PENERAPAN HUKUM SATU HARGA (LAW OF ONE PRICE) DALAM ARBITRAGE INTERNASIONAL Soebari Martoatmodjo*)
ABSTRAK Menurut teori terdapat hubungan timbal balik antara inflasi, kurs valuta asing, suku bunga, premium atau discount dari kurs forward. Hubungan kausal antara beberapa variabel tersebut diatas dicanangkan dalam konsep-konsep yang dinamakan Paritas Suku Bunga, Paritas Daya Beli, Efek Fisher, Efek Fisher Internasional dan Kurs Spot dimasa datang yang tidak bias. Hubungan dari kelima konsep tersebut diyakini akan menimbulkan apa yang disebut sebagai hukum satu harga (law of one price) yang berlaku untuk seluruh dunia. Tulisan ini bermaksud menjawab pertanyaan apakah benar hukum satu harga tersebut dapat berlaku efektif atau tidak diseluruh dunia dan lebih tegas lagi apakah juga berlaku di Indonesia ? Kata kunci : IRP, PPP, FE, IFE, UFR, Kurs Spot, Kurs Forward, Parity Lines dan Arbitrage.
1. PENDAHULUAN Dalam manajemen keuangan internasional diketahui bahwa terdapat hubungan kausal antara selisih inflasi dan kurs spot valuta asing, antara selisih suku bunga dengan premium atau discount dari kurs forward. Hubungan-hubungan sebab akibat tersebut diatas masing-masing dikenal dengan konsep Purchasing Power Parity (PPP), konsep Interest Rate Parity (IRP) dan konsep International Fisher Effect (IFE). Purchasing Power Parity menyatakan bahwa kurs spot dari suatu mata uang atau valuta dalam hubungannya dengan mata uang atau valuta lain akan berubah sebagai reaksi atas perbedaan laju inflasi antara dua negara. Sedangkan Interest Rate Parity menyatakan bahwa kurs forward suatu valuta dalam hubungannya dengan mata uang asing akan mengandung premium atau discount sesuai dengan selisih suku bunga antara kedua negara. Sementara itu International Fisher Effect menyatakan bahwa kurs spot suatu mata uang dalam hubungannya dengan valuta lainnya akan berubah sesuai dengan selisih
*)
Drs.Soebari Martoatmodjo,MM adalah dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya.
238 Ekuitas Vol.5 No.3 September 2001
suku bunga diantara dua negara. Dari ketiga konsep ini akan menimbulkan konsekuensi sebagai berikut : a. Untuk Purchasing Power Parity (PPP) konsekuensinya adalah daya beli konsumen pada saat membeli barang di dalam negeri sendiri akan sama dengan daya beli mereka pada saat menyimpan barang dari negara lain. b. Untuk Interest Rate Parity konsekuensi logisnya adalah arbitrage internasional (covered) tidak akan memberikan pengembalian yang lebih baik dari pada pengembalian pada investasi domestik. c. Untuk International Fisher Effect konsekuensinya adalah apabila dipandang dari sudut investor domestik, pengembalian dari sekuritas-sekuritas pasar uang luar negeri tidak akan lebih baik dibanding pengembalian dari sekuritas-sekuritas pasar uang domestik (Madura 1994). Berdasar atas konsekuensi logis dari ketiga konsep tersebut diatas maka secara teoritis ketiga konsep akan mendukung apa yang disebut dengan law of one price (hukum satu harga) yang seharusnya berlaku untuk negara-negara di seluruh dunia. Uraian berikut mencoba mengkaji dan memahami aspek-aspek dari hukum satu harga yang disebutkan diatas.
2. KONSEP HUKUM SATU HARGA Pada dasarnya hukum satu harga ini mengajarkan bahwa untuk komoditas yang sama akan memiliki harga yang relatif sama pula, meskipun dijual ditempat yang berbeda Apabila pada uraian pendahuluan telah disebutkan bahwa konsekuensi logis dari PPP, IRP dan IFE akan mendukung hukum satu harga yang berlaku diseluruh dunia, maka untuk berlakunya hukum satu harga ini harus dipenuhi asumsi-asumsi antara lain pasar harus kompetitif, pembeli dan penjual mempunyai akses informasi dengan biaya yang rendah dan sebagainya. Hubunganhubungan antara kurs spot, kurs forward, tingkat bunga dan tingkat inflasi yang digambarkan pada uraian terdahulu disempurnakan oleh Shapiro (1999) dalam suatu diagram yang merupakan hasil dari suatu aktivitas arbitrage sebagai berikut :
Penerapan Hukum Satu Harga (Soebari Martoatmodjo) 239
Gambar 1 Lima Kunci Hubungan Teoritis Antara Kurs Spot, Kurs Forward, Tingkat Bunga dan Tingkat Inflasi
Expected Persentage Change Of Spot Exchange Rate Of Foreign Currency -3 %
Forward Discount Or Premium On Foreign Currency -3 %
Interest Rate Differential +3 %
Expected Inflation Rate Defferential +3 % Keterangan
: a). b). c). d). e).
