Jejaring Administrasi Publik. Th IV. Nomor 1, Januari-Juni 2012
Penerapan Prinsip Community Based Tourism (CBT) Dalam Pengembangan Agrowisata Di Kota Batu, Jawa Timur Sri Endah Nurhidayati Mahasiswa Program Doktor, Universitas Gadjah Mada,
Chafid Fandeli Dosen Program Studi Kajian Pariwisata Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Abstract Community Based Tourism (CBT) has emerged as an alternative to the mainstream (mainstream) tourism development. This paper wants to analyze the application of CBT principles in the development of agritourism in Batu City. Application of economic principles of CBT produces the majority of business tourism sector to absorb the local workforce and community income derived from tourist spending (tourist expenditure). Application of social principles of CBT in agrotourism development increase positive perceptions of individuals about the development of agritourism, increasing community pride, the strength of social capital produces changes in the community. Application of the principle of culture of CBT in agritourism development further strengthen the local culture. Interactions that arise between tourists and generate community exchange of cultural elements in the community and tourists. Application of political principles of CBT in the agrotourism development strengthen local organizational role in the mechanism controlling the management of tourism resources and puts the community as decision makers. Implementation of environmental principles of CBT has produced models of the determination of the carrying capacity by locally. Keywords: Community Based Tourism (CBT), Agritourism, CBT principles
Pendahuluan Prospek pariwisata ke depan menurut World Tourism Organizatian (WTO) sangat menjanjikan. Pertumbuhan wisatawan internasional ( inbound tourism ) pada tahun 2011 mencapai 4,4% atau sebanyak 980 juta orang. Pada tahun 2020 diperkirakan wisatawan internasional mencapai 1,602 milyar orang dan menghasilkan pendapatan dunia sebesar USD 2 triliun Dewasa ini pariwisata merupakan lima besar komuditas export utama di 83% negara WTO, penyumbang 37% komuditas perdagangan internasional, sebagai sumber utama devisa di 38% negara, berperan sebagai penyumbang 10-12 % GDP, serta mampu menyerap sebesar 7-8 %. (WTO, 2011). Dengan demikian industri pariwisata berkontribusi cukup signifikan terhadap perekonomian global dan berpotensi untuk dikembangkan seluru dunia (Sirakaya dan Choi, 2001). Pengembangan pariwisata dewasa ini dianggap sebagai industry yang
36
berkembang pesat dan menjadi kekuatan social dan ekonomi baru di dunia (McIntosh et. al, 1995:4). Sektor pariwisata sangat diharapkan banyak negara berkembang sebagai sumber invisible export (eksport yang tidak tampak) untuk meraih devisa. Oleh karena itu mereka menetapkan pariwisata sebagai sektor yang menjadi prioritas dalam kebijakan pembangunan (ESCAP, 1996: 9). Dewasa ini banyak studi menjelaskan secara signifikan betapa pariwisata dapat menjadi cara ampuh untuk pengembangan perekonomian khususnya di negara berkembang termasuk tentang pariwisata banyak menempatkan pariwisata secara signifikan sebagai penyeimbang neraca pembayaran/sumber devisa, menciptakan lapangan pekerjaan, sumber investasi, menciptakan ekonomi eksternal dan efek berganda dari belanja wisata (Archer, 1982; Fletcher,1989; Mathieson and Wall, 1990; Dwyer and Forsyth, 1993; Cheung, 2001 Nicolau and Mas, 2005). Industri pariwisata
Jejaring Administrasi Publik. Th IV. Nomor 1, Januari-Juni 2012
sering dianggap sebagai media pembangunan ekonomi yang tidak memerlukan investasi terlalu besar (Antariksa, 2012:2). Meskipun pariwisata dianggap berkontribusi secara signifikan secara ekonomi namun, hasil penelitian the United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UNESCAP, 2003) menunjukkan bahwa sebagian keuntungan yang dihasilkan dari sektor pariwisata internasional akan kembali ke negara asal wisatawan. Menurut World Bank (1996) tingkat kebocoran (leakage) negara yang sedang berkembang pada industri pariwisata rata-rata sebesar 55%, bahkan kebocoran devisa di Thailand mencapai 60% dan terendah India sebesar 40%. Hasil penelitian United Nations Environmental Program (UNEP) pada tahun 2001 menunjukkan bahwa ada peningkatan angka kebocoran (leakage) sektor pariwisata mencapai angka 70% di Thailand dan 80% di wilayah Kepulauan Karibia (Roe, at. all, 2004). Di Indonesia Kodhyat (2003) diperkirakan pariwisata Indonesia menciptakan leakage antara 50% hingga 80%. Kebocoran devisa (leakage) dapat terjadi karena investasi asing di bidang perhotelan dan sektor lainnya di industri pariwisata, management fees, franchise fees, bantuan tehnologi, barang impor dan biaya promosi ke seluruh dunia (Mathieson and Wall, 1990; Holden, 2008). Dengan adanya kebocoran devisa peran pariwisata sebagai pasport menuju pembangunan dianggap gagal (De Kadt, 1979). Wacana tentang kegagalan pariwisata manimbulkan perdebatan mengenai paradigma pembangunan pariwisata yang berkembang dewasa ini yang dianggap kurang menguntungkan komunitas setempat. Pengembangan pariwisata yang baik harus memberikan keuntungan ekonomi, social dan budaya kepada komunitas di sekitar destinasi. Kemudian lahirlah pemikiran untuk mengembangkan pariwisata yang lebih berpihak pada masyarakat yang kemudian dikenal dengan istilah Community Based Tourism (CBT) atau pariwisata berbasis komunitas. Sebutan lain CBT adalah community tourism sebagai kependekan dari community based tourism. Melalui pengembangan CBT diharapkan industri pariwista dapat menjadi instrumen pembangunan yang lebih menyejahterakan
