' Bi. Siswanto, M,Pd.I
PENDIDIKAN I'LAM P.errpehtif Hirtorir
Pena Salsabila
l;i
DINAMIKA PENDIDIIGN ISLAM Perspektif Historis@20l3' , 1 , Ditetbitkan oleh: Pena Salsabila, Nopember 2013 Jl. Tale
Telp.
II No.t
03
1
Sutabaya
-72001 887,
087249995N3
(Lini. Penetbitan CV. Salsabila Putta Pratarna)
Anggote
IIi\PI
No.137llTI/2011
Penulis Editor
:
Dr. Sisranto, I\'I.Pd.I
.{bdul.Viz, IU.Pd.I Lay out dan desain sampul : Salsabila Cratiw :
Hak cipta dilindrxrgi oleh Undang-Undang Dilamng mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izia temulis dari penerbit
ISBN
: 97
8-602-9045-48-2
vi+190; 14 crn x 21 crn
-
KATA PENGANTAR Puji syukur al-Hnmd li AUAL, dipanjatkan kepada Ilahi Rabbi Allah SWT. karena hanya dengan ralurat taufiq dan inayah-Nya penulis dapat
Nmdnat
mrvelesaikan buku berjudul Dinamika Pendidiknn
lslam,
l@tif Historis dapat segera terselesaikary serta dapat dibaca dan ditelaah oleh para pembaca dan pemerhati pendidikan Islam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah Lnpada revolusioner Islam Nabi Muhammad saw. sebagai pmbebas manusia dari keterbelakangan dan kejumudan mqu era penuh kemajuan dan peradaban. Perrulisan buku ini dimaksudkan untuk memperkaya hatur di bidang pendidikan Islam sekaligus menambah mffiasan mahasiswa dan dosen tentang perkembangan ryEmdidikan sejak kedatangan Islam pada masa Rasul qai pada masa modern. Sistematika penulisan disusun egur menggunakan pendekatan periodisasi sejarah lflm agar pembaca lebih mudah memahami dinamika flro perkerrbangan pendidikan Islam tersebut. Sehingga Fda gilirannya memiliki pemahaman yang lebih hmpretsrsif dan holistik. Perrulis menyadari betatapun kesungguhan dan upaya fl{r dilakukah, tetapi diyakini apa yang telah disusun ini iruh dari kesempurnaan dan mengandung -dt Ulprrrahan baik dari segi isi, analisis, bahasa dan teknis FGrrrlisan vang dilakukan. Maka dengan kerendahan hati, rll
Dr. Siswanto,
M.Pd.I ,
penulis mengharap kritik dan koreksi konstruktif guna menyempumakan penulisan mendatang. Tidak lupa kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam berbagai hal sehingga penulisan buku ini dapat terselesaikan dengan baik. Akhirnya dengan senantiasa mengharapkan petunjuk dari Allah SWI, mudah-mudahan kehadiran buku ini dapat menjadi sumbangan berharga bagi pengembangan l*razanah keilmuan Islam dan bermanfaat bagi kita semua.
Amien. .
,,
...
.
:
Pamekasan, 6 Nopember 2013
Penulis
lv
DAFTAR
'
'Huln*unJudul Xata Pengantar
j,;i1.i1$6ffi1s1-t
I'I
-i
- iii
iti.r,G[,TBINAAN PENDIDIKAN ISLAM _ 15 Pendidikan Islam di Makkah- 17 .F*l#anaan Pendidikan Islam di Madinah - 25 TXRTUMBUHAN PENDIDIKAN ISTAM 37 Khulafa'al-Rasyidun: pertumbuhan Awal _ 3g 'Pembelajaran al-eur'an - 39 t Pendidikan- 42 ,Fendidikan Islam Masa Bani Umayyah -:.46 .
I lvlasa
!;-DAUTAH ABBASIYAH: POTRET KEIAYAAN ISLAM-51 r&kilas tentang Daulah Abbasiyah - 51 Peradaban ifiomajuah - 53 Ilmuwan Muslim dalam Ilmu pengetahuan _ - lleetasi 57
Dr. Siswanto, M.Pd.l
D. Harun al-Rasyid dan al-Makmun: Dua Tokoh Penting E.
di Batik Kejayaan Pendidikan Islam - 63
InstitusiPendidikan-69 BAB 5 PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAMERA TURKI USMANI - 75 A. Kondisi Sosio-Politik KeraiaanTurki Usmani-75
B. C.
Perkembangan Pendidikan - 78 Reformasi Pendidikan: Menuju Masyarakat Turki
Modem - M
6 KEBANGKITAN PENDIDIKAN ISLAM.1O3
BAB
.A. Latar Belakang Kemunduran Pentlidikan Islam - L05 B. Faktor Pendorong Pembaharuan Pendidikan Islam 111
C. Pola Pembaharuan Pendidikan lslam - 1L5 D. TokohPembaharu Pendidikanlslam - 119 BAB
7 INSTITUSI
PENDIDIKAN DI DUNIA ISLAM.
137'., .:: A. Institusi Pendidikan Islanr Pra-Madrasah - 139 B. Institusionalisasi Pendidikan di Kalangan Sufi - 151 C. Madrasah : Asal Usul dan Motivasi,Pendiriannya - 1.50 D. Nizamiyah: Prototype Institusi Pendidikan Isleim - 167 DAFTAR PUSTAKA - 175
vl
,
,
BAB 1 STUDI SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan Islam mempunyai sejarah yang panjang. Dalam pengertian seluas-luasnya, pendidikan Islam berkembang seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri. Dalam konteks masyarakat Arab, di mana Islam lahir dan pertama kali berkembang, kedatangan Islam lengkap dengan usaha-usaha pendidikan – untuk tidak menyebut sistem – merupakan transformasi besar. Sebab masyarakat Arab pra Islam tidak mempunyai pendidikan formal.1 Pendidikan Islam sesungguhnya telah tumbuh dan berkembang sejalan dengan adanya dakwah Islam yang telah dilakukan Nabi saw. Berkaitan dengan itu pula pendidikan Islam memiliki corak dan karakteristik yang berbeda sesuai dengan upaya pembaruan yang dilakukan secara terus menerus pasca generasi Nabi saw, sehingga dalam perjalanan selanjutnya, pendidikan Islam terus mengalami perubahan, baik segi kurikulum (mata pelajaran) maupun dari segi lembaga pendidikan Islam yang dimaksud. Ini artinya, bahwa 1Azyumardi
Azra, “Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains (Sebuah Pengantar)” dalam Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Ter. Affandi dan Hasan Asari (Jakarta: Logos, 1994), hlm. V. Lihat juga Azra, Pendidikan Islam, Tradsisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 2000), hlm. Vii.
Dr. Siswanto, M.Pd.I
sesungguhnya adanya upaya perubahan – walaupun sedikit – benar-benar telah tampak dan terjadi secara alamiah.2 Sementara itu, tantangan abad ke-21 bagaimanapun menuntut respon yang tepat dari sistem pendidikan Islam secara keseluruhan. Jika kaum muslimin –termasuk Indonesia – tidak hanya ingin sekedar survive di tengah persaingan global yang semakin tajam, tetapi juga berharap mampu tampil di depan, maka reorientasi pemikiran mengenai pendidikan Islam dan restrukturisasi sistem dan kelembagaan jelas merupakan keniscyaan. Cara pandang yang menganaktirikan ilmu pngetahuan dan teknologi tampak tidak bisa dipertahankan lagi. Maka dari itu, perlu diupayakan penelusuran sejarah pendidikan Islam sebagai syarat mutlak bagi umat Islam dalam rangka menstimulus penciptaan kondisi, situasi pendidikan Islam sekarang ini. Upaya penelusuran sejarah yang dilakukan dengan melalui analisa mendalam persoalan pendidikan Islam dari sisi sosial kemasyarakatan, persoalan politik yang berkembang saat itu, kebudayaan yang ikut mewarnai pendidikan ketika itu, bahkan persoalan kebijakan politik pendidikan yang ikut mewarnai perkembangan pendidikan di zaman keemasan Islam. Sudah saatnya umat Islam tidak lagi terlena dengan kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan yang pernah terjadi pada masa kejayaan Islam, namun bagaimana umat Islam mampu mengambil sisi positif sekaligus menganalisis dari kemajuan yang pernah terjadi pada masa itu, sembari membandingkan kondisi sosial
Fauzan, “Menimbang Sisi Positif Perlunya Pembaruan Pendidikan Islam” dalam Sejarah Sosial Pendidikan Islam, ed. Suwito dan Fauzan (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 159. 2
2
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
politik yang pernah terjadi saat itu, sehingga analisis terhadap sisi historis kemajuan umat Islam tidak harus lagi menjadi angan-angan yang manis (sweet memory) – apalagi hanya dihafal – , namun apa yang pernah pernah terjadi pada masa lalu menjadi i’tibar, contoh, ataupun motivasi perbaikan terhadap pendidikan Islam yang lebih baik. A. Pengertian Sejarah Pendidikan Islam Secara etimologi, perkataan "sejarah" yang dalam bahasa Arab disebut "tarikh, sirah" berarti ketentuan masa atau waktu, atau "ilmu tarikh" berarti ilmu yang ilmu yang mengandung atau mengandung atau membahas penyebutan peristiwa atau kejadian, masa atau terjadinya peristiwa, atau sebab terjadinya peristiwa tersebut.3 Atau dengan kata lain, "ilmu tarikh" merupakan suatu pengetahuan yang gunanya untuk mengetahui keadaan-keadaan atau kejadian-kejadian yang telah lampau maupun yang sedang terjadi di kalangan umat.4 Dalam bahasa Inggris sejarah disebut history yang berarti uraian secara tertib tentang peristiwa-peristiwa masa lampau (orderly description of past even).5 Sedangkan secara istilah sejarah diartikan sebagai sejumlah keadaan peristiwa yang terjadi di masa lampau, dan benarbenar terjadi pada diri individu dan masyarakat, sebagaimana benar-benar terjadi pada kenyataan-kenyataan alam dan
Louis Ma'luf, al-Minjid fi al-Lughah wa al-A'lam (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), hlm.8 4 Munawar Cholil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Saw (Jakarta: Bulan Bintang, 1969), hlm. 15. 5 As-Hornby, Oxford Advanced Learner's Dictionary of Current English (Oxford: Oxford University Press, 1983), hlm.405. 3
3
Dr. Siswanto, M.Pd.I
manusia.6 Pengertian selanjutnya memberikan makna sejarah sebagai catatan yang berhubungan dengan kejadian masa silam yang diabadikan dalam laporan-laporan tertulis dan dalam ruang lingkup yang luas. Dan sejarah sebagai cabang ilmu pengetahuan mengungkapkan peristiwa masa silam baik peristiwa politik, sosial ataupun ekonomi pada suatu negara atau bangsa, benua atau dunia. Inti pokok dari persoalan sejarah selalu akan sarat dengan pengalaman-pengalaman penting yang menyangkut perkembangan keseluruhan keadaan masyarakat. Karena itulah Sayyid Quthb menyatakan bahwa sejarah bukanlah peristiwa-peristiwa, melainkan tafsiran peristiwa-peristiwa, dan pengertian mengenai hubungan-hubungan nyata dan tidak nyata, yang menjalin seluruh bagian serta memberikan dinamisme dalam waktu dan tempat.7 Berdasarkan pengertian di atas, dapat dirumuskan tentang pengertian sejarah pendidikan Islam, yaitu : 1. Catatan peristiwa tentang pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam dari sejak lahirnya hingga sekarang ini. 2. satu cabang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam, baik dari segi gagasan atau ide-ide, konsep, lembaga maupun operasionalisasi sejak zaman Nabi Muhammad saw hingga saat ini. B. Obyek dan Metode Sejarah Pendidikan Islam Majdi Wahab, Kamil al- Muhandis, Mu'jam al-Musthalahat al-Arabiyyah fi alLughah wa al-Adab (Beirut: Maktabah Lubhan,1984), hlm. 82. 7 Sayyid Quthb, Konsepsi Sejarah dalam Islam (Jakarta: Yayasan al-Amin, 1984), hlm. 18. 6
4
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
Pendidikan Islam merupakan pewarisan dan perkembangan budaya manusia yang bersumber dan berpedoman ajaran Islam sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur‟an dan terjabar dalam Sunnah Rasul, yang dimaksudkan dalam rangka terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.8 Dengan demikian, ciri yang membedakan antara pendidikan Islam dengan yang lain adalah pada penggunaan ajaran Islam sebagai pedoman dalam proses pewarisan dan pengembangan budaya umat manusia. Dalam hal obyek pendidikan Islam mencakup fakta-fakta yang berhubungan dengan perkembangan dan pertumbuhan pendidikan Islam baik formal, informal maupun nonformal. Dan hal ini sejalan dengan peranan agama dakwah yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah segala bentuk kemungkaran, dalam rangka menuju kehidupan yang sejahtera lahir dan batin (material dan spiritual). Sementara itu, sebagai cabang ilmu pengetahuan, obyek sejarah pendidikan Islam umumnya tidak terlalu jauh berbeda dengan yang dilakukan dalam obyek sejarah pendidikan, seperti hal-hal sifat yang dimilikinya.9 Oleh sebab itu, fungsi dari pendidikan Islam sebagai obyek dan subyek. Maksudnya sebagai obyek adalah aktivitas dari pendidikan itu sendiri yang menjadi bahan telaah, sedang sebagai subyek adalah keberhasilan atau tujuan yang akan dicapai oleh pendidikan tersebut.
Ahmad D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: al-Ma‟arif, 1984), hlm. 23. 9 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 9. 8
5
Dr. Siswanto, M.Pd.I
Mengenai metode sejarah pendidikan Islam, walaupun terdapat hal-hal yang bersifat khusus, akan tetapi berlaku kaidah-kaidah yang ada dalam penulisan sejarah. Kebiasaan dari penelitian dan penulisan sejarah meliputi suatu perpaduan khusus keterampilan intelektual. Sejarawan harus menguasai alat-alat analisis untuk menilai kebenaran materimateri sumbernya, dan perpaduan untuk mengumpulkan dan menafsirkan materi-materi itu ke dalam kisah yang bermakna. Sebagai seorang ahli, maka sejarawan harus mempunyai kerangka berfikir kritis baik dalam mengakji materi maupun dalam menggunakan sumber-sumbernya. Selain itu juga membutuhkan keterampilan menangkap dan merasakan secara luas hubungan-hubungan yang serba kompleks. Penguasaan ilmu yang luas akan memudahkan pemahaman dari berbagai konteks, membandingkan dan merasakan dampak serta mengkaitkan data dengan peristiwaperistiwanya. Sehubungan dengan ini Munawar Cholil mengemukakan bahwa, pengetahuan yang diperlukan sebagai alat menyusun sejarah itu cukup banyak, tetapi yang perlu diketahui terlebih dahulu adalah ilmu bumi (takhtit al-ardl), ilmu isi bumi (Thabaqat al-Ardl), dan ilmu negara (Taqwim alBuldan).10 Sedangkan metode yang dipergunakan dalam rangka penggalian dan penulisan Sejarah Pendidikan Islam itu sendiri terdiri dari beberapa macam. Untuk penggalian sejarah umumnya metode yang dipakai adalah: 1. Metode lisan; dengan metode ini pelacakan suatu obyek sejarah dengan menggunakan interview.
10
Munawar Cholil, Kelengkapan Tarikh, hlm. 16.
6
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
2. Metode observasi ; dalam hal ini obyek sejarah diamati secara langsung 3. Metode dokumenter; dimana dengan metode ini berusaha dengan mempelajarinya secara cermat dan mendalam segala catatan atau dokumen tertulis.11 Akan tetapi, mengingat bahwa obyek sejarah pendidikan Islam sangat sarat dengan nilai-nilai agamawi, filosofi, psikologi dan sosiologi, maka perlu menempatkan obyek sasarannya itu secara utuh, menyeluruh dan mendasar. Sesuai dengan sifat tersebut, maka metode penulisan yang bisa digunakan dalam Sejarah Pendidikan Islam adalah : 1. Metode deskriptif; dengan metode ini ditunjukkan untuk menggambarkan adnya pendidikan Islam tersebut, maksudnya ajaran Islam sebagai agama samawi yang dibawa Nabi Muhammad saw. dalam kitab suci al-Qur‟an dan Hadits terutama yang berhubungan dengan pengertian pendidikan, harus diuraikan sebagaimana adanya, dengan tujuan untuk memahami makna yang terkandung dalam sejarah tersebut. 2. Metode komparatif; metode ini merupakan metode yang berusaha membandingkan sebuah perkembangan pendidikan Islam dengan lembaga-lembaga Islam lainnya. Melalui metode ini dimaksudkan bahwa ajaran-ajaran Islam tersbut dikomparasikan dengan fakta-fakta yang terjadi dan berkembang dalam waktu dan tempat-tempat tertentu untuk mengetahui adanya persamaan dan perbedaan dalam suatu permasalahan tertentu, sehingga dengan demikian diketahui pula adanya garis tertentu
11
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam hlm. 9
7
Dr. Siswanto, M.Pd.I
yang menghubungkan pendidikan Islam dengan pendidikan yang dibandingkan. 3. Metode analisis-sintesis; yaitu dengan melihat sosok pendidikan Islam secara lebih kritis, ada analisis dan bahasan yang luas serta ada kesimpulan yang sepsifik. Dengan begitu akan tampak adanya kelebihan dan kekhasan pendidikan Islam. Hal itu akan lebih jelas dengan adanya pendekatan sintesis yang dimaksudkan untuk memperoleh kesimpulan yang diambil guna memperoleh satu keutuhan dan kelengkapan kerangka pencapaian tujuan serta manfaat penulisan Sejarah Pendidikan Islam.12 C. Manfaat dan Urgensi Mempelajari Sejarah Pendidikan Islam Studi Sejarah Pendidikan Islam sebagai studi yang berhubungan dengan masalah-masalah sejarah pendidikan sudah barang tentu akan sangat bermanfaat terutama dalam rangka memberikan sumbangan bagi pertumbuhan atau perkembangan pendidikan. Secara umum sejarah mengandung kegunaan yang sangat besar bagi kehidupan umat manusia. Hal demikian disebabkan karena sejarah menyimpan atau mengandung kekuatan yang dapat menimbulkan dinamisme dan melahirkan nilai-nilai bagi perkembangan kehidupan umat manusia.13 Pada dasarnya, minimal ada dua manfaat dalam studi sejarah Pendidikan Islam, yaitu : 1. Yang bersifat umum 12
Ibid, hlm. 9-10. hlm. 12.
13Ibid,
8
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
Sejarah Pendidikan Islam mempunyai kegunaan sebagai faktor keteladanan. Kenyataan ini sejalan dengan apa yang tersurat dan tersirat pada firman Allah SWT, yaitu :
) (االية..... لقد كان لكم ىف رسـول اهلل اسـوة حسـنة
Artinya : "Demi sesungguhnya, Rasulullah itu adalah contoh teladan yang baik bagi kamu sekalian". (QS. Al-Ahzab (33):21).
) (االية..... قل ان كنتم حتبـون اهلل فاتبعـوىن حيببكم اهلل Artinya : " Katakanlah olehmu (Muhammad): Jika kamu sekalian cinta kepada Allah, maka hendaklah ikut akan daku, niscaya Allah cinta kepada kamu". (QS. Ali Imran (3): 31) 2. Yang bersifat khusus Yang bersifat khusus di sini maksudnya dalah yang bersifat akademis, karena kegunaan Sejarah Pendidikan Islam selain memberikan pembedaharaan perkembangan ilmu pengetahuan (teori dan praktik), juga untuk menumbuhkan perspektif baru dalam rangka mencari relevansi pendidikan Islam terhadap segala bentuk perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam konteks ini, Sejarah Pendidikan Islam merupakan salah satu mata kuliah yang diberikan di Fakultas Tarbiyah STAIN, IAIN, atau UIN, maka kegunaan Sejarah Pendidikan Islam diharapkan agar mahasiswa:
9
Dr. Siswanto, M.Pd.I
a. Mengetahui dan memahami pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam sejak zaman lahirnya sampai masa sekarang. b. Mengambil manfaat dari proses pendidikan Islam guna memecahkan problematika pendidikan Islam masa kini. c. Memiliki sikap positif terhadap perubahan-perubahan sistem pendidikan Islam. Selain itu, studi sejarah pendidikan Islam akan mempunyai kegunaan dalam rangka pembangunan dan pengembangan pendidikan Islam. Dalam hal ini Sejarah Pendidikan Islam akan memberikan arah kemajuan yang pernah dialami dan dinamismenya sehingga pembangunan dan pengembangan itu tetap berada dalam kerangka pandangan yang utuh dan mendasar.14 D. Periodisasi Sejarah Pendidikan Islam Sejarah pendidikan Islam pada hakekatnya tidak terlepas dari sejarah Islam. Oleh sebab itu, periodisasi sejarah pendidikan Islam berada dalam periode-periode sejarah Islam itu sendiri. Secara garis besar Harun Nasution membagi sejarah Islam ke dalam tiga periode, yaitu: (1) Periode klasik15 (dimulai tahun 650 – 1250 M), yakni sejak Islam lahir hingga 14
Zuhairini, et.al., Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm.
6. Termonologi masa klasik ini membuka peluang untuk diperdebatkan, sejak dan hingga kapan?. Apakah dalam kaca mata dunia muslim atau penulis Barat. Sebab para penulis Barat mengidentikkan masa klasik abad ke-7 sampai 12/13 M sebagai zaman kegelapan (dark age), sementara para penulis muslim mengidentikkannya dengan masa keemasan (al-Ashr aldzahabiy). Lihat Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hlm.6. 15
10
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
kehancuran Baghdad. (2). Periode pertengahan (sejak tahun 1250 – 1800 M); sejak Baghdad hancur hingga munculnya ideide pembaruan di Mesir. (3). Periode modern (mulai tahun 1800 M- sekarang).16 Demikian pula, Marshall G.S.Hodgson membagi sejarah Islam menjadi tiga periode, yaitu : 1. Periode klasik; periode ini dimulai sejak lahirnya Islam (670-an) hingga runtuhnya tradisi pemerintahan absolut (945 M) 2. Periode pertengahan; periode ini dimulai sejak pertengahan abad ke-10 (945 M) hingga abad ke-15 (1503 M), yakni ketika kemajuan belahan dunia Barat seimbang dengan kemajuan dunia Timur dan tumbuhnya peradaban internasional. 3. Periode modern, periode ini dimulai sejak abad ke-15 M, ketika kerajaan Islam terwakili oleh tiga kerajaan besar; Safawi di Persia, Mughal di India, dan kerajaan Turki (ottoman) di Turki, hingga sekarang.17 Selanjutnya pembahasan tentang pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam sendiri akan mengikuti pentahapan perkembangannya sebagai berikut: Lihat babakan sejarah Islam pada Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Gerakan dan Pemikiran (Jakarta: Bulan Bintang,1975), hlm. 11 dan juga Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, vol.1 (Jakarta: UI Press,1985), hlm. 56-91. Kemudian perincianya dapat dibagi menjadi 5 masa, yaitu: (1) Masa hidup Nabi Muhammad saw. (571-632 M), (2) Masa Khalifah al-Rasyidun (632-661 M); (3) Masa kekuasaan Umayyah di Damsyik (661-750 M); (4) Masa kekuasaan Abbasiyah di Baghdad (750-1250 M); dan (5) Masa Jatuhnya kekuasaan khalifah di Baghdad tahun 1250 M sampai sekarang. Lihat Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 7. 17 Pemahaman lebih lanjut baca Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a world Civilization, vol.1-3 (Chicago: The University of Chicago Press,1977). 16
11
Dr. Siswanto, M.Pd.I
1. Periode pembinaan pendidikan islam, yang berlangsung pada zaman Nabi Muhammad saw. 2. Periode pertumbuhan pendidikan Islam, yang berlangsung sejak Nabi saw. wafat sampai masa akhir Bani Umayyah, yang diwarnai dengan berkembangnya ilmu-ilmu naqliyyah. 3. Periode kejayaan (puncak perkembangan) pendidikan Islam, yang berlangsung sejak permulaan daulah Abbasiyah sampai dengan jatuhnya Baghdad, yang diwarnai dengan berkembangnya ilmu aqliyyah dan timbulnya madrasah, serta memuncaknya perkembangan kebudayaan Islam. 4. Periode kemunduran Pendidikan Islam, yaitu sejak jatuhnya Baghdad sapai jatuhnya Mesir ke tangan Napoleon, yang ditandai dengan runtuhnya sendi-sendi kebudayaan Islam dan berpindahnya pusat-pusat pengembangan kebudayaan ke dunia Barat. 5. Periode pembaharuan dan kebangkitan pendidikan Islam, yang berlangsung sejak pendudukan Mesir oleh Napoleon sampai masa kini, yang ditandai gejala-gejala kebangkitan umat dan kebudayaan Islam.18 Sementara itu, Muhammad Munir Mursi, membagi periodisasi pendidikan Islam ke dalam empat tahapan, yaitu; periode pembinaan, periode keemasan, periode kemunduran dan periode kebangkitan dan pembaharuan.19 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 15-16. Lihat juga Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 13. 19Muhammad Munir Mursi, al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, Ushuluha wa Tathawwuruha fi Bilad al-Arabiyyah (Kairo: „Alam al-Kutub, 1997), hlm. 67-68. Bandingkan dengan Hameed Hasan Bilqrami dan Syed Ali Ashraf, The Concept of an Islamic University (Cambridge: The Islamic Academy,1985), hlm.16-17. 18
12
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
Pembagian periodisasi dalam pendidikan Islam sebagaimana termaktub di atas, dimaksudkan hanyalah sebagai usaha untuk memudahkan urutan pembahasan saja, karena pada hakikatnya suatu peristiwa sejarah (juga dalam sejarah pendidikan Islam) selalu berkaitan dengan peristiwaperistiwa lainnya, baik yang sebelum, yang semasa maupun yang sesudahnya. Suatu peristiwa sejarah mesti dilatarbelakangi atau disebabkan oleh peristiwa-peristiwa lain yang mendahuluinya, berhubungan secara langsung dengan peristiwa-peristiwa lain yang semasa dan akan mengakibatkan terjadinya rentetan peristiwa berikutnya. *
13
Dr. Siswanto, M.Pd.I
14
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
BAB 2 PEMBINAAN PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan pada masa Nabi Muhammad saw. ini dikenal dengan masa pembinaan pendidikan Islam, karena pada masa ini terjadi proses penurunan ajaran Islam kepada Nabi Muhammad saw. dan proses pembudayaannya (masuknya ke dalam kebudayaan manusiawi, sehingga diterima dan menjadi unsur yang menyatu dalam kebudayaan manusia) berlangsung.20 Masa tersebut berlangsung sejak Nabi Muhammad saw. menerima wahyu dan menerima pengangkatannya sebagai rasul, sampai dengan lengkap dan sempurnanya ajaran Islam menjadi warisan budaya umat Islam, sepeninggal Nabi saw. Masa tersebut berlangsung Dalam pembinaan tersebut ada beberapa kemungkinan yang terjadi, yaitu: pertama, adakalanya Islam mendatangkan sesuatu unsur yang sifatnya memperkaya dan melengkapi unsure budaya yang telah ada seperti diturunkannya al-Qur,an. Kedua, adakalanya Islam mendatangkan sesuatu ajaran yang yang sifatnya meluruskan kembali nilai-nilai yang ada yang dalam praktisny menyimpang dari ajaran aslinya, seperti ajaran tauhid. Ketiga, adakalanya Islam mendatangkan ajaran yang sifatnya bertentangan sama sekali dengan budaya yang ada sebebelumnya. Keempat, budaya yang telah ada dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam dibiarkan tetap berlaku dan berkembang dengan mendapatkan pengarahan-pengarahan seperlunya. Kelima, Islam mendatangkan ajaran baru yang belum ada sebelumnya, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan perkembangan budayanya. 20
15
Dr. Siswanto, M.Pd.I
selama 22 atau 23 tahun, yakni sejak beliau menerima wahyu pertama kali, yaitu tanggal 17 Ramadhan tahun sebelum Hijrah (6 Agustus 610 M) sampai dengan wafatnya pada tanggal 12 Rabiul Awal 11 H. (8 Juni 832 M).21 Pendidikan Islam dijalankan seseorang yang terbawa oleh tradisi masyarakat yang tergolong buta huruf di mana Nabi Muhammad saw. mencoba menjadi guru yang efektif dan senang memberikan pengajaran. Hal ini merupakan fakta yang penting bahwa bermula dari pengalaman Nabi Muhammad menerima wahyu dimulai dengan mengenal perintah Allah SWT, yaitu "membaca".22 Setiap selesai menerima wahyu, beliau langsung menyuruh menghafalkan dan menuliskannya. Dengan demikian, pelaksanaan pendidikan Islam pada masa ini, dilaksanakan oleh Nabi saw. berdasarkan petunjuk dan bimbingan dari Allah SWT. Nabi Muhammad menerima petunjuk (wahyu) dari Allah dan menyampaikannya kepada umatnya, agar kumpulan dari wahyu-wahyu tersebut yang kemudian disebut al-Qur'an, diterima dan dijadikan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan umatnya. Kemudian Nabi Muhammad saw. memberikan penjelasan seperlunya tentang maksud dan pengertian dari wahyuwahyu Allah yang disampaikannya tersebut, dan sekaligus ia memberikan petunjuk serta teladan bagaimana melaksanakannya dalam kehidupan nyata sehari-hari. Kemudian Nabi Muhammad saw. memerintahkan kepada umatnya agar memperhatikan dan meneladani pelaksanaan Zuhairini, et.al., Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm. 14. 22 Mehdi Nakosten, History of Islamic and Western Education (Colorado: University of Colorado Press, 1964). 21
16
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
dan praktik wahyu Allah tersebut, sehingga menjadi landasan bagi sistem kehidupan umatnya. Pelaksanaan pembinaan pembinaan pendidikan Islam pada masa Nabi saw. dapat dibedakan menjadi dua tahap, baik dari segi waktu dan tempat penyelenggaraannya, maupun dari segi isi dan materi pendidikannya, yaitu pertama, tahap Makkah, sebagai fase awal pembinaan pendidikan Islam, dengan Makkah sebagi pusat kegiatannya, dan kedua, tahap Madinah, sebagai fase lanjutan (penyempurnaan) pembinaan pendidikan Islam dengan Madinah sebagai pusat kegiatannya. A. Pelaksanaan Pendidikan Islam di Makkah Sebelum Nabi Muhammad saw. memulai tugasnya sebagai rasul, yaitu melaksanakan pendidikan Islam terhadap umatnya, Allah mendidik dan mempersiapkannya untuk melaksanakan tugas secara sempurna, melalui pengalaman, pengenalan serta peran sertanya dalam kehidupan dan lingkungan budayanya. Dengan potensi fitrahnya yang luar biasa, ia mampu secara sadar mengadakan penyesuaian diri dengan masyarakat lingkungannya, tetapi tidak larut sama kali ke dalamnya. Ia mampu menyelami kehidupan masyarakatnya, dan dengan potensi fitrahnya yang luar biasa mampu mempertahankan keseimbangan dirinya untuk tidak hanyut terbawa arus budaya masyarakatnya.23 Bahkan ia
Keadaan masyarakat Makkah secara umum masih sangat sederhana. Penyembahan patung (paganisme) bagi mereka merupakan hal biasa, dilakukan secara turun temurun. Bahkan mereka sebenarnya tidak memiliki pengertian yang mendasar mengenai praktik penyembahan semacam itu. Hal ini ini bisa dibuktikan dari cara pendekatan diri dan penyembahan berhala yang mereka jadikan sebagai pendekatan diri kepada Allah SWT. Lihat Abdurrahman al-Baghdadi, Da'wah Islam dan Masa Depan Umat, 23
17
Dr. Siswanto, M.Pd.I
mampu menemukan mutiara-mutiara Ibrahim yang sudah tenggelam dalam lumpur budaya masyarakat tersebut.24 Dalam usahanya menemukan kembali mutiara warisan Ibrahim as., Nabi Muhammad menempuh jalan merenung dan memikirkan keadaan dan situasi masyarakat sekitarnya. Haekal melukiskan : "Di kalangan masyarakatnya, dialah yang paling banyak berpikir dan merenung. Jiwa yang kuat dan berbakat ini, jiwa yang telah mempunyai persiapan kelak akan menyampaikan risalah Tuhannya kepada umat manusia, serta mengantarkannya kepada kehidupan rohani yang hakiki, jiwa demikian tidak mungkin berdiam diri saja melihat manusia yang sudah hanyut ke lembah kesesatan. Sudah seharusnya ia mencari petunjuk dalam alam semesta ini, sehingga Tuhan nanti menentukannya sebagai orang yang akan menerima risalah-Nya".25 Untuk usaha ini, ia sering melakukan tahannus di gua Hira', yaitu suatu cara menjauhkan diri dari keramaian orang, berkhalwat dan mendekatkan diri kepada Tuhan, dengan bertapa dan berdo'a mengharapkan diberi rezeki dan
Mengimplementasikan Metode Da'wah Rasulullah saw. di Era Globalisasi (Bangil, al-Izzah, 1997), hlm. 7. 24 Zuhairini, et.al., Sejarah Pendidikan Islam, hlm.18. Pada awal kehidupan Nabi saw. di Makkah, ada sebuah gerakan pengesaan Tuhan (monotheism), yang para pelakunya disebut hanif. Hal ini diambil dari informasi al-Qur'an bahwa Ibrahim sebagai nenek moyang bangsa Arab adalah seorang hanif. Ibrahim adalah muslim, dan menyangkal tuduhan sebagian orang bahwa Ibrahim adalah seorang Yahudi dan Nasrani, ataupun musyrik. Lihat Kaelany, Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan (Jakarta: Bumi Aksara,1992), hlm.24. 25 Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad , ter. Ali Audah (Jakarta : Pustaka Litera AntarNusa, 2003), hlm.73-75.
18
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
pengetahuan.26 Di sanalah ia mendapatkan apa yang dicarinya, yaitu kebenaran dan petunjuk yang berasal dari Allah. Di sana pulalah Muhammad dilantik oleh Allah menjadi rasul, menjadi pendidik bagi umatnya. Tugas mulia Nabi Muhammad sebagai pendidik dimulai ketika beliau menerima petunjuk dan instruksi berupa wahyu dari Allah SWT sewaktu beliau mencapai umur 40 tahun, yaitu pada tanggal 17 Ramadhan sebelum Hijrah (6 Agustus 610 M). petunjuk dan instruksi tersebut berbunyi :
ِْ َخلَ َق.ك الَّ ِذي َخلَ َق الَّ ِذي َعلَّ َم.ك ْاْلَ ْكَرم َ ُّ اقْـَرأْ َوَرب.اْلنْ َسا َن ِم ْن َعلَق َ ِّاس ِم َرب ْ ِاقْـَرأْ ب ِْ َعلَّم.بِالْ َقلَ ِم ) : اْلنْ َسا َن َما َلْ يـَ ْعلَ ْم (العلق َ
Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan (1) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (2) Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah (3) Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (4) Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (5)”. (QS. al-Alaq: 1-5) Dengan turunnya ayat tersebut (sebagai landasan fundamental dalam pendidikan), Allah SWT melalui rasulNya telah memerintahkan umat Islam untuk belajar dan menulis. Pada hakikatnya, perintah "bacalah" ini memiliki makna filosofi mendalam bila ditinjau dari aspek pendidikan. Karena membaca, maka realitas makna dibalik ciptaan-Nya ini bisa dipahami secara utuh. Di samping itu, ia dimaknai sebagai upaya pencanangan dan pemberantasan buta huruf dan tindakan awal dalam membebaskan umat dari ketidaktahuan.27 Ibid, hlm. 78. Pembahasan lebih lanjut misalnya lihat M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an, cet. XVIII (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 167-171. 26 27
19
Dr. Siswanto, M.Pd.I
Kemudian berbunyi :
disusul
dengan
wahyu
berikutnya
yang
ِ َوَال َتَْن ْن.الر ْجَز فَ ْاهج ْر ُّ َو.ك فَطَ ِّه ْر َ َ َوثِيَاب.ك فَ َكبِّـ ْر َ َّ َوَرب. ق ْم فَأَنْذ ْر.يَاأَيـُّ َها الْم َّدثـِّر ِ )٨ـ١: (املدثر. فَِإ َذا ن ِقَر ِف النَّاقوِر.اصِ ْب َ ِّ َولَرب.تَ ْستَكْثِر ْ َك ف Artinya:“Hai orang yang berkemul (berselimut) (1) bangunlah, lalu berilah peringatan! (2) dan Tuhanmu agungkanlah (3) dan pakaianmu bersihkanlah (4) dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah (5) dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak (6) Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah (7) Apabila ditiup sangkakala (8)”. (QS. al-Mudatstsir: 1-8)
Itulah petunjuk awal kepada Nabi Muhammad saw. agar beliau memberikan peringatan kepada umatnya. Ia pun mulai menyebarkan ajaran-ajarannya secara rahasia yang dimulai dari sanak kerabat beliau.28 Beberapa orang dari kalangan keluarga beliau dan orang-orang Quraisy lainnya tanpa ragu menyatakan kepercayaan dan sumpah setia kepada beliau. Namun di lain pihak, sikap oposisi pun muncul dan mulai nyata ketika Nabi Muhammad saw. baru menyampaikan ajaran-ajaran Islam secara terang-terangan, terutama dari kelompok oligarki yang menguasai kehidupan kota tersebut.29 Tokoh oposan terutama juga datang dari pihak kerabat beliau Kebijaksanaan Nabi Muhammad saw. untuk menyampaikan ajaran Islam yang demikian itu, berdasarkan petunjuk langsung dari Allah SWT, sebagaimana yang termaktub dalam QS. Al-Syu'ara' ayat 213-216. Dan keadaan demikian itu berlangsung sampai lebih dari 3 tahun sampai akhirnya turun petunjuk dan perintah Allah, agar memberikan pendidikan dan seruannya secara terbuka (QS. Al-Hijr: 94). 29 Fazlurrahman, Islam, ter. Ahsin Muhammad (Jakarta: Pustaka,1984), hlm.7. 28
20
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
sendiri, yaitu Abu Lahab dan keluarganya dan diikuti tokohtokoh Quraisy lainnya.30 Kemudian bahan atau materi pendidikan diturunkan secara berangsur-angsur, sedikit demi sedikit. Setiap kali menerima wahyu, segera beliau sampaikan kepada umatnya, diiringi penjelasan-penjelasan dan contoh-contoh pelaksanaannya. Atau dengan kata lain, bidang kajian pendidikan Islam pada masa Rasulullah adalah al-Qur'an dan al-Hadits. Nabi saw. telah dengan sempurna menyampaikan al-Qur'an kepada sahabatnya dan dengan sempurna pula memberikan penjelasan-penjelasan menurut keperluannya pada masa itu. Beliau juga telah memberikan contoh yang sempurna tentang pelaksanaan dan praktik ajaran-ajaran alQur'an tersebut dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan situasi dan kondisi pada waktu itu.31
Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, ter. Mukhtar Yahya, et.al., vol.1 (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1973), hlm. 33. Ia pun menyebut paling tidak ada lima faktor yang mendorong timbulnya oposisi orang-orang Quraisy, seperti persaingan kekuasaan, penyamaan hak antara kasta bangsawan dan budak, takut dibangkitkan setelah mati, taklid, dan perdagangan patung. Lihat Ibid, hlm.87-90. Di samping itu, ada semacam keresahan kaum Quraisy terhadap kegiatan Nabi saw yang ditujukan untuk menggoyah dan membongkar akar tradisi dan pandangan hidup mereka yang telah mendarah daging dalam kehidupan mereka berupa kepercayaan syirik. Kepercayaan ini, bagi kaum Quraisy, selain merupakan landasan bagi segala perilaku mereka, sekaligus sebagai alat legitimasi segala sikap dan cara hidup mereka. Fakta ini membuktikan bahwa oposisi kaum Quraisy adalah oposisi melawan perubahan mendasar sendi-sendi kehidupan manusia ketika itu yang telah menyimpang dari hakikat manusia, yang sekaligus membuktikan bahwa kegiatan Nabi saw. terutama adalah ditujukan mengembalikan manusia kepada hakikat kemanusiaan sesuai dengan fitrahnya yang sesungguhnya. Lihat Munzir Hitami, Mengonsep Kembali Pendidikan Islam (Pekanbaru: Infinite Press, 2004), hlm. 52-53. 31 Zuhairini, et.al., Sejarah Pendidikan Islam, hlm.76. 30
21
Dr. Siswanto, M.Pd.I
Secara umum, materi al-Qur'an dan sunnah Rasul itu menerangkan tentang kajian keagamaan yang menitikberatkan pada teologi dan ibadah, seperti beriman kepada Allah, para rasul-Nya, dan hari kiamat. Zakat sendiri ketika itu belum menjadi materi pendidikan, karena zakat pada masa itu lebih dipahami denagn sedekah kepada fakir miskin dan anak-anak yatim. Selain itu, materi akhlak juga telah diajarkan agar manusia bertingkah laku dengan akhlak mulia dan menjauhi perbuatan jahat. Adapun materi-materi scientific belum dijadikan sebagai mata pelajaran. Nabi ketika itu hanya memberikan dorongan untuk memperhatikan kejadian manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan alam raya.32 Senada dengan hal tersebut, Mahmud Yunus menyatakan bahwa pembinaan pendidikan Islam masa Makkah ini meliputi : a. Pendidikan keagamaan, yaitu hendaklah membaca dengan nama Allah semata-mata, jangan dipersekutukan dengan nama berhala, karena Tuhan itu Maha Besar dan Maha Pemurah, sebab itu hendaklah dienyahkan berhala itu sejauh-jauhnya. b. Pendidikan aqliyyah dan ilmiyah, yaitu memperlajari kejadian manusia dari segumpal darah dan kejadian alam semesta. c. Pendidikan akhlak dan budi pekerti. Nabi Muhammad saw. mengajar sahabatnya agar berakhlak dengan ajaran tauhid.
