61
Penentuan awal pemberian pakan ... (Ningrum Suhenda)
PENENTUAN AWAL PEMBERIAN PAKAN UNTUK MENDUKUNG SINTASAN DAN PERTUMBUHAN LARVA IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus) Ningrum Suhenda Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Jl. Raya Sempur No. 1, Bogor E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Informasi mengenai waktu awal pemberian pakan penting diketahui karena hal ini menentukan sintasan dan pertumbuhan larva ikan yang dipelihara. Tujuan penelitian yang dilakukan yaitu untuk mengetahui awal pemberian pakan pada larva ikan baung (Hemibagrus nemurus). Pada percobaan ini digunakan larva ikan baung dengan awal pemberian pakan yang berbeda yaitu mulai hari ke-3, 4, 5, dan 6 hari setelah menetas. Larva dipelihara dalam akuarium dengan padat penebaran 10 ekor/L. Pakan yang diberikan berupa nauplii Artemia dan pakan buatan. Setelah 21 hari pemeliharaan dilakukan penghitungan benih dan penimbangan bobot badannya. Parameter yang diamati yaitu laju pertumbuhan bobot harian, laju pertumbuhan panjang harian, sintasan, konversi pakan, dan efisiensi pakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu awal pemberian pakan yang berbeda tidak memberikan pertumbuhan, sintasan, dan konversi pakan yang berbeda nyata (P>0,05). Nilai pertumbuhan bobot harian berkisar antara 22,65%-23,29% dengan sintasan antara 86,00%-96,77%.
KATA KUNCI:
awal pemberian pakan, pertumbuhan, sintasan, ikan baung (Hemibagrus nemurus)
PENDAHULUAN Ikan baung ( Hemibagrus nemurus ) merupakan salah satu komoditas perairan umum yang mempunyai prospek untuk dibudidayakan baik di kolam maupun keramba jaring apung dan jenis ikan ini dapat cepat menyesuaikan diri terhadap pakan buatan (Hardjamulia & Suhenda, 2000). Distribusi ikan baung relatif luas di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Jenis ini digemari masyarakat dan mempunyai arti penting khususnya di Sumatera seperti di Jambi dan Riau (Sukendi, 2001). Di Jawa Barat, ikan baung juga digemari masyarakat dan harganya relatif tinggi dibandingkan dengan harga ikan mas. Seperti pada usaha pembenihan ikan-ikan lain, permasalahan yang terjadi dalam usaha pembenihan ikan baung yaitu masih tingginya tingkat kematian benih. Hal ini disebabkan beberapa hal di antaranya rendahnya kualitas telur yang dihasilkan, padat tebar benih yang terlalu tinggi (Baras et al., 1999, Hatziathanasiou et al., 2002) buruknya kualitas air, serta penentuan waktu awal pemberian pakan yang belum tepat. Hasil penelitian Suhenda et al. (2009) menunjukkan bahwa nilai survival activity index (SAI) larva baung selama 6 hari pemeliharaan masih 100%. Hal ini berarti bahwa larva baung masih dapat hidup sampai umur enam hari tanpa pemberian pakan dari luar (indigenous feeding). Keterlambatan dalam pemberian pakan dan pemberian jenis pakan yang tidak tepat dapat menimbulkan dampak yang buruk bagi ikan bahkan kematian. Selanjutnya untuk menanggulangi mortalitas benih yaitu dengan memeliharanya dalam wadah terkontrol termasuk pengaturan pakannya. Hal ini terutama pada saat persediaan kuning telur pada larva mulai habis dan benih mulai mengambil makanan dari alam (Lakshmanan, 1969). Mortalitas yang tinggi juga dapat terjadi bila benih tidak segera mendapatkan pakan yang sesuai baik jenis maupun jumlahnya (Affiati & Lim, 1985). Hasil penelitian Irwin et al. (2002) menunjukkan bahwa perbedaan jenis pakan pada larva menyebabkan perbedaan tingkat pertumbuhan. Di alam, larva ikan memakan makanan alami yang sesuai dengan bukaan mulutnya dan kelimpahan makanan alami yang tersedia. Larva ikan mulai mencari pakan dari luar pada saat kuning telurnya tersisa 20%-30% (Woynarovich & Horvath, 1980). Selain itu, petunjuk lain mengenai kapan larva mulai diberi pakan yaitu apabila 50% dari jumlah larva sudah mulai berenang (Piper et al., 1982). Sebagai pengganti makanan alami, pakan buatan dapat diberikan untuk memacu pertumbuhan tetapi harus diperoleh dahulu informasi