masyarakat. Secara global CBT tidak sekedar pengembangan pariwisata melainkan juga dikembangkan sebagai bagian dari program penanggulangan masalah kemiskinan di Afrika Selatan, Thailand, Dominika, Karibia, Jamaika dan Barbados. Di Indonesia CBT diterapkan antara lain dalam pengembangan obyek agrowisata. Agrowisata merupakan bentuk obyek dan daya tarik wisata yang tidak hanya bisa diusahakan dalam skala besar tetapi juga skala kecil sehingga memungkinkan untuk dikembangkan hampir di setiap wilayah Indonesia sesuai dengan spesifikasi dan keunikan produk petanian setempat. Agrowisata merupakan usaha jasa pariwisata sekaligus media promosi, ajang pendidikan, diversifikasi produk agribisnis dan pasar berbagai produk lokal sehingga bisa menumbuhkan peluang kerja dan peluang usaha bagi masyarakat lokal. Masyarakat menduduki posisi sebagai bagian integral yang ikut berperan baik sebagai subyek maupun obyek. Masyarakat merupakan pelaku langsung kegiatan agrowisata yang memiliki pengalaman turun temurun dalam hal pengelolaan sumber daya alam dan budaya sehingga memiliki komitmen yang kuat untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan karena menyangkut kepentingan hidup mereka. Masyarakat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari atraksi agrowisata sehingga pengembangan agrowisata tidak bisa dilakukan tanpa melibatkan masyarakat. Pariwisata berbasis masyarakat memiliki berbagai kelebihan baik dari aspek pengembangan masyarakat maupun industri pariwisata. Namun keberhasilan penerapan CBT sangat tergantung karakteristik dan kondisi masyarakat/komunitas di destinasi wisata sehingga model pelaksanaan CBT di wilayah satu dengan lainnya berbeda. Community Based Tourism (CBT) muncul sebagai sebuah alternatif dari arus utama (mainstream) pengembangan pariwisata. Nicole Hausler (2005) dalam Tourism Forum International mendefinisikan CBT sebagai bentuk pariwisata yang memberikan kesempatan kepada masyarakat lokal untuk mengontrol dan terlibat dalam manajemen dan pengembangan pariwisata. Menurut Hausler (2005:1) terdapat tiga unsur penting CBT yaitu keterlibatan masyarakat lokal dalam
37
Jejaring Administrasi Publik. Th IV. Nomor 1, Januari-Juni 2012
managemen dan pengembangan pariwisata, pemerataan akses ekonomi bagi seluruh lapisan masyarakat serta pemberdayaan politik (capacity building) masyarakat lokal yang bertujuan meletakkan masyarakat lokal sebagai pengambil keputusan. Anstrand (2006) mendefinisikan Community Based Tourism (CBT) sebagai pariwisata yang memperhitungkan dan menempatkan keberlanjutan lingkungan, sosial dan budaya, diatur dan dimiliki oleh komunitas, untuk komunitas. Anstrand (2006:14) mencoba melihat CBT bukan dari aspek ekonomi terlebih dahulu melainkan aspek pengembangan kapasitas komunitas dan lingkungan, sementara aspek ekonomi menjadi ‘induced impact’ dari aspek sosial, budaya dan lingkungan. Suansri (2003:14) menguatkan definisi CBT sebagai pariwisata yang memperhitungkan aspek keberlanjutan lingkungan, sosial dan budaya dalam komunitas. CBT merupakan alat bagi pembangunan komunitas dan konservasi lingkungan. Pantin dan Francis (2005:2) menyusun definisi CBT sebagai integrasi dan kolaborasi antara pendekatan dan alat (tool) untuk pemberdayaan ekonomi komunitas, melalui assessment, pengembangan dan pemasaran sumber daya alam dan sumber daya budaya komunitas. Demartoto dan Sugiarti (2009:19) mendefinisikan CBT sebagai pembangunan pariwisata dari masyarakat oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Sedangkan menurut penulis konsep pengembangan CBT adalah pengembangan pariwisata yang mensyaratkan adanya akses, partisipasi, control dan manfaat bagi komunitas dalam aspek ekonomi, social, budaya, politik dan lingkungan. Prinsip dasar CBT menurut UNEP dan WTO (2005) sebagai berikut. (1) mengakui, mendukung dan mengembangkan kepemilikan komunitas dalam industri pariwisata ; (2) mengikutsertakan anggota komunitas dalam memulai setiap aspek; (3) mengembangkan kebanggaan komunitas; (4) mengembangkan kualitas hidup komunitas; (5) menjamin keberlanjutan lingkungan; (6) mempertahankan keunikan karakter dan budaya di area lokal ; (7) membantu berkembangnya pembelajaran tentang pertukaran budaya pada komunitas; (8)
38
menghargai perbedaan budaya dan martabat manusia; (9) mendistribusikan keuntungan secara adil kepada anggota komunitas ; dan (10) berperan dalam menentukan prosentase pendapatan (pendistribusian pendapatan) dalam proyek-proyek yang ada di komunitas. Prinsip-prinsip CBT dari UNEP dan WTO dapat dikategorikan dalam prinsip sosial (poin 2,3,4) yang berkaitan dengan kualitas internal komunitas, prinsip ekonomi (poin 1,9) yang berkaitan dengan kepemilikan usaha pariwisata dan pendistribusian keuntungan/pendapatan kepada anggota komunitas, prinsip budaya (poin 6,7,8,) yang berkaitan dengan upaya mempertahankan dan toleransi budaya melalui kegiatan pariwisata, prinsip lingkungan (poin 5) berkaitan dengan terjaganya kualitas lingkungan dan kegiatan pariwisata dan prinsip politik (poin 10) yang berkaitan dengan kekuasaan untuk ikut menentukan prosentase pendapatan (pendistribusian pendapatan) . Sementara itu menurut Hatton (1999: 2) prinsip CBT dapat dikategorikan menjadi 4 yaitu sosial, ekonomi, budaya dan politik. Prinsip sosial menurut Hatton berkaitan otorisasi kepada komunitas untuk memberi ijin, mendukung, membangun dan mengoperasikan kegiatan wisata yang ada di wilayahnya. Prinsip ekonomi berkaitan dengan sistem pembagian keuntungan yang timbul dari pengembangan industry pariwisata. Berkaitan dengan prinsip ekonomi Hatton menterjemahkan dalam 3 bentuk yaitu (1) joint venture dalam usaha pariwisata dimana dari keuntungan yang diperoleh wajib menyisihkan keuntungan bagi komunitas (berupa CSR atau dana bagi hasil); (2) asosiasi yang dibentuk komunitas untuk mengelola kegiatan wisata dimana keuntungannya juga dibagikan kepada komunitas; (3) usaha kecil/menengah yang merekrut tenaga kerja dari kumunitas. Hatton tidak merekomendasikan usaha individu dalam CBT karena dikhawatirkan keuntungan kegiatan pariwisata hanya dirasakan oleh anggota komunitas yang terlibat sedangkan yang tidak terlibat dalam usaha/kegiatan pariwisata tidak mendapat keuntungan. Prinsip budaya mensyaratkan adanya upaya menghargai budaya lokal, heritage dan tradisi dalam kegiatan pariwisata. CBT harus dapat
