyati Rahayu, FISIP-UI, 2012
5
Program ini juga didukung oleh Instruksi Presiden No. 5/2011 tentang produksi beras nasional dalam menghadapi kondisi iklim ekstrem. Pemerintah (Gubernur Jawa Tengah bekerja sama dengan Dinas Pertanian Provinsi Jawa Tengah dan Dinas Pertanian Kabupaten Klaten didukung oleh Pusat Laboratorium Hama dan Penyakit Surakarta) memperkenalkan program penanaman serempak varietas padi baru yakni Inpari 13 pada musim kemarau 2011. Setelah terjadinya kegagalan panen di Jawa Tengah pada tahun 2009 akhir sampai dengan tahun 2010 dengan jumlah luas serangan 32356,4 hektar.1 Program Inpari 13 menghadirkan pula suatu kolaborasi antara pemerintah dengan perusahaan. Seperti halnya masuknya peran perusahaan pestisida dan pupuk pada saat Revolusi Hijau dalam hal introduksi paket peningkatan produksi padi melalui benih varietas uggul , pupuk kimia, pestisida kimia dan sistem irigasi. Dalam Program Inpari 13 perusaahaan hadir membantu pemerintah dalam menanggulangi pengendalian hama melalui bentuk bantuan pestisida. Bentuan itu diberikan selama program Inpari 13 berlangsung. Hal itu menandakan paradigma revolusi hijau yang terus bertahan melalui kolaborasi pemerintahperusahaan yang kuat dalam memantau dan mengendalikan masyarakat dalam hal ini petani. Bagaimanakah proses kembalinya “de-determination”2(Dove,2011) dari negara melalui Program Inpari 13 sehingga kebijakan pemerintah itu bisa terlaksana di kalangan petani yang telah sekian dekade mandiri dalam mengambil keputusan, namun dihadapkan pada situasi kerentanan ekosistem sawah yang diolahnya?
Upaya Pemerintah dalam Menanggulangi Ledakan Hama Wereng Batang Coklat di Polanharjo, Klaten Segitiga Emas merupakan sebutan untuk wilayah lumbung padi terbesar di Jawa Tengah yakni kabupaten Boyolali,Sukoharjo dan Klaten. Tiga kabupaten Klaten, Boyolali, dan Sukoharjo itu membentuk daerah produksi beras yang signifikan. Mereka merupakan salah satu 'keranjang beras' paling produktif di seluruh Jawa Tengah dengan produksi beras ratarata lebih dari 6 ton per hektar. Ungkapan segitiga emas itu pun berubah menjadi segitiga WBC disebabkan sejak tahun 2009 wilayah tersebut mengalami kegagalan panen sebanyak empat musim berturut-turut hingga musim kemarau I di tahun 2011.
1
Hasil akhir diproses dari Badan Pusat Statistik dan BPTPH of Banten, Java Barat, Jawa Tengah, DIY, dan data Jawa Timur 2
Penghilangan pengaruh / peranan petani dalam mencapi maksud dan tujuan Universitas Indonesia Penerapan program..., Runy Setiyati Rahayu, FISIP-UI, 2012
6
Wereng Batang Coklat (WBC) merupakan salah satu jenis hama tanaman padi yang sangat berbahaya dan menyebabkan terjadinya ledakan (out break) atau serangan dengan intensitas berat dalam skala luas bersamaan. WBC harus dikendalikan jika sudah melampaui ambang ekonominya, apabila hanya terdapat 1 ekor dalam rumpun padi tidak perlu dikendalikan. WBC harus dikontrol karena seperti yang dikatakan oleh Bottrell dan Shcoenly (2011 :124) “Heavy infestations can cause the complete drying and wilting of rice plants, a condition known as “hopperburn” Gejala terbakar itulah yang menyebabkan padi tidak bisa lagi mengeluarkan malainya. Ada banyak hal yang bisa menjadi pemicu terjadinya ledakan populasi hama wereng cokelat di Indonesia, yaitu anomali iklim, penanaman varietas padi yang tidak serempak, penggunaan insektisida yang tidak tepat dan berlebihan (jenis, dosis,waktu, dan cara), serta pemupukan yang tidak sesuai kebutuhan tanaman (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2010). Apabila kondisi lahan sawah sudah “hopperburn” akibat wereng, petani mengalami kerugian yang besar dan tidak ada hasil sedikit pun yang akan diperolehnya karena tanaman padi tidak akan tumbuh lagi, terutama WBC yang juga menularkan virus kerdil rumput dan kerdil hampa (lihat juga Sudhiastiningsih 2012). Tahun 2010 luas area serangan WBC di Klaten mencapai 4162 hektar sawah, kemudian luas serangan di Kabupaten Boyolali mencapai 2630 hektar sedangkan di