Penerapan Delik Biasa terhadap Hak Cipta MRR Tiyas Maheni DK Politeknik Negeri Semarang Abstract: All the articles on intellectual property right apply common offense over copyright only. The violation toward copyright still happens up to now. The application of criminal law forward copyright violation cases has also created other problems. There are some handicaps faced by law enforcement officers in enforcing copyright regulation, either juridicial or non-juridicial. Therefore, from those two offense complaints should be analyzed which one is the better for our country. Key words: common offense (delik biasa), copyright (Hak Cipta), HKI
PENDAHULUAN Sejak meratifikasi perjanjian World Trade Organisation (WTO) dengan UU No. 7 Tahun 1994, Indonesia secara sah sudah menjadi anggota dan mengakui berlakunya TRIPs (Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights) yang menjadi satu kesatuan dengan perjanjian WTO tersebut. Secara otomatis pula Indonesia terikat dengan kewajiban untuk melindungi hak-hak yang berkaitan dengan kekayaan intelektual. Namun, perlindungan terhadap Hak atas Kekayaan Intelektul (HKI) tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata. Diperlukan juga partisipasi masyarakat, khususnya masyarakat yang memiliki hak atas kekayaan intelektual tersebut. Indonesia telah memiliki beberapa undang-undang di bidang HKI, yaitu paten, merek, hak cipta, desain industri, rahasia dagang dan desain tata letak sirkuit terpadu. Dari semua undang-undang tersebut, kecuali hak cipta menentukan bahwa tindak pidana yang diatur di dalamnya merupakan delik aduan. Menjadi pertanyaan tersendiri, mengapa tindak pidana hak cipta diatur berbeda dengan ketentuan HKI yang lain, yaitu dengan menerapkan delik biasa. Mengapa tidak diperlakukan sama? apakah jika hak cipta menggunakan delik aduan tidak akan berhasil dalam menangani berbagai pelanggaran yang terjadi?
TINDAK PIDANA HAK CIPTA Dengan turut sertanya Indonesia menandatangani perjanjian WTO, termasuk perjanjian tentang TRIPs, maka undang-undang hak cipta perlu menyesuaikan diri untuk memenuhi kewajiban internasional yang sudah kita terima melalui kedua organisasi itu, termasuk di dalamnya adalah ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan Hak Milik Intelektual (Gautama dan Winata, 1998). Untuk menyesuaikan pasal-pasal Undang-Undang Hak Cipta dengan TRIPs Pemerintah Indonesia merasa perlunya perubahan Undang-Undang Hak Cipta sehingga dibentuklah UU No. 19 Tahun 2002 tentang hak cipta untuk menggantikan UU No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan UU No. 7 Tahun 1987 dan terakhir diubah dengan UU No. 12 Tahun 1997. Usaha yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam rangka perlindungan terhadap karya cipta ini ternyata tidak membuahkan hasil yang maksimal. UU Hak Cipta dalam memberikan perlindungan hukum terhadap suatu karya cipta maupun terhadap hak dan kepentingan pencipta dan pemegang hak cipta dikatakan cukup bagus, bahkan dapat dikatakan agak berlebihan. Dalam realitasnya, pelanggaran hak cipta masih menggejala dan seolah-olah tidak dapat ditangani walaupun pelanggaran itu dapat dilihat dan 44
Penerapan Delik Biasa terhadap Hak Cipta (MRR Tiyas Maheni DK)
dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai macam bentuk pelanggaran yang dilakukan dapat berupa pembajakan terhadap karya cipta, mengumumkan, mengedarkan, maupun menjual karya cipta orang lain tanpa seizin pencipta ataupun pemegang hak cipta. Dampak pelanggaran hak cipta ini disamping akan merusak tatanan masyarakat pada umumnya, juga akan mengakibatkan lesunya gairah untuk berkarya di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Dampak lainnya yang ditimbulkan adalah berkurangnya penghasilan/pemasukan negara berupa pajak penghasilan yang seharusnya dibayar oleh pencipta atau pemegang hak cipta (Hanafi, 2000).
