PENERAPAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL TERHADAP PERKEMBANGAN KOGNITIF ANAK USIA 4 – 5 TAHUN DI PAUD TUNAS HARAPAN TULUNGAGUNG[1] Kartika Rinakit Adhe ABSTRACT The purpose of this study was to determine and describe the results of the application of contextual learning approach to the cognitive development of children aged 4-5 years in PAUD Tunas Harapan Tulungagung. This research uses a pre-experimental research design with pre-test and post-test group design, with the design of a group of subjects. Data collection methods used were observation. The subjects of this study grader A total of 12 student. The data analysis technique used is the technique of nonparametric statistical analysis using the Wilcoxon test. From the above results, it is known that T_hitung
sederajat, yang menggunakan program untuk anak usia 0 – <2 tahun, 2 – <4 tahun, 4 – ≤6 tahun, dan Program Pengasuhan untuk anak usia 0 - ≤6 tahun, Kelompok Bermain (KB), dan bentuk lain yang sederajat, menggunakan program untuk anak usia 2 – <4 tahun dan 4 – ≤6 tahun dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2009 tentang standar Pendidikan Anak Usia Dini. Pendidikan anak usia dini diselenggarakan guna mengembangkan seluruh aspek perkembangan anak usia dini diantaranya nilai-nilai agama dan moral, fisik, kognitif, bahasa, dan sosial emosional. Bidang pengembangan kognitif pada anak bertujuan untuk mengembangkan kemampuan pengetahuan umum dan sains, konsep bentuk, warna, ukuran, dan pola, konsep bilangan, lambang bilangan, dan huruf yang nantinya akan berguna untuk tercapainya optimalisasi potensi pada masing-masing anak. Jadi, ketika terganggu dalam tahapannya maka akan berpengaruh terhadap perkembangan di usia berikutnya (Sujiono, 2010: 214). Menurut Goldbeck (dalam Santrock, 2007: 243), pendidikan prasekolah atau dalam hal ini pendidikan anak usia dini yang paling baik adalah melalui metode pengajaran yang aktif partisipatif, berfokus untuk meningkatkan perkembangan sosial dan kognitif anak. Hal tersebut dibuktikan oleh sebuah studi yang mengejutkan, perbandingan antara sekolah yang menggunakan aktivitas partisipatif dengan aktivitas rutin/praktis yang diberlakukan pada sistem di sekolah TK. Satu studi terbaru oleh Hart (dalam Santrock, 2007: 244), membandingkan 182 anak dari lima kelas TK yang disesuaikan dengan perkembangannya baik aktivitas partisipatif, kurikulum terintegrasi yang disesuaikan dengan kelompok umur, budaya serta gaya belajar individual dibandingkan dengan lima kelas TK lain yang memiliki penekanan akademis dan intruksi langsung dengan dengan pemakaian buku/lembar kerja, belajar ditempat duduk, dan aktivitas rutin disebuah sistem sekolah di Lousiana membuktikan bahwa anak-anak dari kedua tipe kelas tidak berbeda dalam kesiapan praTK, dan kelas-kelas tersebut seimbang dalam status ekonomi. Penilaian guru terhadap perilaku dan nilai-nilai anak dalam California Achievement Test diperoleh pada kelas tiga. Anak-anak yang berada di kelas dimana disesuaikan dengan perkembangannya lebih maju dalam kosakata, aplikasi matematika, dan komputasi dasar dimana penekanan dasar perkembangan adalah aspek kognitif. Studi lain oleh Huffman (dalam Santrock, 2007: 244), membuktikan bahwa prestasi akademis dari sebagian anak-anak di Afrika dan Amerika Latin yang mengikuti head start yang dinilai apakah mereka bersekolah di sekolah yang menekankan praktik yang disesuaikan atau tidak disesuaikan dengan tahap perkembangan. Hasilnya anak-anak yang berada di kelas yang disesuaikan dengan tahap perkembangan lebih maju dalam mengenali huruf/kata dan menunjukkan kinerja yang lebih baik dalam menyelesaikan soal. Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan dengan guru pembimbing PAUD kelas A Tunas Harapan Tulungagung pada tanggal 1 Desember 2011 diperoleh data terdapat 60% dari 12 siswa atau sekitar 7 siswa mengalami permasalahan dalam pemahaman konsep bentuk, warna, ukuran, dan pola, konsep bilangan, lambang bilangan, dan huruf. Permasalahan-permasalahan pada siswa PAUD kelas A tersebut dapat menghambat perkembangan kognitif siswa yang mengakibatkan terhambatnya
