Konferensi Nasional Ilmu Sosial & Teknologi (KNiST) Maret 2017, pp. 57~65
57
PENELITIAN EKSPERIMENTAL INTONASI PEMARKAH KETAKSAAN UJARAN (Kajian Fonetik) 1
Juniato Sidauruk , Jimmi
2
1
AMIK / ABA BSI JAKARTA
[email protected];
[email protected] 2
ABA BSI JAKARTA
[email protected]
Abstrak Unsur segmental dan suprasegmental atau prosodi berperan dalam membentuk ujaran. Prosodi (variasi nada) mampu menimbulkan ketaksaan atas suatu ujaran. Ketaksaan merupakan persepsi makna ujaran yang berterima atau lazim pada suatu bahasa. Suatu ujaran ketika diperdengarkan kepada pengguna bahasa akan mendapatkan respons yang mungkin sama bahkan juga berbeda. Perbedaan ini diyakini menciptakan ketaksaan. Tujuan penelitian ini untuk mengungkap bagaimana ketaksaan suatu ujaran terjadi, dan untuk mengetahui apa saja pesan atau ekspresi yang tercipta atas ketaksaan sesuai respons penutur bahasa pada umumnya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan melakukan analisis akustik terhadap ujaran dari satu (1) informan, kemudian diujipersepsikan pada lima (5) responden. Penelitian ini menggunakan skema aplikasi ancangan IPO (Instituut voor Perceptie Onderzoek) yakni ancangan pada signal akustik sampai analisis parameter akustik ujaran. Ditemukan bahwa hipotesa yang dikemukakan peneliti adalah terbukti. Ketaksaan makna pada saat inklinasi cenderung tidak mengalami ketaksaan makna. Modifikasi dengan inklinasi 20Hz secara berurut hingga pada inklinasi 20Hz berikutnya tidak secara signifikan menciptakan atau berpotensi menghadirkan ketaksaan makna. Suatu ujaran dapat menjadi taksa jika mengalami modifikasi baik secara inklinatif 20Hz, maupun modifikasi secara deklinatif 20Hz. Kategori atas ketaksaan yang diujipersepsikan pada responden dianggap berterima karena tidak satupun dari sembilan (9) stimuli yang mutlak berskor nol (0). Ada lima (5) ekspresi yang taksa berdasarkan persepsi responden yaitu ujaran sebagai ekspresi tidak senang, kurang senang, senang, sangat senang, dan luar biasa senang. Hasil penelitian dan penerapan skema IPO sangat bermanfaat dalam mengkaji makna ujaran sehari-hari baik untuk kebutuhan akademik maupun untuk kebutuhan khusus seperti pengkajian ujaran dalam urusan pengadilan. Keywords : akuistik, deklinasi, inklinasi, ketaksaan ujaran, prosodi
1. Pendahuluan Unsur segmental dan suprasegmental atau prosodi berperan dalam membentuk ujaran. Satuan-satuan struktural konstituen tuturan merupakan ciri unsur segmental sedangkan unsur nonsegmental yang menyertai realisasi pengujaran unsur-unsur segmental itu sendiri merupakan karakteristik unsur suprasegmental. Eksistensi dari kedua unsur dimaksud berperan secara bersamasama dalam membentuk makna sebuah tuturan. Salah satu objek penelitian yang menarik adalah penelitian seputar ciri prosodi sebuah bahasa. Prosodi di sini merupakan
variasi nada. Variasi nada mampu menimbulkan ketaksaan suatu tuturan atau ujaran hanya jika tidak didapati keteraturan nada sepanjang ujaran dimaksud sebagaimana dihayati oleh para penutur ujaran tersebut. Persepsi makna ujaran atau sering dipahami sebagai ciri ketaksaan sangat mungkin terjadi oleh akibat adanya kekeliruan dalam penerapan variasi prosodi yang berterima atau lazim pada suatu bahasa. Tentu, pengetahuan tentang ciriciri prosodi oleh setiap orang (pengguna bahasa) akan mampu meminimalisir ketaksaan atas apa yang diujar.