UFR : Forward Rate as Unbiased Predictors of Future Spot Rate PPP : Purchasing Power Parity IFE : International Fisher Effect FE : Fisher Effect IRP: Interest Rate Parity
Dari kerangka atau pola dasar hubungan seperti tersebut diatas dapat diterangkan hubungan antara harga, kurs spot, tingkat bunga dan kurs forward. Lihat diagram diatas, misalnya apabila Franc Perancis mengalami ekspektasi inflasi sebesar 3% lebih besar dari ekspektasi inflasi di USA untuk tahun yang akan datang, maka nilai Franc Perancis akan jatuh kira-kira 3% dibanding dengan US $. Sejalan dengan hal tersebut maka Franc Perancis akan dijual di pasar forward dengan discount 3% relatif terhadap US $. Ini berarti tingkat bunga Franc Perancis akan berada pada posisi 3% lebih besar dari tingkat bunga di USA dalam jangka 1 tahun kedepan. Untuk memahami diagram diatas secara rinci, dibawah ini akan diuraikan masing-masing konsep yang membentuk law of one price sebagai berikut :
240 Ekuitas Vol.5 No.3 September 2001
A. Interest Rate Parity (Paritas Tingkat Bunga) Investasi dapat dilakukan di dalam negeri atau di luar negeri. Jika dilakukan di dalam negeri relatif tidak terjadi ketidakpastian dalam arti tidak terganggu oleh fluktuasi dari nilai mata uang. Tetapi apabila investasi dilakukan di luar negeri masalah yang segera muncul adalah apabila mata uang asing tersebut nilainya berubah. Dalam Paritas Daya Beli (PPP) kondisi tersebut akan berlaku di pasar barang. Sedangkan di pasar sekuritas akan muncul apa yang disebut dengan paritas tingkat bunga. Pada dasarnya paritas tingkat bunga menjelaskan bahwa tingkat return investasi dari suatu mata uang atau biaya pinjaman dalam suatu mata uang akan sama besarnya di berbagai negara. Shapiro (1999) menyatakan bahwa mata uang dari suatu negara dengan tingkat bunga rendah akan mengalami forward premium jika dibandingkan dengan mata uang negara lain dengan tingkat bunga yang tinggi. Dalam pasar yang efisien dengan asumsi tanpa biaya transaksi maka tingkat bunga aktual akan kurang lebih sama besarnya dengan Kurs Forward. Jika memang terjadi seperti yang digambarkan diatas tadi, terjadilah apa yang dikatakan dengan Interest Rate Parity. Ada 2 jenis Interest Rate Parity : a). Apabila perbedaan tingkat bunga domestik dengan tingkat hedging asing (the hedged foreign rate) adalah nol maka keadaan ini disebut dengan Covered Interest Differetial. Sebagai contoh seorang investor Amerika Serikat mempunyai uang US $ 1.000.000. Uang tersebut dapat diinvestasikan dengan dua cara : (1). Invest di Amerika Serikat selama 90 hari dengan bunga 8% per tahun atau 2% per 90 hari. (2). Invest di Jerman dengan tingkat bunga 6% per tahun (1,5% per 90 hari) Kurs spot DM 1,5311 / US $ dan Kurs forward DM 1,5236 / US $. Jika investor tersebut investasi di Amerika Serikat, maka 90 hari yang akan datang yang bersangkutan akan menerima US $ 1.000.000 x 1,02 = US $ 1.020.000. Keuntungan yang diperoleh adalah US $ 20.000. Namun apabila investasi ini dilakukan dengan pilihan kedua, langkah-langkah yang harus ditempuh adalah sebagai berikut : (1). Belikan US $ 1.000.000 dengan DM pada Kurs Spot DM 1,5311 / US $ akan didapatkan DM 1.531.100. (2). Investasikan di Jerman dengan bunga 1,5% per 90 hari. Pada akhir periode yang bersangkutan akan dapat meraih uang sebanyak DM 1.531.100 x 1,015 = DM 1.554.066,50. (3). Jual perolehan pada butir 2 ke US $ dengan kurs DM 1,5311 / US $ akan didapatkan US $ 1.020.000. Bandingkan cara investasi ke satu dan ke dua adalah US $ 1.020.000 – US $ 1.020.000 = 0. Terjadilah apa yang dimaksud dengan covered interest differential.