tahap perkembangan dalam mengenali bilangan dan huruf, lemah dalam kosakata serta tidak bisa menyelesaikan soal secara mandiri. Menurut Fawzia (dalam Triyono, 2005: 12), orientasi pendidikan anak usia dini diletakkan pada perkembangan anak. Sedangkan kenyataanya kegiatan belajar mengajar rutin/praktis berlangsung tanpa memperhatikan tingkat perkembangan siswa secara kognitif, kebutuhan siswa, dan pra-konsepsi siswa perolehan dari lingkungan yang hanya berpacu pada hasil mengakibatkan tidak adanya kesinambungan pengalaman empirik (sebagai wahana pembentukan pra-konsepsi) dengan konsep baru yang harus dikonstruk oleh siswa. Kenyataan-kenyataan ini telah memberikan pengaruh terhadap pengajaran. Supaya informasi dapat disimpan, informasi tersebut harus berjalan dari memori jangka pendek aktif menuju memori jangka panjang. Tugas para guru adalah membantu para siswa mengirimkan informasi dari memori jangka pendek ke memori jangka panjang. Pengiriman seperti itu dapat terjadi jika otak mengerti apa yang dipelajari dan dibutuhkan pembelajaran yang dapat mendukung pengembangan potensi anak yang sesuai dengan tahap perkembangannya. Salah satu bentuk pembelajaran yang mendukung pengajaran yang aktif partisipatif, dimana berfokus untuk meningkatkan perkembangan sosial dan kognitif anak adalah pembelajaran kontekstual. Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari (Trianto, 2008: 20). Penerapannya di pendidikan anak usia dini adalah dengan secara langsung mengajak anak untuk terlibat aktif partisipatif dalam proses belajar mengajar, seperti menghadirkan objek pembelajaran langsung pada anak sehingga anak dapat mengamati secara langsung dan mempertanyakan masalah yang ada dengan begitu maka anak akan belajar memecahkan masalah dan menyusun hasil pengamatan serta informasi yang didapat disimpan dalam memori jangka panjang. Dilain sisi penerapan pembelajaran yang menekankan pada pendekatan kontekstual mengaitkan kehidupan sehari hari dengan pengembangan aspek perkembangan, membuat apa yang dipelajari siswa sesuatu yang bermakna (meaningfull) bagi dirinya (Johnson, 2010: 35). Kebermaknaan pembelajaran sangat penting karena sebenarnya siswa baru akan termotivasi mempelajari sesuatu jika bermakna bagi dirinya. Kebermaknaan suatu hal sering kali dikaitkan dengan cara berpikir yang telah dimiliki seseorang, sedangkan cara berpikir itu dibentuk dari pengalaman hidup secara langsung hal tersebut dapat menguatkan dan memperluas pengetahuan anak, pemahaman masalah dan cara menyelesaikannya. Pembelajaran kontekstual adalah sistem pengajaran yang cocok dengan otak yang menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan akademis dengan konteks dari kehidupan sehari-hari siswa (Johnson, 2010: 57). Betapapun demikian, penerapan pendekatan kontekstual belum banyak diterapkan oleh kalangan pendidik di lingkungan sekolah terutama oleh para pendidik anak usia dini di PAUD Tunas Harapan. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba meneliti penerapan pembelajaran kontekstual terhadap perkembangan kognitif pada anak usia 4 - 5 tahun yang notabene merupakan usia emas dalam masa perkembangan anak, serta serta
mencoba mendeskripsikan cara penggunaan pendekatan ini untuk diterapkan pada perkembangan kognitif anak. Ditinjau dari latar belakang masalah yang penulis sampaikan, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah pendekatan pembelajaran kontekstual dapat diterapkan terhadap perkembangan kognitif anak usia 4 – 5 tahun di PAUD Tunas Harapan Tulungagung? 2. Bagaimana penerapan pendekatan pembelajaran kontekstual dilakukan terhadap perkembangan kognitif anak usia 4 – 5 tahun di PAUD Tunas Harapan Tulungagung? Dalam penelitian ini ada beberapa tujuan yang diharapkan antara lain: 1. Mengetahui hasil penerapan pendekatan pembelajaran kontekstual terhadap perkembangan kognitif anak usia 4 – 5 tahun di PAUD Tunas Harapan Tulungagung. 