ANATOMI KEJAHATAN DI BIDANG HAK CIPTA Tindak pidana hak cipta biasanya dilakukan oleh perorangan maupun badan hukum yang berkaitan dengan bidang ekonomi dan perdagangan. Motifnya adalah untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara melanggar hukum. Modus operandinya yang terbanyak adalah menggandakan dalam jumlah yang besar untuk dijual kepada masyarakat. Adapun alat yang digunakan berteknologi cukup canggih dan hasil produksi bajakannyapun sangat baik, sehingga sulit untuk membedakan antara karya cipta yang asli dengan hasil bajakan. Menurut Hanafi (2000), bagi para pelaku tindak pidana atau para pembajak, keadaan yang berlarut-larut tanpa adanya tindakan yang tegas akan semakin menimbulkan sikap bahwa pembajakan sudah merupakan hal biasa dan tidak lagi merupakan tindakan yang melanggar undang-undang. Bagi para pencipta, keadaan tersebut makin menumbuhkan sikap apatis dan sangat menurunkan gairah mencipta. Bagi penerbit, akan kehilangan minatnya dalam profesi mereka untuk menerbitkan buku. Sedangkan bagi masyarakat sebagai konsumen, makin tumbuh pula sikap tidak lagi memandang perlu mempertanyakan apakah sesuatu barang tersebut merupakan hasil pelanggaran hukum atau tidak. Makin tumbuh sikap acuh tak acuh mengenai yang baik dan yang buruk, apa yang sah dan tidak sah, padahal negara kita adalah negara yang berdasarkan atas hukum. Bagi negara, dengan banyaknya bajakan atau tindak pidana di bidang hak cipta, dapat merugikan penerimaan/pendapatan negara melalui pajak penghasilan dari hak cipta, karena berkurangnya atau bahkan hilangnya pemasukan /pendapatan dari sektor tersebut sebagai salah satu sumber dana pembangunan. Khusus yang menyangkut ciptaan asing, apabila terjadi tindak pidana hak cipta, dampaknya adalah akan berdampak negatif terhadap pembinaan hubungan antar negara terutama yang menyangkut bidang perdagangan, yang pada gilirannya akan sangat merugikan dan berpengaruh luas bagi peningkatan ekspor non migas yang tengah digalakkan.
PROBLEMATIKA PENEGAKAN HUKUMNYA Hukum pidana mempunyai obyek penggarapan mengenai perbuatan melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi. Bekerjanya hukum pidana didukung dan dilaksanakan oleh alat perlengkapan negara yang biasanya disebut aparatur penegak hukum yang tata kerjanya pun bisa unique dalam suatu sistem penegakan hukum (Poernomo, 1988). Pemberlakuan hukum pidana terhadap kasus pelanggaran hak cipta bukan tidak menimbulkan masalah. Banyak hambatan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum dalam menegakkan Undang-Undang Hak Cipta. Permasalahan tersebut mencakup baik permasalahan yuridis maupun non-yuridis. Seperti diketahui bahwa hukum itu tidak berdiri sendiri. Banyak faktor yang menyertainya yang dapat berpengaruh terhadap bekerjanya hukum. Kalau demikian, dapat dikatakan bahwa masalah pokok dari penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin berpengaruh (Hanafi, 2000). Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora, Volume 10 Nomor 1, April 2010
45
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi bekerjanya hukum. Menurut Soerjono Soekanto (1983) faktor-faktor tersebut adalah: 1. 2. 3. 4. 5.
