edisi - 32
Pendidikan Yang Melahirkan Pelayan Mencari Pemimpin Bervisi Kerakyatan Pemimpin Yang Melayani Jokowi-Ahok Bukan Penggebrak Mencari Presiden Idaman Edisi 32 - Oktober 2013
editorial
MENJEJAKKAN
D
SERVANT LEADERSHIP DI TANAH MERAH PUTIH
alam sebuah pranata sosial yang demokratis, terkenal sebuah ungkapan bahwa pemimpin adalah cermin dari masyarakat yang dipimpinnya. Ketika ia menjadi seorang pemimpin yang amanah, bekerja keras, dan jujur, maka masyarakat yang dipimpinnya juga berkarakter amanah, kerja keras, dan jujur. Sayangnya, ungkapan ini dapat menjadi bumerang, ketika seorang pemimpin justru menjadi sosok yang arogan dan koruptif. Suka tidak suka, Indonesia menjadi korban model kepemimpinan yang arogan dan koruptif, sehingga tidak aneh lagi jika korupsi sudah dilekatkan sebagai bagian dari budaya Indonesia. Setelah rezim Orde Baru ditumbangkan di tahun 1998, kepemimpinan yang bobrok justru semakin merajalela di Indonesia. Sudah tak terhitung berapa banyak kepala daerah dan pejabat publik yang terjerat kasus korupsi. Anekdot satir mengungkapkan, korupsi di zaman Orde Baru hanya berlangsung di bawah meja; namun di periode pasca reformasi, meja juga turut dikorupsi oleh mereka yang mengaku sebagai pemimpin dan abdi negara. Bobroknya situasi saat ini bisa jadi disebabkan oleh ketidaksadaran pemimpin dalam menghayati dan menerapkan esensi dari kepemimpinan, yaitu sikap melayani. Sikap ini bisa dibilang adalah salah satu unsur terpenting dalam mengemban amanah masyarakat dan memegang jabatan publik. Inti dari sikap melayani bisa dilihat dari kebiasaan seseorang, khususnya dalam pelayanan publik. Pejabat publik acapkali memanfaatkan kekuasaan mereka dalam pelayanan publik untuk menguras kantong masyarakat dan menggemukkan pundi-pundi mereka pribadi. Sederhananya, kondisi ini bisa dilihat dari pelayanan publik yang paling umum dan sederhana; mengurus KTP. Janji-janji bahwa pengurusan KTP tidak memerlukan biaya, seringkali tidak dinyatakan dengan baik. Masyarakat di-“ping-pong” ke berbagai meja dan harus mengeluarkan kocek untuk pelayanan ini. “Maaf pak, pengurusan ini ada biaya administrasinya,” ujar pejabat publik yang mengurus KTP. Sedikit heran dan penasaran, pernyataan ini diikuti dengan pertanyaan, “Berapa ya pak?”. Entah ironis atau lucu, pertanyaan itu dijawab oleh si pejabat publik sekenanya saja, “Seikhlasnya bapak saja.”
2
Sungguh seperti dagelan. KTP yang seyogyanya adalah hak dari setiap warga negara, justru diperlakukan sebagai komoditi. Padahal kita tahu mereka ditempatkan dan dibayar untuk mengerjakan tugasnya. Memang, sekalipun seseorang dibayar, kalau ia tidak memiliki atau suka dengan tugas yang diemban, akan sulit sekali untuk menjadi pelayan dalam melaksanakan tugasnya. Di tengah berbagai pesimisme tentang kepemimpinan di Indonesia, masih ada secercah harapan melalui pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama. Duet yang berhasil memenangkan Pilkada Jakarta di tahun 2012 ini seakan mengembalikan kepercayaan masyarakat di tengah minimnya pemimpin yang beramanah dan bekerja keras. Terpaan kritik dan dinamika politik yang cukup tinggi, tak menyurutkan niat mereka berdua untuk terus bekerja melayani masyarakat dan menegakkan esensi dari kepemimpinan-melayani. Keberhasilan merelokasi pedagang kaki lima di Tanah Abang, penertiban permukiman liar di Danau Sunter, jaminan kesehatan, serta jaminan pendidikan, adalah segelintir keberhasilan duet ini dalam mengemban amanat masyarakat.
Edisi 32 - Oktober 2013
Kedua sosok pemimpin Jakarta ini memang tidak sempurna. Tetapi, paling tidak, masyarakat mulai memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi kepada pemimpin dan pejabat publik yang mereka pilih. Tak hanya itu, mereka juga menjadi inspirasi untuk lahirnya pemimpin-pemimpin generasi baru di Indonesia yang mengedepankan servant leadership untuk kepentingan publik. Fakta menarik yang perlu diketahui, sosok seperti Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta sesungguhnya tidak terlalu istimewa, mengingat masyarakat Indonesia memiliki akar budaya untuk melahirkan pemimpin yang tidak melulu berorientasi kekuasaan dan kekayaan material. Kita memiliki berbagai kearifan lokal yang memiliki esensi “bahwa hidup seseorang akan sangat berguna ketika ia bersedia melayani”. Kita bisa menjumpainya dalam budaya Jawa, Batak, Kalimantan, dan yang lainnya. Intinya, negara ini sebenarnya berkarakter “melayani”. Dengan modal kearifan lokal dan inspirasi dari pemimpin yang menerapkan servant leadership secara sungguh-sungguh, harapan untuk menghasilkan pemimpin yang bersedia melayani bukanlah mimpi di siang bolong.
Dua modal utama ini bisa menjadi langkah awal untuk mengurangi jumlah pejabat publik yang bermental sogok, sekedar menerapkan kebijakan, duduk di meja mewah dan menjadi penandatangan dokumen kontrak milyaran rupiah. Generasi muda harus menyadari bahwa servant leadership tidak melulu berkisar di jabatan publik. Tentunya, posisi pejabat publik adalah tolak ukur yang paling mudah untuk menilai kepemimpinan. Namun yang perlu diingat, servant leadership adalah persoalan aksi bukan posisi. Servant leadership bisa dimulai dan diterapkan dalam keluarga, kampus, hingga organisasi ekstrakurikuler. Pada akhirnya nanti, servant leadership akan menjadi kebiasaan yang kita bawa dalam bekerja, hingga mungkin salah satu dari kita mengemban amanat masyarakat sebagai pejabat publik. Tugas kita menggembalikan karakter “melayani” di negara ini, seperti semangat “gotong-royong” pada masa lalu. Ada nilai ‘saling melayani’ yang kuat didalamnya. Mari jejakkan Servant Leadership di Tanah Merah Putih!
Edisi 32 - Oktober 2013
Basar Daniel Tampubolon
3
pendidikan
PENDIDIKAN yang MELAHIRKAN
S
ejak kecil kita sudah dididik, baik oleh orang tua, guru di sekolah, dan juga tanpa sadar lingkungan turut andil dalam mendidik kita. Sebenarnya apa nilai utama dari mendidik? Yakni upaya untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban yang bermatabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan berbangsa. Lewat mendidik diharapkan dapat dihasilkan anak-anak bangsa yang memiliki karakter serta kepribadian yang baik. Sayangnya, pendidikan di Indonesia sekarang ini lebih mengarah kepada komersialisasi, yang berpotensi menimbulkan krisis moral terhadap anak bangsa. Anak-anak dituntut untuk bersekolah dengan baik sehingga kelak bisa mendapat pekerjaan yang layak. Penanaman nilai serta pembentukan karakter dan kepribadian pun kian terbengkalai, karena yang ditekankan adalah agar siswa kelak dapat pekerjaan yang bagus.