Diterima 02 Maret 2017; Revisi 15 Maret 2017; Disetujui 15 Maret 2017
ISBN: 978-602-61242-0-3 Suatu ujaran ketika diperdengarkan kepada pengguna bahasa tentu akan mendapatkan respons yang mungkin sama bahkan berbeda. Perbedaan ini tentu dilatarbelakangi oleh berbagai faktor, sehingga diyakini telah tercipta ketaksaan. Ketaksaan yang mencakup makna ujaran, pesan, dan respons yang dapat jelas mendukung atau menolak suatu makna asal dari ujaran tersebut. Atas hal inilah penulis berpedoman bahwa sangat menarik untuk meneliti (mencari tahu) pada saat mana intonasi suatu ujaran ketika dilakukan eksperimen akan menimbulkan respons yang beragam. Beberapa hal ingin diungkap lewat penelitian ini terkait dengan ketaksaan atas ujaran tertentu. Maka dari itu, tujuan penelitian ini dapat dikategorikan atas: 1. Bagaimana ketaksaan suatu ujaran terjadi? 2. Apa saja pesan atau ekspresi yang tercipta atas ketaksaan dimaksud sesuai respons penutur bahasa (responden) pada umumnya. Intonasi sebagai salah satu aspek yang menimbulkan ketaksaan, lebih jauh lagi pesan. Pesan yang dimaksudkan di sini merupakan tingkat keberterimaan para penutur bahasa tersebut. Sikap pembicara dalam berujar, intonasi yang bergradasi barangkali sangat tinggi, tinggi, sedang, kurang tinggi, dan datar berperan dalam menciptakan ketaksaan dan perbedaan pesan dimaksud. Intonasi dapat mengubah makna sebuah kalimat dari bentuk pernyataan ke bentuk pertanyaan tanpa mengubah susunan kata (Ladefoged, 1982). Dalam bentuk tulisan dapat kita sebut kalimat. Sama halnya dengan bentuk ujaran. Dengan mengubah intonasi berarti juga dapat mengubah makna atau dalam skala lebih luas menimbulkan ketaksaan. Maka perlu dibuat hipotesa terlebih dahulu. Hipotesis mengacu pada ide yang menjelaskan tentang data (Roca dan Johnson, 1999). Data di sini adalah intonasi ujaran. Intonasi menempatkan nada sebagai unsur utama dalam intonasi. Adanya variasi nada membentuk suatu melodi (ritme) ujaran; dan lalu alir nada tercipta pada segmen-segmen struktur ujaran, yang tentu akan membentuk kontur nada pada ujaran dimaksud secara menyeluruh („t Hart, et.al., 1990). Lehiste (1970) berpostulat bahwa intonasi sebagai ciri tonal (tonal features) dan ada KNiST, 30 Maret 2017
pada tingkat kalimat. Ciri tonal pada kalimat tertentu juga mengandung makna nonlinguistis. Pembicara dalam bersikap dan syarat pesan yang ingin disampaikan melalui ujaran (dalam kalimat) itu menjadi ciri tonal. „t Hart et.al. (1990) mengemukakan bahwa satuan terkecil analisis perseptual adalah alir nada; lalu membentuk kontur nada sebagai satuan yang lebih besar dan merupakan satuan terbesar dalam hal analisis intonasi. Dalam pelaksanaan analisis dimaksud dapat dilakukan dalam wujud klausa atau kalimat; tetapi dapat juga dianalisis per bagian yang sering disebut dengan silabe bunyi (proses segmentasi). Kontur nada tersebut memiliki pola yang mana setiap pola menghasilkan sejumlah varian yang lalu membentuk seperangkat kontur yang serupa sesuai keadaan semula. Pada suatu ujaran, ada kecenderungan nada pada akhir kalimat adalah menurun dan penurunan ini dikenal dengan deklinasi. Ide ini dirujuk oleh peneliti pada pendapat „t Hart et.al. (1990) bahwa frekuensi fundamental ujaran dalam bahasa cenderung berangsur-angsur menurun dari permulaan hingga akhir dari ujaran dimaksud. Frekuensi diukur dengan Hertz (Gussenhoven dan Jacobs, 1998). Analisa untuk menguji ketaksaan makna atas suatu ujaran menggunakan ancangan IPO (Instituut voor