2. Mendeskripsikan penerapan pembelajaran kontekstual dilakukan terhadap perkembangan kognitif anak usia 4 – 5 tahun di PAUD Tunas Harapan Tulungagung. Pengertian Perkembangan Kognitif Menurut Sujiono (2010: 13), kognitif adalah suatu proses berpikir, yaitu kemampuan individu untuk menghubungkan, menilai, dan mempertimbangkan suatu kejadian atau peristiwa. Kognitif lebih bersifat statis yang merupakan potensi atau daya untuk memahami sesuatu, potensi ditentukan saat konsepsi, namun terwujud atau tidaknya potensi kognitif tergantung dari lingkungan dan kesempatan yang diberikan. Mengarah pada pengoptimalan pengembangan potensi kognitif pada setiap individu maka para ahli telah mengemukakan berbagai teori, berikut akan diuraikan pendapat para ahli (Sujiono, 2010: 13): a. Teori “Two Factor” Charles Spearman (1904), menyatakan bahwa kognitif meliputi kemampuan umum yang diberi kode “g” (general factors) dan kemampuan khusus yang diberi kode “s” (spesific factors). b. Teori “Primary Mental Abilities” Teori ini dikemukakan oleh Thurstone yang berpendapat bahwa kognitif merupakan penjelmaan dari kemampuan primer yaitu berbahasa, mengingat, berpikir logis, pemahaman ruang, bilangan, menggunakan kata-kata, dan mengamati dengan cepat dan cermat. c. Teori “Multiple Intelligence”
Teori ini dikemukakan oleh J.P Guilford dan Gardner, mereka berpendapat bahwa kognitif dapat dilihat dari tiga kategori dasar atau “faces of intellect”, content, dan produk. Keterkaitan antara ketiga kategori berpikir atau kemampuan intelektual tersebut melahirkan 180 kombinasi kemampuan. Pengertian Pendekatan Pembelajaran Kontekstual Pendekatan pembelajaran kontekstual menurut Johnson (2010: 10), merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Hasil pembelajaran dengan kosep tersebut diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Sedangkan siswa akan belajar dengan baik apabila dua komponen sistem pengajaran dan pembelajaran kontekstual terpenuhi yaitu pembelajaran mandiri dan kerja sama (Johnson, 2010: 149). Pembelajaran mandiri mengutamakan pengamatan aktif dan mandiri. Pembelajaran mandiri mengaitkan studi akademik dengan kehidupan seharihari dalam cara yang bermakna untuk mencapai tujuan yang berarti. Kerja sama merupakan komponen penting dalam pembelajaran kontekstual, dalam proses belajar siswa dapat bekerjasama dalam kelompok-kelompok kecil dan otonom (Johnson, 2010: 163). Kerja sama juga dapat menghilangkan hambatan mental akibat terbatasnya pengalaman dan cara pandang yang sempit. Jadi akan lebih memungkinkan anak untuk menemukan kekuatan dan kelemahan diri, belajar untuk menghargai orang lain, mendengarkan dengan pikiran terbuka, dan membangun persetujuan bersama dalam mengembangkan perkembangan kognitif siswa. Sedangkan menurut Trianto (2008: 20), pendekatan pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual, yakni: konstruktivisme (contructivism), bertanya (questioning), inkuiri (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), dan penilaian autentik (authentic assessment). Berdasarkan dari beberapa pengertian penerapan pendekatan pembelajaran kontekstual yang dimaksud oleh beberapa ahli di atas dapat diringkas bahwa pendekatan pembelajaran kontekstual merupakan sebuah konsep belajar dimana guru sebagai pendidik menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari secara lebih bermakna, dimana siswa dapat memperoleh pengetahuan dan keterampilan serta sedikit demi sedikit dapat mengkontruksi pengetahuan untuk diri sendiri sebagai bekal dalam memecahkan masalah di kehidupan sebagai bagian anggota dari masyarakat. Hal tersebut di tingkat pendidikan anak usia dini diterapkan dengan membawa anak secara langsung untuk terjun ke alam bebas untuk belajar ataupun membawa objek yang dipelajari secara nyata di kelas, bisa berbentuk asli maupun simbolik dan hanya bukan sekedar lembaran gambar pada kertas.