4
PELAYAN
Proses tidak lagi mendapat ruang yang banyak dalam pendidikan, tapi hasil menjadi hal yang urgent. Lulus ujian dan mendapatkan ijazah serta tempat bekerja yang baik menjadi tujuan utama. Berbagai cara dilakukan agar harapan itu bisa terwujud, baik dengan cara yang seharusnya maupun cara-cara yang tidak pantas. Dengan sistem pendidikan seperti ini, pendidikan tidak lagi mencetak siswa yang berkarakter, melainkan hanya ahli bekerja. Finlandia adalah negara dengan kualitas pendidikan terbaik di dunia berdasarkan urutan gabungan data hasil tes internasional, seperti tingkat kelulusan antara tahun 2006 sampai 2010 (laporan bbc). Pendidikan di Indonesia sangat berbeda dengan pendidikan di Finlandia. Jangan dibayangkan anak-anak Finlandia adalah anak-anak yang kutu buku, yang sehari bisa 15 jam belajar, yang tiap hari di sekolah diadakan ulangan dan diberikan pekerjaan rumah yang banyak oleh para guru. Justru yang terjadi adalah sebaliknya. Jika negara-negara lain percaya bahwa ujian dan evaluasi bagi siswa merupakan bagian yang sangat penting bagi kualitas pendidikan, Finlandia justru percaya bahwa ujian dan evaluasi itulah yang menghancurkan tujuan belajar siswa. Terlalu banyak ujian membuat pengajar cenderung mengajarkan kepada siswa untuk semata-mata lolos dari ujian dan berpaku pada hasil, bukan pada prosesnya. “Intelligence plus character that is the goal of true education” kutipan milik Martin Luther King Jr ini rasanya pantas untuk menggambarkan sistem pendidikan Finlandia. Siswa-siswi di Finlandia dididik untuk memiliki karakter yang kuat yang tidak menggunakan segala cara un
Edisi 32 - Oktober 2013
tuk mencapai tujuannya. Karakter seperti ini sudah dibentuk sejak dari awal mulai sekolah.
“Intelligence plus character that is the goal of true education”
Jika kita lihat di zaman sekarang, banyak pribadi yang semakin kehilangan karakter mereka. Banyak orang pintar yang salah dalam menggunakan kepintarannya. Banyak petinggi di negeri ini yang seakan-akan lupa asal mereka, seperti ungkapan kacang lupa kulit. Selain itu, banyak yang menghalalkan segala cara untuk mencapai puncak kekuasaan, mungkin seperti yang dulu mereka lakukan untuk mencapai hasil ujian yang baik. Tak sedikit juga yang ketika bergelimang harta dan jabatan yang tinggi merubah karakternya. Amat sedikit kita bisa temukan pemimpin yang melayani, pemimpin yang mendahulukan kepentingan rakyat dibanding kepentingan pribadi. Karakter seorang pemimpin yang melayani harusnya dapat ditanamkan sejak masih kecil bukan justru malah ditanamkan karakter pemimpin yang menghalalkan segala cara. Bagaimana dengan karakter kita masing-masing? Apakah karakter pemimpin yang melayani sudah ada dalam diri kita? Sumber: http://suaraguru.wordpress.com/2013/07/04/pendidikan-yang-takmendidik/ http://hendisuhendi2012.wordpress.com/2013/02/08/mengapa-finlandia-memiliki-sistem-pendidikan-terbaik-di-dunia/ http://40302241.siap-sekolah.com/2013/08/08/ayo-belajar-mengenalsistem-pendidikan-negara-finlandia-yang-unik/ Clara Stephanie
Edisi 32 - Oktober 2013
5
ekonomi
MENCARI
PEMIMPIN
BERVISI
M
encari pemimpin bukan perkara mudah. Terlebih pemimpin yang mampu mewujudkan tatanan masyarakat yang adil dan makmur bagi Indonesia. Jika dilihat dari hingar bingar tahun politik menyongsong pemilu 2014 nanti, kita seolah digiring untuk menemukan sosok pemimpin hanya berdasarkan citra semata. Jarang sekali publik disuguhkan sosok pemimpin yang punya jejak rekam mampu mengorganisir rakyat sehingga memahami apa permasalahan sebenarnya yang dihadapi bangsa ini. Watak pemimpin yang melayani tentu tak cukup diukur dari jumlah kemunculannya di berbagai media. Hal tersebut penting, karena ukurannya masih terbatas pada popularitas semata. Apa jadinya jika mahzab popularitas yang menjadi pegangan, bukan tidak mungkin para artis yang belum tentu memahami konsep dan persoalan yang akhirnya menjadi pilihan rakyat. Publik mesti memahami, urusan memilih pemimpin bukanlah urusan sepele, karena akan menentukan arah perjalanan bangsa. Di tangan nahkoda yang mahir dan tahu tujuan, maka perjalanan republik potensial menuju apa yang menjadi cita-cita Indonesia, sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila. Namun jika nahkodanya adalah orang yang gagal memahami arah, maka kapal akan berlayar menyimpang dari tujuan negara.
6
KERAKYATAN
Pemimpin yang layak menjadi nahkoda perahu bangsa Indonesia haruslah memiliki visi kerakyatan. Visi kerakyatan Indonesia sebenarnya sudah termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, pasal 33 UUD 1945 (asli) dan Undang-undang Pokok Agraria No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA 1960). Di dalam UUPA 1960 diatur bahwa agraria (sumber kekayaan alam) haruslah digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat bukan untuk kepentingan segelintir orang. Dalam pasal 1, ayat 1 UUPA 1960 menerangkan, “Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia”. Pada ayat 2, pasal 1 UUPA 1960, “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional“. Sejak Orde Baru hingga saat ini kita mesti mengakui bahwa negara telah menyimpang dari amanat konstitusi dengan tidak melaksanakan reforma agraria sesuai UUPA No 5 Tahun 1960. Pemerintah seakan mengaburkan inti
Edisi 32 - Oktober 2013
persoalan bangsa yang justru membangun ekonomi tanpa menempatkan reforma agraria sebagai basis pembangunan. Secara teoritik konsepsi reforma agraria adalah penataan ulang sistem dan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pengelolaan tanah dan sumber-sumber agraria lainnya secara menyeluruh dalam rangka mengakhiri ketimpangan agraria. Tujuan dari reforma agraria pada intinya mewujudkan keadilan agraria sebagai bagian dari keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sumber-sumber agraria yang ditata ulang tidak hanya tanah, tetapi semua bagian bumi yang memberi penghidupan bagi manusia, yakni bumi, air, udara, hutan, kebun, tambang, dan sebagainya. Bagi sebagian besar orang memang belum memahami, mengapa reforma agraria mutlak harus dilaksanakan. Karena selama Orde Baru, reforma agraria dianggap tabu untuk dibicarakan. Sehingga kesadaran kritis menjadi tumpul dan pengetahuan serta pemahaman reforma agraria belum dimiliki oleh sebagian besar masyarakat. Syarat reforma agraria yang sejati menuntut pengetahuan dan pemahaman akan reforma agraria dari seluruh rakyat. Sekali lagi, reforma agraria adalah agenda bangsa, yang harus didukung oleh seluruh rakyat dan menjadi komitmen politik siapapun yang berniat menjadi presiden Indonesia. Menjadi pemimpin bangsa yang sesungguhya, tak cukup dengan memainkan lips service semata. Pemimpin bukanlah sekedar pemadam kebakaran namun harus mampu mencegah kebakaran. Pemimpin juga harus memahami akar persoalan rakyat sehingga tidak lagi menggunakan kaca mata tambal sulam yang tak mengobati problema kerakyatan. Galih Andreanto
Edisi 32 - Oktober 2013
7
PEMIMPIN Yang
MELAYANI
budaya penyalahgunaan fungsi pemimpin yang seharusnya melayani masyarakatnya. Pelayanan seorang pemimpin bagi masyarakat harus dijiwai dengan kebudayaannya. Budaya asal akan mengajarkan pemahaman bagaimana sebuah kepemimpinan menciptakan harmonisasi dalam masyarakat. Budaya juga akan mengajarkan posisi seorang pemimpin berjiwa sosial yang tidak menimbulkan ketimpangan dalam masyarakat. Dalam budaya Batak dikenal dengan istilah Dalihan Na Tolu (Tungku Berkaki Tiga) yang bermakna ada tiga kedudukan fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama.