Faktor hukumnya sendiri Faktor penegakan hukum yakni fihak-fihak yang membentuk dan menerapkan hukum Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum itu berlaku atau diterapkan Faktor kebudayaan, yakni sebagian hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
HAK CIPTA, PERUBAHAN DARI DELIK ADUAN KE DELIK BIASA Pemberlakuan UU Hak Cipta itu merupakan bukti kesungguhan Indonesia mematuhi ketentuan WTO, khususnya mengenai TRIPs (trade related intellectual property rights) dalam menegakkan hukum hak cipta. Tetapi, sekali lagi, pelanggaran-pelanggaran hak cipta, baik dalam wilayah domestik maupun yang berdampak internasional, tidak begitu saja akan hapus dengan diberlakukannya UU tersebut (Jasfin, 2003). Jika pemberlakuan UU No. 19/2002 sempat membelalakkan mata banyak pihak, itu merupakan keberhasilan awal pemerintah membuat gebrakan dalam upaya sosialisasi ke masyarakat. Pemerintah menyuarakan dan mengumumkan pada publik bahwa sejak 29 Juli 2003 ketentuan pidana penjara dan denda yang lebih berat akan diberlakukan bagi para pelanggar UU Hak Cipta, hal itu cukup menciutkan nyali pelaku pelanggaran. Padahal, UU No. 19/2002 bukan merupakan UU Hak Cipta yang pertama dimiliki Indonesia. Sebelumnya, Indonesia memiliki serangkaian UU Hak Cipta, yaitu UU No. 6/1982 yang diubah menjadi UU No. 7/1987. Secara substansif, sebenarnya tidak ada hal baru dalam ketentuan pidana yang dimuat dalam UU No 19/2002 tersebut. Pembajakan, memperjualbelikan barang bajakan, atau sekadar memamerkan barang bajakan sudah dilarang sejak Indonesia memberlakukan UU No 6/1982. Juga, pada UU No. 12/1997 yang kemudian digantikan UU No. 19/2002, pelarangan tersebut tetap diberlakukan. Dari masa ke masa, Indonesia serius berupaya menyempurnakan substansi UU Hak Cipta dan memperberat ancaman pidana penjara serta dendanya. Jika dalam UU Hak Cipta lama, yakni UU No. 6/1982, pelanggaran terhadap hak cipta masih dikualifikasikan sebagai delik aduan dengan ancaman pidana maksimum tiga tahun penjara dan denda maksimum Rp 5 juta, dalam revisinya melalui UU No. 7/1987, delik aduan tersebut diubah menjadi delik biasa dengan ancaman pidana maksimum tujuh tahun penjara serta denda maksimum Rp 100 juta. Mengenai perubahan dari delik aduan ke delik biasa itu, bila sebelumnya aparat penegak hukum baru bertindak jika ada pengaduan dari masyarakat, kini aparat lebih diberi peluang untuk proaktif dalam memberantas pelanggaran. Kualifikasi sebagai delik biasa tersebut terus dianut dalam UU No. 12/1997 dan UU No. 19/2002. Jadi, sejak 1987, aparat pemerintah sebenarnya sudah diberi kewenangan untuk membersihkan pusatpusat penjualan barang bajakan. Tindakan itu pun sudah sering dilakukan aparat. Tetapi, ibarat patah satu tumbuh sejuta, pembajakan dan penjualan barang bajakan tetap marak (Jasfin, 2003). Jika sebelumnya ancaman pidana penjara tujuh tahun dan denda maksimum Rp100 juta tidak cukup membuat gentar para pelaku pelanggaran hak cipta, UU Hak Cipta yang baru ini lebih garang dengan mencantumkan pidana penjara maksimum tujuh tahun dan denda maksimum Rp5 miliar.