62
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
mengenai waktu yang tepat untuk penggantian pakan yang diberikan. Hasil penelitian Suryanti et al. (2002) menunjukkan bahwa benih ikan baung responsif terhadap pakan buatan yang diberikan. Pemberian pakan buatan pada benih ikan gurami mulai umur 25 hari memberikan hasil yang terbaik, kemudian diikuti oleh benih umur 20, 15, dan 10 hari (Arlia, 1994). Pertumbuhan terjadi apabila terdapat kelebihan energi yang diperoleh dari makanan untuk pertumbuhan badan (Elliot, 1979). Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui waktu awal pemberian pakan yang tepat pada larva ikan baung. BAHAN DAN METODE Ikan uji yang digunakan yaitu larva ikan baung hasil pemijahan secara buatan yang dilaksanakan di Laboratorium Basah Instalasi Riset Plasma Nutfah Cijeruk. Larva ikan baung dipelihara dalam akuarium dengan volume air 60 liter, padat penebaran 10 ekor larva/L. Masing-masing wadah percobaan dilengkapi dengan aerasi dan heater. Setiap hari dilakukan penyiponan untuk membuang kotoran pada setiap akuarium. Pemeliharaan dilakukan selama 21 hari. Pemberian makanan alami dilakukan secara ad libitum dan pakan buatan secara at satiation. Makanan alami yang diberikan berupa nauplii Artemia dan pakan buatan berupa pakan udang komersial. Sebagai perlakuan yaitu waktu awal pemberian pakan ke-3, 4, 5, dan 6 hari setelah menetas. Masing-masing perlakuan mempunyai tiga ulangan. Nauplii Artemia diberikan enam hari pertama setelah awal pemberian pakan, selanjutnya diberikan pakan buatan. Abnormalitas benih diamati pada akhir pemeliharaan dengan melihat adanya ketidaklengkapan organ atau bentuk organ yang abnormal. Pada penelitian ini digunakan rancangan acak lengkap dengan uji lanjut menggunakan BNT pada taraf kepercayaan 95%. Analisis statistik menggunakan program SPSS Ver. 11.5. Parameter yang diamati meliputi laju pertumbuhan bobot/panjang harian, tingkat sintasan, abnormalitas benih, efisiensi, dan konversi pakan. HASIL DAN BAHASAN Hasil penentuan waktu awal pemberian pakan terhadap parameter laju pertumbuhan bobot dan panjang harian, tingkat sintasan, efisiensi, dan konversi pakan disajikan pada Tabel 1 dan 2. Tabel 1. Laju pertumbuhan bobot harian dan laju pertumbuhan panjang larva ikan baung selama 21 hari pemeliharaan Waktu awal pemberian pakan (hari ke- setelah menetas)
Parameter Laju pertumbuhan panjang harian (%) Laju pertumbuhan bobot harian (%)
3
4
5
6
5,96±0,02a 22,65±0,35a
6,20±0,34a 22,88±0,37a
6,37±0,28a 23,29±0,84a
6,34±0,15a 23,15±0,35a
Huruf superscript yang sama menyatakan tidak berbeda nyata antar perlakuan (P>0,05)
Tabel 2. Tingkat sintasan, efisiensi pakan, konversi pakan larva ikan baung selama 21 hari pemeliharaan Parameter
Waktu awal pemberian pakan (hari ke- setelah menetas) 3
4
5
6
Sintasan (%) 86,00±19,50a 95,00±6,61a 88,77±10,29a 96,77±2,11a Konversi pakan 0,92±0,01a 0,91±0,01a 0,92±0,01a 0,97±0,07a Efisiensi pakan (%) 102,87±6,78a 108,38±0,95a 110,39±0,82a 108,73±0,75a Huruf superscript yang sama menyatakan tidak berbeda nyata antar perlakuan (P>0,05)
Waktu awal pemberian pakan yang berbeda tidak mempengaruhi seluruh parameter yang diamati (P>0,05). Nilai laju pertumbuhan panjang harian berkisar antara 5,96%–6,37% sedangkan nilai laju pertumbuhan bobot harian berkisar antara 22,65%–23,29%. Nilai sintasan benih berkisar antara
63
Penentuan awal pemberian pakan ... (Ningrum Suhenda)
86,00%–96,77%. Pada Tabel 2 juga terlihat bahwa nilai konversi pakan berkisar antara 0,91–0,97 dan efisiensi pakan berkisar antara 102,87%–110,39%. Pada akhir penelitian tidak diperoleh adanya larva yang abnormal. Gambar 1 menunjukkan bobot akhir rata-rata individu pada akhir pengamatan. Secara visual pemberian pakan yang dimulai hari kelima setelah menetas memperlihatkan nilai yang paling tinggi, namun secara statistik tidak berbeda nyata antar perlakuan (P>0,05).