P
emimpin adalah faktor terpenting untuk mengarahkan tujuan berdirinya sebuah negara. Absennya pemimpin akan membuat negara tidak bisa mencapai segala tujuannya. Menurut Kartini Kartono (1994), pemimpin adalah pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan di satu bidang, sehingga dia mampu memengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi tercapainya tujuan bersama. Pemimpin bukanlah subjek yang bisa melakukan apapun semaunya, karena ia dibatasi oleh aturan dan kaidah kepemimpinan. Pemimpin adalah pusat pelaksanaan pencapaian tujuan, yang harus bisa mengerti tujuan dari orang yang dipimpinnya dan bisa mencuri hati mereka. Ibaratnya, pemimpin adalah pelayan yang harus melayani tuannya agar dihargai dan dihormati oleh orang yang dilayaninya itu. Joko Widodo, Gubernur Jakarta dan mantan Walikota Solo pernah mengatakan, seorang pemimpin harus lebih bersikap horizontal kepada masyarakat dan bawahannya daripada bersikap vertikal. Dengan kata lain, pemimpin harus bisa mendekati masyarakat dan membangun komunikasi yang sejajar. Seorang pemimpin juga harus bisa mendekati masalah dan mempelajarinya, bukan menjauhinya sehingga setiap permasalahan yang ada dapat terselesaikan dengan baik dan cepat. Sayangnya, banyak pemimpin saat ini kurang mengerti terhadap permasalahan yang ada di masyarakat, karena masih kentalnya sifat eksklusif yang menyebabkan kedekatan antara pemimpin dan masyarakat tidak terbentuk. Akhirnya, seorang pemimpin tidak bertahan lama dalam kepemimpinannya karena tidak adanya jalinan komunikasi yang baik antara pemimpin dengan yang dipimpin. Di Indonesia, budaya kepemimpinan jauh dari yang diharapkan. Banyak orang berlomba-lomba menjadi seorang pemimpin untuk merebut suatu kekuasaan, tetapi mereka tidak mengerti arti dan fungsi mereka sebagai pemimpin. Kehausan seseorang menjadi pemimpin yang ingin dihargai dan dihormati menyebabkan
8
Dalihan Na Tolu yang dipilih leluhur suku Batak sebagai falsafah hidup dalam tatanan kekerabatan antara sesama yang bersaudara, menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok. Dalihan Na Tolu ini juga memiliki nilai-nilai kehidupan yang sangat baik bahkan unik karena sifatnya yang saling mendukung satu sama lain dan di dalamnya terdapat tiga posisi penting kekerabatan bangsa Batak. Ketiga posisi penting yang dimaksud dalam bangsa Batak ini; yang pertama Hula-hula (keluarga pihak istri) yang posisinya di atas, yang kedua Sanina (saudara semarga) posisinya sejajar, dan yang ketiga Boru (saudara perempuan) yang posisinya di bawah. Ketiga posisi ini bukanlah kasta dalam bangsa Batak karena setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut, Ada saatnya menjadi Hula-hula, ada saatnya menempati posisi Sanina dan ada saatnya menjadi Boru. Dengan demikian Dalihan Na Tolu dalam bangsa Batak tidak memandang kedudukan seseorang berdasarkan pangkat, harta atau statusnya.
Edisi 32 - Oktober 2013
Seperti halnya budaya Batak tersebut, pemimpin di Indonesia harus bisa menjadikan dirinya bukanlah raja yang selalu dilayani oleh masyarakat, tetapi justru sebagai pelayan yang setia dan menyamaratakan dirinya dengan masyarakat. Indonesia rindu akan pemimpin-pemimpin yang bersedia melayani dan mau mendekatkan dirinya kepada masyarakat serta permasalahan. Generasi muda sebagai penerus bangsa Indonesia diharapkan lebih mengerti arti dan fungsi seorang pemimpin. Mempersiapkan diri melayani masyarakat dalam sebuah kepemimpinan. Melayani bukan hanya berarti memenuhi semua permintaan dan keinginan, tetapi menyerahkan dirinya sepenuhnya untuk dipakai sebagai panutan dan ikut andil dalam setiap permasalahan orang yang dipimpin. Untuk menanamkan sikap melayani, generasi muda harus terlebih dahulu memahami kebudayaannya masing-masing dan bagaimana dia memposisikan dirinya dalam kebudayaannya itu. Karena setiap kebudayaan di Indonesia mengandung rasa kekeluargaan dan sifat gotong-royong yang nantinya akan tertanam dalam diri para generasi muda. Dengan seperti itu, kehausan seseorang menjadi pemimpin supaya dihormati dan bebas melakukan kebijakan yang tidak sesuai dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat tidak terjadi lagi. Menanamkan budaya melayani bagi calon pemimpin adalah langkah yang bagus demi tercapainya tujuan bangsa Indonesia. Pemimpin dengan sikap melayani dan komunikasi yang baik kepada masyarakat, akan lebih dihargai dan dihormati oleh masyarakat serta kepemimpinannya akan bertahan lama, karena manusia akan menghargai orang yang menghargai dirinya. Arion Euodia Saragih
Edisi 32 - Oktober 2013
9
hukum
TEGAKKAN HUKUM
tanpa “TERIMA KASIH” “Ketika kita mengubah “bekerja” menjadi “melayani”, maka pekerjaan kita berubah menjadi hadiah bagi orang lain.” – Oprah Winfrey
P
ersoalan terbesar Indonesia saat ini adalah krisis sosok pemimpin. Kekurangannya bukan hanya dari segi kualitas, tapi juga dari segi kuantitas. Krisis ini akhirnya berdampak pada penegakkan hukum yang dihadapi sekarang. Pejabat legislatif, hakim, polisi, hingga pejabat administrasi dapat dikatakan sebagai para “pemimpin” dalam bidang hukum yang memiliki kewenangan untuk membentuk dan melaksanakan hukum pada masyarakat. Hanya saja, tidak semua dari mereka menyadari bagaimana seharusnya melaksanakan perannya. Kita dapat berkaca dari hal sederhana yang paling umum terjadi seperti pengurusan administrasi yang justru menuntut uang tambahan dari masyarakat. Pejabat administrasi bahkan seringkali sengaja menambah kerumitan birokrasi demi mendapat “uang terima kasih” lebih banyak. Tidak dapat disangkal tindakan mereka yang seolah menguras masyarakat memang disebabkan berbagai macam faktor. Misalnya saja, gaji yang tidak mencukupi, faktor ketamakan pribadi, maupun faktor lingkungan kerja yang memang sudah terbiasa melihat praktik ini. Namun yang pasti, faktor utama yang menyebabkan adalah karena tidak adanya kemampuan “memimpin diri sendiri” dalam diri penegak hukum.