46
Penerapan Delik Biasa terhadap Hak Cipta (MRR Tiyas Maheni DK)
Fenomena tersebut cukup memberikan gambaran bahwa law enforcement hak cipta di Indonesia sangat memprihatinkan. Kesadaran dan kepatuhan hukum sebagian besar masyarakat Indonesia masih rendah. Mereka bukan tidak tahu atau tidak paham bahwa memperjualbelikan barang bajakan adalah melanggar hukum. Sebagian masyarakat kita masih tergiur barang murah meriah tanpa memedulikan bahwa barang itu bajakan atau bukan. Kalau masih bisa mendapatkan barang secara gratis, mengapa harus membayar? Kalau bisa mendapatkan barang lebih murah, mengapa harus membayar lebih mahal?
DELIK BIASA ATAU DELIK ADUAN? Perubahan ketentuan hak cipta dari delik aduan menjadi delik biasa mendapat tanggapan yang beragam di masyarakat. Menurut Ansori dalam Suwantin Oemar (2007) kasus HKI yang paling marak adalah di bidang hak cipta, jika deliknya diubah, maka penegak hukum seperti polisi nantinya akan bersifat pasif. Selain UU Hak cipta, pemerintah juga berencana melakukan revisi terhadap Undang-Undang Desain Industri (UU No. 31/2000, Undang-Undang Merek (UU N0. 15 Tahun 2001) dan UU Paten. Beberapa pihak berpendapat bahwa delik biasa tepat untuk penegakan HKI, karena HKI memang memerlukan peran aktif dari penegak hokum. Selain itu dalam menegakkan HKI bukan dengan delik aduan tetapi dengan delik biasa yang artinya ketika polisi melihat adanya pelanggaran maka pelanggaran itu dapat langsung ditindak lanjuti. Tapi pihak lain mengatakan bahwa jika polisi aktif, itu untuk kepentingan siapa, jika bukan delik aduan? Untuk kepentingan masyarakat atau kepentingan vendor tertentu? Menurut Ari Julianto Gema (2008), dalam prakteknya tindak pidana hak cipta tidak tepat dimasukkan dalam kategori delik biasa. Oleh karena itu, tindak pidana hak cipta harus diubah dari delik biasa menjadi delik aduan. Menurutnya tiga alasan mengapa dia berpendapat demikian. Pertama, aparat penegak hukum tidak akan bisa menentukan apakah telah terjadi tindak pidana hak cipta tanpa membandingkan barang hasil pelanggaran hak cipta dengan ciptaan aslinya. Hanya pencipta atau pemegang hak ciptanyalah yang memegang dan mengetahui dengan pasti ciptaan yang asli tersebut. Oleh karena itu, seharusnya tidak mungkin aparat penegak hukum dapat bergerak sendiri tanpa adanya pengaduan terlebih dahulu dari pencipta atau pemegang hak cipta yang merasa dirugikan atas tindak pidana tersebut. Kedua, dalam melakukan proses hukum, aparat penegak hukum tidak mungkin langsung mengetahui apakah suatu pihak telah mendapat izin untuk mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan. Oleh karena itu, pasti ada pengaduan terlebih dahulu dari pencipta atau pemegang hak cipta yang mengetahui dengan pasti bahwa suatu pihak telah melanggar hak ciptanya karena tidak memiliki izin untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya. Ketiga, dalam praktek, apabila terjadi pelanggaran hak cipta, sering kali pihak yang hak ciptanya dilanggar lebih menginginkan adanya ganti rugi dari pihak yang melanggar hak cipta ketimbang pelanggar hak cipta tersebut dikenakan sanksi pidana penjara atau denda. Oleh karena itu, penyelesaiannya diupayakan secara damai di luar pengadilan. Namun, karena tindak pidana hak cipta adalah delik biasa, seringkali aparat penegak hukum yang mengetahui adanya pelanggaran hak cipta terus melanjutkan proses hukum pidana meski sudah ada kesepakatan damai antara pihak yang dilanggar hak ciptanya dengan pihak yang melanggar hak cipta. Hal ini tentu saja akan menyulitkan posisi para pihak yang telah berdamai tersebut. Delik aduan adalah suatu jenis delik yang untuk melakukan proses hukum diperlukan adanya aduan dari pihak yang merasa dirugikan. Sedangkan pada delik biasa, penegak hukum bisa melakukan tindakan hukum terhadap suatu delik tanpa perlu adanya aduan dari para pihak. Berkenaan dengan status delik yang diubah dari delik biasa menjadi delik aduan, Zen Umar (2002) mengatakan bahwa hal tersebut dilakukan dengan beberapa alasan. Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora, Volume 10 Nomor 1, April 2010
47
Pertama, delik aduan sesuai dengan sifat HKI adalah hak privat. Walaupun, dimaklumi bahwa hak privat itu pada gilirannya memegang peranan penting dalam dunia usaha. Kedua, hanya pemegang hak-lah yang tahu ada tidaknya pelanggaran atau tindak pidana terhadap karya intelektualnya sendiri yang notabene telah mendapatkan perlindungan. Dalam delik aduan ini harus diperhatikan bahwa jika terjadi suatu sengketa HKI dan sudah diadukan, walaupun para pihak sudah berdamai, proses pengaduan tidak dapat dicabut kembali. Ketiga, delik biasa dapat menjadi bumerang karena setiap pihak termasuk pihak luar sangat mengharapkan dilakukannya tindakan "pembersihan" terus menerus terhadap tindak pidana termaksud tanpa perlunya diadukan. Kondisi semacam ini bisa menjadikan “bumerang” bagi kita sendiri.
KESIMPULAN Perlindungan terhadap HKI khususnya Hak Cipta tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata. Diperlukan juga partisipasi masyarakat, khususnya masyarakat yang memiliki hak atas kekayaan intelektual tersebut. Delik aduan ataukah delik biasa yang dipakai dalam perlindungan Hak Cipta, merupakan pilihan yang cukup sulit. maka kiranya pemberlakuan delik biasa dalam tindak pidana Hak Cipta dapat dipertimbangkan kembali dalam upaya perlindungan Hak Cipta di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Djumhana, M. dan Djubaedillah. 1997. Hak Milik Intelektual, Sejarat, Teori dan Prakteknya di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Gautama, S., dan R. Winata. 1998, Konvensi-Konvensi Hak Milik Intelektual Baru untuk Indonesia (1997) Bandung: Citra Aditya Bakti. Gema, A. J. Tindak Pidana Hak Cipta, Lebih Baik Delik Biasa atau Delik Aduan, http://arijuliano. blogspot.com/2008/02/tindak-pidana-hak-cipta-lebih-baik.html. Diakses 5 Juni 2010. Hanafi. 2000. “Tindak Pidana Hak Cipta dan Problematika Penegakan Hukumnya” dalam Kapita Selekta Hak Kekayaan Intelektual I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Jasfin, J. P. 2003. “Tak Menjamin Bebas Barang Bajakan: Pemberlakuan UU Hak Cipta”, http:// www.jawapos.com. (1 Agustus 2003). Diakses 10 Agustus 2009. Oemar, S. Revisi UU Haki Mengacu Konvensi Internasional, Kenapa Hak Cipta Delik Biasa? http:// www.bisnisindonesia.com. Diakses 10 Agustus 2009. Poernomo, B. 1988. Kapita Selekta Hukum Pidana. Yogyakarta: Liberty. Soekanto, S. 1983. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali Pers. Umar, Z. “HKI dan Permasalahan Aktual dalam sistem Perdagangan Global”, (seminar sehari) http://www.hukumonline.com. 28 Agustus 2002. Diakses 10 Agustus 2009. Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Yayasan Klinik HaKI (IP Clinic). 1999. Kompilasi Undang-Undang Hak Cipta, Paten, Merek dan Terjemahan Konvensi-Konvensi di Bidang Hak atas Kekayaan Intelektual, Seri A. Bandung: Citra Aditya Bakti.
48
Penerapan Delik Biasa terhadap Hak Cipta (MRR Tiyas Maheni DK)