240 Bobot rata-rata (g)
235 230 225 220 215 210 205 200
3
4
5
6
Hari setelah menetas
Gambar 1. Bobot akhir rata-rata tiap perlakuan Pada penelitian sebelumnya telah diketahui nilai aktivitas enzim (Suryanti et al., 2002) dan nilai indeks aktivitas sintasan (survival activity index) larva ikan baung (Suhenda et al., 2009), tetapi belum diketahui secara pasti mengenai waktu awal pemberian pakan bagi larva ikan baung. Awal pemberian pakan yang berbeda ternyata tidak mempengaruhi laju pertumbuhan harian baik bobot maupun panjang, sintasan, konversi, dan efisiensi pakan. Hal ini disebabkan kuning telur sebagai material sumber energi bagi larva ikan baung masih mencukupi untuk mendukung aktivitas hidupnya sampai hari keenam. Pemberian pakan dari luar (exogenous feeding) harus tumpang tindih dengan masa habisnya kuning telur sehingga larva tidak kehabisan energi dan adaptif untuk memperoleh pakan dari luar sebagai sumber energinya. Villanueva et al. (2001) mendapatkan bahwa waktu pemberian pakan pertama kali yang tepat pada Octopus vulgaris yaitu pada hari kelima setelah menetas. Namun perlu diketahui hubungan antara ukuran telur, volume kuning telur dan waktu pertama kali pemberian pakan seperti yang dikemukakan oleh Hamazaki et al. (1991). Tingkat sintasan benih berkisar antara 86,00%–96,77%. Waktu pemberian pakan pertama kali yang berbeda tidak mempengaruhi sintsan benih. Tingkat sintasan selain dipengaruhi oleh asupan nutriea dari pakan juga dipengaruhi faktor lain seperti kualitas air dan adanya sifat kanibalisme (Van Damme et al ., 1989). Selama penelitian, tidak ditemui adanya larva yang abnormal. Bentuk abnormalitas pada larva dapat berupa kelainan bentuk tulang, kelengkapan organ, dan bentuk dari organ itu sendiri. Pemberian pakan pertama kali yang berbeda tidak berpengaruh terhadap organogenesis larva ikan baung. Hal ini merupakan cerminan kecukupan energi internal yang berasal dari kuning telur untuk membentuk organ-organ tubuh. Tang (2000) menyatakan bahwa pada ikan baung, hari keempat struktur tulang punggung sudah tampak jelas, saluran pencernaan sudah berlekuk, dan lambung sudah terbentuk. Waktu awal pemberian pakan yang berbeda pada larva ikan baung tidak mempengaruhi nilai konversi pakan dan efisiensi pakan. Nilai konversi pakan antara 0,91–0,97 dan efisiensi pakan berkisar antara 102,87%–110,39%. Nilai konversi pakan menggambarkan seberapa banyak pakan yang dikonversi menjadi biomassa tubuh. Nilai konversi pakan di bawah satu mengindikasikan adanya sumber pakan lain selain pakan yang diberikan. Dari kedua nilai ini dapat menggambarkan bahwa
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
64
larva masih menggunakan kuning telur sebagai sumber energi sebelum mampu memanfaatkan pakan dari luar. Perbedaan waktu awal pemberian pakan mulai hari ke-3, 4, 5,dan 6 tidak mempengaruhi pertumbuhan maupun sintasan larva. Hal ini menguntungkan pembudidaya karena sampai dengan hari ke-6 larva belum bergantung pada pakan yang harus diberikan. Secara umum, kualitas air pemeliharaan memenuhi persyaratan budidaya ikan. Kualitas air yang terukur antara lain suhu antara 26°C–28°C; pH 6,0–8,0; oksigen terlarut 3,2–8,4 mg/L; kesadahan 57,68–111,24 mg/L; amonia 0,05–0,214 mg/L; dan nitrit antara 0,108–0,217 mg/L. KESIMPULAN Waktu awal pemberian pakan yang berbeda yaitu hari ke-3, 4, 5, dan 6 setelah menetas tidak memberikan pengaruh yang berbeda baik terhadap pertumbuhan maupun sintasan larva ikan baung. DAFTAR ACUAN