PENENTUAN AWAL MASA ‘IDDAH DALAM AKTA CERAI (Studi Komparatif KUA Sumowono dan KUA Tuntang) SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum ( S.H. )
Oleh: MUHAMMAD ZUHAD AL AMIN NIM 21109002
JURUSAN AKHWAL AL - SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2016
i
ii
KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI IAIN (IAIN) SALATIGA Jl. Stadion 03 Telp. (0298) 323706, 323433 Salatiga 50721 Website: www.stainsalatiga.ac.id email:
[email protected]
PENGESAHAN Skripsi Berjudul:
PENETAPAN AWAL MASA ’IDDAH DALAM AKTA CERAI (Studi Komparatif KUA Sumowono dan KUA Tuntang) Oleh: MUHAMMAD ZUHAD AL AMIN NIM. 21109002 Telah dipertahankan di depan sidang munaqosyah skripsi Fakultas Syari‟ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada hari Jum‟at, tanggal 30 September 2016, dan telah dinyatakan telah memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana Hukum Islam. Dewan Sidang Munaqasyah : Ketua Sidang
: Dra. Siti Zumrotun, M.Ag
...................................
Sekretaris Sidang
: Farkhani, S.H., S.HI., M.H..
...................................
Penguji I
: Dr. Ilyya Muhsin, M.Si
...................................
Penguji II
: Sukron Ma‟mun, M.Si
................................... Salatiga, 4 Oktober 2016 Dekan Fakultas Syariah
Dra. Siti Zumrotun , M.Ag. NIP.19670115 199803 2 002
iii
NOTA PEMBIMBING
Lamp Hal
: 4 (empat) eksemplar : Pengajuan Naskah Skripsi Kepada Yth. Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga Di Salatiga Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan koreksi, maka naskah skripsi mahasiswa: Nama NIM Judul
: Muhammad Zuhad Al Amin : 21109002 : PENENTUAN AWAL MASA ’IDDAH DALAM AKT CERAI (Studi Komparatif KUA Sumowono dan KUA Tuntang)
Dapat diajukan kepada Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga untuk diujikan dalam sidang munaqasyah. Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadikan perhatian dan digunakan sebagaimana mestinya. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salatiga, 27 September 2016 Pembimbing
Farkhani, SH., S.HI., MH. NIP. 19760524 200604 1 002
iv
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan dibawah ini: Nama
: Muhammad Zuhad Al „Amin
NIM
: 21109002
Fakultas
: Syari‟ah
Jurusan
: Akhwal Al-Syakhsiyah
Judul
: PENETAPAN AWAL MASA ’IDDAH DALAM AKTA CERAI (Studi Komparatif KUA Sumowono dan KUA Tuntang)
Menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 27 September 2016 Yang menyatakan
Muhammad Zuhad Al Amin
v
PERNYATAAN KESEDIAAN PUBLIKASI
Yang bertanda tangan dibawah ini: Nama
: Muhammad Zuhad Al „Amin
NIM
: 21109002
Fakultas
: Syari‟ah
Jurusan
: Akhwal Al-Syakhsiyah
Judul
: PENETAPAN AWAL MASA ’IDDAH DALAM AKTA CERAI (Studi Komparatif KUA Sumowono dan KUA Tuntang)
Menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah. Skripsi ini diperkenankan untuk dipublikasikan di e-repostory IAIN Salatiga
Salatiga, 27 September 2016 Yang menyatakan
Muhammad Zuhad Al Amin
vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO Sungguh Allah yang mengatur rizki kita, namun yang mengatur berkah tidaknya adalah kita sendiri.
PERSEMBAHAN Untuk Ibuku tercinta
vii
ABSTRAK Al „Amin, Muhammad Zuhad. 2016. PENENTUAN AWAL MASA „IDDAH PADA AKTA CERAI (Studi Komparatif KUA Sumowono dan KUA Tuntang) Skripsi Fakultas Syari‟ah Jurusan Akhwal Al-Syakhsiyah Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing Farkhani, SH., S.HI., MH. Kata kunci : penentuan, awal, „iddah
Penelitian ini berusaha meneliti mengenai perbedaan konsep dalam menentukan awal masa „iddah antara KUA Sumowono dengan KUA Tuntang. Penelitian ini mengkhususkan pada penetapan awal masa ‟iddah. Permasalahan utama yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu : (1). Bagaimana penentuan awal masa „iddah menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) ? (2). Bagaimana kesuaian penentuan awal masa‟iddah di KUA Sumowono dan KUA Tuntang menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) ? Dalam pembahasan permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan landasan berfikir yuridis empiris. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan mencari literatur yang membahas mengenai masalah „iddah dan wawancara kepada kepala-kepala KUA beserta karyawan-karyawan di KUA tersebut. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa awal masa‟iddah menurut KUA Sumowono dihitung sejak tanggal jatuhnya putusan. Sedangkan menurut KUA Tuntang dihitung sejak tanggal putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. KUA Tuntang dalam menentukan awal masa „iddah berdasar pada tanggal atas dalam akta cerai atau tanggal dimana jatuhnya putusan yang berkekuatan hukum tetap. Pedomanya adalah kaidah kalimat majemuk bertingkat dalam bahasa Indonesia yang ada pada akta cerai. Dan penggunaan tanggal atas dalam penentuan awal masa „iddah lebih aman karena sudah tidak akan ada banding. Sedangkan di KUA Sumowono menggunakan Pedoman Fiqh, karena dalam fiqh awal „iddah dimulai saat suami mengeluarkan kata-kata talak. Di dalam KHI sendiri masa awal ‟iddah dimulai setelah penetapan perceraian yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan pengadilan dikatakan mempunyai kekuatan hukum tetap setelah 14 hari dari pembacaan putusan dan tidak ada banding. pasal tersebut dikuatkan juga oleh pasal 115 dan 123 Kompilasi Hukim Islam (KHI). Maka penggunaan tanggal bawah dalam menentukan „iddah di KUA Kecamatan Sumowono tidak sesuai dengan peraturan di Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sedangkan penggunaan tanggal atas dalam menentukan awal masa „iddah di KUA Kecamatan Tuntang sudah sesuai dengan peraturan di Kompilasi Hukum Islam (KHI).
viii
KATA PENGANTAR
Assalaamualaikum warokhmatullaahi wabarokaatuh. Segala puji hanya bagi Allah SWT yang telah memberikan taufik dan hidayahnya kepada hamba hambanya. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun umat manusia menuju jalan kebenaran dan keilmuan. Alkhamdulillaahirobbil”aalamiin, dengan rasa syukur penulis skripsi dengan judul ”Penetapan Awal Masa ‟Iddah (Studi Komparatif KUA Sumowono dan KUA Tuntang) ini telah selesai. Skripsi ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Dalam Hukum pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tanpa ada bantuan dari berbagai pihak baik spiritual maupun material, laporan ini tidak akan mungkin akan selesai sesuai yang ditargetkan. Oleh karena itu dengan kerendahan hati penulis menghaturkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu sehingga terwujudnya skripsi ini. Adapun pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini adalah: 1.
Kedua orang tuaku tercinta yang memberikanku bimbingan, do‟a dan banyak hal lainya yang tiada henti-hentinya sehingga saya dapat melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi hinga selesai;
ix
2.
Bapak Dr.H. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku rektor IAIN Salatiga;
3.
Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syariah IAIN Salatiga;
4.
Bapak Farkhani SH., SH.I., M.H. selaku pembimbing dalam penyusunan sekripsi ini hingga selesai;
5.
Bapak Huda Muttaqin, S.Ag, M.H. selaku kepala KUA Kecamatan Sumowono yang telah membantu penelitian saya di Kantor KUA Kecamatan Sumowono;
6.
Drs. H. IHDAM SUPAMA, M.H. selaku kepala KUA kecamatan Tuntang; yang telah membantu penelitian saya di Kantor KUA Kecamatan Tuntang;
7.
Bapak dan Ibu Dosen IAIN Salatiga yang dengan tulus dan sabar mendidik dan memberikan ilmunya;
8.
Saudara-saudaraku dan teman-temanku yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu dalam penyusunan sekripsi ini hingga selesai; Teriring do‟a dan harapan semoga jasa dan amal baiknya mendapat
balasan dari Allah SWT, aamiin. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan pembaca. wassalaamu‟alaikum warakhmatullahi wabarokaatuh.
Penulis
x
DAFTAR ISI SAMPUL JUDUL ..............................................................................................
i
LEMBAR BERLOGO ........................................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. iv HALAMAN PENYATAAN KEASLIAN TULISAN ........................................
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...................................................................... vi ABSTRAK …………………………………………………………………… viii KATA PENGANTAR ........................................................................................ ix DAFTAR ISI .......................................................................................................
x
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang .............................................................................................
1
B. Fokus Penelitian ...........................................................................................
6
C. Tujuan Penelitian .........................................................................................
6
D. Kegunaan Penelitian ....................................................................................
7
E. Telaah Pustaka ............................................................................................
8
F. Penegasan Istilah ..........................................................................................
9
G. Metode Penelitian ........................................................................................ 11 H. Sistematika Pembahasan .............................................................................. 16
xi
BAB II LANDASAN TEORI A. „Iddah Menurut Fiqh .................................................................................... 17 a. Pengertian ............................................................................................... 17 b. Dasar Hukum ........................................................................................... 22 c. Tujuan „Iddah ......................................................................................... 27 d. Macam dan Perhitungan „Iddah ............................................................. 28 e. Hikmah „Iddah .................................................................................... ... 35 B. „Iddah menurut Kompilasi Hukum Islam ................................................... 37 a. Dasar Hukum „Iddah ............................................................................... 37 b. Macam-macam dan Perhitungan waktu tunggu ...................................... 38 BAB III LAPORAN HASIL PENELITIAN DI KUA KECAMATAN SUMOWONO DAN KUA KECAMATAN TUNTANG A. Pendapat KUA Kecamatan Sumowono .................................................
B.
44
a.
Gambaran Umum KUA Kecamatan Sumowono ...........................
44
b.
Kedudukan, Tugas dan Fungsi KUA Kecamatan Sumowono .......
47
c.
Penentuan Awal Masa „Iddah di KUA Kecamatan Sumowono…
50
Pendapat Kepala KUA Kecamatan Tuntang .........................................
52
a. Gambaran Umum KUA Kecamatan Tuntang ................................
52
b. Kedudukan, Tugas, dan Fungsi KUA Kecamatan Tuntang ............
56
c. Penentuan Awal Masa „Iddah di KUA Kecamatan Tuntang … .....
60
xii
BAB IV ANALISIS PENENTUAN AWAL MASA ‘IDDAH MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM A. Analisis Penentuan Awal Masa „Iddah di KUA Sumowono dan KUA Kecamatan Tuntang Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) ..............
62
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .............................................................................................
71
B. Saran .......................................................................................................
73
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
75
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Lembar Konsultasi
Lampiran 2
Surat Ijin Penelitian
Lampiran 3
Daftar Nilai SKK
Lampiran 4
Akta cerai
xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan ikatan yang paling suci dan kokoh antara suami dan isteri. Kedudukan perkawinan dalam kehidupan manusia sangatlah penting. Dengan jalan perkawinan yang sah pergaulan antara laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat. Islam sangat mengatur masalah perkawinan dengan amat teliti dan terperinci, untuk membawa umat manusia hidup berkehormatan, sesuai dengan kedudukannya yang amat mulia ditengah-tengah makhluk Allah SWT yang lainya. Telah berlaku anggapan kebanyakan pemuda-pemuda, dari dahulu hingga sekarang, mereka ingin kawin lantaran beberapa sebab, diantaaranya: 1.
Karena mengharapkan harta benda
2.
Karena mengaharapkan kebangsawanan
3.
Karena ingin melihat kecantikanya
4.
Karena agama dan budi pekertinya yang baik Maka dari keterangan diatas dapat disimpulkan menikah karena agama
itulah yang paling benar. Sehingga akan tercipta satu tali yang amat teguh guna memperkukuh tali persaudaraan antara kaum keraabat laki-laki (suami) dan kaum kerabat perempuan (istri); pertalian itu akan menjadi satu jalan yang membawa kepada pertolong-tolongan, antara kaum (golongan) dan yang lain (Rasjid,1984: 416).
1
Rasulullah SAW barsabda :
ّ َ صيَّى ّ َ َ ضى به َ ََلَاُ َعيَ ٍْ ِٔ َٗ َسيَّ ٌَ ق َ َلَاُ َع ُْْٔ َع ِِ اىَّْبِ ِّى ِ َع ِْ اَبِـى ُٕ َش ٌ َْشةَ َس ْ َحُ ْْ َنـ ُخ ْاى ََشْ أَةُ ِِلَسْ بَ ٍع ىِ ََبىَِٖب َٗىِ َذ َسبَِٖب َٗىِ َج ََبىَِٖب َٗىِ ِذ ٌَِْْٖب ف ث اى ِّذ ِ بظفَشْ بِ َزا )ٍٔ(ٍخفق عي
ْ ٌَ ِِْ حَ ِشب اك َ ج ٌَ َذ
Artinya: Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda “wanita dikawinkan karena empat hal, karena hartanya, keturunanya, kecantikanya, dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita karena agamanya, maka akan memelihara tanganmu”. (Mutafaq Alaih) Islam tidak menutup mata bahwa tidak ada jaminan bahwa sebuah perkawinan dapat berlangsung secara harmonis terus menerus karena yang dipertemukan dalam sebuah rumah tangga adalah dua orang manusia, yang tentu saja memiliki perbedaan-perbedaan, baik latar belakang keluarga, pendidikan maupun kepribadian masing-masing. Terkadang perselisihan antara suami-istri menimbulkan permusuhan, menanam bibit kebencian antara keduanya atau terhadap kerabat mereka, sehingga tidak ada jalan lain, sedang ikhtiar untuk perdamaian tidak dapat disambung lagi maka talaq (perceraian) itulah jalan satu-satunya yang jadi pemisah antara mereka. Apabila konflik tidak dapat diselesaikan dan keutuhan rumah tangga tidak dapat dipertahankan, maka islam memberikan jalan keluar terakhir yaitu perceraian. Di dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan telah disebutkan hal-hal yang dapat memutuskan ikatan
2
perkawinan antara seorang suami dan isteri ada tiga sebab, yaitu kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan. Didalam Hukum Perkawinan Islam apabila terjadi perceraian maka timbullah „iddah. „Iddah bermakna perhitungan atau sesuatu yang dihitung. Secara bahasa mengandung pengertian hari-hari haidh atau hari-hari suci pada wanita. Sedangkan secara istilah, „iddah mengandung arti masa menunggu bagi wanita untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan suaminya, baik cerai hidup atau cerai mati, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya atau berpikir bagi suami. Para ulama mendefinisikan „iddah sebagai masa waktu untuk menanti kesucian seorang istri yang ditinggal mati atau diceraikan oleh suami, yang sebelum habis masa itu dilarang untuk dinikahkan (Nuruddin, 2004: 240), sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur‟an Surat Al Baqarah ayat 228:
ُ ََٗ ۡٱى َُطَيَّ َٰق ۡ ج ٌَخَ َشب َّص َِ بِأَّفُ ِس ِٖ َِّ ثَ َٰيَثَتَ قُش ُٓٗ ٖۚء َٗ ََل ٌَ ِذوُّ ىَٖ َُِّ أَُ ٌَ ۡنخَُۡ َِ ٍَب ٓ ۡ ًِ ٘ۡ ٍَٱَّللِ َٗ ۡٱى َّ ِٱَّللُ فِ ًٓ أَ ۡس َدب ٍِ ِٖ َِّ إُِ ُم َِّ ٌ ُۡؤ ٍِ َِّ ب َّ ق ُّ ٱِل ِخ ٖۚ ِش َٗبُعُ٘ىَخُٖ َُِّ أَ َد ق َ ََخي ۡ ِل إِ ُۡ أَ َسا ُد ٓٗ ْا إ ُٗف َ ِبِ َش ِّد ِٕ َِّ فًِ َٰ َرى ِ ٖۚ ص َٰيَ ٗذ ٖۚب َٗىَٖ َُِّ ٍِ ۡث ُو ٱىَّ ِزي َعيَ ٍۡ ِٖ َِّ بِ ۡٱى ََ ۡعش َّ َٗ تٞۗ به َعيَ ٍۡ ِٖ َِّ َد َس َج ٌٌ ٍٱَّللُ َع ِضٌ ٌض َد ِن َ َٗىِيش ِ ِّج Artinya: "Wanita-wanita yang di talaq hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan Hari Akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi
3
para suami, mempunyai satu tingkatan lebih daripada istrinya. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana." (Kementerian Agama, 2007: 36). „Iddah disyariatkan bagi perempuan tersebut karena dalam hukum „Iddah mengandung banyak kemaslahatan yang kembali kepada suami isteri, keluarga, dan masyarakat. Kemaslahatan „iddah adalah untuk melindungi dan memelihara keturunan dari ketercampuran dari laki-laki
lain yang akan
dinikahi. „Iddah adalah hal yang sangat penting karena menyangkut sah dan tidaknya suatu pernikahan, hingga dalam dalam suatu masalah juga menyangkut sah dan tidaknya anak. „Iddah menyangkut jangkauan masa. Maka diperlukan perhitungan dalam menentukanya. Yang dimaksud jangkauan masa adalah awal sampai akhir. Kapan awal dimulai awal „iddah dan kapan „iddah itu selesai. Dalam Al Qur‟an banyak dijelaskan mengenai jangkauan masa „iddah. Sedangkan dalam KHI Pasal 153 ayat 4 berbunyi: Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami. Jadi dalam penentuanyapun tinggal mencari awal jatuhnya masa „iddah. Redaksi kalimat dalam Model A.III.3 (akta cerai) adalah sebagai berikut : “Panitera Pengadilan Agama/ Mahkamah Syari‟ah*) . Ambarawa . . . . . . . . . menerangkan, bahwa pada hari ini . . Jumat . . . , tanggal 04 Oktober 2013 M, bertepatan dengan tanggal . . 29 Dzulqa‟dah 1434 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .H,
4
berdasarkan . . Putusan Pengadilan Agama Ambarawa. . . . . . . . . . . . . . Nomor. . 0592/Pdt.G/2013/PA.Amb. tanggal . . 2 September 2013. . . . M, yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, telah terjadi perceraian antara: . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Kalimat diatas terdapat dua tanggal, yaitu tanggal atas 04 Oktober 2013 dan tanggal bawah 2 September 2013. Dalam pelaksanaanya di KUA Kecamatan Sumowono dan KUA Kecamatan Tuntang terdapat perbedaan dalam menentukan awal masa „iddah. Di KUA Sumowono awal masa „iddah dihitung berdasar tanggal bawah sedangkan di KUA Tuntang awal masa „iddah dihitung berdasar tanggal atas dalam akta cerai. Selisih antara tanggal atas dan bawah dalam akta cerai tidak pasti, paling cepat dua minggu dan bisa sampai berbulan-bulan. Selisih inilah yang menjadi pertanyaan, karena jika penentuan awal masa „iddah-nya berbeda maka akhir „iddah-nyapun akan berbeda. Apabila di KUA Sumowono yang menggunakan tanggal bawah, maka akhir masa „iddah jatuh lebih cepat dibandingkan KUA Tuntang. Permasalahannya timbul ketika janda akan menikah lagi. KUA Sumowono awal masa „iddah jatuh di tanggal 2 September 2013 sedangkan di KUA Tuntang yang lebih lama jatuh pada tanggal 04 Oktober 2013. Untuk mengetahui perbedaan dalam menetapkan perhitungan awal masa „iddah di KUA Sumowono dan KUA Tuntang maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “PENENTUAN AWAL MASA
5
„IDDAH DALAM AKTA CERAI (Studi komparatif KUA Sumowono dan KUA Tuntang)”
B. Fokus Penelitian Dalam proses penelitian ini penulis akan berusaha untuk mencari, meneliti dan mengkaji lebih dalam mengenai penetapan awal masa „iddah dari segi materi maupun dalam tataran praktis di lingkungan KUA ataupun di lingkungan masyarakat. Pada dasarnya kurangnya pengetahuan mengenai aturan mengenai pernikahan terutama dalam masalah „iddah dapat mempengaruhi sah dan tidaknya pernikahan seseorang. Untuk itu membutuhkan peran serta para ulama dan pemerintah khususnya dalam menyalurkan ilmunya dan menerapkan suatu aturan yang sudah ada agar mereka yang kurang memahami terhindar dari suatu perzinahan. Berdasarkan
latar
belakang
masalah
diatas
dapat
dirumuskan
permasalahan sebagai berikut: 1.
Bagaimana penentuan awal masa „iddah menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)?
2.
Bagaimana kesesuaian penentuan awal masa „iddah di KUA Sumowono dan KUA Tuntang dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI)?
C. Tujuan Penelitian Tujuan Penyusunan skripsi ini adalah:
6
1.
Untuk mengetahui kesesuaian penentuan awal masa „Iddah menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
2.
Untuk mengetahui kesesuaian penentuan awal masa „Iddah di KUA Sumowono dan KUA dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
D. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan yang penulis harapkan, diantaranya adalah sebagai berikut: a.
Secara teoritis Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat untuk memperkaya wacana keilmuan dalam bidang Hukum Islam dan juga menambah bahan pustaka bagi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, khususnya dalam masalah penetapan awal masa „iddah dan diharapkan memberi pemahaman baru yang lebih komprehensif mengenai penetapan awal masa „iddah.
b. Secara Praktis 1.
Secara praktis diharapkan dari kajian ini dapat dijadikan pola pengembangan wacana baru mengenai penentuan awal masa „iddah.
2.
Sebagai sumbangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan sebagai sumbangan ilmu hukum pada khususnya, terutama terhadap masalah yang berkaitan dengan penetapan awal masa „iddah.
7
3.
Sebagai bahan dan penelitian awal untuk dilakukan penelitianpenelitian selanjutnya mengenai Penentuan awal masa „iddah.
E. Telaah Pustaka Masalah
kontemporer
merupakan
permasalahan
menarik
untuk
diperbincangkan, selain aktual juga merupakan realita yang harus dihadapi dan menjadi tantangan tersendiri bagi bagi para ilmuwan dan ulama. Permasalahan-permasalahn itu selalu muncul seiring dengan kemajuan dan perkembangan zaman. Berdasarkan beberapa literatur yang penyusun telusuri, ada beberapa skripsi dan buku yang relevan dengan judul yang dibahas. Skripsi dan bukubuku yang dimaksud diantaranya: skripsi yang dengan judul Analisis Komparatif Tentang Metode Penetapan Masa Iddah dalam KHI dan UU Nomor 1 Tahun 1974 karya Romadhonul Akhir pada tahun 2013. Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa sebaiknya masa „Iddah dimulai setelah adanya keputusan pengadilan tentang terjadinya perceraian dinyatakan di depan sidang pengadilan. Kedua, skripsi yang disusun oleh Muhammad Fahmi Rois pada tahun 2013 dengan judul Penentuan Awal Masa „Iddah menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI). Hasil dari penelitian ini adalah menunjukkan bahwa awal masa „iddah menurut fiqh dimulai setelah katakata talaq diucapkan tanpa perlu adanya persidangan sedangkan menurut KHI awal masa „iddah dimulai sejak ada keputusan yang tetap dari Pengadilan Agama.
8
Dari beberapa karya ilmiah yang telah penyusun telusuri belum ada yang secara jelas mengemukakan masalah „iddah di dua KUA, dengan pembahasan yang lebih mendalam terhadap penentuan awal „iddah. Oleh karena itu penyusun tertarik mencoba membahas masalah tersebut dengan beberapa literatur yang dapat mendukung terselesaikannya penyusunan penelitian. Besar harapan dapat menghasilkan karya ilmiah yang baik.
F. Penegasan Istilah Agar di dalam penulisan ini tidak terjadi penafsiran yang berbeda dengan maksud penulis, maka penulis akan menjelaskan istilah-istilah di yang dugunakan dalam penulisan skipsi ini. Istilah-istilah yang perlu penulis jelaskan adalah sebagai berikut diantaranya: 1. Pengertian „Iddah Kata „Iddah berasal dari bahasa arab " ;عذةwaktu menunggu". Secara terminologi „iddah adalah masa tunggu bagi wanita yang ditinggal mati atau bercerai dari suaminya untuk memungkinkan melakukan perkawinan lagi dengan laki-laki lain (Basyir, 1996: 86). Seluruh kaum muslimin sepakat atas wajibnya „iddah. Pada sebagian landasan pokoknya diambil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul. Yang diambil dari kitabullah adalah ayat berikut ini:
ُ ََٗ ْاى َُطَيِّق بث ٌَخَ َشبَّصْ َِ بِب َ ّْفُ ِس ِٖ َِّ ثَ َثَتَ قُش ُْٗ ٍء
9
Artinya: Wanita-wanita yang ditalaq (menunggu) tiga kali kuru‟ (QS. 2: 228).
hendaklah
menahan diri
Sedangkan yang berasal dari Sunnah Rasul adalah sabda Nabi kepada Fatimah binti Qays, “Ber-‟iddah-lah engkau di rumah Ibn Ummi Maktum.” Pembahasan ini mencakup persoalan „iddah seorang wanita yang ditalaq atau di-fasakh nikahnya oleh suaminya, „iddah wanita yang ditinggal mati suaminya, „iddah wanita yang dicampuri karena syubhat, penyucian diri wanita zina, dan „iddah wanita yang suaminya menghilang (Mughniyah, 1994: 190). Lamanya masa tunggu sangatlah beerfariasi, tergantung pada kondisi seseorang wanita itu ketika bercerai dengan suaminya. Seorang wanita yang ditinggal mati suaminya „iddah-nya berbeda dengan wanita yang dicerai suaminya. Begitu pula seorang wanita yang dicerai suaminya dalam keadaan hamil berbeda dengan wanita ayang dicerai dalam keadaan hamil dan wanita belum digauli berbeda „iddah-nya dengan wanita yang sudah digauli.
2. Pengertian penentuan awal masa „Iddah Penulis membedakan antara penentuan dan penetapan, karena menurut penulis KUA hanya sebagai instansi yang menentukan tanggal dimulainya awal masa „iddah sedangkan yang menetapkan tanggalnya yang berkekuatan hukum tetap adalah Pengadilan Agama. Pengertian awal masa „iddah adalah penentuan kapan hari pertama seseorang menyandang masa „iddah. „Iddah yang ingin dibahas pada
10
penelitian ini adalah „iddah bagi seoarang wanita yang putus perkawinanya karena cerai gugat (khulu‟). Dalam akta cerai gugat terdapat dua tanggal yaitu tanggal atas dan tanggal bawah. Tanggal atas adalah tanggal pembacaan ikrar talaq atau tanggal putusan yang berkekuatan hukum tetap, sedangkan tanggal bawah adalah tanggal jatuhnya putusan.
G. Metode Penelitian Metode penelitian yang akan penyusun gunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah: 1. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian lapangan (field research) dalam pelaksanaanya menggunakan metode pendekatan kualitatif deskriptif, yang umumnya menggunakan strategi multi metode yaitu, wawancara, pengamatan, serta penelaahan dokumen/ study documenter yang antara satu dengan yang lain saling melengkapi, memperkuat, dan saling menyempurnakan (Sukmadinata, 2005: 108). 2. Kehadiran Peneliti Penelitian dan pengumpulan data-data di KUA Sumowono di dan KUA Tuntang dimulai tanggal penyusunan laporan hasil penelitian.
11
14 Juni 2015 sampai selesainya
3. Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di KUA Sumowono dan KUA Tuntang. Adapun alasan pemilihan tempat adalah karena keduanya terkait dengan masalah penentuan awal masa „iddah. Upaya peningkatan dan pemahaman mengenai Hukum Islam dan khususnya mengenai penetapan awal masa „iddah harus secara berlanjut dikembangkan. Agar tidak terjadi kesenjangan antara norma hukum positif dan norma yang berkembang di masyarakat.
4. Sumber Data Data merupakan suatu fakta atau keterangan dari objek yang diteliti. Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ini adalah kata-kata, tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen lain (sumber data tertulis, foto, dll) (Moleong, 2007: 157). Sumber data tersebut adalah Akta cerai gugat yang ada di KUA Sumowono. Sumber data dibagi menjadi dua, yaitu: a. Data Primer Data atau informasi yang diperoleh langsung dari orang-orang yang terlibat atau mengetahui seluk beluk persoalan. Masukan data ini diperoleh data melalui wawancara kepada Kepala KUA Sumowono dan Kepala KUA Tuntang dan para pihak yang bersangkutan. Sedangkan dalam pengambilan data dilakukan dengan
12
bantuan catatan lapangan. Sementara itu observasi dilakukan dengan melakukan pengamatan di KUA Sumowono dan KUA Tuntang. b. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber lain selain data primer. Diantaranya Al-Qur‟an, Hadits, kitab kitab ringkasan, buku-buku literatur, internet, arsip, dokumen pribadi, dan dokumen resmi lembaga-lembaga yang terkait dengan penelitian ini. Data tersebut diantaranya buku-buku referensi. Buku-buku referensi ialah koleksi buku yang memuat informasi yang spesifik, paling umum, serta paling banyak dirujuk untuk keperluan cepat. Yang termasuk buku-buku referensi diantaranya kamus, baik umum ataupun biografi, buku indeks, buku biografi yang berisi informasi buku-buku bidang atau aspek tertentu, dan sebagainya (Mestika, 2004: 10).
5. Prosedur Pengumpulan Data Metode-metode yang digunakan dalam pengumpulan data yang diperlukan, yaitu: a. Metode wawancara mendalam (depth interview) Dalam metode ini penulis menggunakan teknik interview guide, yaitu cara pengumpulan data dengan menyampaikan secara lengsung daftar pertanyaan yang telah disusun sebelumnya guna memperoleh
13
jawaban yang langsung pula dari para responden (Koentjaraningrat, 1986: 138). Adapun wawancara yang dilakukan ditujukan kepada Kepala KUA Sumowono dan Kepala KUA Tuntang. b.
Metode Dokumentasi Metode dokumentasi adalah metode pengumpulan data dengan cara membaca dan mengutip dokumen-dokumen yang ada, berkaitan dan relevan. Dalam melaksanakan metode ini, peneliti menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku, peraturan rapat, catatan harian, agenda kegiatan, dan sebagainya (Arikunto, 1995: 236). Metode ini digunakan untuk memperoleh data, sejarah, dan seluk beluk yang terkait dengan KUA Sumowono dan KUA Tuntang.
c. Metode Observasi Metode observasi adalah metode pengumpulan data dengan jalan pengamatan dan pencatatan secara langsung dengan sistematis terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki. Sedangkan teknik observasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah terjun langsung ke lapangan yang akan diteliti.
6. Analisis Data Setelah data terkumpul, penyusun berusaha mengklarifikasikan untuk menganalisis, sehingga diperoleh kesimpulan akhir. Adapun
14
metode analisis data yang akan dipakai untuk menganalisis dalam pembahasan ini adalah, data kualitatif dengan menggunakan metode berfikir deduksi yaitu: analisa dari data-data yang bersifat umum, kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. 7. Pengecekan Keabsahan Data Dalam hal pengecekan keabsahan data penelitian terhadap beberapa kriteria keabsahan data yang nantinya akan dirumuskan secara tepat. Teknik pemeriksaan, yaitu dalam penelitian ini harus terdapat kredibilitas yang dibuktikan dengan ketekunan pengamat, triangulasi, pengecekan sejawat, kecukupan referensi, adanya kriteria kepastian dengan teknik uraian rinci dan audit kepastian. Untuk mengetahui apakah data yang telah dikumpulkan dalam penelitian memiliki tingkat kebenaran atau tidak, maka dilakukan pengecekan data yang disebut dengan validasi data. Untuk menjamin validitas data akan dilakuakn triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong, 2006: 330). Validitas data akan membuktikan apakah data yang diperoleh sesuai dengan apa yang ada di lapangan atau tidak. Dengan demikian data yang diperoleh dari suatu sumber akan dikontrol oleh data yang sama dari sumber yang berbeda. 8. Tahap-tahap Penelitian
15
Tahap-tahap yang dilakukan dalam Penelitian kualitatif adalah sebagai berikut: a.
Tahap sebelum lapangan, yaitu hal-hal yang dilakukan sebelum melakukan Penelitian seperti pembuatan proposal Penelitian, mengajukan surat ijin Penelitian, menetapkan fokus Penelitian dan sebagainya yang harus dipenuhi sebelum melakukan Penelitian.
b.
Tahap pekerjaan
lapangan, yaitu mengumpulkan data melalui
pengamatan secara teoritis mengenai penentuan awal masa „iddah di KUA Sumowono dan KUA Tuntang. c.
Tahap analisa data, apabila semua data telah terkumpul dan dirasa cukup maka tahap selanjutnya adalah menganalisis data-data tersebut dan mengambarkan hasil penelitian sehingga bisa memberi arti pada objek yang diteliti.
d.
Tahap penulisan laporan, yaitu jika semua data telah terkumpul dan telah dianalisis serta dikonsultasikan kepada pembimbing maka yang dilakukan Peneliti selanjutnya adalah menulis hasil penelitian tersebut sesuai dengan pedoman penulisan yang telah ditentukan (Moloeng, 2008: 127-148).
H. Sistematika Pembahasan Untuk memberikan gambaran yang menyeluruh dan terpadu dalam pembahasan penelitian ini, penyusun membagi kedalam beberapa bab dan masing-masing bab mencakup beberapa sub bab yang berisi sebagai:
16
1.
BAB I berisi pendahuluan untuk mengantarkan pembahasan skripsi secara keseluruhan. Bab ini terdiri dari delapan sub bab: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, telaah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
2.
Bab II akan dideskripsikan tinjauan umum tentang „iddah. Bab ini terdiri dari beberapa sub bab, antara lain: pengertian dan dasar hukum „iddah, tujuan dan hikmah disyariatkannya „iddah, macam-macam „iddah, hak dan kewajiban perempuan dalam masa „iddah, pendapat ulama tentang „ iddah.
3.
BAB III memuat uraian tentang data dan temuan yang dapat diperoleh di KUA Sumowono dan KUA Tuntang, hasil wawancara dengan kepala KUA berupa pemahaman mendalam mengenai penentuan awal masa „iddah.
4.
BAB IV akan diberikan analisis terhadap Penentuan Awal Masa „iddah di Indonesia menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) (Studi Komparatif KUA Sumowono dan KUA Tuntang), yang berisi hasil wawancara dengan kepala KUA Sumowono dan Kepala KUA Tuntang, pemahaman tentang penetapan awal masa „iddah, analisis terhadap kesesuaian konsep penentuan awal masa „iddah menurut Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam.
5.
BAB V sebagai penutup akan diberikan kesimpulan akhir disertai dengan saran-saran.
17
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ‘IDDAH
A.
‘Iddah Menurut Fiqh Bagi istri yang putus hubungan perkawinan dengan suaminya baik karena di talak atau karena ditinggal mati suaminya, mempunyai akibat hukum yaitu „iddah. Keharusan ber-„iddah merupakan perintah Allah yang dibebankan kepada bekas istri yang telah dicerai. Untuk memudahkan pembahasan kita mengenai „iddah, maka akan diterangkan pengertian, dasar hukum, macam-macam dan perhitungan „iddah, sebagai berikut: 1.
Pengertian ‘Iddah „Iddah merupakan kewajiban yang harus dijalani oleh perempuan yang putus perkawinannya. Pengertian „iddah dikelompokkan menjadi dua yaitu: a.
Secara Etimologi „Iddah adalah bahasa arab yang yang berasal dari akar kata „adda- ya‟uddu- „iddatan dan jamaknya adalah „idad, secara arti kata (etimologi) berarti menghitung atau hitungan. Kata ini digunakan untuk maksud „iddah karena dalam masa itu si perempuan yang ber„iddah menunggu berlalunya waktu (Syarifudin, 2006: 303). Wahbah Zuhaili mengemukakan:
18
ٍَأْ ُخ٘ َرةٌ ٍِ َِ ْاى َع َذ ِد ِ َِل ْشخِ ََبىَِٖب َعيَى,صب ُء َ ْ اَ ْ د: ًٕٗ ىغت َع َذ ِد اِلَ ْق َشا ِء اَ ِٗ ْاَلَ ْشٖ ُِش Artinya: “„Iddah secara bahasa adalah menehan, terambil dari kata Adad (bilangan) karena mencakup atas bilangan dari beberapa quru‟ dan beberapa bulan menurut kebiasaan.”
Sayyid Sabiq (1987: 150) memaparkan:
صٍ ِٔ اى ََشْ أ ْة َ ْ ٍَأْ ُخ٘ َرةٌ ٍِ َِ ْاى َع َذ ِد ا ْ د:اىع ّذة ِ ْ أَي ٍب حُذ:صب ُء َٗحَ ُع ُّذُٓ ٍِ ِْ اِلٌ َِّبً َٗ ْاِل ْق َشا ِء Artinya: “„Iddah terambilkan dari kata „Adad, artinya menghitung, maksudnya perempuan yang menghitung hariharinya dan masa bersihnya.” Dari beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli fiqh tersebut dapat dipahami bahwa pengertian „iddah dari segi bahasa berasal dari kata „adda yang berarti bilangan, menghitung, dan menahan. Maksudnya perempuan menghitung hari- harinya dan masa bersihnya setelah diceraikan suaminya. b.
Secara Terminologi Kata „iddah dalam bahasa Arab berasal dari kata al-„add yang berarti “perhitungan”. Dalam Terminologi syari‟ah, „Iddah berarti jangka waktu tertentu yang ditentukan Allah setelah perceraian ketika seorang wanita tidak boleh menikah hingga ia melewati masa
19
tersebut (Kamal, 2007: 257). Menurut Sayuti Thalib, pengertian kata „iddah dapat dilihat dari dua sudut pandang: 1)
Dilihat dari segi kemungkinan keutuhan perkawinan yang telah ada, suami dapat rujuk kepada istrinya. Dengan demikian, kata „iddah dimaksudkan sebagai suatu istilah hukum yang mempunyai arti tenggang waktu sesudah jatuh talak, dalam waktu mana pihak suami dapat rujuk kepada istrinya.
2)
Dengan demikian dilihat dari segi istri, masa „iddah itu akan berarti sebagai suatu tenggang waktu dalam waktu mana istri belum dapat melangsungkan perkawinan dengan pihak laki-laki lain. (Nurrudin, 2004: 241). „Iddah adalah masa tunggu wanita yang ditinggal mati atau
bercerai dari suaminya untuk memungkinkan melakukan perkawinan lagi dengan laki-laki lain (Basyir, 1996: 86). Para ulama mendefinisikan „iddah sebagai nama waktu untuk menanti kesucian seorang istri yang ditinggal mati atau diceraikan oleh suami, yang sebelum habis masa itu dilarang untuk dinikahkan. (Nurrudin, 2004:240). Mengenai definisi „iddah secara terminologi terdapat beberapa redaksi yang berbeda dari para fuqoha‟ sesuai dengagn sudut pandang masing- masing. Diantaranya ada yang mengemukakan definisi „iddah dengan menekankan pada tujuan „iddah, dan sebab „iddah.
20
Abi Yahya Zakaria al Anshari mengemukakan pengertian iddah mnurut istilah yaitu:
ْٗ َْشفَ ِت بَ َشا َء ِة َسدْ ََِٖب ا ِ َٗ ِٕ ًَ ٍُ َّذةٌ ٌَخَ َشبَّصْ َْب فِ ٍَْٖب ْاى ََشْ أَةَ ىِ ََع ىِيخَّ َعبُّ ِذ اَ ْٗىِخَّفَجُّ ِعَٖب َعيى َص ْٗ ِجَٖب Artinya:”„Iddah adalah masa menunggu seorang perempuan untuk mengetahui kebersihan rahimnya atau untuk melaksanakan ibadah atau untuk meghilangkan rasa duka karena kematian suami.” Definisi „iddah yang dikemukakan oleh Abi Yahya Zakaria al Anshari tersebut lebih mengutamakan tujuan „iddah. Adapaun tujuan „iddah menurut Abi Yahya Zakaria al Anshari adalah untuk mengetahui
kebersihan
rahim
seorang
perempuan,
untuk
melaksanakan ibadah, dan untuk menghilangkan rasa duka bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya (Wahyudi, 2009: 10). Sayyid Sabiq (1987: 150) memberikan definisi tentang „iddah sebagai berikut:
ِِ ض ُش فِ ٍَْٖب اَ ْى ََشْ اَةُ ٗحَ َْخَِْ ُع َع ِ ََٗ ِٕ ًَ اِ ْس ٌُ اى ِع َّذةُ اىَّخِى حَ ْْخ ِٔ ِ اَ ْٗفِ َشاق,ْج بَ ْع َذ َٗفَب ِة َص ْٗ ِجَٖب ِ ٌِٗ اىخَّ ْض Artinya: “Iddah adalah nama dari suatu masa, dimana seorang perempuan dalam masa itu menunggu dan menahan diri dan melangsungkan pernikahan setelah suaminya wafat atau dicerai oleh suaminya.
21
Sayyid Sabiq dalam mengemukakan pendapatnya tentang definisi „iddah lebih menekankan pada sebab „iddah, dimana „iddah merupakan masa menunggu bagi perempuan. Selama masa tunggu perempuan itu tidak boleh kawin dengan laki- laki lain. Adanya „iddah desebabkan oleh kematian suami atau karena perceraian. Sedangkan Ismail al-Shan‟ani menjelaskan pengertian „iddah adalah ( ٍذة حخشبّص فٍٖب اىَشاةmasa tunggu) yang dilalui oleh seorang perempuan. Definisi ini masih perlu penjelasan mengenai apa yang ditunggu, kenapa menunggu, dan untuk apa menuggu. Adapun definisi Ismail al-Shan‟ani yang menjawab apa yang ditunggu dan kenapa menuggu sebagai berikut:
ْج بَ ْع َذ َٗفَب ِة ِ ٌِٗ اس ٌٌ ىِ َُ َّذ ٍة حَخَ َشبَّصُ فِ ٍَْٖب ْاى ََشْ أةَ َع ِِ اىخَّ ْض َص ْٗ ِجَٖب َٗفِ َشاقِ ِٔ ىََٖب Artinya: “Nama bagi suatu masa yang seorang perempuan menunggu dalam masa itu kesempatan untuk kawin lagi karena wafatnya suaminya atau bercerai dengan suaminya.” Definisi untuk apa dia menunggu dapat ditemukan dalam definisi dibawah ini, yang bunyinya:
ف بَ َشاا ِت َسدْ ََِٖب اَ ْٗ ىيخّ َعبُّ ِذ ِ ْش ِ ٍُ َّذة حَخَ َشبَّصْ فِ ٍَْٖب ْاى ََشْ أَةَ ىِخَع Artinya: “Masa tunggu yang baru harus dilalui oleh seorang perempuan untuk mengetahui bersihnya rahim perempuan itu atau untuk beribadah” (Syarifuddin, 2006: 304).
22
Sesmentara itu ulama Hanafiah sebagaimana yang dikutip oleh Abdurrahman Al-Jaziri berpendapat bahwa definisi „iddah adalah:
بح ٍ َٗ اََّّٖب حَ َشبُّصُ ٍُ َّذةٌ ٍَ ْعيُ٘ ٍَ ٍت حَ ْي َض ًُ ْاى ََشْ أَةَ بَ ْع َذ َص ِ اه اىِّْ َن ث َ ِ ْ٘ ََ ٘ه اَ ِٗ ْاى ِ ص ِذ ٍْذًحب اَ ْٗ ُس ْبَٖتًح اَ ِٗاىخَأ َ َّم ِذ بِب ى ُّذ ُخ Artinya: “„Iddah adlah masa menunggu bagi seorang perempuan yang harus dilaksanakannya setelah putusnya perkawinan, baik perkawinan secara sah ataupun secara shubhat atau apabila ia yakkin telah terjadi dukhul atau karena kematian.” Menurut ulama Hanafiah, „iddah diwajibkan karena putusnya suatu perkawinan secara sah atau shubhat dengan syarat telah terjadi hubungan suami istri. Beranjak dari bebrapa definisi yang dipaparkan oleh para ulama tersebut dapat dirumuskan bahwa „iddah menurut syariat Islam ialah masa tunggu bagi seorang perempuan yang pada masa tersebut ia dilarang kawin dengan laki-laki lain. Masa tunggu ini dijalani karena ada sebab yaitu isteri yang ditalak oleh suaminya dan telah digauli atau isteri yang ditinggal mati oleh suaminya.
2.
Dasar Hukum ‘Iddah Aturan „iddah ditujukan bagi perempuan yang bercerai dari suaminya, tidak ditujukan bagi laki-laki atau suami. Perempuan yang dicerai suami
23
dalam bentuk apapun, cerai mati atau hidup, sedang hamil atau tidak, nasih berhaid atau tidak, wajib menjalani „iddah. Seluruh imam mazhab sepakat atas wajibnya „iddah, landasan dasarnya terdapat pada Al-Qur‟an dan Hadist. a. Dasar hukum dari firman Allah SWT dapat dilihat dalam: 1) Surat al Baqarah ayat 228
ُ ََٗ ۡٱى َُطَيَّ َٰق ۡ ج ٌَخَ َشب ََُّص َِ بِأَّفُ ِس ِٖ َِّ ثَ َٰيَثَتَ قُش ُٓٗ ٖۚء َٗ ََل ٌَ ِذوُّ ىَٖ َُِّ أ َّ ِٱَّللُ فِ ًٓ أَ ۡس َدب ٍِ ِٖ َِّ إُِ ُم َِّ ٌ ُۡؤ ٍِ َِّ ب َّ ق ًِ ٘ۡ ٍَٱَّللِ َٗ ۡٱى َ ٌََ ۡنخَُۡ َِ ٍَب َخي ٓ ۡ ۡ ِل إِ ُۡ أَ َسا ُد ٓٗ ْا إ ُّ ٱِل ِخ ٖۚ ِش َٗبُعُ٘ىَخُٖ َُِّ أَ َد ص َٰيَ ٗذ ٖۚب َ ِق بِ َش ِّد ِٕ َِّ فًِ َٰ َرى تٞۗ به َعيَ ٍۡ ِٖ َِّ َد َس َج َ ُٗف َٗىِيش ِ ٖۚ َٗىَٖ َُِّ ٍِ ۡث ُو ٱىَّ ِزي َعيَ ٍۡ ِٖ َِّ بِ ۡٱى ََ ۡعش ِ ِّج َّ َٗ ٌٌ ٍٱَّللُ َع ِضٌ ٌض َد ِن Artinya: "Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan Hari Akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan lebih daripada istrinya: Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana" (Departemen Agama, 1998: 28).
Firman Allah SWT diatas menjelaskan kewajiban ber-„iddah bagi perempuan yang di talak, yaitu tiga kali quru‟. Asbabun nuzul
24
ayat ini berkaitan erat dengan Asma binti Yazid bin Sakan al Anshariyah. Dia pada waktu diceraikan oleh suaminya di zaman Rasalullah SAW disaat itu belum ada hukum „iddah bagi seorang perempuan yang diceraikan suaminya dan untuk memberikan penjelasan tentang betapa pentingnya masa „iddah sebab dengan demikian dapat diketahui apakah perempuan yang diceraiakn itu dalam keadaan hamil atau tidak.
2) Surat Al-AhzabSurat al-Baqarah ayat 234:
ۡ ُُٗ أَ ۡص َٰ َٗ ٗجب ٌَخَ َشب َِّ ِٖ َّص َِ بِأَّفُ ِس َ ٌِ ٌُخَ َ٘فَّ ۡ٘ َُ ٍِْ ُنٌۡ ٌََٗ َزس َ َٗٱىَّ ِز بح َعيَ ٍۡ ُنٌۡ فٍِ ََب َ َْأَ ۡسبَ َعتَ أَ ۡشُٖش َٗ َع ۡش ٗش ۖا فَئ ِ َرا بَيَ ۡغ َِ أَ َجيَٖ َُِّ فَ َ ُج َّ َٗ ُٗف ُ٘ َخبٍِش َ ُٱَّللُ بِ ََب حَ ۡع ََي ِ ٞۗ فَ َع ۡي َِ فِ ًٓ أَّفُ ِس ِٖ َِّ بِ ۡٱى ََ ۡعش Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber‟iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis „iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat” (Departemen Agama, 1998: 30).
Ayat di atas menjelaskan bahwa isteri yang kematian suaminya wajib ber-„iddah empat bulan sepuluh hari. Kewajiban „iddah ini juga berlaku terhadap perempuan yang ditinggal mati suaminya meskipun mereka belum bercampur sebagai suami isteri.
25
3) Surat at –Talak ayat 4
َۡ َِ ٍِ َِ َٗ َٰٱىَّٓـًِ ٌَئِ ۡس ٍُض ٍِِ ِّّ َسبٓاِ ُنٌۡ إِ ُِ ۡٱسحَ ۡبخٌُۡ فَ ِع َّذحُٖ َُِّ ثَ َٰيَثَت ذ َ ٱى ِ ِ ٓ َٰ َٰ ُ ٖۚ ۡ َ َ َ َّ ُ َ َ ُ ۡ ۡ َّ َِ ض ۡع ٌ ُ أ ُِ ٖ ي ج أ ه ب َ د ٱِل ج ى ٗ أ ٗ ِ ض ذ ٌ ٌۡ ى ً ـ َ ْ َ َ َ ِ َ ِ َ ِ أَ ۡشُٖش َٗٱى َ ٖۚ َّ ق ٱَّللَ ٌَ ۡج َعو ىَّ ۥُٔ ٍِ ِۡ أٍَۡ ِشِۦٓ ٌ ُۡس ٗشا ِ ََّدَۡ يَٖ َُِّ َٗ ٍَِ ٌَخ Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu raguragu (tentang masa iddahnya), Maka masa „iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu „iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya” (Departemen Agama, 1998: 446). Dari penjelasan di atas surat at-Talak ini membicarakan tentang lamanya masa „iddah, perempuan-perempuan yang diceraikan oleh suaminya. Perempuan yang tidak haid karena menopause atau karena masih kecil, iddah-nya tiga bulan, dan perempuan yang hamil „iddah-nya sampai melahirkan.
b. Dasar hukum dari hadist Nabi SAW Sedangkan hadist yang mengandung hokum dasar „iddah terdapat pada hadist yang disampaikan Aisyah menurut riwayat Ibnu Majah, bunyinya:
26
ِن ُِنمرت ب ِنري رةُ َع ْان تَععتَع َّد بِنثَعالَع ِن: اِن َع َع َع اَع ث ْا َع ْا َع َع ْا َع ْا ْا َع ْا َع َعْا ( ) ب م جه. ٍض
َع ِن ِن َع
Artinya: “Dari Aswad, dari „Aisyah, ia berkata, “Barirah disuruh (oleh Nabi SAW) supaya ber‟iddah tiga kali haid” (Hadist riwayat ibnu Majah).
ض ًَ َلَاُ َع ُْْٔ فِى اِ ٍْ َشأَ ِة ْاى ََ ْفقُ٘ ِد حَ َشبُّصُ اَسْ بَ ِع ِ ٗ َع ِْ ُع ََش َس ٍِ ثُ ٌَّ حَ ْعخَ ُّذ اَسْ بَ َعتَ اَ ْشٖ ٍُش َٗ َع ْششًحا َ ِِْس Artinya: dari umar ra berkata: bagi perempuan yang kehilangan suaminya dan ia tidak mengetahui dimana suaminya berada, sesungguhnya perempuan itu wajib menunggu empat tahun, kemudian hendaklah ia beriddah empat bulan sepuluh hari.(Hadis riwayat Malik).
Hadist lain yang berkaitan dengan „iddah berasal dari sabda Nabi SAW kepada Fatimah binti Qays, “ber-„iddah-lah engkau di rumah Ibn Ummi Maktum”. Pembahasan mengenai ini mencakup persoalan „iddah seorang wanita yang ditalak atau di- fasakh nikahnya oleh suaminya, „iddah wanita yang ditinggal mati suaminya, „iddah wanita yang dicampuru karena syubhat, penyucian diri wanita zina, dan „iddah wanita yang suaminya menghilang (Mughniyah, 190-191).
27
3.
Tujuan ‘Iddah Setiap perintah Allah pasti memiliki tujuan, begitu juga dengan „iddah. Tujuan diadakannya „iddah adalah sebagai berikut: a. Untuk menunjukkan betapa pentingnya masalah perkawinan dalam ajaran Islam. Perkawinan yang merupakan peristiwa amat penting dalam hidup manusia dan merupakan jalan yang sah untuk memenuhi hasrat naluriah hidup serta dalam waktu sama merupakan salah satu macam ibadah kepada Allah itu jangan sampai mudah diputuskan. Oleh karenanya perkawinan merupakan peristiwa dalam hidup manusia yang harus dilaksanakan dengan cara dewasa; dipikirkan sebelum dilaksanakan dan dipikirkan masak-masak pula apabila terpaksa harus bercerai. b. Peristiwa perkawinan yang demikian penting dalam hidup manusia itu harus diusahakan agar kekal. Dalam hal terpaksa terjadi perceraian pun kekekalan perkawinan masih diinginkan. „Iddah diadakan untuk memberi kesempatan suami isteri kembali lagi hidup berumah tangga, tanpa akad nikah baru. c. Dalam perceraian karena ditinggal mati, „iddah diadakan untuk menunjukkan rasa berkabung atas kematian suami bersama-sama dengan keluarga suami. Dalam hal ini factor psikologis yang menonjol. d. Perceraian yang terjadi antara suami isteri yang pernah melakukan hubungan kelamin, „iddah diadakan untuk meyakinkan kekosongan
28
rahim, untuk menjaga agar jangan sampai terjadi percampuran/ kekacauan neasab bagi anak yang dilahirkan ( Basyir, 1996: 86).
4.
Macam dan Perhitungan ‘Iddah Berdasarkan penjelasan tentang „iddah yang terdapat dalam nas al Qur‟an maka para fuqaha dalam kitab-kitab fikih membagi „iddah menjadi tiga yaitu berdasarkan masa haid atau suci, bilangan bulan dan dengan melahirkan. Kalau dicermati penentuan „iddah itu sendiri sebenarnya Berdasarkan penjelasan tentang „iddah yang terdapat dalam nas al- Qur‟an maka para fuqaha dalam kitab-kitab fikih membagi „iddah menjadi tiga yaitu berdasarkan masa haid atau suci, bilangan bulan dan dengan melahirkan. Kalau dicermati penentuan „iddah itu sendiri sebenarnya. disesuaikan dengan sebab putusnnya perkawinan, keadaan isteri dan akad perkawinan. Sebab putusnya perkawinan dapat dibedakan karena kematian suami, talaq bain sughra maupun kubra dan faskh (pembatalan) seperti murtadnya suami atau khiyar bulug perempuan. Keadaan isteri dapat dibedakan menjadi isteri yang sudah dicampuri atau belum, isteri masih mengalami haid atau belum bahkan sudah menopause, isteri dalam keadaan hamil atau tidak, isteri seorang yang merdeka atau dari hamba sahaya, dan isteri seorang muslim atau kitabiyah.
29
Sedangkan ditinjau dari jenis akad maka dapat dibagi menjadi akad shahih dan akad fasid. Secara umum maka „iddah dapat dibedakan sebagai berikut : 1. „Iddah seorang isteri yang masih mengalami haid yaitu dengan tiga kali haid 2. „Iddah seorang isteri yang sudah tidak haid (menopause) yaitu tiga bulan 3. „Iddah seorang isteri yang ditinggal mati oleh suaminya adalah empat bulan sepuluh hari jika ia tidak dalam keadaan hamil 4. „Iddah seorang isteri yang hamil yaitu sampai melahirkan.
Adapun secara rinci pembagian „iddah dapat dijelaskan sebagai berikut: Ditinjau dari sebab-sebab putusnya perkawinan dan keadaan isteri „iddah dibagi menjadi ke dalam beberapa macam. Masing-masing lama perhitungan masanya tersendiri. a.
„Iddah wafat / Cerai mati Para ulama mazhab sepakat bahwa „iddah wanita yang ditinggal mati suaminya, sedangkan dia tidak hamil adalah empat bulan sepuluh hari baik wanita tersebut sudah dewasa maupun masih anakanak, dalam usia menopousa atau tidak, dan sudah dicampuri atau belum. Sementara itu jika putusnya perkawinan disebabkan karena kematian suami maka apabila isteri dalam keadaan hamil „iddah-nya
30
sampai melahirkan. Mayoritas ulama menurut berpendapat bahwa masa „iddah perempuan tersebut adalah sampai melahirkan, meskipun selisih waktu kematian suami hingga ia melahirkan hanya setengah bulan atau kurang dari empat bulan sepuluh hari. Sementara menurut Malik dan Ibn „Abbas dan Ali bin Abi Talib masa „iddah perempuan tersebut diambil waktu yang terlama dari dua jenis „iddah tersebut apakah empat bulan sepuluh hari atau sampai melahirkan (Rusyd, 2006: 77) Ini didasarkan atas firman Allah yang berbunyi :
ِن ِن ص َع بِنَعنْا ُف ِنس ِنه َّ َعْاربَع َعع َع َعو اَّذيْا َع يُتَع َعفَّ ْا َعن مْان ُك ْام َعو يَع َعذ ُرْاو َعن َعْازَعو ًج يَّتَع َعربَّ ْا ،َع ْاش ُه ٍضر َّو َع ْا ًر Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber‟iddah) empat bulan sepuluh hari. (Departemen Agama, 2007: 38). Yang demikian itu bila wanita tersebut betul-betul terbukti tidak hamil. Akan tetapi bila diduga hamil atau kemungkinan sedang hamil, maka dia harus menunggu sampai diamelahirkan anaknya atau diperoleh kepastian bahwa dia betil-betul tidak hamil. demikian pendapat mayoritas ulama mazhab (Mugniyyah, 1964: 196). a.
Belum dicampuri Para ulama mazhab sepakat bahwa wanita yang di talak sebelum dicampuri dan sebelum melakukan khalwat, tidak mempunyai „iddah.
31
Namun terdapat perbedaan pendapat pada wanita yang telah berkhalwat namun belum dicampuri. Sebagian mengatakan wajib ber„iddah dan sebagian lain sebaliknya. Hanafi, Maliki dan Hambali berpendapat, apabila suami telah berkhalwat dengannya tetapi tidak sampai dicampuri kemudian ditalak, maka isteri tersebut wajib ber-„iddah. „Iddah-nya sama dengan isteri yang telah dicampuri. Imamiyah dan Syafi‟i berpendapat, khalawat tidak mengakibatkan apapun. Oleh karena itu perempuan yang telah berkhalwat namun belum dicampuri tidak memiliki „iddah. „Iddah bagi perempuan yang belum pernah digauli, dalam hal ini apabila seorang wanita dithalak oleh suaminya, padahal ia belum pernah digauli sama sekali maka tidak ada „iddah bagi perempuan yang dithalak tersebut (Sudarsono, 2010: 145). b.
„Iddah wanita hamil Bagi isteri yang dalam keadaan hamil, „iddah-nya adalah sampai melahirkan, meskipun waktu antara ditinggal mati dan melahirkan kurang dari empat bulan sepuluh hari. Demikian pendapat jumhur fuqaha‟. Menurut pendapat sahabat „Ali bin Abi Thalib, apabila antara kelahiran dan melahirkan kandungan kurang dari empat bulan sepuluh hari. Jumhur fuqaha‟ berpegang kepada dalil Al Qur‟an Surat At Thalaq ayat 4:
32
َۡ َِ ٍِ َِ َٗ َٰٱىَّٓـًِ ٌَئِ ۡس ٍُض ٍِِ ِّّ َسبٓاِ ُنٌۡ إِ ُِ ۡٱسحَ ۡبخٌُۡ فَ ِع َّذحُٖ َُِّ ثَ َٰيَثَت ذ َ ٱى ِ ِ ٓ َٰ َٰ ُ ٖۚ ۡ َ َ َ َّ ُ َ َ ُ ۡ ۡ َّ َِ ض ۡع ٌ ُ أ ُِ ٖ ي ج أ ه ب َ د ٱِل ج ى ٗ أ ٗ ِ ض ذ ٌ ٌۡ ى ً ـ َ ْ َ َ َ ِ َ ِ َ ِ أَ ۡشُٖش َٗٱى َ ٖۚ َّ ق ٱَّللَ ٌَ ۡج َعو ىَّ ۥُٔ ٍِ ِۡ أٍَۡ ِشِۦٓ ٌ ُۡس ٗشا ِ ََّدَۡ يَٖ َُِّ َٗ ٍَِ ٌَخ Artimya: “Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya” (Departemen Agama, 2007: 558). Terpisah dari
ketentuan ayat 234 Surat Al-Baqarah, sedang
sahabat „Ali menggunakan dua ayat tersebut bersama-sama, untuk lebih jelasnya, Al-Qur‟an Surat Al-Baqarah 234 menentukan: “Orangorang yang meninggal dunia diantara kamu dengan meninggalkan isteri-isteri, hendaklah isteri-isteri itu menjalani masa „iddah selama empat bulan sepuluh hari.” Al-Qur‟an surat At-Thalaq ayat 4 menentukan: “Isteri-isteri yang sedang hamil „iddahnya adalah sampai melahirkan kandungan.” Jumhur fuqaha‟ berpendapat bahwa dua buah ayat tersebut masing-masing berdiri sendiri dengan ketentuan hukum yang dikandungnya. Sedang sahabat Ali memandang dua ayat itu berhubungan satu sama lain, isteri yang ditinggal mati suaminya harus menjalani „iddah mana yang terpanjang antara empat bulan sepuluh hari atau melahirkan kandungannya.