Sukoharjo mencapai 6144 hektar persawahan. Pada musim tanam kedua tahun 2010, infestasi virus kerdil rumput dan kerdil hampa telah meningkat mencakup area yang lebih luas dari Klaten dan Boyolali dari total luas hopperburn. Di kabupaten Sukoharjo masih terdapat daerah yang lebih luas terserang virus dibandingkan hopperburn. Di kabupaten Sukoharjo dan Boyolali, kerugian tanaman yang sebenarnya karena virus melebihi kerugian hopperburn3. Beranjak ke tahun 2011 luas area serangan WBC di Klaten mencapai 4179 hektar, di Boyolali 839 hektar dan di Sukoharjo 5896 hektar. Saat terjadinya ledakan hama WBC
pada awal tahun 2012/ akhir tahun 2009 Kecamatan Juwiring, Delanggu, dan
Polanharjo merupakan tiga lokasi yang pertama kali terkena dan terluas mengalami serangan WBC di Kabupaten Klaten. WBC dewasa mempunyai dua bentuk, yakni bersayap panjang (Macroptera, mampu terbang jarak jauh) dan tidak bersayap (Brachypthera, dewasa menetap pada batang rumpun padi). WBC dewasa bersayap dapat berpindah dalam satu hamparan luas serta mampu bermigrasi sejauh 200-300 km (Baehaki 2011). Karakteristik WBC inilah yang menyebabkan
3
Data ini diperoleh dari tulisan penelitian yang dilakukan oleh Tim Riset Kolaborasi Internasional UI tahun 2011 Universitas Indonesia Penerapan program..., Runy Setiyati Rahayu, FISIP-UI, 2012
7
berpindahnya WBC dari Kecamatan Juwiring ke Polanharjo (Lihat juga Sudhiastiningsih, 2012). Kecamatan Polanharjo merupakan wilayah endemis yang tinggi, sebab wilayah tersebut endemis wereng karena beberapa faktor, antara lain: sumber mata air yang melimpah (menyebabkan kelembaban tanah dan udara yang tinggi), ketidakserempakan waktu tanam dalam satu hamparan lahan, dan pola tanam 3 kali padi dalam satu tahun. Seperti yang dikatakan Stigter (2012), Durasi dan curah hujan tinggi, tidak adanya sistem irigasi yang baik pada lahan berkontur datar, dan jarak tanam padi yang begitu dekat menjadi faktor-faktor meningkatnya kelembaban (dalam Sudhiastinignsih 2012). Ciri tersebut mendukung percepatan perkembangbiakan WBC, karena ketersediaan pakan yang selalu ada dan temperatur yang tepat untuk perkembangbiakan WBC. Kondisi itu juga didukung oleh faktor kerentanan lahan sawah akibat penggunaan lahan tanpa “istirahat” (bera). Petani biasa menanam padi sampai 4 kali dalam setahun untuk mengejar laba. Oleh karena itu, pada saat kondisi curah hujan tinggi karena La-Niňa (awal 2010) menyebabkan udara sangat lembab pada area lahan sawah lembab dan cuaca seperti itu sangat disukai wereng sehingga wereng pun meledak. Segala macam cara dikerahkan oleh petani, penyemprotan pestisida dengan dosis dan intensitas yang tak terkendali (2 sampai 3 kali dalam seminggu) yang ternyata semakin memperburuk situasi yang ada saat itu. Tak terbayangkan situasi yang penuh dengan kepanikan dan keputusasaan para petani pada saat itu. Dalam situasi kepanikan itu, bagaimanakah tindakan pemerintah dalam menanggulangi WBC? Pada tahun 2010 pemerintah Kabupaten Klaten bersama dengan Dinas Pertanian Propinsi melakukan upaya dalam menanggulangi WBC. Upaya yang dilakukan pemerintah diawali dengan membangun pos komando di 4 kecamatan di Kabupaten Klaten salah satunya berada di Kecamatan Polanharjo.
Pos komando tersebut dijadikan tempat untuk menyalurkan
bantuan kepada petani di Klaten. Bantuan berasal langsung dari dinas Pertanian Propinsi Jawa tengah melalui koordinasi dengan Laboratorium OPT Palur, Surakarta. Bantuan yang diberikan pemerintah berupa pestisida, hand dryer dan mist blower yang diberikan untuk setiap desa di kecamatan di kabupaten Klaten. Selain itu, petugas pertanian yang bertugas dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) setiap hari memantau kondisi di setiap kecamatan yang ada di kabupaten Klaten. Penyemprotan massal juga sudah dilakukan sejak itu sebagai upaya ekstra untuk menanggulangi WBC. Berbagai macam perusahaan pestisida juga turut berperan melalui bantuan demonstrasi plot sebagai penentu pestisida mana yang tahan terhadap WBC.