Perceptie Onderzoek). Ancangan IPO bertolak pada signal akustik sampai analisis parameter akustik ujaran („t Hart, et.al., 1990) merupakan skema yang akan diterapkan dalam penelitian ini. Pemilihan skema ini karena berfokus pada analisis akustik suatu ujaran hingga pada persepsi (keberterimaan). Ancangan (skema) ini diaplikasikan pada saat suatu ujaran tercipta, lalu dilakukan proses uji persepsi. Skema IPO mencakup tiga kegiatan inti yaitu ujaran, pengolahan data dengan analisis akustik, serta uji persepsi (Rahyono, 2003). Manipulasi salin-serupa atas frekuensi dasar sebagai serangkaian deskripsi intonasi dan menjadi sintesis perkiraan rangkaian nada alami. Lalu, hasil sintesis itu dijadikan dasar untuk melakukan eksperimen dengan memodifikasi kontur intonasi. Selanjutnya, hasil modifikasi intonasi diujipersepsikan kepada penutur untuk menentukan keberterimaan ujaran sebagai tuturan yang bermakna (Rahyono, 2003). 58
ISBN: 978-602-61242-0-3
Metode Penelitian Penelitian ini dirancang melalui beberapa metodologi, yakni tahapan/prosedur, informan, responden, serta teknik penjaringan data dan materi ujaran yang diuraikan seperti di bawah ini. Tahapan yang diaplikasikan dalam penelitian ini adalah: 1. Produksi Ujaran Pada tahapan ini peneliti melakukan perekaman secara alami. Maksudnya penutur ujaran tidak mengetahui ada proses perekaman. Tetapi penutur tetap diberitahu setelah terjadi proses rekaman untuk menjelaskan tujuan perekaman dan meminta ijin atas ujaran tersebut untuk dianalisis. 2. Analisis Akustik Peneliti menggunakan program Praat.exe (Boersma dan Weenink, 1992) untuk melakukan proses editing atas ujaran, lalu melakukan segmentasi hingga stilisasi salinserupa dan memanipulasi data untuk mendapatkan stimuli. 3. Uji Persepsi Data hasil manipulasi diujipersepsikan pada penutur bahasa, lalu atas respon para responden dilakukan analisis statistik. Uji persepsi atas jenis ujaran dilakukan terlebih dahulu kepada lima (5) orang responden untuk mengkategorikan jenis ujaran asli informan dan ujaran hasil manipulasi. Lalu setelah jenis ujaran diperoleh, peneliti melakukan uji persepsi untuk mendapatkan tingkat keberterimaan atas ujaran dimaksud kepada tiga puluh (30) responden. Pemilihan informan mengacu pada kriteria dari Samarin (1988) yaitu informan adalah penutur asli dan memiliki kefasihan sehingga mampu memberi korpus data yang melimpah, cermat, dan benar-benar mewakili; berusia cukup dewasa minimal tiga puluh (30) tahun sehingga memiliki pengetahuan bahasa dan budaya yang cukup luas dan mampu memahami maksud dan / atau instruksi peneliti serta tidak memiliki gangguan wicara maupun pendengaran. Penelitian ini menggunakan seorang informan wanita berusia tiga puluh (30) tahun, berprofesi sebagai karyawan. Informan ini dipilih karena memenuhi kriteria sebagaimana dikemukakan Samarin tentang kriteria pemilihan informan. KNiST, 30 Maret 2017
Keobjektifan penelitian diterapkan oleh peneliti sejak pemerolehan kategori jenis ujaran/ekspresi yang kemudian diujipersepsikan kepada lima (5) responden rekan kerja peneliti (dosen bahasa). Peneliti melakukan hal ini untuk mengkategorikan jenis ujaran. Setelah data jenis ujaran diperoleh, lalu dilakukan analisis kualitatif dimana jenis ujaran yang senada atau hampir sama diklasifikasikan menjadi sembilan (9) variabel. Lalu demi kemudahan persepsi saat diujipersepsikan nanti pada responden maka variabel tersebut diformulasikan atas lima (5) kategori. Lima (5) kategori inilah yang