Muhammad Munir Mursi, al-Tarbiyyah al-Islamiyyah: Ushuluha wa Tathawwuruha fi al-Bilad al-Arabiyyah (Kairo: 'Alam al-Kutub,1977), hlm.3. 32
22
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
d. Pendidikan jasmani (kesehatan), yaitu mementingkan kebersihan pakaian, badan dan tempat kediaman.33 Dengan demikian, materi pendidikan yang dikedepankan Nabi Muhammad pada periode Makkah ini adalah pendidikan tauhid (monotehisme), yakni upaya pembebasan manusia dari belenggu aqidah yang sesat yang dianut oleh kelompok Quraisy dan upaya pembebasan manusia dari segala bentuk penindasan suatu kelompok terhadap kelompok lain yang dipandang rendah status sosialnya. Dengan menginternasionalisasikan nilai keimanan berdasarkan tauhid, segala kepercayaan yang sesat dibersihkan dari jiwa manusia, sehingga tauhid menjadi landasan yang kokoh dalam kehidupan manusia.34 Penyembahan kepada berhala dan kesyirikan dikembalikan kepada kepercayaan kepada Allah sebagai pencipta alam, bumi dan seisinya. Kebenaran ini diperoleh melalui kesadaran dan penghayatan yang mantap tentang ajaran tauhid, yang intisarinya sebagaimana tercermin dalam QS. Al-Fatihah ayat 1-7. Dalam menyampaikan ajaran-ajarannya, Nabi saw. mempunyai lembaga (majlis), baik di rumah al-Arqam ibn Abi al-Arqam pada periode awal maupun di masjid.35 Di majlis ini, para sahabat dengan tekun mengikuti pelajaran-pelajaran beliau sambil duduk melingkar. Anas r.a. menceritakan bahwa bila mereka selesai shalat subuh mereka duduk Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1992), hlm.5-6. 34 Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam pada Periode Klasik dan Pertengahan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 30. 35 A. Nurzaman, "Pusat Kegiatan Belajar Mengajar pada Awal Kebangkitan Islam" dalam Sejarah Sosial Pendidikan Islam, ed. Suwito dan Fauzan (Jakarta: Kencana, 2005), hlm.258. 33
23
Dr. Siswanto, M.Pd.I
melingkar, mereka membaca al-Qur'an, memahami kandungan setiap ayat yang diturunkan Allah dengan jalan bermudarasah dan tadarus, disamping belajar segala hukum wajib dan sunnah.36 Adapun metode pengajaran yang digunakan adalah dengan menjelaskan ayat, menafsirkan dan menganalisis dalam bentuk ceramah, demonstrasi, praktikum dan praktik-praktik.37 Pengajaran al-Qur'an tersebut berlangsung terus sampai Nabi saw bersama para sahabatnya hijrah ke Madinah. Sejalan dengan itu berpindahlah pusat pengajaran al-Qur'an ke Madinah. Penghafalan dan penulisan al-Qur'an berjalan terus sampai dengan masa akhir turunnya. Dengan demikian alQur'an menjadi bagian dari kehidupan mereka, baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan. Hal ini berarti menambah kekayaan budaya mereka, yang pada mulanya budaya lisan, sekarang berkembang budaya tulis. Dalam menyiarkan dan menyebarluaskan ajaran Islam, metode yang dipergunakan Nabi Muhammad saw. adalah personalisasi berdasarkan pendekatan personal-individual, kemudian meluas ke arah pendekatan keluarga yang pada gilirannya meluas ke arah pendekatan sosiologis (masyarakat). Pendekatan personal, keluarga, dan masyarakat tersebut merupakan proses ke arah pendekatan sistemik dari unit keluarga, sedangkan keluarga menjadi subsistem masyarakat, dan masyarakat semakin berkembang menjadi makro-sistem dalam bentuk negara.38
Hitami, Mengonsep Kembali, hlm.53. Said Ismail Ali, Democratiyyah al-Tarbiyyah al-Islamiyyah (Kairo: 'Alam alKutun,1982), hlm.80 38 Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, hlm.30. 36 37
24
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
Di samping itu, metode yang dilaksanakan adalah dengan cara berdebat dengan orang-orang Makkah, mengenai keimanan dan aqidah, memberikan penyelesaian konkrit terhadap problematika politik dan sosial kemasyarakatan, memberikan petunjuk yang konkrit mengenai masalahmasalah ritual, moral, legal dan urusan politik.39 Beliau juga memberikan suri tauladan dan akhlak al-karimah terhadap pengikutnya, bahkan kepada mereka yang menentangnya. Terbukti dengan hal tersebut, ajaran Islam dapat diterima dan berkembang dengan pesat, bahkan menjadi tolok ukur peradaban tinggi di dunia. B. Pelaksanaan Pendidikan Islam di Madinah Hijrah dari Makkah ke madinah bukan hanya sekedar berpindah dan menghindarkan diri dari tekanan dan ancaman kaum Quraisy dan penduduk Makkah yang tidak menghendaki pembaharuan terhadap ajaran nenek moyang mereka, tetapi juga mengandung maksud untuk mengatur potensi dan menyusun kekuatan dalam menghadapi tantangan lebih lanjut, sehingga akhirnya nanti terbentuk masyarakat baru yang di dalamnya bersinar kembali mutiara tauhid warisan Ibrahim yang akan disempurnakan oleh Nabi Muhammad melalui wahyu Allah.40 Namun untuk membentuk masyarakat baru tersebut, Nabi saw. masih menghadapi persoalan baru, yakni adanya dua kelompok masyarakat yang berbeda latar belakang kehidupannya, yaitu mereka yang berasal dari Makkah Ira M. Lapidus, A History of Islamic Studies (New York: Cambridge University Press,1990), hlm. 31. 40 Zuhairini, et.al., Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 31-32. 39
25
Dr. Siswanto, M.Pd.I
(Muhajirin) dan mereka yang merupakan penduduk asli Madinah (Anshar). Kaum anshar memang menerima kaum muhajirin dengan ikhlas, tetapi bagaimana selanjutnya dengan hidup dan penghidupan mereka yang tentunya akan menjadi beban kaum Anshar.41 Kenyataan lain yang dihadapi Nabi Muhammad adalah bahwa masyarakat muslim yang baru di madinah tersebut, berhadapan atau tinggal bersama dengan masyarakat suku bangsa Arab yang belum masuk Islam dan masyarakat Yahudi yang memang menjadi penduduk Madinah. Mereka ini, tentunya tidak merasa senang dengan terbentuknya masyarakat baru kaum muslimin. Dalam pada itu, ancaman dari kaum Quraisy Makkah untuk sewaktu-waktu datang menyerbu dan menghancurkan kaum muslim merupakan keanyataan lain yang tidak dapat diabaikan. Melihat kenyataan tersebut, beliau mulai mengatur dan menyusun potensi yang ada dalam lingkungannya, memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi dengan menggunakan potensi dan kekuatan yang ada, dalam rangka menyusun suatu masyarakat baru yang terus berkembang, yang mampu menghadapi segenap tantangan dan rintangan yang berasal dari luar dengan kekuatan sendiri. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, maka Nabi saw. segera meletakkan dasar-dasar kehidupan masyarakat baru. Dasar pertama yang ditegakkannya adalah ukhuwah alIslamiyyah (persaudaraan sesama muslim). Nabi mempersaudarakan antara golongan Muhajirin dan Anshar, penduduk madinah yang sudah masuk Islam dan ikut membantu kaum muhajirin tersebut. Dengan demikian, 41
Ibid, hlm.32.
26
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
diharapkan setiap muslim merasa terikat dalam suatu persaudaraan dan kekeluargaan. Apa yang dilakukan Rasulullah ini berarti menciptakan suatu bentuk persaudaraan baru, yaitu persaudaraan berdasarkan agama, menggantikan persaudaraan berdasarkan darah atau keturunan.42 Dasar kedua, pembangunan masjid, selain untuk tempat shalat, juga sebagai sarana penting untuk mempersatukan kaum muslimin dan mempertalikan jiwa mereka, di samping sebagai tempat bermusyawarah merundingkan masalahmasalah yang dihadapi. Masjid pada masa Nabi juga berfungsi sebagai pusat pemerintahan.43 Dasar ketiga, hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam. Di Madinah, di samping orang Arab Islam, juga terdapat golongan masyarakat Yahudi dan orang-orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang mereka. Agar stabilitas masyarakat dapat terwujud, Nabi saw. mempermaklumkan suatu piagam yang mengatur kehidupan dan hubungan-hubungan antar komunitas yang merupakan komponen masyarakat yang majemuk di Madinah. Piagam tersebut lebih dikenal dengan Piagam (Konstitusi) Madinah.44 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), hlm. 268-269. Lihat Juga Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.26. Kaum Anshar kontribusinya sangat besar dalam membesarkan Islam, loyalitas yang tinggi dan kesetiaan yang sangat kuat terhadap Nabi saw. dan Islam menjadikan Madinah semakin solid dan diperhitungkan di jazirah Arabia. Lihat K. Ali, A Study of IslamicHistory (Delhi: Idarah-i Adabiyat-i,1980), hlm.41-42. 43 Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm.26. 44 Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia), hlm. 9-10. Piagam (Konstitusi) Madinah yang merupakan inisiatif Nabi saw. adalah sebuah perjanjian tertulis antara kaum muslimin dan kaum Yahudi Madinah yang terdiri dari 42
27
Dr. Siswanto, M.Pd.I
Atas dasar tersebut, maka pembinaan pendidikan di Madinah ini dititikberatkan pada upaya melanjutkan pendidikan tauhid di Makkah dengan memberikan pembinaan di bidang pendidikan sosial politik dan kewarganegaraan yang dijiwai oleh ajaran tauhid, sehingga akhirnya tingkah laku sosial politik merupakan cerminan dan pantulan sinar tauhid tersebut. Materi pendidikan sosial dan kewarganegaraan Islam pada masa itu adalah pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Konstitusi Madinah, yang dalam praktiknya diperinci lebih lanjut dan disempurnakan dengan ayat-ayat yang trun selama periode Madinah. Nabi Muhammad saw. sebagai pendidik telah memberikan contoh dan teladan yang nyata dalam kehidupan sehari-hari, di samping penjelasan-penjelasan dan instruksi-instruksi kepada umatnya dalam melaksanakan berbagai kegiatan perorangan, kelompok maupun umat secara keseluruhan.45 Tujuan pembinaan adalah agar secara berangsur-angsur, pokok-pokok pikiran Konstitusi Madinah diakui dan berlaku bukan hanya di Madinah saja, tetapi lebih luas, baik dalam beberapa kabilah dan suku yang merupakan konstitusi tertulis pertama di dunia bagi suatu Negara sehingga menjadi dokumen politik maha penting yang menguak cakrawala baru dalam kehidupan politik. Oleh karena itu, harus diakui sahamnya yang begitu besar bagi peradaban dunia. Di dalamnya terkandung beberapa masalah yang dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, seperti masalah toleransi, kebebasan menyatakan pendapat dan mempraktikkan ajaran yang diyakini, tentang kesamaan diri dan harta, kepentingan bersama, kesetiakawanan sosial dan sebagainya. Lihat M. Natsir Arsyad, Seputar Sejarah dan Mu'amalah (Bandung: al-Bayan,1993), hlm.22-23. Mengenai isi konstitusi dapat dilihat di Badri Yatim, "Muhammad saw. di Madinah" dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, ed. Taufik Abdullah, et.al. Vol.1 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 121. 45 Zuhairini, et.al, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 43.
28
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
kehidupan bangsa Arab maupun dalam kehidupan bangsabangsa di seluruh dunia. Inilah misi Nabi Muhammad saw. yaitu membawa agama Islam yang mengatasi seluruh agamaagama lain dan menjadi rahmah li al-'alamin.46 Pelaksanaan atau praktik pendidikan sosial politik dan kewarganegaraan meliputi : 1. Pendidikan ukhuwah (persaudaraan) antar kaum muslimin. Dalam melaksanakan pendidikan ukhuwah ini, Nabi Muhammad saw. bertitik tolak dari struktur kekeluargaan yang ada pada masa itu. Dalam Konstitusi Madinah dari pihak muslimin disebutkan ada sembilan keluarga (clan, marga) yang terlibat dalam perjanjian (konsitusi) tersebut, disamping pihak lain kaum Yahudi. Keluarga pertama adalah kaum muhajirin, 3 keluarga dari suku Aus dan 5 keluarga dari Khazraj.47 Untuk mempersatukan keluarga tersebut, Nabi Muhammad saw. berusaha untuk mengikatnya menjadi satu kesatuan yang terpadu. Ikatan pertama yang menghubungkan antarhati mereka adalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya.48 Islam menjadikan ikatan iman sebagai dasar paling kuat yang dapat mengikat masyarakat dalam keharmonisan, sungguhpun tetap membolehkan, bahkan mendorong, Pembahasan lebih jauh tentang upaya Nabi Muhammad saw. melalui konstitusi Madinah ini lihat Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, hlm. 198-206. 47 A. Hasjmy, Nabi Muhammad saw. sebagai Panglima Perang (Jakarta: Mutiara Sumber Widia,1983), hlm.23. 48 Diantara ajaran yang disampaikan Nabi mengenai kesatuan keluarga ini adalah bahwa antara orang yang beriman, tidak boleh membiarkan saudaranya menanggung beban hidup dan utang yang berat diantara sesama mereka. Antara orang-orang beriman satu sama lain harus salaing Bantu membantu dalam menghadapi persoalan hidup. Mereka harus bekerja sama dalam mendatangkan kebaikan, mengurus kepentingan bersama dan menolak kemudharatan atau kejahatan yang akan menimpa. 46
29
Dr. Siswanto, M.Pd.I
bentuk-bentuk ikatan lain, seperti kekeluargaan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip agama.49 Beliau meyakinkan kepada mereka bahwa "umat yang beriman itu bersaudara, karenanya perbaikilah hubungan 50 persaudaraan. Kini ikatan-ikatan kesukuan kuno telah dicabut, dan suku Yahudi, Aus dan Khazraj membentuk satu ummat. Islam mulai menjadi suatui kesatuan pemersatu, bukan pemecah belah.51 2. Pendidikan Kesejahteraan Sosial. Terjaminnya kesejahteraan sosial tergantung pertamatama pada terpenuhinya kebutuhan pokok hidup seharihari. Untuk memenuhi hal tersebut, Nabi saw. memerintahkan Muhajirin yang telah dipersaudarakan dengan Anshar untuk bersama-sama mencari nafkah sesuai dengan bidang dan kemampuan masing-masing, termasuk larangan mencari harta dengan jalan riba. Nabi hanya memperbolehkan jual beli. Setelah mereka berhasil mengumpulkan harta kekayaan, maka Nabi mengatur cara penggunaan harta kekayaan tersebut, salah satunya adalah dengan kewajiban membayar zakat bagi harta kekayaan dan harta perdagangan yang sampai pada batas tertentu (nisab). Di samping itu, beliau menganjurkan bersedekah dan memberikan pertolongan kepada fakir miskin. Ia melarang Akram Dhiyauddin Umari, Masyarakat Madani, Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi, ter. Mun'im A. Sirry (Jakarta: Gema Insani Press,1999), hlm. 87; 129-130. 50 Penegasan ini secara jelas termaktub dalam QS. Al-Hujurat: 10. 51 Karen Amstrong, Muhammad Sang Nabi, Sebuah Biagrafi Kritis, ter. Sirikit Syah (Surabaya: Risalah Gusti,2001), 213. 49
30
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
pemborosan dan makan berlebihan. Dalam hal pengamanan, Nabi saw. melarang pencurian dalam segala bentuknya dengan sangsi hukum yang berat.52 3. Pendidikan Kesejahteraan Keluarga. Kesejahteraan masyarakat sebenarnya sangat tergantung pada kesejahteraan, ketentraman serta kedamaian hubungan dalam keluarga. Nabi Muhammad saw. memperkenalkan dan sekaligus menerapkan sistem kekeluargaan dan kekerabatan baru yang berdasarkan taqwa kepada Allah SWT, dengan pengakuan hak-hak individu, hak-hak keluarga (pasangan suami istri) dan kemurnian keturunannya53 dalam kehidupan kekerabatan dan kemasyarakatan yang adil dan seimbang. Dengan demikian, kekerabatan yang dibentuk oleh Nabi saw. adalah keluarga yang diatur dengan syarat dan cara tertentu, sehingga merupakan paduan hubungan suci yang mencerminkan rasa kasih sayang sesamanya. Dalam pada itu, terbentuk harta bersama dari hasil kerja sama yang seimbang dan aturan tentang muhrim dan ahli waris serta aturan perwalian.54 Zuhairini, et.al, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 46-47. Hal ini berawal dari ketidakjelasan hubungan suami istri yang sangat bervariasi bentuknya. Ada poligami (seorang suami dengan sejumlah istri yang berbeda-beda pula jumlahnya), poliandri (seorang istri dengan sejumlah suami yang kadang sampai 10 orang), dan monogami (dalam satu waktu seorang suami.istri hanya mempunyai seorang pasangan). Nampak pula bentuk prostitusi, di mana seorang perempuan menerima hubungan seksual dengan setiap laki-laki yang mendatanginya. Dengan demikian, nampak kekacauan hubungan pasangan suami istri, sehingga nampak pula kekacauan anak-anaknya dalam hal siap yang bertanggung jawab mendidiknya. 54 Zuhairini, et.al, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 48-50. 52 53
31
Dr. Siswanto, M.Pd.I
4. Pendidikan Anak dalam Islam Anak merupakan amanat Allah kepada orang tua untuk dipelihara, dididik dan diajar agar menjadi manusia saleh. Untuk itu, sejak anak-anak, mereka diperintahkan agar belajar membaca dan menulis, serta membaca dan menghafal ayat-ayat al-Qur'an. Adapun garis-garis besar materi pendidikan anak dalam Islam yang dicontohkan oleh Nabi saw adalah sebagaimana yang diisyaratkan oleh Allah dalam QS. Lukman ayat 13-19 adalah sebagai berikut: a. Pendidikan tauhid, yaitu menanamkan keimanan kepada Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa, Allah adalah satu-satunya yang harus disembah. Ditambahkan pula bahwa Allah yang memberikan rezeki dan kenikmatan . karena itulah manusia harus bersyukur kepada-Nya. b. Pendidikan Shalat. Meskipun kewajiban shalat ini diperuntukkan bagi mukallaf, tetapi untuk mempersiapkan mereka agar nantinya bisa melaksanakan dengan baik, maka Nabi saw. menyuruh agar anak-anak berumur 7 tahun mulai dilatih dan dibiasakan melakukan shalat, dan pada umur 10 tahun ditekankan disiplin shalat secara ketat, bahkan diperintahkan dipukul jika dengan sengaja meninggalkannya. c. Pendidikan adab sopan santun dalam keluarga. Pertama yang ditekankan adalah menciptakan hubungan baik dan harmonis antar keluarga. Anakanak harus taat dan patuh kepada orang tua. Beliau meletakkan kepatuhan dan ketaatan kepada orang tua 32
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
satu tingkat dibawah kepatuhan dan ketaatan kepada Allah SWT. d. Pendidikan adab sopan santun dalam masyarakat (kehidupan sosial). Dalam kehidupan sosial, mereka harus dikenalkan dan dilatih tentang budi pekerti dan adab sopan santun dalam pergaulan, seperti larangan berlaku sombong dan congkak terhadap orang lain, sopan dalam berjalan, lembut dalam bercakap-cakap dengan orang lain, pandai beradaptasi dengan lingkungan sosial, tetapi tidak larut dalam perbuatan yang dilarang oleh ajaran Islam. e. Pendidikan kepribadian, yakni jiwa Amr al-Maruf wa Nahy 'an al-Munkar, yang selalu menghendaki kebaikan dan perbaikan lingkungan. Termasuk pula penanaman jiwa atau kepribadian yang sabar dan tabah dalam menghadapi segala macam rintangan, dan berusaha untuk memecahkannya dengan segala upaya yang dimilikinya.55 5. Pendidikan pertahanan dan keamanan dakwah Islam Setelah berlakunya konstitusi Madinah, maka kaum muslim resmi menjadi satu kesatuan politik dan sosial, atau masyarakat yang berdaulat sendiri dan diakui kedaulatannya oleh masyarakat sekelilingnya. Ini merupakan landasan dakwah untuk menyampaikan ajaran agama Islam kepada seluruh umat manusia. Dalam rangka memperluas pengakuan kedaulatan Nabi Muhammad saw. mengajak kabilah-kabilah sekitar Madinah untuk mengakui konstitusi tersebut, dengan cara 55
Ibid, hlm. 57-59.
33
Dr. Siswanto, M.Pd.I
yang baik dan bijaksana. Kalau mereka mau masuk Islam, maka secara otomatis mereka termasuk dalam masyarakat muslim yang berada dalam naungan konstitusi madinah. Kepada mereka yang tidak mau masuk Islam beliau mengikat perjanjian damai sebagaimana masyarakat Yahudi di Madinah, agar tidak saling menyerang, malah bekerja sama serta saling membantu dalam menghadapi musuh masing-masing.56 Perjanjian dengan berbagai kabilah di sekitar Madinah juga diadakan dengan maksud memperkuat kedudukan Madinah.57 Dengan demikian berarti kedaulatan kaum muslim mendapatkan pengakuan secara lebih meluas. Selanjutnya bila dianalisis lebih mendalam perkembangan pendidikan Islam pada masa periode pertama dan kedua adalah menarik untuk dikaji ulang bagaimana Nabi saw. mampu mengoptimalkan potensi-potensi masyarakat Arab. Bangsa Arab (dalam sejarah peradaban Islam) ditemukan bahwa mereka memiliki tradisi membaca, menulis dan Hal ini sesuai dengan klausul 15 Konstitusi Madinah , yakni setiap muslim berhak memberikan proteksi atau perlindungan. Tidak seorangpun boleh mengganggu pelrindungannya. Klausul ini juga menjelaskan batasan persahabatan antara sesama muslim. Persahabatan yang intim melibatkan cinta dan dukungan. Orang-orang beriman adalah teman dan pelindung satu sama lain. Lihat Umari, Masyarakat madani, hlm.133. 57 Perkembangan Islam yang pesat itu membuat orang-orang Makkah dan musuh-musuh Islam lainnnya menjadi risau. Kerisauan ini akan mendorong orang-orang Quraisy berbuat apa saja. Untukmenghadapi kemungkinankemungkinan gangguan dari musuh, Nabi saw. sebagai kepala pemerintahan mengatur siasat danmemberuk pasukan tentara. Umat Islam diizinkan berperang dengan dua alas an: (1) untuk mempertahankan diri dan melindungi hak miliknya, (2) menjaga kesalamatan dalam penyebaran kepercayaan dan mempertahankannya dari ornag-orang yang menghalanginya. Lihat Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah Kebudayaan Islam (Yogyakarta: Kota kembang,1989), hlm.28-29. 56
34
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
menghafal yang tinggi bila dibandingkan dengan bangsa lainnya. Kemampuan ini telah dimanfaatkan oleh Rasulullah saw. dalam melaksanakan dan menyampaikan risalah kenabiannya. Maka tidak mengherankan setiap kegiatan belajar Rasulullah selalu menekankan ketiga keterampilan tersebut. Sehingga pendidikan Islam pada periode ini telah mencapai kemajuan tidak hanya dalam penguasaan al-Qur'an dan al-Hadits, tetapi juga pada bidang ilmu lainnya. Di samping kemampuan dalam menyesuaikan materi pelajaran dengan potensi masyarakat yang dimiliki, Nabi Muhammad saw. juga telah menerapkan aspek manajemen, yaitu sistem rekrutmen guru sebagai pengajar di institusi pendidikan Islam. Karena semakin tinggi antusias masyarakat untuk belajar agama Islam dan Nabi sendiri tidak mungkin mengajar, membimbing mereka pada waktu bersamaan di tempat yang berbeda, maka Nabi saw. telah merekrut guru untuk ditetapkan sebagai pengajar di beberapa institusi pendidikan Islam. Tercatat dalam sejarah bahwa Ubaid ibn alsamit sebagai guru yang diangkat oleh Nabi saw. pada madrasah al-Shuffah di Madinah (sebuah ruangan yang digunakan sebagai tempat belajar dan menyantuni anak yatim piatu yang berada di dalam masjid Nabawi). Dalam proses rekrutmen tersebut Nabi saw. disamping mempertimbangkan hal terkait dengan aspek religius, selalu menekankan bahwa seorang guru adalah orang yang memiliki kemampuan dalam bidang yang akan diajarkan. Artinya seorang guru telah memiliki keahlian dalam bidang tertentu sebelum menjalani profesi seorang guru.58 M. Habib Husniall Pardi, "Eksistensi Madrasah Awal (pada Abad IX-XI M)" dalam Sejarah Sosial Pendidikan Islam, hlm. 214. 58
35
Dr. Siswanto, M.Pd.I
Pada saat Nabi Muhammad saw. akan menyelesaikan tugas kenabiannya, pada saat itu, beliau telah berhasil mengukuhkan sendi-sendi kehidupan umat manusia, hingga umat Islam mengandung potensi besar untuk berkembang pada kurun-kurun waktu berikutnya.*
36
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
BAB 3 PERTUMBUHAN PENDIDIKAN ISLAM
Kalau masa Nabi Muhammad saw. dianggap sebagai masa penyemaian nilai kebudayaan Islam ke dalam sistem budaya bangsa Arab dengan meluasnya ajaran Islam dipeluk oleh bangsa-bangsa di luar bangsa Arab yang mempunyai sistem budaya yang berbeda-beda, maka pendidikan Islam masa ini, berarti penanaman luas nilai dan kebudayaan Islam agar tumbuh dengan suburnya dalam lingkungan yang lebih luas. Sejalan dengan itu, kehidupan sosio-ekonomi tetap berlangsung sebagaimana pada masa Nabi Muhammad saw. dengan intensitas yang meningkat sebagai akibat perluasan daerah kekuasaan. Demikian pula perkembangan lembaga pendidikan seperti majlis-majlis pendidikan kuttab dan masjid sebagai sarana pendidikan dan penyebaran agama Islam. Dari aspek konseptual banyak terjadi perkembangan budaya dari masa sebelumnya. Sehingga pada masa pertumbuhan ini terjadi dialog antara prinsip-prinsip budaya Islami sebagaimana yang terangkum dalam al-Qur'an dengan budaya manusiawi yang telah berkembang saat itu. Dialog tersebut terjadi dalam pemikiran sahabat yang berhadapan langsung dengan sistem budaya masyarakat yang baru masuk Islam. Dialog tersebut kadang 37
Dr. Siswanto, M.Pd.I
kala nampak dalam perbedaan-perbedaan pemikiran dan pandangan, yang menimbulkan sikap kebijaksanaan yang berbeda-beda pula dalam menyikapi masalah-masalah baru yang timbul sebagai akibat dari betambah banyaknya pemeluk agama Islam. Bentuk konkritnya adalah tumbuhnya berbagai aliran dan madzhab dalam berbagai aspek budaya islami. A. Masa Khulafa' al-Rasyidun : Pertumbuhan Awal Suatu peristiwa penting dalam Sejarah Pendidikan Islam di masa setelah Nabi saw. wafat adalah peristiwa pemberontakan dari orang-orang murtad yang eggan membayar zakat, serta timbulnya nabi-nabi palsu pada awal kekhalifahan Abu Bakar. Para pemberontak tersebut adalah dari kalangan orang-orang yang baru masuk Islam dan dengan sendirinya mereka belum mantap keislamannya, mereka masih perlu mendapatkan bimbingan lanjutan dalam melaksanakan ajaran-ajaran Islam.59 Untuk mengatasi pemberontakan tersebut Abu Bakar mengirimkan pasukan yang terdiri dari para sahabat.60 Tetapi karena mereka tetap membangkang terjadilah pertempuran yang cukup hebat yang dikenal dengan perang riddah,61 Abd al-Muta'al Ashaidy, al-Qadlaya al-Kubra fi al-Islam (Makkah: Maktabahal-Adab,1960), hlm.92 60 Menghadapi pemberontak tersebut, Abu Bakar dan dibantu oleh para sahabat membentuk pasukan yang dibagi dalam sebelas batalyon dan dibawahi oleh sebelas panglima. Diantara mereka adalah Khalid ibn Walid, Ikrimah ibn Abu Jahal, Syahrabil ibn Hasanah, al-Muhajir ibn Abi Umayyah dan sebagainya. Pembahasan lebih lajut lihat Muhammad Khudari Bik, Tarikh al-Umam al-Islamiyyah (Kairo: Maktabah Tijariyyah Kubra,1969), hlm.174. 61 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada,2003),hlm. 36. 59
38
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
sehingga banyak di antara para sahabat yang mati syahid, yang menyebabkan berkurangnya penghafal-penghafal alQur'an, guru dan pendidik Islam. Problema ini mula-mula disadari oleh Umar ibn al-Khaththab sebelum ia menjadi khalifah. Maka para sahabat pun bermusyawarah dibawah pimpinan Abu Bakar untuk mengatasi masalah tersebut.62 Untuk menjaga agar al-Qur'an jangan sampai hilang, maka penulisan al-Qur'an yang pada zaman Nabi Muhammad saw. masih belum tersusun sesuai dengan hafalan para sahabat, maka Khalifah Abu Bakar membuat suatu kebijakan agar dituliskan kembali dan dijadikan satu mushaf. Para sahabat dikirim ke berbagai daerah yang telah dikuasai kaum muslimin untuk mengajarkan al-Qur'an dan memasukkan ajaran-ajaran Islam ke dalam budaya penduduk daerahdaerah baru tersebut. Timbullah pusat-pusat pendidikan Islam di seluruh daerah yang dikuasai kaum muslimin.63 B. Pembelajaran al-Qur'an Materi pendidikan yang diajarkan pada masa Khalifah alRasyidin sebelum Umar ibn Khaththab,64 untuk kuttab adalah belajar membaca dan menulis, membaca al-Qur'an dan menghafalnya, dan belajar pokok-pokok agama Islam, seperti
Zuhairini, et.al. Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm.71. 63 Ibid. 64 Ketika Umar ibn Khaththab diangkat menjadi khalifah, ia menginstruksikan kepada penduduk kota agar anak-anak diajarkan berenang, mengendarai onta, memanah, membaca dan menghafal syairsyair yang mudah dan peribahasa. Sedangkan materi pendidikan pada tingkat menengah dan tinggi terdiri dari al-Qur'an dan tafsirnya, Hadits dan mengumpulkannya, dan fiqh (tasyri'). Lihat Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Hidakarya Agung,1992), hlm. 40. 62
39
Dr. Siswanto, M.Pd.I
wudhu' shalat, puasa dan sebagainya. Ilmu-ilmu yang dianggap duniawi dan ilmu filsafat belum dikenal sehingga pada masa itu tidak ada. Hal ini dimungkinkan mengingat konstruk sosial masyarakat ketika itu masih dalam pengembangan wawasan keislaman yang lebih difokuskan pada pembelajaran dan pemahaman al-Qur'an dan al-Hadits secara literal.65 Problema pertama yang dihadapi oleh para sahabat dalam pengajaran al-Qur'an adalah menyangkut al-Qur'an itu sendiri pada masa itu. Al-Qur'an secara lengkap dan sempurna ada dalam hafalan para sahabat, tetapi tentunya tidak semua sahabat sepenuhnya hafal al-Qur'an. Di samping itu, al-Qur'an masih dalam tulisan-tulisan yang berserakan, yaitu yang ditulis oleh para sahabat yang pandai menulis atas perintah Nabi Muhammad saw. selama proses penurunan al-Qur'an. Maka dari itu, atas inisiatif Umar ibn Khaththab, maka pada masa khalifah Abu Bakar diadakan pembukuan al-Qur'an yang dipimpin oleh Zaid ibn Tsabit. Problema yang muncul kemudian adalah masalah pembacaan (qira'at), yang terjadi pada masa pemerintahan Utsman ibn Affan. Al-Qur'an adalah bacaan dalam bahasa Arab. Jadi, mereka yang tidak berbahasa Arab harus menyesuaikan lidahnya dengan lidah orang Arab. Hal ini memerlukan proses dan waktu, menuntut ketekunan dan kesabaran dari para sahabat dan para pengajar al-Qur'an. Oleh karena itu pengajaran al-Qur'an tersebut selalu dibarengi dengan pengajaran bahasa Arab secara sederhana.66 Problem
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 13-14. 66 Zuhairini, et.al. Sejarah Pendidikan Islam, hlm.78. 65
40
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
ini semakin nampak ketika terjadi perbedaan dialek (lahjah) dalam pengajaran al-Qur'an di masing-masing daerah yang mengakibatkan terjadinya perselisihan antara para sahabat. Mereka mengklaim dan mempertahankan kebenaran masingmasing.67 Apabila dibiarkan, hal ini bisa mengganggu persatuan dan kesatuan umat Islam.68 Oleh karena itu, berdasarkan ide Huzaifah, Utsman ibn Affan kemudian membentuk panitia yang terdiri dari empat orang, yakni Zaid ibn Tsabit, Sa'id ibn Ash, Abdullah ibn alZubair dan Abdurrahman ibn al-Harits ibn Hisyam.69 Panitia yang diketua Zaid ibn Tsbit ini bertugas menyalin suhuf alQur'an yang disimpan oleh Hafsah, sebab suhuf ini dipandang sebagai naskah al-Qur'an standar.70 Panitia ini pun menyalin menjadi beberapa mushaf , lalu dikirimkan ke beberapa wilayah Islam disertai instruksi, bahwa semua suhuf dan mushaf yang berbeda dengan "mushaf imam", harus dimusnahkan atau dibakar. Semua umat Islam menyambut baik dan mematuhi instruksi tersebut dengan senang hati. Upaya Utsman ini telah menyatukan umat Islam dalam satu
Sahabat yang mula-mula memperhatikan adanya pertikaian umat Islam dalam hal pembacaan al-Qur'an tersebut adalah Huzaifah ibn Yaman, sewaktu ia ikut dalam pertempuran di Armenia dan Azerbeijan. Selama dalam perjalanannya, ia mendengar pertikaian antara kaum muslimin tentang bacaan al-Qur'an kebenaran bacaan masing-masing. Setelah kembali ke Madinah, ia segera menemui khalifah Utsman ibn Affan dan mengusulkan agar khalifah segera mengatasi perselisihan antara umat Islam dalam hal pembacaan al-Qur'an tersebut. 68 Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur'an (Surabaya: Karya Abditama, 1997), hlm.16. 69 Khalid Muhammad Khalid, Selamat Jalan Usman bin Affan, ter. Muhammad Zuhri (Semarang: Toha Putra,1983), hlm.71. 70 Ibid. 67
41
Dr. Siswanto, M.Pd.I
mushaf dan satu huruf,71 sehingga terjadi keseragaman dalam ejaan tulisan, bacaan dan tertib susunan surat-surat.72 Untuk memudahkan pengajaran al-Qur'an bagi kaum muslimin yang tidak berbahasa Arab, maka guru al-Qur'an telah mengusahakan antara lain:73 1. Mengembangkan cara membaca al-Qur'an dengan baik, yang kemudian menimbulkan ilmu tajwid al-Qur'an. 2. Meneliti cara pembacaan al-Qur'an (Qira'at) yang bertujuan untuk mengetahui keabsahan dan kesesuaian dengan mushaf, kemudian menimbulkan adanya ilmu Qiraat dan Qiraat al-Sab'ah. 3. Memberikan tanda baca dalam tulisan mushaf. 4. Memberikan penjelasan tentang maksud dan pengertian yang dikandung dalam ayat-ayat al-Qur'an yang diajarkan yang kemudian berkembang menjadi ilmu Tafsir.74 C. Pusat-pusat Pendidikan Bersamaan dengan pengembangan daerah kekuasaan Islam, pada masa-masa berikutnya, berkembang pula pusatpusat kegiatan pendidikan Islam, baik bagi mereka yang baru masuk Islam, bagi gererasi muda, maupun bagi mereka yang akan memperdalam dan mengembangkan pengetahuan dalam Islam. Khalil Manna' al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur'an, ter. Mudzakir AS (Jakarta: Liter AntarNusa dan Pustaka Islamiyah, t.t.), hlm. 196. 72 T.M. Hasbi al-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir/al-Qur'an (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), hlm.189. 73 Zuhairini, et.al. Sejarah Pendidikan Islam,hlm.80-81. 74 Dari sinilah kemudian mucul ahli tafsir di kalangan sahabat seperti Abdullah ibn Mas'ud, Ibn Abbas, Ubay ibn Ka'ab, Zaid ibn Tsabit, Abu Musa al-Asy'ari dan Abdullah ibn Zubair. Pembahasan lebih lanjut lihat Subhi al-Shalih, mahahits fi Ulum al-Qur'an (Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayun, 1988), hlm.289. 71
42
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
Pusat-pusat pendidikan pada masa Khulafa' al-Rasyidin ini tidak hanya di Madinah, tetapi juga menyebar di berbagai kota seperti di kota Makkah (Hijaz), kota Basrah dan Kufah (Irak), kota Damsyik dan Palestina (Syam), dan kota Fistat (Mesir). Di pusat-pusat daerah inilah, pendidikan Islam berkembang secara cepat.75 Di pusat-pusat pendidikan tersebut, para sahabat memberikan pelajaran agama Islam kepada para muridnya, baik yang berasal dari penduduk setempat maupun yang datang dari daerah lain. Di pusat-pusat pendidikan tersebut muncullah madrasah-madrasah yang masih merupakan sekedar tempat memberikan pelajaran dalam bentuk halaqah di masjid atau tempat pertemuan lainnya.76 Di antara madrasah-madrasah yang terkenal pada masa pertumbuhan pendidikan Islam ini adalah : 1. Madrasah Makkah Guru pertama yang mengajar di Makkah ialah Mu'adz ibn Jabal. Dialah yang mengajarkan al-Qur'an, hukumhukum halal dan haram dalam Islam. Sedangkan pembangun madrasah pertama di kota ini adalah Abdullah ibn Abbas yang kemudian madrasah ini terkenal ke seluruh negeri Islam. Di antara murid-murid Ibn Abbas yang menggantikannya sebagai guru di madrasah Makkah adalah Mujahid ibn Jabbar (seorang ahli tafsir yang meriwayatkannya dari Ibn Abbas) Atha' ibn Abu Rabah yang masyhur keahliannya dalam ilmu fiqh dan Thawus ibn Kaisan, seorang fuqaha dan mufti di Makkah. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam hlm.33. Ibid, hlm. 39-40. Lihat juga Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, hlm.13. 75 76
43
Dr. Siswanto, M.Pd.I
Kemudian diteruskan oleh murid-murid berikutnya, yang terkenal yaitu Sufyan ibn Uyainah dan Muslim ibn Khalid al-Zanji. Imam Syafi'i sebeleum berguru di Madinah, pernah belajar di madrasah Makkah kepada kedua ulama tersebut.77 2. Madrasah Madinah Madrasah Madinah ini lebih masyhur, karena di sanalah tempat khalifah Abu Bakar, Umar ibn Khaththab dan Usman ibn Affan dan di sana pula banyak tinggal sahabatsahabat Nabi saw. di antara sahabat yang mengajar di madrasah ini adalah Umar ibn Khaththab, Ali ibn Abi Thalib, Zaid ibn Tsabit dan Abdullah ibn Umar. Zaid ibn Tsabit adalah seorang ahli qiraat dan fiqh. Dialah yang mendapat tugas memimpin penulisan kembali al-Qur'an, baik di zaman Abu Bakar maupun Usman ibn Affan. Sedangkan Abdullah ibn Umar adalah seorang ahli hadits. Ia dianggap sebagai pelopor madzhab ahl al-Hadits yang berkembang pada masa-masa berikutnya.78 3. Madrasah Basrah Ulama sahabat yang terkenal adalah Abu Musa alAsy'ari dan Anas ibn Malik. Abu Musa terkenal sebagai ahli fiqh, hadits dan ilmu al-Qur'an, sedangkan Anas ibn Malik termasyhur dalam ilmu hadits. Di antara guru madrasah Basrah yang terkenal adalah Hasan al-basri dan Ibn Sirin. Hasan al-Basri, disamping sebagai ahli fiqh, ahli pidato dan kisah, juga terkenal sebagai ahli fikir dan ahli tasawuf. Ia dianggap sebagai perintis madzhab Ahl-alSunnah wa al-Jama'ah. Sedangkan Ibn Sirin adalah seorang 77 78
Zuhairini, et.al. Sejarah Pendidikan Islam, hlm.72-73. Ibid, hlm.73.
44
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
ahli hadits dan fiqh, yang belajar langsung dari Zaid ibn Tsabit dan Anas ibn Malik.79 4. Madrasah Kufah Ulama sahabat yang tinggal di Kufah adalah Ali ibn Abi Thalib dan Abdulah ibn Mas'ud. Ali ibn Abi Thalib mengurus masalah politik dan pemerintahan, sedangkan Abdulah ibn Mas'ud sebagai guru agama. Ibn Mas'ud adalah utusan resmi Khalifah Umar untuk menjadi guru di Kufah. Ia terkenal sebagai ahli tafsir, ahli fiqh dan banyak meriwayatkan hadits Nabi saw. Di antara murid-murid Ibn mas'ud adalah al-Qamah, al-Aswad, Masruq, al-Harits ibn Qais dan Amr ibn Syurahbil. Madrasah Kufah ini kemudian melahirkan Abu Hanifah, seorang imam madzhab yang terkenal dengan pendekatan ra'yu dalam berijtihad. 5. Madrasah Damsyik Setelah negeri Syam menjadi bagian negara Islam, maka khalifah Umar ibn Khaththab mengirimkan tiga orang guru agama ke negeri ini yaitu Mu'adz ibn Jabal, Ubadah dan Abu darda'. Ketiga orang ini mengajar di Syam pada tempat-tempat yang berbeda, yaitu Abu Darda' di Damsyik, Mu'adz ibn Jabal di palestina, dan Ubadahdi Hims. Kemudian mereka digantikan oleh murid-muridnya (tabi'in) seperti Abu Idris al-Khailany, Makhil al-Dimasyki, Umar Ibn Abdul Aziz dan Raja' ibn Haiwah. 6. Madrasah Fistat Sahabat yang mula-mula mendirikan madrasah dan menjadi guru di Mesir adalah Abdullah ibn Amr ibn Al79
Ibid, hlm. 73-74.
