PROSIDING Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) Tahun 2013
Sunan Ambu Press Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung Tahun 2014
PROSIDING Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) Tahun 2013 Penyusun: Dr. Anis Sujana, S.S.T., M.Hum. Sutisna, Sm.Hk. Arif Abadi, S.Kom. Kartini Setiawati, S.I.Kom. Editor: Dr. Heri Herdini, Drs., M.Hum. Husen Hendriyana, S.Sn., M.Ds. Fathul A. Husen, S.Sn., M.Sn.
Sunan Ambu Press Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung Tahun 2014
PROSIDING Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) Tahun 2013
Penyusun: Dr. Anis Sujana, S.S.T., M.Hum. Sutisna, Sm.Hk. Arif Abadi, S.Kom. Kartini Setiawati, S.I.Kom. Editor: Dr. Heri Herdini, Drs., M.Hum. Husen Hendriyana, S.Sn., M.Ds. Fathul A. Husen, S.Sn., M.Sn. Diterbitkan dalam Bahasa Indonesia Oleh Sunan Ambu Press STSI Bandung, Tahun 2014 Jalan Buah Batu No. 212 Telp/Fax. : (022) 7314982 Bandung – Jawa Barat – Indonesia Website: http://puslitmas.stsi‐bdg.ac.id E‐mail: puslitmas@stsi‐bdg.ac.id Hak Cipta Dilindungi Undang‐Undang All Right Reserved Desain Sampul dan Layout: Arif Abadi, S.Kom.
Penerbit: Sunan Ambu Press Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung Tahun 2014
Kata Pengantar
P
enelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) yang dilakukan oleh Tenaga Fungsional Akademik (TFA) Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung Tahun 2013 belum dimanfaatkan secara maksimal, karena itu Prosiding Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PUSLITMAS) STSI Bandung Tahun 2014 sangat diperlukan untuk sosialisasi hasil penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (PKM) tersebut. Dari hasil pengumpulan data didapat 35 (tiga puluh lima) judul penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (PKM). Upaya ini merupakan cara memperkenalkan hasil penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (PKM) yang telah dilakukan oleh TFA di lingkungan STSI Bandung, sekaligus juga memudahkan dalam mencari judul-judul penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (PKM). PUSLITMAS STSI Bandung mencoba untuk senantiasa memperkenalkan dan mempublikasikan hasil penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (PKM) ini pada masyarakat yang lebih luas. Dengan tersedianya Prosiding ini merupakan hasil kerja bersama seluruh sivitas akademika STSI Bandung, karena itu kami haturkan terima kasih kepada Ketua STSI Bandung dan jajarannya. Tak lupa ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Heri Herdini, Drs., M.Hum., Bapak Husen Hendriyana, S.Sn., M.Ds., dan Bapak Fathul A. Husen, S.Sn., M.Sn. sebagai editor pada pembenahan, para penulis serta penyusun prosiding PUSLITMAS STSI Bandung tahun 2014. Semoga dengan terbitnya Prosiding ini dapar memberikan manfaat dan informasi yang seluas-luasnya mengenai penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (PKM) TFA STSI Bandung.
Bandung, Maret 2014 Ka. PUSLITMAS STSI Bandung,
Dr. Anis Sujana, S.S.T., M.Hum. NIP 195610161980101001
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ i
Daftar Isi Kata Pengantar Daftar Isi I. Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi 1. Pemberdayaan Nilai-Nilai Seni Pertunjukan Teater Rakyat Jawa Barat Sebagai Pengetahuan Lokal Pembentuk Karakter Bangsa. Oleh: Jaeni, dkk. 2. Konservasi Seni Batik Berbasis Multimedia: Konsep dan Eksekusinya. Oleh: Anis Sujana, dkk. 3. Gerak Tari Sunda Sebagai Inspirasi Dalam Upaya Pengembangan Bentuk Kerajinan Keramik Hias di Kampung Lio Kecamatan Plered Kabupaten Purwakarta. Oleh: Risyani, dkk. II. Penelitian Fundamental 1. “Dalima” Sebagai Inspirasi, Konsep dan Ekspresi Estetik Budaya Keraton Cirebon (Tinjauan Historiografi Seni Periode Sultan Sepuh I). Oleh: Husen Hendriyana, dkk. 2. Model Aplikasi Penciptaan Karya Seni Berbasis Kearifan Lokal Untuk Anak Usia Dini. Oleh: Suharno, dkk. 3. Konsep “Lawang Sewu” atau “White Box” Sebagai Fenomena Baru Proses Kreatif Kebertubuhan. Oleh: FX. Widaryanto, dkk. 4. Pewarisan Pamali di Kampung Mahmud Bandung. Oleh: Ai Juju, dkk. 5. Dasar-Dasar Memainkan Kendang Sunda Di Lingkungan Pendidikan Formal. Oleh: Sunarto, dkk. 6. Ragam Alat Musik Sunda. Oleh: Tardi Ruswandi, dkk. III. Penelitian Hibah Bersaing 1. Kaligrafi Islam Sebagai Inovasi Produk Kreatif Dalam Konteks Masyarakat Pasantren (Model Inovasi Ekonomi Kreatif di Kalangan Pasantren Al Qur’an AlGhoniyyah, Limbangan-Jawa Barat). Oleh: Teten Rohandi, dkk. 2. Rekonstruksi dan Revitalisasi Sandiwara Sunda Dalam Upaya Mempertahankan dan Mengembangkan Bahasa dan Budaya Lokal. Oleh: Retno Dwimarwati, dkk. 3. Model Pembuatan Film Dokumenter Sebagai
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
i ii ~1
~6 ~ 14
~ 24
~ 30 ~ 35 ~ 44 ~ 50 ~ 56
~ 61
~ 67
~ 73
Halaman ~ ii
Media Pelestarian dan Pembelajaran Seni Budaya. Oleh: Yanti Heriyawati, dkk. 4. Nilai dan Konsep “Kaulinan Barudak” Sebagai Inspirasi Model Pembelajaran Tari Anak-Anak Berbasis Pendidikan Karakter. Oleh: Eti Mulyati, dkk. IV. Penelitian Pascasarjana 1. Pencak Nampon Trirasa Sebagai Sumber Gerak Tari Kembang Ligar dan Tari Kelangan: Pengembangan Potensi Seni Budaya di Jawa Barat. Oleh: Endang Caturwati V. Penelitian Strategi Nasional 1. Pemberdayaan Masyarakat Adat Jawa Barat Berbasis Aktivitas Seni Budaya Lokal Menuju Harmoni Sosial. Oleh: M. Yusuf Wiradiredja VI. Penelitian Disertasi Doktor 1. Desain Pengemasan Informasi Cagar Budaya Organisasi “Bandung Heritage Society” Sebagai Upaya Penyelamatan Aset Nerharga di Kota Bandung. Oleh: Enok Wartika 2. Internalisasi Nilai Kebersamaan Melalui Pembelajaran Seni Gamelan (Suatu Upaya Pendidikan Karakter Bagi Mahasiswa). Oleh: Suhendi Afryanto 3. Fungsi dan Makna Angklung Pada Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar Kesatuan Adat Banten Kidul Sukabumi di Jawa Barat. Oleh: Dinda Satya Upaja Budi 4. Ciri Musikal Lagu Gede Kepesindenan Dalam Karawitan Sunda. Oleh: Endah Irawan 5. Teater Tradisional Di Priangan 1904-1942 VII. Penelitian Dosen Pemula 1. Melacak Situs Megalitikum Gunung Padang Di Kabupaten Cianjur Jawa Barat Dengan Pendekatan Fotografi Dokumenter. Oleh: Cahyadi Dewanto, dkk. 2. Panggung Opera Van Java di Stasiun TV Trans 7. Oleh: Nani Sriwardani, dkk. 3. Format Dokumen Gambar Pada Beragam Aplikasi PC Berbasis Desain Grafis. Oleh: Dida Ibrahim Abdurrahman, dkk. 4. Tata Cahaya Dalam Pameran Seni Rupa:
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
~ 78
~ 83
~ 89
~ 95
~ 103
~108
~ 114
~ 122 ~ 127
~ 133 ~ 144 ~ 156
Halaman ~ iii
‘Cahaya Memperkuat Informasi Yang Disampaikan Perupa’. Oleh: Gerry Rachmat, dkk. 5. Budaya Tradisi Dalam Kriya Keramik Modern (Studi Kasus Keramik F. Widayanto). Oleh: Deni Yana, dkk. VIII. Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) 1. Pelatihan Fotografi Komersial Untuk Media Promosi Batik Anggraini di Rumah Produksi Batik Anggraini Cimahi. Oleh: Cahyadi Dewanto, dkk. 2. Pelatihan Seni Kaligrafi Dekorasi Islam di Kalangan Mahasiswa Bandung (Studi Kasus Mahasiswa Anggota Departemen Seni Budaya dan Kreatifitas Yayasan Sarana Bhakti Mulya). Oleh: Wildan Hanif 3. Peningkatan Kemampuan Pengolahan Desain Bambu Pada Elemen Interior. Oleh: Gerry Rachmat, dkk. 4. Pengembangan Metode Pengolah Bambu Dari Penebangan Sampai Hasil Produk. Oleh: Savitri, dkk. 5. Identifikasi Figurin Kesundaan. Oleh: Joko Dwi Avianto, dkk. 6. Rekonstruksi Perupaan dan Desain Seni Calongcong Sebagai Titik Awal Seni Sisingaan. Oleh: Zaenudin Ramli, dkk. 7. Manajemen Pameran Seni Lukis Jelekong Dalam Meningkatkan Nilai Lokal Pada Wacana Seni Rupa Indonesia: Program Pengabdian Masyarakat Pada Galeri Dwimatra dan Galeri Putra Giriharja 3 (PGH3) di Kampung Giriharja Kelurahan Jelekong Kabupaten Bandung. Oleh: Agus Cahyana, dkk. 8. Pembuatan Elemen Estetis Untuk Interior Dengan Tema Cerita Rakyat Jawa Barat Sebagai Upaya Pengembangan dan Penguatan Identitas Lokal Pada Produk Kerajinan Keramik Plered Kabupaten Purwakarta. Oleh: Deni Yana, dkk. 9. Lagu Kaulinan Barudak Inspirasi Kreatif Penataan Tari. Oleh: Risyani 10. Alih Keterampilan Hidup Melalui Seni Tari: Studi Kasus Sanggar Gosali Kecamatan Jatiwangi Kabupaten Majalengka. Oleh: Lina Marliana Hidayat
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
~ 161
~ 175
~ 180
~ 187 ~ 194 ~ 199 ~ 203
~ 210
~ 218
~ 227 ~ 232
Halaman ~ iv
UNGGULAN PERGURUAN TINGGI
PEMBERDAYAAN NILAI-NILAI SENI PERTUNJUKAN TEATER RAKYAT JAWA BARAT SEBAGAI PENGETAHUAN LOKAL PEMBENTUK KARAKTER BANGSA Jaeni Arthur S. Nalan Afri Wita ABSTRAK Artikel ini bermaksud mengungkap nilai-nilai seni pertunjukan teater rakyat sandiwara Cirebon, Jawa Barat, sebagai pengetahuan lokal pembentuk karakter bangsa. Penelitian ini bertujuan untuk mengkonservasi, merevitalisasi, dan mengkonstruksi nilai-nilai pengetahuan lokal dan karakter bangsa dalam seni pertunjukan teater rakyat Jawa Barat. Metode yang digunakan dalam kajian ini dengan memakai paradigma kualitatif dan metode arsip-kreatif terhadap pertunjukan teater rakyat sandiwara Cirebon.Melalui metode ini didapatkan nilai-nilai pengetahuan lokal dan karakter bangsa sebagai identitas budaya. Nilai-nilai tersebut terdapat pada lakon/cerita dalam pertunjukan teater rakyat Jawa Barat, seperti nilai moral, etika, jujur, tanggung jawab, dan cinta damai. Kata Kunci : seni pertunjukan, pengetahuan lokal, karakter bangsa
PENDAHULUAN Keberadaan seni pertunjukan Indonesia yang tersebar di berbagai wilayah bangsa ini masih sebatas tumpukan data kekayaan kultural dan masih hanya menjadi perbincangan para ”budayawan” maupun ”seniman”. Pada sisi lain, para elit negeri ini hanya menyatakan kekagumannya terhadap keragaman seni yang dimiliki rakyatnya tanpa ada kebijakan nyata yang dapat mendukung eksplorasi kreativitas dan nilai-nilainya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai bagian dari karakter kebangsaan. Hal demikian bukan tidak memiliki pengaruh terhadap masyarakat bangsa ini, terutama pada pengetahuan apresiasi yang dangkal, apresiasi tidak sekadar menonton tetapi seharusnya mereka mampu berkomunikasi melalui nilai-nilai seni budaya yang membumi. Nilai seni menjadi satu hal yang dikedepankan dalam mengapresiasi seni pertunjukan agar dapat memahami karakter bangsa ini sebagai bagian dari pengetahuan lokal yang mampu menahan derasnya serbuan budaya asing melalui tontonan di layar-layar televisi. Pada sisi lain, akhir-akhir ini di televisi kita banyak pemberitaan atau penayangan tentang Indonesia yang spektakuler dan hebat sebagai sebuah prestasi bangsa. Tayangan yang menyatakan suatu prestasi dan kehebatan Indonesia itu berkisar pada ranah budaya, pendidikan, olahraga, termasuk juga seni. Prestasi yang diukir oleh bidang seni seakan-akan tidak menjadi kejutan bagi pemerintah untuk peduli menggenjot sektor ini menjadi unggulan bangsa sendiri yang syarat dengan nilai-nilai karakter kebangsaan dan juga ekonomi. Namun untuk menuju seni sebagai kekuatan ekonomi harus terlebih dulu ada gerakan pemberdayaan nilai-nilai seni yang dimiliki oleh masyarakatnya, sehingga seni menjadi bagian dari nilai hidup dan pengetahuan lokal yang mapan serta dapat menjadi aset ekonomi berkelanjutan. Terkait dengan hal di atas, terdapat kesan adanya sikap tak peduli pada ruang pengetahuan lokal yang bersumber dari seni pertunjukan Indonesia itu sendiri. Pada sisi lain, pemerintah tak menyentuh urusan nilai seni ini sebagai sebuah aset kekayaan budaya dalam urusan nilai-nilai sebagai software pengetahuan melainkan hanya mengedepankan sisi ekonomi pasar. Bukan rahasia jika seni atau seni pertunjukan itu dipakai oleh pemerintah, biasanya dalam
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 1
konteks kepentingan politik belaka, sebagai politik pencitraan elit untuk menjadikannya ”seperti” dekat dengan seni agar menunjukkan sisi humanis. Seiring dengan uraian latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan, tulisan ini difokuskan pada seni pertunjukan teater rakyat Jawa Barat. Tulisan tentang seni pertunjukan teater rakyat Jawa Barat sebagai pengetahuan lokal pembentuk karakter bangsa diharapkan menjadi inspirasi bagi masyarakat sebagai pengetahuan untuk mencipta atau mengapresiasi setiap seni pertunjukan yang ada dan diadakan di tengah-tengah masyarakatnya, baik di ruang publik maupun media televisi. Seni pertunjukan teater rakyat Jawa Barat yang dipilih seiring dengan keberadaan masyarakatnya yang masih memiliki ”tradisi yang hidup” dalam memuliakan seni budaya daerahnya (lihat Jaeni, 2008; 2009; dan 2010). Alasan lain adalah merujuk pada pandangan Helene Bouvier, bahwa dalam meneliti seni dibutuhkan kajian yang holistik dan fokus maka sangat diutamakan untuk meneliti satu jenis saja dari sebuah wilayah hingga tuntas (Bouvier, 2002: 41-42). PEMBAHASAN Bagian ini merupakan hasil dan pembahasan dari penelitian yang telah dilakukan, yaitu tentang pemberdayaan nilai-nilai seni pertunjukan teater rakyat yang salah satunya diamati dan dikaji melalui pertunjukan sandiwara Cirebon. Nilai seni pertunjukan sebagaimana telah diungkap oleh Jaeni (2012) dalam buku komunikaksi estetik menyebutkan ada dua nilai, yaitu nilai kualitas dan nilai ideal. Nilai kualitas adalah nilai-nilai yang terkait dengan perasaanpengalaman individu para pelaku seni, sedang nilai ideal terkait dengan nilai sosial-budaya sebagai nilai ekstrinsik yang meliputi; budi, sikap, rasa, karsa, dan karya yang menyimbolkan kehidupan sehari, misalnya politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain. Nilai ideal inilah yang menjadi fokus pembahasan tentang nilai-nilai pertunjukan teater rakyat Jawa Barat via sandiwara Cirebon yang bermuara pada pengetahuan lokal, karakter bangsa, dan identitas budaya. Nilai-nilai Pengetahuan Lokal dalam Pertunjukan Teater Rakyat Sandiwara Cirebon, Jawa Barat Anja Nygren (1999) mengemukakan pengetahuan lokal sebagai istilah yang problematik, pengetahuan lokal dianggap tidak ilmiah, sehingga pengetahuan lokal selalu dibedakan dengan pengetahuan ilmiah yang diperkenalkan dalam tradisi barat. Prinsip pengetahuan lokal diartikan sebagai pengetahuan yang dengan caranya sendiri masyarakat memandang dunia atau lingkungannya. Pengetahuan lokal atau yang biasa disebut kearifan lokal telah ada dalam kehidupan masyarakat sejak zaman dahulu mulai dari prasejarah hingga sekarang ini. Kearifan tersebut merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai agama, adat istiadat, petuah leluhur atau nilai-nilai budaya setempat yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas untuk beradaptasi dengan lingkungan disekitarnya. Jika nilai budaya itu dapat dicerminkan oleh produknya, maka seni adalah cerminan nilai-nilai dari budaya suatu daerah. Dalam kata lain, seni dapat menjadi pengetahuan mengenai dunia yang ada di sekelilingnya dan pengalaman-pengalamannya dengan relatif mudah dapat berubah dan berkembang sesuai dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 2
hidupnya. Hal demikian, terkait dengan pengetahuan lokal, yaitu nilai-nilai seni dapat menjadi bentuk keyakinan mengenai kebenaran dari pedoman hidupnya. Terkait dengan hal di atas, peneliti mencoba melihat salah satu teater rakyat Jawa Barat yang ada di ujung timur, yaitu seni pertunjukan teater rakyat sandiwara Cirebon. Dalam pertunjukannya, sandiwara Cirebon selalu berupaya untuk mengungkap nilai-nilai yang ada dalam masyarakat pendukungnya. Apa yang disajikan sebagaimana sebuah kearifan local yang terkait dengan adat istiadat, kebutuhan ekonomi dan religi atau kepercayaan masyarakatnya sebagai pandangan dunia, demikian ditegaskan oleh Arnold Hauser (1985). Ketika dalam pertunjukan sandiwara Cirebon menceritakan tentang Sengketa Keris Kala Ngunyeng (pertunjukan bulan Oktober 2013 di Cirebon) kisah ini merupakan bagian dari pengetahuan lokal masyarakatnya. Teater rakyat sandiwara Cirebon dipertunjukkan tanpa naskah, melainkan berdasarkan pengetahuan lokal para pelakunya. Namun demikian, setiap kali tampil, kelompok sandiwara Cirebon tersebut selalu siap dengan segudang cerita mengenai lakon yang akan dibawahkan dengan bersandarkan pada cerita-cerita babad Cirebon. Melalui sinopsip di atas, rangkaian sajian pertunjukan sandiwara itu betul-betul dinikmati, tidak saja oleh si pemangku hajat namun masyarakat lingkungannya sebagai penonton dan para anak wayang yang menjadi pelaku pertunjukan itu. Kesederhanaan, sebagaimana konsep estetika Plato (Sutrisno, 1994: 25-30) menjadi ciri khas pertunjukan rakyat tersebut. Mereka menikmati nilai-nilai seni dalam musik dan lagu, tarian, cerita yang dibawakan, akting dan ekspresi dialog-dialog, serta bodoran, yang dibungkus oleh panggung sandiwara dengan berbagai kelengkapan artistik lainnya. Nilai seni bagi mereka adalah sebuah kesenangan dalam hati yang berangkat dari perasaan dan pengalaman yang ditunjukkan dalam bingkai kesederhanaan. Kesederhanaan menjadi nilai penting bagi masyarakat pendukung kesenian tersebut. Di balik kesederanaan sebagai pengetahuan lokal, terdapat pula nilai-nilai lokal yang menjadi kearifan masyarakat Cirebon. Dalam pertunjukan Sengketa Keris Kala Ngunyeng, kearifan local itu menjadi pengetahuan bagi segenap masyarakat Cirebon, misalnya perilaku dendam adalah perilaku yang tidak pantas, Perbuatan jahat tetap akan mendapatkan hukuman, Kejahatan akan dikalahkan oleh kebaikan, hukum ditegakkan dengan tidak mengenal saudara/keluarga, dan menerima kodrat kematian sebagai suatu keniscayaan. Nilai-nilai Karakter Bangsa dalam Pertunjukan Teater Rakyat Sandiwara Cirebon, Jawa Barat Karakter bangsa adalah kualitas perilaku kolektif kebangsaan yang khas, baik yang tercermin dalam kesadaran pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara sebagai hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olah raga seseorang atau sekelompok orang. Kementerian Pendididkan Nasional (2011 – sekarang Kemendikbud) merumuskan nilai-nilai karakter kebangsaan tersebut menjadi 18 nilai, meliputi: (1) Religius; (2) Jujur; (3) Toleransi; (4) Disiplin; (5) Kerja Keras; (6) Kreatif; (7) Mandiri; (8) Demokratis; (9) Rasa Ingin Tahu; (10) Semangat Kebangsaan; (11) Cinta Tanah Air; (12) Menghargai Prestasi; (13) Bersahabat/Komunikatif; (14) Cinta Damai; (15) Gemar Membaca; (16) Peduli Lingkungan; (17) Peduli Sosial; dan (18) Tanggung Jawab.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 3
Terkait dengan nilai-nilai karakter bangsa, peneliti mencoba mengidentifikasi nilai-nilai tersebut pada seni pertunjukan teater rakyat Jawa Barat, khususnya pada sandiwara Cirebon. Melalui asumsi bahwa seni pertunjukan teater rakyat adalah jagat kecil yang mengekspresikan dan merefleksikan dunia (Jaeni, 2012), maka sangat memungkinkan terdapatnya nilai-nilai karakter bangsa dalam seni pertunjukan yang terlahir dari bumi Indonesia. PENUTUP Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa seni pertunjukan teater rakyat Jawa Barat cukup memberikan kontribusi terhadap pembangunan karakter bangsa yang nilai-nilainya dapat dimunculkan melalui kerja kajian yang intensif. Seni pertunjukan teater rakyat sebagai produk budaya mampu menjadi pengetahuan lokal yang dapat memberi pedoman hidup, digunakan oleh warga masyarakatnya untuk menginterpretasi dan memahami lingkungan hidupnya dan mendorong serta menghasilkan tindakan-tindakan untuk memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada dalam lingkungan hidup tersebut. DAFTAR PUSTAKA Asayafah, Abas. 2009. Proses Kehidupan Manusia dan Nilai Eksistensialnya. Bandung: Penerbit Alfabeta. Bouvier, Helene. 2002. Lebur: Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Jaeni, 2012. Komunikasi Estetik: Menggagas Kajian Seni dari Peristiwa Komunikasi Pertunjukan. Bogor: IPB Press. Jaeni. 2010. Model Pengkemasan dan Pengkajian Seni Pertunjukan Teater Rakyat Sandiwara Cirebon dalam upaya Revitalisasi dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Laporan hasil penelitian Strategis Nasional, Bandung: Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (PUSLITMAS) STSI Bandung. Koesoema, Doni. 2007. Pendidikan Karakter : Mendidik Anak di zaman global, Jakarta: Grasindo. Lestyarini, Beniati. 2012. “Penumbuhan Semangat Kebangsaan Untuk Memperkuat Karakter Indonesia Melalui Pembelajaran Bahasa” dalam Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun II, Nomor 3, Oktober 2012, Yogyakarta: UNY. Nucci, Larry P. 2003. Education in the Moral Domain. Cambridge: Cambridge University Press (virtual publishing). Nygren, Anja. 1999. “Local Knowledge in the environment-development discourse”. Critique of anthropology 19 (3): 267-288 (22). Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional, 2010. Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa, Jakarta: Depdiknas. Republik Indonesia. 2011. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta : Pusat Kurikulum Kemendiknas. Republik Indonesia. 2010. Desain Induk Pendidikan Karakter. Jakarta: Kemendiknas. Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia No 17 Tahun 2007, Tentang
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 4
Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025, Sekretariat Negara. Republik Indonesia. 2010. Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa. Jakarta: Kemko Kesejahteraan Rakyat. Sugono, Dendy (Pemred). 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. Suartaya, Kadek. 2011. “Seni Tradisi: Modal Budaya Membangun Karakter Bangsa Melalui Rekonstruksi Kreatif Dan Dekonstruksi Kritis”. Makalah Seminar disampaikan pada seminar dalam rangka kegiatandies natalis dan wisuda ISI Denpasartahun 2011. Winataputra, Udin Saripudin. “Implementasi Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Karakter”. Makalah Tim Pendidikan Karakter Diknas.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 5
KONSERVASI SENI BATIK BERBASIS MULTIMEDIA: KONSEP DAN EKSEKUSINYA Anis Sujana, Suharno, dan Ari Winarno ABSTRAK Artikel ini dilandasi oleh hal mendasar, yakni hingga saat ini belum ada konsep konservasi seni berbasis multimedia, khususnya seni batik. Padahal, konsep ini diperlukan sebagai pijakan bagi para kreator di bidang multimedia yang akan membuat CD Interaktif tentang batik. Untuk kepentingan tersebut artikel ini menawarkan sebuah konsep serta alternatif eksekusinya. Strategi kreatif yang diterapkan adalah menerapkan unsur 5 W+ 1 H yang proses eksekusinya menggunakan teknik manual dan komputerisasi. Objek formal yang digunakan adalah conceptual approach. Aplikasi hal tersebut terwujud dalam contoh CD Interaktif “Galeri Batik Jawa Barat”. Kata Kunci : conceptual approach, CD interaktif, multimedia PENDAHULUAN Seni batik telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia sebagaimana wayang, keris, dan angklung. Walapaun demikian kenyataan menunjukkan bahwa keberadaan batik di Indonesia (khususnya Jawa Barat) memiliki persoalan yang krusial, di antaranya adalah kurang dikenalnya seni batik oleh sebagain besar masyarakat Jawa Barat sendiri secara mendalam. Dampaknya, batik secara umum hanya digunakan untuk kepentingan seremonial adat, seperti perkawinan, dan itupun belum tentu yang memakai mengetahui jenis motif dan makna motif batik yang dikenakannya. Di sisi lain, munculnya batik baru di Jawa Barat seperti Batik Kontemporer Bandung misalnya, menunjukkan bahwa di satu sisi hal ini menggembirakan sekaligus memprihatinkan. Menggembirakan karena kratifitas tersebut selain berdampak pada persoalan ekonomi juga membangun citra kultural baru. Menyedihkan karena motif yang dimunculkan kurang memiliki kandungan makna mendalam sebaimana seni batik yang telah ada sebelumnya. Padahal, pengakuan UNESCO tersebut tentu karena dalam batik mengandung makna mendalam, bukan sekedar membuat ornamen di atas kain lalu dibatik. Hadirnya batik-batik yang baru tersebut dengan demikian semestinya harus dibarengi dengan pemahaman akan filosofi dan makna batik, sehingga karya yang dihasilkan menjadi bermakna secara kultural. Hal ini tentu saja berkait dengan persoalan konservasi, karena apabila titik berat konservasi lebih condong ke arah perubahan yang kemudian mengesampingkan bentuk aslinya, hakikat konservasi menjadi bias. Untuk keperluan tulisan ini menawarkan model konservasi bebasis multimedia. Sementara itu, pemanfaatan perangkat multimedia yakni CD Interaktif sebagai media konservasi Batik Jawa Barat belum ada. Padahal, media ini sangat efektif untuk mengkomunikasikan berbagai hal yang terkait dengan batik kepada masyarakat luas, khususnya kaum terpelajar. Hal ini dikarenakan CD interaktif mampu menampung beragam informasi yang diolah melalui teks, gambar, audio, dan audio-visual. Pengguna juga dapat memilih menu yang diinginkan dengan menekan tombol menu yang tersedia, sehingga informasi yang akan disampaikan melalui CD Interaktif dapat terkomunikasikan lebih baik.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 6
Berangkat dari persoalan di atas, tulisan ini akan memanfaatkan CD Interaktif sebagai salah satu model konservasi seni Batik Jawa Barat. Tujuannya, selain untuk upaya konservasi, juga untuk dapat meningkatkan citra brand Batik Jawa Barat, yakni brand cultural, bukan brand perusahaan batik. Untuk keperluan tersebut, objek formal yang digunakan adalah conceptual approach, yakni metode studi ilmiah yang memberikan tekanan utama pada penjelasan konsepkonsep dasar yang kemudian dipergunakan sebagai sarana analisa dan konstruksi (Soekamto, 1985: 32). Adapun strategi kreatif yang digunakan adalah 5W+1H , dan strategi komunikasinya adalah komunikasi edukatif yang persuasif. Edukatif artinya informasi yang disampaikan bersifat mendidik, dan persuasif artinya informasi disampaikan sesuai karakteristik target sasaran. Rumusan 5W+1H pada dasarnya upaya untuk menentukan aspek keapaan, kemengapaan, kemanaan, dan kebagaimanaan dari CD Interaktif yang akan dibuat. What merujuk pada informasi/pesan apa yang akan disampaikan lewat CD Interaktif. Why merujuk pada persoalan mengapa pesan/informasi tertentu yang disampaikan dan ini berkait dengan tujuan dan sasaran pengiriman pesan, Who merujuk pada target/sasaran yang akan diberi pesan. Where dan when merujuk pada ranah ruang dan waktu penyebaran CD Interaktif. How merujuk pada persoalan bagaimana pesan diolah dalam CD Interaktif sehingga menjadi alternatif media konservasi seni yang komunikatif, edukatif dan persuasif. Tabel berikut menunjukkan strategi kreatif yang digunakan. Aspek What
Why Who Where When
Keterangan CD Interaktif “Galeri Batik Jawa Barat”. Berisi informasi dan pesan edukatif tentang Batik Jawa Barat meliputi: 1. Sekilas Batik Jawa Barat, berisi paparan ringkas tentang sejarah dan perkembangan batik khas Jawa Barat; 2. Ragam motif batik dan maknanya, berisi paparan ringkas tentang daerah penghasil batik di Jawa Barat dan makna motifnya, yakni: a. Batik Pesisir: Cirebon, Indramayu; b. Batik Priangan: Tasikmalaya, Cimamis, Garut; c. Batik Newborn: Bandung, Kuningan, Cimahi, Sumedang, Majalengka, Bekasi, Bogor, Sukabumi, Banjar, Cianjur, Majalaya, Bandung Barat, Bogor. 3. Tokoh. Informasi tentang tokoh yang berperan penting dalam dunia batik di Jawa Barat 4. Proses membatik Paparan ringkas tentang alat dan bahan membatik serta proses pembatikan, baik batik tulis maupun batik cap 5. Galeri Batik Paparan ringkas tentang jenis batik dan aplikasinya Sebagai salah satu upaya konservasi seni batik dan media edukasi. Target sasaran kaum pelajar dan mahasiswa Bandung pada khususnya, dan Jawa Barat pada khususnya Januari 2014
CD Interaktif CD Interaktif merupakan aplikasi dari multimedia yang memungkinkan user dapat menavigasikan program tersebut. CD Interaktif dapat difungsikan untuk mengemas company profile, sebagai media pembelajaran, tutorial, simulasi, portofolio dan catalog product, dan lain sebagainya.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 7
Sebagai perangkat multimedia CD interaktif memiliki enam elemen yang secara umum dipergunakan dalam multimedia, yaitu teks, image, movie, animasi, sound, dan user control (Kusrianto, 2007:25). Oleh karenanya, CD Interaktif memiliki kelebihan, yakni mampu menampung elemen visual (teks, image, gambar animasi), audio, dan audio-visual dalam satu kesatuan sajian yang ditata sedemikian rupa sehingga user dapat bernteraksi langsung dengan memilih tombol menu yang tersedia. Sistem interaksi inilah yang tidak dimiliki oleh media cetak maupun media elektronik lain. Kelebihan lain dari CD Interaktif adalah fleksibel karena dapat dibawa dan digunakan setiap saat asal ada perangkat komputer untuk mengoperasikannya. Pengguna CD Interaktif juga dapat melakukan pengulangan apa yang dikehendaki, melompat/bergerak ke arah manapun dari tampilan yang disajikan, sehingga mampu mempertebal ingatannya Menurut lembaga riset dan penerbitan komputer, yaitu Computer Technology Research (CTR), menyatakan bahwa orang hanya mampu mengingat 20 % dari yang dilihat dan 30 % dari yang didengar, tetapi orang dapat mengingat 50 % dari yang dilihat dan didengar dan 30 % dari yang dilihat, didengar dan dilakukan sekaligus (M. Suyanto : 2003: 23). Dengan demikian CD Interaktif dapat membantu mempertajam pesan yang disampaikan dengan kelebihannya menarik indera dan menarik minat, karena merupakan gabungan antara pandangan, suara, dan gerakan. Konservasi Seni Konservasi (consevation) adalah suatu upaya mempertahankan sekaligus menerima perubahan. Berdasarkan piagam Burra Charter (1981), konservasi adalah konsep proses pengelolaan suatu empat atau ruang atau obyek agar makna kultural yang terkandung di dalamnya terpelihara dengan baik. Konservasi sendiri memiliki beberpa istilah terkait, seperti restorasi, preservasi, rekonstruksi, dan revitalisasi. Restorasi adalah upaya mengembalikan bentuk fisik benda seni yang direstorasi (misalnya Candi) kepada kondisi semula dengan menggunakan material baru. Preservasi adalah kegiatan pemeliharaan bentuk fisik agar kelayakan fungsinya terjaga baik. Rekonstruksi ialah kegiatan membangun kembali dan memperbaiki seakurat mungkin bangunan/benda seni yang hancur dengan menggunakan bahan yang tersisa atau terselamatkan dengan penambahan bahan bangunan baru dan menjadikan bangunan tersebut layak fungsi dan memenuhi persyaratan teknis. (Ref. UNESCO.PP. 36/2005). Revitalisasi ialah upaya memvitalkan kembali fungsi benda seni/bangunan dalam kehidupan sosial budaya. Revitalisasi bukan hanya fisik, namun juga peningkatan ekonomi dan pengenalan budaya. Berdassarkan pemahaman di atas konservasi seni batik dalam tulisan ini adalah upaya mempertahankan sekaligus menerima perubahan dari seni batik, yang dalam hal ini adalah batik Jawa Barat, sehingga makna kulturalnya dapat lestari. Upaya konservasi seni batik Jawa Barat sudah barang tentu semestinya dilakukan oleh berbagai pihak yang lintas sektoral, multi dimensi dan disiplin, serta berkelanjutan.secara komprehensif. Hal ini dikarenakan keberadaan seni batik bukan hanya persoalan seni, namun juga terkait dengan berbagai faktor yang memepengaruhi produksi estetiknya, seperti ekonomi, sosial budaya, politik, dan lain sebagainya. Model Konservasi Seni dengan Media CD Interaktif Berangkat dari pemahaman di atas, maka pilihan CD interaktif sebagai media konservasi seni batik cukup beralasan, karena selain mampu menyimpan image dan video tentang batik sebagai salah satu sistem dokumentasi seni, juga teks-teks mengenai eksistensi seni batik di Jawa Barat yang informatif dan edukatif. Hal ini selaras dengan saran Amiluhur Soeroso dan Y. Sri Susilo dalam artikelnya“ Strategi Konservasi Kebudayaan Lokal” (Jurnal Manajemen Teori dan Terapan, Tahun 1, No. 2, Agustus 2008: 146, 153-156), bahwa
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 8
pengemasan properti kebudayaan sebagai produk industri kebudayaan, harus memperhatikan nilai tradisionalnya seperti nilai eksistensi, warisan, religius, sejarah dan lain-lain yang berbasis pada masyarakat lokal. Strateginya melalui edukasi (pemahaman esensi dan pentingnya pelestarian budaya dalam bentuk pengetahuan, penalaran dan perasaan) dan keterampilan, yakni dengan mengimbangi teknologi barat seperti perlindungan budaya secara terintegrasi. Model konservasi melalui CD Interaktif ini nampaknya juga cocok dengan hasil penelitian “Proyek Percontohan Kawasan Budaya Kotagede: Konservasi Seni pertunjukan Kampung dan Lingkungannya di Yogyakarta” Tim Yogyakarta Heritage Society (YHS) dan Study Group for Architecture and Urban Conservation (AUC) Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, 1999. Program ini menempatkan aspek masyarakat sebagai titik awal bagi usaha konservasi, sehingga secara mandiri masyarakat dapat melaksanakan program konservasi. Titik penting penelitian ini adalah semangat menemukan model konservasi, yakni dari dan oleh masyarakat sendiri. Kaitannya dengan CD Interaktif ini, diharapkan setelah menggunakan media tersebut, target sasaran mampu melakukan konservasi seni Batik Jawa Barat sesuai kapasitasnya masing-masing. Konsep Karya 1. Gagasan Isi Gagasan isi adalah muatan karya, yakni apa yang hendak disampaikan lewat CD Interaktif ini. Secara garis besar, yang hendak disampaikan melalui karya ini adalah informasi tentang keberadaan batik yang tumbuh dan berkembang di wilayah Jawa Barat. Informasi dikelompokkan ke dalam lima ranah, yakni sekilas batik Jawa Barat, ragam motif batik dan maknanya, tokoh, proses membatik, dan galeri batik. Informasi di atas dibuat komunikatif (mudah dipahami target audiencei), edukatif (bersifat mendidik), dan persuasif. Sekilas Batik Jawa Barat berisi paparan ringkas keberadaan seni batik di Jawa Barat, bahwa kehadiran batik di Jawa Barat tidak lepas dari sejarah panjang seni batik di tanah Jawa, yakni jaman Majapahit dan Islam. Kain batik yang telah dikenal sejak zaman kerjaan Majapahit terus berkembang hingga kerajaan dan raja-raja berikutnya. Seni batik yang awalnya milik keraton ini lambat laun menjadi milik rakyat setelah akhir abad XVIII atau awal abad XIX dan berkembang ke wilayah Jawa Barat. Sampai awal abad XX batik yang dihasilkan adalah batik tulis. Batik cap muncul setelah perang dunia kesatu atau sekitar tahun 1920. Pada masa penyebaran ajaran Islam, banyak pusat perbatikan di Jawa merupakan daerah santri, sehingga Batik dijadikan alat perjuangan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedagang Muslim untuk melawan perekonomian Belanda. Ranah tokoh berisi paparan beberapa tokoh penting yang menggerakkan batik Jawa Barat diantaranya adalah Ibu Soed, Siswaya Syamhudi, dan Cahyati Popo Iskandar.Saridjah Niung Bintang Soedibjo (Ibu Soed) adalah Pelopor Batik Terang Bulan. Ia lahir di Sukabumi, Jawa Barat pada tanggal 26 Maret 1908. Tokoh ini telah meninggal pada tahun 1993 pada usia 85 tahun. Bu Soed adalah seorang musisi (pencipta lagu anak nasional), guru musik penyiar radio, dramawan, dan seniman batik. Bu Soed dikenal sebagai perintis batik yang mewujudkan konsepsi Bung Karno untuk menciptakan batik khas Indonesia bernama terang bulan. Selain terlibat dalam pembuatan batik tersebut, Bu Soed juga memimpin organisasi Batik Terang Bulan yang menciptakan batik baru bergaya terang bulan. (Sumber: http://www.batik-indonesia.org/events/news_details/news2). Tokoh selanjutnya adalah Siswaya Syamhudi. Syamhudi merupakan pelopor batik Bogor. Berawal dari upaya untuk membantu sejumlah pembatik yang menjadi korban gempa bumi di Yogyakarta,), sebagai pengurus Paguyuban Orang Yogyakarta di Jakarta dan Bogor, Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 9
Siswaya Syamhudi bersama kawan-kawan mengadakan bakti sosial di lokasi gempa. Kembali ke Bogor, Siswaya dan istrinya, Rukayah, membawa serta empat perajin batik yang menjadi korban gempa hingga akhirnya mampu membuat dan mengembangkan batik khas Bogor. Motif yang terkenal adalah motif rusa tutul (Sumber; http://travel.kompas.com/read/2012/10/29/02371613/Pelopor.Perajin.Batik.di.Kota.Bogor. Tokoh berikutnya adalah T. Cahyati Popo Iskandar, pelopor Batik Abstrak Bandung. Putri pelukis ternama Popo Iskandar ini membuat motif batik kontemporer dengan nama motif yang unik, seperti Nyanyian Jiwa, Seusai Hujan, Cerianya Duniaku, Serenda, dan Living Energy." Motif batik kreasi ini lepas dari pakem batik tradisional, berupa sapuan garis geometris dengan aneka warna lembut, cerah bahkan ngejreng. Batik abstrak kontemporer ini tampil ekspresif, bebas, bahkan polos, yang menjadi bentuk murni ungkapan jiwa. Kekuatan batik ini terletak pada warna serta corak yang menampilkan ciri khas, sehingga begitu melihatnya, orang akan langsung mudah mengenali sebagai batik abstrak Bandung. Ciri khas ini adalah berwarna cerah, motif geometris, dan replika lukisan. (http://en.tempo.co/read/news/2013/07/06/110494064/kecantikan) Selanjutnya ranah ragam motif dan maknanya berisi paparan ringkas tentang daerah penghasil batik di Jawa Barat dan makna motifnya, yakni Batik Pesisir (Cirebon, Indramayu); Batik Priangan (Tasikmalaya, Cimamis, Garut); Batik Newborn (Bandung, Kuningan, Cimahi, Sumedang, Majalengka, Bekasi, Bogor, Sukabumi, Banjar, Cianjur, Majalaya, Bandung Barat, Bogor). Berikutnya, ranah proses membatik menjelaskan proses membatik meliputi penjelasan tentang alat, bahan dan proses membatik, baik batik cap maupun tulis. a) Alat membatik: canting/cap, kompor, gawangan, bak warna, bak lorodan, kuas b) Bahan membatik: kain, lilin, pewarna c) Proses Membatik (tahapan utama membatik tulis dan cap) Batik Tulis
Tahapan
Batik Cap
Menentukan/membuat pola motif pada kertas
1
Menentukan motif batik cap yang akan dibuat
Memindahkan pola motif dari kertas ke dalam kain yang akan dibatik dengan cara diblat
2
Menentuan ukuran kain yang akan dibatik
Membatik pertama (nglowong)
3
Pengecapan pertama
Membuat isian motif
4
Mewarna colet
Nembok (menutup bagian yang luas dengan lilin)
5
Mbironi (menutup kain yang sudah diwarna)
Mewarnai pertama (celub atau colet);
6
Mewarna dasar
Mbironi (menutup kain yang sudah diwarna)
7
Nglorod (menghilangkan lilin dengan cara direbus)
Mewarna dasar
8
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 10
Nglorod (menghilangkan lilin dengan cara direbus)
9
Berikutnya, ranah galeri ini berisi paparan tentang jenis batik dan ragam aplikasinya. Seperti untuk fashion, keperluan sehari-hari, perangkat rumah tangga, dan lain sebagainya. 2. Gagasan Visual Gagasan visual adalah gagasan perwujudan karya, yakni pengejawantahan isi ke dalam wujud karya. Pengemasan kelima ranah di atas diwujudkan dalam gaya visual yang menggabungkan unsur seni rupa tradisi dengan modern. Gaya ini dimaksudkan agar materi dalam CD Interaktif ini dapat terkomunikasikan dengan baik. Sebelum ke ranah visualisasi, terlebih dahulu dibuat site map CD Interaktif. Site map diperlukan sebagai panduan perancangan navigasi menu dan submenunya. Berikut ini adalah bagan site map pembuatan CD Interaktif ini. Opening bumper
Menu awal
Menu utama
Sekilas Batik Jawa Barat
Ragam Motif batik dan maknanya
Tokoh
Proses batik
Alat bahan (tulis dan cap)
galeri
Tahap penciptaann (tulis d )
Isi site map di atas dapat dijelaskan dalam tabel berikut: Tabel isi site map No. Ranah 1. Opening bumper
Isi Jawa Barat menyimpan selaksa pesona budaya yang mendunia. Batik adalah salah satunya. Ragam motif dan makna di dalamnya, adalah kekayaan warisan
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 11
2. 3.
Menu Awal Menu Utama a. Sekilas batik Jawa Barat b. Ragam motif batik dan maknanya,
c. Tokoh d. Proses membatik e. Galeri Batik
leluhur, yang kini menjadi warisan budaya dunia. Mari, kita lestarikan warisan budaya dunia ini, dengan sepenuh hati “Galeri Batik Jawa Barat” Paparan ringkas tentang sejarah dan perkembangan batik khas Jawa Barat Paparan ringkas tentang daerah penghasil batik di Jawa Barat dan makna motifnya, yakni Batik Pesisir (Cirebon, Indramayu); Batik Priangan (Tasikmalaya, Cimamis, Garut); Batik Newborn (Bandung, Kuningan, Cimahi, Sumedang, Majalengka, Bekasi, Bogor, Sukabumi, Banjar, Cianjur, Majalaya, Bandung Barat, Bogor) Informasi tentang tokoh yang berperan penting dalam dunia batik di Jawa Barat Paparan ringkas tentang alat dan bahan membatik serta proses pembatikan, baik batik tulis maupun batik cap Paparan ringkas tentang jenis batik dan aplikasinya
3. Eksekusi Karya Perwujudan karya ini melalui proses eklporasi dan eksperimentasi. Pada tahap ini dilakukan ekplorasi dan eksperimentasi terhadap pilihan tanda visual dalam CD interktif, seperti warna, ilustrasi, teks, dan unsur seni rupa lainnya. Eksplorasi dan eksperimentasi ini dilakukan secara manual maupun menggunakan media komputer. Hasil ekplorasi dan eksperimentasi ini berupa sket terpilih yang kemudian dieksekusi dengan media komputer. Spesifikasi komputer yang digunakan untuk eksekusi visual CD ini adalah: (a) Hardwere: Prosessor AMD X2, VGA ATI HD 4520, RAM 3 GB. Power Suplay 459 Watt Simbada. Hardisk 320 GB. Dan System operasi wondow ultimate; (b) softwere: Adobe Photoshop, CorelDraw, Adobe Flash, Adobe After Effect, dan Flash Video Studio 1.5 4. Penyajian Model Sebelum dipulikasikan ke masyarakat luas, CD Interaktif ini akan disajikan dalam bentuk roadshow ke beberapa SMP dan SMU di wilayah kota Bandung yang terpilih. Penyajian dibarengi dengan media pendukung berupa poster dan x-banner. PENUTUP Pembuatan CD Interaktif “Galeri Batik Jawa Barat” ini tentu memiliki banyak kekurangan, terutama data lapangan yang menunjukkan begitu banyak daerah penghasil batik, produsen batik, seniman batik, dan gerai batik di Jawa Barat. Sudah barang tentu semua data tidak dapat dimasukkan. Oleh karenanya menu informasi/pesan yang disampaikan diupayakan mewakili genre Batik Jawa Barat yang ada, seperti Batik Pesisir (Cirebon, Indramayu); Batik Priangan (Tasikmalaya, Cimamis, Garut); dan Batik Newborn (Bandung, Kuningan, Cimahi, Sumedang, Majalengka, Bekasi, Bogor, Sukabumi, Banjar, Cianjur, Majalaya, Bandung Barat, Bogor). Walau demikian, diharapkan CD Interaktif Galeri Batik Jawa Barat ini mampu menjadi salah satu media konservasi seni, khususnya Batik Jawa Barat.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 12
DAFTAR PUSTAKA Aaker, David. 1996.
Building Strong Brands, New York: The Free Press.
Damayanti, Irma. 2007. “Konservasi Preventif Karya Seni Lukis bagi Mahasiswa Jurnal Visual Art. Vol. 1 D, No. 3, ITB
Seni”.
Darsiharjo,dkk. 2009. “Pengembangan Potensi Seni Tradisi di Jawa Barat melalui Pembinaan Sentra-sentra Budaya Industri Seni dan Pariwisata” Laporan Penelitian Prioritas Nasional Bacth 1 UPI. Didanai Dikti. Soekamto, Soerjono. 1985.
Kamus Sosiologi. Jakarta: Rajawali
Susanto, AB dan Wijanarko.2004.
Power Branding. Bandung: Quantum
Keller, Kevin L. 2008. Strategic Branding Management: Building, Measuring, and Managing Brand Equity. New jersey: Pearson educations.Inc. Maulana, Amalia E. 2010. “Brand, Branding dan Peranannya Bagi Perusahaan” Koran Sindo, Selasa 27 April 2010 Mulyana, Deddy. 2001Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
dalam
Komunikasi
Soeroso, Amiluhur dan Y. Sri Susilo .2008. “Strategi Konservasi Kebudayaan Lokal” , dalam Jurnal Manajemen Teori dan Terapan. Tahun 1, No. 2, Agustus Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Tim Yogyakarta Heritage Society (YHS) dan Study Group for Architecture and Urban Conservation (AUC) Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. 1999. Laporan Akhir Inventarisasi dan Dokumentasi Pengalaman Manajemen Perkotaan Yang Baik dan Baru Yang Bersifat Kemitraan dan Melibatkan Peran Pemerintah Daerah, Swasta, serta Kelompok Yang Bertumpu Pada Masyarakat – Buku Winarno, Ari dan Suharno. 2012.“Pelatihan Membatik untuk Guru Taman Kanak-kanak di Pusat Kegiatan Guru Kcamatan Cileunyi Kabupaten Bandung”. Laporan PKM di danai DIPA STSI Bandung _____________________.2004. “Pelatihan Membatik untuk Siswa SLTP di Sekitar Bapeni Puserlangit Cirebon”. Laporan PKM di danai DIPA STSI Bandung Winarno, Ari, Agus Cahyana, Husen HD, Dida Ibrahim.2012. “Meretas Motif Batik Cimahi Berbasis Kearifan Lokal untuk Identitas Daerah dan Industri Kreatif”. Laporan penelitian didanai Dikti Wulandana, Agung .2007. “Pembuatan CD Interaktif Pembuatan Batik Tulis dan Cap Media Kain”.Laporan Tugas Akhir Minat Utama Tatalaksana Grafi Prodi D-3 Rupa STSI Bandung.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
pada Seni
Halaman ~ 13
GERAK TARI SUNDA SEBAGAI INSPIRASI DALAM UPAYA PENGEMBANGAN BENTUK KERAJINAN KERAMIK HIAS DI KAMPUNG LIO KECAMATAN PLERED KABUPATEN PURWAKARTA JAWA BARAT Risyani Deni Yana Agus Cahyana Wanda Listiani
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk melestarikan dan mengembangkan serta merevitalisasi budaya tradisi khususnya Tari Sunda sebagai sumber inspirasi pembuatan kerajinan keramik (gerabah) di Indonesia dengan target khusus pada peningkatan nilai tambah produk, minat dan apresiasi masyarakat. Penelitian ini menggunakan metode morfologi estetis. Kajian tentang 3 bentuk yaitu bentuk formalis, bentuk dekoratif dan bentuk ekspresif dimulai dari mengamati keseluruhan komposisi penyusun dari obyek itu sendiri baik pertama, elemen, detil, bagian, material, image, ide atau unsur pembentuk lainnya. Kedua, cara masing-masing unsur dihubungkan dan dikombinasikan sehingga membentuk struktur produk.Hasil penelitian ini menunjukkan pengolahan bentuk berdasarkan gaya yang diacunya. Tidak semua gerak tari dapat divisualisasikan melalui keramik, hanya beberapa gerakan yang dianggap menarik secara estetis untuk dijadikan keramik hias. Kata Kunci : Tari Sunda, keramik hias, Kampung Lio, Purwakarta PENDAHULUAN Seni Tari merupakan kelengkapan upacara penting di Jawa Barat. Kehadirannya difungsikan sebagai media antara manusia dengan para leluhurnya. Berbagai bentuk dan jenis upacara yang masih hidup dan berkembang di masyarakat antara lain: Seren Taun, Pesta Panen, Ngaruat, Rebo Wekasan, Ngunjung, Sedekah Bumi, Ngarot dan sebagainya. Meskipun di dalam pelaksanaannya masing-masing upacara di atas memiliki bentuk dan tata cara tersendiri, tetapi tujuannya sama yaitu sebagai ungkapan syukur atau permohonan agar diberikan keselamatan dan kesejahteraan suatu wilayah serta masyarakatnya. Upacara Ngunjung, Sedekah Bumi, dan Ngarot adalah salah satu jenis upacara di Cirebon dan Indramayu Jawa Barat yang melibatkan seni tari Topeng sebagai medianya. Seni Tari Topeng Cirebon tersebut setelah ditransformasikan menjadi bercitarasa Priangan dan disebut tari Topeng Priangan, maka sejalan dengan pola budaya masyarakat Priangan tidak digunakan sebagai media upacara. Dengan demikian fungsinya hanya sebagai seni pertunjukan. Akan tetapi dalam kehidupan sosial masyarakat Cirebon, pertunjukkan seni tari Topeng di samping memiliki fungsi sebagai sarana upacara, juga berfungsi sebagai hiburan dalam perayaan pernikahan, sunatan, tujuh bulanan kehamilan, nadar-nadar atau kaulan, sembuh dari suatu penyakit, hingga pesta ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Tari topeng Cirebon menampilkan 5 karakter kedokpokok yaitu Panji, Pamindo atau Samba, Rumyang, Patih atau Tumenggung dan Klana serta kedok untuk peran bodor yaitu Pentul, Tembem, Jinggananom, dan Togog. Sejak awal abad 19, tari Topeng Cirebon dibawa oleh seniman Topeng Kecil dari Palimanan melalui pertunjukan keliling (bebarang) dari desa ke desa hingga tanah Pasundan Timur (Risyani, 2009:24). Seni tari Topeng Cirebon yang dibawakan oleh seniman pertunjukan
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 14
keliling pada awalnya muncul ditengah-tengah masyarakat kebanyakan. Namun demikian, atas permintaan pihak “kedaleman” pada gilirannya tampil juga di pendopo-pendopo di beberapa kabupaten di Priangan (Sujana, 2002:79). Selain pihak “kedaleman”, ada pula seniman-seniman dan pemuda-pemuda saudagar kaya di Priangan yang mengundang seniman tari Topeng Palimanan dan memanfaatkan tariannya untuk memperkaya perbendaharaan gerak pada Tayuban. Peristiwa-peristiwa di atas, memotivasi semangat R.Tjetje Somantri seniman tari di Priangan menggubah tari Topeng Cirebon menjadi tari Topeng Koncaran pada tahun 1949. Tari Topeng Koncaran yang dibawakan oleh penari putr ini, pada bagian pertama menggambarkan tokoh putri Anjasmara (tanpa kedok) dalam watak rumyang yang ganjen (genit, lincah), bagian kedua menggambarkan tokoh layang Seta dan Layang Kumitir dalam watak satria yang gagah dan gesit memakai kedok satria gaya wayang golek, serta bagian ketiga menggambarkan Prabu Klana Menakjingga yang berwatak gagah dan kasar memakai kedok warna merah. Tata busana tari Topeng Koncaran terdiri dari celana sontog,baju kutung, sinjang,kace, boro, beubeur, gelang tangan, kilat bahu, serta kelengkapan khas tarian topeng yaitu gambuh atau tekes dengan rarawis-nya. Kemudian pada tahun 60an, R Nugraha Soediredja juga melakukan transformasi tari topeng Cirebon menjadi tari topeng yang khas Priangan.Tari topeng Priangan hasil kreativitas R Nugraha Soediredja yaitu Tari topeng Tumenggung, Tari topeng Klana dan Tari topeng Kencana Wungu. Tata busana tari Topeng Tumenggung dan tari Topeng Klana memiliki kemiripan dengan tata busana tari Topeng Koncaran, yang membedakannya yaitu pada kedoknya. Pada tari Topeng Tumenggung memakai kedok Tumenggung gaya Cirebon dan pada tari Topeng Klana memakai kedok Klana gaya Cirebon pula. Sedangkan tatabusana tari Topeng Kencana Wungu sangat khas mencirikan sosok perempuan dengan memakai sinjang, apok, mongkrong yang didesain menyatu dengan kace dan boro serta pemakaian penutup kepala binokasri disertai untaian rarawis. Transformasi gerak tari membentuk struktur yaitu wujud lahiriah dimana eksistensi seni tari itu menyatakan dirinya (Parani, 1986:56). Pembentukan struktur, senantiasa dilakukan secara sadar dan terencana baik teknik maupun ekspresi yang dikembangkan dengan pikiran dan rasa melalui pengungkapan gerak, kualitas, kekuatan, dan iramanya menuju suatu pencapaian tertentu. Sebuah struktur tari saling berkaitan dengan sturktur karawitannya mencakup bentuk, fungsi, dan makna tari. (Risyani, 2009:90). Pemahaman dan penghayatan gerak tari Sunda ini kemudian digunakan sebagai inspirasi untuk pengembangan bentuk kerajinan keramik hias. Produk kerajinan keramik hias tradisional yang dikenal juga dengan istilah gerabah saat ini semakin banyak ditinggalkan oleh masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan karena semakin berkurangnya berbagai ritual budaya yang memanfaatkan benda kerajinan tersebut sebagai media ritual selain juga semakin membanjirnya produk sejenis dengan material lain yang lebih murah dan praktis dalam penggunaannya. Disisi lain, persaingan pasar semakin kompetitif sebagai dampak dari globalisasi yang menuntut produk mampu bersaing jika dilihat dari kualitas dan kuantitas dengan identitas lokal yang jelas. Kegiatan pembuatan kerajinankeramik hias (gerabah) di Kabupaten Purwakarta berpusat di wilayah Kecamatan Plered dengan luas wilayah sekitar 97,172 Ha. Sentra industri kerajinan keramik hias (gerabah) Plered mengembangkan berbagai teknik pembuatan keramik dengan jenis produk dan kualitas yang beragam. Dengan kualitas material lokal yang bagus, keramik hias (gerabah) Plered menjadi terkenal dan mencapai kejayaan pada era 1950 s.d 1970. Jika dibandingkan dengan keramik hias (gerabah) dari daerah lain seperti Kasongan (Yogyakarta), keramik hias (gerabah) Plered mempunyai keunggulan yaitu lebih halus dan keras dengan tekstur dan warna yang menarik. Keunggulan lain Plered sebagai sentra penghasil kerajinan keramik hias (gerabah) terdapat pada ketersediaan bahan baku tanah liat (lempung) yang melimpah sehingga biaya yang diperlukan untuk mendapatkan bahan baku dapat di tekan. Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 15
Melimpahnya bahan baku, kualitas yang cukup baik dan pengolahan yang sangat sederhana dengan skala industri rumah tangga (home industry), menjadikan produk keramik hias (gerabah) Plered memiliki nilai tambah tersendiri. Sentra kerajinan keramik hias (gerabah) Plered sendiri terbagi kedalam tiga wilayah besar sebagai sentra kerajinan keramik hias (gerabah) yang masing-masing wilayah tersebut memiliki jenis produk dan segmen pasar yang berbeda, yakni: a. Kampung Lio, yang sebagian besar pengrajinnya memproduksi keramik (gerabah) tradisional seperti kendi dan periuk selain produk kerajinan keramik hias (gerabah) seperti celenganuntuk pasar lokal. b. Kampung Gunung Cupu, yang sebagian besar perajinnya memproduksi benda pakai berupa pot untuk memenuhi pasar lokal dan sebagian untuk pasar ekspor ke luar negeri. c. Kampung Anjun, yang sebagian besar perajinnya memproduksi keramik hias berupa vas, guci, jambangan,dan lain-lain dengan tujuan pasar lokal dan pasar ekspor ke luar negeri. Dari ketiga lokasi sentra kerajinan keramik hias (gerabah) di Kecamatan Plered, Kampung Lio merupakan wilayah yang paling memprihatinkan secara sosial dan ekonominya karena produk yang dibuat memiliki pasaryang lebih terbatas. Umumnya produk yang dibuat hanya berupa keramik (gerabah) tradisional yang dibakar dengan suhu yang rendah dan warna yang natural untuk kepentingan ritual seperti kendi, pendil, periuk, dll. Adapun produk pakai dan hias lain yang dibuat secara kualitas masih sangat terbatas padahal jika dilihat dari aspek teknis dan estetis sebetulnya sangat menarik karena teknik dan bahan yang digunakan masih natural dan sederhana. Dari beberapa produk yang dihasilkan oleh perajin keramik (gerabah) di Kampung Lio, ada beberapa produk yang bentuknya mengambil inspirasi dari budaya tradisi seperti tokoh Wayang Golek Sunda seperti Semar dan Cepot tetapi kualitas bentuk, warna dan penggarapannya masih sangat terbatas selain itu dari segi fungsi juga masih terbatas baru berupa celengan saja padahal memiliki potensi yang sangat besar untuk terus dikembangkan. Dengan demikian diperlukan Think global act local sebagai sebuah kemungkinan pengembangan produk kerajinan keramik hias (gerabah)yang mengangkat unsur budaya tradisi yaitu tari Sunda sebagai inspirasi dengan sentuhan budaya modern. Oleh sebab itu, penelitian gerak tari Sunda sebagai inspirasi dalam pengembangan bentuk kerajinan keramik hias (gerabah) yang ada di Kampung Lio ini menjadi penting untuk dilakukan dengan menekankan pada pencarian bentuk gerak tari Sunda apa saja yang dapat digunakan sebagai identitas lokal dalam produk kerajinan keramik hias (gerabah). Kemudian bagaimana gerak tari Sunda tersebut dapat diolah sehingga menghasilkan produk kerajinan keramik hias (gerabah) modern yang secara visual menarik tetapi tetap memiliki identitas lokal yang sangat khas. Terakhir adalah mengenai bagaimana memunculkan ekspresi gerak tari Sunda tersebut terhadap produk yang dihasilkan. Identitas suatu bentuk merupakan identitas dari seluruh komponen pembentuknya. Dalam ekplorasi bentuk, didasarkan pada dua acuan yakni alam yang bersifat organik dan bentuk abstrak. Kedua acuan ini digunakan untuk mengungkapkan ide sehingga secara visual mudah dipahami maksud dan makna yang terkandung dalam suatu bentuk yang diciptakan. Pemahaman sumber bentuk dapat menghubungkan antara nilai visual dan nilai interpretatif yang terkandung dalam suatu bentuk sehingga mudah diwujudkan. Artinya perwujudan nilai ide merupakan isi dan bentuk luar yang nampak sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh dan benar.Bentuk (Widiharjo, 1993 : 28) adalah pengertian susunan dari bagian-bagian yang membedakan suatu obyek satu dengan lainnya. Metode bentuk yang digunakan dalam analisa penelitian ini adalah : a. Bentuk Formalis, Formalisme dalam seni rupa merupakan sebuah metode menyusun bentuk sehingga menghasilkan bentuk yang menekankan pada keseimbangan, keharmonisan, dan komposisi yang padu tanpa terpaku pada kemiripan obyek yang
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 16
b.
c.
dijadikan acuan. Pada penelitian ini, pendekatan formalism dipakai untuk menyederhanakan gerakan yang menjadi inspirasi pada keramik sehingga yang muncul adalah kesan gerak yang mendasar, tanpa menghilangkan identitas gerak tari yang dijadikan rujukan. Melalui metode ini, akan dihasilkan karya keramik yang sederhana namun menghadirkan kesan dinamis yang seimbang. Bentuk Dekoratif , Pendekatan dekoratif lebih mementingkan pada metode pembuatan karya dengan menitikberatkan pada pendekorasian obyek. Di sini, detail-detail gerak maupun busana yang dipakai oleh penari dapat menjadi acuan bagi pengrajin untuk membentuk keramik. Kerumitan ragam hias mapun aksesoris yang dipakai penari dihadirkan melalui teknik pembentukan dan pewarnaan yang rumit pada benda keramik yang dibuat. Dengan demikian melalui karya dengan pendekatan dekoratif ini, para pengrajin dapat mengeksplorasi segala kemampuan teknik dan material sehigga menghasilkan karya yang sangat estetis dan indah untuk dijadikan sebagai benda koleksi dan hiasan. Bentuk Ekspresif , Pendekatan ekspresivisme dijadikan sebagai salah satu metode untuk membentuk keramik yang mampu menghadirkan kesan secara langsung mengenai kedinamisan gerak, sisi sensual dari gerak ataupun keluwesan dari gerak tari yang menjadi dasar pembentukan keramik. Di pendekatan ini dituntut keterampilan para pengrajin untuk menginterpretasikan gerak tari ke dalam karya keramik, sehingga memungkinkan munculnya karya yang sangat berbeda satu sama lainnya.
PEMBAHASAN Melalui metode penelitian yang menekankan pada bentuk dan gaya, maka dihasilkan produk keramik hias realis dengan gaya Naturalis, keramik hias berbentuk abstrak dengan gaya Ekspresif dan keramik hias berbentuk stilasi dengan pendekatan dekoratif. Sebelum sampai pada hasil akhir tersebut, maka terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui, yaitu : 1. Tahap Dokumentasi Gerak Tari Sunda Pemilihan obyek melalui pengamatan secara langsung gerak tari Sunda yang diperagakan oleh penari. Pada bagian ini, berbagai gerak tari diperagakan oleh seorang penari kemudian didokumentasikan oleh fotografer. Di tahap ini, diambil gerak tari dari berbagai gerakan dan sudut pandang sehingga memungkinkan untuk memilih gerakan yang dianggap tepat untuk diwujudkan dalam benda keramik hias. Dalam memperagakan gerak tari Sunda agar sesuai dengan pakem atau aturannya, maka penari diarahkan gerakannya oleh dosen tari yang juga sebagai ketua penelitian, sehingga memungkinkan mendapat gerakan yang baik dan benar secara teknis.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 17
Gambar 1. Proses pemotretan gerak tari Sunda Sumber : Deni Yana
Gambar 2. Model Peragaan Gerak Tari Sumber : Deni Yana
2. Tahap Pemilihan Obyek Pada tahapan ini, foto gerak tari Sunda yang sudah diperagarakan oleh penari diseleksi untuk dipilih menjadi obyek untuk pembuatan benda keramik hias. Pemilihan foto didasarkan pada pertimbangan kekhasan gerak tari sebagai identitas, keindahan pose gerak, dan pertimbangan teknis dari sudut pandang pembuatan keramik. Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa untuk membuat benda keramik diperlukan proses yang pangjang sert harus diperhitungkan bentuk struktur keramik sehingga dapat diproses dengan baik. Berdasarkan hasil pengamatan dan mengacu pada pertimbangan di atas, maka dipilih 5 gerakan tari yang dianggap dapat mewakili kekhasan tarian Sunda, yaitu Kuya Mubui, Buaya Ngampar, Menjangan Ranggah, Patok Kabanjiran, dan Merak Ngibing.
Merak Ngibing
Patok Kabanjiran
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Menjangan Ranggah
Halaman ~ 18
Kuya Mubui
Buaya Ngampar Gambar 3. Berbagai Gerak Tari Sumber ; Deni Yana
3. Tahap Sketsa dan Pembuatan Model 3.1. Keramik Hias Naturalis Tahap selanjutnya dalam proses pembuatan keramik hias adalah tahapan pembuatan rancangan bentuk melalui sketsa dan pembuatan model. Rancangan didasarkan pada salah satu foto gerak tari yang sudah dipilih dan dapat direalisasikan tanpa ada kendala secara teknis maupun estetis. Dikarenakan karya keramik bersifat 3 dimensional, maka unsur pembuatan modeling menjadi penting, mengingat rujukan obyek bersumber dari foto yang bersifat dua dimensional, sehingga pada proses modeling inilah terjadi penyempurnaan di beberapa bagian. Pada kasus ini, penari yang memperagakan gerak tari tidak terlalu terlihat lekuk tubuhnya, sehingga kesan gerak tidak terlalu terlihat, oleh karena itu pada proses inilah terjadi penyesuaian bentuk tubuh sehingga dapat menampilkan kesan gerak yang lentur dan feminin. Setelah tahap modeling selesai, untuk selanjutnya dilakukan pembuatan cetakan dengan menggunakan silicon rubber seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 4. Pembuatan Model Sumber : Deni Yana
Gambar 5. Pencetakan Model Sumber : Deni Yana
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 19
Dengan menggunakan bahan resin maka dapat diperoleh bentuk keramik hias naturalis yang sesuai dengan model yang telah dibuat. Tahap selanjutnya adalah finishing detail dan melanjutkan pada pembuatan cetakan dengan menggunakan gipsum agar bisa lebih kuat untuk dipakai berulang-ulang sehingga sangat sesuai untuk produksi masal.
Gambar 6. Hasil Cetakan Model Sumber : Deni Yana
4. Keramik Hias Ekspresif Proses pembuatan keramik hias Ekspresif agak berbeda dengan tahapan proses pada keramik naturalis. Pada tahapan pertama setelah foto model yang dijadikan acuan dipilih, maka tahapan selanjutnya adalah mengeksplorasi bentuk dari tari tersebut, dengan mempertimbangkan aspek teknis material, yaitu tanah liat. Berikut ini adalah gambar proses penyederhanaan bentuk dalam rangka mencari bentuk yang unik dan dapat mengesankan gerak tari sebagai inspirasinya. Langkah pertama adalah pembuatan sketsa yang menyederhanakan gerak tari dan menonjolkan beberapa bagian tubuh sebagai ciri khas dari gerak tari. Setelah sketsa dibuat, maka selanjutnya adalah tahap pembentukan dimana keramik dibentuk mengacu pada sketsa yang telah dibuat disertai detail-detail bentuknya. Ketika keramik sudah dibuat sesuai sketsa, maka dilanjutkan pada tahap dekorasi, yaitu dengan menggunakan pewarna engobe pada permukaan benda keramik hias tersebut. Bagian akhir dari proses ini adalah tahap pembakaran, dimana keramik terlebih dahulu dikeringkan dengan cara dijemur.
Gambar 7. Pembentukan Sumber : Deni Yana
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 20
5. Keramik Hias Dekoratif Proses pembuatan keramik hias dekoratif dimulai dari pemilihan obyek gerak tari yang berasal dari foto, kemudian dibuatkan sketsa dengan menggunakan program photoshop sehigga penyederhanaan obyek menjadi sebuah pola hias dan pembuatan modul untuk keramik lebih mudah dilakukan. Dengan mencetak di atas bahan toyobo, maka pola hias tersebut dapat dicetakkan ke permukaan keramik. Berbeda dengan pendekatan sebelumnya, pada keramik hias dikoratif, benda keramik lebih ditekankan pada penggunaan keramik sebagai bagian dari elemen estetis, baik di interior maupun eksterior. Terdapat dua bentuk yang dicoba untuk dihias dengan gerakan tari Sunda ini, pertama diterapkan pada elemen pendukung interior seperti pada tegel dan kedua diterapkan pada benda fungsional sebagai wadah seperti pada guci gerabah atau jambangan bunga.
Gambar 8. Desain Sketsa dan Toyobo Sumber : Deni Yana
Gambar 9. Penerapan pada keramik mentah Sumber : Deni Yana
Gambar 10. Hasil Akhir Keramik Dekoratif Sumber : Deni Yana
Gambar 11. Aplikasi Motif Pada Benda Fungsi Sumber : Deni Yana
Pengembangan bentuk keramik hias di Plered, khususnya di kampung Lio, Kabupaten Purwarkarta sejak tahun 80-an selalu mengacu pada selera pasar, sehingga bentuk yang dihasilkan bergantung dari permintaan pasar, walaupun ada beberapa pengrajin yang berupaya untuk membuat kebaruan baik dari segi bentuk maupun teknik pembuatan keramik. Akan tetapi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, berbagai inovasi keramik hias mulai muncul di kawasan Plered yang ternyata didukung oleh hadirnya berbagai pihak, pertama pihak pemerintah melalui departemen perindustrian banyak mendukung pengembangan keramik, baik untuk
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 21
pengembangan desain maupun alat produksi. Selain itu, mulai banyak peneliti keramik yang memberikan masukan mengenai bentuk-bentuk yang inovatif dan kreatif. Hal ini tentu menjadi factor penting bagi kebangkitan keramik di kawasan Plered. Inovasi yang dilakukan untuk merangsang kreativitas para pengrajin di Plered ini salah satunya melalui penelitian yang kami buat dengan menjadikan gerak tari Sunda sebagai inspirasi dalam upaya pengembangan bentuk kerajinan keramik hias di kampung Lio kecamatan Plered, Kabupaten Bandung. Penelitian yang kami lakukan dengan cara menjadikan warisan budaya sebagai sumber inspirasi bagi pengrajin untuk mengembangkan bentuk, salah satunya melalui gerak tari, sehingga dapat menghasilkan bentuk kerajinan keramik hias yang mempunyai ciri khas budaya lokal.Melalui keramik yang mempunyai ciri khas dari budaya local inilah diharapkan dapat memberi nilai tambah bagi keramik Plered, khususnya dari segi penjualan. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, keramik Plered dikenal sebagai penghasil keramik untuk keperluan dekoratif dan fungsional sebagai wadah, sehigga ketika masyarakat mencari bentuk lain yang sesuai dengan kebutuhan interior modern, maka mereka kesulitan untuk menemukannya. Atas dasar itulah maka kami mengembangkan bentuk keramik hias yang juga dapat digunakan untuk kebutuhan interior modern yang bercita rasa Indonesia. Untuk menghadirkan keramik hias yang berciri budaya lokal tapi dapat dipergunakan sebagai bagian dari desain modern, maka pada tahap pertama ini, gerak tari Sunda yang berasal darigerak tari Topeng Cirebon sebagai acuan untuk mendesain bentuk keramik hias. Di sini, bentuk gerak tari Sunda berjudul Menjangan Ranggah, Patok Kabanjiran, Kuya Mubui, Buaya Ngampar, dan Merak Ngibing yang dijadikan contoh untuk dikembangkan ke dalam bentuk keramik hias. Keramik hias yang dapat menghadirkan kesan gerak tari Sunda, maka dilakukan pengolahan bentuk berdasarkan gaya yang diacunya. Tidak semua gerak tari dapat divisualisasikan melalui keramik, hanya beberapa gerakan yang dianggap menarik secara estetis untuk dijadikan keramik hias. Misalnya untuk posisi tangan, selalu berkonsultasi terlebih dahulu dengan pakar tari yang juga dosen tari sekaligus menjadi ketua tim peneliti. Dengan demikian karya yang dihasilkan secara visual tetap menarik tanpa kehilangan identitas kelokalannya, baik dari segi tema maupun material. Unsur lokal yang ditampilkan selain dari tema gerak tari, juga dari teknik pengolahan keramik, yaitu dengan menggunakan teknik engobe yang mampu menghasilkan warna alami khas Plered. Keramik hias yang terinspirasi dari gerak tari Sunda ini dapat diterima dan diminati oleh beragam kalangan, maka produk yang dihasilkan diarahkan pada 3 bentuk perupaan dengan gaya yang berbeda-beda. Pertama bentuk naturalis, kedua bentuk ekspresif dengan mengabstraksi beberapa bagian, dan bentuk fungsional yang lebih dekoratif. Dengan demikian bisa menjangkau kebutuhan pasar yang lebih luas. Proses pembuatan keramik hias yang menjadikan gerak tari sebagai inspirasi pada keramik hias di Plered yang dimulai dari tahap pengumpulan data obyek melalui pendokumentasian gerak tari, kemudian pembuatan sketsa atau rancangan kasar, pembentukan, dekorasi, pembakaran hingga pameran, diharapkan menjadi metode standar yang bisa dilakukan oleh para pengrajin. Melalui proses tersebut, pengrajin akan semakin mudah untuk membuat karya-karya yang inovatif tanpa kehilangan unsur subyektivitas mapun rasa kelokalannya. Proses pembuatan keramik hias dengan sumber inspirasi dari gerak tari mulai dari tahap pemotretan model penari untuk mencari dan menentukan gerak yang sesuai dengan pertimbangan estetis dan teknis, sampai pada proses pembentukan hingga menjadi karya akhir, dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Melalui tabel tersebut, akan terlihat lebih jelas mengenai proses pembuatan keramik hias berdasarkan penggayaan yang diterapkan. Walaupun tidak semua gerak dapat diwujudkan dalam bentuk patung, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 22
terus menerus mencari gerakan yang khas dan unik serta menarik secara estetis untuk diwujudkan. Hasil akhir proses pembuatan keramik hias pada penelitian ini dibagi menjadi 2 macam, pertama adalah hasil akhir yang berupa prototype seperti pada karya keramik hias bergaya abstrak ekspresif dan naturalis. Di sini, karya dijadikan sebagai master untuk kemudian dicetak secara masal. Sedangkan karya yang dekoratif dapat secara langsung dipakai, karena lebih menitikbertatkan pada aspek fungsi dekorasi dari obyek yang didekorasi dengan menggunakan sosok penari sebagai obyeknya. PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian mengenai gerak tari sebagai inspirasi dalam pengembangan bentuk keramik hias Plered, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : Pertama, kekayaan budaya tradisi lokal dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi dalam membuat sebuah inovasi pada bentuk keramik hias dengan menyesuaikan dengan keadaan zaman.Kedua, kekuatan tradisi keramik di Plered yang bisa terus bertahan dikarenakan kemampuan para pengrajin untuk terus berinovasi dan berkreasi sesuai dengan tuntutan zaman. Dengan dasar itulah maka para pengrajin dapat dengan mudah mengembangkan metode yang ditawarkan oleh tim peneliti dalam mengembangkan bentuk keramik hias yang berdasar pada tradisi lokal dalam hal ini adalah tradisi seni tari.Ketiga, melalui metode pembentukan yang mengacu pada keadaaan masa sekarang, maka produk keramik hias Plered dapat menampilkan ciri khas budaya tradisi baik dari sisi tema maupun material sehingga memberi nilai tambah bagi keunikan keramik di Plered.Keempat, pendekatan naturalis, abstraksi, ekspresif, dan dekoratif memberikan wawasan tambahan bagi para pengrajin untuk menghasilkan karya sesuai dengan segmentasi pasar yang ada, sehingga memungkinkan terjadinya diversifikasi produk yang mampu mengisi tiap segmentasi konsumen dari berbagai kalangan.
DAFTAR PUSTAKA Ahimsa-Putra, HS, 2008. Paradigma dan Revolusi Ilmu dalam Antropologi Budaya: Sketsa Beberapa Episode, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Yogyakarta : UGM Ihromi, T.O, 2000. Pokok-pokok Antropologi Budaya, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Risyani. 2009. Menjadi Priangan Transformasi Budaya Topeng Klana Cirebon Karya R. Nugraha Soediredja. Sunan Ambu Press. STSI Bandung. Risyani, 1999. Estetika Tari Sunda, Bandung : STSI Bandung Sujana, Anis, 2002. Tayub Kalangenan Menak Priangan, Bandung : STSI Bandung Munro, Thomas, 1970. Form and Style In The Arts : An Introduction To Aesthetic Morphology, Ohio : Press of Case Western Reserve University Widihardjo, 1993. Peranan Bentuk dalam Proses Perancangan pada Konteks Metodologis, Thesis, Bandung : Magister Senirupa dan Desain ITB Yulianti Parani. 1986. “Sumber Daya Dalam Penataan Tari” dalam Edi Sedyawati (Ed.) Pengetahuan Elementer Tari dan Beberapa Masalah Tari. Jakarta: Direktorat Kesenian Proyek Pengembangan Kesenian Jakarta Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 23
FUNDAMENTAL
‘DALIMA’ SEBAGAI INSPIRASI, KONSEP DAN EKSPRESI ESTETIK BUDAYA KERATON CIREBON (Tinjauan Historiografi Seni Periode Sultan Sepuh I) Husen Hendriyana Ari Winarno ABSTRAK Dalima merupakan bagian dari artifak budaya Keraton Cirebon periode masa Sultan Sepuh I dan II (1682 – 1710). Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan strategi pendekatan etnografi yang mengarah pada identifikasi pengetahuan konstruktif dan interpretatif pada fenomena estetik perwujudan artifak budaya. Fenomena estetik tersebut akan ditelusuri berdasarkan teks dan konteks wujud artifak Dalima sesuai atribut-atribut kelokalan yang menyertainya. Artifak Dalima kaya akan nilai-nilai simbolik dengan asusmi sebagai representasi budaya masyarakat Keraton Cirebon pada masa itu. Cirebon dikenal dengan karakteristik budaya yang terbuka terhadap pengaruh budaya lain banyak ditemukan dan dibuktikan melalui artifak-artifak yang dihasilkannya. Banyak interpretasi masyarakat mengenai artifak Dalima dan belum terdefinisikan secara jelas hingga saat ini. Pada ranah estetik, secara pokok akan ditelusuri melalui pemahaman simbolistik ideoplastis dan visioplastis. Objek-objek inspiratif seperti buah dalima membentuk struktur kosmologi budaya dengan penggambaranpenggambaran metaforis, aktivitas dan peristiwa kontekstual, prinsip, norma dan kaidah yang membentuk konvensi budaya masa itu menjadi kekuatan tradisi yang secara kolektif telah mewarnai prinsip jati diri (konsep) budaya tersebut. Kata Kunci: Dalima, inspirasi, konsep, eskpresi estetik, budaya, Keraton Cirebon PENDAHULUAN Artifak Dalima ini terdapat pada relief bangunan Keraton Kasepuhan, tepatnya terdapat di dinding Bangsal Perbayeksa. Bangunan ini dibangun oleh Sultan Sepuh I pada tahun 1682 dan Relief ini dibuat oleh pada masa Sultan Sepuh II. Relief ini dibuat oleh adik Sultan Sepuh II bernama P. Arya Carbon Karangen pada tahun 1710. Artifak Dalima merupakan salah satu hasil karya budaya Keraton Cirebon pada masa lalu yang terjaga dengan baik hingga kini. Artefak Dalima merupakan lambang kenegaraan. Terkait artefak Dalima ini banyak memunculkan interpretasi yang berbeda-beda di beberapa kalangan seperti agamawan (spiritualis), budayawan, dan sejarahwan, sehingga artifak tersebut belum terdefinisikan, khususnya terkait dengan fenomena estetik. Beberapa temuan beragamnya interpretasi terhadap artefak Dalima, adalah sebagai berikut: Ada kelompok masyarakat yang memberi nama artifak tersebut dengan nama “Kembang kanigaran” yang artinya bahawa Sri Sultan memegang tapuk kenegaraan harus welas asih pada rakyatnya; ada yang menyebut “Dangdang wulung mank keduwong kembang kanigaran” yang artinya “lamon dadi wong (pemimpin) aja ngarep pamrihing wong liyan, tapi kudu ikhlas”. Ada beberapa kelompok menyebutkan lambang kejujuran, dengan disimbolkannya melalui buah manggis, buah manggis bila putting kelopak buahnya berjumlah empat, maka di dalamnya memiliki buah yang terdiri empat bagian. Beberapa intepretasi yang menghubungkan adanya pengaruh warisan nilai-nilai dari budaya China, Islam, Hindu-Budha.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 24
-
Beberapa kelompok orang yang menginterpretasikan, bahwa artifak tersebut merupakan warisan nilai-nilai ajaran sufisme atau mistisime Islam yang disimbolkan sebagai catatan perjalanan suluk para thorekh di kesunann Cirebon. Beberapa sumber naskah babad di Cirebon menenrangkan, artifak tersebut produk pengaruh Mataram.