Universitas Indonesia Penerapan program..., Runy Setiyati Rahayu, FISIP-UI, 2012
8
Terkait dengan kebijakan Presiden RI Inpres 5/2011 mengenai kebijakan pengamanan produksi beras nasional dalam mengahadapi kondisi iklim ekstrem, pemerintah berupaya untuk menanggulangi wabah WBC secara lebih terkoordinasi. Untuk itu dilaksanakanlah lokakarya penanggulangan hama WBC itu di Palur, Surakarta pada tgl . 30 Maret 2011 di antara tujuh (7)4 kabupaten dalam lingkup wilayah pengamatan di bawah koordinasi Laboratorium Pengamatan Organisma Pengganggu Tanaman Wilayah Surakarta. Kabupaten Klaten masuk diantara 7 kabupaten itu. Lokakarya tersebut ditujukan mengenai kesepakatan bagi masing-masing kabupaten untuk sejumlah tindakan pengendalian beserta besaran subsidi yang diajukan pada pemerintah di tingkat provinsi atau di pusat pemerintahan. Setiap kabupaten diberikan template pengisisian data. Template pengisian data itu untuk mengetahui berapakah luas serangan WBC dan virus yang akan terjadi, dan ditujukan untuk mengetahui besaran jumlah subsidi benih, pestisida, pupuk dan dana kompensasi yang akan diajukan ke pemerintah pusat. Template itu disiapkan oleh Balai Benih Organisme Pengganggu Tanaman (BBOPT) Jatissari, Karawang (pusat), dan setiap petugas dari masingmasing Dinas/Kabupaten diminta mengisinya berdasarkan data serangan POPT di wilayahnya. Setiap POPT melalui koordinatornya dapat mengajukan permohonan bantuan pestisida untuk kebutuhan pengendalian di wilayah kabupatennya. Berdasarkan perhitungan data dengan formula yang sudah disiapkan oleh BBOPT Jatisari itulah masing-masing kabupaten diminta agar mengantisipasi ledakan populasi OPT di wilayahnya, terutama WBC dan virus demi mengamankan produksi padi. Penanaman varietas unggul tahan wereng yang mutakhir—Inpari 13—merupakan salah satu bulir yang diajukan di RTL. Pada presentasi di lokakarya, Dinas Pertanian Klaten sebenarnya berencana menanam varietas ini pada bulan September/Oktober 2011. Setiap kecamatan direncanakan akan menerima bantuan benih ini dengan besaran tertentu. Namun, Gubernur Jawa Tengah secara mengejutkan mengambil alih program tanam Inpari 13 tersebut dan memimpin langsung pengamanannya terhadap WBC sampai panen. Bantuan benih ini khusus diberikan gubernur pada petani di Kecamatan Polanharjo (tidak ada kecamatan lain di Jateng yang memperoleh bantuan yang sama), karena lokasi kelahirannya di salah satu desa di Kecamatan Polanharjo. Padi jenis baru ini ditanam di Polanharjo seluas 804 Ha, dengan jumlah benih bantuan sebanyak 20.100 Kg Mengomunikasikan dan Melaksanakan Kebijakan Program Inpari 13 : Kontestasi dalam Mencapaiu Konsensus 4
Kabupaten Boyolali, Sukoharjo,Karanganyar,Wonogiri, Sragen , Klaten, dan Solo Universitas Indonesia Penerapan program..., Runy Setiyati Rahayu, FISIP-UI, 2012
9
Pada pelaksanaan program pemerintah yang “top-down”, pemerintah sebagai aktor dapat dipandang sebagai agen yang memliki kemampuan untuk membuat, menolak, memperluas, atau mengikat dalam mempraktikan kekuasaannya (Ortner, 2006). Pemerintah memiliki kapasitas untuk mengambil keputusan dan melakukan kontrol yang lebih tinggi dibandingkan aktor lain dalam jajaran struktural yang lebih rendah. Ortner (2006:5) memeperjelas maksud tersebut dengan menjelaskan bahwa “that systems of control can never work perfectly, because those being controlled have both agency and understanding and thus can always find ways to evade or resist”. Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Scott (1990) bahwa orang-orang yang didominasi memahami dengan baik apa yang sedang terjadi, dan bahkan memiliki tradisi tersembunyi terhadap kritik dan perlawanan. Jika mereka tidak aktif menolak, itu hanya karena mereka ditahan oleh politik belaka dan kekuatan ekonomi dari kelompok dominasi. Dalam proses pengambilan keputusan, setiap agen yakni pemerintah, gubernur, jajaran dinas provinsi, camat, kepala desa, dan kelompok tani memiliki kapasitas yang berbeda untuk menentukan setiap keputusannya. Parker (2003:110) menyatakan, “As the subjective agents of the action(s) in question, their motives for choosing to do what they do have explanatory power.” Melalui pelaksanaan Program Inpari 13 ini, dapat dikaji cara agenagen sosial, dari Gubernur hingga petani, memainkan perannya dalam upaya mewujudkan tujuan sesuai dengan apa yang