Jejaring Administrasi Publik. Th IV. Nomor 1, Januari-Juni 2012
memperkuat dan melestarikan budaya lokal, heritage dan tradisi komunitas. Sedangkan prinsip politik berkaitan dengan peran pemerintah lokal dan regional diantaranya dalam membuat kebijakan sehingga prinsip sosial ekonomi, budaya dan dapat terlaksana. Nederland Development Organisation (SNV) mengemukakan 4 prinsip CBT yaitu (1) ekonomi yang berkelanjutan, (2) keberlanjutan ekologi, (3) kelembagaan yang bersatu, (4) keadilan pada distribusi biaya dan keuntungan pada seluruh komunitas (www.caribro.com). Dengan mengadopsi definisi tersebut SNV menetapkan 4 prinsip dasar CBT yaitu berkaitan dengan keberlanjutan ekonomi, ekologi, penguatan kelembagaan dan pembagian keuntungan yang adil bagi semua anggota komunitas. Prinsip keberlanjutan ekonomi berkaitan dengan adanya jaminan bahwa CBT mampu menciptakan mekanisme yang dapat menjaga perekonomian tetap sehat dan berkesinambungan sehingga pariwisata dapat diandalkan untuk meningkatkan pendapatan/kesejahteraan komunitas. Prinsip keberlanjutan ekologi berkaitan dengan upaya untuk menjaga agar kualitas lingkungan dapat dipertahankan. Penguatan kelembagaan salah satu prinsip penting karena kelembagaan adalah tool bagi seluruh anggota komunitas untuk mendapatkan akses untuk menjadi pemegang keputusan. Dengan mengacu pada prinsip dasar dari CBT dari UNEP dan WTO Suansri (2003:2122) mengembangkan 5 prinsip yang merupakan aspek utama dalam pengembangan Community Based Tourism /CBT di Thailand. Pertama, prinsip ekonomi dengan indikator timbulnya dana untuk pengembangan komunitas, terciptanya lapangan pekerjaan di sektor pariwisata dan timbulnya pendapatan masyarakat lokal. Kedua, prinsip sosial dengan indikator terdapat peningkatan kualitas hidup, adanya peningkatan kebanggaan komunitas, pembagian peran yang adil antara laki-laki perempuan, generasi muda dan tua dan terdapat mekanisme penguatan organisasi komunitas. Ketiga, prinsip budaya dengan indikator mendorong masyarakat untuk menghormati budaya yang berbeda, mendorong berkembangnya pertukaran budaya dan adanya budaya pembangunan yang melekat erat dalam budaya lokal. Keempat, prinsip
lingkungan dengan indikator pengembangan carryng capacity area, terdapat sistem pembuangan sampah yang ramah lingkungan dan adanya keperdulian tentang pentingnya konservasi. Kelima, prinsip politik dengan indikator terdapat upaya peningkatan partisipasi dari penduduk lokal, terdapat upaya untuk meningkatkan kekuasaan komunitas yang lebih luas dan terdapat makanisme yang menjamin hak-hak masyarakat lokal dalam pengelolaan SDA. Kelima prinsip tersebut menurut Suansri merupakan wujud terlaksananya pariwisata yang berkelanjutan. Prinsip CBT yang disampaikan Suansri memiliki spektrum yang cukup luas. Prinsip Dalam prinsip ekonomi misalnya Suansri tidak hanya membahas terciptanya lapangan kerja dan timbulnya pendapatan masyarakat namun juga memperlihatkan perlunya dana komunitas atau dana bersama yang dapat bermanfaat untuk seluruh komunitas baik yang berhubungan langsung dengan industry pariwisata atau tidak. Dalam prinsip ekonomi Suansri mengembangkan spectrum CBT tidak hanya terkait dengan anggota komunitas yang berkaitan langsung dalam industry pariwisata tetapi seluruh komunitas sebagai sebuah kesatuan. Dalam hal ini Suansri tidak hanya memikirkan kebutuhan praktis (jangka pendek) komunitas tetapi juya kebutuhan strategis (jangka panjang). Dalam prinsip social Suansri juga mempertimbangkan kebutuhan strategis komunitasa yaitu mencapai kualitas hidup yang lebih baik melalui pengembanggan pariwisata. Dalam kualitas hidup tercakup aspek pendidikan dan kesehatan sebagai investasi bagi kualitas komunitas ke depan. sementara untuk kebutuhan praktis Suansri melihat pentingnya keadilan gender, keterlibatan semua generasi dan peningkatan kebanggaan local. Dengan demikian spectrum yang diangkat Suansri mewakili sebagian unsur dalam komunitas yaitu gender dan lintas generasi. Dalam pandangannya Suansri melihat bahwa komunitas merupakan kesatuan dari berbagai unsur yang membentuk yaitu individu dengan berbagai latar belakang. Suansri melihat aspek yang jarang diperhatikan ahli lain dalam melihat komunitas yaitu aspek gender yang terkait dengan peran-peran yang dikonstruksi
39
Jejaring Administrasi Publik. Th IV. Nomor 1, Januari-Juni 2012
masyarakat terhadap laki-laki dan perempuan terkait dengan pengembangan pariwisata. Prinsip budaya dari Suansri juga melihat aspek budaya secara mendalam yaitu adanya budaya pembangunan yang berkembang dengan adanya pengembangan pariwisata, terjadi pertukaran budaya dan penghormatan terhadap budaya lain. Sedangkan prinsip politik yang dijadikan indikator oleh Suansri mencakup spectrum internal dan eksternal. Internal berkaitan dengan komunitas itu sendiri yaitu adanya partisipasi local dan perluasan kekuasaan komunitas. Sedangkan mekanisme yang menjamin hak komunitas local dalam ppengelolaan SDA merupakan aspek eksternal yang melibatkan regulasi pemerintah dan stakeholder lainnya. Dari prinsip lingkungan Suansri memiliki perhatian khusus pada keperdulian pada konservasi tidak hanya berkaitan dengan pengembangan daya dukung lingkungan dan sistem pembuangan sampah yang ramah lingkungan. Disini Suansri memiliki pandangan tentang pentingnya partisipasi semua pihak dalam melakukan konservasi pada lingkungan di destinasi wisata.