10
Andri Wongso, memaparkan tentang sosok pemimpin melalui kisah seorang pahlawan Mongolia. Ia mengatakan bahwa seorang pemimpin besar tidak tamak terhadap harta, memegang teguh kepercayaan dan komitmen, serta memiliki visi. Ketiga hal ini sesungguhnya berhubungan dengan semangat melayani yang diharapkan ada dalam diri penegak hukum. Masih terjadinya praktik suap-menyuap sudah cukup mencerminkan bahwa semangat melayani dalam diri penegak hukum masih kurang. Kemauan bekerja semata-mata dimotivasi hanya untuk mengumpulkan uang, sehingga melupakan tujuan utama yakni untuk melayani masyarakat. Namun demikian, sebagai masyarakat sepatutnya juga berkaca. Sering kali, pengaruh masyarakat sendiri yang membentuk para penegak hukum untuk tidak memiliki mental melayani. Beberapa masyarakat enggan bekerja sama mengikuti prosedur administrasi sesuai aturan. Mereka lebih memilih bersikap bersikap “semaunya” daripada direpotkan dengan berbagai aturan yang bertujuan untuk menertibkan. Hal ini pada ujungnya membuat masyarakat memutuskan lebih memilih untuk “menyogok” agar bisa didahulukan. Meskipun banyak pejabat administrasi yang belum memiliki semangat melayani, namun bukan berarti yang memiliki semangat melayani tidak ada sama sekali. Walaupun jarang, kita masih bisa menemukan beberapa polantas yang dengan setia menertibkan jalan tanpa “sogokan” atau hakim yang memutus perkara tanpa suap. Namun, hal ini belum cukup membawa perbaikan apabila tidak ada dukungan atau kerjasama dari masyarakat. Untuk membawa Indonesia menjadi lebih baik, dibutuhkan suatu kerjasama antara penegak hukum dan masyarakat.
Edisi 32 - Oktober 2013
Sosok pemimpin berkualitas dibutuhkan untuk dapat membangun kerjasama tersebut. Namun bukan berarti perubahan Indonesia hanyalah pekerjaan pemimpin seorang. Terkadang rakyat sepihak menagih perubahan kepada para pimpinan, namun melupakan kualitas dirinya. Seorang pemimpin dibentuk, bukan dilahirkan. Karena pemimpin berbicara mengenai karakter dan karakter dibentuk melalui proses dalam suatu lingkungan. Sehingga setiap orang atau setiap masyarakat dapat menjadi pemimpin. Hanya orang yang dapat memimpin dirinya sendiri yang dapat memimpin orang lain. Negara ini bukannya sama sekali tidak memiliki sosok pemimpin berkualitas. Namun dalam hal kuantitas, jumlahnya masih sangat sedikit bila dibandingkan dengan berbagai permasalahan yang harus diselesaikan dan berbagai perubahan yang dituntut di Indonesia. Munculnya pemimpin-pemimpin baru seperti Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama, Dahlan Iskan, Rieke Diah Pitaloka, dan yang lainnya kiranya dapat menjadi teladan bagi kita untuk melahirkan pemimpin-pemimpin baru. Sandy Aletta
Edisi 32 - Oktober 2013
11
JOKOWI - AHOK
sosial politik
BUKAN PENGGEBRAK “…The great leader is seen as servant first…” – Robert K. Greenleaf
S
elama berpuluh-puluh tahun, munculnya seorang pemimpin terus diperdebatkan. Sebagian setuju dengan pendapat bahwa pemimpin hanya dilahirkan tetapi sebagian lagi mengatakan bahwa pemimpin bisa dibentuk oleh manusia. 1Pengalaman membuktikan bahwa tidak mustahil pemimpin bisa dibentuk oleh manusia berdasarkan pengetahuan yang ada. Greenleaf melalui tulisannya tentang servant leadership membuat revolusi baru dalam pemikiran kepemimpinan. Prinsip yang paling penting dinyatakan oleh Greenleaf (dalam Nixon, 2005)2 adalah tentang servant leadership. Pemimpin pelayan adalah orang yang mula-mula menjadi pelayan. Hal ini dimulai dengan perasaan alami bahwa orang ingin melayani lebih dulu kemudian memilih untuk berkeinginan memimpin. Berdasarkan tulisan Greenleaf, Spears (1996) menyimpulkan bahwa sedikitnya terdapat sepuluh ciri khas kepemimpinan pelayan yang paling dominan, yaitu: 3 Listening Receptively To What Others Have To Say, Acceptance and Empathy, Awareness and Perception, Ability To Exert A Healing Influence Upon Individual And Institutions, Stewardship and Empowered Manager, Building Community In The Workplace, Having Highly Develoved Power Of Persuasion, An Ability To Conceptualize And To Communicate Concepts, Foresight And Intuition, dan Followership. Konsep kepemimpinan melayani juga telah dikenal dalam kebudayaan Indonesia, seperti yang tertuang dalam kumpulan seloka “Astra Brata” yang berisikan ajaran-ajaran bagaimana seharusnya menjadi pemimpin yang baik.
12
Prinsip-prinsip kepemimpinan juga tercermin dalam semboyan Ing Ngarso Song Tulodo (memberi teladan dari depan), Ing Madyo Mangun Karso (membangun semangat bila berada di tengah) dan Tut Wuri Handayani (memberi dorongan bila berada di belakang).4 Namun, sampai saat ini krisis kepemimpinan tetap terjadi di negeri ini. Frost (2003) menekankan bahwa akibat krisis kepemimpinan, banyak orang yang menderita. Oleh karena itulah, kehadiran pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur baru Jakarta, Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama memberi angin segar bagi kota Jakarta dan Indonesia. Jika ditelisik, Jokowi-Ahok memiliki program yang tidak berbeda jauh dengan gubernur sebelumnya. Selain itu, program kerja yang mereka tawarkan juga serupa dengan program kerja ketika menjadi pemimpin di Solo dan Belitung. Jokowi-Ahok hanya meneruskan dan menata apa yang sudah ada sebelumnya. Mereka tidak memberikan gebrakan baru. Akan tetapi, perbedaan mencolok dari pasangan ini disebabkan model kepemimpinannya yang mencirikan pemimpin yang melayani atau servant leadership.
Jokowi merupakan pribadi sederhana, tenang tetapi berani. Setelah menjadi gubernur, beliau menghapuskan garis pemisah pemimpin dan yang dipimpin. Tanpa gengsi, beliau melakukan ‘blusukan’ guna menyerap aspirasi masyarakat. Kemudian, Jokowi juga menginspeksi kantor-kantor pelayanan publik dan memperbaiki sistem pelayanan yang merepotkan masyarakat untuk menghindari pungutan liar yang sering terjadi. Jokowi menunjukkan ciri pemimpin yang melayani dengan cara persuasif dalam penertiban PKL serta pemindahan kawasan kumuh di Jakarta. Jokowi sadar betul sebagai pemimpin harus mampu berempati dan bersimpati kepada rakyatnya tetapi tetap tegas menentang keinginan masyarakat yang bertentangan dengan aturan yang berlaku. Kepemimpinan Jokowi berbeda dengan wakilnya. Ahok memiliki gaya yang meledak-ledak dalam mengurusi birokrasi pemerintah daerah Provinsi DKI Jakarta. Gaya itu tidak terlepas dari sikapnya yang taat menjalankan konstitusi. Ahok menggambarkan salah satu ciri pemimpin yang melayani, yaitu Kesadaran (Awareness and Perception) terhadap kondisi birokrasi Pemprov DKI Jakarta yang ruwet.