dinegosiasikan dan dikonstruksikan. Dalam upaya keseragaman yang dilakukan pemerintah, tanggapan petani melalui pemimpin formalnya bervariasi. Tedapat beberapa desa yang menolak untuk mengikuti program penanaman Inpari 13 secara serempak. Dengan pola tanam di Polanharjo yang sudah tidak teratur, yakni tidak adanya keserempakan tanam, 4 desa dari 18 desa di Kecamatan Polanharjo menolak untuk ikut ke dalam Program Inpari 13. Desa-desa itu adalah Desa Kapungan, Borongan, Kepabron, dan Kebonharjo (lihat peta 3.3). Proses negosiasi pun berjalan cukup lama karena petani menghendaki adanya ganti rugi pada saat perombakan lahan sawahnya. Program Inpari 13 memberlakukan sistem blocking, yakni minimal 15—20 hektare lahan yang harus ditanami. Menurut Camat Polanharjo, apabila dalam satu hamparan seluas 15 hektare tidak terdapat Inpari 13 , penanaman serempak dikatakan gagal. Ketika dalam satu blok sawah sudah ditanami varietas lain, pemiliknya harus bersedia merombak, jika tidak seluruh lahan di blok tersebut tidak akan diberikan subsidi varietas padi Inpari 13. Tujuan utama keserempakan itu adalah meminimalisasi persebaran hama WBC. Universitas Indonesia Penerapan program..., Runy Setiyati Rahayu, FISIP-UI, 2012
10
Untuk mencapai suatu konsensus dalam keragaman, Winarto dan Choesin (2001) mengemukakan pentingnya melihat tidak hanya proses yang menghasilkan variasi dan perubahan, tetapi juga usaha ke arah pencapaian konsensus atas apa yang dipahami tiap individu. Barth (1994) pun mengemukakan bahwa tugas utama antropolog pada masa kini adalah melakukan kajian tentang bagaimana, dalam kondisi bervariasinya budaya, orangorang mencapai dan mereproduksi suatu kesamaan konseptual dan premis-premis yang dimiliki bersama. Dengan melihat proses tindakan yang dilakukan agen-agen yang berperan dalam jalannya Program Inpari 13 ini, kita dapat melihat bagaimana suatu konsesus dari keragaman respon yang muncul dapat dicapai. Dalam kunci pengambilan keputusan,
Parker (2003:122)
mengatakan bahwa persyaratan untuk menentukan tindakan (action) dan menjadikannya sebuah perhitungan hampir tidak dapat diperdebatkan, terutama pada aktor yang sifatnya sangat kuat/powerful. Hal itu membentuk hasil yang berlangsung. Dalam hal ini, pemerintahlah yang memegang dan mengendalikan setiap keputusan dari tujuan yang ingin dicapai demi keberhasilan program.
Hasil Evaluasi dan Interpretasi Program Inpari 13 di Polanharjo Melalui evaluasi itulah terlihat cara mereka menginterpretasikan dan menjelaskan keberhasilan, kegagalan, atau kekurangefektifan strategi yang dilakukan oleh masing-masing pihak dan sesamanya hingga mereka tiba pada kesimpulan yang baru (Winarto, 2006). Suatu program mungkin berhasil apabila ditinjau dari prosesnya, tetapi gagal apabila ditinjau dari dampaknya, atau dapat terjadi sebaliknya (Akib dan Tarigan, 2008). Melalui hasil evaluasi itu, akan diamati cara individu petani menafsirkan kembali dan menanggapi peristiwa berdasarkan pengalaman mereka untuk kemudian menghasilkan tindakan selanjutnya beserta hasil yang akan mereka dapat dari tindakan tersebut (Winarto, 2004a). Evaluasi dan interpretasi dapat membantu petani untuk memperoleh gambaran seperti yang dikatakan Winarto (2006) hal-hal apakah yang muncul secara berulang dan hal-hal apakah yang merupakan hasil dari kreasi atau pengambilan keputusan pelaku yang baru. Dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan para agen yang berperan, bentuk kebebasan pengambilan keputusan yang sepenuhnya oleh petani dapat dijalankan pada program bersistem “top-down” adalah hal yang dipertanyakan. Kepercayaan dan pemahaman bersama yang dibangun melalui interaksi ulang antara pemegang kepentingan (yakni jajaran
Universitas Indonesia Penerapan program..., Runy Setiyati Rahayu, FISIP-UI, 2012
11