menggunakan dan mendayagunakan pendekatan, metode dan teknik etnometodologi, fenomenologi, hermeneutika, feminism, dekonstruksionisme, etnografi, wawancara, penelitian survey dan observasi, sehingga dapat memberikan wawasan dan pengetahuan yang berharga. Dengan demikian penelitian ini akan menggunakan gabungan teknik penelitian survey yang bersifat kuantitatif dengan teknik observasi dan wawancara mendalam yang lebih bersifat kualitatif agar mendapat pemahaman yang lebih holistik. Lokasi penelitian ditetapkan secara purposive di kota Batu Malang karena merupakan salah satu ikon agrowisata di Jawa Timur sehingga tepat sebagai sasaran studi, Kota Batu terdapat pengembangan agrowisata yang bervariatif dari aspek pengelolaan dan mengembangkan diri sebagai kota tujuan wisata berbasis masyarakat. Unit analisis penelitian ini 2 spektrum: (1) individu yang terdiri dari individu anggota komunitas di destinasi agrowisata, petani yang mengembangkan agrowisata dan wisatawan yang melakukan aktivitas agrowisata ; dan (2) spektrum institusi (kelembagaan).
Metodologi
Hasil dan Pembahasan
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang merupakan kombinasi penelitian berparadigma post-positivisme dan konstruktivisme. Alasan penggunaan pendekatan kualitatif berdasar asumsi bahwa pariwisata tidak cukup hanya dipahami sebagai realitas naif (hitam-putih) namun juga harus dianalisis secara realitas kritis, serta dikonstruksi secara lokal dan spesifik (Denzin dan Lincoln, 2009:135) Tujuan utama penelitian kualitatif adalah untuk memahami (to understand) fenomena atau gejala sosial dengan lebih menitik beratkan pada gambaran yang lengkap tentang fenomena yang dikaji daripada memerincinya menjadi variabel-variabel yang saling terkait. Harapannya ialah diperoleh pemahaman yang mendalam tentang fenomena untuk selanjutnya dihasilkan sebuah teori (Mustofa, 2008:1). Menurut Nelson (Denzin dan Lincoln, 2009:4) penelitian kualitatif dapat
Karakteristik wisatawan yang datang ke Batu berasal dari daerah di sekitar Jawa Timur, mayoritas laki-laki, berumur muda (2050 tahun), pendidikan tinggi (S1) dengan penghasilan 1-7 juta/bulan, wisatawan repeater (berulang), datang berkelompok 6-10 orang, rata-rata mengunjungi 3 obyek wisata, menggunakan mobil pribadi dan mayoritas menginap di hotel non bintang. Karakteristik wisatawan tersebut berkaitan erat dengan kebutuhan akan barang/jasa pariwisata khususnya di destinasi yang akan mendorong berkembangnya industri produk/jasa pariwisata. Terdapat 548 unit usaha industri pariwisata yang timbul mampu menyerap 2.995 orang tenaga kerja yang terdiri dari 2.119 (70,7%) tenaga kerja berasal dari komunitas setempat dan 876 tenaga kerja dari luar komunitas. Meskipun penyerapan tenaga kerja dalam secara kuantatif lebih kecil dibanding sektor pertanian (97,6%) namun industri pariwisata memiliki kelebihan yaitu bersifat
40
Jejaring Administrasi Publik. Th IV. Nomor 1, Januari-Juni 2012
dinamis kemungkinan untuk berkembang di masa mendatang makin besar, jenis pekerjaan yang timbul dari sector pariwisata benar-benar pekerjaan yang baru dan berbeda dengan jenis pekerjaan di sektor pertanian. Selain memanfaatkan lapangan kerja yang ada, alternatif yang dapat dimanfaatkan komunitas setempat adalah mengembangkan usaha bidang pariwisata (Warpani, 2007: 9294). Sebagai gambaran hasil wawancara dengan responden masyarakat menunjukkan 72,7% responden memiliki usaha mandiri sector pariwisata yaitu agrowisata, toko, warung, warung bakso, toko oleh-oleh, vucer HP, kios bensin, toko bunga/tanaman dan homestay merupakan usaha yang kebutuhan wisatawan memenuhi secara langsung selama berwisata. Usaha lainnya adalah usaha yang tidak langsung berkaitan dengan kebutuhan wisatawan seperti toko saprodi/kebutuhan pertanian, kerajinan, produksi kripik, sari apel, angkutan dan foto copi. Pada umumnya komunitas lokal memiliki latar belakang ketrampilan rendah, tingkat pendidikan sedang, tidak memiliki latar belakang keluarga entrepreneur. Ketrampilan kewirausahaan terbukti dapat dipelajari masyarakat secara otodidak dengan melihat atau bertanya kepada usaha yang lebih dulu ada. Mekanisme pembelajaran juga dilakukan dengan sesama teman. Penyerapan lapangan kerja dan usaha dapat dianalisis dari tiga sudut pandang/ perspektif yaitu peran wisatawan (role of guess perspective) atau melihat dari sisi demand (permintaan), peran komunitas (role of host perspective) atau dari sisi supply (penawaran) dan pemerintah (role of policy maker perspektif) atau dari sisi kebijakan, dimana masing-masing saling terkait satu sama lain. Dari perspektif wisatawan menunjuk-kan jika kebutuhan wisatawan akan memberi peluang pada usaha barang/jasa bidang pariwisata baik hulu maupun hilir. Karakteristik wisatawan akan melahirkan bentuk produk dan jasa yang berbada satu sama lain. Dari perspektif peran wisatawan (role of guess perspective) berkaitan adanya kebutuhan wisatawan yang menimbulkan peluang kerja dan peluang usaha pariwisata sebagai akibat dari kedatangan wisatawan. Kedatangan wisatawan dapat membuka akses komunitas lokal untuk mengembangkan