Pembelajaran kontekstual dapat dikatakan sebagai sebuah pendekatan pembelajaran yang mengakui dan menunjukkan kondisi alamiah dari pengetahuan. Manfaat Penerapan Pendekatan Pembelajaran Kontekstual Menekankan dengan konsep diatas menurut Sanjaya (2006: 255), manfaat penerapan pendekatan kontekstual dalam kegiatan pembelajaran di kelas adalah: a.Agar dengan penerapan pembelajaran kontekstual dikelas lebih menekankan pada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada pengalaman secara langsung. Proses belajar tidak hanya mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran. b.Melalui kontekstual siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk menghubungkan antara pengalaman belajar disekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini penting sebab dengan mengorelasikan materi yang dikemukakan dengan kehidupan nyata bukan saja bermakna bagi siswa secara fungsional akan tetapi yang dipelajari akan tertanam dalam memori jangka panjang sehingga tidak mudah dilupakan. c.Kontekstual mendorong siswa untuk dapat menerapkan dalam kehidupan, artinya penerapan pendekatan kontekstual bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya akan tetapi bagaimana pelajaran itu dapat sebagai bekal dalam kehidupan nyata. Tujuan Pendekatan Pembelajaran Kontekstual Tujuan pendekatan pembelajaran kontekstual menurut Nurhadi (2004: 18), antara lain sebagai berikut: a. Dapat membekali siswa dengan pengetahuan yang fleksibel dan diterapkan atau di transerkan dari suatu permasalahan ke permasalahan lainnya. b. Siswa belajar dari mengalami sendiri bukan dari pemberian orang lain. c. Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sempit) sedikit demi sedikit. d. Penting bagi siswa tahu “untuk apa” dan “bagaimana ia belajar” Karakteristik Pembelajaran Kontekstual Sistem pembelajaran kontekstual menurut Johnson (dalam Nurhadi dkk, 2004: 13), memiliki delapan ciri utama yakni: a. Melakukan hubungan yang bermakna atau (making meaningful connections). Siswa dapat mengatur diri sendiri untuk aktif dalam mengembangkan minatnya, dan dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok dan siswa dapat belajar sambil berbuat (learning by doing).
b. Melakukan kegiatan yang signifikan (doing significant work). Siswa membuat hubungan-hubungan antara sekolah dan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata sebagai bagian dari masyarakat. c. Belajar yang diatur sendiri (self-regulated learning). Siswa dapat mengatur porsi belajarnya yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki karena siswa belajar langsung dari pengalaman nyata. d. Bekerja sama (collaborating), dalam proses belajar siswa dapat bekerjasama dalam kelompok-kelompok kecil dan otonom karena kerja sama juga dapat menghilangkan hambatan mental akibat terbatasnya pengalaman dan cara pandang yang sempit. Jadi akan lebih memungkinkan anak untuk menemukan kekuatan dan kelemahan diri, belajar untuk menghargai orang lain, mendengarkan dengan pikiran terbuka, dan membangun persetujuan bersama dalam mengembangkan perkembangan kognitif siswa. e. Berpikir kritis dan kreatif (creatical and creative thinking), siswa dapat dapat menggunakan tingkat berpirik yang lebih tinggi secara kritis dalam pembelajaran untuk menhasilkan hal-hal yang kreatif. f. Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nurturing the individual). Siswa memelihara pribadinya mengetahui, memberi perhatian, memiliki harapan yang tinggi, motivasi dan memperkuat diri sendiri. g. Mencapai standart yang tinggi (reaching high standards), siswa mampu memecahkan masalah dan memahami isu dengan pencapaikan standart yang tinggi. h. Menggunakan penilaian autentik (using authentic assesment). Penggunaan berbagai macam strategi penilaian yang secara valid mencerminkan hasil belajar sesungguhnya yang diharapkan dari siswa. Strategi-srategi ini dapat meliputi penilaian atau proyek dan kegiatan siswa, penggunaan portofolio, rubrik, checklis, dan panduan pengamatan disamping memberikan kesempatan siswa ikut aktif berperan-serta dalam menilai pembelajaran mereka sendiri dan penggunaan untuk memperbaiki keterampilan menulis mereka. Komponen Utama dalam Pembelajaran Kontekstual Pembelajaran kontekstual pada dasarnya dapat diterapkan pada pembelajaran seharihari dalam bidang apa saja termasuk dalam mengolah perkembangan kognitif anak dan kelas bagaimanapun keadaanya. Menurut Trianto (2008: 25), penerapan pendekatan pembelajaran kontekstual memiliki tujuh komponen utama yaitu kontruktivisme (contructivism), inkuiri (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflektion), penilaian sebenarnya (authentic assesment). Sebuah kelas dikatan menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual jika menerapkan ketujuh prinsip tersebut dalam pembelajarannya. Penerapan masing-masing komponen pembelajaran kontekstual diatas dapat dijelaskan dalam uraiab sebagai berikut:
a. Konstruktivisme (Constructivism). Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pembelajaran kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas memalui konteks yang terbatas (Trianto, 2008: 28). Pengetahuan bukan seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap digunakan jadi anak diajarkan untuk mengkonstruksikan pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata yang diberikan oleh lingkungan dengan pengarahan oleh pendidik. Dalam hal ini tugas pendidik tidak hanya menuangkan atau menjejalkan sejumlah informasi kedalam benak siswa tetapi mengolah keadaan agar konsep-konsep dalam perkembangan dalam hal ini kognitif dapat berguna dan tertanam kuat dalam benak siswa. Menurut Trianto (2008: 29), tugas pendidik dalam hal ini guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa, memberi kesempatan siswa menemukan dan menetapkan idenya sendiri dan menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar. b. Inkuiri (Inquiri). Inkuiri merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual. Menurut Sanjaya (2006: 265), inkuiri artinya proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Dengan pengetahuan dan keterampian yang diperoleh secara sistematis diharapkan siswa diharapkan bukan hasi mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi dari hasil menemukan sendiri. Langkah-langkah kegiatan inkuiri menurut Trianto (2008: 30), adalah merumuskan masalah, mengamati atau melakukan observasi, menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya serta mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audien yang lain. c. Bertanya (Questioning). Menurut Sanjaya (2006: 266), belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dapat dipandang sebagai pencerminan keingintahuan seseorang, sedang menjawab pertanyaan mencernkan kemampuan dalam berpikir. Dalam pendekatan pembelajaran kontestual bertanya digunakan oleh guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bertanya juga menjadi hal yang penting karena dengan hal tersebut siswa dapat menggali informasi sebanyak mungkin, mengkonfirmasi hal yang sudah diketahui, dan mengarahkan pada aspek yang belum diketahui. Berikut merupakan kegunaan dari kegiatan bertanya (Trianto, 2008: 31): 1) Menggali informasi, baik administrasi maupun akademis. 2) Mengecek pemahaman siswa.
3) Membangkitkan respon kepada siswa. 4) Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa. 5) Mengetahui hal-hal yang diketahui siswa 6) Memokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru 7) Membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa. 8) Menyegarkan kembali pengetahuan siswa. d. Masyarakat belajar (Learnig Community) Menurut Thorndike (dalam Muchith 2007: 1), belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Sedangkan konsep Learnig Community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain, jadi dengan kerjasama sebagai stimulus maka diharapkan responya adalah hasil pembelajaran. Ketika anak baru belajar mengklasifikasikan benda ke dalam kelompok yang sama atau kelompok yang sejenis atau kelompok yang berpasangan dengan dua variasi, kemudian seoranga anak bertanya kepada temannya. Kemudian temannya yang sudah bisa menunjukkan cara mengerjakkannya maka dua anak tersebut sudah membentuk masyarakat belajar (learning community). Hasil belajar yang diperoleh dari sharing antara teman, antar kelompok, dan antara yang tahu ke yang belum tahu baik yang terjadi disekolah maupun di luar sekolah hal tersebut termasuk masyarakat belajar. Kelas yang menggunakan pembelajaran kontekstual guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok belajar, siswa dibagi dalam kelompok yang anggotanya heterogen yang pandai mengajari yang lemah, yang tahu memberi tahu yang belum tahu dan seterusnya. Kegiatan saling belajar akan terjadi apabila tidak ada pilihan yang dominan dalam komunikasi, tidak ada pihak yang menganggap paling tahu, semua pihak mau saling mendengarkan. Setiap pihak harus merasakan bahwa setiap orang memiliki pengetahuan, pengalaman, atau keterampilan yang berada dan perlu dipelajari (Trianto, 2007: 112). e. Pemodelan (Modeling) Sebuah pembelajaran keterampilanatau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru (Trianto, 2008: 34). Model dalam hal ini bisa guru sebagai pendidik, tenaga ahli dalam bidang tertentu bahkan siswa. Model pada dasarnya membahas gagasan yang dipikirkan, mendemonstrasikan sebuah bentuk pembelajaran dalam hal ini modelling digunakan untuk mengembangkan perkembangan kognitif pada anak. f. Refleksi (Reflection) Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa yang sudah dilakukan pada masa lalu (Trianto, 2008: 35). Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan baru yang