pemerintahan pusat hingga desa) akan memungkinkan pembelajaran sosial (Ostrom dalam Lebel, dkk., 2006: 5). Melalui kegiatan evaluasi, pemerintah provinsi Jawa Tengah pertama mengadakan pertemuan yang diadakan langsung oleh kunjungan Gubernur Jawa Tengah beserta Dirjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian RI yang dilaksanakan di Desa Ponggok, Kecamatan Polanharjo. Kedua, kegiatan survey lokasi panen perdana. Ketiga, setelah masa panen Inpari 13 Dinas Pertanian Provinsi mengadakan kegiatan monitoring persemaian benih baru. Di samping perihal penanaman benih padi Inpari 13 dan penyemprotan massal dalam program Inpari 13, manfaat yang lebih berkesan bagi petani ialah upaya keserempakan untuk menanam padi. Kepala Desa Polan pun ingin menerapkan kembali sistem penanaman serempak seperti yang telah dilaksanakan pada program Inpari 13 musim tanam kedua di thaun 2011, “Ini sudah mulai lagi, kita laksanakan tanam serempak lagi, sampai ke sana sudah tanaman padi lagi, sama lagi, ya, walaupun ada satu-dua yang lain, tetapi hampir 90% sama.” Ternyata proses pengupayaan keserempakan tersebut hanya sebatas diskursus tanpa adanya praktik yang nyata. Waktu penanaman dan jenis varietas padi yang akan ditanam dikembalikan kepada keputusan masing-masing petani. Argumen ini sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Winarto (2004: 15) bahwa, “..They are experimenters and innovators who are actively strategising and continously processing, assessing and combining information-including information from external sources- to meet their needs and existing conditions. Since individual resources, production strategies, and experiences vary, there is evidence of intracommunity variation in response to outside intervention.” Program Inpari 13 ini hanya suatu bentuk intervensi dengan tidak disertainya institusi untuk mengubah kebiasaan. Mengikuti apa yang dikatakan oleh Bourdieu (1990) tentang habitus, Strauss dan Quinn (1997:122) melihat bahwa selama individu-individu mengalami kejadiankejadian yang mengikuti pola-pola yang kurang lebih sama, maka mereka akan belajar untuk membentuk skema-skema yang sama dalam menginterpretasi situasi-situasi yang mereka hadapi. Argumen ini sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Winarto dan Choesin (2001) bahwa skema-skema tertentu bertahan karena ‘berhasil’ membantu individu untuk memahami dengan baik sebuah situasi, atau memungkin-kannya mengatasi suatu masalah. ‘Keberhasilan’ ini juga menyangkut perolehan dukungan sosial yang positif, dalam arti ada kesesuaian antara skema yang terbentuk (yang mungkin masih bersifat individual) dengan aturan-aturan yang memang sudah berlaku umum.
Universitas Indonesia Penerapan program..., Runy Setiyati Rahayu, FISIP-UI, 2012
12
Berbicara mengenai pentingnya suatu institusi, Ostrom (1992:19)
menjelaskan
bahwa, “..institution is simply the set of rules actually used (the working rules or rules-inuse) by a set of individuals to organize repetitive activities that produce outcomes affecting those individuals and potentially affecting others. “ Pengembangan institusi yang kuat memang memerlukan suatu upaya yang sungguh-sungguh berlandaskan pendekatan yang tepat. Terutama, dalam situasi amat beragamnya kondisi masyarakat, habitat, strategi pengelolaan sumberdaya alam oleh petani dengan intervensi ‘program-program pembangunan berorientasi produksi dalam basis ‘proyek’ seperti wujud dari program Inpari 13 itu. Dengan penguatan ‘institusi’, kemampuan untuk secara lebih konsisten menerapkan paradigma yang baru akan lebih mengemuka (Winarto dan Choesin , 2001).
Kesimpulan
Program Inpari 13 yang berlangsung di Kecamatan Polanharjo merupakan representasi program yang dilakukan secara “top-down” dengan perencanaan dan pengambilan keputusan dari pihak pemerintah tanpa melibatkan peran serta masyarakat. Peran pemerintah mendominasi kegiatan praktik pertanian selama satu musim tanam Inpari 13 di Polanharjo. Dalam menjalankan misinya itu pemerintah berkolaborasi dengan perusahaan. Melalui Program Inpari 13 yang hegemonik itu petani tidak mempunyai peran atau kehilangan peran sehingga tidak bisa menyuarakan kepentingannya. Berbagai macam polemik hadir pada saat proses implementasi program ini. Berbagai kepentingan yang bersinggungan anatara petani, pemerintah dan pengusaha pestisida untuk meraih keuntungan dari budi daya tanaman padi semakin membuat situasi pertanian semakin kompleks (Winarto dkk 2012b). Dari sisi kepentingan, petani dan pemerintah punya kepentingan yang sama yakni keberhasilan panen. Selain keberhasilan panen, tentunya pemerintah memilki tujuan untuk mewujudkan keserempakan tanam di antara petani dalam kasus ini di Jawa Tengah, sehingga penanggulangan WBC dapat berjalan dengan mudah dan ketahanan pangan pun akan terus berlangsung. Dari sisi pengusaha, perolehan keuntungan menjadi kepentingan yang utama yang jelas berbeda wujudnya dengan petani dan pemerintah. Pada program yang menerapkan pendekatan secara “top-down” dan diturunkan hanya pada tingkat kecamatan ini ternyata muncul keragaman pada tingkat desa. Keragaman itu ialah a) desa yang menolak dan b) desa yang menolak lalu menerima. Pada desa yang Universitas Indonesia Penerapan program..., Runy Setiyati Rahayu, FISIP-UI, 2012