peluang kerja dan peluang usaha. Tanpa akses/kesempatan bagi komunitas lokal kedatangan wisatawan tidak akan membawa dampak ekonomi apa-apa bagi komunitas. Dengan kata lain tanpa kedatangan wisatawan prinsip ekonomi CBT tidak bisa berjalan. Dilihat dari perspektif peran komunitas (role of host perspective), CBT dapat berjalan jika komunitas mampu memanfaatkan akses berupa peluang kerja dan peluang usaha yang timbul dari kedatangan wisatawan menjadi pekerjaan dn usaha produktif. Kemampuan mengubah akses menjadi pekerjaan dan usaha selanjutnya disebut juga partisipasi ekonomi komunitas. Faktor yang terkait dengan kemampuan merubah peluang kerja menjadi pekerjaan sangat tergantung pada kemampuan komunitas memenuhi standartisasi (pendidikan, ketrampilan, penampilan) yang ditetapkan industri pariwisata. Persepektif peran pemerintah (role of policy maker perspektif) berkaitan dengan peran-peran yang dilakukan pemerintah sebagai pemegang kewenangan untuk mengembangkan infrastruktur dan program penunjang yang memudahkan wisatawan melakukan aktivitas dan memberi akses dan pemberdayaan kepada komunitas. Dampak ekonomi dari pengembangan pariwisata dalam hal ini berkaitan dengan penerimaan pendapatan masyarakat lokal dari kedatangan wisatawan. Sumber penerimaan tersebut antara lain berasal dari belanja wisatawan yaitu transportasi, akomodasi, tiket masuk obyek agrowisata, makan minum, sovenir/oleh-oleh, dan pengeluaran wisata lainnya (rokok, pulsa telepon seluler, dan sebagainya. Dari perhitungan diperoleh angka pengeluaran wisata per kelompok/grup adalah Rp. 2.200.367 dengan rerata jumlah kelompok adalah 9 orang, dengan demikian rerata pengeluaran wisata per orang Rp. 245.942. Sedangkan rata-rata pengeluaran untuk wisata agro (tiket masuk dan pembelian apel di agrowisata) ratarata 35.372 per orang atau setara dengan 1 tiket masuk (Rp. 20.000) dan 1,5 kg apel. Jika dianalisis rata-rata pendapatan yang diperoleh komunitas dari belanja wisata adalah Rp. 553.425 per kelompok atau rata-rata komunitas memperoleh pendapatan Rp. 61.858 dari setiap wisatawan yang datang.
41
Jejaring Administrasi Publik. Th IV. Nomor 1, Januari-Juni 2012
Dana komunitas merupakan dana/ sumbangan/donasi wisatawan terhadap pengembangan komunitas karena kegiatan pariwisata sebagai wujud tanggungjawab terhadap komunitas di daerah tujuan wisata. Melalui dana komunitas wisatawan berkonstribusi pada upaya pelestarian budaya, konservasi dan pengembangan masyarakat. Di Kota Batu konsep tentang dana komunitas berupa sumbanagan atau donasi tidak ditemukan di lapangan. Konsep dana komunitas berupa dana internal yang berasal dari komunitas sendiri atau bisa disebut dana komunitas internal yaitu berupa dana yang dikumpulkan dari sebagian keuntungan yang diterima anggota komunitas yang dapat digunakan untuk kepentingan bersama seluruh komunitas. Dari tiket masuk agrowisata disisihkan dana Rp. 5.000 dan Rp. 2.000/kg apel yang terjual. uang yang terkumpul selanjutnya digunakan untuk membiayai operasional seperti sewa ojek/bemo ke lahan untuk biaya guide dan komisi tour leader (10%). Rata-rata setiap bulan pemasukan untuk dana komunitas ini mencapai Rp. 2.000.000. Dengan dana tersebut mampu menyewa kios untuk kantor penjualan saprodi, pupuk organik, usaha simpan pinjam dan operasional kantor agrowisata, membeli lahan 3 hektar dan sewa lahan anggota yang mengalami kesulitas agar kepemilikan lahan tidak berpindah tangan kepada orang luar wilayah. Penerapan prinsip sosial CBT berkaitan dengan peningkatan kualitas hidup, adanya peningkatan kebanggaan komunitas, pembagian peran yang adil dan terdapat mekanisme penguatan organisasi komunitas. Dengan mengacu pada pendapat Schalock dan Siperstain (Andereckand Vogt, 2000:28) yang menyatakan jika pengukuran Kualitas Hidup (Quality of Live/QOL) dalam pengembangan pariwisata merupakan pengalaman subyektif yang sangat tergantung pada persepsi dan perasaan individu; serta pendapat Tylor dan Bogdan yang menyatakan bahwa QOL paling ideal dipelajari dari perspektif individu (Andereck and Vogt, 2000:28), maka studi ini mengidentifikasi peningkatan QOL dengan menggunakan unit analisis individu anggota komunitas. Secara umum persepsi responden tentang pengembangan agrowisata positif meskipun
42
mayoritas responden belum yakin jika pariwisata dapat dijadikan tumpuan ekonomi utama karena sifat industry pariwisata yang bersifat seasonal (musiman). Mayoritas anggota komunitas menyatakan persetujuannya terhadap pengembangan agrowisata dan kedatangan wisatawan di desanya. Preferensi individu mencerminkan dukungan komunitas terhadap pengembangan agrowisata. Alasan yang mendasari preferensi individu terhadap pengembangan agrowisata yaitu adanya pemasukan petani, berkembangnya aktivitas ekonomi, stabilitas harga apel, kondisi desa menjadi ramai, adanya kemajuan dan pengembangan infrastruktur yang dapat dirasakan individu. Preferensi individu terhadap pengembangan agrowisata berkaitan dengan aspek kemudahan, keuntungan/manfaat yang bisa dirasakan individu anggota komunitas. Pengembangan agrowisata di Kota Batu menghasilkan perubahan nilai komunitas berkaitan dengan nilai tamu, perlakukan terhadap tamu, nilai