Affiati, N. & Lim, C. 1985. Growth and survival of giant gouramy larvae fed with various combination of moina sp and an artificial diet. p. 97–103 in C. Lim (Ed.). Fish nutrition and feed technology research in Indonesia. Indonesia, 170 p. Arlia, L. 1994. Pengaruh kadar protein pakan buatan terhadap pertumbuhan benih gurame (Osphronemus gouramy, L). Tesis. Pascasarjana IPB, 126 hlm. Baras, E., Tissier, F., Philippart, J.C., & Melard, C. 1999. Sibling canibalism among juvenile vundu under controlled conditions : II. Effect of body weight and environmental variables on the periodicity and intensity of type II canibalism. J. Fish Biol., 54: 106–118. Elliot, J.M. 1979. Energetic of freshwater teleost, dalam Miller, P.J. (Ed.). Fish phenology adaptive. Acad. Press. Inc. London, p. 9–61. Hamazaki, H., Fukunaga, K., Yoshida Y., & Maruyama K. 1991. Effect of marine microalgae Nannochloropsis on survival and growth on rearing pelagic paralarvae of Octopus vulgaris sp, and result of mass culture in the tank of 20 metric tons. Saiba-giken, 19: 75–84. Hardjamulia, A. & Suhenda, N. 2000. Evaluasi sifat reproduksi dan sifat gelondongan generasi pertama empat strain ikan baung (Hemibagrus nemurus) di karamba jaring apung. J. Pen. Perik. Indonesia, 6(3-4): 24–35. Hatziathanasiou, A., Paspatis, M., Houbart, M., Kestemont, P., Stefanakis, S., & Kentouri, M. 2002. Survival, growth and feeding in early life stages of European sea bass (Dicentrarchus labrax) intensively cultured under different stocking densities. Aquaculture, 205: 89–102. Irwin, S., O’Halloran, J., & Fitzgerald, R.D. 2002. The relationship between individual consumption and growth in juvenile turbot, Scophthalmus maximus. Aquaculture, 204: 65–74. Lakshmanan, M.A.V. 1969. Problems af feeding hacthlings and fry. F.A.O. UNDP. Regional Seminar on Breeding of Cultivate Fishes, 37 pp. Piper, R.G., Mc. Elwain, I.B., Orme, L.O., Mc Craren, J.P., Fowler, L.G., & Leonard, J.R. 1982. Fish hatchery management. United States. Department of the Interior. Fish and wildlife service. Washington D.C., 517 pp. Suhenda, N., Samsudin, R., & Subagja, J. 2009. Peningkatan produksi benih baung (Mystus nemurus) melalui perbaikan kadar lemak pakan induk. Berita Biologi, J. Ilmu-Ilmu Hayati, 9(5): 539–546. Sukendi. 2001. Biologi reproduksi dan pengendaliannya dalam upaya pembenihan ikan baung (Hemibagrus nemurus) di perairan sungai kampar, Riau. Disertasi. Program Pascasarjana. IPB. Suryanti, Y., Priyadi, A., & Mundriyanto, H. 2002. Pengaruh rasio energi dan protein yang berbeda terhadap efisiensi pemanfaatan protein pakan benih ikan baung (Hemibagrus nemurus, C.V.). J. Pen. Perik. Indonesia, 9(1): 31–36. Tang, U.M. 2000. Kajian biologi, pakan dan lingkungan pada awal daur hidup ikan baung (Hemibagrus nemurus C.V.). Disertasi. Program Pascasarjana IPB-Bogor, 96 hlm. Van Damme, P., Appelbaum S., & Hecht, T. 1989. Sibling cannibalism in koi carp, Cyprinus carpio L., larvae and juvenile reared under controlled conditions. J. Fish Biol., 34: 855–863. Villanueva, R., Koueta, N., Riba, J., & Boucaud-Camou, E. 2001. Growth and proteolytic activity of
65
Penentuan awal pemberian pakan ... (Ningrum Suhenda)
Octopus vulgaris paralarvae with different food rations during first feeding, using Artemia nauplii and compound diets. Aquaculture, 205: 269–286. Woynarovich, E. & L. Horvath, L. 1980. The artificial propagation of warmwater fish. A manual for extention FAO, Fishes Technical Paper, 201: 285 pp.