Penerapan Hukum Satu Harga (Soebari Martoatmodjo) 241
b). Apabila hasil dari covered interest differential ≠ 0 akan terjadi arbitrage incentive yang menyebabkan uang akan bergerak dari suatu negara ke negara lain. Hal ini disebut dengan Covered Interest Arbitrage. Contoh dari hal tersebut diatas adalah sebagai berikut: Tingkat bunga ₤ 12% per tahun di London dan tingkat bunga US $ 7% per tahun di New York. Kurs Spot US $ 1,75 / ₤ dan Kurs Forward diperkirakan US $ 1,68 / ₤. Ini berarti ₤ akan mengalami forward discount sebesar (1,68 – 1,75) / 1,75 = 4% Sehingga Cover Yield ₤ adalah 12% - 4% = 8%. Oleh karena itu dana akan mengalir dari New York ke London. Keadaan ini akan menimbulkan Triangular Arbitrage yang dapat dijelaskan sebagai berikut : (1). Abritageur meminjam US $ 1.000.000 di New York dan pada akhir tahun harus membayar sejumlah US $ 1.000.000 x 1,07 = US $ 1.070.000. (2). Belikan US $ 1.000.000 dengan ₤ pada Kurs Spot ₤ 1 = US $ 1,75 akan didapat ₤ 571.428,57. (3). Investasikan di London ₤ 571.428,57 tersebut dan pada akhir tahun akan menjadi ₤ 571.428,57 x 1,12 = ₤ 640.000. (4). Belikan ₤ 640.000 dengan US $ pada Kurs Forward US $ 1,68 / ₤ akan menjadi US $ 1.075.200. (5). Kembalikan pinjaman dalam bentuk US $ 1.070.000. Arbitrageur akan mendapatkan untung sebesar US $ 1.075.200 – US $ 1.070.000 = US $ 5.200. Langkah-langkah tersebut diatas dapat digambarkan dalam Arbitrage Segitiga (triangular arbitrage) sebagai berikut : New York Satu Tahun
Awal Tahun 1.
Pinjam US $ 1.000.000 selama 1 tahun akan menjadi US $ 1.070.000
7. Untung bersih US $ 5.200 6. Bayar hutang US $ 1.070.000
2. Jual US $ 1.000.000 dengan ₤ pada kurs US $ 1,75 / ₤ akan menjadi ₤ 571.428,57
5. Jual ₤ 640.00 dengan Kurs Forward didapatkan US $ 1.075.200
London Satu Tahun
4. Hasil Investasi ₤ 571.428,57 x 1,12 = ₤ 640.000
3. Invest ₤ 571.428,57 dengan bunga 12 % / tahun London Awal Tahun
Sumber : Shapiro (1999) 242 Ekuitas Vol.5 No.3 September 2001
Jadi apabila ada selisih suku bunga dalam negeri dibandingkan suku bunga luar negeri yang disertai dengan forward premium atau forward discount yang tidak sama besarnya dengan selisih suku bunga tersebut maka akan terjadi arbitrage internasional seperti yang digambarkan pada uraian diatas. IRP menjelaskan kepada semua orang bahwa seharusnya selisih suku bunga luar negeri dengan suku bunga dalam negeri besarnya harus sama dengan forward discount atau forward premium. Jika ini terjadi berarti terjadi keseimbangan yang letaknya tepat di garis paritas (parity line). Apabila terdapat kasus-kasus yang menyimpang yang berarti bahwa titik-titik koordinat tersebut berada diluar parity line, akan terjadi arbitrage yang dapat berwujud arbitrage dana masuk kedalam suatu negara atau sebaliknya dana mengalir keluar negeri. Dari uraian diatas hubungan arbitrage dapat dirumuskan dalam rumus-rumus sebagai berikut : Apabila
ℓo fi rh rf 1+rh (1+r f) f i / ℓ o
Kurs spot US $ / ₤ Forward rate akhir periode Tingkat bunga di USA Tingkat bunga di Inggris Hasil investasi di USA pada akhir periode Hasil investasi US $ di Inggris
= = = = = =
Maka dalam kasus arbitrage internasional ini dana akan mengalir dari USA ke Inggris apabila : (1+rf) fi 1+rh < ℓo Sebaliknya dana akan mengalir dari Inggris ke USA apabila :
1+rh >
(1+rf) fi ℓo
Interest Rate Parity (paritas tingkat bunga) tidak akan terjadi apabila : 1+rh 1+rf
≠
fi ℓo
=
fi–ℓo ℓo
Tetapi apabila : rh–rf
Akan terjadi Interest Rate Parity
Penerapan Hukum Satu Harga (Soebari Martoatmodjo) 243
Kesimpulan dari semua uraian tentang paritas tingkat bunga ini adalah sebagai berikut : Tingkat bunga yang tinggi dari suatu mata uang akan diimbangi (offset) dengan forward discount dan tingkat bunga yang rendah dari suatu mata uang akan diimbangi dengan forward premium. B. Purchasing Power Parity (Paritas Daya Beli) Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Gustav Cassel pada tahun 1918. Sebenarnya digunakan sebagai dasar untuk menentukan official exchange rate setelah perang dunia pertama. Konsep dari PPP ini dibagi dalam dua versi : (1). Versi Absolut yang mengatakan bahwa tingkat harga akan sama di seluruh dunia apabila dinyatakan dalam mata uang yang umum. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa satu unit mata uang domestik harus mempunyai daya beli yang sama di seluruh dunia. Versi absolut ini tidak memperhatikan atau menyampingkan dampak dari biaya transportasi dalam perdagangan bebas, tarif, quota dan segala jenis pembatasan (ristriksi) dan diferensiasi produk. (2).Versi Relatif yang umumnya sekarang digunakan, versi ini mengatakan bahwa tingkat kurs mata uang domestik dengan mata uang asing harus disesuaikan sesuai dengan perubahan-perubahan tingkat harga dari kedua negara. Perubahan tingkat harga ini dapat dilihat dari tingkat inflasi dari masing-masing negara atau dilihat dari Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index) dari masing-masing negara. Sebagai contoh apabila tingkat inflasi di USA 5% dan di Jepang 1%, menurut teori ini dolar Amerika harus disesuaikan sebesar 4% untuk memperoleh harga yang sama untuk suatu produk tertentu diantara kedua negara. Hubungan antara inflasi dan Kurs Valas ini dapat dikemukakan sebagai berikut : Apabila i h dan i f adalah tingkat inflasi antara dua negara dan ℓ o adalah nilai uang domestik untuk satu unit mata uang asing pada awal periode dan ℓ t adalah Kurs Spot pada periode t maka : ℓ t ℓo
=
(1+ih)t (1+if)t
Sehingga nilai ℓ t adalah sebagai berikut : ℓt
= ℓox(1+ih)t (1+if)t
Untuk jangka pendek rumus umum yang dipakai adalah : ℓt = ℓox 1+ih 1+if 244 Ekuitas Vol.5 No.3 September 2001
Jadi apabila tingkat inflasi di USA 5% dan di Swiss 3% dan Kurs Spot S Fr 1 = US $ 0,75 maka untuk menghitung PPP rate 3 tahun mendatang adalah sebagai berikut ℓ3
=
0,75 x ( 1,05 ) 3 ( 1,03 ) 3
=
US $ 0,7945
Berdasarkan hasil hitungan tersebut diatas dapat diprediksi bahwa Kurs Spot S Fr terhadap US $ tiga tahun yang akan datang adalah S Fr 1 = US $ 0,7945. Dari uraian tersebut diatas akhirnya dapat disimpulkan bahwa mata uang dengan tingkat inflasi yang tinggi akan devalue relative terhadap mata uang dengan tingkat inflasi yang rendah. C. Fisher Effect Pada umumnya tingkat bunga yang digunakan dalam transaksi finansial adalah tingkat bunga nominal. Misalnya tingkat bunga nominal per tahun 8% maka pinjaman US $ 1 pada akhir periode akan dikembalikan sebesar US $ 1,08. Contoh ini tidak menggambarkan bahwa selama waktu 1 tahun itu tentu terjadi perubahan-perubahan yang dimanifestasikan pada perubahan nilai uang yang disebut inflasi. Oleh karena itu tingkat bunga nominal harus disesuaikan (adjusted) dengan ekspektasi inflasi dimasa depan. Oleh karena itu Fisher Effect mengatakan bahwa tingkat bunga nominal ( r ) terdiri dari dua komponen yaitu : (1). Tingkat Rate of Return yang dikehendaki ( a ) (2). Tingkat ekspektasi inflasi ( i ) Fisher Effect (FE) dirumuskan sebagai berikut : 1 + Tingkat bunga nominal = ( 1 + Tingkat bunga riil ) ( 1 + Tingkat ekspektasi inflasi ) = 1 + r =(1+a)(1+i) Dimana r = a + i + a i Keseimbangan dari tingkat bunga nominal dengan ekspektasi inflasi ini akan terjadi apabila :