Edisi 32 - Oktober 2013
Ahok menyadari sistem transparansi dalam anggaran perlu untuk diperbaiki. Untuk itu, Ahok mengumumkan transparansi anggaran APBD DKI Jakarta secara terbuka. Di periode awal kepemimpinannya, anggaran-anggaran Pemprov DKI Jakarta yang dari tahun ke tahun tidak tersentuh mulai dipangkas satu per satu. Bahkan, agar masyarakat dapat mengawasi kinerja para birokrat, setiap rapat kerja ditampilkan di media youtube dan website. Pasangan Jokowi-Ahok merupakan tipe pemimpin yang melayani masyarakat. Dasar utama pekerjaan mereka diwarnai karakteristik sikap pemimpin yang melayani. Mereka berhasil menggunakan ‘telinga’ untuk keluhan masyarakat, menjadi ‘hati’ yang mampu berempati terhadap apa yang dirasakan masyarakat. Tak hanya itu, ‘mulut’ mereka mampu mengajak orang bukan dengan ‘paksa’ tetapi ‘sukarela’, ‘mata’ mereka peka dengan kondisi yang sedang dan akan terjadi serta siap menyelesaikan setiap masalah di masyarakat. Jokowi-Ahok bukan penggebrak dengan program kerja baru dan megah namun menggerakkan kemajuan Jakarta Baru dengan sikap kepemimpinan yang melayani. Pasangan tersebut mengajarkan pentingnya kehadiran pemimpin yang melayani di negeri ini. Generasi muda bertanggung jawab memulai sikap melayani dan mengembalikan karakter ‘melayani’ di negeri ini, seperti semboyan gotong-royong di masa lalu. Mari kita jejakkan servant leadership di Tanah Merah Putih! Sumber 1. Rusman Hakim, Cermin Kepemimpinan Panduan dalam Menerapkan NilaiNilai Kepemimpinan bagi Profesional dan Wirausaha, Jakarta: PT.Elex Media Komputindo,2001,hlm.65-66 2. Nixon, M.M., The servant leadership: Followership continuum from a social psychology cognitive perspective, 2005, diunduh dari http://www.regent.edu/acad/global/publications/sl_proceedings/ 2005/nixon_the_servant.pdf, hlm.3 [23/09/2013] 3. Carol Smith, Servant Leadership : The Leadership Theory Of Robert K. Greenleaf. Diunduh dari: http://www.carolsmith.us/downloads/640greenleaf.pdf hlm.5-6 [23/09/2013] 4. Darisandi,“Servant Leadership Memimpin dengan Hati Melayani” [23/09/2013] 5. Frost, P.J, Toxic emotion at work: How compassionate managers handle pain and conflict, Boston: Harvard Business School Press,2003,hlm.3 Elgawati Samosir
Edisi 32 - Oktober 2013
13
teknologi TEKNOLOGI Sebagai ENABLER
PELAYANAN MASYARAKAT Yang PRIMA
G
ebrakan Jokowi sebagai Walikota Solo dimulai dengan perjuangan untuk memperbaiki sistem birokrasi pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Kala itu, setiap warga yang hendak membuat atau memperpanjang KTP di Solo bisa menunggu hingga empat minggu—tergantung dari amplop-nya. Jokowi mengubah waktu tunggu tersebut menjadi hanya satu jam.
Di antara input dan output tersebut adalah aliran proses yang terdiri dari tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk mengubah (mentransformasi) permohonan dan data-data yang diberikan menjadi KTP yang sah, misalnya input data ke komputer, mencetak kartu, dan sebagainya.
Keputusan tersebut tidaklah diambil secara sembrono dan tanpa alasan. Di balik major improvement yang dibuatnya tersebut adalah kapabilitas sistem teknologi informasi. Menurut penyelidikannya saat itu, seperti dilansir oleh Vivanews, dengan teknologi informasi sesungguhnya pembuatan KTP hanya memakan waktu delapan menit saja. Alhasil, sejak keputusan itu dibuat, dibarengi dengan tindakan tegas terhadap para aparat yang resisten, pembuatan KTP di Solo dapat dilaksanakan seperti yang dijanjikan, satu jam jadi.
Mengacu pada definisinya, ada empat elemen kunci dalam suatu sistem operasi, yaitu: input, proses, resources, dan output. Peranan teknologi adalah sebagai resources yang mendukung proses transformasi berjalan dengan efektif dan efisien.
Dari sudut pandang ilmu manajemen operasi, kegiatan pelayanan masyarakat, seperti pembuatan KTP, dapat dipandang sebagai suatu sistem operasi, yaitu suatu sistem yang pada intinya mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran (output) melalui suatu proses yang dioperasikan dengan menggunakan sumber daya (resources) tertentu. Sebagai contoh, dalam konteks pelayanan pembuatan KTP, input-nya adalah permohonan dari penduduk yang dilengkapi dengan data dasar yang dibutuhkan dan ouput-nya adalah KTP itu sendiri.
14
Proses transformasi ini di antaranya membutuhkan metode kerja yang tepat, peran serta operator (pegawai) dan teknologi (komputer, printer, dan sebagainya.) sebagai sumber daya agar bisa berjalan dengan efektif dan efisien dalam menghasilkan output yang diinginkan, yaitu KTP.
Dalam konteks pelayanan masyarakat, teknologi adalah aspek strategis yang berfungsi sebagai enabler bagi instansi pemerintahan untuk memberikan pelayanan masyarakat yang berkualitas prima yang berorientasi pada kepentingan dan kepuasan masyarakat. Berkaca dari kisah Jokowi, teknologi pun dapat dipandang sebagai enabler untuk mencapai sistem birokrasi yang bersih. Namun, yang perlu diperhatikan bahwa teknologi hanyalah salah satu determinan—itu pun jika pemanfaatannya dilakukan secara tepat. Oleh karena itu, pemanfaatan teknologi harus memperhatikan setidaknya empat hal agar bisa berhasil berkontribusi terhadap pencapaian pelayanan masyarakat yang berkualitas. Pertama, pemilihan dan pemanfaatan teknologi harus tepat guna. Sebelum memutuskan untuk menggunakan teknologi tertentu, pengambil keputusan harus mengkaji apakah teknologi tersebut berdampak positif terhadap kinerja pelayanan masyarakat, seberapa besar manfaat yang akan dirasakan oleh masyarakat dan para pegawai dengan adanya teknologi tersebut, serta sudah tepatkah teknologi yang dipilih dengan tujuan yang ingin dicapai atau untuk menjawab permasalahan yang sekarang dihadapi.