33
c.
Sudah dicampuri tidak dalam keadaan hamil 1)
Masih haidh Masa „iddah wanita yang ditalak setelah ia disetubuhi, jika ia masih haid „iddah-nya adalah tiga kali haid/ quru‟ sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah 228:
ُ ََٗ ۡٱى َُطَيَّ َٰق ۡ ج ٌَخَ َشب َّص َِ بِأَّفُ ِس ِٖ َِّ ثَ َٰيَثَتَ قُش ُٓٗ ٖۚء Artinya: “Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru‟” Kata quru‟ dalam ayat diatas bermakna haidh sesuai dengan hadist yang diriwayatkan Aisyah bahwa Ummu Habibah pernah mengalami istihadhah. Ia pun bertanya kepada Rasulullah tentang persoalan itu. Lalu beliau memerintahkan Ummu Habibah untuk meninggalkan shalat di masa haidh-nya. „Iddah tiga quru‟ yaitu bagi wanita yang telah mencapai usia sembilan tahun, tidak hamil, bukan monopouse, dan telah mengalami haidh. Menurut madzhab Maliki dan Syafi‟i gadis yang belum layak (kuat) dicampuri tidak wajib menjalani „iddah, tetapi wajib bagi mereka yang sudah bisa dicampuri sekalipun belum berusia sembilan tahun. Sedangkan Imamiyah dan Hambali berpendapat bahwa tidak ada kewajiban menjalani „iddah bagi wanita yang belum berusia sembilan tahun sekalipun dia sudah kuat dicampuri.
34
Demikian pendapatnseluruh ulama mazhab Imamiyah, Maliki dan Syafi‟i menginterpretasikan quru‟ dengan masa suci (tidak haidh), sehingga bila wanita tersebut dicerai pada hari-hari terakhir masa sucinya, maka masa tersebut dihitung sebagai bagian dari masa „iddah, yang kemudian disempurnakan dengan dua masa suci sesudahnya 2)
Tidak haidh Jika istri yang disetubuhi itu tidak haid, baik karena usianya yang masih belia maupun karena ia telah menopouse, masa „iddah-nya adalah tiga bulan.. Dasar perhitungannya adalah firman Allah surat At-Thalaq ayat 4:
َۡ َِ ٍِ َِ َٗ َٰٱىَّٓـًِ ٌَئِ ۡس ٍُض ٍِِ ِّّ َسبٓاِ ُنٌۡ إِ ُِ ۡٱسحَ ۡبخٌُۡ فَ ِع َّذحُٖ َُِّ ثَ َٰيَثَت ذ َ ٱى ِ ِ ٓ ۡ أَ ۡشُٖش َٗ َٰٱىَّـًِ ىٌَۡ ٌَ ِذ …. َِ ٖۚ ض Artinya: dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu raguragu (tentang masa „iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. d. „Iddah wanita yang ditalak dalam keadaan yang meragukan Jika seorang wanita yang masih memiliki siklus menstruasi teratur tiba-tiba tidak lagi haid karena sebab-sebab yang tidak diketahui (bukan karena kehamamilan dan bukan karena menopousa), maka ia berada dalam keadan yang meragukan. Jika
35
ia ditalak atau ditinggal mati suaminya maka ia harus menuggu selama 9 bulan kemudian menjalani masa „iddah selama 3 bulan. dengan demikian masa „iddah-nya secara keseluruhan adalah setahun Dasar hukumya adalah ketetapan Umar Ibnul Khaththab, “Wanita itu hendaknya menunggu selama 9 bulan. Jika tidak ada tanda-tanda kehamilan selama itu, maka ia ber-„iddah selama 3 bulan. jadi seluruhnya adalah setahun” (Kamal, 2007: 259). Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Ibnu Abbas. demikian pula pendapat mazhab Malikiyyah dan Hanabilah.
5.
Hikmah ‘Iddah Ditetapkannya
„iddah
bagi
isteri
setelah
putusnya
perkawinan
mengandung hikmah, antara lain sebagai berikut: 1.
„Iddah bagi isteri yang ditalak raj‟i oleh suaminya mengandung arti memberi kesempatan secukupnya kepada bekas suami isteri itu untuk memikirkan, merenungkan dan memperbaiki diri dan pribadi masingmasing, memahami kekurangannya, mempertimbangkan kemaslahatan hidup
bersama-sama
dimasa
selanjutnya,
mengenang jasa
dan
mengenang kebaikan dari pihak yang satu terhadap pihak yang lain, mempertimbangkan nasib anak-anaknya, kesemuanya itu dianalisa dalam suasana hati yang tenang dan hati yang dingin. Dengan demikian masing-masing pihak berkesempatan luas untuk mempertimbangkan
36
kesemuanya itu dengan sebaik-baiknya kemudian bersepakat ruju‟ kembali sebagai suami isteri. 2.
„Iddah bagi isteri yang ditalak bain oleh suaminya atau perceraian dengan keputusan pengadilan berfungsi antara lain untuk meyakinkan bersihnya kandungan isteri dari akibat hubungannya dengan suami, baik dengan menunggu beberapa kali suci/ haidh, bebrapa bulan tertentu, ayau melahirkan kandungannya, agar dengan demikian terpelihara kemurnian keturunan dan nasab anak yang dilahirkannya itu, tidak tercampur dengan laki-laki lain. Juga „iddah member kesempatan kepada bekas suami untuk kawin kembali dengan akad nikah yang baru dengan bekas isterinya selama dalam masa „iddah tersebut jika itu dipandang maslahat.„Iddah bagi isteri yang ditinggal mati suaminya adalah dalam rangka berbela sungkawa dan sebagai tanda setia kepada suaminya yang dicintainya itu, menormalisir kegoncangan jiwa isteri akibat ditinggal oleh kekasihnya itu. Dalam pada itu selama „iddah tersedia waktu yang cukup dan dalam suasana tenang bagi isteri dan keluarga suami untuk menyelesaikan segala hak dan kewajiban yang bertalian dengan suaminya, merencanakan dan memikirkan secara matang nasib anakanak yang ditinggal mati itu. Ber-‟iddah akibat ditinggal mati suami menjadi bukti kesetiaan isteri, sebab susah dan gundah hati itu memerlukan waktu untuk menjadi hilang dan pulih kembali. Oleh karena itu dalam masa „iddah karena ditinggal mati, isteri disuruh berihdad,
37
yakni mencegah diri dari berpakian menyala, bermake up dan memakai wangi-wangian, sesuai dengan suasana berkabung dan tanda kesetiaan.
B. ‘Iddah Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Kewajiban menjalani masa „iddah disebutkan di beberapa ayat dalam Alquran dan juga dalam Hadis. Namun, penulis akan
membahas pula
mengenai masa „iddah yang terdapat dalam KHI. Dalam KHI „iddah disebut dengan waktu tunggu. Masa „iddah merupakan waktu tunggu yang dijalani oleh seorang perempuan. Perempuan yang bercerai dari suaminya dalam bentuk apapun, cerai hidup atau mati, sedang hamil atau tidak, masih berada dalam keadaan haid ataupun tidak, wajib menjalani masa „iddah (Syarifuddin, 2006: 304). Konsep-konsep mengenai waktu tunggu yang terdapat pada KHI diambil dari fiqh. Berikut akan diterangkan tentang dasar hukum dan macammacam serta perhitungan waktu tunggu menurut KHI. 1.
Dasar Hukum ‘Iddah Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya dari suaminya, berlaku baginya waktu tunggu (masa „iddah), kecuali apabila seorang isteri dicerai suaminya sebelum berhubungan (qabla al-dhukul), baik karena kematian, perceraian atau atas keputusan pengadilan. Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan pada Pasal 153 ayat 4 menyatakan: “Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi perkawinan
38
yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami”.
Dasarnya, firman Allah dalam Surat Al-Ahzab ayat 49:
َّ يَع أَعيُّ َعه اَّ ِنذي َع َعآمنُ إِن َعذ نَع َعك ْاحتُ ُم اْا ُم ْاؤِنمنَع ِنت ُُثَّ طَعلَّ ْاقتُ ُم ُه ِنم َعب ِنل أ ْاَعن َعَتَع ُّس ه َّ فَعم اَع ُكم لَع ِنه َّ ِنم ِند ٍض َّة تَع ْاعتَعدُّونَع َعه ُ َع ْا َع ْا ْا ْا ْا فَعمتِّ ع ه َّ و ِّر ه َّ ر َعِن َج ال ً َع ُ ُ َع َع ُ ُ َع َع Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya (Kementrian Agama, 2007: 424).”
2.
Macam-macam dan perhitungan waktu tunggu Adapun macam-macam waktu tunggu atau masa „iddah dapat diidentifikasikan sebagai berikut: a.
Putus perkawinan karena ditinggal mati suami Ketentuan ini dalam Kompilasi diatur dalam Pasal 153 ayat (2) huruf a, yang bunyinya: “Apabila perkawinan putus karena kematian walaupun qabla ad-dhukul, waktu tunggu ditetapkan 130 hari”. Ini berdasar pada firman Allah Surat Al-Baqarah 234:
ِن ِن َّ ص َع بِنَعنْا ُف ِنس ِنه َعو اَّذيْا َع يُتَع َعفَّ ْا َعن مْان ُك ْام َعو يَع َعذ ُرْاو َعن َعْازَعو ًج يَّتَع َعربَّ ْا 39
َعْاربَع َعع َع َع ْاش ُه ٍضر َّو َع ْا ًر Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber‟iddah) empat bulan sepuluh hari. Kementerian Agama, 2007: 38).
Ketentuan tersebut diatas berlaku bagi isteri yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan tidak hamil. Apabila isteri tersebut dalam keadaan hamil, maka waktu tunggu bagi mereka adalah sampai melahirkan. Ketentuan ini tertera pada pasal 153 ayat (2) di KHI yang berbunyi: “Apabila perkawinan putus karena kematian, sedangkan janda tersebut dlam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan”. Pasal ini berdasar Al-Qur‟an surat At-Thalaq ayat 4:
َۡ َِ ٍِ َِ َٗ َٰٱىَّٓـًِ ٌَئِ ۡس ٍُض ٍِِ ِّّ َسبٓاِ ُنٌۡ إِ ُِ ۡٱسحَ ۡبخٌُۡ فَ ِع َّذحُٖ َُِّ ثَ َٰيَثَت ذ َ ٱى ِ ِ ٓ َٰ َٰ ُ ٖۚ ۡ َ َ َ َّ ُ َ َ ُ ۡ ۡ َّ َِ ض ۡع ٌ ُ أ ُِ ٖ ي ج أ ه ب َ د ٱِل ج ى ٗ أ ٗ ِ ض ذ ٌ ٌۡ ى ً ـ َ ْ َ َ َ ِ َ ِ َ ِ أَ ۡشُٖش َٗٱى َ ٖۚ َّ ق ٱَّللَ ٌَ ۡج َعو ىَّ ۥُٔ ٍِ ِۡ أٍَۡ ِشِۦٓ ٌ ُۡس ٗشا ِ ََّدَۡ يَٖ َُِّ َٗ ٍَِ ٌَخ Artinya: “Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka iddahnya adalah tiga bulan, dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya (Kementerian Agama, 2007: 558).”
40
b.
Putus perkawinan karena perceraian Waktu tunggu bagi isteri yang dicerai suaminya ada beberapa kemungkinan, sebagai berikut: 1)
Dalam keadaan hamil Apabila isteri dicerai suaminya dalam keadaan hamil maka „iddah-nya sampai ia melahirkan kandungannya (Pasal 153 KHI).
2)
Dalam keadaan tidak hamil a) Apabila isteri dicerai sebelum terjadi hubungan kelamin, maka tidak berlaku masa „iddah baginya, yang tertera dalam Pasal 153 ayat (1). b) Apabila isteri dicerai suami setelah terjadi hubungan kelamin (dukhul): i. Bagi yang masih datang bulan, waktu tunggunya ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, yang tertera dalam Pasal 153 ayat (2) huruf b KHI. ii. Bagi yang tidak atau belum berdatang bulan masa „iddah-nya tiga bulan atau 90 hari, yang tertera dalam pasal 153 ayat (2) huruf b KHI. Tidak datang bulan disini
maksudnya
adalah
wanita
tersebut
telah
memasuki masa bebas haid atau menopause (ayisah). iii. Bagi isteri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani „iddah tidak haid karena menyusui maka
41
„iddah-nya menjadi 3 kali suci, yang tertera dalam Pasal 153 ayat 5 KHI. iv. Dalam keadaan pada ayat (5) tersebut bukan karena menyusui, maka „iddah-nya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam satu tahun tersebut ia berhaid kembali, maka „iddah-nya menjadi tiga kali suci. c.
Putus perkawinan karena khulu‟, fasakh, dan li‟an Waktu „iddah bagi janda yang putus perkawinanya karena khulu‟ (cerai gugat atas adasar tebusan atau „iwadl dari isteri), fasakh (putus perkawinan misalnya karena salah satu murtad atau sebab lain yang seharusnya dia tidak dibenarkan kawin) atau li‟an, maka waktu tunggu berlaku seperti „iddah talak, yang tertera dalam Pasal 155 KHI.
d.
Isteri Ditalak Raj‟i kemudian Ditinggal Mati Suami Apabila
ditalak
raj‟i
kemudian
dalam
waktu
„iddah
sebagaimana diatur dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan (6) Pasal 153 KHI ditinggal mati oleh suaminya, maka „iddah-nya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari atau seratus tiga puluh hari, terhitung saat matinya suami. Jadi dalam hal ini, masa „iddah yang telah dilalui pada saat suaminya masih hidup tidak dihitung, akan tetapi dihitung dari saat kematian suami. Sebagaimana tertuang dalam ayat Al-Baqarah ayat 228 sebagai berikut:
42
ُ ََٗ ۡٱى َُطَيَّ َٰق ۡ ج ٌَخَ َشب ََُّص َِ بِأَّفُ ِس ِٖ َِّ ثَ َٰيَثَتَ قُش ُٓٗ ٖۚء َٗ ََل ٌَ ِذوُّ ىَٖ َُِّ أ َّ ِٱَّللُ فِ ًٓ أَ ۡس َدب ٍِ ِٖ َِّ إُِ ُم َِّ ٌ ُۡؤ ٍِ َِّ ب َّ ق ًِ ٘ۡ ٍَٱَّللِ َٗ ۡٱى َ ٌََ ۡنخَُۡ َِ ٍَب َخي ٓ ۡ ۡ ِل إِ ُۡ أَ َسا ُد ٓٗ ْا إ ُّ ٱِل ِخ ٖۚ ِش َٗبُعُ٘ىَخُٖ َُِّ أَ َد ص َٰيَ ٗذ ٖۚب َ ِق بِ َش ِّد ِٕ َِّ فًِ َٰ َرى تٞۗ به َعيَ ٍۡ ِٖ َِّ َد َس َج َ ُٗف َٗىِيش ِ ٖۚ َٗىَٖ َُِّ ٍِ ۡث ُو ٱىَّ ِزي َعيَ ٍۡ ِٖ َِّ بِ ۡٱى ََ ۡعش ِ ِّج َّ َٗ ٌٌ ٍٱَّللُ َع ِضٌ ٌض َد ِن Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah, dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana. Hal ini disebabkan karena suami bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan rumah tangga. Sebagaimana dalam surat An Nisaa' ayat 34:
َّ ُ٘ َعيَى ٱىِّْ َسبٓ ِء بِ ََب فَض ََّو ضٌُٖۡ َعيَ َٰى َ ٍُ َّ٘ َٰ َٱىشِّ َجب ُه ق َ ٱَّللُ بَ ۡع ْ ُبَ ۡعض َٗبِ ََبٓ أَّفَق ٌ َج َٰقَِْ َٰخ ُ صيِ َٰ َذ َّ َٰ ٘ا ٍِ ِۡ أٍَۡ َٰ َ٘ىِ ٌِٖٖۡۚ فَٱى ب ِ ٍۡ ج َٰ َدفِ َٰظَج ىِّ ۡي َغ َٰ ٖۚ َّ َ ۡ َٗ َِّ ُُٕ٘٘صُٕ َِّ فَ ِعظ َ ُ٘ ُّ ُش َِّ ُُٕٗٱٕ ُجش بِ ََب َدفِع َ ُٱَّللُ َٗٱىَّخًِ حَ َخبف ْ ٱض ِشبُُٕ٘ ۖ َِّ فَئ ِ ُۡ أَطَ ۡعَْ ُنٌۡ فَ َ حَ ۡب ُغ ۡ َٗ ضب ِج ِع َِّ ِٖ ٍۡ َ٘ا َعي َ ََ فًِ ۡٱى َّ َُّ ِ إٞۗ َسبٍِ ًح ٗ ِبُ َعيِ ٍّٗب َمب ٍشا َ ٱَّللَ َم
43
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab keberadaan isteri yang dicerai selama menjalani masa „iddah, dianggap masih terikat perkawinan, karena bekas suaminya itulah yang paling berhak untuk merujuknya, selama masih dalam masa „iddah (Rofiq, 2013: 250).