dimana
1+rh 1+rf
= 1+i h 1+i f
rh
Tingkat bunga domestik
=
Penerapan Hukum Satu Harga (Soebari Martoatmodjo) 245
rf ih if
= = =
Tingkat bunga luar negeri Ekspektasi inflasi domestik Ekspektasi inflasi luar negeri
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa keadaan keseimbangan akan terjadi apabila : Rh–rf = ih–if Fisher Effect (FE) menyatakan bahwa mata uang dengan tingkat inflasi yang tinggi akan menyebabkan tingkat bunga yang tinggi dibanding dengan mata uang yang tingkat inflasinya rendah. Jadi apabila tingkat inflasi di USA 4% dan di Inggris 7% maka Fisher Effect menjelaskan bahwa tingkat bunga di Inggris harus lebih tinggi 3% dibanding dengan tingkat bunga di USA. D. International Fisher Effect Untuk memahami dampak dari perubahan-perubahan relatif dari tingkat bunga nominal antar negara terhadap nilai tukar mata uang nominal adalah dengan mempelajari kembali implikasi dari PPP dan Fisher Effect. Seperti telah diutarakan dalam contoh-contoh terdahulu yang menyatakan bahwa kenaikan inflasi relatif di USA dibanding dengan nagara lain akan diikuti dengan jatuhnya nilai US $. Keadaan ini akan diikuti pula dengan naiknya tingkat bunga relatif di USA dibanding dengan tingkat bunga luar negeri. Kedua kondisi tersebut diatas jika digabungkan akan menghasilkan apa yang disebut dengan Internatioanl Fisher Effect (IFE) suatu teori yang dikemukakan oleh Irving Fisher dan dirumuskan sebagai berikut : (1 + r h) t (1 + r f) t Dimana ē t
= ēt ℓo
= Ekspektasi kurs valas pada periode t
Untuk jangka pendek rumus tersebut dapat ditulis sebagai berikut : 1+rht 1+rft
= ēt ℓo
Pada prinsipnya International Fisher Effect (IFE) ini, menyatakan bahwa mata uang dengan tingkat bunga yang rendah akan menyebabkan apresiasi relatif terhadap mata uang dengan dengan tingkat bunga yang tinggi.
246 Ekuitas Vol.5 No.3 September 2001
E. Hubungan Antara Kurs Forward Dengan Kurs Spot Dimasa Depan (Unbiased nature of forward rate - UFR) Dalam pengertian orang, dewasa ini fungsi dari pasar uang apabila Pemerintah tidak melakukan intervensi di pasar baik untuk kurs spot maupun untuk kurs forward sangat dipengaruhi oleh ekspektasi saat ini terhadap kejadian-kejadian di masa depan. Sebagai contoh depresiasi ₤ akan diantisipasi sebagai berikut : Pemilik ₤ mulai menjual ₤ di pasar forward dan orang yang memiliki US $ akan mengerem penjualan US $ mereka di pasar forward. Aktivitas ini akan menekan harga forward dari ₤. Pada saat yang sama bankbank yang memiliki ₤ forward akan menjual ₤ di pasar spot. Sementara itu pemilik US $ akan menunda penukarannya dengan ₤. Dalam contoh tersebut diatas jelas sekali bahwa tekanan di pasar forward akan ditransmisikan ke dalam pasar spot vice versa. Oleh karena itu Shapiro (1999) mengatakan bahwa Kurs Forward dapat digunakan untuk meramalkan future rate. Secara formal unbiased nature of the future rate (UFR) mengatakan sebagai berikut : Kurs forward akan merefleksikan harapan kurs spot yang akan datang pada saat forward contract ditandatangani. Sehingga hubungan antara kurs forward dengan kurs spot di masa datang dirumuskan sebagai berikut : ft = dimana :
ēt
ē t = Ekspektasi kurs dimasa depan pada waktu t f t = Kurs forward pada waktu t
Persamaan tersebut diatas dapat ditransformasikan yang dapat merefleksikan satu titik pada garis paritas sebagai berikut : ft - ℓo = ēt-ℓo ℓo ℓo Kelima konsep tersebut diatas dapat dilihat pada kurva lampiran 1 a, b, c, d dan e.
3. STUDI EMPIRIK DARI MASING-MASING KONSEP A. Paritas Tingkat Bunga (IRP) Untuk menentukan hubungan dari teori tersebut perlu dibandingkan kuotasi kurs forward dengan suku bunga pada waktu yang sama. Dalam kenyataannya kurs forward dan suku bunga pada saat yang sama itu sulit diperoleh. Namun demikian penelitian tentang IRP ini telah dilakukan oleh Albert, Brown, Frenkel Levich, Stakes dan Neuberger (Madura 1994). Studi dari mereka umumnya menjelaskan bahwa kurs forward dan suku bunga secara umum Penerapan Hukum Satu Harga (Soebari Martoatmodjo) 247
mendukung IRP sehingga covered interest arbitrage dapat dilakukan. Sedangkan study tentang IRP ini di Indonesia dilakukan oleh Safrudin (Sri Handaru Yuliati & Handoyo Prasetyo 1998), yang hasilnya menyatakan bahwa IRP tidak berlaku di Indonesia. B. Paritas Daya Beli (PPP) Pada dasarnya teori ini dibuktikan dengan melakukan pengamatan yang bersifat sederhana yaitu antara dua negara. Bagaimana selisih laju inflasi dua negara akan dapat digunakan untuk memprediksi nilai tukar dapat digunakan cara tersebut diatas. Koordinat dari titik-titik yang berada pada kuadran yang menunjukkan selisih laju inflasi dan perubahan nilai tukar dapat di plot. Apabila titik-titik tersebut mendekati atau berada pada garis imejiner 45o maka dapat dikatakan PPP terbukti. Jika sebaliknya titik-titik tersebut menjauhi garis imejiner tersebut PPP tidak terjadi. Riset yang telah dilakukan mengenai PPP ini antara lain oleh Mishken, Adler, Dumas, Abuaf D Junior (Madura 1994) yang pada umumnya hasilnya tidak mendukung teori PPP. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Hakkio mendukung teori PPP meskipun tidak sempurna. Mengapa paritas daya beli (PPP) tidak terjadi ? Pertanyaan ini dapat dijawab sebagai berikut : (1). Teori paritas daya beli tidak memperhatikan tariff dan non tariff barier serta intervensi pemerintah dalam transaksi perdagangan internasional. (2). Tidak ada produk substitusi dalam pasar domestik. Jika ini terjadi maka negara pengimpor tetap akan melakukan impornya meskipun terjadi selisih inflasi yang cukup besar (Madura 1994). (3). Dilihat dari pengelompokan negara-negara di dunia yang terdiri dari negara-negara maju dan negara-negara berkembang dan dihubungkan dengan pembagian barang menjadi traded goods dan non traded goods (Soebari 2001) maka dapat dipastikan bahwa teori PPP ini tidak berlaku jika digunakan untuk mengukur laju inflasi dan perubahan kurs dari negara-negara maju dan negara-negara berkembang oleh karena harga dari non traded goods antara negara maju (industri) dengan negara berkembang sangat berbeda mencolok. Sehingga apabila teori tersebut diterapkan akan didapati bahwa mata uang dari negara-negara berkembang selalu akan mengalami under value sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Bella Balasa (Nopirin 1994). (4). Bertolak dari harga non traded goods antara negara maju (industri) itu sendiri juga relatif terdapat perbedaan yang cukup tajam misalnya ongkos tukang potong rambut di Tokyo US $ 36,40, New York US $ 21,00, Rio de Jenairo US $ 17,80 di Bonn US $ 12,00 da di Hongkong US $ 4,50 seperti tertera pada lampiran 2 (Shapiro 1999). Hal tersebut diatas merupakan bukti bahwa teori PPP tidak eksis untuk antar negara maju sendiri. Penelitian di Indonesia yang berhubungan dengan Paritas Daya Beli (PPP) ini dilakukan oleh Setyawati pada tahun 1993. Hasil penelitian yang bersangkutan untuk Paritas Daya Beli versi absolut maupun relatif tidak beraku di Indonesia (Sri Handaru Yuliati & Handoyo Prasetyo 1998).