Edisi 32 - Oktober 2013
Pertanyaan kritis semacam ini harus bisa dijawab untuk menilai apakah pemilihan teknologi tertentu sudah tepat guna atau belum. Dalam menjawab pertanyaanpertanyaan ini, harus selalu diingat bahwa esensi dari teknologi adalah untuk mempermudah dan membuat lebih baik upaya manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Artinya, adanya teknologi mestinya membuat manusia dapat lebih tepat dan sesuai dalam mengerjakan segala sesuatu, tidak membuang-buang waktu, tenaga, dan biaya. Kedua, kebijakan dan metode kerja yang lama harus disesuaikan kembali. Pemanfaatan teknologi sudah pasti mengubah metode kerja yang ada. Agar pemanfaatan teknologi dapat menjadi efektif, kebijakan pun terkadang harus ikut diubah. Dalam kisah Jokowi di atas, perubahan ini tersirat dalam pengubahan kebijakan waktu tunggu pembuatan KTP dari empat minggu menjadi satu jam. Pengubahan kebijakan tersebut sudah pasti menuntut perubahan metode kerja di lapangan. Ketiga, pemberian pelatihan. Masuknya teknologi baru terkadang berbenturan dengan kompetensi yang dimiliki pegawai saat ini—apalagi jika para pegawai merupakan angkatan “tua” yang tidak familiar dengan teknologi terbaru. Untuk itu, pemberian pelatihan sangat diperlukan untuk memberikan keterampilan dan pengetahuan yang memadai sehingga mereka melakukan tugasnya dengan lebih mudah dengan teknologi yang baru. Sudah banyak kejadian memperlihatkan perangkat teknologi baru menjadi terbengkalai di suatu instansi karena tidak ada yang bisa mengoperasikannya. Keempat, perubahan mindset dan budaya kerja. Sesungguhnya faktor inilah yang paling menentukan dan paling kompleks untuk di-manage. Andai semua peralatan sudah canggih, tetapi jika manusianya pemalas dan ogah-ogahan, tidak memiliki mindset untuk melayani dan memberikan yang terbaik bagi masyarakat, pemanfaatan teknologi apapun menjadi sia-sia. Belum adanya budaya kerja melayani inilah yang membuat praktik korupsi menjalar hingga instansi pemerintahan level terendah. Mengubah mindset dan budaya kerja bukan perkara mudah. Setiap perubahan pasti dihadapkan pada resistensi. Di sinilah ketegasan dan determinasi seorang pemimpin mutlak diperlukan. Jokowi pada saat membahas sistem pembuatan KTP yang baru pun mendapatkan resistensi dari beberapa camat dan lurah yang merasa tidak yakin bahwa prosedur bisa dijalankan dalam waktu singkat. Menghadapi resistensi tersebut, Jokowi tegas. Ia mencopot empat orang yang tidak memiliki niat untuk melakukan perubahan itu dari jabatannya. Hasilnya, pembuatan KTP berdurasi satu jam tersebut berhasil dilaksanakan hingga sekarang. Kita sudah familiar dengan istilah “ekonomi kerakyatan”. Sekarang saatnya ide “teknologi kerakyatan” muncul ke permukaan, yaitu pemanfaatan teknologi untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Namun, ingat selalu bahwa teknologi hanyalah salah satu enabler. Teknologi tidak akan pernah dapat berkontribusi untuk kepentingan rakyat tanpa dukungan faktor lainnya, terutama pemimpin dan aparat yang merakyat. Jeffrey Kurniawan
Edisi 32 - Oktober 2013
15
sosok
Si Tempat Curhat NECIS Dari Jatinangor “Setiap orang di dunia ini, apapun pekerjaannya, memainkan peran penting dalam sejarah dunia. Dan biasanya orang itu sendiri tidak menyadarinya.” - Paul Coelho
J
atinangor siang itu terik, seperti biasa. Beberapa mahasiswa di kawasan Jatinangor terlihat berteduh di bawah pohon sambil berbincang. Begitu pula di sekitar lapangan parkir Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom), Universitas Padjadjaran, Jatinangor. Terlihat beberapa orang duduk sambil berdiskusi di bawah pohon rindang. Di antara semua yang sedang berbincang, ada sosok menarik. Dengan kemeja dibalut sweater motif kotak-kotak, celana jeans model terkini, dan sepatu kulit, sosoknya terlihat necis. Di pinggangnya terlampir tas pinggang kecil dengan beberapa lembar uang 2000-an mengintip dari resleting tas itu. Tak ketinggalan, kacamata coklat bertengger di matanya. Ia terlihat serius berbicara dengan beberapa lawan bicaranya. Ternyata ia Namun, Jack menuturkan, rasa jenuh itu terobati sedang memberikan nasihat kepada lawan bicaranya. “Ya saya kasih ketika bertemu dengan banyak mahasiswa baru. masukan, gimana menghadapi dosen. Saya juga suka kasih semangat, “Rasanya seperti punya teman baru, lingkungan terutama buat mahasiswa yang mau di DO (drop out),” tuturnya. baru lagi,” ungkap Jack. Pria necis yang akrab di sapa Jack ini sudah lama menjadi tempat curhat Selain itu, terkadang ada beberapa alumni yang beberapa mahasiswa Fikom. Sebenarnya ia tercatat sebagai tukang parkir di masih mengingat dirinya, salah satunya Boy, Fikom. “Ya merangkap jadi tempat curhat juga,” kata Jack seraya tertawa. alumni Fikom angkatan 2000. “Jack itu mah sobat pisan. Baik dia mah (Jack itu sahabat saya. Gaya berpakaian Jack memang agak ‘nyentrik’ dibanding tukang parkir lain. Orangnya baik),” kata Boy. “Saya kan gaulnya sama anak mahasiswa, ya sedikit banyak saya terinspirasi dari gaya berpakaian mereka,” jelasnya. Menjalin hubungan yang dekat dengan mahasiswa menjadi modal utama Jack bisa bertahan Sudah 21 tahun Jack bekerja sebagai tukang parkir di Fikom Unpad menjadi tukang parkir di Fikom. “Saya berusaha Jatinangor. Pria yang lahir pada 14 Mei 1976 tersebut mengaku, dari hasil mendapatkan kepercayaan dari mahasiswa. Untuk kerjanya sebagai tukang parkir, ia sudah bisa menghidupi seorang istri dan mendapat kepercayaan, modalnya ya kejujuran,” keempat anaknya. Tak main-main, kini anaknya yang pertama duduk di cerita Jack. bangku kelas 2 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Sementara yang lain masih kelas 2 Sekolah Menengah Pertama (SMP), kelas 4 Sekolah Dasar Dekat dengan mahasiswa, diakui Jack mem(SD), dan kelas 2 SD. permudah pekerjaannya sebagai tukang parkir. Bayangkan, setiap hari setidaknya sekitar 100 “Kalau ditanya apa saya pernah merasa jenuh kerja jadi tukang parkir selama mobil lalu–lalang di lapangan parkir Fikom. 20 tahun? Ya iya dong pasti,” kata Jack. Rasa jenuh yang ia rasakan semakin Belum lagi dengan motor yang jumlahnya mencabertambah ketika melihat banyak mahasiswa yang sudah lulus dan menjadi pai lebih dari 200 buah. Jack bertugas memastikan orang sukses. Sementara, ia masih bekerja sebagai tukang parkir dari tahun tak ada kendaraan yang hilang. ke tahun. “Tapi sebenarnya saya juga bahagia melihat mahasiswa yang sukses. Siapa yang tidak bangga melihat anak-anaknya sukses?” ujar Jack.