45
Dr. Siswanto, M.Pd.I
Ash. Ia adalah seorang ahli hadits. Ia tidak hany menghafal hadits yang didengar dari Rasulullah saw. melainkan juga menuliskannya dalam catatan, sehingga ia tidak lupa atau khilaf dalam meriwayatkan hadits-hadits itu kepada murid-muridnya. Guru berikutnya yang masyhur sesudahnya adalah Yazid ibn Abi Habib al-nuby dan Abdillah ibn Abi Ja'far ibn Rabi'ah. D. Pendidikan Islam Masa Bani Umayyah Lahirnya Bani Umayyah bertepatan dengan suasana pertentangan yang sangat memuncak antara Bani Hasyim dengan Bani Umayyah, yang kemudian menelorkan perang saudara pada masa pemerintahan Khulafa' al-Rasyidin.80 Keberhasilan Muawiyah, - pendiri dinasti Umayyah – mencapai ambisi mendirikan kekuasaan daulah ini disebabkan dalam diri Muawiyah terkumpul sifat-sifat penguasa, politikus dan administrator. Ia pandai bergaul dengan berbagai temperamen manusia, sehingga ia dapat mengakumulasikan berbagai kecakapan tokoh-tokoh pendukungnya bahkan bekas lawan politiknya sekalipun. Secara esensial, pendidikan Islam pada masa Bani Umayyah81 hampir sama dengan pendidikan masa Khulafa' A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, vol.4 (Jakarta: Bulan Bintang,1993), hlm. 151. 81 Kekuasaan Bani Umayyah menjadi awal pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi monarchiheridetis. Kekhalifahan ini diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Bani Umayyah tetap menggunakan istilah khalifah, namun memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Ia menyebutnya "khalifah Allah" dalam pengertian "penguasa" yang diangkat oleh Allah. Pembahasan tentang perbedaan system pemerintahan ini lihat Abu A'la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan (Bandung: Mizan,1984). Kekuasaan Umayyah ini berumur kurang lebih 90 80
46
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
al-Rasyidin. Hanya saja memang ada sisi perbedaan dan perkembangannya tersendiri. Perhatian para raja di bidang pendidikan agaknya kurang memperlihatkan perkembangannya yang maksimal, sehingga pendidikan berjalan tidak diatur oleh pemerintah, tetapi oleh para ulama yang memiliki pengetahuan yang mendalam. Kebijakankebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah hampir tidak diketemukan. Jadi sistem pendidikan Islam ketika itu masih berjalan secara alamiah.82 Ada dinamika tersendiri yang menjadi karakteristik pendidikan Islam pada waktu itu, yakni dibukanya wacana kalam (baca: disiplin teologi) yang berkembang di tengahtengah masyarakat. Sebagaimana dipahami dari konstruksi sejarah Bani Umayyah – yang bersamaan dengan kelahirannya hadir pula tentang polemik tentang orang yang berbuat dosa besar –, wacana kalam tidak dapat dihindarkan dari perbincangan kesehariannya, meskipun wacana ini dilatarbelakangi oleh faktor-faktor politis.83 Perbincangan ini tahun. Ibu kota Negara dipindahkan Muawiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat ia berkuasa sebagai gubernur sebelumnya. Khalifahkhalifah besar dinasti Bani Umayyah ini adalah Muawiyah ibn Abi Sufyan (661-680 M), Abd al-Malik ibn Marwan (685-705 M.), al-Walid ibn Abd alMalik (705-715 M), Umar ibn Abd al-Aziz (717-720 M) dan Hasyim ibn Abd al-Malik (724-743 M). Lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: RagaGrafindo Persada,2003), hlm.43. 82 Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan, hlm. 14. 83 Harun Nasution mengatakan: "memang agak aneh kiranya kalau dikatakan dalam Islam, sebagai agama, persoalan pertama-tama timbul adalam dalam bidang politik dan bukan dalam bidang teologi. Tetapi persoalan politik ini segera meningkat menjadi persoalan teologi. Pembahasan lebih lanjut dapat dilihat misalnya, Harun Naution, Teologi Islam, Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI-Press,1986), hlm. 1-10; Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, vol.2 (Jakarta: UI Press,1972), hlm.1
47
Dr. Siswanto, M.Pd.I
kemudian telah melahirkan sejumlah kelompok yang memiliki paradigma berfikir secara mandiri.84 Meskipun demikian, pada masa ini tampaknya masih melanggengkan ilmu-ilmu yang diletakkan pada masa sebelumnya, seperti ilmu tafsir. Ilmu tafsir ini semakin niscaya dan memiliki makna yang strategis. Begitu pula hadits dan ilmu hadits mendapat perhatian secara serius. Pentingnya periwayatan hadits sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah maupun secara moral mendapat perhatian luas. Pembukuan hadits secara resmi tula dimulai pada masa ini, Katsir ibn Murrah al-Hadlrami (w.85 H.) atas perintah Abd alAziz ibn Marwan telah menulis hadits. Tetapi pembukuan hadits secara resmi yang terkenal adalah pada masa Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz yang memerintah hanya dua tahun (99101 H/717-720 M), oleh Abu Bakar Muhammad ibn Muslim ibn Ubayd Allah ibn Abdillah ibn Syihab al-Zuhriy (w.123 H.).85 Bahkan ia pun pernah mengirim surat pada Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amir ibn Ham dan kepada ulama-ulama lain untuk menuliskan dan mengumpulkan hadits.86 Dinamika disiplin fiqh menunjukkan perkembangan yang sangat berarti. Periode ini telah melahirkan sejumlah mujtahid fiqh. Ketika akhir masa Umayyah, telah lahir tokoh madzhab fiqh yakni Imam Abu Hanifah di Irak (lahir 80 H/699 M.) dan Imam Malik ibn Anas di Madinah (lahir 96 H./714 M.).87 Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan, hlm. 14-15. Munzir Hitami, Mengonsep Kembali Pendidikan Islam (Pekanbaru: Infinite Press,2004), hlm.55. 86 Perintah ini telah melahirkan metode pendidikan alternatif, yakni para ulama mencari hadits ke berbagai tempat dan orang yang dianggap mengetahuinya yang kemudian dikenal dengan metode rihlah. Lihat ibid, hlm. 17. 87 Ibid, hlm.18. 84 85
48
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
Pada masa ini, juga dapat disaksikan adanya gerakan penerjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam bahasa Arab, tetapi penerjemahan itu terbatas pada ilmu-ilmu yang mempunyai kepentingan praktis, seperti ilmu kimia, kedokteran, falak, ilmu tata laksana dan seni bangunan. Pada umumnya gerakan penerjemahan ini terbatas kepada orangorang tertentu dan atas usaha sendiri, bukan atas dorongan negara dan tidak dilembagakan. Menurut Franz Rosenthal, orang yang pertama kali melakukan penerjemahan ini adalah khalid ibn Yazid, cucu dari Muawiyah.88 Gerakan ini berawal dari banyaknya bangsa dari berbagai agama yang masuk Islam dengan tetap mempertahankan kebudayaan masing-masing, sehingga pada satu pihak, memperkaya khazanah kebudayaan dan, pada pihak lain, timbulnya dialog-dialog antar kebudayaan itu, di mana ternyata ajaran Islam dapat merangkul berbagai kebudayaan tersebut. Hal ini ditunjang pula oleh penyatuan bahasa (bahasa resmi) berkat upaya Abd al-Malik ibn Marwan (65-85 H) dengan menetapkan bahasa Arab sebagai bahasa resmi, baik di kantor maupun dalam komunikasi sehari-hari dengan bangsa lain di daerah-daerah baru yang tidak berbahasa Arab seperti Persia, Yunani dan Mesir.89 Di antara jasa Dinasti Umayyah dalam bidang pendidikan, menurut Hasan Langgulung, adalah menekankan ciri ilmiah pada masjid sehingga menjadi pusat perkembangan ilmu perguruan tinggi dalam masyarakat Islam. Dengan penekanan ini, di masjid diajarkan beberapa macam ilmu, di antaranya Franz Rosenthal, The Classical Heritage in Islam (London: Routledge and Kegan Paul,1975), hlm.3. 89 Abd al-Mun'im Maguid, Tarikh al-Hadlarat al-Islamiyyah fi al-Ushur alWustha (Kairo: Maktabat al-Anglo Mishriyyah, 1978), hlm. 13-15. 88
49
Dr. Siswanto, M.Pd.I
syair, sastra, kisah-kisah bangsa dulu, dan teologi dengan menggunakan metode debat. Dengan demikian, periode antara permulaan abad ke-2 H. sampai akhir abad ke-3 H. merupakan zaman pendidikan masjid yang paling cemerlang.90*
Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21 (Jakarta: Pustaka al-Husna,1998), hlm.9. 90
50
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
BAB 4 DAULAH ABBASIYAH: POTRET KEJAYAAN PENDIDIKAN ISLAM
A. Sekilas tentang Daulah Abbasiyah Pergantian Bani Umayyah oleh Bani Abbas di puncak kepemimpinan masyarakat Islam memiliki arti yang lebih tinggi dari sekedar perubahan dinasti semata. Peristiwa ini merupakan revolusi dalam sejarah Islam, titik balik yang sama pentingnya dengan revolusi Perancis dan Rusia di dalam sejarah Barat.91 Daulah Abbasiyah didirikan oleh keturunan Abbas Paman Rasulullah saw. yaitu Abdullah ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah al-Abbas melalui propaganda revolusioner yang menampilkan dan menyuarakan keresahan elemen-elemen penting dalam masyarakat terhadap rezim sebelumnya.92 Selama dinasti ini berkuasa pola pemerintahan yang
C.E. Bosworth, The Islamic Dinasties (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1980), hlm.7-8 92 Bernard Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah, ter. Said Jamhuri (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1988), hlm. 76. 91
51
Dr. Siswanto, M.Pd.I
diterapkan berbeda-beda sesuai dengan politik, sosial dan kultur budaya yang terjadi pada masa-masa tersebut.93 Satu misal pada masa al-Mansur, pengertian khalifah kembali berubah. Dia berkata: “Innama ana Sulthan Allah fi Ardih (sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumiNya)”. Dengan demikian, konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi berikutnya merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut Nabi sebagaimana pada masa Khulafa’ al-Rasyidun. Di samping itu, berbeda dari daulah Umayyah, khalifah-khalifah Abbasiyah memakai “gelar tahta” seperti alManshur adalah “gelar tahta Abu Ja‟far. Gelar tahta itu lebih populer dari pada nama yang sebenarnya.94 Kekuasaan Daulah Abbasiyah ini dapat dibagi dalam lima periode, yaitu : 1. Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut masa pengaruh Persia pertama 2. Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama 3. Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaihi, disebut juga pengaruh Persia kedua.
Di antara para penguasa Abbasiyah adalah Khalifah Abu al-Abbas alSaffah (750-754 M.), Khalifah Ja‟far al-Mansur (754-775 M.), Khalifah alMahdi (775-785 M.), Khalifah al-Hadi (785-786 M.), Khalifah Harun alRasyid (786-809 M.), Khalifah al-Amin (809-813 M.), Khalifah al-Makmun (813-833 M.), Khalifah Ibrahim (817 M.), Khalifah al-Mu‟tashim (033-842 M.), Khalifah al-Wasiq (842-847 M.) dan Khalifah al-Mutawakkil (847-861 M.) 94 W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990), hlm. 23 93
52
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
4. Periode Keempat(447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan Bani Saljuk dalam pemerintahan Abbasiyah, biasanya disebut juga pengaruh Turki kedua. 5. Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1250 M), masa kebebasan dari pengaruh dinasti lain.95 Pada periode pertama, pemerintahan Daulah Abbasiyah mencapai masa keemasannya (golden age). Secara politis, para khalifah benar-benar tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun, setelah periode ini berakhir, pemerintahan Abbasiyah mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.96
B. Kemajuan Peradaban Masa daulah Abbasiyah adalah zaman kemajuan peradaban Islam terutama di bidang ilmu pengetahuan. Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dapat berarti kemajuan dalam bidang pendidikan. Artinya, pada masa ini, pendidikan Islam mengalami kemajuan mencakup berbagai bidang ilmu, baik ilmu pengetahuan umum maupun agama. Kemajuan dibidang pendidikan tersebut tentu tidak datang Rahmawaty Rahim, “Metode, Sistem dan Materi Pendidikan Dasar (Kuttab) bagi Anak-anak pada Masa Awal Daulah Abbasiyah (132 H/750 M – 232 H/847 M)” dalam Sejarah Sosial Pendidikan Islam ed. Suwito dan Fauzan (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 11 96 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 50. 95
53
Dr. Siswanto, M.Pd.I
begitu saja, melainkan hasil upaya kerja keras khalifah dan kaum muslimin pada saat itu. Berkembangnya pemikiran intelektual dan keagamaan pada periode ini antara lain karena kesiapan umat Islam untuk menyerap budaya dan khazanah peradaban besar dan mengembangkannya secara kreatif. Pada masa ini, sikap umat Islam yang terbuka terhadap seluruh umat manusia mendorong orang-orang non Arab untuk masuk Islam. Kelompok ini ikut memberikan kontribusi bagi kemajuan peradaban. Sehingga para ilmuwan pada masa ini menduduki posisi penting dan mampu menumbuhkan semangat pengembangan keilmuan.97 Islam, yang awalnya lebih merupakan agama yang dianut oleh minoritas elite penguasa, pada periode ini menjadi panutan massal. Mula-mula ada kecenderungan di kalangan muslim Arab pendatang untuk membiarkan rakyat pribumi tetap menganut agama tradisi mereka. Mereka yang memeluk agama Islam melekatkan diri mereka dengan keluarga Arab tertentu. Mereka dikenal dengan mawali. Perluasan Islam tidak saja memperbanyak penganut Islam, tetapi juga ikut membangun sebuah bentuk peradaban Islam. Perluasan wilayah Islam ini dalam waktu singkat memberikan kesempatan bagi umat Islam untuk belajar dari berbagai kelompok masyarakat yang telah memiliki tradisi keilmuan yang maju. Kontak umat Islam dengan umat yang telah memiliki peradaban lain yang sangat maju, seperti India,
Nur Ahmad Fadhil Lubhis, “Dinasti Abbasiyah” , dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, vol.2 ed. Taufik Abdullah (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm.103. 97
54
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
Mesir dan Yunani, mendorong umat Islam menyerap khazanah perdaban tersebut.98 Faktor ajaran Islam sendiri menjadi penting bagi pengembangan peradaban. Al-qur‟an sebagai sumber normatif, memiliki posisi yang sangat khusus dan memainkan peran sentral dalam kehidupan kaum muslim, karena senantiasa menjadi sumber inspirasi keagamaan dan keilmuan. Di samping itu, pada abad ke-9 M, hadits juga telah mendapatkan kedudukan penting dalam kehidupan keagamaan muslim. Pada masa ini pula, hadits rujukan telah dibukukan. Dalam rangka pembukuan hadits ini, sebagian ulama tetap mempertahankan praktik musafir, yaitu melakukan perjalanan sari satu tempat ke tempat lain untuk mengumpulkan hadits.99 Kehidupan intelektual di zaman kekuasaan Abbasiyah diawali dengan berkembangnya perhatian pada perumusan dan penjelasan panduan keagamaan, terutama dari dua sumber utama tersebut diatas. Dari dua sumber utama ini, ilmu-ilmu lain kemudian berkembang. Ilmu-ilmu al-Qur‟an dan ilmu-ilmu hadits adalah dua serangkai seri pengetahuan yang menjadi pokok perhatian dan fokus pendidikan ketika itu. Kedua macam ilmu tersebut mampu mengilhami munculnya berbagai keilmuan dan pengetahuan yang lain. Kemajuan peradaban di zaman Abbasiyah juga ditandai dengan berkembangnya ilmu pengetahuan (sains). Perkembangan ini diawali dengan kegiatan penerjemahan berbagai buku ilmu pengetahuan ke dalam bahasa Arab. Kegiatan tersebut bermula pada masa pemerintahan al98 99
Ibid. Ibid.
55
Dr. Siswanto, M.Pd.I
Mansur (754-775 M.) dengan menerjemahkan buku astronomi dan kedokteran yang pada mulanya untuk keperluan pengobatan di Istana. Kemudian, kegiatan menerjemah berlanjut sampai masa pemerintahan al-Mahdi (775-785 M.) dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Harun alRasyid (786-709 M.) sampai masa al-Makmun (813-833 M.)100 Bahkan al-Makmun menetapkan kebijakan resmi bagi aktivitas ”pengaraban” karya-karya filsafat, sains dan kedokteran Yunani. Sebagai khalifah yang cerdas dan cemerlang serta cinta ilmu, al-Makmun mendirikan Bayt alHikmah di Baghdad pada tahun 830 M. sebagai perpustakaan dan institusi penerjemahan. Bayt al-Hikmah yang dipimpin oleh Yuhanna Ibn Masawih (w.857 M.) dan tak lama kemudian dipimpin oleh muridnya Hunain Ibn Ishaq (w.873 M.) adalah institut terbesar sepanjang sejarah penerjemahan karya-karya filsafat dan kedokteran Yunani.101 Di antara penerjemah yang terkenal adalah Hunain Ibn Ishaq, Ishaq Ibn Hunain, Hubais bin A‟sham, Yahya ibn Bithriq, Ibn Na‟imah dan lain-lain. Karya-karya yang pernah diterjemahkan, di antaranya karya-karya Plato tentang filsafat dan sastra, seperti Sophist, Permandes, Politicus,Republic dan Laws, karya Aristoteles tentang filsafat, sastra dan logika, seperti Categories, Hermeneutica, Generatian and Corruption,dan Nichomachean Ethics. Termasuk juga karya-karya Epicurus dan Galen tentang kedokteran, serta karya-karya dalam berbagai
Munzir Hitami, Mengonsep Kembali Pendidikan Islam (Pekanbaru: Infnite Press, 2004), hlm. 57. Lihat Juga Mustafa Abd al-Razak, Tarikh al-Falsafah alIslamiyyah (Kairo: Mathbaah Lajnah al-Ta‟lif, 1959), hlm. 31. 101 Majid Fakhri, Sejarah Filsafat Islam Sebuah Peta Kronologis, ter. Zaimul Am (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 9. 100
56
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
bahasa,102 seperti De Plantis yang diarabkan oleh Ishaq Ibn Hunain dari Bahasa Suryani. Abu Bishr Matta (w.940 M) dan muridnya, Yahya Ibn Adi, penerjemah Metaphysics, dipercaya menerjemahkan banyak karya yang umumnya dari bahasa Suryani. Al-hasan Ibn Suwar (w.1017 M) dan Abu Utsman alDimasyqi (w.910 M.) adalah dua penerjemah yang cukup tersohor karena belakangan ikut andil dalam menggarap naskah-naskah logika dan filsafat Yunani.103 C. Prestasi Ilmuwan Muslim dalam Ilmu Pengetahuan Pengaruh gerakan penerjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat kimia dan sejarah, yang kesemuanya ini mampu mendasari aspek-aspek semua disiplin yang ada dewasa ini. Hal ini dicapai tidak hanya melalui penerjemahan dan memberi komentar semata terhadap sumber-sumber Yunani104 dan bangsa Timur (Persia dan India), tetapi para ilmuwan muslim juga banyak A.J. Arberry, Aspects of Islamic Civilization as Depicted in the Original Texts (London: George Allen, 1964), hlm. 119. 103 Majid Fakhri, Sejarah Filsafat Islam, hlm. 9-10. 104 Perlu juga dikemukakan di sini bahwa keadaan perkembangan filsafat Yunani, ketika dijumpai oleh kaum muslim, tengah berada dalam keadaan mundur, bahkan hampir hancur, karena ditekan dan diabaikan oleh penguasa pada saat itu. Khazanah Ilmu pengetahuan Yunani menemukan penyelatnya yang mampu membangkitkan kembali pokok-pokoknya yang lamadan mengungkapkan substansi-substansinya dengan uraian yang orisinil pada orang Islam, seperti yang dilakukan oleh para filosof muslim (Ibn Ruysd, Ibn Sina dan lain-lain). Selain itu kaum muslim berusaha untuk mengkompromikan antara filsafat dan agama dengan cara yang adil, seimbang dan rasional. Lebih jauh lagi, seringkali sumbangan kaum muslim itu lebih mendalam dan lebih tinggi peringkatnya daripada sumbangan yang diberikan oleh kaum Iskandariyah dan lainnya dari para filosof Hellenistik. Lihat Abuddinn Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 53. 102
57
Dr. Siswanto, M.Pd.I
menambahkan dan mengkaji tentang dunia alam, terlepas dari kecenderungan mereka untuk mengaitkan ciri spiritual dan material.105 Pendeknya, masuknya ilmu-ilmu pengetahuan tersebut menimbulkan periode baru dalam pendidikan Islam yang memungkinkan pemikiran Islam menjalankan perannya untuk memperkaya pemikiran umat manusia.106 Di antara ilmuwan muslim yang kita kenal adalah al-Razari sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Al-Farqani, yang dikenal di Eropa dengan nama alFaragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa latin oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis.107 Dalam lapangan kedokteran dikenal nama al-Razi (865-925 M.) dan Ibn Sina (980-1037 M). Al-Razi dengan pengetahuannya tentang pengobatan yang didasarkan atas observasi klinik, adalah orang pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Ia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak.108 Ibn Sina –yang juga seorang filosof – berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Di antara karyanya adalah al-Qanun fi al-Thibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah.109 Di samping itu, ilmuwan ternama pada periode ini adalah Jabir Ibn Hayyan – oleh bangsa Latin dikenal sebagai ”Geber Ibid. Suaib Zainal, “Perkembangan Umum Pendidikan Islam Abad Pertengahan sampai Sekarang” dalam Sejarah Sosial Pendidikan Islam, ed. Suwito dan Fauzan (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 235. 107 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari BerbagaiAspeknya, vol. 1 (Jakarta: UI Press, 1985), hlm. 71. 108 A. Razaq Naufal, Umat Islam dan Sains Modern (Bandung: Husaini, 1987), hlm.47. 109 Philip K. Hitti, History of the Arabs (London: MacMillan Press, 1974), hlm. 364-365. 105 106
58
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
– (721-815 M.), pendiri ilmu kimia dalam Islam. Didukung oleh kekhalifahan Harun al-rasyid di Baghdad, ia menulis sekitar 3.000 karangan, kebanyakan tentang kimia, tetapi juga tentang logika, filsafat, kedokteran, ilmu-ilmu supernatural, fisika, mekanik dan bidang-bidang lain yang kemudian menjadi disiplin yang terkenal.110 Dalam banyak hal, dia telah membuat prestasi yang tidak dapat dilupakan dalam studi alkami – cikal bakal ilmu kimia. Setelah Jabir, menyusul Ibn Haytham (965-1039 M.) dengan karya-karyanya di bidang optik yang lebih baik dari karya Yunani dengan pengaruh yang terus berkembang dalam pertumbuhan ilmu fisika di Eropa abad menengah; alKhawarizmi (w.863 M) yang oleh ilmuwan Eropa dikenal dengan Algorismus, merupakan ahli matematika terbesar abad menengah. Dia mensintesakan matematika yang diketahuinya dan menyajikannya dalam karyanya ”al-Jabr wa al-Muqabalah”. Teks latin al-Jabr digunakan sebagai teks dasar pelajaran matematika di Eropa sampai abad ke-16. Dia pulalah yang mempersiapkan ringkasan sebagai jadual astronomi India kepada khalifah al-Makmun yang dikenal dengan dengan nama ”Sind Hind” (diambil dari bahasa sansakerta, Sidhanta).111 Syed Hussein Nasr, Science and Civilization in Islam (Westerham: Westerham Press, 1976), hlm. 31-36. Ibn Hayyan adalah seorang Syi‟ah dan sufi sekaligus. Karena kesufiannya ini, pemikirannya dipengaruhi secara kuat oleh mistik dan spiritual. Banyak sufi percaya bahwa ada hubungan yang sejajar antara jiwa yang menuju puncak-puncak dunia angkasa dan perubahan bentuk logam-logam dasar menjadi logam murni, seperti emas. Dikarenakan ciri ajaran sufi yang mistik ini, Ibn Hayyan melakukan eksperimen tentang logam-logam dan elemn-elemen, dan mempersiapkan manuskrip yang panjang tentang kualitas spiritual dan supernaturalnya. 111 Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997), hlm. 77. 110
59
Dr. Siswanto, M.Pd.I
Banyak kalangan di dunia Islam menganggap Abu Raihan al-Biruni (973-1051 M.) sebagai ahli ilmu alam terbesar dalam Islam yang keseluruhan kajiannya di bidang ilmu alam dibawa ke Eropa Barat, kemudian mendorong penelitianpenelitian ilmiah yang lebih maju. Dia menulis buku standar tentang astronomi yang digunakan dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam dan kemudian menjadi bagian dari paket empat bidang studi (quadrivium) di sekolah-sekolah Latin. Manuskripnya yang berjudul India merupakan hasil pengamatan terbaik tentang agama dan kultur hindu, yang terkenal pada abad pertengahan di Eropa dan Timur Tengah.112 Tokoh-tokoh terkenal dalam filsafat antara lain al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Al-Farabi banyak menulis tentang filsafat, logika, ilmu jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Ibn Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat. Yang terkenal diantaranya adalah alSyifa’. Ibn Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di sana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme.113 Masing-masing sarjana besar ini telah menjelaskan pandangan-pandangannya tentang filsafat, matematika dan ilmu kedokteran, dan telah memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga mereka lebih dikenang dan dihormati serta masih diakui sebagai ilmuwan
Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, ter. Afandi dan Hasan Asari (Jakarta: Logos, 1994), hlm. 135. 113 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 58-59. 112
60
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
besar bahkan dengan menggunakan kriteria modern sekalipun.114 Pengaruh penerjemahan ini, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga pengetahuan agama. Dalam bidang Tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode penafsiran, yaitu tafsir bi al-ma’tsur sebagai interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi dan para sahabat dan Tafsir bi al-ra’yi sebagai metode rasional yang lebih banyak bertumpu pada pendapat dan pikiran dari pada hadits dan qaul sahabat. Metode tafsir yang terakhir inilah yang banyak berkembang pada pemerintahan daulah Abbasiyah dan sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh115 dan terutama dalam ilmu teologi.116 Perkembangan logika di kalangan umat Islam sangat dipengaruhi perkembangan dua bidang ilmu tersebut.117 Stanton, Pendidikan Tinggi, hlm.127 Satu misal Imam Abu Hanifah (700-767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup kemasyarakatannya mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Sehingga madhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional dari pada hadits. Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, vol. 2 (Jakarta: UI Press, 1985), hlm. 14 116 Meskipun aliran-aliran teologi sudah ada pada masa Bani Umayyah, seperti Khawarij, Murjiah dan Mu‟tazilah, tapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional Mu‟tazilah muncul di ujung pemerintahan Bani Umayyah, namun pemikiran-pemikirannya yang lebih kompleks dan sempurna baru dirumuskan pada masa pemerintahan Abbasiyah periode pertama, setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran rasional dalam Islam. Pembahasan lebih lanjut lihat W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam (Jakarta: P3M, 1987), hlm.54-113. 117 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 56. 114 115
61
Dr. Siswanto, M.Pd.I
Para khalifah dan pembesar lain mendorong dan bahkan merespon aliran teologi yang sesuai dengan pemahamannya. Hal ini menimbulkan perdebatan terbuka dna terkadang meningkat menjadi konflik. Meskipun demikian, polarisasi paham keagamaan menjadi Jabariyah-Qadariyah, dan kemudian Asy’ariyah-Maturidiyah, telah ikut menyuburkan semangat pencarian kebenaran dan keilmuan di kalangan masyarakat. Tidak sedikit karya tulis polemis di bidang teologi ini yang disusun oleh madzhab yang ada. Setiap karya beruapaya mengajukan argumentasi untuk mempertahankan dan memperkuat pendapatnya sekaligus menyerang pendapat yang lain.118 Pada kurun ini pula, sebenarnya telah muncul pula kerangka teoritis dalam bidang kependidikan. Tokoh yang pertama-tama menyusun khusus mengenai teori pendidikan ini adalah Muhammad Ibn Suhnun (w.430 H/870 M) dalam risalahnya berjudul Adab al-Muallimin (etika para guru), Abu Hasan Ibn Muhammad al-Qabisi (w.403 H/1012 M) dengan risalah yang ditulisnya berjudul al-Risalah al-Mufashshal li Ahwal al-Muta’allimin wa Ahkam al-Muallimin (kajian rinci
118
Fadhil Lubhis, “Dinasti Abbasiyah”, hlm. 105.
62
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
mengenai ahwal murid dan kaidah-kaidah tentang murid dan guru),119 dan Burhan al-Islam al-Zarnuji (sekitar 620 H/1217 M) dalam risalahnya ”Ta’lim al-Muta’allim Thariq alTa’allum” (mengajar murid cara belajar). Selain itu, berbagai teori pendidikan ditulis pula oleh beberapa tokoh pada masa itu dalam buku mereka sebagai bagian dari bab-bab atau pasalnya.120 Karya-karya ilmuwan muslim di atas merupakan sebagian kecil dan ribuan karya intelektual muslim yang sekaligus menempatkan daur masa imperium Abbasiyah sebagai kurun keemasan. Kiranya dengan fakta historis yang dikemukakan itu cukuplah untuk menunjukkan betapa umat Islam mengembangkan aspek intelektual dalam lingkungan Islam dan dengan watak Islam tanpa merasakan suatu pengembangan dikotomi, baik dalam konsep maupun penerapannya. Pandangan ini berakar dari ajaran Islam yang menekankan pencapaian tujuan ukhrawi melalui pencapaian keberhasilan hidup di dunia. D. Harun al-Rasyid dan al-Makmun: Dua Tokoh Penting di Balik Kejayaan Pendidikan Islam Popularitas daulah Abbasiyah yang ditandai dengan kejayaan pendidikan dan ilmu pengetahuan, mencapai Risalah tersebut merupakan cermin reflektif yang memberikan kepada kita tentang kejujuran, amanah sebagai aspek dari kehidupan Islam. Dalam buku tersebut, ia mengatakan bahwa mengabdi pada pendidikan, pengajaran anak, dan hidup sebagai guru serta mau menyusun kurikulum pendidikan, metode pengajaran dan sarana pendidikan yang ada merupakan kewajiban mulia bagi semua umat Islam. Penjelasan lebih lanjut lihat Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), hlm.26-41 120 Suaib Zainal, ”Pendidikan Umum Pendidikan Islam, hlm. 236. 119
63
Dr. Siswanto, M.Pd.I
puncaknya pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid (786809 M) dan al-Makmun (813-833 M).121 Berdasarkan fakta sejarah, terungkap bahwa pada masa pemerintahan keduanya merupakan masa yang paling gemilang dalam perjalanan peradaban Islam. Ketika orang-orang Eropa masih berada dalam zaman kegelapan (darken age), Baghdad yang merupakan ibu kota daulah ini pada zaman tersebut justru telah tampil menjadi pusat peradaban, kebudayaan, pendidikan dan ilmu pengetahuan yang cahayanya menerangi seluruh dunia. Seorang orientalis Barat non-Islam, Jaeqnes C. Biesler, dengan jujur mengatakan : ”Selama lima ratus tahun, Islam menguasai dunia dengan kekuatannya, ilmu-ilmu pengetahuan dan peradabannya yang tinggi. Sebagai ahli waris kekayaan ilmu pengetahuan dan filsafat orang-orang Yunani, Islam melanjutkan kekayaan ini setelah memperkayanya sampai ke Eropa Barat. Jadi, Islam telah sanggup melebarkan kekuasaan pemikiran adab-adab pertengahan, dan membuat suatu kesan yang mendalam pada kehidupan dan pemikiran Eropa”.122 Kemajuan ini tentu saja tidak terlepas dari kepribadian khalifah dan usaha yang dijalankan dalam mengembangkan keilmuan dan peradaban. Harun al-Rasyid123 yang naik tahta K. Ali, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Srigunting, 1998), hlm.52 Dikutip oleh A.M. Saefuddin, et.al, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi (Bandung: Mizan, 1987), hlm.170. 123 Harun al-Rasyid adalah khalifah kelima daulah Abbasiyah yang terkenal dengan kedermawanan dan juga penyair. Ia memerintah selama 23 tahun (786-809), dan membuat daulah ini mencapai puncak kemajuan dan kejayaan di bidang ekonomi, perdagangan, wilayah kekuasaan, politik, ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Ia putra dari al-Mahdi bin Abu Ja‟far alMansur, khalifah ketiga daulah Abbasiyah. Ibunya bernama Khairuzan, seorang wanita sahaya dari Yaman. Ibunya adalah seorang wanita yang 121 122
64
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
menggantikan Khalifah Musa al-Hadi merupakan sosok pemimpin yang cinta ilmu. Ia mendapatkan pendidikan di istana, baik pendidikan agama maupun ilmu pemerintahan. Ia banyak mendapati pendidikan dari Yahya ibn Khalid (w.805 M), salah seorang menteri pada masa pemerintahan Harun alRasyid. Ia seorang yang cerdas, fasih berbicara dan mempunyai kepribadian yang kuat. Sejak keterlibatannya dalam pemerintahan dalam usia muda dan selama menjadi khalifah, al-rasyid menjalin hubungan yang akrab dengan para ulama, ahli hukum, hakim, qari, penulis dan seniman. Ia sering mengundang mereka ke istana untuk mendiskusikan berbagai masalah. Sifat-sifat yang dimilikinya dapat memikat perhatian masyarakat, sehingga masyarakat merasa simpatik dan kagum kepadanya.124 Usaha terpenting Harun al-Rasyid adalah perhatiannya yang tinggi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam dengan taraf yang belum pernah dicapai sebelumnya. Ia mendirikan beberapa lembaga pendidikan, seperti bayt al-hikmah, majelis al-mudzakarah, lembaga pengkajian masalah-masalah keagamaan, rumah-rumah, masjid-masjid, istana khalifah, dan rumah sakit.125 Hal ini dapat mengilhami tumbuhnya kedai-kedai buku, penyalur buku dan para penyalin naskah di semua kota-kota penting Islam, terutama di Baghdad, Kairo dan Damaskus. sangat berpengaruh dan memberikan peranan dalam pemerintahan suaminya. Lihat Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm.86. 124 Usman, ”Institusi Pendidikan Islam pada Masa Harun al-Rasyid”, dalam Sejarah Sosial Pendidikan Islam, ed. Suwito dan Fauzan (Jakarta: Kencana, 2005), hlm.97. 125 Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, vol. IV (Jakarta: Ichrtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm. 88
65
Dr. Siswanto, M.Pd.I
Demikian pula al-Makmun, ia adalah penguasa yang masyhur sepanjang sejarah daulah Abbasiyah. Di samping sebagai pejuang pemberani, ia juga penguasa yang bijaksana. Semangat berkarya, bijaksana, pengampun, adil, cerdas dan bebas dalam berfikir merupakan sifat-sifat utama yang menonjol dalam pribadi al-Makmun. Ia dikenal lantaran inisiatifnya dalam memajukan intelektual Islam yang membuatnya sebagai satu di antara khalifah yang sekaligus sebagai intelektual besar. Ia menyadari bahwa kemakmuran rakytanya bergantung kepada kemajuan peradaban dan pendidikan. Masa pemerintahannya diwarnai dengan gerakan pendidikan dengn mendatangkan para ilmuwan, penulis, pujangga, fisikawan dan filosof untuk berkarya di istana Baghdad. Dialah yang mula-mula mendirikan gerakan pemikiran dalam sejarah, sekaligus sebagai pemrakarsa paling besar dalam penerjemahan buku-buku berbahasa Yunani dan Suryani. Disebabkan karena ibunya dulu adalah seorang budak perempuan dari Persia, maka al-Makmun lebih familiar terhadap peradaban Persia dan dikenal subyektivitasnya terhadap kebangsaan Persia.126 Usahanya termasuk langkah pemula bagi gerakan penulisan yang dilakukan oleh para pemikir dan cendikiawan muslim untuk disumbangkan kepada kehidupan manusia. Pada gilirannya, kedudukannya dalam sejarah mengungguli ayahnya, Harun al-Rasyid, meskipun al-Rasyid lebih terkenal dari dirinya. Ia betul-betul mendorong umat Islam untuk ikut serta dalam kehidupan yang menggabungkan antara dimensi ilmiah dan ruhaniah, seperti masyarakat Yunani, dan Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), hlm. 251 126
66
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
berusaha keras mengangkat masyarakatnya dari kehidupan statis, yang hanya meniru, menterjemah dan mengambil naskah, menuju suatu kehidupan yang dinamis dan penuh dengan penemuan baru.127 Selain perhatiannya yang begitu besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, dan upayanya memberikan kebebasan pada akal untuk mendiskusikan hal-hal yang ada kaitannya dengan akidah, al-Makmun juga meninggalkan sesuatu yang sangat berharga bagi umat Islam dan sejarahnya. Pada masa pemerintahannya digalakkan usaha pembauran antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain. Sebuah praktik yang kelak menjadi faktor penyebab menjamurnya perkawinan antar ras, poligami dan pernikahan terhadap budak belian. Hasilnya, fanatisme kabilah, yang boleh dikatakan bahaya besar bagi keutuhan negara, telah dapat ditanggulangi sepenuhnya. Padahal waktu itu terjadi kesenjangan antara kaum muslim senior dan orang-orang yang baru masuk Islam; antara pengikut aristokratisme yang mengandalkan keturunan dan kelompok baru yang terdiri atas para pedagang, dokter, penulis, sastrawan, guru, ilmuwan dan industriawan.128 Hal ini dapat ditelusuri dari konsep dasar pendidikan inklusif atau multikultural yang telah dipraktikkan alMakmun di lembaga pendidikan bayt al-hikmah.129 Institusi ini telah mengukir sejarah baru dalam peradaban manusia dimana bangsa Barat sekalipun belum mengenalnya, apa yang
Amin, Seratus Tokoh, hlm. 71-72 Ibid, 73. 129 Asar, Pendidikan Tinggi Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 109. 127 128
67
Dr. Siswanto, M.Pd.I
disebut konsep multikultural130 dalam pendidikan. Dikatakan demikian, karena subjek toleransi, perbedaan etnik kultural, dan agama sudah dikenal dan merupakan hal yang biasa. Demikian pula tidak diketemukan diskriminasi dalam institusi ini. Oleh karena itu, pada masa ini nilai-nilai kebebasan berekspresi, keterbukaan, toleransi dan kesetaraan dapat dijumpai pada proses pengumpulan manuskrip dan penerjemahan buku-buku sains dari Yunani untuk melengkap institusi pendidikan bayt al-hikmah. Al-Makmun telah memberikan kebebasan kepada yang memiliki perbedaan etnik kultural dan agama,131 baik kepada para sarjana muslim maupun non muslim. Nilai-nilai kebebasan dan kesetaraan juga tergambar dalam proses belajar mengajar di institusi pendidikan Islam masjid dan halaqah-halaqah. Murid memiliki kebebasan dalam memilih materi pelajaran dan gurunya. Di samping nilai-nilai keadilan dalam menuntut ilmu diberlakukan oleh al-Makmun terutama pada kelompokkelompok minoritas. Azyumardi Azra mendefiniskan pendidikan multikultural sebagai “pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultur lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan”. Lihat Azyumardi Azra, Pancasila dan Identitas Nasional Indonesia: Perspektif Multikultural dan Pendidikan Multikultural, hlm. 15. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan multikultural mencakup subjek seperti: toleransi, tema-tema tentang perbedaan etnikkultural, agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, HAM, demokrasi dan pluralitas serta kemanusiaan universal. 131 R. Nicolsom, Literary of the Arab (Cambridge: Cambridge University Press,1930), hlm. 235. Para penerjemah yang memiliki perbedaan etnik kultural antara lain: (1) Abu Sahl Fazhl bin Nawbakht dan Alan al-Syu‟ubi, berkebangsaan Persia, (2) Yuhanna bin Masuya, berkebangsaan Syria, (3) Hunayn Ibn Ishaq, Abu Bisr Matta ibn Yunus, dan Ishak bin Hunayn serta Hubaish, beragama Kristen Nestorian 130
68
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
E. Institusi Pendidikan Kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan semakin berkembang dengan munculnya beberapa institusi pendidikan baru yang memang sebelumnya telah berkembang sejak permulaan islam. Tetapi institusi pendidikan itu kemudian lebih mengalami perkembangan yang cukup pesat sejalan kebijakan penguasa Abbasiyah dalam transformasi keilmuan dan pendidikan. Menurut Hasan Abd al-Ali, institusi pendidikan yang lahir pada masa ini selain keluarga adalah masjid dan kuttab, istana khalifah, rumah-rumah para pangeran, menteri dan ulama, kedai-kedai, saudagar buku, salon-salon kesusasteraan, ribath, rumah sakit, al-bimaristan, observatorium dan tempat-tempat eksperimen ilmiah serta dar al-hikmah, bayt al-hikmah, ataupun dar al-kutub. 132 Kemudian hampir sama dengan pendapat diatas, Zuhairini mengelompokkan lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti kuttab, pendidikan rendah di istana, toko-toko buku, rumah para ulama, badiah, rumah sakit, perpustakaan dan masjid, sebagai pendidikan Islam yang bercorak nonformal. Sedangkan lembaga formalnya adalah madrasah.133 Berdasarkan penggolongan Makdisi, institusi pendidikan Islam masa Abbasiyah dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Maktab/kuttab adalah institusi pendidikan dasar. Mata pelajaran yang diajarkan adalah khat, kaligrafi, al-qur‟an, akidah dan syair.
Hasan Abd. Ali, al-Tarbiyah al-Islamiyah (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1978), hlm 181-182 133 Zuhairini, et.al. Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), hlm.89-99. 132
69
Dr. Siswanto, M.Pd.I
2. Halaqah, artinya lingkaran. Halaqah merupakan institusi pendidikan Islam setingkat dengan pendidikan tingkat lanjutan atau college. 3. Majlis adalah institusi pendidikan yang digunakan untuk kegiatan transmisi keilmuan dari berbagai disiplin ilmu sehingga majelis banyak ragamnya. Ada tujuh macam majlis, yaitu : majlis al-hadits, majlis al-tadris, majlis almunazharah, majlis al-muzakarah, majlis al-syu’ara, majlis alAdab dan majlis al- Fatwa. 4. Masjid merupakan institusi pendidikan yang sudah ada sejak masa nabi saw. 5. Khan, berfungsi sebagai asrama pelajar dan tempat penyelenggaraan pengajaran agama. 6. Ribath, adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan dari kehidupan duniawi untuk mengkonsentrasikan diri beribadah semata. 7. Rumah-rumah ulama digunakan untuk melakukan transmisi ilmu agama dan ilmu umum dan kemungkinan lain perdebatan ilmiah. 8. Toko buku dan perpustakaan berperan sebagai tempat transmisi ilmu dan Islam. 9. Observatorium dan rumah sakit sebagai tempat kajian ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani dan transmisi ilmu kedokteran. Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa Abbasiyah dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada saat itu lebih merupakan sebuah universitas, karena disamping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi.134 134
Yatim, Sejarah Peradaban, hlm. 55.
70
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
Perkembangan institusi atau lembaga pendidikan mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Kemajuan ini paling tidak, ditentukan oleh dua hal, yaitu: pertama, terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada pemerintahan Abbasiyah, bangsa-bangsa non Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia, sebagaimana telah disebutkan, berjasa besar dalam perkembangan ilmu, filsafat dan pemerintahan. Pengaruh India terlihat dalam bidang keokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam berbagai keilmuan, terutama filsafat.135 Kedua, gerakan terjemahan yang berlangsung pada masa pemerintahan khalifah-khalifah Abbasiyah selama tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlansung mulai masa khalifah al-Ma‟mun hingga tahun 300 H. Buku yang banyak diterjemahkan adalah bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H,
135
Ibid.
