PENERAPAN GOOD BREEDING PRACTICES SAPI POTONG DI PT LEMBU JANTAN PERKASA SERANG - BANTEN
SKRIPSI TANTIA SAFITRI
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN TANTIA SAFITRI. D14070016. 2011. Penerapan Good Breeding Practices Sapi Potong di PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
: Dr. Ir. Rudy Priyanto : Dr. Ir. Henny Nuraini M.Si.
Peningkatan populasi ternak sapi yang terjadi di Indonesia dari tahun ke tahun diikuti pula dengan peningkatan pemotongan ternak sapi. Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan pada kebutuhan akan daging sapi di Indonesia. Pemerintah telah melakukan beberapa upaya dalam meningkatkan produksi daging sapi di Indonesia yaitu diantaranya dengan melakukan impor daging dan sapi bakalan. Sapi bakalan impor ini juga digunakan untuk usaha penggemukan di Indonesia. Namun, usaha ini akan terus bergantung pada impor bakalan apabila tidak ada usaha pembibitan ternak. Pelaksanaan usaha pembibitan sapi potong memerlukan suatu pedoman yang harus diterapkan dengan baik yaitu Good Breeding Practices (GBP). Penerapan GBP merupakan suatu tindakan untuk meningkatkan produktivitas sapi potong yang dihasilkan. Wujud nyata dari adanya penerapan ini adalah terbentuknya suatu manual mutu, yaitu semacam pedoman Standard Operational Procedure (SOP) dalam melaksanakan kegiatan usaha ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penerapan GBP sapi potong di PT Lembu Jantan Perkasa (LJP), Serang-Banten. Penerapan GBP meliputi empat aspek, yaitu sarana, proses produksi, pelestarian lingkungan, dan pengawasan. Kegiatan magang penelitian dilakukan di PT LJP, Serang-Banten. Magang penelitian ini dilakukan pada bulan Juli hingga Agustus 2010. Metode yang digunakan berupa pengamatan, penyebaran kuisioner, dan wawancara. Analisis data penelitian dilakukan secara deskriptif dengan peubah yang diamati, yaitu evaluasi pelaksanaan GBP, calving interval (CI), service per conception (S/C), conception rate (C/R), serta calving rate (CR). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan aspek GBP sapi potong di PT LJP Serang-Banten telah dilakukan dengan baik. Penerapan GBP yang baik pada perusahaan ini ditunjukkan pada ketercapaian produktivitas yang tinggi pada tahun 2010 yaitu CI sebesar 372 hari, S/C sebesar 1,5, CR sebesar 88%, dan C/R sebesar 84%. Kesimpulan yang diperoleh yaitu diperlukan adanya perbaikan pada aspek GBP diantaranya, perbaikan tempat penampungan limbah, perusahaan mempertimbangkan kembali mengenai replacement stock, peningkatan pengawasan areal perusahaan, serta adanya fasilitas desinfeksi untuk staf/karyawan dan kendaraan tamu di pintu masuk perusahaan. Kata Kunci : Good Breeding Practices (GBP), penerapan, dan sapi potong
ABSTRACT The Implementation of Good Breeding Practice for Beef Cattle at PT Lembu Jantan Perkasa in Serang-Banten T. Safitri, R. Priyanto, and Henny .N
Cow-calf production is fundamental to the other cattle production system, i.e growing of stocker and cattle finishing. Good Breeding Practices (GBP) for beef cattle is important for breeding goal achievement that is producing breeding animal. The scope of GBP in beef cattle farming includes four aspects: facilities, cattle breeding, environmental protection and supervision. The study aimed to examine the Good Breeding Practices for beef cattle at PT Lembu Jantan Perkasa (LJP) in Serang -Banten. Descriptive analysis was used to review the breeding operation in PT LJP Serang-Banten. The breeding parameters observed were calving interval, service per conception, conception rate, and calving rate. The result showed that in general the company had applied well GBP in its operation. There were several aspects that should be considered to improve the GBP operation those site plant building and security, replacement stock, and animal health. Calving interval are 408 days in 2009 and 372 days in 2010. Service per conception are 1,6 in 2009 and 1,5 in 2010. Conception rate are 78% in 2009 and 88% in 2010 and calving rate are 23% in 2009 and 84% in 2010. Keywords: beef cattle, cow-calf production, implementation of good breeding practices
PENERAPAN GOOD BREEDING PRACTICES SAPI POTONG DI PT LEMBU JANTAN PERKASA SERANG - BANTEN
TANTIA SAFITRI D14070016
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PENERAPAN GOOD BREEDING PRACTICES SAPI POTONG DI PT LEMBU JANTAN PERKASA SERANG-BANTEN
Oleh TANTIA SAFITRI D14070016
Skripsi ini telah disetujui untuk disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 19 April 2011
Menyetujui,
Pembimbing Utama,
Pembimbing Anggota,
(Dr. Ir. Rudy Priyanto) NIP : 19601216 198603 1 003
(Dr. Ir. Henny Nuraini M.Si) NIP : 19640202 198903 2 001
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 14 September 1989 di Tanjung Karang, Bandar Lampung. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara pasangan Bapak Mukrin Abdullah dan Ibu Darty Sabkie. Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1995 di Sekolah Dasar Negeri 2 Palapa, Bandar Lampung dan diselesaikan pada tahun 2001. Pendidikan lanjutan menengah pertama dimulai pada tahun 2001 dan diselesaikan pada tahun 2004 di Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 Bandar Lampung. Penulis melanjutkan pendidikan di SMA Yayasan Pembina Universitas Lampung pada tahun 2004 dan diselesaikan pada tahun 2007. Penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2007 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di jurusan Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008. Penulis aktif dalam unit kegiatan mahasiswa (UKM) Century Institut Pertanian Bogor sebagai staf divisi ilmu teknologi pada periode 2008-2009 dan sebagai ketua divisi ilmu teknologi pada periode 2009-2010. Penulis menjadi sekretaris umum pada periode 2009-2010 di Himpunan Mahasiswa Produksi dan Teknologi Peternakan (Himaproter). Penulis juga mengikuti kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa pada tahun 2009 dan 2010, serta menjadi peserta dalam kegiatan Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional XXIII yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan Nasional bekerjasama dengan Universitas Mahasaraswati, Denpasar dalam bidang pengabdian pada masyarakat. Penulis menjadi penerima beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) selama menyelesaikan studinya.
KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr. Wb. Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia dan limpahan rahmat-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Penerapan Good Breeding Practices Sapi Potong di PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten. Shalawat beriring salam semoga senantiasa tercurah kepada Baginda Rasulullah SAW beserta keluarga dan sahabatnya. Penyelesaian skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan. Upaya dalam meningkatkan produksi daging sapi di Indonesia yaitu diantaranya dengan melakukan impor daging dan sapi bakalan. Sapi bakalan impor ini juga digunakan untuk usaha penggemukan di Indonesia. Namun, usaha ini akan terus bergantung pada impor bakalan apabila tidak adanya usaha pembibitan ternak. Pelaksanaan usaha pembibitan sapi potong memerlukan suatu pedoman yang harus diterapkan dengan baik yaitu Good Breeding Practices (GBP). Selanjutnya, sebagai wujud nyata dari adanya penerapan ini adalah terbentuknya suatu manual mutu, yaitu semacam pedoman Standard Operational Procedure (SOP) dalam melaksanakan kegiatan usaha ini. Maka dari itu Penulis tertarik untuk mengkaji penerapan GBP pada PT Lembu Jantan Perkasa (LJP) Serang-Banten yang telah berkontribusi dalam usaha pembibitan ternak. Pengkajian terhadap aspek GBP di PT LJP, Serang-Banten ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam pengembangan usaha pembibitan sapi potong skala kecil hingga besar di Indonesia. Penulis menyadari karya sederhana ini masih jauh dari sempurna. Penulis berharap penelitian ini dapat menjadi masukan dan informasi yang bermanfaat kepada pihak-pihak yang membutuhkan.
Bogor, 02 Mei 2011
Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ……........................................................................................
i
ABSTRACT ...................................................................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN ...........................................................................
iii
LEMBAR PENGESAHAN ...........................................................................
iv
RIWAYAT HIDUP .......................................................................................
v
KATA PENGANTAR ...................................................................................
vi
DAFTAR ISI ..................................................................................................
vii
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………….........
x
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………......
xi
PENDAHULUAN ………………………………………………….............
1
Latar Belakang ………………………………………………........... Tujuan ................................................................................................
1 2
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................
3
Bangsa Sapi ........................................................................................ Sapi Brahman Cross ............................................................... Sapi Simmental ...................................................................... Sapi Limousin ........................................................................ Produktivitas Sapi Potong di Indonesia ............................................. Produksi Sapi Potong ............................................................. Reproduksi Sapi Potong ......................................................... Inseminasi Buatan (IB) pada Sapi ...................................................... Efisiensi Reproduksi .......................................................................... Service per Conception (S/C) ................................................. Conception Rate (CR) ............................................................ Calving Interval (CI) .............................................................. Manajemen Pemeliharaan Sapi Potong .............................................. Sistem Pemeliharaan Sapi Potong .......................................... Bangunan dan Fasilitas Peternakan ........................................ Perkandangan ......................................................................... Manajemen Pakan .................................................................. Iklim ....................................................................................... Good Breeding Practice (GBP) .........................................................
3 3 5 5 6 6 7 8 9 9 10 10 11 11 12 13 13 14 15
MATERI DAN METODE ............................................................................
16
Lokasi dan Waktu ..............................................................................
16
Materi dan Alat .................................................................................. Prosedur .............................................................................................. Teknik Pengumpulan Data ..................................................... Analisis Data ...................................................................................... Peubah yang diamati .............................................................. 1. Evaluasi pelaksanaan Good Breeding Practices .. 2. Calving Interval (CI) ............................................ 3. Service per Conception (S/C) ............................... 4. Conception Rate (CR) .......................................... 5. Calving Rate (C/R) ...............................................
16 16 16 16 17 17 17 17 17 17
HASIL DAN PEMBAHASAN .....................................................................
18
Keadaan Umum Lokasi ...................................................................... Stuktur Organisasi .................................................................. Bangsa Sapi yang Dipelihara ................................................. Evaluasi Penerapan Pembibitan Sapi Potong yang Baik ................... Sarana dan Prasarana .............................................................. Proses Produksi Bibit ............................................................. Kesehatan Hewan ................................................................... Pelestarian Lingkungan .......................................................... Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan ...................................... Ketercapaian Penerapan GBP di PT. LJP Serang-Banten ................. Calving Interval (CI) .............................................................. Service per Conception (S/C) ................................................. Conception Rate (CR) ............................................................ Calving Rate (C/R) ................................................................. Evaluasi Penerapan Standard Operational Procedure (SOP) ........... Penimbangan .......................................................................... Seleksi Awal .......................................................................... Pemeliharaan Calon Bibit (Cabit) dan Proses Pengawinan ... Pemeriksaan Kebuntingan (PKB) .......................................... Pemeliharaan Induk Bunting .................................................. Kelahiran ................................................................................ Perawatan Induk dan Anak .................................................... Penjualan Sapi Bibit ...............................................................
18 20 20 22 37 43 45 46 47 48 48 49 51 51 53 55 56 57 59 60 61 63 65
KESIMPULAN DAN SARAN .....................................................................
66
Kesimpulan ........................................................................................ Saran ...................................................................................................
66 66
UCAPAN TERIMA KASIH .........................................................................
67
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
68
LAMPIRAN .................................................................................................
71
viii
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Populasi Ternak Sapi di PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten perJuli 2010 ...................................................................................................
19
2. Hasil Evaluasi Penerapan Aspek Sarana dan Prasarana di PT Lembu Jantan Perkasa ..........................................................................................
24
3. Hasil Evaluasi Penerapan Aspek Proses Produksi Bibit di PT Lembu Jantan Perkasa ..........................................................................................
29
4. Hasil Evaluasi Penerapan Aspek Pelestarian Lingkungan di PT Lembu Jantan Perkasa ..........................................................................................
35
5. Hasil Evaluasi Penerapan Aspek Monitoring, Evaluasi, dan Pelaporan di PT Lembu Jantan Perkasa........................................................................
36
6. Ketercapaian Penerapan Good Breeding Practices di PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten ............................................................................
48
7. Penjualan Ternak Breeding PT Lembu Jantan Perkasa Periode 20092010 ........................................................................................................
65
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Bagan Struktur Organisasi PT Lembu Jantan Perkasa ............................
21
2. Sarana: (a) Kantor, (b) Mess Karyawan, (c) Mushola, dan (d) Unit
38
Kesehatan Hewan .................................................................................... 3. Prasarana: (a) Kandang pemeliharaan, (b) Kandang Isolasi, (c) Gudang
39
Pakan, dan (d) Unit Penanganan Limbah ................................................ 4. Peralatan Kesehatan Hewan: (a) Obat-obatan dan (b) Alat Suntik .........
43
5. Fasilitas Desinfeksi ..................................................................................
46
6. Alur Penanganan Sapi Pembibitan di PT Lembu Jantan Perkasa ……..
53
7. Penerimaan Sapi: (a) Loading Chute dan (b) Penampungan ..................
55
8. Penimbangan Awal: (a) Penimbangan Ternak dan (b) Pemasangan Ear-
56
Tag ........................................................................................................... 9. Pemeriksaan Alat Reproduksi .................................................................
57
10. Peralatan Inseminasi Buatan …………………………………………....
58
11. Kelahiran: (a) Induk Setelah Beranak dan (b) Induk Menjilati Anak .....
61
12. Pengobatan Pedet Sakit ...........................................................................
64
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Kuisioner Good Breeding Practices ........................................................
72
2. SOP Usaha Pembibitan Ternak .................................................................
78
3. Data Perhitungan pada Tahun 2009 dan 2010 .........................................
84
PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan mengenai pemenuhan akan daging sapi di Indonesia masih belum teratasi dengan baik. Hal ini disebabkan populasi ternak sapi yang ada belum dapat memenuhi kebutuhan akan konsumsi daging sapi di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistika (2009), pada tahun 2007 populasi ternak sapi potong di Indonesia berjumlah 11.514.900 ekor dan meningkat menjadi 11.869.200 ekor pada tahun 2008. Jumlah ternak yang dipotong pun meningkat dari tahun ke tahun, pada tahun 2007 jumlah ternak yang dipotong sebesar 1.218.560 ekor dan meningkat menjadi 1.295.789 ekor pada tahun 2008. Kondisi ini menunjukkan adanya peningkatan populasi ternak sapi yang diikuti dengan peningkatan kebutuhan akan daging sapi. Pemerintah telah melakukan beberapa upaya dalam meningkatkan produksi daging sapi di Indonesia yaitu diantaranya dengan melakukan impor daging dan sapi bakalan. Impor daging sapi tahun 2009 mencapai 110.245,6 ton atau senilai 266,5 juta dollar AS. Impor sapi di Indonesia telah berlangsung sejak tahun 1990-an dan umumnya berasal dari Australia. Sapi bakalan impor ini juga digunakan untuk usaha penggemukan di Indonesia. Usaha ini akan terus bergantung pada impor bakalan apabila tidak ada usaha pembibitan ternak. Usaha pembibitan merupakan salah satu upaya dalam mendukung swasembada daging pada tahun 2014. Beberapa perusahaan yang bergerak di bidang sapi potong telah mulai merintis usaha pembibitan sapi potong sejak tujuh tahun terakhir. Menurut Direktorat Jenderal
Peternakan
(2006),
usaha
pembibitan
adalah
kegiatan
budidaya
menghasilkan bibit ternak untuk keperluan sendiri atau untuk diperjualbelikan. Bibit sapi potong merupakan salah satu faktor produksi yang menentukan dan mempunyai nilai strategis dalam upaya mendukung terpenuhinya kebutuhan daging. Upaya pengembangan pembibitan sapi potong secara berkelanjutan diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan usaha ternak potong, antara lain penentuan bibit ternak potong yang baik, penyediaan dan pemberian pakan hijauan yang baik, pembuatan kandang yang memenuhi persyaratan kesehatan, pemeliharaan yang baik, sistem perkawinan yang baik, dan pengawasan terhadap penyakit ternak (Direktorat Jenderal Peternakan, 1985).
Pelaksanaan usaha pembibitan sapi potong memerlukan suatu pedoman yang harus diterapkan dengan baik yaitu Good Breeding Practices (GBP). Direktorat Jenderal Peternakan (2006) telah mengeluarkan pedoman GBP bagi pembibit, sebagai acuan dalam melakukan pembibitan sapi potong untuk menghasilkan bibit yang bermutu baik serta bagi petugas dinas yang menangani fungsi peternakan di daerah, sebagai pedoman dalam melakukan pembinaan, bimbingan dan pengawasan dalam pengembangan pembibitan sapi potong. Ruang lingkup pedoman pembibitan sapi potong yang baik meliputi empat aspek yaitu 1) sarana dan prasarana, 2) proses produksi bibit, 3) pelestarian lingkungan, 4) monitoring, evaluasi dan pelaporan (Direktorat Jenderal Peternakan, 2006). PT Lembu Jantan Perkasa, Serang-Banten merupakan salah satu perusahaan swasta yang bergerak dalam pembibitan, penggemukan, dan pemasaran sapi potong. Perusahaan ini telah berdiri sejak tahun 1996 hingga sekarang dan telah banyak menyuplai bibit sapi untuk bakalan, calon pejantan, maupun calon induk, oleh sebab itu penerapan GBP menjadi hal yang sangat penting bagi perusahaan ini. Penerapan GBP merupakan suatu tindakan untuk meningkatkan produktivitas sapi potong yang dihasilkan. Wujud nyata dari adanya penerapan ini adalah terbentuknya suatu manual mutu, yaitu semacam pedoman Standard Operational Procedure (SOP) dalam melaksanakan kegiatan usaha ini. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penerapan GBP sapi potong di PT Lembu Jantan Perkasa, Serang-Banten berdasarkan empat aspek, yaitu sarana dan prasarana, proses produksi, pelestarian lingkungan, dan pengawasan.