16
Edisi 32 - Oktober 2013
Padahal, sistem parkir tidak menggunakan kartu parkir. Apalagi dengan banyaknya mahasiswa yang memiliki kebiasaan saling meminjam kendaraan, pencurian kendaraan menjadi semakin rentan. “Di sinilah kedekatan itu perlu. Saya jadi tahu, siapa yang suka minjem kendaraan siapa. Jadi alhamdulilah sampai sekarang belum pernah hilang. Ya, jangan sampailah,” jelas Jack. Jangan dikira menjadi tukang parkir itu mudah. Jack sendiri harus berjaga di lapangan parkir sejak pukul 7 pagi. “Tak jarang, saya baru pulang jam 7 pagi esok harinya, terutama ketika ada kegiatan mahasiswa seperti acara atau rapat,” kata Jack. Penghasilannya juga tak menentu. Penghasilan itu juga masih harus dibagi dengan pengurus dari pihak fakultas. “Pembagiannya 60:40. 60 untuk saya dan 40 untuk pihak fakultas,” jelasnya.
Jack mengakui, tukang parkir bukanlah cita-citanya. “Dulu saya bercita-cita menjadi dokter dan guru. Cita-cita idaman semua anak hahaha,” tutur Jack bersemangat. Namun kini, ia berhasil menggapai cita-citanya menjadi guru. Setiap malam, Jack memberikan pengajaran Al-quran bagi anak-anak SMP yang tak mampu di daerah sekitar rumahnya di Rancaekek, Bandung. “Jadi pulang kerja dari sini (Fikom), saya mengajar,” jelasnya. Selain mengajar Al-quran, Jack juga membagikan wawasan yang ia peroleh dari mahasiswa-mahasiswa Fikom. “Saya bersyukur bisa dapat banyak wawasan dari obrolan saya dengan mahasiswa. Nah ilmu itu saya bagikan lagi ke anak-anak,” katanya. Mulai dari menjadi tukang parkir, tempat curhat, dan guru dijalani Jack dengan ikhlas. Jack memandang semua pekerjaan yang ia lakukan sebagai bentuk pelayanan. “Ya saya melayani sesuai kemampuan saya. Kalau saya mampu dan menurut saya itu berguna bagi banyak orang, ya akan saya lakukan,” ujarnya. Menurutnya, yang terpenting dalam segala hal harus selalu bersyukur. Jack menuturkan, kadang ada orang yang berkelimpahan, tapi tak pernah bersyukur, sehingga tak merasa cukup. Untuk itu, Jack selalu mengingatkan dirinya dan keluarganya untuk selalu bersyukur. Selain itu, Jack juga mengajarkan agar tak terlalu memaksakan sesuatu. “Prinsip saya, jangan terlalu memaksakan mengejar kesempurnaan kalau kesederhanaan masih dapat membahagiakan kita,” kata Jack dengan nada bijak.*** Destyananda Helen
Meski penghasilannya tak menentu, Jack tak pupus harapan. “Rejeki itu Tuhan yang mengatur,” ujarnya bijak. Jack bercerita, menurut perhitungannya, total kebutuhan ia dan keluarganya tiap bulan mencapai sekitar Rp 2,6 juta. Sedangkan, penghasilannya hanya Rp 1,5 juta. “Saya sendiri heran, kok saya dan keluarga saya masih bisa bertahan hidup sampai sekarang. Padahal pengeluaran saya lebih besar dari pendapatan,” cerita Jack sambil tertawa. Di sinilah bergunanya hubungan baik yang ia bangun dengan mahasiswa. Tak jarang, Jack diajak bekerja oleh alumnialumni Fikom. “Saya sering diminta ngurus bengkel dan vila. Ya kalau kerja kasar mah saya bisa. Jadi lumayan nambah-nambah kebutuhan rumah,” tutur Jack.
Edisi 32 - Oktober 2013
17
relasi
CARA MENGOPTIMALKAN
KERJASAMA
S
ATASAN DAN BAWAHAN
alah satu jenis perasaan manusia adalah ketakutan. Ketakutan tidak hanya terbatas pada kondisi yang mencekam dan figur yang menyeramkan belaka. Salah satu arti ketakutan menurut KBBI adalah keseganan. Keseganan seringkali dialami apabila kita harus berhadapan dengan figur yang lebih tua ataupun lebih berkuasa daripada kita, seperti atasan atau bos.
Ketiga, persiapkan diri dan berbicaralah dengan sopan, baik di acara formal maupun saat pembicaraan sekilas. Keempat, jangan lupa pertimbangkan cara pandang bos, yang harus memikirkan banyak karyawan dan kepentingan perusahaan, tentunya dengan porsi yang tepat.
Bagaimana dengan para bos? Pengarang buku Jill Geisler memberikan beberapa tips agar bos bisa bekerjasama Persoalan klasik yang sering terjadi adalah ketika bos dengan baik bersama para karyawannya. tidak melihat bahwa karyawannya seringkali takut untuk melakukan kesalahan dan kegagalan. Hal ini Menurutnya, ada tiga hal yang harus diingat para bos, membuat karyawan menjadi kaku dan tidak kreatif. Bos yaitu berpikir strategis, kelola emosi dengan bijak, dan pun tidak menyadari bahwa dengan membuat karyawan ingatlah untuk membantu orang lain menemukan menjadi nyaman maka produktivitas dapat ditingkatkan. potensinya. Bagaimana cara untuk membuat bos dan karyawan dapat bekerja sama dengan baik? Berpikir strategis akan membantu penggambaran tujuantujuan jangka panjang dan prioritas yang harus dilakukan. Kunci relasi yang baik adalah komunikasi. Komunikasi Emosi yang dikelola dengan baik dapat membantu tim dengan bos dapat dilakukan dengan beberapa tips mengatasi kelelahan, target, dan kebosanan. Membansehingga tidak menimbulkan kesan bahwa bos adalah tu orang lain menemukan potensinya saat bekerjasama penindas dan karyawan selalu hidup dalam ketakutan. akan membantu tim untuk meningkatkan kinerjanya. Pertama, perhatikan bagaimana bos anda sering Bos dan karyawan tidak hadir bersama-sama untuk menberkomunikasi, apakah dengan telepon, e-mail, atau jadi musuh. Keduanya hadir untuk dapat bekerjasama sms? Anda dapat menghubunginya melalui alat komu- menghasilkan sesuatu yang baik. nikasi yang paling nyaman digunakan. Perhatikan juga Lydia Utami apakah bos adalah orang yang senang menjadwalkan kegiatannya ataupun sebaliknya. Kedua, berbicaralah pada waktu yang tepat menurut kondisinya. Bicarakan hal yang penting dan detail ketika bos sedang tidak berada dalam kondisi yang sibuk ataupun menguras tenaga.