71
Dr. Siswanto, M.Pd.I
terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.136 Demikianlah kemajuan ilmu pengetahuan dan pendidikan yang pernah dicapai oleh pemerintahan Islam pada masa klasik, kemajuan yang tidak ada tandingannya di kala itu. Sehingga Islam mencapai masa keemasan, kejayaan dan kegemilangan. Masa keemasan ini mencapai puncaknya terutama pada masa kekuasaan Abbasiyah periode pertama. Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan yang dicapai dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung mencolok. Setiap khalifah cenderung ingin lebih mewah dari pendahulunya. Kecenderungan mewah, ditambah dengan kelemahan khalifah dan faktor lainnya seperti persaingan antar bangsa, kemorosotan ekonomi dan konflik keagamaan, menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional asal Turki yang semula diangkat oleh khalifah Al-Mu‟tashim untuk mengambil kendali pemerintahan. Usaha mereka berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya berada di tangan mereka, sementara kekuasaan Bani Abbas di dalam khilafah Abbasiyah yang dirikannya mulai pudar dan ini merupakan awal dari keruntuhan dinasti ini sekaligus keruntuhan keilmuan dan pendidikan Islam, meskipun setelah itu usianya masih dapat bertahan lebih dari empat ratus tahun.137
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, vol.1 (Kairo: Lajnah al-Ta‟lif wa al-nasyr,tt), hlm. 288-290. 137 Yatim, Sejarah Peradaban, hlm.63. 136
72
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
Kemunduran ini diperparah dengan serangan bala tentara Mongol di bawah komando Hulagu Khan. Akibat serangan ini, khalifah dan para pengikutnya menyerah kalah pada bulan Pebruari 1258 M. Setelah itu, bala tentara Mongol menghancurkan kota, membakar sekolah dan perpustakaan, merobohkan masjid dan istana serta membunuh lebih dari satu juta orang Islam. Baghdad hancur luluh dan pasukan Mongol pergi dengan membawa sebanyak mungkin harta rampasan perang. Peristiwa inilah yang secara langsung mengakibatkan kemerosotan di berbagai bidang, terutama kemunduran intelektual di kalangan umat Islam. Ini adalah tragedi peradaban dan kemanusiaan daulah Abbasiyah, sebuah dinasti yang pernah mencapai zaman keemasannya.*
73
Dr. Siswanto, M.Pd.I
74
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
BAB 5 PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM ERA TURKI USMANI
A. Kondisi Sosio-Politik Kerajaan Turki Usmani Pendiri kerajaan ini adalah bangsa Turki dan kabilah Oghuz yang mendiami daerah Mongol dan daerah utara negeri China. Dalam jangka waktu sekitar tiga abad, mereka pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad ke-9 atau ke-10 di bawah pimpinan Ortoghol. Di bawah tekanan serangan-serangan Mongol pada abad ke-13 M, mereka melarikan diri ke daerah Barat dan mencari tempat pengungsian di tengah-tengah saudara mereka., orang-orang Turki Saljuk, di dataran tinggi Asia Kecil.138 Di sana, mereka mengabdikan diri kepada Sultan Alaudin, Sultan Saljuk yang kebetulan sedang berperang melawan Bizantium. Berkat bantuan mereka, Sultan Alaudin mendapat kemenangan. Atas jasa baik itu, alaudin menghadiahkan sebidang tanah di Asia Kecil yang berbatasan dengan Bizantium. Sejak itu mereka terus membina wilayah barunya Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), hlm. 234-325. 138
75
Dr. Siswanto, M.Pd.I
dan memilih kota Syukud sebagai ibu kota.139 Ortoghul meninggal dunia tahun 1289 M. Kepemimpinan dilanjutkan oleh putranya, Usman. Putra Ortughol inilah yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Usmani. Pada tahun 1300 M, bangsa Mongol menyerang kerajaan Saljuk dan Sultan Alaudin terbunuh. Kerajaan Saljuk ini kemudian terpecah-pecah dalam beberapa kerajaan kecil. Usman pun menyatakan merdeka dan berkuasa penuh atas daerah yang didudukinya. Sejak itulah kerajaan Usmani dinyatakan berdiri.140 Kerajaan Usmani sangat gencar melakukan ekspansi guna meluaskan wilayah kekuasaannya, sehingga pada masa Orkhan sebagian wilayah Eropa telah ditundukkan. Sejak abad ke-16, wilayah kekuasaannya sangatlah luas, membentang dari Budepest di bagian utara sampai Yaman, di bagian selatan dan dari Bashrah di bagian timur hingga alJazair di bagian barat.141 Pada masa ini pulalah, Turki Usmani menikmati masa keemasan, yakni pada masa kepemimpinan Sultan Sulaiman, the great, the magnificent, al-qanuniy,142 (memerintah antara 1520-1566), Kerajaan Turki Usmani mencapai peradaban tinggi karena kepandaian masyarakatnya yang adaptif terhadap kemajuan di sekitarnya. Bizantium, Persia dan Arab adalah wilayah yang kaya akan kebudayaan dan peradaban tinggi. Dari sanalah Utsmani mengambil alih kebudayaan Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudyaan Islam: Imperium Turki Usmani (Jakarta: Kalam Mulia, 1988), hlm.2 140 Badri Yatim, Sejarah Perdaban Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 130. 141 Stanford Show, History of The Ottoman Empire and Modern Turkey (London: Cambridge University Press, 1985), hlm. 22 142 Dikenal dengan gelar-gelar tersbut, karena Sultan Sulaiman berjasa dalam meletakkan dasar hukum bagi kerajaan Usmani. 139
76
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
untuk dipakai sebagai landasan kemajuan. Utsmani banyak mengikuti etika etika dan protokoler istana raja-raja Persia, karena ada hubungan historis yang melatarbelakangi kehidupan Utsmani sebelum dan sesudah pindah ke Asia Barat. Utsmani banyak meniru sistem organisasi tentara dan pemerintahan Bizantium yang dinilainya telah maju lebih dahulu. Usmani juga meneliti dan mengembangkan ilmu pengetahuan, ekonomi, sosial kemasyarakat, hukum dan huruf dari budaya Arab melalui ajaran Islam yang mereka peluk.143 Masyarakat kerajaan Turki Utsmani juga mengalami kemajuan dalam bidang agama. Kehidupan agama merupakan bagian terpenting dakam sistem sosial dan politik daulah ini. Mereka sangat menghargai ajaran-ajaran agama, sehingga fatwa ulama menjadi acuam mereka. Karena itu, ulama mempunyai tempat tersendiri dan berperan besar dalam kerajaan dan masyarakat. Mufti sebagai pejabat urusan agama tertinggi berwenang memberi fatwa resmi terhadap problema keagamaan yang dihadapi masyarakat. Tanpa legitimasi mufti, keputusan hukum kerajaan bisa tidak berjalan.144 Di samping itu, Turki Utsmani juga mengalami kemajuan di bidang politik dan kemiliteran. Kekuatan militer Utsmani yang sangat tangguh sangat menentukan stabilitas kekuasaan. Kelompok militer yang disebut Jenisseri atau Inkisyariah dapat mengubah Turki Utsmani menjadi mesin perang yang paling kuat dan memberikan doorngan yang amat besar dalam Ali Mufrodi, “Kerajaan Usmani” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Vol. 2, ed. Taufik Abdullah (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm.241. 144 Philip K. Hitti, History of the Arab (London: Macmillan Press, 1970), hlm. 714 143
77
Dr. Siswanto, M.Pd.I
menaklukkan negeri-negeri non muslim. Namun, Kejayaan Ustmani mulai kelihatan pudar setelah Sultan Sulaiman meninggal dunia, yang mengakibatkan terjadi perebutan kekuasaan antara putra-putranya.145 Pada awal abad ke-18, Turki Usmani berusaha mengembalikan kejayaan dengan melakukan reform yang sangat gencar. Bahkan Sultan Salim III (w.1807) membuka sejumlah kedutaan Utsmani di eropa. Kemudian Mahmud II (w.1839) memperkenalkan berbagai lembaga pembaharuan yang banyak diilhami dari Barat, termasuk pendidikan, militer, ekonomi dan hukum. Periode kemudian dikenal sebagai periode ”reorganisasi”. Berbagai usaha pembaruan terus dilakukan oleh orang-orang Turki, baik dari kalangan ulama, kaum muda, cendikiawan maupun birokrat hingga abad ke-20.146 B. Perkembangan Pendidikan Pendidikan sebagai dimensi perkembangan suatu bangsa, pada masa Turki Utsmani cukup menarik untuk dianalisis keberadaannya. Sebab dibalik kejayaan ekspansinya telah terjadi kelesuan intelektual yang akut. Mengingat sebagai bangsa yang berdarah militer, Turki Usmani lebih banyak menfokuskan kegiatan mereka dalam bidang kemiliteran, sementara dalam bidang ilmu pengetahuan, mereka kelihatan tidak begitu menonjol, kecuali dalam pengembangan arsitektur Islam, berupa bangunan masjid yang Indah seperti masjid al-Muhammadi atau masjid Jami‟ Sultan Muhammad
Abuddin Nata (ed.), Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 273 146 Ibid, hlm. 274. 145
78
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
al-Fatih, masjid Agung Sulaiman dan masjid Ali Ayyub alAnshari. Karena itulah, di dalam khazanah intelektual Islam, kita tidak menemukan ilmuwan terkemuka dari Turki Utsmani.147 Namun demikian, perhatian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan pendidikan tetap menjadi agenda tersendiri bagi para sultan Utsmani. Sultan-sultan Utsmani banyak mendirikan masjid-masjid dan madrasah, terutama di Istambul dan Mesir. Di antara sultan Utsmani yang banyak membangun masjid adalah Sultan Muhammad al-Fatih (w.1481 M.). Ia telah membangun beberapa masjid yang dilengkapi dengan perpustakaan dan diisi dengan buku-buku warisan pemikiran Arab, Persia dan Turki. Selain itu, masjidmasjid tersebut dilengkapi dengan pondok-pondok untuk para pelajar yang memungkinkan para guru dan pelajar untuk tinggal di sana.148 Madrasah pada masa ini merupakan satu-satunya lembaga pendidikan umum dan di dalamnya hanya diajarkan pendidikan agama. Madrasah-madrasah yang ada dan yang berkembang diwarnai dengan kegiatan-kegiatan sufi. Madrasah berkembang menjadi zawiyah-zawiyah untuk mengadakan riyadlah, merintis jalan untuk kembali kepada Tuhan di bawah bimbingan dan otoritas guru-guru sufi. Maka berkembanglah berbagai sistem riyadlah untuk menuntun para murid. Itulah yang kemudian disebut tarekat. Kegiatan tarekat
Badri Yatim, Sejarah Peradaban, hlm. 136. Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997), hlm. 251. 147 148
79
Dr. Siswanto, M.Pd.I
pun berkembang pesat. Di antara aliran tarekat yang paling besar adalah al-Bektasyi149 dan al-Maulawy.150 Pada masa inilah, sufisme mulai digemari umat Islam dan berkembang dengan pesat.151 Berkaitan dengan kondisi tersebut, Fazlurrahman menyatakan sebagai berikut: ”... di sebagian besar pusat-pusat sufi terutama di Turki, kurikulum akademis terdiri hampir seluruhnya buku-buku tentang sufi. Di Turki waktu itu, terdapat beberapa tempat khusus Methnevikhana, di mana matsnawi-nya Rumi merupakan satu-satunya buku yang diajarkan. Lebih jauh lagi, isi dan karya-karya tersbut sebagian besar dikuasai pantheisme adalah bertentangan secara tajam dengan lembaga pendidikan ortodoks. Karena itu, timbullah suatu Al-Bektasyi adalah suatu aliran tarekat ”pedesaan” yang populer di Turki, menyebar ke Anotalia dan diorganisir sepenuhnya serta dimapankan menjelang akhir abad ke-15 M. aliran ini dismping tetap memelihara unsurunsur Syamanistis, juga mengembangkan kecenderungan-kecenderungan syi‟ah di satu pihak dan kepercayaan-kepercayaan serta praktek-praktek Kristen di lain pihak. Mereka tidak hanya percaya kepada dua belas imam syi‟ah, tetapi juga membuat trinitas; Tuhan, Muhammad dan Ali. Sehingga Bektasyiyah adalah yang paling jauh menyimpang dari ortodoksi, dan hanya sedikit sekali memperhatikan kewajiban-kewajiban hukum dalam Islam. Melalui asosiasi mereka dengan kelompok militer Jamisseri mereka memperoleh kekuasaan politik di kerajaan Turki Usmani dan selalu melancarkan pemberontakan terhadap pemerintah yang sekular. Dihancurkan pada tahun 1826 M. oleh pemerintah dan dibubarkan oleh pemerintahn modern Turki pada tahun 1925 M. bersama dengan ordo-ordo sufi yang lain. Lihat Fazlurrahman, Islam, ter. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 237-238. 150 Tarekat Maulawiyah adalah ordo sophisticated atau ”perkataan” yang utama di kalangan Bangsa Turki yang didirikan oleh penyair mistikus Jalaluddin al-Rumi (w.1273 M). Tarekat ini memiliki ritus mistik yang terperinci dan terkenal karena tarian-tarian mereka yang berputar-berputar yang menyebabkan mereka disebut “darwis-darwis yang menari”. Semenjak mereka ditindas oleh rezim revolusioner Kemalis, Maulawiyah hanya terbatas di Timur Tengah saja, terutama Aleppo. Lihat Ibid, hlm. 239. 151 Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 284. 149
80
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
dualisme spiritual yang tajam dan berlarur-larut antara madrasah dan khanaqah. Ciri khas dari fenomena ini adalah adalah melimpahnya pertanyaan-pertanyaan sufi yang taubat setelah menemukan jalan, lalu membakar bukubuku madrasah mereka atau melemparkannya ke dalam sumur”.152 Dengan menyempitnya lapangan ilmu pengetahuan umum melalui tidak adanya pemikiran ilmu dan sains-sains kealaman, maka kurikulum dengan sendirinya terbatas pada ilmu-ilmu keagamaan murni dengan gramatika dan kesusasteraan sebagai alat-alat yang memang diperlukan. Ilmu pengetahuan keislaman murni seperti fiqh (termasuk ushul al-Fiqh), tafsir atau eksegisis al-Qur‟an, ilmu kalam (teologi) dan hadits tidak mengalami perkembangan. Di banyak madrasah milik sayap kanan ahl al-hadits, bahkan teologi dicurigai dan dengan sendirinya mata pelajarannya hanya ada tiga buah. Di madrasah-madrasah tertentu, bukubuku tentang sufi ditambahkan. Hal ini mengakibatkan kebanyakan penguasa Utsmani cenderung bertaklid dan fanatik terhadap suatu madzhab dan menentang madzhab yang lain. Mereka hanya terikat pada madzhab Hanafi dan aliran pemikiran Asy‟ariyah dengan membatasi perkembangan madzhab dan aliran lain. Dengan demikian ijtihad sebagai upaya memajukan ajaran Islam tidak dapat berkembang dengan baik, sehingga umat Islam menjadi jumud. Tidak ada kreativitas baru untuk menerbitkan buku, kecuali hanya menerangkan atau meringkas buku-buku yang sudah ada.153 152 153
Fazlurrahman, Islam, hlm. 274. Ali Mufrodi, ”Kerajaan Usmani”, hlm. 242.
81
Dr. Siswanto, M.Pd.I
Pada masa itu banyak juga perpustakaan yang berisi kitabkitab yang tidak sedikit jumlahnya, seperti Maktabah Sultan Muhammad Tsani, Sultan Sulaiman, Qallij Ali Basya, Haffiz Ahmad Basya, Ibrahim Basya di Istambul, Maktabah al-Azhar di Cairo, Maktabah Abdul Basya al-Azm di Damsyiq dan Maktabah madrasah Ahmadiah dan Qudus di Halab. Tiap-tiap orang bebas membaca dan mempelajari isi kitab-kitab itu. Bahkan banyak pula ulama, guru-guru ahli sejarah dan ahli syair pada saat itu. Namun, mereka tidak terpengaruh oleh pergerakan ilmiah di Eropa dan tidak pula mau mengikuti jejak zaman kemajuan dunia Islam pada masa Harun al-Rasyid dan al-Makmun, yaitu masa keemasan dalam sejarah Islam.154 Kemorosotan gradual standar-standar akademis selama berabad-abad tentunya terletak pada persoalan sedikitnya jumlah buku-buku yang tercantum dalam kurikulum, dan waktu yang diberikan terlalu singkat untuk murid dapat menguasai bahan-bahan yang ”berat” dan seringkali sulit dipahami mengenai segi-segi tinggi ilmu keagamaan pada usia yang relatif muda dan belum matang. Ini pada gilirannya menjadikan belajar bersifat tekstual dari pada upaya memahami dan lebih mendorong hafalan dari pada pemahaman yang sebenarnya. Sistem pengajaran yang dikembangkan adalah menghafal matan-matan meskipun murid tidak mengerti maksudnya, seperti menghafal matan alJurmiyyah, matan Taqrib, matan al-Fiyah dan lain-lain. Setelah itu baru mempelajari syarahnya, kadang-kadang khasyiyahnya.
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Hidayah Agung, 1989), hlm. 165 154
82
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
Maka bila kemudian ada ”sarjana-sarjana” besar tertentu dan pemikir-pemikir orisinil yang muncul dari waktu ke waktu, adalah istimewa dalam dirinya sendiri dan tidak banyak menimba ilmu mereka dari kurikulum yang resmi. Kenyataannya bahwa pada abad-abad pertengahan akhir hanya menghasilkan sejumlah besar karya-karya komentar dan bukan karya-karya orisinil.155 Fenomena ini berkembang secara fundamental dari kebiasaan berkonsentrasi pada buku dan bukannya pada pelajaran. Dapat dipastikan bahwa banyak pemikiran yang asli dan sering kali orisinalitas yang besar terdapat pada komentar-komentar tersebut., tetapi orisinalitas yang mendasar dalam suatu obyek adalah relatif jarang. Patut dicatat bahwa tulisan-tulisan Shadruddin al-Syirazi, yang ditulis pada abad ke-17 M dan memperlihatkan kualitas pemikiran filosofis yang relatif tinggi, tetapi menjadi teks-teks yang tertinggi mengenai filsafat dalam abad-abad sesudahnya, tetapi (dimana menyangkut filsafat) tetap menjadi ideal yang tak terlampaui. Namun demikian, al-Syirazi sendiri sebagian besar hanyalah seorang komentator atas pemikir-pemikir sebelumnyha, terutama filosof Ibn Sina.156 Meskipun pada masa Turki Utsmani, pendidikan Islam kurang mendapat perhatian yang serius dan juga terhambat kemajuannya, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa pada tiaptiap masa pasti akan memunculkan tokoh-tokoh atau ulama kenamaan seperti :
155 156
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 285. Fazlurrahman, Islam, hlm. 276.
83
Dr. Siswanto, M.Pd.I
1. Syaikh Hasan Ibn Ali Ahmad al-Syabi‟iy (w.17567 M) yang masyhur dengan Al-Madbighy. Ia juga pengarang khasiyah Jam’ul dan Syarah al-Jurmiyah. 2. Syamsuddin Ramali (w.1595 M.), pengarang Nihayah. 3. Ibn Hajar al-Haijsyami (w.1567 M), pengarang Tuhfa. 4. Muhammad Ibn Abdur Razaq Murtadlah al-Husaini alZubaidi (w. 1790 M.), pengarang sejarah al-Qomus, bernama Tajjul Urusy. 5. Abdurrahman al-Jabarty (w.1825 M.) pengarang kitab tarikh Mesir bernama al-Zaibul atsar fi al-Tarjim wa al-Akbar. 6. Syaikh Hasan al-Kafrwai al-Syafi‟y al-Azhary (w.1787 M.), pengarang kitab nahwu, Syarah al-Jurumiyah, bernama Kafrawi. 7. Syaikh Sulaiman ibn Muhammad ibn Umar al-Bijrmy alSyafi‟y (w.1806 M.), pengarang syarah-syarah dan khasirah-khasirah. 8. Syaikh Hasan al-Atthar (w.1834 M.) ahli ilmu pasti dan kedokteran. 9. Syaikh Muhammad ibn Ahmad ibn Arfah al-Dusuqy alMaliki (w.1814 M.) ahli filsafat dan ilmu falak serta ilmu ukur.157 C. Reformasi Pendidikan : Menuju Masyarakat Turki Modern Dalam perkembangan dan perluasan kerajaan Turki Usmani, sistem pendidikan memainkan peran utama. Sebuah institusi khusus, yaitu semacam sekolah istana didirikan agar negeri ini memiliki pemimpin-pemimpin yang terlatih dengan baik dan dipilih berdasarkan kriteria prestasi mereka. Selama 157
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 171.
84
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
masa kebesarannya, kerajaan Utsmani mencapai prestasi intelektual tinggi yang baru. Tetapi, sebagaimana kekhilafahan sebelumnya, Umayyah dan Abbasiyah, kerajaan ini mengalami kemunduran drastis dan akhirnya hancur. Salah satu penyebabnya adalah sistem pendidikannya yang tidak bisa terus menerus menghasilkan pemimpin dengan daya cipta dan penuh imajinatif yang dulu pernah muncul pada periode awal kebesaran Utsmani. Sistem ini pada jaman kejayaan peradaban tersebut telah menghasilkan cendikiawan dengan pemikiran yang tinggi dan ilmu-ilmu besar. Pertumbuhan kerajaan itu kemudian terhenti dan resistan terhadap perubahan dan inovasi dengan akibat yang kekal terhadap masyarakat.158 Sehingga secara praktis terjadi stagnasi atau kemandegan dalam perkembangan bidang keilmuan dan teknologi. Kondisi diperparah dengan eskalasi konflik yang semakin menguat di kerajaan Turki Utsmani, baik eksternal berupa tantangan kemajuan musuh lama, Eropa maupun konflik internal seperti terjadinya pemberontakan di berbagai wilayah yang ingin melepaskan diri dari Utsmani, perselisihan di tubuh Jenissari, merosotnya moralitas penguasa dan turunnya perekonomian negara,159 di samping peran pendidikan tradisional yang tidak mampu mengimbangi laju perubahan global. 1. Sultan Mahmud II
Joseph S. Szyliowics, Pendidikan dan Modernisasi di Dunia Islam, ed. Achmad Djainuri (Surabaya: al-Ikhlas, 2001), hlm. 66 159 Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 286 158
85
Dr. Siswanto, M.Pd.I
Berbagai tantangan di atas meniscayakan gagasan untuk mengadakan perubahan dalam rangka mempertahankan daulat Utsmaniyah. Sultan Turki Ustmani ke-33, Mahmud II160 (memerintah tahun 1808-1839) dinilai sebagai penggagas tonggak reformasi Utsmani. Ia mulai keluar dari tradisi aristokrasi dalam membangun relasi dengan rakyatnya. Di antara pembaharuan yang dirintisnya adalah di bidang militer, organisasi kerajaan, hukum dan yang paling penting serta berpengaruh besar bagi perkembangan pembaharuan di kerajaan Utsmani ialah perubahan di bidang pendidikan. Perubahan dalam pendidikan ini diilhami oleh suatu kesadaran bahwa madrasah tradisional yang hanya berorientasi pada agama tidak sesuai dengan
Mahmud II sering kali dibandingkan dengan Peter yang Agung dalam sepak terjangnya. Ia memperoleh pendidikan istana dalam bidang bahasa Islam klasik, agama, hukum dan sejarah. Dia tidak memiliki pengetahuan tentang dunia Barat secara langsung dan tidak mengetahui satu pun bahasa Eropa. Ketika naik tahta, ia memusatkan perhatiannya pada berbagai perubahan internal terutama rekonstruksi kekuatan angkatan bersenjata. Perbaikan tersebut dimaksudkan untuk mengkonsolidasi seluruh potensi lokal. Pada tahun 1826, ia merombak Jenissari menjadi kekuatan militer model Eropa, walapun kebijakan ini diprotes keras oleh Jenissari. Lihat Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 122-123. Bandingkan dengan Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), hlm. 45. Maka dari itu, usaha penumpasan terhadap Jenissari tetap dilakukan dan akhirnya dibubarkan serta konflik dengan ulama –basis pendukung Jenissari – juga tak terelakkan. Dengan hilangnya, Jenissari, golongan ulama yang anti pembaharuan telah lemah kekuatannya, sehingga usaha pembaharuan berjalan lancar. Lihat Sir John Glubb, A Short History of The Arab People (New York: Dorset Press, 1969), hlm. 245. Lihat juga Serif Mardin, “Religion and Scularism in Turkey”, dalam Attaturk Founder of Modern State, ed. Ali Kazancigil dan Ergun Ozbudun (Londong: C. Hurst and Company, 1981), hlm. 193. 160
86
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
tuntutan zaman dan tidak akan mampu menjawab problematika umat abad modern.161 Di masa pemerintahannya, orang juga telah kurang giat memasukkan anak-anak mereka ke madrasah dan mengutamakan mengirim mereka belajar keterampilan secara praktis di perusahaan-perusahaan industri tangan. Kebiasaan ini membuat tambah meningkatnya jumlah butu huruf di kerajaan Utsmani. Untuk mengatasi problem ini, Mahmud II mengeluarkan perintah supaya anak sampai umur dewasa jangan dihalangi masuk madrasah.162 Melihat kondisi yang tidak kondusif tersebut, ia ingin mengubah pola madrasah tradisional disesuaikan dengan zamannya (abad ke-19) dan mengikis buta aksara.163 Namun untuk mengubah kurikulum madrasah dngan menambahkan pengetahuan-pengetahuan umum ke dalamnya sebagaimana halnya di dunia Islam ketika itu, memang merupakan suatu hal yang sulit. Karena itu, melalui proses sosialisasi kepada masyarakatnya, Mahmud II mencari terobosan dengan tetap membiarkan sekolah tradisional berjalan dan mendirikan dua sekolah umum, yaitu Mekteb-i Maarif (Sekolah Pengetahuan Umum) yang menghasilkan sebagian tokoh pembaharu penting dan Mekteb-i Ulum-u EdebiyeTibbiye-i (Sekolah Sastra) yang bukan hanya melatih para penerjemah dan penyadur, melainkan juga sebagai pusat penerjemahan karya sains Eropa.164 Di kedua sekolah tersebut diajarkan bahasa Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 93-94. 162 Ibid, hlm. 94. 163 Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 287. 164 Szyliowics, Pendidikan dan Modernisasi, hlm. 174. 161
87
Dr. Siswanto, M.Pd.I
Perancis, ilmu ukur, sejarah dan ilmu politik di samping bahasa Arab.165 Di samping itu, mahmud II mendirikan pula sekolah militer, teknik dan sekolah pembedahan. Pada tahun 1827 mendirikan Tibb-bane atau Tibbiye (sekolah kedokteran),166 yang di dalamnya bukan hanya buku-buku tentang ilmuilmu kedokteran, tetapi juga ilmu alam, filsafat dan sebagainya, sehingga lambat laun siswa dipengaruhi ideide modern yang berasal dari Barat. Pada tahun 1831-1834, dua lembaga pendidikan untuk tujuan militer juga didirikan, yaitu Muzika-i Humayun Mektabi (Sekolah Musik Kerajaan) dan Mekteb-i Ulm-i Harbiye (Akademi Militer Kerajaan). Pada tahun 1837, sekolah kedokteran dan pembedahan digabung menjadi satu dengan nama Dar alUlum-u Hikemeyeve Mekteb-i Tibbiye-i Sahani,167 dengan menggunakan bahasa Perancis. Dari sinilah mulai muncul ide-ide modern sebagai counter opinion atas paham fatalistik yang telah lama menyelimuti masyarakat. Para siswa yang telah membaca buku-buku Barat dan kenal pada ide hukum alam serta paham kebabasan manusia dalam kehendak dan perbuatan mulai meninggalkan faham fatalisme tersebut. Hal itu mengejutkan bagi ulama Turki ketika itu. Untuk masyarakat umum, ia mendirikan pendidikan tingkat menengah dengan nama sekolah ”Rusydiye”, Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm.94 Uriel Heyd, ”The Ottoman Ulema and Westernization in the Time of Salim III and Mahmud II” dalam The Modern Middle East, ed. Albert Hourani, et.al. (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1993), hlm. 32. 167 Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), hlm. 119 165 166
88
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
dengan maksud untuk mempersiapkan kader pegawai sipil. Terhadap sistem pendidikan tradisional ia berusaha memasukkan pengetahuan umum dalam kurikulum pendidikannya.168 Dalam pelatihan elit pemerintah, kerajaan Turki Usmani juga banyak memberikan sumbangan untuk penyelenggaraan pendidikan. Sultan Mahmud II membangun sebuah jaringan sekolah istana169 untuk melatih pejabat pemerintah dan administrator tingkat atas – suatu inovasi dramatis dalam menyelenggarakan pendidikan karena dasar keunikannya dalam menerima siswa, dan kurikulum terpadunya yang menggabungkan agama, fisik, akademik dan pelatihan keterampilan yang dirancang untuk mempersiapkan murid-murid masuk ke dunia kerja yang luas, termasuk jabatan tertinggi di
Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam, hlm. 123 -124. Sekolah istana terdiri dari beberapa sekolah persiapan dan kejuruan yang membentuk sistem pendidikan terpadu dan hierarkis. Siswa dipilih berdasarkan kemampuan mental dan fisik serta akan ditugaskan baik untuk pelayanan di dalam, yaitu sektor yang terutama menangani urusan istana, maupun untuk pelayanan keluar. Di sektor manapun mereka ditempatkan, mereka akan menjalani latihan menyeluruh dan ketat yang menggabungkan pengalaman praktis dengan pendidikan formal. Mereka setiap hari mengikuti kelas dan secara berkala mendengarkan kuliah dari ulama, mengunjungi kaum terpelajar dan pakar-pakar lainnya, serta secara aktif terlibat dalam rutinitas kerajaan. Karena tujuan proses pendidikan adalah mensosialisasikan siswa sebagai bangsawan Utsmani dan calon anggota elit pemerintah, mereka menerima ajaran (termasuk agama) yang membentuk bagian penting kurikulum tersebut, antara lain bidang-bidang mengenai Turki, Arab, Persia, literatur berbahasa Turki dan Arab, sejarah Turki, serta musik dan matematika. Latihan fisik seperti menunggang kuda, angkat besi, gulat, lempar lebing dan panahan juga ditekankan. Latihan keterampilannya antara lain menjahit, menjilid buku, kaligrafi, melebur emas dan menatah. Lihat Szyliowics, Pendidikan dan Modernisasi, hlm. 97. 168 169
89
Dr. Siswanto, M.Pd.I
kerajaan. Sejak abad ke-18, tujuh puluh sembilan grand vizier telah diluluskan dari sistem ini. Penerimaan untuk masuk ke sekolah ini (dan juga penerimaan untuk posisi tertinggi di kerajaan Utsmani) hanya terbuka bagi budak-budak non muslim yang direkrut melalui penerimaan berkala anak-laki-laki non muslim berusia antara 10-20 tahun. Mereka menjadi ”budak” sultan, suatu posisi yang kurang berarti jika mereka bermutu rendah, dan bisa memiliki manfaat potensial lainnya, yaitu menempati posisi tinggi dalam kerajaan. Kesempatan ini, kini terbuka jika mereka berbakat dan mampu.170 Selain mendirikan sekolah, Mahmud II juga mengirim siswa untuk belajar ke Eropa dengan harapan setelah mereka kembali ke Turiku mempunyai pengaruh dalam penyebaran ide-ide baru di kerajaan Utsmani dalam upaya pembaharuan pendidikan. Dari mereka ini pula berkembangnya paham sekularisme di Turki yang kemudian diterapkan secara mantap dewasa ini.171 Sultan pada gilirannya mendapat pegawai-pegawai yang sepenuhnya tergantung, sangat patuh serta setia kepadanya, dan hubungan mereka dengan kelompok lain hampir-hampir tidak ada. Karena itu, dia tidak harus mengandalkan kelompok yang sudah terbentuk dalam kerajaan untuk memenuhi kebutuhan sumber daya manusianya. Dia memiliki cara yang unik dan aman guna memusatkan kekuatan politiknya karena para „budak‟ itu akan selalu tetap dalam kekuasaannya, betapapun berkuasanya dia. Mereka tidak memiliki hak turun temurun sehingga tidak bisa mengancam kekuasaannya. 171 Perlu dicatat, bahwa berkembangnya sekularisme dewasa ini tidak dapat dipisahkan dari kepemimpinan Mustafa Kemal yang melakukan programprogram pembangunan dan modernisasi dengan mencontoh dan menerapkan pola Barat ke negara Turki. Lihat Helen Chapin Metz (ed.), Turkey a Country Study (Washington: America Government Printing Office, 1995), hlm. 30. 170
90
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
Sebagaimana halnya di Mesir Zaman Muhammad Ali, tidak lama kemudian timbullah di kerajaan Utsmani bukubuku dalam bahasa Turki mengenai ide-ide modern Barat. Yang banyak berjasa dalam hal ini ialah Biro Penterjemahan yang pada mulanya didirikan untuk menerjemahkan korespondensi internasional pemerintahan Utsmani.172 Selanjutnya pada tahun 1831 M, ia menerbitkan surat kabar resmi Takvim-i Vekayi yang memuat berita peristiwaperistiwa dan artikel-artikel mengenai ide-ide yang berasal dari Barat. Media ini memberi pengaruh yang luas di masyarakat, dengan kritik terhadap adat istiadat Timur dan memuja Barat dalam kemajuan ilmu pengetahuan, kemerdekaan dalam agama, patriotisme dan meratanya pendidikan.173 2. Tanzimat Gerakan pembaharuan lanjutan dikenal dengan istilah Tanzimat.174 Tanzimat menunjuk pada suatu era reformasi sosial politik yang ditransformasikan ke dalam kekuasaan
Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 95 Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 287-288. 174 Tanzimat, merupakan bentukan dari kata nizham yang berarti mengatur, menyusun, memperbaiki. Dalam pengertian umum, Tanzimat merupakan usaha untuk memperbaiki struktur kehidupan Usmani dan menciptakan sentralisasi pemerintahan yang lebih efektif. Tanzimat berlangsung dalam konteks tumbuhnya keterlibatan Eropa dalam persoalan-persoalan Usmani dan kelangsungan pemerintahan yang relatif lemah. Tetapi, bagaimanapun ini merupakan usaha yang penting dalam program pembaharuan (modernisasi) dan telah menciptakan kelas atas terdidik modern serta memperbaiki struktur sistem pemerintahan dalam perspektif yang lebih modern. Lihat John Obert Voll, Islam Continuity and Change in the Modern World (New York: Westview, 1982), hlm. 91 172 173
91
Dr. Siswanto, M.Pd.I
Utsmani melalui integralisasi berbagai model Barat ke dalam institusinya. Pembaharuan diawali dengan dikeluarkannya Hatt-i Sherif Gulhane (piagam Gulhane) pada tahun 1839 M oleh Sultan Abdul Majid (1839-1861 M)175, - yang berisi jaminan ketentraman hidup, kehormatan dan hak milik, menegakkan sebuah peraturan mengenai sistem pemungutan pajak dan pengembangan metode baru untuk terciptanya suatu sistem yang adil dalam perekrutan calon-calon tentara,176 dan 177 ditindaklanjuti dengan Hatt-i Hunayun (1856 M.), yang lebih mengandung pembaharuan terhadap kedudukan orang Eropa di bawah kekuasaan Utsmani dan pengadaan belanja tahunan negara, pendirian rumah-rumah ibadah dan sekolah-sekolah, rumah sakit serta tanah pemakamam, pembukaan bank asing, pemasukan investasi Eropa, Undang-undang perdagangan dan penempatan orangorang non-Islam ke dalam dewan hukum.178 Kedua konstitusi tersebut menjadi dasar pembaharuan yang Serif Mardin, “Tanzimat” dalam The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, vol. 4 ed. John L. Esposito (New York and London: Oxford University Press, 1995), hlm. 183.Lihat Juga William C. Cleveland, “Sources of Arab Nationalism: An Overview”, dalam Religion and Politic in the Middle East, ed. Michael Curtis (Colorado: Westview Press, 1981), hlm.56. Bandingkan dengan Abd al-Hak Adnan Adivar, “Islamic and Western Thought: Turkey” dalam Near Western Culture and Society, ed. T. Cuyler Young (New Jersey: Princeton University Press, 1951), hlm. 123. 176 Stanford J.Shaw, History of the Ottoman Empire and Modern Turkey (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), hlm. 60. Lihat juga Albert Hourani, A History of the Arab People (Cambridge: The Berknap Press of Harvard University, 1991), hlm.272. 177 Don Peretz, The Middle East Today (New York: Praegar Publisher, 1983), hlm. 169. 178 Ahmad Tafsir, “Pemikiran di Zaman Modern”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam vol. 4, ed. Taufik Abdullah, et.al. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 403. 175
92
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
dijalankan Tanzimat dalam lapangan pemerintahan, pendidikan, keuangan dan sebagainya.179 Tokoh-tokoh penting Tanzimat adalah Musthafa Rashid Pasha (1800-1858 M), Mustafa Sami Pasha (w.1855 H.), Mehmed Sadek Rif‟at Pasha (1807-1856 M) dan Ali Pasha (1815-1871 M). Dalam pembaharuannya, Musthafa Rashid Pasha sependapat dengan Mustafa Sami bahwa kemajuan Eropa disebabkan oleh keunggulan mereka dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, toleransi beragama, kemampuan melepaskan diri dari ikatan agama dan karena adanya pendidikan universal bagi pria dan wanita.180 Maka dari itu, pendidikan bagi umat Islam yang berada di bawah kontrol kaum ulama‟ (millet) yang senantiasa mengarah kepada pendidikan agama dilepaskan dari kekuasaan dan diserahkan kepada kementrian pendidikan yang dibentuk pada tahun 1847.181 Begitu pula pada tahun 1869 – di bawah pengawasan Ali Pasha – dikeluarkan peraturan pendidikan umum yang bertujuan menyusun mainstream pendidikan yang akan diaplikasikan hingga penghujung abad tersebut. Melalui peraturan ini, pendidikan dasar diwajibkan hingga usia 12 tahun, metode pengajaran dan instruksi pendidikan dimodernisasi, evaluasi untuk kenaikan tingkat diadakan serta pembiayaan pendidikan diserahkan kepada pemerintah lokal.182 Di samping itu, dibuka sekolah Majid Khadduri, “From Religious to National Law”, dalam Modernization of the Arab World, ed..J.H. Thompson and R.D. Reischaver (New York and London: D. Van Nostrand, 1966), hlm. 43 180 Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 97 181 Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam, hlm. 130. 182 J. Shaw dan K. Shaw, History of the Ottoman, hlm. 108. 179
93
Dr. Siswanto, M.Pd.I
modern seperti Robert College (1863 M.) dan Galatasaray (1868 M.) yang memperkenalkan pendidikan dalam bahasa asing dengan memberikan kebebasan kepada muslim dan non muslim untuk duduk berdampingan mengenyam pendidikan,183 yang sebelumnya masing-masing agama memiliki sekolah tersendiri. Di samping pembukaan sekolah-sekolah menengah, direncanakan pula pembentukan universitas, tetapi tidak berhasil. Bagaimanapun sistem pendidikan Barat telah mulai memasuki masyarakat Utsmani.184 Tanzimat telah mengakibatkan sejumlah perubahan terutama pada lembaga Islam dan kelembagaan keagamaan pemerintah di bawah kendali birokratik.185 Dan di bawah kepemimpinan Tanzimat kesenjangan antara tradisional dan modern meluas secara sistematis dan tak terukur di semua bidang, termasuk dalam bidang pendidikan.186 Dalam program pengembanganlembagalembaga keislaman yang didukung negara modern dan diilhami gagasan Eropa.mendapat tantangan dari ulama yang didukung oleh masyarakat luas, karena tolok ukur Feroz Ahmad, “Turkey‟ dalam The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, vol. 4 ed. John L. Esposito (New York and London: Oxford University Press, 1995), hlm. 242. Bandingkan dengan W.M. Watt, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, ter. Taufik Adnan Amal (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 80. 184 Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 101 185 Dalam hal ini, jabatan syaikh Islam masih tetap dipertahankan, tetapi selama Tanzimat kedudukan itu dipegang oleh orang yang berasal dari ulama yang tingkatannya lebih rendah ketimbang diambil dari kekuatan keagamaan yang menonjol. Lihat Richard L. Charles, “The Ottoman Ulama and Tanzimat”, dalam Scholars, Scientist and Sufis, ed. Nikki R. Kiddie (Berkeley: University of California Press, 1972), hlm. 46. 186 Fazlurrahman, Islam dan Modernitas tentang Transformasi Intelektual, ter. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1982), hlm. 56. 183
94
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
modedrnisasi adalah yang datang dari Barat. Tetapi kaum ulama menjadi lemah setelah lembaga wakaf sebagai sumber dana ditarik dari kekuasaan mereka. Sekolah-sekolah baru yang bersifat sekuler didirikan untuk melatih kalangan militer dan korps birokrasi dengan mengorbankan sekolah-sekolah tradisional. Dengan begitu, lembaga-lembaga tradisional dalam negara Islam pelanpelan dimatikan melalui proses sekularisasi yakni pemisahan agama dari lembaga dan fungsi kenegaraan.187 Para pelaksana program Tanzimat dikritik karena berlaku otoriter dan mengikuti Barat. Sultan mendapat kekuasaan yang lebih absolut setelah Jenissari yang didukung tarekat Bektasyi yang memiliki pengikut besar di dalam masyarakat tidak ada lagi. Tiga pilar oposisi terhadap kekuasaan yang sudah semakin lemah dan tidak berdaya, menyebabkan pemerintah semakin absolut sehingga kebebasan berfikir dan bergerak terbelenggu dan menimbulkan ketidakpuasan di kalangan cendikiawan.188 3. Usmani Muda Periode Tanzimat memperlihatkan akhir dari reformisme fase pertama dan adopsi yang pragmatis ditempatkan pada kerangka munculnya formulasi intelektual yang lebih luas, yang akhirnya melahirkan perkembangan aktivis intelektual yang mengkritisi kebijakan Tanzimat.189 Gerakan Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Umat Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Postmodernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 8 188 Ali Mufrodi, “Kerajaan Usmani”, hlm. 254. 189 Secara Umum, perkembangan ini memunculkan tiga kelompok masyarakat yang memandang program tersebut secara kritis. Pertama, kelompok oposisi dari kalangan tradisionalis. Kedua, kelompok intelektual yang memberikan kritik secara lebih baik dari kelompok pertama. 187
95
Dr. Siswanto, M.Pd.I
ini dikenal dengan Usmani Muda, yang secara kuat dipengaruhi oleh pemikiran liberal Barat dan mengkhawatirkan Tanzimat melakukan manuver-manuver politik yang menciptakan dasar pemerintahan absolut.190 Mereka meyakini bahwa nilai-nilai keluhuran Utsmani harus diukur melalui kontribusinya terhadap hak-hak asasi warganya, hak hidup dan hak milik serta terhadap keadilan dan sikap kebijakan yang dapat memuaskan warga muslim dan non muslim.191 Di antara tokoh Utsmani Muda yang terkenal adalah Namik Kemal (1840-1888 M) dan Ziya Pasha (1825-1880 M.). Keduanya telah mengorganisir gerakan oposisi di Paris dan London.192 Namik Kemal adalah pemikir pertama yang mendiskusikan tentang berbagai problem yang dihadapi muslim menurut sistem intelektual yang koheren. Kemudian ia mengembangkan pemikirannya mengenai sebab-sebab kemunduran Turki, disamping menjelaskan langkah-langkah yang harus diambil. Menurutnya, sebab utama kemundurannya adalah faktor ekonomi, politik dan pendidikan. Langkah awal mengatasinya adalah membentuk institusi konstitusional. UU Tanzimat bukanlah konstitusi dan tidak memperkenalkan sebuah rezim politik berdasarkan hak-hak warga untuk mengontrol pemerintah. Kelompok ini didominasi oleh mereka yang telah mengenyam pelatihan birokratik dan menguasasi ide-ide Barat. Ketiga, mereka yang berkeinginan menghapus status sultan sebagai suatu kekuatan politik. Lihat Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam, hlm. 132. 190 Voll, Islam Continuity, hlm. 92 191 Lapidus, A History of Islamic Societies (New York: Cambridge University Press, 1990), hlm. 600. 192 Serif Mardin, “Young Ottomans” dalam The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, vol. 4 ed. John L. Esposito (New York and London: Oxford University Press, 1995), hlm. 357.