Berdasarkan alasan-alasan seperti pada latar belakang tersebut di atas, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan strategi pendekatan etnografi yang mengarah pada identifikasi pengetahuan konstruktif dan interpretatif pada fenomena estetik perwujudan artifak budaya. Fenomena estetik tersebut akan ditelusuri berdasarkan teks dan konteks wujud artifak Dalima berdasarkan atribut-atribut kelokalan yang menyertainya. Penelitian ini bertujuan memberikan kepastian kepada masyarakat secara luas sehingga dapat memberikan pengetahuan yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, serta manfaat rekonstruksi dan revitalisasi dalam penggalian entitas nilai budaya lokal sebagai fondasi kekuatan karakter bangsa. PEMBAHASAN Di era budaya sekarang ini, dapat disaksikan secara nyata banyak terjadi peleburan dimensi multikultur menjadi tradisi baru yang tidak lagi berpihak pada nilai-nilai tradisi ‘asli’ secara eksplisit dan homogeni (tidak lagi mengakar pada budaya tradisinya sendiri). Konsekuensi logis peleburan budaya seperti ini tentu saja memiliki dampak positif maupun negatif, di antaranya seperti diungkapkan bahwa ruang-ruang perilaku sosial yang memungkinkan adanya interaksi sosial menjadi semakin sempit sehingga kebersamaan yang bersifat komunal menjadi terhambat, kecenderungan dari kehidupan sosial masyarakatnya berubah mengarah kepada demokrasi dan individualisme yang menggugat nilai-nilai kebersamaan dan terkikisnya spirit budaya yang berpijak pada akar budayanya sendiri (Irwan Abdullah, 2012:4). Penyempitan ruang fisik, maupun ruang sosial seperti dimaksudkan di atas, juga terjadi pada interpretasi terhadap artifak Dalima seperti disebutkan di atas. Menyempitnya ruang pikir menggejala seiring perkembangan ilmu pengetahuan di era modern seperti sekarang, yakni ruang pikir terkotak-kotakaan melalui berbagai perspektif pandangan pengetahuan yang dimiliki. Pengertian ekspresi simbolik dari suatu proses budaya tertentu tiada lain adalah pada benda karya budaya itu sendiri, seperti ditegaskan bahwa benda-benda yang digunakan maupun yang dihasilkan, adalah wujud-wujud simbolik yang tidak dapat dilepaskan dari konsep-konsep keindahan yang menjadi landasan bagi karya-karya seni (Edi Sedyawati, 2006:126) Demikian pula pada topik tulisan ini, khususunya artefak budaya tradisi di Keraton Cirebon terekspresikan dan atau terwujudkan karena adanya daya-daya religi, rasa dan fikir (rasio) yang integratif dalam satu konstruksi wujud karya seni-budaya.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 25
Gambar tampak perspektif
Gambar tampak depan
Gambar 1: Artifak Dalima (Kembang Kanigaran) a
b
d
c
e
f
Gambar 2: Struktur dan Unsur Motif penguraian dari (gambar 1) (a) Komposisi Kembang Kanigaran; (b) Burung gagak Putih, (c) Bunga Dalima, (d) Empat Buah Dalima, (e) Wadasan/Gununung, (f) buah Delima 4 warna
Tabel 1: Pemaknaan pada struktur (a) kembang kanigaran Dinamisme Kosmologis
Dinamisme Forma aksidental
Dinamisme Epistemologi
Dinamisme Forma Substansial
Dinamisme Integral
Simbol penyatuan; Pertemuan dua bunga menjadi satu
Satu : wujud (ADA)
Wujud : sifat pertama dari sifat 20 bagi Alloh. Dualisme paradoksal sifat Wujud
dua perkara yang tidak bisa kumpul keduanya, tapi bisa tidak ada duaduannya. ¾
Tiga Bunga
Tiga jenis wujud: (1) Wujud idofi
Wujudnya anak karena lantran wujudnya kedua orang tuanya.
→ Asbab/Syareat
(2) Wujud aridi
Wujudnya sesuatu tetapi telah didahului oleh yang tidak ada. Contoh: surga, neraka, Qalam, luhmahfud, arsyi, kursy, ruh.
→Perjalanan/metode/ Tharekat/Epistemologi
(3) wujud dzati atau hakkekati
Wujudnya Alloh oleh dzat‐Nya sendiri.
→ Hakekat
Semua Wujud bisa ditemukan/ diketahui oleh dua perkara
Paradoks sifat wujud dapat diuraikan melalui dua perkara: 1. Ditemukan oleh hisyi (pancadriya yang lima). 2. Ditemukan oleh Aqli tetapi tidak bisa ditemukan oleh hisy (contoh: ilmu, bodoh‐pinter, susah‐bungah.
→ Makrifat
Dua bunga
Empat bunga
¾
¾
¾
Ada 4 Kemustahilan ADA‐Nya Alloh: Laa maujuda ilalloh
Tiadayang wujud kecuali alloh
Laa ma’buuda ilalloh
Tiada yang wajib disembah kecuali Alloh
Laa maksuda ilalloh
Tiada yang dituju/dimaksud kecuali Alloh
Laa mathluba ilalloh
Tiada yang dicari kecuali Alloh
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
(terbukannya hijab dari kedua Hisy dan aqli) ¾
Kasampurnan (Esensi Umul Kitab: lima huruf dal pada akhir kalimat Q.S Al‐Ikhlas ¾ DALIMA
Halaman ~ 26
Ket. Uraian dari analisis struktur motif (b-f) merupakan penjelasan dan penjabaran dari struktur motif (a) kembang kanigaran. (Sumber: Wawancara Bambang Iryanto, dan Ustad Iwan 2013; (1) Kitab Jauharut Tauhid (Mutiara Tauhid) Pengarang: Syeh Ibrohim Al-Bajuri, (2) Kitab Assanusiah (Hisnu Sunnah/Benteng Ahli Sunah wal Jamaah), Pengarang: Syeh Ibrohim Al-Bajuri, (3) Kitab Marjan: Tijandarori (Mahkota Mutiara Tauhid) Pengarang: Syeh Ibrohim Al-Bajuri Secara ideoplastis, Delima memiliki makna filosofis yang tersirat, yang berarti lima. Dan selanjutnya dalam konteks budaya-religi dan dialek Jawa-Cirebon, Delima dilafalkan menjadi Dalima dengan pengertian lima digambarkan pada Q.S. Al Ikhlas yakni lima huruf dal ( )دyang ada pada akhir suku kata pada Q.S. Al Ikhlas yang berbunyi: Qulhuwallohu ahad, Allohushomad, lamyalid walam yulad, walam yakulahu qufuwan ahad. Quran Surat Al-Ikhlas memuat keimanan/keyakinan, sekaligus implementasi tindakan ibadah bagi umat muslim. Keikhlasan adalah tersimpan di dalam hati dan yang maha mengetahui hati dan keihlasannya adalah yang maha satu. Bila keihlasan itu tidak tersimpan dan tersembunyikan secara baik dalam hati maka keihlasan tidak ada, yang ada adalah riya. Secara visioplastis, abstraksi imaginasi Dalima seperti dijelaskan di atas divisualkan dari inspirasi buah Delima. Kata “Delima” mengalami peleburan ucapan dari dialek bahasa setempat menjadi “dalima”. Delima adalah nama buah yang menyimpan misteri dengan banyak makna. Buah delima yeng memiliki kelopak bunga berjumlah enam. Oleh para Guru Ngaji dan Santri Pekikiran Giri Nur Sapta Rengga, Angka ‘Enam” diadopsi dari rukun Iman yang terdiri enam perkara. Dal-lima, huruf dal yang berjumlah lima pada akhir kalimat dalam Q.S. Al Ikhlas. Enam, rukun Iman berjumlah enam perkara yang wajib di-imani dan diyakini oleh umat Islam. Dalam pandangan teori emanasi dan konkresi suatu wujud suatu dzat, Buah Delima adalah buah yang menyuarakan angka ‘lima’ dan menyembunyikan angka ‘enam’ (menyimpan fakta bahwa kelopak bunganya berjumlah enam) (Wawancara dengan Bambang Irianto, di Jl. Gerilyawan No.4 Cirebon, pada Sabtu, 29 Mei 2012). Secara konstekstual, Kekuatan nilai-nilai ajaran hidup masyarakat Cirebon pada masa para Wali secara langsung maupun tidak melatar-belakangi wujud ekspresi simbolik yang bersifat intangible sebagai konsep. Kekuatan prinsp yang tersirat pada karakteristik konsep karya di maksud adalah cerminan eskpresi simbolik yang menjadikannya suatu ideologi budaya yang dimilikinya. Kekuatan nilai-nilai ajaran hidup masyarakat pendukungnya, didasari oleh kekuatan akan keyakinan dan kepercayaaanya terhadap hal yang bersifat transenden. Secara rasional, kekuasaan Keraton/Kesultanan yang berposisi sebagai pusat budaya, pusat ajaran spiritual Islam, dan sekaligus sebagai pusat pemerintahan, hal itu sangat logik sebagai pemegang polesi pola budaya dari berbagai budaya yang ada hingga mencapai puncak konvensi dan prestasi serta mengkondisikan akan hal itu menjadi ekspresi budaya masyarakat Cirebon yang khas. Prinsip, dan sikap perlikaku masyarakat keraton Cirebon sangat khas dalam menghadapi dan menanggapai persoalan yang berbeda. Hal ini sekaligus mendasari desain budaya baik dalam tataran konsep (paradigma berbudaya) dan wujud karya budaya itu sendiri. Dengan demikian ke-khasan prinsip, sikap dan perilaku budaya sesuai nilai-nilai yang diyakini telah mewarnai ekspresi karya masyarakat Cirebon sebagai objek-objek abadi yang bermakna.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 27
PENUTUP Dalam suatu proses fenomena estetik karya budaya memiliki hubungan interelasi di antara unsur-unsur pemandunya. Unsur-unsur pemandu tersebut dipetakan menjadi dua aspek pokok, yaitu unsur-unsur yang terdapat di dalam aspek interaestetik dan ekstraestetik, aspek interaestetik bertalian dengan unsur-unsur tangibel, dan aspek eksteraestetik dengan unsurunsur intangible. Unsur-unsur tangibel melekat terhadap karakteristik wujud karya yang bersifat material secara tekstual, sedangkan unsur-unsur intangible melekat pada karakteristiknya yang bersifat material secara konstekstual. Dalam ranah ideoplastis, ‘Dalima’ merupakan penggambaran metaforik Surat AlIkhlas, dengan etimologi penggabungan huruf ‘dal’ dan angka ‘lima’. Artefak visual Dalima tersebut bernarasi seloka ‘Dandang wulung manuk keduwong kembang kanigaran’ yang berarti ikhlas tanpa pamrih. Sedangkan dalam aspek ranah visioplastis, divisualisasikan dengan elemen hias berbentuk buah dalima, kembang kanigaram dan sepasang burung gagak putih. Menyimak dari realitas fenomena visual karya seni budaya ini, maka dapat dipastikan bahwa peran seni bukan saja sebagai unsur pemuas keindahan secara inderawi saja tetapi seni memiliki peran dan fungsi lain seperti: 1) Simbol seni sebagai media eskspresi spiritual/transenden; 2) Simbol seni sebagai media kontrol sosial, sebagai penegak prinsip; 3) Sosial /adaptasi sosial-budaya; 4) Simbol seni sebagai bahasa; 5) Simbol seni sebagai daya ‘Kekuatan Visual’; 6) Simbol seni sebagai ‘Kehadiran’ (eksistensi, emosi dan kreativitas). DAFTAR PUSTAKA Edi Sedyawati .2006. Budaya Indonesia, Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah, Grafindo Persada.
Jakarta: Raja
Husen Hendriyana. 2009. Metodologi Kajian Artefak Budaya Fisik, Fenomena Visual Bidang Seni, Bandung: Sunan Ambu Press. ________________. 2007. ”Makna dan Simbol GerbangSembilan Astana Sunan Gunung Jati Cirebon”, Tesis Pasca sarjana Program Studi Desain, Faultas Rupa dan Desain ITB
Seni
Irwan Abdullah. 2012. “Reposisi Studi Seni dalam Dinamika Masyarakat:Pengembnagan kurikulum Kontekstualitas dan Transformasional”, Makalah Seminar Kurikulum Pasca Sarjana STSI Bandung. Syeh Ibrohim Al-Bajuri. Tth. Kitab Jauharut Tauhid (Mutiara Tauhid), ttp. Syeh Ibrohim Al-Bajuri. Tth. Kitab Assanusiah (Hisnu Sunnah/Benteng Ahli Sunah Jamaah)
wal
Syeh Ibrohim Al-Bajuri. Tth.
Tauhid)
Kitab Marjan: Tijandarori (Mahkota Mutiara
SUMBER LAIN: 1. Responden: Bambang Irianto (17 Februari 1958), tinggal di Jl. Gerilyawan No.4 Cirebon, sebagai Ketua pusat konservasi dan pemanfaatan naskah klasik Cirebon; Wakil Direktur Taman Air
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 28
Sunyaragi, keraton Kasepuhan; Penata Budaya Keraton Kacirebonan, Pengurus Islamic Centre kota Cirebon. Guru Thorekhat, Pimpinan Majelis Dzikir Lam alif 2. Narasumber: - Kartani, Narasumber, budayawan Cirebon/Konsultan budaya Keraton di Cirebon, tinggal di Kapetakan, Cirebon. - Ridwan (Ustad Iwan), Guru Thorekhat Satariyyah dan Naqsybandiyyah, Pimpinan Majelis Dzikir Al-Fatih.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 29
MODEL APLIKASI PENCIPTAAN KARYA SENI BERBASIS KEARIFAN LOKAL UNTUK ANAK USIA DINI1 Suharno Rosarina Giyartini2
ABSTRAK Seni adalah salah satu materi pembelajaran di PAUD yang penting karena mampu memberi ruang kreatif-imajinatif-ekspresif dan sebagai salah satu penopang tumbuh kembang berbagai potensi kecerdasan anak. Sayangnya, umumnya pembelajaran seni di PAUD dilakukan sebagaimana di sanggar seni. Guru memberi contoh dan siswa diminta menirukan tanpa diberi ruang kreatif. Pembelajaran dianggap sukses jika siswa sempurna menirukan apa yang dilakukan guru, bukan menciptakan karya seninya sendiri. Dampaknya, anak tidak kreatif serta tidak mampu berpikir divergen serta kontekstual sejak dini. Fenomena ini tentu bukan salah garu semata, karena hingga saat ini PGPAUD di Indonesia tidak menyediakan konsentrasi pendidik seni bagi lulusannya. Tulisan ini berupaya memutus mata rantai hal tersebut dengan menawarkan model penciptaan seni kekinian yang berpijak pada seni tradisi bagi pendidik PAUD agar mampu mengantarkan siswanya menggagas, mencipta, dan menyajikan karya seninya sendiri sesuai tingkat perkembangannya, tanpa meninggalkan nilai-nilai tradisi namun selaras dengan perkembangan jaman.
Kata kunci: karya seni kekinian, kearifan lokal, anak usia dini
PENDAHULUAN Pembelajaran seni di PAUD dan SD memiliki peran signifikan dalam membentuk perkembangan anak, baik aspek kognitif, afektif, maupun psikomotornya sehingga dapat membantu membekali life skills anak sesuai tujuan pendidikan yang dicanangkan Unesco, yakni learning how to think (kecakapan berfikir), learning to do (kecakapan untuk berbuat atau bertindak), learning to be (kecakapan untuk tampil), learning to learn (kecakapan untuk belajar) dan kecakapan untuk hidup bersama/learning life together (periksa Hidayat, 2005: 106; Soehardjo, 2005: 158-159). Pembelajaran seni di PAUD dengan demikian sungguh penting karena sebagaimana ditegaskan Frederik Froebel dapat mengembangkan semua aspek perkembangan anak (Tim Penulis Modul PLPG, 2013: 462). Persoalannya, pembelajaran seni di PAUD di negeri ini masih jauh dari seni untuk pendidikan. Umumnya lebih mementingkan hasil dari proses mencipta karya seni mereka sendiri. Anak dijejali dengan hafalan gerak agar hafal suatu tarian tertentu (kasus seni tari), atau didoktrin harus mewarnai gambar daun dengan warna hijau (kasus seni rupa), dan lain sebagainya. Fenomena ini jelas menegaskan bahwa hasil lebih penting dari proses mencipta karya seni. Padahal dengan tegas Froebel menegaskan bahwa anak usia dini harus terlibat dalam 1
Disampaikan dalam Konferensi Nasional Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Dasar 22-23 November 2013 di UPI Bandung. 2 Suharno, staf pengajar di Jurusan Seni Rupa STSI Bandung. Rosarina Giyartini, staf pengajar PGPAUD UPI Kampus Tasikmalaya
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 30
proses menciptakan seni mereka sendiri di samping menikmati seni orang lain (Tim Penulis Modul PLPG, 2013: 462). Hafalan atau meniru apa yang dilakukan gurunya dalam pembelajaran seni di PAUD bukannya tidak baik, karena bagaimanapun juga meniru adalah bentuk kreativitas walaupun pada level yang paling rendah. Namun demikian, jika tidak diimbangi dengan memberi ruang kreatif pada anak untuk mencipta karyanya sendiri, pembelajaran seni yang berbasis hafalan dan doktrin guru bisa mengesampingkan anak yang tidak punya minat dan bakat. Padahal, butir pertama dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan, bahwa setiap peserta didik pada suatu satuan pendidikan mempunyai hak mendapat perlakuan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya (Hamalik, 2003: 8). Selain itu penekanan pada hafalan atau skill yang tidak memberi ruang kreatif ini akan memasung imajinasi dan kreativitas anak. Padahal, di sinilah salah satu letak proses adaptasi-kreatif yang berguna bagi perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotor anak dalam rangka menyiasati hidup dan kehidupannya di kemudian hari. Melihat kenyataan yang demikian, maka peran guru PAUD sebagai salah satu agen perubahan cukup penting. Ki Supriyoko (Kompas, 10 Agustus 2006: 6), juga menegaskan bahwa kunci revitalisasi pendidikan ada pada guru. Hal ini dikarenakan sebagus apapun desain pendidikan di negeri ini, jika pembelajaran ditangani guru yang tidak berkompeten, tujuan pendidikan tidak akan tercapai. Sebaliknya, betapapun carut-marutnya sistem pendidikan di negeri ini, namun jika pembelajaran ditangan guru yang kreatif nan mumpuni, tujuan pendidikan bisa tercapai secara maksimal. Berdasarkan kenyataan di atas, maka upaya peningkatan kualitas guru PAUD khususnya dalam pembelajaran seni mutlak diperlukan, sehingga pembelajaran seni bukan sekedar menjejali siswa untuk mengingat dan menghafal, tetapi justru membekali kemampuan memahami dan belajar berkarya seni (mencipta) sesuai tingkat perkembangannya. Kemampuan ini penting diberikan karena dalam proses mencipta siswa otomatis mengembangkan imajinasi dan kreativitasnya. Imajinasi penting karena merupakan kata kunci kreativitas. Tanpa imajinasi kreativitas tidak akan berkembang (Kompas, 25 Juni 2006: 43). Kreativitas sendiri menjadi keharusan dalam pembelajaran seni di PAUD, karena kreatif adalah kodrat berfikir anak, bahwa mulai fase pralogis hingga pemekaran nalarnya, ia selalu serba mencipta, serba eksploratif, dan berkat eksplorasi dan kreativitasnya itulah si anak sangat dini sudah tahu bahwa untuk mencapai sesuatu ada jalan banyak (Mangunwidjaya, 2003: 43).
PEMBAHASAN Anak Usia Dini (AUD) adalah makhluk sosiokultural yang harus diasuh dan dididik sesuai nilai-nilai sosiokultural masyarakatnya. Kegagalan pola pengasuhan AUD sebagai makhluk sosiokultural ini, sudah barang tentu akan berdampak gagalnya generasi pewaris negeri ini. Hal ini dikarenakan, kelak mereka akan mudah tercerabut dari akar budayanya sendiri. Padahal nilai-nilai primordial suku memiliki kearifan lokal, yakni nilai-nilai kebajikan yang merawat ruang interioritas manusia, sehingga menjadi manusia bijak dalam menjalani kehidupan. Sebagai makhluk sosiokultural, PAUD wajib mengenalkan nilai-nilai luhur budaya suku dan bangsanya, seperti toleransi, gotong royong, cinta sesama, menyintai alam, dan lain sebagainya. Pengenalan ini dapat melalui penceritaan terhadap dongeng/legenda masyarakat. Berangkat dari dongeng ini, anak bisa berimajinasi menjadi aktor (pembelajaran seni drama), menggambar/mewarnai tokoh (pembelajaran seni rupa), menarikan tokoh (pembelajaran seni tari), dan lain sebagainya. Di sisi lain, sebagai makhluk sosiokultural AUD juga perlu mendapat
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 31
sentuhan peradaban kekinian sesuai tingkat perkembangannya, seperti alat musik barat, tari modern, dan lain-lain. Pengenalan akan hal-hal yang bersifat kekinian ini akan bermanfaat bahwa sejak dini mereka belajar mengenal, merasakan, dan mengalami realitas yang dihadapi saat ini. Berdasarkan kenyataan ini, maka agar nilai-nilai kearifan lokal menarik minat anak, maka kearifan lokal tersebut perlu dikemas dalam bentuk karya senis. Di sini, siswa ditekankan bukan untuk meniru, namun menggagas, mencipta, dan menyajikan karyanya atas bimbingan guru. Untuk itu diperlukan model penciptaan seni berbasis kearifan lokal sebagai salah satu pegangan guru PAUD dalam mengantarkan siswanya menggagas, mencipta, dan menyajikan karya seninya sendiri sesuai tingkat perkembangannya. Model ini diciptakan agar guru PAUD mampu menfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan anak agar mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal dengan menanamkan nilai-nilai dan norma-norma kehidupan melalui seni sehingga mampu mendasari pengembangan pengetahuan dan keterampilan selanjutnya. Oleh sebab itu model ini bisa dilaksanakan dengan baik jika dilakukan secara holistik dan terpadu, berbasis keilmuan, berorienbasi pada perkembangan anak dan masyarakat. Holistik dan terpadu artinya model ini dilaksanakan dengan menyelaraskan pendidikan yang dilakukan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Berbasis keilmuan artinya peembelajaran dilaksanakan berdasarkan temuan-temuan mutakhir dalam bidang keilmuan seni yang relevan, misalnya teori gambar anak (seni rupa), dan tari pendidikan (seni tari). Berorientasi pada perkembangan anak artinya dalam proses belajar mengajar harus memperhatikan perbedaan setiap anak. Berorientasi masyarakat artinya menempatkan anak sebagai bagian dari masyarakat, sehingga pembelajaran seni turut mengembangkan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Berikut ini adalah bagan model penciptaan seni tersebut. Metode pembelajarannya
Nilai apa yang hendak disampaikan, mengapa nilai tersebut yg dipilih, apa tujuannya
Nilai‐nilai Kearifan Lokal
Metode pembelajarannya
Evaluasi
Model penciptaan seni berbasis kearifan lokal. Adaptasi Model Mandala Kajian/Penciptaan Seni3 3
Model di atas adalah mandala penciptaan seni untuk pendidikan. Mandala adalah suatu bentuk pemetaan filosofis terhadap suatu hal dimana satu titik sebagai pusat dikelilingi oleh dua, empat atau lebih titik lain yang mengacu pada titik pusat tersebut. Di Jawa Keblat papat lima pancer, atau empat arah mata angin dengan satu titik di tengahnya. Masing-masing arah mata angin memiliki warna tersendiri, yakni merah, putih, kuning, dan hitam. Titik tengah adalah “aku” manusia yang dikepung oleh 4 warna dari arah yang berbeda. Penguasaan terhadap warna merah, hitam, kuning, putih yang ditempatkan sebagai arah mata angin adalah simbol penguasaan diri atas hawa nafsu. Oleh karena itu penguasan terhadap mandala ini
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 32
(Suharno dan Rosarina Giyartini, 2013)
Filosofi mandala di atas digunakan untuk membuat mandala penciptaan karya seni, dengan harapan nilai-nilai kearifan lokal yang hendak disampaikan harus selalu dilihat keterkaitannya dengan unsur-unsur lain, yakni alasan (apa, mengapa, kemana/tujuan) suatu nilai dipilih unutk disampaikan kepada siswa, pilihan metode mengajarnya, proses mengajarnya, dan evaluasi pembelajaran secara menyeluruh. Oleh karenanya, dalam mandala penciptaan ini, titik pusatnya adalah substansi nilai kearifan lokal, yang kemudian dalam proses penciptaan terhadapnya memerlukan “koordinasi” dengan keempat titik yang lain. Berdasarkan mandala penciptaan di atas, dapat dijelaskan bahwa langkahlangkah pembelajaran seni berbasis kearifan lokal di PAUD adalah sebagai berikut. 1. Memetakan nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat dalam cerita rakyat, legenda, dan lain sebagainya yang akan disampaikan kepada siswa; 2. Menentukan nilai-nilai kearifan lokal tersebut yang sesuai dengan perkembangan siswa, misalnya nilai gotong royong; 3. Menentukan metode peembelajarannya, misalnya konstruktivisme yang memberi ruang kepada anak untuk mengonstruksi apa yang dipelajari sesuai tingkat perkembangannya; 4. Pelaksanaan, yakni melakukan pembelajaran seni berbasis kearifan lokal sesuai karakteristik metode pembelajaran yang dipilih, sehingga anak bisa menggagas, mencipta dan menyajikan karyanya. Contoh: (a) guru menceritakan legenda Sangkuriang dan menjelaskan nilai yang terkandung di dalamnya sesuai tingkat perkembangan anak, misalnya nilai kebaikan dan sebaliknya; (b) siswa diminta memilih tokoh dalam cerita tersebut dan menggambarkannya di atas kertas sesuai interpretasinya; (c) siswa diminta menunjukkan karyanya ke pada teman-temannya sambil menjelaskan kembali karakter tokoh yang digambarnya (tokoh jahat/sebaliknya) dan mengapa tokoh tersebut yang digambar. Pola pembelajaran seperti ini cukup penting karena sebagaimana dinyatakan oleh Sumardianta (2013: 21), bahwa “ Murid akan lupa jika hanya mendengar ceramah dari guru. Murid akan mengingat apa yang diperlihatkan oleh gurunya. Murid akan memahami bila melakukan. Murid menguasai bila menemukannya sendiri” 5. Evaluasi, yakni melihat kembali proses pembelajaran mulai dari pemetaan bahw nilai kearifan lokal yang diangkat hingga pelaksanan guna perbaikan pembelajaran selanjutnya.
dalam konteks tradisi Jawa diyakini memiliki pengaruh kuat terhadap pribadi orang Jawa. Penyebutan kakang kawah adi ari-ari (air ketuban sebagai kakak, dan plasenta sebagi adik) yang masih digunakan orang Jawa dalam doanya agar membantu kehidupannya, menunjukkan bahwa “aku” sebagai pusat dikelilingi oleh daya-daya dari dua hal yang saling mengait.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 33
PENUTUP Tugas guru sangatlah mulia dan sempurna bilamana guru telah dapat menginspirasi siswanya. Oleh karenanya, guru itu harus seperti bidan yang sabar membantu proses persalinan, dan guru seyogyanya sabar membantu siswanya mengeluarkan gagasan-gagasan kreatifnya. Dalam konteks pembelajaran seni berbasis kearifan lokal, inspirasi itu bisa ditumbuhkan melalui cerita rakyat, legenda, pamali, cerita wayang, dan lain sebagainya. Model penciptaan yang ditawarkan inipun tidak akan menjadi apa-apa, jika bukan di tangan guru yang inspiratif. Sebaliknya, model ini sudah barang tentu akan diperkaya, dikritisi, dan disempurnakan oleh guru yang inspiratif.
DAFTAR PUSTAKA Amien, A. Mappadjantji. 2005. Kemandirian Lokal, Konsepsi Pembangunan, Organisasi, dan Pendidikan dari perspektif Sains Baru. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Hamalik, Oemar. 2003. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara Hidayat, Robby. 2005. Menerobos Pembelajaran Tari Pendidikan. Malang: Banjar Seni Gantar Gumelar Mangunwidjaya, YB. 2003 Impian dari Yogyakarta. Jakarta: Kompas Soehardjo. 2005 Pendidikan Seni, dari Konsep Sampai Program. Malang: Balai Kajian Seni dan Desain, Jurusan Pendidikan Seni dan Desain, Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang Suharno dan Rosarina Giyartini, 2013. “Nilai-nilai Life Force dalam Seni. Pendekatan Filosofis terhadap Transformasi Estetika Budaya Mitis ke Budaya Ontologis”. Hibah penelitian fundamental DIKTI Sumardianta, J. 2013. Guru Gokil Murid Unyu. Yogyakarta: Bentang Tim Penulis. 2013. Modul PLPG. Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMP-PMP)
Sumber lain : Supriyoko, Ki., 2006 “Revitalisasi Pendidkan Nasional”. Kompas (10 Agustus). “Anak Kreatif: Mendambakan Anak Cerdas dan Kreatif” dan “Pengembangan Kreativitas bagi Kecerdasan Anak. (Kompas, 25 Juni 2006)
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 34
Konsep "Lawang Sewu" atau "White Box" sebagai Fenomena Baru Proses Kreatif Kebertubuhan4 F. X. Widaryanto ABSTRACT The change of the relational paradigm among artists, sponsors, audience, and critics has recently been affected by the rapid development of information technology and the way ideas can be represented. The phenomenon of the widespread use of social networks makes it possible for viewers to access and witness the new creative tradition through virtual reality. The venues of performance tend to be "narrower" and do not need an audience; and the performance itself no longer needs to use spatial concepts based on architectural design. This can be observed in visual media performances as a virtual phenomenon developed, for instance, by You Tube. The dance creation process by Sardono W. Kusumo is inspired by air circulation in an old building in Semarang, Central Java called "Lawang Sewu" which means a building with a thousand doors. In fact, the action of air flowing in and out if the building creates no opportunity to establish "form". So, the concept of "Lawang Sewu" is a "guideline" to explore spatial possibility in terms of corporeality. It is considered a training of sensibility, which happens in the swarming phenomenon in which there is speed and accurate movements but without any collisions. This kind of movement itself is also related to the current global discourse, in terms of the perspective that arts can be observed either as a reality of fiction or a reality of mundane life. This paper will explore the possibility of the implementation of the Lawang Sewu concept in the development of new creative traditions, especially in a contextual approach to the cross-cultural collaborations that are ongoing in Indonesia today. Keywords: Lawang Sewu, swarming, cross-cultural, and corporeality.
PENDAHULUAN Pupuh Pangkur ini hampir selalu dikaitkan dengan laku semadi seorang raja pada sebuah pertunjukan wayang kulit yang memberikan imaji tentang awal dari sebuah kreativitas kaitannya dengan nilai spiritualitas yang terkait di dalamnya.Dalam kaitan ini seorang raja melatih kepekaannya dalam menghadapi, mengolah, dan mencari solusi dari berbagai permasalahan yang dihadapinya.'Keluar dari permasalahan' inilah yang sebenarnya merupakan salah satu ciri kreativitas dalam berbagai dimensi kehidupan, termasuk di dalamnya adalah rangkaian proses kreatif yang harus dilalui oleh seorang seniman. Bagian pupuh tersebut cocok dengan apa yang dilakukan oleh Sardono W. Kusumo yang dituturkannya dalam Hanuman, Tarzan, Homo Erectus (2004), yaitu bahwa awal dari keseluruhan proses kreatif saat penciptaan Cak Teges di Bali salah satunya adalah semadi. Saat 4
Paper ini diringkas dari hasil penelitian fundamental yang didanai oleh DP3M Dikti tahun anggaran 2013, yang juga ditambah dan disarikan dari artikel yang dimuat pada Jurnal Panggung Vol. 23 No. 3 Th. 2013.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 35
sembahyang bukan saja saat pemusatan cipta yang ditujukan pada yang Maha Kuasa, tetapi sekaligus juga merupakan upaya peningkatan daya kerja dari totalitas kekuatan inderawi. Kala cipta menjadi fokus, indera pendengar menangkap bunyi tetabuhan, indera penglihatan menatap berbagai bentuk dan warna sesaji, ukiran, karangan buah dan bunga, indera penciuman mencium bau dupa, makanan, dan wangi bunga. Pada saat semacam inilah, manusia berada pada situasi yang peka atau sensibel dalam menangkap rangsangan auditif maupun visual; di sini perangkat komunikasi bekerja dalam frekuensi yang tinggi (2004: 37). Selanjutnya dikatakannya, bahwa saat itulah manusia terbebas dari pola-pola kebiasaannya sehari-hari; seseorang, pada kondisi seperti ini, berada dalam kedirian yang utuh.Dia hadir dalam kenyataan dan menyatu dengan lingkungannya.Dia hidup dalam berbagai dimensi. Sepenuhnya ia "telanjang" pada saat menyadari keterbatasannya dan sekaligus menyadari kelebihannya. Manusia-manusia lain yang berada di sekelilingnya melengkapi pemahaman tentang dirinya sendiri, dan pada saat yang sama menjadi proses pengungkapan pengalaman yang bisa menjadi inspirasi bagi sosok-sosok pribadi yang lainnya (Ibid, 2004: 37). Itulah yang kemudian disebut moment kreatif di mana dalam proses itu tidak setiap kali peristiwa di atas bisa terjadi, seperti halnya kita tidak pernah tahu kenapa kita takjub pada saat menghayati mekarnya sekuntum bunga mawar yang kemudian mengingatkan kita pada seseorang yang sangat dekat dengan diri kita. Konsep estetis atau gagasan estetis ini bukan semata merupakan produk "pikiran", tetapi merupakan produk dari totalitas rasa, intuisi, dan pikiran, yang dialami oleh tubuh dalam proses interaksi yang mewujudkan ciri karakteristik pada kinetikanya. Konsep dalam arti gagasan, memang sangat didominasi oleh rasa. Dalam konteks pendidikan seni pada masa lalu, laku "nggagas" atau"ngrasakke" atau "merasa-rasakan" memang kemudian menjadi salah satu laku yang harus dikerjakan oleh seorang murid. Dalam kaitan inilah, menurut Sardono W. Kusumo, moment itu muncul dan ditangkap oleh seseorang yang memiliki sensibilitas, sebagai sebuah moment of truth, seperti yang terjadi pada enlightment Buddha, yang mendapatkan pencerahan transendental. Demikian juga bisa dilihat pada Serat Wedha Tama karangan Mangkunegara IV dalam bentuk Macapat Pangkur di atas yang salah satu gatra atau barisnya menyebutkan sebagai fenomena "pambukaning warana, tarlen saking liyep layaping ngaliyup" (Sastrowiryono, 1983: 38) atau 'tersingkapnya tabir kesadaran, berawal dari antara sadar dan tidak sadar'. Hal ini seiring dengan pernyataan Harold Rugg (1963) dalam Hawkin (1991: 7) tentang adanya kesadaran khusus yang disebut sebagai "transliminal mind" yang dikenal sebagai ambang kritis antara sadar dan tidak sadar, di mana kreativitas itu terjadi. Implikasinya bisa disebut juga dengan moment terbukanya kasyaf atau kesadaran diri seseorang atas sesuatu yang dalam bhs.Yunani disebut dengan aistanomai atau 'saya menyadari sesuatu'.Moment ini juga mirip dengan Yesus/Nabi Isa pada saat-saat terakhir menjelang kematiannya di kayu salib dan kemudian menyadari kemanusiaannya yang lemah dan berteriak "Eli Eli lama sabatani". Momen-momen inilah yang dimanfaatkan oleh seorang seniman untuk mendapatkan konsep filosofis garapannya yang tidak instan, namun sudah menggumpal dalam experience knowledge-nya sepanjang eksplorasi ketubuhan dalam kehidupannya. Secara teknis memang terlihat kesertamertaannya, namun, sekali lagi, kemampuan spontan yang muncul pada moment of truth tersebut adalah hasil kerja keras dan laku asketik sepanjang waktu yang dilakukannya. Kenapa laku ini menjadi penting, karena guru pada masa lalu, tidak pernah memberikan instruksi dengan jelas dan gamblang.Dalam konteks pengetahuan sekarang tidak pernah memberikan state of analizing maupun state of describing.Seorang murid harus mencari sendiri, mengeksplorasi habis-habisan tubuhnya sendiri, untuk kemudian menemukan dan memaknai berbagai construct eksistensi yang dimilikinya, baik construct sosial maupun construct tubuh bagi dirinya sendiri.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 36
Dalam kaitan ini kesempatan untuk melatih kepekaan sering dirasakan sulit untuk ditemukan kembali dalam proses kreatif dewasa ini yang diwarnai oleh berbagai laku serba instan tanpa laku asketik yang memadai. Ditambah lagi dengan lubernya informasi dengan segala kemudahan untuk memperolehnya di dunia maya.Apapun bisa diperoleh tetapi kadang seseorang tidak sempat untuk menapis dan memilah-milahnya dengan proporsional. Untuk mendalami kondisi ini ada baiknya dipetik salah satu bagian dari Serat Kalatida dari situs Yoyo SW.5 di http://yoyosw.wordpress.com/ronggo-warsito/ sebagai berikut: Amenangi jaman edan/Ewuh aya ing pambudi/Milu edan nora tahan/Yen tan milu anglakoni/Boya kaduman melik/Kaliren wekasanipun/Ndilalah karsa Allah/Begja-begjane kang lali/Luwih begja kang eling lawan waspada Hidup di dalam jaman edan, memang repot.
Akan mengikuti tidak sampai hati, tetapi kalau tidak mengikuti geraknya jaman
tidak mendapat apapun juga. Akhirnya dapat menderita kelaparan.
Namun sudah menjadi kehendak Tuhan. Bagaimanapun juga orang yang lalai itu beruntung namun masih lebih bahagia lagi orang yang senantiasa ingat dan waspada. Sageda sabar santosa/Mati sajroning ngaurip/Kalis ing reh aruraha/Murka angkara sumingkir/Tarlen meleng malat sih/Sanityaseng tyas mematuh/Badharing sapudhendha/Antuk mayar sawetawis/BoRONG angGA saWARga meSI marTAya Mudah-mudahan kami dapat kuat dan sabar,
serasa dapat 'mati' di dalam hidup.
Lepas dari kerepotan serta jauh dari keangakaramurkaan.
Biarkanlah kami hanya memohon karunia pada-Mu agar mendapat ampunan sekedarnya.
Kemudian kami serahkan jiwa dan raga kami (2013) Terkait dengan kesadaran memilah dan memilih terungkap pada frasaBegja-begjane kang lali/Luwih begja kang eling lawan waspada artinya: Bagaimanapun juga orang yang lalai itu beruntung namun masih lebih beruntung lagi orang yang senantiasa ingat dan waspada.'Ingat' atau 'sadar' dalam hal ini terkait dengan permasalahan kepekaan memilih dan mencerapnya menjadi bagian dari kontemplasi orang perseorangan. Pada kenyataannya banyak yang tidak memiliki kepekaan ini, di manapassion'hasrat' atau 'kehendak' yang mereka miliki sangat memanjakan proses jelajah realita baru yang mengasyikkan tanpa sempat mengendapkannya dan memahami kenapa hal itu terjadi. Dalam kaitan ini upaya eksplisitasi konsep Lawang Sewu atau White Box, terutama dalam karya Choreography of Colour #3(2012) menjadi penting untuk ditelisik dan dilihat implementasinya dalam menggali berbagai kemungkinan eksplorasi ruang dalam sebuah tradisi kreatif yang baru namun tidak menyederhanakannya hanya untuk tumpuan sebuah produk seni dalam sebuah periode waktu tertentu. PEMBAHASAN a. Seni dan Perubahan Seni memang banyak berubah, terutama yang terkait dengan konsep keindahan. Adalah menarik untuk mengutip tulisan Bambang Sugiharto (2009: 2) yang terkait tidak hanya dengan isu keindahan semata, tetapi juga dengan isu disinterestedness dan profundity seni sebagai berikut:
5
Beberapa terjemahan frasa dalam bahasa Indonesia diubah oleh penulis karena dirasakan terjemahannya kurang tepat.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 37
Dalam kiprah seni sendiri prinsip-prinsip estetika modern Kantian beserta perkembangan otonomi dunia seni sempat menjauhkan seni dari isu lingkungan alam. Sejak abad 18, berkat Kant, seni terus menerus dipahami dalam kerangka disinterestedness, beauty dan the sublime. Dalam kerangka itu maka apresiasi estetik atas alam terbatas pada sisi formalistiknya, pada aspek lanskap atau “picturesque”nya saja. Selanjutnya ketika seni menjadi sedemikian terinstitusionalisasi dalam medan sosialnya yang spesifik (galeri, musium, kritikus, wacana sekolahan, business, etc) dunia seni semakin tampak terlepas dari kehidupan sehari-hari dan alam. Ia sibuk berkutat dalam persoalan teknis (medium dan material), masalah perseptual (impresi, ekspresi, abstrak, surreal, etc) dan problem ontologisnya sendiri (seni, anti-seni, berakhirnya seni). Selanjutnya dinyatakan bahwa seni modern dan khususnya seni kontemporer membuat substitusi "keindahan" dengan kategori "kebenaran", dalam hal ini kebenaran eksistensial. Di sini tetap saja ada kelemahannya yang tetap terperangkap dalam kompleksitas dan ambiguitas dunia manusia saja.Akibatnya seringkali ekspresivitas seni kontemporer berkelana dalam wilayah-wilayah paling schizofrenik dalam interioritas diri manusia orang perseorangan (Ibid, 2009: 2). Sardono mungkin memang sangat asyik dengan training kepekaannya, terutama sebagai pengelana budaya yang mencoba memahami liyan atau orang lain dari kultur di luar dirinya. Oleh karenanya ia sangat fasih berkomunikasi dengan banyak kalangan, apapun latar belakangnya. Ignas Kleden menyatakan tentang keunikan Sardono sebagai berikut: He is one of few Indonesian artists to state strongly that art is not only about creating a product, result, or output, or achieving a certain level of prestige. It is also a procedure, an approach, and even a method. In practice, this means that Sardono learned about the kecak dance in the villliage of Teges, in Gianyar, Bali, not only so that he could dance the kecak dance correctly but also in order to learn about the various socio-cultural and socioeconomic conditions, and even the demographic conditions which led to the birth and acceptance of the kecak dance in its supporting community (2004: 1). Perkara ketubuhan kemudian hanyalah merupakan salah satu dari aspek kepekaan yang memang harus dibinanya, dari sebuah kompleksitas relasional dengan tubuh-tubuh yang lain di luar nada dasar budaya yang membentuknya. Kesadaran ini juga ditunjang dengan pemahaman mendalam atas peristiwa Woodstock Festival 1969 yang membawanya pada perubahan yang kenyataannya menjadi semakin 'sulit' untuk dipahami banyak orang seiring dengan jiwa jaman pada waktu itu.Dalam kaitan inilah muncul Meta Ekologi yang pada hakikatnya merupakan gaung dari perlawanan budaya atau counter culture yang menggaungkan pernyataan keras untuk kembali pada nilai-nilai kemanusiaan dan kecintaan manusia pada lingkungan hidupnya. Sebagai ekspresivitas seni bentuk yang kemudian muncul secara organik adalah terciptanya sebuah 'lorong waktu' yang mentransformasikan tubuh menjadi tampil sangat purbawi, seperti patung-patung relief candi yang sangat akrab dengan tanah atau culture dalam maknanya yang paling hakiki (Lt cultura berarti pengolahan tanah). Dalam kaitan inilah Sardono W. Kusumo terus menciptakan tradisi kreatifnya secara khas namun sekaligus kontroversial, seiring dengan perubahan pilar-pilar perkembangan pertunjukan6 yang juga mulai berubah seiring dengan perkembangan tampilannya di dunia virtual.
6
Pilar-pilar pertunjukan menurut Sal Murgiyanto, dalam bukunya Kritik: Bekal & Kemampuan Dasar (2002) adalah penonton, penyelenggara, seniman, dan kritikus seni.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 38
b. Eksplisitasi Konsep Lawang Sewu pada Choreography of Colour #3 Dari berbagai karya Sardono W. Kusumo yang sempat diamati, terlihat bahwa secara implisit ia tidak mengajarkan teknik gerak lagi kepada para pedukung koreografinya. Ia mendelegasikan implementasi gagasannya pada mereka yang terus dilatih kepekaan ruang dan tubuhnya, serta memberi label koreografer pada mereka yang diberi tanggungjawab itu. Ia sendiri lebih sering bertindak sebagai sutradara yang bertanggungjawab pada entitas akhir proses yang berwujud sebuah sajian tematik. Ada yang berbeda pada pertunjukan yang terkait dengan eksplisitasi Konsep Lawang Sewu yang menjadi fokus bahasan kali ini. Bermula dari pertemuan Sardono W. Kusumo dengan para koleganya yang berprofesi sebagai penari, koreografer, sutradara film, pemusik, dsb., mereka disodori akan adanya kemungkinan pameran seni lukis karyanya dengan melibatkan mereka secara aktif dalam event tersebut. Obsesi tentang lingkungan hidup yang tergerus ekosistemnya menjadi salah satu gagasan dari tarian warna yang menjadi ciri pencariannya yang telah dilakukannya puluhan tahun yang lalu. Gerak dalam eksplorasi ruangnya, menciptakan spatial multilayers yang memungkinkan berbagai disiplin menggali kesadaran baru akan terciptanya rasa ruang yang tak pernah berhenti setelah mewujudkan bentuk, tetapi terus cair dan berubah dalam ruang baru yang terus cair seperti yang ada dalam bangun arsitektural Lawang Sewu di Semarang yang menginspirasinya menjadi konsep "kompilasi ruang" yang cair, dan tak sempat membeku dan mewujud menjadi koreografi yang tertutup. Tertutup di sini adalah kaitan koreografi sebagai tatanan gerak yang sudah dirajut dalam sebuah entitas tari. Entitas wujud ungkapan seni dalam lukisannya juga mengundang pengunjung untuk memberikan interpretasi kreatif dan kadang-kadang malah memunculkan chaos imaji baru seperti gagasan awal yang penuh dengan destruksi ruang. Ini bisa dilihat dari teknik proses kreatifnya yang juga dimunculkan pada pertunjukan Rain Colouring Forest. Kanvas yang dimiringkan sekitar 30 derajat diperciki dengan cat dalam berbagai kuantitas cipratan dan tumpahan dari bawah, samping kiri, samping kanan, maupun dari atas. Pada saat yang dirasakan tepat kanvas ditegakkan secara vertikal dan dibiarkannya cat mengalir ke bawah. Kadangkadang kanvas pun digoyang sehingga cat dengan warna-warni tertentu itu "menari-nari" mencari ruang sekaligus menciptakan ruang tersendiri yang memunculkan "hanya" elemenelemen warna, bidang, serta ruang-ruang kosong yang memberi jeda warna kanvas yang dilukisnya. Lukisan inilah yang kemudian makin lama makin bertambah sehingga muncul tawaran untuk berpameran tunggal dari berbagai pihak.Di sinilah muncul gagasan baru tentang pameran lukisannya yang digagas kaitannya dengan corporeality beserta dimensi-dimensi ekspresivitas seni yang saling berinteraksi dalam ruang-ruang baru yang memiliki spesifikasi tersendiri sekaligus merupakan empowering dari berbagai genre yang saling berkelindan. Gagasan ini adalah sebuah wacana pembaharuan untuk menyikapi proses kreatif tari. Sebagaimana diketahui bahwa tari sebagai salah satu cabang seni, yang pada awalnya hadir dari gagasan ritual, sosial, dan legitimasi, berkembang menjadi acuan penting dalam ranah seni pertunjukan. Tari telah memiliki batasan-batasan teknik, estetik, dan visual, di mana pada era globalisasi ini, ada tuntutan masyarakat penikmat, pemilik, pemerhati, dan pelakunya untuk tidak hanya disadarkan akan pentingnya harmoni dalam cakupan tari sebagai wacana pertunjukan saja. Namun cabang dan bidang seni di luar tari telah memilihnya untuk saling silang dalam interdisiplin dari berbagai bidang seni yang ada.Di sini para pelaku tari pada akhirnya juga telah banyak disadarkan, betapa bidang tari ternyata dapat lebih leluasa memasuki, menembus, dan melampaui batas-batas yang selama ini tidak pernah terusik keberadaannya. “White box” adalah sebuah gagasan ruang galeri seni rupa yang telah membuka diri untuk ikut memeriahkan ajang kolaborasi lintas bidang seni, yaitu dengan bidang musik, teater,
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 39
sastra, dan tari. Kolaborasi ini masih berada dalam batasan-batasan subjek penggagas yang berasal dari seni rupa. Yang terjadi kemudian adalah bahwa musik, teater/sastra, tari, serta bidang seni yang lain terlibat dalam kancah kegiatan seni rupa, namun hanya mampu mendampinginya secara kolaboratif untuk event Pembukaan dan/atau Penutupan pamerannya saja. Untuk itu tawaran menari dalam "kotak putih" ini sebenarnya adalah sebuah tawaran yang sepatutnya dalam bidang tari untuk dapat memasuki ruang-ruang tanpa batas yang telah menyemarakkan wacana seni rupa dan seni tari di luar konvensi sebuah seni pertunjukan. Adanya argumentasi bahwa tari dengan leluasa mampu berdialog dengan gerak, koreografi, dan intelegensia kebertubuhannya, terlihat juga mampu menembus batas batas rupa, visual, dan puitisasi dari sebuah kolaborasi lintas bidang di ranah seni rupa. Tari dan galeri, bisa menjadi sebuah struktur yang secara sistemik mampu menyemaikan gagasan sebagai inkubator inovasi dalam proses kreatif berkesenian. Di sini terjadi pembentukan ataupun penciptaan gagasan/potensi/kapasitas serta ketrampilan, teknik dan kepekaan interdisiplin bidang apapun serta gagasan besar dalam cakupan silang budaya. Tari dan penari sebagai pelaku memerlukan dan dapat senantiasa menempatkan diri pada ruangruang publik, serta menjadikannya sebagai sebuah training kepekaan, intuisi, dan sensor dari berbagai gagasan kreatif. Oleh karenanya galeri dalam konteks ini menjadi salah satu dimensi aktivitas di ruang publik, yang tak hanya memiliki dimensi ruang semata, tetapi juga dimensi waktu sebagaimana eksistensi plastis dari realita kebertubuhan yang tersaji. Di sini kredo tari dalam manifestasi keterlibatannya sebagai peserta lintas disiplin membuka seluas luasnya diri dan kebertubuhannya, serta memantapkan kemandirian, serta keingintahuannya justru untuk keluar dari batasan-batasan dalam tari dan seni pertunjukan itu sendiri. “Dancing on the White Box” adalah “out reaching the boundaries” yang merupakan sebuah sistem untuk keluar dari comfort zone yang selama ini menjadi batasan-batasan dalam konvensi seni pertunjukan. Galeri seni rupa kontemporer saat ini sangat kuat ditandai oleh gagasan arsitektural, yang justru menawarkan karakter ruang yang berbeda dengan ruang dalam konvensi seni pertunjukan (joglo, teater arena, dan arsitektur pemanggungan barat/proscenium).Tawaran sistem white box ini menjadi penting karena tawarannya untuk berinteraksi dengan ruang seni rupa, yang konon lebih keras tarik menarik ruang publiknya karena adanya kebebasan interaksi sosialnya (terkait dengan memori kolektif).Dalam kaitan ini seni rupa tidak merawat kaitan sistem sosialnya sendiri, tetapi lebih mengacu langsung pada konsekuensi profesional individunya. Dewasa ini, di sisi lain, eksplorasi ruang galeri juga sangat terbatas, di mana hanya dinding-dindingnya saja yang tereksploitasi.Ruang transparan di antara dinding-dinding pameran tak tersentuh oleh media tubuh sebagai subjek ekpresivitas seni. Di sinilah tubuh dengan kekuatan dirinya akan merengkuh sublimitas ruang dan merajutnya jauh melampaui dimensi ruang gerak dan menggapai sebuah fenomena "transparansi tubuh". Dengan kemampuannya bersinergi, yang terbuka dan membuka diri untuk memasuki ruang rupa yang kaya dengan dimensi visual dan arsitektural.proses jelajah tubuh ini akan berlangsung terus menerus selama sebuah pameran berlangsung. Para penarinya akan memasuki interioritas ruang kebertubuhan, serta berkelindan dengan eksterioritas arsitektural tubuh yang mewujudkan ekspresivitas gerak, dalam ruang visual lukisan yang dipamerkannya. Dengan demikian dalam white box ini tubuh menjadi transparan karena saling menyerap bentuk, nilai, visual, auditif, tactile, pencerapan dan penciuman, serta struktur dari subjek di lingkungan itu yang tidak dibekukan di dalam kerangka koreografi namun luluh dalam interelasi koeksistensial dengan subjek-subjek di sekitarnya. Untuk menindaklanjuti gagasan ini Sardono W. Kusumo bekerja sama dengan Semarang Contemporary Art Gallery mengadakan pameran karya-karya lukis yang telah dikerjakannya sampai dengan tahun 2012. Kelekatannya dengan masalah lingkungan Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 40
menjadikan peristiwa tsunami di Jepang tahun 2011 mendominasi hampir seluruh lukisannya, yang kemudian pamerannya diberi judul "Choreography of Colour #3" yang diselenggarakannya pada bulan April 2012. Pamerannya bukan sekedar ekshibisi lukisan yang digantung pada dinding/panel vertikal di galeri, tetapi selama tiga minggu penuh setiap akhir pekan diadakan pertunjukan interaktif dari penari dan aktor pilihan dari berbagai kota di Indonesia, a.l. Bandung, Jakarta, Solo, Yogyakarta, Semarang, dan kota-kota lain di Jawa Timur. Ada 18 lukisan yang dipamerkan pada kesempatan kali ini.Keunikan dari lukisan abstrak yang dibuatnya, banyak mengundang kurator menyebutkan profesi awalnya tidak lepas dari media visual yang tidak kalah intens dijalaninya. Sebutan itu adalah 'koreografi warna' yang memang dihasilkan dari penetapan viskositas cairan catnya, penetapan torehan warna di atas kanvas, serta posisi kemiringan kanvas yang diubahnya dari sekitar 30 derajat menjadi 90 derajat sambil digoyang-goyangnya. Pada viskositas tertentu, cat akan mengalir ke bawah dengan kendali dari pelukisnya. Dari goyangan yang dilakukan, aliran cat itulah yang kemudian menciptakan imagi bidang, garis, dan warna baru yang khas dan juga menciptakan "ekspresi gerak" seperti halnya permukaan sungai yang dikeringkan merupakan representasi dari ekspresi arus aliran air di atasnya. Sifatnya yang membawa pada kecerdasan kerumunan atau swarming intellegence pada realita visual ini nampak menguat dengan ekspresi warna yang chaos namun ekspresif; fenomena ini juga muncul dalam berbagai garap ruang dalam berbagai realita plastis ciptaannya. PENUTUP Implementasi konsep Lawang Sewu ternyata memang dilakukan dalam hampir seluruh karya-karya Sardono W. Kusumo sejak dahulu. Fenomena ini terlihat karena ia hampir selalu mempercayakan ekspresivitas seninya ditafsir dalam proses kreatifnya oleh tubuh-tubuh di luar dirinya, tanpa harus mengikatnya kemudian pada sebuah pola bentuk tertentu. Dalam kaitan ini, ia selalu menekankan pada laku training kepekaan sepanjang hayat. Artinya, laku ini mesti dilakukan setiap waktu walaupun kenyataannya tidak harus disiapkan untuk pertunjukan. Gaya pertunjukan yang dilakukannya hampir selalu merupakan sebuah eksperimentasi kebertubuhan dalam pengertiannya sebagai konstruk tubuh itu sendiri ataupun dalam konstruk sosial yang dibangun berdasarkan kebutuhan tematiknya. Konstruk tubuhnya sendiri dikembalikan pada nilai-nilai ritual seperti asalnya, yang membawanya pada nilai spiritualitas diri yang selalu memberikan penyadaran pada kompleksitas relasi kehidupan kemanusiaannya, baik secara horisontal dengan manusia dan alam, maupun secara vertikal dengan Sang Khalik yang 'teraba' dengan berbagai misteri transendentalnya. Apa yang dilakukan, khususnya pada Choreography of Colour #3 ini, adalah yang pertama kali terungkap sebagai konsep paradigma proses kreatif yang merupakan sintesa dari kekuatan bios politicos (Lt. vita activa) dan bios theoriticos (vita contemplativa) yang terus berubah seperti yang diungkapkan oleh Hannah Arendt, terjadi pada realita Lawang Sewu yang tidak sempat memiliki waktu untuk mampu mengendapkan sebuah tetapan bentuk. Apa yang terjadi kemudian adalah bahwa ekspresivitas seni yang tercipta memiliki sifat organik yang adaptif terhadap human dan natural condition. Eksplisitasi dari konsep Lawang Sewu ini menjadi semakin menarik karena selalu mengingatkan kita pada tradisi kreatif di masa lalu yang bersifat kolektif serta selalu disertai training kepekaan yang tidak terkait dengan perkara teknis kinestetika semata, tetapi juga menerabas hubungan konstruk tubuh dengan berbagai dimensi kehidupan kita yang lain. Dengan tingkat kesadaran yang kualitas momentumnya seperti pada realita terbukanya kasyaf, maka ia mampu menyingkap berbagai current issues yang kemudian menjadi inti dari konten
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 41
eksperimentasi ketubuhannya. Kebaruan manifestasi ekspresivitas seni yang diciptakannya banyak menjadi inspirasi dalam proses kreatifnya, yang oleh Sardono W. Kusumo dalam berbagai sharing tradisi kreatifnya, dikembalikan pada kekuatan nada dasar budaya yang telah membentuk diri orang perseorangan dari mana pun ia berasal. Dalam kaitan inilah ia telah mengembalikan eksistensi dirinya, dan mereka yang terinspirasi pada tradisi kreatifnya, pada nilai -nilai ritual diri yang telah mulai banyak ditinggalkan pada trend pertunjukan ketubuhan dewasa ini. Tradisi kreatif dengan moment of truth ini kadang terjadi pada saat terakhir, atau bahkan setelah sebuah event sudah melalui sebuah general rehearsal.Awal dan akhir atau ending pertunjukannya bisa tiba-tiba berubah tidak sesuai dengan kesepakatan 'bentuk' yang telah dilakukan. Hal ini membuktikan bahwa sebuah produk dalam perspektif seorang Sardono W. Kusumo adalah sebuah 'jeda proses' karena sebuah otoritas lain harus menetapkannya sebagai 'produk' yang harus dipentaskan. Dalam istilahnya yang ekstrem, produk adalah 'kecelakaan' dari sebuah proses yang harus dihentikan. Hal ini terjadi dalam berbagai proses kreatif, baik yang dilakukannya sendiri maupun yang dilakukan oleh mahasiswa yang dibimbingnya dalam penyelesaian tugas akhir S2 pada Prodi Penciptaan di berbagai insitusi pendidikan tinggi seni di Indonesia. Dengan demikian Sardono W. Kusumo telah banyak membangun komunitas baru dari berbagai anak didik yang kemudian tersebar dalam berbagai genre pertunjukan yang berubah, yang tak lagi mengikuti kecenderungan fungsi arsitektural pada masa lalu, yaitu 'bentuk mengikuti fungsi'. Dalam kaitan inilah rekayasa sosial yang secara tidak sadar dilakukannya telah membangun sebuah kekuatan dan kesadaran baru akan lingkungan hidup, terungkap dalam berbagai metode dan paradigma yang justru tidak diberi batasan dan kisi-kisi standar seperti pada pendekatan ilmu pengetahuan. Ia telah menyadarkan para seniman muda dengan eksplisitasi konsep training kepekaan ini, yang pada aras tertentu, akan memberikan sebuah fenomena estetika baru, dalam menciptakan sebuah kebenaran eksistensial dan eksperensial, yang menggeser nilai-nilai keindahan seperti yang diungkapkan oleh Alexander Baumgarten. Sebaliknya kebenaran yang terwujud akan memberikan interupsi, provokasi, pada sebuah kemapanan hidup, yang pada saatnya memberikan pencerahan dan kesadaran baru dalam berbagai dimensi kehidupan yang ditawarkannya.
DAFTAR PUSTAKA Altenberg, Roger Monroe. 1964. "A Historical Study of Gilmor Brown’s Fairoaks Playbox: 1924-1927." Dissertation Presented to the Faculty of The Graduate School University Of Southern California. F. X. Widaryanto, dkk. 2011. "Menimbang Kembali Formulasi Dan Pewilahan Tari serta Konsep Ketubuhan dalam Masyarakat Urban - Studi Kasus: Produk Kreativitas Tari Th. 2000-2011 di Bandung." Manuskrip. STSI Bandung. F. X. Widaryanto, dkk . 2013. "Seni dalam Berbagai Dimensi" dalam Untuk Apa Seni, editor Ign. Bambang Sugiharto. Bandung: Pustaka Matahari. Hawkin, Alma M. 1991. Moving from Within. Chicago: a capella books, incorporated.
Ign. Bambang Sugiharto. 2003. "Seni dan Paradigma: Sebuah Tinjauan Epistemologis" dalam Adi Wicaksono, dkk., Aspek-Aspek Seni Visual Indonesia: Paradigma dan Pasar. Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti. Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 42
Ign. Bambang Sugiharto. 2008. "Estetika".Manuskrip. [Tidak diterbitkan]. Ign. Bambang Sugiharto. 2009. "Seni dan Lingkungan". Manuskrip
Ignas Kleden . 2004."Understanding Culture from Within: Notes from Essays by Sardono W. Kusumo. Paper. National Serial of Indonesian Performing Arts Seminar 19&20 Juli 2004, ISI Surakarta Mankin, Bill 2012 "We Can All Join In: How Rock Festivals Helped Change America". Like the News: A Journal of Southern Culture and Politics;m4 Maret 2012, hal. 1 Moran, Dermot. 2000. Introduction to Phenomenology. London dan New York: Routledge Sal Murgiyanto.2002. Kritik Tari: Bekal & Kemampuan Dasar. Jakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia Sardono W. Kusumo. 2004.
Hanuman, Tarzan, Homo Erectus. Jakarta: Penerbit ku/ku/ku.
Seibert, Brian .2011. "Shuffling and Mirroring in a Sort of Simon Says" dalam New York Times, 12 September 2011, hal. C3. W. Sastrowiryono. 1983. Sekar Macapat. Yogyakarta: Bimbingan Kesenian Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa
Sumber Lain 1. Internet - http://dynamics.org/ROGER/THESIS/Altenberg_Thesis.pdf - http://www.ratedesi.com/video/author/kohlharrisDesign - http://www.youtube.com/watch?v=l05EVC2OeOA - http://yoyosw.wordpress.com/ronggo-warsito/
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 43
PEWARISAN PAMALI DI KAMPUNG MAHMUD BANDUNG7
Ai Juju Wanda Listiani ABSTRAK Pamali (tabu) tidak hanya sekedar mitos yang terus dilestarikan tetapi menjadi keyakinan secara turun temurun masyarakat Mahmud. Fatwa pamali Eyang Agung Mahmud masih dilakukan di Kampung Mahmud. Fatwa pamali berupa larangan membangun rumah bertembok dan berkaca, larangan memukul gong (goong), larangan memelihara angsa dan membuat sumur. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan teknik pengumpulan data dengan wawancara. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pewarisan pamali di kampung Mahmud diperoleh dengan 2 cara yaitu pewarisan vertikal dan pewarisan oblique. Kedua cara pewarisan ini berlangsung dari atas ke bawah dan diterima ketika informan masih anak-anak atau muda. Pamali di Kampung Mahmud diwariskan oleh orang tua di rumah, guru di sekolah dan ustad di pesantren. Pewarisan dilakukan sejak kecil sampai remaja. Kata Kunci : pamali, sistem pewarisan , Kampung Mahmud, Bandung
PENDAHULUAN Teori pewarisan gen, budaya dan kekerabatan dikemukakakan oleh L. Luca CavalliSforza. Pewarisan budaya menghubungkan pada pola perubahan budaya. Konsep yang dikembangkan oleh Cavalli dan Feldman (Stone, 2005: 99-100) adalah mutasi budaya dan seleksi budaya. Mutasi dalam tingkat budaya merupakan inovasi, sebuah ide baru atau praktik. Mutasi juga dapat muncul melalui “copy error”-yaitu ide atau praktik kesalahan yang secara turun temurun dilakukan. Mutasi budaya ini diadopsi dan ada juga yang ditolak. Penolakan dan penerimaan oleh yang lain ini merupakan proses seleksi budaya. Pewarisan dapat dilakukan dalam berbagai cara yang berbeda. Terdapat 3 jenis pewarisan yaitu vertical, oblique dan horizontal. Pertama, pewarisan vertical merujuk pada pewarisan dari orang tua (biologis atau sosial) ke anak. Jenis ini menghasilkan pewarisan genetik. Kedua, pewarisan oblique merupakan pewarisan dari generasi parental yaitu bibi, paman, nenek atau seseorang yang tidak ada hubungan dengan anak yang dijadikan model rujukan ketika dewasa. Pewarisan vertical dan oblique ini berlangsung dari atas ke bawah dan diterima ketika masih anak-anak atau muda. Ketiga, pewarisan horizontal yaitu pewarisan antara anggota generasi yang sama atau antara seseorang dimana hubungan kekerabatan dan umur tidak diperhitungkan.
7
Artikel ini dalam proses penerimaan di Jurnal International ASEAS (Austrian Journal of South-East Asian Studies (ASEAS) Issue 7 (2) 2014 dengan tema “Imagining Indonesia”, http://www.seas.at/
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 44
Tabel 1. Cara Pewarisan Budaya Cavalli-Sforza dan Feldman Cara Pewarisan Budaya No
Vertical or parent to child
Horizontal or contagious
One to many
Concerted or many to one
1.
Transmitter
Parent (s)
Unrelated
Teacher/leader /media
Older members of social group
2.
Transmittee
Child
Unrelated
Pupils/Citizens/ Audience
Younger members of social group
3.
Acceptance of Innovation
Intermediate difficulty
Easy
Easy
Very difficult
4.
Variation between individual within population
High
Can be high
Low
Lowest
5.
Variation between groups
High
Can be high
Can be high
Smallest
6.
Cultural Evolution
Slow
Can be rapid
Most rapid
Most Conservative
Sumber : Cheverud (1986: 923)
PEMBAHASAN Pewarisan pamali di kampung Mahmud diperoleh dengan 2 cara yaitu pewarisan vertical dan pewarisan oblique. Kedua cara pewarisan ini berlangsung dari atas ke bawah dan diterima ketika informan masih anak-anak atau muda.Pamali di Kampung Mahmud diwariskan oleh orang tua di rumah, guru di sekolah dan Ustad di pesantren. Pewarisan dilakukan sejak kecil sampai remaja. Berikut cara pewarisan pamali di kampung Mahmud: A. Pewarisan Vertikal (Orang Tua) Pewarisan vertikal fatwa pamali ini dilakukan oleh orang tua khususnya ibu. Mereka mengikuti wejangan dari pak Haji Safi’i dan meneruskannya pada anak atau cucunya. Adat yang berlaku turun temurun mereka yakini harus dilakukan, tidak boleh dilanggar. Karena takut durhaka atau dosa dengan akibat yang ditimbulkan dari perbuatan melanggar tersebut. Selama ini dari mulai anak, orang tua terutama ibu sering menyampaikan apa-apa yang tidak boleh dilakukan, diucapkan dengan kata pamali. Kalau dengar kata pamali orang di kampung Mahmud dari sejak kecil pun sudah tahu bahwa pamali merupakan perbuatan yang harus dituruti/diikuti, kalau tidak diikuti takut durhaka. Hal ini selalu disampaikan secara turun temurun baik dari orang tua langsung maupun para ustad dan kyai pada saat pengajian, apakah itu pamali yang diucapkan eyang Mahmud atau pun pamali-pamali yang lainnya yang berlaku secara umum pada masyarakat Sunda seperti kata-kata berisi nasehat supaya tidak dilanggar akan menggunakan kata pamali. Penyebaran pamali pada saat pengajian di Mahmud dengan ada
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 45
beberapa masjid dan pesantren jadwalnya setiap hari, untuk anak-anak, remaja, dewasa atau orang tua dan terbuka untuk masyarakat di luar kampung Mahmud. Sehingga anak kecil sekalipun mereka akan menjawab mengenal atau tahu pamali dan kalau pamali dilakukan durhaka/dosa seperti yang diungkapkan oleh salah satu responden Jihan (6 tahun). Menurut ibu Ririn merupakan anak tiri dari Bp. Kyai Safi’i, semua penduduk baik itu yang masih keturunan dekat maupun sudah jauh dan pendatang yang menikah dengan orang Mahmud sangat mempercayai akan apa-apa yang diucapkan eyang Mahmud yang diteruskan oleh penerusnya dan mereka sampai kini mempercayai apabila melanggar akan ada akibatnya, kalau melanggar “doraka”. Selain empat pantangan sebenarnya ada pantangan lain yaitu tidak boleh memelihara embe (bukan domba). Adapun pamali-pamali yang diajarkan para orang tua dan guru-guru ngaji yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari di Kampung Mahmud : 1. Adab-adab pami ka makom eyang Mahmud kedah nganggo anggoan anu bodas, nganggo seuseungitan anu teu ngandung alcohol, kedah gaduh wudho sareung bersih tina najis sareung hajast, teu kenging campelak asal cumarios anu teu sopan ka eyang Mahmud sok sanaos anjeuna parantos wafat ratusan tahun. (adab-adab kalau berjiarah ke makom eyang Mahmud harus memakai pakaian serba putih itu lebih baik, memakai wangi-wangian yang tidak beralkohol, harus mempunyai wudhu dan bersih dari najis dan hadast, tidak boleh ngomong yang tidak sopan ke eyang Mahmud walaupun sudah wafat berates tahun) 2. Adab-adab ka sepuh, guru, sesepuh adat (bagaimana adab-adab ke orang tua, sesepuh adat, guru ngaji) 3. Hirup kudu sederhana teu kenging berlebihan dina bumi, eusi bumi kawitna teu kenging aya radio, tv, naming kakiwarikeun hampir sadaya bumi ngagaduhan radio sareung tv. (Hidup harus sederhana jangan bermewah-mewahan baik itu rumah, isi rumah, awalnya radio, televise pun tidak boleh ada, namun kini hampir semua rumah memiliki televisi). 4. Ucapan jeung laku lampah sapopoe kudu bener nurutkeun agama jeung darigama. (ucapan dan tingkah laku harus sesuai dengan ajaran agama dan yang sesuai hukum negara) 5. Pergaulan sareung seuer deui pamali-pamali anu sanesna anu berlaku di masyarakat sunda atau jawa barat (pergaulan dan banyak lagi pamali-pamali yang lainnya yang berlaku di masyarakat Sunda atau Jawa Barat pada umumnya). Pantangan yang sudah banyak di langgar yaitu : 1. Bentuk rumah ada yang sudah gedong seluruhnya, sareung seueur anu besting/beton setengah bagian rumah ke atasnya bambu anyam/bilik, alasan yang melanggar adalah : a. masyarakat ayeuna tos maju (kemajuan jaman); b. bahan bambu sareung kayu tos sesah pami kapungkur di Mahmud seueur dipelak awi (bambu sudah tidak ditanam dan tidak banyak lagi di kampung Mahmud); c. ngabangun bumi gedong langkung mirah dibanding ku awi sareung kayu (membangun rumah tembok lebih murah dibanding membangun rumah pakai bambu dan kayu); d. sakaterang aranjeuna anu ngalanggar ngadamel bumi nyaeta anu penduduk asli nikah sareung orang di luar keturunan Mahmud (sepengetahuan mereka yang melanggar pamali membangun rumah yaitu yang nikah dengan orang luar Mahmud); 2. Ngadamel sumur di lebet bumi, kapungkur sumur mung hiji-hijina sakampung Mahmud, alesanana dilanggar; kumargi sungai citarum tos kotor teu tiasa deui dianggo kanggo kaperyogian ngaleueut, mandi sareung sajabina (membuat sumur di dalam rumah, dulu pada saat sungai citarum bersih, masih bisa untuk mandi, minum, cuci sumur cuman ada satu untuk semua penduduk Mahmud, sekarang sungai citarum kotor karena limbah).
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 46
Menurut responden jika membuat sumur, dimulai melakukan permohonan dengan ritual khusus/doa-doa dan puasa para sesepuh adat (para Kyai) keturunan Eyang Mahmud kepada alm-eyang Mahmud, dan diteruskan dengan musyarawah, setelah ada ijin mulai saat itu (tahu tidak tahu) khusus untuk pembuatan sumur di dalam rumah boleh untuk kelangsungan hidup, tetapi untuk pembuatan rumah bestong dan gedong sampai sekarang para sepuh adat/para Kyai Mahmud tetap dilarang dan terus diberitahu untuk tidak melanggar adat/pamali, dan akibat dari pelanggaran sampai sekarang masih dirasakan. Akibatnya beberapa penduduk yang melanggar pantangan membuat rumah tembok danada jendela pakai kaca, masih bisa dibuktikan sampai sekarang dengan kejadian-kejadian seperti; a. carogena beger deui/rumah tangga awer rajet alih aya anu dugi cerai (suaminya nyeleweng) b. usahana tiiseuna aya anu dugi ka bangrut/tiiseun/sepi (usahanya sepi, ada yang sampai bangkrut) c. pangesi bumina teu liren gentosan teu daramang. Padahal sateuacana sok ikhtiar ku saum sareung nyuhunkeun widi ka sesepuh adat. (penghuni rumah tidak berhenti bergantian sakit-sakitan, walaupun sudah meminta ijin ka sepuh adat dan melakukan puasa) B. Pewarisan Oblique (Tokoh Adat Kampung Mahmud) Menurut KH. Musyi (2012) beberapa tokoh adat seperti KH. Syafi’i, KH. Syafrudin, KH. Khoirudin, KH. Khohar dan sebagainya. Tokoh adat ini berperan sebagai juru dakwah, juru kunci dan juru makam. Berikut silsilah masab sembah dalem Rd. Zaenal Arif (Eyang Agung Mahmud).
Gambar 1: Silsilah Rd. Zaenal Arif Eyang Agung Mahmud Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2012
Silsilah masab di atas melahirkan beberapa tokoh adat, salah satu tokoh adat diatas adalah H. Safi’i atau dikenal dengan sebutan pak Jenggot. H. Safi’i merupakan pemimpin pesantren Mahmud saat ini. H. Safi’i tinggal tidak jauh dari pesantren Mahmud. Kehidupannya sangat sederhana. Saat ditemui di Kampung Mahmud, H. Safi’i sedang membantu istrinya membungkus makanan dengan daun pisang. Menurut H. Safi’i, fatwa pamali jika dilanggar misalnya membuat bangunan rumah permanen dapat menyebabkan kehidupan suami istri tidak rukun atau menimbulkan perceraian. Untuk mencegah hal-hal yang diinginkan dari pelanggaran fatwa pamali. H. Safi’i sering menyampaikan fatwa pamali ini kepada masyarakat setempat yang ikut dalam pengajian yang diselenggarakan untuk perempuan setiap hari setelah ashar dan laki-laki tiap malam senin di
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 47
pesantren Mahmud. “aya hawa nafsu, nu ngalanggar aya wae. Teu aya sangsi .. tos terang. Nu kapungkur. Di dieu diusir .. pilihan ayeuna mah diusir. Pendatang sami kedah mah, ku karuhun mah. Tapi kitulah .. karuhun ulah ulah. Kecuali tos digentos ku eyang dalem. Tapi aya batas. Tugu eyang batas Mahmud tanah balandongan. Penduduk asli sadayana keturunan eyang. 500 KK nu kurban, penduduknya 1000 langkung. Banyak anak muda…haji didin, diperkiat keneh ku masyarakat.. kasieun ku sepuh. Kirang bati sareng kapungkur. Ayeuna mah teu sieun ku ka sepuh mah. Kurang kiat. Haji amin, haji didin asli ti deui. Tokoh-tokoh ti cigondewah teh ti dieu. ..eyang Abdullah, Mahmud thalib, seer ti eyang mah” (Hasil Wawancara H. Safi’i, 2012) Selain H. Safi’i juga terdapat keturunan Eyang Agung Mahmud dari KH. Sobandi yaitu KH. A. Muhyi. KH. A. Muhyi merupakan ketua Yayasan Sumber Bandung. Pengajian juga diselenggarakan oleh Yayasan Sumber Bandung ini tiap malam jumat jam 20.00-22.00 WIB, malam Sabtu, malam Rabu dari jam 21.00-12.00 WIB, malam Kamis dan malam Senin. Menurut KH. A. Muhyi (2012), fatwa pamali kalau dilanggar biasanya berdampak langsung. Misal bagi pedagang makanan terutama nasi. Jual nasi laku tapi tidak ada untung. Kalo melanggar membunyikan goong akan terbakar rumahnya. Goong itu berasal dari kata gung atau agung, sehingga tidak sembarangan dibunyikan oleh masyarakat setempat. PENUTUP Pamali memiliki pandangan dan arti bagi pelakunya. Walaupun tidak ada resiko yang tertulis ketika melakukan hal yang melanggar pamali, namun masyarakat kampung Mahmud masih merasa takut durhaka atau dosa jika pamali tidak dilaksanakan dalam keseharian hidupnya. Pamali tidak hanya sekedar mitos yang terus dilestarikan tetapi menjadi keyakinan secara turun temurun masyarakat Mahmud. Preferensi, keyakinan dan norma membentuk perilaku manusia sebagai hasil evolusi genetik dan bagian dari pewarisan melalui generasi dan diperoleh dari belajar dan interaksi sosial. Pewarisan preferensi, keyakinan dan norma perilaku sebagai hasil interaksi sosial melintas antar generasi yang disebut pewarisan.