13
menolak, banyak yang telah menanami padi terlebih dahulu sebelum datangnya Program Inpari13 itu. Menurut petani, program itu dicentuskan dengan sangat mendadak. Petani yang sudah menanam padi pun tidak mau merombak lahannya dengan alasan biaya. Pemerintah tidak bersedia untuk menggantikan biaya yang telah dikeluarkan petani. Dalam budi daya tanaman padi di Polanharjo sangat unik, tidak sama dengan lokasi lain seperti di Indramayu Jawa Barat (lihat Winarto, 2011b). Keragaman muncul sebab ketidakserempakan pola tanam yang telah terjadi pada tiap individu petani di Polanharjo. Selain itu, tidak semua petani adalah petani “pemilik lahan” yang dapat mengambil keputusan. Petani di Polanharjo memiliki karakteristik yang sangat individual, sekalipun mereka ialah petani penggarap. Sehingga kebijakan pemerintah secara “top-down” sulit diterapkan saat itu. Petani di Polanharjo tetap memperlihatkan karakteristiknya sebagai masyarakat Jawa yang individual, kreatif, dan mandiri dalam mengambil keputusan (lihat White 1976:280). Kondisi yang bervariasi akhirnya mengharuskan pemerintah untuk bernegosiasi di antara keragaman yang hadir pada setiap individu petani dalam tingkat desa. Peran seorang pemimpin wilayah yakni camat, kepala desa, dan gapoktan mewarnai hasil konsensus di antara mereka. Keputusan tidak berada sepenuhnya di tangan kepala desa, peran gapoktan dan kelompok tani turut andil dalam mengambil keputusan. Mereka semua memiliki kemampuan untuk mengambil tindakan yang cepat dan tegas pada petaninya. Kesepakatan di tingkat desa dapat dicapai melalui strategi yang dilakukan oleh kepala desa melalui tindakan tegas terkadang “mengancam” melalui adanya sanksi-sanksi yang diberlakukan kepada petani agar mereka tetap kepada keputusan yang diinstruksikan oleh Gubernur maupun kepala wilayah yakni camat. Strategi yang dilakukan sesuai mencerminkan karakteristik kepemimpinan orang Jawa yakni melalui sanksi-sanksi yang bersifat menegaskan terkadang memberatkan sehingga petani segan untuk menolak. Kesepakatan dan keputusan di tingkat kelompok dapat berjalan ketika petani merasa yakni atas apa yang diinterpretasikan dan disampaiakan oleh pemimpin formalnya. Hasil evaluasi dan interpretasi yang dilakukan oleh petani terhadap keberhasilan program Inpari 13 hanyalah sebatas diskursus tanpa adanya praktik yang berkelanjutan. Petani menyadari sisi positif dari program Inpari 13 mengenai keserempakan pola tanam, namun mereka akhirnya kembali kepada keputusannya masing-masing. Sudah cukup jelas bahwa Program Inpari 13 ini hanya suatu bentuk intervensi pemerintah dengan tidak disertainya pranata sosial untuk mengubah kebiasaan petani. Kekolektifan untuk menyeragamkan kembali petani tidak dibangun oleh pemerintah. Universitas Indonesia Penerapan program..., Runy Setiyati Rahayu, FISIP-UI, 2012
14
DAFTAR PUSTAKA Ahearn 2001
Language and Agency. Annual Review of Anthropology; Vol.30 (2001).Hlm.109-137.Dikases dari http://www.jstor.org/stable/3069211 pada tanggal 15 September 2012
Anderson, B 1984 “Kepemimpinan dan Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa” dalam Miriam Budiardjo Aneka Pemikiran dan Kuasa dan Wibawa. Jakarta. Sinar Harapan. Hlm 44-127. Akib,H., dan A. Tarigan 2008 Artikulasi Konsep Implementasi Kebijakan: Perspektif, Model dan Kriteria Pengukurannya. Diakses dari rudisalam.files.wordpress.com/.../artikulasikonsep-implementasi pada tanggal 20 November 2012 Baehaki 2011 RTL (RTL = Action Plan Continous) Pengendalian Wereng Coklat. Bahan Presentasi dalam Workshop: “Pengendalian WBC” di Tegal Gondo, Sukoharjo, Jawa Tengah, 30 Maret 2011 Ballard, C., dan G. Banks 2003 Resource wars: The anthropology of mining : Annual Review of Anthropology; 2003; 32, ProQuest Sociology pg. 287 Barth, F. 1994
‘A Personal View of Present Tasks and Priorities in Cultural and Social Anthropology’, dalam R. Borofsky (peny.) Assessing Cultural Anthropology. New York: McGraw-Hill. Hlm. 349–361.
