ACTA VETERINARIA INDONESIANA ISSN 2337-3202, E-ISSN 2337-4373
Vol. 2, No. 1: 7-11, Januari 2014
Penelitian
Studi Sistem Respirasi dan Kajian Mikrobiologis Lumba-lumba Hidung Botol Indo Pasifik (Tursiops aduncus) dari Perairan Laut Jawa (Systema Respiration and Microbiology Studies of Bottlenose Dolphins (Tursiops aduncus) Indo Pasific from The Java Sea) Guntari Titik Mulyani1, Yuda Heru Fibrianto2, Teguh Budipitojo3, Agustin Indrawati4 Bagian Ilmu Penyakit Dalam, 2Bagian Fisiologi, 3Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 4 Bagian Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor E-mail :
[email protected] Diterima 13 Juni 2013, Disetujui 13 Desember 2013 1
ABSTRAK Lumba-lumba hidung botol (bottlenose dolphin) adalah spesies lumba-lumba yang paling umum dan paling dikenal orang. Gangguan sistem respirasi pada lumba-lumba sering dijumpai, sementara jenis bakteri yang sering menyerang lumba-lumba dari perairan Laut Jawa belum pernah diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pemeriksaan klinis sistem respirasi lumba-lumba dan melakukan isolasi bakteri serta jamur pada sistem respirasi bottlenose dolphin (Tursiops aduncus) dari Perairan Laut Jawa. Penelitian dilakukan dengan studi pustaka, pemeriksaan klinis serta isolasi sampel sistem respirasi. Swab deep blowhole dilakukan terhadap sepuluh ekor bottlenose dolphin di PT. Wersut Seguni Indonesia. Sampel dikirim ke laboratorium Mikrobiologi FKH UGM untuk isolasi dan identifikasi terhadap bakteri dan jamur. Hasil penelitian menunjukan bahwa pemeriksaan klinis lumba-lumba hanya dapat dilakukan secara inspeksi. Hasil isolasi ditemukan bahwa 5 dari 10 lumba-lumba (50%) positif Staphylococcus aureus, sedangkan jamur tidak ditemukan. Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa pemeriksaan klinis lumba-lumba dapat dilakukan dengan cara inspeksi terhadap blowhole, tingkah laku hewan, adanya “chuff” atau “honk”, frekuensi respirasi, sosialisasi hewan dan posisi hewan saat berenang. Bakteri Staphylococcus aureus dijumpai pada sistem pernafasan lumba-lumba hidung botol dari perairan Laut Jawa di PT. Wersut Seguni Indonesia Kata kunci: sistem respirasi, bottlenose dolphin, bakteri, jamur.
ABSTRACT Bottlenose dolphin is a species of dolphin, which is widely known by people. The disturbance from respiration of dolphin often occur, meanwhile the bacteria, which attacked the dolphin, is not yet examined. This research is to study the clinical examination of dolphin respiration and isolation of bacteria also Fungi in respiration system of bottlenose dolphin from java sea. The study was conducted with the study of literature, clinical examination and isolation of respiration system sample. Deep blowhole swab conducted on ten bottlenose dolphins in PT. Wersut Seguni Indonesia. Samples were sent to the laboratory of Microbiology Faculty for isolation and identification of bacteria and fungi. From this research it can be concluded that dolphins clinical examination can only be conducted through inspections. The results of isolation was found that 5 out of 10 dolphins (50%) positive infected by Staphylococcus aureus, while the fungus was not found. Based on these results, it was concluded that the clinical examination dolphins can be done by inspection of the blowhole, animal behavior, a “chuff” or “honk”, the frequency of respiration, socializing animals and animal position while swimming. The bacteria Staphylococcus aureus is found on the respiratory system of bottle nose dolphins from the waters of the Java Sea in PT. Wersut Seguni Indonesia . Key words: respiratory system, bottlenose dolphin, bacteria, fungi © 2014 Fakultas Kedokteran Hewan IPB
R5_ACTA VETERINARIA_VOL 2 ED 1_ISI.indd 7
http://www.journal.ipb.ac.id/indeks.php/actavetindones
11/10/2014 11:24:55 AM
8 | Mulyani et al.