DAFTAR PUSTAKA Cheverud, James M. & Cavalli-Sforza, L.L. 1986. “Cultural Transmission Aka Pygmies”, American Anthropologist, New Series, Vol. 88 No. 4 (Dec,1986), 922-934.
among
Stone, Linda & Lurquin, Paul F. 2005. A Genetic And Cultural Odyssey : The Life And Work of L. Luca Cavalli- Sforza, New York : Columbia University Press Sumber Lain: Wawancara: - KH A. Muhyi, 2012 - H. Safi’i, 2012 - Jihan, 2013 - Ririn, 2013 - Lina, 2013 - Leni, 2013
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 48
-
Salsa, 2013 Dewi, 2013 Komar, 2013 Mudin, 2013
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 49
DASAR-DASAR MEMAINKAN KENDANG SUNDA DI LINGKUNGAN PENDIDIKAN FORMAL Sunarto Ucu Mulya Santosa Lili Suparli ABSTRAK Belajar Kendang Sunda selalu dipandang sebagai salahsatu proses pembelajaran yang memiliki tingkat kerumitan tinggi. Hal itu dikarenakan dalam memainkan kendang paling sedikit terdapat lima aspek yang harus dikuasai oleh seorang pengendang, di antaranya: (1) teknik membunyikan; (2) penguasaan ragam tabuhan; (3) penguasaan ragam irama; (4) teknik menyusun ragam tabuhan berdasarkan irama yang dimainkan; dan (5) menguasai gaya dari setiap gangre kesenian yang di dalamnya menggunakan instrument kendang. Oleh karena itu, proses belajar memainkan waditra kendang yang terjadi di masyarakat ditempuh dengan kurun waktu yang cukup lama. Di samping itu, proses pembelajarannya selalu berdasar kepada faktor ‘bakat’, sehingga tingkat keberhasilannya ditentukan oleh ‘bakat’ yang dimilikinya. Sementara di sisi lain, waditra kendang dipelajari pula di lingkungan pendidikan formal bidang seni, di antaranya di Jurusan Karawitan STSI Bandung, serta dipelajari pula oleh berbagai kalangan yang tidak memiliki latar belakang budaya Sunda, termasuk orang-orang asing dari manca Negara, yang dibatasi dalam kurun waktu tertentu, serta tidak seluruhnya dapat dikategorikan memiliki faktor ‘bakat’, tetapi dituntut mencapai hasil yang makasimal layaknya seniman. Untuk mencapai hasil pembelajaran yang maksimal, walaupun ditempuh dalam waktu yang singkat, serta tidak didasari oleh factor bakat, maka diperlukan sebuah metodologi pembelajaran yang tepat, baik berkaitan dengan langkah-langkah pembelajarannya, maupun yang berkaitan dengan matari-materi yang dipelajarinya. Oleh karenai tu, penelitian ini merupakan salah satu peneletian untuk menemukan aspek-aspek pokok tentang belajar kendang, sebagai dasar-dasar dalam memainkan kendang Sunda, yang dapat mempermudah cara belajar bagi setiap kalangan, dengan hasil yang maksimal. Untuk mencapai kearah itu, maka penelitian ini akan menggunakan beberapa metode, di antaranya:(1) untuk memperoleh data-data dan fakta yang obyektif serta dapat dipertanggung jawabkan, menggunakan metode wawancara, observasi lapangan,dan pendokumentasian; (2) dalam mengolah data akan menggunakan metode transkripsi dan pengelompokkan bentuk; dan (3) penyusunan metode pembelajaran akan menggunakan metode analisis. Kata Kunci : Kendang Sunda, Waditra, Transkripsi PENDAHULUAN Dalam tatanan karawitan Sunda, belajar memainkan Kendang sampai saat ini masih dikategorikan sebagai salah satu pembelajaran alat karawitan yang memiliki tingkat kesulitan tinggi.Hal itu dikarenakan dalam memainkan kendang paling sedikit terdapat lima aspek yang harus dikuasai oleh seorang pengendang, di antaranya: (1) teknik membunyikan; (2) penguasaan ragam tabuhan; (3) penguasaan ragam irama; (4) teknik menyusun ragam tabuhan berdasarkan irama yang dimainkan; dan (5) menguasai gaya dari setiap gangre kesenian yang di dalamnya
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 50
menggunakan instrumen kendang.Oleh karena itu, proses belajar memainkan waditra kendang yang terjadi di masyarakat ditempuh dengan kurun waktu yang cukup lama.Di samping itu, proses pembelajarannya selalu berdasar kepada faktor ‘bakat’, sehingga tingkat keberhasilannya ditentukan oleh ‘bakat’ yang dimilikinya. Sementara di sisi lain, waditra kendang dipelajari pula di lingkungan pendidikan formal, di antaranya di Jurusan Karawitan STSI Bandung. Di samping itu,dalam perkembangannya Kendang dipelajari pula oleh berbagai kalangan yang tidak memiliki latar belakang budaya Sunda, termasuk orang-orang asing dari manca Negara, yang dibatasi dalam kurun waktu tertentu, serta tidak seluruhnya dapat dikategorikan memiliki faktor ‘bakat’, sedangkan hasilnya dituntut mencapai hasil yang makasimal layaknya hasil pembelajaran secara alamiah di kalangan seniman. Untuk mencapai hasil pembelajaran yang maksimal tetapi dengan kondisi seperti itu, bukanlah hal yang mudah. Menyikapi persoalan itu, kami mencoba merumuskan “Dasar-dasar Memainkan Kendang Sunda”, berdasarkan hasil penelitian, dengan harapan rumusan ini dapat dijadikan salah satu metode pembelajaran Kendang Sunda yang dapat digunakan oleh semua kalangan, terutama kalangan pendidikan formal. PEMBAHASAN
Berdasarkan data-data dan fakta-fakta hasil penelitian, ditemukan beberapa persoalan yang dipandang sebagai dasar-dasar dalam mempelajari Kendang sunda, di antaranya: (1) tentang teknik membunyikan kendang; (2) tentang ragam tepak pokok dalam sejak Kiliningan; dan (3) tentang struktur penyajian garap Kendang sejak Kiliningan, yang terdiri atas struktur Embat Sawilet Turun Dua Wilet, dan struktur Embat Dua Wilet Naék Sawilet. Oleh karena itu, dalam merumuskan dasar-dasar memainkan Kendang Sunda, akan berpijak kepada persoalan-persoalan tadi. 1. a.
Teknik Membunyikan Kendang Teknik Membunyikan dan Lambang Bunyi Muka Lambang Teknik Membunyikan Kendang Bunyi pʹ
Dilafalkan dengan kata Peung
pʺ Kutiplak Dilafalkan dengan kata pak
Dibunyikan dengan jari telunjuk atau kesatuan jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis pada bagian pinggir muka kutiplak, batas jari yang membunyikan mulai dari buku kedua sampai ke ujung jari. Jari yang mengenai kepada wangkis itu bersifat efek sesaat, artinya setelah membunyikan, jari itu tidak boleh menempel pada bagian wangkis, sehingga bunyi yang dihasilkan terdapat gaung.
Dibunyikan dengan jari telunjuk, jari tengah, jari manis, dan kelingking, pada bagian tengah muka kutiplak, batas jari yang membunyikan mulai dari telapak tangan sampai ke ujung jari. Jari yang mengenai kepada wangkis itu bersifat efek sesaat, artinya setelah membunyikan, jari dan telapak tangan itu tidak boleh menempel pada bagian wangkis, sehingga bunyi yang dihasilkan terdapat gaung dalam intensitas keras.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 51
^ p
Dilafalkan dengan kata Plak
_ P Kumpyang
Dilafalkan dengan kata Pong
P_
Dibunyikan dengan jari telunjuk, jari tengah, jari manis, dan kelingking, pada bagian tengah muka kutiplak, batas jari yang membunyikan mulai dari telapak tangan sampai ke ujung jari. Jari yang mengenai kepada wangkis itu menempel pada bagian wangkis, sehingga bunyi yang dihasilkan terkesan mati.
Dibunyikan dengan jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis, atau terkadang ditambah dengan kelingking pada bagian pinggir muka kumpyang, batas jari yang membunyikan mulai dari buku kedua sampai ke ujung jari. Jari yang mengenai kepada wangkis itu bersifat efek sesaat, artinya setelah membunyikan, jari itu tidak boleh menempel pada bagian wangkis, sehingga bunyi yang dihasilkan terdapat gaung. Karakter bunyi pong sama dengan karakter bunyi peung, sehingga teknik membunyikannya hampir sama dengan teknik membunyikan peung.
Dibunyikan dengan jari telunjuk, jari tengah, jari manis, dan kelingking pada bagian tengah muka kumpyang, batas jari yang membunyikan mulai dari buku kedua sampai ke ujung jari. Jari yang mengenai kepada wangkis itu bersifat efek sesaat, artinya setelah membunyikan, jari itu tidak boleh menempel pada bagian wangkis, sehingga bunyi yang dihasilkan terdapat gaung, tetapi karakternya lebih lembut dari bunyi pong.
Dilafalkan dengan kata Ping
P
Dibunyikan dengan jari telunjuk, jari tengah, jari manis, dan kelingking, pada bagian tengah muka kumpyang, batas jari yang membunyikan mulai dari telapak tangan sampai ke ujung jari. Jari yang mengenai kepada wangkis itu bersifat efek sesaat, artinya setelah membunyikan, jari itu tidak boleh menempel pada bagian wangkis, sehingga bunyi yang dihasilkan terdapat gaung, dalam intensitas bunyi keras.
Dilafalkan dengan kata Pang
P Dilafalkan dengan kata Pap
Dibunyikan dengan jari telunjuk, jari tengah, jari manis, dan kelingking, pada bagian tengah muka kutiplak, batas jari yang membunyikan mulai dari telapak tangan sampai ke ujung jari. Jari yang mengenai kepada wangkis itu menempel pada bagian wangkis, sehingga bunyi yang dihasilkan terkesan mati.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 52
D
Dibunyikan dengan jari telunjuk, jari tengah, jari manis, dan kelingking, pada bagian tengah muka Gedug, batas jari yang membunyikan mulai dari telapak tangan sampai ke ujung jari. Jari yang mengenai kepada wangkis itu bersifat efek sesaat, artinya setelah membunyikan, jari itu tidak boleh menempel pada bagian wangkis, sehingga bunyi yang dihasilkan terdapat gaung.
Dilafalkan dengan kata Dong
Gedug D
Dibunyikan dengan jari telunjuk, jari tengah, jari manis, dan kelingking, pada bagian tengah muka Gedug, sambil ditekan dengan tumit. Batas jari yang membunyikan mulai dari telapak tangan sampai ke ujung jari. Jari yang mengenai kepada wangkis itu bersifat efek sesaat, artinya setelah membunyikan, jari itu tidak boleh menempel pada bagian wangkis Tetapi karena ditekan dengan tumit, maka bunyi terkesan pendek. Teknik membunyikan det pada dasarnya sama dengan teknik membunyikan dong, hanya saja sambil ditekan dengan tumit.
Dilafalkan dengan kata Det
T
Dilafalkan dengan kata Ting
t
Katipung
Dilafalkan dengan kata Tung
Dibunyikan dengan seluruh jari tangan, dengancara menempelkan seluruh telapak tangan pada bagian tengah muka gedug. Tetapi yang membunyikan (digerakkan) dari batas buku jari sampai dengan ujung jari, sehingga telapak tangan hanya berfungsi menekan kepada wangkis. Teknik ini dapat pula dibantu dengan tekanan tumit.
Bunyi tung dibunyikan dengan jari telunjuk atau jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis pada bagian pinggir muka katipung, batas jari yang membunyikan mulai dari buku jari sampai ke ujung jari. Jari yang mengenai kepada wangkis itu bersifat efek sesaat, artinya setelah membunyikan, jari itu tidak boleh menempel pada bagian wangkis, sehingga bunyi yang dihasilkan terdapat gaung. Karakter bunyi tung sama dengan karakter bunyi ping.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 53
b. b Latihan n Aplikasi Teknik T Mem mbunyikan Kendang K Setellah setiap bunyi b Kendaang dipraktiikkan satu ppersatu, setiap peserta didik d ditugaskan d u untuk memraaktikkan setiiap bunyi terrsebut secaraa berirama, melalui m bebeerapa komposisi k b bunyi yang sembarang.M Misalnya seeperti yang ttertera padaa contoh tabbuhan berikut. b
ktur dapat m menyusun koomposisi lainnnya, Selaiin komposissi bunyi di aatas, instruk atau a pesertaa didik meny yusunnya seendiri, dengan tingkat komposisi k yang y lebih ruumit. Selanjutnya latihan 2. 2 Ragam Dasar Tepaak KendanggSejak Kiliniingan d Ragaam dasar garrap kendang sejak Kiliniingan terletaak pada garapp kendang dalam bentuk b gend ding Réréngggongan, embbat Sawilet dan d embat Dua Wilet.Haal itu dikarennakan selain s dilihhat dari komposisinyya dipandaang sederhhana, komp posisi-kompposisi tepakkendan t ng tersebut dapat d digunaakan pula paada bentuk ggending lainnnya. Oleh kaarena itu, i tahap seelanjutnya hendaknya diilanjutkan kepada prosees pembelajaaran ragam dasar d tepak t kenda ang dalam struktur s Rérrénggongan, embat Saw wilet dan em mbat Dua Wilet, W dengan d tahaahapan: (1) struktur em mbat Sawileet; (2) strukktur embat Dua Wilet;; (3) Struktur emb bat Sawilet turun embatt Dua wilet; dan (4) struuktur embat Dua Wilet Naek N embat e Sawillet. Dengan menguasai ragam r tepak pada keemppat struktur tadi, t secara ttidak langsung l akkan menguaasai pula paada bentuk-bbentuk gendding lainnyaa, karena raagam tabuhannya t sama, hanyaa saja prinsipp-prinsipnyaa agak berbedda. PENUTUP P Rumu usan “Dasarr-dasar Mem mainkan Kend dang Sunda””, pada dasaarnya terdiri atas langkah-langk l kah pembelajjaran dan tekknik-teknik daasar yang dappat dipelajari oleh siapapunn.Hal itu i dikarenak kan selain maateri pembelaajarannya meerupakan matteri-materi daasar, ragam-rragam komposisi k musikal m yang dipelajari meerupakan raggam-ragam pookok yang daapat diaplikaasikan dalam d berbag gai kepentinggan fungsi garrap Kendang Sunda. Denggan demikiann, cukup beraalasan bagi b kami apaabila materi-m materi dan lanngkah-langkaah pembelajarran yang diuraaikan ini dijaddikan dasar-dasar d dalam d memainnkan Kendangg Sunda, sehiingga rumusaan ini diharappkan selain sebagai solusi s dari peersoalan yangg terjadi dalaam proses peembelajaran K Kendang di Jurusan J Karaw witan STSI Bandun ng, dapat pulaa digunakan ooleh berbagai kalangan.
DA AFTAR PUS STAKA Satriana, Rasita. 2006.” Kendangan Waayang Golek Purwa P Gaya O Oman Rohmaan.” Tesis ISII Surakkarta. Soepandi, Atiik. 1984, Paggelaran Wayaang Golek Purrwa Gaya Priiangan, Band dung Pustaka Buan na.
Prosiding Peenelitian dan Pengabdian n Kepada Massyarakat (PK KM)
Halaman ~ 54
Soepandi, Atik dan Maman Suaman. 1980, “Peranan dan Pola Dasar Kendang Dalam Karawitan Sunda”. Laporan Penelitian, Proyek Pengembangan Institut Kesenian Indonesia. Suaman, Maman.1986, “Ragam Tepak Kendang dalam Iringan Tari Anjasmara dan Tari Sekar Putri”. Supanggah, Rahayu, 2007,” Beberapa Pokok Pikiran Tentang Garap”. makalah disajikan dalam Konsorsium Karawitanologi disajikan di ISI Surakarta pada tanggal 18 Des 2007 Sunarto. 2010, “Tepak Kendang Jaipongan Suwanda”. Tesis Pasca Sarjana S2 ISI Surakarta. Sunarto, Ucu.M, dan Lili Suparli, 2001,“Pola-Pola Dasar Tepak Kendang Ketuk Tilu”. Suparli, Lili, 2010. Gamelan Pelog Salendro, Induk Teori Karawitan Sunda. Sunan Ambu Press. Trustho, 2005.” Kendang Dalam Tradisi Tari Jawa.” STSI Press.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 55
RAGAM ALAT MUSIK PETIK SUNDA Tardi Ruswandi Asep Nugraha Dody Satya Ekagustdiman ABSTRACT The existence of kacapi in the Sunda through the process of evolution to adapt with sociocultural dynamics of the society. It was noted in several foreign researchers and local notes. The process of natural selection occurs, in which there are several types kacapi started to be abandoned by the society, some survived, and some are evolving with new arts. This phenomenon causes the Sundanese Kacapi become increasingly diverse likened to 'flower garden music' wide, rich variety of types, shapes, structure, character tunings, melody, and styles. Keywords: Kacapi, socio-cultural, Sundanese Kacapi PENDAHULUAN Keragaman alat petik tradisional Sunda (istilah Karawitan: kacapi) beserta keseniannya diibaratkan ‘taman bunga alat petik’ yang luas, beraneka ragam jenis, bentuk, struktur, karakter laras, dan garap. Sangat membanggakan. Namun seperti halnya siklus kehidupan, ada yang bertahan dan tidak mampu bertahan, ada yang berkembang dan sebaliknya punah atau mendekati kepunahan karena ditinggalkan masyarakat pendukungnya. Fenomena beberapa alat musik petik yang mendekati kepunahan menjadi urgen untuk didokumentasikan, karena para pelaku yang menyimpan pengetahuan (terutama seniman alat petik) yang rata-rata berusia uzur, pengetahuan dan skill belum ditransmisikan kepada generasi penerusnya. Catatan mengenai alat musik petik di Sunda sangat minim dan sulit untuk dilacak. Kebiasaan berpikir taken for granted dan oral tradition yang mewarnai aktivitas seniman musik petik di masa lampau, menyebabkan hal yang bersifat teoritik dan konsep pada alat musik petik Sunda belum sempat diklasifikasikan, dianalisis, ditata, dan dikonseptualisasikan ke dalam bentuk tulisan yang sistematis berdasar prinsip kerja ilmiah. PEMBAHASAN Proses transmisi skill dan knowledge di kalangan seniman tradisi pada kacapi Sunda umumnya berlangsung secara oral. Tulis-menulis belum membudaya dan dianggap penting, menyebabkan transfer skill dan knowledge di kalangan seniman tradisi tidak berlangsung melalui tulisan atau bisa dilakukan hanya dengan membaca transkip notasi, melainkan berlangsung secara oral dimana seorang guru ngacapi mempraktikan tabuhan kacapi lalu sang murid mengimitasi tabuhan tersebut. Hal itu berlangsung hingga sekarang terutama di pelosok daerah Jawa Barat yang menjadi wilayah penelitian, yakni Sumedang, Cianjur, Garut, dan Tasikmalaya. Hanya di daerah Bandung, pada penelitian kacapi wanda Anyar Mang Koko, ditemukan beberapa seniman melakukan transfer skill melalui catatan notasi tabuhan dampak dari berdirinya STSI Bandung dan Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (sekarang SMKN 10), di mana Koko Koswara (alm) pernah menjadi pengajar pada kedua institusi tersebut.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 56
1.
Kacapi Baduy
Kacapi Baduy dianggap representasi kacapi masyarakat Sunda pada masa lampau, sekurang-kurangnya mendekati yang asli (Sukanda, 1996:4). Asumsi yang beralasan, mengingat masyarakat Baduy (terutama Baduy Dalam) kukuh dan taat menjaga nilai ketradisiannya. Mereka menolak semua kebudayaan yang berasal dari luar (Ekadjati, 1984:24-25). 75% tatanan kehidupannya masih relatif asli dan representasi berdasarkan tatanan kehidupan masyarakat Sunda lama (Sukanda, 1996:4). Kacapi pada masyarakat Baduy berukuran kecil, menyerupai bangunan perahu, panjang antara 70-80 cm, lebar 15-20 cm, tinggi 12-15 cm, dan jumlah dawai antara 9-12 utas. Kacapi ini tidak mengalami pengecatan, warnanya putih dari warna alami kayu. Kacapi ini digunakan mengiringi sajian cerita pantun pada malam hari sebagai ritual yang berkaitan dengan praktik mata pencaharian orang baduy, sebagai peladang padi huma (Ekadjati, 1984:28). Menanggap pantun merupakan bentuk rasa syukur dan penghormatan kepada Dewi Padi atau Nyai Sri atas hasil panen yang telah diperoleh. Cerita yang biasa dibawakan adalah Nyi Pohaci Sanghyang Sri, mengetengahkan asal-usul dan cara merawat tanaman padi. 2.
Kacapi Pantun Pada tahun 1884 Coolsma melaporkan aktivitas juru pantun yang melakukan penambahan jumlah dawai, menyebabkan varian kacapi pantun beragam dari aspek jumlah dawai, yakni antara enam hingga empat belas utas. Penambahan dawai adalah bentuk reaksi juru pantun yang tidak puas menggunakan kacapi pantun konvensional dengan jumlah dawai antara 5-6 utas, hanya menyusun satu oktaf susunan nada pentatonis. Permainan melodi yang dibawakan otomatis minim variasi dan bermain di seputar wilayah nada pada oktaf tersebut. Berbeda ketika jumlah dawai ditambah menjadi 14-15 utas. Juru pantun terstimulus untuk kreatif mengembangkan permainan melodi kacapi yang menjelajah wilayah nada hingga tiga gembyang atau tiga oktaf (Zanten, 1987:34). Semenjak penambahan jumlah dawai, permainan kacapi pantun semakin kompleks. Pleyte melihat kecenderungan penggunaan kacapi berdawai sebanyak 11, 13, 15 utas, merebak di kalangan juru pantun muda, di mana mereka menampilkan keragaman variasi tabuhan (Plyte, 1906:26). Para juru pantun generasi tua tetap bertahan menggunakan kacapi berdawai 6-7 utas, dipastikan permainan mereka tidak seatraktif para juru pantun muda (Plyte, 1906:26). Selain menambah jumlah dawai para juru pantun berusaha kreatif mengkemas tampilan agar tidak monoton. Pengkemasan meminimalisir jenuh atau bosan para apresiator kaum muda yang tidak mengalami zaman keemasan pantun sebagai pertunjukan teater tutur dan hiburan orang tua mereka. Pengkemasan dilakukan dengan mengikutsertakan musikalisasi melodi tarawangsa pada iringan cerita pantun, sehingga Juru pantun di Garut, bernama Iyad Sumarna Putra menyajikan cerita pantun diiringi petikan kacapi dan tarawangsa. 3.
Kacapi Jentreng Rancakalong Keberadaan kacapi yang ditulis Plyte (1906) dan Coolsma (1884), masih tersaksikan hingga sekarang. Kacapi ini terpelihara oleh masyarakat adat di Desa Rancakalong Kabupaten Sumedang, menjadi pengiring upacara penghormatan Dewi Padi, pada saat prosesi penyimpanan padi ke leuit (lumbung padi). Kacapi ini disebut dengan istilah Jentreng, terdiri atas 12 utas dawai. Bentuk dan ukuran kacapi jentreng relatif sama dengan kacapi Baduy, namun pembuatan lebih halus, karena di tunjang oleh teknik pertukangan yang lebih maju (menggunakan hampelas, cat, dempul, dan sebagainya). Tidak heran secara fisik penampilan jentreng lebih rapih daripada kacapi masyarakat Baduy.
Jentreng dibawakan bersama dengan tarawangsa, menyajikan lagu-lagu pada laras melog. Konon perpaduan melodi jentreng dan tarawangsa dipercaya menghadirkan Nyai Sri (Dewi Padi) turun ke bumi dan berkenan memberikah berkah atas kesuburan tanah dan hasil panen pada musim yang akan datang.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 57
Tabuhan yang dibawakan jentreng sederhana, banyak pengulangan (repetitif) tabuhan. Namun diselingi pengolahan dinamika, di mana sesekali dawai ditabuh nyaring (intensitas tekanan keras) dan halus (intensitas tekanan lemah). Fungsi musikalisasi kacapi Jentreng adalah sebagai pembawa garis besar alur lagu dan menjadi patokan atau pijakan bagi pemain tarawangsa untuk mengisi dan membawakan melodi lagu. Hasil perpaduan musikalitas tersebut membawa penghayatan tersendiri bagi yang khusus terlibat dalam upacara. Tak jarang, di antara penari mengalami kerasukan. Tafsir fenomena kerasukan ini adalah sebagai tanda bahwa Nyai Sri dan para leluhur ikut hadir dan merestui upacara tersebut. 4.
Kacapi Jentreng Cibalong dan Cipatujah Tasikmalaya Jenis kacapi yang mirip dengan kacapi Baduy dan Jentreng – masih hidup hingga sekarang – adalah kacapi pada kesenian Calung Tarawangsa masyarakat Cibalong dan Cipatujah Kabupaten Tasikmalaya. Jumlah dawainya sebanyak tujuh utas, kayunya dicat, dan digunakan mengiringi lagu dan tari dalam upacara yang berhubungan dengan penghormatan Dewi Padi. Mak Enar yang menabuh kacapi (juga para personil lainnya), sudah berusia lanjut, jika dihitung hingga tahun 2013 usianya 73 tahun. Mak Enar menabuh kacapi sambil menyanyikan lagu berbahasa Sunda dengan laras yang disebut laras rindu. Usia lanjut para personil tidak ditindaklanjuti proses regenerasi. Dipastikan kondisi ini menyebabkan kesenian calung tarawangsa hanya menunggu waktu kematiannya, seiring tutup usia para seniman yang menggelutinya. Kekhawatiran itu menjadi beralasan karena kesenian yang erat dengan ritual penghormatan Dewi Padi semakin terasing dalam lokusnya. Mereka mulai ditinggalkan masyarakat pendukungnya. Lahan pertanian yang menyempit karena didirikan pabrik menyebabkan kehidupan masyarakat berganti dari bermatapencaharian bertani menjadi buruh pabrik. Kesenian yang berhubungan dengan pertanian mendapatkan dampaknya, jarang ada yang menanggap. 5.
Kacapi Indung Tembang Sunda Cianjuran Kacapi Indung adalah jenis alat musik berdawai yang digunakan pada tembang sunda cianjuran, sebagai pengiring vokal. Kacapi Indung ini telah menemani kehadiran genre musik tembang sunda cianjuran sejak awal kelahirannya hingga sekarang. Kacapi indung ini mengalami perkembangan pada jumlah dawai, bentuk, teknik pembuatannya, dan juga tabuhannya. Dawai kacapi indung bertambah jumlahnya seiring waktu, yaitu dari 5, 9, 15 dawai, hingga sekarang berjumlah 18 utas dawai.8 Teknik pembuatannya mengalami perkembangan. Hasilnya adalah kacapi yang bentuk rupanya lebih halus dan apik karena kemajuan pertukangan dan sistem pewarnaan cat yang merata. Ukuran dan warna kacapi indung bervariasi. Namun kebanyakan panjangnya antara 135150 cm, lebar 24-26 cm, tinggi +21 cm. Pewarnaan biasanya menggunakan pelitur, cat kayu, dan ada juga yang menggunakan cat mobil, umumnya berwarna hitam, akan tetapi ada pula yang berwarna coklat, abu-abu, putih, dan merah. Di Cigugur, kabupaten Kuningan, Jawa Barat, kacapi ini mendapatkan sentuhan kreatif pengrajinnya berupa ukiran pada bagian gelung, wangkis, pureut, dsb. Mengenai bagaimana ukuran, warna berserta bahan warnanya, dan motif ukiran yang menghiasi kacapi indung, semuanya bergantung pada selera pemilik, seniman, maupun pengrajin instrumen. Teknik tabuhan kacapi indung sama dengan kacapi pantun, kacapi jentreng, dan kacapi pantun, yakni disintreuk, ditoel, dan dikait. Namun permainan kacapi indung lebih kompleks karena menjelajah wilayah nada yang luas pada 18 utas dawai.
8
lihat C.M. Plyte. Raden Moending Laja Di Koesoema: Met Eene Inleiding Over den Toekang Pantoen. Batavia: Albrecht & Co. 1906. hal. 26
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 58
6.
Kacapi Wanda Anyar Kacapi Wanda Anyar ditinjau dari bentuknya sama dengan kacapi yang digunakan dalam jenis kesenian Jenaka Sunda dan Celempungan, yaitu berbentuk kotak mirip persegi panjang dengan dawai sebanyak 18 atau 20 utas. Penyebutan Kacapi Wanda Anyar ini, diawali oleh pencetus yaitu Koko Koswara. Dikatakan Wanda Anyar karena motif-motif petikannya baik yang berupa iringan vokal maupun instrumentalia, memiliki perbedaan yang sangat menonjol bila dibandingkan dengan petikan kacapi tradisi. Pada masa hidupnya, Koko tergolong maestro Karawitan Sunda, yang mengalami empat zaman yaitu zaman Belanda, Jepang, Orde Lama, dan zaman Orde Baru. Pada zaman Belanda, secara paedagogik, Koko dididik dalam iklim pendidikan yang menjurus pada keilmuan musik khususnya dari Eropa (Belanda). Ia mahir memainkan gitar, biola, dan menyanyikan lagu Barat. Nuansa ini tumbuh secara harmonis dan dinamis melatarbelakangi jiwa musikal Koko Koswara. Pada zaman Jepang dalam kurun waktu tiga setengah tahun, seniman lokal mengalami kefakuman dalam berkarya. Sebaliknya Koswara mampu melahirkan karya. Salah satunya adalah membuat lagu dalam posisi Kulu-Kulu Barang dengan menggunakan lirik bahasa Jepang. Hal ini menunjukkan bahwa dalam suasana apapun, ia mampu beradaptasi dan dapat menuangkan idenya untuk berkarya. Apa lagi di era orde lama dan orde baru, kreativitas Koswara dalam berkarya terus bertambah jumlahnya. Dalam menyiptakan permainan kacapi wanda anyar, motif-motif petikannya bersumber pada pengalaman Koko semasa kanak-kanak dan remaja, yang akrab dengan lingkungan pendidikan Belanda berikut musiknya. Tidak heran jika arransemen petikan kacapi gaya Koko, banyak dipengaruhi harmoni “arpegio” dan irama “mars.” Selain itu, dengan cerdas Koko meluruhkan fenomena triakord diatonik yang dimasukkan dalam permainan kacapinya. Akan tetapi triakord diatonik tersebut ditutupi dengan nuansa tradisi karawitan Sunda, yaitu menonjolkan aksen kempyung: mi-la, da-ti, dan da-na, yang menjadi ciri khas petikan kacapi gaya Koko. Oleh sebab itu, sekalipun dalam kreativitasnya dipengaruhi musik Barat, namun alunan melodi yang diciptakan Koko tetap bernuansa karawitan Sunda. Karya-karya yang dihasilkan Koko dalam permainan kacapi wanda anyar, selain berupa aransemen dan iringan vokal yang dinamis, juga mampu membuat metode pembalajaran kacapi. Metode ini selain dapat menuntun proses belajar kacapi secara mandiri, juga mampu melahirkan generasi penerus pemain kacapi gaya Koko. PENUTUP Alat Musik Petik (kacapi) di Sunda sangat beragam, difungsikan dalam kehidupan sosial budaya masyarakatnya, untuk ritual, profan, hingga hiburan. Bentuk fisik dan jumlah dawainya semakin berkembang, dari yang sederhana hingga yang kompleks, dari dawai yang sedikit hingga banyak, dari tabuhan yang didominasi pengulangan (repetitif) hingga yang mengandung kompleksitas dengan tingkat kerumitan tinggi. Bahkan ada permainan kacapi yang dipengaruhi aksentuasi musik Barat, antara lain memainkan repertoar musik non tradisi (Barat), dengan tangga nada diatonis (non Karawitan). Hal itu adalah bukti konkret bahwa kacapi sebagai produk budaya tampil dinamis beradaptasi dengan zaman yang dilaluinya. Tidak menutup mata, pasang surut pada instrumen kacapi di Sunda memang terjadi, sebagai konsekwensi logis produk budaya: ada yang berkembang sesuai dengan zamannya; ada yang bertahan walaupun berkendala untuk beradaptasi dengan zamannya; ada yang mengalami proses regenerasi yang tidak berjalan dengan wajar; dan ada pula yang ditinggalkan masyarakat pendukungnya.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 59
Namun catatan bagi peneliti yang mencoba menginventaris kacapi di Sunda, disimpulkan bahwa kacapi hingga kini masih eksis, hidup, dan berkembang dengan baik, terlepas beberapa di antaranya mengalami masalah dalam pewarisan. Kacapi di Sunda bukanlah etalase yang statis seperti benda yang tersimpan di museum, tetapi sebuah benda yang terus berkembang dan beradaptasi, untuk menunjukkan percepatan kinerja dan perubahan yang menjadi roh eksistensi keberlangsungan dari waditra ini DAFTAR PUSTAKA Ekadjati, Edi.1984. Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Jakarta: Giri Mukti Pusaka. Plyte., C.M. 1906. Raden Moending Laja Di Koesoema: Met Eene Inleiding Over den Toekang Pantoen. Batavia: Albrecht & Co. 1906. Sukanda., Enip. 1996. Kacapi Sunda. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan Depdikbud. Zanten., Wim van.1989.Sundanese Music in Cianjuran Style: Anthropologycal and Musicologycal Aspects of Tembang Sunda. Dordrecht-Holand: Foris Publications.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 60
HIBAH BERSAING
KALIGRAFI ISLAM SEBAGAI INOVASI PRODUK KREATIF DALAM KONTEKS MASYARAKAT PESANTREN (Model Inovasi Ekonomi Kreatif di Kalangan Pesantren: Studi Kasus di Pesantren Al Quran Al-Ghoniyyah, Limbangan- Jawa Barat) Teten Rohandi, Wildan Hanif, Zaenudin Ramli, dan Agus Cahyana ABSTRAK Perkembangan seni rupa kaligrafi Islam di Indonesia adalah kenyataan yang mengakar dan hadir dalam pendidikan-pendidikan seni baik secara formal maupun nonformal. Pendidikan dan pelajaran seni kaligrafi di pesantren tertera di dalam kurikum sebagai mata pelajaran tersendiri. Namun, hal ini kurang diperhatikan upaya pengembangan dan eksplorasi medium dan teknik bagi karya seni lukis kaligrafi maupun desain produk berbasis kaligrafi. Seni kaligrafi di pesantren tidak ditumbuhkan secara optimal khususnya yang berkaitan dengan inovasi karya dan desain kaligrafi dalam konteks ekonomi kreatif. Penelitian ini mengambil studi kasus di pesantren Al-Qur’an Sindang Sari, Limbangan, Jawa Barat. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan pengumpulan data melalui wawancara dan observasi langsung ke tempat lokasi (objek penelitian). Terkait permasalahan dan pengembangan karya seni, penelitian ini menggunakan metode pendekatan estetika sebagai salah satu langkah strategis untuk mengembangkan potensi kaligrafi dengan pengayaan medium dan teknik baru bagi siswa di Pondok Pesantren tersebut. Penelitian bertujuan mewujudkannya pengembangan kualitas visual dan produktivitas seni lukis kaligrafi sebagai model inovasi ekonomi kreatif. Kata Kunci: Kaligrafi Islam, Ekonomi Kreatif, Pesantren
PENDAHULUAN Seni Islam tidak diragukan lagi secara esensial merupakan seni kontemplatif. Ini berarti bahwa ia mengekspresikan secara khusus satu wilayah jiwa yang terbuka menuju dimensi batin, menuju satu perjumpaan dengan kehadiran Tuhan. Titus Burckhardt salah seorang peneliti seni Islam menyatakan bahwa esensi dari seni adalah keindahan.Keindahan itu sangat bersifat batiniah sekaligus bersifat lahiriah. Ia berhubungan dengan penampakan segala sesuatu dan pada saat yang sama bergabung dengan ketidakterbatasan kualitatif wujud Tuhan sendiri karena ia menembus ke balik segala dualitas, seperti penciptaan dan ciptaan, satu pelimpahan yang tidak terduga dalam kesatuan serta kesatuan dalam keragaman.1 Dalam pandangan muslim selalu dianggap bahwa kaligrafi merupakan seni yang indah dan paling mulia. Yang pertama bab dari Al-Qur’an, yang diwahyukan kepada Nabi 1
Titus Burckhardt, Spiritualitas Seni Islam, dalam Spiritualitas Islam: Manifestasi, Penerbit Mizan, Bandung, 2003, hal. 642.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 61
Muhammad SAW pada abad ketujuh dari (surah 96 dan 68) menyebutkan pena dan menulis. Menulis dalam aksara Arab segera menjadi ciri dan peradaban Islam.2Dengan demikian kaligrafi Islam dimaksudkan untuk menyampaikan aura effortlessness dan kekekalan, dan tangan individu dan kepribadian yang disublimasikan ke kesan keseluruhan keagungan dan kemegahan.3Dalam konsep kaligrafi Islam berbeda berbeda dengan kaligrafi tradisi China misalnya, yang tujuannya adalah untuk menanamkan kepribadian kaligrafi sebagai momen waktu seniman membuat karya (deskripsi).Sebaliknya kaligrafi Islam adalah abadi. Kaligrafi Arab sendiri memiliki kemungkinan-kemungkinan dekoratif yang sangat kaya dan tiada habisnya.Bentuk-bentuk dasarnya beragam antara tulisan kufi yang monumental, dengan bentuk garis lurus dan sela vertikal, dan naskhi, dengan garis seperti air dan meliuk-liuk. Kekayaan kaligrafi Arab-Islam berasal dari fakta bahwa ia telah mengembangkan dua “dimensi”: vertikal, yang memberi huruf-huruf itu martabat seperti seorang ulama, dan horizontal, yang menghubungkannya dengan satu aliran yang terusmenerus. Sebagaimana simbolisme gelombang, garis-garis vertikal, yang analog dengan “lengkungan” tenunan kain, sesuai dengan esensi segala sesuatu yang permanen.Dengan yang vertikal inilah sifat tidak tergantikan huruf- huruf ini terbukti. Sementara yang horizontal, analog dengan “tenunan” , mengekspresikan kejadian atau materi yang menghubungkan sesuatu dengan yang lain. Arti penting dari hal ini secara khusus terbukti dalam kaligrafi Arab, yang di dalamnya coretan vertikal mentransendensikan dan mengatur aliran lekak-lekuk dari goresan-goresan yang lain. PEMBAHASAN Di Indonesia kaligrafi mengalami pertumbuhan seiring pertumbuhan pesantren yang dirintis oleh para wali. Pesantren perintis dikenal antara lain Giri Kedaton, Pesantren Ampel Denta di Gresik, dan Pesantren Syeikh Qura di Karawang. Pelajaran kaligrafi diberikan mengiringi pelajaran Al-Quran, fikih, tauhid, tasawuf, dan lain-lain.4Tulisan yang diajarkan mula-mula sangat sederhana dan belum bernilai estetis, namun masih mempertimbangkan gaya-gaya Kufi, Naskhi, dan Farisi yang asal condong ke kanan. Kesederhanaan tulisan nampak pada anatomi huruf yang kurang harmoni dengan kaidah, digunakannya peralatan tulis yang bersahaja seperti tinta dari arang kuali atau asap lampu (blendok), dan penggunaan media yang hanya terbatas pada kertas. Pelajaran khat ini umumnya tidak secara resmi diajarkan dan masuk kurikulum, kecuali di beberapa pesantren seperti Pondok Moderen Gontor Ponorogo dan cabang-cabangnya.Buku-buku kaligrafi juga belum banyak dikenal. Buku pelajaran khat pertama keluar tahun 1961 berjudul Tulisan Indah karangan Muhammad Abdul Razzaq Muhili, seorang khattat pertama yang paling aktif menulis khat di buku-buku agama, disusul 10 tahun kemudian (1971) buku Khat, Seni Kaligrafi: Tuntunan Menulis Halus Huruf Arab karangan Abdul Karim Husein dari Kendal. Sejak 14 tahun sesudah itu (1985), menyusul kemudian buku-buku daras kaligrafi karangan D. Sirojuddin AR 2
Khatibi, Abdelkebir, and Sijelmassi, Mohammed.The Splendour of Islamic Calligraphy. London: Thames and Hudson, 1994. 3 Bloom, Jonathan M, Paper Before Print: The History and Impact of Paper in the Islamic World. New Haven, Conn., and London: Yale University Press, 2001. 4 Ibid.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 62
(Kuningan), Mizani Sudjak (Semarang), Misbahul Munir (Gresik), Dede Nurzaman (Ciamis). Pesantren Al-Qur’an Sindang Sari, Limbangan, di Garut merupakan pasantren yang berupaya merintis mengembangkan seni kaligrafi dan produk karya kaligrafi.Hal ini diwujudkan dengan hasil karya kaligrafi yang dibuat oleh para santri dan santriwati.Namun, keterbatasan eksplorasi medium dan teknik yang dipahami, membuat hasil karya-karya mereka tidak ditanggapi secara antusias oleh publik masyarakat Limbangan Jawa Barat.Sementara itu, kondisi demikian ditambah dengan kemampuan keterbatasan dalam inovasi manajemen pemasaran yang terbatas. Kendala pasar kaligrafi di Limbangan5, Jawa Barat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya ialah: 1.
2.
Kemampuan daya beli di kampung atau kota sangat kecil. Hampir 90% pembeli atau buyers adalah masyarakat menengah ke bawah. Kemudian, jenis karya kaligrafi yang dikonsumsi ialah paling sablon kaligrafi ayat kursi, dan sejenisnya, itu pun 10% dikonsumsi oleh kelas priyayi, kelas menengah. Karya seni kaligrafi dan desain produk kaligrafi umumnya dikonsumsi oleh masyarakat di aplikasikan terhadap desain lampion, partisi masjid dan musholla, karpet arabesque, gambar Mekkah dan Madinah serta mimbar khatib mesjid.
Perkembangan seni kaligrafi di kalangan pesantren Indonesia, khususnya di pesantren Al-Qur’an Sindang Sari, Limbangan, Jawa Barat. Ada 3 alasan yang bisa dicatat.Pertama, seni kaligrafi Islam di Indonesia telah menyusuri masa-masa perjalanan yang cukup panjang dan telah ditempa oleh pelbagai eksperimen kreasi yang kaya potensi dan modal. Kedua, terbatasnya penggunaan medium dan teknik yang digunakan dalam membuat kaligrafi, hanya sebatas tinta dari arang kuali atau asap lampu (blendok), serta penggunaanmedia yang hanya terbatas pada kertas. Ketiga, masih ada peluang untuk lebih aktif mengupayakan pengembangan seni kaligrafi, tidak hanya dalam lukisan dua dimensional.Tetapi melalui benda fungsional dan alat pakai (product design).Keempat, kaligrafi bisa menjadi ikon alternatif dalam produk kreatif di kalangan pasantren di daerah.Kelima, kaligrafi yang kreatif dan mempunyai inovasi bisa memberikan subsidi ekonomi dan pemasukan secara komersil bagi para pasantren sekaligus memupuk jiwa pengusaha (entreupreuner) bagi para santri. Penelitian ini tidak terlepas dari positioning research penelitian-penelitian yang telah diupayakan sebelumnya. Tema yang diambil dengan judul: “Rekonstruksi Pengayaan Medium Dan Teknik Pengembangan Seni Rupa Islam Indonesia Pada Seni Lukis Kaligrafi”, tidak terlepas dari bingkai dan alur pengembangan seni rupa Islam dan hubungannya dalam konteks spiritualitas di Indonesia. Sementara topik penelitian yang diangkat secara khusus adalah pengayaan medium dan teknik seni kaligrafi di kalangan pasantren.Penelitian ini merupakan sub-tema dari blue print bagaimana untuk mengembangkan seni rupa Islam di Indonesia dengan melihat aspek-aspek antropologis, estetik, dan cultural spirituality. Sejauh ini, konteks penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengenai seni rupa Islam Indonesia dan konteks spiritualitas dalam tingkat akademis lebih mengarah kepada gagasangagasan fundamental dan intelektual.Sementara itu, objek penelitiannya belum merangkul 5
Wawancara dengan Pimpinan Pondok Pesantren Al-Qur’an Sindang Sari, KH. Jujun Junaedi, 12 Agustus 2011 pukul 13.00 WIB, Limbangan – Jawa Barat.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 63
publik yang lebih mengakar dan komunal seperti halnya dengan pendidikan pesantrenpesantren di pelosok daerah. Penelitian ini juga memakai pendekatan estetika Islam (Islamic Aesthetic). Estetika dalam peradaban Islam dihubungkan dengan bentuk-bentuk spiritualitas yang tumbuh dalam tradisi keagamaan dan kecendekiawanan Islam.6Seperti halnya dalam resep kunci agama yakni “cara memandang sesuatu sebagai sesuatu yang lain”, begitu pula dalam melihat estetika.Cara ini menyangkut model atau gambaran memandang sesuatu serta ikhtiar pemindahannya dalam, katakanlah penciptaan karya seni.7 Dalam kenyataannya estetika Islam bisa dilakukan dalam pendekatan filsafat yang berkembang dalam Islam diantaranya: Falsafah Masysya’iyyah (Peripatetik), Hikmah Isyraqiyyah (Iluminasionis), dan Falsafah, Shufiyyah (Tasawuf).8 Melalui pintu pemikiran para filosof tersebut estetika Islam dan seni Islam dapat dijelaskan kecenderungan dan coraknya yang aneka ragam.Demikianlah seni Islam dengan manifestasinyabisa dijelaskan secara adil dan proporsional. Maka kaitan seni dengan Islam atau estetika dengan agama dapat dijelaskan secara lebih munasabah. Pendekatan estetika Islam, para santri diperkenalkan terhadap sejarah seni kaligrafi Islam dalam konteks kebudayaan dan kesenian Islam, berikut diperkenalkan juga berbagai genre dari kaligrafi Islam yang lebih dikenal dengan istilah khat. Pembekalan pendekatan pengetahuan bahan para santri diperkenalkan, dalam penggunaan material yang lazim digunakan sebagai pra-desain awal untuk khat, seperti pensil, spidol, dan kertas. Sementara, dalam pendekatan budaya para peneliti melakukan diskusi, wawancara, tanya-jawab dengan pemimpin pesantren dan para santri, mengenai halhal apa saja yang menjadi kendala dan peluang-peluang yang bisa dikembangkan. 1.
Adapun tahapan yang sudah dilakukan sebagai berikut: Pada bulan Januari & Februari 2013, kunjungan & survey kondisi santri dan seleksi para calon peserta workshop. Tim Peneliti berdiskusi dengan KH. Jujun Junaedi (Pimpinan Pondok Pesantren), tentang kriteria para calon peserta yang akan mengikuti workshop kaligrafi, desain grafis, dan pembuatan souvenir kaos dengan motif kaligrafi. Para peserta yang mengikuti workshop diharapkan memiliki: a. Keterampilan membaca dan menulis Al-Quran (syarat pokok & utama). b. Memiliki minat terhadap seni kaligrafi Islam (terindikasi dari hasil karya tulisan kaligrafi atau aktifitas sehari- hari yang berhubungan dengan kaligrafi). c. Memiliki jiwa seni & wirausaha. d. Sehat fisik maupun mental.
Setelah melakukan seleksi dari sekitar 40 santri yang mondok di pesantren AlGHONIYAH Sindangsari Limbangan Garut, Jawa Barat, KH. Jujun Junaedi dan Tim 6
Abdul Hadi, W.M, Seni Islam dan Akar-akar Estetiknya, dalam Oliver Leaman, Estetika Islam: Menafsirkan Seni dan Keindahan, Mizan, 2004, hal. 14. 7 Op.cit., hal.16. 8 Ibid., hal.16.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 64
peneliti berhasil menyeleksi 10 peserta yang memenuhi kriteria di atas (biodata terlampir). Para peserta yang terpilih tersebut akan diundang untuk mengikuti workshop kaligrafi, desain grafis, dan pembuatan souvenir kaos dengan motif kaligrafi. Materi yang diajarkan adalah: a. Pengenalan Jenis- jenis Khat / kaligrafi Arab b. Pelatihan menulis Jenis Khat Naskhi c. Pelatihan membuat Logo dengan memakai kaligrafi arab jenis diwani d. Pelatihan membuat Logo dengan memakai kaligrafi arab jenis Kufi e. Pelatihan membuat Logo dengan memakai kaligrafi arab yang diaplikasikan dalam metafora objek. f. Sejarah Perkembangan Kaligrafi Islam g. Wawasan mengenai Ekonomi kreatif / wirausaha berbasis seni kaligrafi islam h. Dasar- dasar Seni Rupa dan Desain
Gambar 1. Peserta workshop mencoba mempraktekkan cara menyablon melalui screen ke dalam kaos.
PENUTUP Setelah menyelesaikan tahapan-tahapan penelitian ini, dapat menyimpulkan bahwa para santri peserta workshop dan pelatihan kaligrafi sangat antusias dan merasa terbantu. Beberapa orang santri bahkan berencana untuk membuka unit usaha sablon kecil-kecilan, untuk memenuhi kebutuhan pasar kaos bersablon di sekitar Limbangan. Pasar yang membutuhkan jasa sablon ternyata cukup banyak terutama dari kalangan pengajian ibu-ibu atau majlis ta’lim serta komunitas pesantren dan madrasah yang jumlahnya cukup banyak di Limbangan. Satu-satunya kendala adalah pasokan bahan dan alat sablon yang sangat kurang (harus membeli ke kota Bandung).Untuk mengatasi hal tersebut kami memberikan seperangkat alat sablon dan bahan-bahannya agar mereka bisa memulai usaha sablon.Kaos hanyalah merupakan salah satu produk kerajinan ataupun souvenir yang dihasilkan oleh komunitas santri.Peluang untuk menambah jenis usaha di bidang seni Islam, bisa berkembang ke arah seni etsa kaligrafi dan seni woodcut kaligrafi.Tekad kami penelitian ini dapat dilanjutkan untuk pengembangan varian produk kreatif dan usaha lainnya yang bisa mengangkat kesejahteraan masyarakat santri pedesaan.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 65
DAFTAR PUSTAKA Bloom, Jonathan M. 2000. Paper Before Print: The History and Impact of Paper in the Islamic World. New Haven, Conn., and London: Yale University Press. Burckhardt, Titus. 2001. Spiritualitas Seni Islam, dalam Spiritualitas Islam: Manifestasi, Penerbit Mizan, Bandung. Hadi, Abdul, W.M. 2004. Seni Islam dan Akar-akar Estetiknya, dalam Oliver Leaman, Estetika Islam: Menafsirkan Seni dan Keindahan, Mizan. Khatibi,Abdelkebir, and Sijelmassi, Mohammed. 1994. The Calligraphy. London: Thames and Hudson.
Splendour
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
of
Islamic
Halaman ~ 66
REKONSTRUKSI DAN REVITALISASI SANDIWARA SUNDA DALAM UPAYA MEMPERTAHANKAN DAN MENGEMBANGKAN BAHASA DAN BUDAYA LOKAL Retno Dwimarwati Afri Wita Kurnain
ABSTRAK Kehidupan Sandiwara sejak era 90-an di Jawa Barat mengalami kepunahan. Faktor internal dan eksternal menyebabkan hilangnya pertunjukan tersebut. Padepokan Seni Ringkang Gumiwang (PSRG) mencoba untuk membangkitkan kembali Sandiwara Sunda di kalangan generasi muda. Rekonstruksi dilakukan sebagai upaya pemertahanan eksistensi budaya Sunda dan menjadi media pemertahanan bahasa dan seni, termasuk di dalamnya unsur musik, tari, seni rupa, dan sastra. PSRG melakukan upaya penyadaran dan pemertahanan kesenian Sunda serta menggali budi pekerti melalui apresiasi pelajar di tingkat sekolah menengah. Pertunjukan berfungsi sebagai transmisi nilai bagi pemahaman siswa melalui model apresiasi. Apresiasi dapat mendekatkan siswa dengan berbagai persoalan kehidupan karena di dalam sebuah pertunjukan mengungkapkan berbagai masalah, alternatif pemecahan, dan pilihan terhadap moral cerita. Rekonstruksi pertunjukan dilakukan untuk menggali dan mengaplikasikan keberlangsungan sebuah kesenian di masyarakat menggunakan metode pewarisan seni pertunjukan. Pemahaman nilai-nilai yang terkandung di dalam pertunjukan diharapkan dapat diaplikasi dalam kehidupan siswa (generasi muda). Oleh karena itu, apresiasi pertunjukan yang dilakukan oleh PSRG dapat menjadi model dalam transmisi nilai pada suatu masyarakat. Kata Kunci: Rekonstruksi, Sandiwara Sunda, pewarisan seni, generasi muda PENDAHULUAN Pertumbuhan dan perkembangan Sandiwara Sunda di Jawa Barat, terutama di kota besar seperti Bandung, Sumedang, Garut, Tasik, Bogor, Sukabumi, dan Cianjur pada sekitar tahun 1960 merupakan tempat-tempat yang memiliki kelompok sandiwara yang cukup terkenal dan sering mengadakan pertunjukan. Terutama di Bandung hampir di setiap pasar memiliki gedung pertunjukan sandiwara, seperti pasar Kosambi (Kelompok Sri Murni), pasar Remas Condong, Dayeuh Kolot (kelompok Sinar Budaya), Pasar Banjaran (kelompok Sinar Mustika), Tegalega (kelompok Sinar Muda), dan daerah Sukajadi (kelompok Purwa Setra). Selain itu ada beberapa kelompok sandiwara gembol yang melakukan pementasan secara berkeliling, seperti Sanggar Victa dan Jati Nugraha. Kelompok Sri Murni di Pasar Kosambi setelah tergusur karena perombakan pasar, terpecah menjadi tiga kelompok, yaitu Sri Murni, Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 67
Sri Mukti, dan Dewi Murni yang kemudian berpentas di Gedung Kesenian Rumentang Siang (GKRS) Bandung. Keberlangsungan pementasan Sandiwara Sunda diwadahi oleh GKRS Bandung berlangsung sejak tahun 1975 hingga 1990-an, namun lambat-laun frekuensi pertunjukan mereka semakin tidak menentu hingga penonton pun semakin hilang. Hal ini memerlukan upaya penggalian bentuk dan nilai-nilai yang pernah diminati oleh masyarakat pada waktu itu. Dengan mengenal bentuk seni tradisi diharapkan generasi muda akan kenal jati diri dan menghargai nilai-nilai budaya sendiri. Berdasarkan fenomena di atas, dipilih satu kelompok sebagai sumber acuan ketangguhan dalam membangkitkan kembali Sandiwara Sunda melalui kiprah Padepokan Seni Ringkang Gumiwang (PSRG) pimpinan E. Samsudin yang lebih dikenal dengan nama Wa Kabul. Kelompok PSRG melakukan terobosan dalam menjaring penonton melalui kerja sama dengan sekolah-sekolah dalam program apresiasi. Satu judul pementasan dapat dilakukan berkali-kali selama setahun dengan sekolah-sekolah yang berbeda, di beberapa gedung pertunjukan yang ada di kota Bandung, seperti GKRS, Sunan Ambu (STSI) Bandung, dan Taman Budaya Provinsi Jawa Barat. PEMBAHASAN a. Padepokan Seni Ringkang Gumiwang Kebangkitan kelompok Ringkang Gumiwang menjadi pemicu yang menarik untuk melakukan penelitian pada Sandiwara Sunda yang nyaris punah. Hal tersebut dilakukan agar dapat menggali kembali pertunjukan sandiwara yang sebenarnya atau mencari model baru berdasarkan acuan teater yang pernah dimiliki sebagai konsumsi publik yang mendidik dan menarik. Penggalian tentang bentuk pertunjukan diharapkan dapat menemukan model sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat ini, terutama generasi muda. Bagaimana pelatihan dan pengkemasan sandiwara Sunda agar menjadi pertunjukan yang diminati dengan kualitas pertunjukan yang juga memadai bagi generasi muda. Serta bagaimana cara sosialisasi hasil rekonstruksi bentuk pertunjukan tersebut.
b. Pemertahanan Sandiwara Sunda Kelangsungan kelompok seni pertunjukan tidak terlepas dari tiga unsur yang melingkupinya yang terdiri dari pertunjukan, pelaku, dan penonton. Apabila salah satu dari tiga unsur tersebut tidak hadir maka tidak dapat dikatakan sebagai pertunjukan. Oleh karena itu, proses pemertahanan ketiga unsur tersebut harus terus menerus diupayakan.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 68
1.
Pertunjukan
Pertunjukan Sandiwara Sunda lebih dekat pada bentuk teater pop karena mengandung cirri-ciri yang terdapat dalam teater pop. Dananjaya dalam Anwari (1999:4), menyebutkan ciri teater pop yang dibedakan dengan teater rakyat adalah sebagai berikut: 1) Masa tayang lebih singkat, paling lama dua jam, 2) sudah disutradarai dengan lebih ketat, bukan bersifat improvisasi, 3) tema sudah tidak lagi tentang masyarakat desa/kampung, 4) Jika fungsi teater rakyat untuk rekreasi, kini tema bisa beralih ke politik dengan maksud menyindir atau menghujat, 5) Perbedaan yang paling kuat adalah tujuan komersial, sehingga semangat memahami selera pasar menjadikan mereka lebih seperti pengusaha daripada seniman. Perbedaan teater pop dengan sandiwara Sunda terletak pada fungsi pertunjukan yang dihadirkan karena bentuk Sandiwara masih tetap mengejar fungsi didaktik dan rekreasi. Sandiwara Sunda berkembang bersama masyarakat perkotaan yang tumbuh pada saat itu, terutama kaum urban yang mencari penghidupan di kota. Secara bentuk, Sandiwara Sunda memenuhi selera masyarakat urban dengan bentuk pertunjukan yang menghibur di sela-sela kerja rutin mereka. Bentuk pertunjukan tersebut terdiri dari nyanyian, tarian, dialog, lawakan, akrobat, dan cerita. Hal yang menarik dalam pertunjukan sandiwara masa awal adalah adanya tokoh favorit yang dapat menjadi nilai jual sebuah kelompok. Penonton akan tertarik pada tokoh primadona dan pelawak (bodor). Sandiwara menggunakan panggung proscenium dan komersil sehingga penonton harus membeli tiket untuk menyaksikan pertunjukan tersebut. Sandiwara Sunda masih mempertahankan segi kedaerahannya, seperti unsur tari, music, humor, dan kekuatan dalam berimprovisasi. Musik yang dipakai adalah gamelan lengkap dengan seorang pesinden sebagai media untuk memperkuat suasana cerita melalui lagu-lagu yang dibawakan sesuai dengan adegan cerita. Sandiwara Sunda memiliki empat jenis cerita, yaitu: Roman, Babad, Wayang, dan Desick. Roman mengisahkan tentang kehidupan sehari-hari rakyat biasa dengan persoalan cinta, rumah tangga, pergaulan masyarakat, dan masalah aktual di masyarakat; Babad mengisahkan tentang sejarah kerajaan, hikayat pahlawan yang terkenal di masyarakat, atau legenda yang hidup di suatu daerah tertentu; Wayang mengambil cerita dari Ramayana dan Mahabharata yang sangat terkenal di masyarakat ; Sedangkan Desick berkisah tentang cerita 1001 malam dari Parsi, Bagdad, Timur Tengah.
2. Pelaku (pemain) Para pemain Sandiwara Sunda pada masa awal adalah pemain profesional yang bergerak di bidang seni Sunda yang mempelajari kesenian, baik secara turun temurun, ikut serta pada sebuah kelompok, atau memperhatikan pertunjukan tersebut berdasarkan tontonan (guru panggung). Tiga cara dalam pewarisan yang dilakukan dalam seni tradisional dalam Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 69
istilah mereka adalah berdasarkan turunan, katurunan, dan tuturunan. Turunan adalah pewarisan secara langsung berdasarkan darah (genetik) yang dibawa oleh orang tua mereka; katurunan adalah cara pewarisan yang dilakukan dengan cara mempelajari secara langsung pada sang seniman, dan diakui sebagai murid dari seniman tersebut; dan tuturunan adalah pewarisan secara tidak langsung yang dipelajari oleh seorang murid, baik menonton atau mengikuti perjalanan sebuah kelompok, dan mempelajari kesenian tersebut secara mandiri hingga akhirnya dapat diakui oleh pimpinan kelompok tersebut untuk magang dalam pertunjukan. Cara-cara demikian memerlukan waktu yang lama dalam pewarisannya, kecuali turunan karena bakat yang mengalir secara genetik dengan latihan terus menerus dan lingkungan yang mendukung akan lebih mudah menciptakan seseorang menjadi seniman. 3. Penonton Masyarakat penikmat seni pertunjukan adalah merupakan bagian penting yang tak terpisahkan dalam kehidupan kesenian. Tanpa penonton, kelangsungan hidup sebuah pertunjukan akan punah. Penonton Sandiwara Sunda adalah mereka yang hidup mengembara ke kota dan mencari penghidupan di sana. Mereka hidup di pusat perekonomian seperti pasar dan pabrik yang mulai dibangun pada perekonomian baru. Mereka membutuhkan kesenian untuk hiburan setelah lelah rutin bekerja sehari-hari dan Sandiwara Sunda menjadi pilihan tepat yang dapat memenuhi kebutuhannya serta mengobati kerinduan mereka pada kampung halamannya. Kalangan masyarakat baru ini tergolong pada kelas menengah ke bawah yang membutuhkan hiburan sesuai selera dan keuangan mereka. Tobong Sandiwara Sunda menjadi alternatif tontonan yang dapat memenuhi kebutuhan mereka dengan keakraban khusus yang terjalin antara pemain dan pelaku pertunjukan. Akan tetapi, dengan mulai dibongkarnya tobong di pasar tradisional maka pertunjukan menghilang dan tidak dilakukan lagi. Anggota kelompok Sandiwara mulai tercerai berai dan kembali ke kampung halaman mereka. Setelah pemerintah merenovasi gedung bioskop Tripoli (Pasar Kosambi) menjadi tempat pertunjukan, maka beberapa kelompok difasilitasi untuk bergiliran pentas di gedung tersebut. Keakraban yang biasa terjalin antara penonton dengan tobong dari setiap kelompok Sandiwara Sunda menjadi hilang ketika bermain di gedung pertunjukan. Lambat laun penonton semakin menghilang dan diganti oleh penonton baru yang lebih terpelajar. Penonton baru ini menyebabkan pertunjukan Sandiwara Sunda harus mencari formula baru dalam memenuhi selera penonton yang berbeda jika ingin kelompoknya terus berlangsung. Penonton terpelajar membutuhkan hal yang aktual dan progresif dalam menikmati pertunjukan, sedangkan pemain sandiwara yang kebanyakan otodidak tidak dapat memenuhi kebutuhan kaum terpelajar.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 70
4.
Padepokan Seni Ringkang Gumiwang
Salah satu kelompok Sandiwara Sunda yang mencoba untuk meningkatkan bentuk pertunjukan dengan pelaku, sistem manajemen, dan produksi yang berbeda adalah Lingkung Seni Jati Nugraha [berubah nama menjadi Padepokan Seni Ringkang Gumiwang]. Kelompok ini sudah mulai meraih pendukung dari kelompok kaum muda, termasuk di dalamnya mahasiswa. Mereka memakai sistem organisasi dengan memiliki staf organisasi, Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART), program jangka panjang dan jangka pendek (Yuyu Wahyudin, 1986:3). Kelompok ini pernah menyerap penonton sebanyak 203 orang dalam pementasan ”Kapahung” tahun 1986. Hal ini merupakan upaya Lingkung Seni ini untuk menghidupkan sandiwara dengan cara-cara yang lebih modern. Persoalan manajemen seperti planning, organizing, actuating, controlling dilakukan oleh kelompok ini, baik untuk persiapan latihan, pementasan, dan meraih penonton. Upaya untuk menarik penonton dilakukan dengan publikasi melalui pamflet, poster, radio, surat kabar, dan sponsor (Yuyu Wahyudin, 1986:29). PENUTUP Padepokan Seni Ringkang Gumiwang merupakan kelompok sandiwara Sunda satusatunya di Jawa Barat yang masih bertahan melakukan pertunjukan. Kelompok ini melakukan pembaharuan dan penyesuaian bentuk pertunjukan sesuai dengan target pasar yang dipilihnya. Penyesuaian tersebut dilakukan baik dari segi cerita, pelaku, pertunjukan, dan penonton. Cerita yang dilakukan oleh PSRG sudah memakai pendekatan teater modern, penulis naskah sebagai ketua rombongan dan sutradara paham betul tentang kondisi dan kebutuhan para pemainnya. Cerita ditulis secara lengkap dengan pertunjukan dua babak ditambah dengan selingan sehingga berdurasi sekitar sembilan puluh menit dengan dialog ringan dan menghibur. Pendekatan terhadap pelaku pertunjukan dilakukan melalui pelatihan menggunakan cara teater modern, baik dengan latihan oleh tubuh, olah vocal, maupun pelatihan pada bentuk pertunjukan dimulai dengan reading, casting, blocking, dan pembentukan tokoh. Sutradara membantu para pemeran dalam memahami tokoh yang dimainkan. Selain itu pelaku lainnya, seperti pemusik, pesinden, dan dalang melakukan pelatihan di padepokan tersebut. Sejak awal PSRG didukung oleh para pekerja dan mahasiswa sehingga pimpinan mencoba mengambil hal-hal positif dari teater modern untuk mengembangkan sandiwaranya. Kelompok ini melakukan silang bentuk dan metode antara sandiwara Sunda dan teater modern. Bentuk ini lah yang terus dikembangkan oleh Kabul E. Samsudin dalam menghidupkan PSRG dengan pertunjukan yang ringan dan menghibur.Ω
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 71
DAFTAR PUSTAKA Abdulkadir, teungku Syed & Rosdy, Zen.1961. Sejarah Seni Drama. Singapura : Malaysia Press Ltd. Anwari. Indonesia Tertaw. 1999. Srimulat sebagai Sebuah Subkultur. Jakarta: Pustaka. LP3ES Indonesia. Cameron, Kenneth. M.& Gillespie, Patti.P.1980. The enjoyment theatre, New York: McMillan Publishing Company. Caturwati, Endang. 2011. Sinden-penari di atas dan di luar panggung, Bandung: Pustaka Pelajar dan Sunan Ambu Press Cohen, Issac, Matthew. 2006. The Komedie Stamboel: Popular Theater in Colonial Indonesia,1891-1903,Ohio:OhioUniversityPress. McCarthy, Kevin.,Brooks, Arthur., Lowell, Julia and Zakaras, Laura. 2001 The Performing Arts in a New Era. Pittsburg: RAND Permana, Arif Merdeka. 2010. “Miss Tjitjih dan Sandiwara Sunda” dalam Harian Umum Pikiran Rakyat, Bandung: PT Granesia Wahyudin, Yuyu. 1986. Tinjauan Deskriptif Proses Produksi Pementasan Sandiwara Sunda Lingkung Seni Jati Nugraha. Bandung: Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI).
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 72
MODEL PEMBUATAN FILM DOKUMENTER SEBAGAI MEDIA PELESTARIAN DAN PEMBELAJARAN SENI BUDAYA Yanti Heriyawati Enok Wartika Apip ABSTRAK Film Dokumenter merupakan satu wujud inovasi ipteks-sosbud. Ia mampu mewakili dua hal sekaligus, pertama sebagai representasi perkembangan teknologi, kedua sebagai media merepresentasikan kearifan lokal yang dapat diapresiasi secara global. Oleh karenanya film merupakan media efektif dan efisien dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Dan secara individu film dokumenter dapat merangsang logika maupun emosi untuk menstimulasi keinginan, memperluas pengetahuan, pemahaman, penyikapan masalah dan solusinya dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Kata Kunci: Film Dokumenter, ipteks-sosbud, kearifan lokal, teknologi PENDAHULUAN Perkembangan yang pesat di bidang teknologi komunikasi dan informasi telah mengubah wajah Indonesia pada gaya hidup dokumenter. Hal ini tidak saja menerpa masyarakat perkotaan atau generasi muda yang akrab dengan media mutakhir, kini telah menerobos masuk ke desa-desa bahkan kampung-kampung terpencil. Disatu sisi kondisi ini memberikan dampak positif untuk kemajuan, kemudahan, dan kenyamanan dalam menjalani berbagai bidang kehidupan namun disisi lain, hal ini tetap semakin mempertajam ketimpangan dalam berbagai sisi ekonomi, politik, budaya, pertahanan dan keamanan. Faktanya konsep global telah banyak mengikis berbagai potensi yang idealnya menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Salah satunya pada melimpahnya kekayaan dan keunikan budaya 73ocum yang syarat dengan nilai-nilai filosofis yang sangat membumi dengan hidup dan kehidupan masyarakat Indonesia. Derasnya pengaruh budaya dari luar telah berdampak signifikan terhadap memudarnya rasa kecintaan generasi muda pada keluhuran budaya sendiri. Bahkan kondisinya sudah memasuki situasi kritis: satu demi satu kekayaan seni budaya bangsa mulai menghilang karena tidak ada lagi generasi yang merawat, mengapresiasi dan meneruskannya. Sisi lain masyarakat pemilik seni budaya hanya memiliki kesadaran kolektif terbatas berdasarkan warisan secara turun temurun. Kurang mengetahui bagaimana mengemas seni budaya tersebut menjadi sajian yang menarik, mampu diapresiasi oleh masyarakat luas. Kondisi ini harus segera diatasi dengan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga menjadi sesuatu yang dapat diterima masyarakat luas dan menyatu dengan kemajuan jaman tanpa harus kehilangan nilai-nilai keluhuran filosofis masyarakat penciptanya. Memupuk kembali kesadaran kolektif yang menipis, melalui pembuatan karya film dokumenter yang dikemas apik dan bersumber dari penelitian mendalam sehingga
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 73
menjadi sajian tontonan yang lebih menarik dan berkualitas, karena menggunakan teknologi yang sedang banyak diminati dan mudah di jangkau oleh masyarakat, dan film dokumenter ini tentunya mengandung pengetahuan tentang kekayaan seni dan budaya Nusantara. PEMBAHASAN Etnografi Ritual Ngabubur Ngabubur merupakan sebuah ritual tahunan masyarakat Rancakalong yang dilaksanakan setiap bulan Muharam.Ritual ngabubur yang dijadikan film dokumenter merupakan hasil penelitian etnografi. Penelitian etnografi sebagai cara yang dipilih agar mendapatkan data berdasarkan fakta. Peneliti pun memiliki peluang untuk mendapatkan berbagai informasi senatural mungkin berdasarkan dari pengalaman masyarakat pelakunya.Etnografi digunakan untuk mendapatkan data dan fakta berdasarkan observasi langsung. Karenanya dalam etnografi mengharuskan keterlibatan langsung (participant observer) dari peneliti terhadap objek yang akan diteliti atau dideskripsikan. Berdasarkan hasil penelitian, ritual ngabubur di Rancakalong dilaksanakan di beberapa dusun, di antaranya: Dusun Cikondang, Dusun Cikeusik, Dusun Cijere, dan Dusun Legok Picung, masing-masing berada di Desa Pamekaran, serta Dusun Cibulakan Desa Pasirbiru. Masing-masing rurukan9memiliki tata cara dan aturan tersendiri, meksipun secara umum memiliki karakteristik yang sama, seperti dijelaskan berikut: Ngabuburdikaitkan dengan cerita Nabi Nuh: dikisahkan ketika Nabi Nuh dan pengikutnya kehabisan perbekalan saat perang. Nuh memerintahkan agar masingmasing (pengikutnya) membawa biji-bijian dan seluruh sisa makanan untuk dibubur bersama, agar seluruh pengikutnya dapat kebagian makan (kenyang). Masyarakat Rancakalong memaknai kisah tersebut dengan melaksanakan upacara ngabubur. Namun demikian, Ngabubur tidak hanya berkaitan dengan ritual Islam. Ngabubur merupakan ritual warisan leluhur (nenek moyang) mereka, sebagai bentuk ucap sukur masyarakat atas semua tanaman yang telah memberi berkah bagi kehidupan. Masyarakat mengumpulkan semua hasil pertanian, berbagai macam jenis makanan, dari mulai umbi-umbian, bebeutian, buah-buahan, dan sayuran dengan jumlah seribu macam, untuk dibuat bubur, secara bersama (Yanti Heriyawati, 2013:110-111). Berdasarkan tujuannya, ngabubur merupakan Sukur Bumi, yakni ritual yang dilaksanakan oleh para pelakunya sebagai bentuk ucap sukur atas hasil bumi yang telah dinikmati dan memberikan keberkahan bagi kehidupan masyarakatnya.Ritual merupakan sebuah peristiwa yang melibatkan semua anggota dalam masyarakat.Masing-masing individu mencurahkan seluruh energinya berada dalam ruang sakral sebuah ritual.Lebih dari ini, ritual ngabubur sebagai media silaturahim.Di sanalah ruang interaksi sosial yang secara bersamaan menjadi media dalam mengkonstruksi tatanan kehidupan sosial masyarakatnya.