kemudian diujipersepsikan kepada tiga puluh (30) responden (mahasiswa/i); lima belas (15) orang pria dan lima belas (15) orang wanita. Pemilihan responden terkait dengan hasil yang diharapkan berhubung ujaran yang diujipersepsikan sering digunakan oleh kalangan muda-mudi; sehingga diharapkan akan tercipta spontanitas dalam menanggapi tipe ujaran yang diperdengarkan. Dalam hal penjaringan data, alat perekam telepon genggam HT63 double-X digunakan sehingga lebih mudah dioperasikan; dan upaya menghindari kesadaran informan akan adanya perekaman. Pada sisi materi ujaran, intonasi ujaran yang akan dianalisis, dimanipulasi serta diujipersepsikan diperoleh dengan teknik perekaman alamiah. Peneliti lebih dahulu menciptakan situasi dan memang situasi yang tercipta sesuai dengan kejadian sebenarnya. Untuk mendapatkan ujaran yang sebenar-benarnya, maka peneliti melakukan beberapa sisi teknik. Peneliti pada pagi hari melakukan kontak lewat telepon memastikan bahwa dikarenakan kesibukan maka peneliti tidak sempat dan meminta maaf tidak akan datang ke rumahnya bahkan peneliti memastikan tidak ada waktu untuk bersua. Lalu peneliti menonaktifkan telepon selular. Menjelang petang hari, peneliti menyempatkan diri singgah ke rumah informan seraya membawakan kado. Tentu dengan izin ibu informan pada sesi telepon lain, saya masuk tanpa mengucapkan salam dan meminta harap dimaklumkan. Situasi yang tercipta seperti berikut ini pada saat informan berulang tahun, dibawakan kado ulang tahun. Saat itu, informan lagi asyik menonton acara TV
59
ISBN: 978-602-61242-0-3
2. Pembahasan 3.1 Digitalisasi Akustik Ujaran hasil rekaman ditransfer oleh peneliti ke komputer guna digitalisasi sehingga memungkinkan untuk dilakukan proses pengeditan. Selanjutnya, bunyi tutur yang diedit tersebut disimpan ke dalam format .wav 3.2 Segmentasi Ujaran Silabe Ujaran hasil proses pengeditan tersebut dianalisis dengan melakukan segmentasi per silabe. Segmentasi ini dilakukan dengan penempatan pitchtier atas tiap silabe dengan sangat teliti. Lalu, ditampilkan dalam gambar di bawah ini dalam bentuk pola nada atau sinyal suara.
KNiST, 30 Maret 2017
wa
duh
ba
gus
ba
nget
0
1.311 Time (s)
Gambar 1. Segmentasi pola nada ujaran “Waduh bagus banget” 600
Frequency (Hz)
sepertinya tidak ada yang spesial. Berikut hasil rekaman dari tuturan informan. Peneliti : Sayang selamat ulang tahun ya. Nih gua bawain kado. Informan : Aduh makasih ya, kok repotrepot amat sih. Waduh bagus banget. Makasih ya sayang. Peneliti : Ya. Nih pakein nih. Hasil rekaman atas ujaran yang diperoleh sangat alami sesuai teknik yang dirancang peneliti sebelumnya. Sehingga dalam ujaran tersebut ada ujaran yang mengekspresikan kegembiraan yang benar-benar alami. Peneliti menentukan tuturan yang akan dijadikan sebagai korpus data dari data yang telah diperoleh. Intonasi atau korpus data pemarkah ketaksaan yang akan dianalisis adalah tuturan “Waduh bagus banget”. Pilahan pada ujaran ini tidak sembarang pilih. Selain ekspresi tersirat disana, bahwa ujaran dimaksud tidak lagi terkait atau tergantung dari ujaran sebelumnya “Aduh makasih ya, kok repotrepot amat sih.” Ujaran “Waduh bagus banget” terucap setelah informan membuka isi kado; dan ujaran tersebut sekali lagi sangat tidak pernah diduga oleh peneliti. Ketaksaan makna atas ujaran inilah yang akan dianalisis peneliti. Tentu ketaksaan yang dimaksudkan di sini adalah analisis statistika setelah dilakukan uji persepsi berdasarkan respon dari para responden.
wa
duh
ba
gus
ba
0 0
nget 1.311
Time (s)
Gambar 2. Base-line slope ujaran “Waduh bagus banget” Pada gambar di atas terdapat dua sumbu, yakni horisontal dan vertikal. Sumbu horisontal dengan angka 0 – 1.311 menunjukkan bahwa ujaran yang digunakan sebagai base-line slope berdurasi 1.311 detik. Sumbu vertikal menunjukkan frekuensi dari base-line slope ujaran. 3.3 Stilisasi Salin-Serupa Kontur Stilisasi salin-serupa bertujuan untuk membuat salin serupa kontur dengan tuturan aslinya. Ujaran tersebut distilisasi dan dilakukan manipulasi yang bertujuan untuk menaikkan titik pitch (nada) sehingga mengalami kenaikan dan penurunan frekuensi secara teratur sebesar 20Hz. Manipulasi dengan menaikkan serta menurunkan pitch ini dilakukan untuk memperoleh ketaksaan dari ujaran itu sendiri yang nantinya akan diujipersepsikan kepada penutur bahasa. Dipilih naik – turun pitch 20Hz untuk mempertajam uji persepsi ketika diperdengarkan kepada penutur
60
ISBN: 978-602-61242-0-3 600
Frequency (Hz)
sehingga dapat diperbandingkan antara ujaran suara asli (sebelum dimanipulasi) dan ujaran hasil manipulasi. Warna merah pada kontur nada digunakan untuk menegaskan kontur nada asli. Berarti nada dengan warna berbeda baik di atas maupun di bawah kontur nada asli (warna merah) mengalami manipulasi pitch sebesar 20Hz.
wa
duh
ba
gus
ba
nget
0 0
1.311 Time (s)
500
Gambar 5. Inklinasi
wa
duh
ba
gus
ba
Frequency (Hz)
Frequency (Hz)
500
nget
0 0
1.311 Time (s)
Gambar 3. Stilisasi Ujaran “Waduh bagus banget”
wa
duh
ba
gus
ba
0 0
nget 1.311
Time (s)
Gambar 6. Deklinasi
Keterangan warna kontur nada pada Gambar 3: Merah = sebagai patokan kontur nada (base-line slope) Hijau = modifikasi kontur „Merah‟+20Hz Biru = modifikasi kontur „Hijau‟+20Hz Ungu = modifikasi kontur „Merah‟-20Hz Merah muda = modifikasi kontur „Ungu‟-20Hz Biru tua = modifikasi kontur „Merahmuda‟-20Hz Merah maron= modifikasi kontur „Biru tua‟-20Hz Abu-abu = modifikasi kontur „Merah maron‟-20Hz Hijau muda= modifikasi kontur „Abu-abu‟-20Hz Merah muda (paling bawah) = modifikasi kontur „Hijau muda‟-20Hz Tanda + berarti modifikasi naik 20Hz Tanda - berarti modifikasi turun 20Hz
3.4 Hipotesa Untuk mencapai tujuan penelitian, unsur ketaksaan ujaran pada modifikasi alir nada dibuat berdasarkan 2 hipotesa. Hipotesis 1: Ungkapan kegembiraan ditandai dengan inklinasi pada base-line slope.
Frequency (Hz)
500
wa
duh
ba
gus
ba
nget
0 0
Gambar 4 di atas merupakan alir nada ujaran pada korpus data. Gambar 5 di atas merupakan alir nada dengan kenaikan 20Hz; dan turun serta cenderung turun 20Hz pada gambar 6. Dari hipotesis di atas dapat diisyaratkan bahwa jika modifikasi naik 20Hz dari baseline slope maka secara signifikan mengekspresikan kegembiraan yang berlebih. Untuk melihat kemungkinan taksa, maka diajukan hipotesis dua. Hipotesis 2: Jika modifikasi turun dan memiliki kecenderungan turun 20Hz, maka secara signifikan cenderung mulai menghadirkan ketaksaan (ambiguitas) makna atas ujaran tersebut; dan berpotensi mengubah ketaksaan makna secara signifikan tidak gembira. Ujaran yang diujipersepsikan adalah ekspresi itu sendiri dengan modifikasi alir nada secara inklinasi dan deklinasi yang mungkin akan menimbulkan ketaksaan makna akibat dari modifikasi alir nada dari alir nada pada korpus data. Korpus data dimaksudkan di sini adalah data rerata keberterimaan atas ujaran. Berikut digambarkan alir nada pada (5a) korpus data, (5b) deklinasi.
1.311 Time (s)
Gambar 4. Base-line slope
KNiST, 30 Maret 2017
61
ISBN: 978-602-61242-0-3 600
Tabel 2. Persentase Uji Persepsi Stimulus
Frequency (Hz)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
wa
duh
ba
gus
ba
nget
0 0
1.311 Time (s)
Gambar 7. Alir Nada Base-Line Slope
Frequency (Hz)
wa
duh
ba
gus
ba
nget 1.311
Time (s)
Gambar 8. Deklinasi Alir Nada 3.5 Hasil Uji Persepsi Berikut ini peneliti akan menunjukkan hasil uji persepsi secara random (acak). Hal ini dilakukan agar responden diharapkan dapat merespon secara spontan atas tiap modifikasi ujaran yang diperdengarkan (Tabel 1). Lalu, hasil uji persepsi secara random tersebut akan disusun kembali secara berurutan (Tabel 2). Warna pada tabel dipertahankan peneliti untuk mempermudah rujukan seperti pada gambar 3 stilisasi salin serupa. Uji persepsi dilakukan dengan instrumen laptop merek Compaq Presario CQ40 dan speaker active merek Advante 9000 PMPO. Berdasarkan uji persepsi yang telah dilakukan secara acak, lalu dirunut kembali, maka diperoleh hasil seperti pada tabel uji persepsi di bawah ini. Tabel 1. Uji Persepsi Sk or 3
R
7
9
22
7
11
1 2 3
Persepsi S R Sk or 1 17 2 8 16
7
6
12
4
2
2
5
9
1
5
1 8 2
36
7
12
3
8
18
1 1 4
21
8
1 5 2
9
5
7
1 5
Stimul us
R
1
3
2 3
6 7
TS
KS
8
7
Sk or 11
SS
LBS Sk or 4 8
Sk or 9
R
2
4
1
2
26
4
8
1
1 0 8
18
35
5
9
0
0
1 3 0
25
6
14
2
5
28
1 2 3
5
1
1
0
0
3
2
4
26
1 0
19
1 1 0
32
28
1 1 0
KNiST, 30 Maret 2017
R 4
0
KS 23 41 11 14 21 28 51 4 52
Persentase S 35 30 19 1 16 38 9 5 35
SS 19 8 41 28 0 21 2 36 0
LBS 17 4 12 54 0 8 0 44 0
Keterangan Tabel: Warna = sebagai penanda stimulus TS = Tidak Senang KS = Kurang Senang S = Senang SS = Sangat Senang LBS = Luar Biasa Senang R = Responden
500
0 0
TS 6 17 17 3 63 5 38 11 13
0
Penomoran stimulus pada tabel uji persepsi di atas menunjukkan urutan stimulus jenis ujaran. Persentase didapat dengan menjumlahkan n responden yang memilih satu persepsi dan Skor Keberterimaan. Penjumlahan dan persentase ini menggunakan program Microsoft Excel 2010. Setelah dilakukan uji persepsi, maka ujaran untuk sembilan (9) stimuli dapat dianalisis dan diuraikan per stimulus seperti di bawah ini: Stimulus 1: - Persentase tertinggi 35% pada persepsi Senang dengan Skor 17 dipilih oleh 12 responden. - Persentase terendah 6% pada persepsi Tidak Senang dengan Skor 3 dipilih oleh 3 responden. Stimulus 2: - Persentase tertinggi 41% pada persepsi Kurang Senang dengan Skor 22 dipilih oleh 12 responden. - Persentase terendah 4% pada persepsi Luar Biasa Senang dengan Skor 2 dipilih oleh 1 responden. Stimulus 3: - Persentase tertinggi 41% pada persepsi Sangat Senang dengan Skor 26 dipilih oleh 10 responden. - Persentase terendah 11% pada persepsi Kurang Senang dengan Skor 7 dipilih oleh 3 responden. Stimulus 4: - Persentase tertinggi 54% pada persepsi Luar Biasa Senang dengan Skor 35 dipilih oleh 13 responden.