44
BAB III LAPORAN HASIL PENELITIAN DI KUA KECAMATAN SUMOWONO DAN KUA KECAMATAN TUNTANG
A. KUA Kecamatan Sumowono 1.
Gambaran umum KUA Kecamatan Sumowono Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Sumowono sebagai tempat kegiatan perkantoran yang merupakan pusat perencanaan dan pengembangan kegiatan keagamaan serta pelayanan Nikah dan Rujuk di wilayah Kecamatan Sumowono, terletak di jaalan Makam Pahlawan No.22 Sumowono. Letaknya berdekatan dengan Puskesmas Sumowono, Kantor Polsek, Kantor Koramil, dan Kantor UPTD Pendidikan Kecamatan Sumowono. Bangunan permanen, luas bangunan 10cm x 12cm = 120 m2, di atas tanah TNI AD kurang lebih 300 m2, dibangun dengan dana APBN tahun 1986 dengan Hak Guna Pakai No. 607 tahun 1985.Kecamatan Sumowono Merupakan Kecamatan yang berada di wilayah Kabupaten Semarang, terletak di lereng gunung Ungaran sebelah barat daya. Jarak pusat pemerintahan dengan Ibukota Kabupaten Semarang sejauh 25 km. Kantor urusan Agama kecamatan Tuntang Mencakup beberapa desa diantaranya terdiri dari 16 desa yakni: Sumowono, jubelan, Bumen, Mendongan, Losari, Kemawi, Piyanggang,
45
Keseneng, Duren, Pledokan, Trayu, Kemitir, Candigaron, Lanjan, Ngadikerso, Kebonagung. Wilayah KUA Sumowono berbatasan dengan: 1) Di sebelah Utara berbatasan dengan kabupaten Kendal dan Kota Semarang. 2) Di sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Bandungan dan Kecamatan Jambu 3) Di sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Jambu dan Kecamatan Pringapus Kabupaten Temanggung 4) Di sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung, Limbangan ,Kabupaten Kendal.
Luas Wilayah Kecamatan Sumowono adalah 5.563,3 Ha, dengan perincian: Tabel 3.1 Data rincian Luas Wilayah Kecamatan Sumowono No. Keterangan
Luas
1.
Tanah Sawah Tadah Hujan
135,79 Ha
2.
Tanah Kering pekarangan dan tegal
3.442,09 Ha
3.
Tanah Perkebunan Negara
190 Ha
4.
Tanah pekarangan atau bangunan
439,518 Ha
46
Jumlah Penduduk Kecamatn Sumowono sebanyak 31.966 jiwa dengan Rincian pemeluk Agama sebagai berikut : Tabel 3.2 Data jumlah jiwa berdasarkan agama KUA Kecamatan Sumowono Tahun 2015
No. Agama
Jumlah
1.
Islam
29.739Jiwa
2.
Katolik
212 Jiwa
3.
Kristen
924Jiwa
4.
Hindu
1 Jiwa
5.
Budha
929Jiwa
6.
Konghuchu
1 Jiwa
7.
Lain-lain
110Jiwa
Kantor
Urusan
Agama
(KUA)
Kecamatan
Sumowono
mempunyai komposisi pegawai 4 (Empat) orang yang terdiri:
47
Tabel 3.3 Data Pegawai KUA Sumowono Tahun 2015
No. Nama
Jabatan
1.
Kepala
Huda Muttaqin, S. Ag, M.H. Ana Kholifatus Sa‟diyah, S.
2.
Penyuluh Agama Islam Ag.
3.
Joko Teo Briliyanto, S. HI
Penghulu Pertama Penyusun Program Anggaran dan
4.
Arif Yunan Afandi, S. Sos. I Pelaporan
2.
Kedudukan, Tugas dan Fungsi KUA Sumowono Kedudukan, tugas dan fungsi Kantor Urusan Agama kecamatan Sumowono mengacu pada peraturan pemerintah, yaitu keputusan Menteri Agama RI Nomor 517 Tahun 2001. Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Sumowono merupakan tangan panjang dan ujung tombak dari pelaksanaan tugas-tugas dan Program Kerja Kantor Kementerian Agama dan sesuai dengan Peraturan Menteri Agama RI Nomor: 39/2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama, bahwa KUA adalah Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam yang bertugas melaksanakan sebagian tugas Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota di Bidang Urusan Agama Islam di Wilayah Kecamatan.
48
a)
Kedudukan KUA Kecamatan Sumowono “Kantor Urusan Agama kecamatan berkedudukan di wilayah kecamatan, bertanggung jawab kepada kepala kantor Departemen Agama kabupaten/kota yang dikoordinasi oleh kepala seksi Urusan Agama Islam/ Bimas dan Kelembagaan Agama Islam”.
b) Tugas KUA Sumowono Dalam melaksanakan kegiatannya Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Sumowono mempunyai tugas yaitu melaksanakan tugas pokok dan fungsi Kantor Kementerian Agama dalam wilayah kecamatan
berdasarkan
Kebijakan
Kepala
Kantor
Wilayah
Kementerian Agama Provinsi dan Kebijakan Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten dan Peraturan Perundang-undangan. Sebagaimana umumnya suatu badan atau instansi pemerintah, maka KUA kecamatan Sumowono juga memiliki struktur organisasi. Struktur organisasi adalah suatu kerangka yang menunjukkan hubungan antar personal dalam menyelesaikan tugas organisasi guna mencapai tujuan yang ditetapkan. Struktur Organisasi KUA kecamatan Sumowono menganut sistem garis/ lini, yaitu dari atasan langsung bawahan. Organisasi berbentuk garis ini hanya mengenal satu perintah saja. Sehingga setiap pekerjaan dalam organisasi garis hanya mengenai satu pimpinan saja yang langsung memegang wewenang segala yang termasuk bidang kerja dari satuannya. Adapun tugas KUA Sumowono adalah sebagai berikut:
49
Kepala KUA Sumowono adalah bapak Huda Muttaqin, S.Ag, M.H. Beliau sebagai kepala KUA kecamatan Sumowono yang mempunyai tugas sebagai berikut: 1) Bertanggung jawab terhadap keseluruhan pelaksanaan yang menjadi tugas dan fungsi KUA. 2) Mengadakan rapat yang dilaksanakan satu bulan sekali 3) Mengadakan pemeriksaan tentang pernikahan dan perwakafan. 4) Menerima laporan tentang pernikahan dan perwakafan. c)
Fungsi KUA Kecamatan Sumowono Berdasarkan PMA Nomor: 39 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama, maka selain tugas pokok tersebut di atas, Kantor Urusan Agama Kecamatan Sumowono wajib melaksanakan tugas untuk menyelenggarakan fungsi sebagai berikut: 1) Pelaksanaan pelayanan, pengawasan, pencatatan dan pelaporan nikah dan rujuk. 2) Penyusunan statistik, dokumentasi dan pengelolaan sistem informasi manajemen KUA. 3) Pelaksanaan tata usaha dan rumah tangga KUA. 4) Pelayanan bimbingan keluarga sakinah. 5) Pelayanan bimbingan kemasjidan. 6) Pelayanan bimbingan pembinaan syari‟ah, dan
50
7) Penyelenggaraan fungsi lain di bidang agama Islam yang ditugaskan
oleh
Kepala
Kantor
Kementerian
Agama
Kabupaten/Kota. 3.
Penentuan awal masa „iddah di KUA Sumowono Setelah penulis melakukan wawancara kepada Bapak Huda Muttaqin, S.Ag, M.H sebagai kepala KUA Kecamatan Sumowono mengenai penentuan awal masa „Iddah, penulis memperoleh kejelasan bahwa ada beberapa faktor pertimbangan yang menjadikan KUA Sumowono mengambil kebijakan dalam menentukan awal masa „Iddah. Secara teori penetapan awal masa „iddah bukanlah wewenang KUA, namun secara praktik, karna KUA adalah suatu lembaga yang berada dibawah Kantor Kementrian Agama dan sebagai pelaksana tugas pokok dan fungsi kantor Kementrian Agama. “KUA hanya menjalankan tugas menentukan awal iddah dengan dasar putusan dari Pengadilan Agama”. „Iddah merupakan waktu tunggu bagi wanita yang perkawinannya putus baik karena kematian, talak atau cerai gugat. Awal masa „iddah bagi cerai mati dihitung sejak meningggalnya suami, sedangkan „iddah bagi cerai talak dan cerai gugat dihitung setelah penetapan yang berkekuatan hukum tetap. “Secara fiqh awal masa „iddah dimulai saat suami mentalaq istrinya. Sedangkan secara undang-undang saat tanggal (BHT)”. Dari beberapa rincian kedudukan, tugas, dan fungsi KUA tersebut sebenarnya KUA Sumowono tidak berwenang dalam hal menetapkan awal masa „iddah. “Namun terkadang dalam suatu hal, KUA Sumowono
51
mendapati suatu permasalahan yang membuat KUA Sumowono harus mengambil langkah bijak dalam menetapkannya. Dalam keadaan tertentu terkadang KUA Sumowono berijtihat dengan menggunakan tanggal bawah”.
Penetapan yang dimaksud dalam pasal 153 ayat 4 adalah
penetapan perceraian. Pada pasal tersebut penetapan baru dihitung sebagai awal masa „iddah apabila telah mempunyai kekuatan hukum tetap apabila setelah 14 hari dari penetapan dan tidak ada upaya hukum baik berupa banding, peninjauan kembali atai kasasi jika kedua belah pihak hadir. Apabila salah satu pihak tidak hadir maka penetapan yang berkekuatan hukum tetap dimulai setelah 14 hari dari pemberitahuan kepada pihak yang tidak hadir dalam pembacaan putusan. Sebagai bukti perceraian Pengadilan Agama mengeluarkan Akta Cerai yang akan dikeluarkan selambat-lambatnya 7 hari setelah penetapan
yang
mempuanyai kekuatan hukum tetap. Secara teori pengadilan agama akan mengeluarkan akta cerai selambat-lambatnya 7 hari setelah penetapan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun praktiknya terkadang Pengadilaan Agama tidak segera mengeluarkan akta cerai, sehingga jarak antara tanggal atas dan tanggal bawah terpaut sagat jauh dan bisa sampai berbulan-bulan. (Wawancara dengan bapak Huda Muttaqin, S.Ag, M.H. pada tanggal 3 Januari 2016). Dalam faktanya di KUA Sumowono pernah terjadi beberapa kasus misalnya suatu ketika ada seorang janda yang datang ke KUA Sumowono untuk mendaftar untuk menikah lagi. Dia mempunyai ayah
52
sekaligus wali yang sudah sangat tua dan sakit. Ayah sijanda tersebut mempunyai keinginan bahwa sebelum dia mati dia ingin sekali anaknya menikah lagi. Ketika dalam pengecekan berkas ternyata ketika menggunakan tanggal atas „iddah-nya belum habis dan ketika menggunakan tanggal bawah „iddah-nya sudah habis. Dalam situasi seperti itu KUA mengambil kebijakan memakai taggal bawah. Disamping itu karna melihat ayah si janda yang sudah sekarat sehingga dimungkinkan pernikahan segera dilakukan secepatnya. Dalam siuasi tersebut kepala KUA Sumowono tidak langsung saja memutuskannya sendiri melainkan mendiskusikan terlebih dahulu masalah tersebut kepada karyawan-karyawanya. “Dalam mengambil kebijakan saya sering berkomunikasi dengan karyawan-karyawan disini. Sehingga hasil dari kebijakan disitu bukan semata-mata hanya dari inisiatif saya pribadi, namun
itu
adalah
kebijakan
kita
bersama
dalam
mengambil
kemaslahatan” (Wawancara dengan bapak Huda Muttaqin, S.Ag, M.H. pada tanggal 25 Mei 2016).
B. Kepala KUA Kecamatan Tuntang 1.
Letak dan kondisi geografis KUA Kecamatan Tuntang Secara historis, Kantor Kementerian Agama Kab. Semarang berdiri pada tahun 1974 dengan nama Kantor Perwakilan Depatemen Agama Kab. Semarang yang berlokasi di Salatiga. Pada saat itu Kepala Kantor Perwakilan Departemen Agama adalah Bp. M.Bakri Tolkhah.