2
TINJAUAN PUSTAKA Bangsa Sapi Bangsa (breed) sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Berdasarkan karakteristik tersebut, bangsa sapi dapat dibedakan dari ternak lainnya meskipun masih dalam spesies yang sama. Karakteristik yang dimiliki dapat diturunkan ke generasi berikutnya. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Phylum
: Chordata
Subphylum
: Vertebrata
Class
: Mamalia
Sub class
: Theria
Infra class
: Eutheria
Ordo
: Artiodactyla
Sub ordo
: Ruminantia
Infra ordo
: Pecora
Famili
: Bovidae
Genus
: Bos (cattle)
Group
: Taurinae
Spesies
: Bos taurus (sapi Eropa) Bos indicus (sapi India/sapi Zebu) Bos sondaicus (banteng/sapi Bali)
Sapi Brahman Cross Minish dan Fox (1979) menyatakan bahwa sapi Brahman di Australia secara komersial jarang dikembangkan secara murni dan banyak disilangkan dengan sapi Hereford-Shorthorn (HS). Hasil persilangan dengan Hereford dikenal dengan nama Brahman Cross (BX). Sapi ini mempunyai keistimewaan karena tahan terhadap suhu panas dan gigitan caplak, mampu beradaptasi terhadap makanan jelek, serta mempunyai kecepatan pertumbuhan yang tinggi. Sapi Brahman Cross (BX) pada awalnya dikembangkan di stasiun CSIRO‟S Tropical Cattle Research Centre di Rockhampton Australia. Materi dasarnya adalah sapi American Brahman, Hereford,
dan Shorthorn. Sapi BX mempunyai proporsi 50% darah Brahman, 25% darah Hereford, dan 25% darah Shorthorn. Secara fisik bentuk fenotif sapi BX lebih cenderung mirip sapi American Brahman karena proporsi darahnya yang lebih dominan, seperti punuk dan gelambir masih jelas, bentuk kepala dan telinga besar menggantung, sedangkan pola warna kulit sangat bervariasi mewarisi tetuanya (Turner, 1977). Sapi BX memiliki sifat-sifat seperti: (1) persentase kelahiran 81,2%, (2) rataan bobot lahir 28,4 kg, bobot umur 13 bulan mencapai 212 kg dan umur 18 bulan bisa mencapai 295 kg, (3) angka mortalitas postnatal sampai umur 7 hari sebesar 5,2%, mortalitas sebelum disapih 4,4%, mortalitas lepas sapih sampai umur 15 bulan sebesar 1,2% dan mortalitas dewasa sebesar 0,6%, (4) daya tahan terhadap panas cukup tinggi karena produksi panas basal rendah dengan pengeluaran panas yang efektif, (5) ketahanan terhadap parasit dan penyakit sangat baik, serta (6) efisiensi penggunaan pakan terletak antara sapi Brahman dan persilangan Hereford-Shorthorn (Turner, 1977). Menurut Winks et al. (1979), jantan kebiri sapi BX di daerah tropik Quensland secara normal memiliki performa di bawah bangsa sapi Eropa. Sapi Hereford steer lebih cepat pertumbuhannya dibandingkan sapi BX pada lingkungan beriklim sedang. Bobot hidup finishing yang sama pada produksi karkas sapi BX lebih berat dibandingkan sapi Frisian karena memiliki persentase karkas (dressing percentage) yang lebih tinggi. Bobot karkas sapi Shorthorn terletak antara sapi Brahman dan Hereford. Persentase karkas sapi Hereford lebih rendah dibandingkan sapi BX dan lebih tinggi dibandingkan sapi Frisian. Karkas sapi Frisian memiliki persentase tulang lebih tinggi dibandingkan sapi Shorthorn dan BX. Trim lemak bervariasi mulai dari 4,2% sampai 11,2%, terendah pada sapi Frisian dan tertinggi pada Shorthorn. Sapi BX di Indonesia diimpor dari Australia sekitar tahun 1973 namun penampilan yang dihasilkan tidak sebaik dengan di Australia. Hasil pengamatan di ladang ternak Sulawesi Selatan memperlihatkan: (1) persentase beranak 40,91%, (2) calf crop 42,54%, (3) mortalitas pedet 5,93%, (4) mortalitas induk 2,92%, (5) bobot sapih umur 8-9 bulan 141,5 kg (jantan) dan 138,3 kg (betina), (6) pertambahan bobot
4
badan sebelum disapih sebesar 0,38 kg/hari (Hardjosubroto, 1994; Ditjen Peternakan dan Fapet UGM, 1986). Sebagian besar sapi di Australia merupakan sapi American Brahman dan Santa Gertrudis yang diimpor dari Amerika. Persilangan antara kedua bangsa sapi ini dengan sapi Zebu menghasilkan bangsa sapi yang sama dengan sapi American Brahman dan Santa Gertrudis yakni Brangus dan Braford. Persilangan lebih lanjut menghasilkan sapi Droughtmaster yang merupakan hasil persilangan dengan komposisi darah 3/8 – 5/8 darah Zebu utamanya American Brahman yang diimpor dari Texas (Payne, 1970). Sementara sapi Brangus mempunyai komposisi darah 5/8 Angus dan 3/8 Brahman (Minish dan Fox, 1979). Sapi Simmental Sapi Simmental berasal dari lembah Simme di Swiss, berwarna merah, bervariasi mulai dari yang gelap sampai hampir kuning dengan totol-totol serta mukanya berwarna putih. Sapi ini terkenal karena menyusui anak dengan baik pertumbuhan cepat, serta badan panjang dan padat. Sapi Simmental berukuran besar, baik pada kelahiran, penyapihan maupun saat mencapai dewasa (Blakely dan Bade, 1991). Pertumbuhan otot sangat baik dan tidak banyak terdapat penimbunan lemak di bawah kulit. Warna bulu pada umumnya krem kecokelatan hingga sedikit merah dan warna bulu pada muka putih, demikian pula dari lutut ke bawah dan pada ujung ekor berwarna putih. Tanduk tidak begitu besar, meskipun berat lahir anaknya tidak setinggi anak Charolais dan Maineanjou, tetapi berat sapih tinggi demikian pula pertambahan berat badan setelah sapih. Produksi susu tinggi (rata-rata 3.900 kg/laktasi) dengan persentase lemak susu sebesar 4%. Berat sapi jantan dewasa kirakira 1.150 kg dan betina kira-kira 800 kg. Melihat daya gunanya yang luas (triguna), diperkirakan sapi ini cocok untuk memperbaiki mutu sapi di Indonesia (Pane, 1986). Sapi Limousin Bangsa sapi Limousin berasal dari sebuah propinsi di Perancis yang banyak berbukit batu. Warna mulai dari kuning sampai merah keemasan. Tanduk berwarna cerah. Bobot lahir tergolong kecil sampai medium yang berkembang menjadi golongan besar pada saat dewasa. Betina dewasa dapat mencapai 575 kg sedangkan pejantan dewasa mencapai berat 1.100 kg. Fertilitas cukup tinggi, mudah melahirkan,
5
mampu menyusui dan mengasuh anak dengan baik serta pertumbuhan cepat (Blakely dan Bade, 1991). Produktivitas Sapi Potong di Indonesia Produktivitas ternak sapi potong di Indonesia sebagai salah satu sumber daging belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dikarenakan jumlahnya masih rendah. Faktor yang menyebabkan produksi daging masih rendah adalah rendahnya populasi ternak sapi dan tingkat produksi sapi. Produksi Sapi Potong Parakkasi (1999) menyatakan bahwa usaha peternakan ruminansia besar penghasil daging dapat dikelompokkan ke dalam beberapa program produksi sapi yang masing-masing memiliki kekhususan dalam pengelolaannya. Program tersebut antara lain produksi anak (cow calf), pembesaran anak sapi sapihan (stocker), dan penggemukan (finisher). Program Cow Calf (CC) bertujuan untuk menghasilkan anak, batas program ini dengan program lain atau program selanjutnya ialah pada waktu anak yang dihasilkan, disapih. Program ini merupakan dasar semua program yang ada dalam industri beef, anak yang dihasilkan dalam program ini merupakan materi untuk program lain. Program stocker atau pembesaran anak dapat dimulai dari awal pemanfaatan anak yang disapih dari program CC sampai anak tersebut akan digemukkan atau untuk replacement stock. Produk program ini adalah feeder untuk digemukkan ataupun untuk replacement stock. Gabungan berbagai program bukanlah suatu hal yang tidak mungkin apabila beberapa program bergabung bersama jika kondisi yang memungkinkana atau mengharuskan. Program CC yang bersatu dengan program pembesaran anak sering dilakukan oleh peternak (Parakkasi, 1999). Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa produksi ternak sapi potong sangat berhubungan dengan performa, seperti bobot badan, ukuran tubuh, komposisi tubuh dan kondisi ternak. Penimbangan bobot badan ternak sapi tidak mungkin dilakukan sehingga ukuran tubuh dapat digunakan sebagai alat penduga bobot hidup dan dapat menggambarkan penampilan produksi ternak sapi. Beberapa ukuran tubuh seperti lingkar dada, panjang badan, dan tinggi gumba dapat dijadikan indikator bagi bobot hidup ternak sapi potong. Produksi ternak yang menguntungkan membutuhkan ternak-ternak yang sehat karena penyakit merupakan faktor pembatas keuntungan 6
pada kebanyakan daerah tropis (Williamson dan Payne, 1993). Kondisi ternak sapi dapat diamati dengan cara observasi, pengamatan, dan perabaan bagian tulang belakang. Reproduksi Sapi Potong Aspek reproduksi merupakan dasar utama dalam peternakan dan menentukan tingkat prestasi produksi. Semakin tinggi tingkat reproduksi yang dicapai, maka produksi yang dihasilkan akan meningkat pula (Natasasmita dan Mudikdjo, 1979). Sistem reproduksi jantan dan betina belum berfungsi secara sempurna sebelum seekor sapi mencapai masak kelamin (pubertas), yakni umur pada saat dicapai kematangan kelamin atau kematangan seksual. Hal ini ditandai dengan estrus yang pertama sebagai akibat dari pengaruh hormon esterogen yang disekresikan oleh ovari (Blakely dan Bade, 1991). Umur pada saat tercapainya masak kelamin bervariasi diantara bangsa-bangsa sapi, dengan suatu kisaran umur 8-18 bulan (Blakely dan Bade, 1991). Terjadinya estrus pertama pada hewan betina muda sangat mencolok karena timbul secara tiba-tiba. Umumnya sapi-sapi Brahman dan Zebu mencapai pubertas 6-12 bulan lebih lambat dari pada bangsa-bangsa sapi Eropa. Pubertas pada ternak sapi betina bangsa Eropa mulai timbul pada umur 6-18 bulan, sedangkan sapi Brahman dan Zebu pada umur 12-30 bulan. Penurunan tingkat makanan pada sapi potong pada umumnya dapat memperlambat pubertas (Toelihere, 1979). Menurut Wijono et al. (1998), umur pubertas lebih awal dapat terjadi pada perkembangan sapi dara yang dipelihara dengan baik atau memiliki kondisi badan yang baik. Adapun berat yang dicapai pada saat pubertas berkisar antara 250-400 kg (Blakely dan Bade, 1991). Umur pubertas sangat dipengaruhi oleh musim, suhu, makanan, dan genetik, oleh karena itu perkawinan awal sebaiknya dilakukan pada umur 14-22 bulan atau pada bobot badan 160-270 kg (Toelihere, 2006). Sapi-sapi dara Eropa yang tumbuh baik tidak dikawinkan sebelum mencapai umur 14-18 bulan karena pubertas berkembang jauh sebelum dapat terjadi konsepsi, kebutingan, dan kelahiran normal. Sapi potong yang kurang baik pertumbuhanya baru dapat dikawinkan sesudah mencapai umur 18-24 bulan (Toelihere, 1979).
7
Sapi betina hanya akan menerima pejantan selama periode estrus yang lamanya rata-rata 16 jam, dan jika tidak terjadi perkawinan maka kondisi ini akan berulang setiap 21 hari (Blakely dan Bade, 1991). Periode estrus ini menurut Frandson (1993) ditentukan oleh tingkat sirkulasi esterogen. Arthur et al. (1989) mengatakan bahwa lama estrus ini berkisar 12-30 jam dengan rata-rata 20 jam, sedangkan ovulasi setelah estrus rata-rata 31 jam atau antara 18-48 jam. Pembuahan atau konsepsi atau fertilisasi merupakan awal dari periode kebuntingan (Salisbury dan Vandemark, 1985). Menurut Frandson (1993), periode kebuntingan dimulai dari saat pembuahan (fertilisasi) ovum sampai anak lahir. Periode kebuntingan yang normal berkisar antara 240-330 hari atau rata-rata 283 hari (Blakely dan Bade, 1991). Inseminasi Buatan (IB) pada Sapi Fertilisasi maksimal akan dihasilkan jika mortalitas dan kesehatan sperma yang dideposisikan ke dalam saluran kelamin betina berjumlah cukup serta pada tempat dan waktu yang terbaik saat ovulasi (Gomes, 1977). Hal ini, menurut Toelihere (1993), memerlukan deteksi dan pelaporan berahi yang tepat sehingga inseminasi dapat dilakukan pada waktu yang tepat. Demikian juga teknik inseminasi dilakukan secara cermat oleh tenaga terampil dan juga hewan betina yang sehat dalam kondisi reproduksi yang optimal (Toelihere, 1993). Bearden dan Fuguay (1997) menambahkan bahwa puncak keberhasilan inseminasi buatan (IB) tergantung dari penempatan semen berkualitas tinggi yang tepat di dalam alat reproduksi betina. Tanda-tanda visual sapi betina menjelang birahi adalah pembengkakan dan vulva yang menjadi merah serta keadaan gelisah yang menunjukkan keinginan untuk kawin, tetapi perilaku yang amat menonjol adalah mengusir atau diusir oleh temannya. Kunci untuk menentukan yang mana di antara sapi-sapi itu yang sedang birahi adalah sapi betina yang akan tetap diam apabila dinaiki (Blakely dan Bade, 1991). Menurut Frandson (1993), konsepsi masih dapat terjadi pada sapi yang dikawinkan mulai dari 34 jam sebelum ovulasi sampai 14 jam setelah ovulasi. Spermatozoa dari pejantan harus hadir sekurang-kurangnya 6 jam di dalam uterus atau oviduk betina sebelum mampu membuahi sebuah ovum (Frandson, 1993). Inseminasi yang tepat sebaiknya dilakukan pada saat mulai pertengahan estrus
8
sampai 6 jam sesudah puncak berahi (Salisbury dan Vandemark, 1985). Evaluasi semen harus dilakukan untuk menentukan pergerakan (motilitas) dan daya hidup (viabilitas) sperma yang diejakulasikan, meskipun keadaan fisik pejantan itu tidak memperlihatkan kelemahan atau kekurangan tertentu (Blakely dan Bade, 1991). Efisiensi Reproduksi Payne (1970) menyatakan bahwa IB dapat dipakai untuk meningkatkan efisiensi reproduksi terutama dalam mengatasi kegagalan reproduksi, tetapi tidak selamanya IB dapat memberikan hasil yang lebih baik dari kawin alam, misalnya jumlah pelayanan per kebuntingan atau service per conception . Balai Inseminasi Buatan Singosari (1997) memberikan suatu gambaran efisiensi reproduksi ternak dengan mengevaluasi nilai conception rate (CR) dan services per conception (S/C). Direktorat Jenderal Peternakan (1991) memberikan pedoman dalam mengevaluasi keberhasilan pelaksanaan IB dengan memberikan nilai standar dari calving interval (CI) 12 bulan, service per conception (S/C) 1,6, dan conception rate (CR) 62,5%. Service per Conception (S/C) Service per conception adalah jumlah pelayanan inseminasi sampai seekor ternak menjadi bunting (Salisbury dan Van Demark, 1985). Service per conception merupakan ukuran berapa kali seekor ternak sapi melakukan perkawinan hingga ternak tersebut bunting. Nilai S/C yang normal menurut Toelihere (1979) berkisar antara 1,6-2,0. Penelitian Depison et al. (2003) pada persilangan Simmental dan Brahman (Simbrah) dapat mencapai nilai S/C sebesar 1,45. Semakin rendah nilai tersebut, makin tinggi nilai kesuburan hewan-hewan betina kelompok-kelompok tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan S/C diantaranya kualitas semen yang digunakan, deteksi birahi, body condition score (BCS), tingkat kemampuan inseminator, dan bobot hidup (Kutsiyah et al., 2002). Menurut Vandeplassche (1982), nilai S/C yang rendah sangat penting dalam arti ekonomis, baik dalam perkawinan alam maupun melalui IB. Nilai S/C dianggap tidak baik apabila melebihi angka 2,0 karena hal ini menunjukan gambaran reproduksi yang tidak efisien dan akan merugikan secara ekonomis.
9
Conception Rate (CR) Angka dari persentase sapi betina yang bunting disebut dengan nilai CR atau angka konsepsi yang ditentukan berdasarkan hasil diagnosis kebuntingan oleh dokter hewan dalam waktu 45–60 hari sesudah inseminasi (Partodihardjo 1987). Toelihere (1993) menyatakan bahwa conception rate di negara maju dapat berkisar antara 6070%, namun untuk kondisi di Indonesia conception rate sebesar 50% sudah termasuk normal, dan jika dibawah 50% berarti menunjukkan wilayah tersebut memiliki ternak yang kurang subur. Menurut Toelihere (1993), angka konsepsi ditentukan oleh tiga faktor, yaitu kesuburan pejantan, kesuburan betina dan teknik inseminasi. Pengaruh ketiga kombinasi tersebut dapat menghasilkan angka konsepsi sebesar 64%. Teknik inseminasi yang baik dan benar akan mempertahankan nilai tersebut. Penelitian Depison et al. (2003) menunjukkan hasil persilangan Simmental dan Brahman (Simbrah) dapat mencapai nilai CR sebesar 61,29%. Calving interval (CI) Jarak beranak (calving interval) adalah periode waktu antara dua kelahiran yang berurutan dan dapat juga dihitung dengan menjumlahkan periode kebuntingan dengan periode days open (interval antara saat kelahiran dengan terjadinya perkawinan yang subur berikutnya) (Sutan, 1988). Interval kelahiran atau jangka waktu antara satu kelahiran dengan kelahiran berikutnya seharusnya 12-13 bulan (Toelihere, 1979). Peters (1996) menyatakan bahwa CI yang optimum adalah 365 hari atau 12 bulan. Efisiensi yang buruk ditandai dengan interval kelahiran yang lebih panjang. Umur sapih pedet cenderung memperpanjang jarak beranak. Sapi menyusui pedet lebih lama akan menunda perkawinan pertama kali setelah beranak. Nilai CI pada sapi peranakan Simmental yang dikawinkan secara IB yaitu sebesar 392,28±77,27 hari (Iswoyo dan Priyantini, 2008). Faktor -faktor yang mempengaruhi jarak beranak, yaitu lama bunting, jenis kelamin pedet yang dilahirkan, umur penyapihan pedet, S/C, bulan beranak, bulan saat terjadinya konsepsi, dan jarak waktu sapi pertama kali dikawinkan setelah beranak (Bowker et al., 1978). Nilai CI yang optimum tersebut akan dapat dicapai jika sapi-sapi betina yang telah melahirkan dikawinkan lagi setelah 50-70 hari (Craig, 1981).
10
Manajemen Pemeliharaan Sapi Potong Sistem Pemeliharaan Sapi Potong Kelangsungan hidup sapi potong yang sehat dengan pertumbuhan yang baik dapat dijaga dengan pemeliharaan dan perawatan yang baik. Keberhasilan tahap pemeliharaan sebelumnya merupakan pangkal pemeliharaan berikutnya sehingga usaha pemeliharaan pada umumnya selalu disesuaikan dengan fase hidup sapi yang bersangkutan, mulai dari pedet, sapi muda, dan sapi dewasa (finishing). Parakkasi (1999) menyatakan bahwa sistem pemeliharaan ternak sapi dibagi menjadi tiga, yaitu intensif, ektensif, dan mixed farming system. Pemeliharaan secara intensif dibagi menjadi dua, yaitu (a) sapi di kandangkan terus-menerus dan (b) sapi dikandangkan pada saat malam hari, kemudian siang hari digembalakan atau disebut semi intensif. Pemeliharaan ternak secara intensif adalah sistem pemeliharaan ternak sapi dengan cara dikandangkan secara terus-menerus dengan sistem pemberian pakan secara cut and carry. Sistem ini dilakukan karena lahan untuk pemeliharaan secara ekstensif sudah mulai berkurang. Keuntungan sistem ini adalah penggunaan bahan pakan hasil ikutan dari beberapa industri lebih intensif dibanding dengan sistem ekstensif. Kelemahan terletak pada modal yang digunakan lebih tinggi, masalah penyakit, dan limbah peternakannya. Pemeliharaan secara ekstensif adalah pemeliharaan ternak di padang penggembalaan, pola pertanian menetap atau di hutan. Aktivitas perkawinan, pembesaran, pertumbuhan dan penggemukan ternak sapi pada sistem ekstensif biasanya dilakukan oleh satu orang yang sama di padang penggembalaan yang sama (Parakkasi, 1999). Usaha peternakan secara ekstensif dapat dilakukan di daerah dan padang rumput luas, tandus, dan iklimnya tidak memungkinkan untuk pertanian. Dibeberapa daerah ternak dilepaskan di lapangan tanpa memperhatikan kecukupan pakan dan keadaan padang rumput (Tafal, 1981). Sistem pemeliharaan mix farming system atau sistem pertanian campuran dilakukan petani dengan memelihara beberapa ekor ternak sapi untuk digemukkan dengan pakan yang ada di dalam atau di sekitar usaha pertanian (Parakkasi, 1999).