menjamu tamu dan filosofi tentang menerima tamu. Nilai tamu mengalami perubahan dalam hal proses memperoleh rejeki. Jika semula tamu adalah media untuk mendapat pahala dan kemurahan rejeki dari Allah (pembawa rejeki secara tidak langsung) berubah menjadi rejeki itu sendiri (pembawa rejeki secara langsung). Terjadi perubahan nilai berupa penyederhanaan proses perolehan rejeki yang berkaitan dengan kedatangan tamu. Nilai sosial yang berkaitan dengan perlakuan kepada tamu juga mengalami perubahan. Nilai bahwa memperlakukan tamu dengan baik merupakan tindakan yang berpahala (ibadah) serta untuk menjaga hubungan sosial dengan orang lain (orientasi sosial) berubah menjadi memperlakukan dengan baik untuk memuaskan tamu (orientasi usaha). Tamu yang puas dapat berfungsi menjadi agen promosi bagi calon tamu lainnya. Dengan demikian nilai melayani tamu dengan baik berubah menjadi berorientasi pada pengembangan dan kesinambungan usaha agrowisata. Dalam pengembangan agrowisata nilai menjamu tamu berubah menjadi bagian dari bisnis. Filosofi tentang menerima tamu sebagai keikhlasan dan bagian dari hidup bermasyarakat juga mengalami perubahan menjadi suatu
Jejaring Administrasi Publik. Th IV. Nomor 1, Januari-Juni 2012
kewajiban yang harus dilakukan sebagai konsekuensi telah menerima sejumlah pembayaran berupa tiket masuk agrowisata. Dengan demikian ada perubahan filosofi menerima tamu dari makna sosial menuju makna ekonomi berupa pertukaran uang dengan sejumlah pelayanan kepada tamu. Kebanggan komunitas adalah bagian penting sebagai modal berinteraksi dengan wisatawan. Kebanggaan komunitas dapat diartikan sebagai perasaan bangga, senang, besar hati, berharga, dari individu karena menjadi bagian dari suatu komunitas. Kebanggaan komunitas dapat tercermin dari persepsi positif individu terhadap keberadaan komunitas, perasaan berharga sebagai anggota komunitas, antusiasme saat membicarakan kelebihan yang dimiliki komunitas, dan persertujuan atas aspek positif yang terdapat pada komunitas. Pengembangan agrowisata juga dapat menumbuhkan rasa bangga sebagai warga Kota Batu yang diungkapkan 83,6% responden. Alasan responden merasa bangga karena kedatangan wisatawan menunjukkan jika Batu adalah wilayah yang memiliki kelebihan sehingga mendorong orang dari daerah lain datang berkunjung. Kebanggaan komunitas tidak hanya dapat dilihat dari perspektif komunitas melainkan juga perspektif wisatawan dan pemerintah. Dari perspektif komunitas kebanggaan akan menimbulkan motivasi dan rasa percaya diri individu anggota komunitas saat berinteraksi dengan wisatawan. Perasaan bangga tersebut akan mendorong individu untuk menampilkan pelayanan yang maksimal sebagai wujud rasa bangga yang dirasakan. Oleh karena itu rasa bangga terhadap wilayah ini harus tetap dipertahankan sebagai modal penting dalam pengembangan agrowisata. Dalam perkembangan pariwisata di Kota Batu, terdapat akses yang sama pada lakilaki dan perempuan untuk berpartisipasi dalam pekerjaan. Hal ini dipengaruhi oleh kultur masyarakat agraris yang menerapkan kesetaraan peran laki-laki dan perempuan dalam pekerjaan. Namun dalam beberapa hal masih terjadi ketimpangan gender berupa pelabelan (stereotype) yang menempatkan perempuan berbeda dengan laki-laki dalam hal kemampuan, kekuatan fisik, sifat dan jenis pekerjaan yang sesuai. Selain itu keterlibatan perempuan di sektor pariwisata memberikan
beban kerja ganda (double burden) yang makin berat pada perempuan karena ketika bekerja di luar rumah perempuan masih harus bertanggungjawab melakukan pekerjaan domestic. Oleh karena keterlibatan perempuan dalam sector pariwisata selain sebagai tenaga kerja juga berperan mengembangkan usaha mandiri yang dapat dilakukan di rumah agar tetap bisa menjalankan peran ganda di domestik dan publik. Pengembangan agrowisata menguat-kan sosial capital komunitas dalam aspek partisipasi dalam jaringan dan aspek resiprocity (pertukaran kebaikan). Namun dalam aspek trust (saling percaya), penguatan norma, nilai keagamaan/moralitas dan tindakan proaktif pengembangan agrowisata justru mendorong terjadinya penurunan dalam aspek-aspek modal sosial tersebut. Penurunan nilai keagamaan terjadi karena melayani wisatawan menjadi prioritas dibanding beribadah. Faktor lainnya karena adannya penurunan tingkat religiusitas komunitas sehingga lebih sekuler. Dengan demikian bisa disimpulkan jika pengembangan agrowisata tidak sepenuhnya menguatkan sosial capital komunitas. Interaksi yang timbul antara wisatawan dan komunitas memungkinkan terjadi pertukaran unsur budaya yang meliputi 3 unsur yaitu (1) ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, (2) kompleks aktivitas kelakuan berpola manusia; dan (3)sebagai benda-benda sebagai karya manusia atau artefak. Pertukaran budaya berupa ide, gagasan, pengetahuan yang diperoleh komunitas dari berinteraksi dengan wisatawan antara lain berupa pengetahuan kognitif yaitu: (1) konsep dasar usaha produk/jasa agrowisata; (2) konsep standarisasi kualitas produk/jasa agrowisata; (3) manajemen usaha dan (4) konsep dasar bisnis modern. Pertukaran budaya dalam unsur ide, gagasan, pengetahuan yang diperoleh wisatawan dari hasil berinteraksi dengan komunitas antara lain berupa meningkatkan pengetahuan kognitif dan makna hidup sehingga dapat menajamkan makna berwisata yaitu memulihkan mental dari tekanan hidup di tempat asal atau semacam recharging bagi kesehatan mental. Pertukaran budaya dalam unsur kompleks aktivitas kelakuan/perilaku yang diperoleh wisatawan dari hasil berinteraksi