merupakan pengayaan dari pengetahuan sebelumnya. Pengetahuan yang dimiliki siswa diperluas melalui konteks pembelajaran dan guru membantu siswa membuat hubungan dari pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dan pengetahuan baru agar berguna. Guru perlu melaksanakan refleksi pada akhir pengajaran hal tersebut berupa pernyataan langsung tentang apa yang diperoleh pada hari itu, membuat catatan atau jurnal di buku siswa, berdiskusi tentang kesan dan memberi saran mengenai pembelajaran pada hari itu. g. Penilaian Autentik (Authentic Assesment). Penilaian autentik menilai pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa. Penilai tidak hanya guru, tetapi bisa juga teman atau orang lain. Karakteristik penilaian autentik (Trianto, 2008: 37): 1) Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung. 2) Bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif. 3) Yang diukur keterampilan dan peformansi bukan mengingat fakta. 4) Berkesinambungan. 5) Terintegrasi. 6) Dapat digunakan sebagai feed back. Prinsip-prinsip Penerapan Pembelajaran Kontekstual Berkaitan dengan faktor kebutuhan individu siswa, untuk menerapkan pembelajaran kontekstual guru perlu memegang prinsip pembelajaran sebagai berikut (Nurhadi dkk, 2004: 20): a. Merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran perkembangan mental siswa (developmentally appropiate). b. Membentuk kelompok belajar yang saling bergantung (independent learning groups). c. Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri (self-regulated learning). d. Mempertimbangkan keragaman siswa (disversity of student). e. Menggunakan teknik bertanya untuk meningkatkan pembelajaran perkembangan masalah, dan keterampilan berpikir tingkat tinggi. f. Menerapkan penilaian autentik.
siswa,
METODE PENELITIAN Berdasarkan klasifikasi menurut jenis penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimen dengan metode kuantitatif. Penelitian ini termasuk dalam desain penelitian Pre-Experimental Designs dengan jenis One-Group Pre-test-Post-test Design. Penelitian ini menggunakan statistik nonparametris. Penelitian yang menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual ini menggunakan subyek penelitian berupa siswa kelas A PAUD Tunas Harapan dengan jumlah 12 siswa. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan observasi. Observasi sistematis dilakukan oleh pengamat dengan menggunakan pedoman sebagai instrumen pengamatan. Lembar observasi yang digunakan untuk penelitian ini akan diuji validitasnya setiap item pernyataan dengan menggunakan Content Validity (validitas isi) yang dilakukan dengan cara dikonsultasikan dengan ahli, kemudian diujicobakan dan dianalisis dengan analisis item. Penelitian ini menggunakan pengujian reabilitas dengan internal consistency yang dilakukan dengan mencobakan instrumen sekali saja. Uji statistik non parametris yang akan digunakan dalam analisis data pada penelitian ini adalah uji Wilcoxon (Wilcoxon Matched Pairs Sign Rank Test). Dalam pelaksanaan pengujian hipotesis dengan uji Wilcoxon akan digunakan tabel penolong (Sugiyono, 2010: 151). Metode uji jenjang bertanda wilcoxon dimaksudkan untuk mengetahui arah dan ukuran perbedaan. Langkah awal dalam melakukan pengujian dengan menggunakan uji jenjang bertanda wilcoxon adalah menentukan kriteria signifikansi perbedaan. Misalkan dipilih harga α = 5%. Langkah selanjutnya adalah menentukan besar dan arah perbedaan hasil pengukuran (T – R). kemudian dilanjutkan dengan menentukan rank (pangkat) perbedaan mutlak. Pangkat (rank) perbedaan mutlak dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: Hasil pengukuran yang tidak menunjukkan perbedaan (atau nol) tidak diikutsertakan dalam pengolahan data. Selisih paling kecil diberi pangkat 1, berturut – turut sampai selisih yang paling besar. Langkah berikutnya adalah menjumlahkan sign rank positif dan negatif. Langkah berikutnya adalah menentukan kesimpulan dari pengujian hipotesis dengan jalan membandingkan T_hitung dan T_tabel untuk tingkat signifikansi yang ditetapkan sebelumnya (dalam hal ini α = 5%). Jika T_hitung ≤ T_tabel maka hipotesis nol harus ditolak. Sebaliknya jika T_hitung>T_tabel maka hipotesis nol diterima (Reksoatmodjo, 2009: 150). Hasil Penelitian Berdasarkan tabel hasil perhitungan di atas, diketahui bahwa nilai yang diperoleh adalah 0, karena jumlah Signed Rank terkecil (positif atau negatif) dinyatakan sebagai nilai . Kemudian dibandingkan dengan dengan taraf signifikan 5% dan N = 12. Dari tabel nilai kritis untuk uji jenjang bertanda Wilcoxon bahwa nilai
adalah 14. Jika
≤
berarti
ditolak dan
diterima.