11
Bangunan dan Fasilitas Peternakan Office International des Epizooties (2006) menjelaskan bahwa bangunan dan fasilitas peternakan harus dikontrol agar tidak membahayakan ternak karena di dalamnya dapat merupakan sumber penyebab kontaminasi bagi ternak seperti mikroba patogen, bahan kimia dan fisik yang dapat membahayakan tenak secara langsung dan tidak langsung. Beberapa hal yang harus dilakukan untuk meminimalisasi bahaya yang datang dari lingkungan terdekat ternak, yaitu (a) menghindarkan setiap kegiatan beternak dekat dengan pabrik industri yang dapat menjadi sumber polusi. Lokasi sumber polusi meliputi: (i) pembakaran sampah lokal yang melepaskan banyak senyawa dioksida, pabrik pengolahan yang melepaskan senyawa pelarut dan logam berat, atau (ii) dalam suatu lingkungan yang mudah terkena polusi udara (dekat dengan jalan raya yang padat banyak pelepasan timah dan hidrokarbon), (iii) polusi tanah (industri pertanian atau tempat pembuangan bahan beracun), atau (iv) tempat perkembangbiakan hama seperti tempat pembuangan sampah akhir, dan (b) menempatkan bangunan atau fasilitas lain sehingga tersendiri dalam suatu banguan khusus yang cukup jauh dari tempat penyimpanan limbah. Tata letak bangunan diatur dengan berdasarkan fungsinya dan jarak antar bangunan dalam peternakan yang berdekatan juga diatur agar tidak menambah resiko terjadinya perpindahan penyakit antar peternakan, membuat kandang dengan luas yang layak sesuai jumlah ternak dan ventilasi yang baik, membuat kandang isolasi bagi ternak yang sakit dan kandang karantina bagi ternak yang sehat. Mengisolasi kandang dari ganguan hama dan serangga, merancang kandang agar mudah dibersihkan dan mengunakan bahan bangunan yang aman. Akses keluar masuk peternakan dirancang agar orang yang tidak berkepentingan tidak sembarangan masuk ke areal peternakan. Bangunan peternakan harus dirancang untuk memfasilitasi kenyamanan, kesehatan, dan produktivitas ternak. Ventilasi yang baik, tersedianya pakan dan air dengan kualitas yang baik, serta penerangan dan kenyamanan ternak harus diperhatikan untuk meningkatkan performan ternak (Ensminger dan Taylor, 2006). Area yang terpisah diperlukan untuk mengisolasi ternak dan untuk perawatan ternak. Area ini harus dibuat agar nyaman bagi ternak dan memiliki suplai obat-obatan serta
12
memiliki penerangan yang cukup. Area perawatan ini biasanya dibuat dekat dengan kandang khusus untuk melahirkan dan untuk mengisolasi ternak yang sakit. Hal ini dilakukan untuk efisiensi pekerja dan sering disebut dengan kandang untuk kebutuhan khusus (Palmer, 2005). Perkandangan Direktorat Jenderal Peternakan (1985) menyatakan bahwa kandang bagi ternak sapi potong merupakan sarana yang mutlak harus ada. Kandang merupakan tempat berlindung ternak dari hujan, terik matahari, pengamanan ternak terhadap binatang buas, pencuri, dan sarana untuk menjaga kesehatan. Persyaratan teknis kandang menurut Direktorat Jenderal Peternakan (2006) meliputi: 1. Konstruksi kandang harus kuat 2. Terbuat dari bahan yang ekonomis dan mudah diperoleh 3. Sirkulasi udara dan sinar matahari cukup 4. Drainase dan saluran pembuangan limbah baik, serta mudah dibersihkan 5. Lantai rata, tidak licin, tidak kasar, mudah kering, dan tahan injak 6. Luas kandang memenuhi persyaratan daya tampung 7. Kandang isolasi dibuat terpisah Manajemen Pakan Pakan ternak sapi potong merupakan salah satu unsur yang sangat penting untuk menunjang kesehatan, pertumbuhan, dan reproduksi ternak. Bahan pakan ternak dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu hijauan dan konsentrat. Hijauan ditandai dengan jumlah serat kasar yang relatif banyak daripada berat keringnya, yaitu lebih besar dari 18%. Konsentrat mengandung serat kasar lebih sedikit daripada hijauan yaitu kurang dari 18% dan mengandung karbohidrat, protein, dan lemak yang relatif banyak namun jumlahnya bervariasi dengan jumlah air yang relatif sedikit (Williamson dan Payne, 1993). Jerami termasuk salah satu hijauan yang sering digunakan pada ternak, tetapi hijauan ini umumnya memiliki nilai nutrisi yang rendah (Williamson dan Payne, 1993). Jerami padi memiliki palatabitas yang cukup baik, tetapi apabila diberikan terlalu banyak dalam pakan sapi akan menyebabkan kebutuhan hidup pokoknya tidak terpenuhi karena kandung nutriennya rendah (Panjono et al., 2000). Tingkat
13
konsumsi ransum sapi berbeda-beda bergantung pada status fisiologinya. Sapi dewasa dapat mengkonsumsi bahan kering minimal 1,4% bobot badan/hari, sedangkan sapi kebiri umur 1 tahun dengan hijauan berkualitas baik dapat mengkonsumsi 3% dari bobot badan (Parakkasi, 1999). Office International des Epizooties (2006) menjelaskan bahwa pakan komersial juga harus dipastikan bebas dari residu bahan kimia. Label pada pakan komersial penting diantaranya untuk mengetahui cara pemakaian dengan benar, tanggal kadaluarsa, dan identitas perusahaan. Kemasan pakan komersial tersebut harus utuh tanpa cacat yang dapat mempengaruhi isi. Pencatatan atau recording kualitas bahan pakan yang diterima juga sangat penting dan isinya harus sesuai dengan label, serta tidak mengandung hasil ikutan ternak yang tidak diperbolehkan. Pakan yang dicampur atau diproduksi sendiri mengandung resiko bahaya terdapat residu bahan kimia, tumbuhnya jamur dan kapang. Proses pencampuran bahan-bahan mentah harus dipastikan komposisinya dan tercampur dengan sempurna. Menurut Parakkasi (1999), konsumsi adalah faktor esensial yang merupakan dasar untuk hidup dan menentukan produksi. Hal ini antara lain disebabkan oleh: 1) segi ekonomi, dengan fixed maintanance cost tingkat konsumsi penting dimaksimumkan guna memaksimumkan produksi, 2) berdasarkan pengetahuan tingkat konsumsi dapat ditentukan kadar suatu zat makanan dalam ransum untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi, 3) makanan yang berkualitas baik, tingkat konsumsinya relatif lebih tinggi dibanding dengan makanan berkualitas rendah, 4) hewan yang mempunyai sifat dan kapasitas konsumsi yang lebih tinggi, produksinya pun relatif akan lebih tinggi dibanding dengan hewan (yang sejenis) dengan kapasitas/ sifat konsumsi rendah (dengan ransum yang sama), dan 5) variabilitas kapasitas produksi yang disebabkan oleh makanan pada berbagai ternak karena perbedaan dalam konsumsi (± 60%), kecernaan (± 25%) ataupun konversi hasil pencernaan menjadi produksi ( ±15%). Iklim Iklim merupakan manifestasi dari berbagai unsur, seperti suhu, curah hujan, kelembaban, gerakan udara, tekanan udara, kondisi cahaya, dan pengionan. Suhu dan curah hujan merupakan faktor lingkungan yang paling penting (Tafal, 1981). Indonesia termasuk daerah tropis sehingga tidak banyak dipengaruhi oleh perubahan 14
iklim yang berbeda-beda. Indonesia termasuk dalam wilayah iklim tropis yaitu tipe iklim di bumi yang daerahnya berada di sekitar equator (Suharsono, 1995). Negara yang cukup luas ini (± 52.000.000 km2) disertai banyaknya pegunungan dan bukit yang dipisahkan lembah dan laut mengakibatkan terjadinya perbedaan suhu udara di daerah-daerah tertentu. Keadaan tersebut menyebabkan Indonesia memiliki kondisi tanah dan vegetasi yang berbeda-beda dan memiliki daerah-daerah yang beriklim sangat basah, setengah basah, dan kering. Iklim tropis merupakan tipe iklim dengan suhu dan kelembabann tinggi sepanjang tahun. Suhu rata-rata tahunan terendah di daerah beriklim tropis yaitu 18 °C (Suharsono, 1995). Banyak daerah yang memiliki iklim yang cocok untuk peternakan, baik untuk bangsa-bangsa sapi lokal (tropis) maupun sapi impor dari luar negeri. Faktor iklim yakni suhu lingkungan yang tinggi dapat menurunkan feed intake dan sebaliknya akan menaikkan konsumsi air minum. Bila hal ini terus terjadi, akan mempengaruhi produktivitas yang diukur dari pertumbuhan dan produksi ususnya serta dapat langsung mempengaruhi reproduksi dari sapi (Williamson dan Payne, 1993). Good Breeding Practices (GBP) Good Breeding Practices (GBP) ditetapkan bagi pembibit, sebagai acuan dalam melakukan pembibitan sapi potong untuk menghasilkan bibit yang bermutu baik serta bagi petugas dinas yang menangani fungsi peternakan di daerah, sebagai pedoman dalam melakukan pembinaan, bimbingan dan pengawasan dalam pengembangan pembibitan sapi potong (Direktorat Jenderal Peternakan, 2006). Tujuan ditetapkannya pedoman GBP yaitu agar dalam pelaksanaan kegiatan pembibitan sapi potong dapat diperoleh bibit sapi potong yang memenuhi persyaratan teknis minimal dan persyaratan kesehatan hewan. Ruang lingkup pedoman pembibitan sapi potong yang baik meliputi empat aspek, yaitu 1) sarana dan prasarana, 2) proses produksi bibit, 3) pelestarian lingkungan, 4) monitoring, evaluasi, dan pelaporan (Direktorat Jenderal Peternakan, 2006). Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan usaha ternak potong, antara lain penentuan bibit ternak potong yang baik, penyediaan dan pemberian makanan hijauan yang baik, pembuatan kandang yang memenuhi persyaratan kesehatan, pemeliharaan yang baik, sistem perkawinan yang baik, dan pengawasan terhadap penyakit ternak (Direktorat Jenderal Peternakan, 1985). 15
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Kegiatan magang penelitian dilakukan di PT Lembu Jantan Perkasa, SerangBanten. Magang penelitian ini dilakukan pada bulan Juli hingga Agustus 2010. Pengambilan data di perusahaan dilakukan pada bulan Januari hingga Februari 2011. Materi dan Alat Bahan-bahan yang digunakan pada magang penelitian ini yaitu ternak pada unit breeding, data primer, dan data sekunder. Data primer terdiri atas hasil pengamatan wawancara, kuisioner, dan lembar evaluasi penerapan Standard Operational Prosedure. Data sekunder merupakan data periode tahun 2009-2010 yang terdiri atas sejarah perusahaan, struktur organisasi, SOP (penerimaan ternak, penimbangan awal, perkandangan, manajemen pemberian pakan, pembersihan kandang, seleksi ternak, recording ternak, pengawinan ternak, penanganan ternak bunting, penanganan kelahiran, penanganan induk laktasi, penanganan anak, pengelolaan limbah, penanganan kesehatan penjualan, dan pembelian ternak), populasi sapi pembibitan, serta jumlah karyawan. Alat- alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu alat tulis, meteran, dan termohigrometer. Prosedur Teknik Pengumpulan Data Data primer didapatkan melalui wawancara, kuisioner, dan lembar pengamatan ceklist yang berisikan instrumen SOP serta observasi langsung di lapangan. Kuisioner, wawancara, dan observasi berpedoman pada instrumen GBP sapi potong. Pengisian kuisioner dilakukan oleh berbagai pihak yang berkompeten atau ahli dalam perusahaan tersebut. Kuisioner yang telah disebar berjumlah 15 eksemplar. Wawancara dilakukan kepada farm manager, kepala unit, dan supervisor masing-masing unit. Data sekunder diperoleh dari PT LJP, Serang-Banten. Analisis Data Data dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif. Analisis deskriptif dalam magang penelitian ini digunakan untuk menggambarkan keadaan atau kondisi peternakan sapi di PT LJP, Serang-Banten terutama dalam penerapan GBP sapi
potong serta membandingkan penerapannya dengan pedoman Pembibitan Sapi Potong yang Baik (Good Breeding Practices) yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Produksi Peternakan. Peubah yang diamati 1. Evaluasi pelaksanaan Good Breeding Practices Dilakukan dengan cara mengikuti kegiatan magang di PT Lembu Jantan Perkasa, Serang-Banten dan terlibat langsung dalam kegiatan tersebut. 2. Calving Interval (CI) Calving interval (CI) adalah selang waktu dari beranak sampai beranak berikutnya (jarak beranak). CI (bulan) : kelahiran ke-i – kelahiran ke (i-1) 3. Service per Conception (S/C) Service per conception (S/C) adalah jumlah pelayanan IB (jumlah straw) yang diperlukan untuk menghasilkan kebuntingan seekor sapi.
4. Conception Rate (CR) Conception rate (CR) adalah jumlah positif bunting dibagi akseptor yang di IB dkali 100%.
5. Calving Rate (C/R) Calving rate adalah jumlah kelahiran dibagi jumlah bunting dikali 100%.
17
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi PT Lembu Jantan Perkasa (LJP) Serang-Banten didirikan pada tahun 1990 oleh Bapak Djaya Gunawan. Perusahaan ini merupakan perusahaan swasta Nasional yang bergerak di bidang usaha breeding, fattening, dan trading. Visi perusahaan adalah meningkatkan kualitas dan modernisasi tata niaga sapi potong, yang bertujuan untuk menunjang usaha peningkatan gizi masyarakat melalui pemenuhan kebutuhan ternak sapi potong dalam lingkup regional dan nasional. Perusahaan ini memiliki kantor pusat yang terletak di Jalan Tarum Barat E11-12 No. 8, Jakarta Timur. Perusahaan terdaftar sebagai anggota Apfindo (Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia) dengan nomor registrasi 015/APFINDO/1995 tanggal 29 Agustus 1995 dan fokus pada usaha di bidang perdagangan, impor, dan penggemukan sapi potong. PT Lembu Jantan Perkasa, Serang-Banten, terletak di Jalan Raya SerangPandeglang km. 9,6 Desa Sindang Sari, Kecamatan Pabuaran, Serang-Banten. Perusahaan ini terletak sekitar 200 m dari jalan raya dan memiliki topografi yang landai dan datar dengan ketinggian 200 m di atas permukaan laut. Rataan suhu di sekitar lokasi perusahaan adalah 28 ºC dengan kisaran 24,5 – 31 ºC dan rataan kelembaban udara 72% dengan kisaran 54 - 90%. Curah hujan di daerah ini sebesar 1500-3000 mm per tahun dengan jumlah hari hujan rata-rata 141 hari per tahun. Perusahaan ini sebelah Utara berbatasan dengan Kampung Rancang Lutung dan Kampung Baruan, sebelah Selatan berbatasan dengan Kampung Tanjung dan persawahan, sebelah Barat berbatasan dengan kebun masyarakat Desa Sindangsari, dan sebelah Timur berbatasan dengan Kampung Tonggoh. PT LJP merupakan salah satu perusahaan penggemukan sapi terbaik di Indonesia dan didukung tenaga peternak berpengalaman sejak 1973, walaupun bukan yang terbesar. PT Lembu Jantan Perkasa mengantisipasi penurunan populasi sapi potong dan peningkatan kebutuhan dengan cara mulai merintis usaha pembibitan sapi potong (breeding) secara intensif di Serang pada tahun 2004. Keadaan ini menjadikan perusahaan ini sebagai perusahaan pertama di Indonesia yang bergerak di bidang pembibitan sapi potong secara intensif. Usaha ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan daerah-daerah akan sapi bibit pilihan dan berkualitas. PT
Lembu Jantan Perkasa memiliki beberapa cabang perusahaan yaitu di SerangBanten, Cikalong-Bandung, Langkat-Medan, dan Sawah Lunto-Padang. Populasi ternak sapi per-Juli 2010 di perusahaan ini dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Populasi Ternak Sapi di PT Lembu Jantan Perkasa Serang Banten per-Juli 2010 Kelas ternak
Status Ternak
Heifer
Calon bibit IB Bunting Laktasi Kering IB Bunting Jantan Betina Jantan Betina -
Cow
Calves Weaners Foster mother Jumlah
Jumlah Sapi (ekor) 42 76 421 137 29 117 89 98 64 110 248 4 1435
Sumber : LJP (2010)
Fasilitas yang terdapat di PT LJP Serang-Banten adalah kantor, loading chute, cattle yard, gang way, crush (kandang jepit), kandang pemeliharaan, kandang isolasi, hospital pen, mess manager dan karyawan, pos satpam, gudang alat, mushola, gudang pakan, dan unit penanganan limbah. Loading chute digunakan untuk menurunkan dan menaikkan sapi dari atau ke truk dengan tinggi loading chute sekitar 1,15 m. Cattle yard merupakan tempat penanganan ternak sementara seperti bongkar muat sapi, penimbangan, pemasangan ear tag, pengobatan, pemeriksaan kebuntingan (PKB), pemeriksaan alat reproduksi (PAR), seleksi sapi, inseminasi buatan (IB), dan penyapihan. Gang way merupakan lorong tempat sapi berjalan dari cattle yard menuju ke kandang ataupun sebaliknya. Kandang di PT LJP SerangBanten terdiri atas 2 jenis, yaitu kandang tertutup dan kandang terbuka.
19
Stuktur Organisasi Struktur organisasi sangat dibutuhkan dalam menunjang operasional suatu usaha. PT LJP Serang-Banten yang memiliki struktur kerja yang jelas dengan didukung oleh staf dan karyawan dalam melaksanakan berbagai aktifitas hariannya. Struktur organisasi di PT LJP dapat dilihat pada Gambar 1. Bangsa Sapi yang Dipelihara Spesies sapi yang dipelihara di PT LJP Serang-Banten yaitu Brahman Cross (BX). Sapi ini mempunyai keistimewaan karena tahan terhadap suhu panas dan gigitan caplak, mampu beradaptasi terhadap makanan jelek serta mempunyai kecepatan pertumbuhan yang tinggi. Sapi BX mempunyai proporsi 50% darah Brahman, 25% darah Hereford dan 25% darah Shorthorn. Secara fisik bentuk fenotif sapi BX lebih cenderung mirip sapi American Brahman karena proporsi darahnya yang lebih dominan, seperti punuk dan gelambir masih jelas, bentuk kepala dan telinga besar menggantung, sedangkan pola warna kulit sangat bervariasi mewarisi tetuanya (Turner, 1977).
20
Direksi Administrasi Head Office
General Marketing General Manager
Farm manager
Unit Limbah
Unit Breeding
Unit Feedmill
Administrasi Farm
Bagian Umum
Unit Fattening
Unit Manager Cikalong
MmMekanik Keamanan
Hijauan Makanan Ternak
Staf
Supervisor
Staf
Kesehatan Hewan
Kesehatan Hewan
Supervisor
HHewan Kandang Breeding
Hewan Kandang Fattening
21
Gambar 1. Bagan Struktur Organisasi PT Lembu Jantan Perkasa (Sumber : LJP, 2010) ktur Organisasi PT Lembu Jantan Perkasa (Sumber : Arsip PT Lembu Jantan) [Type a quote from the document or the summary of an interesting point. You can position the text box anywhere in the document. Use the Text Box Tools tab to change the formatting of the pull quote text box.]
21
Evaluasi Penerapan Pembibitan Sapi Potong yang Baik (Good Breeding Practices) PT Lembu Jantan Perkasa merupakan salah satu perusahaan swasta Nasional yang telah merintis usaha pembibitan sapi potong sejak tahun 2004 hingga sekarang. Usaha pembibitan ternak bukan merupakan usaha yang mudah untuk dijalankan, dalam kegiatannya diperlukan suatu pedoman berupa Good Breeding Practices. Direktorat Jenderal Produksi Peternakan (2006) menetapkan GBP bagi pembibit sebagai acuan dalam melakukan pembibitan sapi potong untuk menghasilkan bibit yang bermutu baik serta bagi petugas dinas yang menangani fungsi peternakan di daerah dan sebagai pedoman dalam melakukan pembinaan, bimbingan dan pengawasan dalam pengembangan pembibitan sapi potong. Tujuan ditetapkannya pedoman GBP yaitu agar dalam pelaksanaan kegiatan pembibitan sapi potong dapat diperoleh bibit sapi potong yang memenuhi persyaratan teknis minimal dan persyaratan kesehatan hewan. Ruang lingkup pedoman pembibitan sapi potong yang baik meliputi empat aspek yaitu 1) sarana dan prasarana, 2) proses produksi bibit, 3) pelestarian lingkungan, 4) monitoring, evaluasi dan pelaporan (Direktorat Jenderal Produksi Peternakan, 2006). Evaluasi terhadap penerapan GBP pada PT LJP dapat dilihat pada Tabel 2 sampai 5.
22
Tabel 2. Hasil Penerapan Good Breeding Practices Aspek Sarana dan Prasarana di PT Lembu Jantan Perkasa No. 1.
Aspek Lokasi
Kondisi Seharusnya
Kondisi Di lapangan
Kesesuaian/koreksi
Tidak bertentangan dengan Rencana Sesuai dengan Rencana Umum Tata Umum Tata Ruang (RUTR) dan Rencana Ruang (RUTR) dan Rencana Detail Detail Tata Ruang Daerah (RDTRD) Tata Ruang Daerah (RDTRD) dengan adanya izin pendirian bangunan Mempunyai potensi sebagai sumber bibit Dibangun di wilayah Jawa yang sapi potong serta dapat ditetapkan berpotensi untuk pengembangan usaha sebagai wilayah sumber bibit ternak ternak sapi Terkonsentrasi dalam satu kawasan atau Perusahaan ini melakukan kegiatan satu Village Breeding Center (VBC) atau usaha pembibitan, penggemukan, dan satu unit pembibitan ternak pemasaran ternak. Tidak mengganggu ketertiban kepentingan umum setempat
dan Jarak perusahaan dengan jalan raya ± 200 m
Memperhatikan lingkungan dan topografi Memiliki topografi yang landai dan datar sehingga kotoran dan limbah yang dengan ketinggian 200 m dpl dihasilkan tidak mencemari lingkungan Jarak antara usaha pembibitan sapi Jarak antara usaha pembibitan sapi potong dengan usaha pembibitan unggas potong dengan usaha pembibitan unggas minimal 1.000 meter yaitu 2.000 meter 2.
Lahan
Bebas dari jasad renik patogen yang membahayakan ternak dan manusia
Bukan merupakan daerah endemic penyakit antrax
Sesuai dengan peruntukannya menurut Izin pendirian bangunan dari pemerintah Kabupaten Serang dengan No. 24 23
perundang–undangan yang berlaku. 3.
Sumber Air
03.647/0423.07/2008
Air yang digunakan tersedia sepanjang Air selalu tersedia tahun dalam jumlah yang mencukupi Sumber air mudah dicapai atau mudah Sumber air berasal dari sumur bor dan disediakan sumur summermersible yang ada di dalam wilayah peternakan Penggunaan sumber air tanah tidak Selama ini tidak terdapat keluhan mengganggu ketersediaan air bagi masyarakat mengenai penggunaan air, masyarakat kedalaman sumur summermersible mencapai ± 100 m
4.
Bangunan dan Peralatan
Bangunan: - kandang pemeliharaan; - kandang isolasi;
Telah memiliki unit penanganan limbah, namun limbah belum dikelola secara maksimal dikarenakan hanya ditumpuk pada areal terbuka dan dikarungkan
- gudang pakan dan peralatan; - unit penampungan dan pengolahan limbah.
Sebaiknya dibuat tempat penampungan limbah yang berada di belakang kandang, agar lebih terlihat bersih dan tidak tampak secara langsung oleh pengunjung atau dengan cara perbaikan tempat penampungan limbah yang ada
Peralatan: - tempat pakan dan tempat minum;
-
- alat pemotong dan pengangkut rumput; - alat pembersih kandang dan pembuatan kompos;
Tempat pakan dan minum terbuat dari semen dan terdapat pada tiap kandang Alat pemotong rumput berupa chooper, alat pengangkut rumput
24
- peralatan kesehatan hewan. -
-
yaitu mobil bak terbuka dan truk Tersedia alat pembersih kandang, alas kandang menggunakan sistem beding Perlatan kesehan hewan tersedia di unit kesehatan hewan
Persyaratan teknis kandang: - konstruksi harus kuat; - terbuat dari bahan yang ekonomis dan mudah diperoleh; - sirkulasi udara dan sinar matahari cukup; - drainase dan saluran pembuangan limbah baik, serta mudah dibersihkan; - lantai rata, tidak licin, tidak kasar, mudah kering dan tahan injak; - luas kandang memenuhi persyaratan daya tampung; - kandang isolasi dibuat terpisah.
- Konstruksi kuat terbuat dari beton dan besi - Bahan yang digunakan ekonomis dan mudah didapat - Sirkulasi udara berjalan lancar, sinar matahari tidak langsung mengenai ternak - Alas kandang berupa serbuk gergaji sehingga limbah yang dihasilkan berupa limbah padat - Lantai terbuat dari paving block dan semen dengan kemiringan 5º - Daya tampung cukup, jumlah sapi tiap pen 40 - 50 ekor dengan luasan sekitar 3 m2/ekor - kandang isolasi terletak lebih landai dibandingkan kandang pemeliharaan
Letak kandang memenuhi persyaratan sebagai berikut : -
mudah diakses terhadap transportasi;
-
Kandang mudah diakses terutama
25
-
-
5.
Bibit
tempat kering dan tidak tergenang saat hujan; dekat sumber air; cukup sinar matahari, kandang tunggal menghadap timur, kandang ganda membujur utara-selatan; tidak mengganggu lingkungan hidup; memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi.
alat transportasi pengangkut pakan Areal kandang telah menggunakan paping blok sehingga terhindar dari genangan saat hujan Setiap kandang memiliki tempat penampungan air Kandang membujur dari utara ke selatan
Bibit sapi potong diklasifikasikan Hanya terdapat bibit induk dan bibit menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu: sebar a. bibit dasar (elite/foundation stock) b. bibit induk (breeding stock) c. bibit sebar (commercial stock), Persyaratan umum:
Sapi bibit memiliki catatan kesehatan i. sapi bibit harus sehat dan bebas dari yang lengkap dan dijual dalam keadaan segala cacat fisik seperti cacat mata sehat. (kebutaan), tanduk patah, pincang, lumpuh, kaki dan kuku abnormal, serta Diterapkan sistem afkir / culling bagi tidak terdapat kelainan tulang punggung bibit betina yang memiliki kualitas atau cacat tubuh lainnya; reproduksi rendah ii. semua sapi bibit betina harus bebas dari cacat alat reproduksi, abnormal ambing serta tidak menunjukkan gejala kemandulan; iii. sapi bibit jantan harus siap sebagai pejantan serta tidak menderita cacat pada 26
alat kelaminnya. 6.
Pakan
Setiap usaha pembibitan sapi potong Pakan berupa hijauan dan konsentrat harus menyediakan pakan yang cukup yang diproduksi sendiri oleh perusahaan bagi ternaknya, baik yang berasal dari pakan hijauan, maupun pakan konsentrat. Pakan hijauan dapat berasal dari rumput, Pakan hijauan yaitu rumput Taiwan dan leguminosa, sisa hasil pertanian dan jerami dedaunan yang mempunyai kadar serat yang relatif tinggi dan kadar energi rendah. Pakan konsentrat yaitu pakan dengan Pakan konsentrat diproduksi sendiri dan kadar serat rendah dan kadar energi setiap status ternak berbeda-beda jenis tinggi, tidak terkontaminasi mikroba, pakan konsentratnya. penyakit, stimulan pertumbuhan, hormon, bahan kimia, obat-obatan, mycotoxin melebihi tingkat yang dapat diterima oleh negara pengimpor. Air minum disediakan ad libitum.
7.
Obat hewan
Air minum disediakan ad libitum.
Obat hewan yang digunakan meliputi Obat hewan yang digunakan yaitu sediaan biologik, farmasetik, premik dan sediaan biologik, farmasetik, premik dan obat alami. obat alami. Obat hewan yang dipergunakan seperti Setiap obat memiliki nomor pendaftaran bahan kimia dan bahan biologik harus tersendiri. memiliki nomor pendaftaran. Untuk sediaan dipersyaratkan
obat alami tidak memiliki nomor 27
pendaftaran.
8.
Tenaga Kerja
Penggunaan obat keras harus di bawah pengawasan dokter hewan sesuai ketentuan peraturan perundang-udangan yang berlaku di bidang obat hewan.
Penggunaan obat keras di bawah pengawasan tim kesehatan hewan (Keswan) yaitu dokter hewan dan kepala unit Keswan
Sehat jasmani dan rohani
Sehat jasmani dan rohani
Tidak memiliki luka terbuka
Tidak memiliki luka terbuka
Jumlah tenaga kerja sesuai kebutuhan
Satu orang mengawasi ± 100 ekor ternak pada pembibitan sapi potong dengan dikarenakan efisiensi tenaga kerja sistem intensif, setiap satu orang/hari kerja, untuk 5 satuan ternak (ST) Telah mendapat pelatihan pembibitan sapi potong.
teknis Ada sistem training karyawan baru
khusus
para
28
Tabel 3. Hasil Evaluasi Penerapan Aspek Proses Produksi Bibit di PT Lembu Jantan Perkasa No.
Aspek
Kondisi Seharusnya
Kondisi dilapangan
1.
Pemeliharaan
Dalam pembibitan sapi potong, Pemeliharaan ternak dilakukan dengan pemeliharaan ternak dapat dilakukan sistem intensif dengan sistem pastura (penggembalaan), sistem semi intensif, dan sistem intensif.
2.
Produksi
Berdasarkan tujuan produksinya, Pembibitan sapi potong yang dilakukan pembibitan sapi potong dikelompokkan yaitu pembibitan sapi potong persilangan. ke dalam pembibitan sapi potong bangsa/rumpun murni dan pembibitan sapi potong persilangan.
3.
Seleksi Bibit
Sapi Induk
Kesesuaian/koreksi
Seleksi bibit induk dilakukan dengan cara a. sapi induk harus dapat menghasilkan pemeriksaan alat reproduksi (PAR) dengan kriteria kondisi tubuh dan saluran anak secara teratur; reproduksi baik, serta bobot badan ≤ 350 b. anak jantan maupun betina tidak cacat kg. dan mempunyai rasio bobot sapih umur 205 hari (weaning weight ratio) di atas rata-rata. Calon Pejantan
Tidak dipelihara untuk pembibitan sebab a. bobot sapih terkoreksi terhadap umur menggunakan perkawinan dengan sistem 205 hari umur induk dan musim Inseminasi Buatan (IB). kelahiran, di atas rata-rata; b. bobot badan umur 365 hari di atas ratarata; c. pertambahan bobot badan antara umur 29
1-1,5 tahun di atas rata-rata; d. bobot badan umur 2 tahun di atas ratarata; e. libido dan kualitas spermanya baik; f. penampilan fenotipe sesuai dengan rumpunnya. Calon induk
Seleksi berdasarkan berat badan minimal a. bobot sapih terkoreksi terhadap umur 270 kg dan kondisi tubuh serta saluran 205 hari umur induk dan musim reproduksi. kelahiran, di atas rata-rata; b. bobot badan umur 365 hari di atas ratarata; c. penampilan fenotipe sesuai dengan rumpunnya. 4.
Perkawinan
Dalam upaya memperoleh bibit yang Teknik perkawinan dilakukan berkualitas melalui teknik perkawinan Inseminasi Buatan (IB).
dengan
dapat dilakukan dengan cara kawin alam dan Inseminasi Buatan (IB). 5.
Ternak Pengganti (Replacement Stock )
Calon bibit betina dipilih 25% terbaik Dikarenakan orientasi perusahaan ini untuk untuk replacement, 10% untuk bisnis, sehingga sistem ini sangat minim pengembangan populasi kawasan, 60% diterapkan dijual ke luar kawasan sebagai bibit dan 5% dijual sebagai ternak afkir (culling)
Lebih mempertimbangkan kembali mengenai masalah replacement stock ini.
Calon bibit jantan dipilih 10% terbaik Semua jantan dijual atau dijadikan bakalan pada umur sapih dan bersama calon bibit penggemukan
30
betina 25% terbaik untuk dimasukkan pada uji performan. 6.
Afkir (Culling)
Sapi betina yang tidak memenuhi Kriteria ternak afkir yaitu yang kelebihan persyaratan sebagai bibit (10%) berat dan kualitas saluran reproduksi jelek. dikeluarkan sebagai ternak afkir (culling). Sapi induk yang tidak produktif segera dikeluarkan
7.
Pencatatan (Recording)
Pencatatan (recording) tersebut meliputi: 1. Rumpun; 2. Silsilah; 3. Perkawinan (tanggal, pejantan, IB/ kawin alam); 4. Kelahiran (tanggal, bobot lahir);
Pencatatan yang ada yaitu pencatatan perkawinan (tanggal, pejantan, IB/ kawin alam), kelahiran (tanggal, bobot lahir), penyapihan (tanggal, bobot badan), beranak kembali (tanggal, paritas), pakan (jenis, konsumsi), vaksinasi, pengobatan (tanggal, perlakuan) dan mutasi
5. Penyapihan (tanggal, bobot badan); 6. Beranak kembali (tanggal, paritas); 7. Pakan (jenis, konsumsi); 8.Vaksinasi, pengobatan (tanggal, perlakuan / treatment); 9. Mutasi (pemasukan dan pengeluaran ternak) 8.
Persilangan
Komposisi darah sapi persilangan Persilangan diterapkan berdasarkan sebaiknya dijaga komposisi darah kondisi induk dan diterapkan tiap satu siklus laktasi sapi temperatenya tidak lebih dari 50% Prinsip-prinsip seleksi dan culling sama Diterapkan prinsip-prinsip seleksi dan
31
dengan pada rumpun murni. 9.
Sertifikasi
10. Kesehatan Hewan
culling
Sertifikat induk elite untuk sapi induk Sertifikat diberikan oleh Dinas Kabupaten yang telah terseleksi dan memenuhi dan Direktorat Jendral Peternakan standar. 1. Situasi penyakit
Pembibitan sapi potong terletak di daerah Pembibitan sapi potong harus terletak di yang bebas endemik penyakit zoonosis daerah yang tidak terdapat gejala klinis atau bukti lain tentang penyakit mulut dan kuku (Foot and Mouth Disease), ingus jahat (Malignant Catarhal Fever), Bovine Ephemeral Fever, lidah biru (Blue Tongue), radang limpa (Ánthrax), dan kluron menular (Brucellosis). a. Pencegahan/Vaksinasi b. pembibitan sapi potong harus melakukan vaksinasi dan pengujian/tes laboratorium terhadap penyakit tertentu yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang
Vaksin dilakukan saat ternak datang, saat 6 bulan setelah datang, dan pada induk setelah weaning. Pemberian Keswan.
vaksin
diawasi
oleh
tim
c. mencatat setiap pelaksanaan vaksinasi dan jenis vaksin yang dipakai dalam kartu kesehatan ternak d. melaporkan kepada Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan setempat 32
(instansi yang berwenang) setiap timbulnya kasus penyakit terutama yang diduga/dianggap penyakit menular; e. penggunaan obat harus sesuai dengan ketentuan dan diperhitungkan secara ekonomis; e. pemotongan kuku dilakukan minimal 3 Tidak dilakukan pemotongan kuku, sebab bulan sekali; kebersihan kandang dijaga dan menggunakan alas kandang berupa saw dust. f. dilakukan tindakan Biosecurity lokasi mudah dimasuki hewan peliharaan terhadap keluar masuknya ternak. lainnya sebab berdekatan dengan masyarakat, namun hanya mampu masuk hingga wilayah kebun rumput. 1). Lokasi usaha tidak mudah dimasuki binatang liar serta bebas dari hewan peliharaan lainnya yang dapat menularkan penyakit
pengawasan lebih ditingkatkan agar tidak terjadi penularan penyakit dari luar peternakan, seperti penambahan alokasi tenaga kerja untuk mengawasi areal yang berdekatan langsung dengan masyarakat.
2). Melakukan desinfeksi kandang dan Diterapkan pemakaian insektisida tabur peralatan dengan menyemprotkan dan cair. insektisida pembasmi serangga, lalat dan hama lainnya 3). Untuk mencegah terjadinya penularan Terdapat pembagian tugas untuk para penyakit dari satu kelompok ternak ke karyawan. kelompok ternak lainnya, pekerja yang melayani ternak yang sakit tidak 33
diperkenankan melayani ternak yang sehat 4). Menjaga agar tidak setiap orang dapat Terdapat unit keamanan yang memantau bebas keluar masuk kandang ternak yang setiap orang yang keluar masuk peternakan memungkinkan terjadinya penularan penyakit 5). Membakar atau mengubur bangkai Ternak mati segera dikuburkan setelah kerbau yang mati karena penyakit diperiksa penyebab kematiaannya menular 6). Menyediakan fasilitas desinfeksi Tidak tersedia untuk staf/karyawan dan kendaraan tamu di pintu masuk perusahaan;
7). Segera mengeluarkan ternak yang mati dari kandang untuk dikubur atau dimusnahkan oleh petugas yang berwenang
Ternak mati segera dikuburkan setelah diperiksa penyebab kematiaannya
8). Mengeluarkan ternak yang sakit dari kandang untuk segera diobati atau dipotong oleh petugas yang berwenang
Terdapat kandang khusus ternak sakit (hospital pen)
lebih baik terdapat fasilitas desinfeksi ini agar dapat menghindari kemungkinan penyakit dari luar peternakan
34
Tabel 4. Hasil Penerapan Good Breeding Practices Aspek Pelestarian Lingkungan di PT Lembu Jantan Perkasa No. 1.
Aspek
Kondisi Seharusnya
Kondisi dilapangan
Kesesuaian/koreksi
Menyusun a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun Sesuai dengan persyaratan rencana pen1997 tentang Ketentuan-Ketentuan cegahan dan Pokok Pengelolaan Lingkungan penanggulaHidup ngan penb. Peraturan Pemerintah Nomor 27 cemaran Tahun 1999 tentang Analisis lingkungan Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL); c. Peraturan Pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
2.
Melakukan upaya pencegahan pencemaran lingkungan
a. mencegah terjadinya erosi dan Terdapat penanaman tanaman di areal membantu pelaksanaan penghijauan peternakan. di areal peternakan b. mencegah terjadinya polusi dan gangguan lain seperti bau busuk, serangga, pencemaran air sungai dan lain-lain
Belum terdapat keluhan masyarakat, pencegahan dilakukan dengan penaburan insektisida dan penanganan limbah padat.
c. membuat dan mengoperasionalkan Saat ini permintaan limbah sudah ada unit pengolahan limbah peternakan meskipun hanya dikarungkan (padat, cair, gas) sesuai kapasitas produksi limbah yang dihasilkan.
35
Tabel 5. Hasil Penerapan Good Breeding Practices Aspek Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan di PT Lembu Jantan Perkasa No.
Aspek
Kondisi Seharusnya
Kondisi dilapangan
1.
Monitoring dan Evaluasi
1. Monitoring dan evaluasi kualitas Monitoring dilakukan setiap bulan oleh bibit dilakukan secara berkala tim Dinas Peternakan Kabupaten dan dengan sampling acak minimal Propinsi. sekali setahun. 2. Monitoring dan evaluasi dilakukan dengan pengumpulan data performa tubuh, produksi, reproduksi dan kesehatan sapi bibit.
2.
Pelaporan
Pejabat fungsional pengawas bibit ternak Pelaporan ke pemeritah dilakukan setiap atau petugas yang ditunjuk pada dinas 1 tahun sekali yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan kabupaten/kota wajib membuat laporan tertulis secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali dan laporan tahunan kepada Kepala Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan kabupaten/kota.
Kesesuaian/koreksi
Di samping laporan tersebut di atas, Laporan internal terdiri atas : setiap pelaku usaha pembibitan sapi - laporan bulanan potong wajib membuat laporan teknis - laporan per semester dan administratif secara berkala untuk - laporan tahunan kepentingan internal, sehingga apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dapat diadakan perbaikan secepatnya
36
Kuisioner yang telah diberikan pada pihak PT LJP Serang-Banten menunjukkan bahwa secara keseluruhan, perusahaan ini telah mampu menerapkan GBP dengan baik dalam menjalankan usahanya. Beberapa hal masih perlu diperbaiki lagi. Sarana dan Prasarana Aspek sarana terdiri atas lokasi, lahan, sumber air, bangunan dan peralatan, bibit, pakan, obat hewan, dan tenaga kerja. Lokasi usaha ini tidak bertentangan dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan Rencana Detail Tata Ruang Daerah (RDTRD) serta mempunyai potensi sebagai sumber bibit sapi potong dan dapat ditetapkan sebagai wilayah sumber bibit ternak. Letak perusahaan dengan jalan raya berjarak ± 200 m sehingga tidak mengganggu ketertiban dan kepentingan umum setempat. Topografi yang landai dan datar dengan ketinggian 200 m dpl membuat kotoran dan limbah yang dihasilkan tidak mencemari lingkungan. Persyaratan jarak minimal dengan usaha pembibitan unggas yaitu 1000 m dan usaha pembibitan sapi potong ini berjarak 2.000 m dengan usaha pembibitan unggas. Kegiatan usaha yang dilakukan oleh perusahaan ini yaitu pembibitan, penggemukan, dan pemasaran ternak. PT Lembu Jantan Perkasa memiliki lahan seluas kurang lebih 26 ha. Lahan tersebut digunakan untuk membangun kantor, kandang, mess manager dan karyawan, pos satpam, gudang alat, mushola, gudang pakan, dan unit penanganan limbah. Keseluruhan aspek lahan berdasarkan GBP telah dipenuhi oleh perusahaan ini, yaitu bebas dari jasad renik patogen yang membahayakan ternak dan manusia dikarenakan bukan merupakan daerah endemik penyakit Antrax dan sesuai dengan peruntukannya
menurut perundang–undangan yang berlaku. Hal ini dibuktikan
dengan adanya perizinan pendirian bangunan dari pemerintah Kabupaten Serang dengan No. 03.647/0423.07/2008. Sumber air yang digunakan selalu tersedia sepanjang tahun dalam jumlah yang mencukupi serta mudah dicapai atau mudah disediakan. Sumber air berasal dari sumur bor dan sumur summersible yang ada di dalam wilayah peternakan. Air tersebut ditampung dalam tower air yang berkapasitas 8000 liter dengan debit air 4000 liter per jam. Jumlah tower yang dimiliki perusahaan yaitu sebanyak 14 buah. Air dialirkan melalui pipa ke seluruh kandang untuk membersihkan kandang dan air minum sapi, sedangkan air yang dialirkan ke kantor dan mess digunakan untuk kebutuhan karyawan sehari-hari seperti mandi, mencuci, 37
dan lainnya. Selama ini tidak terdapat keluhan masyarakat mengenai penggunaan air sehingga mengindikasikan bahwa penggunaan sumber air tanah tidak mengganggu ketersediaan air bagi masyarakat. Berikut gambaran sarana yang ada pada perusahaan ini dapat dilihat pada Gambar 2.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 2. Sarana: (a) Kantor, (b) Mess Karyawan, (c) Mushola, dan (d) Unit Kesehatan Hewan Office International des Epizooties (2006) menjelaskan bahwa bangunan dan fasilitas peternakan harus dikontrol agar tidak membahayakan ternak karena di dalamnya dapat merupakan sumber penyebab kontaminasi bagi ternak seperti mikroba patogen, bahan kimia dan fisik yang dapat membahayakan tenak secara
38
langsung dan tidak langsung. Prasarana yang ada pada perusahaan ini dapat dilihat pada Gambar 3.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 3. Prasarana: (a) Kandang Pemeliharaan, (b) Kandang Isolasi, (c) Gudang Pakan, dan (d) Unit Penanganan Limbah Aspek bangunan dan peralatan yang harus dimiliki dalam usaha pembibitan sapi potong yaitu kandang pemeliharaan, kandang isolasi, gudang pakan dan peralatan, serta unit penampungan dan pengolahan limbah. Kandang isolasi merupakan area yang terpisah diperlukan untuk mengisolasi ternak dan untuk perawatan ternak. Area ini harus dibuat agar nyaman bagi ternak dan memiliki suplai obat-obatan serta memiliki penerangan yang cukup. Area perawatan ini biasanya dibuat dekat dengan kandang khusus untuk melahirkan dan untuk mengisolasi ternak
39
yang sakit. Hal ini dilakukan untuk efisiensi pekerja dan sering disebut dengan kandang untuk kebutuhan khusus (Palmer, 2005). Perusahaan ini telah memiliki unit penanganan limbah, namun limbah belum dikelola secara maksimal dan hanya ditumpuk pada areal terbuka dan dikarungkan. Sebaiknya dibuat tempat penampungan limbah yang berada di belakang kandang, agar lebih terlihat bersih dan tidak tampak secara langsung oleh pengunjung atau dengan cara pembuatan tanggul pembatas pembuangan limbah pada unit yang telah ada. Peralatan penunjang yang harus dimiliki dan telah ada pada perusahaan yaitu tempat pakan dan tempat minum, alat pemotong dan pengangkut rumput, alat pembersih kandang, dan peralatan kesehatan hewan. Perusahaan tidak memiliki peralatan pengomposan dikarenakan menggunakan
sistem beding yaitu penggunaan alas kandang dari sawdust atau
serbuk gergaji. Ensminger dan Taylor (2006) menyatakan bahwa bangunan peternakan harus dirancang untuk memfasilitasi kenyamanan, kesehatan dan produktifitas ternak. Ventilasi yang baik, tersedianya pakan dan air dengan kualitas yang baik, penerangan dan kenyamanan ternak harus diperhatikan untuk meningkatkan performa ternak. Kandang bagi ternak sapi potong merupakan sarana yang mutlak harus ada. Kandang merupakan tempat berlindung ternak dari hujan, terik matahari, pengamanan ternak terhadap binatang buas, pencuri, dan kandang juga merupakan salah satu sarana untuk menjaga kesehatan (Direktorat Jenderal Peternakan, 1985). Persyaratan teknis kandang diantaranya yang telah terpenuhi oleh perusahaan yaitu konstruksi yang kuat terbuat dari beton dan besi, bahan yang digunakan ekonomis dan mudah didapat, sirkulasi udara berjalan lancar, sinar matahari tidak langsung mengenai ternak, drainase dan saluran pembuangan limbah baik, serta mudah dibersihkan, lantai rata, tidak licin, tidak kasar, mudah kering dan tahan injak, alas kandang berupa serbuk gergaji, lantai terbuat dari paving block dan semen dengan kemiringan 5º, daya tampung kandang mencukupi dengan luasan sekitar 3 m2/ekor dan jumlah sapi tiap pen 40 - 50 ekor, kandang isolasi terletak lebih landai dibandingkan kandang pemeliharaan. Letak kandang memenuhi persyaratan karena mudah diakses terhadap transportasi, tempat kering dan tidak tergenang saat hujan, dekat sumber air, cukup sinar matahari, kandang tunggal menghadap timur, kandang ganda membujur
40
utara-selatan, tidak mengganggu lingkungan hidup, dan memenuhi persyaratan hygiene dan sanitasi. Bibit sapi potong diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu bibit dasar (elite/foundation stock), bibit induk (breeding stock), dan bibit sebar (commercial stock). PT Lembu Jantan Perkasa hanya memiliki bibit induk dan bibit sebar saja. Persyaratan umum bibit sapi potong menurut GBP telah terpenuhi oleh perusahaan sebab sapi-sapi bibit memiliki catatan kesehatan yang lengkap dan dijual dalam keadaan sehat serta perusahaan menerapkan sistem afkir (culling) pada bagi bibit betina yang memiliki kualitas reproduksi rendah. Pakan ternak sapi potong merupakan salah satu unsur yang sangat penting untuk menunjang kesehatan, pertumbuhan, dan reproduksi ternak. Bahan pakan ternak dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu hijauan dan konsentrat. Setiap usaha pembibitan sapi potong harus menyediakan pakan yang cukup bagi ternaknya, baik yang berasal dari pakan hijauan, maupun pakan konsentrat. Perusahaan telah memiliki kebun rumput dan dua unit gudang pengolahan pakan. Hijauan ditandai dengan jumlah serat kasar yang relatif banyak yaitu lebih dari 18% daripada berat keringnya, sedangkan konsentrat mengandung serat kasar lebih sedikit yaitu kurang dari 18% daripada hijauan dan mengandung karbohidrat, protein, dan lemak yang relatif banyak namun jumlahnya bervariasi dengan jumlah air yang relatif sedikit (Williamson dan Payne, 1993). Pakan hijauan dapat berasal dari rumput, leguminosa, sisa hasil pertanian dan dedaunan yang mempunyai kadar serat yang relatif tinggi dan kadar energi rendah. Pakan hijauan yang digunakan yaitu rumput Taiwan dan jerami. Rumput Taiwan digunakan karena produksinya yang tinggi, mampu menyimpan air saat musim kemarau, dan batang tidak terlalu cepat tua. Jerami termasuk salah satu hijauan yang sering digunakan pada ternak. Namun, hijauan ini umumnya memiliki nilai nutrisi yang rendah (Williamson dan Payne, 1993). Jerami padi memiliki palatabitas yang cukup baik, tetapi apabila diberikan terlalu banyak dalam pakan sapi akan menyebabkan kebutuhan hidup pokoknya tidak terpenuhi karena kandungan nutriennya rendah (Panjono et al., 2000). Produksi hijauan yang ada telah mampu mencukupi kebutuhan ternak di perusahaan ini. Produksi rumput pada tahun 2009 sebesar 1500 ton dan mencapai 1220 ton pada pertengahan tahun 2010.
41
Pakan konsentrat yaitu pakan dengan kadar serat rendah dan kadar energi tinggi, tidak terkontaminasi mikroba, penyakit, stimulan pertumbuhan, hormon, bahan kimia, obat-obatan, mycotoxin melebihi tingkat yang dapat diterima oleh negara pengimpor. Pakan konsentrat diproduksi sendiri oleh perusahaan dan setiap status ternak berbeda-beda jenis pakan konsentratnya. Kode konsentrat diantaranya yaitu “weaner” untuk pedet, “R-Brd New” untuk calon bibit dan induk bunting, “R1 G048” untuk laktasi. Bahan-bahan pakan yang digunakan pada pembuatan konsentrat “weaner “ diantaranya yaitu polard, kopra, bungkil kedelai, molases, onggok, dan premix. Bahan-bahan pakan yang digunakan pada pembuatan konsentrat “R-Brd New” dan “R1 G048” sama, namun berbeda pada komposisinya. Bahan tersebut diantaranya yaitu polard, kopra, bungkil sawit, molases, onggok, gaplek, kulit kopi, dan premix. Perusahaan membuat label pada setiap pakan komersial yang dibuatnya meliputi kode pakan dan tanggal pembuatan. Pakan yang dicampur atau diproduksi perusahaan mengandung resiko terdapat bahaya residu bahan kimia, tumbuhnya jamur dan kapang. Proses pencampuran bahan-bahan mentah harus dipastikan komposisinya dan tercampur dengan sempurna. Air minum disediakan ad libitum. Obat hewan yang digunakan oleh PT LJP meliputi sediaan biologik, farmasetik, premik dan obat alami. Obat hewan yang dipergunakan seperti bahan kimia dan bahan biologik telah memiliki nomor pendaftaran. Penggunaan obat keras di bawah pengawasan tim kesehatan hewan (Keswan) yaitu kepala unit Keswan. Berdasarkan ketentuan pada GBP diharuskan tenaga kerja yang ada sehat jasmani dan rohani serta tidak memiliki luka terbuka. Tenaga kerja PT LJP terdiri atas tenaga kerja tetap/staf, tenaga kerja harian, dan tenaga kerja borongan. Staf dan kepala unit umumnya berpendidikan Diploma dan Sarjana. Tenaga kerja harian dan borongan tidak terlalu mengutamakan pendidikan formal melainkan hanya kemampuan menulis, membaca, menghitung dan bertanggung jawab. Jumlah tenaga kerja (TK) yang ada di perusahaan sekitar 150 orang. Rasio TK dengan sapi yaitu 1 : 100 untuk efisiensi tenaga kerja. Staf yang baru bergabung dalam perusahaan akan terlebih dahulu mengikuti sistem training. Peralatan kesehatan hewan yang digunakan oleh perusahaan disajikan pada Gambar 4.
42
(a)
(b)
Gambar 4. Peralatan Kesehatan Hewan: (a) Obat-obatan dan (b) Alat Suntik Proses Produksi Bibit Aspek proses produksi bibit terdiri atas pemeliharaan, produksi, seleksi bibit, perkawinan, ternak pengganti (replacement stock), afkir (culling), pencatatan, (recording), persilangan, sertifikasi, dan kesehatan hewan. Menurut GBP, sistem pemeliharaan dalam pembibitan sapi potong dilakukan dengan sistem pastura (penggembalaan), sistem semi intensif, dan sistem intensif. Sistem pemeliharaan ternak sapi dibagi menjadi tiga yaitu intensif, ektensif, dan mixed farming system (Parakkasi, 1999). Sistem pemeliharaan yang dilakukan oleh PT LJP adalah sistem pemeliharaan intensif, yaitu ternak dikandangkan terus menerus dan pakan diatur pemberiannya. Menurut Parakkasi (1999), pemeliharaan ternak secara intensif yaitu sistem pemeliharaan ternak sapi dengan cara dikandangkan secara terus-menerus dengan sistem pemberian pakan secara cut and carry. Keuntungan sistem ini adalah penggunaan bahan pakan hasil ikutan dari beberapa industri lebih intensif dibanding dengan sistem ekstensif, sedangkan kelemahannya modal yang digunakan lebih tinggi, masalah penyakit dan limbah peternakannya. Berdasarkan tujuan produksinya, pembibitan sapi potong dikelompokkan ke dalam pembibitan sapi potong bangsa/rumpun murni dan pembibitan sapi potong persilangan. Pembibitan sapi potong yang dilakukan perusahaan ini yaitu pembibitan sapi potong persilangan. Sapi potong yang dijadikan indukan yaitu sapi Brahman Cross. Minish dan Fox (1979) menyatakan bahwa sapi Brahman di Australia secara
43
komersial jarang dikembangkan secara murni dan banyak disilangkan dengan sapi Hereford-Shorthorn (HS). Hasil persilangan dengan Hereford dikenal dengan nama Brahman Cross (BX). Sapi ini mempunyai keistimewaan karena tahan terhadap suhu panas dan gigitan caplak, mampu beradaptasi terhadap makanan jelek serta mempunyai kecepatan pertumbuhan yang tinggi. Upaya untuk memperoleh bibit yang berkualitas melalui teknik perkawinan dapat dilakukan dengan cara kawin alam dan IB. Teknik perkawinan di PT LJP dilakukan dengan IB. Payne (1970) menyatakan bahwa IB dapat dipakai untuk meningkatkan efisiensi reproduksi terutama dalam mengatasi kegagalan reproduksi. Namun demikian tidak selamanya IB dapat memberikan hasil yang lebih baik dari kawin alam. Bearden dan Fuguay (1997) menyatakan bahwa puncak keberhasilan IB tergantung dari penempatan yang tepat semen berkualitas tinggi di dalam alat reproduksi betina. Pemeriksaan kualitas semen dilakukan setiap 6 bulan sekali oleh unit kesehatan hewan untuk mengetahui kualitas sperma yang berasal dari Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari. Aspek proses produksi tentang ternak pengganti (Replacement Stock) dinyatakan dalam GBP bahwa calon bibit betina dipilih 25% terbaik untuk replacement, 10% untuk pengembangan populasi kawasan, 60% dijual ke luar kawasan sebagai bibit, dan 5% dijual sebagai ternak afkir (culling). Namun dikarenakan orientasi perusahaan untuk bisnis, sehingga sistem ini belum diterapkan. Saran yang diberikan adalah untuk lebih mempertimbangkan kembali mengenai masalah replacement stock ini. Selain untuk meningkatkan populasi bibit sapi, hal ini dilakukan juga mengingat izin impor sapi yang semakin berkurang. Semua calon bibit jantan dijual atau dijadikan bakalan penggemukan oleh pihak perusahaan. Sapi betina yang tidak memenuhi persyaratan sebagai bibit (10%) dikeluarkan sebagai ternak afkir (culling). Sapi induk yang tidak produktif segera dikeluarkan dengan kriteria yaitu kelebihan berat dan kualitas saluran reproduksi jelek. Sistem pencatatan (recording) pada perusahaan lengkap meliputi rumpun, silsilah, perkawinan (tanggal, pejantan, IB),
kelahiran (tanggal, bobot lahir),
penyapihan (tanggal, bobot badan), beranak kembali (tanggal, partus), pakan (jenis, konsumsi), vaksinasi, pengobatan (tanggal, perlakuan/treatment), dan mutasi (pemasukan dan pengeluaran ternak). Pencatatan berguna untuk mempermudah
44
kelengkapan data pada perusahaan dan menelusuri silsilah ternak. Persilangan yang dilakukan tetap mengikuti jalur persilangan yang sesuai. Prinsip-prinsip seleksi dan culling diterapkan oleh pihak perusahaan. Sertifikat diberikan oleh Dinas Kabupaten dan Direktorat Jendral Peternakan. Kesehatan Hewan Pembibitan sapi potong diharuskan terletak di daerah yang bebas endemik penyakit zoonosis. Selama berdirinya perusahaan ini, ternak yang ada tidak pernah menderita penyakit zoonosis. Pembibitan sapi potong harus melakukan vaksinasi dan pengujian/tes laboratorium terhadap penyakit tertentu yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang. Vaksinisasi pada PT LJP dilakukan saat ternak datang, saat 6 bulan setelah datang, dan pada induk setelah weaning. Pemberian vaksin diawasi oleh tim Keswan. Pencatatan setiap pelaksanaan vaksinasi dan jenis vaksin yang dipakai dalam kartu kesehatan ternak. Pelaporan kepada Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan setempat atau dilakukan instansi yang berwenang setiap timbul kasus penyakit terutama yang diduga/dianggap penyakit menular. Penggunaan obat dalam menangani ternak harus sesuai dengan ketentuan dan diperhitungkan secara ekonomis. Pemotongan kuku pada ternak tidak dilakukan di PT LJP, sebab kebersihan kandang dijaga dan menggunakan alas kandang berupa serbuk gergaji. Pemotongan kuku umumnya dilakukan pada ternak yang tidak dikawinkan secara IB, sedangkan ternak di perusahaan ini dikawinkan secara IB. Tindakan biosecurity berupa pemeriksaan kesehatan ternak dilakukan pada ternak yang masuk atau keluar dari peternakan dilakukan. Lokasi usaha tidak mudah dimasuki binatang liar serta bebas dari hewan peliharaan lainnya yang dapat menularkan penyakit untuk menjamin kesehatan hewan. Perusahaan ini mudah dimasuki hewan peliharaan masyarakat yaitu kambing karena wilayah perusahaan berdekatan dengan masyarakat, namun hewan ini hanya mampu masuk hingga wilayah kebun rumput. Saran yang diberikan yaitu pengawasan lebih ditingkatkan agar tidak terjadi hal yang merugikan, ataupun penularan penyakit dari luar perusahaan. Syarat lain adalah menyediakan fasilitas desinfeksi untuk staf/karyawan dan kendaraan tamu dipintu masuk perusahaan. Fasilitas desinfeksi (kolam desinfektan) pada praktiknya hanya tersedia untuk ternak yaitu di pintu masuk unit breeding. Fasilitas desinfeksi dapat dilihat pada Gambar 5. 45
Gambar 5. Fasilitas Desinfeksi Fasilitas desinfeksi yang ada di perusahaan ini yaitu berupa kolam desinfektan yang berada di pintu masuk unit breeding PT LJP. Kolam ini digunakan pada saat ternak masuk ke unit breeding untuk menghindari kemungkinan penyebaran penyakit dari luar wilayah perusahaan. Kolam desinfektan ini berisi campuran air dan kaporit. Fasilitas ini sebaiknya tersedia untuk pekerja agar dapat menghindari kemungkinan penyakit dari luar peternakan. Pelestarian Lingkungan Aspek pelestarian lingkungan terdiri atas menyusun rencana pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan, dan melakukan upaya pencegahan pencemaran lingkungan. Perusahaan telah melakukan upaya pencegahan pencemaran lingkungan serta mencegah terjadinya erosi dan membantu pelaksanaan penghijauan di areal peternakan dengan cara penanaman tanaman di areal peternakan. Pencegahan polusi dan gangguan lain seperti bau busuk, serangga, pencemaran air sungai dan lain-lain dengan cara pengelolaan limbah dan pembasmian lalat menggunakan insektisida berupa “musca down”, “racun lalat”, ataupun “gusanex” yang mengandung azamethipo 1%. Dosis yang digunakan 2 gram/m2 dan pemberian dengan cara ditaburkan ke seluruh lingkungan kandang atau dioleskan pada bambu atau lidi. Sesuai dengan pernyataan Blakely dan Bade (1991) bahwa parasit eksternal dapat dikendalikan dengan cara penaburan insektisida secara
46
sistemik guna mencegah perkembangan larva „heel fly‟. Selama ini belum terdapat keluhan masyarakat mengenai polusi dari kegiatan perusahaan ini. Operasionalisasi unit pengolahan limbah padat yang dihasilkan dilakukan dengan cara dikarungkan dan dijual. Permintaan limbah sudah ada meskipun saat ini hanya dikarungkan tanpa perlakuan tambahan. Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan Aspek monitoring, evaluasi dan pelaporan pada perusahaan ini sudah diterapkan dengan baik yaitu sesuai dengan GBP. Monitoring dilakukan setiap bulan oleh tim Dinas Peternakan Kabupaten dan Propinsi dengan mengumpulkan data performan tubuh, performan produksi, performan reproduksi, dan kesehatan sapi bibit. Pelaporan ke pada pihak pemeritah dilakukan setiap satu tahun sekali. Perusahaan juga membuat laporan teknis dan administratif secara berkala untuk kepentingan internal, sehingga apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dapat diadakan perbaikan secepatnya. Laporan internal terdiri atas laporan bulanan, laporan per semester, dan laporan tahunan.
47
Ketercapaian Penerapan GBP di PT LJP Serang-Banten Penerapan GBP bibit sapi potong yang baik dapat dilihat dari ketercapaian produktivitasnya. Balai Inseminasi Buatan Singosari (1997) memberikan suatu gambaran efisiensi reproduksi ternak dengan mengevaluasi nilai conception rate (CR) dan services per conception (S/C). Selain dari nilai CR dan S/C, penelitian ini juga mengevaluasi efisiensi reproduksi ternak di PT LJP melalui nilai calving interval (CI) dan calving rate (C/R). Hasil ketercapaian pada penerapan GBP di PT LJP Serang-Banten dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Ketercapaian Penerapan Good Breeding Practice di PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten Peubah yang diamati
Tahun 2009
2010
Calving interval (hari)
408
372
Service per conception (S/C)
1,6
1,5
Concep Conception rate (%)
78
88
Calving Calving rate ( %)
23
84
Sumber : PT LJP Serang-Banten (2010)
Calving Interval (CI) Jarak beranak (calving interval) adalah periode waktu antara dua kelahiran yang berurutan dapat juga dihitung dengan menjumlahkan periode kebuntingan dengan periode days open (interval antara saat kelahiran dengan terjadinya perkawinan yang subur berikutnya) (Sutan, 1988). Interval kelahiran atau jangka waktu antara satu kelahiran dengan kelahiran berikutnya seharusnya 12-13 bulan (Toelihere, 1979). Hasil data menunjukkan CI pada tahun 2009 sebesar 408 hari dan 372 hari pada tahun 2010. Calving interval menurun dari tahun 2009 ke 2010 sebesar 36 hari yang menunjukkan bahwa perusahaan ini berhasil memperbaiki kinerjanya. Efisiensi yang baik ditandai dengan interval kelahiran yang lebih pendek. Direktorat Jenderal Peternakan (1991) memberikan nilai standar dari calving interval (CI) sebesar 365 hari, perusahaan belum dapat memenuhi kriteria ini, namun nilai 372
48
hari ini lebih baik dibandingkan penelitian Iswoyo dan Priyantini (2008) yang menunjukkan calving interval sebesar 392,28±77,27 hari. Faktor-faktor yang mempengaruhi jarak beranak yaitu lama bunting, jenis kelamin pedet yang dilahirkan, umur penyapihan pedet, S/C, bulan beranak, bulan saat terjadinya konsepsi dan jarak waktu sapi pertama kali dikawinkan setelah beranak (Bowker et al., 1978).