PENDAHULUAN Lumba-lumba adalah hewan yang dilindungi menurut SK Mentan No. 35/Kpts/Um/10/1975 (tertulis: dolphin), SK Mentan No. 716/Kpts/Um/10/1980 (tertulis: Cetacea), Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati, dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar (tertulis: semua jenis dari famili cetacea) (Noerdjito & Maryanto, 2001). Hewan tersebut digolongkan ke dalam Appendix II, hewan yang masuk dalam daftar appendix II ini adalah hewan yang tidak terancam kepunahan, tetapi mungkin terancam punah bila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan. Lumba-lumba hidung botol (bottlenose dolphin) adalah spesies lumbalumba yang paling umum dan paling dikenal orang. Habitatnya berada di perairan hangat di seluruh dunia dan dapat ditemui di hampir seluruh perairan kecuali Samudra Antartika dan Samudra Selatan (Brownel & Reeves, 2008). Bottlenose dolphin adalah mamalia laut yang bernafas dengan paru-paru. Lubang pernafasan external sebagai satu satunya lubang respirasi disebut sebagai blowhole yang berlokasi di dekat apex dari tulang tengkorak (Rommel & Lowenstine, 2001). Lumba-lumba memiliki beberapa kantong udara (air sac) sebelum masuk ke internal nares. Kantong udara ini berfungsi untuk menampung sementara nitrogen saat hewan menyelam yang akan dikeluarkan saat ekspirasi (Marshall, 2002).
Laring tersusun atas perpanjangan epiglotis dan kartilago. Kartilago juga ada pada bronkhi dan bronkhiolus dimana pada ujungnya terdapat spingter mioelastik yang diperlukan untuk adaptasi saat menyelam. Paru-paru pada beberapa Cetacea tidak berlobus. Ukuran paru-paru Cetacea sangat tergantung dari kemampuan dalam menyelam. Mamalia laut yang menyelam dalam dan lama cenderung memiliki paru-paru yang lebih kecil, sedangkan yang menyelam di tempat yang dangkal cenderung memiliki paru-paru yang lebih besar. Jumlah duktus alveolus sangat bervariasi pada beberapa spesies. Septa interalveolar memiliki kapiler ganda pada hampir semua Cetacea (Harrison, 1994). Blowhole membuka dan menutup karena adanya kontraksi dan relaksasi otot yang dikontrol oleh syaraf di daerah blowhole. Syaraf ini sangat peka terhadap perubahan tekanan, karenanya hewan tahu kapan blowhole bebas dari air sehingga aman untuk bernafas. Cetacea bernafas sangat kuat dan baik inspirasi maupun ekspirasi sangat cepat, bisa kurang dari satu detik sampai 1-2 detik (Sumich, 2002). Kelebihan sistem respirasi pada Cetacea bukan pada ukurannya, tetapi efisiensinya. Pada mamalia darat, jumlah udara yang keluar masuk paru-paru sekitar 10-15% dari kapasitas paru-paru, sedangkan pada mamalia laut kemampuan ini mencapai 75%. Udara yang keluar masuk ke paru-paru pada beberapa Cetacea bisa mencapai 90%, hal ini disebabkan oleh elastisitas dari jaringan. Paru-paru pada Cetacea sebagian besar tersusun atas kartilago yang dapat meluas untuk menampung volume
Gambar 1 Gambaran organ dalam dan saluran pernafasan dari blowhole sampai paru-paru Lumba-lumba hidung botol (bottlenose dolphin) (Marshall, 2002)
© 2014 Fakultas Kedokteran Hewan IPB
R5_ACTA VETERINARIA_VOL 2 ED 1_ISI.indd 8
11/10/2014 11:24:56 AM
Sistem Respirasi dan Kajian Mikrobiologis Lumba-lumba Hidung Botol | 9
udara yang besar dan akan secara kuat mengeluarkannya selama ekspirasi. Disaat paru-paru dan alveoli kolaps di bawah tekanan, trachea dan saluran penghubungnya tidak mengalami hal yang sama. Mekanisme inilah yang merupakan cara mencegah gangguan terhadap pengurangan tekanan udara dan untuk memudahkan pertukaran keluar masuknya udara (Watzok, 2002). Lumba-lumba dapat bertahan menyelam dalam waktu lama karena beberapa sebab, yaitu: (1) kemampuan menyimpan udara pada paru-paru sangat tinggi (75%); (2) denyut jantung dapat menurun dari 100 kali per menit menjadi 10 kali per menit untuk memelihara oksigen; (3) kemampuannya menarik darah yang kaya oksigen dari otot ke dalam organ untuk menjaga kadar oksigen dan mencegah gangguan karena kadar nitrogen yang tinggi ketika secara cepat