9
Sebutan untuk kelompok masyarakat yang melaksanakan upacara berdasarkan garis keturunan masing-masing. Nama rurukan disesuaikan dengan nama dusun atau kampun tempat tinggal kelompok adat.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 74
Pelaksanaan ritual ngabubur dibuat tata cara dan aturan. Baik berkaitan dengan susunan upacaranya, peralatan upacara, syarat dan bahan, maupun berbagai aturan, seperti perhitungan waktu pelaksanaan upacara, para pelaku, dan berbagai aturan lainnya yang dirumuskan berdasarkan konsep kesakralan dari sebuah upacara yang dimaksudkan. Hal ini nampak pada berbagai sesaji yang selalu disediakan selama rangakaian panjang proses membuat bubut. Begitu pula pada penggunaan hawu (tungku) untuk memasak bubur yang dibuat dari tiga buah bonggol cau (pangkal pisang).Dalam konsep estetika paradoks seperti yang dimaksudkan oleh Jakob Soemardjo, tungku merupakan simbol laki-laki dan wajan/kuali merupakan simbol perempuan.Penyatuan keduanya mengasilkan entitas ketiga yakni bubur.Inilah bubur yang sakral. Konsep tiga ini merupakan falsafah dari pola tiga Sunda Lama, warisan cara berfikir masyarakat ladang. Ini berarti terkait dengan sakralitas padi.Menurut Jakob Soemardjo (dikutip heriyawati, 2007: 261) padi merupakan emanasi dari benih Nyi Pohaci. Oleh karenya ngabubur merupakan bagian dari cara mengormati Nyi Pohaci sebagai cikal bakal padi yang dipupusti oleh masyarakatnya. Ritual ngabubur di Rancakalong biasanya dilaksanakan selama dua hari dua malam.Mulai dari mesek dan membersihkan semua bahan bubur yang telah dikumpulkan dari semua warga, kemudian semua bahan dihaluskan untuk siap di bubur.Pada malam harinya secara khusus dilakukan pertunjukan tarawangsa. Meskipun demikian tarawangsa selalu dimainkan mengiringi sepanjang proses aktivitas ngabubur. Di hari kedua, mulai melaksankan ngocek, yakni membuat menyatukan semua syarat dan bahan ke dalam wajan, diaduk rata sehingga menjadi bubur, sampai matang, kemudian dibungkus, untuk selanjutnya dibagikan ke semua warga dan siap untuk dimakan.Adapun syarat dan bahan untuk ngabubur seperti dijelaskan berikut: Bahan untuk ngabubur adalah semua hasil bumi, mulai dari umbi-umbian, sayuran, buah-buahan, biji-bijian, dan berbagai jenis makanan lainnya yang dihasilkan dari semua tanaman yang ditanam di bumi Rancakalong. Dari sejumlah bahan tersebut ada yang disebut sebagai bahan pokok, yakni beras, gula, dan cau sewu. Ketiga jenis bahan makanan ini wajib ada. Beras, hubungannya dengan Nyi Pohaci atau Nyai Sri atau Dewi Padi sebagai cikal bakal adanya tanaman yang tumbuh di Bumi. Gula sebagai ciri dari rasa manis dan warna bubur, karena gula yang digunakan adalah gula aren, yang diambil atau dibuat sendiri dari air nira. Sementara cau sewu atau pisang seribu, untuk melengkapi jumlah sarat bahan ngabubur, apabila jumlah ragam makananya tidak mencapai seribu macam. (Yanti Heriyawati, 2013: 112). Bahan utama untuk ngabubur adalah semua hasil bumi, namun demikan ada bahan yang dibuat atau diperhitungkan syarat-syarat tertentu untuk memenuhi nilai kesakralannya.Ada bahan yang memang dibuat dan syaratkan tidak biasa, sehingga bukan saja menjadi berbeda dari bahan makanan biasanya, tetapi juga menjadikan bubur sebagai makanan yang dimaknai oleh para pelakunya sebagai makanan yang memberi keberkahan. Dalam proses membuat bubur, setiap pelaku melaksanakan aktivitas bekerja seperti nyiksikan, ngocek dan kegiatan lainya yang mendukung terhadap proses pelaksanaan pembuatan bubur. Di antara aktivitas bekerja, diselingi dengan kegiatan ngibing yang
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 75
dilakukan secara bergantian. Sepanjang proses pembuatan bubur, musik tarawangsa selalu mengiringi dan menjadi bagian penting kesakralan ritual ngabubur. Kekhususan juga nampak pada perlatan yang digunakan dalam ngabubur.Seperti untuk memasakan menggunakan wajan besar dengan tungku yang terbuat dari tiga buah bonggol cau (panggal pohon pisang). Peralatan lain yang digunakan untuk mesek dan ngibakan, seperti: halu dan jubleg, panci, pisau dan golok, parut, boboko, tolombon, dan baskom, timbangandan daun pisang. Susunan upacara ngabubur dilaksanakan dari mulai pra upacara, upacara, dan pasca upacara.Pada pra upacara dilaksankan ritus mitembeyan meuseul atau menumbuk padi; dan mengumpulkan syarat bahan untuk ngabubur. Pelaksanaan upacaranya dimulai dengan dengan ritus doa yang dilakukan di depan syarat bahan ngabubur; mesek yakni mengupas dan membersihkan semua bahan; ngibakan yakni ritus mencuci beras ke mata air; ngocek sebagai ritus pokok dalam memasak bubur; dan mungkusbubur yang telah matang dengan menggunakan daun pisang. Pasca upacara: menghitung bubur; membagikan bubur; dan ritus lekasan sebagai hajatan penutup dari rangkaian ngabubur. PENUTUP Penelitian Hibah Bersaing dengan judul Model Pembuatan Film Dokumenter sebagai media pelestarian dan pembelajaran Seni Budaya ini, dapat dikatakan telah tercapai sesuai dengan target. Luaran utama artikel sudah melalui dua tahap reviewer; model pembuatan film sebagai sebuah metode telah terumuskan; film sebagai luaran produk sudah dapat dijadikan bahan apresiasi. Meskipun demikian, hasil penelitian ini masih perlu dilakukan proses evaluasi dan revisi agar benar-benar dapat disosialisasikan dan layak diapresiasi masyarakat secara luas. DAFTAR PUSTAKA Barthes, Roland. 2007. Membedah Mitos-mitos Budaya Massa: Semiotika atau Sosiologi Tanda, Simbol, dan Representasi. Yogyakarta: Jalasutra. Cheah, Philip. 2002. Membaca Film Garin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Evershed, Sarah. Film, Ethnography, and the Senses: The Corporeal Image. American Anthropologist; Dec 2006; 108, 4; Academic Research Library. pg. 908 Fred Wibowo. 2007.Teknik Produksi Program Televisi, Yogyakarta: Pinus. Gerzon R. Ayawaila. 2008. Dokumenter Dari Ide Sampai Produksi, Jakarta: FFTV-IKJ Press. Hurlock, B. Elizabeth. 1999. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 76
Jakob Sumardjo. 2003. Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda: Tafsir-tafsir Pantun Sunda. Bandung, Kelir. ………. 2006. Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu Press. Juju Masunah dan Tati Narawati. 2003. Seni dan Pendidikan Seni. Bandung P4ST UPI. Marselli Sumarno. 1996. Dasar-dasar Apresiasi Film, Jakarta: Grasindo. Morris, Rosalind C. 1994. New Words From Fragments; Film, Etnography, and the Representation of Northwest Coast Cultures. Bolder-San Francisco, Westview Press. Suryabrata, Sumadi. 2008. Metode Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Turner, Victor. The Forest of Symbols: Aspects of Ndembu Ritual. Ithaca and London: Cornell University Press. Yasraf Amir Piliang. 2008. Muliplisitas dan Diferensi: Redefinisi Desain, Teknologi, dan Humanitas. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra. Yayah Kisbiyah, dkk. 2004. Pendidikan Apresiasi Seni: Membaca dan Praktik untuk Toleransi Pluralisme Budaya. Surakarta: Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Sumber Lain (Internet): 1. Ray Bachtiar Dradjat. 2005. Film Dokumenter “Upacara Ngalaksa” 2. http://www.culture.gov.uk/about_us/creative_industries/default.aspx diakses 20 maret 2009 3. http://www.bbc.co.uk/nature/animals/planetearth/ diakses tanggal 17 April 2010 http://en.wikipedia.org/wiki/Planet_Earth_(TV_series) diaskes tanggal 17 April 210 http://asfarian.wordpress.com/2009/07/31/planet-earth-film-dokumenterterbaik-yang- saya-tonton/ diaskes tanggal 17 April 210 4. http://www.csrindonesia.com/data/articles/20070111091949-a.pdf diakses tanggal 18 April2010
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 77
”KAULINAN BARUDAK” SEBAGAI INSPIRASI PENCIPTAAN TARI ANAK-ANAK (Model Pembelajaran Praktik Berbasis Pendidikan Karakter) Eti Mulyati Asep Jatnika Husen Hendriyana
ABSTRAK Kaulinan barudak (traditional children games) as an inspiration of a children dance learning based on character education model has a purpose to design a choreography for elementary students which requiring an interpretation of creativity and transformation from the artist. The process of the creation based on an inspiration of the traditional children games of Sumedang people uses prefactum method which is oriented to strategy and experimentation art technique including exploration, improvisation, ilumination, presentation, and evaluation. The work of the coreography includes movement motives, posture, and variousity of the movement with several possibilities in variety such as the direction of facing, direction of movement, level, circle movement, volume, dynamics, and grouping, considering the elements of composition such as: balance, proportion, formation, level, unity, contrast, canon, etc. In the creation, interpretation contains relation elements so that the value and the meaning of the dance will be developed by itself. On the other hand, transformation requires analysis intelligent through the structure so that it will be relevant and constructive. These two aspects are still an idea that needs to be formed into movement represantation and a composition of a dance. This composition can be applied into a solo or a group work. Focusing on a dancer as a medium of a dance movement which is sourced from ‘Kaulinan barudak’, it can be analyzed through differences of form, composition, and the function of the movement form itself. Thus, the cultural identity and the nation’s character can be shown from the coreography. Keyword: kaulinan barudak, children dance, character education. PENDAHULUAN Kaulinan barudak adalah permainan anak-anak tradisional Sunda. Di dalam kehidupan sehari-hari kaulinan barudak ini dapat dikatakan sebagai cerminan nilai budaya masyarakatnya, yakni masyarakat anak-anak sebagai pelakunya. Namun demikian, di era perhelatan budaya yang sangat kompleks ini, kaulinan barudak bukan lagi milik anak-anak semata, melainkan telah menjadi komoditas rekreasi atau hiburan bagi kelompok masyarakat dewasa pada umumnya. Didasarkan pada hasil pengamatan baik di sanggar-sanggar tari maupun di sekolahsekolah, bahwa materi tari anak-anak sangat kurang terutama bentuk tari anak-anak yang bersumber dari kaulinan barudak, sedangkan berdasarkan penelitian, kaulinan barudak (Eti Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 78
Mulyati,2009) memuat berbagai dimensi nilai yang bermanfaat bagi perkembangan pendidikan, seni dan budaya. Kaulinan barudak memuat berbagai unsur nilai seperti: pendidikan, kesehatan (olah raga), dan karakter (kesatriaan; keberanian, kesetiakawanan, dan kecerdasan) serta rekreasi dan hiburan. Kearifan lain dari Kaulinan barudak, memiliki peranan dan fungsi bagi kehidupan masyarakat baik di usia anak-anak maupun dewasa khusunya dalam kegiatan berinteraksi sosial antar sesamanya. Sehubungan dengan peranan dan fungsi dimaksud, Sal Murgiyanto (1993: 222), menjelaskan bahwa berdasarkan sifat dan tujuan bermain, ada yang dilakukan untuk: (1) menirukan; (2) mencoba kecakapan dan kekuatan; (3) melatih panca indera; (4) melatih bahasa; dan (5) melatih lagu dan gerak berirama. Kaulinan barudak memiliki keunikan tersendiri yang dapat dibedakan dengan jenis permainan anak-anak modern sekarang ini. Pertama, permainan itu cenderung menggunakan atau memanfaatkan alat atau fasilitas di lingkungannya tanpa harus membeli. Anak-anak sebagai pemain harus bisa berimajinasi, menafsirkan dan memanfaatkan beberapa benda yang akan digunakan dalam bermain sesuai dengan yang diinginkan. Kedua, permainan anak-anak tradisional Sunda (kaulinan barudak) selalu melibatkan pemain yang relatif banyak atau berorientasi komunal. Setiap permainan rakyat tradisional seperti kaulinan barudak selalu melibatkan banyak anggota. Hal ini dikarenakan selain mendahulukan faktor kegembiraan bersama, permainan ini juga mempunyai maksud pada pendalaman kemampuan interaksi antar personal peserta kaulinan barudak. Ketiga, permainan anak-anak tradisional Sunda (Kaulinan barudak) memuat jenis permainan kategori play dan game. Play yang menekankan pada aspek bermain, action yang dilakukan tanpa pertimbangan aturan yang mengikat, sedangkan game terikat pada aturan dari permainan itu sendiri. Keduanya memiliki nilai-nilai luhur yang berhubungan dengan konteks sosial, pendidikan, dan rekreasi/hiburan. Berbagai nilai yang tersirat di dalam bentuk kaulinan barudak seperti disebutkan di atas, merupakan fenomena menarik untuk dapat dijadikan sumber inspirasi penciptaan tari anak-anak. Berkaitan dengan hal tersebut maka penulis akan batasi masalah penelitian ini yaitu: (1) Bentuk kaulinan barudak apa saja yang dapat dijadikan sumber penciptaan tari; (2) Bagaimana proses penciptaan tari anak-anak yang bersumber dari kaulinan barudak. Tulisan ini bertujuan untuk merancang atau menciptakan koreografi tari anak-anak yang bersumber dari kaulinan barudak yang berbentuk gerak dan lagu, serta ingin memberikan gambaran secara rinci dalam proses penciptaan tari anak-anak yang bersumber dari kaulinan barudak sebagai bahan pembelajaran seni tari untuk anak-anak Sekolah Dasar. Dari keunikan bentuk dan nilai yang tersirat dibalik wujud permainan kaulinan barudak tersebut, layak dan penting untuk diangkat sebagai sumber inspirasi penciptaan karya Tari Anak-anak yang dikemas secara kreatif dan inovatif sesuai dengan fasilitas zamannya, sehingga dapat menghadirkan makna baru dari hasil modifikasi tari anak-anak tersebut. Paradigma penelitian prefactum ini lebih beorientasi pada strategi dan teknik eksperimentasi seni yang di dalamnya mencakup eksplorasi, improvisasi, iluminasi,
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 79
presentasi, dan evaluasi (Graham Wallas dalam Jelantik,1999). Adapun aspek metodologi penciptaan tari anak-anak dengan kaulinan barudak sebagai sumber insfirasinya, dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 1: Bagan Kerangka Berfikir Penciptaan Tari Anak
Reka Bentuk dan Rekomposisi Gerak dan Lagu Kaulinan Barudak Beberapa tahapan proses penciptaan tari anak-anak dengan bersumber inspirasi kulinan barudak ini adalah sebagai berikut: Eksplorasi, pada tahap ini tingkat pengembangan kreativitas, eksplorasi sebagai pengalaman pertama bagi seorang penata tari untuk menjajagi ide-ide, rangsang dari luar. Penjajagan objek pada garapan tari, dimulai dengan pengalaman-pengalaman yang melibatkan kesadaran secara penuh dalam memandang suatu objek. Pengalaman tersebut timbul dalam diri penata dan juga pengalaman mengamati suatu lingkungan yaitu kaulinan barudak. Langkah selanjutnya adalah klasifikasi permainan anak untuk memudahkan pemetaan terhadap jenis dan bentuk gerak permainan anak yang dapat ditransformasikan dalam gerak tari. Improvisasi, pada tahap improvisasi, adalah proses kreatif berupa kegiatan mengembangkan gerak-gerak yang sudah dibakukan untuk disusun menjadi gerak tarian baru yang dipadukan dengan iringan musik. Gerak tari disusun berdasarkan: 1). Ragam gerak, dan 2). Sikap dasar tari yang terdapat pada kaulinan barudak khususnya gerak-gerak yang dinamis dan atraktif, sesuai dengan kondisi fisik dan psikhis anak. Pada tahap ini lebih memikirkan kemungkinan gerak dengan mengolah gerak yang terdapat pada kaulinan tokecang yang memiliki ciri khas kebersamaan dalam bermain, begitu pula pada kaulinan kukudaan yang menggunakan properti kukudaan dapat memunculkan ide dengan menggali memainkan properti tersebut bisa ditunggangi, dan dimainkan sebagai properti tari. Ragam gerak hasil improvisasi kemudian dipilih dan dipilah sebagai kekuatan ide yang akan ditonjolkan dan menjadi ciri khas dalam garapan tari anak-anak.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 80
Iluminasi, pada tahap ini sensitivitas dan sensibelitas kreator menjadi sangat penting, yaitu bagaimana mengeramkan gagasan yang membekas pada kognisi kegelisahan kreator tari dari peristiwa-peristiwa di dalam kaulinan barudak. Sensibelitas kognisi dari kegelisahan itu direfleksikan menjadi tindakan kreatif menjadi sebuah karya cipta seni (tari anak-anak). Secara oprasional pemahaman representasi unsur-unsur eksternal dan internal dapat dijabarkan dalam bentuk ekspresi penciptaan seni melalui gambaran metaforis. Pendekatan metaforis dalam tahapan ini akan menguji kemampuan sebuah karya seni sebagai bahasa komunikasi bentuk gerak tari anak-anak yang merepresentasikan kaulinan barudak, sehingga dalam upaya mengekspresikannya terhadap masyarakat perlu memikirkan interelasi struktur dan fungsi sebagai kaulinan barudak serta unsur-unsur yang saling terkait. Pada tahap ini, mencakup proses pencarian konsep-konsep yang akan diwujudkan dalam bentuk karyanya. Secara umum, konsep ataupun tema tari bisa digali dari: (1) permainan, alam, binatang, pekerjaan, dan yang menyangkut budi pekerti sekalipun;(2) tarian dalam bentuk kelompok ataupun tunggal; (3) bentuk garis geraknya lebih banyak garis lurus dan garis lengkung; (4) pola irama atau ritme-ritme dan tempo geraknya lebih banyak berukuran sedang, terutama untuk bagian gerak badan (torso), bahu, kepala, dan lengan tangan. Sedangkan untuk gerak kaki bisa memadukan antara yang lambat, sedang, dan cepat. Presentasi, pada tahap ini, proses kreatif penciptaan seni telah mencapai pada tahap penyusunan konsep dan bentuk, sehingga perlu mempresentasikannnya ke khalayak demi tercapainya kesesuaian interrelasi unsur-unsur yang menunjang proses perwujudan karya dimaksud. Teknik presentasi karya ini dengan menata langsung bentuk gerakan tari anakanak yang bersumber dari peristiwa kaulinan barudak yang ditransformasi dengan modifikasi gerak-gerak yang ada di dalam kaulinan barudak dimaksud. Evaluasi, tahap ini penting dalam mempertimbangkan kembali aspek-aspek di dalam kerangka pemikiran, konsep maupun bentuk tarian secara holistik. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mencapai keselarasan yang harmonis antara ide, bentuk dan sumber gagas kaulinan barudak. Evaluasi teknik pengerjaan dan estimasi karya juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam pembentukan karya itu sendiri. Khususnya dalam struktur bentuk dan gerak tari anak-anak. Teknik transformasi ke arah bentuk metaforik gerakan dari kaulinan barudak menjadi penentu jenis dan gaya dari karya tari senimannya. PENUTUP Meminjam istilah dari antropologi, pengertian karakter bangsa dipandang sebagai tata nilai budaya dan keyakinan yang mengejawantah dalam kebudayaan suatu kelompok masyarakat tertentu dan ia memancarkan ciri-ciri khas keluar sehingga dapat ditanggapi orang luar sebagai kepribadian masyarakat tersebut (Ade Armando, 2008:8). Berfokus pada pergeseran fungsi gerak pragmatis kaulinan barudak menjadi gerak estetik tari, maka dapat dikatakan bahwa di dalam konteks ini telah terjadi rekonseptualisasi gerak anggota tubuh manusia. Kaulinan barudak Tokecang dan Kukudaan seperti di bahas di atas, adalah peristiwa sosial yang terjadi di dalam suatu kelompok anak-anak daerah yang diangkat dari daerah Sumedang sebagai sampel penelitian ini, bahwasannya telah mengalami perubahan menjadi sebuah peristiwa berkesenian, yakni seni tari anak-anak bergaya modern dengan nuansa tradisional yang merepresentasikan kaulinan barudak daerah di Sumedang.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 81
Sistem dan pola permainan di dalam peristiwa sosial dan peristiwa berkesenian ini, tentu saja memiliki karakter yang berbeda, nilai-nilai yang terkandung di dalam kaulinan barudak tradisional daerah yang diangkat ini menjadikan substansi dari karakter bentuk dan perilaku berkesenian dimaksud, dan secara lebih luas pada karakter bangsa. Dengan mengadopsi teori kecerdasan manusia khususunya dalam konteks berkesenian dan berbudaya Daniel H. Pink (2006: 93-96), bahwa representasi nilai-nilai karakter bangsa, dapat dilihat melalui karakter bentuk dan ideologi kreator dalam berkesenian, serta identitas kultural yang tersirat di dalam kaulinan barudak sebagai kontens dari karya seni tari dimaksud. Artinya representasi identitas kultural dan karakter bangsa dalam sebuah karya seni (1) tidak hanya fungsi tetapi juga desain,(2) tidak hanya argumen tetapi juga cerita, (3) tidak hanya fokus tetapi juga simponi (4) tidak hanya logika tetapi juga empati, (5) tidak hanya keseriusan tetapi juga permainan, (6) tidak hanya akumulasi tetapi juga makna10, (7) tidak hanya pemahaman tetapi juga keyakinan dan spiritualitas. DAFTAR PUSTAKA A.A.M Djelantik. 1999. Estetika Sebuah Pengantar, Bandung: Penerbit MSPI. Ade Armando,dkk. 2008. Refleksi karakter bangsa, Forum kajian antropologi Indonesia. Eti, Mulyati. 2009. Transformasi Bentuk Kaulinan Barudak ke dalam Bentuk Seni Pertunjukan (Studi tentang nilai Oray-orayan dan Tokecang di Saung Angklung Udjo). Bandung: Universitas Padjadjaran Bandung. Daniel H. Pink. 2006, Misteri Otak Kanan Manusia, Yogyakarta: Penerbit Think Sal Murgiyanto, 1986, “Dasar-dasar Koreografi Tari”, dalam Pengetahuan Elementer Tari danBeberapa Masalah Tari. Jakarta: Direktorat Kesenian Proyek Pengembangan Kesenian Jakarta Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sal Murgiyanto, 1993, Ketika Cahaya Merah Memudar: Sebuah Kritik Tari Jakarta: Deviri Gana
10
Lengkapnya baca Daniel H. Pink, Misteri Otak Kanan Manusia, Yogyakarta: Penerbit Think, 2006, hal. 93-297.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 82
PASCASARJANA
PENCAK NAMPON TRIRASA SEBAGAI SUMBER GERAK TARI KEMBANG LIGAR DAN TARI KELANGAN: PENGEMBANGAN POTENSI SENI BUDAYA DI JAWA BARAT Endang Caturwati, Anis Sujana, Lina Meilinawati ABSTRACT The bequest of Pascasarjana Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, entitled “Pencak Nampon Trirasa as Kembang Ligar and Tari Kelangan dance motion sources: Art and culture potential development in West Java, as purpose to developing Creative Industry model in Performance arts, which has some elements especially from dance, Karawitan, and also make-up & apparel arts as a performance arts supporter that being part of Visual Arts without leaving the tradition values and local wisdom. This research is kind of research and development that has been performed for two years. The first year, involve 4 students also in a second year, it is expected for those four students to be able to produce the research as a final project/thesis. The result of the first year research is to produce a classical dance model and Jaipongan, as a development result from Pencak Silat Nampon Trirasa motions that is thrived in West Java area, which is known as body, mind, and soul development media. In the second year, this research is expected to be socialized to society, both academic society and art studios which is Bandung as the choosen city that is easy to reach from variuos city in West Java. This development result is a donation to society, that Pencak Silat nampon Trirasa motions beside has philosophy value, also can be developed into various kind of ethicaland aesthetic form and style genre which is potential art and culture in West Java. Keyword: Pencak Nampon Trirasa, Tari Kembang Ligar, Tari Kelangan. PENDAHULUAN Pencak Silat merupakan seni bela diri yang dibangun berlandaskan pada konvensi, kode, patron, atau pakem yang diwariskan secara-turun temurun, dan menjadi sebuah komunitas yang khas membentuk kelompok yang mempunyai cara dan pakem tersendiri (aliran). Sebagaimana pendapat Janet Wolf, bahwa seni merupakan produk sosial yang perkembangannya tidak lepas dari masyarakat pendukungnya (1993: 26-48). Seni juga sebagai produk masyarakat yang tidak lepas dari faktor sosial budaya, yaitu faktor alamiah dan faktor generasi yang semuanya memiliki andil bagi perkembangan seni (Arnold Hauser, 1982: 94). Gerakan Pencak Silat tradisional di Indonesia memang luar biasa, bahkan di Jawa Barat berkembang Ibing Pencak, suatu bentuk pencak yang ditarikan dengan diiringi musik kendang pencak yang atraktif, dinamis, dan menarik, yang kemudian menjadi inspirasi sumber gerak tari, terutama tari yang dibawakan oleh laki-laki, seperti tari Ketuk Tilu, Gotong Singa, dan Jaipongan. Di Jawa Barat terdapat beberapa tarian yang dibawakan oleh kaum perempuan yang banyak mengambil dari gerakan Pencak Silat terutama pada tari Hiburan seperti Ketuk Tilu, Ronggeng Ketuk, juga tari-tarian dalam sajian pertunjukan, seperti Tari Cikeruhan, Tari Gaplek, dan Tari Blantek, yang tujuannya untuk menghindar dari hal-hal yang tidak diinginkan terutama godaan dari kaum laki-laki. Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 83
Pada tahun 1980-an seorang pakar tari Sunda, Gugum Gumbira, membuat jenis tarian yang salah satunya bersumber dari gerakan pencak silat yaitu yang disebut Jaipongan. Buah karyanya tidak saja dibawakan oleh laki-laki, tetapi juga oleh kaum perempuan. Gerakangerakan yang dijadikan sumber gerak, merupakan hasil stilasi motif gerak Pencak Silat gaya Cikalong dan Cimande, suatu aliran gerakan pencak yang lebih menonjolkan pada gerak-gerak menangkis dan menyerang secara fisik yang dikolaborasikan dengan tari Ketuk Tilu. Gerak tariannya sangat enerjik, dinamis, dan atraktif, namun masih berkesan feminis, yang bisa dibawakan secara mandiri atau rampak tanpa menggambarkan karakter dan tokoh tertentu. Melihat kenyataan tersebut, tim peneliti Pascasarjana mencoba membuat konsep dan terapan berupa model, bahwa gerak Pencak Silat tidak selalu harus ditampilkan secara artraktif, dengan gerakan yang monoton, seakan hanya menampilkan keterampilan fisik. Akan tetapi dapat juga dijadikan sumber gerak untuk berbagai genre tarian. Selain gaya Jaipongan, juga gaya lainnya, yaitu tari Sunda bergaya klasik, dengan gerakan penuh dinamika dan ekspresif, yang pada setiap gerak dan pose memiliki makna dan nilai spriritual, dengan nama tarian, (1) Tari Kembang Ligar bergaya Tari Sunda Klasik; (2) Tari Kelangan bergaya tari Jaipongan. Adapun yang dijadikan sumber gerak, adalah Gerak Pencak Silat Nampon Trirasa, antara lain jurus satu, jurus dua, jurus tendet, jurus jeblak, jurus bedol, jurus opat liwat, jurus tamplok, dan lain-lain. Gerak Pencak Silat Nampon lebih banyak menggunakan gerakan-gerakan halus dengan kolaborasi olah pernafasan, olah tubuh, dan olah rasa yang spesifik, serta pandangan mata yang terarah. Sedangkan Tipe tarian yang akan dibuat merupakan kolaborasi dari tiga tipe, yakni Tipe Murni, Tipe Liris, dan Tipe Dramatik. Adapun permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut. (1) Bagaimanakah proses menyusun tari Kembang Ligar dan tari Kelangan? (2) Mengapa mengambil sumber gerak dari Pencak Nampon, adakah nilai-nilai spiritual di dalamnya? (3) Dengan membuat Model Tari dengan warna baru, adakah peluang untuk meningkatkan Industri kreatif? Penelitian ini termasuk jenis research and development (R&D) yang dilakukan selama 2 tahun. Tahun membuat dua Model Tarian dengan melalui berbagai tahapan, yakni (1) Rangsang Visual; (2) Eksplorasi; (3) Membuat koreografi dengan rekomposisi atau mengembangkan gerak (inovasi) Pencak Silat Nampon menjadi gerak tari sesuai dengan tema Tarian; (4) membuat komposisi iringan tari; (5) Menyelaraskan gerak dan iringan musik, (6) membuat Pola lantai; (7) Merancang dan membuat busana tari; dan (8) Pergelaran Tari. Untuk mendapatkan hasil yang akan dicapai pada penelitian ini, maka disusun beberapa metode yang sesuai dengan rencana-rencana kegiatan penelitian, di antaranya yaitu: observasi imitatif, eksplorasi, komposisi, dan eksperimen pengembangan. PEMBAHASAN Mengapa Pencak Silat Nampon Trirasa yang dijadikan sumber gerak? Pencak Silat Nampon Trirasa selain dapat menyehatkan secara fisik, gerakan yang unik dan spesifik, pada setiap geraknya memiliki nilai-nilai filosofi yang dapat mengembangkan kepribadian atau mengembangkan karakter seseorang, sebagaimana tujuan dari pembelajaran Pencak Silat Nampon yang mengharapkan akan membawa manfaat bagi setiap individu, baik secara fisik maupun nonfisik, untuk kebutuhan tubuh dan jiwa dalam rangka menopang kehidupan (Abah Sudrajat, Mei 2011).
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 84
Pembuatan model tarian dari gerakan Pencak Silat Nampon ini, diharapkan dapat memberikan sumbangan inspirasi pada para koreografer, tidak saja di wilayah Jawa Barat, tetapi juga daerah lain, bahwa banyak aliran Pencak Silat yang dapat dijadikan berbagai sumber gerak tari. Baik genre Jaipongan, tari bergaya Klasik, bahkan genre tari lainnya, merupakan kekayaan dan potensi daerah (kearifan lokal), yang tidak saja berkembang di daaerah Jawa Barat tetapi juga daerah lain di Indonesa. Ilmu silat Nampon merupakan hasil ciptaan Nampon setelah sebelumnya mempelajari berbagai ilmu silat yang ia peroleh dari beberapa orang guru silatnya. Nama Nampon kemudian di kenal di kalangan para muridnya dengan sebutan Uwa Nampon. Uwa Nampon kemudian melahirkan jurus-jurus silat yang unik yang berbeda dengan jurus silat pada perguruan silat lainnya. Ilmu silat Nampon terdiri atas sepuluh jurus yaitu (1) Jurus Hiji, (2) jurus dua jeblag, (3) jurus dua teundeut, (4 jurus tilu; (5) jurus opat liwat; (6) jurus opat bedol, (7) Jurus colok, (8) jurus opat potong, (9) jurus opat giles .dan (10 ) jurus lima). Kesepuluh jurus Nampon tersebut dikembangkan lebih lanjut oleh Uwa Thamim hingga menghasilkan ilmu tenaga dalam, serta pengembangan Jurus lainnya, seperti Jurus Wijaya Kusuma. Jurus-jurus silat Nampon memiliki kekuatan tenaga dalam untuk bela diri dengan mekanisme jurus silat yang lebih menitikberatkan pada ‘gesekan telapak kaki ke bumi’ guna menghasilkan bioelectro magnetic yang memperkuat medan magnet, dan mengeksploitasi kekuatan sekitar wilayah dada. Gerakan ini akan menghasilkan tenaga elektrik, yang masuk melalui kepala bagian atas dan leher bagian belakang, yang disebut ‘teknik mendulang energi’. Dalam praktiknya teknik mendulang energi ini dilakukan secara bersamaan (gebreg) sehingga menimbulkan daya yang luar biasa. Jurus-jurus dari silat Nampon ini kemudian dijadikan sumber untuk pembuatan tari Kembang Ligar dan tari Kelangan. Tari Kembang Ligar dan Tari Kelangan merupakan cabang dari Seni Pertunjukan, seni tari yang disusun berdasarkan sumber gerak jurus Nampon yang dikembangkan serta diselaraskan dengan pengembangan ragam gerak tari bergaya Klasik Sunda (seperti gerak keupat, minjid, sekar tiba, jangkung ilo, dan trisi), serta tari Jaipongan (giles, mincid, dan suliwa) yaitu hasil karya seni yang bersifat kinetik, berlalu dalam waktu. Mediumnya adalah tubuh si seniman, disertai unsur penunjang lain seperti musik iringan, rias, dan busana. Seni pertunjukan mempunyai kategori seni kesatuan, yakni ruang, waktu, dan peristiwa yang berada dalam kondisi saling ketergantungan satu sama lain merupakan kreasi dari kreator yang disebut homocreator (manusia pencipta). Pada umumnya seni pertunjukan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat bersifat sosio religius. Maksudnya seni pertunjukan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan sosial, dan muncul untuk kepentingan yang erat hubungannya dengan kepercayaan masyarakat se tempat, misalnya bentuk seni pertunjukan yang beraneka ragam difungsikan masyarakat, mulai dari untuk kepentingan ritual, hiburan, dan tontonan atau apresiasi estetis. Upacara ritual atau upacara daur hidup yang masih diselenggarakan di daerah Sunda, Jawa, Bali, antara lain seperti ‘ruwatan’ agar terbebas dari kesialan hidup /sengkala (bahasa Jawa); upacara tedak siti (turun tanah bayi berumur 7 bulan) dengan harapan sang bayi agar selalu berjalan pada jalan yang penuh kebajikan; upacara ‘siraman pengantin’ agar pengantin bersih dari segala kotorankotoran dunia; dan lain sebagainya. Karya Tari Kembang Ligar dan tari Kelangan, merupakan hasil eksplorasi gerak yang disusun untuk tari tontonan, di mana ada jarak antara pelaku budaya (penari) dan penonton.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 85
Kembang Ligar mempunyai arti bunga yang sedang mekar, indah merekah harum serta banyak dikagumi oleh masyarakat. Dalam arti menggambarkan gadis yang tengah menginjak remaja, cantik molek menarik bagi siapa saja yang melihatnya, serta selalu memimpikan hal yang indah-indah. Filosofinya yaitu bunga yang sedang mekar menggambarkan manusia seyogyanya ibarat bunga yang selalu harum mewangi mengharumi alam sekitar, dalam arti manusia harus berbagi kebaikan. Tipe tari Kembang Ligar termasuk pada tipe tari murni, tipe tari liris, dan tipe tari dramatik. Tipe tari murni dapat dilihat dari tariannya yang lebih mementingkan keindahan gerak, kegembiraan, dan perasaan ceria yang berasal dari rangsang kinestetik (dalam hal ini rangsang kinestetik gerak Pencak Silat Nampon Trirasa. Adapun tipe tari liris, dapat dilihat dari kualitas gerakan yang ringan, dalam arti tipe gerak murni namun lebih berkosentrasi pada kualitas gerak ritmis melodis atau gerak dan lagu dengan iringan melodis. Biasanya diilhami oleh rangsang musik (dalam hal ini, iringan kendang dan intrumen bentuk tari Sunda gaya klasik menjadi dominan untuk mendukung setiap motif gerak). Sedangkan tipe tari dramatik, dalam tariannya mengungkapkan perasan-perasan, gembira, ceria dan berbunga-bunga, namun lebih diungkapkan secara rampak (tarian bersama). Tari Kelangan Menggambarkan ‘citra diri manusia masa kini’, yang terkadang lupa akan nilai-nilai hakiki. Berbuat yang berlawanan dengan hati nurani. Akibatnya kehilangan jati diri, resah, dan gelisah selalu menghantui. Dengan semangat untuk memperbaiki diri akhirnya berserah pada Sang Ilahi, memohon jalan yang lapang untuk bekal kehidupan di masa yang akan datang. Filosofisnya yaitu memberikan spririt, seyogyanya manusia jangan lupa diri dengan kebahagiaan semu. Apabila itu terjadi berakibat akan kehilangan jati diri, oleh karenanya senantiasa mengingat makna hidup dan selalu bersyukur kepada sang Khalik. Tipe tari Kelangan termasuk pada tipe tari murni, tipe tari liris, dan tipe tari dramatik. Tipe tari murni dapat dilihat dari tariannya yang lebih mementingkan keindahan gerak, kegembiraan, ceria yang berasal dari rangsang kinestetik (dalam hal ini rangsang kinestetik gerak Pencak Silat Nampon Trirasa. Adapun tipe tari liris, dapat dilihat dari kualitas gerakan yang ringan, dalam arti tipe gerak murni namun lebih berkosentrasi pada kualitas gerak ritmis melodis atau gerak dan lagu dengan iringan melodis. Biasanya diilhami oleh rangsang musik (dalam hal ini, iringan kendang dan intrumen bentuk tari Sunda gaya klasik menjadi dominan untuk mendukung setiap motif gerak). Sedangkan tipe tari dramatik, dalam tariannya mengungkapkan perasan-perasan, sedih, cemas, waspada, pasrah, gembira, ceria, semangat, namun lebih diungkapkan secara rampak (tarian bersama).
PENUTUP Pada dasarnya jurus gerak Pencak Silat Nampon dapat menjadi sumber gerak tari bergaya Klasik dan bergaya Jaipongan. Jurus yang dijadikan sumber dipilih dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan koreografi dengan mengedepankan nilai-nilai pengembangan karakter, yakni: tari Kembang Ligar mengandung pesan: manusia harus senantiasa indah dalam hubungan dengan sesama, saling mengharumi ibarat buka yang sedang mekar harumnya menyebar ke setiap penjuru. Begitu pula tari Kelangan mengandung pesan: bahwa manusia jangan sampai kehilangan jati diri, harus mempunyai prinsip, tekad yang kuat dalam menjalankan kebajikan.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 86
Tari Kembang Ligar dan Tari Kelangan dalam proses penciptaan mengalami beberapa kali perubahan, terutama di dalam pemilihan ragam gerak dan durasi, yang akhirnya menghasilkan 3 macam model tari yang diselaraskan dengan durasi, yakni delapan (8) menit, enam (6) menit, dan tiga (3) menit. Adanya perbedaan durasi tentu saja menjadikan perbedaan perbendaharaan gerak, akan tetapi esensi nilai dari tema dan filosofi tari tetap tidak berubah. Tiga macam model tersebut sebagai akibat kepentingan bersosialisi di masyarakat, yang diselarakan dengan ivent penyelenggaraan, yakni pada Acara ‘ 24 Jam Menari ‘ yang diadakan di kampus ISI Surakarta 2013 Tarian menggunakan model yang berdurasi 8 menit. Pada Acara Welcome Dance Presiden pada acara Hari Guru Nasional di Sentul Jakarta menggunakan model yang berdurasi 6 menit, dan pada acara Simposium ‘World Forum Cultural’ di Bali menggunakan model tari yang berdurasi 3 menit. Begitu pula jumlah penari, Tari Kembang Ligar konsep awal ditarikan oleh 4 orang penari simbol dari Bunga yang selalu mengharumi ke 4 arah:utara, selatan, bafrat dan timur, adapun tari Kelangan ditarikan oleh 5 orang penari dengan konsep awal dari sila Panca-Sila, menjadi manusia yang menjujunng tinggi nilai-nilai Pancasila (menjadi manusia yang mempunyai kepribadian sempurna). Namun demikian ketika disajikan dengan kepentingan acara, serta luas panggung bisa disesuaikan menjadi 3 orang, 4 orang, 6 orang, bahkan pada ‘Well Come Dance Presiden pada Hari Guru Nasional 2012’, menjadi 23 orang, disesuaikan dengan luas panggung pertunjukan Convention Hall Sentul Bogor Jabar yang ukuran panggungnya sangat luas. DAFTAR PUSTAKA Caturwati ,Endang. 2007. Tari di Tatar Sunda, Bandung: Sunan Ambu Press’. _______________. 2008. Tari Karian: Model PembelajaranTari Anak-anak di Daerah, Jawa Barat. Davidoff, Linda L. 1988 . Psikolog Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga. Ellfeld, Luis. 1977. A Primer for Choreografer. Terjemahan Sal Mugiyanto, Pedoman Dosen Penata Tari. Jakarta: Lembaga kesenian. Hadi, Y. Sumandiyo. 1982. . Pengantar Kreativitas Tari, Projek Pengembangan IKJ, Yogyakarta: Sub Bagian Projek ASTI. Hawskins, Alma M. 1991. Moving from Withing: A New Method for Dances Making. Terj. I.Wayan Dika 2003. Bergerak Menurut Kata Hati, Jakarta: Ford Foundation dan MSPI. Humphrey, Doris. 1964. The Art of Making Dance. New York: Rhinehert and Wiston. Jamal.MID. 1985. Filsafat dan Silsilah Aliran-Aliran Silat Minangkabau. Padang ASKI.
Panjang:
Maryono, O’ong. 2000. Pencak Silat:Merentang Waktu. Yogyakarta: Galang Press. Sumardjo, Jakob, 2011. Sunda Pola Rasionalitas Budaya. Bandung : Kelir. .2010. Estetika Paradoks, Bandung : Sunan Ambu Pres. Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 87
Waridi dan H. Bambang Murtiyoso. 2005. Seni Pertunjukan Indonesia: Menimbang Pendekatan etnik Nusantara, Prodram Pendidikan Pascasarjana STSI Surakarta. Sumber Lain (Jurnal) : Caturwati, Endang.2008. “Tari Kariaan: Studi Eksperimen Model Pembelajaran Tari Anak-anak di daerah Subang Jawa Barat” Panggung Jurnal Ilmiah Seni& Budaya Terakreditasi DIKTI/Kep/2005 No.18 N0.2 April-Juni , STSI Bandung, September.STSI Bandung. Mulyana, Edi. 2007. “Model Kreativitas Gugum Gumbira” Panggung Jurnal Imiah Seni& Budaya Terakreditasi DIKTI/Kep/2005 No.17 N0.1 Pebruari-Mei , STSI Bandung. Suanda, Endo.2007. “ Kearifan Lokal dalam Konteks Globalisasi: Peluang dan Tantangan” Panggung Jurnal Imiah Seni& Budaya Terakreditasi DIKTI/Kep/2005 No.17 N0.3 Oktober-Desember. STSI Bandung. Suganda, Dadang. 2007. “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Seni Tradisi “ Panggung- Jurnal Imiah Seni& Budaya Terakreditasi DIKTI/Kep/2005 No.17 N0.2 Juni-September, STSI Bandung. Piliang, Yasraf Amir, 2007 “ Seni Pertunjukan Tradisi dalam Peta Seni Pos-modernisme” Panggung- Jurnal Imiah Seni& Budaya Terakreditasi DIKTI/Kep/2005 No.17 N0.2 Juni-September, STSI Bandung. Waridi. 2008. “ Penelitian dan Kekaryaan Seni di Perguruan Tinggi Seni: Antara Konsep dan Metodologi” Panggung Jurnal Imiah Seni& Budaya Terakreditasi o.55/DIKT/Kep/2005 Vol.18 No.3 Juli.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 88
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT ADAT JAWA BARAT BERBASIS AKTIVITAS SENI BUDAYA LOKAL MENUJU HARMONI SOSIAL. M. Yusuf Wiradiredja, Een Herdiani, Nur Rochmat ABSTRAK Batik merupakan salah satu potensi yang dimiliki komunitas Masyarakat Adat Paseban Cigugur Kuningan. Motif-motif atau nama-nama corak batiknya sangat unik. Namun, keunikan dari motif dan corak batik tersebut belum dikenal masyarakat secara luas. Oleh sebab itu, batik menjadi salah satu fokus penelitian kami dengan cara membuat model kemasan tari batik yang kemudian disebarkan ke masyarakat. Model tarian ini diberi judul “Tari Batik Sekar Galuh.” Diharapkan model tari batik ini dapat diajarkan kepada masyarakat Kuningan dalam rangka merekatkan hubungan antara masyarakat adat Paseban dan masyarakat umum. Di samping itu, batik memiliki potensi tinggi untuk dikembangkan menjadi aset daerah yang menjanjikan. Kata Kunci: Tari Batik, pemberdayaan, Masyarakat Paseban PENDAHULUAN Seni sebagai salah satu unsur kebudayaan dapat menjadi pemersatu masyarakat. Aktivitas seni budaya pada masyarakat adat Jawa Barat seolah menjadi suatu kewajiban yang rutin dilaksanakan setiap tahun. Upacara-upacara kesuburan masih tetap dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil pertanian yang melimpah ruah. Aktivitas dan bentuk kesenian yang dihadirkan selalu berkaitan dengan konfigurasi sosial yang dipolakan secara kultural sesuai dengan kebudayaan dan adat istiadatnya. Dalam memahami seni budaya lokal diperlukan pemahaman sesuai dengan konteks adat tradisi masyarakatnya. Sering kali orang beranggapan bahwa seni budaya lokal tidak sesuai dengan tuntutan zaman, sehingga banyak terjadi kasus seni lokal itu hilang ditelan zaman. Padahal setiap seni budaya lokal memiliki fungsi dan makna yang berbeda-beda di setiap suku bangsa. Seperti diungkapkan Malinowski dalam Koentjaraningrat (1987) bahwa segala aktivitas kebudayaan bertujuan untuk memuaskan kebutuhan naluri manusia yang berkaitan dengan kehidupannya. Demikian pula halnya yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Paseban Cigugur yang berada di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Masyarakat adat Paseban merupakan salah satu dari beberapa komunitas masyarakat adat di Jawa Barat yang konsisten melakukan aktivitas tersebut. Sudah sejak lama komunitas ini membuat sebuah aktivitas seni budaya yang dinamakan Seren Taun yang dilaksanakan satu tahun sekali. Acara Seren Taun biasa dihadiri para pengunjung dari berbagai kalangan, yaitu dari unsur masyarakat, aparat pemerintah daerah, pemangku agama, seniman, petani, dan para pedagang yang dihibur oleh berbagai pertunjukan kesenian seperti: seni tari, kacapi suling, wayang golek, rengkong, angklung buncis, gondang, dan ngalisung. Dari sekian banyak ragam seni yang ditampilkan, ada satu bentuk seni yang luput dari perhatian kita yaitu seni membatik. Batik dan peralatannya hanya dipamerkan saja di salah satu sudut tempat berlangsungnya kegiatan Seren Taun tanpa ada sentuhan lain yang mungkin dapat menarik perhatian masyarakat. Padahal, potensi batik dewasa ini dapat menjadi komoditi ekonomi yang menjanjikan. Dari hasil penelitian di dalam Masyarakat Adat Paseban ini terdapat
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 89
berbagai macam motif batik yang pernah dibuat oleh para leluhurnya. Motif-motif yang ada memiliki kekhasan yang tentunya berbeda dengan motif batik daerah-daerah lain. Dalam beberapa tahun ini, Rama Djati (sesepuh dari komunitas tersebut) sedang berupaya menggali dan mengembangkan batik Cigugur untuk diperkenalkan dan disebarluaskan kepada masyarakat umum. Dari hasil penggalian kembali yang sudah dilakukan sejak tahun 2005 oleh Rama Djati dan putra putrinya telah ditemukan sepuluh motif batik. Namun dalam kesempatan Seren Taun itu, batik belum disentuh serius untuk dipublikasikan. Hal inilah yang menjadi permasalahan di mana batik sebagai salah satu aset yang dimiliki oleh masyarakat Adat Paseban belum banyak diketahui masyarakat umum. Berdasarkan fenomena tersebut permasalah yang diangkat adalah: (1) bagaimana membuat model pemberdayaan masyarakat berbasis aktivitas seni budaya lokal; (2) bagaimana meningkatkan perekonomian masyarakat melalui seni batik; dan (3) bagaimana meningkatkan sadar budaya dan apresiasi masyarakat terhadap seni tradisional masyarakat;serta (4) bagaimana meningkatkan kesadaran pentingnya jalinan harmoni sosial melalui aktivitas seni budaya lokal. Tujuan jangka panjang penelitian ini adalah: (1) mengharmoniskan interaksi sosial masyarakat adat Paseban dengan masyarakat sekelilingnya; (2) meningkatkan perekonomian masyarakat Paseban dan masyarakat sekelilingnya yang berbasis seni budaya; (3) menumbuhkan apresiasi generasi muda terhadap budayanya; serta (4) meningkatkan perekonomian masyarakat berbasis aktivitas seni budaya lokal. Sementara tujuan jangka pendeknya adalah: (1) menemukan model pemberdayaan masyarakat berbasis aktivitas seni budaya lokal; (2) bagaimana meningkatkan perekonomian masyarakat; dan (3) bagaimana meningkatkan sadar budaya dan apresiasi masyarakat terhadap seni tradisional masyarakat; serta (4) bagaimana meningkatkan kesadaran pentingnya jalinan harmoni sosial melalui aktivitas seni budaya lokal. Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen. Melalui metode ini peneliti melakukan kegiatan percobaan untuk melihat suatu hasil. Tujuan dari eksperimen ini bukan untuk mendeskripsikan data melainkan pada penemuan faktor-faktor penyebab dan akibat (Surachmad, 1980: 149). Dalam hubungannya dengan kegiatan seni khususnya tari, metode eksperimen ini dituangkan dengan percobaan-percobaan pelalui eksplorasi khususnya eksplorasi gerak dari objek yang diangkat untuk mewujudkan susunan tari atau koreografi. Dalam menunjang metode eksperimen itu peneliti juga melakukan observasi, mewawancarai narasumber, dan merekam berbagai aktivitas seni budaya secara visual maupun audio visual. Selanjutnya dilakukan observasi untuk mendapatkan data aktivitas seni budaya yang dilakukan dalam masyarakat Adat Paseban. Wawancara dilakukan secara terstruktur maupun tidak terstruktur kepada pengelola sentra budaya, seniman sebagai pelaku kegiatan seni budaya, masyarakat pendukung, pejabat terkait di wilayah sentra-sentra seni wisata, dan masyarakat sekitarnya yang berperan mendukung seni wisata. Kegiatan-kegiatan di lapangan selalu dibarengi dengan perekaman oleh kamera photo dan video. PEMBAHASAN Masyarakat Adat Paseban Cigugur Kuningan merupakan salah satu kelompok masyarakat adat yang mewarisi tradisi dari keturunan Kyai Madrais. Kyai Madrais adalah seorang keturunan Cirebon yang menyebarkan ajarannya yang disebut agama Jawa Sunda. Seni dalam komunitas Masyarakat adat Paseban menjadi salah satu unsur yang diusung untuk tetap dilestarikan, karena dianggap memiliki nilai-nilai lokal genius yang tidak ternilai. Beberapa bentuk kesenian yang masih terpelihara di antaranya adalah Tembang Sunda Cianjuran, Gamelan Monggang Paseban, tari-tarian Paseban, dan batik. Dari semua jenis kesenian Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 90
tersebut terdapat kelompok-kelompok khusus, demikian halnya dengan kelompok pengrajin batik. Semua kelompok seni tersebut tergabung dalam sanggar seni “Purwawirahma” yang anggota senimannya diperkirakan berjumlah lima puluh orang. Keberadaan kelompok tari dapat dikatakan lebih maju bila dibandingkan dengan kelompok lainnya. Anggotanya pun cukup banyak, terutama kaum perempuan. Salah satu tarian khusus yang sangat terkenal di Cigugur adalah Tari Buyung, yaitu tarian yang menggunakan properti buyung. Jumlah penari Buyung mencapai ratusan, namun ditampilkan silih berganti sesuai dengan kebutuhan. Banyak penari yang mengundurkan diri ketika mereka sudah menikah. Namun demikian selalu datang lagi pengganti dari generasi yang baru. Usia para penari Buyung antara 13-24 tahun. Pada umumnya mereka usia sekolah SMP dan SMA. Kadang ada pula ibu rumah tangga yang masih usia muda. Biasanya sekali pentas Tari Buyung dalam ritual Seren Tahun bisa mencapai enam puluh penari. Tarian ini menjadi tarian khas yang sering kali menjadi harapan dan cita-cita anak-anak kecil yang masih bersekolah di SD. Dari hasil wawancara terhadap beberapa anak kecil diketahui bahwa mereka memiliki cita-cita menjadi seorang penari yaitu penari Tari Buyung. Alasan pasti mengapa mereka bercita-cita ingin menjadi penari karena Tari Buyung menjadi tarian khas yang selalu disajikan dalam upacara adat Seren Tahun yang digelar pada setiap satu tahun satu kali. Sajian ini selalu ditonton masyarakat luas. Selain itu, terdapat pula jenis tari lain yaitu Tari Badaya Gebang, namun tarian ini belum populer karena hanya digelar dalam event-event tertentu. Kendati bentuk-bentuk kesenian yang terus dilestarikan hanya beberapa bentuk, tetapi ketika pelaksanaan Seren Taun beberapa kesenian rakyat dihadirkan di sana seperti Rengkong, Angklung Buncis, Wayang Golek, dan sebagainya. Melihat berbagai fenomena yang terjadi dalam kehidupan berbudaya Masyarakat Adat Paseban Cigugur, terdapat sebuah peristiwa penting yang harus diangkat untuk dijadikan sebuah konsep dan model dari seni lokal untuk menciptakan interaksi sosial yang harmoni. Kegiatan membatik pada masyarakat ini menarik perhatian tim peneliti untuk diangkat sebagai sumber penggarapan karya yang nantinya akan disebarkan pada masyarakat luas. Berbagai motif batik mulai dikembangkan oleh pengrajin batik masyarakat Paseban. Sejak tahun 1992 masyarakat adat ini menemukan motif-motif batik gaya Cigugur yang sudah dibuat oleh para nenek moyangnya yang tersimpan sebagai benda peninggalan mereka. Kemudian Rama Djatikusumah mencoba mengungkap lebih teliti dan menuangkan motif-motif yang ditemukan ke dalam karya yang nyata. Berbagai motif telah dicoba diangkat sehingga terwujudlah sepuluh (10) motif batik dari hasil revitalisasi dan rekonstruksi para ahli batik di Paseban, terutama Rama Djati itu sendiri. Adapun nama motif-motif batik yang ditemukan adalah sebagai berikut. (1) Mayang Segara, (2) Oyod Mingmang, (3) Sekar Galuh, (4) Rereng Kujang, (5) Kadatuan, (6) Gagang Senggang, (7) Geger Sunten, (8) Sekar Kancana, (9) Adu Manis, dan (10) Rereng Powahaci. Keragaman batik tersebut belum dikenal oleh masyarakat banyak. Sejak tahu 2005 batik Cigugur mulai diujikan dan diproduksi namun hanya kalangan tertentu yang mengetahuinya. Maka kesempatan ini sangat baik bila ditindaklanjuti dengan mengangkat batik sebagai sebuah strategi untuk membuat model sebuah tarian yang nantinya diharapkan terjalinnya interaksi sosial di antara masyarakat Paseban Cigugur dengan masyarakat Kuningan pada umumnya. Strategi pemberdayaan batik ini adalah dengan membuat sebuah tarian yaitu tari Batik agar nantinya batik Paseban dapat dikenal oleh masyarakat luas. Tarian yang telah disusun tersebut diberi judul “Tari Batik Sekar Galuh”. Nama Tarian ini menggambarkan sebuah bunga yang terus mewangi sebagai simbol tradisi yang hidup dan menghidupi dengan keharumannya. Tarian ini diiringi oleh musik gamelan monggang, gamelan buhun yang dimiliki komunitas adat masyarakat Paseban secara turun temurun. Adapun iringan
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 91
tariannya menggunakan lagu Gunungsari yang ditata kembali sesuai dengan kebutuhan gerak tari. Tari Batik Sekar Galuh kemudian dipertunjukkan dalam upacara tahunan Seren Tahun yang digelar tahun 2012. Tarian ini kemudian diresmikan oleh Rama Djati sebagai tarian baru sebagai tarian khas seperti Tari Buyung. Tarian yang dikemas ini selanjutnya diharapkan akan dijadikan materi pertunjukan sebagai ciri khas tarian daerah Cigugur Kuningan. Dalam proses penggarapan tarian ini sementara dilatihkan kepada lima orang penari. Di antaranya yaitu Wiwit, Citra, Tresna, Nani, dan Wina. Penggarapan koreografi, musik, maupun kostum memberdayakan apa pun yang ada dalam komunitas tersebut. Kostum yang digunakan oleh para penari adalah apok, kain batik, ikat pinggang, serta bersanggul cepol yang diberi hiasan rambut. Properti yang digunakan adalah kain batik yang berbeda corak, motif, dan warna. Kain batik yang digunakan semuanya adalah jenis kain yang telah dibuat oleh para perajin batik pada masyarakat Adat Paseban.
Gambar 1. Saat pertunjukan tari Batik Sekar Galuh Sebuah kemasan garapan tari berbasis aktivitas budaya lokal
Dari kegiatan penelitian ini ada indikator peningkatan terhadap sumber daya manusia. Seperti kreator dari kelompok “Purwawirahma” ini yaitu Djuwita Djati yang pada saat penelitian dijadikan rekan untuk bereksplorasi menganggap penelitian ini penting sehingga dapat meningkatkan kemampuan dirinya dalam mengkemas sebuah tarian yang dapat memiliki nilai jual. Demikian halnya para penari yang dilatihkan mendapat peningkatan kemampuan menari yang lebih baik. Adanya penelitian ini meningkatkan industri kreatif dari para pelakunya. Karya-karya yang sudah ada dan sudah lama hanya itu-itu saja kini ditambah dengan tari Batik yang dapat lebih mempopulerkan karya barunya juga mempopulerkan batik yang sedang dikembangkan oleh masyarakat adat Paseban Cigugur. Dengan adanya sentuhan dari tim peneliti dalam melakukan kegiatan ini, telah tampak ada semangat baru untuk berkreasi, baik dari pimpinan sanggar tersebut maupun dari para penarinya. Semangat ini akan meningkatkan produktivitas kreasi-kreasi baru yang ingin dikembangkan oleh mereka. Dengan semangat baru itu kemungkinan besar akan adanya
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 92
peningkatan ekonomi karena dapat meningkatnya frekuensi pemanggungan mereka. Bahkan kemungkinan besar pada tahun mendatang merekalah yang akan melatihkan tarian ini kepada masyarakat, baik ke sanggar-sanggar tari maupun ke sekolah-sekolah tingkat menengah pertama dan atas. PENUTUP Dari hasil eksperimen yang dilakukan peneliti, maka terwujudlah sebuah tarian berjudul Tari Batik Sekar Galuh yang kemudian dijadikan model pengkemasan seni untuk diterapkan dan disosialisasikan kepada masyarakat melalui sanggar-sanggar tari maupun melalui pendidikan formal di beberapa sekolah di daerah Kuningan. Hal ini dilakukan sebagai upaya pemberdayaan seni berbasis aktivitas budaya lokal. Dengan cara seperti itu, diharapkan seni tari yang sumbernya diangkat dari kekayaan seni daerah itu sendiri dapat disukai oleh masyarakat banyak. Akan juga terjalin hubungan yang erat secara tidak langsung antara masyarakat Paseban dan masyarakat umum di Kuningan. Aktivitas membatik diangkat sebagai sumber utama. Hal ini berkaitan dengan tujuan berikutnya yaitu untuk meningkatkan perekonomian masyarakat Paseban dan masyarakat sekelilingnya yang berbasis seni budaya. Peningkatan perekonomian ini adalah ketika masyarakat luas telah mengenal batik yang dimiliki masyarakat Paseban, maka Batik Paseban akan menjadi bahan komoditi yang dapat dijual pada masyarakat luas. Selanjutnya masyarakat juga diberi apresiasi tentang kekayaan batik yang dimiliki masyarakat Paseban sebagai warisan budaya nenek moyangnya. Dengan diperkenalkan kepada masyarakat melalui tarian hal ini dapat menumbuhkan apresiasi generasi muda terhadap potensi budaya daerahnya, serta meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya jalinan harmoni sosial melalui aktivitas seni budaya lokal. DAFTAR PUSTAKA Buana, Tedja, tth. Agama Jawa Sunda (Madraisme). Kuningan: Yayasan Tri Mulya. Djatikusuma, Pangeran Buana, Tedja, 1979 Gedung Paseban Tri Panca Tunggal Cigugur Kuningan. Kuningan: Yayasan Tri Mulya. Hernawan, Wawan. 2005. Komunikasi Atarumat Berbeda Agama: Studi Kasus Sikap Sosial dalam Keragaman Beragama di Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Disertasi. Bandung: Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran. Indrawarhana, Ira. 2009. Komunikasi Budaya Masyarakat Berbeda Keyakinan sebagai Peserta Upacara Adat Seren Taun di Cigugur Kuningan Jawa Barat. Bandung: Tesis, Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran. Koentjaraningrat. 1958. Metode-metode Antropologi dalam Penyelidikan-Penyelidikan Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia. (Sebuah Ichtisar) Djakarta: Universitas Indonesia. Nursananingrat, Basuki. 1964. “Purwawisada Agama Sunda” (Manuskrip). Bandung.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 93
Rosidin, Didin Nurul.2000. Kebatinan, Islam, and The State: The Dissolution of Madrais in 1964. Leiden: Tesis at Faculties of Art and Theology Leiden University. Subiantoro, Ign. Herry. 2002. Upacara Seren Taun Sebuah Ritual Keagamaan di Cigugur Kuningan Jawa Barat. Yogyakarta: Tesis Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Soekanto, Soerjono. 1986. Talcot Parson: Fungsionalisme Imperatif. Jakarta: Rajawali. Stake. 1995. R. E., TheArt of CaseStudyResearch. California: Sage Publications, Inc. Surakhmad, Winarno. 1980. Tarsito.
Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, Teknik, Bandung:
Sumber Lain (Internet): Muflich, Ayip. Tth. “Masalah dan Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat dalam Mendukung Ketahanan Pangan” http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/Pros_AYIP_06.pdf.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 94
DISERTASI DOKTOR
DESAIN PENGEMASAN INFORMASI CAGAR BUDAYA ORGANISASI “BANDUNG HERITAGE SOCIETY” SEBAGAI UPAYA PENYELAMATAN ASET BERHARGA DI KOTA BANDUNG Enok Wartika ABSTRAK Penelitian dengan judul “Desain Pengemasan Informasi Cagar Budaya oleh Bandung Heritage Society Sebagai Upaya Penyelamatan Aset di Kota Bandung”, merupakan sub bahasan yang akan ditelaah dalam penelitian disertasi yang sedang di laksanakan oleh pengusul. Penelitian ini sangat penting untuk diajukan mengingat fenomena menunjukan bahwa warisan cagar budaya yang umumnya memilliki keunikan, keindahan, nilai sejarah, maupun fungsi dan makna tertentu bagi masyarakat pemiliknya banyak yang terlantar, rusak bahkan punah.Hal ini banyak terjadi di kota-kota besar salah satunya terjadi di kota Bandung.Jika dibiarkan, masyarakat tidak bisa lagi menyaksikan dan mengetahui nilai-nilai sejarah bangsa dan negaranya. Padahal asset bangsa ini bisa dijadikan sebagai sumberi nformasi, kajian seni budaya dan sumber pengetahuan untuk generasi berikutnya. Bandung sejak lama dikenal sebagai kota laboratorium arsitektur paling lengkap karena banyak memiliki peninggalan bangunan indah dan unik. Namun, tidak banyak yang mengetahui kekayaan aset cagar budaya kota Bandung karena miskinnya informasi. Hal ini telah memotivasi pengusul untuk mengkaji berbagai informasi yang telah ada yang disusun oleh organisasi pencinta cagar budaya yang telah diketahui banyak kalangan berkomitmen menjaga kelestariannya yaitu organisasi sosial kemasyarakatan “Bandung Heritage Society”. Organisasi ini menjadi parner pemerintah kota dalam memberi berbagai kajian dan masukan berkaitan dengan eksistensi cagar budaya kota Bandung.Berbagai jenis media yang digunakan, gaya penyajian, hambatan, pengolahan informasi cagar budaya dan lain-lain akan pengusul kaji secara komprehensif. Sesuai dengan tujuannya bahwa penelitian merupakan usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu peristiwa dengan menggunakan metode ilmiah. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatifdengan metode studi kasus sehingga diharapkan dapat memperoleh data secara mendetail dan mendalam. Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan dan kajian untuk dipergunakan dalam memperbaiki desain informasi yang tepat dan sesuai dengan situasi serta kondisi kota Bandung dalam mengatasi kerusakan kekayaan cagar budaya dan lingkungan yang menitarinya. Cagar budaya seharusnya dilestarikan secara tepat dan benar sehingga menjadi aset pariwisata budaya yang sangat berharga. Kata Kunci: Informasi, cagar budaya, Penyelamatan, pariwisata.
PENDAHULUAN Kenyataan menunjukan bahwa seiring dengan perkembangan jaman yang disertai dengan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, seringkali konsep dan program pembangunan banyak berbenturan dengan situasi dan kondisi daerah sasaran pembangunan termasuk kawasan pelestarian. Dalam pelaksanaannya, proses perubahan yang dianggap baik oleh para pelaksana dan pembaharu lebih sering menitikberatkan pada masalah kemajuan ekonomi dan pembangunan fisik Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 95
semata.7 Kawasan dan bangunan warisan cagar budaya mendapat perhatian yang proporsinya tidak seimbang sehingga tidak signifikan eksistensinya ke permukaan. Hal ini banyak terjadi di kota-kota besar di Indonesia, salah satunya terjadi di kota Bandung. Sejalan dengan perjalanan panjang sejarah terbentuknya, kota Bandung dulu memperoleh banyak julukan karena keindahan dan kenyamanannya antara lain: Paradise In Exile, Bandung Excelcior, The Sleeping Beauty, De Bloem der Indische Bergsteden, Parijs van java, The Garden of Allah, Intelellectuele Centrum van Indie, Europe in de Tropen, Kota Pensiunan, Kota Permai, Kota Kembang, Kota Konferensi, Kota Pendidikan, dan Ibu Kota Asia Afrika ( Sudarsono Katam dan Lulus Abadi, 2005:7). Selain itu kota Bandung juga dikenal sebagai kota taman karena warisan penataan kota dan pelestariannya, kota laboratorium arsitektur paling lengkap karena banyak memiliki peninggalan bangunan indah dan unik, kota budaya, kota parahiangan karena kekayaan alam dan kesuburannya, dan kota pusat teknologi perkereta-apian Indonesia. Memudarnya sebutan-sebutan khas kota Bandung yang dulu sangat membanggakan masyarakatnya disebabkan berbagai perubahan yang pesat di kota Bandung. Perusakan yang mengatasnamakan pembangunan ternyata banyak menggeser dan menghancurkan peninggalan warisan budaya yang memiliki nilai seni tinggi salah satunya yang sangat nampak di kota Bandung adalah bangunan cagar budaya. Bukti sejarah panjang kota Bandung dan bangsa Indonesia pada umumnya banyak yang hilang dan sumber ilmu pengetahuan yang berharga banyak yang terabaikan. Jika kondisi ini dibiarkan maka akan mengakibatkan menurunnya rasa kebangsaan, kecintaan dan kebanggaan generasi muda karena mereka tidak bisa lagi menyaksikan dan merasakan kebudayaan bangsa yang sesungguhnya. Atas dasar permasalahan di atas maka peneliti memandang bahwa kajian mengenai desain informasi cagar budaya menarik dan penting untuk dilaksanakan. Salah satunya adalah desain informasi yang telah dilakukan oleh organisasi pencinta cagar budaya “Bandung Heritage Society”. Pengemasan informasi yang berkaitan dengan eksistensi bangunan cagar budaya kota Bandung diharapkan menjadi awal positif untuk mengokohkan keberadaan warisan bangunan cagar budaya kota. PEMBAHASAN Pendirian organisasi kemasyarakatan “Bandung Heritage Society” merupakan ide dari sekelompok orang yang memiliki pandangan sama untuk melakukan pelestarian budaya di Kota Bandung. Fakta menunjukan bahwa Bandung memiliki keunikan dibandingkan dengan Bali, Jakarta maupun Jogja sehingga sangat berpotensi untuk dijadikan salah satu tujuan pariwisata unggulan di Indonesia. Jadi, pemikiran awalnya adalah sebuah upaya untuk mempromosikan Kota Bandung dalam pemasaran dunia pariwisata. Bertepatan dengan kemunculan ide tersebut, di Kota Bandung pada waktu itu sedang terjadi penghancuran terhadap beberapa bangunan cagar budaya yang memiliki seni arsitektur indah. Sejak pendiriannya,organisasi semakin aktif melakukan berbagai aktifitas dan menjalin hubungan untuk melakukan studi banding berkaitan dengan upaya penyelamatan budaya. Hubungan ke luar negeri mulai dijalin diantaranya dengan; Singapura, Selandia Baru, Amerika Serikat dan lain-lain. Sedangkan hubungan di dalam negeri diantaranya dengan; Pemda DKI, Pemkot Bandung, Disbudpar, Goethe Institute dan secara intensif bermitra dengan Koran “Pikiran Rakyat”. Kiprah organisasi “Bandung Heritage Society” lainnya dalam penyelamatan aset cagar budaya kota Bandung direalisasikan dalam berbagai kegiatan kerja meliputi; kegiatan seminar yang bekerjasama dengan berbagai fihak, penulisan berbagai artikel yang bertema Pelestarian di harian Pikiran Rakyat, ceramah dalam pertemuan rutin bulanan yang dikoordinir oleh Ibu Harastoeti DH, menjalin hubungan Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 96
internasional yang dilaksanakan oleh Ny. Frances B. Affandy dan penerbitan “Warta Pelestarian“ yang dikelola oleh Tjioe Poo Kwat. Informasi dikemas dalam berbagai aliran komunikasi yang berlangsung di organisasi “Bandung Heritage Society”. Secara garis besar aktifitas komunikasi dalam menguatkan informasi cagar budaya terjadi di dalam berbagai kontak dan aktifitas yaitu: 1. Desain Alur Informasi dalam Komunikasi Internal Organisasi “Bandung Heritage Society”. Komunikasi internal organisasi melibatkan: a) Aliran komunikasi berdasarkan kepemimpinan yang diadopsi organisasi. Pemimpin bertindak dengan cara-cara yang memperlancar produktivitas, moral tinggi, respon yang energik, kecakapan kerja yang berkualitas, komitmen, efisiensi, sedikit kelemahan, kepuasan, kehadiran, dan kesinambungan dalam organisasi. Di dalam tubuh organisasi terjadi proses pembinaan dan pembelajaran yang mengalir seiring dengan munculnya berbagai peristiwa di kota Bandung berkaitan dengan eksistensi cagar budaya. Pemikiran lisan dan tulisan serta tindakan anggota organisasi generasi muda saling mengisi dan melengkapi dengan golongan senior. b) Aliran Informasi dalam Organisasi “Bandung Heritage Society” Menelaah aliran informasi dalam organisasi merupakan hal yang pelik karena melibatkan berbagai proses yang pelaksanaannya seringkali tumpang tindih. Hal ini juga dikemukakan oleh Pace dan Faules (2006: 170): ”Proses aliran informasi merupakan proses yang rumit karena apa yang dikemukakan dalam struktur bisa saja bukan hal yang sebenarnya terjadi…aliran informasi dapat membantu menentukan iklim dan moral organisasi yang pada gilirannya berpengaruh terhadap aliran informasi..” Realisasi aliran informasi dalam organisasi menurut Guetzkow (dalam Pace dan Faules,2006) dapat terjadi dalam tiga cara yaitu secara serentak, berurutan dan gabungan antara keduanya. c) Bentuk-Bentuk Komunikasi dalam Organisasi “Bandung Heritage Society” Realisasi komunikasi dalam organisasi “Bandung Heritage Society” menunjukan beraneka macam bentuk komunikasi. Hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa suatu organisasi merupakan perpaduan dari aktifitas personal dan aktifitas kelompok manusia yang tergabung dalam suatu organisasi. Organisasi sendiri pada dasarnya merupakan gabungan dari tindakan-tindakan, interaksi dan transaksi dalam berbagai kontek baik yang sifatnya formal maupun informal dengan melibatkan orang-orang yang jumlahnya pesertanya bervariasi. Jadi komunikasi terjadi dalam bentuk antarpersonal, kelompok dan massa. 2.
Aliran Informasi Komunikasi Eksternal a) Jaringan Komunikasi dengan Fihak Pemerintah. Berkat kerjasama yang semakin baik antara organisasi dengan Pemerintah Kota Bandung, kini masyarakat semakin memberikan kepercayaan. Masyarakat yang mulai mengerti nilai aset yang dimilikinya selalu meminta saran kepada Organisasi “Bandung Heritage Society” ketika akan menangani upaya dalam konservasi dan revitalisasi bangunan bersejarah yang dimiliki masyarakat. b) Jaringan komunikasi dengan pemilik dan pengelola bangunan cagar budaya di Kota Bandung. Organisasi “Bandung Heritage Society” menyadari bahwa untuk kiprah perjuangan yang diupayakan tidak akan berhasil jika tidak ada dukungan para pemilik dan pengelola bangunan cagar budaya. Organisasi berupaya untuk mengadakan pendekatan secara persuasif dan informatif kepada para pengelola dan pemiliki. Pendekatan dilakukan dengan berbagai strategi diantaranya melalui: seminar, pameran, dialog, publikasi melalui media massa dan penyebaran warta pelestarian organisasi. c) Jaringan komunikasi dengan masyarakat Umum. Acara-acara yang pernah digelar meliputi; wisata heritage, ruang konsultasi dan penelitian public, workshop, seminar dan lain-laim d) Jaringan komunikasi dengan media massa. Organisasi “Bandung Heritage Society” dari sejak awal berdirinya sangat mesra dengan media massa, dalam hal ini adalah media cetak Pikiran
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 97
Rakyat. Berbagai kajian pemikiran, kritikan, dan kegiatan-kegiatan organisasi banyak dimuat di harian umum Pikiran Rakyat. e) Jaringan komunikasi dengan berbagai organisasi sosial yang bergerak di bidang penyelamatan budaya dan organisasi sosial lainnya. Organisasi “Bandung Heritage Society” merupakan organisasi social kemasyarakatan yang selalu terbuka untuk menjalin kerjasama dengan berbagai fihak yang bisa memberikan manfaat untuk masyarakat. Beberapa organisasi lain yang selama ini sudah menjalin kerjasama dengan organisasi “Bandung Heritage Society” adalah meliputi: Pusat Dokumentasi Arsitektur, Ikatan Arsitektur Indonesia, World Heritage, UNESCO, ICOMOS, DACOMOMO, Indonesian Heritage Society, BPPI, Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (MADYA), American Express Bank Fondation (AMEX Bank Fondation), dan lain-lain. 3.
Media dan Strategi Komunikasi Organisasi “Bandung Heritage Society” untuk Menginformasikan Cagar Budaya Kota Bandung a) Penggunaan media massa dalam menyampaikan informasi cagar budaya dan mengumumkan berbagai kegiatan organisasi kepada masyarakat b) Mengotimalkan pemanfaatan teknologi informasi internet c) Mengoptimalkan penggunaan media social yang meliputi Facebook dan Tweeter. d) Penerbitan buku yang memuat informasi mengenai 100 bangunan cagar budaya. e) Poster. Media ini selalu didesain menyertai kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi f) Brosur yang isinya berupa warta pelestarian. Warta pelestarian ini digunakan sebagai media untuk menyampaikan berbagai informasi berkaitan dengan organisasi. g) Pengiriman surat langsung secara personal baik melalui undangan darat maupun via facebook dan tweeter untuk menghadiri pertemuan bulanan atau ajakan untuk berkontribusi dalam kegiatan organisasi h) Konprensi Pers. Aktivitas mengundang media ini sering dilakukan oleh organisasi berkaitan dengan kegiatan yang akan dilaksanakan organisasi i) Pameran koleksi foto dan sketsa berbagai bangunan cagar budaya dalam berbagai event
Bukti lainnya yang terlihat dan bisa disaksikan secara langsung desain informasi yang dibuat tertuang dalam beberapa koleksi dan dokumentasi berbagai kegiatan yang telah dilaksanakan yaitu meliputi: (1) Penyusunan Buku, (2) Pembangunan Stilasi, (3) Koleksi Foto-Foto Bangunan Cagar Budaya, (4) Workshop dan Pameran, (5) Pemberian Penghargaan Pada Pengelola Cagar Budaya, (6) Ruang Konsultasi Publik, (7) Pertemuan Rutin Anggota, (8) Koleksi berbagai referensi Bacaan, (9) Wisata Sejarah Kota Bandung, (10) Melakukan Siaran melalui media massa, (11) Organisasi Goes to School, dan lain-lain.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 98
PENUTUP Peneliti tertarik untuk membahas desain organisasi cagar budaya yang dibuat dan dilaksanakan organisasi “Bandung Heritage Society” karena organisasi ini unik dan memiliki idealisme yang tinggi. Anggotanya penuh semangat untuk melakukan berbagai upaya penyelamatan aset kota Bandung berupa bangunan cagar budaya yang indah dan langka namun banyak yang terabaikan bahkan beberapa sudah rusak dan punah. Peneliti berharap hasil yang dicapai dalam penelitian ini dapat memberikan manfaat sehingga bisa dijadikan salah satu rujukan bagi masyarakat atau organisasi social lain yang memiliki perhatian serupa terhadap kekayaan cagar budaya dimanapun adanya. Dengan demikian kekayaan cagar budaya dapat mendapatkan tempat yang baik di hati masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA Alwasilah A. Chaedar, 2003, Pokoknya Kualitatif, Jakarta, Kiblat Buku Utama Arikunto, Suharsimi, 1998, Prosedur Penelitian, Jakarta, Rineka Cipta Azwar, Saiffudin, 2000, Reliabilitas dan Validitas, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Baldwin, John.R at all, 2003, Communication Theories For Everyday Life, Boston, Pearson Barker, Chris, 2004, Cultural Studies: Teori dan Praktek, Yogjakarta, Kreasi wacana Bakker, SJ, 1984, Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar, Jakarta, Kanisius Bellone, J, Carl, 1980, Organization Theory and the New Public Administration, Boston, Allyn and Bacon Inc. Bogdan, Robert C and Sari Knopp Biklen, 1982, Qualitative Research for Education, Boston, Allyn and Bacon, Inc. Budihardjo, Eko, 1993, Kota Berwawasan Lingkungan, Bandung, Alumni -------------------, 1997, Arsitektur Pembangunan dan Konservasi, Jogja, Gajah Mada Univ. Press Charon, Joel, 1997, Sociology: A Brief Introduction. New York: Longman. Cresswell, John W, 1998, Research Design Qualitative & Quantitative Approach, London, Sage Publikations Davis, K & JW Newstron, 1990, Perilaku Dalam Oraganisasi (Terjemahan), Erlangga, Jakarta Devito, Joseph, 1991, Human Communication the Basic Course, New York, Harver Collins Publihers. Dobby, 1978, Concervation and Planning, London, Lutchinson
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 99
Effendy, Onong U, 1992, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung, Remadja Rosda Karya. Eoh Jeni, 2001, ”Pengaruh Budaya Perusahaan, Gaya Manajemen dan Pengembangan Tim Terhadap Kinerja Karyawan (Studi Kasus di PT Semen Gersik dan PT. Semen Padang)” , Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta Etzioni, Amitai, 1985, Organisasi-Organisasi Moderen, (Trj. Suryatim), Jakarta, UI Press Fisher, B. Aubrey, 1986, Persfectives on Human Communication atau Teori-Teori Komunikasi (terj. Jalaluddin Rakhmat), Bandung, Remaja Rosdakarya Fiske, John, (Ter. Yosal Iriantara) 1990, Kultural and Communication Studies, Bandung, Jalasutra Gannon, Martinj, 1979, Organization Behavior A Managerial and Organization Perspective, Canada, Little Brown and Company Gibson, Whithney Jane, 1989, Organizational Communication A Managerial Perspective, New York, Harper Collins Publishers Giddens, Anthony, 1995, The Constitution of Society (Trj.Adi Loka Sujono), UK, Polity Press Cambrige Golberg, Alvin A. dan Carl E. Larson, 1985, Komunikasi Kelompok, Jakarta, UI Press Griffin, E. M, 2006, A First Look At Communication Theory, Sixth Edition, New York, Mc Graw Hill Guba Egon dan Yvonna Lincoln, 1994, Competing Paradigms in Qualitative Research, Thousand oaks, sage Hardjasaputra, Sobana, 2006. Situs dan Benda Cagar Budaya di Purwakarta serta Upaya Pelestariannya. Bandung Harris E. Thomas, Nelson D. Mark, 2008, Applied Organizational Communication, New York, Lawrence Erlbaum Associates Kaye, Michael, 1994, Communication Management”, Sidney Australia, Prentice Hall Katam Sudarsono, Abadi Lulus, 2005, Album Badoeng Tempo Doeloe, Bandung, Navress Indonesia Kincaid, Lawrence D., 1984, Azas-Azas Komunikasi Antar Manusia, Jakarta, East-West Communication Institute dan LP3ES. Koentjaraningrat, 1986, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta, Dian Rakyat ---------------------, 1992, Antropologi Sosial, Jakarta, Dian Rakyat Krech, Crutchfield, and Ballachey, 1962, Individual in Society, Berkeley, Mc Graw-Hill, Kogakusya Ltd. Kuswarno, Engkus, 2009, Fenomenologi, Konsepsi, Pedoman dan Contoh Penelitian, Bandung, Widya Padjadjaran Liliweri, Alo, 1997, Komunikasi Antarpribadi, Bandung, Citra Aditya Bhakti. Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 100
Littlejohn, Stephen, 1996, Theories of Human Communcation, Edisi ke 5, California Wadsward, Belmont. Littlejohn, Stephen, 2009, Teori Komunikasi: Theories of Human Communication, (Trj. Muhamad Yusuf Hamdan, Edisi ke 9, Jakarta, Salemba Humanika Luthans, Fred, 1985, Organizational Behavioral, Fifth Edition, California, McGraw Hill International. Mabry, Edward A. Richard E. Barnes, The Dinamics of Small Group Communication, Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall Inc. Mangopo Angi, Eddy, 2005, Kebijakan Pemerintah Pusat di Bidang Konservasi dari Perspektif Daerah dan Masyarakat (Studi Kasus Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur), Jakarta, Center for International Forestry Research Mulyana, Deddy, 2001, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung, Remaja Rosda Karya. --------------------, 2007, Metode Penelitian Komunikasi, Bandung, Remaja Rosda Karya --------------------, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosda Karya Pace, R. Wayne & Faules, Don, F, 2002, Komunikasi Organisasi, (Terj. Deddy Mulyana), Bandung, Remaja Rosdakarya Pinardi, Slamet, 2007, Pemanfaatan Rakhmat, Jalaludin, 1991, Metode Penelitian Komunikasi, Bandung, Remaja Rosda Karya. Riyanto, Sugeng, 2006, “Informasi di Taman Wisata Candi Prambanan : Kajian Tentang Ketertarikannya dan Peningkatan Apresiasi Masyarakat Terhadap Benda Cagar Budaya, UGM, Jogjakarta Robbins, P. Stephen, 1996, Perilaku Organisasi, San Diego University (Prenhallindo Jakarta) --------------------------, 1996, Teori Organisasi, (Terj: Hadyana, Jakarta, Bumi Aksara Rogers, M, Everett and Rogers, Rekha Agarwala, Communication in Organization, 1979, New York, The Free Press A Division of Macmillan Publishing Co. Inc. Rosli Bin Mohammed, 2007, “ Iklim Komunikasi dan Pencapaian Organisasi: Kajian Kes Antara Dua Buah Organisasi Awam Malaysia”. Disertasi, Universitas Sains Malaysia Saifuddin, Fedyani, Achmad, 2006, Antropologi Kontemporer suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, Edisi Pertama, Kencana Prenada Media group, Jakarta Schein, Edgar. H, 2004, Organizational Culture and Leadership, (2nd ed), San Fransisco, Jossey-Bass. Glenda and Mike, 1990, A Studi Skills handbook,Oxford University Press, Aukland Steward, Tubbs L. and Sylvia Moss, 2001, Human Communication: Prinsip-Prinsip Dasar, (Deddy Mulyana, Ed.), Bandung, Remaja Rosda Karya.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 101
Sundjaya, 2008, “ Menjadi Konservasionis: Konstruksi Identitas Sosial Oleh Orang Bago Dalam Program Konservasi Alam di Kepulauan Togean Sulawesi Tengah,”, Jakarta, Universitas Indonesia Tanudirdjo, Daud, Aris, 1998, Cultural Resources management Sebagai kajian Konflik Artefak, No. 9, Hima, Jogjakarta Tanudirjo, Daud Aris, 2007, “Cultural Landscape Heritage Management in Indonesia An Archaeological Perspective1”. Jogjakarta Thoha, Miftah, 1998, Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasi, Jakarta, Raja Garfindo Persada Trenggono, Nanang, 1996, Budaya Organisasi, Studi Tentang Nilai-nilai dan Kinerja Komunikasi Pada BPIS, Jakarta, UI William, Havland A., 1985, Antropology (Terj.), Jakarta, Erlangga. Sumber Lain: A. Internet 1. http://www.bandungheritage.org 2. http://www.harianjakarta.com 3. http://inseparfoundation.wordpress.com/2010/02/12/budaya-organisasi/ 4. http://wawan-junaidi.blogspot.com 5. "http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_organisasi" Kategori: Organisasi 6. Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas 7. http://www.kompas.com 8. http://www.pikiran-rakyat.com B. Peraturan − UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO.5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 102
INTERNALISASI NILAI KEBERSAMAAN MELALUI PEMBELAJARAN SENI GAMELAN (SUATU UPAYA PENDIDIKAN KARAKTER BAGI MAHASISWA) Suhendi Afryanto ABSTRACT The research is motivated by imbalance behaviors among the younger generation as the responsible generation for continuing the national aspiration which has been in very alarming point. These imbalance behaviors are (1) integrity crisis and promiscuity among students, (2) gang fight between students which are intellectuals who should set a good example to the society (3) distortion of togetherness value, and (4) widespread loss of national character or identity that caused multi dimension crisis which leads to disintegration process. Consequently, it is necessary to provide an alternative solution to restore peaceful life and uphold togetherness value as a part of distinctive Indonesian national character through formal education dimension. Keywords: Togetherness Value-Gamelan-Character Education
PENDAHULUAN Fenomena yang menggejala dalam kehidupan akhir-akhir ini, yakni telah hilangnya karakter bangsa yang santun, beretika, dan bermusyawarah untuk mufakat dalam menyelesaikan setiap persoalan. Kini kenyataan yang ada adalah pergaulan bebas, tawuran masal, dan penyimpangan moral lainnya yang kerap mewarnai sisi buruk kehidupan remaja kita. Dalam posisi seperti itu, pendidikan kerap dianggap gagal untuk membentuk manusia yang manusiawi. Indikator yang menyebabkan hal itu terjadi salah satu di antaranya y a i t u kurangnya keseimbangan antara nalar (kognitif), rasa (apektif), dan karsa (psikomotor) dalam ranah pembelajaran yang tengah berlangsung. O rientasi prestasi belajar kini hanya diukur dari sisi nalar dan keterampilannya saja, sementara rasa (kehalusan budi) terabaikan. S ebagaimana yang pernah disampaikan oleh Ki Hadjar Dewantara (1962) bahwa pembelajaran yang ideal bilamana nalar, rasa, dan karsanya seimbang. Dengan demikian, penelitian ini tiada lain sebagai pemetaan berpikir komprehensif untuk mencari solusi alternatif dengan mengangkat salah satu kegiatan yang di dalamnya mengandung pembelajaran nilai kebersamaan melalui permainan gamelan Sunda. Satu di antara proses pembelajaran yang mengedepankan nilai kebersamaan adalah pembelajaran Seni Gamelan (SG) Sunda, di mana secara metodologis mengajarkan setiap pembelajarnya harus bekerja sama, berbagi peran, tidak saling menonjolkan diri-sendiri untuk mencapai harmoni yang dibutuhkan. Dengan demikian, secara praksis belajar gamelan adalah belajar kebersamaan dari yang berbeda-beda (sekurang-kurangnya ada 10 instrumen yang berbeda teknis menabuhnya). Yang
menjadi fokus penelitian
ini
adalah upaya
untuk
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
mengkaji suatu proses dan Halaman ~ 103
fenomena p e mb e l a j a r a n g a m e l a n secara menyeluruh dan saling terkait, bukan terletak pada produk. Proses dan fenomena yang dimaksud diarahkan untuk membahas perilaku yang sangat kompleks, di antaranya: tujuan, alat untuk mencapai tujuan; bagaimana proses interaksi antarsesama pemain, serta sejumlah variabel lainnya yang berpengaruh terhadap kepribadian ataupun tingkah laku yang tidak mungkin dapat direduksi ke dalam sudut pandang atau satu realitas. Oleh karena itu, fenomena nilai kebersamaan melalui SG Sunda selayaknya didekati dengan berbagai perspektif, sehingga penelitian ini berkarakter eksploratif, induktif, dan menekankan pada proses. Teori yang digunakan untuk membahas permasalahan di atas adalah teori nilai. Nilai merupakan hal yang terkandung dalam hati nurani manusia yang lebih memberi dasar dan prinsif akhlak yang merupakan standar dari keindahan dan efisiensi atau keutuhan kata hati (Sumantri, 1993). Sementara menurut Allport dalam Sauri (2009) nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya. Dengan demikian, nilai ditempatkan dalam posisi yang penting pada saat manusia dihadapkan dengan pilihan-pilihan untuk melakukan tindakan atas apa yang menimpa dirinya. Daroeso (1964) mengemukakan bahwa nilai memiliki tiga sifat dasar, yaitu: (1) nilai itu suatu realitas abstrak dan ada dalam kehidupan manusia. Nilai yang bersifat abstrak tidak dapat diindrakan. Hal yang dapat diamati hanyalah objek yang bernilai itu sendiri, misalnya, orang yang memiliki kejujuran. Kejujuran adalah nilai, tetapi kita tidak bisa mengindra; (2) nilai memiliki sifat normatif, artinya nilai mengandung harapan, cita-cita, dan suatu keharusan sehingga nilai nemiliki sifat ideal (das sollen). Nilai diwujudkan dalam bentuk norma sebagai landasan manusia dalam bertindak. Misalnya, nilai keadilan. Semua orang berharap untuk mendapatkan dan berperilaku yang mencerminkan nilai keadilan, serta 3) nilai berfungsi sebagai daya dorong/motivator dan manusia adalah pendukung nilai. Sementara itu, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Alwasilah (2011: 103) memberikan penjelasan di mana penelitian kualitatif meyakini bahwa realitas sesungguhnya merupakan sebuah konstruksi sosial ketika individu atau kelompok menemukan atau memperoleh sejumlah makna dalam suatu kesatuan yang spesifik, seperti dari beberapa peristiwa, orang, proses, atau tujuan. Pendekatan kualitatif lebih melihat sesuatu sebagaimana adanya dalam satu kesatuan yang saling terkait dan lebih menekankan pada proses bukannya produk, atau dengan perkataan lain lebih mengutamakan usaha daripada dampak yang terjadi atau pun hasil yang telah dicapai (Creswell dalam Alwasilah, 2011: 145). Adapun langkah-langkah penelitian yang disusun serta direncanakan didasarkan pada salah satu jenis musik ensambel yang mengembangkan serta bersifat kolektif atau disajikan secara bersamasama. Jenis musik ensambel perlu dieksplorasi, diklarifikasi, diformulasikan, dan diinternalisasi sehingga hasil penelitian ini dapat dijelaskan manfaatnya untuk kepentingan kehidupan masyarakat. Oleh karena hasil penelitian ini harus dijelaskan secara rinci, maka penelitian ini juga bersifat eksplanasi. PEMBAHASAN Nilai yang dibelajarkan melalui SG Sunda tidak terlepas dari akar kebudayaan masyarakatnya. Dalam kebudayaan masyarakat Sunda, nilai yang paling menonjol adalah adanya pemeo Silih Asih, Silih Asah, dan Silih Asuh. Hal tersebut juga menunjukkan karakter yang khas dari budaya religius Sunda sebagai konsekuensi dari pandangan hidup keagamaannya (http//:www.wordpress.com). Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 104
Konsep Silih Asih merupakan kualitas interaksi yang memegang teguh nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan. Semangat ketuhanan dan kemanusiaan inilah yang melahirkan moralitas egaliter (persamaan) dalam masyarakat. Dalam masyarakat Silih Asih, manusia didudukkan secara sejajar atau egaliter (Rakep dendeng papak sarua) satu sama lainnya. Prinsip egaliter ini kemudian melahirkan etos musyawarah, kerja sama, dan sikap untuk senantiasa bertindak adil. Etos dan moralitas inilah yang menjadikan masyarakat Sunda teratur, dinamis, dan harmonis. Konsep Silih Asah adalah semangat interaksi untuk saling mengembangkan diri ke arah penguasaan dan penciptaan ilmu pengetahuan dan tekhnologi sehingga masyarakat memiliki tingkat otonomi dan disiplin yang tinggi. Dalam masyarakat Sunda yang Silih Asah, ilmu pengetahuan dan teknologi mendapat bimbingan etis sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi tidak lagi angkuh, tetapi tampak anggun, bahkan memperkuat ketauhidan. Integrasi ilmu pengetahuan dan teknologi dan etika ini merupakan terobosan baru dalam kedinamisan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan membuka dimensi transenden, dimensi harapan, evaluasi kritis, dan tanggung jawab. Konsep Silih Asuh memandang kepentingan kolektif atau pun pribadi mendapat perhatian serius melalui saling kontrol, tegur sapa, dan saling menasehati. Budaya Silih Asuh inilah yang kemudian memperkuat ikatan emosional yang telah dikembangkan dalam tradisi masyarakat Sunda. Dalam gamelan Sunda sekurang-kurangnya terdapat 13 (tiga belas) jenis instrumen atau waditra yang dibedakan berdasarkan bentuk dan warna suaranya (timbrenya). Ke 13 instrumen yang dimaksud di antaranya : (1) Saron 1, (2) Saron 2, (3) Bonang, (4) Rincik, (5) Demung, (6) Peking, (7) Kempul/gong kecil, (8) Kenong, (9) Ketuk, (10) Gong, (11) Rebab, (12) Gambang, dan (13) Kendang. Ke sebelas instrumen di atas menunjukkan terdapat perbedaan pola ritmis (irama) dari masing-masing instrumen, artinya setiap instrumen harus berperan sesuai d e n g a n fungsi dan tugasnya. Dalam pandangan etika, maka bermain gamelan dapat dimaknai sebagai berikut: Pertama; setiap orang tidak boleh saling mendahului untuk melakukan kegiatan karena seni gamelan bersifat ensamble – jadi harus ada kerjasama secara kolaboratif antara instrumen yang satu dengan yang lainnya. Kalau saja ada di antara pemain (gamelan) yang melakukan kegiatan di luar ketentuan, maka secara musikalitas tidak akan tercapai dengan baik. Kedua, setiap orang harus mampu menahan diri dan tidak boleh menonjol sendiri (misalnya menabuh terlalu keras atau terlalu lembut), mengingat untuk mencapai harmoni yang indah dalam suara gamelan dibutuhkan keseimbangan dalam berbagai faktor. Ketiga, setiap orang harus memiliki disiplin yang ketat, mengingat untuk mengatur tempo (ritme) permain tidak ditentukan oleh sendiri, melainkan ada pemimpin yang ditunjuk (misalnya instrumen kendang). Ketika ada yang tidak disipilin, secara tidak langsung akan terlempar dari komunitas kelompok.Keempat, setiap orang dalam bermain gamelan (sesuai dengan instrumen yang dipegang) memiliki tempat dan posisi masing-masing (antara satu instrumen dengan lainnya secara teknik berbeda), sehingga kebersamaan untuk mencapai harmoni ditentukan oleh konsistensi dalam memainkan peran yang sesuai dengan instrumen yang dipegangnya. Berdasarkan keempat catatan di atas, dapat diasumsikan bahwa dalam pembelajaran seni gamelan secara tidak langsung telah terjadi proses internalisasi nilai, di mana nilai yang dituju dapat diuraikan seperti di bawah ini: 1) Melatih untuk melakukan kerja secara bersama-sama dalam anggota kelompok, agar implementasinya di dalam kehidupan di masyarakat dapat dimaknai sebagai cerminan dari sifat; gotong royong, musyawarah untuk mufakat, serta menghindari sifat individualistik. 2) Melatih berbagi rasa dan tidak menonjolkan diri-sendiri, mengingat capaian harmoni dalam musik gamelan harus menganut faham keseimbangan (balance), keutuhan (unity), dan keaneka-ragaman (diversification) yang bermuara pada latihan pengendalian diri dan Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 105
disiplin. 3) Melatih Leadership, mengingat dalam praktik menabuh gamelan terdapat salah satu instrumen yang dapat dijadikan sebagai ‘panutan’ instrumen-instrumen yang lainnya (seperti instrumen Kendang). 4) Melatih sensitivitas, karena praktik menabuh gamelan relatif halus secara bunyi dengan intensitas yang tidak terlalu keras (secara dominan). Kalau ada volume instrumen yang agak menonjol dibanding instrumen lainnya yang ada, maka secara harmoni hal demikian dianggap ‘cacat’ serta mengganggu secara kolektif. 5) Melatih refleks terhadap rangsangan bunyi, sehingga orang yang terbiasa melakukan hal ini – boleh jadi dia akan menjadi manusia yang peka terhadap situasi dan kondisi yang dihadapinya serta mau mendengarkan apa yang disampaikan oleh orang lain. 6) Melatih peran dan tanggung jawab, karena sifatnya ensambel – bila ada salah satu instrumen tidak berbunyi, maka tidak sempurnalah musik gamelan yang ditabuh tersebut dan secara musikalitas akan sedikit ‘kacau’. Dalam posisi ini, setiap orang harus jujur dalam melakukan tindakan yang ditugaskan pada dirinya. SG Sunda sebagai perwujudan dari nilai-nilai luhur kebudayaan masyarakat Sunda, bila dibelajarkan berdasarkan teknik dan metodologi tertentu, tidak dapat dipungkiri sama dengan membelajarkan nilai-nilai tersebut kepada setiap manusia yang mau mempelajarinya. Dengan demikian, terdapat korelasi yang cukup penting antara seni gamelan (Sunda) dan pendidikan karakter, yakni menginternalisasikan nilai kebersamaan, disiplin, tanggung jawab, serta menghargai perbedaan. PENUTUP Proses internalisasi nilai dilandasi oleh tiga faktor sebagai tahapan yang terjadi selama pelaksanaan proses pembelajaran berlangsung, yaitu: 1) proses transformasi nilai, 2) proses transaksi nilai, serta 3) trans-internalisasi nilai (Muhaimin, 1996: 153). Tahap transformasi nilai merupakan proses komunikasi verbal yang dilakukan antara pendidik dan peserta didik dengan tujuan menginformasikan nilai- nilai yang baik dan nilai-nilai yang kurang baik. Pada tahap ini, mahasiswa sebagai peserta didik dihadapkan dengan dua pilihan yang akan menjadi pegangan hidup di masyarakatnya. Tahap transaksi nilai merupakan komunikasi dua arah yang dilakukan melalui suatu kegiatan interaksi antara pendidik dengan peserta didik. Komunikasi dua arah yang dimaksud berlangsung secara timbal-balik yang selanjutnya disebut juga dengan tahap pendidikan nilai. Pada tahap ini, mahasiswa sebagai peserta didik sudah mengambil pilihan dalam bentuk nilai yang sejalan dengan prinsip hidupnya. Terakhir, tahap trans-internalisasi merupakan suatu tahapan yang jauh lebih mendalam dari tahap transaksi, mengingat pada tahap ini pendidik dan peserta didik tidak sekedar melakukan komunikasi secara verbal, akan tetapi sudah terjadi proses penanaman sikap mental dan kepribadian. Melalui tahapan ini, sesungguhnya komunikasi kepribadian yang telah tertanam dalam diri mahasiswa sebagai peserta didik akan berperan secara aktif DAFTAR PUSTAKA Alwasilah Chaedar. 2011. Pokoknya Kualitatif: Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif, edisi cetakan keenam. Jakarta: PT.Dunia Pustaka Jaya Anderson, Charles Sutton. 1984. Sembah Sumpah (Courtesy and Curses)The Language and Javanese Culture.”. Ithaca: Cornell University Press. Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Politics
of
Halaman ~ 106
Badiuzzaman. 2010. Kebersamaan Sebagai Ciri Masyarakat Berbudaya. Makalah pada seminar Merekat Bangsa yang Telah Terkoyak di Jakarta. Daroeso, Bambang. 1964. Terminologi dan Sifat-sifat Nilai. Jakarta: Balai Pustaka. Ki Hadjardewantara. 1962. Ki Hadjardewantara, Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta:Percetakan Taman Siswa. Kunts, Jaap. 1973. Music In Java: Its Theory and Its Technique. 2 jilid. Edisi ketiga yang diperluas oleh EL.Heins. The Hague:Martinus Nijhoff. Lickona, Thomas. 2012. Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility terjemahan Wamaungo. Jakarta:PT Bumi Aksara. Muhaimin, Yahya. 1996. Srategi Belajar Mengajar. Surabaya: Citra Media. Sauri, Sofyan. 2009. Membangun Akhlak Mulia Bagi Tenaga Pendidik, Makalah pada Seminar Forum Guru di Nusa Tenggara Barat. Sumarsam. 2003. Gamelan:Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa.Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 107
FUNGSI DAN MAKNA ANGKLUNG PADA MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN CIPTAGELAR KASATUAN ADAT BANTEN KIDUL SUKABUMI JAWA BARAT Dinda Satya Upaja Budi
ABSTRACT Angklung is an instrument which is very important for traditional agriculture society, especially at the Kasepuhan Ciptagelar. Angklung is considered important because it is one of supplementary requirements at every stage of farming activities, both in the field and in the huma. The times and society paradigm has influenced the development of performance, this development backdrop of babasan 'Ngindung mipaba ka jaman’ which essentially Kasepuhan Ciptagelar society to adapt to a variety of existing development, both the government and the times. Angklung performance that was only used for the ritual ceremony is also experiencing growth function, such as a function of entertainment and aesthetic presentation function. But in terms of the meaning of angklung performances did not experience any growth. Meaning angklung that has a value of togetherness, grown not just for the mutual benefit of indigenous communities Kasepuhan Ciptagelar, but also for the sake of togetherness outside Kasepuhan Ciptagelar society. Keywords: Angklung, Kasepuhan Ciptagelar, Banten Kidul
PENDAHULUAN Salah satu kelompok masyarakat yang masih memegang teguh tradisi para karuhun di antaranya adalah masyarakat Kasepuhan Ciptagelar (KCG) yang tergabung dalam Kasatuan Adat Banten Kidul. Sampai saat ini masyarakat KCG dianggap sebagai salah satu prototipe masyarakat Sunda lama selain masyarakat Kanekes yang lebih dikenal sebagai Urang Baduy. Masyarakat KCG memercayai adanya hubungan antara musik angklung dan kesuburan alam, khususnya dengan tanaman padi. Dalam pandangannya, mereka memainkan angklung yaitu dalam rangka membangun do’a kepada Nyai Sri yang sangat menyukai bunyi angklung ini, seraya berharap berkah dan kebaikan untuk kehidupan mereka. Dalam masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, musik angklung memiliki fungsi dan makna yang terintegrasi dengan aktivitas dan kehidupan mereka. Untuk membahas fungsi pertunjukan angklung KCG bisa ditelusuri dari bentuk pertunjukannya. R.M. Soedarsono dalam bukunya Metode Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa mengungkapkan bahwa fungsi seni pertunjukan dapat dibagi ke dalam dua kelompok utama, yaitu: kelompok fungsi Primer dan kelompok fungsi Sekunder. Berdasarkan kedua fungsi di atas dinyatakan bahwa fungsi primer seni pertunjukan adalah: (1) sebagai sarana ritual; (2) sebagai sarana hiburan pribadi; dan (3) sebagai presentasi estetis (Soedarsono, 1999: 170). Sementara untuk fungsi sekunder seni pertunjukan adalah: (1) sebagai pengikat solidaritas sekelompok
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Maysrakat (PKM)
Halaman ~ 108
masyarakat; (2) sebagai media komunikasi massa; (3) sebagai propaganda politik; dan sebagainya (Soedarsono, 1999: 170). Di samping dari segi fungsi, angklung juga dapat dikaji berdasarkan makna dan nilainya. Dalam pandangan kebudayaan masyarakat Sunda lama, instrumen angklung diyakini sebagai gambaran simbolik tentang adanya hubungan kosmik antara tiga lapisan dunia yaitu buana nyungcung, buana panca tengah, dan buana larang/Rarang. Buana nyungcung sebagai simbol dunia atas terletak pada bagian atas angklung yang dihiasi oleh daun pelah, yaitu sejenis daun pohon rotan yang panjang. Buana panca tengah sebagai gambaran dunia tengah terletak pada bagian tabung, sebagai gambaran dunia tempat manusia dan binatang tinggal, dan buana larang terletak pada soko sebagai gambaran dunia bawah yang merupakan neraka. Jakob Sumardjo menyatakan bahwa manusia religius sangat percaya kepada lambang-lambang atau tanda-tanda yang berupa mitos atau ritus. Oleh karena itu, manusia harus berpartisipasi dalam aturan kosmos sehingga hidupnya menjadi otentik dan bernilai. PEMBAHASAN Merujuk pada teori fungsi yang dikemukakan oleh Soedarsono, maka fungsi angklung pada kehidupan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, fungsi primer yaitu angklung KCG sebagai sarana ritual untuk siklus pertanian. Dalam ritual padi pada masyarakat KCG, angklung selalu dihadirkan sejak dimulainya musim tanam padi, yaitu pada upacara ngaseuk di huma dan tebar binih di sawah yang dilanjutkan pada saat penanaman padi secara tandur di sawah, pada saat mipit, pada saat ngembang, sampai pada upacara ritual terbesarnya yaitu Seren Taun. Masyarakat KCG sangat berharap akan keselamatan, perlindungan, serta kebahagian. Oleh karena itu, pertunjukan angklung akan selalu dihadirkan pada setiap upacara-upacara sakral dalam siklus upacara padi. Pertunjukan angklung mulai digelar sejak ngaseuk atau penanaman padi di huma atau tebar sawah hingga upacara seren taun yang memakan waktu hampir setahun penuh yang pertunjukannya digelar sesuai dengan uraian repertoar upacara. Pelaksanaan awal penanaman padi bergantung pada waktu penyelenggaraan ngaseuk, tebar, dan tandur. Penentuan waktu penyelenggaraan awal siklus pertanian, baik di huma maupun di sawah selalu ditentukan oleh para sesepuh adat. Biasanya ditandai dengan munculnya dua rasi bintang yang dalam ilmu astronomi disebut the orient belt dan bintang kerti (Tarsito, 1992: 126). Dalam masyarakat KCG, biasanya acara ngaseuk akan dimulai di lahan huma milik Abah atau sesepuh adat dan dilanjutkan di sawahnya. Setelah huma atau sawah Abah selesai ditanami padi, kegiatan ngaseuk dan tandur ini akan dilanjutkan secara bergilir dan gotong royong, bergantung pada kesepakatan masyarakat, huma atau sawah siapa yang akan digarap terlebih dahulu. Apabila upacara ngaseuk dan tandur ini telah selesai, biasanya kegiatan pertunjukan angklung akan terus dilaksanakan hampir setiap hari selama kurang lebih tiga bulan. Kegiatan pertunjukan angklung ini dalam perkembangan selanjutnya, selain dipertunjukkan di huma atau pinggir sawah, juga bisa dipertunjukkan di sebuah lapangan di tengah kampung gede. Selain di huma atau sawah, a n g k l u n g biasa dipertunjukkan pula pada setiap malam bulan purnama. Kedua, fungsi primer angklung KCG y a i t u sebagai sarana hiburan bagi penikmatnya. Dalam konteks hiburan, pertunjukan angklung KCG digarap sangat sederhana, tidak
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Maysrakat (PKM)
Halaman ~ 109
menggunakan idealisme penggarapnya, yang terpenting adalah dapat memberikan kenikmatan bagi penonton. Hal ini sangat beralasan karena pertunjukan angklung KCG cukup memberikan kontribusi positif pada masyarakat pendukung dan penontonnya. Dari hasil pengamatan, ternyata terdapat beberapa perkembangan fungsi dan bentuk pertunjukannya. Perkembangan fungsi pertunjukan ini terjadi terutama setelah komunitas KCG ini berpindah dari kampung Ciptarasa ke Kampung Ciptagelar. Seperti diungkap oleh Aki Dai, pada awalnya sebelum kampung Kasepuhan Adat dipindahkan dari kampung Ciptarasa ke Kampung Ciptagelar, pertunjukan angklung hanya boleh dibawakan oleh para pria dewasa saja. Tetapi setelah kampung Kasepuhan dipindahkan ke Kampung Ciptagelar, pemain angklung sudah bisa dimainkan oleh kaum perempuan, bahkan anak-anak. Selain itu secara repertoar, lagu-lagu yang dipertunjukkan juga sudah semakin banyak jumlahnya. Repertoar lagu yang dipertunjukkan selain lagu-lagu khusus untuk keperluan upacara, sekarang sudah dihadirkan lagu-lagu repertoar baru sebagai salah satu bentuk hasil kreativitas mereka. Berdasarkan informasi, lagu-lagu repertoar baru tersebut merupakan kreativitas Ki Dai sebagai pimpinan grup angklung di kampung Ciptagelar dan hasil kreativitas ini telah dipertunjukkan dalam beberapa kegiatan aktivitas masyarakat KCG. Ketiga, fungsi primer yaitu angklung KCG difungsikan sebagai presentasi estetis. Menurut Soedarsono, seni pertunjukan adalah seni kolektif, hingga penampilannya di atas panggung menuntut biaya yang tidak sedikit. Untuk menampilkan sebuah pertunjukan tari misalnya, diperlukan penari, busana tari, penata rias, pemain musik, panggung, dan tata lampu. Pada umumnya seni pertunjukan yang berfungsi sebagai presentasi estetis ada yang mensponsorinya (Soedarsono, 2002: 216).