Umur sapih pedet merupakan faktor yang
mempengaruhi jarak beranak. Hal ini dikarenakan induk sapi yang menyusui pedet lebih lama akan menunda perkawinan pertama kali setelah beranak, sehingga dapat memperpanjang jarak beranak. Namun, PT LJP menerapkan sistem perkawinan kembali pada induk-induk laktasi yang masih menyusui anaknya. Perkawinan dilakukan pada induk yang mengalami birahi kembali dengan persyaratan induk tersebut telah mengalami involusi saluran reproduksi yaitu minimal 40 hari atau pada siklus berahi ke-2 setelah beranak. Menurut Toelihere (2006), involusi atau regresi uterus ke ukuran dan statusnya semula membutuhkan waktu yang relatif lama. Selama involusi, lapisan urat daging uterus berkurang karena penurunan ukuran sel dan kehilangan sel. Secara klinis involusi sudah selesai pada hari ke 30-40, tetapi secara histologik, involusi baru benar-benar selesai 50-60 hari postpartus. Maka sehubungan dengan kenyataan ini sebaiknya pihak perusahaan mengawinkan kembali ternaknya lebih dari 50-60 hari setelah partus. Service per Conception (S/C) Service per Conception adalah jumlah pelayanan inseminasi sampai seekor ternak menjadi bunting (Salisbury dan Vandemark, 1985). Service per Conception merupakan ukuran berapa kali seekor ternak sapi melakukan perkawinan hingga ternak tersebut bunting. Menurut Toelihere (1979), nilai S/C yang normal yaitu berkisar antara 1,6-2,0. Berdasarkan data perusahaan didapatkan hasil bahwa nilai S/C pada tahun 2009 sebesar 1,6 dan meningkat pada tahun 2010 menjadi 1,5. Sedangkan penelitian Depison et al. (2003) pada persilangan Simmental dan Brahman (Simbrah) dapat mencapai nilai S/C sebesar 1,45. Nilai S/C sebesar 1,6 pada perusahaan ini masih lebih baik dari standar Direktorat Jenderal Peternakan (1991). Semakin rendah nilai tersebut, makin tinggi nilai kesuburan hewan-hewan betina kelompok-kelompok tersebut. Menurut Vandeplassche (1982), nilai S/C yang
49
rendah sangat penting dalam arti ekonomis, baik dalam perkawinan alam maupun melalui IB. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan S/C diantaranya kualitas semen yang digunakan, deteksi birahi, body condition score (BCS), tingkat kemampuan inseminator, dan bobot hidup (Kutsiyah et al., 2002). Bearden dan Fuguay (1997) menambahkan bahwa puncak keberhasilan IB tergantung dari cara meletakkan semen yang tepat di dalam alat reproduksi betina. Semen yang digunakan oleh PT LJP berasal dari Balai Inseminasi Buatan Singosari. Kualitas semen diperiksa secara berkala di unit kesehatan hewan yang dimiliki perusahaan yaitu setiap 6 bulan sekali oleh unit kesehatan hewan. Evaluasi semen harus dilakukan untuk menentukan pergerakan (motilitas) dan daya hidup (viabilitas) sperma
yang diejakulasikan, meskipun
keadaan fisik
pejantan
itu tidak
memperlihatkan kelemahan atau kekurangan tertentu (Blakely dan Bade,1991). Kondisi tubuh yang baik dan sehat serta dengan bobot hidup minimal 270 kg merupakan kriteria sebagai calon bibit di PT LJP. Nilai S/C yang rendah pada perusahaan ini dikarenakan pelaksanaan deteksi birahi dan ketepatan waktu IB yang baik serta tingkat kemampuan inseminator yang tinggi. Deteksi birahi diamati oleh petugas kandang dan kemudian dicatat pada papan yang ada disetiap pen kandang. Sesuai dengan pendapat Toelihere (1993), bahwa diperlukan deteksi dan pelaporan berahi yang tepat sehingga inseminasi dapat dilakukan pada waktu yang tepat. Demikian juga teknik inseminasi dilakukan secara cermat oleh tenaga terampil dan juga hewan betina yang sehat dalam kondisi reproduksi yang optimal (Toelihere, 1993). Pencatatan terdiri atas nomor telinga (notel) ternak dan waktu berahi yang teramati. Inseminasi yang tepat sebaiknya dilakukan pada saat mulai pertengahan estrus sampai 6 jam sesudah puncak berahi (Salisbury dan Vandemark, 1985). Calon bibit yang terdeteksi berahi akan dibawa ke unit kesehatan hewan untuk dikawinkan secara IB. Waktu IB yang diterapkan di perusahaan ini yaitu ± 10 jam setelah tanda birahi terlihat, hal ini dilakukan agar sperma mencapai waktu yang bersamaan dengan terlontarnya ovum yaitu saat ovulasi terjadi sehingga kebuntinganpun dapat terjadi.
50
Conception Rate (CR) Angka dari persentase sapi betina yang bunting disebut dengan nilai CR atau angka konsepsi yang ditentukan berdasarkan hasil diagnosa kebuntingan oleh dokter hewan dalam waktu 45 – 60 hari sesudah inseminasi (Partodihardjo 1987). Toelihere (1993) menyatakan bahwa CR di negara maju dapat berkisar antara 60-70%. Di Indonesia nilai CR sebesar 50% sudah termasuk normal, dan jika dibawah 50% berarti menunjukkan wilayah tersebut memiliki ternak yang kurang subur. Nilai CR di PT LJP Serang-Banten pada tahun 2009 sebesar 78% dan meningkat pada tahun 2010 menjadi 88%. Nilai ini lebih besar dibandingkan CR pada persilangan Simmental dan Brahman (Simbrah) yaitu 61,29% (Depison, 2003) dan standar Direktorat Jenderal Peternakan (1991) yaitu sebesar 62,5%. Menurut Toelihere (1993) angka konsepsi ditentukan oleh tiga faktor, yaitu kesuburan pejantan, kesuburan betina dan teknik inseminasi. Kesuburan pejantan menjadi salah satu faktor penentu CR dikarenakan kualitas sperma yang baik akan meningkatkan kebuntingan. Induk yang subur memiliki kualitas ovarium dan kondisi fisik yang baik sehingga mampu mempertahankan kebuntingan hingga tahap akhir kebuntingan. Selain itu, teknik inseminasi dapat mempengaruhi tingkat CR dikarenakan puncak keberhasilan IB tergantung dari penempatan yang tepat dari semen berkualitas tinggi di dalam alat reproduksi betina (Bearden dan Fuguay, 1997). Angka kebuntingan juga terkait dengan ketepatan waktu IB. Pemeriksaan kebuntingan (PKB) dilakukan dua bulan setelah ternak di IB dan tidak mengalami birahi kembali dengan cara palpasi rektal oleh tim unit breeding. Setelah dinyatakan bunting, sapi-sapi ini diletakkan di kandang bunting. Bagi sapi-sapi ex-IB yang tidak berahi namun tidak terdeteksi bunting, maka akan dilakukan PKB ulang 1 bulan kemudian untuk menghindari kemungkinan kesalahan pada PKB awal. Calving rate (C/R) Calving rate (C/R) di perusahaan ini tahun 2010 sebesar 84%, berbeda jauh dengan pada tahun 2009 yang hanya mencapai 23%. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan populasi induk bunting dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009 populasi induk bunting yaitu 1635 ekor sementara pada tahun 2010 sebanyak 882 ekor. Kelahiran yang berlangsung pada tahun 2010 sebanyak 738 ekor lebih tinggi
51
dibandingkan pada tahun 2009 yang hanya mencapai 379 ekor. Pada tahun 2009 induk bunting yang terjual lebih
banyak 166 ekor dibandingkan tahun 2010,
sehingga mempengaruhi jumlah kelahiran yang berlangsung di PT LJP. Calving rate bergantung pada perlakuan ternak saat bunting dan saat beranak. Pemberian pakan serta penempatan kandang dengan kapasitas ternak yang lebih sedikit dan penanganan sebelum, saat, dan setelah beranak sangat diperhatikan.
52
Evaluasi Penerapan Standard Operational Procedure (SOP) Prosedur Operasional Baku (POB) atau Standard Operational Procedure (SOP) merupakan pedoman yang ditetapkan perusahaan dalam menjalankan aktivitas di perusahaan. Alur penanganan ternak pada unit breeding di PT LJP Serang-Banten dapat dilihat pada Gambar 6. Penerimaan Sapi
Penimbangan
Seleksi
Tidak lolos seleksi
Digemukkan di Unit Fattening
Lolos seleksi
Pemeliharaan Calon Bibit dan Proses Pengawinan
Pemeriksaan Kebuntingan Penjualan Sapi Pemeliharaan Induk Bunting
Kelahiran
Perawatan Induk dan Anak
Penjualan Sapi Bibit Gambar 6. Alur Penanganan Ternak Sapi Pembibitan di PT Lembu Jantan Perkasa
53
Penerimaan Sapi Penanganan pada penerimaan sapi terdiri atas penanganan sebelum dan setelah ternak datang. Penanganan yang dilakukan sebelum kedatangan ternak yaitu: a) pembentukan tim petugas bongkar, tim ini terdiri dari supervisor sebagai pengawas serta petugas kandang, b) persiapan kandang yang terdiri atas jumlah dan alokasi pen, kebersihan, bak pakan atau bak minum disesuaikan jumlah ternak yang datang, c) penerangan yang cukup, d) persiapan cattle yard, loading chute, dan gang way, e) peralatan yaitu ear tag, tang aplikator, alat komunikasi, dan tang, f) obatobatan dan vitamin yang terdiri atas antibiotik, elektrolit, dan gusanex, g) persiapan pakan yaitu jumlah konsentrat dan hijauan, h) persiapan peralatan administrasi yang terdiri dari form-form dan berita acara, i) kebutuhan/perlengkapan lain yaitu bambu, tambang, sawdust, tali rafia,dan sarung tangan, dan j) melakukan koordinasi internal dan eksternal. Penanganan yang dilakukan saat penerimaan sapi, yaitu a) memastikan sapi tersebut sesuai order pembelian dari kantor pusat atas izin dewan direksi, b) pemeriksaan dokumen yang lengkap dan sah surat jalan dan surat kesehatan ternak dari tempat asal, c) sapi yang telah sampai terlebih dahulu ditimbang bersama dengan truk pengangkutnya, d) sapi diturunkan di cattle yard
segera setelah dokumen
dianggap sah oleh supervisor atau oleh petugas yang bertanggung jawab, e) penanganan/handling sapi dilakukan dengan baik dan benar ( hati-hati, tidak gaduh, tidak menyakiti ternak untuk menghindari stres pada ternak), f) sapi digiring ke dalam pen yg sudah dipersiapkan, g) membuat berita acara apabila terdapat kondisi sapi yang mati di perjalanan, lemah, patah kaki, atau kondisi tidak normal lainnya, h) berita acara ditandatangani oleh petugas ekspedisi, supir truk, dan petugas penerima sapi, i) pemberian obat stres (contra stress ATP plus) sampai dengan timbang awal dengan dosis 100 gram per 200 L air minum. Vitamin ini berfungsi untuk mengatasi stres transportasi, meningkatkan daya tahan tubuh, nafsu makan, dan meningkatkan pertumbuhan, j) pakan dan air minum bersih sudah tersedia di bak pakan/ bak minum, k) pembuatan laporan penerimaan jumlah dan kesusutan berat sapi dari pelabuhan hingga ke peternakan. Rata-rata penyusutan bobot badan sapi dari pelabuhan hingga ke peternakan yaitu 2%, l) catatan penimbangan dan penerimaan atau penolakan sapi sebagai sapi bibit harus segera dilaporkan ke pimpinan langsung
54
untuk segera dilaporkan ke kantor pusat, m) petugas penerimaan harus setingkat supervisor atau pejabat lain yang ditunjuk langsung oleh pimpinan, serta n) penandatanganan dokumen/berita acara penerimaan sapi oleh supervisor ternak atau pejabat lain yg telah ditunjuk oleh pimpinan dan diserahkan ke bagian administrasi ternak. Pada kedatangan malam hari, petugas yang bertanggung jawab adalah perwira piket dibantu oleh karyawan yang bertugas pada malam itu. Penerimaan sapi berlangsung dapat dilihat pada Gambar 7.
(a)
(b)
Gambar 7. Penerimaan Sapi: (a) Loading Chute dan (b) Penampungan Penimbangan Penimbangan awal dimulai minimal setelah sapi diistirahatkan selama dua hari. Kondisi dan akurasi timbangan diperiksa, timbangan yang digunakan yaitu timbangan elektrik yang berada di cattle yard. Kegiatan pada saat penimbangan awal meliputi pemasangan ear tag, penimbangan individu, treatment berupa vitamin (injectamin) dengan dosis 5 ml/ekor, vaksinasi serta pengelompokan sapi berdasarkan jenis kelamin, berat, dan kondisi kesehatan. Pencatatan individu ternak dilakukan meliputi berat, identifikasi, ex-property (asal), breed dan kondisi (sehat dan sakit). Klasifikasi ternak berdasarkan berat yaitu ≤ 250 kg, 251-280 kg, 281-320 kg, 321-350 kg, dan > 350 kg. Ternak ditempatkan pada pen sesuai klasifikasi beratnya untuk menghindari persaingan dalam mengkonsumsi pakan. Penanganan
55
sapi selama proses penimbangan dilakukan dengan hati-hati. Gambaran saat penimbangan dapat dilihat pada Gambar 8.
(a)
(b)
Gambar 8. Penimbangan Awal: (a) Penimbangan Ternak dan (b) Pemasangan EarTag Vitamin yang diberikan pada saat penimbangan yaitu Injectamin dengan dosis pemberian 5 ml/ ekor. Vitamin ini berfungsi untuk mencegah dan mengobati defisiensi vitamin, seperti gangguan pertumbuhan, pencernaan, reproduksi dan otot. Vaksin yang diberikan yaitu vaksin SE (Septicaemia epizootica) dengan merk dagang Septivak sebanyak 3 ml/ekor, pemberian vaksin dilakukan untuk menimbulkan kekebalan terhadap penyakit Septicaemia epizootica. Obat anti stress diberikan selama dua hari setelah penimbangan awal kemudian dibuat laporannya. Seleksi Awal Seleksi dilakukan pada sapi-sapi yang telah beradaptasi selama 2 – 3 minggu dan telah masak kelamin guna mendapatkan calon bibit. Sistem reproduksi jantan dan betina belum berfungsi secara sempurna sebelum seekor sapi mencapai masak kelamin (pubertas), yaitu umur pada saat dicapai kematangan kelamin atau kematangan seksual. Umur pada saat tercapainya masak kelamin, bervariasi di antara bangsa-bangsa sapi, dengan suatu kisaran umur antara 8 – 18 bulan (Blakely dan Bade, 1991). Untuk memudahkan pengerjaan sistem seleksi pada sapi tersebut, perusahaan menerapkan sistem seleksi berdasarkan kelayakan dan kesehatan saluran 56
reproduksinya dengan berat badan minimal 270 kg. Hal ini sesuai dengan pernyataan Blakely dan Bade (1991) bahwa pada beberapa bangsa sapi tertentu, masak kelamin lebih merupakan fungsi berat badan dan bukannya fungsi umur, dan banyak peternak menggunakan berat badan 275 sampai 350 kg sebagai ukuran masak kelamin untuk sapi betina. Pemeriksaan alat reproduksi (PAR) dimulai dari bobot badan terbesar dan diberikan vitamin A,D, dan E saat PAR. Pentingnya penggunaan sarung tangan yang steril dan dilumasi saat PAR dilakukan guna melindungi sapi maupun manusianya dari kemungkinan terjadinya infeksi (Blakely dan Bade, 1991). Gambar 9 menunjukkan saat PAR berlangsung.
Gambar 9. Pemeriksaan Alat Reproduksi Sapi yang lolos seleksi akan dilanjutkan ke proses adaptasi, perbaikan kondisi dan pengamatan siklus berahi. Sapi yang lolos seleksi dipindahkan ke kandang calon bibit (cabit). Pengamatan berahi ( oestrus/heat ) dilakukan selama 24 jam setiap harinya. Sapi yang tidak lolos karena alasan reproduksi dan kesehatan akan digemukkan dan dijual sebagai sapi potong. Klasifikasi ternak sapi bibit pada umumnya ditentukan oleh a) umur, b) jenis kelamin, dan c) breed. Pemeliharaan Calon Bibit (Cabit) dan Proses Pengawinan Pemberian pakan pada ternak sapi di perusahaan ini disesuaikan dengan status fisiologis ternak tersebut. Pakan terdiri atas dua jenis yaitu konsentrat dan
57
hijauan. Frekwensi pemberian pakan minimal 2 kali sehari untuk setiap jenis pakan. Pakan untuk calon bibit yaitu konsentrat sebanyak 8 kg/ekor/hari dan hijauan sebanyak 5 kg/ekor/hari. Pemberian pakan ini sesuai dengan NRC (1984) bahwa konsumsi bahan kering dara yaitu 7,3 kg/ekor/hari. Sapi calon bibit akan dilakukan pengamatan berahi setiap harinya oleh petugas kandang. Menurut Blakely dan Bade (1991), tanda-tanda visual sapi betina menjelang birahi adalah pembengkakan dan vulva yang menjadi merah serta keadaan gelisah yang menunjukkan keinginan untuk kawin, tetapi perilaku yang amat menonjol adalah mengusir atau diusir oleh temannya dan tetap diam bila dinaiki. Pengamatan termudah yang juga diterapkan oleh perusahaan dalam mendeteksi berahi yaitu sapi betina yang akan tetap diam apabila dinaiki. Sapi betina hanya mau menerima pejantan dalam periode birahi saja, yang berlangsung sekitar 16 jam, dan hal ini akan terulang lagi tiap 21 hari, apabila tidak terjadi kebuntingan (Blakely dan Bade, 1991). Sapi yang berahi dicatat ear tag dan waktu berahinya, lalu dipindahkan ke unit kesehatan, ±10 jam setelah tanda berahi terlihat sapi tersebut akan dikawinkan dengan cara Inseminasi Buatan (IB) dengan semen berada pada straw plastik. Peralatan yang digunakan saat IB dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Peralatan Inseminasi Buatan Menurut Blakely dan Bade (1991), dalam waktu inseminasi, semen yang berasal dari straw plastik atau ampul dimasukkan ke dalam saluran reproduksi sapi
58
betina. Apabila semen tersebut berada di dalam straw plastik maka alat yang digunakan yaitu straw gun. Keuntungan yang didapat dengan menggunakan straw plastik adalah bahwa semen tersebut dapat secara langsung ditempatkan di dalam saluran reproduksi, tanpa harus memindahkan semen dari ampul ke kateter. Hal ini menyebabkan penggunaan straw menjadi lebih sederhana serta lebih menjamin jumlah sperma hidup yang maksimum bisa diinseminasikan. Masa hidup sel telur adalah 6 sampai 12 jam, sedangkan masa hidup sperma adalah 30 jam. Jadi, agar dapat terjadi pembuahan maka perkawinan harus berlangsung pada bagian akhir dari saat birahi (Blakely dan Bade, 1991). Menurut Salisbury dan Vandemark (1985) inseminasi yang tepat sebaiknya dilakukan pada saat mulai pertengahan estrus sampai 6 jam sesudah puncak berahi. Sapi yang telah di IB dipindahkan ke kandang IB. Pemeriksaan Kebuntingan (PKB) Pemeriksaan kebuntingan (PKB) pada sapi IB yang tidak mengalami berahi kembali dilakukan dengan cara palpasi rektal. Sapi yang akan diperiksa ditempatkan di dalam kandang jepit yang berukuran 160 cm x 70 cm x 170 cm untuk mencegah bahaya bagi pemeriksa terhadap tendangan, pergerakan ke depan dan ke samping oleh ternak yang diperiksa. Sapi yang terkejut dapat menendang ke belakang dan biasanya tendangan terjadi menjelang atau pada saat tangan dimasukkan ke dalam rektum (Toelihere, 2006). Palang diletakkan di bagian belakang kandang jepit atau di belakang sapi, di atas legokan kaki belakang untuk menghindari tendangan tersebut. Pemeriksaan kebuntingan (PKB) dilakukan setelah semua persiapan selesai. Prinsip palpasi rektal adalah memasukkan tangan dan lengan ke dalam rektum seekor sapi betina dan dari dinding rektum dirasakan adanya tanda-tanda kebuntingan (Blakely dan Bade, 1991). Pemeriksaan kebuntingan dilakukan dua bulan setelah IB, sama halnya dengan Toelihere (2006) yang menyatakan bahwa diagnosis menggunakan metode ini dapat dilakukan paling cepat 35 hari setelah inseminasi dan ketepatan di atas 95% dapat diperoleh sesudah 60 hari kebuntingan. Sapi yang dinyatakan bunting akan dipindahkan ke kandang bunting, sedangkan sapi yang tidak dinyatakan bunting akan dipindahkan ke kandang ex-PKB untuk dilakukan PKB ulang 1 bulan kemudian. 59
Pemeliharaan Induk Bunting Sapi bunting ditempatkan di kandang bunting. Kandang sapi bunting dibuat lebih longgar. Pakan disesuaikan dengan statusnya dan dicatat setiap hari. Persentase kasus yang tinggi pada induk bunting di tahun 2010 yaitu abortus sebesar 4%. Abortus atau keluron adalah pengeluaran fetus sebelum akhir masa kebuntingan dengan fetus yang belum sanggup hidup. Abortus umumnya disebabkan oleh faktor yang mempengaruhi fetus atau kedua-duanya. Secara ekonomis, abortus merupakan masalah besar bagi peternak, karena kehilangan fetus dapat diikuti dengan penyakit pada uterus dan sterilitas untuk waktu yang lama. Penyebab abortus antara lain infeksi bakteri (Brucellosis), sejenis virus Herpes, jamur (Aspergillus spp), infeksi protozoa (Trichomonas foetus), bahan kimia, obat, dan tanaman beracun, sebabsebab hormonal, defisiensi makanan, ataupun kecelakaan. Stres berat pada induk juga dapat menyebabkan abortus (Toelihere, 2006). Penanganan pada induk abortus yang dilakukan oleh pihak perusahaan yaitu dengan pemisahan ternak dari kelompoknya dan dipindahkan ke hospital pen, kemudian sampel darah ternak tersebutpun diambil untuk diidentifikasi penyebab penyakitnya. Pengobatan abortus yang dilakukan di PT LJP yaitu dengan pemberian antibiotik (Limoxin 200 LA) sebanyak 15 ml dan hormon oxytocin sebanyak 7 ml. Ternak yang dinyatakan abortus akibat infeksi maka akan diculling agar tidak menularkan ke ternak lainnya. Infeksi sering terjadi dikarenakan ingesti kotorankotoran yang mengkontaminasi makanan dari alat kelamin hewan yang mengalami abortus (Toelihere, 2006). Pengamatan lebih ditingkatkan pada induk bunting menjelang 2–3 hari sebelum beranak. Menurut Toelihere (2006) hewan betina bertambah tenang, lamban dan hati-hati dalam pergerakannya sesuai dengan pertambahan umur kebuntingan, terutama pada minggu-minggu terakhir dan terdapat kecenderungan pertambahan berat badan. Ligamenta pelvis mulai mengendur, dan pada hewan yang kurus terlihat pelegokan yang jelas pada pangkal ekor. Oedema dan relaksasi vulva terlihat pada beberapa minggu terakhir kebuntingan. Satu minggu setelah beranak induk dan anaknya dipindahkan kedalam kandang laktasi.