ke permukaan dari penyelaman yang dalam. Lumba-lumba menyimpan oksigen dalam darah sebagai hemoglobin dan otot sebagai mioglobin sehingga dapat secara mudah digunakan saat diperlukan selama respirasi sel (Marshall, 2002). Gangguan kesehatan terbanyak yang sering terjadi adalah infeksi bakterial yang menyerang pada sistem pernafasan. Secara normal terdapat beberapa mikrobiota normal seperti bakteri, virus, jamur maupun protozoa yang hidup pada sistem respirasi lumba-lumba. Meskipun demikian, mikrobiota ini akan berubah menjadi patogen ketika hewan mengalami stress, imunosupresi ataupun dengan pengobatan antimikrobial tertentu. Penyakit bakterial, infeksi morbilivirus dan fitotoksin dilaporkan sebagai penyebab kematian mamalia air di dunia (Dunn et al., 2001). Buck (1987) berhasil mengisolasi beberapa jenis bakteri dari nekropsi bottlenose dolphin Atlantik. Dari blowhole berhasil diisolasi Staphylococcus aureus dan P mirabilis, sedangkan dari anus berhasil diisolasi Edwadsiella tarda, P mirabilis, Providencia sp., Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus hyicus dan Stertococcus faecalis. Pasteurella pada mamalia air juga seringkali terjadi tanpa adanya gejala klinis yang jelas. Kematian sering kali terjadi hanya beberapa jam setelah anoreksia, dan beberapa gejala lain seperti letargi, penurunan kemampuan berenang dan penurunan interaksi dengan hewan lainnya. Infeksi pada sistem pernafasan kebanyakan disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeroginosa. Pada lumba-lumba infeksi Staphylococcus aureus menyebabkan bronkopneumonia, sedangkan Pseudomonas aeroginosa selain menyebabkan bronkopneumonia juga menyebabkan pneumonia. Infeksi jamur yang paling sering terjadi pada
mamalia air adalah paru-parunary aspergillosis. Jamur lain yang sering menyerang adalah Candida albicans, Cryptococcus neoformans. Biasanya jamur masuk secara inhalasi ke dalam sistem pernafasan. Infeksi oleh jamur biasanya tidak kontagius ataupun menyebar ke spesies lainnya (Reidarson et al., 2001). Pada beberapa lumba-lumba dilaporkan bahwa Aspergillus fumigatus menyebabkan nekrotik pneumonia dan ensepalitis. Gangguan ini ditandai adanya nodula pada paru-paru. Infeksi Candida albicans menyerang pada sistem respirasi, kulit, mulut dan esophagus mamalia air. Penyebaran infeksi bisa berakibat fatal pada mamalia air yang mengalami captivity.
BAHAN DAN METODE Penelitian tentang studi sistem pernafasan lumba-lumba hidung botol (Tursiops aduncus) dan kajian mikrobiologis ini dilakukan melalui pengambilan sampel di lapangan serta pemeriksaan sampel di laboratorium dan studi pustaka. Sepuluh ekor lumba-lumba hidung botol dari perairan Laut Jawa yang telah mengalami captivity di PT. Wersut Seguni Kendal Jawa Tengah digunakan sebagai hewan coba. Hewan diperiksa secara klinis yang meliputi inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi sebelum pengambilan sampel. Sampel deep blowhole dilakukan dengan swab pada lubang udara untuk memperoleh bakteri dari sistem pernafasan. Beberapa kendala dijumpai saat pengambilan swab, hal ini disebabkan karena: (1) swab harus dilakukan di darat, sedangkan lumba-lumba sangat lincah bergerak di air, sehingga diperlukan waktu yang cukup untuk mengangkat lumba-lumba dari kolam; (2) waktu blowhole membuka sangat pendek, sehingga swab harus dilakukan cepat dan hati-hati agar swab tidak tertinggal dalam blowhole (Gambar 2).
Gambar 2 Pengambilan swab melalui blowhole http://www.journal.ipb.ac.id/indeks.php/actavetindones
R5_ACTA VETERINARIA_VOL 2 ED 1_ISI.indd 9
11/10/2014 11:24:56 AM
10 | Mulyani et al.
Identifikasi bakteri dan jamur dilakukan dengan pengamatan morfologi baik secara makroskopis ataupun mikroskopis. Koloni bakteri ataupun jamur yang telah diseleksi selanjutnya ditanaman dan diuji pada media sesuai untuk mengisolasi bakteri sesuai jenisnya. Isolasi dan identifikasi dilakukan sesuai prosedur yang telah dibakukan dan dilaksanakan di laboratorium Mikrobiologi FKH UGM.