0
62
ISBN: 978-602-61242-0-3 Persentase terendah 1% pada persepsi Senang dengan Skor 1 dipilih oleh 1 responden. Stimulus 5: - Persentase tertinggi 63% pada persepsi Tidak Senang dengan Skor 36 dipilih oleh 18 responden. - Persentase terendah 0% pada persepsi Sangat Senang dan Luar Biasa Senang dengan Skor 0 dan tidak ada responden yang memilih. Stimulus 6: - Persentase tertinggi 38% pada persepsi Senang dengan Skor 25 dipilih oleh 12 responden. - Persentase terendah 5% pada persepsi Tidak Senang dengan Skor 3 dipilih oleh 2 responden. Stimulus 7: - Persentase tertinggi 51% pada persepsi Kurang Senang dengan Skor 28 dipilih oleh 15 responden. - Persentase terendah 0% pada persepsi Luar Biasa Senang dengan Skor 0 dan tidak ada responden yang memilih. Stimulus 8: - Persentase tertinggi 44% pada persepsi Luar Biasa Senang dengan Skor 32 dipilih oleh 11 responden. - Persentase terendah 4% pada persepsi Kurang Senang dengan Skor 3 dipilih oleh 2 responden. Stimulus 9: - Persentase tertinggi 52% pada persepsi Kurang Senang dengan Skor 28 dipilih oleh 15 responden. - Persentase terendah 0% pada persepsi Sangat Senang dan Luar Biasa Senang dengan Skor 0 dan tidak ada responden yang memilih. Uraian per stimulus di atas menunjukkan bahwa ditemukan ada beberapa stimuli yang memiliki persentase tertinggi maupun terendah sama. -
Frequency (Hz)
wa
duh
ba
gus
ba
nget
0 0
1.311 Time (s)
Gambar 9. Stimulus 2
Frequency (Hz)
500
wa
duh
ba
gus
ba
nget
0 0
1.311 Time (s)
Gambar 10. Stimulus 3 Temuan 2: Pada stimulus 7 dan 9 misalnya, tingkat persentasenya hampir sama 51% dan 52% berurut dimana untuk dua stimulus tersebut pada persepsi Kurang Senang dan dipilih oleh 15 responden dengan skor 28. Lihat gambar di bawah ini.
Frequency (Hz)
500
wa
duh
ba
gus
ba
nget
0 0
1.311 Time (s)
Gambar 11. Stimulus 7 500
Frequency (Hz)
Temuan 1: Pada stimuli 2 dan 3 misalnya, tingkat persentasenya 41%. Stimulus 2 dengan persepsi Kurang Senang sedangkan Stimulus 3 untuk persepsi Sangat Senang. Perhatikan gambar di bawah ini yang menunjukkan tingkat persentase 41%.
500
wa
duh
ba
gus
ba
nget
0 0
1.311 Time (s)
Gambar 12. Stimulus 9
KNiST, 30 Maret 2017
63
ISBN: 978-602-61242-0-3 Temuan 3: Ada 3 stimuli memiliki persentase terendah 0% yakni pada stimulus 5, 7, dan 9 dengan persepsi yang berbeda. Berikut disajikan gambar dari tiga stimuli pada Temuan 3.