43
Jejaring Administrasi Publik. Th IV. Nomor 1, Januari-Juni 2012
dengan komunitas antara lain menjadi pendorong pengembangan teknik pelayanan kepada wisatawan menjadi masukan dan pembanding bagi kehidupan komunitas. Pertukaran budaya berupa unsur hasil karya manusia atau artefak berkaitan dengan obyek yang mudah terlihat, mudah diamati dan mudah ditiru seperti make up wajah, pewarna rambut, gaya rambut, pakaian, jilbab, dan peralatan gadget. Dalam pertukaran unsur budaya budaya fisik komunitas lebih banyak menerima budaya fisik dari wisatawan melalaui proses meniru. Derasnya arus wisatawan yang masuk membuat informasi dan pengetahuan tentang hasil budaya fisik yang dikenakan wisatawan berkembang dari informasi/pengetahuan yang diterima secara terus menerus berkembang menjadi referensi baru bagi komunitas. Hal ini juga didorong oleh keinginan untuk dianggap maju, modern, dan tidak ketinggalan jaman (out of date). Untuk mencapai hal tersebut komunitas menggunakan standart penampilan wisatawan sebagai referensi/acuan karena dianggap lebih dulu mengenal dan menggunakan berbagai produk yang mencerminkan modernitas masyarakat. Oleh karena itu budaya fisik wisatawan menjadi acuan gaya hidup baru bagi komunitas. Pertukaran budaya yang terjadi selanjutnya diikuti dengan proses identifikasi yaitu membandingkan budaya luar dengan budaya sendiri apakah ada kesaaan atau berbeda. Jika ada kesamaan proses penerimaan budaya berlangsung lebih singkat karena tidak perlu ada proses penyesuaian. Sementara jika bertemu dengan budaya luar yang berbeda dengan budaya sendiri akan terjadi proses pembelajaran berupa penilaian, penyesuaian, dann akhinya menuju penerimaan atau penolakan. Jika terjadi penolakan budaya maka proses akan berhenti sampai disini. Namun jika ada proses penyesuaian diri maka terjadi penerimaan budaya berdampingan dengan budaya sendiri bahkan jika budaya luar dianggap lebih baik maka akan dipakai menggantikan budaya sendiri. Pada tahap ini selanjutnya lebih mudah menuju proses penghormatan budaya lain dimana individu mampu menempatkan budaya luar setara atau lebih tinggi dari budaya setempat.
44
Penerapan prinsip politik CBT ditandai dengan keikutsertaan masyarakat dalam organisasi setempat/lokal menunjukkan partisipasi politik dalam hal mengikuti organisasi local cukup tinggi merupakan gambaran: (1) adanya kesadaran komunitas terhadap kepentingan bersama yang harus dikelola bersama, (2) adanya kesadaran akan pentingnya aspek kelembagaan untuk mencapai tujuan bersama yaitu pengembangan agrowisata, dan (3) adanya kesadaran akan hak masyarakat dalam pengambilan keputusan. Proses pengambilan keputusan di Desa terkait erat dengan stratifikasi sosial yang ada di masyarakat. Menurut Smith dan Zopf (dalam Raharjo, 2004:113) sistem pelapisan sosial di desa dipengaruhi 5 faktor yaitu luas kepemilikan tanah, keterkaitan sektor pertanian dan industri, bentuk kepemilikan atau penguasaan tanah, frekuensi perpindahan petani dari lahan satu ke lahan lainnya, dan komposisi rasial penduduk. Di Kota Batu pelapisan/struktur masyarakat dapat dibedakan menjadi 2 yaitu struktur formal dan informal. Struktur pelapisan masyarakat yang bersifat formal adalah pelapisan masyarakat berdasar kekuasaan formal dalam pemerintahan. Sedangkan struktur informal adalah pelapisan masyarakat berdasar penguasaan sumber daya (khususnya lahan). Struktur kekuasaan informal terkait dengan kepemilikan sumber daya khsusnya lahan pertanian. Pada umumnya tokoh masyarakat dai Kota Batu adalah petani dengan lahan luas > 1 hektar. Selain penguasaan lahan tokoh masyarakat juga ditentukan oleh kemampuan dan pendidikan, seperti guru dan kyai masih memiliki tempat khusus sebagai tokoh masyarakat. Di Desa Bumiaji sebagai salah satu sentra agrowisata di Kota Batu penggerak kegiatan pariwisata adalah guru yang kemudian menggagas wadah Wisata Bukit Apel (WBA). Pengelolaan agrowisata berkaitan erat dengan system pengambilan keputusan dalam pengembangan agrowisata mulai merencanakan, memasarkan, mengelola dan melakukan pembagian keuntungan. Pengelolaan oleh wadah khusus komunitas (Wisata Bukit Apel) atau Kelompok Tani di tingkat Desa memberikan peluang kepada
Jejaring Administrasi Publik. Th IV. Nomor 1, Januari-Juni 2012