60
Kelahiran Induk sapi yang dapat melahirkan normal hanya diamati oleh petugas kandang, namun bila terjadi kesulitan beranak sapi tersebut akan digiring ke unit kesehatan untuk dibantu proses beranaknya. Presentasi fetus yang normal adalah kaki depan terlebih dahulu, dengan kepala berada di antaranya. Kontraksi uterus menyebabkan kaki mendorong plasenta lalu terlepaslah cairan amnion yang berperan sebagai pelumas untuk lewatnya fetus. Waktu kelahiran yang normal variasinya besar, rata-rata sekitar 30 menit tanpa pertolongan (Blakely dan Bade, 1991). Induk yang melahirkan normal atau eutokia diberi antibiotik (Limoxin LA) sebanyak 15 ml, hormon oxytocin sebanyak 5 ml dan vitamin A, D, E (Vitol) sebanyak 7 ml. Pedet yang baru lahir umumnya akan dijilati oleh induknya. Apabila hal tersebut tidak dilakukan oleh induk guna membantu pernafasan pedet, peternak haruslah yakin bahwa tidak ada selaput-selaput yang menutupi mulut dan lubang hidung (Blakely dan Bade, 1991). Pemotongan tali pusat (disisakan ±5 cm dari pangkal) dilakukan setelah pedet lahir, lalu tali pusat diberi desinfektan dan anti lalat. Pemberian yodium pada pusar pedet yang baru lahir sangat dianjurkan untuk mencegah timbulnya tetanus atau penyakit lain (Blakely dan Bade, 1991). Gambaran pada saat setelah kelahiran dapat dilihat pada Gambar 11.
(a)
(b)
Gambar 11. Kelahiran: (a) Induk Setelah Beranak dan (b) Induk Menjilati Anak
61
Penimbangan/pencatatan berat lahir dilakukan paling lambat 24 jam setelah kelahiran dan dicatat ear tag induknya. Bobot badan pedet yang baru lahir rata-rata 20-25 kg. Pedet dipastikan mendapat kolostrum. Kolostrum yang merupakan susu khusus yang dihasilkan selama 3 hari pertama sesudah kelahiran, diperlukan oleh pedet yang baru lahir itu untuk kehidupannya. Kolostrum itu tidak saja mengandung banyak energi, mineral dan vitamin yang dibutuhkan untuk memulai kehidupan bagi pedet yang bersangkutan, tetapi juga mengandung antibodi yang merupakan pelindung terhadap kemungkinan adanya infeksi dan penyakit (Blakely dan Bade, 1991). Situasi proses kelahiran dan kondisi pedet yang baru lahir harus dicatat dalam buku induk. Pedet yang lahir dan induknya mati serta induknya tidak menghasilkan susu dipelihara di dalam calves box (berukuran 100 cm x 126 cm x 135 cm) dan diberikan susu yang berasal dari foster mother melalui dot. Induk yang tidak ingin menyusui anaknya ditempatkan di dalam kandang jepit agar pedet tidak ditendang saat menyusu, sedangkan induk yang memiliki puting besar, susunya diperah kemudian diberikan pada pedet lain menggunakan dot. Menurut Blakely dan Bade (1991), apabila kelahiran tidak juga terjadi dalam waktu sekitar 2 jam sejak permulaan munculnya „labor pain‟, seorang dokter hewan hendaknya mulai mengamati apakah ada masalah persentasi yang tidak normal. Kasus yang umum dialami oleh induk saat melahirkan yaitu distokia. Menurut Toelihere (2006), kesulitan melahirkan atau distokia merupakan salah satu kondisi kebidanan yang harus ditangani oleh dokter hewan atau bidan ternak. Penyebab distokia diantaranya sebab herediter, nutrisional dan manajemen, penyakit menular, traumatik dan sebab-sebab campuran. Sebab herediter yaitu terdapat pada induk yang berpredisposisi terhadap distokia, atau faktor-faktor tersembunyi yang dapat menghasilkan foetus yang defektif. Sebab nutrisional dan manajemen diantaranya kondisi makanan ternak yang sedang bunting dan manajemen saat partus. Distokia dikarenakan ukuran induk yang kecil sering ditemukan pada sapi dara yang baru pertama kali beranak. Penyebab lain distokia yaitu posisi fetus yang tidak normal. Penanganan kasus ini yaitu dengan pemberian antibiotik (Limoxin 200 LA) sebanyak 15 ml, hormon oxytocin 5 ml dan multivitamin (vitol) 5 ml. Pengeluaran atau eksplusi plasenta (setelah lahir) biasanya terjadi 2 atau 6 jam setelah kelahiran. Dalam keadaan biasa kotiledon yang menempel pada uterus
62
terpisah sehingga memungkinkan membran yang tidak menempel keluar melalui saluran kelahiran. Apabila setelah 24 jam membran itu masih belum keluar, tentulah terdapat keadaan yang abnormal dan perlu konsultasi dengan dokter hewan. Hal ini perlu mendapat perhatian, sebab dapat terjadi infeksi. Kondisi tidak keluarnya plasenta ini disebut retensio, perusahaan menanganinya dengan cara melepas satu per satu kotiledon tersebut dan diberi amphoprim sebanyak 2 tablet, antibiotik (Limoxin 200 LA) sebanyak 15 ml, multivitamin (injectamin) sebanyak 5 ml dan hormon oxytocin sebanyak 7 ml. Perawatan Induk dan Anak Pedet dibiarkan menyusu pada induk secara bebas selama 2-3 bulan. Pedet diberi vitamin A, D, dan E sebanyak 2 ml/ekor saat pemberian ear tag ( 3 hari setelah lahir), selain untuk memudahkan dalam mengenalinya, “ear tag” disarankan untuk dipasang agar tidak perlu melakukan cek ulang (Blakely dan Bade, 1991). Pencegahan penyakit diberikan pada pedet bila diperlukan. Kondisi pengobatan, harus dicatat dalam buku induk. Penyakit yang umum diderita oleh pedet adalah diare dan pneumonia. Menurut Blakely dan Bade (1991), diare dianggap berasal dari adanya invasi bakteri atau virus. Penyebabnya adalah kompleks, mulai dari bakteri, virus dan keadaan lingkungan, kepadatan ternak yang terlalu tinggi, kekurangan kolostrum, terlalu banyak mengkonsumsi pakan, defisiensi vitamin A dan adanya parasit-parasit. Pengobatan yang dilakukan yaitu dengan pemberian antibiotik (amphoprim) 1 bolus dan vitamin A,D,E sebanyak 2 ml. Anak dan induk lalu dipisahkan selama 12 jam. Menurut Blakely dan Bade (1991), waktu 12 jam adalah waktu efektif maksimum bagi antibiotika yang disuntikkan. Pencegahan terhadap penyakit ini yaitu pemberian elektrolit yang terdiri dari campuran antibiotik, soda kue, gula merah, garam dan air hangat. Soda kue digunakan sebagai pengembang usus dikarenakan usus ternak akan mengkerut saat menderita diare. Gula merah digunakan sebagai sumber energi tambahan, garam digunakan dalam cairan lambung untuk mempertahankan persentase air tubuh (Blakely dan Bade, 1991) sedangkan air hangat digunakan untuk melarutkan semua bahan. Gambar 12 menunjukkan saat pengobatan pedet yang sakit.
63
Gambar 12. Pengobatan Pedet Sakit Pneumonia disebabkan oleh virus yang masuk ke dalam tubuh melalui udara, air, maupun cairan yang diloloh ke dalam mulut, atau penghisapan zat-zat kimia atau debu. Tanda-tanda pneumonia adalah sikap berdiri dengan kaki merenggang lebar, kelainan dari dada dan paru-paru, adanya cairan yang keluar dari lubang hidung, lidah yang menjulur serta kesulitan bernafas (Blakely dan Bade, 1991). Pengobatan penyakit ini yaitu dengan cara pemindahan induk dan anak pada kandang tertentu dan diberi elektrolit serta antibiotik (penstrep) sebanyak 5 ml dengan interval pemberian 24 jam selama 5 hari. Apabila penyakitnya tergolong parah maka interval pemberian menjadi setiap 12 jam selama 5 hari. Mortalitas calves dan weaner di perusahaan ini sebesar 3,5 %. Induk di perusahaan ini terkadang terjangkit mastitis, menurut Blakely dan Bade (1991) penyebab penyakit mastitis adalah bakteri yang dapat menular dari seekor hewan ke hewan yang lain karena keadaan sanitasi yang kurang baik. Infeksi dapat terjadi hanya pada satu kuartir saja yang kemudian berkembang dan bersifat fatal. Pengobatan pada mastitis awal dapat dilakukan dengan menggunakan antibiotik dengan menyuntikkannya langsung ke dalam kanal puting. Induk yang mengalami mastitis diberi suntikan antibiotik (mastilak) sebanyak 5 ml/quarter dan pengeringan ambing atau dapat juga diberi antibiotik (penstrep) 20 ml/quarter pemberian diulang 12 jam kemudian selama 3 hari setelah diperah. Kandang induk
64
laktasi tersedia shelter yaitu tempat yang hanya dapat dimasuki oleh pedet sehingga pakan pedet hanya dikonsumsi oleh pedet saja. Shelter ini berukuran 265 cm x 345 cm x 150 cm. Pedet sudah dikenalkan konsentrat dan hijauan ± 2 minggu setelah lahir. Penjualan Sapi Bibit Pelayanan penjualan regular dimulai pukul 13:00 WIB, kecuali terdapat pertimbangan khusus dan disposisi manajemen. Petugas mengetahui pen dan harga sapi yang akan dijual lalu mempersiapkan dokumen kesehatan ternak dan memeriksa timbangan sebelum sapi dikeluarkan dari pen. Kondisi ternak dan alat transportasi harus memenuhi syarat pada kasus pengiriman ternak dengan menggunakan truk yaitu bak truk harus cukup tinggi, kokoh, beralas sawdust (serbuk gergaji) yang cukup tebal ( +/- 20 cm ), persiapan pakan hijauan segar dan air minum, sebaiknya setiap beberapa saat pengawal sapi harus mengontrol kondisi sapi, pengiriman sebaiknya pada sore/malam hari, kecepatan kendaraan yang digunakan stabil, serta pada proses penurunan, sapi harus diturunkan pada tangga turun yang berdekatan dengan kandang. Sapi yang baru tiba diberi obat anti stres (suntikan atau via air minum). Berikut merupakan hasil penjualan ternak bibit di PT LJP dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Penjualan Ternak Breeding PT Lembu Jantan Perkasa Periode 2009-2010 Penjualan (ekor) Status Ternak Tahun 2009
Tahun 2010
Bunting
553
387
Weaner
521
486
Ex-Breed
795
913
21
56
1.890
1.842
Reject Total Sumber : LJP (2010)
65
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kegiatan dalam usaha pembibitan sapi potong memerlukan suatu pedoman yaitu Good Breeding Practices (GBP). Penerapan aspek GBP sapi potong di PT LJP Serang-Banten telah dilakukan dengan baik. Penerapan aspek sarana, proses produksi bibit, pelestarian lingkungan, monitoring, evaluasi, dan laporan berdasarkan GBP sebagian besar telah dilakukan dengan baik oleh perusahaan, namun diperlukan perbaikan pada unit penanganan limbah, lebih mempertimbangkan mengenai masalah replacement stock, peningkatan pengawasan pada areal peternakan yang langsung berbatasan dengan masyarakat, serta pembuatan fasilitas desinfeksi untuk staf/karyawan dan kendaraan tamu dipintu masuk perusahaan. Penerapan GBP yang baik pula ditunjukkan pada ketercapaian produktivitas yang tinggi pada tahun 2010 yaitu calving interval sebesar 372 hari,
service per conception sebesar
1,5 ,
conception rate sebesar 88%, dan calving rate sebesar 84%. Alur proses kegiatan yang berlangsung di unit pembibitan PT Lembu Jantan Perkasa terdiri atas penerimaan sapi, penimbangan, seleksi, pemeliharaan calon bibit, proses pengawinan, pemeriksaan kebuntingan, pemeliharaan induk bunting, kelahiran, perawatan induk dan anak, dan penjualan sapi bibit. Saran Saran yang diberikan bagi pihak perusahaan yaitu perbaikan pada dokumen yang belum terekapitulasi dengan baik seperti penanganan kesehatan, agar tidak bergantung pada beberapa karyawan saja. Perlu diadakan sosialisasi atau penyuluhan mengenai aspek-aspek GBP dan SOP kepada seluruh karyawan agar penerapannya dapat dilakukan secara optimal. Penelitian ini sebaiknya dilanjutkan mengenai GBP di peternakan lainnya sehingga mutu usaha pembibitan sapi potong lainnya di Indonesia lebih baik lagi.
66
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur Alhamdulillah, penulis sampaikan kehadirat Allah SWT yang selalu melimpahkan nikmat-Nya yang tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dan studi ini. Shalawat beriring salam semoga senantiasa tercurah kepada Baginda Rasulullah SAW beserta keluarga dan sahabat-Nya. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Rudy Priyanto selaku dosen pembimbing utama dan pembimbing akademik atas bimbingan, motivasi, ilmu, saran serta dukungan yang diberikan kepada penulis. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Henny Nuraini M.Si selaku dosen pembimbing anggota atas bimbingan, motivasi, ilmu, saran serta dukungan yang diberikan kepada penulis. Terima kasih Penulis juga ucapkan kepada Bapak Ahmad Yani S.TP, M.Si. dan Bapak Dr. Ir. Didid Diapari M.Si. selaku dosen penguji serta Bapak Dr. Rudi Afnan S.Pt, M.Sc.Agr selaku panitia ujian sidang atas saran dan masukan yang diberikan. Terima kasih kepada Pimpinan PT LJP serta staf khususnya unit breeding atas ilmu dan perizinannya untuk melakukan penelitian. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda Mukrin Abdullah dan Ibunda Darty Sabkie atas segala doa, kasih sayang, dukungan moril, dan materil sehingga Penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini, juga kepada kakak Sepriniasula Putra, Noverdiansyah Putra dan Apririandi Putra atas nasihat, kebersamaan serta kasih sayangnya selama ini. Terima kasih kepada Melati Lestari Z dan Nailla Rachmawati selaku rekan penelitian atas bantuan serta kebersamaannya selama melakukan penelitian. Terima kasih juga kepada sahabat-sahabat Desi A, Riri S.N, Annisa O.R, Wike R.P, Ramadhani S, Revy P, Mayang M, Ade F, Tri S, Paulina Y, Handa H, dan Fuad H. atas keceriaan dan persahabatan manis selama ini juga kepada rekan-rekan IPTP 44 atas bantuan dan kerjasamanya selama ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi dunia peternakan. Bogor, Mei 2011
Penulis
67
DAFTAR PUSTAKA Arthur, G.H., E.N. David, & H. Pearson. 1989. Veterinary Reproduction and Obstetrics (Theriogenology). 6th Ed. Bailliere Tindall, London. Badan Pusat Statistika. 2009. Statistical Pocket Book of Indonesia. BPS-Statistics Indonesia, Jakarta. Balai Inseminasi Buatan Singosari. 1997. Petunjuk Penampungan, Produksi, Distribusi dan Evaluasi Semen Beku BIB Singosari, Malang. Bearden, H. J. & Fuguay, J.W. 1997. Applied Animal Reproduction. 4th Ed. Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey. Blakely, J. & D.H. Bade. 1991. Ilmu Peternakan. Edisi Ke-4. Terjemahan : B. Srogandono. Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta. Bowker, W.A.T, R.G Dumday, J.E Frisch, R.A Swan, & M.M.Tulloh 1978. A Course Manual Beef Cattle Management and Economic. A.A.U.C.S. Canberra. Craig, J.V. 1981. Domestic Animal Behaviour. Department of Animal Science and Industry. Kansas State University, USA. Depison, A.Y. Putra, & Z. Elymayzar. 2003. Evaluasi produktivitas sapi Brahman dan sapi Simbrah di BPTU-Sembawa. J. Ilmiah ilmu-ilmu peternakan. 4: 251 – 259. Direktorat Jenderal Peternakan. 1985. Pedoman Peningkatan Mutu Ternak. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. Direktorat Jenderal Peternakan. 1991. Petunjuk Pelaksanaan Program Inseminasi Buatan Terpadu. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. Direktorat Jenderal Peternakan, [Fapet UGM] Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. 1986. Laporan survai evaluasi pengadaan dan penyebaran ternak impor crash program. Direktorat Bina Produksi, Ditjen Peternakan dan Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta. Direktorat Jenderal Peternakan. 2006. Pedoman Pembibitan Sapi Potong yang Baik (Good Breeding Practices). Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. Ensminger, M.E & H.D. Taylor. 2006. Dairy Cattle Science. 4th Ed. Pearson Education Inc , New Jersey. Frandson, R.D. 1993. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Ed. Ke-4. Terjemahan B. Srigandono dan Koen Praseno. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Gomes, W. R. 1977. Artificial insemination. In : Cole, H.H. and Cupps P.T. (eds). Reproduction in Domestic Animal. 3th Ed. Academic Press, New York. Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliaan Ternak di Lapang. PT Gramedia Widiasarana Aksara Indonesia, Jakarta. 68
Iswoyo & W. Priyantini. 2008. Performans reproduksi sapi peranakan Simmental (Psm) hasil inseminasi buatan di Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah. J. Ilmiah Ilmu-ilmu Peternakan. 3: 125 – 133. Kutsiyah F, Kusmartono, & S. Trinil. 2002. Studi komparatif produktivitas antara sapi Madura dan persilangannya dengan Limousin di Pulau Madura. J. Ilmu ternak dan Veteriner. 8: 98 – 106. Minish, J.L. & D.G. Fox. 1979. Beef Production and Management. Reston Pub. Co. Inc. A Prentice-Hall Company. Reston, Viginia. Natasasmita, A. & K. Mudikdjo. 1979. Beternak Sapi Pedaging. Unit Penataran, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. NRC. 1984. Nutrient Requirement of Beef Cattle. 6th Revised Edition. Nasional Academy of Science, Washington. Office International des Epizooties. 2006. Guide to good farming practices for animal production food safety. Animal Production Food Safety Working Group. World Organization for Animal Health (OIE), Paris. Palmer, R. W. 2005. Dairy Modernization. Thomson Delmar Learning, Canada. Pane, I. 1986. Pemuliabiakan Ternak Sapi. PT Gramedia, Jakarta. Panjono, Harmadji, E. Baliarti, & Kustono. 2000. Performans induk dan pedet sapi Peranakan Ongole yang diberi ransum jerami padi dengan suplementasi daun gamal. Buletin Peternakan Vol. 24 (2). Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Partodihardjo, S. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara Sumber Widya, Jakarta. Payne, W.J.A. 1970. Cattle Production in the Tropics. Logman Group Ltd., New York. Peters, A.R. 1996. Herd management for reproduction efficiency. J. Anim. Rep. Sci. 42 : 455-464. Salisbury G.W & W.J. Vandemark. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Terjemahan : R. Djanuar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Suharsono H. 1995. Klimatologi Dasar. Pustaka Jaya, Jakarta. Sutan, S.M. 1988. Suatu perbandingan performans reproduksi dan produksi antara sapi Brahman, Peranakan Onggole, dan Bali di daerah transmigrasi Batumarta Sumatera Selatan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tafal, Z. B. 1981. Ranci Sapi Usaha Peternakan yang Lebih Bermanfaat. Bharata Karya Aksara, Jakarta. 69
Toelihere, M. R. 1979. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Penerbit Angkasa, Bandung. Toelihere, M.R. 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Penerbit Angkasa, Bandung. Toelihere, M. R. 2006. Ilmu Kebidanan pada Ternak Sapi dan Kerbau. UI Press, Jakarta. Turner H. G. 1977. The tropical adaptation of beef cattle. An Australian study. In: animal breeding: Selected articles from the Word Anim. Rev. FAO Animal Production and Health Paper 1:92-97. Vandeplassche, M. 1982. Reproductive Efficiency in Cattle: A Guideline for Projects in Developing Countries. Food and Agriculture Organization of the United Nation, Rome. Wijono, D.B., K. Ma‟sum, M. Ali Yusran, D.E. Wahyono & L. Abdullah. 1998. Tampilan kondisi badan, pertumbuhan sapi potong dara dan kejadian estrus pertama di peternakan rakyat. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Williamson, G. & W.J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan Daerah Tropis. Terjemahan S.G.N. Djiwa Darmadja. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Winks L, A.E Holmes, P.O Grady, T.A James, & P.K Rourke. 1979. Comparative growth and carcase characteristics of Shorthorn, Brahman-british Cross, Friesian and Sahiwal-friesian Cross steers on the atherton tableland, North Quensland. Aus J. Exp. Agr. Anim. Husb. 19:133-139.