248 Ekuitas Vol.5 No.3 September 2001
C. Fisher Effect Hubungan antara tingkat bunga dengan tingkat inflasi pada umumnya memang terjadi. Pada lampiran 3 terlihat bahwa pada umumnya negara-negara dengan tingkat inflasi yang tinggiselalu diikuti dengan tingkat bunga tinggi. Namun demikian para peneliti yakin bahwa proporsi ekspektasi real return antara negara-negara tersebut akan sama tidak dapat di uji secara langsung. Sebagian besar para pelaku pasar setuju dengan pernyataan bahwa arbitrage yang timbul yang merupakan modal likuid yang dioperasikan pada pasar uang internasional justru ditentukan oleh tinggi rendahnya pajak atas bunga dari masing-masing negara. D. International Fisher Effect Sebagai alat prediksi IFE merupakan alat yang cukup baik untuk menduga bahwa mata uang dengan tingkat bunga yang tinggi akan terdepresiasi seperti misalnya Mexico dan Brazil. Dan mata uang dengan tingkat bunga yang rendah akan mengalami apresiasi misalnya Jepang dan Swiss. Pada lampiran 4 dapat dilihat hubungan antara tingkat bunga nominal dengan tingkat kurs valas relatf terhadap US $ selama 6 tahun dari 1982 s/d 1988, jadi berdasar grafik tersebut diatas IFE dapat digunakan sebagai alat prediksi untuk jangka panjang. Untuk jangka pendek kelihatnnya IFE kurang dapat diandalkan untuk memprediksi hubungan mata uang tingkat bunga tinggi dengan depresiasi atau mata uang dengan tingkat bunga rendah dengan apresiasi (Shapiro 1999) E. Unbiased nature of the forward Rate Banyak studi yang menguji hubungan antara kurs forward dengan kurs spot di masa datang telah dilakukan. Tetapi sebenarnya tidak realistis untuk mendapatkan hubungan yang sempurna antara kurs forward dengan kurs spot di masa datang oleh karena kurs spot di masa yang akan datang akan dipengaruhi oleh beberapa kejadian seperti krisis minyak dan sebagainya sehingga tidak dapat diramalkan secara sempurna. Namun demikian pada umumnya pada studi awal, kesimpulan umum yang diperoleh adalah bahwa kurs forward merupakan prediktor yang unbiased terhadap kurs spot yang akan datang. Tetapi studi yang terkini dengan menggunakan teknik ekonometrika yang canggih didapati bahwa kurs forward adalah prediktor yang biased yang disebabkan oleh risk premium. Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam kurun waktu tertentu kurs forward adalah prediktor yang unbiased, tetapi pada kurun waktu yang lain kurs forward merupakan prediktor yang biased terhadap kurs valuta asing di masa depan. Untuk memperjelas hubungan antara konsep-konsep yang telah diutarakan itu, pada lampiran 5 dapat diikuti dengan jelas hubungan kelima konsep atau teori tersebut satu sama lain yaitu antara PPP, IRP, FE, IFE dan UFR.
Penerapan Hukum Satu Harga (Soebari Martoatmodjo) 249
4. KESIMPULAN Setelah diamati dengan cermat uraian diatas, akhirnya dapat disimpulkan bahwa hukum satu harga (law of one price) tidak seluruhnya mutlak dapat diterapkan. Hukum ini nampaknya untuk negara-negara maju sekalipun tidak mutlak berlaku dengan serta merta. Hanya pada kondisi-kondisi tertentu hukum satu harga ini berlaku. Tetapi pada kondisi yang lain ternyata hukum ini tidak berlaku secara relatif. Sebaliknya bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia sebagaimana beberapa hasil penelitian yang telah disebutkan ternyata hukum satu harga ini tidak berlaku.
5. DAFTAR BACAAN
Kuncoro, Mudrajad, 1996, Manajemen Keuangan Internasional Pengantar Ekonomi dan Bisnis Global, BPFE UGM, Yogyakarta. Madura, Jeff, 1994, International Financial Management, Third Edition, Info Acess Distribution, Pte Ltd, Singapura. Martoatmodjo, Soebari, 1999, Ekonomi Internasional, Stiesia Press, Surabaya. ___________________, 1999, Perubahan Manajemen Valuta Asing di Indonesia dalam Jurnal Ekuitas Stiesia, Surabaya. ___________________, 2001, Mengukur Nilai Tukar (Exchange Rate) Valuta Asing di Indonesia dalam Jurnal Ekuitas Stiesia, Surabaya. Nopirin, 1994, Ekonomi Internasional, BPFE UGM, Yogyakarta. Shapiro C, Allan, 1999, Multinational Financial Management, Sixth Edition, John Wiley & Sons Inc, New York. Soediyono, Ekonomi Internasional Pengantar Pembayaran Internasional, BPFE UGM, Yogyakarta. Yuliati, Sri Handaru dan Prasetyo, Handoyo, 1998, Manajemen Keuangan Internasional, Andi Yogyakarta.