Dari hasil penelitian di atas, diketahui bahwa < (0 < 14) maka hipotesis penelitian diterima. Untuk memperjelas data peningkatan pre-test dan post-test disajikan dalam grafik berikut ini:
Hasil Pre-Test dan Post-Test Observasi Perkembangan Kognitif Anak Berdasarkan grafik tersebut dapat dilihat terdapat perbedaan skor perkembangan kognitif. Grafik pre-test lebih rendah dibandingkan dengan grafik post-test meskipun ada perbedaan perkembangan setiap subyek. Hal tersebut mampu menjelaskan bahwa ada perubahan atau perkembangan skor perkembangan kognitif anak antara sebelum dan sesudah diberi perlakuan dengan pembelajaran kontekstual. Hal tersebut dapat diartikan bahwa penerapan pendekatan pembelajaran kontekstual dapat diterapkan dan memiliki hasil yang signifikan terhadap perkembangan kognitif anak. Seluruh jumlah siswa di PAUD Tunas Harapan Tulungagung yang berjumlah 12 anak, semuanya diberi perlakuan dengan pendekatan pembelajaran kontekstual. Pembelajaran degan pendekatan pembelajaran kontekstual diberikan dalam sepuluh kali pertemuan selama kurang lebih dua minggu. Setelah perlakuan selesai diberikan, maka peneliti melakukan pengukuran kembali (post-test) dengan menggunakan instrumen yang sama dengan instrumen pada pengukuran awal (pre-test) yaitu lembar observasi perkembangan kognitif anak. Selanjutnya hasil yang diperoleh yaitu skor pre-test dan post-test dianalisis menggunakan uji statistik non parametik dengan uji jenjang bertanda Wilcoxon. Analisis ini diperoleh T_hitung < T_tabel (0 < 14), sehingga Ho ditolak dan Ha diterima. Hal ini berarti pendekatan pembelajaran kontekstual memiliki hasil yang signifikan terhadap perkembangan kognitif anak usia 4 – 5 tahun di PAUD Tunas Harapan Tulungagung. Peningkatan perkembangan kognitif ini ditunjukkan oleh berkembangnya kemampuan yang dicapai dan sesuai dengan lingkup perkembangan kognitif pada Permen No. 58 tahun 2009 tentang Standart Pendidikan Anak Usia Dini. Peningkatan perkembangan kognitif ditunjukkan oleh perubahan kemampuan anak yang mulai berkembang secara beragam setelah mengikuti pembelajaran kontekstual. Kenaikan skor pada penelitian ini pada anak tidak sama. Perbedaan skor perkembangan kognitif anak ini dikarenakan
oleh setiap anak memiliki daya konsentrasi yang berbeda yang menyebabkan perbedaan dalam kemampuan menerima informasi. Pada perlakuan dengan pembelajaran kontekstual, siswa diarahkan untuk pada kondisi yang senyatanya antara bahan ajar dan materi ajar dalam pembelajaran dengan menciptakan lingkungan yang menyenangkan dalam mengikuti pembelajaran. Pemahaman dan kesenangan anak dimunculkan dengan komponen utama pendekatan kontekstual, dimulai dengan kontruktivisme (contructivism), inkuiri (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflektion), penilaian sebenarnya (authentic assesment), dan media secara nyata sehingga memunculkan ketertarikan dan kesenangan pada anak. Melalui pembelajaran kontekstual anak-anak fokus dan senang, selama pembelajaran anak lebih akrab dan bersahabat baik dengan teman maupun dengan guru. Kondisi demikian membuat anak mudah menyerap informasi yang disampaikan dan relatif bertahan lebih lama. Perkembangan kognitif yang rendah tunjukkan terlambatnya lingkup perkembangan kognitif sehingga berdampak keterlambatan pada tingkatan pencapaian perkembangan dan dalam jangka panjang bisa menyebabkan rendahnya perkembangan kosakata, aplikasi matematika, dan komputasi dasar yang akan berdampak buruk terhadap kehidupan mereka sendiri. Seperti yang telah dikemukakan oleh (Nurhadi dkk, 2004: 20), pada prinsipnya pembelajaran kontekstual akan mengubah paradigma para siswa terhadap guru yang mengajar hanya dikelas dan menggunakan lembar kerja menjadi terciptanya suasana yang menyenangkan dalam pembelajaran dengan menghubungkan materi ajar dengan keadaan senyatanya. Melakukan hubungan yang bermakna atau (making meaningful connections) dan siswa dapat mengatur diri sendiri untuk aktif dalam mengembangkan minatnya, dan dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok dan siswa dapat belajar sambil berbuat (learning by doing). Simpulan Berdasarkan rumusan masalah maka dapat disimpulkan bahwa penerapan pendekatan kontekstual dapat diterapkan dan mengetahui hasil penerapan pendekatan pembelajaran kontekstual terhadap perkembangan kognitif anak usia 4 – 5 tahun di PAUD Tunas Harapan Tulungagung. Hasil tersebut dapat diketahui dengan adanya peningkatan skor perkembangan kognitif siswa antara sebelum dan sesudah penerapan pendekatan kontekstual dan hipotesis penelitian yang berbunyi “pedekatan pembelajaran kontekstual dapat diterapkan dan mampu memberikan hasil terhadap perkembangan kognitif anak usia 4 – 5 tahun di PAUD Tunas Harapan Tulungagung” telah terbukti. Perkembangan kognitif ditunjukkan oleh perubahan aspek kognitif secara positif secara beragam setelah mengikuti pembelajaran pendekatan kontekstual. Siswa yang mengikuti pembelajaran kontekstual tampak mulai menerapkan dan memahami materi yang telah disampaikan. Siswa lebih memahami konsep pengetahuan umum dan sains, konsep bentuk,warna, dan pola, konsep bilangan, lambang bilangan, dan huruf sebelum mengikuti pembelajaran kontekstual.
Saran Berdasarkan simpulan di atas, beberapa saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut : 1. Bagi Guru Dengan adanya bukti bahwa, diharapkan guru dapat mempergunakan pembelajaran kontekstual sebagai salah satu bentuk pembelajaran untuk mengatasi masalah perkembangan kognitif anak. 2. Bagi Peneliti Lain a. Penerapan pendekatan pembelajaran kontekstual memberikan hasil terhadap perkembangan kognitif anak di PAUD Tunas Harapan Tulungagung Menggunakan variabel lain yang berbeda dari variabel yang telah diteliti oleh peneliti. b. Pemberian penerapan pendekatan pembelajaran kontekstual yang dilakukan hanya sebanyak 10 kali pertemuan. Seyogyanya dibutuhkan jumlah perlakuan yang lebih banyak dalam mengembangkan kognitif anak sehingga memungkinkan tercapainya tujuan secara maksimal. Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Edisi VI). Jakarta: Rineka Cipta. Azwar, Saiudin. 2008. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Hasan, Maimunah. 2009. PAUD(Pendidikan Anak Usia Dini). Jogjakarta: DIVA Press. Johnson. 2010. CTL (Contextual Teaching and Learning) Menjadiakan Kegiatan Belajar Mengajar Mengasyikan dan Bermakna. Bandung: Kaifa Learning. Maksum, Ali. 2008. Psikologi Olahraga: Teori dan Aplikasi. Surabaya: Unesa University Press. Muchith, Saekhan. 2007. Pembelajaran Kontekstual. Semarang: RaSAIL. Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia. Nurhadi. Dkk. 2004. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Malang: Universitas Negeri Malang. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 58 tahun 2009 tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini. 2009. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Reksoatmodjo, Tedjo. 2009. Statistika untuk Psikologi. Bandung: Reika Aditama
Santrock, J.W. 2007. Perkembangan Anak, Jilid II. Jakarta: Penerbit Erlangga. Sanjaya. 2006. Pembelajaran dalam Implementasi Kompetensi. Jakarta: Kencana Prada Group.
Kurikulum
Berbasis
Sujiono. Dkk. 2010. Metode Pengembangan Kognitif. Jakarta: Universitas Terbuka. Sugiyono. 2007. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta Sugiyono. 2010. Statistik Nonparametris untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sukardi. 2010. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Trianto. 2008. Mendesain Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) di Kelas. Jakarta: Cerdas Pustaka Publisher. Triyono. 2005. Pintu-pintu Pendidikan Kontekstual Anak Usia Dini. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 1990. Surabaya: Usaha Nasional Winarsunu. 2009. Statistik dalam Penelitian Psikologi&Pendidikan. Malang: UMM Press.
[1] Skripsi untuk memenuhi persyaratan penyelesaian program sarjana pendidikan. Universitas Negeri Surabaya tahun 2012 [2] Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta