Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Februari 2013
PENENTUAN RISIKO JENIS KONTRAK PADA PROYEK PEMBANGUNAN GEDUNG DI LINGKUNGAN TOTAL E & P INDONESIE DENGAN METODE ANALYTIC HIERARCHY PROCESS (AHP) Semidang Bhakti, Putu Artama Wiguna, Aditya Susanto Program Studi Magister Manajemen Teknologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Jl. Cokroaminoto 12A, Surabaya 60264, Indonesia E-mail :
[email protected] ABSTRAK Dalam pelaksanaan pembangunan gedung di Total E&P Indonesie menggunakan dua jenis kontrak yaitu kontrak lumpsum dan kontrak unit price. Karateristik kedua kontrak ini berbeda, tentu saja risiko yang terkandung didalamnya juga berbeda. Pentingnya tinjauan risiko kedua jenis kontrak ini dalam pelaksanaan pembangunan gedung dilingkungan Total E&P Indonesie adalah untuk lebih memahami secara detil faktor faktor risiko yang dihadapi kontraktor pelaksana . Tujuan penelitian ini adalah: untuk mengetahui (1) faktor-faktor yang membedakan antara kontrak Lumpsum dan kontrak Unit Price yang dapat berpengaruh terhadap risiko proyek, (2) untuk mengetahui rangking dan bobot masing masing faktor risiko, dan (3) untuk mengetahui jenis kontrak yang mempunyai risiko paling kecil. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Jumlah sample sebanyak 31 responden dari 10 perusahaan kontraktor di Balikpapan yang menangani proyek-proyek pembangunan gedung di lingkungan Total E&P Indonesie. Data dianalisis dengan menggunakan program expert choice Analitycal Hierarchy Process (AHP). Hasil penelitian menunjukkan ada 7 (tujuh) faktor yang membedakan dan dapat menimbulkan risiko dalam kontrak Lumpsum dan Unit Price. Hasil analisis dengan metode AHP, diperoleh bahwa perbandingan risiko pada kontrak Lumpsum berisiko lebih tinggi dibandingkan dengan kontrak Unit Price. Kata kunci: Kontrak lumpsum, Kontrak unit price, Risiko Kontrak, dan AHP
PENDAHULUAN Setiap kegiatan usaha akan selalu muncul berdampingan adanya peluang memperoleh keuntungan dan risiko menderita kerugian baik secara langsung maupun tidak langsung. “Risiko usaha kontraktor adalah kemungkinan terjadinya suatu keadaan /peristiwa/kejadian dalam proses kegiatan usaha, yang dapat berdampak negative terhadap pencapaian sasaran usaha yang telah ditetapkan (Asiyanto 2005). Kegiatan konstruksi dapat dikatakan berhasil apabila mampu memenuhi tujuannya yaitu selesai tepat waktu yang ditentukan, sesuai dengan biaya yang dialokasikan dan memenuhi persyaratan kualitas yang diisyaratkan. Berbagai usaha dilakukan untuk dapat mengurangi atau bahkan menghindari risiko sehingga dapat dicapai hasil yang efektif. Salah satunya adalah dengan menganalisis risiko dari jenis kontrak yang digunakan dalam usaha jasa konstruksi. Jenis kontrak yang sering dipakai dalam kegiatan konstruksi adalah kontrak Lumpsum dan kontrak Unit Price. Dengan demikian perlu diketahui lebih jauh faktor faktor yang membedakan kedua jenis kontrak ini dan tingkat risiko dari faktor pembeda tersebut
ISBN : 978-602-97491-6-8 B-2-1
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Februari 2013
dalam penggunaan kedua jenis kontrak ini. Salah satu metode untuk menganalisis hal di atas adalah dengan menggunakan metode Analytic Hierarchy Process. Metode Analytic Hierarcy Process (AHP) merupakan suatu metode yang digunakan untuk mencari bobot dimana intensitas risiko dari penggunaan kontrak Lumpsum dan kontrak Unit Price dapat dikuantitaskan dan kemudian dianalisis. Untuk mengetahui aspek aspek yang melatar belakangi pengambilan keputusan Kontraktor pengguna kedua jenis kontrak ini, dilakukan dengan penyebaran kuesioner. Penelitian ini bertujuan: 1) Mengetahui faktor-faktor yang membedakan antara kontrak Lumpsum dan kontrak Unit Price yang dapat berpengaruh terhadap risiko proyek; 2) Mengetahui rangking dan bobot masing masing faktor risiko dan 3) Jenis kontrak mana yang mempunyai risiko paling kecil dalam pemilihan jenis kontrak. METODE Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Jumlah sample sebanyak 31 responden dari 10 perusahaan kontraktor di Balikpapan yang menangani proyek-proyek di lingkungan Total E&P Indonesie. Analisis data menggunkan Analitycal Hierarchy Process (AHP). HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1 menunjukkan bobot risiko dari faktor-faktor yang dapat berpengaruh terhadap pembengkaan biaya. Faktor perbedaan kondisi lapangan dengan total 21,19% merupakan faktor yang paling besar dalam mempengaruhi risiko pembengkaan biaya. Faktor sifat proyek adalah faktor yang pengaruhnya paling kecil terhadap risiko pembengkaan biaya yaitu 9,47%. Tabel 1 Rata-Rata Bobot Faktor Ranking
1 2 3 4 5 6 7
Rata-Rata Bobot Faktor (N=31)
Faktor
Perbedaan Kondisi Lapangan Harga Penawaran Nilai Tukar Rupiah Inflasi dan Kenaikan Harga Dokumen Prosedur Kerja Kelengkapan Design Sifat Proyek
0,2119 0,1557 0,1458 0,1412 0,1255 0,1250 0,0947
Tabel 2 Kriteria Bobot Alternatif Bobot Alternatif Kontrak Kontrak Lumpsum Unit Price
Faktor
Perbedaan Kondisi Lapangan Harga Penawaran Nilai Tukar Rupiah Inflasi dan Kenaikan Harga Dokumen Prosedur Kerja Kelengkapan Design Sifat Proyek Global ISBN : 978-602-97491-6-8 B-2-2
0,617 0,682 0,639 0,612 0,586 0,688 0,627
0,383 0,318 0,361 0,388 0,414 0,312 0,373
0,623
0,377
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Februari 2013
Tabel 2 merupakan kriteria bobot alternatif jenis kontrak yang digunakan yaitu Lumpsum maupun Unit Price. Kriteria bobot alternatif jenis kontrak yang digunakan yaitu Lumpsum maupun Unit Price berdasarkan pada kasus terjadi perbedaan kondisi lapangan antara dokumen kontrak dan kenyataan yang dijumpai di lapangan, misalkan pada saat pelaksanaan penggalian pondasi dijumpai adanya fasilitas yang telah terpasang di bawah tanah, yang mana tidak ada informasi didalam dokumen kontrak atau meskipun ada informasi namun terdapat perbedaan kenyataan instalasi tersebut dengan dokumen gambar as built lokasi yang ada. Juga kondisi lain menyangkut hal-hal non teknis seperti pada saat pelaksanaan pekerjaan di perkantoran pada waktu waktu tertentu menimbulkan ganguan terhadap aktivitas perkantoran seeperti di karenakan kebisingan yang timbut maka pekerjaan hanya dapat dilakukan diluar jam kerja seperti malam hari atau saat hari libur. Hasil analisis AHP menunjukkan kontrak Lumpsum lebih berisiko sebesar 61,7% sedangkan kontrak Unit Price hanya sebesar 38,3%. Ada dua komponen yang mempengaruhi besarnya harga penawaran pada saat penawaran yaitu volume per item pekerjaan dan harga satuan. Pada jenis kontrak Lumpsum volume bersifat mengikat, sedangkan pada kontrak Unit Price perbedaan volume dapat diadakan perhitungan ulang bersama antara kontraktor dan owner sehingga dapat memperkecil risiko. Sedangkan harga satuan baik kontrak Lumpsum maupun kontrak Unit Price keduanya mengikat. Bilamana ada perbedaan kondisi harga penawaran pada saat tender sama atau bahkan lebih rendah dari harga pada saat pelaksanaan pada kontrak Unit Price memungkinkan kontraktor untuk mendapatkan pekerjaan tambah sedangkan pada kontrak Lumpsum kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan tambah sangan kecil. Hasil analisis AHP menunjukkan jenis kontrak Lumpsum lebih lebih berisiko dengan bobot faktor alternatif sebesar 68,2% sedangkan kontrak Unit Price hanya sebesar 31,8%. Bahan bahan konstruksi terutama material import atau produk luar negeri seperti yang di tetapkan dalam spesifikasi teknik sangat terpengaruh terhadap perubahan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing seperti US Dollar. Baik pada kontrak Pada kontrak Lumpsum maupun pada kontrak Unit Price. Hasil analisis AHP menunjukkan jenis kontrak Lumpsum lebih berisiko kondisi perubahan nilai tukar valuta asing (US $) terhadap Rupiah dengan bobot alternatif sebesar 63,9% dari pada pada kontrak Unit Price yaitu 36,1%. Dalam kontrak Lumpsum tolak ukurnya adalah total nilai penawaran, bukan pada rincian item pekerjaannya. Hal tersebut memberikan pemahaman bahwa risiko kenaikan harga adalah ditanggung oleh kontraktor / penyedia jasa. Sehingga dipersepsikan bahwa adanya fluktuasi harga selama masa kontrak menjadi risiko penyedia jasa. Tapi sering dilupakan bahwa fluktuasi harga berarti dapat terjadi penurunan harga. Sehingga tidak hanya risiko, tapi juga peluang. Tidak jarang terjadi kontraktor diuntungkan akibat harga penawaran saat tender jauh lebih tinggi dari harga aktual saat pelaksanaan. Jika fluktuasi (penurunan) cukup besar, maka semakin besar pula keuntungan kontraktor dan semakin besar pula extra cost yang dibayarkan oleh pemberi tugas. Di lain pihak, ketentuan penyesuaian harga pada dasarnya adalah solusi dalam mengatasi adanya fluktuasi harga yang dinilai sulit untuk diprediksikan. Penyesuaian harga di sini bisa kenaikan harga dan bisa pula penurunan harga kontrak. Hasil analisis AHP menunjukkan jenis kontrak Lumpsum lebih berisiko dengan bobot alternatif sebesar 61,2% dari pada pada kontrak Unit Price yaitu 38,8%. Dilingkungan Total E&P Indonesie baik pada kontrak Lumpsum maupun kontrak Unit Price adalah sama perlakuannya dalam hal penerapan prosedur kerja, hal yang khusus dilingkungan Total E & P Indonesie adalah prosedur pelaksanaan Keselamatan Kerja.
ISBN : 978-602-97491-6-8 B-2-3
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Februari 2013
HSE ( Healt Safety and Environment). Tahapan pelaksanaan prosedur keselamatan kerja setelah suatu Kontraktor mendapatkan kontrak baik jenis Lumpsum maupun Unit Price adalah sebagai berikut; 1. Pre mobilisasi inspeksi, Kontraktor pemenang kontrak sebelum di ijinkan melakukan mobilisasi akan di adakan inspeksi, dengan tujuan memastikan apakah kontraktor tersebut telah mememenuhi persyaratan yang ditetapkan, sebelumnya di berikan suatu check list mengenai persyaratan yang harus di penuhi untuk dapat mulai pelaksanaan kerja, hal ini merupakan tindak lanjut dari persyaratan yang di berikan pada saat tender. Setelah pada persyaratan pre mobilisasi selesai kontraktor baru dapat memulai kerja. 2. Setiap tahapan dan jenis pekerjaan kontraktor harus mendapatkan ijin kerja ( work permit ) yang harus dilengkai dengan lampiran prosedur kerja dan analisis risiko keselamatan kerja ( risk assessment). 3. Bila mana terjadi pelanggaran terhadap prosedur kerja yang telah ditetapkan maka di kenakan sanksi antara lain pemberhentian sementara pekerjaan, pekerjaan dapat dilanjutkan bilamana kontraktor tersebut telah siap dengan persyaratan yang diminta untuk perbaikan. Pada kontrak Lumpsum dan induk kontrak Unit Price waktu mulainya perhitungan durasi kontrak adalah dimulai sebelum pre mobilisasi pekerjaan dilaksanakan, pada kontrak Lumpsum mulainya perhitungan waktu pelaksanaan proyek adalah sama dengan waktu mulainya kontrak, sedangkan kontrak Unit Price proyek dimulai waktu mulai pelaksanaan suatu paket pekerjaan setelah contrak release oreder ( CRO) diterbitkan. Hasil analisis AHP menunjukkan jenis kontrak Lumpsum lebih berisiko dengan bobot alternatif sebesar 61,2% daripada kontrak Unit Price sebesar 38,8%. Gambar yang diterima oleh kontraktor adalah gambar konstruksi, namun secara detail untuk pelaksanaan, kontraktor di minta untuk membuat gambar detil pelaksanaan (shop drawing), dari gambar detil ini sering dijumpai adanya perbedaan dengan ukuran/volume pekerjaan yang harus dilaksanakan dibandinkan dengan gambar awal, pada kontrak Lumpsum dimana volume bersifat mengikat terutama pada kontak Lumpsum yang bersifat EPC (Engineering, Procurement and Construction) sedang pada kontrak Unit Price kontraktor dapat mengajukan perhutungan ulang bersama. Hasil analisis AHP menunjukkan jenis kontrak Lumpsum lebih berisiko jika terjadi kondisi kelengkapan design yang berbeda atau tidak lengkap yang dapat menimbulkan risiko lebih besar, dengan bobot alternatif sebesar 68,8% daripada kontrak Unit Price sebesar 31,2%, Hasil analisis AHP pada kondisi sifat proyek dalam lingkup kerja yang masih baru atau belum pernah dilaksanakan sebelumnya, dengan tingkat kesulitan konstruksi tertentu menunjukkan jenis kontrak Lumpsum lebih berisiko pada kontrak Unit Price. Perbandingan tingkat risiko yang terjadi yaitu sebesar 62,7% pada kontrak Lumpsum dan pada kontrak Unit Price yaitu 37,3%. Hal tersebut dapat dipahami bahwa kontraktor perlu mempersiapkan metoda kerja dan prosedur kerja yang baru pula. Secara global berdasarkan 7 (tujuh) faktor yang dapat menimbulkan pembengkaan biaya proyek. Jenis kontrak Lumpsum lebih berisiko mempengaruhi pembengkaan biaya proyek yaitu sebesar 62,3% daripada pada kontrak Unit Price yaitu 37,7%. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penelitian ini membahas tentang faktor-faktor yang membedakan antara kontrak Lumpsum dan kontrak Unit Price yang dapat berpengaruh terhadap biaya dan waktu penyelesaian proyek, dan jenis kontrak mana yang mempunyai risiko paling kecil dalam ISBN : 978-602-97491-6-8 B-2-4
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Februari 2013
pemilihan jenis kontrak. Berikut adalah beberapa kesimpulan yang dapat diberikan berdasarkan analisis terhadap data penelitian: 1. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan risiko pembengkaan biaya dalam kontrak Lumpsum dan Unit Price ada 7 (tujuh) faktor dengan urutan berdasarkan risiko paling besar yaitu: (1) Perbedaan Kondisi Lapangan (21,19%); (2) Harga Penawaran (15,57%); Nilai Tukar Rupiah (14,58%); Inflasi dan Kenaikan (14,12%); Harga Dokumen Prosedur Kerja (12,55); Kelengkapan Design (12,50%) dan Sifat Proyek (9,47%). 2. Hasil analisis dengan metode AHP, diperoleh bahwa perbandingan risiko dari aspek biaya, pada kontrak Lumpsum berisiko lebih tinggi dibandingkan dengan kontrak Unit Price dengan perbandingan 62,3% : 37,7%. 3. Semua perisitiwa risiko yang ditinjau dalam kontrak Lumpsum memiliki bobot prioritas yang lebih besar dibandingkan dengan kontrak Unit Price, yang berarti risiko pembengkakan biaya dalam kontrak Lumpsum jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kontrak Unit Price. 4. Pada kontrak Lumpsum , peristiwa risiko perbedaan kondisi site dengan yang tercantum dalam kontrak memiliki bobot prioritas terbesar yaitu 88,80%, yang berarti peristiwa risiko ini mempunyai risiko pembengkakan biaya terbesar. Sedangkan pada kontrak Unit Price hal ini terjadi pada peristiwa kondisi pembuatan dokumen prosedure kerja, analisis risiko pekerjaan mengacu pada prosedure kerja, ijin kerja dan sangsi akibat pelanggaran prosedur keselamatan kerja yang memiliki bobot prioritas terbesar yaitu 41,40%. Saran 1. Dengan melihat kesimpulan bahwa kontrak Lumpsum lebih berisiko menderita kerugian dibandingkan dengan kontrak unit price, disarankan agar kontraktor lebih berhati-hati menyikapi peristiwa-peristiwa risiko yang ditinjau di atas pada proyek dengan kontrak Lumpsum . 2. Kontraktor agar lebih mencermati risiko-risiko dominan yang teridentifikasi pada penelitian ini dengan menyiapkan tindakan mitigasi untuk mengurangi akibat risiko. 3. Penelitian kedepan dapat melakukan pemenentuan resiko jenis kontrak menggunakan metode yang lain, selain dengan AHP. 4. Penelitian kedepan dapat dikembangkan dengan melakukan penelitian ditempat lain. Faktor risiko dapat ditambah atau dikurang sesuai dengan kondisi setempat, juga penentuan faktor tersebut dapat dengan menggunakan metoda seperti fish bone, dll. DAFTAR PUSTAKA Anonimus. (2003). Keppres RI Nomor 80 Tahun 2003. Tentang Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah, Citra Umbara, Bandung. Asiyanto. (2005). Manajemen Produksi Untuk Jasa Konstruksi, Pradnya Paramita, Jakarta. Brodjonegoro, B.P.S. (1991). Teori dan Aplikasi dari Model ”The Analytic Hierarchy Process”, BEY Sapta Utama, Jakarta. Daniel Ho, Graeme Newell and Anthony Walker. (2005). The importance of property-specific attributes in assessing CBD office building quality. Journal of Property Investment & Finance, Vol. 23 No. 5, pp. 424-444. Edwards, P.J., Bowen, P.A. (1998). Risk and risk management in construction: a review and future directions for research. Engineering, Construction and Architectural Management, Vol. 5 Iss: 4, pp.339 – 349. ISBN : 978-602-97491-6-8 B-2-5
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Februari 2013
Flanagan R, Norman G. (1993). Risk Management and Construction. Blackwell Science Ltd: Oxford. Ghozali, Imam. (2009). Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS, Edisi Ketiga, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Graeme Newell and Ross Seabrook. (2005). Factors influencing hotel investment decision making. Journal of Property Investment & Finance Vol. 24 No. 4, pp. 279-294. Kim Hin, David Ho, Seow Eng Ong and Tien Foo Sing. (2006). Asset allocation International real estate investment strategy under a workable analytic hierarchy process (AHP). Journal of Property Investment & Finance, Vol. 24 No. 4, pp. 324-342. Mangkusubroto K., dan Trisnadi, L. (1987). Analisis Keputusan, Pendekatan Sistem dalam Manajemen Usaha dan Proyek. Ganeca Exact. Bandung Maxfield, F.N. (1930). The Case Study, Educational Research Bulletin. Vol. 9, No. 5, pp. 117-122. Mohammad A. Mustafa, Jamal F. Al-Bahar. (1991). Project risk assessment using the analytic hierarchy process. IEEE Transactions on Engineering Management, Vol, 38, pp. 46– 52. Patrick T.I. Lam and Franky W.H. Wong. (2005). A comparative study of buildability perspectives between clients, consultants and contractors, Construction Innovation, Vol. 11 No. 3, pp. 305-320. Patrick X.W. Zou, Guomin Zhank dan Jiauyun Wang. (2007). Understanding The Key Risks in Counstruction Project in China. International Journal of Project Managemnet. Vol. 25 pp 601 – 614. PMI (Project Management Institute). (2000). Project Management Body of Knowledge Prasanta Kumar Dey. (2002). Project Risk Management: A Combined Analytic Hierarchy Process and Decision Tree Approach. Cost Engineering Vol. 44/No. 3 pp 12 – 26. Rosady, Ruslan. (2003). Metode Penelitian Public Relations dan Komunikasi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Saaty, T.L. (1993). Pengambilan keputusan: Bagi Para Pemimpin. PT Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta Pusat. Soeharto, I. (2001). Manajemen Proyek Jilid 2 (Dari Konseptual Sampai Operasional), Erlangga, Jakarta. Sugiyono. (2005) Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta. Suputra, I Gusti Ngurah Oka, Ariany Frederika dan Putu Sukma Wahyuni. (2008). Analisis Perbandingan Risiko Biaya Antara Kontrak Lumpsum Dengan Kontrak Unit Price Menggunakan Metode Decision Tree. Jurnal Ilmiah Teknik Sipil Vol. 12, No. 2, 136 – 152. Suputra, IG.N.O. (2005). Manajemen Risiko pada Pelaksanaan Pembangunan Denpasar Sewerage Development Project (DSDP) di Denpasar. Tesis, Program Magister Teknik Sipil Universitas Udayana, Denpasar.
ISBN : 978-602-97491-6-8 B-2-6
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Februari 2013
Suryadi, K dan Ramdani, A. (2002). Sitem Pendukung Keputusan: Suatu Wacana Struktural Idealisasi dan Implementasi Konsep Pengambilan Keputusan. PT Remaja Rosdakarya, Bandung Sutadi, D.M.A. (2004). Analisis Perbandingan Risiko Biaya antara Kontrak Lumpsum dan Kontrak Unit Price dengan Metode Decision Tree. Tesis, Program Studi Teknik Sipil Universitas Udayana, Denpasar. Taroun, A., Yang, J.B. and Lowe, D. (2011). Construction Risk Modelling and Assessment: Insights from a Literature Review. The Built & Human Environment Review, Vol. 4, Special Issue 1, 88-97. Tom Kauko. (2007). An Analysis Of Housing Location Attributes In The Inner City Of Budapest, Hungary, Using Expert Judgements. International Journal of Strategic Property Management, Vol.11, 209-225. Wu S., A. Lee, J.H.M. Tah, and G. Aouad. (2007). The use of a multi-attribute tool for evaluating accessibility in buildings: the AHP approach. Facilities Vol. 25 No. 9/10, pp. 375-389. Yasin, N. (2003). Mengenal Kontrak Konstruksi di Indonesia, Gramedia, Jakarta.
ISBN : 978-602-97491-6-8 B-2-7