HASIL Hasil studi pustaka yang dilakukan, diperoleh pemahaman tentang anatomi dan fisiologi sistem pernafasan yang diharapkan dapat membantu dalam melakukan pemeriksaan klinis. Dalam Pemeriksaan klinis terhadap 10 ekor lumba-lumba terhadap sistem pernafasannya ternyata tidak dapat dilakukan dengan cara palpasi, auskultasi dan perkusi. Pemeriksaan klinis lumba-lumba hanya dapat dilakukan dengan cara inspeksi terhadap blowhole, tingkah laku hewan, adanya “chuff” atau “honk”, frekuensi respirasi, sosialisasi hewan dan posisi hewan saat berenang. Dari hasil isolasi dan identifikasi bakteri, setelah sampel swab yang diperoleh dari blowhole dan dibiakkan ke media agar didapatkan hanya kuman gram positif yang muncul setelah dilakukan pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis dari koloni. Dari 10 sampel diperoleh hasil bahwa 5 ekor lumba-lumba (50% dari yang diteliti) positif terhadap Staphylococcus aureus, sedangkan bakteri lain termasuk Pseudomonas aeroginosa dan Pasteurella multocida tidak dijumpai pada semua sampel. Selain dilakukan pemeriksaan terhadap bakteri dari swab sampel juga dilakukan pemeriksaan terhadap keberadaan jamur dengan menggunakan media Sabouraud’s Dextrose Agar (SDA), seluruh sampel menunjukkan hasil negatif.
PEMBAHASAN Dalam Pemeriksaan klinis terhadap 10 ekor lumba-lumba terhadap sistem pernafasan ternyata tidak dapat dilakukan dengan cara palpasi, auskultasi dan perkusi. Palpasi tidak dapat dilakukan karena tulang serfikalis lumba-lumba sangat pendek, sehingga tampak tidak memiliki leher. Selain hal tersebut, otot superfisial lumba- lumba sangat kompleks serta kulit lumba-lumba sangat tebal karena adanya “blubber” dan otot panniculus. Auskultasi dan perkusi pada lumba-lumba hidung botol tidak dapat dilakukan karena adanya berbagai sebab, antara lain: (1) letak pulmo lebih ke cranial, sehingga sebagian tertutup oleh tulang scapula; (2)
karena letaknya yang lebih ke cranial, daerah pulmo tertutup oleh otot yang sangat kompleks; (3) lumba-lumba memiliki blubber yang sangat tebal; (4) epidermis lumba-lumba lebih tebal 10x dari epidermis mamalia darat; (5) lumba-lumba melakukan respirasi dengan frekuensi hanya 2-3 kali per menit dan (6) saat ekspirasi dan inspirasi lumba-lumba sangat pendek (hanya sepertiga sampai 1 - 2 detik). Pemeriksaan klinis dapat dilakukan dengan cara inspeksi terhadap tingkah laku, blowhole, frekuensi lumba-lumba mengambil nafas per menit, kecepatan ekspirasi dan inspirasi, adanya suara “chuff” atau “honk” (batuk), posisi lumba-lumba saat berenang, serta sosialisasi lumba-lumba. Gambaran otot superfisial lumba-lumba hidung botol disajikan pada Gambar 2.