Gambar 1 Pertunjukan angklung KCG (Foto Dinda SU Budi, 2013)
Angklung dalam paradigma budaya masyarakat Sunda seperti dalam budaya masyarakat KCG ini, ternyata merupakan gambaran mengenai bentuk instrumen angklung secara keseluruhan yang memiliki makna sangat kompleks, bahkan hampir dijadikan sebagai pendidikan etika dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, instrumen angklung oleh
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Maysrakat (PKM)
Halaman ~ 110
masyarakat tradisional dijadikan sebuah simbol yang mengandung makna seperti terungkap dalam papatah (nasihat) Sunda, yaitu ulah ngelmu angklung. Apabila diterjemahkan secara harfiah kira-kira adalah ulah (jangan) ngelmu (menganut ilmu) seperti posisi tabung angklung. Ungkapan tersebut isinya didasarkan pada posisi pemasangan tabung angklung pada rangkanya. Posisi tabung angklung yang berukuran lebih besar atau tabung indung menghadap tabung berukuran kecil atau tabung anak, karena bentuk pemasangannya pula, maka posisi tabung angklung anak membelakangi tabung angklung indung (Upaja Budi, 2001: 73-76). Makna yang terkandung dalam papatah masyarakat Sunda ini memberi arti dan pesan bahwa kasih sayang dan perhatian ibu terhadap anaknya sangat besar, begitu pula kasih sayang dan perhatian anak akan lebih besar terhadap anaknya lagi. Ungkapan tersebut memiliki pesan yang sangat mendidik, yaitu agar setiap anak senantiasa dan seharusnya memberikan perhatian kepada orang tua, dan seorang anak memiliki kewajiban untuk selalu hormat dan taat kepada orang tua terutama kepada ibu. Di dalam mitos Sunda Lama, bentuk angklung ini pun dilambangkan sebagai tiga lapisan kosmologi, yaitu Buana Nyungcung, Buana Panca Tengah, Buana Larang. Buana Nyungcung sebagai dunia atas terletak pada bagian Daun Pelah. Buana Panca Tengah terletak pada bagian tabung, tempat manusia tinggal, dan Buana Larang terletak pada soko sebagai dunia bawah. Tiang-tiang angklung, sebagai penyangga tiap tabung angklung dilambangkan sebagai suatu poros yang menghubungkan antara tiga lapisan dunia. Apabila dikaitkan dengan pendapat Mircea Eliade, poros tersebut dianggap sebagai Axis Mundi. Di dalam kosmologi, poros tersebut sering dilambangkan sebagai tiang, tangga, pohon, gunung, dan sebagainya. Axis mundi ini terletak pada pusat dunia yang menembus tembok-tembok pemisah antarlapisan dunia. Melalui axis mundi ini manusia religius dapat mengadakan hubungan dengan dunia atas dan dunia bawah. Angklung sebagai instrumen musik tid ak dapat dipisahkan dari keseimbangan hidup masyarakat Sunda. Konsep keseimbangan ini, apabila dibandingkan dengan konsep Hindu, hal ini sesuai dengan konsep Tri Hita Karana seperti tertuang dalam Prakempa yang diungkapkan oleh I Made Bandem yang meliputi konsep keseimbangan hidup dengan Sanghyang Keresa, konsep keseimbangan hidup dengan alam sekitarnya, dan konsep keseimbangan hidup manusia dengan sesamanya (Bandem, 1986: 11). PENUTUP Fungsi pertunjukan angklung KCG mengalami perkembangan karena adanya perubahan paradigma serta didasarkan pada babasan Ngindung ka waktu mibapa ka jaman yang isinya sebagai petuah untuk bisa beradaptasi dengan berbagai perubahan situasi dan zaman. Bentuk fisik instrumen Angklung KCG sebagaimana halnya bentuk rumah adat mereka merupakan simbol dan cerminan dari kepercayaan masyarakat KCG pada tiga lapisan dunia yaitu Buana Nyungcung/dunia atas, Buana Panca Tengah/dunia tengah, dan Buana Larang(Rarang) atau dunia bawah/neraka. Begitu pula dengan teknik/cara memegang instrumen angklung, yaitu memegang tiang angklung bagian tengah sebagai lambang AxisMundi atau poros alam.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Maysrakat (PKM)
Halaman ~ 111
Hal ini menggambarkan bahwa manusia harus menjaga keseimbangan alam semesta, demikian pula apabila dilihat dari teknik memainkan instrumen, posisi ini juga merupakan cara untuk menjaga keseimbangan agar kualitas bunyi bisa lebih leluasa.
DAFTAR PUSTAKA Atja, Saleh Danasasmita. 1981. Sanghyang Proyek Permuseuman Jawa Barat.
Siksakanda
Ng
Karesian.
Bandung:
Adimihardja, Kusnaka. 1992. Kasepuhan Yang Tumbuh Di Atas Yang Luruh: Pengelolaan Lingkungan Secara Tradisional di Kawasan Gunung Halimun Jawa Barat. Bandung: Tarsito. Bandem, I Made. 1986. Prakempa Sebuah Lontar Gamelan Bali. ASTI Denpasar.
Denpasar:
Fredrik Eugene deBoer. ( Terj.Made Marlowe Makaradhwaja Bandem) . Kaja dan Yogyakarta: Badan Penerbit Institut Seni Indonesia.
Kelod.
Danasasmita, Saleh, et. al.,1986. Kehidupan Masyarakat Kanekes. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direktotar Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Djatisunda, Anis. 1992. Baduy Rawayan Urang Kanekes. Sukabumi: Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Pengembangan serta Penataran Pendidik Bahasa dan Sastra Sunda. Ekadjati, Edi S. 1995. Jaya.
Kebudayaan Sunda, Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta: Pustaka
Eliade, Mircea. 1995. The Sacred and The Profane, The Nature of Religion. Translated by Willard R. Trask, New York: A Harvest Book, Harcourt, Brace & World, Inc. Garna, Yudistira K. 1973.Masyarakat Baduy di Banten Selatan, Jawa Barat. Jurusan Antropologi Fafultas Satra Universitas Padjadjaran,.
Bandung:
Geertz, Clifford.1992. Kebudayaan dan Agama. sekapur sirih DR. Budi Susanto SJ, Yogyakarta: Refleksi Budaya, Kanisius. Hardjasaputra, A. Sobana. 2005. Ngahuma: Suatu Pola Pertanian Tradisional di Jawa Barat, Tinjauan Sejarah. Bandung: Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas SastraUniversitas Padjadjaran, Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Maysrakat (PKM)
Halaman ~ 112
Haryono, Timbul. (Penyunting). 2009. Seni dalam Dimensi Bentuk, Ruang, dan Jakarta: Wedatamawidya Sastra.
Waktu.
Kaemer, John E. 1993 Music in Human Life: Anthropological Perpectives on Music. Austin: University of Texas Press.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Maysrakat (PKM)
Halaman ~ 113
CIRI MUSIKAL LAGU GEDE KEPESINDENAN DALAM KARAWITAN SUNDA Endah Irawan
ABSTRAK Di kalangan masyarakat karawitan Sunda umum, lagu gede di kenal sebagai sebuah gerne lagu diantara genre lagu-lagu Sunda lainnya, seperti : lagu degung. wanda anyar, pantun, tembang, Iagu jalan; atau lagu-lagu yang lain. Lagu ini kerap disamakan, sebagai lagu gamelan, sekar ageung, lalamba, lagu buhun atau lagu klasik. Umumnya penyebutan-penyebutan demikian dikaitkan dengan sesuatu objek lagu berdimensi ukuran, sifat maupun ciri yang menyertainya, atau periode waktunya. Bentuk dan struktur lagu ini tersendiri dibanding dengan bentuk dan struktur jenis lagul karawitan Sunda lain. Peran, proses interaksi, dan kornpleksitas garapnya diantara masing-masing pendukung pun khusus. Demikian pula dimensi waktunya, lagu gede initidak sekedar dianggap sebagai teks musik dengan ciri tempo yang lamba! dari aspek konteksnya kadang dihubungkan dengan kurun waktu tertentu yang menghubtrngkan lagu ini sebagai lagu yang berakar dari tradisi kakawihan Sunda dan mengalami kesinambungan dan perubahan hingga sekarang. Lagu adalah perpaduan antara syair, melodi, embat dan wirahma. lagu dapat diartikan sebagai teks musikal, yang memadukan antara syair, melodi, embat dan dan wirahma dalam karawitan Namun yang membedakan lagu gede dengan laga kawih yang lain adalah terletak pada pola irama atau disebut wiletan, iringan, syair, dan senggol. Ciri musikal lagu gede dalam kepesindenan dapat juga dilihat dari struktur musiknya. Apabila diterapkan dengan konsep-konsep yang terdapat di dalam karawitan Sunda, struktur lagu gedé dapat diamati berdasarkan Laras, Surupan, pola wiletan, pola kenongan goongan, dan pola urutan sajiannya. Pola wiletan lebih mengarah pada pola meter. Berkaitan dengan ukuran dari jumlah satuan ketuknya pada setiap satuan goongan. Pola kenongan goongan berkaitan dengan orientasi nada dari kalimat lagu. Pola urutan sajian menggambarkan runtutan sajian dari awal hingga akhir, termasuk bagian naekeun atau nurunkeun yang merupakan bagian peralihan menuju gending/lagu berikutnya. Dalam menyajikan lagu gede bagi seorang sinden, Alok, dan pemain rebab, serta pemain gamelan, terdapat beberapa untun musical harus dikuasainya, antara lain: penguasaan laras, surupan, embat, nada kenongan dan goongan, merupakan persyaratan utama yang harus dipahami dan dikuasai secara baik sistem nada-nada yang melekat dalam lagu gede tersebut. Kata Kunci: lagu gede, laras, surupan, embat, kenongan, goongan.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Maysrakat (PKM)
Halaman ~ 114
PENDAHULUAN Lagu gedé dikenal sebagai sebuah genre lagu di antara genre lagu-lagu Sunda lainnya, seperti: lagu degung, wanda anyar, pantun, tembang, lagu jalan, sekar tengahan, dan sekar alit. Lagu gedé kerap disamakan atau disebut sebagai lagu gamelan, sekar ageung, lagu ageung, lalamba, lagu buhun, atau lagu klasik. Penyebutan demikian umumnya dikaitkan dengan suatu objek lagu yang berdimensi ukuran, sifat, atau pun ciri yang menyertainya, atau periode waktu. Bentuk dan struktur lagu ini memiliki sifat tersendiri berbeda dengan bentuk dan struktur jenis lagu/karawitan Sunda lain, seperti gurudugan, kering, sawilet, dua wilet, atau opat wilet.1 Demikian pula dengan dimensi waktu, lagu ini tidak sekedar dianggap sebagai teks musik dengan ciri tempo yang lambat, tetapi dari aspek konteksnya terkadang dihubungkan dengan kurun waktu tertentu yang menghubungkan lagu ini sebagai lagu yang berakar dari tradisi kakawihan Sunda yang mengalami kesinambungan dan perubahan hingga sekarang. Dibanding dengan lagu alit atau lagu jalan, kehadiran lagu gedé menampilkan dimensi karawitan yang tidak sederhana. Tidak sekadar lagu yang dapat digurit (dicipta) atau dinyanyikan dengan gampang, tetapi dibutuhkan kepekaan dan kemahiran dari orang yang akan mencipta atau menyajikannya. Di dalam lagu ini, mutu kesenimanan (seperti: teknik, gaya, dan ornamentasi) dari pencipta dan penyaji dapat dicirikan dan diuji. Demikian pula bagi seniman, akademisi, dan apresiator yang terlatih, kreativitas garap lagu gedé dalam karawitan Sunda merupakan barometer untuk menilai kualitas kesenimanan pencipta, sinden, dan wiyaga (pemain gamelan)-nya. Kecerdasan, kecakapan, dan keterampilan musikalitas seniman dapat diamati dan dinilai dari kemampuan mereka menggurit dan menggarap lagu ini, apakah seniman tersebut tergolong seniman mahir atau tidak. Penelitian terhadap ciri musikal lagu gedé ini dipengaruhi oleh estetika musik yang dikembangkan oleh Roger Scrutton.2 Cara pandangnya adalah dalam mengurai musik. Scrutton mengurai musik dari unsurnya yang paling hakiki yaitu bunyi. Ia memberikan landasan atas musik sebagai organisasi musikal dan makna musikal. Menurutnya, nada, ritme, melodi, dan harmoni bukan sekadar bentuk-bentuk organisasi musikal. Nada, ritme, melodi, dan harmoni merupakan pengalaman musikal yang paling utama di dalam kebudayaan kita.3 Adapun makna musikal, dapat ditemukan dengan menghubungkan unsur-unsur bunyi, nada, ritme, melodi, harmoni, tonalitas, bentuk, isi, nilai, analisis, ekspresi, pertunjukan, hingga kebudayaan. Pemikiran Scrutton mengenai organisasi musikal dan makna musikal ini menarik bila dihadapkan dengan kebutuhan mengkaji musikalitas lagu gedé.4 Pemikiran-pemikiran Scrutton 1
Pandi Upandi, Gamelan Salendro, Gending dan Kawih Kepesindenan Lagu-lagu Jalan (Bandung: Lubuk Agung, 2011), 38-42. 2 Roger Scrutton, The Aesthetics of Music, (New York: Oxford University Press, 2009). 3 Roger Scrutton, 2009, 20. 4 Namun, perlu dicatat bahwa penggunaan pemikiran Scrutton dibutuhkan kehati-hatian. Scrutton sendiri menulis bahwa objek musiknya adalah musik Barat dan analisis-analisis musik yang ia lakukan pun adalah analisis-analisis pada kasus musik Barat. Ini berarti bahwa pemikiran estetik musiknya dapat tidak tepat apabila digunakan untuk melihat kasus musik di luar musik Barat. Pemikiran estetik tersebut mungkin cocok apabila diterapkan pada musik Barat tetapi dapat tidak cocok untuk musik dari kebudayaan-kebudayaan
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Maysrakat (PKM)
Halaman ~ 115
dapat digunakan sebagai alat bantu untuk menjawab ciri musikal lagu gedé. Paling tidak, kajian musikalitasnya tidak hanya berkutat pada deskripsi dan analisis atas musikalitas saja, tetapi diperkuat dengan argumen-argumen yang mengungkap makna musikalnya. Termasuk, dengan cara memberi penjelasan atas hubungan dari keduanya sebagai satu kesatuan. Dengan demikian pengungkapan ciri musikal lagu gedé ini menjadi lebih bernilai. Lagu gedé tidak hanya dikenali dari aspek musikalnya saja tetapi disertai pemaknaan yang ditemukan dari konteksnya. Unsur musik yang ada di dalam konsep-konsep karawitan Sunda akan juga digunakan untuk melengkapi organisasi musikal yang ditawarkan Scrutton. ciri musikal lagu gedé dapat didentifikasi melalui sistem nadanya. Sistem nada ini meliputi nadanya sendiri, laras, dan surupan, embat, kenongan dan goongan, pasangan lagu gede, sajian lagu gede, dan interasi musikal. PEMBAHASAN Struktur lagu gedé dapat diamati berdasarkan laras, surupan, pola wiletan, pola kenongan goongan, dan pola urutan sajiannya. Dalam menyajikan lagu gede, penguasaan laras bagi seorang sinden, Alok, dan pemain rebab merupakan persyaratan utama yang harus dipahami dan dikuasai secara baik tentang sistem nada-nada yang melekat dalam lagu gede tersebut. Laras merupakan sesuatu yang sangat cair sifatnya. Ia merupakan kesatuan kompromis, antara laras yang diamainkan gamelan (salendro) dan laras yang disuarakan oleh sinden, alok, dan dibunyikan oleh tukang rebab, menggunakan bermacam laras: salendro, pelog, madenda, dan degung. Laras seperti bingkai lagu. Artinya, dalam sebuah pemaknaan musikal terhadap suatu lagu, atau pun kaitannya dengan gending atau iringan lagu, laras menjadi kerangka acuan sinden, alok, dan tukang rebab. Laras berupa kerangka yang membatasi sinden, alok, dan rebab menafsirkan sistem nada yang melekat atau relevan dengan lagu, gending atau pun irngan lagunya. Berdasarkan hasil analisis maka dapat diidentifikasi laras-laras yang digunakan dalam lagu gede ini, antara lain: 1. 13 lagu yang menggunakan laras salendro: Bendra, Gunung Sari, Kastawa, Kawitan, Puspawarna, Kagembang, Paksi Tuwung, Papalayon Solo, Renggong Bandung, 2. 12 lagu yang menggunakan laras pelog: Bayeman, Gagak Setra, Karawitan, Kendo, Setra Sari, Karanginan, Kuwung-kuwung, Parujakan, Renggong Buyut, Renggong Doblang, dan Sulanjana. 3. 11 lagu yang menggunakan laras madenda: Balaganjur, Banjar Jumut,Banjar Sari, Banjar Sinom, Cahya Sumirat, Jalantir, Pangrawit, Papalayon Ciamis, Sedih Prihatin, dan Udan Mas. 4. 1 lagu yang menggunakan laras degung: Kulu-Kulu Bem. 5. 3 lagu yang menggunakan dua gabungan laras salendro dan madenda: Gorompol, Gehger Sore, dan Sungsang. 6. 4 lagu yang menggunakan dua gabungan laras madenda dan degung: Banjar Malati, Panghudang Rasa,Sriwedari, dan Tablo. 7. 1 lagu yang menggunakan tiga gabungan laras salendro, madenda dan degung: Tablo Kasmaran. lain di luar Barat. Scrutton menulis kebudayaan kita dan banyak kebudayaan pada satu kalimat yang sama. Kebudayaan kita yang dimaksud Scrutton adalah kebudayaan Barat dan banyak kebudayaan menunjuk pada budaya-budaya lain di Barat; Periksa Roger Srutton, 2009, 20.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Maysrakat (PKM)
Halaman ~ 116
Pada tataran lain, istilah surupan digunakan pula untuk menunjuk sebuah keadaan hubungan antarnada yang dimiliki setiap alat musik (instrumen maupun vokal) sesuai dengan satu sama yang lain. Surupan sering digunakan oleh para seniman dalam pengertian: untuk menempatkan secara tepat, menyesuaikan, dan menyamakan susunan nada antarpemain. Baik vokalis (sinden/alok), maupun tiap pemain instrument (rebab,dan kendang) supaya menghasilkan kesatuan susunan nada yang sama. Bagi sinden, alok, dan pemain rebab, surupan mempunyai kedudukan fungsional yang sama seperti laras. Penguasaan surupan akan sangat menentukan kemampuan seorang vokalis (sinden dan alok), juga pemain rebab dalam memberikan pemaknaan musikal terhadaplagu yang dibawakan olehnya dan sesuai dengan gending atau instrumen pengiringnya. Dalam pembawaaan lagu gede, surupan membingkai sinden, alok, dan pemain rebab untuk melakukan penafsiran musikal terhadap lagu dan kesesuaiannya dengan gending. Dengan pemahaman dan penguasaan surupan, seorang sinden, alok dan pemain rebab secara mandiri dapat mengembangkan nada-nada lagu pokoknya, dengan cara memindahkan surupan setiap lagu, sehingga lagu menjadi kaya makna musiknya, dan agar kesan musikal lagu variatif dan menarik. Dengan mengolah surupan juga, maka gaya ungkap nyanyian pribadi sinden, alok, dan pemain rebab menjadi nampak. Artinya, bagi sinden,alok, dan pemain rebab yang maher, surupan maupun laras menjadi alat atau teknik untuk mengungkapkan ekspresi musikalitasnya. Pengertian embat dalam karawitan Sunda hampir mirip dengan ‘irama’ pada karawitan Jawa. Embat dapat juga berarti wilet adalah penentuan ukuran waktu tentang cepat lambatnya perjalanan musikal, atau periode struktural yang berdasarkan aksentuasi melodi yang diletakkan pada bagian garapan melodi, dan ditandai dengan nada pancer, kenong, dan gong. Nada pancer berfungsi sebagai ciri untuk penempatan nada transisi dari nada kenongan ke nada gongan, atau kebalikannya. Sedangkan nada kenong (kenongan) dan nada gong (gongan) berfungsi sebagai nada-nada pokok yang merupakan dasar pembentukan pola gending atau iringan musik. Secara berhubungan, tiap pergantian dari nada kenong ke nada gong atau sebaliknya dari nada gong ke nada kenong selalu melalui nada pancer. secara skema pola gending berciri pancer, kenong, dan gong. Dari aspek wilet ini, penggunaannya pada karawitan Sunda dapat dibedakan berdasarkan kategori dari satuan ukuran wilet yang terkecil hingga satuan ukuran wilet yang terbesar, yaitu : gurudugan, satengah wilet, sawilet, dua wilet atau sawilet kendor,opat wilet atau lenyepan (lagu gede) , dan lebih dari empat wilet (5, 6, 8, 10, 12, dan 15) sering disebut lalamba (lagu gede). Embat-embat ini dapat diketahui perbedaannya dalam setiap jumlah isian ketukan pada setiap satuan gong. Semakin banyak jumlah ketukan dalam setiap satuan gongnya maka semakin menunjukkan bahwa embat/wiletnya semakin besar ukurannya. Sebaliknya, semakin sedikit jumlah ketukan dalam setiap satuan gongnya maka semakin menunjukkan bahwa wiletnya itu berukuran kecil.5
5
. Irawan,2003 : 97-98 ; Upandi, 2004:37.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Maysrakat (PKM)
Halaman ~ 117
Embat yang digunakan dalam lagu gede pada bentuk lenyepan umumnya ditujukan kepada lagu yang iramanya empat wilet. Dalam pola empat wilet ini menandakan dalam satu siklus gong terdiri dari empat baris 1,2,3, dan 4), dan ditandai dengan simbol nada gong (G). Satu baris terdiri dari 4 matra, dan tiap matra terdiri dari 4 ketukan. Ciri lain empat wilet ini, tiap baris ditandai dengan nada kenongan dan pada akhir baris keempat bersamaan tanda kenongan (N) ditempatkan pula tanda gong (G). Kemudian tiap baris pada matra ke 2 dan ke 4 bilangan matra genap (2,4,6,8,10,12, 14, dan16) atau tiap ketukan ke 8 dan pengulangannya ditandai dengan tabuhan kenong. Selain tabuhan kenong, juga ditempatkan tabuhan kempul pada tiap baris 1 s.d. baris 3 bagian matra ke 2 bilangan genap (2, 6, 10, dan 14), dan pada baris keempat tabuhan kempul pada matra kedua dan ke tiga. Penggunaan embat lagu gede dalam irama lalamba terdiri dari bebrapa pola embat, antara lain: wilet 5,6,8,10, dan 15. Dalam embat lalamba ini, selain menggunakan 1 bentuk embat, juga terdapat beberapa lagu yang menggunakan beragam embat yaitu lagu gede yang menggunakan 2 bentuk wilet dan 3 bentuk wilet. Embat lagu gede dalam irama lenyepan, umumnya menggunakan embat 4 wilet. Kemampuan praktik seniman tradisi dalam kesenian kiliningan dan wayang Golek, khususnya dalam menampilkan lagu gede yang secara umum menggunakan embat besar dan juga dalam satu lagu gede terdapat beberapa embat yang digunakan, merupakan tantangan terujinya kemapuan kreatifitas bermusik seorang sinden, alok, juru rebab, juru gambang, juru kendang, dan juru gamelan. Berdasarkan analisis yang penulis temukan, ebat yang digunakan dalam lagu gede adalah sebagai berikut: 1. Lagu gede yang menggunakan embat 8 wilet: Gunung Sari, Karawitan, Kastawa, dan Kendo. 2. Lagu gede yang menggunakan 2 bentuk embat: Balaganjur (wilet 2,8,2), Gagak Setra (wilet 8, dan 2), Sungsang (wilet 2,8,2,2) 3. Lagu gede yang menggunakan 3 bentuk embat: Bayeman (wilet 4,8,4,dan 2). 4. Lagu gede yang menggunakan embat khusus: Puspawarna ( 5 wilet), Gorompol (6 wilet), Setrasari (10 wilet), dan Kawitan (15 wilet). 5. Lagu gede yang menggunakan embat 4 wilet: Balaganjur, Banjar Jumut, Banjar Sari, Banjar Sinom, Cahya Sumirat, Jalantir, Kagembang, Karang Ngambang, Karanginan, Karatonan, Kulu-Kulu Bem, Kuwung-Kuwung, Lara-lara, Paksi Tuwung, Panghudang Rasa, Panglayungan, Pangrawit, Papalayon Ciamis, Papalayon Solo, Parujakan, Renggong Bandung, Renggong Bubaran, Renggong Buyut, Renggong Ciomande, Renggong Doblang, Renggong Gede, Renggong Sanga, Sedih Prihatin, Sriwedari, Sulanjana, Tablo, Tablo Kasmaran, dan Udan Mas. Dalam lagu gede kawih kepesindenan, peran gending (iringan lagu) sangat penting. Gending dapat dikatakan wadah lagu yaitu wadah yang dimaksud adalah ruang musikal yang menjadi satu sumber orientasi musikal yang ditandai nada patokan kenongan, dan nada goongan, bagi seluruh pendukung pertunjukan, yakni sinden, alok, juru rebab, juru gambang, juru kendang, dan juru gamelan.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Maysrakat (PKM)
Halaman ~ 118
Nada kenongan dan nada goongan dalam karawitan Sunda berfungsi sebagai berikut: Pertama, nada kenongan sebagai nada akhir pada tiap baris lagu.6 Kedua, nada kenongan merupakan sumber kreatifitas garap musikal bagi seluruh pendukung, terutama dalam lagu gede sangat memberi keleluasan mengekpresikan kemampuan musikal pada sinden, alok, dan juru rebab, memunculkan kembali ragam senggol garap melodi, juga ragam tabuh juru gambang dan tepak juru kendang.7 Ketiga, pola nada kenongan dan nada goongan dapat dijadikan inspiratif penciptaan lagu baru, gending baru, juga sebagai patokan nada untuk dilanjutkan atau dalam istilah karawitan Sunda “naekeun” pada lagu yang berembat pendek (dua wilet), dengan nada kenongan dan goongan yang sama. Gending lagu gede (lalamba dan lenyepan) umumnya memiliki pola gending tersendiri, artinya setiap lagu gede pola nada kenonagan, baik jumlah kenongan maupun pemakaian nada kenongan yang penulis temukan dalam beberapa lagu gede embat lalamba, ternyata tidak ada yang sama. Namun dalam lagu gede embat lenyepan terdapat dua 4 lagu yang menggunakan pola nada kenongan dan nada goongan yang sama, yaitu lagu renggong bandung sama dengan lagu renggong Cimande, dan lagu Tablo sama dengan lagu tablo kasmaran.8 Sajian lagu gede pada pertunjukan kiliningan atau wayang golek, khususnya dalam kiliningan yakni lebih mengutamakan penyajian musikal lagu, yakni untuk memberi rasa senang dan kepuasan kepada penonton yang dibawakan oleh para sinden, alok, juru rebab, juru kendang, juru gambang, dan juru gamelan. Dengan demikian, lagu gede yang disajikan terkadang ditampilkan hanya satu lagu utuh, tanpa ada lagu pasangannya, antara lain: lagu Banjarmati, Barong, Bayeman, Gagak Setra, Kendo, Sungsang, Cahya Sumirat, Panghudang Rasa, Papalayon Solo, Renggong Buyut, dan Tablo Kasmaran. Penyajian lagu gede pada kiliningan, baik embat lalamba maupun embat lenyepan dalam penyajian satu buah lagu gede pada umumnya selalu menampilkan dua buah lagu, yaitu satu buah lagu gede, kemudian di taekeun/naekeun9 (diteruskan) pada salah satu lagu jalan yang berembat dua wilet sebagai lagu pasangannya. contoh lagu gede Kulu-kulu Bem naek Kulu-kulu Gancang, 6
. Dalam penulisan gending lagu gede tiap satu baris kenongan ini berjumlah empat matra dan tiap matra terdiri dari empat ketukan. Jumlah baris menunjukan jumlah wiletan yang diakhiri dengan tanda nada gongan. Selain itu pada penulisan gending ini dalam tiap baris, yaitu pada baris ke empat muncul tanda kenong (N), dan tanda tabuhan kempul (P). Namun tanda kenong pada bagian ini bukan menandakan nada kenongan, melainkan tanda tabuhan kenong yang fungsinya untuk memberikan aksen kuat pada nada pokok peranan tabuhan instrumen gamelan yang lain (saron, peking, demung, bonang,rincik, dan kempul). 7
. Pengembangan isi patokan ini dilakukan dengan cara mereka nada-nada atau frase-frase musikal lagu namun jatuhnya nada akhir kenongan dan goongan tetap sama seperti kenongan dan goongan gending. Ini sama pula artinya bahwa isi dari setiap patokan gending yang sama dapat berbeda antara lagu yang satu dengan lagu yang lain, disebabkan perbedaan susunan nada atau frase musikal dari setiap lagu. Fakta semacam ini penulis temukan ketika menganalisis Komparasi Senggol 3 Sinden Populer Dalam lagu KuluKulu Bem Naek Kulu-Kulu Gancang. 8 . Tablokasmaran diciptakan Oleh Eutik Muhtar yang lahir di Kota Subang dan menetap di Bandung sebagai seniman populer pencipta lagu-lagu kepesindeInan dalam seni kiliningan, dan pemain rebab handal. Kesamaan lagu tablo ini memang diakui oleh Eutik Muhtar disengaja, meniru pola nada kenongan dan nada goongan, dengan alasan yang Beliau kemukakan Ia sangat menyukai lagu Tablo dan juga terkenal di masyarakat. 9 . Istilah Naek dalam karawitan Sunda merupakan bentuk peralihan lagu dari wiletan besar kewiletan kecil (contoh 8 wilet naek 4 wilet), tempo lambat ke tempo cepat.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Maysrakat (PKM)
Halaman ~ 119
artinya sajian lagu gede kulu Bem dilanjutkan pada sajian lagu kulu-kulu Gancang. Adapun penempatan pasangan lagu gede dan lagu jalan ini didasari dari masing-masing lagu tersebut memiliki kesamaan pola kenongan dan goongan, terutama pada kesamaan goongan pangkat lagu, dan juga memiliki kesamaan masing-masing dalam tema lagu. Berbeda penyajian lagu gede pada wayang golek, tidak ditampilkan lagu pasangannya, karena lagu gede dalam wayang golek memiliki beberapa peran, yakni sebagai iringan tarian wayang, murwa (nyanyian dalang), dan ilustrasi musikal adegan wayang, dan sajian hiburan dalam wayang. Sedangkan dalam penyajian kiliningan, lagu gede memiliki peranan khusus yaitu hanya penyajian total musikal gending dan sekar (vokal). Adapun nama-nama pasangan lagu gede dan lagu jalan dapat lihat pada contoh tabel 3. sebagai berikut. Hal yang membedakan garap lagu gede dalam kiliningan dan garap lagu gede dalam wayang golek, yaitu: 1. Pangkat lagu dalam kiliningan pada umumnya dilakukan oleh instrumen rebab, sedangkan dalam wayang golek selalu diawali dengan instrumen saron. 2. Struktur sajian lagu gede dalam kiliningan berlangsung secara utuh dengan pola embat yang ada pada lagu tersebut. Dalam wayang golek, struktur tersebut bisa berubah sesuai dengan kebutuhan adegan. 3. Pola ritme lagu gede dalam kiliningan berlangsung secara stabil (bertempo ajeg), sedangkan dalam wayang golek menggunakan pola ritme yang variatif sesuai dengan gerak tarian tokoh wayang (naik turun atau cepat lambat). 4. Kedudukan lagu gede dalam kiliningan sebagai sajian vokal sinden (kepesindenan), sedangkan dalam wayang golek lagu gede disajikan sebagai iringan vokal dalang yang disebut murwa dalang, iringan tarian tokoh wayang (sinden sebagai penyaji vokal), ilustrasi musikal, dan sebagai hiburan dalam jeda istirahat pergelaran wayang golek. PENUTUP Ciri musikal lagu gedé dapat didentifikasi melalui sistem nadanya. Sistem nada ini meliputi nadanya sendiri, laras, surupan, embat, kenongan dan goongan, pasangan lagu gede, sajian lagu gede, dan interasi musikal. Berdasarkan hasil analisis tentang ciri musikal lagu gede kepesindenan yang berkaitan dengan laras, surupan, embat, dan kenongan/goongan ternyata dalam lagu gede masing-masing lagu memiliki keragaman laras, surupan, embat dan kenongan/goongan. Hal yang membedakan dengan lagu Sunda yang lainnya, lagu gede dalam penyajiannnya memiliki pasangan lagu-lagu khusus. Kemudian garap lagu gede dalam kiliningan dan garap lagu gede dalam wayang golek, yaitu memiliki perbedaan, terutama: peran pangkat lagu kiliningan dengan rebab, wayang golek dengan saron; Struktur sajian lagu gede dalam kiliningan, berlangsung secara utuh dan dalam wayang golek, struktur berubah sesuai dengan kebutuhan adegan. Kemudian pola ritme lagu gede dalam kiliningan berlangsung secara stabil (bertempo ajeg), dalam wayang golek menggunakan pola ritme yang variatif sesuai dengan gerak tarian tokoh wayang (naik turun atau cepat lambat); Kedudukan lagu gede dalam kiliningan sebagai sajian vokal sinden (kepesindenan), sedangkan dalam wayang golek lagu gede disajikan sebagai iringan vokal dalang (murwa dalang), iringan Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Maysrakat (PKM)
Halaman ~ 120
tarian tokoh wayang (sinden sebagai penyaji vokal), ilustrasi musikal, dan sebagai hiburan dalam jeda istirahat pergelaran wayang golek. Dalam interaksi musikal lagu gede dari masing-masing peran, khususnya interaksi vokal sinden, alok, rebab, gambang, dan kendang, masing-masing peran memiliki kreativitas garap musikal, yakni melahirkan gaya perseorangan (senggol vokal dan gaya tabuhan).
DAFTAR PUSTAKA Adisastra, Epe Syafei. 1984. Sastra Lagu Sunda. Bandung: Proyek Pengembangan Institut Kesenian Indonesia, Sub Proyek Akademi Seni Tari Indonesia Bandung Affandie, R. Muchtar. 1957.“Sadjarah Lagu-lagu Nu Alanyar”. Kandaga No 3 1957:81, Ambary,1996 “Islam dan Tradisi Budaya Banten”, dalam Ruh Islam Dalam Budaya Aneka Budaya Jawa. Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal.
Bangsa:
Arps, Bernard. t.t. Tembang in Two Traditions: Performance and Interpretationof Literature. London: University of London.
Javanese
Atja dan Saleh Danasasmita, 1981. “Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian”; Naskah Sunda Kuno Tahun 1518 M. Bandung: Proyek Pengembangan Permusiuman Jawa Barat. Ayatrohaedi. 1996. “Sunda Islam, Islam Sunda”, dalam Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa: Aneka Budaya Jawa. Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal. Bangun, Jabatin., dkk. 1999. Industri Rekaman Bahasa Nusantara: Propinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogayakarta, dan Jawa Timur. Jakarta: PMB LIPI dan Ford Foundation Bauer, Martin W., et all. 2000.“Quality, Quantity and Knowledge Interest: Avoiding Confusions” dalam Qualitative Researching with Text, Image and Sound. Martin W. Bauer and George Gaskell (eds.). London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage Publications. Benamou, Marc.1998. Rasa in Javanese Musical Aesthetics. Ann Arbor, Bell & Howell Company
Michigan: UMI – A
Bogdan, R.C and Biklen, S.K. 1992. Qualitative Research for Education, An Introduction to Theory and Methods. (second edition). Boston, London, Toronto, Sidney, Tokyo, Singapore: Allyn and Bacon
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Maysrakat (PKM)
Halaman ~ 121
TEATER TRADISIONAL DI PRIANGAN 1904-1942 Tatang Abdulah ABSTRACT The Research over Traditional Theater in Priangan wich centered in Bandung between 1904 till 1942. Traditional Theater in Priangan at that period was divided in two mayor groups as consequency of life style at that time. Teater Menak as its name grew over high society, and had potential for developing. Teater Rakyat lived in low society, and had not opportunity for further development. The historical method used in research are covered in four phases. (1) heuristic (looking an collect the sources) trough literature studies, (2) sources criticisme to head sources accuracy, (3) data collected interpretation, so (4) getting any historical fact (historiography). Research is divided in two periods, first from 1904 to 1925 and second from 1926 to 1942. Result of researh in first period, indicated that Traditional Theatre was not or not yet improved rapidly. Meanwhile, in second period indicated there was developing process caused by West Theater influences, social condition become more condusive, facilities preparation for show performance, supported by Bupati as local leader, and internal policy of government of Nederlands Indie in Priangan. The dynamical of Tradional Theater was related with style concept, that was the modus wich theater artist did. Style is theater’s perform instrument wich can change according the demands of artist and audience. The change was said by Volger as stijlvermenging (style mixing). That was a configuration of fixed components and its variating and absolutely dicided by the autorities. Performing style grew because of exploration weight (treating for performing components) that was different one others. Tunil Tembang brought out the music. Gending Karesmen and Wayang Priyayi broght out act and dance more. They are from Teater Menak. Tunil Sunda, Uyeg, Wayang Wong Sunda, Longser, and Manorek were not specialized perform music and dancing. The six Traditional Theater were known as Teater Rakyat. Exploration weight of the performing components in 1926 until 1942 were highly influenced by West Theater. Especially in Teater Menak as known supported by intellectuals at big city. And then dynamical of Traditional Theater (Teater Menak) was moved and grew to West Theater (Modern Theater).
Key Word: Teater Menak, Teater Rakyat, Tunil Sunda, Uyeh, Wayang Wong Sunda, Longser, Manorek
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Maysrakat (PKM)
Halaman ~ 122
PENDAHULUAN Seni pertunjukan tradisional di Priangan10 jumlahnya cukup banyak11, beberapa di antaranya termasuk kategori teater tradisional, yaitu Wayang Wong, Tunil Tembang, Uyeg, Longser, Tunil Sunda (Sandiwara Sunda), Manorek, dan Gending Karesmen12. Pada zaman penjajahan Belanda, teater tradisional di Priangan terbagi atas dua kelompok, yaitu Teater Ménak dan Teater Rakyat. Sampai penelitian ini dilakukan, teater tradisional di Priangan dapat dikatakan belum ada yang meneliti secara khusus, padahal teater tradisional pada abad yang lalu menarik untuk diteliti berdasarkan beberapa hal. Pertama, keberadaan teater tradisional tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat pribumi, baik golongan ménak maupun golongan rakyat. Teater tradisional mencerminkan sebagian gaya hidup masyarakat pendukungnya. Kedua, teater tradisional menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, karena mengandung nilai-nilai kemasyarakatan dan memiliki fungsi tertentu, selain fungsi hiburan. Ketiga, melalui pertunjukan teater, warga masyarakat dapat berhubungan (berkomunikasi) dan berinteraksi. Keempat, teater tradisional di Priangan pada zaman penjajahan Belanda, kehidupannya tidak mendapat hambatan dari pemerintah kolonial, bahkan beberapa pejabat tinggi pemerintah Hindia Belanda justru mencintai pertunjukan teater tradisional. Berdasarkan hal-hal tersebut, sejarah teater tradisional di Priangan pada periode 1904-1942 menarik untuk diteliti dan penelitian itu memiliki arti penting, yaitu melalui pendekatan sejarah, akan diketahui latar belakang munculnya jenis-jenis teater tradisional, dan kehidupan masyarakat pendukungnya. Hal ini merupakan tujuan utama penelitian. Teater tradisional di Priangan dipilih sebagai objek penelitian juga didasarkan pada arti pentingnya daerah Priangan pada zaman Hindia Belanda, baik bagi pihak kolonial maupun bagi masyarakat pribumi daerah setempat. Hal itu tidak dapat dipisahkan dari pentingnya kedudukan/fungsi kota Bandung sebagai pusat daerah Priangan. Kota Bandung yang semula hanya berfungsi sebagai ibukota kabupaten (akhir tahun 1810 – pertengahan tahun 1864), kemudian kota itu memiliki kedudukan/fungsi rangkap sebagai ibukota Keresidenan Priangan sejak awal Agustus 1864, sebagai pusat transportasi kereta api Jalur Barat sejak pertengahan tahun 1884, sebagai gemeente (kota berpemerintahan otonom) sejak 1 April 1906, dan sebagai ibukota Provinsi Jawa Barat (Provincie West Java) sejak 1 Januari 1926 (Hardjasaputra, 2002: 33, 127, 207, 277 dan Hardjasaputra dalam Pikiran Rakyat, 24 Juli 2010). Tahun 1904-1942 dipilih sebagai ruang lingkup temporal penelitian dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana kehidupan teater tradisional di Priangan dalam gejolak pergerakan nasional 10
Priangan sebagai nama daerah muncul dalam panggung sejarah sekitar pertengahan abad ke‐17. Nama Priangan muncul setelah Kerajaan Sumedang Larang dikuasai oleh Mataram mulai tahun 1620. Sejak tahun itu tatus kerajaan tersebut berubah menjadi Kabupaten Sumedang. Bekas wilayah kerajaan itu kemudian disebut Priangan. Masih dalam abad ke‐17 di Priangan berdiri pula beberapa kabupaten, yaitu Galuh. Bandung, Parakanmuncang, Sukapura, dan Limbangan (Widjajakusumah dan R. Moh. Saleh, 1960 : hal. 65; Soeria di Radja, 1927 : hal. 44). 11 Seni pertunjukan itu adalah Pantun Sunda, Tarawangsa, Beluk, Wayang Golek, Wayang Wong (Orang), Uyeg, Ronggeng Gunung, Cianjuran, Ketuk Tilu, Longser, Sandiwara Sunda, Manorek, Gending Karesmen, Pencak Silat, Surak Ibra, Ngadu Domba, Calung, Reog, Badawang, Ujungan, Benjang, Goong Rentang, Gandang, Badud, Kuda Renggong, Bangreng, Genggong, Laes, Rudat, Terbang, Rengkong, Angklung Buncis, Angklung Sered dan sebagainya (Kurnia & Nalan, 2003: 89‐99; Nalan, 2006: 11; Atmadibrata , 2007: 141). 12 Ke tujuh jenis teater tradisional ini dipilih berdasarkan cara penyajiannya yang membawakan lakon dan diperankan oleh manusia di atas pentas.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Maysrakat (PKM)
Halaman ~ 123
yang syarat dengan nuansa politik. Tahun 1904 dipilih sebagai titik tolak penelitian mengacu pada munculnya Tunil Tembang, satu jenis Teater Menak yang pertama kali muncul pada periode tersebut, tepatnya tahun 1904. Tahun 1942 (awal) dijadikan batas akhir penelitian, mengacu pada berakhirnya pemerintahan Hindia Belanda. PEMBAHASAN Kehidupan teater tradisional di Priangan pada tahun 1904 sampai dengan tahun 1942 menunjukkan perkembangan. Berdasarkan kalangan masyarakat dan budaya pendukungnya, teater tradisional waktu itu terdiri atas dua kelompok, yaitu Teater Ménak dan Teater Rakyat, masingmasing memiliki ciri khas. Akan tetapi struktur kedua kelompok teater tersebut sama yaitu; lakon, pemain, tari, karawitan (musik), tempat pertunjukan, dan penonton. Teater tradisional di Priangan dalam kurun waktu tersebut dilihat dari sifat perkembangannya terbagi atas dua tahap. Tahap pertama periode 1904 - 1925 dan tahap kedua periode 1926 – awal 1942. Pada periode 1904 - 1925 teater tradisional di Priangan, baik Teater Ménak maupun Teater Rakyat masih sederhana, baik gaya pertunjukannya maupun unsur-unsur yang terkait langsung dengan gaya pertunjukan. Dengan kata lain, teater tradisional di Priangan periode 1904 - 1925 cenderung belum berkembang secara signifikan. Pertunjukan teater tradisional di Priangan periode ini baru merupakan ”karya rintisan”. Kehidupan Teater Ménak dirintis oleh munculnya Tunil Tembang tahun 1904. Keberadaan Teater Rakyat diawali oleh munculnya kembali seni Uyeg. Belum berkembangnya teater tradisional di Priangan pada periode 1904-1925, secara garis besar boleh jadi disebabkan oleh dua faktor. Pertama, para penggagas dan pemain teater tradisional belum memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup dalam bidang teater. Kedua, pertunjukan teater itu pada umumnya belum sepenuhnya bersifat komersial, melainkan lebih bersifat hiburan. Oleh karena itu, pertunjukan teater waktu itu, khususnya Teater Rakyat belum menopang kehidupan ekonomi pelaku seni teater. Pada tahap awal, pertunjukan Teater Rakyat terkait erat dengan kebiasaan atau pola kehidupan rakyat agraris yang tergantung pada musim yang berkaitan dengan kegiatan pertanian. Pertunjukan biasanya dilaksanakan hanya pada saat-saat tertentu terkait dengan musim dalam budaya pertanian, khususnya pertanian padi di sawah. Namun demikian, kedua kelompok teater itu tetap eksis, karena masing-masing memiliki budaya pendukungnya, ditunjang oleh kondisi daerah yang cukup kondusif. Semangat gerakan nasionalisme yang berkembang tidak berpengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat Priangan. Pada periode 1926 – 1942, baik Teater Ménak maupun Teater Rakyat, cenderung menunjukkan perkembangan, baik jenis-jenisnya maupun gaya pertunjukannya. Dalam kelompok Teater Ménak lahir jenis teater baru yang disebut Gending Karesmen tahun 1926. Dalam kelompok Teater Rakyat muncul jenis teater yang disebut Manorek tahun 1927. Berkembangnya teater tradisional di Priangan pada periode 1926-1942 terjadi oleh karena dua faktor. Pertama, para penggagas dan pemain sudah memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup dalam bidang teater. Boleh jadi pengetahuan ini diperoleh dari semakin intensifnya pengaruh teater Barat. Unsur-unsur pertunjukan teater Barat diadopsi antara lain naskah lakon dan panggung pertunjukan. Terutama keberadaan naskah lakon sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam setiap pertunjukan Teater Ménak. Keadaan sebaliknya tidak terjadi dalam Teater Rakyat. Begitu pula penggunaan panggung dalam kelompok Teater Rakyat hanya terbatas kepada jenis Tunil Sunda dan Manorek. Penggunaan panggung kepada kedua jenis Teater Rakyat tersebut lebih didasari oleh kebutuhan praktis/teknis di lapangan. Unsur tari dan musik lebih banyak digunakan di
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Maysrakat (PKM)
Halaman ~ 124
dalam pertunjukan Teater Ménak daripada dalam Teater Rakyat, karena tari dan musik membutuhkan penghayatan filosofis yang dimiliki oleh kalangan ménak. Kedua, munculnya bentuk pertunjukan baru seperti film pada tahun 1926. Pertunjukan Lutung Kasarung melalui media film membangun orientasi baru bagi dunia pertunjukan teater tradisional menjadi pertunjukan komersial. Para pelaku yang awal mulanya dilandasi atas hobi (untuk hiburan) berubah menjadi pelaku yang mengarah kepada sifat komersial. Unsur-unsur teater Barat yang mempengaruhi teater menak membuat teater ménak berkembang lebih cepat dan dapat dikenal secara luas. Pengaruh teater Barat mudah masuk ke dalam teater ménak karena didukung kalangan terpelajar. Berbagai fasilitas, sarana dan prasarana, seperti; Gedung pertunjukan, transfortasi (kereta api), media cetak (surat kabar dan majalah), dan media elektronik (radio) sangat mudah diakses. Terutama dua jenis fasilitas yang disebutkan terakhir sudah menjadi bagian dalam kehidupan kalangan ménak dan kalangan terpelajar. Fasilitasfasilitas tersebut terpusat di kota Bandung sehingga dapat dipahami apabila Bandung menjadi pusat perkembangan teater tradisional. Pembangunan berbagai fasilitas tersebut sejalan dengan Bandung sebagai ibukota Kabupaten merangkap sebagai ibukota Keresidenan Priangan (sejak pertengahan tahun 1864, dan sebagai gemeente (kota berpemerintahan otonom) sejak awal bulan April 1906. Pesatnya perkembangan Teater Ménak di Priangan tidak lepas dari peranan bupati yang memiliki kepentingan dalam kedudukannya sebagai pimpinan daerah. Teater tradisional sangat efektif dijadikan media pencitraan dan media komunikasi bagi kepentingan para bupati dihadapan rakyat dan pemerintah kolonial. Beberapa kali kunjungan Gubernur Jenderal bersama keluarga kerap disuguhi pertunjukan teater tradisional. Pengaruh teater Barat tidak serta merta mengubah penamaan perkumpulan teater tardisional di Priangan. Hal tersebut mengindikasikan fanatisme kedaerahan masih kuat. Beberapa lakon dalam pertunjukan teater tradisional dipentaskan berulang, hal ini mengindikasikan antusias masyarakat terhadap lakon-lakon tertentu tetap kuat. Lakon-lakon tersebut adalah Lutung Kasarung, Ciung Wanara, dan Panji Wulung. Itulah mengapa teater tradisional mampu bertahan sampai akhir periodesasi ini (1942). Akibat pengaruh teater Barat, kehidupan kedua kelompok teater tersebut di atas menunjukan arah perkembangan yang berbeda. Teater Ménak secara berangsur-angsur mengarah kepada gaya penyajian teater Barat (modern). Sementara sampai tahun 1942 gaya penyajian Teater Rakyat masih tetap bertahan. PENUTUP Jenis-jenis kesenian tradisional Sunda, termasuk jenis teater, jumlahnya sangat banyak. Sampai penelitian ini dilakukan, tulisan-tulisan hasil penelitian tentang kesenian tradisional Sunda, pada umumnya terbatas pada segi instrinsik jenis kesenian tertentu (terutama yang berkembang sampai saat sekarang), sedangkan penelitian dari segi sejarahnya dapat dikatakan masih langka. Oleh karena itu, sangatlah wajar bila jenis-jenis kesenian itu, khususnya jenis-jenis kesenian yang masih hidup, diteliti kesejarahannya secara bertahap, sehingga akhirnya diperoleh dokumentasi tertulis jenis-jenis kesenian tradisional Sunda secara komprehensif dan menyeluruh. Hal tersebut pada tempatnya apabila mendapat perhatian dari STSI dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat. Dokumentasi itu akan memiliki arti penting, baik bagi pihak STSI maupun bagi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat. Bagi pihak STSI dokumentasi itu akan menjadi pelengkap materi perkuliahan dan penelitian. Bagi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Maysrakat (PKM)
Halaman ~ 125
Barat dokumentasi itu penting artinya sebagai bahan acuan bagi pelaksanaan program pelestarian seni tradisioanl Sunda. Sejalan dengan hal tersebut, tidaklah berlebihan apabila dipertimbangkan pula oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat adanya museum seni tradisonal Sunda di Jawa Barat, sebagai tempat pendokumentasian dan pelestarian perangkat seni-seni tradisioanl dan dokumen pertunjukan seni dalam bentuk audio visual. Keberadaan museum itu, selain penting artinya bagi para peneliti seni, juga akan menjadi objek wisata yang menarik. DAFTAR PUSTAKA Atmadibrata, Enoch et al. 2007. Khazanah Seni Pertunjukan Jawa Barat. Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat. Hardjasaputra, A. Sobana. 2002. Perubahan Sosial di Bandung 1810-1906. Disertasi. Depok: Program Pascasarjana Fakulat Sastra Universitas Indonesia. _____________________. 2010. ”Titimangsa Jawa Barat”. Pikiran Rakyat, 24 Juli 2010. Kurnia, Ganjar dan Nalan, Arthur S. 2003. Deskripsi Kesenian Jawa Barat. Bandung: Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat dan Pusat Dinamika Pembangunan UNPAD. Nalan, Arthur S. 2006. TeaterEgaliter. Bandung: Sunan Ambu Press. Widjajakusuma, R.D. Asikin. 1961. Tina Babad Pasundan; Riwayat Kemerdikaan Bangsa Sunda Saruntagna Karadjaan Padjadjaran Dina Tahun 1580. Bandung : Kalawarta Kudjang.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Maysrakat (PKM)
Halaman ~ 126
DOSEN PEMULA
MELACAK SITUS MEGALITIKUM GUNUNG PADANG DI KABUPATEN CIANJUR JAWA BARAT DENGAN PENDEKATAN FOTOGRAFI DOKUMENTER Cahyadi Dewanto Husen Hendriyana ABSTRAK Fenomena misteri yang terjadi di Situs Megalitikum Gunung Padang menjadi dasar dalam penelitian ini, yakni fenomena misteri tentang keragaman interpretasi kebenaran situs yang berkembang di antara beberapa cara pandang kelompok masyarakat. Cara panadang tersebut meliputi cara padang yang bertitik tolak pada wujud visual, mitos, arkeologi dan sejarah bercampur mewarnai eksistensi situs tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan peta kekuatan tradisi yang menjadi eksistensi tersebut melalui pendekatan antropologi visual. Metode perwujudannya bersumber dari narasi visual Fotografi Dokumenter dengan pertimbangan unsur-unsur yang menyertai fenomena misteri tersebut. Rekaman fenomena faktual tersebut diwujudkan melalui medium fotografi sebagai upaya dalam memaparkan fenomena baru dari sebagai hasil perenungan terhadap perhelatan kekuatan fenomena misteri terhadap arah pembenaran situs tersebut. Penelitian ini tujuan memberikan pengetahuan baru bagi masyarakat luas dengan sasaran dapat menghadirkan fenomena baru yang dapat memperkaya keempat fenomena misteri tersebut. Dengan demikian penelitian dapat memberikan pengetahuan baru tentang artifak yang terdapat di Situs Megalitikum Gunung Padang bagi masyarakat luas. Hasil dari penelitian ini kemudian diimplementasikan dalam bentuk pameran fotografi dokumenter disertai dengan media publikasi seperti katalog, poster, spanduk sebagai pendukung sebuah pameran. Kata Kunci: Situs Gunungpadang, fotografi dokumenter, antropologi visual. PENDAHULUAN Sejak ditemukannya fotografi, fenomena sejarah dan budaya yang terjadi sangat terbantu sebagai pendukung data otentik yang sangat berarti bagi kajian ilmiah. Berkembangnya ilmu pengetahuan khususnya dengan Photografi sebagai sub bidang keilmuan berposisi dan bersingungannya pada lintas disiplin ilmu lain. Searah perkembangan teknologi, kehadiran fotografi telah membuka cakrawala baru dalam riset-riset ilmiah, berkaitan dengan lintas disiplin ilmu, seperti antropologi, sosial, budaya, sejarah dan arkeologi. Fotografi dokumenter yang dapat memaparkan runtutan sejarah, memberikan pengetahuan yang dalam hal ini keberadaan situs megalitikum Gunung Padang dalam rekaman realitas dengan imaji-imaji sebagaimana tergambarkan dalam takaran visual yang obyektif. Seiring berkembangnya dan perhatiannya terhadap cagar budaya situs megalitikum Gunung Padang ini, berkembang pula wacana dan budaya analisis dan interpretasi di masyarakat terhadap situs tersebut. Fenomena misteri tentang keragaman interpretasi kebenaran situs yang berkembang di antaranya ada beberapa cara pandang kelompok masyarakat dalam menginterpretasikan situs tersebut. Cara panadang tersebut meliputi cara padang yang bertitik
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 127
tolak pada wujud visual, mitos, arkeologi dan sejarah bercampur baur mewarnai eksistensi situs tersebut, sehingga hal ini memberikan berbagai pengetahuan yang tidak jelas dan pasti terkait dengan situs tersebut. Metode etnografi dan antropologi visual dalam penelitian ini, dipandang relevan dan sangat membantu dalam menerjemahkan situs megalitikum Gunung Padang yang pada kenyataannya adalah situs yang masih lestari hingga kini. Posisi penlitian kualitatif ini tidak hanya merekam keberadaan situs, akan tetapi bagaimana mendeskripsikan situs megalitikum Gunung Padang. Bagaimana mengelaborasi adanya fenomena budaya, yaitu aktivitas dan peristiwa kontekstual di balik artifak situs megalitikum Gunung Padang dan bagaimana merangkum studi etnografis dari aktivitas dan peristiwa yang dapat direkam dan disajikan dalam bentuk fotografi yang dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah. PEMBAHASAN Gambaran peristiwa budaya yang diwujudkan dalam bentuk fotografi merupakan hasil dari teknologi, fotografi sanggup merekam, mengidentifikasi sekaligus mengungkap fakta-fakta atau peristiwa tertentu. Fakta-fakta tersebut berkaitan langsung dengan nilai historis (aktifitas dan peristiwa kontekstual) yang terjadi pada masa lalu. Fotografi merupakan alat dalam pengumpulan informasi visual yang lebih akurat. Keunggulan bahasa visual membantu menginterpretasikan teks dengan imajinasi yang lebih terfokus, disbanding dengan bahasa lisan dan tulisan, yang lebih member ruang imajinasi interpretatif lebih luas dan lebih abstrak. Merujuk pada pemahaman yang disampaikan Soetriono & Rita, (2007: 166), bahwa dalam saru proses penelitian diperlukan adanya obyek yang diteliti yang hendak disampaikan kepada subyek, supaya subyek dapat memahami dari apa yang tersurat maupun yang tersirat pada obyek, pemahaman itu memerlukan media dan medium, bahkan metode yang dapat dijadikan alat yang relevan untuk dapat menjelaskan tentang obyek tersebut. Pemahaman dapat terbentuk karena adanya pemahaman aktifitas dan peristiwa kontekstual yang menyertai di balik wujud objek dimaksud. TOOL Medium Media
OBJECT
SUBJECT
ACTIVITY Situasi , Peristiwa
Sumber: Soetriono & Rita, (2007).
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 128
Melalui studi lapangan di Situs Megalitikum Gunung Padang banyak temuan yang didapatkan, namun tidak dapat disampaikan semuanya pada makalah ini, satu contoh bahasan dapat dijelaskan sebagai berikut: Bahasa Tulisan dalam konteks sebagai tool merekam bahasa Lisan dari hasil wawancara dan hasil studi literatur bahwa di Situs Megalitikum Gunung Padang, tepatnya di Teras pertama terdapat artefak dengan bentuk tertentu yang di beri nama Batu Gamelan. 2. Bahasa visual: gambar dan foto merekam bentuk dan kondisi lingkungan alam Situs Megalitikum Gunung Padang berposisi sebagai latar dan setting objek penelitian (Batu Gamelan). 1.
1
2
Gambar 1 Tingkatan teras (Punden Berundak) (Sumber: http://jakartagreater.com/teknologi-istimewa-situs-
Gambar 2: Kondisi Lingkngan Alam
gunung-padang/)
3.
Bahasa visual merekam lebih dekat dari setting di atas dengan media foto dan berposisi sebagai fotografi dokumenter.
1.a
1.b
(didapatkan dari studi lapangan dengan tool fotografi dokumenter yang diambil oleh peneliti tanggal 8 September 2013).
Foto documenter memastikan dan memperjelas keberadaan objek Batu Gamelan (tanda lingkaran). 4.
Bahasa visual merekam lebih detail fokus pada objek Batu Gamelan dengan media foto dan berposisi sebagai fotografi Seni.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 129
(didapatkan dari studi lapangan dengan tool fotografi dokumenter yang diambil oleh peneliti tanggal 8 September 2013). 5.
Representasi objek artefak Batu Gamelan dinyatakan sebagai objek Fotografi seni, dengan kaidah unsur-unsur simbolik sebagai seperti pada foto 2.b berikut.
2.a
2.b
Pada konteks ini khsusunya pada foto 2.b bukan lagi sebagai foto documenter malainkan murni fotografi seni, karena itu berperan sebagai objek yang dapat berdiri sendiri, dan bahkan bisa tidak menerangkan artefak situs Gunung Padang. 6.
Dalam konteks lain Batu Gamelan (Ft.2.a) secara fisik bukan mewakili sebagai gamelan. Tiga goresan berlubang tersebut dapat ditafsirkan sebagai lubang alami yang ditimbulkan adanya tumpukan dari batu lain atau pelapukan jenis batu yang memiliki
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 130
kualitas keras bereda sehingga terbentuklah lubang seperti itu.
3.b
3.a
4.b
4.a
Bahasa visual merekam kondisi realitas di lapangan dengan media foto dan berposisi sebagai fotografi dokumenter. 7.
Interpretasi pada no 6 di atas dapat dikuatkan dengan rekaman foto (5a dan 5b). Foto ini sebagai fotografi dokumenter bila dirangkainkan seperti penjelasan di atas. Tetapi juga fotografi dengan zooming dan engle seperti pada foto (5a dan 5b) dapat berdiri sendiri dan berposisi sebagai fotografi seni. Jelasnya foto yang hanya disampaikan dalam tampilan visual cropping/close up tanpa skala, tanpa unsur atau objek lain disekitarnya kurang menjelaskan/menjawab persoalan antropologi visual, karena dominasi aktivitas dan peristiwa kontekstual lebih pada kreatifitas fotografernya (interaksi fotografer- objek- dan kameran sebagai alat teknologi). Hal ini lebih dominan termasuk di dalam ranah estetika.
5.a
5.b
(didapatkan dari studi lapangan dengan tool fotografi dokumenter yang diambil oleh peneliti tanggal 8 September 2013). 8.
Interpretasi pada no 6 di atas dapat dikuatkan lagi dengan rekaman foto di bawah ini, foto sebagai fotografi dokumenter (diambil oleh peneliti tanggal 8 September 2013).
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 131
PENUTUP Fotografi pada hakikatnya adalah merekam realitas, akan tetapi pada perkembangan selanjutnya dalam konteks penelitian, fotografi merupakan alat yang dapat menerjemahkan fenomena yang terjadi, dalam hal ini penelitian yang penulis lakukan tentang situs megalitikum Gunung Padang. Secara obyektif, fotografi dapat menjelaskan fenomena sejarah yang ada. Pandangan yang digunakan dalam fotografi merupakan pengejewantahan dari teknis kamera kemudian secara kimiawi dapat memunculkan imaji yang dapat dibaca, ditelaah sehingga menjadi kajan yang menarik. Dengan keterbatasan waktu dan dana, penelitian ini masih jauh dari sempurna. Karena penelitian hal ini membutuhkan riset panjang dan wawancara mendalam untuk dapat mencapai tujuan penelitian. Membedah situs megalitikum Gunung Padang, tidak hanya dengan ilmu fotografi, diperlukan lintas disiplin untuk dapat menerjemahkan visual secara komprehensif. Konstruksi kebudayaan yang tidak serta-merta ada begitu saja, bagaimana manusia dengan budaya yang mereka yakini sehingga melahirkan fenomena, mitos yang bila diterjemahkan di zaman kini menjadi kajian menarik berkaitan dengan terbentuknya situs-situs seperti halnya yang ada di Gunung Padang khususnya. DAFTAR PUSTAKA Soetriono & Rita. (2007), Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Andi Offset, Yogyakarta http://id.wikipedia.org/wiki/Situs_Gunung_Padang. Diakses 19 April 2013 http://jakartagreater.com/teknologi-istimewa-situs-gunung-padang/. Diakses 19 April 2013.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 132
PANGGUNG OPERA VAN JAVA, DI STASIUN TV TRANS 7 Nani Sriwardani Savitri ABSTRAK Acara hiburan OVJ merupakan acara bergenre komedi dengan mengusung konsep opera yang diadopsi dari wayang orang. Konsep acara tersebut ditandai dengan adanya pertunjukan dengan iringan musik, nyanyian dan dialog. Selain itu pertunjukan ditandai dengan kehadiran dalang, sinden, pemain musik, dan pemain sketsa/pertunjukan. Semua bagian yang mengisi acara tersebut diaplikasikan kepada tata panggung agar menjadi satu kesatuan, saling mengisi dan mendukung acara. Tata panggung OVJ memiliki sifat atau character dengan beberapa set panggung dalam tiap episode/cerita. Sifat dari panggung komedi ovj yaitu terbuka, ceria, ringan, menyenangkan dan menghibur. Hal tersebut diwujudkan melalui penentuan scenery, pemilihan bahan, pencahayaan, tekstur dan properties. Elemen panggung tersebut berfungsi sebagai bahan untuk memancing lawakan. Penggunaan panggung sketsa/pertunjukan inilah yang dibuat dan digunakan secara maksimal. Kata Kunci: OVJ, komedi, panggung, opera
PENDAHULUAN Opera van Java adalah suatu konsep acara opera diadopsi dari wayang orang dan panggung komedi. Di acara ini terdapat seorang dalang, sinden beserta para pemain musik tradisional, pemain/pemeran, dan penonton. Keseluruh pengisi acara ditempatkan pada suatu penataan pentas. Set dalang merupakan set permanen yang tidak mengalami perubahan. Area penonton dibuat seperti panggung arena yang terletak di kiri kanan panggung dalang. Set sketsa terdiri dari 3 kotak panggung pertunjukan, dimana pertunjukan akan berpindah set sesuai dengan naskah per segmen/babak yang telah direncanakan. Dalam penataan panggung bertemakan komedi dibutuhkan suatu sifat, character, atau kekhasan untuk menginformasikan jenis acara dan skenario ceritanya. Selain itu mengetahui bagaimana mewujudkan sifat acara tersebut ke dalam tata panggung serta informasi sistem kerja tim yang sistematis. Pengamatan panggung pertunjukan ovj melalui televisi dan menonton langsung merupakan bagian dari rangkaian observasi. Pengamatan sebelum pertunjukan taping, saat pertunjukan berlangsung, dan saat ganti set panggung untuk pertunjukan berikutnya. Pengamatan seksama dilakukan dari penonton masuk mengisi panggung arena, pengaturan pencahayaan saat sinden beraksi, interaksi penonton, penggunaan panggung sesuai babak, dekor panggung, sampai kepada penggunaan berbagai property yang disediakan di atas panggung pertunjukan/panggung sketsa.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 133
PEMBAHASAN Pada pertunjukan ovj disiapkan dua set/panggung yaitu set dalang dan set sketsa. Set dalang merupakan panggung yang diperuntukkan untuk dalang, sinden dan para pemain musik, sedang set sketsa merupakan panggung untuk para pemain/aktor. Panggung Dalang dan Audience Set Dalang adalah panggung yang disiapkan untuk pertunjukan dalang, sinden dan para pemain musik. Panggungnya dibuat permanen, sehingga tidak mengalami pengaruh terhadap tema cerita/naskah di tiap episodenya. Pembuka acara di televisi ini selalu dimulai dari para sinden dan pemain musik, sehingga scene/suasana pertama yang ditangkap adalah set/panggung dalang. Panggung Audience/penonton Panggung penonton disiapkan disisi kiri dan kanan dari panggung dalang, dibentuk seperti panggung arena setengah lingkaran. Penonton membantu dalam meramaikan suasana pertunjukan. Kelemahan posisi tersebut adalah sudut pandang penonton terlalu jauh untuk menangkap kegiatan di panggung sketsa.