pengurus (anggota komunitas lokal) untuk berperan dalam proses pengambilan keputusan. Pengelolaan agrowisata oleh perusahaan swasta (PT) menempatkan pemilik mosal sebagai pengambil keputusan. Pengelolaan agrowisata oleh petani memberikan akses kepada pemilik lahan dalam proses pengambilan keputusan. Berkaitan dengan penerapan prinsip lingkungan CBT di agrowisata telah menghasilkan model penetapan daya dukung lingkungan yang bersifat lokal. Model/ cara pertama ini lebih banyak menggunakan variabel tingkat kepuasan wisatawan sebagai indikator. Indikator kepuasan wisatawan dalam aktivitas petik apel yang dipelajari petani secara otodidak. Model/cara kedua adalah penetapan jumlah maksimal wisatawan agrowisata yang masih bisa ditoleransi di Agrowisata berdasar kapasitas lahan dimana luasan lahan tertentu diasumsikan dapat menerima sejumlah wisatawan yaitu 700 orang per hektar lahan untuk satu kali musim tanam (6 bulan). Penetapan angka maksimal wisaatawan yang bisa ditoleransi berkaitan juga dengan kepuasan wisatawan dalam beraktivitas. Model/cara menghitung daya dukung lingkungan yang ketiga berdasar minat pasar dimana penetapan jumlah maksimal wisatawan agrowisata yang masih bisa ditoleransi di Agrowisata tergantung pada pasar/wisatawan. Penutup Penerapan prinsip ekonomi CBT menghasilkan usaha sector pariwisata yang mayoritas menyerap tenaga kerja lokal dan peningkatan pendapatan komunitas yang berasal dari belanja wisatawan. Penerapan prinsip social CBT dalam pengembangan agrowisata meningkatkan persepsi positif individu tentang pengembangan agrowisata, meningkatkan kebanggaan komunitas, kekuatan modal social sebagai pendukung ketahana social komunitas Pengembangan agrowisata di Kota Batu menghasilkan perubahan nilai komunitas berkaitan dengan nilai tamu, perlakukan terhadap tamu, nilai menjamu tamu dan filosofi tentang menerima tamu.
Penerapan prinsip budaya dalam pengembangan agrowisata di Kota Batu makin menguatkan budaya local. Interaksi yang timbul antara wisatawan dan komunitas menghasilkan pertukaran unsur budaya yang meliputi 3 unsur yaitu (1) ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, (2) kompleks aktivitas kelakuan berpola manusia; dan (3)sebagai benda-benda sebagai karya manusia atau artefak. Penerapan prinsip politik CBT dalam pengembangan agrowisata menguatkan peran organisasi local dalam mengontrol mekanisme pengelolaan sumber daya pariwisata dan menempatkan komunitas sebagai pengambil keputusan. Penerapan prinsip lingkungan CBT di agrowisata telah menghasilkan model penetapan daya dukung lingkungan yang bersifat lokal. Model/ cara pertama ini lebih banyak menggunakan variabel tingkat kepuasan wisatawan sebagai indikator. Daftar Pustaka Andereck, K.L. and Vogt, C. A., 2000, “The Relation Between resident Attitute Toward Tourism and Tourism development Option”, Journal of Travel Research , 27(1), 16-21. Anstrand, Melker, 2006, Community-Based Tourism and Sicio-Culture Aspects Relating to Tourism a Case Study of a Swedish Student Excursion to Babati (Tanzania). Laporan, Tidak diterbitkan. Antariksa, Basuki , 2012, Peluang Dan Tantangan Pengembangan kepariwisataan Di Indonesia, Makalah yang disampaikan pada acara “Sosialisasi dan Gerakan Sadar Wisata”, yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Barat, di Solok, 12 Oktober 2011. Archer, Brian. 1982, “The Value of Multiplier and Their Policy Implications”, Tourism Management, Desember (236-241). Cheung, C., 2001, “Determinants of Tourism Hotel Expenditure in Hong Kong.” International Journal of Contemporary Hospitality Management 13(3) 151-158. dalam http://www.emerald-
45
Jejaring Administrasi Publik. Th IV. Nomor 1, Januari-Juni 2012
library.com/ft diakses tanggal 27 Mei 2011. De Kadt, E. 1979, Tourism: Passport to Development? Oxford: Oxford University Press. Demartoto, Argyo, 2009, Pembangunan Pariwisata Berbasis Masyarakat, Surakarta: Sebelas Maret University Press. Denzin, Norman K. dan Lincoln Y. 2009. Handbook of Qualitatif Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar) Dwyer, Larry and Forsyth, L.,1993, “Assessing the Benefits and Cost of Inbound Tourism”, Annals of Tourism Research (20) 751-768. Fletcher, J., 1989, “Input-Output Analysis and Tourism Impact Studies”, Annals of Tourism Research (16) 514-529. Hatton, Michael J., 1948, Community Based Tourism in the Asia-Pacific, Canada: School of Media Studies a at Humber College. Holden, Andrew, 2008 , Environment and Tourism, London ; New York : Routledge, Houler, Nicole. 2005. “Definisi of Community Based Tourism“ Tourism Forum International at the Reisepavillon. Hanover 6 Pebruari 2005. Nicolau J.L., Más FJ (2005) Heckit modeling of tourist expenditure: evidence from Spain, International Journal of Service Industry Management 16(3), p.271-293 http://www.emerald-library. com/ft diakses 27 Mei 2011],. Kodhyat, 2003, www.sinarharapan.co.id diakses tanggal 8 Maret 2012. Pantin, D. and Francis, J., 2005, Community Based Sustainable Tourism, UWI SEDU Roe, D., Ashley, C., Page, S. and Meyer, D. 2004. “Tourism and the Poor - Analysing and Interpreting Tourism Statistics from a Poverty Perspective”, PPT Working Paper No. I 6, dalam http://www.propoortourism. org.uk/16_stats. pdf, diakses 9 Maret 2012). Suansri, Potjana, 2003, Community Based Tourism Handbook, Thailand: REST Project
46
United
Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific, UNESCAP, 2003, Poverty Alleviation Through Sustainable Tourism Development: 7 dalam http:// books. google.co.id, diakses 12 Juli 2011. Warpani, Suwardjoko.P., dan Warpani, Indira, 2007, Pariwisata Dalam Tata Ruang Wilayah, Bandung: Penerbit ITB.