53
Setahun kemudian, pada tahun 1975 hingga 1976 Kantor Perwakilan Departemen Agama berubah menjadi Kantor Departemen Agama Kab. Semarang. Kantor Departemen Agama ini masih berlokasi di Kota Salatiga dan masih dengan kepala yang sama yaitu M.Bakri Tolkhah. Seiring dengan berkembangnya wilayah Kab. Semarang, pada tahun 1977 Kantor Departemen Agama Kab. Semarang memisahkan diri dengan Kantor Departemen Kota Salatiga. Pada saat itu pula Kantor Departeman Agama Kab. Semarang pindah dan berlokasi di Jl. Kauman Ungaran. Kantor ini menempati tanah dengan status Hak Milik No.12 Tgl 09 Agustus 1978. Dan karena kondisi geografis Kabupaten Semarang begitu luas, maka mulai rentang waktu tahun 1980 s/d 1995 berdirilah 17 Kantor Urusan Agama (KUA) di 17 (tujuh belas) kecamatan Se Kab. Semarang. Karena pertimbangan kondisi bangunan serta sarana dan prasarana, pada tahun 2000 dan 2001 pihak kantor mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk membangun gedung baru. Dan berkat kerjasama tim penggagas gedung baru, maka pada tahun 2002 hingga 2004 dibangunlah Gedung Kantor Departemen Agama Kab. Semarang. Gedung ini merupakan bantuan peminjaman lokasi oleh Pemerintah Kab. Semarang. Secara kenotarian gedung ini berdasarkan pada Surat Hak Pakai : 593.6/03694 Tanggal 24 Juli 2000. Kantor Departemen Agama yang baru ini didirikan di atas tanah seluas 1.968m² dibiayai sepenuhnya dengan menggunakan dana anggaran APBN Pusat. Dan pada tahun 2004 Kantor
54
Departemen Agama Kab. Semarang resmi pindah di Jalan Candi Asri Ungaran. Mengingat lokasi wilayah yang begitu luas, maka pada tahun 2009 dilakukan pemekaran wilayah oleh pemerintah setempat dengan menambah jumlah kecamatan, yang semula 17 kecamatan menjadi 19 kecamatan. Untuk melakukan efektifitas tugas pelayanan kepada masyarakat maka jumlah KUA pun disesuaikan dengan jumlah kecamatan yang ada. Atas dasar PMA RI No.91 Tahun 2009, maka jumlah Kantor Urusan Agama (KUA) menjadi 19 kecamatan, salah satunya adalah KUA Kecamatan Tuntang. Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tuntang sebagai tempat kegiatan
perkantoran
yang
merupakan
pusat
perencanaan
dan
pengembangan kegiatan keagamaan serta pelayanan Nikah dan Rujuk di wilayah Kecamatan Tuntang. Dari segi geografis KUA Kecamatan Tuntang terletak di Jl. Fatmawati No. 82 A 50773. Letaknya berdekatan dengan Kantor Kecamatan Tuntang, Kantor Koramil, dan Kantor UPTD Pendidikan Kecamatan Tuntang. Bangunan permanen, luas tanah 200 m, luas bangunan, 16 m x 12 m =192 m. Dibangun dengan dana APBN tahun 1986 dengan Hak Guna Pakai No. 607 tahun 1985. Kantor urusan Agama kecamatan Tuntang berdiri pada tahun 1986. Kecamatan Tuntang terdiri dari 16 desa yakni: Kalibeji, Gedangan, Sraten, Rowosari, Jombor, Candirejo, Kesongo, Lopait, Tuntang, Delik, Watuagung, Karanganyar, Tlogo, Karang Tengah, Tlompakan, Ngajaran.
55
Batas-batas wilayah kecamatan tuntang yaitu: Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Bawen, Sebelah Selatan berbatasan dengan Kota Salatiga, Kecamatan Getasan, Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Bawen, Rawa Pening, Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pabelan, Kecamatan Bringin. Sebagai instansi yang mempunyai tugas dan fungsi Kantor Urusan Agama, KUA Kecamatan Tuntang Mempunyai Visi dan Misi sebagai berikut : a.
Visi Menjadikan KUA Kec. Tuntang sebagai garda terdepan dalam membangun serta meningkatkan SDM masyarakat dalam bidang keagamaan yang berkualitas dan dinamis.
b.
Misi Meningkatkan tingkat pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran agama masyarakat, yang meliputi : 1) Peningkatan kualitas pelayanan dan bimbingan kehidupan beragama serta pengembangan kehidupan keluarga sakinah. 2) Peningkatan kualitas lembaga sosial dan keagamaan pada masyarakat. 3) Peningkatan kualitas pemahaman dan pengamalan agama serta kerukunan hidup antar umat beragama.
56
2.
Kedudukan, Tugas dan Fungsi KUA Kecamatan Tuntang a. Kedudukan KUA Kecamatan Sumowono Kedudukan, tugas, dan fungsi Kantor Urusan Agama Kecamatan Tuntang mengacu pada Peraturan Pemerintah, yaitu keputusan Menteri Agama RI No. 517 tahun 2001, yaitu: “Kantor Urusan Agama
kecamatan
berkedudukan
di
wilayah
kecamatan,
bertanggung jawab kepada kepala kantor Departemen Agama kabupaten/kota yang dikoordinasi oleh kepala seksi Urusan Agama Islam/ Bimas dan Kelembagaan Agama Islam”. Pembentukan KUA di suatu wilayah Kecamatan ditetapkan oleh Menteri Agama setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang Pendayagunaan Aparatur Negara. Pembentukan KUA Kecamatan juga dilakukan menurut keperluan dengan memperhatikan jumlah pemeluk agama Islam yang harus dilayani. Sehingga jika dipandang perlu Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi/setingkat dapat menetapkan satu KUA meliputi dua wilayah kecamatan atau lebih. Adapun struktur organisasi KUA kecamatan Tlogowungu adalah sebagai berikut: 1) Kepala Kepala KUA Kecamatan Tuntang adalah bapak Drs. H. Ihdam Supama, M.H. beliau juga merangkap sebagai penghulu yang mempunyai tugas sebagai berikut:
57
a) Bertanggung jawab terhadap keseluruhan pelaksanaan yang menjadi tugas dan fungsi KUA. b) Mengadakan rapat yang dilaksanakan satu bulan sekali c) Mengadakan
pemeriksaan
tentang
pernikahan
dan
perwakafan 2) Staf KUA Kecamatan Tuntang a)
Pengelola Data Anggaran dan Pembendaharaan : Ibu Mawarti
b) Petugas Ketatausahaan : Bapak Ahmad Thoreq Mawardi c) Petugas Pengadministrasian : Ibu Titik Halimah, SH. d) Petugas Anggaran, Pembendaharaan dan Laporan : Bapak Ahmad Mujahidin, SH. dan Ibu Siti Rofiatun, SH. 3) Staf KUA Kecamatan Tuntang merangkap sebagai staf pernikahan,
wakaf
dan
administrasi.
Adapun
tugasnya
pernikahan adalah: a)
Melayani
calon
mempelai
yang akan mendaftarkan
persyaratan nikah b) Mencatat pendaftaran nikah c) Memindah arsip pendaftaran nikah kedalam buku besar. d) Menerima laporan tentang pernikahan dan perwakafan. e) Memeriksa kembali tentang persyaratan nikah
58
b.
Tugas KUA Kecamatan Tuntang Dalam melaksanakan kegiatannya Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Sumowono mempunyai tugas: melaksanakan tugas pokok dan fungsi Kantor Kementerian Agama dalam wilayah kecamatan
berdasarkan
Kebijakan
Kepala
Kantor
Wilayah
Kementerian Agama Provinsi dan Kebijakan Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten dan Peraturan Perundang-undangan. c.
Fungsi KUA Kecamatan Tuntang Dalam menjalankan tugasnya sebagai pelaksana sebagian tugastugas Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota di bidang Urusan Agama Islam dalam wilayah Kecamatan, KUA Kec. Tuntang mempunyai beberapa fungsi, antara lain yaitu : 1) Menyelenggarakan statistik dan dokumentasi 2) Menyelenggarakan surat-menyurat, pengurusan surat, kearsipan, pengetikan dan rumah tangga KUA Kecamatan 3) Melaksanakan pencatatan nikah dan rujuk, mengurus dan membina masjid, zakat, wakaf, baitul maal dan ibadah sosial, kependudukan dan pengembangan keluarga sakinah sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
59
Disamping fungsi tersebut di atas, KUA Kec. Tuntang juga menyelenggarakan Program-program sebagai berikut : 1) Program Peningkatan Pelayanan Masyarakat a) Melaksanakan bimbingan pernikahan dengan pokok kegiatan antara lain yaitu bimbingan rumah tangga bahagia (RTB), bimbingan calon mempelai, remaja usia nikah, pelajar SLTA usia nikah, lembagalembaga kepemudaan dan masyarakat. b) Membangun / merehab ruang kerja. c) Mengoptimalkan peran Kantor Urusan Agama dalam kegiatan kemasyarakatan dalam bidang keagamaan, antara lain kegiatan Forum Ta‟mir Masjid se-Kecamatan serta kegiatan keagamaan di Desa-desa. d) Mengikutsertakan Diklat dan Pelatihan bagi para Tam‟mir Masjid, Khotib dan Remaja Masjid. 2) Program
Meningkatkan
partisipasi
lembaga-lembaga
keagamaan dalam kegiatan keagamaan. a) Meningkatkan kualitas penyuluh, da‟i dan pemuka agama dengan memberikan pelatihan dan sejenisnya. b) Membentuk FKAUB (Forum Kerukunan Antar Umat Beragama) c) Mengadakan peringatan Hari Besar Islam dengan melibatkan lembaga-lembaga keagamaan setempat.
60
d) Peningkatan pemahaman dan pengamalan agama serta kerukunan hidup antar umat beragama. e) Membina kerukunan intern dan antar umat beragama dengan mengadakan pertemuan FKUB bagi tokoh agama dan LSM agama di daerah. f)
Memberikan
penyuluhan
bimbingan
kehidupan
beragama bagi masyarakat.
3.
Penentuan awal masa „iddah di KUA Kecamatan Tuntang Setelah penulis melakukan wawancara kepada Bapak Drs. H. Ihdam Supama, M.H sebagai kepala KUA Kecamatan Tuntang mengenai penentuan awal masa „Iddah, penulis memperoleh kejelasan bahwa ada beberapa faktor pertimbangan yang menjadikan KUA Sumowono mengambil kebijakan dalam menentukan awal masa „Iddah. Aturan awal masa „iddah merupakan salah satu pembaharuan hukum yang bersifat administratif. Tujuan dari pembaharuan ini adalah agar tercipta tertib administrasi sehingga dapat memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Penentapan awal masa „iddah dalam KHI hanya diatur secara umum, yang diatur secara terperinci hanya durasi „iddah. Dahulu „iddah dihitung sejak terjadinya penetapan, karena dianggap secara hakikat putusnya perkawinan dimulai sejak penetapan. Pada saat ini awal „iddah dihitung berdasarkan berdasarkan
61
redaksi kalimat dalam akta cerai. Redaksi kalimat dalam Model A.III.3 (akta cerai) adalah sebagai berikut : “Panitera Pengadilan Agama . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . menerangkan, bahwa pada hari ini . . . . . . . . . . . ,tanggal . . . . . . . M, bersamaan dengan tanggal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .H, berdasarkan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .Nomor. . . . . . . . . . . . . . . . . . . .,tanggal . . . . . . . . . . . . .. . . . . . M, yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, terjadi perceraian antara: . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ”. Kalimat di atas menggunakan susunan kalimat majemuk bertingkat. Terdiri dari induk kalimat dan anak kalimat. Induk kalimatnya adalah : “Panitera Pengadilan Agama/Mahkamah Syari‟ah . . . . . . . . . . . . . .menerangkan, bahwa pada hari ini . . . . . . . . . , tanggal . . . . . . . . . .M, bertepatan dengan tanggal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .H,” Sedangkan anak kalimatnya adalah : “berdasarkan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Nomor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . tanggal . . . . . . . . . . . . . . . . . . .M, yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.” Menurut kaidah tatabahasa Indonesia, yang menjadi pesan utama dalam kalimat majmuk bertingkat adalah pesan yang terkandung dalam induk kalimat, bukan dalam anak kalimat. Pesan dalam anak kalimat merupakan bagian yang berada di bawah pesan utama induk kalimat sebagai tambahan keterangan. Dengan demikian, terjadinya perceraian
62
adalah tanggal yang tercantum dalam induk kalimat, bukan dalam anak kalimat. Tanggal yang tercantum dalam induk kalimat adalah tanggal terjadinya perceraian yang sekaligus sebagai tanggal akta cerai. Sedangkan tanggal yang tercantum dalam anak kalimat adalah tanggal putusan atau penetapan yang digunakan sebagai dasar pernyataan telah terjadinya perceraian. Jadi, tanggal terjadinya perceraian adalah sama dengan tanggal dikeluarkannya akta cerai dan pada tanggal itu „iddah dimulai. Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa tanggal yang berkekuatan hukum tetap adalah tanggal atas atau tanggal terjadinya perceraian. Maka pemakaian tanggal atas dalam penetapan awal masa „iddah dirasa lebih aman, karena dimungkinkan tidak akan ada banding. (Wawancara dengan bapak Drs. H. Ihdam Supama, M.H Tanggal 5 April
2016).
63
BAB IV ANALISIS PENENTUAN AWAL MASA ‘IDDAH DI KUA KECAMATAN SUMOWONO DAN KUA KECAMATAN TUNTANG MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)
Sesuai dengan pasal 153 ayat 4 Kompilasi Hukum Islam (KHI) perhitungan Awal Masa „iddah dimulai sejak penetapan oleh Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Penetapan yang dimaksud pasal tersebut adalah penetapan perceraian. Perceraian yang diakui di Indonesia adalah perceraian yang sesuai dengan pasal 115 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu perceraian yang dilakukan dihadapan sidang Pengadilan Agama. Jadi perceraian dalam bentuk apapun yang dilakukan diluar persidangan dianggap tidak pernah ada atau dengan kata lain tidak sah. Hal Ini menyebabkan „iddah dihitung berdasarkan perceraian yang dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama. Sehingga secara hakikat perkawinan putus sejak penetapan didepan pesidangan. Namun dalam pasal 153 ayat (4) KHI „iddah dihitung sejak penetapan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pasal ini menunjukan bahwa perceraian terjadi secara formal setelah mempunyai kekuatan hukum.Jika demikian terdapat awal masa „iddah secara hakikat dan secara formal yang menyebabkan selesainyapun akan berbeda. Menjadi permasalah jika laki-laki ketika merujuk istrinya pada saat „iddah berdasarkan jatuhnya talak secara hakikat telah habis sedangkan secara formal
64
belum habis. Apabila itu terjadi maka ruju‟ dapat dikatakan secara hakikat tidak sah namun secara formal sah. Dalam peraturan perundang-undangan terdapat asas lex specialis derogate lex generalis yang artinya peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus mengesampingkan peraturan perundangan yang bersifat umum. Berdasar asas tersebut maka pasal yang mengatur perceraian bersifat formal yang dipakai, karena secara khusus pasal ini mengatur waktu jatuhnya talak yang dipakai dalam perhitungan masa „iddah. Yang dimaksud mempunyai kekuatan hukum tetap adalah penetepan yang setelah 14 hari dan tidak terdapat upaya hukum jika keduanya hadir atau 14 hari setelah pemberitahuan kepada pihak yang tidak hadir jika salah satu pihak tidak hadir. Jika ada upaya hukum terhadap penetapan perceraian maka penetapan tersebut belum berkekuatan hukum sehingga kedudukan mereka masih suami istri yang sah . Hak dan kewajiban mereka selama belum jatuh penetapan berkekuatan hukum tetap masih sebagai suami istri. Dan apabila penikahan tetap putus pada penetapan upaya hukum berikutnya maka „iddah dimulai sejak penetapan tersebut memiliki kekuatan hukum tetap. Sebagai bukti perceraian Pengadilan Agama mengeluarkan akta cerai. Dalam bagian isi akta cerai terdapat dua tanggal, tanggal atas dan tanggal bawah. Tanggal atas adalah hari dimana suatu penetapan mempunyai kekuatan hukum, sedangkan tanggal bawah adalah hari dimana jatuhnya putusan. Selisih hari tanggal atas dan bawah antara akta cerai satu dengan akta cerai lain berbeda-beda. Ini disebabkan karena adanya ketidakhadiran dari salah
65
satu pihak yang berperkara ketika pembacaan putusan atau tergantung pembacaan ikrar talak. Yang menyebabkan awal durasi pengajuan upaya banding diundur, menunggu pemberitahuan kepada pihak yang tidak hadir. Dilihat dari cara mengajukannya, perceraian di Pengadilan Agama terbagi menjadi dua bentuk yakni cerai talak dan cerai gugat. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 114 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yakni: “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak ataupun berdasarkan gugatan perceraian.” Cerai talak adalah perceraian yang diajukan oleh suami ke pengadilan. Dalam prosedur dan prinsip pengajuan cerai talak, masih kental doktrin fiqh yaitu bahwa cerai itu merupakan hak mutlak suami. Cerai talak hanya berlaku bagi mereka yang beragama islam dan diajukan oleh pihak suami. Cerai talak adalah istilah yang khusus digunakaan dilingkunagan Pengadilan Agama agar dapat membedakan para pihak yang mengajukan cerai. Dalam perkara cerai talak pihak yang mengajukan adalah pihak suami sedangkaan cerai gugat yang mengajukan adalah pihak istri. „Iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena perceraian menurut peraturan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 153 ayat 4 dihitung sejak penetapan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Sebenarnya perkawinan pada hakikatnya putus ketika pembacaan putusan Pengadilan Agama. Hal tersebut juga dikuatkan dalam pasal 115 Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa:
66
“Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.” Maka yang dipakai dalam menetukan awal masa „iddah adalah pasal 153 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pasal tersebut secara khusus mengatur tentang dimulainya masa „iddah sedangkan pasal 114 Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur secara umum perceraian harus dilakukan di Pengadilan. Suatu penetapan dapat dikatakan memiliki kekuatan hukum tetap setelah 14 hari penetapan dibacakan dan tidak ada upaya hukum baik berupa banding, peninjauan kembali atau kasasi jika keduanya hadir atau 14 hari setelah pemberitahuan kepada pihak yang tidak hadir. Apabila sebelum penetapan mempunyai kekuatan hukum tetap, dilakukan upaya hukum dan pada upaya hukum tersebut pernikahan tetap putus maka „iddah dihitung sejak penetapan upaya hukum yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Untuk penggunaan tanggal bawah dalam penentuan awal „iddah di KUA Sumowono sudah sesuai secara Fiqh selama „iddah-nya cukup. Sedangkan dilihat dari ketentuan dalam pasal 153 ayat 4 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan pasal 115 sangatlah tidak sesuai. Sebagaimana dijelaskan oleh kepala KUA Kecamatan Tuntang dengan kaidah majemuk bertingkat. Tanggal akta cerai yang dipakai KUA Kecamatan Tuntang dalam menetapkan awal masa „iddah adalah memakai tanggal atas. Dasar KUA memakai tanggal atas adalah merujuk pada kaidah kalimat majemuk bertingkat bahasa Indonesia dalam memahami kalimat yang ada di aktacerai. Tanggal atas merupakan kepala
67
kalimat dari tanggal bawah. Anak kalimat berfungsi sebagai penjelas kepala kalimat. Maka inti dari kalimat majemuk dalam akta cerai adalah tanggal atas. Tanggal yang tercantum dalam induk kalimat adalah tanggal terjadinya perceraian sekaligus tanggal akta cerai. Sedangkan tanggal yang tercentum dalam anak kalimat adalah tanggal putusan atau penetapan yang digunakan sebagai dasar pernyataan telah tejadi perceraian.sehingga dapat disimpulkan bahwa perceraian terjadi saat akta cerai keluar. Sehingga menurut hemat penulis penggunaan tanggal atas dalam penentuan awal masa „iddah lebih aman karena tidak akan ada banding. Adanya perbedaan dalam penentuan awal masa „iddah maka timbul perbedaan dalam berbagai permasalahan sebagai berikut: 1.