Gb. 2. Denah sketsa sudut pandang penonton Sumber: dok.pribadi. 2013
Penonton bayangan berada di area sirkulasi kamera, yaitu mengikuti kamera yang berpindah duduk berpindah sesuai set per segmen cerita dan duduk setelah posisi kamera sudah berada di depan set. Kenyamanan sudut pandang penonton tidak diutamakan, dikarenakan pertunjukan ini diutamakan untuk acara televisi. Penonton menjadi bagian scene untuk menunjukkan atmosfer/suasana yang meriah, riang, dan ceria. Set/Panggung Sketsa Proses Produksi Set/Panggung Sketsa Dalam menentukan set panggung terdapat rangkaian/tahapan proses ide, desain sampai panggung jadi di lapangan.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 134
Proses produksi
Bagan 1. Proses Produksi Sumber: sketsa. 2013
Tim kreatif bertanggung jawab membuat naskah yaitu brainstorming/gagasan, membangun alur cerita, konsep serta merancang tahapan para pemain dan prosesnya sampai menjadi naskah final. Tiap satu orang dari tim kreatif bertanggung jawab untuk satu episode Dalam satu hari pertunjukan dibuat untuk dua episode, dan tim kreatif menyusun untuk pertunjukan selama satu minggu siaran yaitu 6 episode sehingga prakteknya seluruh tim bekerja bersama-sama. Tim kreatif juga merancang kebutuhan, membuat daftar yang diperlukan pada set, seperti property, tambahan bahan dan lainnya. Kebutuhan yang telah direncanakan, dikomunikasikan dengan set designer, yang selanjutnya diaplikasikan ke desain dan gambar kerja oleh set designer. Set designer selanjutnya menggambar set panggung untuk 6 episode, tiap episode terdiri dari 3 set untuk 6 segmen/babak. Preliminary design dilihat terlebih dahulu oleh tim kreatif sebelum dikasi penugasan kepada vendor sebagai pelaksana. Setelah desain dan gambar kerja sudah final, set designer memberi penugasan kepada vendor selaku pelaksana di lapangan. Set designer juga memberikan gambar kerja kepada set builder. Set builder memegang gambar dan bertugas berkomunikasi dengan vandor serta mengontrol pekerjaan tukang di lapangan terutama saat pemasangan agar sesuai dengan gambar kerja. Koordinasi dan pekerjaan yang cepat sangat dibutuhkan, dikarenakan tuntutan produksi siaran. Pekerjaan yang molor akan menyebabkan hasil yang minimal bahkan jauh dari sempurna, dikarenakan pertunjukan harus tetap berlangsung dan tidak mungkin dilakukan perubahan jadwal atau mundur dari waktu yang telah ditentukan. Set/Panggung Sketsa Dalam sehari ada 2 kali shooting untuk 2 episode/pertunjukan. Shooting pertama dimulai pukul 14.00 untuk siaran tunda/rekaman, dan shooting kedua pada pukul 19.00 untuk siaran langsung/live. Episode yang diamati pada tanggal 23 Oktober 2013 adalah episode “Boneka Jadi Temanku”(BJT). Pertunjukan berlangsung pada pukul 14.00 untuk siaran tunda atau pengambilan gambar akan direkam untuk penayangan tanggal 4 November 2013. Dan persiapan panggung untuk pertunjukan live/ siaran langsung yang tayang pada pukul 19.00 dengan episode “Suka-suka”. Panggung dasar/panggung permanen untuk set sketsa telah disiapkan berupa tiga kotak untuk 3 set panggung pertunjukan, dimana ketiganya memiliki besaran yang berbeda. “Set panggung kotak adalah setting yang dirancang untuk mensimulasikan suaru ruang tertutup. Keseluruhan bagian tersebut dibuat datar/flats” (Mayer, 1999: 28).
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 135
A
B
C
Gb 3. tiga kotak panggung pertunjukan sketsa Sumber:. Sketsa. 2013
Scenery panggung pertunjukan ovj diwujudkan dengan penggunaan backdrop, lantai dan perbedaan level ruang set berupa tangga, groundrow, lighting, dan stage properties -
Backdrop Backdrop pada panggung ovj menggunakan printout dari bahan kain kanvas atau frontlite. Serta ada bagian backdrop yang terbuat dari papan tripleks/plywood tipis yang di cat, dan juga kombinasi keduanya yaitu plywood juga printout. Backdrop diberi bukaan baik berupa jendela atau pintu yang berhubungan dengan backstage sebagai alur masuk pemain/aktor, bisa juga melalui sisi set berupa wing. Panggung A
Keterangan backdrop Etalase toko, material papan. Warna: biru, putih dan coklat muda Printout: interior mal (perspektif). Warna: coklat muda Jendela Etalase Entrance Pola lantai menyesuaikan dengan warna dan pola yang ada di gambar dengan warna terang Suasana/Lokasi: lingkungan pertokoan di mal Kesan
: seimbang, terbuka, santai, menyenangkan
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 136
B
Backdrop: plywood warna:biru, cerah Keluar masuk pemain, pintu dan wing Jendela terbuka dengan bagian belakang printout gambar pemandangan Suasana/Lokasi : Interior kamar tidur Warna
C
: Dingin
Tulisan sebagai anchor, memperjelas gambaran keterangan lokasi ruang Dinding kampus, material papan. Warna: coklat Pintu‐> keluar masuk pemain/aktor Printout:gambar bangunan dan pepohonan. Warna : Biru langit, coklat dan hijau Suasana : gambaran lingkungan pelataran kampus Dekor kurang informatif. Titel pada backdrop yang memperjelas informasi lokasiWarna : Warna tidak kontras cenderung dominan.Kesan : santai, menyenangkan
Tabel 1. Backdrop dan sifatnya Sumber: Pribadi,Oktober. 2013
Ketiga panggung diatas memiliki kesan latar panggung yang berbeda dengan material yang sama yaitu kombinasi. -
Alas panggung Pada episode yang diamati kali ini, level lantai terjadi pada panggung C berupa teras kampus dengan 3 anak tangga.
Level panggung, mengindikasikan teras kampus. Membantu pemain sebagai tempat duduk saat berdialog Warna cat abu‐abu muda motif seolah‐olah dari material batu Gbr 4. Penerapan lantai pada panggung C Sumber: dok. Pribadi. Oktober. 2013
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 137
Pengolahan lantai juga terjadi pada panggung A dn B. Pada panggung A, lantai menggunakan penutup papan tipis dengan motif berwarna coklat muda. Gambaran pola lantai pada print dinding Pola lantai warna coklat muda, licin dan meantulkan cahaya Pemasangan lantai bahan papan motif, dengan cara di lem
Gbr 5. Penerapan lantai pada panggung A Sumber: dok. Pribadi. Oktober. 2013
Lantai pada panggung B diberi penutup karpet dibagian tengah, namun itu hanyalah kesan karpet. Penutup tersebut sebenarnya papan tipis dicat beragam warna. Penggunaan seolah-olah karpet berbahan papan di lem ini dimaksudkan agar pemain tidak terganggu seperti jatuh saat berjalan. Penutup karpet bebahan papan, dengan cara di lem
Gbr 6. Penerapan lantai pada panggung B Sumber: dok. Pribadi. Oktober. 2013
Tekstur yang digunakan pada lantai adalah flat/datar, pemberian material bertekstur hanya berupa kesan dari pewarnaan ataupun gambar motif. Warna cerah dominan digunakan di setiap panggung, hal ini bertujuan meningkatkan kekuatan cahaya pada panggung dan memberi kesan meninggikan lantai. -
Stage properties Panggung sketsa ovj dilengkapi dengan properties yang terbuat dari styrofoam, plywood, kayu, bambu, dan bahan lainnya. Property dari bahan tersebut umumnya berbentuk furniture/perabotan seperti kursi, meja, lemari, rak – bentuk alam seperti batu, binatang, pohon - serta bentuk lainnya seperti mobil, motor, gerobak, mesin atm, telepon dan sebagainya. Gudang pembuatan properties berdekatan dengan lokasi pertunjukan. Ini bertujuan memudahkan pengerjaan dalam pergantian set. Aksesoris panggung biasanya dibuat dengan ukuran yang tidak semestinya yaitu dibuat lebih besar atau lebih kecil, seperti motor mobil yang dibuat lebih kecil atau handphone yang
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 138
dibuat lebih besar dari ukuran aslinya. Hal tersebut sengaja dilakukan dengan tujuan sebagai sarana pemancing ide lawakan di panggung.
Property: furnitur kursi yang aman untuk di duduki. Dikarenakan adegannya akan terjadi wawancara sambil duduk. Hal ini diperjelas dengan penggunaan karpet sebenarnya, karena adegan masi dirasa aman untuk menggunakan furnitur sebenarnya.
furnitur lemari dan aksesoris diatas terbuat dari styrofoam.
Property terbuat dari papan dan rangka kayu. Bagian bawah rak tidak di finishing dikarenakan dibagian ini tidak tertangkap oleh kamera
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 139
Para aktor/pemain seringkali menggunakan property tidak sesuai bentuk fungsinya, atau digunakan dengan merusaknya yang bertujuan untuk menghibur atau membuat tertawa penonton.
Gbr 7. Penggunaan property Sumber: dok. Pribadi. Oktober. 2013
Bahan yang cenderung mudah hancur mengakibatkan barang ini memang di tempatkan untuk di rusak, sesuai keinginan para aktor.
Proses Perubahan Set Panggung Pergantian set terjadi 2 kali yang dilakukan dengan cepat. Pemasangan set untuk pertunjukan pertama pada pukul 14.00 sampai pukul 16.00, untuk siaran rekaman dengan pemasangan set dilakukan sebelum acara dimulai. Dan pertunjukan berikutnya dimulai pada pukul 19.00-21.00. Selesai pertunjukan set langsung dilepas, dipindahkan dan dibongkar, dan digantikan dengan set baru No 1.
2.
Tahapan Perubahan Set Sketsa
Keterangan Kegiatan Adegan pada segmen/babak terakhir dari sketsa OVJ (tapping untuk ditayangkan pada tanggal 4 November 2013), berakhir pada pukul 16.00 23 Oktober 2013 Acara berakhir, tukang (dari vandor yang di tunjuk) langsung bergerak menurunkan berbagai properti (tanaman, perabotan dan hand properties) yang berada di atas panggung sketsa (3 panggung sketsa). Kondisi properti yang masih baik akan dipertahankan/digunakan kembali sesuai dengan kebutuhan yang telah di list untuk set selanjutnya.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 140
3.
4.
5.
6.
7.
Tukang melepas bagian dasar panggung (jika alas panggung terdapat penutup sebagai karpet, tangga atau kesan material lain). Tahapan ini juga bersamaan melepas printout atau backdrop yang terbuat dari papan atau tripleks. Semua dilakukan dengan rapi, seperti langsung melipat printout dan membawa papan-papan ke luar studio/gudang. Backdrop berupa papan tripleks atau printout mulai dipasang untuk pertunjukan di sesi ke dua.
Elemen yang memperjelas situasi/keadaan/tempat kejadian yaitu berupa batas dan pendukung lain yang memperkuat backdrop mulai di bawa ke dalam studio dan di pasang di bagian depan backdrop. Seperti rak, tangga, profil yang memberi kesan gerbang, kesan tembok, dan lainnya dipasang seperti puzzle 3D, dikarenakan semua elemen tersebut sudah disiapkan sesuai dengan rencana desain. Finishing bagian backdrop dan borders langsung dilakukan di tempat seperti mengecat, memotong dan lainnya.
Berbagai properti mulai dimasukkan ke dalam set, seperti tanaman, rak, buah, buku, dan lainnya. Umunya properti tersebut berbahan styrofoam dan beberapa ada yang asli seperti tanaman, sayur, dan lainnya.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 141
8.
Panggung siap untuk acara live/langsung pada pukul 19.00 (23 Oktober 2013) Tabel 2. Tahapan Perubahan set sketsa Sumber: Pribadi,Oktober. 2013
Koordinasi yang tepat membuat cara kerja sudah ter pola sesuai dengan sistem yang telah direncanakan. Walaupun terkadang banyak juga hasil pekerjaan tidak maksimal atau di luar perkiraan tim kreatif dan set designer, seperti property masih basah oleh cat atau bentuk yang tidak sesuai dengan perencanaan. Perubahan, eksperimen dan inovasi terus dilakukan oleh tim kreatif dan set designer yang bekerja sama dengan vandor.
PENUTUP Sifat dari panggung komedi OVJ adalah terbuka, ceria, ringan, menyenangkan dan menghibur. Inti dari keseluruhan penataan panggung ditujukan untuk satu tujuan yaitu lucu. Penentuan scenery disesuaikan dengan lokasi/lingkungan/tempat dan waktu kejadian yang direncanakan, dan dibuat semirip mungkin. Penggunaan gambar foto pada printout dengan penggunaan papan membentuk dinding suatu ruangan atau bangunan mampu memberikan keseimbangan dengan kesan yang diinginkan. Penggunaan tekstur pada material tertentu juga hanya berupa kesan yang ditangkap oleh mata saja. Kesan tekstur didapat dari motif, gambar atau teknik pewarnaan. Penggunaan kesan tekstur juga digunakan dengan pertimbangan keamanan bagi para pemain saat beraksi. Properties disiapkan dan digunakan sebagai alat pemancing ide. Pemain diberi kebebasan dalam menggunakan property¸ bahkan sampai menghancurkannya. Karena kerugian dari penghancuran properties sebanding dengan pencapaian tujuan yang diinginkan, yaitu lucu. Berbagai dokumentasi, rekaman video sudah mengabadikan penciptaan karya beragam jenis properties. Acara pertunjukan komedi ovj ini merupakan pertunjukan yang disiarkan di televisi dengan target utama adalah penonton televisi. Tampilan pertunjukan di televisi sudah mengalami berbagai editan, jenis kamera yang baik dan kontrol audio visual yang baik sebelum
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 142
sampai ke pemirsanya, sehingga penonton tersebut.
televisi lebih nyaman untuk menikmati acara
DAFTAR PUSTAKA D. K. Ching, Francis. 1996. Ilustrasi Desain Interior. Terjemahan. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hull Miller, James. 1987. Small Stage Sets on Tour. MeriwetherPublishing LTD, Colorado. Hull Miller, James. 1993. Self-Supporting Scenery. MeriwetherPublishing LTD, Colorado. Mayer, David. 1999. A Phaidon Theatre Manual. STAGE DESIGN AND PROPERTIES. Phaidon Press Limited, London. Padmodarmaya, Pramana. 1988. Tata dan Teknik Pentas. Balai Pustaka, Jakarta. Thorne, Gary. 1999. Stage Design. The Crowood Press Juansyah.wordpress.com. Juli 2012. Pengertian Karakter. Juansyah Weblog. http://id.wikipedia.org/wiki/Opera_Van_Java http://id.wikipedia.org/wiki/Wayang_orang
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 143
FORMAT DOKUMEN GAMBAR PADA BERAGAM APLIKASI PC BERBASIS DESAIN GRAFIS Dida Ibrahim Abdurrahman Dyah Nurhayati ABSTRACT The working process of graphic design and multimedia design, is also a computerbased work processes other fields, in practice, have used more than one application program. The issue occurs when a document that has been saved will be processed on different applications, because technically, any application not only store images, but also saves the data processing system and method. By looking at some of these issues, a knowledge of the type and character of the document image should be known by each user, so that the management created documents can be forwarded to the appropriate work flow stages. Keywords:Image File Format, Operating System, Application Program, Document Extention
PENDAHULUAN Perangkat Personal Komputer (PC) bekerja sangat spesifik, detail, terstruktur, sistemik, dan terintegrasi. Pengguna umum pada dasarnya tidak diharuskan untuk memahami persoalan detail teknis pada tiap elemen yang terpasang. Akan tetapi, pemahaman cara kerja sebuah PC akan membantu kelancaran fungsi yang diinginkan/ diharapkan setiap pengguna, karena beberapa pemasangan sistem pendukung yang tidak selaras akan menyebabkan proses mekanis dan fungsinya tidak berjalan secara optimal, bahkan tidak berjalan sama sekali. Berbeda dengan pengguna yang lebih banyak membutuhkan bantuan PC dalam proses penyelesaian kerjanya. Pemahaman terhadap struktur dan elemen seharusya diketahui, sehingga dalam proses kerjanya akan sesuai dengan fungsi dan kebutuhanya.Setiap aplikasi menawarkan format data/ dokumen (data ekstensi) yang spesifik pula, karena tiap aplikasi memuat fungsi yang berbeda, sehingga dalam proses kerjanya harus diolah oleh aplikasi tersebut. Seperti pada kategori pekerjaan Desain Komunikasi Visual (DKV) akan membutuhkan lebih dari satu aplikasi untuk menyelesaikan produknya. Pada prakteknya akan terjadi tukar menukar dan pengolahan jenis dokumen yang sama. Aplikasi yang menghasilkan dokumen gambar masuk dalam kategori Image File Format. Setiap Dokumen gambar memiliki sistem program dan muatan pengolahan data yang beragam serta spesifik, sehingga setiap jenis dokumen akan dikelola dengan tahapan kerja yang sistematik oleh penggunanya, kesalahan dalam proses akan menghambat proses kerja selanjutnya.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 144
P PEMBAHAS SAN A Sistem Operasi/ A. O OS Pada PC Setiap p perangkat elektronik yaang berbasis komputer meemiliki OS-nyya sendiri. Sistem ooperasi atau Operation System/ S OS merupakan m p perangkat sisttem yang mengelola m berragam a aplikasi, term masuk aplikaasi Third-Parrty1,sekaliguss menjembataani arusinstruuksisetiap elemen p perangkat keras (Hardwarre)dari dan kkepada pengggunanya. Tidaak hanya meengelola peranngkat k keras yang menjadi m bagiaan sistem meekanik sebuaah komputer,pperangkat-perangkat tambbahan ( (peripherals) seperti printter, scaner, taablet,sistem jaringan kabeel dan nirkabeel, dan penyim mpan d portabel (flashdisk)meenjadi bagiann pengelolaannya. data
Bagan 1. Baagan interaksi OS Chaplain M Mike Sumber : htttp://www.interrnetmonk.com/ m/wpcontent/uploads c s/165pxOperatingg_system_placcement.svg_.pnng
Gam mbar 1. Logo O OS Kiri atas kee kanan: Mac OS O X, Linnux, Microsoftt Windows. Kirri bawah ke kaanan: iOS, Android, FreeBSD S Sumber: http:///recisdempayoss.wordpress.coom/ 2013/01/008/operating-sy ystem-hunt/
Melihhat potensi yaang bisa dilakkukan dalam sebuah s peranggkat komputeer, beberapa media m llain-pun saat ini terus mennyelaraskan ddiri dengan peerkembangan OS, seperti kamera k digitaal dan t telepon selular. Untuk OS populer m modern yang dirancang daan digunakann untuk peranngkat p personal kom mputer (PC) diantaranya d addalah Microssoft Windowss, Mac OS X, X dan Linux. Pada p perangkat no on-PC berbasiis komputer/ digital dianttaranya Andrroid, iOS, IB BM, dan Winndows P Phone. Setiap p OS dirancan ng untuk mem menuhikebutu uhan penggunna yang beraggam, dan beberapa s sangat spesifiik, seperti pennggunaan OS dalam sistem m kerja berbassis jaringan, pengembanga p an OS p pada perangkkat selular (ssmartphone)ddan perangkaat elektronik berbasis inteernet seperti iPad. M Meskipun berbeda sistem pemogramannya, saat ini setiap s peranggkat eletronikk bisa diaksess oleh j jenis OS yangg bebeda padaa PC. B B.
Hardwarre Komputerr Harddware merup pakan kumpuulan komponen dalam sistem kom mputer yang bisa m menyalurkan perintah, seeperti keyboaard dan mousse, atau mennerima/ menaampilkan perrintah s seperti monittor atau printeer. Komponeen perangkat keras k tidak m menciptakan sistem s perintaahnya s sendiri untuk berjalan, perrangkat tersebbut merupakaan alat yang akkan memprosses setiap insttruksi Aplikasi perangk kat lunak yang diirancang oleh pen ngembang di luar aplikasi yang dip publikasikan oleh h pengembang OSS ((Operation System m). 1
P
idi
P
liti
d
P
bdi
K
d M
k t (PK KM)
H l
145
yang disalurkan oleh pengguna melalui aplikasi atau OS. Komponen yang ada dalam PC meliputi: (1) Motherboard, (2) Processor/ CPU, (3) RAMCard, (4) Videocard, (5) Hard Disk Drive, (6) Soundcard, (7) PowerSupply, (8) CD/ DVD ROM, (9) Keyboard, Mouse, dan Monitor. C. Sistem dan Aplikasi Perangkat Lunak Perangkat lunak yang lebih dikenal dengan software atau aplikasimerupakan sebuah perangkat sistem instruksi yang memuat prosedur, fungsi, dan program secara spesifik dalam pengelolaan fungsi dan jenisnya. Secara umum, perangkat softwareterbagi ke dalam 5 kategori: 1. SystemSoftware, dirancang untuk mengelola setiap elemen perangkat keras PC, mengoperasikan fungsi-fungsinya, serta menjalankan semua sistem operasi antara aplikasi dan hardwaresebagaimana mestinya. Meliputi driverdan boot firmware, server, sistem operasi, pendukung (ulitilies), dan sistem window. 2. Aplikasi, merupakan sebuah perangkat yang memberdayakan setiap fungsi hardware dan sistem operasi sehingga memiliki manfaat bagi para penggunanya, membantu dalam setiap perkerjaan atau fungsi ‘hiburan’, seperti paket Microsoft Office, Adobe Photoshop, WinAmp, DVD Player, dan atau iTunes. Karena perbedaan sistem dasar pengkodean yang membangun sistem operasi/ OS, maka setiap aplikasi dirancang mengikuti pemograman dan mencantunkan OS yang akan menjadi induknya, seperti CorelDraw for Mac atau CorelDraw for Windows x64/ x86. Ketidaksesuaian dalam bahasa program akan menyebabkan aplikasi tidak bisa terpasang atau tidak berfungsi secara maksimal, bahkan bisa sampai merusak sistem operasi induknya. 3. Plugins, merupakan perangkat tambahan atau pengembangan yang terintegrasi langsung dari setiap aplikasi. Hal ini biasanya digunakan untuk menawarkanfungsi khusus dan spesifik pada setiap penggunanya sekaligus mengoptimalkan fungsi dari setiap aplikasi. Softwareplugins ini bisa didapat dari pengembangnya langsung atau pengembang yang berbeda (third party).Setiap plugins biasanya memberi informasi aplikasi yang menjadi induk operasi programnya, seperti perangkat rendering V-Ray untuk aplikasi Google Sketchup dan 3Ds Max. 4. Embedded Softwares, merupakan sistem operasi yang mendukung berjalanya fungsi perangkat yang terhubung dan membutuhkan fungsi elemen pada PC, seperti pada proses menjalankan printer, modem, USB Flashdisk dan atau Smartphone. 5. Microcode, merupakan bagian dari kategori embedded software yang secara spesifik akan menginstruksikan Processor (CPU) untuk menerjemahkan/ meretas setiap kode-kode perintah yang masuk dan keluar, kemudian disalurkan pada setiap perangkat yang dimaksud/ difungsikan. D. FormatFile Format file merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukan standarisasi dokumen yang tersimpan dalam perangkat penyimpanan komputer yang dikenal dengan hardisk, dalam istilah teknis dikenal juga dengan digital memorystorage. Dokumen yang tersimpan tidak hanya menandai spesifikasi kategori bentuk, tapi juga memuat informasi struktur, ukuran, jenis dan pola. Format data dalam media digital memiliki karakteristik yang khas, setiap dokumen
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 146
memuat informasi dan kegunaan yang beragam. Kekhasan ini dibentuk dari sistem binary digit2 (bit) yang menjadi dasar dari semua sistem media informasi berbasis digital. Setiap sistem dokumen dirancang untuk memuat media informasi yang spesifik dan terkait dengan perangkat penerjemah/ peretasnya (aplikasi perangkat lunak). Tanpa perangkat tersebut, tiap dokumen tidak akan terbaca sebagaimana mestinya. Beberapa sistem dokumen terpublikasikan secara terbuka, bisa digunakan oleh setiap pengguna, dan sebagian ada yang sengaja dirancang untuk kebutuhan khusus, seperti jenis data yang berkaitan dengan spesifikasi sistem operasi (Operation System) dan perangkat lunaknya (Software). Di sisi yang lain, tentunya terkait dengan haki dan keamanan, seperti dalam pengelolaan data intelijen, militer, dan pengelolaan data-data digital negara yang dirahasiakan. E.
FilenameExtension Merupakan sistem format data yang berada diakhir penamaan dokumen, ditandai dengan titik kemudian nama data, seperti .JPEG, .doc, .CDR, .psd, .txt, dan lain-lain. Jenis dokumen tersebut terkait dengan sistem aplikasinya. Setiap aplikasi memiliki format datanya sendiri. Data tersebut menyimpan sistem kode yang khas, sehingga kemudian bisa dipanggil kembali melalui aplikasi yang sama, diolah kembali (update) menjadi data baru, atau kemudian disilang dengan aplikasi yang lain. Tanpa penamaan ekstensi yang tepat, dokumen yang tersimpan telah/ akan mengalami kerusakan dan sulit untuk diakses. F.
ImageFileFormat Merupakan standarisasi penyimpanan format data fotografik dan gambar dalam bentuk digital. Secara umum, jenis image file format terbagi menjadi 2 bagian utama; (1) VectorGraphic, dan (2) RasterGraphic/ bitmap. Kedua jenis format gambar tersebut memiliki karakter visual dan pengolahan yang khas. 1. Vector Gambar berbasis vektor merupakan goresan objek geometrik dasar yang terbentuk dari rangkaian (path/ stroke) Titik (points), Garis Lurus (lines), Garis Lengkung (curves), dan Bidang Persegi (shapes/ polygons) yang menjadi poin utama dalam proses pengolahan bentuknya. Setiap goresan menempati bidang kerja 2 dimensional X dan Y yang akan menentukan aspek keruangan dan arah pengolahanya, kemudian dibubuhi warna, pembentukan, mengatur ketebalan garis, dan pengisian bidang. Besaran skala gambar vektor tidak mempengaruhi kualitas gambar dan besaran data yang tersimpan. Yang mempengaruhi besaran data adalah jumlah rangkaian goresan dan penggunaan effect khusus dalam area kerja.Secara teknis, setiap sebuah garis dalam gambar berbasis vektor terbentuk dari 2 titik (nodes), persegi empat terbentuk dari pertemuan 4 titik, dan garis lengkung terbentuk dari sejumlah titik dan garis, termasuk bidang lingkaran, terdiri dari sejumlah garis lurus dan titik, semakin banyak garis dan titik, permukaan garisnya semakin halus. Dalam beberapa perangkat pada aplikasi pengolah gambar vektor, kesempurnaan garis lengkung dibentuk melalui goresan kurva (curves), sehingga bisa meminimalisir jumlah titik dan garis.
Binary Digit (bit) merupakan unit informasi yang memuat notasi logis 1 dan 0. Bilangan tersebut menjadi sistem kode dalam pembentukan fisis yang direpresentasikan oleh aliran positif‐negatif voltase elektrik seperti pada sistem kode yang digunakan dalam morse.
2
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 147
Gambar 2. Bezier Curve Sumber: http://www.webreference.com/dlab/ 9902/bezier.html
Gambar 3. NURBS Sumber: http://www.web3d.org/files/specifications/197751/V3.3/Part01/components/nurbs.html
Karakter gambar vektor hanya memuat bentuk-bentuk dan pengolahan objek sederhana (primitive shape), kesan volume gambar bisa dicapai melalui gradasi pewarnaan dan skala objek. Beberapa format data mampu mengenali dan mengelola objek vektor yang lebih rumit, seperti elemen garis fleksibel (splines) dan NURBS (Non-Uniform Rational Basis Spline) yang merepresentasikan permukaan, terbentuk dari beberapa garis (polylines) dan bidang (polygons), diolah secara teknis melalui Bezier Curves dan Bezigons. Sistem seperti ini biasanya digunakan dalam aplikasi vektor 3 dimensional, seperti Google SketchUp, 3Ds Max, dan AutoCAD, sehingga proses pengolahanya menjadi lebih sederhana dan ringan.
2. Raster/ Bitmap Berbeda dengan karakter gambar berbasis vektor, raster atau dikenal juga dengan istilah bitmap memiliki wujud gambar yang lebih kompleks dan representatif (fotografik). Gambar berbasis raster tersusun dari rangkaian bidang persegiempat yang disebut dengan pixel, sehingga variasi susunan persegiempat (dot matrix) tersebut membentuk gambar tertentu. Ragam data berbasis raster tersimpan dengan beragam format, bergantung pada proses pengolahanya, karena jenis dokumen ini sangat unik, semakin detail gambar, kebutuhan pixel-nya (pixel per icnh/ PPI) pun bertambah banyak, segitu juga dengan skala area kerjanya, berbeda dengan vektor yang cenderung tidak memiliki masalah dengan skala.Secara teknis, gambar raster berkaitan dengan sistem besaran resolusi tampilan monitor dan sistem memori (bitrate/ bitmap) pada PC yang berbasis mode warna RGB (redgreen-blue).Secara umum, pengolahan gambar dengan metode PPI digunakan untuk kebutuhan produksi informasi multimedia. Karena pada prakteknya, produk semacam ini tidak membutuhkan resolusi gambar yang besar, tapi dikelola sesuai dengan kebutuhan medianya. Seperti dalam perbedaan kebutuhan tampilan berbasis layar besar dan layar pada telefon seluler atau tablet.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 148
P Pixel 4
4 Gaambar 4. Karakkter raster deng gan 4x4 pixelperinch (ppi) Sumber: Dok. Penulis
m logikka yang sam ma dengan PP PI, karena siistem pixel masih m Secara tekknis, DPI memiliki menjadi bagian b dari foormat dokumeenya, yang beerbeda adalahh tujuan akhiir pengolahann data gambarnya.Besaran datta pada rasterr dipengaruhii oleh jumlahh pixel, kedalaaman warna (color ( depth), daan besaran bitt per pixel.Keedalaman warrna dikelola bberdasarkan pada jumlah bit per pixelnya, semakin s besaar jumlah bit ssemakin banyyak ketersediaaan warnanyaa. 8 bit(versi ccolor) menyediakkan 256 warnna, 16 bit mennyediakan jutaaan warna.
Gambar 5. P Perbedaan coloor depth pada ggambar Sumber: httpp://www.jessechapo.com/postts/Developers-Guide-to-Imagges.html
Sekilas peerbedaan antaara 8 dan 16 bit b color depth h tidak memiiliki perbedaaan yang signiffikan. Beberapa informasi, maksimal m matta manusia haanya bisa meengenali 256 perbedaan warna. w d kapassitas 16 bit ke k atas tidak bisa dimanippulasi Dalam beberapa aplikaasi, gambar dengan fects khususs yang adaa pada aplikasi secara ekkstrim, sepeerti pengaplikasian effe pengolahn nya.Beberapa jenis data format f rasterr/ bitmap meemiliki sistem m kompresi yang dikenal deengan istilah lossy dan loossless. Sistem m ini digunakkan untuk meengurangi beesaran data yangg akan disim mpan, sehinggga beberapaa data yang terkompresi akan mengaalami penguranggan detailnya, terkait juga dengan kebu utuhan produkksinya. Peranngkat kompreesi ini
P
idi
P
liti
d
P
bdi
K
d M
k t (PK KM)
H l
149
menjadi bagian dari varian file extension, proses kompresi pada dokumen berdasar pada sistem operasi standar yang berlaku sekaligus menerangkan metode kompresi pada setiap jenis image file format dengan besaran kompresi yang bisa diatur, sehingga tidak mengurangi informasi yang akan disampaikan.
Gambar 6. Dokumen Gambar dengan menggunakan Sistem Alpha Channel/ Mask Sumber: http://the303.org/tutorials/spraylogo.html
Format JPEG merupakan jenis dokumen gambar yang terkompresilossy (mengurangi detail/ menurunkan kualitas), TIFF terkompresi tanpa mengurangi detail (lossless).Di sisi yang lain, beberapa jenis Format dokumen gambar memuat sistem Alpha Channel/ Mask sehinggadokumen tersebut akan menghilangkan/ menutup background (transparan), dan AlphaCompositing yang memungkinkan untuk menyimpan beberapa gambar dalam satu dokumen tanpa menyatukan wujud tiap gambar.Berikut beberapa jenis image file format berbasis raster populer dan sering digunakan dalam beberapa jenis pekerjaan. 3. Compound Dokumen gambar jenis ini memuat format data vektor dan raster(metafile), dan beberapa jenis memungkinkan untuk diolah kembali tanpa kehilangan elemen vektor dan rasternya apabila diolah melalui aplikasi berbasis vektor. Pengolahan melalui aplikasi berbasis raster, secara otomatis, setiap elemen gambar akan terkonversi menjadi bitmap. Jenis dokumen ini baik digunakan untuk membuka kemungkinan pengolahan melalui aplikasi yang berbeda(portable documents), atau membagi data dengan proses kerja yang beragam. Beberapa dokumen gambar compound diantaranya adalah:(1) EPS (Encapsulated PostScript). Merupakan dokumen berbasis PostScript3yang mengemas (encapsulated)satu halaman proses kerja gambar dalam satu file, menampung kombinasi teks, gambar, dan foto (images);(2) PDF (Portable Document Format) yang bisa memuat lebih dari satu halaman gambar; (3) SWF (Small Web Format) merupakan format multimedia berbasis vektor yang bisa menampung ActionSript untuk animasi sederhana pada web atau pada perancangan game berbasis vektor yang juga menampung ActionSripts; dan (4) XAML (Extensible Application Markup Language) yang dirancang untuk kebutuhan interaktif pada web atau aplikasi berbasis vektor. PostScript merupakan bahasa pemograman yang memvisualkan gambar vektor.
3
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 150
4. High Dynamic Range Imaging (HDRI) HDRI merupakan metode pengolahan fotografik atau gambar yang lebih terbuka pada berbagai kemungkinan dibanding dengan gambar/ foto ‘tradisional'. Ragam kemungkinan ini dikelola melalui proses penangkapan intensitas cahaya dan komposisi pencahayannya. Gambar HDRI menggabungkan beberapa metode tradisional (low Dynamic Range/ LDR) yang hanya bisa menangkap satu kemungkinan gambar dengan komposisi cahaya tertentu, sehingga membatasi pilihan hasilnya.Gambar yang dihasilkan melalui metode HDRI akan mengangkat kualitas warna, kedalaman, dan detailnya. Metode yang digunakan berbeda dengan gambar/ foto biasa yang dikelola melalui gamma correction menjadi gamma compression sehingga bisa mengejar kualitas visual yang nyata seperti yang ditangkap oleh mata. Konsep HDR ini juga diterapkan pada pengolahan video dan suara.
5. Stereogram Merupakan sebuah metode gambar yang akan memberi pengalaman persepsi kedalaman yang berbeda dengan gambar biasa. Secara teknis, gambar ditampilkan secara berdampingan dengan kualitas dan ukuran yang sama, sehingga ketika gambar tersebut dilihat akan memberi kesan 3 dimensional (meruang). Gambar-gambar dengan metode ini dikembangkan dalam beberapa film, dan aplikasi pembacanya mulai dikonsumsi masyarakat secara luas pada televisi rumah. Jenis dokumen gambar stereo diantaranya: (1) MPO/ Multiple Picture Object, merupakan jenis dokumen yang terdiri dari beberapa dokumen JPEG; (2) PNS/ Portable Network Stereo terdiri dari beberapa dokumen PNG yang ditempatkan berdampingan; (3) JPS/ Joint Photographis Stereo terdiri dari beberapa dokumen JPEG yang ditempatkan berdampingan.
PENUTUP Setiap aplikasi memiliki format dokumen ekstensinya sendiri. Selain itu, tiap aplikasi menyediakan kemungkinan penyimpanan dokumen dalam format lain, tentunya keragaman format ini disediakan sebagai format dokumen yang akan diolah kemudian oleh penggunanya. Dari keempat aplikasi program yang menjadi objek penelitian ini telah terkumpul 59 format dokumen gambar dengan varian jenisnya. Tabel 1. Format Dokumen pada aplikasi CorelDraw, Illustrator, Photoshop, dan inDesign
1. 2.
AI (Adobe Illustrator) AIT (Ilustrator Tempelates)
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Relasi Aplikasi
inDesign
Photoshop
Illustrator
Aplikasi Program CorelDra w
Metafile
Format Dokumen
Vektor
No.
Raster
Jenis Dokumen
2 1
Halaman ~ 151
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59.
BMP (Windows Bitmap), (OS/2 Bitmap) Buzzword(PDF web-based) CAL (CALS Compresses Bitmap) CDR (CorelDraw) CDT (CorelDraw Template) CGM (Computer Graphics Metafile) CLK (Corel R.A.V.E.) ClickFORMS CMX (Corel Presentation Exchange), (Legacy), (5.0) CPT (Corel PHOTO-PAINT Image), (7/8 Image) CSL (Corel Symbol Library) CUR (Windows 3.x/NT Cursor Resource) DCS 1.0(Digital Camera System) DCS 2.0(Digital Camera System) DES (Corel DESIGNER) DICOM(Digital Imaging and Communications in Medicine) DOC (MS Word for Windows 6/7) Dreamweaver DWG (AutoCAD) DXF (AutoCAD) EMF (Enhanced Windows Metafile) EPS (Encapsulated PostScript) EPUB(Electronic Publication) FLA (Flash CS Professional) FMV (Frame Vector Metafile) FXG (Flash XML Graphics) GEM (GEM File) GIF (CompuServe Bitmap) ICO (Windows 3.x/NT Icon Resource) IDML (inDesign Markup) IDT (inDesign CS Tempelates) IMG (GEM Paint File) JP2 (JPEG 2000 Bitmaps) JPG (JPEG Bitmaps) JPEG image only PAT (Pattern File) PCT (Macintosh PICT) PCX(Personal Computer eXchange) PDF (Adobe Portable Document Format-Print) PDF (Interactive) PFB (Adobe Type 1 Font) Photoshop 2.0 PLT (HPGL Plotter File) PNG (Portable Network Graphics) Portable Bit Map PSD (Photoshop) PXR (Pixar Animation) RAW Scitex CT SVG (Scalable Vector Graphics) SVGZ (Compressed SVG) SWF (Flash Player) TGA (Targa) TIFF (Tagged Image File Format) TXT (Text Format) WMF (Windows Metafile) WPG (Corel WordPerfect Graphic) XML(Extensible Markup Language)
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 4 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 2 4 1 1 2 1 4 1 1 1 1 3 1 2 1 1 1 2 2 2 2 2 1 2 1 1
Halaman ~ 152
Dari beberapa format dokumen bisa dilihat ada tiga jenis dokumen ekstensi yang bisa diproduksi oleh empat aplikasi pengolah: 1. EPS (Encapsulated PostScript) 2. JPG (JPEG Bitmaps) 3. PDF (Adobe Portable Document Format-Print) Dua jenis dokumen ekstensi bisa diproduksi oleh CorelDraw, Illustration, dan Photoshop: 1. BMP (Windows Bitmap), (OS/2 Bitmap) 2. PNG (Portable Network Graphics) Format dokumen yang bisa diproduksi aplikasi CorelDraw danIllustrator: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
AI (Adobe Illustrator) DWG (AutoCAD) DXF (AutoCAD) EMF (Enhanced Windows Metafile) PCT (Macintosh PICT) SVG (Scalable Vector Graphics) SVGZ (Compressed SVG) WMF (Windows Metafile) Format dokumen yang bisa diproduksi aplikasi CorelDraw danPhotoshop: 1. GIF (CompuServe Bitmap) 2. JP2 (JPEG 2000 Bitmaps) Format dokumen yang bisa diproduksi aplikasi Illustrator danPhotoshop: 1. PSD (Photoshop) 2. TGA (Targa) 3. TIFF (Tagged Image File Format) Format dokumen lainnya hanya bisa diproduksi oleh aplikasi tertentu. Meskipun begitu, pada prakteknya, format dokumen yang tidak diproduksi, beberapa masih bisa diakses melalui perangkat import document dari hardisk atau drag and drop. Seperti format dokumen PSD dan RAW, meskipun tidak bisa diproduksi oleh CorelDraw, termasuk fromat dokumen yang tidak berbasis gambar seperti DOC, DOCX, dan RTF masih bisa diakses dan dikelola. Yang menjadi kelemahan dalam teknik ini adalah penurunan kualitas atau hilangnya beberapa data dokumen terkait dengan metode pengolahan dan karakter dokumennya. Karena aplikasi-aplikasi yang tidak memproduksi jenis dokumen tertentu tidak memiliki perangkat program untuk membaca kode-kode tertentu dalam format dokumen yang diaksesnya4.
Setiap format dokumen gambar memiliki sistem aksesibilitas data dan metode kompresi yang khas.Data-data yang tersimpan dalam dokumen ekstensi memiliki fungsi spesifik. Karakteristik pada tiap dokumen berkaitan dengan kualifikasi kualitas dan kebutuhan alur 4
Lihat bahasan D‐F pada Bab II
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 153
produksinya, baik produk publikasi digital maupun publikasi cetak.Pengelolaan dokumen gambar pada proses tertentu menjadi sangat esensial, seperti pada pegolahan gambar pada inDesign yang membutuhkan ketertiban pengelolaan setiap dokumen, karena aplikasi ini menggunakan sistem link document yang tersimpan dalam memory storage (hardisk), hilangnya/ tidak adanya dokumen dalam hardisk akan menyebabkan hilangnya objek pada area kerja, termasuk perubahan yang dilakukan pada dokumen akan merubah pula spesifikasi gambar yang ada pada area kerjanya. Pengelolaan format dokumen pada dasarnya akan mempermudah pengguna dalam proses kerjanya. Dokumen yang dibutuhkan akan sesuai dengan luaran produksinya. Seperti untuk kebutuhan web/ preview mode tidak menuntut resolusi yang sangat besar, karena pada penggunaanya dokumen yang tersimpan dalam servertidak direkomendasikan untuk kategori publikasi cetak. Begitupun sebaliknya, spesifikasi dokumen untuk media publikasi cetak tidak direkomendasikan untuk disimpan dalam server, karena akan menghambat aksesibilitasnya. Penggunaan hardware dan OS-pun menjadi persoalan yang harus diperhatikan, karen bisa mempengaruhi kinerja dan akselerasinya.
DAFTAR PUSTAKA Sumber Buku: Chamberlain,Bryan.Understanding image file formats, http://amath.colorado.edu/computing/graphics/understand_fmts.html Pender, Ken. Digital Clolour in Graphic Design, Italy, Focal Press, 1998. Sumber PDF: Encapsulated PostScript File Format Specification Version 3.0.1992, http://partners.adobe.com/ Donovan, Daniel. Corel Releases CorelDRAW® Graphics Suite X6 Latest. Maidenhead, UK, 2012, http://120307_cdgsx6_uk.pdf Shannon, C.E. A Mathematical Theory of Communication. The Bell System Technical Journal,Vol. 27, pp. 379–423, 623–656, July, October, 1948. http://A Mathematical Theory of Communication-Shannon.pdf Adobe Illustrator File, Adobe Systems Incorporated,1998. http:// Adobe_InDesign_CS3_5.0.2_Update_ReadMe.pdf A Short History of CorelDRAW, Celebrating 20 years of innovation in design. http:// CorelDRAW_History_highlights_EN.pdf Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 154
Standard of the camera & imaging Products Association, CIPA, 2009. Multi Picture Format. http:// DC-007_E.pdf Digital Color Coding, video services forum. http://digitalcolorcoding.pdf IPTC Document: Intellectual Property Policy, International Press Telecommunications Council, 2006. http:// IPTC Intellectual Property Policy2.pdf Riecks, David. IPTC-PLUS Metadata Panels User Guide Document Revision 6IPTC Standard Photo Metadata, International Press Telecommunications Council, 2010. http://IPTC-PLUS-Metadata-Panel-UserGuide_6.pdf Shao, Dan and Walter G. Kropatsch. Irregular Laplacian Graph Pyramid, Computer Vision Winter Workshop, 2010. http://irregularLaplacian.pdf Mann, S and R.W. Picrd. On Being 'UNDIGITAL' with digital cameras: extending dynamic range, Combining Differently Exposed Pictures. http://is_t95_myversion.pdf Subject Code List. http://OMR_INSTRUCTIONS.pdf Adobe® Photoshop® cs2, Adobe Systems Incorporated, 2005. http://photoshop_overview.pdf Adobe Celebrates Two Decades of Publishing Revolution, 20th Anniversary of Adobe PostScript. http://PostScript Turn 20. postscript_is_20.pdf (SECURED) Ray S, Alvy. Image Compositing Fundamentals, Technical Memo 4, 1995. http://smith95a.pdf. Chapter 14 Spline Curves. http://Splines.pdf. Sumber Website: http://id.wikipedia.org/wiki/Adobe_Illustrator http://en.wikipedia.org/wiki/Image_file_formats http://blogs.adobe.com/adobeillustrator/tag/adobeillustrator-fileformats http://whatis.techtarget.com/fileformat/PDP-Adobe-Portable-Document-file http://2ttb01.blogspot.com/2011/02/explanation-about-hardware-and-software.html http://help.adobe.com/en_US/photoshop/cs/using/WSfd1234e1c4b69f30ea53e410 01031ab64-7758a.html
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 155
TATA CAHAYA DALAM PAMERAN SENI RUPA : 'CAHAYA MEMPERKUAT INFORMASI YANG DISAMPAIKAN PERUPA' Gerry Rachmat Riana Safitri
ABSTRAK Tata cahaya/ lampu adalah unsur tata artistik yang cukup penting dalam pertunjukan dan pameran. Seorang penata cahaya/ lampu perlu mempelajari pengetahuan dasar dan penguasaan peralatan tata cahaya/lampu yang selanjutnya dapat diterapkan dan dikembangkan untuk kepentingan artistik berbagai acara, salah satunya adalah pameran. Tata cahaya/ lampu yang hadir di pameran dan menyinari semua objek sesungguhnya ingin menghadirkan kemungkinan bagi perupa dan penikmat karya-karya untuk saling melihat dan berkomunikasi. Semua objek yang disinari memberikan gambaran yang jelas kepada penikmat karya tentang segala sesuatu yang akan dikomunikasikan. Dengan cahaya, perupa dapat menghadirkan ilusi imajinatif. Banyak hal yang bisa difungsikan berkaitan dengan peran tata cahaya/ lampu tetapi fungsi dasar tata cahaya/ lampu ini ada empat, yaitu penerangan, dimensi, pemilihan, dan atmosfir. Keempat fungsi pokok tata cahaya di atas tidak berdiri sendiri. Artinya, masing-masing fungsi memiliki interaksi (saling mempengaruhi). Fungsi penerangan dilakukan dengan memilih area tertentu untuk memberikan gambaran dimensional objek, suasana, dan emosi peristiwa. Selain keempat fungsi pokok di atas, tata cahaya memiliki fungsi pendukung yang dikembangkan secara berlainan oleh masing-masing ahli tata cahaya. Kata Kunci : Tata Cahaya, pameran, informasi.
PENDAHULUAN Tata cahaya adalah unsur penting dalam membangun suasana dalam bidang panggung, arsitektur, interior, perfilman, dll. Tata cahaya terlihat lebih banyak digunakan dalam bidang yang menyangkut ranah seni di dalam kehidupan sosial masyarakat. Karena dengan dengan penataan cahaya yang sesuai dengan konsep serta tujuan awal, akan berpengaruh besar pada imajinasi yang ingin disampaikan oleh perencana. Bagi sebagian orang penataan cahaya adalah hal yang sekedar penerangan. Tapi bagi sebagian yang paham akan penataan cahaya, hal ini sangat mewakili dari suasana yang ingin dihadirkan sesuai daya imajinasi agar sampai ke penikmat. Pencahayaan merupakan bagian mendasar dari sebuah karya. Tanpa adanya pencahayaan yang tepat, maka mata penikmat karya kurang dapat termanjakan seakan karya tersebut kurang dramatis. Pencahayaan juga merupakan bagian kreatif dalam sebuah produksi karya, karena hasil visual dari karya dapat ditangkap oleh penikmat sesuai dengan mood tertentu sepenuhnya yang ditentukan kerja dari pencahayaan . Oleh sebab itu, maka pencahayaan merupakan bagian penting dalam karya seni dan keilmuan.Penelitian ini berperan sebagai langkah awal dalam
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 156
upaya membantu para penyelenggara pameran dan para seniman/ perupa dalam merencanakan penataaan cahaya. Berdasarkan studi yang telah dilakukan, peneliti menyimpulkan peran konsep perencanaan serta pertimbangan-pertimbangan teknik sangat perlu untuk menjaga karya seni tetap dalam kondisi yang baik. Dengan memahami hal tersebut, pihak dari galeri-galeri sebagai sarana/wadah bagi para seniman dan penyaji/ perupa karya bisa lebih fokus pada penyiapan mengenai kelengkapan kebutuhan sesuai standar yang benar. Pengertian pameran adalah suatu kegiatan penyajian karya seni rupa untuk dikomunikasikan sehingga dapat diapresiasi oleh masyarakat luas. Pameran merupakan suatu bentuk dalam usaha jasa pertemuan. Yang mempertemukan antara produsen dan pembeli namun pengertian pameran lebih jauh adalah suatu kegiatan promosi yang dilakukan oleh suatu produsen, kelompok, organisasi, perkumpulan tertentu dalam bentuk menampilkan display produk kepada calon relasi atau pembeli. Adapun macam pameran itu adalah : show, exhibition, expo, pekan raya, fair, bazaar, pasar murah. (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Pameran). Pameran adalah bentuk dari media iklan yang lain dari yang lain, karena media pameran bisa merangsang terjadinya penjualan secara langsung oleh para pengunjung stand-stand pameran yang bersangkutan. Pameran merupakan satu-satunya media periklanan yang menyentuh semua panca indera: mata, telinga, lidah, hidung dan kulit. Pencahayaan merupakan salah satu faktor untuk mendapatkan keadaan lingkungan yang aman dan nyaman dan berkaitan erat dengan produktivitas manusia. Pencahayaan yang baik memungkinkan orang dapat melihat objek-objek yang dikerjakannya secara jelas dan cepat. Menurut sumbernya, pencahayaan dapat dibagi menjadi; 1) pencahayaan alami, yang sumber pencahayaan yang berasal dari sinar matahari, dan 2) Pencahayaan buatan,yaitu pencahayaan yang dihasilkan oleh sumber cahaya selain cahaya alami. PEMBAHASAN Kualitas Cahaya Kualitas pencahayaan berkaitan dengan keras atau lembutnya pencahayaan itu sendiri. Secara garis besar ada dua kualitas pencahayaan, yaitu hard light dan soft light. Hard light mempunyai karakteristik pencahyaan yang kuat dimana shadow atau bayangan lebih terlihat jelas. Softlight memiliki karakter sebaliknya, antara pencahyaan dengan bayangan hanya memiliki perbedaan yang tipis. Cahaya yang datang dari bidang transparan/ jendela yang cukup besar dapat menjadi hardlight, dan cukup mengganggu untuk mencapaian suasana dalam area pamer apabila tidak di kendalikan / dikurangi dengan beberapa upaya, misalnya dengan penggunaan (gordyn / curtain) sebagai pengendali cahaya dari skylight/ daylight. Sehingga titik lampu yang telah direncanakan akan tidak berfungsi dengan baik karena kelebihan cahaya tersebut, efeknya akan berantai pada suhu ruangan, suasana yang datar, juga berdampak pada karya apabila cahaya dari alam tersebut terkena langsung. Lighting Ratio merupakan perbandingan antara brightness dan lightnest. Misalnya perbandingan 2 : 1, dimana pencahayaan area terang dua kali lipat dibanding area gelap. Disamping rasio pencahayaan, faktor yang penting juga adalah kontrol cahaya. Hal ini merupakan metode untuk menambah atau mengurangi pencahayaan dari sumber cahaya.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 157
Penambahan atau pengurangan ini untuk menghasilkan efek tertentu. Misalnya efek cahaya matahari yang memancar masuk pada jendela area pamer, digunakan translucent yang ditempelkan dekat sumber cahaya. Pencahayaan pada karya adalah bentuk objek yang disorot, dengan kata lain dapat disesuaikan dengan sifat dari benda yang akan diberi pencahayaan yang terbagi menjadi: 1. Pencahayaan khusus terhadap objek 2 dimensi. 2. Pencahayaan khusus pada objek 3 dimensi. Pencahayaan khusus harus memenuhi tujuan sebagai berikut: 1. 2. 3. 4.
Objek / karya dapat dilihat dengan jelas. Menampilkan objek yang disorot. Memunculkan suasana sesuai konsep yang direncanakan Pencahayaan membantu menyampaikan informasi Seniman / Perupa
Pencahayaan yang sesuai dengan standar yang benar dan baik dapat dihitung dengan menggunakan alat bantu yakni Lightmeter. Ada dua jenis alat ini yaitu Incident and Reflectant. Incident diperuntukkan untuk mengukur intensitas cahaya yang “jatuh” pada subjek. Sedangkan Reflectant dipergunakan untuk mengukur intensitas cahaya yang dipantulkan oleh subyek. Dalam merancang pencahayaan, pencahayaan pada koleksi yang dipamerkan ditujukan menimbulkan kenyamanan visual bagi pengunjung galeri. Namun pemakaian cahaya buatan (lampu) yang berlebihan akan mengakibatkan kerusakan permanen pada koleksi, terutama untuk koleksi yang sensitif terhadap cahaya. Untuk mengatasinya, perlu dilakukan perencanaan tata cahaya, mulai dari jenis lampu, daya/ besaran watt yang akan digunakan, jarak titik lampu pada objek/ karya seni serta suhu ruangan/ temperatur ruang pamer. Berikut ini adalah perencanaan pencahayaan yang akan disarankan: 1.
Pencahayaan individual / khusus/ direct light, ditujukan untuk karya pamer. Dengan menggunakan jenis lampu spot light yang disorotkan ke bagian dinding galeri tidak langsung mengarah pada karya lukisan (karya 2 dimensi), karena dikhawatirkan cahaya langsung dapat membuat warna menjadi berubah/ pudar (karena cat lukisan mengandung unsur kimia) yang akan bereaksi terhadap suhu dari spot light. Hal tersebut terutama untuk jenis karya 2 dimensi (lukisan, drawing dan photography. Pencahayaan khusus ini menggunakan sistem tracklight (rel lampu yang di instalasi di plafon) dengan jumlah lampu spot sesuai keinginan. Bertujuan untuk memudahkan dalam pengarahan sorot pencahayaan pada objek / karya.
2.
Pencahayaan general/ umum, adalah system pencahayaan yang digunakan untuk menerangi daerah sirkulasi bagi pengunjung dengan besaran iluminasi yang sedang. Kombinasi dari jenis lampu halogen dengan filter UV digabung dengan lampu incandescent atau umumnya lebih dikenal dengan downlight/ SL merupakan pencahayaan yang tepat diinstalasi di area sirkulasi/ koridor galeri karena jangkauannya yang luas dan sifatnya yang tidak merusak karya, karena cahaya yang dihasilkan semi diffuse/ menyebar. Tipe lampu warm light (Kelvin tinggi) warna yang dihasilkan akan kuning kemerahan. Bertujuan membuat suasana lebih hangat, homy dan akrab. 3. Pencahayaan dekoratif, digunakan untuk menciptakan suasana ruang yang lebih dramatis dan mendukung pencapaian image ruang yang hendak ditampilkan.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 158
Pada sistem pencahayaan pendukung tema, pencahayaan indirect menjadi alat bantu untuk membangun citra galeri pada ruangan-ruangan publik, seperti lobby , ruang tunggu/lounge, perpustakaan, cafe, dan toilet. Sistem pencahayaan pendukung tema ini sah saja jika diterapkan pada ruang pamer, dengan ketentuan tidak mempengaruhi karyakarya seni yang dipamerkan pada ruang pamer. Untuk konsep pencahayaan alami, adalah optimalisasi dan penghematan energi yaitu dengan menggunakan pencahayaan alami seoptimal mungkin agar lebih menghemat biaya operasional. Salah satu cara dengan mempertimbangkan organisasi ruang dengan arah matahari serta cahaya langit serta penentuan bukaan sebanyak mungkin. Perlu menjadi pertimbangan bagi perancang faktor dari keamanan dan kenyamanan pengguna ruang, sehingga seminimal mungkin cahaya buatan dipergunakan di siang hari. Maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa dalam sebuah pameran karya seni ternyata tidak mudah untuk menghasilkan sebuah ruang pamer yang aman dan nyaman baik bagi penikmat seni/ pengujung juga untuk karya yang dipamerkan dalam area pameran. Banyak keilmuan serta pertimbangan-pertimbangan secara teknis maupun logika yang terkait satu dengan yang lainnya. Karena studi kasus yang dipilih adalah Galeri/ art space maka fokus segala pertimbangannya menggunakan dasar kelimuan Desain Interior dan Arsitektur. Desain Interior sangat erat kaitannya dengan ruang, (lantai, dinding, langit-langit). Tiga elemen tersebut ada pada studi kasus penelitian. Setelah ditelusuri penataan cahaya adalah bagian dari keilmuan Desain Interior & Arsitektur, yang menjadi bahasan utama dalam penelitian ini. Penempatan titik cahaya, pemilihan jenis dan warna cahaya, daya/ watt yang dipilih, jarak sumber cahaya serta dampak dari sumber cahaya tersebut pada karya/ objek adalah pertimbangan yang menjadi acuan awal perencanaan tata cahaya dalam pameran. Ergonomi merupakan salah satu unsur penting dalam perencanaan event pameran, ergonomi mempertimbangkan mengenai jarak pandang terhadap objek pamer, peletakan/pen-display-an objek/ karya disesuaikan dengan area serta skala ruang pamer. Konsep perencanaan yang lengkap dalam sebuah penyelenggaraan pameran sangat penting untuk menghasilkan sebuah acara pameran yang baik, aman, nyaman bagi (pengunjung dan karya) juga sebagai salah satu media penyampai informasi yang ingin disampaikan seniman melalui suasana ruang yang dihasilkan. PENUTUP Dengan melihat kesimpulan diatas maka perlu diperhatikan oleh sebuah Galeri/ art space juga para penyelenggara pameran dalam menentukan langkah perbaikan fasilitas sesuai standar. Dengan memahami tiga hal yang menjadi kesimpulan dalam penelitian ini, para penyelenggara pameran di galeri/ art space juga dapat mulai melakukan perbaikan perancangan ekspresi ruang pamer yang masih dinilai belum berperan dengan baik. Dalam melakukan perbaikan perancangan, secara umum para penyelenggara pameran disarankan untuk menambah ekspresi ruang salah satunya dengan menghadirkan cahaya-cahaya sesuai bahasan diatas. Selanjutnya, dengan mengetahui cara yang dapat ditempuhnya dalam menjalankan peran, para penyelenggara pameran di galeri/ art space dapat melakukan langkah perbaikan dengan cara yang tepat. Terakhir, dengan mengetahui kondisi dan letak kekurangannya, para penyelenggara pameran tersebut memiliki sasaran perbaikan yang dapat menjadi fokus serta sesuai skala prioritas.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 159
Dalam area sirkulasi, para penyelenggara pameran di galeri/ art space dapat menambah bukaan jendela sebagai pengurangan cahaya buatan yang memiliki proporsi vertikal di antara ruang. Dengan cara ini, pengunjung diarahkan untuk bergerak dari satu area sirkulasi ke area sirkulasi lainnya. Pada akhirnya, keterbukaan area sirkulasi ini juga menentukan potensi diakses di dalam area pamer sendiri. Penelitian mengenai tata cahaya pada ruang pameran karya dapat dilengkapi dengan dengan menganalisis galeri/ art space lain yang belum diteliti dan fungsinya sehubungan dengan kualitas perancangan konfigurasi ruang pamer sendiri. Selain itu dalam hubungannya dengan aspek-aspek lainnya seperti telah dibahas diatas, aspek fisik galeri/art space juga dapat diteliti perannya dengan mengikutsertakan keilmuan lain seperti psikologi dan sosial.
DAFTAR PUSTAKA Alamanda. 2007. Catatan Kilau Cahaya Carol Krugman, Rudy R. Wright. 2006. Global Meetings and Exhibitions. The Wiley Event Management Series Daab. 2005. New Light Design. Dian Savitri Prayogi. 2011. Bermain Tata Cahaya Untuk Ruangan. Imelda Akmal. 2011. Tata Cahaya untuk Tempat Tinggal . Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Lidia Evelina. 2007. Event Organizer Pameran . Buku Kita.com, Indeks. Mariana Rahman. 2011. Tata Cahaya Interior Rumah Tinggal . Buku Kita.com, Griya Kreasi. Norbert Lechner. 2000. Heating, Cooling, Lighting: Design Methods for Architects. Second Edition. John Wiley & Sons, Inc. Peter Hyatt and Jenny Hyatt. 2007. Masters of Light: Designing the Luminous House. Images Publishing Dist Ac. Victoria Meyers. 2006. Designing With Light. Abbeville Press.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 160
BUDAYA TRADISI DALAM KRIYA KERAMIK MODERN (STUDI KASUS KERAMIK F.WIDAYANTO) Deni Yana Agus Cahyana Wanda Listiani ABSTRAK Mencermati perkembangan karya F. Widayanto dapat telihat bahwa nilai budaya tradisi menjadi sumber ide dan kreatifitasnya dalam berkarya. Mulai dari pameran Loro Blonyo di awal tahun 90 hingga pameran yang terakhir tahun 2006 yang bertajuk “Semar”, ia tetap konsisten menampilkan unsur budaya tradisi tersebut, terutama budaya tradisi dalam masyarakat Jawa. Hal itu menunjukkan kuatnya kesadaran akan budaya tradisi dalam diri F. Widayanto, sehingga sanggup untuk bersikap konsisten dalam berkarya. Sebagai bentuk keberhasilan dari sikap F. Widayanto ini adalah karya-karyanya selalu diapresiasi dengan baik oleh para apresiatornya, salah satu indikasinya adalah tingginya minat kolektor untuk mengoleksi karya-karyanya. Adapun tujuan penelitian ini yaitu pertama, untuk mengetahui unsur budaya tradisi yang digunakan F Widayanto sebagai sumber inspirasi. Kedua, untuk mengetahui bagaimana cara perupa mewujudkan unsur-unsur dalam budaya tradisi tersebut ke dalam karya keramik kontemporer. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif untuk mengungkapkan hubungan antara nilai-nilai budaya tradisi dengan masyarakat modern dalam kehidupan sekarang, khususnya terhadap karya F. Widayanto. Selain itu mendapatkan gambaran mengenai bagaimana kriyawan ataupun seniman memanfaatkan unsur-unsur budaya tradisi dalam proses berkesenian, yang akhirnya muncul dalam karya seninya, terutama pada karya keramik F. Widayanto. Kata kunci : budaya tradisi, kriya keramik, F. Widayanto PENDAHULUAN Faham seni rupa modern Barat sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan seni rupa modern di Indonesia, tidak terkecuali dibidang keramik yang mana dalam perkembangan terakhirnya di dunia Barat, keramik mampu melepaskan diri dari unsur guna (fungsional).Pada tahun 70 dan 80-an di Indonesia muncul perupa-perupa keramik yang menjadikan keramik sebagai media ekspresinya, diantaranya adalah Hildawati, Keng Sin, Suyatna, F. Widayanto, Hendrawan Riyanto, Bonzan Edi dan lain-lain yang dengan kemampuan teknis dan pemahaman terhadap karakteristis keramik yang baik telah membuka wawasan baru dalam dunia seni rupa modern Indonesia. Konsep seni modern yang menjunjung tinggi nilai kreativitas, kebaruan, dan orisinalitas mendorong para perupa Indonesia tidak terkecuali perupa keramik untuk terus mencari kebaruan, baik dari segi teknik, media, tema maupun penggayaan, yang akhirnya dapat memberikan kekhasan dalam karyanya. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan menggali kembali sumber-sumber budaya tradisi untuk kemudian dihadirkan menjadi bentuk yang baru, sekaligus menampilkan identitas keindonesiaan. Hal tersebut terus berlangsung hingga sekarang, budaya tradisi sepertinya menjadi sumber ide yang tidak ada habisnya untuk diungkap ke dalam karya seni rupa, termasuk keramik. F. Widayanto muncul dengan karya-karyanya yang banyak mengangkat unsur-unsur budaya tradisi walaupun dalam perupaannya tidak terpaku pada bentuk yang telah ada, sehingga ia dapat lebih bebas dalam mengungkapkan ekspresinya. Melalui budaya tradisi inilah ia Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 161
menghadirkan suatu “kebaruan” dalam dunia keramik, sekaligus menetapkan posisi kriya keramik dalam dunia seni rupa modern Indonesia sebagai salah satu media ekspresi yang sama dengan bidang seni rupa lainnya. Pemanfaatan keramik sebagai penunjang kebutuhan hidup dan ekspresi terus berlanjut dan menjadi tradisi dalam dunia keramik di Indonesia. Beberapa daerah bahkan sampai sekarang masih meneruskan tradisi membuat keramik dan terkenal sebagai sentra kerajinan keramik antara lain di daerah Kasongan di Yogyakarta, Takalar di Sulawesi Selatan dan Singkawang di Kalimantan Barat. Perbedaan lingkungan dan budaya menyebabkan tiap daerah mengembangkan nilai estetika dan kualitasnya sendiri, bahkan tak jarang beberapa hasil keramik tradisional ini memiliki ciri dan karakter khas yang terus terpelihara hingga sekarang ini. Begitupun dengan perupa keramik modernnya yang secara konsisten menjadikan keramik sebagai media ekspresi yang kebanyakan tinggal dikota besar seperti Jakarta, Bandung dan Jogja dengan latarbelakang berpendidikan seni, salahsatunya F. Widayanto. Perkembangan karya F. Widayanto dapat telihat bahwa nilai budaya tradisi menjadi sumber ide dan kreatifitasnya dalam berkarya. Mulai dari pameran “Ganesha-Ganeshi” di awal tahun 93 hingga pameran yang terakhir tahun 2013 yang bertajuk “Drupadi”, ia tetap konsisten menampilkan unsur budaya tradisi tersebut, terutama budaya tradisi dalam masyarakat Jawa. Hal itu menunjukkan kuatnya kesadaran akan budaya tradisi dalam diri F. Widayanto, sehingga sanggup untuk bersikap konsisten dalam berkarya. Sebagai bentuk keberhasilan dari sikap F. Widayanto ini adalah karya-karyanya selalu diapresiasi dengan baik oleh para apresiatornya, salah satu indikasinya adalah tingginya minat kolektor untuk mengoleksi karya-karyanya. Berdasarkan hal tersebut diatas, permasalahan dalam penelitian ini yaitu unsur budaya tradisi apa saja sebagai sumber inspirasi bagi F. Widayanto dan bagaimana perupa keramik tersebut menginterpretasi dan menampilkan unsur-unsur dan nilai-nilai budaya tradisi dalam karya keramiknya sejak tahun 1993 hingga tahun 2013. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Metode deskriptif kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Melalui pendekatan kualitatif yang menitikberatkan pada kajian budaya yang didukung oleh bidang keilmuan lainnya, seperti estetika, sosiologi, dan antropologi diharapkan dapat mengungkapkan hubungan antara nilai-nilai budaya tradisi dengan masyarakat modern dalam kehidupan sekarang, khususnya terhadap karya F. Widayanto. Selain itu mendapatkan gambaran mengenai bagaimana kriyawan ataupun seniman memanfaatkan unsur-unsur budaya tradisi dalam proses berkesenian, yang akhirnya muncul dalam karya seninya, terutama pada karya keramik F. Widayanto. PEMBAHASAN Bagi seorang seniman, inspirasi dalam berkarya tidak mengenal batas. Ia bisa mengambilnya dari mana saja, baik fenomena alam maupun dari dalam dirinya sendiri. Seperti yang dikemukakan oleh Pablo Picasso dalam buku Proses Kreasi, “Seniman adalah “wadah” penerima emosi yang datang dari mana-mana; dari langit, dari bumi, dari secarik kertas, seseorang yang berlalu, sebuah sarang laba-laba (Wasid Soewarto, 1983 : 113). Begitupun dengan F. Widayanto, ketertarikannya terhadap budaya tradisi khususnya yang berasal dari Jawa, baik yang berwujud fisik berupa artefak dengan material batu, kayu, dan keramik, atau yang berwujud abstrak seperti mitos, legenda, dan dongeng serta ketertarikannya untuk mengamati pola kehidupan masyarakat yang hidup di sekelilingnya telah memberinya
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 162
banyak inspirasi untuk dituangkan ke dalam bentuk karya dengan medium tanah liat mulai dari Ganesha-Ganeshi hingga Drupadi. Konsep berkesenian F. Widayanto yang menjadikan budaya tradisi sebagai landasan sekaligus sumber inspirasi dalam berkarya mampu menghadirkan karya yang mempunyai identitas keindonesiaan sekaligus berciri F. Widayanto, dimana keduanya telah menjadi satu kesatuan. Melalui budaya tradisi yang diaktualisasikan kembali dalam karyanya inilah ia mengemukakan tanggapan ataupun pandangannya terhadap keadaan di sekelilingnya. Jadi F. Widayanto dalam hal ini tidak hanya sekedar meneruskan budaya tradisi tetapi telah mengembangkannya sesuai dengan perkembangan zamannya. No.
Karya
1. Ganesha-Ganeshi 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Ukelan Golekan Ibu dan Anak Dewi Sri Semar Drupadi
Budaya Tradisi Lokal Jawa, Sumatera
Budaya Tradisi Asing India
Jawa Jawa Jawa Jawa Jawa Jawa
Eropa India India
Ketereangan Ada perbedaan bentuk Ada perbedaan cerita
Tabel 5.1 Sumber Inspirasi F. Widayanto dari Budaya Tradisi
1. Perupaan 1.1 Ganesha-Ganeshi a. Bentuk Dalam karya Ganesha-Ganeshi ini F. Widayanto lewat pijatan, pilinan, dan lempengan tanah liatnya menampilkan figur manusia berkepala gajah yang sebagai besar berbadan gendut dengan bentuk dasar yang membulat. Figur tersebut telah dikenal dalam mitologi Hindu sebagai dewa ilmu pengetahuan, dewa kebijaksanaan dan dewa pembasmi kebatilan. Dilihat dari konturnya figur-figur yang ditampilkan oleh F. Widayanto sangat dinamis . Hal tersebut diperkuat dengan tarikan garis-garis lengkung pada ornamen yang melekat pada badan figur tersebut. Posisi Ganesha-Ganeshi sendiri oleh F. Widayanto dengan sengaja ditampilkan dalam posisi yang tidak simetris walaupun unsur-unsur yang ditampilkannya tetap memperlihatkan keseimbangan yang harmonis. Sehingga figur-figur tersebut memiliki kesan agak rumit, dinamis, dan sangat hidup sehingga menarik perhatian. Dengan demikian kesan statis, kaku, dan formal menjadi lenyap, yang hadir justru kesan unik, lucu, dan menggemaskan. Dalam karya F. Widayanto ini, Ganesha adalah sebutan untuk figur laki-laki berkepala gajah, sedangkan figur perempuan berkepala gajah dinamakan Ganeshi. Umumnya figur tersebut ditampilkan dengan dua lengan, akan tetapi ada juga figur yang ditampilkan dengan empat lengan seperti pada karya yang berjudul Ganesha Marangi Bathil. Bentuk tubuh Ganesha-Ganeshi tidak semua diwujudkan dalam sosok yang gendut dengan perut tambun, tetapi ada juga yang ditampilkan dengan sosok yang agak ramping, seperti pada karya berjudul Ganeshi Mayang Pasrahan.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 163
Dilihat dari segi bentuk secara keseluruhan figur yang ditampilkan semuanya bercirikan manusia berkepala gajah, tetapi hal lain yang cukup penting dalam mengamati karya-karya F. Widayanto ini, yaitu gestur dan sikap tubuh yang ditampilkan dalam berbagai posisi, mulai dari duduk, bersila, berdiri hingga duduk dengan menopangkan tangan ke dagu seperti pada karya berjudul Ganesha Kid Liman Liyer-Liyer. Posisi patung keramik Ganesha-Ganeshi hampir semuanya berkesan ‘santai’ dan tidak terlalu kaku. Misalnya dalam posisi duduk dengan kaki mengangkang seperti pada Ganesha Jaya Kecer atau tampak mengantuk seperti pada Ganesha Kid Liman Liyer-Liyer. Hadirnya bentuk yang dinamis ini disamping karena keplastisan tanah yang cukup tinggi juga perupanya memiliki teknik yang juga tinggi sehingga karakter tanah liat dapat dieksploitasi dengan baik oleh F. Widayanto. b. Warna Penggunaan warna pada karya Ganesha dan Ganeshi didominasi oleh warna abu-abu dan coklat kemerahan. Warna ini merupakan warna asli dari tanah liat stone ware yang dibakar pada suhu 1250°C, sehingga menghasilkan warna abu-abu dan coklat kemerahan. Disamping itu dipergunakan juga teknik batik pada bagian-bagian tertentu, misalnya pada goresan-goresan ornamen. Teknik pewarnaan lain yang dipakai adalah teknik kuas dan hapus, seperti terlihat pada karya Ganesha Jaya Kecer dimana terlihat gradasi warna pada bagian perut sebagai efek dari teknik hapus. Sedangkan melalui teknik kuas, semua gading Ganesha- Ganeshi oleh F. Widayanto diberi warna putih matt sebagai aksen yang kontras dengan warna badan GaneshaGaneshi sendiri yang berwarna gelap. c. Ornamen Bentuk badan yang cenderung membulat dan telinga yang lebar pada karya GaneshaGaneshi memberikan ruang yang luas bagi F. Widayanto untuk mengisinya dengan berbagai ornamen. Ornamen yang dipakai pada karya ini terdiri dari ornamen yang berasal dari tumbuhan dan hewan yang naturalistis dan bersifat umum. Akan tetapi F. Widayanto menggunakan juga motif geometris yang bersifat tradisional seperti motif hias mirip kawung pada kain dan spiral pada bagian lutut Ganesha- Ganeshi.. Ornamen tumbuhan berbentuk daun dan bunga yang ditempatkan pada bagian dalam telinga, puting, dada, dan perut. Sedangkan ornamen hewan berupa kupu-kupu, katak, ikan, dan laba-laba ditempatkan pada bagian pundak, dada, lengan, dan putting. d. Atribut/Aksesoris Sesuai dengan peranannya sebagai dewa, Ganesha yang ditampilkan selalu dilengkapi dengan atribut antara lain tongkat, gada, genta, kalung, tengkorak, gelang, topi, kembang goyang, kain, kipas, kapak, mangkuk, dan buku, walaupun tidak semua dipakai dalam tiap karya. Misalnya pada Ganesha Byok Mukti memakai atribut kapak, kalung berbandul tengkorak, gelang ular di pangkal lengannya, gelang di pergelangan kaki, dan tongkat. Selain itu digunakan juga atribut untuk hiasan rambut berupa cunduk mentul pada beberapa figur yang ditampilkan. 1.2 Ukelan a. Bentuk Secara keseluruhan bentuk yang ditampilkan dalam karya Ukelan ini berwujud patung kepala wanita dengan leher jenjang dan rambut yang berukel. Ukuran patung ini rata-rata setinggi 40 cm yang dibuat dari bahan Stoneware. Selain itu bentuk ukel atau gelung pada tiap
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 164
patung berbeda-beda, tetapi semuanya memakai teknik pembentukan yang sama yaitu dengan teknik gabungan antara pilin, pijat, dan slab. Berbeda dengan karya sebelumnya yaitu GaneshaGaneshi yang memperlihatkan figur manusia berkepala gajah secara utuh yang memungkinkan F. Widayanto mengolah keplastisan tanah liat secara optimal, maka dalam karya ini bentuk yang ditampilkan lebih sederhana, yakni hanya bagian leher, dagu dan kepala. Akan tetapi hal ini tidak mengurangi kualitas bentuk yang ditampilkan, karena melalui keterampilan dan kepekaannya terhadap bentuk yang cukup tinggi, F. Widayanto mampu menampilkan figur dengan berbagai ekspresi. Seperti pada ekspresi wajah dalam kehidupan sehari-hari yang dapat menampilkan kesan marah, lucu, genit dan lain sebagainya, F. Widayanto pun dalam karya ini memunculkan berbagai ekspresi seperti pada karya Ciblon Trendy melalui sosok wajah yang terlihat gemuk menampilkan ekspresi kelucuan. Kesan kalem tapi menggoda ditampilkan dalam karya berjudul Lingga Harrasment, sementara ekspresi wajah berkesan erotis ditampilkan pada karya berjudul Awe Gombal dan mimik yang bersedih ditampilkan pada karya Prihatini Anjani. Selain itu yang cukup menarik adalah munculnya figur wanita berkumis tebal seperti pada karya yang berjudul Bala Wisrawa, yang mengingatkan pada mimik perupanya. Secara keseluruhan seperti pada karya Ganesha-Ganeshi, di Ukelan ini F. Widayanto tetap menampilkan kesan dinamis baik dari gestur maupun kontur yang ditampilkannya. b. Warna Warna patung keramik Ukelan didominasi oleh warna abu-abu dan krem kecoklatan, efek warna ini dihadirkan melalui penggunaan teknik pewarnaan bercak, batik, dan hapus. Penggunaan teknik batik diterapkan pada garis ataupun motif hias seperti pada penggambaran bentuk mulut, mata, alis, dan goresan-goresan lain yang dihasilkan dari torehan pada tanah liat sebelum dibakar. Sedangkan teknik bercak dapat dilihat pada karya 4.9. – 4.17. yang menghasilkan kesan bercahaya. Berbeda dengan teknik bercak, maka teknik hapus menghasilkan efek warna yang bergradasi ataupun berkesan ‘kotor’, seperti pada karya berjudul Tadah Sekar. a. Ornamen Ornamen yang tampil pada karya Ukelan ini tidak sebanyak pada karya GaneshaGaneshi, disamping karena dapat menimbulkan kesan terlalu ramai juga karena keterbatasan ruang yang dapat dipakai untuk menempatkan banyak ornamen. Oleh karena itu ornamen yang dipakaipun sangat terbatas, misalnya ornamen cicak pada Ukelan berjudul Ciblon Trendy yang ditempatkan pada ukelan rambut. Demikian pula pada karya Sekar Ngamprak ornamen bunga hanya diterapkan pada bagian hiasan ukelan rambut. Selain itu ornamen bunga maupun daun justru sering dipakai untuk atribut giwang yang dipakai, seperti pada karya Prihatini Anjani yang menampilkan ornamen daun pada giwangnya. d. Atribut/Aksesoris Aktribut atau aksesoris yang dipakai pada patung-patung ukelan terbatas pada hiasan yang biasa dikenakan di rambut dan muka, seperti subang dan anting. Hampir semua patung ukelan ini mengenakan aksesoris tersebut sebagai identitas kewanitaan pada masyarakat tradisional Jawa.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 165
1.3 Golekan a. Bentuk Dalam karya Golekan F. Widayanto menampilkan figur-figur yang umumnya berbadan ramping. Hampir tidak ditemukan figur yang tampil dengan badan tambun seperti yang masih dapat kita lihat pada karya Ganesha-Ganeshi dan sebagian karya Ukelan. Hal ini mungkin disesuaikan dengan tema yang ditampilkan. Tidak seperti pada karya Ukelan yang semuanya menampilkan figur wanita, maka di Golekan ini F. Widayanto menampilkan figur laki-laki dan perempuan dalam berbagai ekspresi. Melalui sikap tubuh dan mimik wajah yang ditampilkan pada karya Golekan ini, dapat menggambarkan ekspresi dan kesan yang ingin diungkapkan oleh perupanya. Beragam sikap yang mengekspresikan berbagai kesan ditampilkan oleh F. Widayanto, seperti pada karya berjudul Kulum Putri Donggala dan Solehah Mesemmenampilkan kesan anggun tapi sensual. Sedangkan kesan seronok dan angkuh tercermin pada karya Yayung Ngudut Baedan Bar Adus, kesan centil dan seksi muncul pada karya berjudul, adapun yang tampil energik dan flamboyan seperti pada karya Jambul Dewi Naga Ningrum. Selain itu dalam karya Golekan ini muncul figur wanita yang sedang menyusui bayi, yakni Nyai Cupluk Netekin dengan penampilannya yang sensual dan gestur yang ‘menantang’. Berbeda dengan karya golekan yang lain, pada karya berjudul Weteng Carik Blending digambarkan sosok laki-laki dengan perut membusung ke depan seperti menyombongkan perutnya. Secara keseluruhan karya golekan ini tampil dengan kesan sangat dinamis dilihat dari gestur maupun tarikan garis pada ornamen yang ditampilkan. b. Warna Bila pada karya sebelumnya pemakaian warna dan glasir digunakan secara terbatas pada bagian bidang tertentu saja, maka pada karya Golekan ini sebagian besar memakai warna dan glasir yang dipergunakan pada sebagian besar bidang patung. Demikian juga dengan penggunaan warna tidak hanya terpaku pada warna coklat kemerahan, tetapi warna lainnya , terutama pada pakaian seperti pada pakaian Solehah Mesemyang menggunakan warna putih, hitam, dan abu-abu. Sedangkan bagian tubuh tetap memakai warna krem kecoklatan yang menyerupai warna kulit. Pada karya Nyai Ong Tien, warna kulit ditampilkan lebih putih dibanding yang lain, seperti warna kulit orang Cina pada umumnya. Untuk mewarnai kulit dipergunakan teknik bercak dan hapus sehingga menghasilkan kesan licin, dan efek hapus menghasilkan kesan gradasi warna yang terlihat pada gelap terang pewarnaan. Salah satu contohnya adalah teknik bercak pada karya Bar Adus, sehingga permukaan patung terutama bagian dada terlihat mengkilat. Sedangkan teknik hapus terlihat di pakaian yang dikenakan pada karya Kulum Putri Donggalayang menghasilkan tekstur seperti kain transparan di bagian tubuh patung tersebut. Teknik pewarnaan lainnya yang dipergunakan yaitu batik dan kuas, teknik batik yang selalu dipergunakan di tiap karya F. Widayanto diterapkan untuk menampilkan ornamen, raut muka, dan motif hias pada kain, seperti pada karya Jambul Dewi Naga Ningrum, teknik batik dipakai untuk membuat goresan motif hiasan pada baju dan kain. Sedangkan teknik kuas terlihat pada pewarnaan motif hiasnya, seperti biru tua, coklat muda, hijau pupus yang menghasilkan permukaan yang tidak rata. Untuk menghasilkan gradasi yang akan memberi kesan hidup baik pada baju maupun kain dipergunakan teknik hapus, jadi setelah warna yang dipulas dengan kuas
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 166
agak mengering, kemudian dihapus pada bagian tertentu sehingga menghasilkan efek pupus pada warna tersebut. c. Ornamen Ornamen yang dipakai pada karya Golekan diterapkan pada pakaian dan aksesoris. Pada pakaian, ornamen diterapkan pada motif hias pakaian atau kain yang dipakai, sedangkan pada aksesoris diterapkan pada subang maupun hiasan kepala. Jenis ornamen yang muncul sebagian besar berbentuk motif tumbuhan dan hewan serta motif abstrak geometrik pada kain. Salah satu contohnya adalah penggunaan ornamen pada karya berjudul Bar Adus yang pada kain yang dikenakannya dipenuhi oleh ornamen bermotif hias flora yang naturalistis digabungkan dengan motif hias yang geometris. d. Atribut/Aksesoris Aksesoris yang dipakai pada karya Golekan banyak dipakai di bagian kepala, seperti cunduk mentul (hiasan rambut) dan subang juga anting. Hiasan cunduk mentul terbuat dari tembaga seperti yang dipakai sebagai hiasan kepala pada Yayung Ngudut Bae, demikian juga dengan subang yang dipakai terbuat dari tembaga. Selain itu, digunakan bahan lain, seperti tanduk domba pada golekan yang berjudul Jambul Dewi Naga Ningrum yang digunakan sebagai hiasan di kepalanya. 1.4Ibu dan Anak a. Bentuk Pada karya Ibu dan Anak semua berbentuk figur wanita dewasa dan sosok anak lakilaki, keduanya ditampilkan dalam berbagai posisi, antara lain posisi anak yang didekap seperti pada karya berjudul Cah Mentil atau anak yang dipanggul di pundak seperti pada Katresna Si Mbok. Sedangkan bentuk figur dari wanita ditampilkan dalam tiga bentuk, pertama wanita bertubuh gemuk seperti pada Katresna Si Mbokdan Ambung-Ambungan. Kedua, wanita bertubuh molek, seperti pada Mbok Tiwi, Kebrukan Susu, dan Ajar Mlampah. Terakhir, wanita dengan sebagian tubuhnya diubah, terutama bagian kaki yang dibentuk menyerupai gelombang air laut seperti pada karya Cah Mentil dan menyerupai ekor ular pada karya Ajar Asih. b. Warna Penggunaan warna pada karya Ibu dan Anak masih seperti pada Golekan yaitu mempergunakan warna krem kecoklatan untuk mewarnai kulit, dan warna warna lain yang digunakan pada pakaian dan ornamen. Teknik pewarnaan masih mempergunakan teknik batik pada bagian goresan ornamen, teknik kuas untuk memberi warna pada motif hias yang tebal serta teknik bercak, dan teknik hapus untuk menampilkan gradasi dan tekstur tertentu.. Pada beberapa bagian tubuh setelah dibercak kemudian dihapus untuk menghadirkan kesan bayangan sehingga dapat ditampilkan lebih hidup. Sedangkan teknik kuas dipakai untuk pewarnaan motif pada kain seperti terlihat di karya yang berjudul Ajar Mlampah dan AmbungAmbungan. c. Ornamen Ornamen yang ditampilkan antara lain berbentuk motif tumbuh-tumbuhan seperti pada bagian ekor dalam Ajar Asih atau pada motif di pakaian patung Ajar Mlampah. Disamping tumbuhan, ornamen hewan juga ditampilkan seperti pada karya Mbok Tiwi yang di bagian perut Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 167
dan paha terdapat gambar kupu-kupu. Gambar kupu-kupu ini juga terdapat dalam motif pakaian pada Ajar Mlampah. d. Atribut/Aksesoris Seperti pada karya sebelumnya yang banyak menampilkan sosok wanita, maka pada karya ibu dan anak pun atribut yang dipakai tidak begitu banyak, hanya sebatas yang biasa oleh wanita pada bagian kepala , seperti hiasan kepala berupa cunduk mentul, cunduk jungkat, tusuk konde, serta subang dan anting. Cunduk mentul yang terbuat dari kuningan digunakan pada karya Ambung-Ambungan dan Kebrukan Susu, sedangkan tusuk konde berhias digunakan pada karya Cah Mentil. Aksesoris justru banyak dipergunakan pada karya berjudul Ajar Asih, yang terdiri dari subang, gelang di pangkal lengan dan bagian ekor, serta mainan anak.