18
Edisi 32 - Oktober 2013
selasar MENCARI PRESIDEN IDAMAN
K
ontestasi kian memanas. Sebentar lagi kita akan memiliki presiden baru dengan tawaran masa depan yang baru pula. Kesibukan mencari calon presiden kini melanda masing-masing partai politik. Ihwal ini tak ubahnya sebuah simbol lemahnya kaderisasi di tahun-tahun sebelumnya. Para tokoh yang digadang-gadang melejit popularitasnya, tampak seperti gula yang dikerubuti oleh gerombolan semut. Di pihak lain, kita berbangga manakala hari-hari ini media menawarkan cukup banyak tokoh yang layak meramaikan pesta demokrasi. Apalagi, mengingat kebanyakan dari mereka bukanlah ketua umum partai politik. Bahkan ada yang tidak dilahirkan dari perut partai politik. Sayangnya, menurut kaca mata masyarakat, tokoh-tokoh ini tidak begitu populer. Hal ini tembus pandang saat menyoroti beberapa hasil survei elektabilitas dari waktu ke waktu. Lagi-lagi, jagat pertokohan di negeri ini masih dikuasai oleh stok lama. Pengecualian disematkan pada sosok Jokowi yang kekhasan karakternya dipandang ibarat bunga langka yang mahal harganya. Kesederhanaan dan perhatiannya pada masyarakat selama ini telah menusuk alam tidak sadar kita. Ujung-ujungnya tidak sedikit yang menggelorakan nyanyian pencalonannya sebagai salah satu kandidat dalam kontestasi 2014. Kendati sosoknya populer, masih banyak kalangan yang meragukan kapabilitas Jokowi untuk memimpin Indonesia yang permasalahannya jauh lebih kompleks. Namun, harus diakui bahwa fenomena Jokowi minded menjadi salah satu bukti dari kemuakan masyarakat akan pemimpin yang pintar otaknya namun juga lihai membodohi rakyatnya. Kapabilitas merupakan faktor yang sangat penting namun kemauan politik menciptakan kemerdekaan hakiki adalah hal yang jauh lebih penting. Barangkali kerinduan pada pemimpin populis—meskipun selama ini banyak diragukan para pakar politik—tidak dapat lagi dibendung, akibat depresi yang semakin meruak di khalayak umum.
Sosok Presiden Idaman
Menyoroti kondisi belakangan ini, tatkala dibenturkan dengan kemauan khalayak umum kriteria presiden idaman kian sederhana. Singkatnya dibutuhkan pemimpin yang perhatian dan perlahan-lahan menghancurkan tembok yang selama ini kokoh membatasi antara pemimpin dan rakyatnya. Pemimpin yang mampu membangun kembali reruntuhan kepercayaan masyarakat pada lembaga pemerintahan oleh semangatnya yang melayani.
Sosok yang jujur dan meyakinkan lewat tindakannya, yang tidak sekedar rajin mengumbar lips service. Serta mampu berdiri tegak di depan rakyat memberikan teladan bagaimana cara berperan membangun negeri ini. Semua ini mengarah pada karakter asketis dan populis yang cenderung diabaikan karena nampak klise, namun inilah yang belakangan hilang dari cerita kepemimpinan negeri kita. Presiden yang perhatian dan dapat dipercaya bukan berarti harus menuruti semua kemauan rakyatnya sebagaimana hantu “populisme” yang ditakuti oleh banyak pengamat. Kita tidak bisa mendefenisikan pemimpin melayani itu sama halnya dengan seorang pelayan yang akan dikendalikan sepenuhnya oleh rakyat sebagai majikannya. Di sinilah keunikan dari pemimpin yang juga dilekatkan karakter melayani. Singkatnya, keunikan memimpin namun tetap melayani paling tidak dapat terlihat dalam pilihan-pilihan kebijakan yang diambilnya. Selain itu, presidennya akan cenderung menggadaikan egoismenya sebagai seorang pemimpin demi kepentingan rakyatnya. Contoh sedehana dalam kasus isu kenaikan BBM. Ihwal pentingnya bukan naik atau tidaknya harga BBM. Kendati kenaikan harga BBM akan berefek domino pada kenaikan barang yang berdampak pada masyarakat rentan ekonomi. Namun tatkala pemerintah mampu menciptakan kepercayaan masyarakat bahwa ini adalah kebijakan pahit yang tidak
Edisi 32 - Oktober 2013
19
dapat dihindari barangkali masyarakat akan menerima. Di pihak lain, presiden yang sungguh-sungguh perhatian pada rakyatnya seharusnya menjadikan kebijakan menaikkan BBM berjalan beriringan dengan pemotongan belanja negara untuk kemewahan para pejabatnya. Sederhananya, masyarakat akan melihat tindakan nyata sebagai wujud teladan berkorban demi negara bukan justru disuguhi istilah “prihatin” yang ramai kita dengar belakangan ini. Merujuk sosok Fidel Castro dan Ahmadinejad tentu saja kita semakin diyakinkan bahwa sosok presiden yang kita mimpikan adalah sosok seperti mereka yang sederhana, perhatian dan asketis.
Kata Kunci “Masyarakat”
Barangkali nampak terburu-buru tatkala fokus kita justru langsung diarahkan pada sosok. Sementara dalam sistem kita dewasa ini, tak dapat dipungkiri partai politik— satu-satunya rahim yang akan melahirkan presiden—juga menjadi faktor penting yang sangat berpengaruh. Dalam bingkai legitimasi hukum, sosok yang diharapharapkan tidak akan muncul tanpa partai politik yang mau menampungnya dalam transportasi politiknya. Alhasil eksesnya calon presiden tidak akan lepas dari kendali partai politik. Celakanya, tidak ada partai politik di negeri ini yang benar-benar mampu menjamin dirinya bersih. Lantas, apa jadinya saat sosok berkarakter harus dikendalikan oleh partai politik yang sudah mengabaikan tugas-tugasnya? Isu presiden independen sudah pupus jua manakala Mahkamah Konstitusi menolak judisial review yang sempat diajukan pada lembaga ini. Namun, haruskah hal ini sekaligus memupuskan harapan kita akan sosok presiden idaman? Menurut saya, sosok presiden idaman meskipun harus lahir dari partai politik yang kian tidak bersih, akan tetap mampu menciptakan kemerdekaan yang sesungguhnya tatkala masyarakatnya tidak sekedar menitipkan nasibnya di kotak suara. Kita harus yakin bahwa konsolidasi demokrasi sesungguhnya sangat bergantung pada kata kunci “masyarakat”. Tanpa masyarakat yang peduli dan ngotot memperjuangkan aspirasinya, alhasil “elit sentris”-lah yang akan abadi menghantui kita. Lagilagi, pekerjaan mencari sosok pemimpin idamanpun menjadi seperti sedang menggantang asap. Junius Fernando Saragih
20
Edisi 32 - Oktober 2013
karikatur
PEMIMPIN Yang
TIDAK MELAYANI
Edisi 32 - Oktober 2013
21
Penasehat:
Kolumnis:
1. Albertus Patty 2. Jeffrey Samosir 3. Alm. Kornel M. Sihombing
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Pemimpin Redaksi: Basar Daniel Tampubolon
Wakil Pimpinan Redaksi: Ernestasia Rahel Siahaan
Redaktur Eksekutif: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Bob Situmorang Contasia Christie Destyananda Helen Dommy Waas Noir Primadona Purba Priska Apriani Sorta Lidia Caroline
Albert Tommy Andri Parangin-angin Ansitus Marulitua Ardinanda Sinulingga Arion Euodia Saragih Aurora Esterlia Berliana Friscilia Efraim Sitinjak Elgawaty Octaviani Fanny Febyanti Harriman S. Saragih Junius Fernando LB. Ciputri Hutabarat Renata Amelia Sandy Aletta Trisfianto Prasetio Victor Nalle
redaksi
Media Community Manager: Galih Andreanto
Ilustrator: Bramasta K. Lasut
Desain: Dini Restyanti
Administrator Web: Edwin Tobing
Sekilas fokal.info
Editor:
Wadah pengembangan potensi generasi muda dari ber-
1. Jeffrey Kurniawan 2. Pirhot Nababan
bagai kalangan (nirlaba). Memperkenankan pengelola media massa (cetak/elektronik) mengutip teks dan foto, dengan menyebutkan
Administrasi Umum:
sumber (Misal : sumber www.fokal.info).
Lydia Utami
22
Edisi 32 - Oktober 2013