Bennett, J. W. 1980 “Human Ecology as Human Behavior: A Normative Anthropology of Resource Use and Abuse”, dalam Altman, I., et al, eds. Human Behavior and Environment. Advances in Theory and Research. New York: Plenum Press. Hlm. 243—278. Bottrell, D. G., dan K. G. Schoenly 2011 “Resurrecting the Ghost of Green Evolution Past: The Brown Planthopper as a Recurring Threat to High-Yielding Rice Production in Tropical Asia.” Journal of Asia-Pasific Entomology 15 (2012):122—140. Universitas Indonesia Penerapan program..., Runy Setiyati Rahayu, FISIP-UI, 2012
15
Bourdieu, P. 1990 The Logic of Practice. Cambridge: Polity. Dove,R.M., E. S. Percy., D.A. Amity(Peny) 2011 “Beyond the Sacred Forest.” Durham and London: Duke University Press. Hlm. 276—301. Fox, J. J. 2012
The Brown Planthopper Infestation in Indonesia: A Summary of the Present Situation, dalam Work-in-progress Seminar: “Responses to Pest/Disease Outbreaks in 2010―2011: Reducing or Increasing Threats to Rice Production?” di Depok, Jawa Barat, 1 Maret 2012.
Benjamin White 1969 Agrarian Transformation: Local Processes and The State in Southeast Asia. California: University of California Press. Hlm. 303―331. Husken, F. dan B. White 1989 “Java: Social Differentation, Food Production, and Agrarian Control” dalam Hart, Gillian, Andrew Turton, dan Benjamin White Agrarian Transformation: Local Processes and The State in Southeast Asia. California: University of California Press. Hlm. 235―265. Kinasih,A.M. 2012 Respons dan Strategi Petani dalam Menghadapi Kegagalan Panen akibat Ledakan Wereng Batang Coklat di Desa Sribit, Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten. . Tidak diterbitkan. Depok: Departemen Antropologi FISIP Universitas Indonesia. Lebel, L., J. M. Anderies, B. Campbell, C. Folke, S. Hatfield-Dodds, T. P. Hughes. dan J. Wilson. 2006 Governance and the capacity to manage resilience in regional socialecological systems. Ecology and Society 11(1): 19 . diakses dari http://www.ecologyandsociety.org/vol11/iss1/art19/ pada tanggal 29 April 2012 Manning, C. 1988 The Green Revolution, Employment, and Economic Change in Rural Java: A Reassessment of Trends under the New Order. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Mulder, N. 2001
Mistisme Jawa: Ideologi Indonesia. PT LKIS Pelangi Aksara. Yogyakarta
Ortner, S. B. 1984 Theory in Anthropology Since the Sixties. Comparative Studies in Society and History 26:126—166. Universitas Indonesia Penerapan program..., Runy Setiyati Rahayu, FISIP-UI, 2012
16
2006
Ostrom, E. 1992 2002
Anthropology and Social Theory: Culture, Power, and the Acting Subject. Durham and London: Duke University Press.
Crafting Institutions for Self-governing Irrigation Systems. San Francisco: Institute for Contemporary Studies Press. “Collective Action and Property Rights: Understanding Collective Action”. Dalam R Meinzendick dan M D Gregorio (Peny). Collective Action and Property Rights for Sustainable Development. Washington DC:International Food Policy Reasearch Institute Focus II Brief 2. Diakses dari http://www.capri.cgiar.org pada tanggal 20 Oktober 2012
Parker, J., L. Mars., P.Ransome., H.Stanworth. 2003 Social Theory: A Basic Tool Kit. New York: Palgrave Macmillan Scott, C. J. 1998 1990
Seeing Like a State : How Certain Schemes to Improve The Human Condition Have Failed. Yale University. Domination and The Art of Resistance. Yale University
Sudhiastiningsih, N.N 2012 Diversitas Respons Petani terhadap Program Inpari 13 di Desa Kahuman, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten. Tidak diterbitkan. Depok: Departemen Antropologi FISIP Universitas Indonesia. Sulistiyanto, Priyambudi dan Maribeth 2005 “Introduction: Entangled Politics in Post-Suharto Indonesia” dalam Maribeth, Priyambudi Sulistiyanto, dan Carole Faucher Regionalism in Post-Suharto Indonesia. New York: RoutledgeCurzon. Hlm. 1―18. Suprihatno, B., A. A. Daradjat, Baehaki, Suprihanto, A. Setyono, S. D. Indrasari., I Putu Wardana, H. Sembiring. 2010 Deskripsi Varietas Padi. Subang: Balai Benih Penelitian Tanaman Padi. Sosialismanto,Duta 2001 State, Politics, and Rural Develompent in Java, Indonesia. Lapera Pustaka Utama. Universitas Michigan. Stigter, C. (Kees) J. 2012 Unusual Climate Conditions of 2010/11 and Pest/Disease Outbreaks dalam Work-in-progress Seminar: “Agrometeorological Learning Farmers Responses to the Unusual Climate Conditions of 2010—2011 and Pest/Disease Outbreaks” di Depok, Jawa Barat, 3 Februari 2012. Vayda, A. P. 1994 “Actions, Variations, and Change: The Emerging Anti-Essentialist View in Anthropology” dalam R. Borofsky (peny.) Assessing Universitas Indonesia Penerapan program..., Runy Setiyati Rahayu, FISIP-UI, 2012
17
Cultural Anthropology. New York: McGraw-Hill. Hlm. 320— 330. 2009 Explaining Human Actions and Environmental Changes. Lanham: AltaMira Press. Wajiran 2012
White, B. 1976
Konsep Hegemoni dalam Kebudayaan Modern. Diakses dari http://sosbud.kompasiana.com/2012/08/09/konsep-hegemoni-dalamkebudayaan-modern-484725.html pada tanggal 15 Oktober 2012
:
Population, Involution, and Employment in Rural Java. Development and Change 7:267—290.