96
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
Fungsi negara adalah menyediakan otoritas untuk menegakkan hak-hak ini.193 Bahkan ia menyatakan bahwa ide yang dibawa Tanzimat tidak mengindahkan ajaran Islam. Padahal menurutnya, pemakaian institusi model Barat secara keseluruhan belum tentu relevan dengan kebutuhan masyarakat Timur.194 Begitu pula Ziya Pasha, ia tidak setuju dengan pendirian meniru Barat dalam segala hal. Sebagai orang yang kuat berjiwa Islam, ia menentang pendapat yang mengatakan bahwa Islam merupakan penghalang kemajuan.195 Sehingga konstitusi harus didasarkan pada syariah Islam, bukan mengadopsi secara utuh pola dan model Barat ke dalam sistem pemerintahan dan lainnya sebagaimana yang dilakukan Tanzimat.196 Karena itu, istilah-istilah yang digunakan ,masih terikat dengan Islam, seperti musyawarah untuk perwakilan rakyat, syariat untuk konstitusi dan baiat untuk kedaulatan rakyat. Namun kaum ulama memahami istilah tersebut dalam pengertian Islam, sedangkan Usmani Muda memahaminya menurut pengertian Barat. Tantangan terhadap ide konstitusi datang dari Sultan Abd al-Hamid II (1867-1909 M)197 yang ingin Niyazi Berkes, The Development of Scularism in Turkey (Montreal: McGill University Press, 1964), hlm. 209-210. 194 Sayyid Fayyaz Mahmud, A Short History of Islam (Karachi-London: Oxford University Press, 1960), hlm. 107. 195 Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 106. 196 Erwin J. Roshental, Islam in the National State (London: Cambridge University Press, 1965), hlm. 29. 197 Dalam banyak hal, sultan merupakan puncak dari Tanzimat sekalipun ia menggambarkan penolakannya terhadap ide konstitusional liberal. Dia telah menghadapi sejumlah krisis dan secara dramatik mendekati ukuran otoriter. Dia mengembangkan suatu kontrol pribadi dengan sentralisasi sistem 193
97
Dr. Siswanto, M.Pd.I
mempertahankan hak-hak sultan dan dari syaikh al-Islam yang berpendapat bahwa masyarakat Utsmani belum matang dan belum siap untuk menerima konstitusi. Tidak mengherankan jika yang tersusun bukanlah konstitusi yang bersifat demokratis, melainkan semi demokratis yang ditanda tangani pada tanggal 23 Desember 1976. Sehingga konstitusi ini masih tetap memperkuat absolutisme sultan.198 Meskipun abd al-Hamid II sering dianggap reaksioner (menentang pembaharuan), ia tetap inten dalam berbagai pembaharuan, terutama dalam bidang pendidikan. Selama dekade ini, perkembangan pendidikan maju pesat dibawah bimbingan tokoh besar pembaharu Mahmud Said Pasha (...). Antara tahun 1879-1895, ia membuka 4 idadiya, menambah jumlah rusydiye dari 253 menjadi 293 dan mendukung pembukaan sekolah-sekolah umum lainnya. Begitu pula ada beberapa perguruan tinggi yang ia bangun, yaitu Sekolah Tinggi Hukum (1878 M), Sekolah Tinggi Keuangan (1878 M), Sekolah Tinggi Kesenian (1879), Sekolah Tinggi Dagang (1881), Sekolah Tinggi Teknik (1888), Sekolah Dokter Hewan (1889), Sekolah Tinggi Polisi (1891) dan Universitas Istanbul (1900).199 Universitas tersebut dibuka saat memperingati 24 tahun penobatan Abd. Hamid II sebagai sultan. Di dalamnya terdapat 4 fakultas, yaitu ulum-u Aliye-i Diniye (Fakultas Agama), pemerintahan yang telah diciptakan oleh Tanzimat, memberikan kemungkinan otokrasi yang lebih luas dan lengkap dibanding segala keberhasilan yang dilakukan sebagian besar sultan sebelumnya. Lihat History of Ottoman, hlm. 212 198 Tafsir, “Pemikiran, hlm. 404 199 Naution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 116
98
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
Ulum-u Riyaziye (Fakultas Matematika), Ulum-u Tabiiye (Fakultas Ilmu Pasti Alam) dan Ulum-u Edibiye (Fakultas Sastra). Percetakan buku meningkatan pada masanya, sehingga menimbulkan minat baca dalam masyarakat. Hal ini tentu meningkatkan pula peredaran buku di berbagai ilmu, kecuali mengenai politik, sehingga beralih membaca buku ilmu pengetahuan dan sastra yang maju saat itu.200 Kritik terhadap program pembaharuan ini memiliki dimensi Islam. Usmani Muda menyerukan prinsip egalitarian dalam tradisi Islam dan membenarkan liberalisasi pembaharuan dan pengertian Islam. Tujuan mereka adalah konstitusional dan pembentukan parlemen dengan memperbaharui hukum Islam.201 Menurutnya, rezim konstitusional merupakan ekspresi dari nilai-nilai moral dan politik yang bersifat alamiah, yang mana nilainilai tersebut secara inheren terkandung dalam ajaran Islam dan terdapat dalam kultur Eropa. Mereka menegaskan bahwasanya Islam, jika dipahami secara benar, serasi dengan organisasi masyarakat modern dan sejalan dengan bentuk pemerintahan konstitusional. Mereka menekankan aspek-aspek warisan Islam yang mendorong pembelajaran ilmu pengetahuan dan pengajaran teknik, nilai-nilai rasional dan pentingnya perjuangan aktif demi perbaikan individu dan sosial.202 4. Turki Muda Mufradi, “Kerajaan Usmani”, hlm. 253 Voll, Islam Continuity, hlm. 92. Bandingkan dengan David Dean Commina, Islam Reform (New York: Oxford University Press, tt), hlm. 90. 202 Lapidus, A History of Islamic Societies, hlm. 601. 200 201
99
Dr. Siswanto, M.Pd.I
Puncak sejarah Usmani abad ini adalah dengan kehadiran gerakan oposisi ”Turki Muda” yang juga terdiri dari kaum intelegensia yang dipengaruhi oleh pemikiran liberal. Gerakan ini meluas ke berbagai kalangan dan mengambil peran oposisi terhadap pemerintahan absolut sultan. Mereka merebut kontrol negara secara mutlak melalui revolusi 1908.203 Gerakan ini bermula dari sebuah kongres Turki Muda yang berhasil membentuk ”Committee for Union and Progress” (CUP) pada tahun 1907.204 pada tahun berikutnya, CUP memberontak dan menekan sultan untuk memberlakukan kembali konstitusi 1876.205 Ide perjuangan Turki Muda, antara lain dimajukan oleh tiga pemimpin, yaitu Ahmed Riza (1859-1931 M), Mehmed Murad (1853-1912 M), dan Pangeran Abahuddin (1877-1948 M). mereka menyebarkan idenya melalui tulisan dan menerbitkannya pada surat kabar dan majalah yang kemudian mereka selundupkan ke Turki. Ahmad Riza yang telah dipengaruhi pemikiran positif Auguste Comte berpendapat bahwa untuk menyelamatkan kerajaan Usmani, harus dijalankan pendidikan dan ilmu pengetahuan posistif, bukan dengan jalan teologi dan metafisika.206 Pelaksanaan sistem pendidikan yang baik Voll, Islam Continuity, hlm. 94. Bandingkan dengan Bernard Lewis, Islam and The West (Oxford: Oxford University Press, 1980), hlm. 138 204 Lapidus, A History of Islamic Society, hlm. 602 205 Feroz Ahmad, “Young Turks” dalam The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, vol. 4 ed. John L. Esposito (New York and London: Oxford University Press, 1995), hlm. 358. Lihat juga Feroz Ahmad, The Making of Madern Turkey (London; Routledge, 1993), hlm.2 206Sementara Pangeran Sabahuddin menghendaki bentuk desentralisasi pemerintahan Usmani dan menghendaki masyarakat federasi dengan pemberian otonomi bagi warga Kristen dan warga minoritas lainnya. Di samping itu, menurut Sabahuddin, yang diperlukan adalah perubahan 203
100
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
memerlukan sistem pemerintahan yang konstitusional yang di dalamnya terdapat musyawarah sebagaimana pernah dilaksanakan oleh Nabi saw. Ia mengusulkan kepada sultan untuk mengembalikan lagi kehidupan yang konstitusional, agar tidak timbul revolusi.207 Sebagai reaksi terhadap pemerintah –dibawah kekuasaan Sultan Mehmed V (...) – yang secara lahiriah bercorak Islam, CUP secara tegas memperlihatkan haluan sekuler. Antara tahun 1913-1918, CUP menempuh program yang agresif dalam menskulerkan sekolah-sekolah, lembaga peradilan dan sebagainya. Tahun 1913, hukum pendidikan dasar wajib mulai diberlakukan dan pembangunan sekolah makin bertambah. Langkah pertama menuju sekularisasi sekolah agama dilakukan pada tahun ini pula, sekolah dasar yang sebelumnya ditangani oleh menteri yayasan sosial, kini ditempatkan di bawah arahan menteri pendidikan skuler.208 Sekolah-sekolah dasar dan menengah baru didirikan. Untuk mengatasi kebutuhan tenaga guru dibuka pula sekolah-sekolah guru. Kaum wanita bebas memilih sekolah, hingga bermunculan dokter-dokter dan hakim-hakim dari wanita. Perubahan juga menjalan ke pola berpakaian pria dan wanita ala Eropa. Pada tahun 1916, pemerintah CUP mereduksi sosial, bukan penggantian sultan. Seperti halnya masyarakat Timur, Turki mempunyai corak kolektif yang tidak mudah diubah mencapai kemajuan, sebab mereka mempunyai sikap ketergantungan pada kelompoknya. Untuk mengubah hal tersebut ia menyatakan bahwa jalan ampuh mengubah sikap tersebut adalah pendidikan. Rakyat Turki harus dididik dan dilatih mandiri untuk mengubah nasibnya. 207 Mufradi, “Kerajaan Usmani”, hlm. 253. Lihat juga Lapidus, Lapidus, A History of Islamic Society, hlm. 602 208 Szyliowics, Pendidikan dan Modernisasi, hlm. 207
101
Dr. Siswanto, M.Pd.I
kewenangan syaikh Islam dan mengalihkan seluruh yurisdiksi peradilan muslim kepada kementerian kehakiman dan menyerahkan penanganan perguruan muslim kepada kepada kementrian pendidikan.209 Kemudian terbentuklah tiga kristal aliran pembaharu, yaitu yang berhaluan Barat, Islam dan Nasionalis. Golongan Barat ingin mengabil perdaban Barat sebagai dasar pembaharuan, Golongan Islam ingin Islamlah menjadi dasar pembaharuan, dan golongan Nasionalisme yang timbul belakangan menyatakan bukan Barat dan bukan Islam yang dijadikan dasar tetapi nasionalisme Turki. Sampai disini, perkembangan sejarah pendidikan islam di kerajaan Turki Usmani berakhir seiring dengan berakhirnya kerajaan Ottoman. Sultan abd al-Majid II digulingkan dan kekuasaan beralih ke tangan Mustafa Kamal Attaturk,yang menanamkan westernisasi dan sekularisasi di berbagai sendi kehidupan nasional Turki. *
209
Lapidus, Lapidus, A History of Islamic Society, hlm. 602
102
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
BAB 6 KEBANGKITAN PENDIDIKAN ISLAM Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern memasuki dunia Islam, terutama sesudah pembukaan abad ke-19, yang dalam sejarah Islam dipandang sebagai permulaan periode modern.210 Kontak dengan dunia Barat selanjutnya membawa ide-ide baru ke dunia Islam seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi dan sebagainya,211 yang merupakan produk akal manusia dan aktivitasnya yang kreatif, yang dengan itu tampil transformasi sosial kultural yang akibatnya juga terasa dalam kehidupan agama.212 Semua ini menimbulkan persoalan-persoalan baru, dan pemimpinpemimpin Islam pun mulai memikirkan cara mengatasi persoalan baru tersebut.213
Zaman modern atau yang menurut Marshall Hodgson lebih tepat dinamakan "zaman teknik" (technical age) muncul karena adanya peran sentral teknikalisme serta bentuk-bentuk kemasyarakatan yang terkait dengan teknikalisme. Wujud keterkaitan antara segi teknologis diacu sebagai dorongan besar pertama umat manusia memasuki zaman sekarang ini yaitu revolusi industri (di Inggris) dan revolusi Perancis. Lihat Nurcholish Madjid, "Makna Modernitas dan Tantangannya terhadap Iman" dalam Islam dan Peradaban (Jakarta: Paramadina,1992), hlm.452-453. 211 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm.11. Bandingkan dengan A.H.Ridwan, Reformasi Intelektual Islam, Pemikiran Hassan Hanafi tentang Reaktualisasi Keilmuan Islam (Yogyakarta: Ittaqa Press,1998), hlm.1. 212 A.Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam (Jakarta: Bulan Bintang,1991), hlm.158. 213 Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm.11. 210
103
Dr. Siswanto, M.Pd.I
Memasuki dan ikut serta dalam dunia modern bukanlah persoalan pilihan, melainkan keharusan sejarah (historical ought). Kenyataan tersebut menuntut umat Islam untuk berusaha melakukan pembaharuan,214 penyegaran dan pemurnian pemahaman keagamaan. Gerakan pembaharuan Islam adalah sebuah kenyataan historis atau keniscayaan dari proses dinamis peradaban manusia, sebagai cermin implementasi respon positif terhadap modernisme, untuk kemudian melahirkan dinamika dan gerakan pemikiran yang beragam dan tentu saja secara diametral masing-masing berbeda. Dalam konteks ini, pembaharuan keislaman memiliki konsekuensi logis terhadap peninjauan dan penelaahan dengan kritis terhadap paham keislaman yang ada, baik menyangkut bidang kebudayaan maupun aqidah, termasuk pendidikan Islam.215 Karena itu, gagasan program modernisasi pendidikan Islam juga mempunyai akar-akarnya dalam gagasan tentang "modernisme" pemikiran dan institusi Islam secara keseluruhan. Dengan kata lain, "modernisme" pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dengan kebangkitan Dalam kosa kata Islam, pembaharuan diistilahkan dengan kata tajdid dan islah. Keduanya mencerminkan suatu tradisi yang berlanjut, yaitu tentang upaya menghidupkan kembali keimanan Islam beserta praktiknya dalam sejarah komunitas muslim, serta merupakan dasar bagi keyakinan bahwa gerakan-gerakan pembaharuan tetap merupakan bagian asli dan sah dari penjabaran Islam dipanggung sejarah. Lihat John Obert Voll, "Pembaharuan dan Perubahan dalam Sejarah Islam" dalam Dinamika Kebangunan Islam, Watak, Proses dan Tantangan, ed. John L. Esposito, ter. Bakri Siregar (Jakarta: Rajawali Press,1987), hlm.21-22. 215 M.Din Syamsuddin, Etika Agama Membangun Masyarakat Madani (Jakarta: Logos,2000), hlm.166. Lihat juga Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan,1995); M.A. Sahal Mahfuz, Nuansa Fikih Sosial (Yogyakarta: LKiS, 1994); Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial (Bandung: Mizan,1994). 214
104
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
gagasan dan program modernisme Islam. Kerangka dasar yang berada dibalik "modernisme" Islam secara keseluruhan bahwa "modernisme" pemikiran dan kelembagaan Islam merupakan prasyarat bagi kebangkitan kaum muslim di masa modern. Karena itu, pemikiran dan kelembagaan Islam – termasuk pendidikan – haruslah dimodernisasi, sederhananya diperbaharui sesuai dengan kerangka modernitas; mempertahankan pemikiran kelembagaan Islam "tradisional" hanya akan memperpanjang nestapa ketidakberdayaan kaum muslim dalam berhadapan dengan kemajuan modern.216 A. Latar Belakang Kemunduran Pendidikan Islam Dalam sejarah peradaban Islam, kita tahu bahwa ada dua corak pemikiran yang selalu mempengaruhi cara pikir umat Islam. Pertama, pemikiran tradisionalis (orthodox) yang berciri sufistik dan mengembangkan pola pendidikan sufi. Pola pendidikan ini sangat memperhatikan aspek-aspek bathiniyah dan akhlak atau budi pekerti manusia. Kedua, pemikiran rasionalis yang berciri liberal, terbuka, inovatif dan konstruktif. Corak pemikiran ini menimbulkan pendidikan empiris rasional. Pola pendidikan bentuk ini memperhatikan pendidikan intelektual dan penguasaan material.217 Kedua corak pemikiran inilah yang kelihatannya pada saat kejayaan Islam berlangsung satu padu, saling mengisi satu sama lain. Orang tidak lagi mau membedakan mana yang harus mereka pelajari, yang jelas baik ilmu agama yang bersumber dari wahyu maupun ilmu pengetahuan yang Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 2000), hlm.31. 217 Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm.109. 216
105
Dr. Siswanto, M.Pd.I
bersumberkan nalar mereka pelajari tanpa ada dikotomi. Keduanya telah betul-betul dijadikan sebagai sarana dalam menggali ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu pengetahuan umum.218 Kejayaan ini berlangsung cukup lama, sampai diangkatnya penguasa baru Abbasiyah – al-Mutawakkil – yang bermadzhab sunni melakukan pencabutan izin resmi Mu'tazilah219 sebagai aliran resmi kenegaraan yang pernah terjadi pada masa al-Ma'mun, kondisi terus belanjut hingga umat merasa antipati220 terhadap golongan Mu'tazilah, golongan yang gencar menyebarkan ajaran rasionalis. Sejak itu masyarakat tidak lagi mau mendalami ilmu-ilmu sains dan filsafat. Pemikiran logis dan ilmiah tidak lagi menjadi budaya berfikir masyarakat muslim sampai akhirnya pola berfikir rasional berubah menjadi cara berfikir tradisional yang banyak dipengaruhi oleh ajaran spiritualitas, takhayyul dan
Fauzan, “Menimbang Sisi Positif Perlunya Pembaruan Pendidikan Islam” dalam Sejarah Sosial Pendidikan Islam, ed. Suwito dan Fauzan (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 163 219 Pembahasan mengenai pengaruh pemikiran Mu'tazilah sebagai paham resmi negara yang dicabut pada masa al-Mutawakkil lihat Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam Sebuah Peta Kronologis, ter. Zaimul Am (Bandung: Mizan,2002), hlm.24. 220 Antipati terhadap Mu'tazilah lebih didasari oleh adanya "mihnah", suatu upaya paksa yang pernah dilakukan penguasa menggiring umat Islam menganut satu ajaran resmi kenegaraan, yakni Mu'tazilah. Antipati ini juga telah menyebabkan pengawasan yang ketat terhadap penerapan kurikulum di Madrasah. Jatuhnya paham Mu'tazilah telah mengangkat kaum konservatif menjadi kuat. Dalam rangka mengembalikan paham ahlussunnah sekaligus memperkokoh basis para ulama sering melakukan kontrol terhadap kurikulum di lembaga-lembaga pendidikan. Pada masa ini, materi pelajaran sangat minim, hanya terbatas pada ilmu-ilmu agama, bahkan pendidikan Islam lebih identik dengan pengajaran tasawuf dan fiqih. Lihat Fauzan, "Menimbang Sisi Positif, hlm. 163-164. 218
106
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
kejumudan.221 Artinya, kemunduran umat Islam sesungguhnya telah dimulai sejak runtuhnya Mu'tazilah, yang kemudian berakibat pada cara berfikir umat Islam yang tidak lagi rasional, tidak lagi mengindahkan pendidikan intelektual dan menganggap ilmu pengetahuan umum sebagai satu kesatuan ilmu yang punya nilai guna. Dengan semakin ditinggalkannya pendidikan intelektual, maka semakin statis perkembangan kebudayaan Islam, karena daya intelektual generasi penerus tidak mampu mengadakan kreasi-kreasi budaya baru, bahkan telah menyebabkan ketidakmampuan mengatasi persoalan-persoalan baru yang dihadapi sebagai akibat perubahan dan perkembangan zaman. Ketidakmampuan intelektual tersebut, merealisasi dalam pernyataan bahwa pintu ijtihad tertutup. Jiwa taklid dan fanatik madzhab menguasai pemikiran para ulama. Sehingga terjadilah kebekuan intelektual secara total.222 Dalam konteks ini, yang sering disebut paling bertanggung jawab atas kemunduran intelektual adalah ajaran teologi Asy'ariyah dan tasawuf al-Ghazali yang mengajarkan tawakkal dan fatalisme. Aliran Asy'ariyah berlainan dengan aliran Mu'tazilah dan aliran Maturidiyah Samarkand, memberi kedudukan lemah kepada akal. Aliran Asy'ariyah dikembangkan oleh madrasah Nizamiyah, yang salah satu guru besarnya adalah al-Ghazali. Sebagaimana diketahui, alGhazali mempunyai tulisan mengenai tasawuf, diantaranya adalah Ihya' Ulum al-Din yang besar pengaruhnya di dunia Islam.
221 222
Hanun Asrahah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos,1999), hlm.123. Zuhairini, Sejarah Pendidikan, hlm.111.
107
Dr. Siswanto, M.Pd.I
Ajaran mistisisme dan sufisme ini dengan cepat berkembang ke seluruh wilayah Islam. Tidak sedikit dan cendikiawan dan pemikir muslim yang terjun ke dunia sufisme. Usaha pencarian kehidupan rohani dengan mendekatkan diri kepada Tuhan ini memang banyak mempunyai segi positif. Tetapi dari segi yang lain, dalam praktiknya banyak menimbulkan keburukan. Penekanan yang terlalu berlebihan atas kehidupan spiritualitas mengakibatkan para cendikiawan lebih sibuk memikirkan rahasia-rahasia wujud Ilahi, sehingga menimbulkan kebingungan fikiran. Semangat keduniaan dan mencapai kemajuan semakin hilang.223 Sehingga ajaran mistisisme menurut Amir Ali, "tidak bisa lain dari mengakibatkan kelumpuhan intelektual".224 Dalam masalah ini, Harun Nasution, seperti yang dikutip Hitami, memisahkan kritik al-Ghazali yang tertuang dalam bukunya Tahafut al-Falasifah dari ajaran tasawufnya sehingga faktor yang bertanggung jawab hanya ditimpakan kepada ajaran tasawufnya.225 Harun Nasution juga menyebutkan bahwa kemunduran tidak terjadi di semua kalangan umat Islam. Kemunduran hanya terjadi pada kalangan umat Islam
Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999),hlm. 52. 224 Syed Amir Ali, Api Islam (Jakarta: Bulan Bintang,1978), hlm.685. 225 Memang tasawuf al-Ghazali mempunyai pengaruh besar di kalangan umat Islam, terutama kalngan awam, tetapi bagi orang yang terpelajar tidak mungkin tertutup pintu pengembangan intelektual walaupun dengan mengakui keterbatasannya. Fakta menunjukkan, seperti juga disebut oleh Syed Ali Ashraf, seandainya pengaruh al-Ghazali sedemikian buruknya, bagaimana mungkin dunia Islam melahirkan seorang pemikir (di kalangan muslim Sunni) setaraf Ibn Khaldun dua ratus tahun setelah al-Ghazali. Lihat Syed Ali Ashraf, New Horizon in Muslim Education (Cambridge: Hodder and Stoughton, The Islamic Academy,1985), hlm.33. 223
108
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
Sunni, tidak pada kalangan Syi'i, walaupun perkembangan di kalangan umat Islam Syi' tidak banyak diketahui.226 Kondisi demikian terus diperburuk seiring dengan runtuhnya kota Baghdad, akibat serangan Mongol pada tahun 1258 M, yang kemudian juga berakibat pada kehancuran kebudayaan dan pusat pendidikan Islam. Bagi sebagian kalangan sejarawan, kejatuhan Baghdad ini (termasuk Cordova di Barat pada tahun 1236 M) sebagai awal kemunduran Islam.227 Hal ini terus diperburuk oleh situasi politik negeri Islam yang tidak menentu, perpecahan di kalangan umat Islam semakin hebat, terjadi pertentangan antara Arab dan non Arab, antara satu daulah dengan daulah lainnya. Ancaman dari suku Barbar terus pula menghantam daulah-daulah Islam. Terjadilah perpecahan (disintegrasi) Munzir Hitami, Mengonsep Kembali Pendidikan Islam (Pekanbaru: Infinite Press, 2004), hlm.61. 227 Lebon menganalisis latar belakang kemunduran yang terjadi pada periode ini sebagai arus balik dari faktor-faktor yang pada mulanya menjadi pendorong kemajuan. Sebagai contoh, Lebon menekankan pada pembawaan Bangsa Arab yang gemar berperang dan bermusuhan yang pada masa-masa penaklukan merupakan faktor-faktor bermanfaat sekali dalam mencapai keberhasilan dengan berhasilnya bangsa Arab disatukan di bawah panji Islam dalam satu barisan menghadapi musuh. Pada akhirnya, faktor ini juga menjadi faktor penghancur karena terjadi berbagai perpecahan dan permusuhan dari dalam yang memang merupakan watak bangsa Arab. Lihat Gustave Lebon, Hadarat al-Arab, ter. Adil Zuaitir (Kairo: Isa al-Babiy al-Halabiy,tt.), hlm.607-608. Bila diamati analisis Lebon mengenai latar belakang kemunduran ini, maka pada intinya ia menekankan pada faktor perpecahan internal sebagai akibat dari berbagai pertikaian dan permusuhan sebagai faktor yang dominan. Jika itu benar, maka konsekuensinya yang dominan tentu hanya dalam bidang politik, bukan seluruh bidang kebudayaan. Dengan menunjuk peranan Islam sebagai kekuatan pemersatu bangsa Arab ketika itu, sebenarnya Lebon telah menyiratkan bahwa keberhasilan dan kejayaan umat Islam (Arab) adalah karena ke-Islamannya, sementara kemunduran yang terjadi adalah karena faktor ke-Arabannya. 226
109
Dr. Siswanto, M.Pd.I
sosial dan moral. Kondisi semakin parah. Akhirnya seperti dikatakan Hitti, "keruntuhan ekonomi mengakibatkan kemorosotan pengembangan intelektual dan mencekik pemikiran kreatif".228 Perpecahan ini berakibat pada rapuhnya sistem pemerintahan saat itu, yang kemudian juga berakibat pada lemahnya sektor pendidikan, baik institusi, metodologi, bahkan tujuan pendidikan Islam semakin kehilangan visi, misi dan tujuan sebagaimana yang pernah diterapkan di masamasa kejayaan Islam. Masa kemunduran di sini, ditandai dengan kemunduran intelektual, sementara pada aspek kehidupan lain ada yang mengalami kemajuan, umpamanya kemajuan di bidang kemiliteran pada masa kekuasaan Turki Usmani.229 Kehancuran total yang dialami oleh kota Baghdad dan Cordova sebagai pusat pendidikan dan kebudayaan Islam, menandai runtuhnya sendi-sendi pendidikan dan kebudayaan Islam. Musnahnya lembaga-lembaga pendidikan dan semua buku-buku ilmu pengetahuan dari kedua pusat pendidikan tersebut, menyebabkan pula kemunduran pendidikan di seluruh dunia Islam terutama dalam bidang intelektual dan material, tetapi demikian hanya dalam bidang kehidupan batin dan spiritual.230 Sejak masa itu mulailah masa-masa gelap dalam dunia intelektual muslim. Pendapat bahwa pintu ijtihad ditutup semakin luas dan taklid buta menjadi anutan dan pandangan umum. Meskipun pada zaman ini terdapat tiga kerajaan besar
Philip K. Hitti, History of the Arabs (London: McMillan,1974), hlm.486. Hitami, Mengonsep Kembali, hlm. 59-60. 230 Zuhairini, Sejarah Pendidikan, hlm.111. 228 229
110
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
yang berhasil mencapai kemajuan, tetapi menurut Harun Nasution, "kemajuan itu lebih banyak merupakan kemajuan lapangan politik yang jauh lebih kecil dari zaman klasik. Perhatian pada ilmu pengetahuan kurang sekali".231 Dari sinilah kemudian timbul peralihan pusat-pusat kebudayaan dari dunia Islam ke Eropa dan menimbulkan rasa lemah dan putus asa di kalangan kaum muslimin. Ini telah menyebabkan mereka untuk mencari pegangan dan sandaran hidup yang bisa mengarahkan kehidupan mereka. Aliran pemikiran tradisionalis memiliki tempat yang meluas di kalangan masyarakat muslim. Semua pemikiran terarah pada pola sufistik, fatalisme dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT. B. Faktor-faktor Pendorong Pembaharuan Pendidikan Islam Setelah warisan filsafat dan ilmu pengetahuan Islam diterima oleh bangsa Eropa dan umat Islam sudah tidak lagi memperhatikannya, maka secara berangsur-angsur telah membangkitkan kekuatan di Eropa dan menimbulkan kelemahan di kalangan umat Islam. Kecanggihannya dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan telah membuktikan Barat sebagai penguasa dunia. Secara berangsur-angsur tetapi pasti, kekuasaan umat Islam ditundukkan oleh kekuasaan bangsa Eropa, dan terjadilah penjajahan di mana-mana di seluruh wilayah yang pernah dikuasai oleh kekuasaan Islam. Eksploitasi kekayaan dunia Islam oleh bangsa-bangsa Eropa, semakin memperlemah kedudukan kaum muslim dalam segala aspek kehidupan.232 231 232
Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm.12. Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 116.
111
Dr. Siswanto, M.Pd.I
Pendudukan Mesir oleh Napoleon Bonaparte tahun 1798 M. adalah merupakan tonggak sejarah bagi umat Islam untuk mendapatkan kembali kesadaran akan kelemahan dan keterbelakangan mereka. Ekspedisi Napoleon tersebut bukan hanya menunjukkan akan kelemahan umat Islam, tetapi sekaligus menunjukkan kebodohan mereka.233 Ekspedisi Napoleon tersebut di samping membawa sepasukan tentara yang kuat, juga membawa sepasukan ilmuwan dengan seperangkat peralatan ilmiah untuk mengadakan penelitian di Mesir.234 Inilah awal mula terjadinya kesadaran umat Islam akan ketertinggalannnya yang begitu jauh.235 Instropeksi terus dilakukan oleh beberapa pembaharu Islam, untuk kemudian dicarikan apa yang harus kita perbuat dalam mengembalikan kejayaan Islam di masa lalu. Secara garis besar, ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya proses pembaharuan pendidikan Islam, yaitu: Bisa dibayangkan kaum muslim sangat terperangah ketika tidak mampu berbuat banyak untuk menangkis kekuatan Eropa. Secara teologis ini menimbulkan krisis. Kaum muslim yang disebut sebagai "khair ummah" Umat terbaik) dengan begitu mudah dikalahkan oleh orang-orang Barat. Ada sesuatu yang salah. Dalam situasi ini para pemikir muslim menyatakan secara apologetis, tidak ada sesuatu pun yang salah dengan Islam itu sendiri, yang keliru adalah umatnya yang tidak bisa mengangkap pertanda zaman. Lihat Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta : Logos, 2000), hlm.xiv. 234 Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 30. 235 Sebenarnya kesadaran akan kelemahan dan ketertinggalan kaum muslim dari bangsa Eropa dalam berbagai bidang telah timbul mulai abad ke-17 M dengan kekalahan-kekalahan yang diderita oleh kerajaan Turki Usmani dalam peperangan dengan Negara-negara Eropa. Kekalahan tersebut mendorong raja-raja dan pemuka-pemuka kerajaan untuk menyelidiki sebab-sebab kekalahan mereka dan rahasia keunggulan lawan. Mereka mulai memperhatikan kemajuan yang dicapai Eropa, terutama Perancis yang merupakan pusat kemajuan kebudayaan Eropa saat itu. Lihat Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 116. 233
112
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
pertama, faktor kebutuhan pragmatis umat Islam yang sangat memerlukan satu sistem pendidikan Islam yang benar-benar bisa dijadikan rujukan dalam rangka mencetak manusiamanusia muslim yang berkualitas, bertakwa dan beriman kepada Allah SWT. Kedua, agama Islam sendiri melalui ayat suci al-Qur'an banyak menyuruh atau menganjurkan umat Islam untuk selalu berfikir,236 dan bermetafora: membaca dan menganalisis sesuatu untuk kemudian bisa diterapkan atau bahkan bisa menciptakan hal yang baru dari apa yang kita lihat.237 Ketiga, adanya kontak Islam dengan Barat, juga merupakan faktor terpenting yang bisa kita lihat. Adanya kontak ini paling tidak telah menggugah dan membawa perubahan paradigmatik umat Islam untuk belajar secara terus menerus kepada Barat, sehingga ketertinggalan-ketertinggalan yang selama ini dirasakan akan bisa terminimalisir. Kontak-kontak ini diiringi dengan kontak-kontak budaya dan semakin mendorong kebangkitan di dunia Islam,238 bahkan Fazlurrahman menyebutkan bahwa sejarah Islam di masa
Misalnya QS. Ali Imran: 190-191 yang menganjurkan untuk senantiasa berfikir terhadap segala ciptaan Allah SWT. 237 Kedua faktor di atas sesungguhnya lebih merupakan faktor-faktor yang bisa dilihat secara internal. Adanya kebutuhan umat akan kemajuan dan perbaikan nasib dirinya bisa dikatakan sebagai faktor penentu timbulnya proses pembaharuan pendidikan dalam Islam. Di samping agama Islam sendiri melalui al-Qur'an – sebagai sumber ajarannya – banyak menganjurkan kepada umatnya untuk selalu berinovasi, melakukan pembaharuan di segala bidang. Lihat Fauzan, “Menimbang Sisi Positif, hlm. 165. 238 Hitami, Mengonsep Kembali, hlm.64. 236
113
Dr. Siswanto, M.Pd.I
modern pada intinya merupakan sejarah dampak Barat terhadap Islam.239 Oleh karenanya, adanya kontak Islam dengan Barat, setidaknya telah memunculkan dua respons umat Islam. Pertama, rasa simpatik umat Islam akan kemajuan yang dialami Barat, telah berimplikasi pada lahirnya suatu gerakan yang mencoba melakukan pembaharuan melalui pengadopsian ilmu pengetahuan dan teknologi, dan nilai-nilai Barat ke dalam dunia Islam dengan tujuan membangkitkan kembali ke pentas dunia. Kedua, rasa keprihatinan dari sebagian golongan umat Islam akan kemunduran yang dialami Islam. Kondisi demikian telah menbawa pada satu gerakan yang melihat bahwa kemunduran Islam disebabkan ketidaksetiaan umat Islam sendiri terhadap ajaran-ajaran Islam yang sesungguhnya. Oleh sebab itu, untuk memajukan Islam tidak ada jalan lain kecuali dengan kembali kepada ajaran Islam yang murni berdasarkan al-Qur'an dan al-Hadits. Gerakan inilah yang kemudian lebih dikenal sebagai kelompok tradisionalis,240 satu kelompok gerakan pembaharuan dalam Islam yang lebih banyak melihat kejayaan masa lalu, sehingga dalam proses pembaharuannya Fazlurrahman, Islam, ter. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 311. Sekalipun dampak Barat itu tidak dapat disangkal dalam kebangkitan dunia Islam, yang penting di sini adalah agar seseorang tidak terjebak pada pemikiran organisme biologis sejarah yang menolak adanya benang merah sejarah yang dapat ditarik dari kasus kebangkitan tersebut. Sehubungan dengan itu, Nurcholis Madjid menyebutkan bahwa dari waktu ke waktu senantiasa ada usaha pembaharuan atau penyegaran, ataupun pembumian pemahaman umat terhadap agamanya, dan merupakan sesuatu yang menyatu dengan sistem Islam dalam sejarah. Lihat Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm.61. 240 John L. Esposito, Dinamika Kebangkitan Islam, Watak, Proses dan Tantangan, ter. Bakri Siregar (Jakarta: Rajawali Pers,1987), hlm.274. 239
114
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
kelompok ini selalu menganjurkan untuk mengembalikan segala persoalan kepada al-Qur'an dan al-Hadits. C. Pola Pembaharuan Pendidikan Islam Dengan memperhatikan faktor yang melatarbelakangi pembaharuan pendidikan Islam, maka secara garis beras terdapat dua pola pemikiran pembaharuan pendidikan Islam, yaitu : 1. Golongan yang berorientasi pada pola pendidikan modern di Barat. Pada dasarnya mereka berpandangan bahwa sumber kekuatan dan kesejahteraan hidup yang dialami Barat adalah sebagian hasil perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang mereka capai. Mereka juga berpendapat bahwa apa yang dicapai oleh bangsa-bangsa Barat sekarang, tidak lain adalah merupakan pengembangan dari ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang pernah berkembang di dunia Islam. Atas dasar demikian, maka untuk mengembalikan kekuatan dan kejayaan umat Islam, sumber kekuatan dan kesejahteraan tersebut harus dikuasai kembali. Penguasaan tersebut harus dicapai melalui proses pendidikan, untuk itu harus meniru pola pendidikan yang dikembangkan oleh dunia Barat,241 sebagaimana dulu Barat pernah meniru dan mengembangkan sistem pendidikan Kelihatannya inilah yang pernah dilakukan oleh Muhammad Ali Pasya (1805-1848) sewaktu ia berkuasa di Mesir. Untuk tujuan ini ia banyak mendatangkan guru-guru dari Barat untuk mengajar di sekolah-sekolah militer dan teknik di Mesir. Dalam masa yang sama juga diusahakan penerjemahan buku-buku Barat ke dalam bahasa Arab. Hal ini dimaksudkan agar umat Islam yang Arabism juga bisa menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi Barat. Lihat Ibid, hlm. 275. 241
115
Dr. Siswanto, M.Pd.I
dunia Islam.242 Dalam hal ini usaha pembaharuan pendidikan Islam adalah dengan jalan mendirikan sekolahsekolah dengan pola pendidikan Barat, baik sistem maupun isi pendidikannya. Di samping itu, pengiriman pelajar-pelajar ke dunia Barat terutama ke Perancis untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi modern tersebut banyak dilakukan oleh penguasa-penguasa di berbagai negeri Islam.243 2. Gerakan pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada sumber Islam yang murni. Pola ini berpandangan bahwa sesungguhnya Islam sendiri merupakan sumber kemajuan dan perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan modern. Islam sendiri sudah penuh dengan ajaran-ajaran dan pada hakikatnya mengandung potensi untuk membawa kemajuan dan kesejahteraan serta kekuatan bagi umat manusia. Dalam hal ini Islam membuktikannya pada masa-masa kejayaannya.244 Bagi kelompok ini, adanya kemajuan peradaban dan ilmu pengetahuan yangh pernah dialami umat Islam seharusnya menjadi referensi atau bahkan sandaran kalau sesungguhnya Islam sendiri melalui ajarannya, yakni al-Qur'an dan al-Hadits bisa memajukan ummatnya tanpa harus berkiblat ke Barat.245 Menurut analisis mereka, di antara sebab-sebab kelemahan umat Islam, adalah karena mereka tidak lagi melaksanakan ajaran agama Islam secara semestinya. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm.37-38. Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, hlm.118. 244 Ibid, hlm.121. 245 Fauzan,"Menimbang Sisi Positif, hlm.167-168. 242 243
116
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
Ajaran-ajaran Islam yang menjadi sumber kemajuan dan kekuatan ditinggalkan, dan menerima ajaran-ajaran Islam yang sudah tidak murni lagi. Hal tersebut terjadi setelah mandegnya perkembangan filsafat Islam, ditinggalkannya pola pemikiran rasional dan kehidupan umat Islam telah diwarnai oleh pola hidup yang bersifat pasif. Di samping itu, dengan mandegnya perkembangan fiqh yang ditandai dengan penutupan pintu ijtihad, umat Islam telah kekurangan daya mampunya untuk mengatasi problematika hidup yang menantangnya sebagai akibat dari perubahan dan perkembangan zaman.246 Disamping kedua pola tersebut di atas, ada kelompok lain yang mengusahakan pembaharuan pendidikan yang berorientasi pada nasionalisme. Pada intinya 247 nasionalisme diartikan sebagai suatu paham kebangsaan yang dianut oleh sekelompok orang untuk memperjuangkan negaranya dari kolonialisme yang bersifat defensif dan demokratis.248 Rasa nasionalisme timbul bersamaan dengan berkembangnya pola kehidupan modern, dan mulai dari Barat. Bangsa-bangsa Barat Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, hlm.121. Sementara Abu A'la al-Maududi mengartikan nasionalisme dengan sangat sederhana, yaitu kaum nasionalis harus mendahulukan kebangsaannya sendiri sebelum kebangsaan lainnya. Lihat John J.Donohue dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan, Ensiklopedi Masalah-masalah, ter. Machnun Husein (Jakarta: RajaGrafindo Persada,1995), hlm. 159. Sedangkan Abdurrahman al-Maza menyatakan bahwa nasionalisme sebagai sebuah gagasan politik dan sosial yang bertujuan untuk mempersatukan setiap golongan masyarakat dengan menjadikan mereka patuh dan setia kepada sebuah kelompok politik. Untuk pembahasan ini lihat Sylvia G. Haim, Arab Nationalism, An Antology (Barkeley: University of California Press,1962), hlm.181. 248 Taufik Abdullah (ed.) Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES,1989), hlm. 345. 246 247
117
Dr. Siswanto, M.Pd.I
mengalami kemajuan rasa nasionalisme yang kemudian menimbulkan kekuatan-kekuatan politik yang berdiri sendiri. Keadaan tersebut mendorong pada umumnya bangsa-bangsa Timur dan bangsa terjajah lainnya untuk mengembangkan nasionalisme masing-masing. Umat Islam mendapati kenyataan bahwa mereka terdiri dari berbagai bangsa yang berbeda latar belakang dan sejarah perkembangan kebudayaannya. Merekapun hidup bersama dengan orang-orang yang beragama lain tapi sebangsa. Inilah yang juga mendorong perkembangan rasa nasionalisme di dunia Islam.249 Oleh karena sifat utama paham ini adalah mengutamakan nilai-nilai kebangsaan tertentu yang dibatasi oleh batas-batas tertentu baik geografis maupun kultural, tampaknya hal ini bertentangan dengan sifat dasar agama Islam yang universal. Oleh karenanya, sangat wajar jika paham ini untuk pertama kalinya dikenalkan di dunia Islam banyak menimbulkan konflik ideologis dan perbedaan pandangan di kalangan para ulama. Namun pada perkembangan berikutnya, paham ini cukup bisa dipahami oleh umat Islam dan tentunya dengan catatan, yaitu "nasionalisme ala Islam" dalam arti sifat-sifat keuniversalan Islam serta nilai-nilai ukhuwah Islamiyah yang bersifat internasional tetap terpelihara.250 Hal ini berangkat dari suatu keyakinan di kalangan pemikirpemikir pembaharuan di kalangan umat Islam, bahwa pada hakikatnya ajaran Islam bisa diterapkan dan sesuai
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 123. Moh. Nurhakim, Islam, Doktrin, Pemikiran dan Realitas Historis (Malang: UMM Press,1998), hlm.180. 249 250
118
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
dengan segala zaman dan tempat. Oleh karena itu, ide pembaharuan yang berorientasi pada nasionalisme inipun sesuai dengan ajaran Islam. Golongan nasionalis ini, berusaha untuk memperbaiki kehidupan umat Islam dengan memperhatikan situasi dan kondisi obyektif umat Islam yang mengalami krisis moral. Dalam usaha tersebut, bukan semata-mata mengambil unsur-unsur budaya Barat yang sudah maju, tetapi juga mengambil unsur-unsur yang berasal dari budaya warisan budaya yang bersangkutan.251 D. Tokoh Pembaharu Pendidikan Islam Bila merujuk pada pola pembaharuan pendidikan Islam di atas, kelihatannya tidak sedikit tokoh yang mencoba melakukan pembaharuan dalam bidang ini. Namun dalam pembahasan ini hanya akan diuraikan para tokoh pembaharuan pendidikan Islam yang bercorak modernis yang menjadi representasi pembaharuan pendidikan Islam yang pernah dilakukan pada tiga kerajaan besar, yakni kerajaan Usmani, Mesir dan India.