1.5 Dewi Sri a. Bentuk Sesuai dengan temanya, figur-figur yang ditampilkan oleh F. Widayanto dalam karya Dewi Sri semuanya berupa figur wanita dengan pakaian dan aksesoris lengkap. Seperti juga Golekan, dalam karya Dewi Sri semua figur ditampilkan dengan bentuk tubuh yang sangat langsing dengan busana yang glamour. Dengan posisi tubuh yang berdiri tegak walaupun ada juga yang tubuhnya condong ke depan dan agak mendongak ke belakang. Secara umum figurfigur tersebut berkesan statis dan formal. Kesan tinggi selain dikarenakan oleh bentuk figurnya yang langsing juga ditambah hadirnya garis-garis vertikal dari ornamen yang ditampilkan. Bentuk yang ditampilkan dalam pameran ini semuanya berupa figur seorang wanita dengan pakaian dan aksesoris lengkap. Tiap figur ditampilkan dalam posisi berdiri dengan posisi tangan yang berbeda-beda. Figur wanita ditampilkan berbadan ramping dengan wajah yang menarik, demikian juga dengan gestur hampir semuanya berkesan formal meskipun tidak terlihat kaku. Teknik pembentukan yang dipakai pada karya ini adalah gabungan pilin, pijat, dan slab. Tidak seperti karya-karya sebelumnya, teknik slab yang dipergunakan terlihat dengan jelas seperti pada karya Sridayungore (gambar 4.35 ) dimana pada bentuk kain yang dipakai lempengan tanah liat yang berbentuk persegi hasil teknik slab terlihat dengan jelas, demikian juga dengan karya yang berjudul Srimayasih (gambar 4.39 ) b. Warna Penggunaan warna pada karya Dewi Sri ini terlihat lebih meriah, hampir semua patung diberi warna yang beragam, hal ini sesuai dengan tema yang diangkat yaitu penghargaan terhadap Dewi Sri sebagai seorang dewi yang telah memberikan kemakmuran melalui tumbuhan padi. Sikap hormat itu diwujudkan melalui pewarnaan yang dapat mencitrakan kemewahan dan kewibawaan, terutama dipakai pada pakaian beserta motifnya dan hiasan yang melengkapinya. Teknik pewarnaan yang dipakai untuk karya ini merupakan gabungan dari teknik kuas, bercak, dan hapus. Teknik kuas dipergunakan terutama untuk mewarnai motif kain yang apabila bidangnya cukup lebar dapat menampilkan tekstur yang tidak rata sebagai efek dari sapuan kua adapun teknik bercak menghasilkan tekstur yang berbintik-bintik dengan gradasi warna yang cukup menarik. Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 168
c. Ornamen Ornamen yang dipakai pada karya Dewi Sri didominasi oleh bentuk motif hias pada pakaian temasuk kain yang dipakainya. Motif kain yang ditampilkan didominasi oleh motif flora yang naturalistis dengan goresan yang dalam sehingga walaupun bentuk dasarnya cenderung statis dengan gestur dan goresan ornamen ini figur yang ditampilkan memiliki kesan dinamis. Motif fauna yang naturalis baik yang dua maupun tiga dimensi masih tetap ditemukan pada karya ini, hanya saja jumlahnya tidak begitu banyak.Adapun motif hias geometris tetap muncul walaupun semakin sedikit dari motifnya yang mengacu pada motif geometris tradisional. d. Atribut/Aksesoris Secara umum, figur yang ditampilkan dalam karya Dewi Sri tampil dengan busana kebaya lengkap dengan segala aksesorisnya seperti cunduk jungkat, cunduk mentul, subang, anting, kalung, bros, sabuk, dan gelang. Hampir di semua karya ini memakai hiasan rambut dengan bentuk yang berbeda-beda. Misalnya pada karya berjudul Sriwiratapuri hiasan rambutnya berupa bola-bola. 1.6 Semar a. Bentuk Lewat pijatan, pilinan, dan lempengan tanah liatnya F.Widayanto dalam karya Semar ini F. Widayantomenampilkan figur manusia yang sebagai besar berbadan gendut dengan bentuk dasar yang agak membulat mirip dengan bentuk dasar karya F.Widayanto sebelumnya yakni Ganesga-Ganeshi. Semar dalam pewayangan Jawa dikenal sebagai pengayom para ksartia yang memiliki kejujuran dan kesederhanaan yang mengagumkan.Dilihat dari konturnya figurfigur yang ditampilkan oleh F. Widayanto sangat dinamis . Hal tersebut diperkuat dengan tarikan garis-garis lengkung pada ornamen yang melekat pada badan figur tersebut. Posisi Semar sendiri oleh F. Widayanto dengan sengaja ditampilkan dalam posisi yang tidak simetris seperti juga pada Ganesha-Ganeshi walaupun unsur-unsur yang ditampilkannya tetap memperlihatkan keseimbangan yang harmonis. Sehingga figur-figur tersebut memiliki kesan agak rumit, dinamis, dan sangat hidup sehingga menarik perhatian. Dilihat dari segi bentuk secara keseluruhan figur yang ditampilkan semuanya bercirikan manusia gemuk, tetapi hal lain yang cukup penting dalam mengamati karya-karya F. Widayanto ini, yaitu gestur dan sikap tubuh yang ditampilkan dalam berbagai posisi, mulai dari duduk, bersila, berdiri hingga duduk dengan menopangkan tangan ke dagu. Posisi patung keramik Semar hampir semuanya berkesan ‘santai’ dan tidak terlalu kaku. b. Warna Penggunaan warna pada karya Semar didominasi oleh warna-warna yang cemerlang seperti krem, hijau biru, dll yang dihasilkan oleh pewarna glasir. Dari 30 karya yang ditampilkan hanya satu karya yang didominasi oleh warna gelap yakni Sang Hyang Jiteng. Warna abu-abuyang merupakan warna asli dari tanah liatStoneware yang dibakar pada suhu 1250°C, pada beberapa karya sengaja ditampilkan sebagai aksen.. Teknik pewarnaan yang digunakan adalah teknik batik pada bagian-bagian tertentu, misalnya pada goresan-goresan ornamen. Teknik pewarnaan lain yang dipakai adalah teknik bercak, kuas dan hapus, dimana terlihat gradasi warna pada bagian-bagian tertentu dalam karya. Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 169
c. Ornamen Motif batik geometris yang digunakan pada Semar dalam pewayangan tradisional dalam karya F. Widayanto tidak ditemukan. Malah motif hias flora dan fauna yang menjadi ciri khas F.Widayanto sangat dominan dalam keseluruhan karya yang ditampilkan. Dengan bentuk tubuh Semar yang gemuk F.Widayanto sangat leluasa menghias bagian-bagian tubuh seperti perut, kaki, pundak selain pada kain yang dikenakan oleh Semar. d. Atribut/Aksesoris Sesuai dengan cerita pewayangan mengenai Semar, aksesoris seperti gunungan, tongkat, cincin, gelang, dompet, dll. dimunculkan dalam karya keramik F.Widayanto walaupun muncul juga aksesoris tambahan seperti bola dunia yang ditempatkan pada tangan Semar yang berjudul Ayoming Jagad. 1.7 Drupadi a. Bentuk Karya keramik F.Widayanto yang bertajuk Drupadi secara umum ada sedikit kemiripan dengan karya sebelumnya yakni Dewi Sri. Bentuk yang ditampilkan berupa figur-figur perempuan cantik dengan tubuh langsing yang dilengkapi aksesoris yang cukup glamour walaupun tidak selengkap Dewi Sri. Berbeda dengan figur Dewi Sri yang berkesan statis dan formal, dalam karya Drupadi F.Widayanto menampilkan figur-figur perempuan dalam berbagai pose sehingga berkesan dinamis. Kesan bentuk yang dinamis diperkuat dengan tampilan bentuk kain yang membalut badan Drupadi yang dieksploitasi oleh F.Widayanto sebagai upaya untuk menyesuaikan dengan tema cerita. Seperti juga pada karya sebelumnya, teknik pembentukan yang dipakai pada karya ini adalah gabungan pilin, pijat, dan slab. Yang menonjol dari karya ini yaitu bentuk kain yang ditampilkan yang bila dilihat secara seksama cukup menggambarkan kehebatan perupanya. b. Warna Penggunaan warna pada karya Drupadi jika dibandingkan dengan karya Dewi Sri ini terlihat sama-sama meriah dengan warna-warna terang yang sangat dominan seperti putih, biru, hijau, coklat, dll. Hanya saja Dewi Sri lebih colorfulkarena beberapa karya Drupadi warnanya malah didominasi warna gelap seperti coklat kehitaman. Hal ini dapat difahami karena F. Widayanto berupaya untuk menampilkan warna yang sesuai dengan cerita yang dijadikan tema. Teknik pewarnaan yang dipakai untuk karya ini merupakan gabungan dari teknik kuas, bercak, dan hapus. Teknik kuas dipergunakan terutama untuk mewarnai motif kain yang apabila bidangnya cukup lebar dapat menampilkan tekstur yang tidak rata sebagai efek dari sapuan kua adapun teknik bercak menghasilkan tekstur yang berbintik-bintik dengan gradasi warna yang cukup menarik. c. Ornamen Ornamen yang dipakai pada karya Drupadi didominasi oleh bentuk motif hias flora dan fauna pada kain yang melekat pada tubuh Drupadi. Motif kain yang ditampilkan didominasi oleh motif flora yang naturalistis dengan goresan yang dalam sehingga menambah kesan dinamis. Motif fauna yang naturalis baik yang dua maupun tiga dimensi masih tetap ditemukan pada karya ini, hanya saja jumlahnya tidak begitu banyak. Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 170
d. Atribut/Aksesoris Secara umum, figur yang ditampilkan dalam karya Drupadi semuanya tidak berbusana, hanya dibalut kain saja. Hal ini yang berbeda dengan karya Dewi Sri yang berbusana lengkap dengan seluruh aksesorisnya. Aksesoris rambut masih digunakan pada karya ini yakni seperti cunduk jungkat, cunduk mentul, subang, anting. Berdasarkan hasil pengamatan dan uraian tentang Ganeshi-Ganeshi, Ukelan, Golekan, Ibu dan Anak,Dewi Sri, Semar dan Drupadi, maka unsur-unsur perupaan yang meliputi bahan, bentuk, teknik pembuatan, teknik dekorasi, warna dan unsur lainnya dapat dirangkum pada tabel sebagai berikut : Unsur Visual
Judul Karya Ganeha-Ganeshi
Ukela n
Golek an
Ibu dan Anak
Dewi Sri
Se ma r
Drupa di
1 Bahan
Stoneware 1250°C
Stone ware 1250° C
Stone ware 1250° C
Stone ware 1250° C
Stone ware 1250° C
Sto ne war e 125 0°C
Stonew are 1250°C
2 Bentuk
Figur
Figur Kepal a
Figur
Figur
Figur
Fig ur
Figur
3 Teknik Pembentukan
Pijat, Pilin, Lempeng (gabungan)
Pijat, Pilin, Lemp eng (gabu ngan)
Pijat, Pilin, Lemp eng (gabu ngan)
Pijat, Pilin, Lemp eng (gabu ngan)
Pijat, Pilin, Lemp eng (gabu ngan)
Pija t, Pili n, Le mp eng (ga bun gan )
Pijat, Pilin, Lempe ng (gabun gan)
4 Ornamen
Motif hias flora dan fauna naturalistis dan motif hias geometris
Motif hias flora dan fauna natura listis
Motif hias flora dan fauna natura listis dan motif hias geom etris
Motif hias flora dan fauna natura listis
Motif hias flora dan fauna natura listis dan motif hias geom etris
Mo tif hias flor a dan fau na nat ural istis
Motif hias flora dan fauna naturali stis
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 171
8.
5 Teknik Dekorasi
Toreh dan tempel
Toreh dan tempe l
Toreh dan tempe l
Toreh dan tempe l
Toreh dan tempe l
Tor eh dan tem pel
Toreh dan tempel
6 Warna
Warna tanah (natural) dan glasir
Warn a tanah (natur al) dan glasir
Warn a tanah (natur al) dan glasir
Warn a tanah (natur al) dan glasir
Warn a glasir
Wa rna tan ah (nat ural ) dan glas ir
Warna glasir
7 Teknik Pewarnaan
Batik, kuas, dan hapus.
Batik, kuas, berca k, dan hapus.
Batik, kuas, berca k, dan hapus.
Batik, kuas, berca k, dan hapus.
Batik, kuas, berca k, dan hapus.
Bat ik, kua s, ber cak , dan hap us.
Batik, kuas, bercak, dan hapus.
Atribut kedewaan (kapak, pengusir lalat, gading, tasbih, mangkuk, dll), cunduk mentul, tusuk konde, dan selendang.
Suban g, anting , cundu k mentu l, tusuk konde .
Busan a, suban g, anting , kalun g, gelan g, bros, sabuk, cundu k mentu l, tusuk konde , dan selend ang.
Busan a, suban g, anting , kalun g, gelan g, cundu k mentu l, tusuk konde , dan selend ang.
Busan a, suban g, anting , kalun g, gelan g, bros, sabuk, cundu k mentu l, cundu k jungk at, kalun g panun ggala n, tusuk konde , dan
Gu nun gan , gel ang , cin cin, sab uk, tas pin gga ng, bol a dun ia.
Busana , subang, anting, cunduk mentul, cunduk jungkat , tusuk konde, dan selenda ng, dadu.
Aksesoris/Atr ibut
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 172
selend ang. 9 Finishing
Penghalusan dan penempelan aksesoris
Pengh alusan dan pene mpela n akses oris
Pengh alusan dan pene mpela n akses oris
Pengh alusan dan pene mpela n akses oris
Pengh alusan dan pene mpela n akses oris
Pen gha lusa n dan pen em pel an aks eso ris
Pengha lusan dan penemp elan aksesor is
Tabel Analisa Perupaan Karya Keramik F.Widayanto
PENUTUP Budaya tradisi yang berupa artefak dan mitologi adalah sumber inspirasi F.Widayanto dalam berkreasi. Sejak tahun 1993 hingga saat ini tercatat ada beberapa artefak dan mitologi dari budaya tradisi khususnya yang berasal dari Jawa yang jadi sumber inspirasinya yakni Patung dan mitologi Ganesha, Ukel, Wayang Cepak, Patung terakota Majapahit, Patung Loro Blonyo dan Wayang, Budaya-budaya tradisi tersebut diatas oleh F.Widayanto dijadikan tema dan diwujudkan dalam kriya keramiknya dalam bentuk figur. Figur yang ditampilkan baik bentuk, bahan, warna, ornamen, teknik, dan aksesorisnya umumnya disesuaikan dengan artefak dan mitologi dalam budaya tradisi, tetapi beberapa diantaranya dirubah dan ditambahkan oleh F.Widayanto seperti munculnya figur Ganeshi. Upaya merubah dan menambahkan inilah yang menarik untuk dikaji karena dari upaya tersebut menunjukkan sikap reinterpretasi F.Widayanto terhadap budaya tradisi dan kondisi terkini. Melalui kriya keramiknya F.Widayanto seperti juga seniman keramik modern Indonesia lainnya mencoba memunculkan identitas dan jati dirinya. Dengan budaya tradisi yang dipilihnya F.Widayanto mampu menunjukan bahwa individuasi sebagai seniman modern dan karya yang memiliki jati diri yang kuat bisa dicapai secara bersamaan tanpa mengorbankan salahsatunya. Pencapaian F.Widayanto dalam berkarya dapat menjadi acuan dan motivasi seniman modern Indonesia lainnya dalam berkarya, karena dengan cara demikian tujuan seniman dalam berkarya akan mendapatkan hasil ganda yakni munculnya identitas personal dan nasional. Karya seperti inilah yang akan dihargai apalagi yang berkaitan dengan upaya konservasi dan revitalisasi budaya tradisi.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 173
DAFTAR PUSTAKA Alisjahbana, S. Takdir. 1985. Seni dan Sastra. Jakarta : Gramedia. Jono Irianto, Asmudjo, 1998. Kajian Kiya Kontemporer Dalam Konteks Pendidikan Tinggi Seni Rupa Di Indonesia (tesis) FSRD –ITB Koentjaraningrat, 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya. Peursen, C.A.Van, 1976. Strategi Kebudayaan. Jakarta : Gunung Mulia. Rohendi Rohidi, Tjetjep. Prof. Dr. 2000. Kesenian Dalam Pendekatan Kebudayaan. Bandung : Stisi. ----------------------------------------. 2000. Ekspresi Seni Orang Miskin. Bandung : Nuansa. Sumardjo, Jakob. 2000 Sosiologi Seniman Indonesia. Bandung : ITB For those who Yudeseputro, Wiyoso. 1983. Seni Kerajinan Indonesia. Jakarta : Depdikbud. Katalog -
Ganesha-Ganeshi, 1993 Ukelan, 1995 Golekan, 1997 Ibu dan Anak, 2000 Dewi Sri, 2003 Semar, 2009 Drupadi, 2013
Internet -
https://www.google.com http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Dropadi-kl.jpg
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 174
PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
PELATIHAN FOTOGRAFI KOMERSIAL UNTUK MEDIA PROMOSI BATIK ANGGRAINI DI RUMAH PRODUKSI BATIK ANGGRAINI CIMAHI Cahyadi Dewanto Suharno Ari Winarno
ABSTRAK Pengabdian Pada Masyarakat (PPM) ini dilakukan dalam rangka menjawab kebutuhan Batik Anggraini dalam mempromosikan karya-karyanya. Salah satu kendala yang dihadapi adalah sumberdaya manusia yang dimiliki belum memiliki kemampuan fotografi, khususnya fotografi komersial untuk kepentingan promosi. Kemampuan ini sangat diperlukan karena jika mengandalkan jasa fotografer dari luar, disamping harganya mahal hasilnya belum tentu sesuai dengan harapan. Hal ini dikarenakan tidak setiap fotografer memiliki pemahaman tentang batik, sehingga karya dihasilkan mungkin bagus secara visual, namun secara filosofis yang berkait dengan filosofi batik tidak terungkap. Oleh karenanya PPM ini bertujuan memberikan bekal pengetahuan dan keterampilan fotografi komersial, agar Batik Anggraini mampu mewujudkan gagasannya: membuat katalog karya berbasis fotografi komersial. Kata Kunci: Batik, fotografi komersial, fotografer PENDAHULUAN Batik Anggraeni adalah rumah produksi batik dengan ciri khas batik Cimahi yang mempunyai idealisme karya yang berbeda dengan industri batik lainnya di wilayah Cimahi. Perbedaan inilah Batik Anggraeni berkembang pesat seiring dengan perkembangan dunia fashion. Batik tidak lagi hanya sebatas pakaian, akan tetapi telah menjadi gaya hidup modern, cerminan tersebut terdapat pada karya-karya batik yang telah dihasilkan oleh rumah produksi Batik Anggraeni dengan tidak meninggalkan nilai-nilai dan filosofinya. Di samping mempunyai idealisme dalam karya-karyanya, Batik Anggraeni dalam hal berpromosi belum seimbang dalam penyampaian komunikasi visual termasuk foto-foto dalam merepresentasikan ke dalam bentuk kemasan/katalog yang representatif. Berangkat dari permasalahan tersebut, mengapa rumah produksi Batik Anggraeni dipilih dalam pengabdian pada masyarakat, oleh karena itu pengetahuan dan teknik dasar dalam fotografi komersial dalam meningkatkan kemampuan dan memvisualisasikan karya batik lewat fotografi secara mandiri nantinya, terlebih dengan adanya PKM ini, Batik Anggraeni belum mempunyai sumber daya manusia (SDM) berkaitan dengan penguasaan fotografi untuk menerjemahkannya ke dalam media promosi (katalog). Membekali sumber daya manusia (SDM) rumah produksi Batik Anggraeni tentang fotografi komersial, sehingga mampu: 1. Memahami fungsi fotografi komersial untuk promosi melalui media katalog 2. Mampu “bernegoisasi” dengan fotografer dalam pemotretan karya untuk promosi 3. Mampu mandiri dalam pemotretan karya batik yang dihasilkan sehingga dapat menghasilkan foto yang mempunyai nilai komersial.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 175
PEMBAHASAN a. Pelatihan Pengetahuan dan materi yang telah diberikan pada rumah produksi Batik Anggraeni tentang ilmu fotografi dan ilmu desain, Berkaitan dengan teknik fotografi, pencahayaan yang tepat akan diperoleh nuansa batik yang lebih artistik, disamping pula komposisi untuk menambah kesan indah dalam menampilkan batik secara keseluruhan. Maka dari itu hasil dari PKM ini, Batik Anggraeni dapat: - Memahami fotografi baik secara teknis maupun komposisi yang baik. - Mampu mempraktikan materi yang telah diberikan. - Memiliki pengetahuan dan prinsip-prinsip desain.
Katalog sebelumnya
Selama ini Batik Anggraeni telah memiliki beberapa katalog sebagai media promosi, akan tetapi melihat desain dan foto-foto yang ada kurang memenuhi unsur-unsur desain dan foto-foto yang representatif, diantaranya: • Konsep desain kurang sesuai dengan Batik Anggraeni itu sendiri • Tata letak/lay out kurang menarik • Foto terlalu kecil dan tidak representatif • Keterangan kurang informatif • “Alur baca” kurang nyaman
Pengambilan objek materi untuk ilustrasi katalog dari hasil pemotretan peserta
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 176
b. Aplikasi/Luaran
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 177
PENUTUP Pemahaman akan medium ataupun media dalam dunia industri merupakan kebutuhan dalam pembuatan media promosi, perkembangan dunia fashion dan fotografi telah membuka
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 178
wacana baru dalam menyuguhkan produk agar dapat diterima oleh masyarakat luas dan tepat sasarasan. Setelah melalui proses di dalam pemahaman dan teknis fotografi, Batik Anggraeni telah banyak memahami pentingnya fotografi sebagai salah satu materi dalam pembuatan media promosi (katalog). Fotografi menjembatani dengan bahasa visualnya yang khas, bagaimana menampilkan produk (batik) baik teknis, komposisi maupun warna yang akan dihadirkan ke dalam media promosi. Perlunya peningkatan teknis fotografi bagi Batik Anggraeni di luar biaya lembaga agar dapat mandiri dalam menghasilkan foto-foto yang berkualitas dan lebih representatif, berkaitan dengan produksi batik maupun motif yang dihasilkan Batik Anggraeni.Sedangkan kendala yang dialami Batik Anggraeni, belum memiliki kamera Digital Single Lens Refflex (DSLR) untuk dapat menghasilkan foto-foto dengan kualitas baik, dengan pengertian resolusi maupun warna foto agar sesuai dengan yang diinginkan. Disamping itu pula, dalam kegiatan PKM ini, dengan mobilitas yang cukup tinggi dari pihak Batik Anggraeni, waktu menjadi kendala dalam memberikan materi yang akan diberikan pada Batik Anggraeni.
DAFTAR PUSTAKA Ardiansyah, Yulian. (2005), Tips & Trik Fotografi: Teori dan Aplikasi Belajar Fotografi, Penerbit PT Grasindo, Jakarta. McGovern, Thomas. (2003), Belajar Sendiri Fotografi Hitam Putih dalam 24 Jam. Penerbit Andi, Yogyakarta Setiawan, Antonius Fran. (2004), Panduan Belajar Fotografi Digital, Penerbit Andi, Yogyakarta. Suryantoro, Sigit ed. (2007), Menjadi Seorang Desainer Grafis. Penerbit Andi, Yogyakarta.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 179
PELATIHAN SENI KALIGRAFI DEKORASI ISLAM DI KALANGAN MAHASISWA BANDUNG (Studi Kasus Mahasiswa anggota Departemen Seni Budaya & Kreatifitas Yayasan Sarana Bhakti Mulya) Wildan Hanif ABSTRAK Seni Kaligrafi Islam sudah dikenal sejak zaman Nabi Muhammad SAW, yakni ketika Nabi Muhammad berkirim Surat kepada Raja- raja, mengajak mereka masuk Islam. Jenis kaligrafi yang pertama dipakai adalah Kufi sederhana tanpa tanda baca. Selanjutnya Seni Kaligrafi Islam mencapai puncaknya selama kurun waktu 6 abad, yakni dengan dikukuhkannya 6 jenis khat/ tulisan Kufi, Tsuluts, naskhi, Diwani, Riq’ah, dan Farisi. Perkembangan Seni Kaligrafi juga diikuti dengan perkembangan Seni Ornamentasi yang pada awalnya diistilahkan Arabesque. Ketika Seni Kaligrafi dipadukan dengan ornamentasi, maka berkembanglah Seni Kaligrafi Dekorasi di seluruh Dunia Islam. Upaya memperkenalkan Seni Kaligrafi Dekorasi di kalangan para mahasiswa Bandung merupakan langkah yang strategis untuk meraih peluang ekonomi kreatif. Mahasiswa yang dipilih adalah mereka yang memiliki kemampuan membaca dan menulis Al Quran yang sudah baik, tetapi belum tersentuh estetika seni kaligrafi dan ornamentasi secara intensif. Target luarannya adalah berupa Karya kaligrafi di atas kertas dan di medium triplek dengan teknik warna cat emulsi yang tahan lama, sehingga dapat dipamerkan/ dipajang di mushola atau langgar di desa- desa/ kelurahan di Bandung, di lingkungan mahasiswa peserta pelatihan berada. Kata Kunci : Seni Kaligrafi, dekorasi, mahasiswa
PENDAHULUAN Kaligrafi Islam, juga dikenal sebagai kaligrafi Arab, adalah praktek artistik dari tulisan tangan, dan dinilai sebagai warisan budaya umum Islam. Bentuk seni ini didasarkan pada tulisan Arab, yang untuk waktu yang lama digunakan oleh semua umat Islam dalam bahasa masingmasing. Mereka menggunakannya untuk mewakili atas nama Allah, karena mereka menyangkal Tuhan yang direpresentasikan dengan gambaran yang nampak. Di antara seni Islam yang lain, bentuk kaligrafi merupakan seni yang mendapat kehormatan utama, hal ini berkaitan dengan pelestarian dan menjaga keotentikan Al-Qur’an. Kecurigaan terhadap bentuk seni figuratif yang dianggap sebagai seni yang dekat dengan musyrik, menyebabkan seni kaligrafi dan penggambaran abstrak menjadi bentuk utama ekspresi seni dalam budaya Islam, hal ini berkaitan dalam konteks agama-hukum fiqh. Di berbagai banyak Negara Timur Tengah khususnya, seperti pada masa Persia dan Turki Ottoman, kaligrafi dikaitkan dengan motif arabesque-abstrak, dipakai di dinding dan langit-langit masjid maupun halaman masjid. Hingga kini, banyak seniman kontemporer di dunia Islam memanfaatkan warisan kaligrafi sebagai proses artistik karya seni rupa mereka. Titus Burckhardt salah seorang peneliti seni Islam menyatakan bahwa esensi dari seni adalah keindahan.Keindahan itu sangat bersifat batiniah sekaligus bersifat lahiriah. Ia berhubungan dengan penampakan segala sesuatu dan pada saat yang sama bergabung dengan
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 180
ketidakterbatasan kualitatif wujud Tuhan sendiri karena ia menembus ke balik segala dualitas, seperti penciptaan dan ciptaan, satu pelimpahan yang tidak terduga dalam kesatuan serta kesatuan dalam keragaman.1 Menulis dalam aksara Arab segera menjadi ciri dan peradaban Islam.2Dengan demikian kaligrafi Islam dimaksudkan untuk menyampaikan aura effortlessness dan kekekalan, dan tangan individu dan kepribadian yang disublimasikan ke kesan keseluruhan keagungan dan kemegahan.3Dalam konsep kaligrafi Islam berbeda berbeda dengan kaligrafi tradisi China misalnya, yang tujuannya adalah untuk menanamkan kepribadian kaligrafi sebagai momen waktu seniman membuat karya (deskripsi).Sebaliknya kaligrafi Islam adalah abadi. Kaligrafi Arab sendiri memiliki kemungkinan-kemungkinan dekoratif yang sangat kaya dan tiada habisnya.Bentuk-bentuk dasarnya beragam antara tulisan kufi yang monumental, dengan bentuk garis lurus dan sela vertikal, dan naskhi, dengan garis seperti air dan meliuk-liuk. Kekayaan kaligrafi Arab-Islam berasal dari fakta bahwa ia telah mengembangkan dua “dimensi”: vertikal, yang memberi huruf-huruf itu martabat seperti seorang ulama, dan horizontal, yang menghubungkannya dengan satu aliran yang terus-menerus. Sebagaimana simbolisme gelombang, garis-garis vertikal, yang analog dengan “lengkungan” tenunan kain, sesuai dengan esensi segala sesuatu yang permanen.Dengan yang vertikal inilah sifat tidak tergantikan huruf- huruf ini terbukti. Sementara yang horizontal, analog dengan “tenunan” , mengekspresikan kejadian atau materi yang menghubungkan sesuatu dengan yang lain. Arti penting dari hal ini secara khusus terbukti dalam kaligrafi Arab, yang di dalamnya coretan vertikal mentransendensikan dan mengatur aliran lekak-lekuk dari goresan-goresan yang lain. Kufi adalah bentuk kaligrafi tertua dari script bahasa Arab dan terdiri dari berbagai bentuk modifikasi dari script Nabatea tua. Namanya berasal dari kota Kufah, Irak, meskipun dikenal di Mesopotamia setidaknya 100 tahun sebelum dasar Kufah. Pada saat munculnya Islam, jenis naskah sudah digunakan di berbagai belahan Jazirah Arab. Saat itu desain script kufi ditulis sebagai salinan pertama dari Al-Qur'an.Kufi adalah bentuk naskah yang terdiri dari garis-garis lurus dan sudut, seringkali dengan vertikal memanjang dan horizontal. Awalnya tidak memiliki konsonan menunjuk membedakan, misalnya, b, t, dan th. Hal ini masih digunakan di negara-negara Islam, meskipun telah mengalami beberapa perubahan selama bertahun-tahun dan juga menampilkan perbedaan regional. Perbedaan antara script Kufi digunakan di Semenanjung Arab dan lebih banyak ditandai sekaligus digunakan di negaranegara Afrika Utara. Sementara itu bentuk naskhi kaligrafi dan iluminasi muncul pada abad 14 dan 15 yang diproduksi oleh bangsa Mamluk Mesir.Naskhi itu sendiri ditulis dalam naskhi kursif disebut naskh.Gaya naskhi dirintis oleh kaligrafer Ibnu Muqlah Syirazi asal Iran (Persia). Akar kata naskhi berasal dari istilah Arab nasaha yang berarti “copy”.Hal itu baik mengacu pada fakta bahwa itu diganti pendahulunya, kufi, atau pada tujuannya.Gaya naskhi ini memungkinkan waktu menulis dan menyalin lebih cepat dari bentuk teks aslinya. 1 Titus Burckhardt, Spiritualitas Seni Islam, dalam Spiritualitas Islam: Manifestasi, Penerbit Mizan, Bandung, 2003, hal. 642. 2
Khatibi, Abdelkebir, and Sijelmassi, Mohammed.The Splendour of Islamic Calligraphy. London: Thames and Hudson, 1994. 3
Bloom, Jonathan M, Paper Before Print: The History and Impact of Paper in the Islamic World. New Haven, Conn., and London: Yale University Press, 2001.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 181
Berbeda dengan belahan dunia Islam pada periode-periode terdahulu, perkembangan kaligrafi di Indonesia tidak melahirkan corak, gaya atau aliran kaligrafi yang khas. Pertumbuhan yang ada hanyalah pertumbuhan pemakaian kaligrafi yang ada untuk kebutuhan-kebutuhan primer yang bersifat fungsional seperti untuk menyalin Al-Quran atau teks-teks keagamaan yang berkembang ke aneka lukisan di pelbagai media. Salah satu teknik dan pengembangan kaligrafi yang lazin dan trend di kalangan konteks komunitas seperti Yayasan Islam, Pesantren, dan Penggiat Seni adalah kaligrafi dekorasi.Kaligrafi dekorasi dirujuk sebagai upaya pemenuhan kebutuhan lahirnya kreatifitas seni Islam di kalangan komunitas Islam.Yayasan Sarana Bhakti Mulya, merupakan mitra yang diusulkan oleh pengusul sebagai komunitas di Bandung yang memiliki program-program pelatihan dan minat kepada para mahasiswa di Bandung untuk mengembangkan teknik kaligrafi dekorasi. Namun dalam kondisi lapangan yang terjadi pengembangan inovasi kaligrafi dekorasi ini tidak didukung oleh instruktur dan infrastruktur yang memadai seperti tenaga pendidik kaligrafi yang professional sesuai kompetensinya, workshop kaligrafi dan alat-alat untuk menulis kaligrafi secara representatif. PEMBAHASAN Penulis bersama Mitra (Komunitas Seni Budaya & Kreatifitas Yayasan Sarana Bhakti Mulya) melakukan kerjasama sekaligus pengembangan terkait dengan unsur-unsur wujud konkret dari pengembangan teknik seni dekorasi kaligrafi. Berikutnya, Pengusul bersama Mitra akan menyusun manajemen usaha sebuah komunitas kaligrafi di Bandung, khususnya di Yayasan Bhakti Mulya-Bandung. Kegiatan dan program di komunitas tersebut memberikan layanan, instruktur serta pengembangan teknik kaligrafi dekorasi ke khalayak umum.Uraian di atas bisa dijabarkan sebagai berikut: 1. Pelatihan dan workshop kaligrafi dekorasi di Yayasan Bhakti Mulya-Bandung yang melibatkan mahasiswa Politeknik Manufaktur Negeri (POLMAN) Bandung, dan mahasiswa dari STSI Bandung. Pelatihan dan workshop akan diberikan oleh instruktur yang tidak lain dari pihak Pengusul. 2. Acara pameran terbatas kaligrafi dekorasi yang ditampilkan oleh komunitas kreatif Yayasan Bhakti Mulya-Bandung. 3. Pembuatan produk seni dari bahan kertas, dan triplek dari teknik kaligrafi dekorasi. Tahapan-tahapan pelaksanaan yang akan ditempuh oleh pengusul adalah mengumpulkan data informasi, mencatat, mendeskripsikan, menginterpretasi, mengevaluasi, menganalisa, sampai tahap pembuatan karya kaligrafi dekorasi.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 182
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Menentukan metode atau model pendekatan yang tepat untuk mengkaji masalah seni dekorasi kaligrafi di Yayasan Bhakti Mulya-Bandung.Dalam hal ini peneliti memilih pendekatan estetika sosial dan sosio-kultural sebagai model pendekatan. Melakukan batasan masalah objek kasus serta pengertian apa yang dimaksud dengan masalah seni kaligrafi dekorasi. Memilih sampel kasus objek penelitian dan percontohan di Yayasan Bhakti Mulya-Bandung. Pemilihan lokasi penelitian di Bandung, disebabkan belum ditemukan lembaga atau Yayasan Islam di Bandung sendiri yang memiliki program pengembangan seni budaya Islam khususnya pengembangan kaligrafi secara komprehesif. Pengamatan dan penelitian yang diukur dalam rentang waktu selama 2-4 bulan. Pengumpulan data akan dilakukan dengan wawancara. Sementara penelusuran data primer dan sekunder dilakukan melalui sumber pelaku utama (para penggiat seni Yayasan Bhakti Mulya-Bandung), tinjauan pustaka, internet dan lain-lain. Dari data-data tersebut kemudian akan dilakukan analisa dan penilaian.
Pertemuan 1 2 3 4
Kegiatan/ Jenis Pelatihan Pengenalan Dasar huruf/ Khat Naskhi Pengenalan Lanjutan huruf/ Khat Naskhi Pengenalan Dasar huruf/ Khat Tsuluts Pengenalan
Output
Tanggal
Mampu menuliskan huruf hijaiyyah dari alif sampai ya dengan khat naskhi
6 Juli 2013
Mampu menuliskan Ayat Al Quran dengan khat naskhi
13 Juli 2013
Mampu menuliskan huruf hijaiyyah dari alif sampai ya dengan khat Tsuluts Mampu menuliskan Ayat Al
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
20 Juli 2013 27 juli 2013
Halaman ~ 183
5 6
Lanjutan huruf/ Khat Tsuluts Pengenalan Khat diwani, Kufi, Farisi, & Riq’ah Komposisi Ayat dengan berbagai khat
7
Komposisi Warna & Ornamen
8
TRY OUT Kaligrafi dekorasi di atas triplek
Quran dengan khat Tsuluts Mampu menuliskan ayat Al Quran dengan khat diwani, kufi, farisi, dan riq’ah Mengkombinasikan berbagai jenis khat, dalam kertas A3, tanpa warna/ hitam putih Mempelajari dan membuat komposisi bidang warna sebagai background & ornamentasi/ dekorasi Mengkombinasikan berbagai jenis khat plus ornamentasi dalam bidang triplek 120 x 80 cm
3 Agustus 2013 31 Agustus 2013 7 September 2013 14 September 2013
Kegiatan berlangsung setiap minggu sekali, tepatnya dimulai sejak Awal Juli 2013, Setap Hari Sabtu dari pukul 13.00 sd 18.00 ( durasi 4 jam/ 1 kali latihan ). Bertempat di Sekretariat Bidang Seni Budaya & Kreatifitas Yayasan Sarana Bhakti Mulya, jl. Sukapura 95 Desa Sukapura, Dayeuh Kolot Bandung. Adapun jadwal pelatihan yang diberikan adalah sebagai berikut: Peserta pelatihan terdiri dari 8 orang Mahasiswa dari 2 perguruan tinggi (Politeknik Manufaktur Negeri Bandung) berjumlah 5 orang, dan dari STSI (Sekolah tinggi Seni Indonesia) Bandung sejumlah 3 orang , sebagai tahap awal. Tabel 2: Peserta diseleksi berdasarkan minat terhadap kaligrafi, dan kemampuan minimal bias membaca dan menulis Al Quran dengan baik. No
Nama peserta
Asal Perguruan Tinggi
L/ P & Usia
1
Nur Faiha Rachim
POLMAN Bandung
P (20 tahun)
2
Nur Jamiludin R
POLMAN Bandung
L (20 tahun)
3
Zoel Hilmi
POLMAN Bandung
L (20 tahun)
4
Ricky Permadi
POLMAN Bandung
L (20 tahun)
5
Permadhi
POLMAN Bandung
L (19 tahun)
6
Diena Rostika
STSI Bandung
P (19 tahun)
7
Azmi Khairun Najib
STSI Bandung
L (19 tahun)
8
Rida Srihadiastuti
STSI Bandung
P (19 tahun)
Dari jadwal yang sudah disusun di atas, pelaksanaan pelatihan berlangsung dengan lancar. Setelah pertemuan ke -5, peserta meminta izin untuk berlatih di rumah/ kampung
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 184
masing- masing sejak menjelang Lebaran/ Iedul Fitri, sampai minggu ke-3 Agustus. Pelatihan dilanjutkan mulai hari Sabtu pada tanggal 31 Agustus 2013 sampai dengan 14 september 2013.
Gbr 1. Proses pelatihan dengan materi menulis Khat tsuluts dengan pena khusus . (Dok. Pribadi) Foto dari kiri ke kanan : Faiha, Nur Jamil, dan Zoel Hilmi, dan instruktur Wildan Hanif, MDs. Setelah 8 kali pertemuan, dengan durasi masing- masing sekitar 4 sampai 5 jam, peserta yang sebelumnya rata- rata belum mengenal dan menguasai jenis tulisan klasik (khat) arab semacam naskhi, tsuluts, diwani, riq’ah, kufi, serta farisi, lambat laun mulai menguasai ke5 jenis khat tersebut, walau masih jauh dari sempurna. Dengan bekal keilmuan senirupa yang minim, bahkan mereka mulai beradaptasi dengan cat warna, serta ornamentasi dekorasi yang mereka tiru dari contoh- contoh hasil karya lomba kaligrafi yang sering diadakan dalam rangka Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ). Para peserta kemudian mencoba modifikasi sesuai kemampuan. Pada pertemuan ke-7 misalnya, para peserta mempelajari dan membuat komposisi bidang warna sebagai background & ornamentasi/ dekorasi. Hal ini dilakukan untuk menghadapi try out di pertemuan ke-8, dimana peserta harus membuat sebuah kaligrafi dekorasi ukuran 120 cm x 80 cm di atas triplek kayu yang sudah dicat dasar putih dan diampelas agar permukaannya halus. Cat warna yang digunakan adalah jenis Mowilex, yakni cat emulsi untuk permukaan tembok atau kayu berkualitas tinggi, tahan jamur, dan tahan cuaca. Try out pada pertemuan ke-8 merupakan tantangan bagi para pemula yang berminat menggeluti kaligrafi dekorasi. Para peserta diberikan waktu lebih lama dari durasi latihan, yakni hampir 7 jam. Peserta diberi pengarahan tentang manajemen waktu dalam menyiasati target waktu pengerjaan, yakni : satu jam pertama untuk sketsa kaligrafi dan ornament, 1 jam kedua untuk mewarnai bidang- bidang komposisi, 3 jam berikutnya untuk menuliskan ayat yang diwajibkan untuk dikomposisikan, dan 2 jam terakhir untuk ornamentasi dan finishing. Kelebihan Cat mowilex adalah sifatnya yang cepat kering. Try out dimulai tepat pukul 8 pagi, ditambah waktu istirahat untuk sholat zhuhur dan makan siang, total pengerjaan sampai dengan pukul 16.00 sore.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 185
Gambar 2. Nur Jamil dari POLMAN Bandung, tanpa bekal pendidikan senirupa & kaligrafi khusus sebelumnya, mampu mengkomposisikan ayat dan ornamentasi dekorasi (dok.Eza POLMAN)
PENUTUP Setelah melalui rangkaian proses pelatihan dari awal sampai akhir, ke-8 peserta yang mengikuti pelatihan rata- rata dapat menyerap materi yang diajarkan. Indikator capaian yang diharapkan dari pelatihan ini adalah: mahasiswa yang sebelumnya awam / sedikit pengetahuan dan pengalamannya di dunia kaligrafi dan dekorasi, dapat membuat sebuah karya kaligrafi dekorasi yang memenuhi standard minimal untuk diapresiasi di tingkat lokal setingkat kelurahan. Artinya karya tersebut layak dipajang di masjid kecil/ langgar/ mushola yang terdapat di desa/ kelurahan masing masing peserta. Target luaran berupa karya kaligrafi dengan bahan kertas serta kaligrafi dekorasi di atas media triplek telah terpenuhi. . DAFTAR PUSTAKA Becker, Howard, S, 1982, Art Worlds, University Califomia Press. Bloom, Jonathan M, 2001, Paper Before Print: The History and Impact of Paper in the Islamic World, New Haven, Conn., and Londen: Yale University Press. Burckhard t, Titus, 2001, Spiritualitas Seni Islam, dalam Spiritualitas Islam: Manifestasi, Penerbit Mizan, Bandung. George , Kenneth. M, 2001, Melukis Islam: Amal dan Etika Seni Islam di Indonesia, Penerbit Mizan-Bandung, 2012 diterjemahkan dari Picturing Islam: Art and Ethics in a Muslim Lifeworld, Wiley-Blackwell, United Kingdom. Hadi , Abdul Hadi, 2004, Seni Islam dan Akar-akar Estetiknya, dalam Oliver Learnan, estetika Islam: Menafsirkan Seni dan Keindahan, Mizan, Bandung.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 186
PENINGKATAN KEMAMPUAN PENGOLAHAN DESAIN BAMBU PADA ELEMEN INTERIOR Gerry Rachmat Savitri Nani Sriwardani ABSTRACT `This community service activity is an effort to increase the ability of bamboo craftsmen in the village of Sukajadi, Karangtengah, Cianjur, West Java, in processing bamboo materials to become products applied in the interior elements. Sukajadi Village already has an active woven bamboo craft industry which processed into handicrafts and home appliances such as lights hood, serving trays etc. Through training, bamboo craftsmen expected to produce other forms in processing bamboo, so that the result is not limited only to produce craft souvenirs from woven bamboo. But it can also process whole bamboo into the product, as well as designing bamboo products with a merger between bamboo materials with other materials such as wood or metal. Craftsmen are expected to see bamboo intact as a material which has the uniqueness of natural textures, so craftsmen can process bamboo into various alternative unique designs. The training activities was carried out in several stages, in collaboration with the PPPPTK (Center for the Development and Empowerment of Educators and Educational Power) Agriculture, Cianjur as local partner. The first stage is the data collection about the situation of Sukajadi Village in Cianjur. In the second stage, the team doing introduction about bamboo products alternative in the seminar for bamboo craftsmen. The third stage is workshop to try create variety of bamboo designs by craftsmen, with the expected target of craftsmen capable of producing some products for interior elements with the new design. Keywords: Training, Bamboo Design Altenatives, Products for Interior Elements
PENDAHULUAN Cianjur merupakan salah satu bagian daerah di Jawa Barat, berjarak sekitar 65 km dari kota Bandung. Daerah Cianjur memiliki potensi unggulan yaitu dari sektor pertanian yang terfokus pada tanaman pangan, hanya saja produksi dan hasil pertanian tersebut tergantung pada kondisi alam dan cuaca.. Selain sektor pertanian, Cianjur juga memiliki sektor perdagangan dan pariwisata. Sektor pariwisata mempunyai peranan yang kuat dalam mendukung perkembangan dan pertumbuhan wilayah. Kerajinan bambu merupakan salah satu hasil produksi potensial dari daerah Cianjur. Kerajinan bambu dari daerah Cianjur umunya berupa anyaman yang diolah menjadi peralatan atau alat pelengkap rumah tangga seperti tudung saji, kap lampu, nampan, tempat nasi, kipas dan lainnya. Saat ini pengolahan bambu sebagai suatu kerajinan tangan diolah dengan membentuk anyaman atau potongan yang diambil dari bambu utuh. Bambu utuh dipotong-
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 187
potong sesuai kebutuhan dan untuk anyaman diambil dari potongan panjang atau bilah-bilah panjang sesuai ketebalan yang diperlukan. Pengrajin di daerah tersebut telah memiliki kemampuan mengolah bambu dengan menganyam untuk bentuk produk atau peralatan rumah tangga. Pengolahan bambu yang demikian memakan waktu proses produksi dan terbatas pada anyaman.
Gambar 1. Kerajinan Bambu dari Cianjur Sumber:http://www.cianjurkab.go. id/images/cendramata/bambu.jpg
Pengembangan desain sangat diperlukan untuk memperbesar peluang produksi hasil dan pemasaran kerajinan bambu, selain itu untuk menambah wawasan baru kepada pengrajin untuk mengembangkan hasil karya kerajinan sehingga akan akan ada karya baru yang akan terus dicari oleh konsumen atau wisatawan, atau dipasarkan lebih luas lagi. Jika sebelumnya kerajinan berupa anyaman dengan beberapa rangkaian tahapan dari bambu utuh sampai menjadi bambu anyaman memakan proses yang cukup panjang, dengan melihat dan mengolah bambu utuh sebenarnya akan mempersingkat proses produksi. Mengolah bambu utuh akan mengurangi limbah bambu dan menghasilkan produk yang memperlihatkan karakter material bambu itu sendiri. Kegiatan PKM ini mengarah kepada pengenalan alternatif desain, memberikan wawasan tentang desain dalam pengolahan bambu. Target yang diharapkan dari kegiatan ini adalah pengrajin mampu membuat suatu produk dengan alternatif desain yang telah diberikan. Pengrajin mengetahui keunggulan dari karakter material bambu secara utuh, sehingga dapat lebih memaksimalkan penggunaan bahan bakunya yaitu bambu, sehingga dapat mempersingkat proses produksi dan mengurangi limbah bambu itu sendiri. Luaran yang akan dihasilkan adalah berupa produk bambu pada elemen interior. Desain bambu diarahkan pada pengolahan bambu secara utuh atau penggabungan material dimana material utama adalah bambu. Bahan baku bambu dapat dijadikan produk interior seperti, partisi, standing lamp, hanging lamp, dan berbagai perlengkapan yang dapat memperindah interior juga memiliki fungsi. PEMBAHASAN Pelaksanaan PKM dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu tahap pertama yaitu tahap pengumpulan data atau informasi mengenai situasi daerah atau lokasi target mitra yaitu situasi pengrajin di daerah Cianjur, serta mitra yang meminta yaitu PPPPTK (Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan) Pertanian Cianjur. Pada tahap ini juga dilakukan survey terhadap pengrajin bambu di Cimahi, Jawa Barat sebagai studi banding terhadap mitra pengrajin bambu. Selanjutnya pada tahap kedua, tim PKM bersama dengan para
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 188
pengrajin bambu Cianjur melakukan pertemuan yang berisi presentasi dari tim PKM mengenai pengenalan material bambu utuh dan potensinya, serta adanya diskusi antara tim dan pengrajin mengenai produk alternatif dari bambu. Tahap yang ketiga adalah melakukan simulasi dan sosialisasi beragam pengolahan desain bambu kepada para pengrajin Cianjur, yang berisi pelatihan dimulai dari mereplika model desain yang disiapkan sampai selesai. Hasil akhir pelaksanaan ini, pengrajin mampu menghasilkan beberapa produk elemen interior dengan alternatif desain baru Seminar Mengenai Produk Bambu Untuk Interior Seminar mengenai Pengenalan Produk Bambu untuk Interior sesuai dengan target PKM yang bertujuan untuk membuka wawasan pengrajin mengenai bambu. Diharapkan dengan seminar ini pengrajin mengetahui lebih lanjut mengenai keunggulan dari material bambu, sehingga dapat menciptakan produk yang lebih beragam, mempersingkat proses produksi, memaksimalkan penggunaan bahan baku, dan mengurangi limbah bambu.
Gambar 2. Suasana Seminar mengenai Produk Bambu untuk Interior di PPPPTK Pertanian Cianjur Sumber: Dok. Pribadi. 2013
Pelatihan (Workshop) Pembuatan Produk Bambu Pelatihan atau workshop bambu ini dilaksanakan di desa pengrajin bambu. Peserta pelatihan terdiri dari sembilan keluarga pengrajin bambu. Waktu pelaksanaan pelatihan yaitu satu hari dari dari pukul 11.00-15.00 wib. Materi untuk workshop sebelumnya telah dipersiapkan terlebih dahulu dalam bentuk gambar desain bambu, dan prototype produk bambu. Pembuatan Produk Bambu Pembuatan produk bambu dilaksanakan di desa pengrajin bambu, yaitu di halaman rumah pengrajin tempat mereka mengolah bambu sehari-hari. Pertama pengrajin memilih desain yang akan mereka buat, dari gambar desain yang dibawa oleh tim PKM, pengrajin memilih untuk membuat produk lampu dan produk wadah bambu. Setelah pengrajin memilih desain, kemudian tim PKM mulai menjelaskan cara untuk membaca gambar desain dan ukuran yang tertera. Kemudian pengrajin mulai membuat produk pilihannya. Satu produk dikerjakan oleh dua sampai tiga orang pengrajin.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 189
Pembuatan produk bambu lampu gantung
1. Contoh gambar yang diberikan kepada pengrajin sebagai referensi
2. Gambar perspektif lengkap dengan ukuran yang dibuat oleh tim PKM
3. Penjelasan dari tim PKM mengenai cara membaca gambar serta ukurannya
4. Bambu dipotong-potong sesuai dengan ukuran yang tertera pada gambar.
5. Bambu yang besar dicoak di tiga tempat sebagai tempat untuk dudukan lampu
6. Dudukan lampu dicoak sesuai dengan ukuran lampu TL yang akan masuk kedalamnya
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 190
7. Setelah lem fox kering, dan bambu telah menempel, maka tali bambu bisa dilepas
8. Lampu bambu yang telah dipasang lampu TL (baru 2 lampu yang dipasang) dan digantung di dinding
Pembuatan produk bambu wadah aksesori meja
1. Contoh gambar yang diberikan kepada pengrajin sebagai referensi. Produk dengan kombinasi material bambu dan metal.
2. Penjelasan dari tim PKM mengenai gambar, serta diskusi mengenai alternatif bahan pengganti dudukan metal.
3. Bambu dipotong dan diserut miring sesuai dengan gambar
4. Penyerutan dilakukan berkali-kali sampai mendapatkan kemiringan yang pas sesuai dengan contoh gambar
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 191
5. Bagian-bagian bambu yang telah dipotongpotong mulai dirakit dengan lem fox putih
6. Produk bambu kemudian dijemur sampai lem kering
7. Produk bambu yang telah selesai
8. Produk bambu berupa wadah kecil untuk aksesoris untuk diletakkan di atas meja
PENUTUP Kesimpulan Kerajinan bambu merupakan produk yang potensial untuk dikembangkan di berbagai daerah di Jawa Barat. Peran pengrajin amatlah penting dalam upaya untuk membuat produk bambu yang dapat bersaing di pasar lokal dan pasar internasional. Produk bambu yang dibuat pengrajin merupakan bentuk yang diajarkan secara turun temurun, sehingga produk yang mereka buat hampir tidak pernah mengalami perubahan. Mereka juga belum terbiasa membuat produk berdasarkan gambar kerja dan ukurannya. Pada kegiatan Seminar bambu diketahui bahwa dengan diberikannya pengetahuan mengenai berbagai variatif produk bambu ternyata membuka wawasan para pengrajin bambu dan membuat mereka tertarik untuk mencoba berbagai produk bambu alternatif. Pada workshop bambu para pengrajin yang terbiasa mengolah anyaman bambu, belum terbiasa membuat produk dari bahan bambu utuh. Sehingga ketika mereka mencoba membuat contoh produk yang terbuat dari bambu utuh, mereka belum memiliki keterampilan dan tingkat presisi yang baik, terutama pada serutan dan sambungan bambu. Namun pada percobaan pertama, pengrajin bambu bisa menghasilkan satu produk hanya dalam 3-4 jam. Pada kegiatan PKM ini, target untuk membuat para pengrajin dapat membuat suatu produk dengan alternatif desain yang diberikan tim PKM telah tercapai. Mereka belajar mengenal keunggulan dari material bambu utuh. Sedangkan luaran yang berhasil dibuat pengrajin dalam satu kali workshop yaitu berupa produk bambu pada elemen interior berupa satu produk lampu dinding dan satu produk wadah untuk aksesori meja. Saran Para pengrajin telah dapat membuat produk alternatif bambu sesuai dengan gambar yang diberikan, namun produk yang dihasilkan masih memerlukan banyak latihan untuk menyempurnakan teknik sambungan bambu yang presisi. Perlu adanya pemantauan berkala untuk menjaga kesinambungan alternatif produk tersebut. Untuk pengrajin yang telah terbiasa membuat anyaman bambu ternyata lebih baik apabila pada produk alternatif yang diberikan juga terdapat variasi dari anyaman bambu, sehingga mereka juga dapat memanfaatkan keahlian
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 192
anyaman mereka untuk dijadikan produk alternatif. Para pengrajin juga disarankan untuk mulai memanfaatkan lahan di sekitar desa untuk budidaya bambu sehingga tidak bergantung pada tengkulak untuk bahan baku. Proses pengawetan bambu juga perlu dimulai untuk menghasilkan produk bambu yang tahan lama. Kemudian untuk pemasaran bambu diharapkan PPPPTK Pertanian Cianjur dapat bekerjasama dengan para pengrajin untuk membuat koperasi pengrajin bambu. Dengan adanya koperasi, para pengrajin bisa mendapatkan modal untuk menanam bambu, membeli peralatan untuk mengolah bambu, serta dapat menjadi tempat untuk menjual produk yang mereka hasilkan. Untuk ke depannya, desa tersebut bisa menjadi sentra kerajinan bambu yang menarik minat pembeli untuk datang ke Desa Sukajadi Kecamatan Cianjur untuk membeli produk kerajinan bambu. DAFTAR PUSTAKA Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (ILPPD) Kabupaten Cianjur Tahun 2012. www.cianjurkab.go.id. www.cianjurkab.go.id/images/cendramata/bambu.jpg himatcianjur.blogspot.com www.vedca.net www.bambubangli.com/index.php/proses-pembuatan-produk-bambu/8-proses-pembuatanproduk-laminasi uniqpost.com/71794/alat-tulis-dari-bambu-karya-desainer-yu-jian/ www.ideaonline.co.id/iDEA2013/Interior/Renovasi-Interior/Partisi-Innercourt-BerlubangBambu www.foter.com/bathroom-accessory-sets/ www.buygreen.com/bambooservingbowl.aspx www.enjoyingtea.com/elbacup.html equalityforward.com/wp-content/uploads/2013/04/diva_hanging-lamp-bamboo.jpg www.trendhunter.com/trends/bamboo-lights-get-green-leds-added-to-bamboo-for-sustainableoutdoor-lighti www.worldofbamboo.in/category-detail.php?prd_id=33 www.123rf.com/photo_6067638_bamboo-room-divider-partition-the-natural-and-artistic fromindonesia.html icdn3.digitaltrends.com/image/iphone-speakers-650x0.jpg
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 193
PENGEMBANGAN METODE PENGOLAHAN BAMBU DARI PENEBANGAN SAMPAI HASIL PRODUK Savitri Joko Dwi Avianto Dyah Nurhayati ABSTRACT This community service activitity is a training activity about the method of processing bamboo. At the moment, bamboo industry in Jatiwangi is still cannot compete with roof and ceramics industry that has already established there. The area that became the target of training is Dusun Wates in Jatisura Village, Jatiwangi, West Java. Jatisura Village wants to create Dusun Wates as the main bamboo central industry and tourist attraction. At this time, people in Dusun Wates already start to utilize bamboo, but it still limited for daily use. Through this training, hopefully bamboo hadicraftsman will have basic knowledge about the methode of processing bamboo, start from the process of hewing, preserving, until introduction to bamboo design for eksterior and interior. This will become the first base to create Dusun Wates as bamboo village centre. Training activities carried out by several phases, the first phase is the comparative study to the bamboo processing facility which is an established partners, then the second phase is the collection of data concerning the situation of the area Dusun Wates along with JAF (Jatiwangi Arts Factory) as a local partner in the area. The third phase is training the community, in the form of seminars and socialization of processing materials bamboo and introducing bamboo design alternatives to the handicraftsman. Target of the training is to make handicraftsman know about the basic methods in processing bamboo and aware of design alternatives for bamboo products. Keywords: Method of Processing Bamboo, Introduction to Bamboo Design Alternatives. PENDAHULUAN Kecamatan Jatiwangi merupakan daerah rural-urban yang terletak di Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Daerah ini merupakan daerah pelintasan beberapa kota seperti Bandung dan Cirebon,terletak 85 km di sebelah timur Bandung dan 37 km di sebelah barat Cirebon. Hingga saat ini Jatiwangi masih dikenal sebagai daerah penghasil genteng terbesar di Indonesia.Banyak ditemukan berbagai pabrik tradisional dan pabrik genteng modern di berbagai desa di Jatiwangi.Data tahun 2001 menunjukan di daerah Kabupaten Majalengka saat ini terdapat 495 unit industri genteng Jatiwangi (Sudjatmiko, 2001). Saat ini Jatiwangi seedang berkembang tempat berkumpulnya komunitas seni sejak berdirinya Jatiwangi Art Factory (JAF). Jatiwangi Art Factory (JAF) adalah sebuah organisasi nirlaba yang fokus terhadap kajian kehidupan lokal pedesaan lewat kegiatan seni dan budaya seperti; festival, pertunjukan, seni rupa, musik, video, keramik, pameran, residensi seniman, diskusi bulanan, siaran radio dan pendidikan.JAF didirikan pada 27 September 2005. Sejak tahun 2008 JAF bekerjasama dengan Pemerintahan Desa Jatisura melakukan riset dan penelitian
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 194
dengan menggunakan keterlibatan kesenian kontemporer yang kolaboratif dan saling menterhubungkan (www. jatiwangiartfactory.wordpress.com/about/) Selain mengembangkan kemungkinan baru dalam olah kerajinan genteng dan keramik serta menciptakan kelompok pekerja seni, JAF pun berkehendak menjadikan gerakan olah kesenian ini sebagai lahan usaha dengan orientasi industri. Karya seni ini dikerjakan secara kolektif, setiap orang bertugas mengerjakan apa yang menjadi keahliannya. JAF membuka seluas-luasnya bentuk kerjasama dengan berbagai pihak selain dengan komunitas seni yang ada. Saat ini JAF aktif memamerkan berbagai karya lukis, patung, keramik, desain grafis dan multimedia, musik dan pertunjukan, workshop and events. Pada saat ini produk kesenian dari keramik dan genteng telah berkembang pesat di Desa Jatisura, padahal selain industri genteng, Jatiwangi juga memiliki potensi sebagai sentra industri kreatif lainnya. Sesuai dengan rencana desa Jatisura, telah ada rencana untuk memanfaatkan potensi lahan bambu yang ada di sekitar. Pada saat ini JAF telah memiliki studio keramik, gelas dan metal, namun belum memiliki studio ataupun komunitas pengrajin bambu. Di Jatiwangi telah ada dusun yang mulai memanfaatkan potensi bambu. Namun pemanfaatannya utamanya baru berkembang pada produksi untuk dipakai sendiri sehari-hari seperti seperti gasebo, meja dan kursi. Untuk memulai usaha di bidang bambu, kendala utama yang dihadapi yaitu kurangnya pengolahan material bambu terutama dalam hal pengawetan, juga adanya keterbatasan alat dan teknologi seperti mesin serut dan sebagainya. Seniman dari JAF juga mulai memanfaatkan bambu sebagai material untuk karyanya, namun karena karya seniman membutuhkan momentum dan tidak dapat digunakan untuk basis industri kreatif yang mapan, maka dibutuhkan kreatifitas pengolahan bambu lain yang lebih fungsional. Dalam kehidupan masyarakat pedesaan di Indonesia, bambu memegang peranan sangat penting. Bahan bambu dikenal oleh masyarakat memiliki sifat-sifat yang baik untuk dimanfaatkan, antara lain batangnya kuat, ulet, lurus, rata, keras, mudah dibelah, mudah dibentuk dan mudah dikerjakan serta ringan sehingga mudah diangkut. Selain itu bambu juga relatif murah dibandingkan dengan bahan bangunan lain karena banyak ditemukan di sekitar pemukiman pedesaan. Bambu menjadi tanaman serbaguna bagi masyarakat pedesaan. (www.dephut.go.id). Pengawetan bambu dan kayu sudah dilakukan sejak dahulu untuk memperpanjang umur produk. Prinsip dasar pengawetan kayu, bambu, rotan dan serat alam terdiri dari pengendalian proses penebangan, treatment pada waktu proses pengolahan, dan pengendalian lingkungan gudang penyimpanan. (www.bioindustries.co.id) PEMBAHASAN Tahap pelaksanaan program PKM dibagi menjadi dua, yang pertama yaitu tahap pengumpulan data awal untuk mengindentifikasi permasalahan yang dihadapi pengrajin Jatiwangi untuk dapat bersaing dengan industri genteng yang sudah mapan, dan melakukan survey untuk melihat potensi natural tanaman bambu yang ada disana. Tahap yang kedua adalah seminar dan diskusi mengenai berbagai cara mengolah, mengawetkan dan menyimpan bambu, serta pengenalan mengenai alternatif produk bambu untuk eksterior dan interior.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 195
Survey Desa Jatisura
Gambar 1. Dusun Wates, Desa Jatisura, Kecamatan Jatiwangi, Jawa Barat Sumber : dokumen pribadi
Lokasi area yang menjadi sasaran PKM adalah RT 02 dan RT 03, RW 13, dusun Wates di desa Jatisura, kecamatan Jatiwangi. Desa ini merupakan desa yang mata pencaharian utama penduduknya yaitu buruh di pabrik genteng dan buruh tani di sawah organik. Bambu banyak tumbuh secara alami di dusun Wates. Bambu disana disebut juga awi dalam bahasa sunda. Bambu atau awi yang ada di area tersebut yaitu: bambu amper, bambu hitam, bambu tali, bambu kirisik, bambu momong, bambu surat, bambu tutul, bambu petung. Bambu yang paling banyak tumbuh adalah bambu tali. Dahulu ada juga bambu tamiang namun sering di babat habis oleh penduduk karena dipercaya sebagai tempat tinggal mahluk halus. Bambu disini sudah mulai digunakan untuk membuat keperluan sehari-hari seperti gasebo, kandang ayam, meja dan kursi. Masalah yang paling sering ditemui warga adalah banyaknya hama bambu seperti ngengat. Bambu yang mereka gunakan untuk bangunan tidak tahan lama karena mereka sudah tidak lagi mengawetkan bambu, padahal menurut penduduk dahulu bambu biasa diawetkan dengan cara direndam di sungai dekat dusun, namun tradisi itu kini sudah lama ditinggalkan. Dahulu ada pula gerbang dusun dari bambu namun sudah lama roboh akibat hama bambu. Pelatihan Metode Pengolahan Bambu Pelatihan ini kegiatan yang diikuti oleh warga dari RT 02 dan RT 03, RW 13, dusun Wates di desa Jatisura, kecamatan Jatiwangi. Pelatihan dilaksanakan di gasebo dusun Wates yang dihadiri peserta pelatihan sebanyak 23 orang yang terdiri dari orang dewasa, manula dan juga anak-anak, serta perwakilan dari JAF (Jatiwangi Art Factory). Pelatihan ini merupakan presentasi dari tim PKM STSI Bandung mengenai metode pengolahan bambu yang sudah sukses dilakukan, seperti fasilitas pengolahan bambu dan laboratorium bambu di Eco Pesantren.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 196
Gambar 2. Suasana pelatihan Metode Pengolahan Bambu di dusun Wates Sumber : dokumen pribadi
Dengan memberikan penjelasan mengenai tahapan pengolahan bambu sampai hasil produk, maka warga dapat mulai menerapkan pengetahuan tersebut di daerah mereka. Tidak perlu selalu mengadaptasi metode dari tempat lain namun bisa juga dengan menghidupkan kembali tradisi pengawetan yang telah ada. Seperti misalnya metode pengolahan bambu yang telah lama dilakukan di dusun Wates dengan cara perendaman bambu di sungai, dapat kembali dilaksanakan. Diharapkan dusun Wates dapat menjadi daerah penghasil bahan baku bambu yang sudah diawetkan. Dibutuhkan kerjasama dari seluruh warga untuk mulai mendata bambu dan mengelompokkannya untuk kemudian diawetkan.Disini istri dan anak-anak dapat ikut berperan serta. Dengan memberikan pengetahuan mengenai pengolahan dan pengawetan bambu maka diharapkan dapat mengajak warga untuk mengembalikan tradisi mengawetkan bambu, dan membuat produk alternatif dari bambu, sehingga dusun Wates dapat menjadi proyek ujicoba untuk laboratorium bambu di Desa Jatisura. PENUTUP Dusun Wates seperti dusun lainnya di Jatiwangi menggantungkan hidupnya pada pabrik genteng dan sawah organik dengan menjadi buruh. Potensi alami berupa tanaman bambu belum banyak dimanfaatkan. Sesuai dengan adanya visi desa Jatisura untuk menjadikan dusun Wates sebagai percontohan dusun bambu, maka diadakan pelatihan mengenai metode bambu yang dilakukan oleh tim PKM STSI Bandung.
DAFTAR PUSTAKA Sudjatmiko, Edy Noor . 2001.Pengembangan industri genteng Jatiwangi sebagai upaya peningkatan penerimaan pajak di Kabupaten Majalengka. Thesis Magister Ekonomika Pembangunan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Sumber website Wicaksono. 2013.Sistem Pengawetan Kayu, Bambu, Rotan dengan Pendekatan Pengendalian Proses Penebangan.http://bioindustries.co.id/sistem-pengawetan- kayu-bambu-rotan-denganpendekatan-pengendalian-proses-penebangan-2980/ www.bamboohouse-jams.blogspot.com
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 197
www.sahabatbambu.com www.bambunusaverde.com www.panoramio.com/Reng Agel Palabbuwen/bambu hasil panen www.jatiwangiartfactory.wordpress.com/about/ www.bambuawet.com/tentang-bambu/cara_mengawetkan_bambu/ www.bioindustries.co.id/sistem-pengawetan-kayu-bambu-rotan-dengan-pendekatanpengendalian-proses-penebangan-2980/ www.dephut.go.id/INFORMASI/litbang/teliti/bambu.htm http://indonesiakreatif.net/article/local-community/musik-genteng-jatiwangi/
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 198
IDENTIFIKASI FIGURIN KESUNDAAN Joko Dwi Avianto Teten Rohandi Wanda Listiani
ABSTRAK Gesture tubuh pada kebudayaan Sunda berupa kode-kode tubuh, baik itu sebuah sifat gerak atau pembawaan gerak tubuh yang memiliki sebutan masing-masing. Misalnya; ngeluk, yang bisa diartikan sebagai ekspresi tubuh merunduk seperti ekspresi kekalahan. Ekspresi ini dibaca sebagai kode dalam keseharian yang kemudian berlaku di masyarakat Sunda. Gesture dan kode yang sama memiliki pengertian yang berbeda di berbagai budaya. Program PKM ini menggunakan metode etnografi untuk mengidentifikasi figurin dalam masyarakat Sunda. Hasil program PKM ini mengidentifikasikan figure ke dalam 3 kelompok yaitu gesture, mimik dan sifat bentuk tubuh. Kata Kunci :gesture, figurin, Sunda.
PENDAHULUAN Gesture termasuk bentuk komunikasi kinesik, meliputi gerakan tubuh dan tangan saat berkomunikasi. Gerakan tangan bisa merupakan komunikasi yang sama efektif dengan komunikasi verbal, bahkan mungkin lebih efektif. Makna gesture bisa berbeda antara satu tempat/budaya dengan tempat/budaya lain, karena gesture dipengaruhi oleh budaya. Gerakan gesture dalam kode konvensional Sunda memiliki kaitan dengan bahasa ucap. Setiap teks-ucap menyimbolkan benda atau bahkan binatang dengan sifat-sifatnya diterapkan pada diri manusia yang memuat konteks kepantasan atau bahkan ejekan. Gesture sebagai simbol gerak ini sangatlah alamiah. Gerakan manusia dalam modal motorik tubuh dipengaruhi pikiran diri. Gesture merupakan ekspresi sensible atas realitas disebut gesture yang common sense. Gesturejuga menjadi ruang konteks yang berperan penting dalam penentuan-penentuan makna kata-kata. Gesturesebagai konteks bagi kata. Kata yang sama dapat berubah-ubah maknanya ketika ia berelasi dengan perubahan-perubahan gesture. Ada kata yang relevan dengan gesture yang menyertainya, ada pula kata-kata yang maknanya sama sekali tidak berada didalam kata tersebut, melainkan justru berada dalam gesture yang menyertainya. Ada pula gesture-gesture tertentu, yang tanpa harus dilengkapi oleh kata, sudah memiliki makna tertentu (tapi yang terakhir ini tidak dapat disebut ‘makna-kata’,hanya dapat disebut ‘makna-gesture’). Bahkan ada sebagian kata, meskipun sudah dibentuktuliskan, masih menunjukkan “rekaman” gesture yang diterangkannya misal gesture orang Jerman ketika mengucapkan “aufwiedersehen”. PEMBAHASAN Kode gestural dalam kesundaan menjadi pertanyaan besar, apakah urgensinya kode gestural terhadap tradisi kesundaan. Apakah figurin ini menggunakan ciri pakaian kebaya sunda sudah dapat disebut sebagai figurin sunda, padahal gesture misalnya “ngajegang” juga terdapat
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 199
di tradisi dan budaya lain dengan bahasa yang berbeda, atau jika terdapat kesamaan tentu hanya berbeda atribut pakaian dan sebagainya. Elemen pakaian ciri khas sunda pada figurin serta gesture yang mewakili gerakan figur, sementara menjadi pengikat utama dalam identifikasi figurin kesundaan. Elemen-elemen lainnya yaitu : 1. Figurin 2. Gestur sunda 3. Atribut pada figur, misalnya pakaian Sunda dan sebagainya 4. Material resin 5. Warna pada figurin Metode etnografi dilakukan guna mengumpulkan istilah-istilah gesture dalam bahasa Sunda.Atribut kesundaan seperti pakaian menjadi elemen penting dimana konteks visual dapat memiliki kaitan terhadap tradisi Sunda. Warna juga memiliki peran pada produk figurin. Jika warna dapat mewakili sebuah tradisi misalnya pada batik, bangunan arsitektural tradisi, maka kaitannya akan semakin menjelaskan keberadan artefak pada sebuah masa.Resin dalam proses pembentukannya menggunakan proses mencetak dari sebuah model yang terbuat dari tanah liat walau pun bentuknya plastis. Figurin berbahan resin sudah banyak berkembang di pasar, produksi figurin kontemporer dengan tema-tema komik Amerika dan Jepang sudah memiliki pasar dan tempatnya tersendiri seperti urban toys atau designer toys. Makalah ini hanya membahas elemen figurin. Berikut identifikasi figurin kesundaan dalam 3 kelompok yaitu gesture, mimik dan sifat bentuk tubuh : a. Gesture Program PKM ini mengidentifikasi 34 gesture yang ada dalam keseharian masyarakat Sunda. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Daftar istilah Sunda ngeluk tanggah tonggoy ngalénghoy ngagéang ngabagegag ngalageday ngabaheuhay ngalangéor ngarongkong ngagitek ngageot ngageboy ngarandeg balieur galéong ngagiwar garetek renyem tolonjong cingogo
Arti dan Makna Melengkung kebawah (kepala) Kata Kerja; Kepala melihat keatas Berjalan terus tidak berhenti (walaupun dipanggil) Jalan santai Berjalan seperti berat di perut Posisi jalan orang gemuk Duduk setengah badan Tidur bersandar terlalu capek Menunggu lama Tangan meraih sesuatu dihadapan Gerakan bagian belakang tubuh seperti bebek Kata kerja gerakan pantat kekanan dan kiri Mengacu pada gerakan pantat satu lingkaran Berhenti berjalan secara mendadak Membuang muka Mengacu pada jalan kapal yang terombang ambing Gerakan kepala menghindar Geli (jamak) Gatal-gatal Berjalan karena mau jatuh Setengah duduk
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 200
22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
nagog nonggeng nangtung nagkarak nangkuban ngatolopong ngajelepeng ngadapang aneprok sila ngaadangkak ngajegang emprak
Jongkok Membungkuk Berdiri Badan posisi berbaring Badan posisi telungkup Badan berbaring seperti mayat Badan berbaring seperti mayat Badan telungkup tangan menopang dagu Duduk untuk perempuan Duduk untuk pria paha terbuka Berdiri kaki terbuka lebar Duduk kaki kedepan
b. Mimik Program PKM ini mengidentifikasi 10 mimik yang ada dalam keseharian masyarakat Sunda. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Daftar istilah Sunda garang pasemon ngungun ngangluh amis budi bangkenu baeud jamedud jamotrot jamomon
Arti dan Makna galak hal perkara semu sedih sakit wajah murah senyum wajah masam wajah yang murung cemberut wajahnya cemberut wajah jamotrot pipi dikembungkan
c. Sifat Bentuk Tubuh Program PKM ini mengidentifikasi 16 sifat bentuk tubuh yang ada dalam keseharian masyarakat Sunda. No 1 2 3 4 5 6 7 8 8 9 10 11 12
Daftar istilah Sunda bongkok meongeun jangkorang butikeuk busekel cadok jingjit ngabugigag begang budayut bucitreuk rocop Remet Jemet
Arti dan Makna bentuk tulang punggung melengkung badan yang tinggi kurus montok/gemuk pendek/gemuk ujung dagu kedepan kaki pendek sebelah mengacu pada bangkai binatang yang besar kurus perut kedepan besar perut seperti ditusuk-tusuk rapat seperti rumput seperti lebat rambut
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 201
13 14 15 16
Reuay Awak sasampayan ranggoas bucitreuk
banyak (anak/keturunan) hakikat tidak sampai (punya) panjang-panjang (tangan kakinya) bentuk perut besar, menonjol
PENUTUP Gesture tubuh pada kebudayaan Sunda berupa kode-kode tubuh, baik itu sebuah sifat gerak atau pembawaan gerak tubuh yang memiliki sebutan masing-masing. Gesture dan kode yang sama memiliki pengertian yang berbeda di berbagai budaya. Figurin merupakan ekspresi masyarakat Sunda.Ekspresi ini dibaca sebagai kode dalam keseharian yang kemudian berlaku di masyarakat Sunda. ][ DAFTAR PUSTAKA Argentin, G., Ghiglione, R., & Dorna, A. .1990. La gestualité et ses effets dans le discours politique [Gestures and its effect in political discourse].Psychologie Française, 35, 153-161. Bavelas, J. B., Chovil, N., Lawrie, D. A., & Wade, A. 1992. Interactive gestures. Discourse Processes, 15, 469-489 Krauss, R. M., Chen, Y., & Chawla, P. 1996. Nonverbal behavior and nonverbal communication : What do conversational hand gestures tell us ?.Advances in Experimental Social Psychology, 28, 389-450. McNeill, D. 2000. Language and gesture. Cambridge : Cambridge University Press. Mehrabian, A. 1972. Nonverbal communication, Chicago-New York : AldineAtherton.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 202
REKONSTRUKSI PERUPAAN DAN DESAIN SENI CALONGCONG SEBAGAI TITIK AWAL SENI SISINGAAN Zaenudin Ramli M. Zaini Alif
ABSTRAK Lahirnya kesenian Sisingaan di kabupaten Subang sampai saat ini secara pasti belum dapat diketahui. Pada umumnya, kesenian rakyat seperti ini bersifat kolektif, artinya bahwa karya seni yang diciptakan merupakan milik masyarakat dan dimainkan untuk kepuasan bersama. Seni calongcong kukudaan merupakan kesenian tradisional khas, yang muncul di kampung Bolang, desa Cibuluh, kabupaten Subang. Jenis seni calongcong kukudaan sudah dipraktekkan dan dibuat sebelum masa kemerdekaan dan digunakan terakhir kalinya di tahun 1960-an. Situasi sosial dan politik pasca-1960, turut serta mempengaruhi berkembang hidupnya seni calongcong kukudaan, seni calongcong kukudaan pelan-pelan digantikan oleh Sisingaan, yang popular pada tahun 1970-an. Kata kunci: Calongcong, Kampung Bolang, Desa Cibuluh, Subang
PENDAHULUAN Kesenian Sisingaan merupakan jenis kesenian tradisional masyarakat Subang yang bersifat helaran (festival) yang dipertunjukkan dalam bentuk arak-arakan. Secara tradisional digunakan untuk acara khitanan. Namun pada masa sekarang Sisingaan digunakan pula pada acara-acara khusus seperti memperingati hari-hari nasional penyambutan tamu, acara liburan peresmian atau dalam ulang tahun lembaga dan ulang tahun daerah serta dijadikan seni kemasan wisata. Kesenian Sisingaan adalah jenis seni pertunjukkan yang didalamnya terdapat seni tari, karawitan, seni sastra, dan seni rupa (termasuk busana). Dalam beberapa pendapat dikatakan bahwa istilah Sisingaan itu sendiri diambil dari kata “singa” meskipun binatang singa tidak terdapat di daerah Sunda (Tubagus Mulyadi, : 2005). Hal ini dapat ditelusuri dari beberapa nama yang menggunakan kata singa, seperti Sisingaan dan Jasinga yang sekarang merupakan nama tempat yang terdapat di daerah Jawa Barat. Beralih nama kemudian menjadi Kereta singa barong yang sekarang merupakan peninggalan dari keratin kasepuhan Cirebon. Berdasarkan rumusan seminar tentang kesenian Sisingaan yang dilaksanakan pada tanggal 5 Januari 1988 di Kabupaten Subang, memutuskan bahwa nama yang telah disebutkan berhubungan dengan kata “singa” lebih dikenal masyarakat Subang sebagai lambing keperkasaan atau kekuatan (Indah Irawan dan Aton Rustandi Mulyana, 2004:197) Pengertian Sisingaan jika ditinjau secara etimologis berasal dari singa yang mendapat awalan kata depan “si” dan akhiran “an”. Pada umumnya di masyarakat Sunda, apabila kata benda sebagai kata dasar mendapat awalan dengan pengulangan morfem awal pada kata dasar tersebut yang kemudian memakai akhiran “an” maka kata tersebut mengandung arti seperti atau yang menyerupai. Seperti kata Sisingaan, Momonyetan, Kukudaan, Momobilan dan lain-lain.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 203
Ada beberapa istilah lain yang digunakan masyarakat Subang untuk kesenian Sisingaan, jauh sebelum para perumus seminar membakukan istilah yang disepakati pada pertemuan seminar. Istilah-istilah yang dimaksud antara lain: Pergosi (Persatuan Gotong Singa). Odongodong (alat usungan), dan Singa Depok (mengambil istilah dari gerakan pengusung Sisingaan, yaitu melakukan gerakan “depok” yang mengandung pengertian duduk). Sampai saat ini kesenian Sisingaan sebagai hasil perumusan seminar masih tetap dipakai masyarakat Subang. Sementara istilah-istilah lain diluar istilah kesenian Sisingaan sudah tidak dipakai lagi. Lahirnya kesenian Sisingaan di Kabupaten Subang sampai saat ini secara pasti belum dapat diketahui. Pada umumnya, kesenian rakyat seperti ini bersifat kolektif, artinya bahwa karya seni yang diciptakan merupakan milik masyarakat dan dimainkan untuk kepuasan bersama. Oleh karena itu jarang terpikirkan oleh mereka untuk mendokumentasikan ke dalam bentuk tulisan. Lain halnya dengan jenis kesenian yang berasal dari istana, sedikit banyak karya-karya seni yang muncul didokumentasikan ke dalam tulisan-tulisan. Hal ini akan mempermudah peneliti-peneliti untuk melengkapi atau meneliti. PEMBAHASAN Munculnya berbagai tanggapan-tanggapan tersebut, selayaknya perlu dikaji dan diteliti adakah titik tolak yang paling mendasar dari hasil seni Sisingaan Subang pada saat sekarang dengan produk budaya-seni sebelumnya secara kolektif? Bisa jadi produk budaya-seni yang sejenis tersebut sudah terlebih dahulu muncul sekaligus sudah dipraktekkan oleh masyarakat adat Subang. Menilik dalam upacara Ngamunikeun Lembur (Beberesih Kampung) sudah termaktub dalam naskah Siksa Kandang Karesian pada abad ke-14. Dalam masyarakat komunal adat Sunda, untuk mengadakan ritual Ngamunikeun Lembur, biasanya diadakan ritual khusus yang menyertakan iringan kelompok suara atau musik untuk menarik perhatian agar masyarakat ikut serta dalam upacara Ngamunikeun Lembur. Dalam konteks masa kini, upacara tersebut masih terus berlangsung, seperti pada upacara irung-irung Cihideung, Lembang, yaitu membersihkan mata air yang diikuti oleh kesenian Sasapian. Di masyarakat Subang upacara ini, diikuti oleh seni Calongcong, yang berbentuk menyerupai binatang yang digotong oleh 4orang, seperti Sisingaan. Beberapa tokoh masyarakat adat Kampong Bolang, Desa Cibuluh menyebutkan bahwa seni Calongcong adalah awal dari pembentukan seni Sisingaan di wilayah Subang. Seni Calongcong. terbuat dari material bambu, menyerupai bentuk anyaman di daerah sunda seperti carangka, kolanding, boboko. aseupan, jobong. Menyerupai binatang dan digotong oleh 4 orang. Dari analisis aspek sosial-budaya di atas, pengusul bersama mitra (Komunitas Adat Cibolang, Desa Cibuluh-Subang) sepakat untuk melakukan pengkajian dan kerjasama untuk meneliti dan membuat wujud konkret pengembangan dari seni Calongcong tersebut yang umumnya terbuat dari bambu. Tahapan-tahapan yang akan ditempuh oleh peneliti adalah mengumpulkan data informasi, mencatat, mendeskripsikan, menginterpretasi, mengevaluasi, analisa, sampai tahap
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 204
p pembuatan w wujud seni Callongcong.