Frequency (Hz)
500
wa
duh
ba
gus
ba
nget
0 0
1.311 Time (s)
Gambar 13. Stimulus 5
Frequency (Hz)
500
wa
duh
ba
gus
ba
nget
0 0
1.311 Time (s)
Gambar 14. Stimulus 7
Frequency (Hz)
500
wa
duh
ba
gus
ba
nget
0 0
1.311 Time (s)
Gambar 15. Stimulus 9 Temuan 4: Stimulus 5 memiliki persentase tertinggi 63% dibanding stimuli lain pada persepsi Tidak Senang dengan skor 36 yang dipilih oleh 18 responden. Seperti pada gambar di atas pada Temuan 3. Dari uraian di atas dapat dibuktikan bahwa persepsi atas ujaran dapat mengalami ketaksaan pada beberapa stimuli dengan berpatokan pada base-line slope. Ketaksaan makna atas ujaran setelah dilakukan modifikasi kontur nada sangat signifikan pada stimuli 2 dan 3 (lihat Temuan 1), serta 7 dan 9 (lihat Temuan 3). Hasil penelitian dan penerapan skema IPO sangat bermanfaat dalam mengkaji makna ujaran sehari-hari baik untuk kebutuhan KNiST, 30 Maret 2017
akademik maupun untuk kebutuhan khusus seperti pengkajian ujaran dalam urusan pengadilan. 4. Simpulan Berdasarkan pembahasan di atas, peneliti kemudian dapat menyimpulkan bahwa hipotesa sebelumnya baik Hipotesa 1 dan Hipotesa 2 adalah terbukti. Ketaksaan makna atas suatu ujaran pada saat inklinasi cenderung tidak mengalami perubahan makna (ketaksaan). Modifikasi dengan inklinasi 20Hz secara berurut hingga pada inklinasi 20Hz berikutnya tidak secara signifikan menciptakan atau berpotensi menghadirkan ketaksaan makna. Jadi suatu ujaran dapat menjadi taksa seperti pada stimuli 2 dan 3. Stimulus 2 dari base-line slope mengalami modifikasi secara inklinatif 20Hz, sedangkan Stimulus 3 mengalami modifikasi secara deklinatif 20Hz. Ternyata persentase dari dua stimuli tersebut 41%; atas hal ini terjadi ketaksaan (persepsi yang berbeda atau bimbang dari responden). Kategori atas ketaksaan yang diujipersepsikan pada responden dianggap berterima karena tidak satupun dari sembilan (9) stimuli yang mutlak berskor nol (0). Ada lima (5) ekspresi yang taksa berdasarkan persepsi responden yaitu ujaran sebagai ekspresi tidak senang, kurang senang, senang, sangat senang, dan luar biasa senang. Dari penelitian berskala kecil ini ada empat (4) temuan seperti diuraikan sebelumnya, dan nampaknya penelitian serupa yang sifatnya eksperimental sangat menantang dan mengesankan. Penelitian lanjutan sangat diperlukan baik untuk ujaran yang telah diteliti dalam penelitian ini karena dapat diujipersepsikan pada responden yang berbeda; maupun penelitian eksperimental lain atas ujaran-ujaran berbeda yang ada dalam kehidupan seharihari. Referensi Boersma & Weenink (1992). http://www.fon.hum.uva.nl/praat/do wnload_win.html. Diunduh Januari 2017. Gussenhoven, C. & Haike Jacobs. (1998). Understanding Phonology. Arnold Publisher: Bristol.
64
ISBN: 978-602-61242-0-3 Hart, J. ‟t, R. Collier & A. Cohen (1990) A Perceptual Study of Intonation: An Experimental-Phonetic Approach to Speech Melody. Cambridge: Cambridge University Press. Ladefoged, P. (1982) A Course In Phonetics. New York: Harcourt Brace Jovanovich. Lehiste, Ilse. (1970). Suprasegmentals. Cambridge, Mass. : M.I.T. Press. Rahyono, F.X. (2003) Representamen Kebudayaan Jawa: Teknik Komparatif Referensial Pada Teks Wedhatama (Representing
KNiST, 30 Maret 2017
Javanese Culture: Referential Comparative Techniques in the Text of Wedhatama). Wacana: Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya IV. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Roca, Iggy & Wyn Johnson (1999). A Course in Phonology. Blackwell Publishers Ltd.: UK. Samarin, William J. 1988. Ilmu Bahasa Lapangan. Yogyakarta: Kanisius.
65