251Zuhairini,
Sejarah Pendidikan Islam,, hlm.123-124. Seperti tokoh nasionalisme Turki, Zia Gokalp, meskipun ia menyadari bahwa krisis moral tersebut disebabkan oleh melemahnya pengaruh agama dalam masyarakat, ia pesimis terhadap pendidikan agama akan mampu menanggulanginya, sebab masyarakat telah berubah menuju masyarakat nasional sehingga agama tidak lagi menjadi satu-satunya sumber nilai. Sementara itu, ketiga corak pendidikan :asing. Modern dan Islam yang ada di Turki bersikap menentang kebudayaan asli Turki. Oleh karena itu, Gokalp mengidealkan sebuah pendidikan yang berakar pada nilai-nilai secular baru yang bersumber pada kebudayaan nasional. Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm.139.
119
Dr. Siswanto, M.Pd.I
Berikut akan dijelaskan pembaharuan di ketiga wilayah tersebut dengan tokoh-tokoh pembaharu yang menjadi representasi dari ketiganya : 1. Sultan Ahmad III Adanya kekalahan-kekalahan yang dialami kerajaan Turki Usmani telah menyebabkan Sultan Ahmad III (memerintah tahun 1703-1730) amat prihatin sembari melakukan intropeksi kenapa Kerajaan Turki selalu kalah. Dari itu, tumbuh sikap baru dalam diri kerajaan Turki untuk bersikap lebih arif terhadap keberadaan Barat. Barat tidak lagi dianggap sebagai musuh yang harus dijauhi. Menurut Ahmad III bila umat Islam ingin maju, maka harus menghargai dan mau menjalin kerja sama untuk mengejar ketinggalan Islam dengan Barat.252 Langkah pertama yang dia ambil adalah dengan melakukan pengiriman duta-duta ke Eropa untuk mengamati keunggulan Barat, selanjutnya menyampaikan hasil penelitian tersebut kepada sultan. Salah satu implikasi dari adanya penelitian tersbut muncul ide dari sultan untuk mendirikan Sekolah Teknik Militer yang mengajarkan taktik, strategi serta teknik militer.253 Selain itu, pada tahun 1717 M. ia mendirikan lembaga terjemah yang bertugas menerjemahkan buku-buku dalam berbagai bidang imu pengetahuan ke dalam bahasa Turki sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan dengan cara mendirikan percetakan di Istambul pada tahun 1727 M. Hal ini diupayakan sebagai langkah untuk mempermudah 252 253
Fauzan,"Menimbang Sisi Positif, hlm.169. Ibid, hlm.169-170.
120
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
akses buku-buku pengetahuan, yang berkaitan ilmu kedokteran, ilmu kalam, ilmu pasti, astronomi, sejarah, kitab hadits, fiqh dan tafsir.254 Dengan demikian, upaya pembaharuan pendidikan yang dilakukan Sultan Ahmad III lebih pada upaya menciptakan satu lembaga pendidikan yang di dalamnya mengajarkan ilmu-ilmu yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, bangsa dan negara. Selanjutnya, modernisasi ini dilakukan oleh Sultan Salim III (memerintah 1789-1807). Dia memperkenalkan program modernisasi yang dikenal dengan Nizam el-Jedid, yang meliputi pembentukan korps militer baru, perluasan sistem perpajakan dan pelatihan untuk mendidik para kader rezim baru.255 Namun modernisasi ini tidak mendapat dukungan dari ulama dan kelompok militer Jenisseri, dan akhirnya Sultan Salim III sendiri yang menjadi korban dari program modernisasi tersebut. Dan ia pun digulingkan pada tahun 1807.256 2. Sultan Mahmud II Sultan Mahmud II (w.1839 M) mengadakan pembaharuan dengan mengadopsi metode yang dimiliki bangsa Eropa dalam hal administrasi, pendidikan dan organisasi politik, yang mana hal itu membuahkan sebuah perluasan yang berlanjut terhadap peran negara bagian dan Nasution, Islam Rasional, hlm.16. Stanford J.Shaw dan Ezelkural Shaw, History of the Ottoman Empire and Modern Turkey, vol.2 (Cambridge: Cambridge University Press,1988), hlm.1. Lihat juga Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki (Jakarta: Logos, 1997), hlm.121. 256 Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies (New York: Cambridge University Press,1988), hlm.598. 254 255
121
Dr. Siswanto, M.Pd.I
diikuti oleh kebutuhan mendesak terhadap ahli administrasi dan ahli teknik yang berkualitas untuk menciptakan perubahan dalam bidang pendidikan, administrasi, ekonomi dan sosial yang mendukung terbentuknya negara modern. Modernisasi yang dilakukan dalam bidang pendidikan terdorong untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi para pejabat militer, serta anak-anaknya yang tidak mendapat pendidikan, yang akhirnya membawa kepada banyaknya anak buta huruf. Oleh karena itu, upaya yang dilakukannya adalah mengubah pola pendidikan madrasah tradisional disesuaikan dengan zamannya (abad ke-19) dan memberantas buta huruf.257 Namun untuk mengubah kurikulum madrasah dengan menambahkan pengetahuanpengetahuan umum ke dalamnya sebagaimana halnya di dunia Islam ketika itu, memang merupakan suatu hal yang sulit. Karena itu, Mahmud II mencari terobosan dengan tetap membiarkan sekolah tradisional berjalan dan mendirikan dua sekolah umum, yaitu Mekteb-i Maarif (Sekolah Pengetahuan Umum) yang menghasilkan sebagian tokoh pembaharu penting dan Mekteb-i Ulum-u EdebiyeTibbiye-i (Sekolah Sastra) yang bukan hanya melatih para penerjemah dan penyadur, melainkan juga sebagai pusat penerjemahan karya sains Eropa.258 Di kedua sekolah tersebut diajarkan bahasa Perancis, ilmu ukur, sejarah dan
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 287. 258 Joseph S. Szyliowics, Pendidikan dan Modernisasi di Dunia Islam, ed. Achmad Djainuri (Surabaya: al-Ikhlas, 2001), hlm. 174. 257
122
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
ilmu politik di samping bahasa Arab.259 Adapun siswa kedua sekolah adalah siswa terbaik dari madrasahmadasah tradisional. Terobosan lain yang dilakukan adalah mendirikan sekolah militer, teknik dan sekolah pembedahan. Pada tahun 1827 mendirikan Tibb-bane atau Tibbiye (sekolah kedokteran),260 yang di dalamnya bukan hanya buku-buku tentang ilmu-ilmu kedokteran, tetapi juga ilmu alam, filsafat dan sebagainya, sehingga lambat laun siswa dipengaruhi ide-ide modern yang berasal dari Barat. Pada tahun 1831-1834, dua lembaga pendidikan untuk tujuan militer juga didirikan, yaitu Muzika-i Humayun Mektabi (Sekolah Musik Kerajaan) dan Mekteb-i Ulum-i Harbiye (Akademi Militer Kerajaan). Pada tahun 1837, sekolah kedokteran dan pembedahan digabung menjadi satu dengan nama Dar al-Ulum-u Hikemeyeve Mekteb-i Tibbiye-i Sahani,261 dengan menggunakan bahasa Perancis. Dari sinilah mulai muncul ide-ide modern sebagai counter opinion atas paham fatalistik yang telah lama menyelimuti masyarakat. Para siswa yang telah membaca buku-buku Barat dan kenal pada ide hukum alam serta paham kebebasan manusia dalam kehendak dan perbuatan mulai meninggalkan faham fatalisme tersebut. Hal itu mengejutkan bagi ulama Turki ketika itu.
Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm.94 Uriel Heyd, ”The Ottoman Ulema and Westernization in the Time of Salim III and Mahmud II” dalam The Modern Middle East, ed. Albert Hourani, et.al. (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1993), hlm. 32. 261 Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), hlm. 119 259 260
123
Dr. Siswanto, M.Pd.I
Untuk masyarakat umum, ia mendirikan pendidikan tingkat menengah dengan nama sekolah ”Rusydiye”, dengan maksud untuk mempersiapkan kader pegawai sipil. Terhadap sistem pendidikan tradisional ia berusaha memasukkan pengetahuan umum dalam kurikulum pendidikannya.262 Setelah diadakan modernisasi di bidang pendidikan, tidak lama kemudian menjamurlah di kerajaan Turki Usmani buku-buku berbahasa Turki yang berisi ide-ide tentang modernisasi. Di samping itu, Mahmud II juga menerbitkan jurnal "takvim-i-Vikayi. Melalui media ini, ia mensosialisasikan ide-ide modernisasi kepada masyarakat Turki.263 Ide-ide pembaharuan itu telah menunjukkan adanya keseriusan sultan Mahmud II memajukan umat Islam Turki, dan ia punya prinsip bahwa upaya pembaharuan tidak akan pernah terwujud manakala fondasi dasar yang menjadi tujuan pembaharuan, yakni pola berfikir masyarakat belum berubah. Perubahan pola berfikir tersebut tidak akan terwujud kalau kondisi pendidikan Islam sendiri belum diperbaharui, baik tujuan, visi, dan orientasi, maupun sistem pendidikan yang menjadi acuan berhasil atau tidaknya proses pendidikan. 3. Muhammad Ali Pasha Muhammad Ali Pasha (1769-1849 M), pada dasarnya merupakan orang yang pertama kali meletakkan
Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, hlm. 123 -124. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada,1996), hlm.18. 262 263
124
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
kebangkitan modern atau mengadakan pembaharuan di Mesir.264 Muhammad Ali Pasha sangat yakin bahwa satusatunya jalan bagi kebangkitan umat adalah meniru peradaban Barat modern yang menjadi anutan peradaban dunia. Kaum muslim tidak dapat diharapkan kecuali jika mereka mengambil pemikiran masyarakat Barat yang dinamis dan tidak statis.265 Walaupun tidak pandai membaca dan menulis, ia sangat menyadari pentingnya arti pendidikan dan ilmu pengetahuan bagi kemajuan suatu bangsa. Untuk itu, berpijak pada kekalahan negara-negara muslim terhadap bangsa Barat, maka pembaharuan pendidikan pada mulanya diarahkan kepada keahlian di bidang militer. Sehingga pada tahun 1816, Ali Pasha mendirikan Akademi Militer yang mengajarkan teknik perang, teknik naik kuda, penggunaan senjata disamping masih mengajarkan alQur'an, bahasa Arab, bahasa Persia, bahasa Turki dan bahasa Italia. Selanjutnya, usaha untuk merestorasi pendidikan Mesir sesuai dengan tuntutan modernitas, ia mendirikan kementerian pendidikan dan lembaga-lembaga 266 pendidikan, membuka Sekolah Teknik (1836), Sekolah Kedokteran (1827), Sekolah Apoteker (1829), Sekolah Pertambangan (1834), Sekolah Pertanian (1836) dan Sekolah Penerjemahan (1836).267 Kebijakan dan gebrakan yang Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, ter. Bahruddin Fannani (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997), hlm. 277. 265 Ibid, hlm.278. 266 Tadjab, Perbandingan Pendidikan (Surabaya: Karya Abditama,1994), hlm.128. 267 Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm.38. Beberapa tahun kemudian, Sekolah Penerjemahan ini diserahkan kepada pimpinan Rifa'ah al-Tahtawi, 264
125
Dr. Siswanto, M.Pd.I
diambil Muhammad Ali Pasya lebih banyak mengadopsi tata cara dan model yang dilakukan Barat. Kecenderungan ini bisa dilihat dari model dan sistem pendidikan yang diterapkan di Mesir, guru-gurunya bahkan tenaga ahli dalam rangka memajukan pendidikan pun lebih banyak diimpor dari negeri Barat.268 Masih dalam konteks melakukan upaya pembaharuan dalam bidang pendidikan, Ali Pasya juga mengirim para pelajar untuk belajar ke Italia, Perancis, Inggris dan Austria. Bahkan menurut Philip K. Hitti, antara tahun 1823 dan 1844, sekitar 311 pelajar dikirim ke Eropa, jumlah yang kelihatannya begitu banyak dan belum pernah terjadi atau pernah dilakukan oleh pembaharu-pembaharu yang lain.269 Berbagai terobosan yang dilakukan Ali pasha di Mesir telah banyak memberikan kontribusi besar terhadap dunia pendidikan Islam. Gerakan pembaharuannya telah memperkenalkan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat kepada umat Islam, dan sampai pada satu waktu dapat menyingkap awan hitam yang menyelimuti pola pikir dan sikap keagamaan, yang juga menjadi embrio kelahiran para tokoh muslim yang berpengetahuan luas, berwawasan modern dan tidak berpandangan sempit. 4. Muhammad Abduh Sebagai seorang teolog yang berpengalaman pada garisgaris tradisional yang merasa yakin bahwa sains dan Islam seorang ulama al-Azhar yang pernah belajar di Paris dan kemudian ada pengaruhnya dalam penyiaran ide-ide Barat di Mesir. 268 Hanun Asrahah, Sejarah Pendidikan Islam, hlm.133. 269 Philip K. Hitti, History of the Arabs (London: McMillan Press,1974), hlm.724.
126
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
tidak mungkin bertentangan, menyatakan bahwa agama dan pemikiran ilmiah bekerja pada level yang berbeda. Ia menyuguhkan ajaran-ajaran dasar Islam dalam batasanbatasan yang bisa diterima oleh pikiran modern, dan mengizinkan pembaharuan lebih lanjut di satu pihak dan mempelajari ilmu pengetahuan modern di pihak lain. Meskipun Abduh tidak menyuguhkan ide-ide baru dalam kumpulan tradisional, namun posisinya memberikan kemajuan kepada pembaharu-pembaharu pramodern pada dua poin penting; pertama, penekanan umum atas peranan akal dalam Islam. Kedua, menyatakan kembali ide-ide dasar Islam sehingga bisa membuka pintu bagi pengaruh ide-ide baru dan usaha pencarian ilmu pengetahuan modern pada umumnya. Ia menawarkan prospek-prospek perkembangan sambil tetap 270 mengamankan kontinuitas dari masa lampau. Jadi, pembaruan mendasar yang diupayakan Muhammad Abduh adalah memahami dan menyuguhkan kebenaran Islam secara lebih rasional. Karena akal (rasio) dapat dijadikan sebagai justifikasi agama, sehingga doktrindoktrinnya dapat dilogikakan dan didemonstrasikan 271 secara rasional pula. Lebih lanjut, ia melakukan penafsiran kembali tentang Islam dan menjelaskan bagaimana Islam memberikan dasar-dasar moral bagi masyarakat modern. Ia pun menggugah kaum muslimin agar mau melakukan kritik
Fazlurrahman, Islam, hlm. 217. Maryam Jamelah, Islam and Modernism (Lahore: Allahwala Printers,1977), hlm.151. 270 271
127
Dr. Siswanto, M.Pd.I
diri dan menggali moral agama.272 Dalam analisisnya, ia menggunakan tema-tema yang sudah berkembang pada abad ke-18, tetapi meletakkan tema tersebut dalam konteks kontemporer. Dia merasakan bahwa tujuan utama dalam kehidupannya adalah untuk membebaskan pemikiran dari belenggu taklid,273 dan memahami agama sebagaimana yang dipahami oleh para pendahulu sebelum terjadinya perpecahan untuk kembali kepada sumber-sumber awal dan mempertimbangkannya dalam skala penalaran modern.274 Ia cenderung mempermasalahkan kaum muslimin sendiri karena gagal mempertahankan secara memadai prinsip-prinsip Islam, dan untuk alasan inilah ia menginginkan suatu bentuk pendidikan Islam yang lebih efektif. Masyarakat muslim dapat mengadopsi ide-ide
Nourouzzman Shiddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1996), hlm.147. 273 Dalam hal ini, ia menyatakan bahwa Islam mendorong manusia meninggalkan keterikatan mereka dengan menganggap dungu dan tolol terhadap sikap yang ingin mengetahui apa yang dikatakan para pendahulu. Lihat Muhammad Abduh, The Theology of Unity, ter. Ishaq Musaad dan Kenneth Cargy (London: George Allen and Unwin, 1966), hlm.127. Dengan sendirinya taklid kepada ulama lama tak perlu dipertahankan bahkan mesti diperangi karena taklid inilah yang membuat umat Islam berada dalam kemunduran dan tak dapat maju. Dalam bukunya, al-Islam Din al-Ilm wa alMadaniyah, Muhammad Abduh dengan tegas mengkritik ulama-ulama yang menimbulkan paham taklid. Sikap ulama ini, kata Abduh, membuat umat Islam berhenti berfikir dan akal mereka berkarat. Taklid ini menghambat perkembangan bahasa Arab, perkembangan susunan masyarakat Islam, syari'at, sistem pendidikan dan sebagainya. Umat Islam yang berpegang teguh pada pendapat ulama klasik dipandang Abduh berlainan betul dengan sikap umat Islam dahulu. Al-Qur'an dan al-Hadits, katanya melarang umat Islam bersifat taklid. Lihat Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm.64-65. 274 John Obert Voll, Islam Continuity and Change in the Modern World (NewYork: Westview Press,1982), hlm.97. 272
128
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
Barat275 tanpa mengenyampingkan prinsip-prinsip Islam sendiri.276 Hal ini dapat diidentifikasi sebagai Islam yang benar yakni Islam yang murni (bebas) dari pengaruh dan praktik menyimpang. Implikasi dari gagasan ini melahirkan usaha seperti mereformulasi hukum Islam dalam konteks pemikiran modern, reformulasi pendidikan tinggi Islam dan menjaga Islam dari pengaruh Eropa Kristen.277 Oleh karena itu, isu paling penting yang menjadi perhatian sepanjang hayat dan kariernya adalah pembaruan pendidikan. Menurut pandangannya, pendidikan itu penting sekali, sedangkan ilmu pengetahuan itu wajib dipelajari. Sesuatu yang yang selalu Abduh pikirkan adalah bagaimana mencari alternatif untuk keluar dari stagnasi yang dihadapi sekolah agamanya di Mesir, yakni pendidikan al-Azhar. Abduh berpendapat bahwa pendidikan yang diamatinya cenderung menghasilkan lulusan dan masyarakat yang jumud, tidak Walaupun Abduh tertarik pada pemikiran Barat, bukan berarti ia merupakan seorang yang antusias pada pemikiran Barat. Ia lebih memprioritaskan pada rekonstruksi basis intelektual mengenai pandangan dunia yang Islami. Tugas ini meliputi dua tahapan; pertama, penegasan kembali apa sesungguhnya Islam dan kedua, mempertimbangkan implikasinya bagi masyarakat modern. Lihat Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1939 (Cambridge: Cambridge University Press,1991), hlm.140. 276 William M. Watt, Islamic Fundamentalism and Modernity (London and New York: Routledge,1989), hlm.44. Lihat juga John Cooper, et.al. Islam and Modernity, Muslim Intellectual Response (London: I.B.tauris Publisher,tt), hlm.6. Bandingkan dengan Youssef M.Choueri, Islamic Fundamentalism (Boston: Twayne Publisher,1990), hlm.32. 277 H.A.R. Gibb, Modern Trends in Islam (Chicago: The University of Chicago Press,1947), hlm.33. Lihat juga Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt: A Study of the Modern Reform Movement Inaugurated by Muhammad Abduh (NewYork: Russel and Russel, 1968), hlm.68-90. 275
129
Dr. Siswanto, M.Pd.I
transparansi, statis, tidak ada perubahan. Oleh karena paham jumud ini, maka umat Islam tidak menghendaki perubahan dan tidak mau menerima perubahan.278 Hanya dengan meningkatkan mutu pendidikan Islam dan mengemukakan kembali ajaran-ajaran dasar Islam dengan bahasa yang jelas dan tegas, pengaruh-pengaruh yang merusak, baik yang bersifat animistik maupun materialistik, dapat keluar dan lenyap. Masih dalam konteks pembaharuan, Abduh berusaha mendirikan Komite Perbaikan Administrasi al-Azhar pada tahun 1895, dan berhasil melakukan pembaharuanpembaharuan administrasi yang bermanfaat, namun usahanya untuk mengembangkan kurikulum di al-Azhar279 menghadapi perlawanan dari para ulama bahkan ia dituduh akan menghidupkan kembali pemikiranpemikiran Mu'tazilah oleh para ulama al-Azhar, sperti Syekh Alaisy. Dalam rangka mengubah sistem pendidikan tersebut, Muhammad Abduh hanya mempunyai ide yang tidak bisa direalisir hanya karena benturan dengan kelompok ulama konservatif yang belum memahami betul manfaat dari adanya pembaharuan.280 Oleh sebab itu, ia Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm.62. Mempermodern sistem pelajaran di al-Azhar, menurut pendapatnya, akan mempunyai pengaruh besar dalam berkembangnya usaha-usaha pembaharuan dalam Islam. Al-Azhar, memanglah universitas agama Islam yang dihargai dan dihormati di seluruh dunia. Dari semua penjuru dunia orang pergi belajar di sana. Ulama-ulama yang dikeluarkan dari universitas ini akan tersebar ke seluruh dunia Islam dan akan membawa ide-ide modern untuk kemajuan umat Islam. Lihat Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm.67. Lihat juga Ahmad Tafsir, "Pemikiran di Zaman Modern" dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, ed. Taufik Abdullah, et.al. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,2002), hlm.400. 280 Fauzan, "Menimbang Sisi Positif, hlm.175. 278 279
130
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
merintis pendirian lembaga pendidikan Majlis Pengajaran Tinggi yang bisa mengajarkan kedua ilmu tersebut. Kondisi demikian pun dihadapinya dengan sabar, Abduh tidak merasa putus asa bahkan usaha menyebarluaskan ide-ide pembaharuan pendidikan terus disebarkan kepada para guru dan civitas akademika alAzhar. Usaha Abduh tersebut telah membuahkan hasil, sedikit demi sedikit para pemimpin al-Azhar tergerak dan terdorong untuk menata kembali metode-metode belajarnya serta mengajarkan sejarah, geografi dan beberapa cabang ilmu-ilmu kealaman. Dengan demikian, upaya pembaharuan yang ditujukan untuk al-Azhar meliputi: (1) membentuk dewan pimpinan al-Azhar yang terdiri dari ulama besar dari empat madzhab, (2) menertibkan administrasi al-Azhar dengan menentukan honor yang layak bagi pengajar, membangun ruang khsusus untuk rektor dan mengangkat para pembantu rektor, dan (3) masa belajar diperpanjang dan masa libur diperpendek. Ia juga memikirkan sekolah-sekolah pemerintah yang telah didirikan untuk mendidik tenaga-tenaga yang perlu bagi Mesir dalam lapangan administrasi, militer, kesehatan, perindustrian, pendidikan dan sebagainya. Ke dalam sekolah-sekolah ini, ia berpendapat, perlu dimasukkan didikan agama yang lebih kuat, termasuk dalamnya sejarah Islam dan sejarah kebudayaan Islam. Melalui Majlis Pengajaran Tinggi yang didirikannya itu jugalah Muhammad Abduh melihat bahaya yang akan timbul dari sistem dualisme dalam pendidikan tersebut. Sistem madrasah lama akan mengeluarkan ulama-ulama yang 131
Dr. Siswanto, M.Pd.I
tidak ada pengetahuannya tentang ilmu-ilmu modern, sedang sekolah-sekolah pemerintah akan mengeluarkan ahli-ahli yang sedikit pengetahuannya tentang agama. Dengan memasukkan ilmu-ilmu modern dan memperkuat didikan agama di sekolah-sekolah pemerintah, jurang yang memisah golongan ulama dari golongan ahli ilmu modern akan dapat diperkecil.281 Bagi Muhammad Abduh, yang harus diperjuangkan dalam satu sistem pendidikan adalah pendidikan yang fungsional, yang meliputi pendidikan universal bagi semua anak, laki-laki maupun perempuan. Semuanya harus punya dasar membaca, menulis, berhitung dan harus mendapatkan pendidikan agama.282 Isi dan lama pendidikan haruslah beragam, sesuai dengan tujuan dan profesi yang dikehendaki pelajar. 5. Sayyid Ahmad Khan Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M) merupakan pencetus ide tentang suatu komunitas atau negara muslim yang independen di India.283 Ia terpengaruh kuat oleh rasionalisme dan filosofis kealaman Eropa abad ke-19. Ia menggariskan apa yang yang diistilahkannya sebagai kriteria "kesesuaian dengan alam" untuk menilai sistemsistem kepercayaan agama dan menyimpulkan Islam secara gemilang memberikan justifikasi pada dirinya sendiri Ibid. Ali Rahmena (ed.), Para Perintis Zaman Baru Islam (Bandung: Mizan,1996), hlm.59. 283 Aziz Ahmad, Islamic Modernism in India and Pakistan (London: Oxford University Press, 1907), hlm.162. Bandingkan dengan Akbar S.Ahmed, Postmodernisme, Bahaya dan Harapan bagi Islam, ter.M.Sirozi (Bandung: Mizan,1993), hlm.44. 281 282
132
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
dengan prinsip ini, disamping menempatkan akal dalam standar yang lebih tinggi.284 Dalam menyuguhkan kandungan positif Islam, sambil mengintegrasikan pandangan hidup ilmiah modern dengan doktrin Islam, Ahmad Khan membangkitkan dan bersandar pada ajaran-ajaran dasar filosof Islam abad tengah. Ia merasakan pentingnya bekerja sama dengan Inggris dan menekankan pembaruan sosial berdasarkan model Barat.285 Karena titik tolak Sayyid Ahmad Khan adalah suatu bentuk rasionalisme Barat, maka hasilnya tidak lebih merupakan penafsiran atas Islam bersifat pribadi dari pada suatu pernyataan kembali Islam; lebih merupakan suatu usaha untuk mengintegrasikan serangkaian ide-ide tertentu ke dalam Islam dari pada perumusan kembali Islam.286 Sebagai seorang modernis Islam di India, ia berpendapat bahwa akal memiliki kedudukan yang sangat tinggi, oleh karenanya ilmu dan teknologi modern adalah hasil pemikiran manusia dan ia percaya pada kebebasan dan kemerdekaan manusia dalam perbuatan, sejalan dengan paham yang ia yakini yaitu qadariyah.287 Dengan demikian menurut pendapatnya, satu-satunya cara untuk mengubah pola berfikir umat Islam India dari keterbelakangannya288 Fazlurrahman, Islam, hlm.218. David Lelyveld, Aligarh's First Generation Muslim Solidarity in British India (Princeton: Princeton University Press,1978), hlm. 74-75, 77-78. 286 Fazlurrahman, Islam, hlm. 218. 287 Aziz Ahmad, Islamic Modern in India, hlm.33. 288 Keterbelakangan umat Islam India ketika itu tidak terlepas dari model pendidikannya. Golongan muslim menolak belajar bahasa Inggris, dan menganggap sebagai murtad untuk belajar di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang didirikan oleh bangsa Inggris. Akibatnya, golongan 284 285
133
Dr. Siswanto, M.Pd.I
adalah pendidikan sehingga ia mencurahkan perhatiannya pada bidang pendidikan ini hingga akhir hayatnya.289 Upaya untuk mereformasi kultur dan pendidikan dimulai dengan mendirikan National Muhammadan Assciation pada tahun 1856 dan Muhammadan Literary Society tahun 1863 untuk memperkenalkan sains Barat kepada rakyat India.290 Lembaga pendidikan yang pertama didirikan adalah sekolah Inggris di Muradabad pada tahun 1861 dan sekolah modern di Ghazipur pada tahun 1863. untuk menunjang lembaga pendidikan tersebut, pada tahun 1864 ia mendirikan the Scientific Society sebagai lembaga penerjemahan ilmu pengetahuan modern ke dalam bahasa Urdu.291 Ia juga membentuk panitia peningkatan pendidikan umat Islam dan panitia dana pembentukan perguruan tinggi.292 Seperti halnya kekhawatiran tokoh pembaharu Islam di wilayah lain, akan adanya bahaya kesenjangan antara lembaga pendidikan agama (madrasah) dan sekolahsekolah sekuler yang diasuh pemerintah Inggris, maka Sayyid Ahmad Khan berusaha mewujudkan keselarasan antara ajaran Islam dengan pemikiran Barat modern, muslim – yang membatasi diri pada pengetahuan yang sudah kuno dari zaman pertengahan yang diajarkan dalam seminar-seminar agama – menjadi tertinggal dari golongan Hindu yang memenuhi sekolah dan perguruan tinggi Inggris dan mengejar pengetahuan modern dengan penuh semangat. Lihat C.A.Qadir, Philosophy and Science in the Islamic World, ter. Hasan Basri (Jakarta: Pustaka Obor Indonesia,1988), hlm.170. 289 Muktafi Sahal dan Ahmad Amir Aziz, Teologi Islam Modern (Surabaya: Gitamedia,1999), hlm. 79. 290 Lapidus, A History of Islamic Societies, hlm.276. 291 Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, hlm. 296. 292 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,1997), hlm.188.
134
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
dengan berusaha meninjau kembali ajaran-ajaran Islam, lalu menginterpretasikannya dengan tafsiran baru. Salah satu wujud usaha ini adalah dengan mendirikan lembaga pendidikan modern yang berpusat di Aligarh, dengan nama Mohammad anglo Oriental College (MOAC) pada tahun 1878,293 yang mana pada akhirnya menjadi basis pelatihan bagi para tokoh-tokoh muslim abad ke-20. Perguruan tinggi didasarkan pada lima faktor kebijakan, yaitu; pertama, guna memajukan ilmu pengetahuan modern. Kedua, memelihara asas Islam. Ketiga, upaya untuk peduli terhadap pendapat masyarakat muslim. Keempat, kerjasama dengan seluruh komunitas non muslim dan kelima, menjaga loyalitas terhadap pemerintah Inggris.294 Lembaga pendidikan ini berkembang pesat dan mempunyai peranan yang menentukan dalam sejarah umat Islam, terutama dalam bentuk mentalitas pembaharu, selain juga memberikan inspirasi keIslaman yang kuat bagi tokoh-tokoh yang mau membentuk negara Islam Pakistan. Perguruan tinggi ini sangat berjasa dalam memajukan umat Islam India dari keterbelakangannya. Dengan kata lain bahwa pembaharuan Islam di India secara lebih berkesan dan berpengaruh tidak bisa dipisahkan dari peranan perguruan Aligarh. para tokoh pemimpin muslim yang berpandangan modern umumnya adalah alumni MAOC.* 293Dalam
usaha mendirikan perguruan tinggi ini , Khan mendapatkan bantuan dana yang tidak sedikit dari pemerintah India dan beberapa pejabat Eropa yang modern, dan juga orang Inggris terkemuka memberikan sumbangan secara pribadi kepda perguruan tinggi tersebut termasuk pemberian sebanyak 10.000 rupee dari Lord Northbrook, raja muda India. 294 Husnan Bey Fananie, Modernism in Islamic Education Indonesia and India, A Case Study of Pondok Modern Gontor and Aligarh (Tesis, Leiden Uiversity,1997), hlm.99.
135
Dr. Siswanto, M.Pd.I
136
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
BAB 7 INSTITUSI PENDIDIKAN DI DUNIA ISLAM
Dalam sejarah Islam dikenal banyak sekali tempat dan pusat pendidikan dengan jenis, tingkatan dan sifatnya yang khas. Dalam buku al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, Nuzumuha, Falsafatuha, Tarikhuha, Ahmad Syalabi menyebutkan tempattempat itu sebagai berikut; Kuttab, al-Qushur, Hawanit alWaraqin, Manzil al-Ulama’, al-Badiyah dan al-Madrasah.295 Ia membagi institusi-institusi pendidikan Islam tersebut menjadi dua kelompok, yaitu kelompok sebelum madrasah dan sesudah madrasah. Madrasah dengan demikian dianggap tonggak baru dalam pendidikan Islam. Hasan Abd „Al, yang melakukan penelitian khusus mengenai institusi-institusi pendidikan Islam abad ke-4 H, menyebutkan bahwa institusi pendidikan Islam abad ini meliputi Kuttab, al-Qushur, Hawanit al-Waraqin, Manzil alUlama’, al-Badiyah dan al-Madrasah. Sesuai sumber di atas, Ahmad Syalabi juga menyinggung masalah Dar al-Hikmah atau sejenisnya, yang oleh Hasan Abd „Al dikategorikan sebagai Duar al-Kutub atau Duar al-Ilm. Akan tetapi, Ahmad
Ahmad Syalabi, al-Tarbiyyah al-Islâmiyyah, Nuzhûmuhâ, Falsafatuhâ, Târîkhuhâ (Kairo: Maktabah al-Nahdlah al-Misriyyah,1987). 295
137
Dr. Siswanto, M.Pd.I
Syalabi tidak memasukkannya sebagai tempat pendidikan, melainkan termasuk al-Maktabah. Para penulis lain menyebut tempat-tempat pendidikan seperti al-Muntadiyah, al-Hawanit, al-Zawaya, al-Ribath, Halaqah al-Dzikr. Hasan Muhammad Hasan dan Nadiyah Jamaluddin menyebutkan institusi-institusi itu dikaitkan dengan pendidikan yang dilakukan oleh aliran pemikiran yang ada dalam Islam.296 Semua itu menunjukkan bahwa tempat pendidikan di dalam Islam sangat variatif. Hal ini memang sesuai dengan keyakinan dalam Islam yang mewajibkan menuntut ilmu dan memasukkannnya sebagai ibadah. Dengan itu, pendidikan tidak harus pada tempat tertentu. Namun demikian, madrasah jelas memiliki sesuatu yang khusus dibandingkan dengan institusi pendidikan lainnya. Dalam catatan sejarah peradaban Islam diketahui bahwa Islam (di Timur Tengah) pada akhir abad VIII, ketika Harun al-Rasyid memerintah di Baghdad (789-809 M) Islam telah menikmati suatu peradaban budaya yang jauh lebih tinggi dari Eropa Barat. Ini bertahan selama lima ratus tahun (dari abad ke-8 sampai abad ke-13), dengan hasil kebudayaan, ilmu pengetahuan, seni dan pemikiran terbukti telah mempengaruhi kebudayaan dunia. Salah satu kemajuan yang patut dibanggakan adalah adanya pendirian madrasah sebagai institusi pendidikan Islam yang memiliki kontribusi besar dalam melahirkan atau ”memberikan bekal” kepada kaum cendikiawan, terpelajar, negarawan dan administrator. Tidak salah salah lagi, pada saat itu bermunculan dari
296
Ibid, hlm.16.
138
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
berbagai disiplin ilmu agama maupun ilmu pengetahuan umum (sains).297 Oleh sebab itu, dalam khazanah pendidikan Islam, sejarah perkembangan madrasah akan selalu menjadi kajian yang menarik untuk terus dianalisis secara kritis. Kajian ini menjadi sangat urgen karena dinilai akan dapat menempatkan madrasah dalam sejarah perkembangan pendidikan dan intelektual muslim secara lebih objektif dan komprehensif. Dengan demikian, diharapkan akan diperoleh gambaran yang semestinya tentang keberadaan madrasah berikut peran dan kontribusinya, jauh dari gambaran-gambaran ideal yang bersifat palsu dan subjektif. Di sinilah kajian tentang sejarah sosial perkembangan madrasah akan menemukan signifikansinya. A. Institusi Pendidikan Islam Pra-madrasah Sebagaimana dimaklumi bahwa di dunia Islam sebelum muncul lembaga pendidikan formal (madrasah dan universitas) sebenarnya telah berkembang lembaga pendidikan Islam yang dikategorikan sebagai lembaga pendidikan nonformal. Lembaga-lembaga ini berkembang terus bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya bentukbentuk lembaga pendidikan formal. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Kuttâb Istilah ”Kuttab” menurut A.L. Tibawi sama dengan ”maktab”, keduanya merupakan derivasi dari kata dasar M. Habib Husnial Pardi, “Eksistensi Madrasah Awal (Pada Abad IX-XI M)” dalam Sejarah Sosial Pendidikan Islam, ed. Suwito dan Fauzan (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 209. 297
139
Dr. Siswanto, M.Pd.I
”kataba (menulis)”, hanya saja istilah ”maktab” lebih 298 modern dari pada kata ”kuttab”. Namun, keduanya merupakan lembaga pendidikan dasar dalam Islam. Adapun yang dimaksud dengan ”kuttab” atau ”maktab” adalah tempat untuk belajar membaca dan menulis yang ada di rumah guru, sedangkan para siswa datang berkumpul untuk belajar.299 Secara historis, kuttab adalah sejenis tempat belajar yang mula-mula lahir di dunia Islam. Kuttab sebenarnya sudah ada di negara Arab sebelum datangnya Islam, tetapi belum dikenal.300 Diantara penduduk Mekkah yang mula-mula belajar menulis huruf Arab di kuttab ialah Sufyan ibn Umayyah ibn Abd al-Syams dan Abu Qais ibn Abd alManaf Ibn Zuhrah ibn Kilab. Keduanya belajar dari Bisyr ibn Abd al-Malik yang mempelajarinya dari Hirah.301 Pada awal perkembangan Islam, kuttab tersebut dilaksanakan di rumah-rumah guru yang bersangkutan, kemudian pada akhir abad pertama Hijriyah, mulai muncul jenis kuttab, yang disamping memberikan pelajaran bacaA.L. Tibawi, Islamic Education; Its Tradition and Modernization into the Arab National System (London: Luzac and Company Ltd, 1979), hlm. 26. 299 Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, Deskripsi ANalisis Abad Keemasan Islam, terj. Joko S.Kahhar dan Supriyanto Abdullah (Yogyakarta: Risalah Gusti,2003), hlm.62. 300 Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, ter. Muhtar Jahja dan M. Sanusi Latief (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 33. Teori Asal Kuttab memang masih diperdebatkan. Menurut Asma Hasan Fahmi, lembaga pendidikan Kuttab ini didirikan oleh orang Arab pada masa kekhalifahan Abu Bakar. Pembahasan lebih lanjut baca Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, ter. Ibrahim Husein (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hlm.30 301 Menurut Johannes Pedersen, masyarakat Hira telah memiliki kepintaran dalam bidang aksara dan syair Arab. Uraian lebih lanjut lihat Johannes Pedersen, Fajar Intelektualisme Islam; Buku dan Sejarah Penyebaran Informasi di Dunia Arab, terj. Alwiyah Abdurrahman (Bandung: Mizan, 1996). 298
140
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
tulis, juga mengajarkan al-Qur‟an dan pokok-pokok agama. Sebagaimana yang diungkap Nashabe, bahwa kuttab terdiri dari dua jenis, yaitu: kuttab sebagai tempat belajar baca-tulis dan kuttab sebagai tempat belajar al-Qur‟an.302 Kuttab jenis kedua ini merupakan tempat khusus disamping masjid untuk tempat anak-anak belajar al-Qur‟an dan pokokpokok agama.303 2. Manâzil al-Ulamâ’ Tipe tempat pendidikan ini termasuk dalam kategori yang tertua, bahkan lebih dahulu ada sebelum halaqah di Masjid. Nabi saw. dan para sahabatnya, menjadikan rumah sahabat al-Arqam ibn Abi al-Arqam sebagi markas gerakan. Salah satu aktivitasnya adalah pengajaran pokok-pokok akidah dan penyampaian wahyu-wahyu ilahi yang turun kepada Nabi Muhammad SAW. Pada masa kejayaan pendidikan Islam, rumah-rumah para ulama dan para ahli ilmu pengetahuan menjadi tempat belajar dan pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini pada umumnya disebabkan karena ulama dan ahli yang bersangkutan tidak mungkin memberikan pelajaran di masjid, sedangkan pelajar banyak yang berminat untuk mempelajari pengetahuan kepadanya. Di antara rumah ulama terkenal yang menjadi tempat belajar adalah rumah Ibn Sina, al-Ghazali, Ali Ibn Muhammad al-Fasihi, Ya‟qub ibn Killis, Wazir Khalifah al-Aziz bi Allah al-Fatimiy dan lain-lain.304 Nashabe, Muslim Educational Institution (Beirut: Riyad Salh Square, 1989), hlm. 18. 303 Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam (Jakarta: al-Husna, 1992), hlm.112. 304 Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm. 95. 302
141
Dr. Siswanto, M.Pd.I
3. Masjid dan Jami’ Pendidikan Islam dan masjid merupakan satu kesatuan yang integral, di mana masjid merupakan pusat dan urat nadi kegaiatan keislaman, yang melipiti aktivitas keagamaan, politik, budaya dan yudikatif.305 Mulai zaman Nabi saw. – dengan masjid Quba dan Nabawi – masjid selalu menjadi alternatif utama dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Adapun kurikulum pembelajarannya lebih ditekankan pada aktivitas menghafal.306 Pada masa Abbasiyah dan masa perkembangan kebudayaan Islam, masjid-masjid yang didirikan oleh para penguasa pada umumnya diperlengkapi dengan berbagai macam sarana dan fasilitas untuk pendidikan. Tempat pendidikan anak-anak, tempat-tempat untuk pengajian dari ulama-ulama yang merupakan kelompok-kelompok (halaqah), tempat untuk berdiskusi dan munazarah dalam berbagai ilmu pengetahuan, dan juga dilengkapi dengan ruang perpustakaan dengan buku-buku dari berbagai macam ilmu pengetahuan.307 Seperti halnya masjid, pada masa itu bermunculan dan berkembang pula Jami’ sebagai pusat pendidikan,308 hanya Muhammad Munir Mursi, al-Tarbiyah al-Islamiyah Ushuluha wa Tathawwuruha fi al-Bilad al-Arabiyyah (Kairo: Alam al-Kutub, 1977), hlm. 93. 306 Muhammad Athiyyah al-Abrasyi, Al-Tarbiyah al-Islamiyah (tt: Dar alQaumiyyah, 1964), hlm. 63. 307 Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, hlm.99. 308 Sebenarnya para sejarahwan muslim membedakan dua terma yang melekat dan mengacu kepada arti masjid yaitu ; pertama, masjid dan yang kedua adalah Jami‟. Adapun perbedaan keduanya adalah bahwa yang dimaksud masjid adalah masjid biasa yang digunakan jama‟ah shalat seharihari (everyday mosque), sedangkan Jami‟ adalah masjid raya yang digunakan untuk shalat Jum‟at (Friday mosque). Sehingga dikatakan Makdisi, bahwa Jami‟ adalah elliptik dari masjid. Lihat George Makdisi, The Rise of Colleges, 305
142
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
saja perkembangannya sedikit lamban dibandingkan dengan masjid. beberapa jami‟ yang terkenal sebelum Abbasiyah, antara lain Jami’ Amr ibn Ash,309 Jami’ Ahmad ibn Thulun,310 Jami’ Damaskus, Jami’ al-Azhar, dan sebagainya.311 Di samping itu, terdapat masjid khan, yang dilengkapi dengan bangunan (asrama, pemondokan) yang masih bergandengan dengan masjid. Berbeda dengan masjid biasa, masjid khan menyediakan tempat penginapan yang cukup representatif bagi para pelajar yang datang dari berbagai kota. Tahap ini mencapai perkembangan yang sangat pesat pada abad ke-10 M. 4. Qusur (Pendidikan Rendah di Istana) Pendidikan anak para bangsawan istana itu berbeda dengan pendidikan anak pada umumnya. Di istana, metode pendidikan dasar ini dirancang oleh orang tua siswa (para khalifah dan pejabat pemerintah) agar selaras dengan keinginannya serta sesuai dengan minat dan bakat puteranya. Metode pembelajaran, pada garis besarnya sama dengan metode yang diterapkan anak-anak yang belajar di Kuttab. Hanya saja terkadang ditambah dan Institution of Learning in Islam and the West,(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), hlm. 12-13. 309 Masjid ini digunakan sebagai tempat belajar mulai tahun 36 H. Mulamula di sini diajarkan pelajaran agama dan budi pekerti, kemudian pendidikan menjadi luas dengan ditambahkan beberapa mata pelajaran. Pada waktu Imam Syafi‟i datang ke masjid ini untuk menjadi guru pada tahun 182 H, ia melihat di sana sudah ada 8 buah halaqah yang penuh dengan pelajar. Lihat A. Nurzaman, ”Pusat kegiatan Belajar Mengajar pada Awal Kebangkitan Islam”, dalam Sejarah Sosial Pendidikan Islam, hlm. 262. 310 Masjid ini sempurna didirikan pada tahun 256 H, dan pada tahun ini pula para ulama dan fuqaha mulai mengajar, kemudian pendidikan disitu terus berkembang, sehingga melengkapi pelajaran fiqh, hadits dan ilmu kedokteran. Lihat Ibid. 311 Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, hlm.87-88.