250 Ekuitas Vol.5 No.3 September 2001
Lampiran 1 A. Interest Rate Parity Theory
Interest differential In favor of home Country (%)
| -5
| -4
| -3
| -2
5
-
Arbitrage Inflow to home country
4
-
H
3
-
2
-
1
-
| -1
G Arbitrage outflow from home country |
1 -1 -2 -
| | | 2 3 4 5 Forward premium (+) or discount (-) on foreign currency (%)
-3 Parity Line
-4
-
-5 -
Sumber : Shapiro (1999)
Penerapan Hukum Satu Harga (Soebari Martoatmodjo) 251
B. Purchasing Power Parity
Parity Line Percentage change In home currency Value of foreign currency
5
-
4
A
3 2
-
1 | -5
| -4
| -3
| -2
B
| -1
| 1 -1 -2 -
| | | 2 3 4 5 Inflation differential home country relative to foreign country (%)
-3 -4
-
-5 -
Sumber : Shapiro (1999)
252 Ekuitas Vol.5 No.3 September 2001
C. The Fisher Effect
Interest differential In favor of home Country (%)
| -5
| -4
| -3
5
-
4
-
3
-
2
-
1
-
| -2
-1
Parity line
| 1 -1 -2
| | | | 2 3 4 5 Inflation differential, home country relative to foreign country (%)
-3 -4
-
-5 -
Sumber : Shapiro (1999)
Penerapan Hukum Satu Harga (Soebari Martoatmodjo) 253
D. International Fisher Effect
Expected change in home currency value of foreign currency (%)
5
E
4 F 3
| -5
| -4
| -3
| -2
2
-
1
-
|
|
-1
1 -1 -2 -
| | 2 3 4 5 Interest differential in favor of home country (%)
-3 Parity Line
-4
-
-5 -
Sumber : Shapiro (1999)
254 Ekuitas Vol.5 No.3 September 2001
E. Relation Between the Forward Rate and the Future Spot Rate
Expected change In home currency value of foreign currency (%)
| -5
| -4
-3
-2
| -1
5
-
4
-
3
-
2
-
1
-
Parity line
| 1 -1 -2
|
|
|
|
2 3 4 5 Forward premium (+) or discount (-) on foreign currency (%)
I -3 -4 J -5 -
Sumber : Shapiro (1999)
Penerapan Hukum Satu Harga (Soebari Martoatmodjo) 255
Lampiran 2
256 Ekuitas Vol.5 No.3 September 2001
Lampiran : 3 Fisher Effect : Nominal Interest Rate Versus Inflation for 22 Developed and Developing Countries as of April 1996
16 ♦
South
Africa 14 -
♦ South Korea
12 -
10 -
♦ Italy
Regresion line
♦ Australia ♦ Spain 8 - ♦ Argentina Malaysia ♦ Portugal ♦ ♦ Taiwan ♦ Sweden ♦ Britain 6 ♦ United States ♦ Canada Denmark 4 ♦ ♦ France Germany ♦ ♦ Belgium Austria ♦ ♦ ♦ Netherlands 2 ♦ Switzerland
Japan ♦ | -1 0
Singapura
| 1
| 2
| 3
| 4
| 5
| 6
| 7
0 Inflation rate (measured as the percentage change in the CPI over the past year) Sumber : Shapiro (1999)
Penerapan Hukum Satu Harga (Soebari Martoatmodjo) 257
Lampiran : 4 International Fisher Effect : Empirical Data, 1982 - 1988
150 –
Israel •
140 – 130 – 120 –
• Yugoslavia
110 – 100 –
Mexico
90 –
•
80 – 70 – 60 – 50 – 40 –
Peru •
30 –
• Venezuela
20 – Pakistan • 10 • 0
• Ecuador
• Chile
• Costa Rica
• Columbia
Nepal Egypt • • South Africa • Australia
• • • West Ger
-10 Japan •
• New Zealand | | | | | | | | -10 10 30 50 70 Switz Neth Hun Average interest rate, 1982 – 1988 (%) Sumber : Shapiro (1999)
| | 90 Kenya
| 110
258 Ekuitas Vol.5 No.3 September 2001
Lampiran : 5 Contoh Syarat Paritas Internasional : Yen/Dollar
Prakiraan Kurs Forward sebagai alat prediksi yang tidak bias (E)
Perubahan Kurs Spot + 4% (Yen menguat)
Premi Forward atas valas +4%
Paritas Fisher Internasional (C)
Prakiraan Perbedaan aju inflasi –4%
Perbedaan Suku Bunga Nominal - 4%
Paritas Fisher (B)
Paritas Suku Bunga (D)
Paritas daya beli (PPP) (A)
1. Kurs valas a. Kurs Spot saat ini : S1 = Y156/$ b. Kurs Forward (1 tahun) : F = Y150/$ c. Harapan Kurs Spot : S2 = Y150/$ d. Premi Forward Yen : 156 – 150 y f = 150 x 100% = +4% e. Prakiraan Perubahan S : S1 – S2 156 – 150 = S2 = 150 x 100 = +4%
Penerapan Hukum Satu Harga (Soebari Martoatmodjo) 259
2. Prediksi laju inflasi a. Jepang b. AS c. Perbedaan
3% 7% -4%
3. Suku bunga obligasi Pemerintah satu tahun : a. Jepang 6% b. AS 10% c. Perbedaan -4% Sumber : Mudrajad Kuncoro (1996)
260 Ekuitas Vol.5 No.3 September 2001