De eskripsi Survei
Inteerpretasi Evvaluasi
Wujud Seni Calongcong
Analisa
1.
Meneentukan metodde atau modeel pendekatann yang tepat untuk u mengkaaji masalah seni Calon ngcong, Kamp pung Bolang,, Desa Cibuluuh-Subang. Dalam m hal ini penneliti memilihh pendekatan estetika sosiaal dan sosio-kkultural sebaagai modelpendekatan
2 2.
Melakkukan batasann masalah obbjek kasus serrta pengertiann apa yang diimaksud denggan masallah seni Calon ngcong
3 3.
Memiilih sampel kasus daerahh atau objekk kampong adat, dalam hal ini adaalah kampong Bolang, Desa D Cibuluhh-Subang.
4 4.
Lokassi penelitian di d Subang yanng lebih diken nal dan popullar dengan senni Sisingaan.
5 5.
Pengaamatan dan peenelitian yangg diukur dalam m rentang waaktu selama 8 bulan.
6 6.
Pengu umpulan dataa akan dilakukkan dengan wawancara w keppada tokoh addat, budayaw wan, senim man, peneliti seni s tradisionnal dan publikk seni lainnyaa. Penyebaran n angket kepaada wargaa Cibuluh-Suubang. Semenntara penelusuuran data prim mer dan sekuunder dilakukkan melalui sumber pelaku utama (para pengggiat seni Calongcong kam mpong Bolanng), tinjauuan pustaka, internet dann lain-lain. Dari D data-daata tersebut kemudian akkan dilaku ukan analisa dan d penilaian.
P PEMBAHAS SAN Pada bulan Agustu us 2013, tim peneliti melaakukan surveyy langsung ke lokasi peneelitian yyakni Desa Cibuluh-Kabu C upaten Subanng. Desa Cib buluh sendiri masuk ke dalam kecam matan T Tanjungsiang g. Lokasi ini secara topogrrafi terletak di d daerah peggunungan atauu dataran tingggi di k kabupaten Suubang. Kabuppaten Subang sendiri merup pakan salah satu kabupatenn di kawasan utara P Provinsi Jawaa Barat, yang g meliputi willayah seluas kurang k lebih 2205.176,95 ha atau 6,34 % dari l luas Provinsi Jawa Barat.
P Prosiding P Penelitian daan Pengabdian Kepada Masyarakaat (PKM)
Halaman ~ 205
Gambar 1. Lokasi penelitian, kampung Bolang, Desa Cibuluh, Subang.
Secara administratif, Kabupaten Subang terbagi atas 253 desa dan kelurahan yang tergabung dalam 22 kecamatan. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Subang Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pembentukan Wilayah Kerja Camat, jumlah kecamatan bertambah menjadi 30 kecamatan. Secara geografis batas-batas wilayah administratif Kabupaten Subang adalah di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat, di sebelah barat dengan Kabupaten Purwakarta dan Karawang, di sebelah timur dengan Kabupaten Sumedang dan Indramayu dan Laut Jawa yang menjadi batas di sebelah utara
Gambar 2. Peta Kabupaten Subang, terdiri dari 30 Kecamatan.
Berdasarkan tofografinya, wilayah kabupaten Subang dapat dibagi ke dalam 3 zona, yaitu : 1. Daerah Pegunungan (Subang bagian selatan) Daerah ini memiliki katinggian antara 500-1500 m dpl dengan luas 41.035,09 hektar atau 20 persen dari seluruh luas wilayah Kabupaten Subang. Wilayah ini meliputi Kecamatan Jalancagak, Ciater, Kasomalang, Sagalaherang, Serangpanjang,sebagian besar Kecamatan Jalancagak dan sebagian besar Kecamatan Tanjungsiang. 2. Daerah Berbukit dan Dataran (Subang bagian tengah) Daerah dengan ketinggian antara 50 – 500 m dpl dengan luas wilayah 71.502,16 hektar atau 34,85 persen dari seluruh luas wilayah Kabupaten Subang. Zona ini meliputi wilayah Kecamatan Cijambe, Subang, Cibogo, Kalijati, Dawuan, Cipeundeuy, sebagian besar Kecamatan Purwadadi, Cikaum dan Pagaden Barat.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 206
3. Daerah Dataran Rendah (Subang bagian utara) Dengan ketinggian antara 0-50 m dpl dengan luas 92.639,7 hektar atau 45,15 persen dari seluruh luas wilayah Kabupaten Subang. Wilayah ini meliputi Kecamatan Pagaden, Cipunagara, Compreng, Ciasem, Pusakanagara, Pusakajaya Pamanukan, Sukasari, Legonkulon, Blanakan, Patokbeusi, Tambakdahan, sebagian Pagaden Barat. Tingkat kemiringan dan Iklim Dilihat dari tingkat kemiringan lahan, sekitar 80.80 % wilayah Kabupaten memiliki tingkat kemiringan 0° - 17°, 10.64 % dengan tingkat kemiringan 18° - 45° sedangkan sisanya (8.56 % memiliki kemiringan di atas 45 °. Secara umum wilayah Kabupaten Subang beriklim tropis, dalam tahun 2005 curah hujan rata-rata pertahun 2.352 mm dengan jumlah hari hujan 100 hari. Dengan iklim yang demikian, serta ditunjang oleh adanya lahan yang subur dan banyaknya aliran sungai, menjadikan sebagian besar luas tanah Kabupaten Subang digunakan untuk pertanian. Salah satu modal pembangunan, selain sumber daya alam, ilmu pengetahuan dan teknologi adalah jumlah penduduk dan Sumber Daya Manusia (SDM). Dalam pembangunan yang dibutuhkan adalah SDM yang secara kuantitas mencukupi dan secara kualitas dapat diandalkan atau dengan kata lain SDM yang siap pakai. Berdasarkan data statistik Subang Dalam Angka, penduduk kabupaten Subang tahun 2010 berjumlah 1.477.483, dengan komposisi 746.148 orang laki-laki dan 731.335 perempuan, dengan tingkat kepadatan penduduk mencapai 714 jiwa per km2. Adapun untuk tingkat kecamatan, Kecamatan Subang merupakan daerah dengan tingkat kepadatan tertinggi yaitu 2.229 jiwa per km2, sedangkan Kecamatan Legonkulon merupakan daerah yang paling rendah tingkat kepadatannya, yaitu 298 jiwa per km2. Pembuatan Seni Calongcong Pada kunjungan pertama tim peneliti melihat langsung pembuatan seni calongcong oleh penggiat komunitas budaya di kampong Bolang, Cibuluh-Tanjungsiang. Pembuatan tersebut secara umum masih mencampuradukkan material industri dan alami. Pada survey selanjutnya di awal bulan Nopember 2013, peneliti mencoba menelusuri narasumber terkait, untuk mengetahui lebih jauh informasi dan data bagaimana awal mula seni calongcong dibuat. Menurut hasil data dan wawancara dengan narasumber, seni calongcong dalam hal konstruksinya dapat dikategorikan dibagi ke dalam tiga jenis konstruksi calongcong, namun dalam hal teknik anyamannya satu sama lain tidak ada perbedaan. Jenis Calongcong 1. Calongcong Babadak
Fungsi Jenis Calongcong yang digunakan untuk menahan longsor tanah, biasanya dipakai untuk persawahan dan pertanian.
2. Calongcong Hayam
Jenis Calongcong keranjang ayam.
yang
biasanya
3. Calongcong Kududaan
Jenis Calongcong yang dipakai atau digunakan pada saat perayaan khitan anak,
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
digunakan
untuk
Halaman ~ 207
Seni calongcong kukudaan terakhir kali digunakan pada tahun 1960, masyarakat desa cibuluh Subang pada saat itu menggunakan calongcong kukudaan untuk merayakan atas khitanan anak-anak oleh kedua orang tuanya. Wujud tersebut sebagai tanda rasa syukur dan kebahagiaan, karena fase hidup anak-anaknya mulai bertambah usia. Sebelum tahun 1960, seni calongcong marak digunakan oleh masyarakat desa Cibuluh, Subang. Karenanya situasi sosial dan politik pasca-1960, turut serta mempengaruhi berkembang hidupnya seni calongcong kukudaan, seni calongcong kukudaan pelan-pelan digantikan oleh Sisingaan, yang popular pada tahun 1970-an.
Gambar 3. Narasumber memperagakan contoh anyaman calongcong memakai media daun janur
Gambar 4. Narasumber memperagakan contoh anyaman calongcong
Gambar 5. Detail buntut anyaman calongcong
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 208
Gambar 6. Seni calongcong
PENUTUP Seni calongcong kukudaan merupakan kesenian tradisional khas, yang muncul di kampung Bolang, desa Cibuluh, kabupaten Subang. Jenis seni calongcong kukudaan sudah dipraktekkan dan dibuat sebelum masa kemerdekaan dan digunakan terakhir kalinya di tahun 1960-an. Situasi sosial dan politik pasca-1960, turut serta mempengaruhi berkembang hidupnya seni calongcong kukudaan, seni calongcong kukudaan pelan-pelan digantikan oleh Sisingaan, yang popular pada tahun 1970-an. Calongcong sendiri bisa dikelompokkan ke dalam tiga jenis calongcong: 1) calongcong babadak yakni jenis calongcong yang digunakan untuk menahan longsor tanah, biasanya dipakai untuk persawahan dan pertanian. 2) calongcong hayam, jenis calongcong yang digunakan untuk keranjang ayam. 3) calongcong kukudaan, jenis calongcong yang biasanya digunakan pada saat perayaan khitanan anak. Sementara dalam hal prinsip teknik anyamannya satu sama lain tidak ada perbedaan. Sebagai ikon seni tradisional kampung Bolang, desa Cibuluh, kabupaten Subang. Seni calongcong kukudaan bisa menjadi produk kreatif yang asli dan khas, disamping keseniankesenian tradisional lainnya khususnya yang berkembang di kampung Bolang. Oleh karena itu, kampung Bolang dengan potensi-potensi kesenian yang dimilikinya bisa menjadi lembur kreatif sekaligus sentra ekonomi seni tradisional. Dukungan para peneliti seni, pihak swasta serta peran pemerintah daerah artinya mempunyai peran strategis bagi perkembangannya seni calongcong ke depan.
DAFTAR PUSTAKA Endah Irawan dan Aton Rustandi Mulyana.2004. Deskripsi Seni Pertunjukkan Jawa Barat (yang Hampir Punah), Bandung, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Barat. Tubagus Mulyadi.2005. Sisingaan Seni Kemasan Wisata di Kabupaten Subang, Jurnal ISI Surakarta.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 209
MANAJEMEN PAMERAN SENI LUKIS JELEKONG DALAM MENINGKATKAN NILAI LOKAL PADA WACANA SENI RUPA INDONESIA : PROGRAM PENGABDIAN MASYARAKAT PADA GALERI DWIMATRA DAN GALERI PUTRA GIRIHARJA 3 (PGH3) DI KAMPUNG GIRIHARJA KELURAHAN JELEKONG KABUPATEN BANDUNG Agus Cahyana Teten Rohandi Wanda Listiani ABSTRAK Keunikan pelukis Jelekong dalam memberikan nama dan cara produksi menghasilkan lebih dari 2 lukisan dalam sehari menjadi daya tarik tersendiri dalam dunia Seni Rupa dan Industri Kreatif di Indonesia. Gaya dan teknis yang khas dari lukisan Jelekong serta pembuatan cat, kanvas dan kuas sendiri menjadikan lukisan Jelekong berpotensi unggul dalam persaingan global industri kreatif. Target dari program pengabdian ini adalah pemilik dan pengelola galeri di kampung Giriharja mampu menerapkan manajemen pameran untuk menambah nilai lokal dan nilai ekonomi dari lukisan maupun karya lain produksi seniman Jelekong. Untuk itu terdapat dua luaran yang diharapkan dari program penelitian ini yaitu metode pameran dan Sertifikat Penjamin Kualitas Karya. Program pengabdian masyarakat ini dilakukan dengan menggunakan metode pendampingan dan Pelatihan bagi pemilik dan pengelola galeri di Kampung Giriharja dengan teknik PRA (participatory rural appraisal). Para peserta adalah pria dan wanita dengan pengetahuan khusus missal pemilik galeri, pengelola galeri, seniman lukis dan bandar. Kata kunci : seni lukis Jelekong, manajemen pameran, wacana seni rupa
PENDAHULUAN Keunikan pelukis Jelekong dalam memberikan nama dan cara produksi menghasilkan lebih dari 2 lukisan dalam sehari menjadi daya tarik tersendiri dalam dunia Seni Rupa dan Industri Kreatif di Indonesia. Gaya dan teknis yang khas dari lukisan Jelekong serta pembuatan cat, kanvas dan kuas sendiri menjadikan lukisan Jelekong berpotensi unggul dalam persaingan global industri kreatif. Hal ini dibuktikan dengan penjualan kembali produk lukisan dari Jelekong oleh para pedagang ke Bali, Bogor, Semarang, Jakarta, Sumatera maupun Malaysia, Singapura dan Arab Saudi. Pada masa Belanda, para pelukis dari Jelekong membantu pelukis Asing untuk membawakan peralatan melukis dan cat. Pada perkembangannya mereka kemudian diminta untuk melukis. Kemampuan melukis ini kemudian dilakukan secara turun menurun sampai sekarang. Versi lain menyebutkan bahwa kemampuan melukis ini berasal dari pak Oding yang menularkan kemampuan melukisnya pada tetangga di kampung Jelekong (Dewi, 2008: 66). Kemampuan melukis ini kemudian ditularkan dengan sebutan magang. Lukisan Jelekong banyak menggambarkan keindahan alam kampung Jelekong seperti pemandangan, flora dan fauna, kondisi sosial masyarakat dan sebagainya. Kampung Jelekong (Yanuar, 2012: 1; Utari, 2012:1) berada desa Giri Harja, kelurahan Jelekong, Kecamatan
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 210
Baleendah Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat. Berbeda dengan kampung lainnya, suasana di kampung ini dipenuhi dengan pajangan lukisan, bentangan kain kanvas, lukisan yang sedang dikeringkan diatas genting, dan sekitar 20 galeri menjajakan lukisan. Kelurahan Jelekong memiliki luas 694 Ha dengan jumlah penduduk sebanyak sebanyak 17. 475 orang. Untuk penduduk yang berjenis kelamin laki-laki sejumlah 8.843 orang dan perempuan sejumlah 8.632 orang. Mata pencaharian antara lain : Sedangkan batas wilayah; utara, desa Bojongsoang; selatan, desa Patrol Sari; barat, kelurahan Manggahang dan timur, kelurahan Warga Mekar. Mayoritas penduduk kampung Jelekong (Kompepar, 2013:4) adalah PNS (127 orang), ABRI (7 orang), Swasta (1.115 orang), Dagang (1.024 orang), Tani (130 orang), Jasa (257 orang), Buruh (917 orang). Lukisan Jelekong ini (Andrias, 2012:2) mudah dijumpai di Jalan Braga maupun pedagang panggul untuk dijual keliling. Terdapat 12 bidang seni dan budaya dengan rincian sebagai berikut : No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bidang Seni dan Budaya Wayang Golek Upacara Adat Jaipongan Degung Reog Wanita Kacapi Suling Pencak Silat Sisingaan Pengrajin/Kriya Lukisan Calung Dangdut
Kelompok 11 Kelompok 2 Kelompok 2 Kelompok 2 Kelompok 1 Kelompok 1 Kelompok 3 Kelompok 1 Kelompok 5 Kelompok 500 orang 1 Kelompok 2 orang
Tabel 1.1 Sumber : Kompepar, 2013
Keunggulan bersaing produk lukisan Jelekong terletak pada (1) tema alam Indonesia khususnya Kampung Jelekong dalam lukisan seperti penggunungan, air terjun, hutan belantara dan gadis desa. Pemandangan alam dengan hamparan sawah menguning merupakan pemandangan saat panen di Kampung Jelekong. Pesanan lukisan disesuaikan dari daerah asal pembeli misal orang Malaysia memesan lukisan pemandangan tanpa objek manusia; orang Bali lebih suka pemandangan alam dengan kegiatan sosial atau sedang bercocok tanam (2) harga lukisan yang murah. Lukisan yang dijual biasanya berdasarkan senioritas pelukis. Lukisan yang dibuat oleh junior dengan harga Rp. 10.000 s.d Rp. 15.000/lembarnya sedangkan lukisan pelukis senior dapat dibeli dengan harga Rp. 75.000 s.d Rp. 3.000.000/lukisan. Kecenderungan pasar ekonomi kreatif yang tidak stabil sangat mempengaruhi nilai jual lukisan Jelekong.Berikut harga lukisan lembaran berdasarkan ukuran : No. 1
Ukuran Lukisan 50 x 60
Harga Lukisan Rp. 10.000
2
60 x 80
Rp. 25.000 s.d 40.000
Keterangan Lukisan Pemandangan dengan teknik cokcrok Lukisan Pemandangan dengan teknik cokcrok dan spons
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 211
3
135 x 85
4
140 x 80
Rp. 75.000 s.d Rp. Lukisan Pemandangan 150.000 dengan teknik cokcrok dan spons Rp. 75.000 s.d Rp. Lukisan Pemandangan 200.000 dengan teknik cokcrok dan spons
*) Harga tidak termasuk bingkai dan Spanram; Sumber : (Yanuar, 2012 :2) Tabel 1.2. Harga Lukisan Lembaran berdasarkan Ukuran Lukisan
(3) pembuatan cat daur ulang dan kain kanvas sendiri. Murahnya harga lukisan dikarenakan penggunaan cat guludug (cat daur ulang bekas percetakan) dan kain kanvas yang mereka buat sendiri dari bahan kain marsoto dengan cat tembok kiloaan ditambah lem kayu. (4) Penggunaan teknik spon dan teknik cokcrok. Teknik cokcrok adalah teknik melukis dengan menggunakan kuas yang menyentuhkan ujung bulu kuas yang sudah ada catnya pada kanvas. Teknik cokcrok (Utari, 2012:1) merupakan teknik yang pertama muncul pada tahun 60-an di Jelekong. (5) Penjualan produk lukisan dari Jelekong oleh para pedagang ke Bali, Bogor, Semarang, Jakarta, Sumatera maupun Malaysia, Singapura dan Arab Saudi. Kelima keunggulan di atas membuktikan bahwa lukisan Jelekong mampu bersaing di pasar global khususnya di Malaysia, Singapura dan Arab Saudi. Namun dari sisi lain harga lukisan Jelekong masih rendah dibandingkan lukisan komersial lainnya. Permasalahan nilai ekonomi dari lukisan Jelekong ini dapat diatasi dengan pelatihan manajemen pameran dan pewacanaan seni lukis jelekong dalam Industri Kreatif Indonesia secara terus menerus. Program pengabdian ini menjadi penting untuk dilakukan mengingat banyak pelukis Asing yang tinggal di Indonesia salah satunya Bali, Yogyakarta, Jakarta dan membuat lukisan untuk di jual di galeri-galeri di Indonesia. Di Bali misalnya, penjualan lukisan kontemporer menggeser lukisan tradisional Bali (Listiani, 2012:1). Hal ini terlihat pada galeri komersial yang dulu lebih memberi prioritas pada lukisan yang menggambarkan tema-tema tradisional kehidupan desa orang-orang Bali, tarian, upacara pembakaran mayat (ngaben), atau keindahan sawah kini didominasi karya lukis kontemporer. Persoalan manajemen pameran pada galeri di Kampung Giriharja khususnya Galeri Dwimatra dan Galeri Putra Giriharja 3 (PGH3) masih belum dikelola dengan baik. Galeri masih berfungsi sebagai mediator antara penjual dan pembeli. Saat ini penjualan lukisan dan karya seni lainnya hanya ditumpuk begitu saja dengan karya-karya lainnya. Mereka juga belum memiliki agenda pameran untuk menarik perhatian pengunjung atau pembeli khusus (kolektor). Bagi mereka yang penting karya yang terjual dan modal kembali untuk memproduksi karya selanjutnya. Kelemahan galeri di Kampung Giriharja terletak pada penyusunan alur, penjelasan kuratorial tentang jelekong (teknis, tema, sejarah, penyajian, display karya) dan teknik presentasi (seniman cara mempresentasikan karya). Sertifikasi penjaminan kualitas karya masih belum ada padahal sertifikasi jaminan kualitas karya dapat menjadi penentu nilai ekonomi karya dan daya tarik bagi pembeli atau kolektor selain sertifikat keaslian karya. Program pengabdian masyarakat ini dilakukan dengan menggunakan metode pendampingan dan Pelatihan bagi pemilik dan pengelola galeri di Kampung Giriharja dengan teknik PRA (participatory rural appraisal). Metode PRA (Mikkelsen , 2001: 99) merupakan metode untuk mengkombinasikan perolehan data dengan pembentukan dialog di kalangan peserta yang dipilih berdasarkan masalah yang hendak dikaji. Para peserta adalah pria dan wanita dengan pengetahuan khusus missal pemilik galeri, pengelola galeri, seniman lukis dan bandar.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 212
Untuk mengidentifikasi permasalahan, menentukan prioritas masalah dan menemukan pengusul bersama mitra melakukan hal sebagai berikut : Pengamatan langsung kegiatan galeri di kampung Giriharja Menentukan indikator kunci sebagai kriteria prioritas permasalahan Wawancara semi-terstruktur kepada pemilik dan pengelola galeri, seniman lukis dan bandar yang ada di kampung Giriharja untuk mendiskusikan permasalahan dan solusi yang sesuai dengan kebutuhan mereka. 4. Membuat dan menganalisa metode pameran yang disepakati mitra dan pengusul. Pada tahapan ini dilakukan elaborasi permasalahan tentang manajemen pameran. 5. Melakukan simulasi manajemen pameran lukisan Jelekong di galeri terpilih secara periodik, pembuatan konsep pameran yang baik serta sesuai standar manajemen seni, perlakukan kanvas, pengemasan kiriman barang dan lain sebagainya. 6. Memberikan acuan untuk sertifikasi penjamin kualitas karya pada seniman yang membuat karya lukis di Kampung Giriharja.
solusi, 1. 2. 3.
PEMBAHASAN Metode pameran merupakan bagian dari manajemen pameran karya seni lukis Jelekong di galeri-galeri yang berada di kampung Giriharja. Metode ini memberikan pemahaman tentang nilai penyeleksian, metode penyeleseksian karya, metode klasifikasi (harga, kualitas), metode mepresentasikan karya (display), pembuatan publikasi (katalog, jejaring sosial/publikasi) kepada pemilik atau pengelola galeri. Pameran (Susanto, 2004 : 13) merupakan pengorganisasian unsur-unsur, objek-objek atau karya-karya yang dipamerkan dalam ruang pamer, perupa (penghasil karya), curator/tim/organisator (penyaji pameran) dan penonton (pembeli, kolektor dan pengunjung). Manajemen dalam pameran (Susanto, 2004: 27) sebagai sarana untuk membantu penggagas (pengelola atau pemilik galeri) untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisian dalam pameran seni rupa. Efektif berarti menghasilkan dan memamerkan karya seni berkualitas sesuai keinginan, baik perupa atau pasar yang mengikutinya. Efisien berarti menggunakan sumber daya manusia secara rasional dan hemat. Hakekat manajemen adalah cara memanfaatkan input untuk menghasilkan karya seni melalui suatu proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian, dengan memperhatikan situasi dan kondisi lingkungan yang ada. Sertifikat Penjamin Kualitas Karya. Sertifikasi ini dikeluarkan oleh beberapa tim ahli penjamin kualitas yang memiliki kompetensi di bidang seni rupa yang terbentuk untuk menyeleksi kualitas lukisan Jelekong. Sertifikat ini berisi kelompok tim ahli pemberi jaminan, teknik, ukuran, tema/judul, tahun, media, Sertifikat penjamin kualitas ini belum pernah ada sebelumnya. Sertifikat yang sejenis biasanya berupa Sertifikat Authenticity (keaslian), bagi karya-karya orisinal yang benar merupakan hasil karya seniman. Karya-karya yang dibuat masal biasanya tidak membutuhkan sertifikat. Sertifikat hanya dibuat oleh seniman tunggal. Keunikan pelukis Jelekong dalam memberikan nama dan cara produksi menghasilkan lebih dari 2 lukisan dalam sehari menjadi daya tarik tersendiri dalam dunia Seni Rupa dan Industri Kreatif di Indonesia. Gaya dan teknis yang khas dari lukisan Jelekong serta pembuatan cat, kanvas dan kuas sendiri menjadikan lukisan Jelekong berpotensi unggul dalam persaingan global industri kreatif. Hal ini dibuktikan dengan penjualan kembali produk lukisan dari Jelekong oleh para pedagang ke Bali, Bogor, Semarang, Jakarta, Sumatera maupun Malaysia, Singapura dan Arab Saudi. Berdasar potensi tersebut maka pembuatan desain sistem informasi
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 213
seniman dan budayawan Jelekong Bandung menjadi salah satu media alternatif pameran, dokumentasi, promosi dan pemasaran di pasar seni rupa Indonesia. Pameran yang selama ini dilakukan lebih menekankan pada aspek penjualan, sehingga karya-karya yang dipamerkan tidak didisplay dengan baik yang akhirnya pengunjung tidak dapat mengamati karya secara lebih teliti. Selain itu, karena system produksi karya di Jelekong yang berorientasi pada pasar, sehingga menuntut keberhasilan penjualan yang tinggi, akibatnya, peningkatan nilai di luar karya yang dapat memberikan nilai tambah bagi karya tersebut tidak dipentingkan. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan langsung di lapangan, terdapat beberapa aspek yang dapat memberi nilai tambah bagi karya seni lukis Jelekong diantaranya : 1. Aspek kesejarahan seni lukis Jelekong 2. Aspek kreativitas karya seni lukis Jelekong 3. Aspek manajeman pameran Ketiga aspek tersebut saling berkait satu sama lain, aspek kesejarahan seni lukis Jelekong berkaitan dengan pewacanaan karya seni lukis Jelekong yang berkaitan dengan perkembangan estetika, seperti gaya, tema, dan teknik. Hal ini juga berkaitan dengan perkembangan kreativitas karya seni lukis Jelekong yang terus mengalami perkembangan mengikuti zamannya, terutama penyerapan oleh pasar. Kedua hal tadi seharusnya bisa menjadi nilai tambah bagi karya seni lukis yang dihasilkan oleh pengrajin di Jelekong. Peningkatan nilai tambah berdasarkan kedua hal tersebut dapat dilakukan melalui perencanaan program pameran yang tersusun dan didasarkan pada keunikan masing-masing kelompok pelukis Jelekong. Selama ini, pameran yang dilakukan oleh para pelukis Jelekong ditujukan untuk dapat menjual karya seni lukis secara langsung dan cepat, tanpa mempertimbangkan aspek display maupun segmentasi pasar. Akibatnya pengunjung dihadapkan pada kepadatan karya yang ditampilkan sehingga mereka tidak dapat mengamati secara teliti dan memperoleh penjelasan mengenai proses berkarya dan keunikan karya seni lukis Jelekong. Informasi tentang Jelekong yang dapat diakses secara langsung oleh para pengunjung yang akan membuat tingkat apresiasi mereka semakin tinggi. Hal ini secara tidak langsung meningkatkan nilai jual bagi karya seni lukis yang dihasilkan oleh para seniman di desa Jelekong. Berbagai keunggulan seni lukis Jelekong, mulai dari aspek kesejarahan dan kreativitas dapat dijadikan sebagai landasan berpijak bagi pewacanaan seni lukis Jelekong kepada masyarakat luas. Dengan demikian kegiatan pameran tidak hanya menekankan pada aspek penjualan secara langsung, tetapi berupaya memberikan pembelajaran melalui pemberian informasi sebanyak mungkin mengenai perkembangan karya seni lukis di Jelekong. Beberapa segi yang dapat diinformasikan kepada masyarakat ketika membuat suatu pameran adalah pertama, penjelasan mengenai asal-usul muncul dan berkembangnya seni lukis di Jelekong. Kedua, tokoh pelukis yang mempengaruhi perkembangan seni lukis di Jelekong. Ketiga, keragaman tema dan kekhasan estetik yang terdapat pada karya seni lukis Jelekong. Terakhir, penjaminan kualitas dan keotentikan karya yang menentukan klasifikasi harga dan mutu pada setiap lukisan. Sedangkan dari sudut pandang manajemen pameran maka diperlukan perencanaan yang baik berkaitan dengan tema pameran yang akan ditampilkan, tempat pameran, seleksi karya sesuai dengan kualitas karya dan tema pameran, pemasangan karya (display), publikasi melalui berbagai media, artist talk dan diskusi, serta penataan karya yang selalu dilengkapi dengan informasi karya dan seniman pembuatnya. Melalui metode pameran yang telah dirancang seperti itu diharapkan para pengunjung dapat dengan leluasa mengapresiasi dengan baik tiap
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 214
karya yang dipamerkan. Mereka dapat mengetahui mengenai keunikan karya seni lukis Jelekong melalui informasi yang disampaikan pada tiap penjelasan karya yang ditata berdampingan dengan karya yang dijelaskan.
Gambar 1. Caption Penjelasan Karya
Gambar 2. Display Informasi Seni Lukis Jelekong
Pada gambar di atas adalah salah satu penataan yang dapat memberikan informasi yang jelas mengenai karya seni lukis yang ditampilkan. Keterangan karya menjadi sangat penting untuk ditampilkan agar pengunjung dapat mengetahui dengan lebih jelas mengenai karya, bahkan bisa mencantumkan harga dibalik tulisan penjelasan karya tersebut. Sedangkan untuk memperkuat kesan bahwa karya seni lukis Jelekong memiliki keunikan dan keunggulan tersendiri maka dapat diinformasikan ke pengunjung melalui beberapa foto kegiatan melukis di desa Jelekong dengen disertai penjelasan tertulis disampingnya.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 215
SENIMAN
GALERI
METODE PAMERA
KARYA
TIM AHLI PENJAMI N
Nilai Penyeleksian Metode Penyeleksian Karya Metode Klasifikasi (Harga, Kualitas dll) Metode Presentasi (display)
PAMERA
Pembeli/ Kolektor
Gambaran Ipteks yang akan ditransfer kepada kedua mitra
Secara keseluruhan hasil dan pembahasan mengenai program ini dapat dilihat pada alur skema di atas, dimana galeri mempunyai peranan sangat penting untuk meningkatkan kualitas kekaryaan para pelukis Jelekong. Selain itu melalui galeri wacana keunikan lokal yang menjadi unggulan seni lukis Jelekong dapat dipublikasikan secara lebih luas. Sementara dari sisi kualitas kekaryaan akan semakin meningkat seiring dengan program penjaminan kualitas yang didasarkan pada indikator estetika yang obyektif. PENUTUP Setelah program PkM ini selesai dilakukan, maka dapat disimpulkan, pertama, kebergantungan yang tinggi para pelukis Jelekong terhadap selera pasar menyebabkan keberanian untuk membuat karya yang berbeda sangat rendah, sehingga karya yang dihasilkan sebatas untuk pemenuhan pemesanan. Kedua, Image seni lukis Jelekong yang identik dengan lukisan pemandangan dan dibuat secara masal serta berharga murah menyebabkan para seniman kreatif tidak terlalu antusias untuk membuat karya yang sesuai dengan keinginannya. Ketiga, pameran yang dilakukan hanya sebatas pameran untuk berjualan. Empat, penguatan wacana tentang keunikan dan keunggulan karya seni lukis Jelekong masih sedikit dilakukan dan dipublikasikan. Lima, melalui pelatihan ini, potensi keunggulan para pelukis Jelekong mulai terpetakan, sehingga akan lebih memudahkan ketika merancang sebuah pameran yang melibatkan para sniman di Jelekong. Enam, perancangan pameran dengan metode pameran yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Jelekong akan semakin mempermudah pelukis di Jelekong untuk mempromosikan keunggulan karyanya.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 216
DAFTAR PUSTAKA Andrias W.P, Rizkia Femil, 2012. Teknik Lukis Cokcrok Jelekong. Bandung : Seni Rupa STSI Bandung, Makalah Mata Kuliah Seminar. Dewi, Belinda Sukapura, Ariesa Pandanwangi, Stella Prasetya, 2008. Kajian Seni Rupa Jelekong Baleendah Bandung : Meningkatkan Potensi Kepariwisataan Jawa Barat, Bandung : Universitas Kristen Maranatha, Laporan Penelitian Kusnadi dkk, 1979. Sejarah Seni Rupa Indonesia, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Listiani, Wanda, 2012. “Bahasa Rupa Kritik Seni Lukis Bali Kontemporer”, makalah dipresentasikan pada Internasional Conference Bali In Global Asia Between Modernization & Heritage Formation, IIAS Belanda, KITLV, dan Pascasarjana Udayana Bali, 16-18 Juli 2012. Mikelsen, Britha, 2001. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan : Sebuah Buku Pegangan Bagi Para Praktisi Lapangan, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Susanto, Mikke. 2004. Menimbang Ruang Menata Rupa : Wajah dan Tata Pameran Seni Rupa, Yogyakarta : Galang Press Tornado, Anggiat, Zaenuddin Ramli, Wanda Listiani, 2012. Taksonomi Seni Rupa Kontemporer Indonesia, Bandung : STSI Bandung, Laporan Penelitian Utari, Kharisma Rieyang, 2012. Visualisasi Tema Pemandangan Alam pada Seni Lukis Jelekong Tahun 2000, Bandung : Seni Rupa STSI Bandung, Makalah Mata Kuliah Seminar. Yanuar, Sendi. 2012. Perkembangan Penggayaan Seni Lukis Jelekong 1969-2012. Bandung : Seni Rupa STSI Bandung, Makalah Mata Kuliah Seminar. Yuliman, Sanento, 2001. Dua Seni Rupa : Sepilihan Tulisan Sanento Yuliman, Jakarta : Yayasan Kalam
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 217
PEMBUATAN ELEMEN ESTETIS UNTUK INTERIOR DENGAN TEMA CERITA RAKYAT JAWA BARAT SEBAGAI UPAYA PENGEMBANGAN DAN PENGUATAN IDENTITAS LOKAL PADA PRODUK KERAJINAN KERAMIK PLERED KABUPATEN PURWAKARTA Deni Yana Agus Cahyana, Gerry Rachmat
ABSTRAK Program Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) ini merupakan kegiatan penerapan ilmu pengetahuan yang bersifat aplikatif, dengan tujuan untuk membuka wawasan dan peluang baru bagi para pengrajin keramik hias khususnya pengrajin keramik hias di Plered Kabupaten Purwakarta Jawa Barat berupa jenis produk yang baru dengan memanfaatkan budaya tradisi lokal dalam bentuk elemen elemen estetis untuk interior dimana beberapa cerita rakyat Jawa Barat dijadikan inspirasi dalam pembuatan produk tersebut sehingga produk tersebut memiliki identitas lokal yang kuat serta dapat memperluas segmen pasar khususnya pasar lokal. Pendekatan yang digunakan dalam pemecahan masalah dalam program Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) ini dilakukan dengan metode pendampingan dan workshop melalui tahapan kegiatan sebagai berikut : Pengumpulan data; Analisis; Pengembangan (eksplorasi) dan pembuatan mock up/model; Penerapan mock up/model (pelatihan dan workshop); Evaluasi. Program Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) ini dilakukan selama 8 bulan dengan jadwal pelaksanaan di satu lokasi yakni sentra industri kerajinan keramik hias Plered Kabupaten Purwakarta dengan mitra para anggota Pokja Klaster Keramik Plered. Kata kunci : elemen interior, relief, keramik hias ,Plered,cerita rakyat PENDAHULUAN Keramik hias sebagai produk kerajinan di Kecamatan Plered Kabupaten Purwakarta telah berkembang sejak masa kolonial Belanda yakni tahun 1935, diawali dengan berdirinya pabrik keramik berglasir milik orang Belanda bernama Hendrik De Boa. Perajin setempat awalnya hanya membuat bata genteng dan produk keramik jenis gerabah tradisional sejak masa penyebaran agama Islam untuk keperluan sehari-hari seperti kendi, pendil,celengan, dll. Plered terkenal sebagai sentra industri kerajinan keramik dan produknya skala industri rumah tangga (home industry) bahkan menjadi ikon daerah. Sentra industri kerajinan keramik Plered juga ditunjang oleh besarnya jumlah deposit tanah liat (lempung) sebagai bahan baku keramik yang berpusat di Desa Citeko yang berjarak hanya sekitar 3 Km dari sentra tersebut.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 218
Gambar 1. Pusat bahan baku tanah liat (lempung) di Desa Citeko Kecamatan Plered (Sumber : Deni Yana, 2008)
Perkembangan kerajinan keramik Plered dari mulai awal perintisannya hingga saat ini terus mengalami pasang surut. Berbagai upaya pengembangan dalam bentuk pelatihan dan pendampingan baik dalam aspek teknologi, desain dan manajemen terus dilakukan sejak tahun 1950 oleh pemerintah melalui Departemen Perindustrian baik pusat, provinsi maupun daerah dengan melibatkan lembaga-lembaga seperti Balai Besar Keramik (BBK) maupun perguruan tinggi seperti ITB sebagai pelaksananya. Adanya upaya tersebut membuat produk kerajinan keramik hias Plered terus mengalami perkembangan bahkan mampu menembus pasar ekspor sejak tahun 1980-an.dan pusat produksinya tersebar di tiga lokasi dengan jenis produk dan orientasi pasar yang berbeda yakni : Kampung Lio yang sebagian besar perajinnya membuat produk keramik hias dan pakai jenis gerabah tradisional untuk pasar lokal, Gunung Cupu dengan produk keramik pakai untuk eksterior berupa pot untuk pasar lokal dan ekspor dan Anjun dengan produk keramik hias untuk elemen interior untuk pasar lokal dan ekspor.
Gambar 2. Beberapa contoh produk kerajinan keramik Plered (Sumber : Sidharto, 1983 & Deni Yana, 2008)
Data terakhir yang tercatat pada tahun 2005 oleh UPTD Litbang Keramik Dinas Perindustrian Perdagangan & Penanaman Modal (sekarang Diskoperindag) Kabupaten Purwakarta mengenai kerajinan keramik Plered adalah :
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 219
1. 2. 3.
Jumlah Unit Usaha Jumlah Tenaga Kerja Jenis Produk
: : :
4.
Pasar Lokal
:
5. 6. 7. 8.
Kapasitas Produksi/tahun Nilai Produksi Nilai Ekspor Negara Tujuan Ekspor
: : : :
264 Unit 3.000 Orang Aneka Keramik Hias dan Pakai (Vase, Pot, Guci, Celengan,souvenir, dll). Jakarta, P.Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku Utara. 7.200.000 buah Rp. 17.500.000.000,00 Rp. 9.500.000.000,00 Jepang, Taiwan, Korea, Australia, New Zealand, Belanda, Kanada, Saudi Arabia, Amerika Serikat, Amerika Latin, Inggris, Spanyol, dan Italia.
(Sumber : UPTD Litbang Keramik Diskoperindag Kabupaten Purwakarta, 2005) Sayangnya peluang pasar yang demikian besar tersebut belum dimanfaatkan secara optimal oleh para perajin keramik Plered. Adapun beberapa permasalahannya adalah sebagai berikut : 1. Pengembangan desain yang berorientasi pasar masih kurang karena keterbatasan pengetahuan, bahasa asing dan informasi pasar. 2. Produk kurang memiliki ciri khas lokal. 3. Kemampuan pengrajin dalam melakukan promosi dan pemasaran secara mandiri masih sangat terbatas. 4. Diversifikasi produk belum berkembang − masih stereotif − sehingga pesanan produk ekspor cenderung hanya berdasarkan job order dengan desain yang sudah ditentukan oleh user dengan nilai keuntungan pengrajin yang rendah. Selain permasalahan tersebut diatas, adanya kenaikan harga bahan baku dan bahan pendukung, terutama BBM pada tahun 2005 sebagai salah satu komponen utama dalam proses produksi keramik hias menyebabkan kegiatan produksi menjadi terhambat. Harga Pokok Produksi (HPP) menjadi sangat tinggi sementara daya beli konsumen menurun terutama untuk pasar lokal. Akibatnya sejak tahun 2005 banyak unit usaha dan perajin yang berhenti berproduksi sehingga jumlah unit usaha dan perajin terus mengalami penyusutan. Dilatarbelakangi kondisi tersebut diatas, dan dalam rangka peningkatan peran usaha kecil dan menengah dalam percaturan ekonomi nasional serta mempertahankan keberadaan industri nasional sebagai upaya untuk meningkatkan daya saing yang berkelanjutan, maka Departemen (sekarang Kementerian) Perindustrian, sejak tahun 2006 telah memfasilitasi dibentuknya beberapa Kelompok Kerja (Pokja) Klaster untuk beberapa komoditi unggulan termasuk keramik hias di beberapa sentra kerajinan keramik hias di Indonesia yakni Klampok (Jateng), Kasongan (DIY), Dinoyo (Jatim), Tabanan (Bali), Banyumulek (NTB), Singkawang (Kalbar), Takalar (Sulsel), Pulutan (Sulut) dan Plered (Jawa Barat). Klaster merupakan aglomerasi dari unit-unit usaha beserta komponen-komponen pendukungnya didalam suatu wilayah tertentu. Klaster industri kerajinan keramik hias adalah Klaster yang difokuskan untuk industri kerajinan keramik hias, dimana industri intinya adalah industri kerajinan keramik hias yang paling berpotensi setelah dilakukan pemetaan dalam suatu wilayah. Pengurus Pokja Klaster Keramik Plered dibentuk pada acara FGD (Focus Group Discussion) Diagnosis Klaster Industri Gerabah (Keramik Hias) Plered di Hotel Intan
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 220
Purwakarta pada tanggal 17 Oktober 2006, dimana pada saat itu terpilih H. Eman Sulaeman, S.Pd. sebagai ketuanya. Sejak saat itu banyak perajin yang sudah lama vakum seolah bangkit kembali semangatnya, bahkan banyak perajin muda yang kemudian mendirikan unit-unit usaha baru.
Gambar 3. Kegiatan Rencana Aksi Pokja Klaster Keramik Plered tahun 2007 (Sumber : Deni Yana, 2007)
Hingga tahun 2008 di sentra industri kerajinan keramik Plered walaupun dari segi jumlah perajin mengalami penurunan akan tetapi dari segi jumlah unit usaha justru mengalami kenaikan. Berdasarkan catatan Pokja Klaster Keramik Plered pada tahun 2008 jumlah anggota Klaster Keramik Plered terdiri dari 284 unit usaha yang mempekerjakan sekitar 1.410 perajin keramik hias yang cukup terampil.
Gambar 4. Suasana Kegiatan Pelatihan Pokja Klaster Keramik Plered tahun 2010 (Sumber : Deni Yana, 2007)
Terbentuknya Pokja Klaster Keramik Plered membantu pengembangan baik yang dilakukan lembaga-lembaga pemerintah maupun perguruan tinggi menjadi lebih mudah dan fokus. Berikut adalah kegiatan-kegiatan pengembangan kerajinan keramik Plered dalam aspek teknologi, desain, mutu dan manajemen dalam 5 tahun terakhir sejak terbentuknya Pokja Klaster Keramik Plered : • Pelatihan peningkatan teknik produksi & desain dalam rangka pengembangan klaster IKM kerajinan gerabah/keramik hias, diselenggarakan oleh Ditjen IKM Depperin Pusat, pada tahun 2007, 2008, 2009, 2010, 2011, 2012.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 221
•
Klinik Desain dan Diversifikasi Produk kepada 20 unit usaha selama 20 hari kerja yang difasilitasi oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat bekerjasama dengan Perguruan Tinggi ( Tim Hi Link FSRD ITB) sebagai pelaksananya pada tahun 2008. • Penelitian, pengujian dan penerapan / pelatihan kepada 20 unit usaha pengolah bahan baku keramik yang difasilitasi oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat bekerjasama dengan Balai Besar Keramik (BBK) sebagai pelaksananya pada 2008. • Pengembangan penyiapan bahan baku yang terstandardisasi yang difasilitasi oleh Balai Besar Keramik (BBK) pada tahun 2008. • Pelatihan Keramik Reguler (Teknik Putar), diselenggarakan oleh Disperindag Kab. Purwakarta pada tahun 2008. • Pelatihan Desain Dan Diversifikasi Keramik Hias di Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat pada tahun 2009. • Pelatihan Peningkatan Teknologi, Mutu dan Desain Produk Kerajinan Gerabah/Keramik Hias” Dalam Rangka Pengembangan IKM Kerajinan melalui One Village One Product (OVOP) ) pada tahun 2009, 2010, 2011. • Pendampingan Tenaga Ahli Dalam Rangka Pengembangan IKM Kerajinan melalui One Village One Product (OVOP) pada tahun 2009, 2010, 2011. Sementara untuk kegiatan promosi dan pengembangan pasar dalam bentuk pameran baik di dalam maupun luar negeri yang biasanya diwakili oleh ketua Klaster Keramik Plered yakni H.Eman Sulaeman, S.Pd. dengan unit usahanya adalah sebagai berikut : • Pameran Tendence Life Style, Frankfurt, Jerman, 2007 • Pameran Produk Ekspor, Jakarta, 2007, 2008, 2009, 2010, 2011, 2012 • Pameran Ambiente, Frankfurt – Jerman, 2009, 2010, 2011 • Pameran Produk Kreatif Indonesia (PPKI), 2009, 2010, 2011 • ICRA, 2007, 2008, 2009, 2010, 2012 Dampak lansung dari kegiatan-kegiatan pelatihan tersebut diatas adalah meningkatnya wawasan dan keterampilan perajin dalam aspek produksi dan kualitas produk, sementara dalam desain dan diversifikasi produk masih memiliki banyak kelemahan. Adapun dengan adanya kegiatan-kegiatan pameran baik di dalam maupun luar negeri perajin dapat mengetahui standar pasar baik lokal maupun internasional serta berkesempatan langsung bertemu dengan para konsumen (buyer) keramik Plered lokal dan mancanegara dengan kebutuhan yang beragam. Masalah yang muncul adalah bahwa banyak konsumen lokal atau buyer mancanegara yang membutuhkan produk kerajinan keramik hias yang tidak biasa dibuat oleh perajin dan membutuhkan jenis produk yang khusus (customize) serta memiliki kekhasan lokal yang kuat dalam rangka membangun kesadaran akan warisan budaya tradisi dan jati diri.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 222
Gambar 5. Stand Pokja Klaster Keramik Plered pada Pameran Produk Ekspor (PPE) tahun 2009Sumber : Deni Yana, 2009)
H. Eman Sulaeman, S.Pd. selaku ketua Pokja mewakili perajin keramik Plered mengungkapkan bahwa saat ini masalah utama mereka yang harus menjadi prioritas untuk dicari solusinya adalah membuat jenis produk baru sebagai upaya diversifikasi terhadap produk yang telah ada, yang memiliki kekhasan daerah yang kuat untuk pangsa pasar yang baru yaitu hotel dan restoran serta tempat tinggal milik kalangan kelas menengah keatas yang membutuhkan produk yang khusus (customize) berupa elemen estetis untuk bagian interiornya. Dengan demikian maka kegiatan program Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) ini ditujukan untuk mengatasi masalah tersebut diatas dengan judul “Pembuatan Elemen Estetik untuk Interior dengan Thema Cerita Rakyat Jawa Barat Sebagai Upaya Pengembangan dan Penguatan Identitas Lokal pada Produk Kerajinan Keramik Plered Kabupaten Purwakarta”. Setelah mengikuti program ini perajin memiliki pengetahuan dan kemampuan membuat jenis produk baru berupa elemen estetis untuk interior dengan inspirasi dan thema dari cerita rakyat lokal daerah Jawa Barat sehingga segmen pasarnya menjadi lebih luas.
PEMBAHASAN Hasil dari kegiatan PKM ini berupa 5 set produk elemen estetik berupa relief dengan ukuran dan judul yang berbeda. Tiga set produk dengan ukuran yang besar yakni 200 x 100 cm yang berjudul Nyi Roro Kidul dan Lutung Kasarung yang berukuran 100 x 100 cm serta 100 x 50 cm dengan judul Sangkuriang akan di tempatkan di ruangan yang cukup besar atau di ruang publik pada hotel dan restoran. Sementara untuk ukuran yang relatif kecil yakni 10 x 30 cm, 50 x 25 yang berjudul Nyi Pohaci dan Dayeuh Luhur akan di gunakan sebagai hiasan dinding pada hotel dan restoran selain dapat juga digunakan untuk cindera mata.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 223
Gambar 6. Nyi Pohaci, 10 x 30 cm. (Sumber : Deni Yana, 2013)
Gambar 7-8. Dayeuh Manggung, 50 x 25 cm. (Sumber : Deni Yana, 2013)
Gambar 9-10. Sangkuriang, 100 x 50 cm. (Sumber : Deni Yana, 2013)
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 224
Gambar 11-12. Lutung Kasarung, 100 x 100 cm. (Sumber : Deni Yana, 2013)
Gambar. 13-14 Nyi Roro Kidul, 200 x 100 cm. (Sumber : Deni Yana, 2013)
PENUTUP Dalam kurun waktu enam tahun terakhir sejak tahun 2007, setelah banyak kegiatan pameran dan pelatihan secara kontinue diikuti oleh para perajin keramik hias Plered melalui wadah organisasi Pokja Klaster Keramik Plered, telah memberikan kesadaran dan peluang serta tantangan baru buat mereka. Produk keramik hias yang mereka buat selama ini ternyata masih perlu banyak upaya pengembangan untuk memenuhi kebutuhan pasar yang sangat luas dan beragam kebutuhannya. Jika selama ini produk kerajinan keramik hias Plered hanya identik dengan produk gerabah tradisional dan keramik hias dengan harga yang sangat murah untuk pasar kalangan menengah kebawah seperti celengan, kendi, vas, dll., kini perajin keramik hias Plered dituntut untuk bisa memenuhi kebutuhan konsumen dan pasar yang baru yakni kalangan menengah keatas, eksportir serta hotel dan restoran juga perkantoran yang menuntut produk lebih baik secara kualitas maupun kuantitas tanpa kehilangan identitas. Hotel dan restoran serta perkantoran khususnya yang ada di Jawa Barat merupakan pengguna produk kerajinan keramik hias Plered yang sangat potensial. Segala kebutuhan hotel dan perkantoran dari mulai pot hingga asbak masih dapat dipenuhi oleh para perajin keramik
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 225
Plered. Akan tetapi untuk produk hias seperti elemen estetis untuk interior yang lebih khusus belum dapat dipenuhi oleh para perajin keramik hias Plered hingga saat ini. Identitas dan ciri khas lokal suatu daerah dapat dimuncukan dengan banyak cara dan media. Salahsatunya dalam produk kerajinan keramik hias. Cerita rakyat merupakan salah satu budaya tradisi yang dapat menjadi inspirasi dalam pembuatan produk keramik hias dalam bentuk relief untuk elemen interior. Maka relif dengan tema cerita rakyat Jawa Barat seperti Sangkuriang, Lutung Kasarung, Nyi Roro Kidul, Dayeuh Manggung dan Nyi Pohaci dapat menjadi produk relief yang memiliki jati diri yang sangat dibutuhkan oleh hotel dan restoran serta perkantoran yang ingin memunculkan identitas lokal Jawa Barat. Pemahaman mengenai budaya tradisi, kesadaran akan identitas lokal dan bagaimana metode untuk melakukan diversifikasi produk telah disampaikan dalam kegiatan PKM ini. Semoga kegiatan PKM ini bisa terus dilakukan secara kontinue agar terbangun hubungan timbal balik yang sehat antara pihak industri dan kalangan perguruan tinggi. DAFTAR PUSTAKA Sidarto, 1983. Keramik Plered, Skripsi, ITB Susanto, Mikke. 2011, Diksi Rupa, Dicti Art Lab Yogyakarta and Jagad Art Space Bali. Dokumentasi dan Data UPTD Litbang Keramik Plered Diskoperindag Kabupaten Purwakarta Tahun 2005 Dokumentasi dan Data Pokja Klaster Keramik Plered Tahun 2006- 2013 Dokumentasi Kantor Kepala Desa Anjun Kecamatan Plered Kabupaten Purwakarta Dokumentasi dan Catatan Lapangan Deni Yana Tahun 2006- 2013
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 226
LAGU KAULINAN BARUDAK INSPIRASI KREATIF PENATAAN TARI Risyani
ABSTRAK Kaulinan barudak, berpeluang dijadikan sumber penataan tari bagi anak-anak usia taman kanak-kanak, yang bermanfaat sebagai bagian dari Improvement Parenting Program. Melalui proses pengenalan, eksplorasi, penyusunan, dan penyajian, PKM ini bertujuan membuka imajinasi dan kreativitas para guru menata tari untuk diajarkan kepada murid-murid. Kata Kunci: Kaulinan Barudak, Improvement Parenting Program PENDAHULUAN. Irama musik “Rineka Kaulinan Barudak Mapag Layung” produksi Hidayat tahun 1998 dengan penyanyi Neneng Fitri, dijadikan acuan penataan gerak tari kaulinan barudak bagi siswa taman kanak-kanak Bunda Asuh Nanda. Lagu-lagu yang dibawakan mencerminkan keceriaan anak-anak bermain sambil bernyanyi-nyanyi, sebagaimana kebiasaan anak-anak menurut Ma’mur Danasasmita dalam bukunya Wacana Bahasa dan Sastra Sunda Lama bahwa: Anak-anak sering bermain sendiri-sendiri ataupun bersama teman-temannya. Mereka lakukan di dalam rumah, di halaman, di tempat lapang, di sawah dan di ladang. Sambil bermain itu pula mereka melapalkan lirik atau puisi tertentu. Melalui keterampilan itulah mereka melatih ketangkasan, keterampilan fisik, dan kemahiran berbahasa dan berlagu. Dan dengan cara demikian anak-anak belajar bergaul bekerjasama atau bermasyarakat (2001: 263). Zaini (2006: 45), mengutip pendapat Piaget dan Inhelder (1969) yang mengidentifikasi bahwa permainan memiliki fungsi sebagai sarana melatih perkembangan kognitif, antara lain: Bermain praktis, yaitu mengeksplorasi semua kemungkinan suatu materi, contohnya anak mencium dan meraba. Bermain simbolik, yaitu mulai menggunakan makna simbolis benda-benda. Bermain dengan aturan, yaitu anak mulai menggunakan aturan (rules) termasuk aturan yang mereka buat sendiri. Sejalan dengan rencana pelatihan dan mempertimbangkan tingkat emosi anak bahwa permainan sur-ser, paciwit-ciwit lutung, dan cingciripit termasuk kategori bermain praktis. Oray-orayan dan tokecang dapat dikategorikan dengan bermain dengan aturan. Hubungannya dengan pengertian relasi, bahwa permainan di atas memang dilakukan oleh beberapa orang anak, bisa anak dengan anak dan bisa juga antara anak dengan orang tua. Bunda Anna pimpinan PAUD- Taman Kanak-Kanak Bunda Asuh Nanda, merencanakan permainan anak tingkat toodler dan TK A, akan melibatkan para orang tua, sehingga kegiatan ini dapat disebut sebagai Improvement Parenting Program. Lebih jauh Bunda Anna menilai bahwa kegiatan ini akan menumbuhkan kecerdasan visual-spasial anak (wawancara di Bandung, 11 September 2013). Sejalan dengannya yaitu Lwin May dkk. dalam bukunya How to Multiply Your Child’s Intelegence, Cara Mengembangkan Berbagai Komponen Kecerdasan (2005) menyebut, ada tujuh kecerdasan yang dapat dikembangkan pada anak, yakni kecerdasan linguistik-verbal,
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 227
kecerdasan matematis-logis, kecerdasan kinestetik, kecerdasan ritmik-musikal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan interpersonal, dan kecerdasan visual-spasial. PEMBAHASAN Sebenarnya permainan tradisional anak-anak di daerah Sunda memenuhi konsep di atas serta memiliki kekuatan pendidikan karakter dan nilai-nilai filosofis. Salah satunya permainan oray-orayan, bahwa masyarakat Sunda sudah menanamkan budaya antri kepada anak-anak, selain membangun rasa kinestetis, ritmis, dan memahami bentuk visual serta aturan-aturan. Sal Murgiyanto, dalam “Seni Menata Tari” diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jakarta yang disadur dari judul asli The Art of Making Dances karya Doris Humphrey menyebutkan bahwa: Pendidikan karakter tidak hanya dapat dilihat dari sisi visualnya saja, akan tetapi dapat juga disimak dari lirik atau bahasa verbalnya, sebagai berikut: Bahasa tari adalah gerak, akan tetapi ada berbagai cara penggunaan kata di dalam tari. Misalnya, “narrator” yang bertugas sebagai penutur cerita serta memberikan kuncikunci tertentu bagi penari; ada kata-kata yang didendangkan atau dinyanyikan oleh para penyanyi pengiring, atau bahkan oleh penari sendiri yang dapat berupa dialog yang dilakukan sambil menari; permainan kata yang digunakan sebagai klimaks pada suatu bagian tari, sebagai titik perangsang, atau sekedar sebagai penguat alur dramatik. (1983: 150). Sekaitan dengan itu, maka pelaksanaan pelatihan berorientasi kepada membuka peluang kreativitas guru-guru di dalam menata dan melatihkan tari serta nyanyian kepada murid taman kanak-kanak berdasarkan rangsang dengar Rineka Kaulinan Barudak Mapag Layung tersebut di atas. Diberikan kebebasan kepada para guru dalam mencari, menemukan, dan menata motifmotif gerak tari sesuai keinginan dan kebutuhannya untuk peserta didik usia taman kanakkanak. Hal ini dilakukan agar imajinasi dan kreativitas para guru tersalurkan dengan bebas dan tanpa paksaan. Sehubungan dengan hal itu, materi pembelajaran mengarah kepada persoalan kreativitas yang dikaitkan dengan kecerdasan linguistik-verbal, matematis-logis, ritmik-musikal, intrapersonal, interpersonal, dan spasial-visual. Melalui empat tahap strategi pembelajaran yakni pengenalan, eksplorasi, penyusunan, dan penyajian. Pada tahap pengenalan, kreativitas guru dibuka melalui rangsang dengar dan melalui contoh-contoh gerak yang bisa menstimulus rangsang raba, rangsang rasa, rangsang dengar, dan rangsang gerak anak didik di antaranya: ngorondang (merangkak), ajeg, dengdek (mengolah kepala), bertepuk tangan, tokecang, dan engklek, seperti gambar sikap tubuh berikut
Gb. 1. Beberapa sikap tubuh yang ditawarkan kepada guru- guru sebagai acuan di dalam menata tarian (Peraga Lusianti dan Citra Ayuni. Fotografer: Cahyadi Dewanto. Dok. Pribadi)
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 228
Tahapp ini sekaliguus merupakann praktik lanngsung mengoolah tenaga, ruang, r dan waktu, w yyang diungkaapkan melaluii gerak kepalaa, tangan, baddan, dan kaki.. Sebagaiman na diketahui bahwa b h hakikat menaari adalah mennggerakkan kesinambunga k an gerak kepaala, gerak baddan, gerak tanngan, d gerak kaaki pada sebbuah ruang, waktu, dan w dan tenaga. t Gerakk yang dibaw wakan diharaapkan m membangun h harmonisasi d dinamikaa gerak secaraa utuh. dan P Pada tahap eksplorasi, e terrjadi proses eediting Lagu Rineka Kaulinan Baruda ak Mapag Laayung t terhadap durrasi waktu dan d lirik laguu yang diang ggap kurang cocok bagi anak-anak. Pada a akhirnya, Bu unda Anna melakukan m pennggabungan menjadi sebuuah Medleyy (rangkaian lagu) y yaitu: Overtu ure, Ulin di Buruan, Oray--orayan, dan lagu Tokecaang dalam duaa (2) versi, deengan t tujuan agar gu uru dapat mem milih sesuai kkebutuhan dan n kenyamanaan masing-maasing.
Gb.22. Eksplorasi ggerakan tari diiringi lagu Tokecangg dilakukan guru-guuru semua unit TK Buunda Asuh Nanda (foto: dok. pribadi 27 Septembber 2013)
Tati Juati J kepala sekolah s unit Ujungberung U Indah mendaapat tugas meenyusun geraak tari ddisertai keterrangan atau istilah gerak. Karya Tati Juati J ditranssformasikan kepada k anak didik d dalam bentukk gerak dan lagu, l artinya anak-anak menari m sambil menyanyikan n lirik lagu sesuai s d dengan bunyii rekaman.
Gb. 3.Bunda 3 Hanifaah melatih anak-anak meelakukan gerak taari geser ukel kkanan/kiri (foto: dookumentasi prribadi 21 Oktoberr 2013)
P Prosiding P Penelitian daan Pengabdian Kepada Masyarakaat (PKM)
Halaman ~ 229
Gb.4. dan Gb. G 5. Anak-anak berlatih gerakk tari hahaha, hihihi h dengan irringan lagu Ullin di buruan dan gerak lontanng gan lagu Oray--orayan di halaaman TK Bundda Asuh Nandaa Ujungberung Indah (foto: dok. d dengan iring priibadi 21 Oktobber 2013)
Penattaan busana dilakukan d oleeh Hanifah Sa’adah. S Untuuk penari lakii-laki yaitu ccelana ppanjang warn na hitam dan baju merah disertai juba ah panjang m merah personiifikasi ular (ooray), s serta ikat keppala merah. Sedangkan uuntuk penari perempuan yyaitu kebaya merah dipaddukan d dengan rok pendek p batik dasar putih motif “kemb bang kantil” dengan pita merah mengghiasi r rambutnya. Dengan D catattan bahwa, kostum k tari memiliki m perran sebagai ciri atau pennanda t terhadap ben ntuk tari. Koostum tari haarus pula dissesuikan denngan tingkat emosi anak--anak s sehingga dapat memberikaan kenyamanaan, keamanan n, dan bagian dari pendidik kan karakter. T Tahap penyajjian, diselenggarakan di Gedung Museuum Konferenssi Asia Afrikaa (MKAA) deengan d dihadiri oleh 120 orang guru g HIMPAU UDI Kecamaatan Ciomas K Kabupaten Bogor B yang seedang m melakukan Sttudi Bandingg ke TK Bundda Asuh Nand da, serta dilipput dan disiarrkan nasionall oleh s stasiun televiisi TVRI padda tanggal 23 Oktober 20113 pukul 17.000 WIB dalaam program B Berita J Jawa Barat. Gb.6.Penari perempuan: Rezfia, Arrsya, Agni, S Shovy, Najmaa, Yasmin meelakukan geraak geser ukell kiri dan peenari laki-lakii: Rasya, Ajrril, Ryas, Arria, dan Gaiis dalam sik kap tubuh meelakukan geraak oray-orayann ditemani Bu unda Haniffah Sa’adah h. (foto: dook.pribadi, 23 O Oktober 2013)
P n Kanak-Kanak Bunda Assuh Nanda biisa menjadi pionir p Harappan bahwa PAUD-Taman bbagi sekolah--sekolah sejennis dalam akktivitas menatta dan melatiih tarian, telaah dibuktikann oleh B Bunda Anna pada p sesi pelaatihan yang diikuti d semua tamu.
P Prosiding P Penelitian daan Pengabdian Kepada Masyarakaat (PKM)
Halaman ~ 230
Gb.7. Tampak tanggan salah seoranng tamu melakkukan gerak tarri geser ukel kaanan p pada sesi pelatiihan yang diikuuti oleh semuaa tamu. (foto: dook. pribadi, 23 Oktober O 2013)
P PENUTUP Kesann yang didap pat dari kerjaasama dengan n Bunda Asuuh Nanda yaiitu: BERPRO OSES, HIRUP, DIN H NAMIS. Yangg sangat diharrapkan dari prrogram pengaabdian, bukan n sekedar mem mberi m materi tetapi saling membberi dan menggisi apa yang dibutuhkan m masyarakat sttake holder. Itulah I t tantangan sek kaligus tugass lembaga di dalam menjaalankan perannnya sebagaii pengabdi keepada m masyarakat.
DA AFTAR PUS STAKA L Lwin May dk kk. 2005. How w to Multiply Your Child’s Intelegence, Cara Mengembangkan Beerbagai Kompponen Kecerd dasan. Jakartaa:PT Indeks Kelom mpok Gramediia. Ma’mur Danaasasmita. 20001. Wacana B M Bahasa dan Sa astra Sunda L Lama. Bandunng:STSI Press S Murgiyannto.1983. Senni Menata Taari. Dewan Kesenian Sal K Jakaarta. Judul aslli yang The Art A of Making g Dances karyya Doris Hum mphrey Mohamad Zaini M Z Alif. 2006. “Kajian Mainan di Masyaarakat Sundaa”. Tesis. Tidak T diterbittkan. Bandunng: Institut Teknologi Banddung.
P Prosiding P Penelitian daan Pengabdian Kepada Masyarakaat (PKM)
Halaman ~ 231
PELATIHAN TARI DAN GAMELAN DASAR TARI DI SANGGAR GOSALI KECAMATAN JATIWANGI KABUPATEN MAJALENGKA Lina Marliana, Ella Nurlaela Ningsih, Yayat Hidayat ABSTRAK Salah satu upaya dalam merealisasikan program Tri darma Perguruan Tinggi yakni program Pengabdian pada Masyarakat (PpM), dilakukan juga oleh para dosen STSI Bandung. Lokasi PpM yang menjadi tempat pelatihan adalah merupakan lokasi yang sudah menjadi salah satu binaan kesenian sejak tahun 2010-2013 yakni sebuah sanggar seni Gosali Kacamatan Jatiwangi Kabupaten Majalengka. Materi yang dilaksanakan yaitu Pelatihan, Pembinaan, Penataran dan sebagainya. Pelaksanaan pelatihan dilaksanakan pada pagi hari dari jam 09.00 s/d 13.00, sore hari pukul 18.30 s/d 21.30 WIB. Hasil akhir pelatihan dari peserta bisa ditampilkan di atas pentas. Kata kunci: Pengabdian pada Masyarakat, Sanggar Seni Gosali, Peserta PpM PENDAHULUAN Salah satu upaya dalam merealisasikan program Tri darma Perguruan Tinggi yakni program Pengabdian pada Masyarakat (PpM), yang pada dasarnya merupakan salah satu tugas pokok perguruan tinggi dalam hal ini dosen yang semestinya memberikan sebuah pelayanan kepada masyarakat. STSI Bandung merupakan salah satu Lembaga Perguruan Tinggi Seni yang berada di Jawa Barat yang berkewajiban membina masyarakat dalam hal ini yang berhubungan dengan masalah kesenian. Lebih jauh lagi masyarakat harus dijadikan mitra selain instansiinstansi pemerintahan dan swasta dalam upaya meningkatkan kredibilitas dari kesenian tradisi. Kami sebagai Tenaga Fungsional Akademik (TFA) di Jurusan Tari berkewajiban untuk melaksanakan Pengabdian pada Masyarakat (PpM). Adapun lokasi PpM yang menjadi tempat pelatihan adalah merupakan lokasi yang sudah menjadi salah satu binaan kesenian sejak tahun 2010-2013 yakni sebuah sanggar seni Gosali Kacamatan Jatiwangi Kabupaten Majalengka Alasan dalam pemilihan lokasi PpM karena merupakan salah satu sanggar yang memiliki potensi kesenian serta sarana dan prasarana yang pantas dipakai sebagai tempat pelatihan kesenian karena ditunjang juga dengan adanya sebuah pelataran untuk pertunjukan serta alatalat lainnya seperti adanya gamelan yang mendukung untuk kelancaran pelatihan maupun pertunjukan, disisi lain antusias masyarakat pendukung kesenian maupun kegiatan yang berhubungan dengan keterampilan lainnya seperti , belajar tata rias untuk menari maupun untuk sehari-hari dan membuat pola busana, baik untuk kepentingan secara personal maupun untuk membuat busana tari sehingga menimbulkan adanya suatu keinginan dari pihak masyarakat yang didukung oleh pihak pengelola setempat untuk mengadakan atau mempergelarkan kesenian yang para pesertanya selain murid-murid sekolah dengan ibu gurunya serta ibu-ibu masyarakat yang mengikuti kegiatan selama pelatihan. Adanya program PpM untuk para TFA yang diselenggarakan oleh PUSLITMAS STSI Bandung, merupakan salah satu terobosan dari lembaga untuk melestarikan kesenian tradisi, menggali potensi SDM di masyarakat.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 232
PEMBAHASAN 1. Bentuk Dan Materi Kegiatan Program Pengabdian Masyarakat (PpM) yang dilaksanakan oleh TFA STSI Bandung, dapat dilakukan dalam beberapa bentuk kegiatan, diantaranya Pelatihan, Pembinaan, Penataran dan sebagainya. Sesuai dengan permintaan dari lapangan, dalam hal ini Sanggar seni Gosali di Kecamatan Jatiwangi Kabupaten Majalengka merupakan salah satu desa binaan meminta program PpM yang dilaksanakan pada kesempatan ini berbentuk pelatihan berbagai ragam tidak hanya kesenian saja.. Adapun motonya untuk memperkenalkan dan sekaligus meningkatkan keterampilan para siswa dalam bidang kesenian tradisi khususnya tari, serta untuk menanamkan rasa mencintai dan memiliki terhadap budaya Sunda. Bentuk pelatihan ini melibatkan guru-guru serta siswa-siswa SD, SMP, dan ibu-ibu rumah tangga masyarakat sekitar Kabupaten Majalengka, dan materinya terdiri dari senam tari,tari metik teh, tari ratu graeni dan gamelan dasar tari. Misi yang di emban oleh lembaga STSI Bandung yaitu untuk lebih memasyarakatkan kesenian tradisi Sunda kepada masyarakat khususnya siswa SD dan SMP, karena sementara ini kesenian tradisi Sunda lebih tersisihkan oleh kesenian dari luar. Tujuan lainnya untuk menumbuhkan daya apresiasi anak-anak juga masyarakat terhadap kesenian tradisi, sementara ini jarang sekali anak-anak juga masyarakat menonton suguhan kesenian yang berbau tradisi. Dengan adanya pelatihan kesenian tradisi ini sebetulnya masyarakat sangat mengharapkan dan sangat menunggu karena adanya suatu kerinduan terhadap adanya kesenian tradisi Sunda, karena sementara ini setiap suguhan kesenian lebih cenderung kepada kesenian sepeti disco, hiphop, dangdut. Dengan antusiasnya anak-anak utntuk belajar kesenian Sunda sebetulnya suatu kegembiraan juga kebanggaan khususnya bagi pelatih karena dalam situasi yang serba modern ada yang masih peduli terhadap tradisinya. 2. Sasaran Sasaran kegiatan PpM ini pihak lembaga mengharapkan terselenggaranya kegiatan PpM secara berkesinambungan, adanya jalinan yang terbina antara lembaga STSI Bandung dengan pemerintah daerah juga masyarakat. Dengan adanya jalinan kerjasama ini diharapkan untuk meningkatkan wawasan serta keterampilan masyarakat terhadap kesenian tradisi. Lingkungan masyarakat setempat sebetulnya mengharapkan banyak dengan adanya PpM seperti ini, masuknya program PpM ini merupakan hal yang menggembirakan bagi pihak sekolah maupun masyarakat, karena selama ini yang dilibatkan dalam pertunjukan terbatas pada anak-anak sekolah saja. 3. Waktu Pelaksanaan Dengan disetujuinya penulis menyelenggarakan program PpM di Sanggar Gosali Kabupaten Majalengka, maka disini penulis mencoba merancang program pelatihan yang disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Ternyata bahwa pelaksanaan latihan dilaksanakan pada pagi hari dan malam hari habis waktu shalat maghrib karena peserta kebanyakannya ibu-ibu rumah tangga. Dari hasil kesepakatan maka proses latihan dilaksanakan pada pagi hari dari jam 09.00 s/d 13.00, sore hari pukul 18.30 s/d 21.30 WIB. Pelaksanaan kegiatan PpM ini tidak seluruhnya sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat dan dirancang sedemikian rupa sesuai dengan proposal terutama mengenai sasaran dan materi. Adanya perubahan-perubahan yang dilakukan dilapangan bukan semata-mata tidak konsisten pada program, akan tetapi hal itu untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 233
yang ditemukan di lapangan. Paling terpenting adalah perubahan tersebut tidak menggangu jalannya pelaksanaan kegiatan sesuai dengan target baru dibuat setelah adanya perubahan, Perubahan ini dilakukan sesuai dengan kebutuhan yang paling mendesak dilapangan dan bahkan diyakini lebih bermanfaat dan lebih dibutuhkan. Pada pertemuan pertama diawali dengan pendataan para peserta baik siswa sekolah maupun ibu-ibu rumah tangga dan masyarakat sekitar yang hadir pada saat itu, sambil menjelaskan tentang program kegiatan yang akan dilaksanakan, selain itu dijelaskan pula maksud dan tujuan kedatangan para dosen STSI Bandung sampai ke Sanggar Gosali Kabupaten Majalengka. Berdasarkan hasil dialog antara para pelatih dan peserta, ternyata mendapat sambutan yang baik atas kegiatan yang akan dilaksanakan tersebut. a. b. c. d. e.
Strategi dalam menyampaikan materi pelatihan tari , diantaranya : Memberi contoh gerakan tangan; Teknik gerak memakai soder ; Sikap dan gerak kaki melangkah; Teknik gerak untuk kepala gilek dan godeg; Dan memberikan contoh menabuh gamelan dasar yang benar.
Hasil akhir pelatihan dari ibu-ibu guru PAUD bisa ditampilkan di atas pentas dan hasil binaan guru terhadap murid-muridnya dengan gaya yang lucu-lucu. Bahkan mereka tampil dengan rias yang cantik-cantik yang semula mereka malu –malu ternyata setelah naik pentas timbul keberaniannya. Dari hasil pertunjukan seperti tersebut diharapkan tumbuh minat terutama dari anak-anak muda yang ingin mengembangkan ilmunya tidak hanya sebagai penari saja akan tetapi ada khusus pembuat busana tari untuk masyarakat kedepannya dengan masyarakat yang kreativitasnya sangat menunjang akan keberadaan sebagai desanya. PENUTUP Berpijak dari paparan tersebut di atas, sebagai suatu upaya yang sangat positive apabila kegiatan PpM Dosen ini ditindak lanjuti guna menjalin kerjasama antara STSI Bandung dengan pihak DIKNAS dan DISDIK. Masyarakat tidak cukup dibekali hanya dengan bentuk kesenian saja, akan tetapi masyarakat sangat mengharapkan kegiatan keterampilan lainnya bisa diterapkan dalam memberdayakan keberadaan suasana lingkungan setempat, yang memungkinkan desa tersebut menjadi kaya akan kreativitas dari hasil SDM nya. PpM Dosen STSI Bandung, sangat diharapkan oleh masyarakat Kecamatan Jatiwangi dengan waktu yang agak lama. Namun program PpM memang hanya memiliki waktu terbatas sejalan dengan target pelaporan dan kelazimannya. Karena itu pelatihan ini dapat dijalankan terus melalui program ”pengkaderan”, di mana dosen yang melakukan PpM bertindak sebagai motivator. DAFTAR PUSTAKA Synnott, Anthony, 2003. Tubuh Sosial ; Simbolisme,diri, dan Masyarakat. JALURSUTRA Yogyakarta.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 234
Johan Huizinga, 1990, Homo ludens: LP3 ES Jakarta Deddy Mulyana. 1996, Human Comumunication: Prinsip-Prinsip Dasar. PT REMAJA ROSDAKARYA. Bandung. Sapardi Joko Darmono, 2012, Alih Wahana. Editum Jakarta. Ichsan S Putra, Ariyanti Pratiwi, 2005, Sukses dengan Soft Skills, Direktorat Pendidikan ITB.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)
Halaman ~ 235