70
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuisioner Good Breeding Practices BAB I SARANA DAN PRASARANA A. Lokasi 1. Apakah anda mengetahui tentang Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan Rencana Detail Tata Ruang Daerah (RDTRD)? a. Tahu (lanjut pertanyaan no.2) b. Tidak tahu 2. Menurut anda sesuai atau tidak perusahaan ini didirikan di lokasi ini? a. Ya b. Tidak (saran) Saran: 3. Apakah lokasi ini berpotensi sebagai wilayah sumber bibit sapi potong? a. Sangat berpotensi d. kurang berpotensi b. Berpotensi e. tidak berpotensi c. Biasa 4. Apakah lokasi ini telah terkonsentrasi menjadi satu unit pembibitan ternak (village breeding center)? a. Ya b. tidak (saran) Saran: 5. Apakah peternakan ini menggangu ketertiban dan kepentingan umum setempat? a. Ya b. tidak 6. Apa yang selama ini menjadi keluhan masyarakat? 7. Apakah lokasi memperhatikan lingkungan dan topografi sehingga kotoran dan limbah yang dihasilkan tidak mencemari lingkungan? a. Ya b. tidak Saran: 8. Adakah usaha pembibitan unggas disekitar lokasi ini? a. Ada (jarak: m) b. tidak B. Lahan 1. Apakah lokasi ini bebas dari jasad renik pathogen yang membahayakan ternak dan manusia? a. ya b. tidak 2. Apakah lahan ini sesuai peruntukannya? a. Ya b. tidak C. Sumber Air 1. Air yang digunakan tersedia sepanjang tahun dalam jumlah yang mencukupi? a. Ya b. tidak 2. Apakah sumber air mudah dicapai atau mudah disediakan? a. Ya b. tidak 3. Sumber air yang digunakan berasal dari mana?
72
4. Apakah pengunaan sumber air tanah menggangu ketersediaan air bagi masyarakat? a. Ya b. tidak D. Bagunan dan Peralatan 1. Apakah ada Cattle Yard (berapa jumlah)? a. Ya ( ) b. tidak 2. Bangunan apa saja yang ada diareal peternakan? kandang pemeliharaan kandang isolasi gudang peralatan unit penampungan unit pengolahan limbah gudang pakan dll……………………………………………………………………… 3. Peralatan apa saja yang ada diareal peternakan? Tempat pakan dan tempat minum Alat pemotong dan pengangkut rumput Alat pembersih kandang Alat pembuat kompos Peralatn kesehatan ternak dll………………………………………………………………………… 4. Persyaratan Teknis Kandang Konstruksi harus kuat Bahan ekonomis dan mudah diperoleh Sirkulasi udara dan sinar matahari cukup Drainase dan saluran pembuangan limbah baik serta mudah dibersihkan Lantai rata, tidak licin, tidak kasar, mudah kering, tahan injak Luas kandang memenuhi persyaratan daya tamping Kandang isolasi dibuat terpisah 5. Persyaratan letak kandang Mudah diakses terhadap transportasi Tempat kering dan tidak tergenang saat hujan Dekat sumber air Cukup sinar matahari Kandang tunggal menghadap timur Kandang ganda membujur utara selatan Tidak mengganggu lingkungan hidup Memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi E. BIBIT 1. Apakah klasifikasi bibit sapi potong yang ada dipeternakan ini? Bibit dasar : diperoleh dari proses seleksi rumpun atau galur yang mempunyai nilai pemuliaan diatas nilai rata-rata Bibit induk (Breeding Stock) diperolah dari proses pengembangan bibit dasar
73
Bibit sebar (Comersial Stock ) diperolah dari proses pengembangan bibit induk dll………………………………………………………………........... 2. Persyaratan dalam menjamin mutu produk yang sesuai dengan permintaan konsumen Sapi bibit harus sehat dan bebas dari segala cacat fisik Semua sapi bbit betina bebas dari cacat alat reproduksi Ambing normal Tidak menunjukan kemandulan F. Pakan 1. Apakah ketersediaan pakan cukup? a. Ya 2. Apakah jenis pakan yang diberikan?
b. tidak
3. Bagaimana sistem pemberian pakan? 4. Bagaimana sistem pemberian minum? a. Ad-libitum
b. terbatas
G. Obat Hewan 1. Apakah jenis obat yang umum digunakan disini? Sediaan biologik Farmasetik Premik Obat alami Dll………………………………………………………………………… 2. Bila menggunakan obat dengan bahan kimia atau bahan biologik, adakah nomor pendaftaraannya?? a. Ya b.Tidak 3. Bagaimana sistem pemesanan obat dilakukan? 4. Bagaimana sistem pemberian obat dilakukan? 5. Adakah pengawasan saat pemberian obat dilakukan? a. Ada b.Tidak jika ada, siapakah yang memberi pengawasan? …………………………….... H. Tenaga Kerja 1. Bagaimana sistem perekrutan karyawan yang ada? 2. Adakah persyaratan dalam perekrutan pegawai, selain criteria di bawah ini? Sehat jasmani dan rohani Tidak memiliki luka terbuka Telah mendapat pelatihan teknis pembibitan sapi potong Dll…………………………………………………………………………..
74
3. Berapa tenaga kerja yang ada disini? 4. Satu orang tenaga kerja bertanggungjawab untuk berapa sapi atau berapa kandang? 5. Bagaimana sistem penempatan tenaga kerja disini? BAB II PROSES PRODUKSI BIBIT A. Seleksi bibit 1. Bagaimana sistem seleksi bibit dilakukan? 1.1 Seleksi Sapi induk Sapi induk harus dapat menghasilkan anak secara teratur Anak jantan maupun betina tidak cacat dan mempunyai rasio bobot sapih umur 205 hari (weaning weight ration) diatas rata-rata. Dll…………………………………………………………………… 1.2 seleksi calon induk bobot sapih terkoreksi terhadap umur 205 hari umur induk dan musim kelahiran, diatas rata-rata bobot badan umur 365 hari diatas rata-rata penampilan fenotipe sesuai dengan rumputnya dll……………………………………………………………………… B. Perkawinan, ternak pengganti, dan afkir 1. Apakah sistem perkawinan di peternakan ini? Kawin alam Inseminasi buatan Transfer embrio Jika perkawinan dilakukan secara (IB), darimana semen cair diperoleh? 2. Bagaimana sistem ternak pengganti (Replacement stock) dilakukan? Calon betina dipilih 25% untuk replacement 10% untuk pengembangan populasi kawasan 60% dijual ke luar kawasan sebagai bibit 5% dijual sebagai ternak afkir (culling) Tidak ada sistem ternak pengganti Dll…………………………………………………………………….. 3. Apakah yang menjadi ketentuan dalam afkir (culling) ternak disini? C. Pencatatan (Recording) 1. Pencatatan yang ada di peternakan ini? Rumpun Silsilah Perkawinan (tanggal, pejantan, IB/kawin alam) Kelahiran (tanggal, bobot lahir) Penyapihan (tanggal, bobot badan) Peranakan kembali (tanggal, partus) 75
Pakan (jenis, konsumsi) Vaksnasi, pengobatan (tanggal, perlakuan/treatment) Mutasi (pemasukan dan pengeluaran ternak) Dll…………………………………………………………………… 2. Bagaimana sistem persilangan di peternakan ini? 3. Apakah lembaga yang memberikan sertifikasi untuk peternakan ini? D. Kesehatan Hewan 1. Bagaimana sistem pengelolaan kesehatan di peternakan ini? 2. Apakah pernah terdapat penyakit menular di peternakan ini? a. Ada (jenis penyakit : …………………………………………………….) b. Tidak 3. Bagaimana penjadwalan pemberian vaksin di peternakan ini? 4. Adakah kartu kesehatan ternak di peternakan ini? a. Ada b. Tidak 5. Adakah penjadwalan khusus mengenai kesehatan ternak kepada Dinas setempat? a. Ada (jadwal :……………….) b. Tidak 6. Adakah jadwal pemotongan kuku di peternakan ini? a. Ada (jadwal :……………….) b. Tidak 7. Apakah sistem Biosecurity telah diterapkan pada peternakan ini? a. Ya b. Tidak jika ya, jelaskan BAB III PELESTARIAN LIGKUNGAN 1. Bagaimana sistem pengelolaan limbah di peternakan ini? 2. Adakah keluhan masyarakat sekitar mengenai pencemaran limbah di peternakan ini? a. Ya b. Tidak Jika ya, jelaskan penanggulangannya 3. Apakah ada rencana penanggulangan pencemaran lingkungan sebagaimana diatur di dalam undang-undang nomor 23 tahun 1997 tentang ketentuan-ketentuan pokok pengolahan lingkungan hidup. Peraturan pemerintan nomor 27 tahun 1999 tentang analisa mengenai dampak lingkungan Peraturan pelaksanaan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). 4. Apakah dilakukan pencegahan pencemaran lingkungan?
76
Mencegah timbulnya erosi serta membantu penghijauan di areal usaha. Menghindari timbulnya polusi dan ganguan lain yang berasal dari lokasi usaha yang dapat mengganggu lingkungan berupa bau busuk, suara bising, serangga, tikus serta pencemaran air sungai/air sumur? Setiap usaha penggemukan sapi potong harus membuat unit pengolahan limbah perusahaan (padat, cair dan gas) yang sesuai dengan kapasitas produksi limbah yang dihasilkan. Setiap penggemukan usaha sapi potong membuat pembuangan kotoran dan penguburan bangkai. BAB IV MONITORING, EVALUASI DAN PELAPORAN A. Monitoring 1. Apakah monitoring dan evaluasi dilakukan oleh instansi yang berwenang? a. Ya b. tidak 2. Kapankah jadwal monitoring dilakukan pada peternakan ini? 3. Siapakah yang berperan sebagai tim monitoring? 4. Apakah dilakukan pembuatan laporan tertulis secara berlaka kepada instansi? a. Ya b. tidak 5. Apakah dilakukan pembutan laporan baik teknis maupun administrasi secara berkala? a. Ya b. tidak 6. Kapankah jadwal pelaporan kepada pemerintah dilakukan? B. Sistem pengawasan 1. Apakah sistem pengawasan dilakukan secara baik? a. Ya b. tidak 2. Apakah instansi yang berwenang dalam bidang peternakan melakukan pengawasan manajemen mutu terpadu yang dilakukan? a. Ya b. tidak c. Sertifikasi 1. Apakah peternakan dilengkapi sertifikat ? a. Ya b. tidak 2. Apakah sertifikat dikeluarkan oleh instansi berwenang setelah melalui penilaian dan rekomendasi? a. Ya b. tidak
77
Lampiran 2. SOP Usaha Pembibitan Ternak No 1.
Kegiatan Persiapan Penerimaan Sapi 1) Sebelum Kedatangan
Juklak
Ya
Tidak
a. Bentuk team petugas bongkar b. Persiapkan kandang ( ∑ dan alokasi pen, kebersihan, cek bak pakan/ bak minum c. Cukup penerangan ( Kandang, Cattle Yard, sarana lain) d. Persiapkan Jalur dari Cattle Yard – Pen e. Inventarisasi kebutuhan peralatan seperti : Ear Tag, Tang Aplikator, Alat komunikasi, Tang ,dan lain-lain f. Inventarisasi Obat seperti : Vitamin, antibiotik, elektrolit, gusanex, dll g. Proyeksikan & persiapkan pakan (∑ Konsentrat dan Hijauan) h. Persiapkan peralatan administrasi (Form-form, Berita Acara) i. Kebutuhan /perlengkapan lain ( Bambu, tambang, Sawdust, tali rafia, Sarung Tangan) j. Melakukan koordinasi baik internal (antar unit, KP) dan eksternal
2)
Saat Penerimaan sapi
a) Sapi tersebut harus sesuai order pembelian dari kantor pusat (Ijin direksi) b) Sapi tersebut harus berdokumen lengkap dan sah : c) Surat jalan, surat kesehatan ternak dari tempat asal,dan surat surat lain yg dianggap perlu d) Sapi diturunkan di Cattle Yard segera setelah dokumen dianggap sah oleh supervisor atau oleh petugas yg bertanggung jawab. Peralatan / perlengkapan penurunan Sapi ke CY harus sudah dipersiapkan dengan baik e) Penanganan/handling sapi dengan baik dan benar ( hati-hati, tidak
78
2.
Timbang Awal (TA)
gaduh, tidak menyakiti ternak, menghindari stress pada ternak) f) Sapi digiring ke dalam Pen yg sudah dipersiapkan g) Membuat berita acara apabila terdapat kondisi sapi : mati di perjalanan, lemah, patah kaki, kondisi tidak normal lainnya). BA ditandatangani oleh Petugas Expedisi, supir truk, dan petugas penerima sapi h) Pemberian obat stress (contra stress ATP plus) sesuai administer (dosis dan petunjuk label) sampai dengan timbang awal i) Pakan dan air minum bersih sudah tersedia di bak pakan/ bak minum j) Laporan penerimaan jumlah dan kesusutan berat sapi dari pelabuhan ke timbang terima truk k) Catatan timbang dan catatan diterima atau ditolaknya sapi sebagai sapi bibit harus segera dilaporkan ke pimpinan langsung untuk segera dilaporkan ke kantor Pusat. l) Petugas penerimaan harus setingkat Supervisor atau pejabat lain yang ditunjuk langsung oleh Pimpinan. m) Dokumen / berita acara penerimaan sapi harus ditandatangani oleh Supervisor atau pejabat lain yg telah ditunjuk oleh pimpinan dan diserahkan ke Bagian Administrasi Ternak n) Pada kedatangan malam hari, petugas yang bertanggung jawab adalah Perwira Piket di bantu oleh karyawan yg piket pada malam itu a) TA dimulai minimal setelah sapi istirahat 2 hari (2x24jam) setelah penerimaan b) Pemeriksaan kondisi dan akurasi timbangan c) Pemasangan ear tag, penimbangan individu, treatment, dan drafting/ pengelompokan sapi berdasarkan jenis kelamin, berat, kondisi sakit/sehat d) Pencatatan berat, identifikasi, ex-property (asal), breed dan kondisi (sehat dan sakit) e) Penanganan / handling sapi selama proses TA dilakukan dengan hatihati 79
f)
3
Seleksi Awal
4.
Perawatan Sapi Bibit
Pemberian obat anti stress selama 2 hari setelah TA, ikuti petunjuk label administer ( dosis dan aturan pemberian) g) Laporan Timbang Awal a) Sapi yang sudah beradaptasi awal selama 2 bulan , akan diseleksi / uji kelayakan Reproduksi dan kesehatan Reproduksi, berat minimal badan minimal ( untuk breed non- local : 270 kg) b) Sapi yg lolos seleksi awal ini akan dilanjutkan ke proses adaptasi,perbaikan kondisi dan pengamatan siklus berahi c) Sapi yang tidak lolos karena alasan reproduksi dan kesehatan digemukkan dan dijual sebagai sapi potong d) Sapi yang lolos seleksi terus diamati kondisinya dan diberikan vit ADE saat PAR, pengamatan berahi ( oestrus , heat ) dilakukan selama 24 jam e) Sapi yg berahi dicatat no telinganya dan dikirim ke Cattle yard untuk di IB Induk Bunting a) b) c) d)
Sapi yang bunting ditempatkan di kandang bunting Kandang sapi bunting dibuat lebih luas Pakan disesuaikan dengan kebutuhan dan dicatat setiap hari Sapi yang akan segera beranak (2 – 3 hr) dipindahkan ke kandang beranak dalam kondisi bersih. Setelah 1 minggu beranak dimasukkan kedalam kandang Laktasi e) Sapi kelompok ini tidak boleh banyak gangguan (Stress) Saat Lahir a) Tali pusat dipotong ( sisa +/- 2 cm dr pangkal ) b) Tali pusat diberi desinfektan dan anti Lalat ( Yodium , Gusanex dll ) c) Dilakukan penimbangan / pencatatan berat lahir (Maksimal 24 jam setelah kelahiran),dan ear tag induknya d) Harus mendapat kolostrum induk semaksimal mungkin
80
e) Pada kasus pedet sulit menyusui (lemah dll) harus dibantu untuk disusui f) Pedet dibiarkan menyusui Induk secara bebas selama 2-3 bulan (Tergantung kondisi Pedet dan kondisi Induk) g) Diberi vit ADE @ 2ml / ekor saat pemberian ear tag ( 3 hari setelah lahir) h) Diberi pengobatan / pencegahan penyakit bila diperlukan. i) Pedet umur > 3 bulan harus di identifikasi ( pemberian notel) Induk Laktasi
5.
Perkawinan
a) Pakan disesuaikan dengan kebutuhan dan dicatat setiap hari b) Induk yang mengalami Mastitis ( Radang Ambing ) harus mendapatkan suntikan antibiotik (mastilak),dan pengeringan ambing c) Kondisi pengobatan harus dicatat dalam buku Induk d) Situasi proses kelahiran harus dicatat ( Kesulitan beranak, Abortus dll ) dalam buku Induk e) Kondisi Pedet yang baru lahir harus dicatat ( Lemah, sehat ,dapat menyusu sendiri dll) Heifer / Cow a) b) c) d) e) f) g)
Umur ; Minimal : 1.5 - 2 tahun Berat : Minimal : 270 non Lokal Alat Reproduksi : Normal Siklus Heat : Normal Exterior : Bagus (ex: tinggi gumba min 120 cm) Temperament : Bagus Kesehatan : Bagus Metoda Perkawinan a) Artificial Insemination ( Inseminasi Buatan) b) Kawin Alam
81
6.
Penjualan Sapi Bibit 1) Waktu Penjualan
2) Teknis Penjualan
3) Pengiriman Ternak
7.
Sistim Pencatatan / Rekording / Pelaporan
8.
Penanganan Sapi sakit
a) Pelayanan penjualan reguler dimulai jam 13.00, kecuali ada pertimbangan khusus dan disposisi manajemen b) Adanya dokumen kesehatan ternak (surat ket.sehat dari disnak,ket. Bebas penyakit dri balitnak) Catatan Individu Sapi Bibit dll a) Petugas mengetahui pen sapi yang kan dijual dan harga sapi b) Mempersiapkan dan memeriksa timbangan, sebelum sapi dikeluarkan dari pen (sesuai spesifikasi konsumen) a) Untuk kasus Pengiriman Ternak dengan memakai Truk, harus benar benar memenuhi syarat antara lain: Bak Truk harus cukup tinggi, kokoh, beralas sawdust (serbuk gergaji) yang cukup tebal ( +/- 20 cm ) b) Persiapan pakan hijauan segar dan air minum harus cukup c) Sebaiknya setiap beberapa saat pengawal sapi harus mengontrol kondisi Sapi d) Perjalan sebaiknya pada sore / malam hari e) Kecepatan kendaraan sebaiknya stabil f) Pada proses penurunan, Sapi harus diturunkan pada tangga turun yang berdekatan dengan kandang g) Sapi yang baru sampai diberi obat anti stress ( suntikan atau via air minum a) Record Harian b) Record Layak Servis c) Record Servis IB d) Record / kartu IB e) Record Populasi f) Record Peralatan IB Individu Induk/Heifer a) Treatment sesuai diagnosa , ikuti petunjuk label administer ( dosis dan aturan pemberian) b) Ditempatkan dalam kandang khusus perawatan (hospital pen) c) Pola pakan untuk sapi sakit 82
9.
Pengelolaan Lingkungan
d) Pengamatan dan Evaluasi kondisi sapi secara periodik ( catatan konsumsi) e) Untuk sapi yang kondisinya semakin menurun, dibuat tertulis ajuan untuk di jual ke marketing f) Laporan Sapi Sakit a) Lingkungan tempat kerja dan sekitarnya harus tertata dengan baik, asri , bersih dan nyaman b) Penanganan limbah bersih dan baik
83
Lampiran 3. Data Perhitungan pada Tahun 2009 dan 2010
Peubah yang diamati Service per conception (%)
Straw yang digunakan (buah) Tahun 2009 1697
Tahun 2010 891
Conception Rate (%)
Akseptor (ekor) Tahun 2009 1084
Tahun 2010 594
Total Tahun 2009 1,6
Tahun 2010 1,5
Akseptor yang Induk bunting (ekor)
bunting (ekor)
Total
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
2009
2010
2009
2010
2009
2010
1084
594
1398
675
78
88
Calving Rate (%)
Akseptor yang Kelahiran (ekor)
bunting (ekor)
Total
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
2009
2010
2009
2010
2009
2010
379
738
1635
882
23
84
84