143
Dr. Siswanto, M.Pd.I
dikurangi menurut aspirasi para bangsawan di istana yang bersangkutan dan selaras dengan keinginan untuk menyiapkan anak mereka secara khusus guna memikul tanggung jawab besar pada masa mendatang.312 Sebutan untuk para tenaga pengajarnya bukan lagi mu’allim al-shibyan atau mu’allim al-kuttab, tetapi muaddib. Para muaddib tersebut diberi tempat tinggal di istana dan mereka mengajarkan berbagai macam ilmu, terutama yang berkaitan dengan pengayaan wawasan dan peradaban, seperti al-Qur‟an, al-Hadits, Syi‟ir dan berbagai lintasan sejarah Islam. 5. Hawânit al-Warrâqin (toko-toko kitab) Pada masa pemerintahan Abbasiyah, di mana ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam sudah tumbuh dan berkembang dan diikuti oleh penulisan kitab-kitab dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, maka berdirilah tokotoko kitab. Pada mulanya toko kitab itu berfungsi sebagai tempat berjual beli kitab yang telah ditulis dalam berbagai macam ilmu pengetahuan. Mereka membeli dari penulisnya kemudian menjualnya kepada siapa yang berminat untuk mempelajarinya.313 Saudagar-saudagar kitab bukanlah orang yang mencari keuntungan semata, tetapi kebanyakan mereka adalah sastrawan-sastrawan yang cerdas, yang telah memilih usaha sebagai pedagang kitab tersebut, agar mereka mendapatkan kesempatan yang baik untuk membaca dan
Ahmad Syalabi, al-Tarbiyyah wa al-Ta’lim fi al-Fikr al-Islamiy (Kairo: Maktabah al-Nahdlah al-Misriyyah, 1987), hlm. 62-64. 313 Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 94. 312
144
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
menelaah, serta bergaul dengan para ulama dan pujangga. Mereka juga menyalin kitab-kitab yang penting dan menyodorkannya kepada mereka yang memerlukannya dengan mendapat imbalan.314 Dengan demikian, toko kitab tersebut telah berkembang fungsinya bukan hanya sebagai tempat berjual beli kitab tetapi sekaligus juga sebagai lembaga pendidikan yang merupakan tempat berkumpulnya para ulama, pujangga dan ahli-ahli ilmu pengetahuan lainnya, untuk berdiskusi, berdebat, bertukar pikiran dalam berbagai masalah ilmiah 6. Maktabat (Perpustakaan) Perpustakaan memegang peranan penting dalam menyukseskan tugas-tugas lembaga pendidikan dalam bentuk yang lebih sempurna, dan juga membantu berlangsungnya terus pelajaran, prestasi, penelitian perorangan serta memudahkan cara-cara memperoleh pendidikan dari orang banyak. Perpustakaan tersebut telah banyak tersebar dalam bentuk yang belum pernah dikenal sebelum itu, dan lagi ia merupakan satu keistimewaan khusus bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam. Kebanyakan madrasah-madrasah, duwar al-Ilm, telah diisi dengan perpustakaan-perpustakaan besar. Berkaitan dengan perkembangan perpustakaan315, kita temukan beberapa pendapat ilmuwan yang menelaah jenis Ibid. Ada enam kata yang berhubungan dengan perpustakaan. Tiga kata menunjukkan arti tempat, yaitu bayt, khizanah, dan dar. Tiga lainnya berhubungan dengan isi, yaitu hikmah, ilm, dan kutub. Dari gabungan katakata tersebut, muncullah tujuh istilah yang berhubungan dengan perpustakaan, yaitu bayt al-hikmah, khizanat al-hikmah, dar al-ilm, dar al-kutub, khizanah al-kutub, khizanah al-ilm dan dar al-hikmah. Lalu muncul dua istilah tambahan yaitu bayt al-ilm dan bayt al-kutub. Makdisi kemudian membagi 314 315
145
Dr. Siswanto, M.Pd.I
dan perkembangan perpustakaan. Nakosteen membagi perpustakaan pada abad-abad permulaan Islam ke dalam perpustakaan umum, semi umum dan pribadi. Perpustakaan umum biasanya berhubungan dengan sekolah, sekolah tinggi atau masjid serta terbuka untuk umum. Perpustakaan semi terbuka untuk satu kelompok yang terpilih, dan perpustakaan pribadi dimiliki oleh cendikiawan untuk kebutuhan pribadinya.316 Demikian juga Nashabe membagi perpustakaan yang tersebar dan terdapat di masa khilafah Islam ke dalam perpustakaan umum, perpustakaan umum dan khusus, dan perpustakaan khusus. Kesemuanya ini pada perkembangan selanjutnya menjadi salah satu pusat pendidikan dan kebudayaan Islam serta bukan hanya sebagai tempat belajar mengajar secara reguler, karena kegiatan penelitian lebih diutamakan.317 Aktivitas yang berlangsung di perpustakaan tersebut adalah membaca dan menyalin. Demikian juga pertemuan-pertemuan diadakan di dalamnya untuk berdiskusi dan berdebat.318 Al-Maqrisi menyebutkan perpustakaan-perpustakaan besar yang didirikan di samping masjid dan dar al-hikmah sembilan istilah ini kedalam dua periode sejarah institusi pendidikan; periode bayt al-hikmah dan dar al-ilm. Lihat Makdisi, The Rise of Colleges, hlm. 24-25. 316 Nakosteen, Kontribusi Islam, hlm. 89. Fazlurrahman mengatakan bahwa tumbuh dan berkembangnya perpustakaan-perpustakaan umum, semi umum dan khusus memegang peranan penting dalam sistem pendidikan Islam klasik. Karena melalui perpustakaan semua orang dapat mengakses koleksi-koleksi buku sebagai referensi untuk pengembangan intelektual muslim. Lihat Fazlurrahman, Islam,ter. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 265-266. 317 Nashabe, Muslim Educational Institution, hlm. 20. 318 Makdisi, The Rise of Colleges, hlm. 26.
146
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
yang dibuka bagi para peminatnya yang terdiri dari para pembaca dan penyali bermacam-macam cabang ilmu pengetahuan, di mana di dalamnya juga disediakan tinta dan kertas tulis. Demikian pula ia menyebutkan perpustakaan yang didirikan di samping madrasah alFadiliyyah yang mempunyai koleksi sejumlah 100.000 kitab. Padahal saat itu belum ada mesin cetak. Ibn al-Qifti menyebutkan bahwa di sana juga terdapat 6500 kitab tentang ilmu falak di samping memiliki dua buah globe, di mana asumsi bangsa Eropa pada saat itu bahwa bumi bentuknya datar.319 Di daerah Karkar (dekat Baghdad) terdapat perpustkaan milik Ali ibn Yahya ibn al-Munajjim yang disebut khizanat al-hikmah. Di kota Khurazan terdapat 10 buah perpustakaan yang manajemennya baik dan masing-masing perpustakaan memiliki 12.000 kitab. Di antara perpustakaan tersebut yang paling terkenal adalah khizanat al-hakam al-tsani yang mengoleksi 400.000 kitab.320 Dan masih banyak lagi perpustakaan di dunia Islam yang tidak sempat disebutkan disini dan kesemuanya itu merupakan gambaran tentang perkembangan perpustakaanperpustakaan bagi transmisi intelektual umat Islam. 7. Al-Badiyah (Daerah Pedalaman) Bahasa Arab sampai menjelang kedatangan Islam tetap terpelihara kemurniannya, tetapi kemudian terkontaminasi oleh bahasa-bahasa jiran (tetangga) sebagai akibat dari interaksi perdagangan yang mereka jalin. Pencemaran Al-Baghdadi, Sistem Pendidikan di Masa Khalifah Islam (Bangil: al-Izzah, 1996), hlm. 107-108. 320 al-Abrasyi, Al-Tarbiyah al-Islamiyah, hlm.77. 319
147
Dr. Siswanto, M.Pd.I
bahasa yang tidak bisa dihindari ini lazim disebut lahn. Masyarakat kotalah yang paling banyak memunculkan lahn, karena frekuensi interaksi mereka yang demikian tinggi dengan para pendatang, ataupun sebaliknya, mereka yang menjadi pendatang di daerah-daerah tetangga. Fenomena sosial ini sangat kontras jika dibandingkan dengan masyarakat badui (pedesaan) yang bahasa mereka relatif lebih murni dan terjaga. Realitas inilah yang kemudian mendorong para pelajar yang peduli akan orisinalitas kebahasaan mereka, untuk pergi belajar bahasa yang fasih lagi murni, dan mempelajari pula syair-syair serta sastra Arab ke sumbernya yang asli, yakni badiyah (pedalaman), bahkan tidak sedikit yang memutuskan untuk tinggal sementara waktu di sana.321 Di samping itu, di badiyah-badiyah ini biasanya berdiri ribath-ribath atau zawiyah-zawiyah yang merupakan pusat kegiatan dari pada ahli sufi. Di sanalah para sufi mengembangkan metode khusus dalam mencapai ma‟rifat, suatu tingkat ilmu pengetahuan yang mereka anggap paling tinggi nilainya.322 8. Duwar al-Hikmah dan Duwar al-Ilm Duwar al-Hikmah ini muncul pada waktu bercampurnya bermacam-macam bangsa dan peradaban pada masa kekuasaan Abbasiyah dan pada masa bangkitnya intelek yang hebat yang telah mendorong orang-orang Islam pada waktu itu untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Menurut pendapat yang lebih kuat, lembaga ini lahir pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid. Tujuan utama dari 321 322
Syalabi, al-Tarbiyyah wa al-Ta’lim, hlm. 100-104. Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 97.
148
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
pendirian lembaga ini adalah untuk mengumpulkan dan menyalin ilmu-ilmu pengetahuan asing, terutama ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab untuk dipelajari.323 9. Bimâristân dan Mustasyfayât Bimâristân berasal dari bahasa Persia yang terdiri dari dua akar kata; bimar berarti orang sakit dan satan berarti rumah. Dengan demikian, terma ini berarti rumah sakit. Penggunaan terma ini berlangsung dengan mengacu kepada tempat penyembuhan orang sakit sampai muncul istilah baru yang menggantikan posisinya, yaitu terma mustasyfa, ketika untuk pertama kali dibangun oleh Abu Za‟bal di Mesir. Bimâristân juga dikatakan sebagai sekolah medis.324 Institusi yang hampir sama dengan rumah sakit ini sering memerankan fungsi ganda, yaitu disamping sebagai tempat penyembuhan orang sakit, juga sekaligus sebagai pusat pengajaran ilmu kesehatan.325 10. Halaqah al-Dars dan al-Ijtima’at al-Ilmiyyah Salah satu ciri dari pendidikan Islam ialah mudah dan elastis, dan sebagai bukti untuk itu ialah terdapatnya Halaqah al-Dars dan al-Ijtima’at al-Ilmiyyah di mana-mana yang bertujuan untuk menyebarkan ilmu. Halaqah326 ini
A. Nurzaman, ”Pusat kegiatan Belajar Mengajar, hlm. 263 Makdisi, The Rise of Colleges, hlm. 27. 325 Nashabe, Muslim Education, hlm. 25. 326 Halaqah artinya lingkaran. Lembaga ini secara umum dikenal dengan sistem halaqah, tetapi tidak menggunakan sistem klasikal. Semua umur dan jenjang berkumpul bersama untuk mendengarkan penjelasan guru dan kegiatannya bisa terjadi di masjid-masjid atau rumah-rumah dengan menghadirkan para ulama untuk berdiskusi atau berdebat dan berlangsung secara kontinyu. Lihat Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos,1999), hlm. 49. 323 324
149
Dr. Siswanto, M.Pd.I
merupakan satu cara yang penting menyebarkan ilmu pengetahuan dengan cara yang mudah dan tidak terikat dengan tempat tertentu. Sistem ini telah membantu pembahasan ilmu secara merata yang dilakukan oleh perorangan berhubungan dengan guru dan berdiskusi. Sistem ini juga telah membantu tersebarnya perpustakaan yang banyak di dunia Islam.327 Halaqah al-dars dilaksanakan di rumah-rumah para ulama, di istana raja-raja dan pembesar-pembesar. Sebagai contoh adalah Ibn Arabi pada abad ke-2 H, ia mengadakan halaqah yang dihadiri oleh banyak pengunjung. Abu Abbas Tsa‟ab mengatakan bahwa ia melihat sidang halaqah yang diadakan Ibn Arabi yang dihadiri lebih kurang 100 orang, di mana ia mendiktekan kepada mereka sejumlah buku yang dibawa atas beberapa unta. Salah satu cara untuk memuaskan kesenangan otak, para khalifah dan penguasa memanggil para ulama ke rumah mereka untuk berdiskusi masalah-masalah keagamaan dan ilmu pengetahuan bersama mereka. Oleh karena itu, tidaklah ekstrim jika Stanton mengatakan bahwa tanpa halaqah yang ada pada lembagalembaga non formal pendidikan Islam, tidaklah mungkin karya-karya al-Kindi, Ibn Sina, al-Farabi dan Ibn Rusyd tersebar begitu luas ke seluruh penjuru kekuasaan Islam, di samping lembaga formal yang juga memberikan kontribusi sangat besar dalam proses kebangkitan keilmuan Islam.328
A. Nurzaman, ”Pusat kegiatan Belajar Mengajar, hlm. 267 Periksa Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, ter. Afandi dan Hasan Asari (Jakarta: Logos, 1994), hlm. 55. 327 328
150
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
B. Institusionalisasi Pendidikan di Kalangan Sufi Pada abad-abad permulaan Islam, sufisme bukanlah merupakan gerakan terorganisasi dalam bentuk atau aliran tertentu. Kemunculan sufisme merupakan bentuk perlawanan terhadap semakin merajalelanya penyimpangan dan representasi ajaran-ajaran Islam secara ”liar” khususnya yang dilakukan oleh para pemimpin zaman tersebut. Tepatnya, sufisme muncul dan berkembang adalah akibat dari kondisi sosio-kultural dan politik pada masa rezim pemerintahan kaum Umawi di Damaskus. Secara umum mereka dianggap kurang religius dalam praktik kehidupannya. Dalam kondisi inilah tasawuf muncul – sebagaimana dikatakan Nurcholis Madjid – sebagai gerakan oposisi politik utntuk merespon perilaku kaum Umawi. Tokoh oposan yang paling berpengaruh saat itu adalah Hasan dari Basrah, yang didukung ulama Sunni, dan orang-orang muslim dengan kecenderungan hidup zuhud (asketik). Walaupun dalam perkembangan selanjutnya tasawuf bukan lagi gerakan oposisi politik, akan tetapi merupakan gerakan personal yang timbul dari kesadaran diri yang sangat alamiah, dan inilah yang sebenarnya merupakan intisari dari ajaran sufisme.329 Selang beberapa waktu, perkembangan ajaran serta teladan hidup sufi secara personal mulai menarik perhatian banyak kalangan di masyarakat. Dengan menyebarnya praktik sufi Menurut catatan sejarah, gerakan sufisme dalam Islam menggema bersamaan dengan gerakan-gerakan sejenis dalam agama-agama besar lain, semisal Cabbalisme dalam agama Yahudi, Gnostisisme atau Unitarianisme dalam agama Kristen, dan termasuk pula munculnya agama Budha yang terkait dengan agama sebelumnya, Hindu. Begitu juga munculnya gerakangerakan spiritualitas di dalam agama-agama di dunia. Pembahasan lebih lanjut lihat misalnya Maria Jaoudi, Christian Mysticism East and West: What the Mastres Teach Us (New York: Paulist Press,1998). 329
151
Dr. Siswanto, M.Pd.I
dari individu ke individu lainnya maka semakin banyaklah jumlah orang yang disebut kaum sufi. Sufi-sufi individual ini kemudian bergabung untuk mengamalkan tasawuf di tempattempat tertentu yang menjadi tempat pertemuan mereka. Sehingga pengamalan ajaran sufisme tidak lagi bersifat personal ataupun individual lagi, namun sudah mengalami perubahan dalam praktik-praktiknya yang mengambil bentuk semacam halaqah atau majlis-majlis ta’lim, yakni menjadi sebuah perkumpulan yang diisi dengan pengajian-pengajian atau wejangan-wejangan dari seorang guru yang dianggap berkompeten. Di situlah terjadi assimilasi dan akulturasi ajaran-ajaran sufi, yang kemudian menjelma menjadi sebuah institusi-institusi yang semi formal, kemudian berkembang menjadi institusi formal.330 Perkembangan institusi-institusi pendidikan di kalangan sufi ini selanjutnya bisa mengambil bentuk khanaqah, ribath, zawiyah dan thariqah.331 Uraian dari Sebagai institusi formal, misalnya, dapat dilihat dari sejarah pendidikan (Islam) itu sendiri yang dimulai dari semacam majlis ta’lim yang dilaksanakan di emperan Masjid dalam bentuk halâqah (setengah lingkaran) sebagaimana dialami oleh para ahl al-suffah pada era Nabi. Ahl al-suffah inilah yang kemudian dikenal sebagai prototype sufi yang melahirkan term tasawuf. Pola transformasi dan transmisi seperti ini, pada periode berikutnya “diformalkan” menjadi kuttab dan akhirnya berbentuk madrasah sebagaimana dikenal saat ini. Lihat Zainul Hasan, ‟Lembaga Pendidikan Sufi” dalam Tadris, Jurnal Pendidikan Islam, Vol.1 No.1.2006 (Jurusan Tarbiyah STAIN Pamekasan), hlm. 2. 331 Penyebutan pusat kegiatan sufi pada masa itu berbeda antara satu daerah dengan lainnya. Orang Turki menyebutnya dengan Tekke. Di Afrika Utara, pusat kegiatan sufi disebut ribath. Sedangkan di India disebut dengan jamaah khana atau khanegah. Lihat Fadlalla Haeri, Jenjang-jenjang Sufisme, ter. Ibn Burdah dan Shofifullah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm.38. Trimingham menyebutkan bahwa ribath adalah pusat latihan yang berasal dari daerah Arab. Sedangkan di Khurasan disebut Khanaqah. Lihat J. Spencer Trimingham, The Sofi Orders in Islam (London: Oxford University Press, 1971), hlm.5. Meskipun demikian, istilah kata ribath dan lainnya pada hakikatnya merupakan pusat kegiatan kaum sufi maupun tempat 330
152
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
beberapa pusat kegiatan pendidikan sufi tersebut sebagai berikut: 1. Ribath Pada mulanya ribath digunakan untuk benteng pertahanan kaum muslimin terhadap serangan musuh. Ribath banyak dibangun di perbatasan dan dilengkapi dengan menara pengawas. Di dalam ribath tentara muslim melakukan latihan-latihan militer disamping ibadah keagamaan, sehingga ribath mempunyai dua fungsi, yaitu sebagai tempat ibadah dan markas tentara.332 Oleh karena itu, istilah ribath dihubungkan dengan jihad di Jalan Allah SWT atau perang suci, yang dalam praktiknya untuk mempertahankan wilayah Islam dari serangan musuh serta memperluas kekuasaan Islam.333 Dalam perkembangan selanjutnya, istilah ribath lebih banyak digunakan sama dengan pengertian zawiyah atau khanaqah. Ribath tidak banyak digunakan untuk latihan militer, tetapi lebih banyak diarahkan kepada latihan spiritual dari aliran tarekat. Kalau pada mulanya ribath berfungsi sebagai tempat ibadah, latihan militer dan pembinaan dan penggemblengan para calon sufi yang diisi dengan kegiatan pendidikan, pelatihan, pengkajian agama dan ibadah kepada Allah SWT. 332 J. Schacht, “Ribat” dalam The Encyclopedia of Islam, ed. C.E. Bosworth, Vol.8 (Leiden: E.J.Brill,1995), hlm.495. 333 Sebagai lembaga sufi, al-Maqrizi mendefinisikan ribâth sebagai rumah para sufi. Setiap kelompok (qawm) mempunyai rumah dan ribâth adalah rumah para sufi. Dalam hal ini mereka mirip dengan ahl al-shuffah (sekelompok sahabat yang mendiami emperan Masjid Nabi di Madinah). Penghuni ribâth adalah orang yang mempunyai ikatan (murâbith), dengan maksud, tujuan, serta keadaan yang sama. Ribâth dibangun untuk (mencapai) maksud dan tujuan ini. Lihat Al-Maqrizi, Al-Mawa’idh, II, hlm. 427
153
Dr. Siswanto, M.Pd.I
markas tentara Islam, dalam perkembangan berikutnya ribath lebih merupakan tempat pendidikan calon sufi. Konstruksi bangunan ribath biasanya dilengkapi dengan mihrab untuk mengerjakan shalat berjemaah dan tempat untuk membaca al-Quran serta mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Namun konstruksi bangunan seperti ini terkadang terpisah walaupun lebih sering memiliki hubungan dengan masjid, dapur luas yang digunakan bersama-bersama oleh para murid dan juga tamu dan terkadang juga sekolahan. Kuburan pendiri biasanya juga berada di tempat yang sama.334 Syaikh itu sendiri tinggal bersama keluarganya di seperempat bagian kompleks dan menemui muridmuridnya pada jam tertentu untuk membimbing kemajuan rohaninya dan mengimami shalat lima waktu para jamaahnya.335 Anggota dari sebuah ribath tersusun atas dua kelompok, murid dan pengikut yang telah memenuhi persyaratan sebagai penghuni dan tinggal dalam ribath dan memusatkan perhatian pada ibadah serta pengikut awam yang tinggal di luar serta tetap bekerja dalam pekerjaan
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapell Hill: The University of North Caroline Press, 1975), hlm. 232. 335 Sebuah ribath yang sangat kuno ditemukan di Teluk Persia, yang cikal bakalnya adalah seorang sufi bernama Abd al-Wahib Ibn Zayd (w.177 H/793 M). Ribath ini masih tetap ada sepeninggalnya, bahkan menjadi terkenal. Ribath-ribath lain dibangun selama penyerangan ke Byzantium dan juga Afrika Utara. Sentra-sentra peribadatan juga disebut-sebut orang di Damaskus sekitar tahun 150 H/767 M. di Ramlah, ibukota Palestina yang dibangun oleh seorang Pangeran Kristen sebelum tahun 800 M. Lihat Trimingham, The Sufi Orders, hlm. 5. 334
154
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
mereka sehari-hari, tetapi pada waktu-waktu tertentu berkumpul di ribath untuk mengadakan latihan spiritual.336 Menurut Abu Bakar Aceh, di dalam ribath pada masa itu diajarkan berbagai macam kitab yang khusus yang dipergunakan di kalangannya sendiri baik mengenai ilmu fiqh dan ilmu tasawuf, mempunyai dzikir dan doa serta wirid yang khusus pula. Di samping itu, juga ada perjanjian-perjanjian tertentu dari murid terhadap gurunya yang biasa disebut bay‟at.337 Sumber biaya untuk sebuah ribath juga bermacammacam. Ada ribath yang mendapat bantuan tetap dari pemerintah atau dermawan tertentu, tetapi ada pula ribath yang hidup dari futuh, yaitu tanpa bantuan atau tunjangan dari siapapun.338 Trimingham menyebutkan bahwa sebagian ribath memperoleh biaya hidup yang diperolehnya dari penghasilan waqaf.339 2. Khanaqah Sebagai salah satu lembaga sufi, kehidupan khanaqah sangat religius dan berciri sufistik. Segala kegiatan harus mempunyai hubungan dengan usaha penyucian diri dan pendekatan diri kepada Allah. Barangkali, kita dapat mengatakan bahwa usaha penyucian diri dan peningkatan ketakwaan melatarbelakangi pertumbuhan lembaga ini. Syaikh `Izz al-Dîn Mahmud mengemukakan manfaat utama membangun khanaqah, yaitu, 1) untuk memberikan Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm.89-90. 337 Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat (Solo: Ramadhani, 1993), hlm.74. 338 Schimmel, Mystical Dimensions, hlm. 232. 339 Trimingham, The Sufi Orders, hlm. 7 336
155
Dr. Siswanto, M.Pd.I
perlindungan bagi para sufi yang miskin dan tak mempunyai tempat tinggal; 2) dengan berkumpul di satu tempat (khanaqah), para sufi dapat mengembangkan keseragaman, baik secara fisik maupun dalam hal-hal yang bersifat spiritual; dan 3) dengan berkumpul para sufi dapat saling mengoreksi dan memperbaiki kekurangannya. Dari institusi-institusi pendidikan sufi yang ada, tampaknya khanaqah lebih tersebar luas dan lebih berperan dari pada zawiyah dan ribath. Al-Maqrizi mengatakan tentang salah satu dari khanaqah ini yang di sana telah diatur beberapa mata pelajaran, di antaranya adalah empat mata pelajaran untuk fuqaha empat madzhab dan beberapa pelajaran tentang hadits Nabi saw. serta beberapa pelajaran untuk membaca al-Qur‟an dalam qiraah al-sab’ah. Tiap-tiap pelajaran diasuh oleh seorang guru, dan tiap-tiap guru mempunyai sekumpulan pelajar, dan disyaratkan kepada mereka menghadiri pelajaran dan melaksanakan semua protokoler tasawuf. Pada sebagian khanaqah dilengkapi dengan semua kebutuhan para pelajar, seperti makanan, minuman, pakaian dan obat-obatan, sehingga memungkinkan mereka mengasingkan diri dalam khanaqah masing-masing untuk belajar dan beribadah tidak perlu berhubungan dengan dunia luar.340 Tahap khanaqah adalah tahap ketika pemimpin sufi yang disebut syaikh mempunyai sejumlah murid yang hidup bersama-sama dengan peraturan yang tidak ketat. Syaikh menjadi mursyid (pembimbing spiritual yang dipatuhi). Di sini kontemplasi dan latihan spiritual dilakukan secara individual maupun kolektif. Kebiasaan menimbulkan 340
A. Nurzaman, ”Pusat Kegiatan Belajar Mengajar, hlm. 266.
156
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
pusat-pusat tasawuf yang belum mempunyai spesialisasi pada abad ke-10 M. Gerakan ini mempunyai bentuk aristokratis. Masa khanaqah merupakan masa keemasan tasawuf. 3. Zawiyah Adapun zawiyah menyerupai khanaqah dari segi tujuan, akan tetapi zawiyah lebih kecil dari khanaqah, dan dibangun untuk orang-orang tasawuf yang fakir supaya mereka dapat belajar dan beribadah. Contohnya salah saorang raja dari al-Mamalik membangun sebuah zawiyah al-Jumairah di abad ke-13 M dan ditempatkan didalamnya beberapa orang sufi yang fakir. Dan kadang pula zawiyah itu didirikan untuk seorang syaikh yang masyhur yang bertugas untuk menyiarkan ilmu pengetahuan dan mengasingkan diri untuk beribadah.341 Sehingga pada umumnya zawiyah itu dikenal dengan nama seorang syaikh yang terkenal dengan ilmu dan ketakwaannya.342 Zâwiyah biasanya dibangun oleh seorang syaikh dari tarekat tertentu. Pembangunannya berkaitan dengan keinginan menyebarluaskan ajaran satu tarekat dan untuk memperoleh lebih banyak pengikut. Syaikh zâwiyah berfungsi sebagai titik pemersatu dari pada ahli zâwiyah. Berbeda dengan khanqah, zâwiyah tidak mempunyai satu set peraturan yang jelas. Satu penelitian yang mencakup Mesir menjelang penaklukan Turki Utsmani menunjukkan adanya dua jenis zâwiyah: 1) zâwiyah tradisional yang mempunyai hubungan erat dengan penguasa (Mamluk); dan 2) zâwiyah yang lebih independen. Jenis kedua ini biasanya sekaligus menjalankan fungsi masjid dan ribâth: menyediakan fasilitas beribadah, sekaligus perlindungan dan makanan bagi orang-orang miskin. Independensi ini dapat dilihat dalam contoh Syaikh Ibn Qiwam yang selalu menolak tawaran wakaf untuk zâwiyah-nya yang dia bangun dengan biayai sendiri. Lihat Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam (Bandung : Mizan, 1994), hlm.96. 342 Ibid. 341
157
Dr. Siswanto, M.Pd.I
Di zâwiyah ini fiqh, seperti halnya ilmu-lmu yang lain, sesuai dengan bidang syaikhnya, merupakan bagian dari kegiatan pewarisan ilmu pengetahuan. Belakangan, terutama setelah munculnya tarekat-tarekat sufi, zâwiyah dibangun sebagai institusi yang berdiri sendiri. Aboebakar Atjeh menegaskan fungsi pendidikan yang berlangsung di zâwiyah dengan mengatakan: Zâwiyah itu merupakan satu ruang tempat mendidik calon-calon sufi, tempat mereka melakukan latihan-latihan tarekatnya, diperlengkapi dengan mihrab untuk mengerjakan sembahyang berjamaah, tempat mereka membaca al-Qur‟ân dan mempelajari ilmu-ilmu yang lain, sehingga zâwiyah itu merupakan sebuah sarama dan madrasah.343 4. Tarekat (Tharîqah) Perkembangan selanjutnya dalam kelembagaan tasawuf terjadi dengan perantaraan guru-guru sufi, yang terkadang tinggal di tempat pertapaan yang jauh dari kehidupan khanaqah, terkadang di zawiyah kota besar atau lebih seringnya oleh seorng sufi pengembara yang mengembara bersama serombongan muridnya. Kumpulan guru sufi bersama murid-muridnya inilah yang kemudian membentuk pusat-pusat yang dikenal dengan istilah tarekat. Sejak abad ke-12 M sampai awal abad ke-13 M, tasawuf telah menjadi lembaga yang memiliki aturan-aturan, prinsip dan sistem khusus, dimana sejumlah pribadi sufi bergabung dengan seorang guru dan tunduk di bawah
343Aceh,
Pengantar Ilmu Tarekat, hlm.133.
158
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
aturan-aturan terinci di jalan rohani.344 Mereka hidup di berbagai sentra zawiyah, ribath, dan khanaqah atau berkumpul secara teratur dalam acara-acara tertentu dan mengadakan pertemuan ilmiah serta rohaniah yang teratur.345 Sentra-sentra sufi tersebut berubah menjadi sebuat institusi tarekat yang dimaksudkan untuk melestarikan namanya, sistem pengajarannya, latihanlatihan mistiknya, serta aturan kehidupan yang digariskannya.346 Kepemimpinan dalam sentra tersebut diwariskan melalui mata rantai silsilah atau isnad sufi. Misalnya Tarekat Suhrawardiyah yang dikembangkan oleh Syekh Dliyauddin Abu Najib al-Suhrawardi (w.1168 M), Tarekat Qadiriyah oleh Syekh Abd al-Qadir al-Jailaniy (w.116 Persyaratan untuk masuk menjadi pengikut Tarekat disimpulkan oleh alFaruqi menjadi empat: 1) keputusan untuk bergabung harus benar-benar disadari secara mendalam dan personal; 2) seluruh kekayaan harus ditinggalkan, jika tidak menjadi wakaf, maka diberikan kepada keluarga atau orang miskin, sehingga begitu menjadi anggota, seseorang akan benarbenar bebas dari ikatan benda-benda duniawi; 3) kepatuhan yang mutlak kepada syaikh pemimpin tarekat dan organisasi atau persaudaraan serta kepada orang yang ditunjuk untuk membimbing calon anggota, dan 4) masa percobaan dikenakan kepada setiap anggota baru, setelah periode ini calon akan ditahbiskan menjadi anggota (penuh) dan diberikan kepadanya pakaian wol biru. Lihat Ismail R. al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, ter. Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 38. 345 Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan,1998), hlm. 366. 346 Dalam sistem pengajaran sufi pada umumnya, ada tiga jalur yang dapat ditunjukkan guru sufi kepada calon pengikut, yaitu: pertama, pemula menjalani suatu masa percobaan selama 1001 hari, dalam rangka menilai dan meningkatkan kemampuannya menyerap instruksi. Kedua, guru sufi menerima langsung calon murid tanpa menyuruhnya menghadiri majlismajlis umum dikelompok atau halaqah sufi, dan memberinya latihan khusus yang dijalankan bersamanya dan secara mandiri. Ketiga, setelah menilai kemampuan murid, guru sufi menerimanya secara formal namun mengirimkan ke guru lain yang secara lebih langsung bermanfaat baginya. Lihat Idries Syah, The Sufis (New York: Doubleday and Company, 1964), hlm.7 344
159
Dr. Siswanto, M.Pd.I
M), Tarekat Rifa’iyah oleh Syekh Ahmad ibn al-Rifa‟i (w.1182 M), dan sebagainya. Tarekat-tarekat tersebut tampak jelas sebagai institusionalisasi dari ajaran tasawuf yang dikembangkan dalam ajaran praktis-sufistik kepada murid-murid tarekat, yang meliputi segala aspek ajaran Islam seperti ajaran shalat, puasa,zakat, haji, jihad dan sebagainya. Akan tetapi, semua itu terikat dengan tuntunan dan bimbingan seorang syaikh sesuai dengan pengalaman dan pengamalan syaikh tarekat masing-masing. Dari uraian di atas bisa kita ketahui bahwa munculnya institusionalisasi tasawuf dalam bentuk tarekat, membawa arah pengembangan intelektual yang berbeda. Perkembangan tasawuf yang masih bersifat personal lebih berdampak positif bagi pengembangan intelektual keislaman, sementara institusionalisasi dalam bentuk tarekat cenderung menjadikan keharusan bertaklid di kalangan murid kepada teori dan dan formulasi tertentu yang bersifat doktrinal oleh para syaikh tarekat, sehingga hal ini justru menjadikan stagnasi intelektual dan budaya taklid kian menguat. C. Madrasah : Asal Usul dan Motivasi Pendiriannya Pada masa awal perkembangan Islam, pendidikan formal yang sistematis belum terselenggara. Pendidikan yang berlangsung dapat dikatakan bersifat informal dan inipun lebih berkaitan dengan upaya-upaya dakwah islamiyyah, yaitu penyebaran dan penanaman dasar-dasar kepercayaan dan ibadah Islam. Dalam kaitan itulah bisa dipahami kenapa proses pendidikan Islam pertama kali berlangsung di rumah, 160
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
yang dikenal dengan Dar al-Arqam. Kemudian, seiring dengan perkembangan Islam dan terbentuknya masyarakat Islam, pendidikan Islam diselenggarakan di masjid-masjid yang dikenal dalam bentuk halaqah, lingkaran belajar.347 Lembaga formal Islam baru muncul pada masa lebih belakangan, yakni dengan kebangkitan madrasah.348 Hal ini merupakan kelanjutan transmisi intelektual dari sistem pengajaran dan pendidikan yang awalnya berlangsung di masjid-masjid, atau dengan kata lain bahwa madrasah merupakan hasil evolusi dari masjid sebagai lembaga pendidikan dan khan sebagai asramanya.349 Asumsi ini diperkuat oleh Makdisi, antara lain bahwa masjid khan yang menjadi cikal bakal madrasah dan fiqh merupakan bidang studi utama. Selanjutnya Ahmad Syalabi mengemukakan alasan-alasan motif-motif berdirinya madrasah di luar masjid: (1). Halaqahhalaqah yang diselenggarakan di masjid sering mengganggu terutama terhadap orang yang sedang beribadah. (2) Berkembangnya kebutuhan ilmiah sebagi akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan. (3)Timbulnya orientasi
Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. vii. 348 Madrasah merupakan isim makan dari fiil madli ”darasa”, mengandung arti tempat atau wahana untuk mengenyam proses pembelajaran. Dengan demikian secara teknis, madrasah menggambarkan proses pembelajaran secara formal dan memiliki konotasi spesifik. Lihat Ziauddin Alavi, Muslim Educational Thought in the Midle Ages, ter. Abuddin Nata (Canada: Montreal,2000). Hasan Asari mengasumsikan ciri-ciri madrasah tidak dapat dikonotasikan dengan lembaga pendidikan yang ada sekarang dan kesulitan besar menterjemahkan kata madrasah itu sendiri. Lihat Hasan Asari, Menyingkap Zaman, hlm. 48. 349 Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), hlm.240. 347
161
Dr. Siswanto, M.Pd.I
baru dalam penyelenggaraan pendidikan, seperti di antaranya orientasi berfikir sebagian guru untuk mendapatkan rezeki melalui kegiatan pendidikan.350 Terkait dengan awal munculnya madrasah, berbagai versi sejarah mengacu bahwa peletak dasar dan yang mempopulerkan madrasah adalah Nizam al-Mulk (w.485 H/1092 M) pada tahun 459 H/1067 M.351 Walaupun bukan berarti ia orang pertama yang mendirikan madrasah, tetapi ia berjasa mempopulerkannya bersamaan dengan reputasinya sebagai wazir. Begitu dominannya peran Nizam al-Mulk terkadang mendorong kepada kesimpulan yang keliru dengan mengatakan bahwa Nizam al-Mulk adalah orang yang pertama yang membangun madrasah, sebagaimana yang dikemukakan Ahmad Amin dengan merujuk al-Dzahabi.352 Pendapat ini dibantah oleh Hasan dengan mengajukan argumentasi bahwa belakangan membuktikan sebelum berdirinya dinasti Saljuk, madrasah telah dikenal secara luas di daerah Nisyapur.353 Syalabi, al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, hlm.114. Mahmud Yunus menambahkan bahwa motivasi pendirian banyak madrasah di masa pengaruh Turki (Saljuk) adalah untuk mengambil hati rakyat, mengharap pahala dan ampunan dari Allah SWT, memelihara kehidupan anak-anaknya di kemudian hari, memperkuat aliran keagamaan bagi sultan atau pembesar. Lihat Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta; PT Hidakarya, Agung, 1992), hlm. 69-72. 351 Nashabe, Muslim Educational Institutions, hlm. 23. 352 Ahmad Amin, Dluha al-Islam, vol. 2 (Kairo: Lajnah al-Ta‟lif wa alTarjamah wa al-Nashr, 1952), hlm.49. 353 Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam al-Siyasi wa al-Diniy wa al-Tsaqafiy wa al-Ijtima’iy, Vol.4 (Kairo: al-Nahdlah al-Misriyyah, 1967), hlm. 425. Sumber lain mengatakan bahwa Abi Ishaq (w.406 H/1015 M), pengarang Tarikh Naisabur, menyebutkan bahwa Abi Ishaq al-Isfirayini (w.418 H/1027 M) adalah orang yang pertama yang mendirikan madrasah di Nisyapur sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Majid Abdul Futuh, al-Tarikh al-Siyasy wa al-Fikr (al-Mansur: Mathba‟ al-Wafa‟,1980), hlm. 186. Azyumardi Azra 350
162
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
Namun demikian, madrasah di daerah ini kurang dikenal mengingat motivasi pendirian madrasah itu sendiri pada saat itu bersifat ahliyyah (keluarga), berdasarkan wakaf keluarga dan sejarah baru mencatat apabila telah terjadi fenomena yang meluas. Di samping itu, tidak ada campur tangan penguasa sebagaiman halnya madrasah Nizamiyah, sehingga tidak disangkal bahwa pengaruh Nizamiyah melampaui pengaruh madrasah yang didirikan sebelumnya. Oleh karena itu, lembaga madrasah ini dianggap sebagai prototype awal pembangunan lembaga pendidikan tinggi setelahnya.354 Sebelum muncul madrasah Nizamiyyah, istilah madrasah juga dipakai untuk mengklasifikasikan halaqah-halaqah berbasis madzhab atau sektarian tertentu. Madrasahmadrasah ini mulai bermunculan pada abad keempat seiring dengan munculnya madzhab-madzhab tersebut, seperti madrasah Syi’iyyah, al-Madrasah al-Hanafiyyah, termasuk pula menjelaskan bahwa penelitian lebih akhir yang dilakukan oleh Richard Bulliet mengungkapkan bahwa eksistensi madrasah yang lebih tua di kawasan Nisyapur, Iran, yakni madrasah Miyan Dahiya yang didirikan oleh Abu Ishaq Ibrahim ibn Mahmud. Pada sekitar tahun 400 H/1009 M. terdapat madrasah al-Bayhaqiyah yang didirikan oleh Abu Hasan Ali alBaihaqy. Bulliet lebih menyebut 39 madrasah di wilayah Persia yang berkembang dua abad sebelum madrasah Nizamiyah. Hal ini juga diperkuat oleh Hasan Ibrahim Hasan dan Ali al-Jumbulati. Abd al-Ali menjelaskan bahwa pada masa Sultan Mahmud al-Ghaznawi Sa‟idiyyah (998-1030 M) telah berdiri madrasah Sa‟idiyyah. Demikian juga Naji Ma‟ruf (1973) berpendapat bahwa madrasah pertama telah didirikan 165 tahun sebelum berdiri madrasah Nizamiyah, yaitu sebuah madrasah dikawasan Khurasan. Ia mengemukakan bukti di Tarikh al-Bukhari dijelaskan bahwa Ismail Ahmad Asad (w.295 H) memiliki madrasah yang dikunjungi oleh pelajar untuk melanjutkan pembelajaran mereka. Pembahasan lebih lanjut Lihat Azyumardi Azra, ”Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains” dalam Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, hlm. vi. 354 A.L. Tibawi, Arabic and Islamic Themes (London: Luzac and Company Ltd, 1976), hlm. 224.