(A)
(B) Gambar 2 Anatomi sistem pernafasan (A) dan otot superfisial (B) lumba-lumba hidung botol (bottlenose dolphin) (Marshall, 2002). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dunn et al. (2001) dan Foster et al. (1999) keberadaan bakteri-bakteri patogen seperti Pseudomonas sp., Staphylococcus sp., dan Salmonella sp. pada saluran pernafasan lumba-lumba berpotensi untuk terjadinya pneumonia. Selain bakteri patogen Streitfeld et al. (1976) juga menyebutkan bahwa S. aureus merupakan mikroflora normal di dalam tubuh lumba-lumba hidung botol atlantik (T. truncatus) yang hidup liar. Secara normal terdapat beberapa mikrobiota pada sistem respirasi, seperti bakteri, virus, jamur maupun protozoa. Keberadaan mikrobiota normal ditentukan oleh interaksi antara hospes dan lingkungannya. Beberapa faktor dapat mempengaruhi interaksi tersebut, seperti umur, ras, diet, stress, perilaku seksual, pengobatan,
© 2014 Fakultas Kedokteran Hewan IPB
R5_ACTA VETERINARIA_VOL 2 ED 1_ISI.indd 10
11/10/2014 11:24:57 AM
Sistem Respirasi dan Kajian Mikrobiologis Lumba-lumba Hidung Botol | 11
musim, lokasi geografis, kepadatan populasi dan prosedur kebersihan (Marshall, 2002). Meskipun demikian, mikrobiota ini akan berubah menjadi patogen ketika hewan mengalami stress, imunosupresi ataupun dalam pengobatan antimikrobial tertentu. Studi penyakit pada cetacea yang mengalami captivity ditemukan bahwa infeksi pneumonia bakterial adalah penyebab penyakit yang paling sering terjadi. Carol et al. (1991) melaporkan bahwa telah terjadi banyak kematian lumba-lumba karena pneumonia oleh Staphylococcus aureus. Staphylococcus aureus juga dilaporkan diisolasi dari lumba-lumba captivity sebagai mikrobiota normal maupun dari paru-paru lumba-lumba yang memiliki gejala klinis bronko-pneumonia (Streitfeld & Chapman, 1976). Hasil isolasi jamur terhadap sampel swab deep blowhole tidak ditemukan adanya Aspergillus fumigatus, Candida albicans ataupun Cryptococcus neoformans. Pada beberapa lumba-lumba dilaporkan bahwa Aspergillus fumigatus menyebabkan nekrotik pneumonia dan ensephalitis. Gangguan ini ditandai adanya nodula pada paru-paru. Infeksi Candida albicans menyerang pada sistem pernafasan, kulit, mulut dan esophagus mamalia air. Penyebaran infeksi bisa berakibat fatal pada mamalia air yang mengalami captivity (Reidarson et al., 2001).
DAFTAR PUSTAKA Brownell RL, Reeves RR. 2008. Biological background on bottlenose dolphins (Tursiop spp.) in the life-capture trade and specifically on the Indio-Pacific bottlenose dolphin, T. Aduncus. Dalam: Convention on international trade in endangered species of wild fauna and flora. Geneva p1-2. Carol JP, Peter S, Roger S, Fujioka, James TD. 1991. Staphylococcus Aureus Infection in Newly Captured Pasific bottlenose Dolphins (Tursiops trun-
catus gilli). Journal of Zoo and Wildlife Medicine 22(3): 330-338. Dunn LJ, Buck JD, Robeck TR. 2001. Bacterial Disease of Cetaceans and Pinnipeds in Marine Mammals Medicine. Second ed. CRC Press LLC, United State of America. p325-326. Foster G, Patterson IAP, Munro DS. 1999. Monophasic group B Salmonella species infecting harbor porpoises (Phocoena phocoena) inhabiting Scottish coastal waters. Veterinary Microbiology 65: 227-231. Harrison SR. 1994. Whales, Dolphins and Porpoises. New York: Facts on File, Inc. Marshall CD. 2002. Morphology in Encyclopedia of Marine Mammals. W.F. Perrin, B. Wursig and J.G.M. Thewissen (eds.). Academic Press, San Diego. p770-773. Noerjito M, Maryanto I. 2001. Jenis-jenis hayati yang dilindungi perundang-undangan indonesia. Cibinong: Balitbang Zoologi dan The Nature Conservancy. p17. Reidarson TH, McBrain JF, Dalton LM, Rinaldi MG. 2001. Mycotic Disease in Marine Mammals Medicine. 2nd ed. CRC Press LLC, United State of America. p337-338. Rommel SA, Lowenstine LJ. 2001. Gross and Microskopic Anatomy, in CRC Handbook of Marine mammal. Edisi ke 2.: Dieruf LA and Gulland FMD. New York: CRC Press. p139. Sumich JL. 2002. Blowing in Encyclopedia of Marine Mammals. WF Perrin, B Wursig and JGM. Thewissen (eds.). Academic Press, San Diego. p105-107 Wartzok D. 2002. Breathing in Encyclopedia of Marine Mammals. WF Perrin, B Wursig and JGM. Thewissen (eds.). Academic Press, San Diego. p164-169.
http://www.journal.ipb.ac.id/indeks.php/actavetindones
R5_ACTA VETERINARIA_VOL 2 ED 1_ISI.indd 11
11/10/2014 11:24:57 AM