KUA Sumowono a.
„Iddah sudah habis dikarenakan awal „iddah di KUA Sumowono lebih awal.
2.
b.
Tidak boleh berhubungan badan karena „iddah sudah habis
c.
Sudah diperbolehkan menikah lagi karena‟iddah sudah habis
KUA Tuntang a.
„Iddah belum habis malah bisa saja belum menyandang „iddah karena Awal „iddah di KUA Tuntang lebih lama dibandingkan KUA Kecamatan Sumowono. Sedangkan di KUA Sumowono „iddah-nya lebih awal.
68
b.
Masih boleh berhubungan badan karena, selama suatu penetapan belum mempunyai kekuatan hukum tetap maka hubungan antara pemohon dan termohon masih sebagai suami istri.
c.
Belum diperbolehkan menikah lagi karena „iddah belum selesai/habis, bisa juga belum menyandang „iddah.
Dari perbedaan diatas menunjukkan bahwa belum adanya kejelasan mengenai tata aturan yang baku dalam menetapan awal masa „iddah. Pengadilan Agama sendiri tidak mempunyai wewenang dalam hal tersebut, begitu juga KUA Sumowono. Dari hasil wawancara kepada kepala KUA Sumowono mengemukakan bahwa KUA Sumowono juga tidak memiliki wewenang dalam hal menetapkan awal masa „iddah. Menurut rois (2013:39) berdasarkan wawancara dengan Drs. H. Machmud, SH selaku hakim Pengadilan Agama Salatiga menyatakan bahwa dalam masalah „iddah, Pengadilan Agama hanya berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perceraian. Dalam beberapa kasus yang terjadi sering kali KUA Sumowono menggunakan tanggal bawah dalam menetapkan awal „iddah. Hal itu dikarenakan adanya permintaan dari calon pengantin yang ingin segera dinikahkan. Sebelum melakukan penikahan maka maka seseorang harus mendaftar di KUA wilayah tersebut dengan beberapa persyaratan dari kedua calon mempelai. Dan selebihnya adalah kebijakan KUA sebagai pelaksanakan tugas pokok dan fungsi kantor Kementerian Agama dalam wilayah kecamatan berdasarkan kebijakan kepala kantor wilayah Kementerian
69
Agama Provinsi dan kebijakan kepala kantor Kementerian Agama kabupaten dan peraturan perundang-undangaan. Dalam menentukan awal masa „iddah menurut pasal 153 ayat 4 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu: “Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dimulai sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami”. Dalam pasal tersebut menerangkan bahwa untuk menentukan awal masa „iddah adalah menggunakan tanggal putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Sehingga dari situ penulis dapat menyimpulkan bahwa yang mengeluarkan akta cerai adalah Pengadilan Agama, selanjutnya KUA adalah hanya sebagai pelaksana dalam menentukan „iddah dengan dasar dari tanggal penetapan yang berkekuatan hukum tetap yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama. Namun karena belum adanya tata aturan yang pasti dalam mengatur secara khusus mengenai tanggal yang mana yang berkekuatan hukum tetap maka boleh-boleh saja KUA Sumowono menggunakan tanggal bawah dalam menentukan awal masa „iddah karena dalam Fiqh awal „iddah dihitung saat suami mengeluarkan kata-kata talak. Namun dari sisi lain ketika ada dalam cerai talak maka sah-sah saja memakai tanggal bawah, namun ketika cerai gugat maka perlu diketahui bahwa dalam surat An-nisa‟ ayat 35:
70
ْ ُفٱب َعث ۡ َ ا بَ ٍِْۡ ِٖ ََب ُِ٘ا َد َن َٗب ٍِّ ِۡ أَ ٕۡيِ ِٔۦ َٗ َد َن َٗب ٍِّ ِۡ أَ ٕۡيَِٖبٓ إ َ َٗإِ ُۡ ِخ ۡفخٌُۡ ِشقَب َٰ ۡ ٌُشٌ َذ ٓا إ َّ َُّ ِبٓ إٞۗ ََ ٍَُْٖۡ َٱَّللُ ب َّ ق ٗ ِبُ َعيٍِ ًحَب َخب ٍشا َ ٱَّللَ َم ِ ِ ِ ِّصيَ ٗذب ٌ َُ٘ف Artinya:“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” Ayat tersebut memberikan pemahaman bahwa perceraian dalam cerai gugat harus diputus di depan hakim Pengadilan Agama. Mari kita sejajarkan dengan pasal 115 Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa: “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”
Maka dapat diambil pengertian bahwa putusnya perceraian dalam cerai gugat hanya bisa di lakukan di Pengadilan Agama. Dan Untuk mengetahui kapan „iddah-nya maka bisa dilihat dalam pasal 123 Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa: “Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan Pengadilan Agama.”
Dari beberapa keterangan diatas menyatakan bahwa perceraian harus di putus di depan hakim. Dan untuk cerai gugat maka harus diselesaikan di
71
Pengadilan Agama Dan penentuan awal „iddah-nyapun menggunakan penetapan yang berkekuatan hukum tetap yang juga dikeluarkan oleh Pengadilan Agama. Menurut Rois (2013: 39-47) hakim Pengadilan Agama Salatiga Mengutarakan bahwa tanggal yang berkekuatan hukum tetap adalah tanggal atas. Maka dapat dikatakan bahwa penentuan awal masa „iddah menggunakan tanggal bawah di KUA Sumowono tidak sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI), sedangkan penentuan awal masa „iddah di KUA Tuntang sudah sesuai dengan peraturan yang ada di Kompilasi Hukum Islam (KHI). Namun dilihat dari segi kemaslahatanya tentu itu adalah sesuatu yang tidak bisa dipungkiri bahwa setiap kepala masing- masing KUA pasti mempunyai kebijakan sendiri sendiri dalam mengambil tindakan demi memperoleh kemaslahatan bersama. Demi mencapai sesuatu yang maslahat dibutuhkan kebijakan walaupun terkadang serta merta tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
72
BAB V KESIMPULAN
A. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya mengenai Penentuan Awal Masa „Iddah yang melakukan Studi komparatif KUA Kecamatan Sumowono dan KUA Kecamatan Tuntang, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Sesuai dengan pasal 153 ayat 4 KHI perhitungan awal masa „iddah dimulai sejak penetapan oleh Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Penetapan yang dimaksud pasal tersebut adalah penetapan perceraian. Perceraian yang sah adalah perceraian yang sesuai dengan pasal 115 dan 123 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sebenarnaya pasal 153 belum memberikan kejelasan, namun dikuatkan pasal 115 dan pasal 123 Kompilasi Hukum Islam. Jadi perceraian dalam bentuk apapun yang dilakukan diluar persidangan dianggap tidak pernah ada atau dengan kata lain tidak sah dan perceraian dikatakan sah terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan Pengadilan Agama. 2. Dilihat dari ketentuan KHI pasal 153 yang dikuatkan dengan pasal 115 dan pasal 123 Kompilasi Hukum Islam, penentuan awal masa „iddah dengan menggunakan tanggal bawah dalam akta cerai sangatlah tidak sesuai. Dari penelitian ini menunjukkan bahwa awal masa‟iddah menurut KUA Sumowono dihitung sejak tanggal jatuhnya putusan. Sedangkan menurut KUA Tuntang dihitung sejak tanggal putusan yang mempunyai kekuatan
73
hukum tetap. KUA Tuntang dalam menentukan awal masa „iddah berdasar pada tanggal atas dalam akta cerai atau tanggal dimana jatuhnya putusan yang berkekuatan hukum tetap. Pedomanya adalah kaidah kalimat majemuk bertingkat dalam bahasa Indonesia yang ada pada akta cerai. Dan penggunaan tanggal atas dalam penentuan awal masa „iddah lebih aman karena sudah tidak akan ada banding. Sedangkan di KUA Sumowono menggunakan Pedoman Fiqh, karena dalam fiqh awal „iddah dimulai saat suami mengeluarkan kata-kata talak. Di dalam KHI sendiri masa awal ‟iddah dimulai setelah penetapan perceraian yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan pengadilan dikatakan mempunyai kekuatan hukum tetap setelah 14 hari dari pembacaan putusan dan tidak ada banding. Pasal tersebut dikuatkan juga oleh pasal 115 dan 123 Kompilasi Hukim Islam (KHI). Maka penggunaan tanggal bawah dalam menentukan „iddah di KUA Kecamatan Sumowono tidak sesuai dengan peraturan di Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sedangkan penggunaan tanggal atas dalam menentukan awal masa „iddah di KUA Kecamatan Tuntang sudah sesuai dengan peraturan di Kompilasi Hukum Islam (KHI). Mengenai siapa yang berwenang dalam menentukan awal masa „iddah adalah bukanlah KUA melainkan Pengadilan Agama. Karena yang mengeluarkan akta cerai adalah Pengadilan Agama. Sehingga bisa disimpulkan bahwa yang menetapkan akta cerai adalah Pengadilan Agama dan dalam hal itu tentu KUA adalah hanya sebagai pelaksana dalam
74
menentukan „iddah dengan dasar dari tanggal penetapan yang berkekuatan hukum tetap dalam akta cerai yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama.
B. SARAN Belum ada peraturan yang secara jelas mengatur mengenai penggunaan tanggal dalam akta cerai untuk menentukan kapan dimulainya awal masa „iddah. Ada perbedaan pendapat mengenai tanggal mana yang berkekuatan hukum tetap dan siapa yang berwenang dalam menentukan awal „iddah. Misalnya KUA Tuntang yang memakai tanggal atas dalam menentukan awal masa „iddah karena kepala KUA Tuntang berpendapat bahwa tanggal yang berkekuatan hukum tetap adalah tanggal atas. sedangkan KUA Sumowono menggunakan tanggal bawah dalam menentukan awal masa „iddah. Agar dalam penentuan masa „iddah ini dapat berjalan dengan lancar, sesuai dengan aturan yang berlaku, maka perlu dilakukan hal sebagai berikut : 1.
Lebih memikirkan banyak pertimbangan dalam menentukan awal masa „iddah di KUA.
2.
Perlu Undang-undang yang lebih
jelas yang mengatur mengenai
penetapan awal masa „iddah supaya ada kejelasan mengenai mana tanggal yang berkekuatan hukum tetap yang ada di dalam akta cerai. Sehingga instansi yang terkait tidak dengan mudah menyalahgunakan tanggal tersebut dalam menentukan awal masa „iddah.
75
3.
Perlu dilakukan pembinaan/ sosialisasi kepada Instansi terkait dalam memahami Undang-undang yang berlaku di Indonesia.
4.
Membuka seluas-luasnya kesempatan bagi semua orang khususnya mahasiswa yang ingin melakukan penelitian, untuk dapat mengetahui bagaimana penentuan awal masa „iddah, karena hal itu merupakan suatu yang penting menyangkut sah dan tidaknya suatu pernikahan.
76
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan. 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh. UU NO. I/ 1974 Sampai KHI). Jakarta: Kencana. Basyir, Azhar. 1986. Hukum Perkawinan Islam: Yogyakarta: UII Pres. Departemen Agama. 1985. Ilmu Fiqh. Jakarta: Departemen Agama. Koentjaraningrat. 1997. Metode-merode Penelitian Masyarakat. jakarta: Gramedia. Kamal, Malik. 2007. Diterjemahkan Ghozi dkk. Fiqh Sunah Wanita. Jakarta: Pena Pundi Aksara. Moloeng, Lexy J. 1989. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya. Rusyid, Ibnu. 2006 Bidayatul Mujtahid. Jakarta Pustaka Amin. Rofik, Ahmad. 20013. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. Rois, Muhammad Fahmi, 2013. Penentuan Awal Masa „Iddah Menurut Fiqh Munakahat dan KHI ( Studi Terhadap Pendapat Hakim Pengadilan Agama salatiga dan kepala KUA Argomulya. Skripsi Tidak Diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syari‟ah Stain Salatiga. Rasjid, Sulaiman. 1984. Fiqh Islam. Jakarta: Kurnia Esa. Sukmadinata, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (Antara Fikih Munakahat dan UU Perkawinan). jakarta: kencana.
77
Syarifuddin, Amir. 2007. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fikih Munakahat dan UU Perkawinan). Jakarta: Kencana. Sabbiq, Sayyid. 1987, Jillid 8, diterjemahkan Muhammad Thalib, Fikih Sunnah. Bandung: Al Ma‟arif. Sudarsono. 2010. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta Wahyudi, Muhammad Isna. 2009. Fiqih iddah, Klasik dan Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pesantren. Zed, Mestika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
78
LAMPIRAN-LAMPIRAN
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88