Winarto, Y. T. “Hama dan Musuh Alami,” “Obat dan Racun”: Dinamika Pengetahuan Petani Padi dalam Pengendalian Hama.” Antropologi Indonesia 22 (55):53―68. 2004a Seed Of Knowldege: The Beginning Of Integrated Pest Management In Java. Yale University Press. 2004b “The Evolutionary Changes in Rice-crop Farming: Integrated Pest Management in Indonesia, Cambodia, and Vietnam.” Southeast Asian Studies 42 (3): 241―272. 2005 “Striving for Self-Governance and Democracy: The Continuing Struggle of The integrated Pest Management Farmers”. Dalam maribeth, Priyambudi Sulistiyanto, dan Carole Faucher. Regionalism in Post-Suharto Indonesia. New York: RoutledgeCurzon. Hlm. 205-223. 2006 “Pendekatan Prosesual: Menjawab Tantangan dalam Mengaji Dinamika Budaya.” Antropologi Indonesia 30 (2): 174―184. 2011a State and Corporate in Collaboration, farmers in Jeopardy? dalam Work-inprogress Seminar: “Responses to Pest/Disease Outbreaks in 2010―2011: Reducing or Increasing Threats to Rice Production?” di Depok, Jawa Barat, 1 Maret 2012. 2011b Sang Petani-Ilmuwan, Sang Ilmuwan-Pro-Petani: Penyangga Ketangguhan dan Kedaulatan Pangan dalam Francis Wahono, Dwi Astuti, dan Sabiq Carebesth. “Ekonomi Politik Pangan, kembali Ke Basis: Dari Ketergantungan Ke Kedaulatan.” Jakarta: Bina Desa bekerja sama dengan Cindebooks. Hlm. 239—279. 2011c “Weaving the Diverse „Seeds‟ of Knowledge.” The Asia Pasific Journal of Anthropology 12 (3): 274—287. 1998
Winarto,Y.T., B. Dwisatrio., M. Nugraha., N.Kinanti., N.N. Sudiastiningsih., M.A. Kinasih. 2012a Komando Terkendali: Memulihkan Produksi, Meningkatkan Proteksi? dalam artikel Balitbang. Belum diterbitkan 2012b Sawah Bermandikan dan Beriklan Pestisida: Keterpurukan dan Keberuntungan dalam Kepanikan?dalam artikel Balitbang. Belum diterbitkan Winarto, Y. T. dan Choesin, E. M. Universitas Indonesia Penerapan program..., Runy Setiyati Rahayu, FISIP-UI, 2012
18
2001
“Pengayaan Pengetahuan Lokal, Pembangunan Pranata Sosial: Pengelolaan Sumberdaya Alam dalam Kemitraan.” Antropologi Indonesia 64: 91—106.
Winarto, Y.T.,J.J. Fox., B. Dwisatrio., M.Nugraha., N.Kinanti. 2011d Planthopper virus problems in Klaten, Boyolali and Sukoharjo, Indonesia. http://ricehoppers.net/2011/08/planthopper-virus-problems-in-klaten-boyolaliand-sukoharjo-indonesia/ Referensi lain Antara News 2011 diakses pemprovjateng.com/detail.php?id=1272
dari
http://www.promojateng-
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi 2010 diakses dari http://www.litbang.deptan.go.id Laboratorium POPT Surakarta 2010 Leaflet Pengendalian WBC. Tim Riset Kolaborasi Internasional UI 2011 Adaptation Options of Farmers to a Changing Climate Instruksi Presiden 5/2011 tentang Pengamanan Produksi Beras Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Suara Merdeka 10 April 2011. Diakses dari: suaramerdeka.com tanggal 26 Juni 2012 Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi daya Tanaman. Wereng Batang Coklat. Diakses dari: ricehoppers.net.
Universitas Indonesia Penerapan program..., Runy Setiyati Rahayu, FISIP-UI, 2012