163
Dr. Siswanto, M.Pd.I
pola pendidikan satu pemikiran tertentu, seperti madrasah alFuqaha wa al-Muhadditsin, madrasah Sufiyah, dan sebagainya.355 Dalam kajiannya yang lebih terfokus pada madrasah Nizamiyyah, Makdisi mengajukan teori bahwa asal muasal pertumbuhan madrasah merupakan hasil tiga tahap; tahap masjid, masjid khan dan madrasah.356 Tahap masjid berlangsung pada abad ke-8 dan ke-9. Masjid yang dimaksud sebagai tempat pendidikan adalah masjid biasa, yang disamping untuk tempat jemaah shalat juga untuk majlis ta‟lim (pendidikan). Tahap kedua, adalah masjid khan, yaitu masjid yang dilengkapi dengan bangunan khan (asrama, pemondokan) yang masih bergandingan dengan masjid. Tahap ini mencapai perkembangan sangat pesat pada abad ke-10. Setelah dua tahap perkembangan di atas barulah muncul madrasah yang khusus diperuntukkan sebagai lembaga pendidikan.357 Menurut Syalabi, perkembangan dari masjid ke madrasah terjadi secara langsung dengan tidak memakai lembaga perantara. Perkembangan madrasah dapat dikatakan sebagai konsekuensi logis dari semakin ramainya kegiatan pengajian di masjid yang fungsi utamanya sebagai tempat ibadah. Beberapa ahli sejarah juga mengungkapkan motivasi lahirnya madrasah Nizamiyah sangat dipengaruhi dengan masalah politik dan madzhab. Motivasi ini sangat berkaitan dengan keadaan Baghdad yang kehilangan power kekuasaannya. Hal ini juga didukung dengan muncul dan berkembangnya dinasti Fathimiyyah yang berhaluan Syi‟ah.
Maksum, Madrasah, hlm. 65. Makdisi, The Rise of Colleges, hlm. 27. 357 Maksum, Madrasah, hlm. 57-58. 355 356
164
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
Syalabi mengungkapkan bahwa kemunculan madrasah Nizamiyyah merupakan solusi kekhawatiran kaum sunni terhadap perkembangan kaum syi‟ah. Munculnya dinasti Buwaih dan Fathimiyyah merupakan oposan yang akan menggulingkan tradisi kaum sunni. Lebih-lebih pada dinasti Fathimiyyah yang sempat menjadi dinasti besar dan banyak mengambil alih daerah-daerah kekuasaan Abbasiyah.358 Indoktrinasi dan mempropagandakan madzhab sunni, menurut Nakosteen, tujuan esensial dari madrasah Nizamiyah. Keberlangsungan sebuah madzhab melalui kekuatan militer bukan sebuah solusi terbaik baik untuk kaum sunni saat itu. Lewat penanaman ideologi dan pendidikanlah kaum sunni mengeliminasi pengaruh ideologi Syi‟ah. Ini dilakukan karena Syi‟ah secara aktif dan sistematik dalam indoktrinasi melalui pendidikan atau aktivitas pemikiran lain,359 disamping karena secara alamiah pendidikan akan tetap dibutuhkan setiap generasi. Generasi yang akan masuk dalam madrasah ini secara tidak langsung merupakan mata rantai dari eksistensi kaum sunni.360 Dari penjelasan di atas, dapat dilihat multi motivasi yang mendasari kelahiran madrasah, yaitu, selain motivasi agama dan motivasi ekonomi, juga motivasi politik. Dengan berdirinya madrasah, maka pendidikan Islam memasuki periode baru, yaitu ”pendidikan menjadi fungsi bagi negara,
Ahmad Syalabi, al-Tarbiyah wa al-Ta’lim fi al-Fikr al-Islamiy (Kairo: Maktab al-Nahdlah, 1979), hlm. 118. 359 Said Mursi Ahmad, Tathawwur al-Fikr al-Tarbawi (Kairo: „Alam alKutub,1982), hlm.232 360 Nakosteen, Kontribusi Islam, hlm. 52-54.. 358
165
Dr. Siswanto, M.Pd.I
dan sekolah-sekolah dilembagakan untuk tujuan pendidikan sektarian dan indoktrinasi politik”.361 Latar belakang sejarah yang demikian, ternyata sangat mempengaruhi perkembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam Islam pada masa-masa selanjutnya. Dalam hal ini dominasi kepentingan politik telah menemukan bentuk pendidikan dan corak ilmu pengetahuan yang dikembangkan dan diajarkan, termasuk pengembangan sistem pendidikan di dalam madrasah. Sistem madrasah mencapai puncaknya pada zaman kerajaan Utsmani. Dimulai tahun 1331, kesultanan Ustmani mulai melestarikan tradisi nenek moyang Saljuk dengan memberi bantuan kepada institusi-institusi baru agar jumlahnya meningkat. Masing-masing penguasa meneruskan kebiasaan untuk mengabdikan diri pada tugas ini, dan tak lama kemudian madrasah banyak sekali dibangun di setiap kota kesultanan Utsmani. Sampai abad ke-19, minimal terdapat 275 madrasah di Istambul. Insitusi ini diorganisir dalam sistem hirarki dengan madrasah-madrasah Islam yang elit (yaitu yang dibangun oleh Sultan Sulaiman Agung, Sultan Mahmud sang Penakluk, dan Bayazid II) pada puncak masa kejayaan penguasa ini. Sedikit di bawahnya adalah madrasah Istambul dan sebagian di Bursa dan Adrianopel, dua ibukota pertama kerajaan tersebut.362 Madrasah-madrasah besar itu jumlahnya banyak dan bersifat kompleks. Kurikulum yang diajarkan lebih luas daripada di tempat lain, dan meskipun penekannya pada Al-
Ibid, hlm.50. H.A.R. Gibb dan Harold Bowen, Islamic Society and the West (London: Oxford University Press, 1957), hlm. 145 361 362
166
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
Quran, hadith dan hukum Islam, logika, matematika, geometri, astronomi, musik, ilmu alam, obat-obatan, literatur, retorika dan tata bahasa juga diajarkan, khususnya pada masa kejayaan kerajaan ini. Materi yang diajarkan syekh, dan karyakarya penulis Arab, yang biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Turki, menjadi bacaan utama yang mendasar. Namun, sejak pertengahan abad ke-16, kualitas institusi ini menurun drastis. Kebanyakan ulama selalu mencurigai dan memusuhi ajaran yang diaggapnya tidak agamis sehingga tak lama kemudian studi tentang topik-topik tersebut jauh berkurang dan kurikulumnya terbatas untuk ilmu agama saja. D. Nizamiyah : Prototype Institusi Pendidikan Islam Pada umumnya, pendirian sebuah madrasah oleh seseorang atau kelompok akan mengandung konsekuensi independensi, sehingga pendiri madrasah dapat mengontrol aktivitas institusi yang dibangunnya secara leluasa. Motivasi ini berlaku juga bagi madrasah Nizamiyah yang didirikan di Baghdad pada tahun 459 H/ 1067 M, di mana Nizam alMuluk sebagai pendirinya bisa secara penuh mengontrol aktivitas belajar sesuai dengan kemauan dan tujuan politis yang dikehendaki.363 Selain itu terdapat juga pendapat yang mengatakan bahwa pendirian madrasah Nizamiyah adalah untuk mengimbangi dominasi dan perkembangan paham Mu‟tazilah dan posisi Hambali, serta dominasi Syi‟ah. Dari sini kemudian sangat kuat asumsi bahwa latar belakang pendirian Nizamiyah oleh
Abdurrahmansyah, Wacana Pendidikan Islam, Khazanah Filosofis dan Implementasi Kurikulum, Metodologi dan Tantangan Pendidikan Moralitas (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2005), hlm. 5-6. 363
167
Dr. Siswanto, M.Pd.I
Nizam al-Mulk ini sangat bercorak Syafi‟i Asy‟ariyah,364 dan untuk mengeleminir pengaruh paham-paham itu.365 Meskipun demikian, Nizamiyah ini tetap dipahami sebagai lembaga terpenting dan menjadi model (prototype) dalam sejarah pendidikan Islam, yakni sebagai lembaga pendidikan Islam yang pertama sekali didirikan di dunia Islam Timur di mana bangunan dan orientasi lembaga pendidikan ini menjadi a function of state dalam skala luas. Lagi pula oleh karena tersedianya dokumen-dokumen tentang madrasah ini, para ilmuwan mengetahui Nizamiyah dan cara kerjanya lebih baik dari madrasah lain yang manapun.366 Upaya Nizam al-Mulk ini merupakan sistematisasi dari lembaga-lembaga
A.S.Tritton, Materials on Muslim Education in the Middle Ages (London: Luzac and Company, 1957), hlm. 103-104. Dalam hubungan dengan pergumulan paham fiqhiyyah, Nisham Nashabe mencatat, misalnya selama abad ke-3 H, Sunni Islam mulai meninggalkan peranan intelektualnya setelah pada periode Abbasiyah ia cukup mempengaruhi yang selanjutnya digantikan dominasi Mu‟tazilah pada rezim al-Ma‟mun. Pada saat itu juga Syi‟ah mulai merambah di wilayah Maghrib (Timur). Sekolah pemikiran Syi‟ah menjadi berkuasa selama abad ke-5 H. 365 Dalam catatan sejarah, diketahui bahwa Nizam al-Mulk yang dikenal amat kental dengan paham ke-syafi’i-annya ini dalam kurun waktu antara 457-459 H/1065-1067 M, ternyata tidak hanya mendirikan madrasah Nizamiyah satu-satunya. Nashabe mencatat bahwa Nizam al-Mulk banyak membangun madrasah serupa di daerah kekuasaan Islam yang lain, seperti al-Mustansyiriyah di Baghdad dan al-Nuriyah al-Kubra di Damaskus. Dari sumber yang lain dikatakan bahwa jejak Nizam al-Mulk dalam membangun sekolah diikuti oleh Syah-syah dan Atabikatabik yang mendirikan kesultanan-kesultanan setelah runtuhnya kerajaan Bani Saljuk, dan yang paling terkenal adalah Nuruddin Zanki yang berkuasa di Suriyah dan Mesir yang kemudian mendirikan sekolah-sekolah di Damaskus, Aleppo dan di tempat-tempat lain dan kemudian usaha itu diikuti oleh sultan-sultan di masa kerajaan Ayubiyah. Pembahasan lebih lanjut lihat Syalabi, al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, hlm. 122-129. 366 Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, hlm. 49. 364
168
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
sebelumnya. Kerangka menuju sekolah formal mulai ditata pada format sekolah ini. Sebagai penunjukan bahwa Nizamiyah adalah salah satu madrasah yang menjadi model bagi madrasah-madrasah lain di seluruh daerah kekuasaan Islam dengan corak Syafi‟i dapat dilihat dari dokumen wakaf Nizamiyah yang masih terpelihara dengan baik, seperti yang dikemukakan Stanton sebagai berikut: 1. Nizamiyah merupakan wakaf yang disediakan untuk kepentingan penganut madzhab Syafi‟i dalam fiqh dan ushul al-fiqh. 2. Harta benda yang diwakafkan kepada Nizamiyah adalah untuk kepentingan penganut madzhab Syafi‟i dalam fiqh dan ushul al-fiqh. 3. pejabat-pejabat utama Nizamiyah harus bermadzhab Syafi‟i dalam fiqh dan ushul al-fiqh; ini mencakup mudarris, wa’izh dan pustakawan. 4. Nizamiyah harus mempunyai seorang tenaga pengajar bidang kajian al-Qur‟an. 5. Nizamiyah harus mempunyai seorang tenaga pengajar bidang bahasa Arab. 6. Setiap staf menerima bagian tertentu dari penghasilan yang diperoleh dari harta wakaf Nizamiyah.367 Dalam kaitan dengan kurikulum pengajaran, bisa dipastikan kalau disiplin fiqh dan ushul al-fiqh, menjadi salah satu mata kajian yang harus ditempuh dengan mengambil corak pemahaman Asy’ariyyah sebagai label atau trade mark
367Ibid,
hlm.50.
169
Dr. Siswanto, M.Pd.I
dari pengajaran yang terdapat pada madrasah ini.368 Bagaimanapun harus diakui bahwa pengajar pada madrasah ini merupakan penganut Asy‟arisme, umpamanya Imam alHaramain Abu al-Ma‟ali Yusuf al-Juwaini (w.478 H/1084 M) dan Abd al-Hamid al-Ghazali (w.505 H/ 1111 M).369 Tesis bahwa pengajaran di Nizamiyah dangat bercorak fiqh oriented diperkuat oleh Hasan Asari sebagai kecenderungan kurikulum madrasah yang ada pada abad ke-5 H. Tetapi selain tawaran kurikulum fiqh, Nizamiyah juga menawarkan mata kajian seperti yang dicatat Makdisi, seperti membaca alQur‟an. Dalam kaitan ini secara eksplisit Makdisi mengatakan : ”like all other madrasas and mesjids, was a traditional institution wherein the teaching of traditionalist, institutionally accepted religius sciences took place”.370 Suatu hal yang pasti menurut Abdurrahman Mas‟ud untuk kasus Nizamiyah, ilmu-ilmu pengetahuan umum (secular sciences) tidak pernah diintroduksi dalam kurikulumnya. Namun – dengan mengutip Makdisi –, ia mengatakan bahwa islamic jurisprudence hanya satu-satunya subject matter yang ditawarkan di madrasah Nizamiyah dan penekanannya pada
Namun demikian, Eliade menilai bahwa Nizamiyah tidak mengajarkan doktrin teologi Asy‟ariyah. Dalam artian, bahwa kajian ke-sunni-an yang diselenggarakan di madrasah Nizamiyah hanya terbatas pada aspek fiqhnya dan tidak pada tataran diskursus kalam. Ia menambahkan bahwa mata kajian yang dilaksanakan di dalamnya adalah kajian hukum, hadits, tata bahasa Arab dan pembacaan al-Qur‟an. Lihat Mirce Eliade (ed.), Encyclopedia of Religion, vol. 9 (New York: Simon and Schester McMillan, 1993), hlm. 451. 369 Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 67. 370 George Makdisi, “The Sunni Revival”, dalam Islamic Civilization 950-1150, ed. D.S.Richard (Pannsylvania: The Near Center University of Pannsylvania,1973), hlm. 161. 368
170
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
penegakan supremasi fiqh.371 Subjek kajian lain seperti adab (literature), masih bersifat komplementer. Semua cabang keilmuan islam (branches of Islamic Sciences) diintroduksi untuk mem-back up superioritas hukum Islam (islamic 372 yurisprudence). Oleh karena itu akan sangat mudah memahami bagaimana besarnya peran Nizamiyah dalam menegakkan ortodoksi Sunni. Sementara itu, Mahmud Yunus mengatakan bahwa kurikulum madrasah Nizamiyah tidak diketahui dengan jelas. Namun dapat disimpulkan bahwa materi-materi ilmu syari‟ah diajarkan di sini sedangkan ilmu hikmah (filsafat) tidak diajarkan. Fakta-fakta yang mendukung pernyataan ini adalah; pertama, tidak ada seorangpun di antara ahli sejarah yang mengatakan bahwa di antara materi pelajaran terdapat ilmu-ilmu umum. Kedua, guru-guru yang mengajar di madrasah Nizamiyah merupakan ulama‟-ulama‟ syari‟ah. Ketiga, pendiri madrasah ini bukanlah pembela ilmu filsafat. Keempat, zaman berdirinya madrasah ini merupakan zaman penindasan ilmu filsafat dan para filosof.373 Dalam pada itu, kita tampaknya tidak akan menemukan semacam evidensi bahwa Nizamiyah dalam batasan tertentu telah memberikan kontribusi positif dalam menegakkan wacana integralisme pendidikan Islam. Sebab bagaimanapun Nizamiyah sejak awal tidak bergerak dalam tataran yang lebih komprehensif dalam tawaran materi yang dikaji di madrasah. Abdurrahman Mas‟ud, “Nizamiyah Madrasa: As a Model of Traditional Educational Institution in the Medieval Period of Islam”, dalam Jurnal Media, Edisi 29 tahun VII Agustus (Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo,1998), hlm.6. 372 Ibid. 373 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Hidakarya Agung, 1992), hlm.75. 371
171
Dr. Siswanto, M.Pd.I
Namun demikian, terlalu cepat dan gegabah pula rasanya jika dikatakan bahwa madrasah Nizamiyah adalah satu-satunya lembaga pendidikan Islam yang telah melanggengkan dikotomisme dalam pendidikan Islam. Meskipun nampaknya terdapat celah untuk menunjukkan indikasi tidak bersemangatnya civitas akademika Nizamiyah dalam menegakkan gaya pemikiran rasionalistik-filosofis, mengingat al-Ghazali (pengarang tahafut al-falasifah) sebagai tokoh berpengaruh di kalangan Islam untuk beberapa waktu pernah menjadi guru besar pada madrasah ini.374 Berbagai metode belajar yang dikembangkan di lembaga Nizamiyah dipandang cukup relevan untuk materi kajian yang diselenggarakan. Metode debat dan hafalan dalam proses pembelajaran merupakan salah satu penunjukan bahwa keunggulan intelektual kaum terpelajar pada saat itu ditentukan oleh kemampuan mengkombinasikan potensi dasar intuitif dan rasionalitas.375 Suasana belajar dan interaksi antara guru dan siswa juga merupakan indikasi bahwa madrasah Nizamiyah tidak menganut sistem feodalisme pendidikan yang menindas. Karena dengan pola interaksi yang demikian sebenarnya sistem pendidikan Islam klasik ini telah mencontohkan pola pendidikan demokrasi dengan menempatkan siswa sebagai sosok yang berpotensi untuk
Abdurrahmansyah, Wacana Pendidikan Islam, hlm.13. Menurut Stanton, proses transmisi ilmu-ilmu agama berkisar antara menulis catatan sari guru, membaca, imlak dan berdebat. Lihat Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, hlm. 21. Sementara penelitian Makdisi menyebutkan bahwa metode belajar-mengajar yang menjadi media transmisi ilmu agama meliputi hafalan, pengulangan, pemahaman, mudzakarah, mencatat, ta’liqat (debat tertulis), dan munazharah. Lihat Makdisi, The Rise of Colleges, hlm. 99-104. 374 375
172
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
menguasai dan memahami realitas secara manusia dan ilmiah.376 Namun demikian, harus diakui bahwa Nizamiyah dengan segala keunggulannya dan semua predikat agungnya, tidak terlepas dari kritikan dan kekurangan yang juga terdapat di dalamnya. Sebagaimana Azyumardi Azra dengan terus terang mengatakan bahwa pada dasarnya asas-asas pengembangan ilmu pengetahuan yang untuk masa sekarang sangat dipentingkan ternyata belum diakomodir oleh sistem madrasah pada abad ke-5. Dan kalaupun itu ada, maka kemampuan para ilmuwan muslim ketika itu lebih disebabkan semangat otodidak yang luar biasa dan bukan out put dari madrasah. Barangkali hal ini diakibatkan karena sistem madrasah yang cenderung bersifat doktriner dan fiqh oriented.*
.
376
Abdurrahmansyah, Wacana Pendidikan Islam, hlm. 18.
173
Dr. Siswanto, M.Pd.I
174
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
DAFTAR PUSTAKA Abd. Ali, Hasan . al-Tarbiyah al-Islamiyah. Kairo: Dar al-Fikr alArabi, 1978. Abduh, Muhammad. The Theology of Unity, ter. Ishaq Musaad dan Kenneth Cargy London: George Allen and Unwin, 1966. Abdullah, Taufik. (ed.) Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara.. Jakarta: LP3ES,1989. Abdurrahmansyah, Wacana Pendidikan Islam, Khazanah Filosofis dan Implementasi Kurikulum, Metodologi dan Tantangan Pendidikan Moralitas. Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2005. Aceh, Abu Bakar. Pengantar Ilmu Tarekat. Solo: Ramadhani, 1993. Adams, Charles C. Islam and Modernism in Egypt: A Study of the Modern Reform Movement Inaugurated by Muhammad Abduh. NewYork: Russel and Russel, 1968. Adivar, Abd al-Hak Adnan. “Islamic and Western Thought: Turkey” dalam Near Western Culture and Society, ed. T. Cuyler Young. New Jersey: Princeton University Press, 1951. Ahmad, Aziz. Islamic Modernism in India and Pakistan. London: Oxford University Press, 1907. Ahmad, Feroz The Making of Madern Turkey. Routledge, 1993.
175
London;
Dr. Siswanto, M.Pd.I
Ahmad, Feroz . “Turkey‟ dalam The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, vol. 4 ed. John L. Esposito. New York and London: Oxford University Press, 1995. Ahmad, Feroz . “Young Turks” dalam The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, vol. 4 ed. John L. Esposito. New York and London: Oxford University Press, 1995. Ahmad, Said Mursi . Tathawwur al-Fikr al-Tarbawi. „Alam al-Kutub,1982.
Kairo:
Ahmed, Akbar S. Postmodernisme, Bahaya dan Harapan bagi Islam, ter.M.Sirozi. . Bandung: Mizan,1993. al-Abrasyi, Muhammad Athiyyah. Al-Tarbiyah al-Islamiyah. tt: Dar al-Qaumiyyah, 1964. Alavi, Ziauddin. Muslim Educational Thought in the Midle Ages, ter. Abuddin Nata. Canada: Montreal,2000. al-Baghdadi, Abdurrahman. Da'wah Islam dan Masa Depan Umat, Mengimplementasikan Metode Da'wah Rasulullah saw. di Era Globalisasi. Bangil, al-Izzah, 1997. Al-Baghdadi, Sistem Pendidikan di Masa Khalifah Islam. Bangil: al-Izzah, 1996. al-Faruqi, Ismail R. dan Lois Lamya al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, ter. Ilyas Hasan. . Bandung: Mizan, 2001. Ali, A.Mukti. Metode Memahami Agama Islam.. Jakarta: Bulan Bintang,1991. Ali, K. A Study of IslamicHistory. Delhi: Idarah-i Adabiyati,1980. Ali, Said Ismail. Democratiyyah al-Tarbiyyah al-Islamiyyah. Kairo: 'Alam al-Kutun,1982. Ali, Syed Amir. Api Islam. . Jakarta: Bulan Bintang,1978. al-Maududi, Abu A'la. Mizan,1984.
Khilafah dan Kerajaan. 176
. Bandung:
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
al-Razak, Mustafa Abd. Tarikh al-Falsafah al-Islamiyyah. Kairo: Mathbaah Lajnah al-Ta‟lif, 1959. al-Shalih, Subhi. Mahahits fi Ulum al-Qur'an. Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayun, 1988. al-Shiddiqy, T.M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir/alQur'an.. Jakarta: Bulan Bintang, 1972. Amin, Ahmad. Dhuha al-Islam, vol.1. Kairo: Lajnah al-Ta‟lif wa al-Nasyr,tt. Amin, Husayn Ahmad. Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997. Amstrong, Karen. Muhammad Sang Nabi, Sebuah Biagrafi Kritis, ter. Sirikit Syah. Surabaya: Risalah Gusti,2001. Arberry, A.J. Aspects of Islamic Civilization as Depicted in the Original Texts. London: George Allen, 1964. Arsyad, M. Natsir. Seputar Sejarah dan Mu'amalah. Bandung: al-Bayan,1993. Asari, Hasan. Menyingkap Zaman Keemasan Islam. Bandung : Mizan, 1994. Ashaidy, Abd al-Muta'al. al-Qadlaya al-Kubra fi al-Islam. Makkah: Maktabahal-Adab,1960. As-Hornby, Oxford Advanced Learner's Dictionary of Current English. Oxford: Oxford University Press, 1983. Ashraf, Syed Ali New Horizon in Muslim Education. Cambridge: Hodder and Stoughton, The Islamic Academy,1985. Asmuni, Yusran. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada,1996. Asrahah, Hanun. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos,1999.
177
Dr. Siswanto, M.Pd.I
Azra, Azyumardi. Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta: Logos, 1999. Azra, Azyumardi. “Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains Sebuah Pengantar)” dalam Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Ter. Affandi dan Hasan Asari. Jakarta: Logos, 1994. Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos, 2000. Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Umat Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Postmodernisme. Jakarta: Paramadina, 1996. Berkes, Niyazi. The Development of Scularism in Turkey. Montreal: McGill University Press, 1964. Bey Fananie, Husnan. Modernism in Islamic Education Indonesia and India, A Case Study of Pondok Modern Gontor and Aligarh. Tesis, Leiden Uiversity,1997. Bik, Muhammad Khudari. Tarikh al-Umam al-Islamiyyah. Kairo: Maktabah Tijariyyah Kubra,1969. Bilqrami, Hameed Hasan dan Syed Ali Ashraf, The Concept of an Islamic University. Cambridge: The Islamic Academy,1985. Bosworth, C.E. The Islamic Dinasties. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1980. Charles, Richard L. . “The Ottoman Ulama and Tanzimat”, dalam Scholars, Scientist and Sufis, ed. Nikki R. Kiddie. Berkeley: University of California Press, 1972. Cholil, Munawar. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Saw. Jakarta: Bulan Bintang, 1969. Choueri, Youssef M. Islamic Fundamentalism. Boston: Twayne Publisher,1990. 178
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
Cleveland, William C. “Sources of Arab Nationalism: An Overview”, dalam Religion and Politic in the Middle East, ed. Michael Curtis Colorado: Westview Press, 1981. Commina, David Dean. University Press, tt.
Islam Reform. New York: Oxford
Cooper, John. et.al. Islam and Modernity, Muslim Intellectual Response. London: I.B.tauris Publisher,tt Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997. Eliade, Mirce. (ed.), Encyclopedia of Religion, vol. 9. New York: Simon and Schester McMillan, 1993. Esposito, John L. Dinamika Kebangkitan Islam, Watak, Proses dan Tantangan, ter. Bakri Siregar. Jakarta: Rajawali Pers,1987. Fahmi, Asma Hasan. Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, ter. Ibrahim Husein. Jakarta: Bulan Bintang, 1997. Fakhri, Majid. Sejarah Filsafat Islam Sebuah Peta Kronologis, ter. Zaimul Am. Bandung: Mizan, 2002. Fauzan, “Menimbang Sisi Positif Perlunya Pembaruan Pendidikan Islam” dalam Sejarah Sosial Pendidikan Islam, ed. Suwito dan Fauzan.. Jakarta: Kencana, 2005. Fazlurrahman, Islam dan Modernitas tentang Transformasi Intelektual, ter. Ahsin Muhammad . Bandung: Pustaka, 1982. Fazlurrahman, Islam, ter. Ahsin Muhammad . Bandung: Pustaka, 1984 Futuh, Abdul Majid Abdul. al-Tarikh al-Siyasy wa al-Fikr. alMansur: Mathba‟ al-Wafa‟,1980. Gibb, H.A.R. dan Harold Bowen, Islamic Society and the West. London: Oxford University Press, 1957. Gibb, H.A.R.. Modern Trends in Islam. Chicago: The University of Chicago Press,1947. 179
Dr. Siswanto, M.Pd.I
Glasse, Cyril. Ensiklopedi Islam Ringkas. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999. Glubb, Sir John . A Short History of The Arab People. New York: Dorset Press, 1969. Haekal, Muhammad Husain. Sejarah Hidup Muhammad, ter. Ali Audah. Jakarta:: Pustaka Litera AntarNusa, 2003. Haeri, Fadlalla. Jenjang-jenjang Sufisme, ter. Ibn Burdah dan Shofifullah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam. Jakarta: alHusna, 1992. Hasan, Zainul. ‟Lembaga Pendidikan Sufi” dalam Tadris, Jurnal Pendidikan Islam, Vol.1 No.1.2006. Jurusan Tarbiyah STAIN Pamekasan. Hasan. Ibrahim Hasan. Tarikh al-Islam al-Siyasi wa al-Diniy wa al-Tsaqafiy wa al-Ijtima’iy, Vol.4. Kairo: al-Nahdlah alMisriyyah, 1967. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996. Hasjmy, A. Nabi Muhammad saw. sebagai Panglima Perang. Jakarta: Mutiara Sumber Widia,1983. Hassan. Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Kota Kembang, 1989. Heyd, Uriel. ”The Ottoman Ulema and Westernization in the Time of Salim III and Mahmud II” dalam The Modern Middle East, ed. Albert Hourani, et.al. Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1993. Hitami, Munzir. Mengonsep Kembali Pekanbaru: Infinite Press,2004.55.
180
Pendidikan
Islam.
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
Hitti, Philip K. History of the Arabs London: MacMillan Press, 1974. Hodgson, Marshall G.S. The Venture of Islam: Conscience and History in a world Civilization, vol.1-3. Chicago: The University of Chicago Press,1977. Hourani, Albert. A History of the Arab People. Cambridge: The Berknap Press of Harvard University, 1991. Hourani, Albert. Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1939. Cambridge: Cambridge University Press, 1983. J. Donohue John. dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan, Ensiklopedi Masalah-masalah, ter. Machnun Husein. Jakarta: RajaGrafindo Persada,1995 Jamelah, Maryam. Islam and Modernism. Lahore: Allahwala Printers,1977. Jaoudi, Maria. Christian Mysticism East and West: What the Mastres Teach Us. New York: Paulist Press,1998. Kaelany, Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan. Jakarta: Bumi Aksara,1992. Khadduri, Majid. “From Religious to National Law”, dalam Modernization of the Arab World, ed..J.H. Thompson and R.D. Reischaver. New York and London: D. Van Nostrand, 1966. Khalid. Muhammad Khalid, Selamat Jalan Usman bin Affan, ter. Muhammad Zuhri. Semarang: Toha Putra,1983. Langgulung, Hasan. Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21. Jakarta: Pustaka al-Husna,1998. Lapidus, Ira M. A History of Islamic Studies. New York: Cambridge University Press,1990. Lebon, Gustave . Hadarat al-Arab, ter. Adil Zuaitir. Kairo: Isa al-Babiy al-Halabiy,tt. 181
Dr. Siswanto, M.Pd.I
Lelyveld, David. Aligarh's First Generation Muslim Solidarity in British India. Princeton: Princeton University Press,1978. Lewis, Bernard . Islam and The West. Oxford: Oxford University Press, 1980. Lewis, Bernard. Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah, ter. Said Jamhuri. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1988. Lubhis, Nur Ahmad Fadhil. “Dinasti Abbasiyah”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, vol.2 ed. Taufik Abdullah. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002. Madjid, Nurcholish . Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1984. Madjid, Nurcholish. "Makna Modernitas dan Tantangannya terhadap Iman" dalam Islam dan Peradaban. Jakarta: Paramadina,1992. Maguid, Abd al-Mun'im. Tarikh al-Hadlarat al-Islamiyyah fi alUshur al-Wustha. Kairo: Maktabat al-Anglo Mishriyyah, 1978. Mahfuz, M.A. Sahal. Nuansa Fikih Sosial. Yogyakarta: LKiS, 1994. Mahmud, Sayyid Fayyaz. A Short History of Islam. KarachiLondon: Oxford University Press, 1960. Makdisi, George. “The Sunni Revival”, dalam Islamic Civilization 950-1150, ed. D.S.Richard. Pannsylvania: The Near Center University of Pannsylvania,1973. Makdisi, George. The Rise of Colleges, Institution of Learning in Islam and the West. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981. Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
182
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
Ma'luf, Louis. al-Minjid fi al-Lughah wa al-A'lam. Beirut: Dar alMasyriq, 1986. Manna' al-Qaththan, Khalil. Studi Ilmu-ilmu al-Qur'an, ter. Mudzakir AS. Jakarta: Liter AntarNusa dan Pustaka Islamiyah, t.t. Mardin, Serif . “Tanzimat” dalam The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, vol. 4 ed. John Esposito, L..New York and London: Oxford University Press, 1995. 183. Mardin, Serif . “Young Ottomans” dalam The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, vol. 4 ed. Mardin, Serif. “Religion and Scularism in Turkey”, dalam Attaturk Founder of Modern State, ed. Ali Kazancigil dan Ergun Ozbudun. London: C. Hurst and Company, 1981. Marimba, Ahmad D. Filsafat Pendidikan Islam . Bandung: alMa‟arif, 1984. Mas‟ud, Abdurrahman. “Nizamiyah Madrasa: As a Model of Traditional Educational Institution in the Medieval Period of Islam”, dalam Jurnal Media, Edisi 29 tahun VII Agustus Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo,1998. Metz, Helen Chapin ed.), Turkey a Country Study Washington: America Government Printing Office, 1995. Mufrodi, Ali. “Kerajaan Usmani” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Vol. 2, ed. Taufik Abdullah. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002. Mughni, Syafiq A. Sejarah Kebudayaan Islam di Turki. Jakarta: Logos, 1997. Munir Mursi, Muhammad. al-Tarbiyyah al-Islamiyyah: Ushuluha wa Tathawwuruha fi al-Bilad al-Arabiyyah Kairo: 'Alam alKutub,1977. Mursi, Muhammad Munir. al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, Ushuluha wa Tathawwuruha fi Bilad al-Arabiyyah. Kairo: „Alam alKutub, 1997. 183
Dr. Siswanto, M.Pd.I
Nakosteen, Mehdi. Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, terj. Joko S.Kahhar dan Supriyanto Abdullah Yogyakarta: Risalah Gusti,2003. Nakosten, Mehdi. History of Islamic and Western Education Colorado: University of Colorado Press, 1964. Nashabe, Muslim Educational Institution Beirut: Riyad Salh Square, 1989. Nasr, Syed Hussein Science and Civilization in Islam Westerham: Westerham Press, 1976. Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1975 Nasution, Harun. Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran . Bandung: Mizan,1995 Nasution, Harun. Teologi Islam, Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press,1986. Nasution, Harun. Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press,1972. Nata, Abuddin. (ed.). Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004. Nata, Abuddin. Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001. Nata, Abuddin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001. Nata, Abuddin. Sejarah Pendidikan Islam pada Periode Klasik dan Pertengahan. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004. Naufal, A. Razaq. Umat Islam dan Sains Modern. Bandung: Husaini, 1987. Nicolsom,R. Literary of the Arab. Cambridge: Cambridge University Press,1930. 184
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
Nurhakim, Moh.. Islam, Doktrin, Pemikiran dan Realitas Historis. Malang: UMM Press,1998. Nurzaman, A. "Pusat Kegiatan Belajar Mengajar pada Awal Kebangkitan Islam" dalam Sejarah Sosial Pendidikan Islam, ed. Suwito dan Fauzan. Jakarta: Kencana, 2005. Pardi, M. Habib Husnial. “Eksistensi Madrasah Awal Pada Abad IX-XI M)” dalam Sejarah Sosial Pendidikan Islam, ed. Suwito dan Fauzan. Jakarta: Kencana, 2005. Pedersen, Johannes. Fajar Intelektualisme Islam; Buku dan Sejarah Penyebaran Informasi di Dunia Arab, terj. Alwiyah Abdurrahman . Bandung: Mizan, 1996. Peretz, Don. The Middle East Today New York: Praegar Publisher, 1983. Qadir, C.A. Philosophy and Science in the Islamic World, ter. Hasan Basri. Jakarta: Pustaka Obor Indonesia,1988. Quthb, Sayyid. Konsepsi Sejarah dalam Islam. Jakarta: Yayasan al-Amin, 1984. Rahim, Rahmawaty. “Metode, Sistem dan Materi Pendidikan Dasar Kuttab) bagi Anak-anak pada Masa Awal Daulah Abbasiyah 132 H/750 M – 232 H/847 M)” dalam Sejarah Sosial Pendidikan Islam ed. Suwito dan Fauzan. Jakarta: Kencana, 2005. Rahmena, Ali. ed.), Para Perintis Zaman Baru Islam. Bandung: Mizan,1996. Ridwan, A.H. Reformasi Intelektual Islam, Pemikiran Hassan Hanafi tentang Reaktualisasi Keilmuan Islam. Yogyakarta: Ittaqa Press,1998. Rosenthal, Franz. The Classical Heritage in Islam. London: Routledge and Kegan Paul,1975. Roshental, Erwin J. Islam in the National State. London: Cambridge University Press, 1965. 185
Dr. Siswanto, M.Pd.I
Saefuddin, A.M. et.al, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi. Bandung: Mizan, 1987. Sahal, Muktafi dan Ahmad Amir Aziz, Teologi Islam Modern. Surabaya: Gitamedia,1999. Schacht, J. “Ribat” dalam The Encyclopedia of Islam, ed. C.E. Bosworth, Vol.8. Leiden: E.J.Brill,1995. Schimmel, Annemarie. Mystical Dimensions of Islam. Chapell Hill: The University of North Caroline Press, 1975. Shaw, Stanford J. . dan Ezelkural Shaw, History of the Ottoman Empire and Modern Turkey, vol.2. Cambridge: Cambridge University Press,1988. Shaw, Stanford J. History of the Ottoman Empire and Modern Turkey. Cambridge: Cambridge University Press, 1985. Shiddiqi, Nourouzzman. Jeram-jeram Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1996.
Peradaban
Muslim.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur'an, cet. XVIII. Bandung: Mizan, 1998. Stanton, Charles Michael. Pendidikan Tinggi dalam Islam, ter. Afandi dan Hasan Asari. Jakarta: Logos, 1994. Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. Syadzali, Munawir . Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. 1990. Syah, Idries . The Sufis New York: Doubleday and Company, 1964. Syalabi, Ahmad. Sejarah Kebudayaan Islam, ter. Mukhtar Yahya, et.al., vol.1. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1973. Syalabi, Ahmad. al-Tarbiyyah al-Islâmiyyah, Nuzhûmuhâ, Falsafatuhâ, Târîkhuhâ. Kairo: Maktabah al-Nahdlah alMisriyyah,1990. 186
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
Syalabi, Ahmad. al-Tarbiyyah wa al-Ta’lim fi al-Fikr al-Islamiy. Kairo: Maktabah al-Nahdlah al-Misriyyah, 1987. Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudyaan Islam: Imperium Turki Usmani. Jakarta: Kalam Mulia, 1988. Syalabi, Ahmad. Sejarah Pendidikan Islam, ter. Muhtar Jahja dan M. Sanusi Latief. Jakarta: Bulan Bintang, 1973. Syamsuddin, M.Din. Etika Agama Membangun Masyarakat Madani. Jakarta: Logos,2000. Szyliowics, Joseph S. Pendidikan dan Modernisasi di Dunia Islam, ed. Achmad Djainuri. Surabaya: al-Ikhlas, 2001. Tadjab, Perbandingan Abditama,1994.
Pendidikan.
Surabaya:
Karya
Tafsir, Ahmad . “Pemikiran di Zaman Modern”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam vol. 4, ed. Taufik Abdullah, et.al.. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002. Tibawi, A.L. Arabic and Islamic Themes. London: Luzac and Company Ltd, 1976. Tibawi, A.L. Islamic Education; Its Tradition and Modernization into the Arab National System London: Luzac and Company Ltd, 1979. Trimingham, J. Spencer. The Sofi Orders in Islam. London: Oxford University Press, 1971. Tritton, A.S.. Materials on Muslim Education in the Middle Ages. London: Luzac and Company, 1957. Umari, Akram Dhiyauddin. Masyarakat Madani, Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi, ter. Mun'im A. Sirry. Jakarta: Gema Insani Press,1999. Usman, ”Institusi Pendidikan Islam pada Masa Harun alRasyid”, dalam Sejarah Sosial Pendidikan Islam, ed. Suwito dan Fauzan. Jakarta: Kencana, 2005. 187
Dr. Siswanto, M.Pd.I
Voll, John Obert. Islam Continuity and Change in the Modern World. New York: Westview, 1982. Voll, John Obert. "Pembaharuan dan Perubahan dalam Sejarah Islam" dalam Dinamika Kebangunan Islam, Watak, Proses dan Tantangan, ed. John L. Esposito, ter. Bakri Siregar. Jakarta: Rajawali Press,1987. Wahab, Majdi. Kamil al- Muhandis, Mu'jam al-Musthalahat alArabiyyah fi al-Lughah wa al-Adab. Beirut: Maktabah Lubhan,1984. Watt, W. Montgomery. Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990. Watt, W. Montgomery. Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam. Jakarta: P3M, 1987. Watt, W. Montgomery. Islamic Fundamentalism and Modernity London and New York: Routledge,1989. Yatim, Badri. "Muhammad saw. di Madinah" dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, ed. Taufik Abdullah, et.al. Vol.1. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002. Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003. Yunus. Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Hidakarya Agung,1992. Zainal, Suaib. “Perkembangan Umum Pendidikan Islam Abad Pertengahan sampai Sekarang” dalam Sejarah Sosial Pendidikan Islam, ed. Suwito dan Fauzan. Jakarta: Kencana, 2005. Zuhairini, et.al., Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2000. Zuhdi, Masjfuk. Pengantar Ulumul Qur'an Surabaya: Karya Abditama, 1997. 188
Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis
BIOGRAFI PENULIS Siswanto. Lahir di Pamekasan, 15 Pebruari 1978. Pendidikan dasar dan menengah ditempuh di MI. AL-Falah III Larangan, MTs Al-Falah dan MA. Al-Falah Sumber Gayam Kadur Pamekasan. Sedangkan program S1 ditempuh di IAI. Nurul Jadid Paiton Probolinggo pada Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Bahasa Arab. Selesai tahun 2001 sebagai wisudawan terbaik. Selama menjadi mahasiswa, aktif di Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan HMJ Jurusan Pendidikan Bahasa Arab. Menyelesaikan S2 pada Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel dengan konsentrasi Pendidikan Islam (2004). Gelar Doktor diperoleh di PPS IAIN Sunan Ampel Surabaya dengan Konsentrasi Pendidikan Islam (2013). Sejak tahun 2005 diangkat menjadi dosen tetap STAIN Pamekasan dan pada tahun 2012 – sekarang dipercaya sebagai Sekretaris Jurusan Tarbiyah di perguruan tinggi yang sama. Ia juga aktif di beberapa organisasi sosial keagamaan seperti di Nahdlatul Ulama dan Lembaga Pendidikan Maarif NU Cabang Pamekasan. Sebagai seorang akademisi, ia aktif mengisi kajian-kajian keilmuan serta menghasilkan beberapa karya tulis. Di antara karya tulis berupa buku adalah Sejarah Pendidikan Islam (Buku Ajar), Pendidikan Islam dalam Perspektif Filosofis (STAIN Pamekasan Press, 2010), Dinamika Pendidikan Islam (STAIN Pamekasan Press, 2011), Standar Nasional Pendidikan, Konsep dan Aplikasinya di Madrasah (Pustaka Nusantara Yogyakarta, 2011), Pendidikan Islam dalam Dialektika Perubahan (UIN Suka 189
Dr. Siswanto, M.Pd.I
Press Yogyakarta, 2012) dan beberapa artikel yang dimuat di beberapa jurnal seperti Teologi Pendidikan Islam: Diskursus Unity of Knowledge Perspektif Ismail Raj’i Al-Faruqi, Filsafat Progressivisme dan Demokrasi Pendidikan: Menggagas Pembelajaran Demokratis, PTAI Sebagai Basis Pembangunan Moral (Menuju Wawasan Akademik yang Lebih Islami), Meningkatkan Mutu Madrasah (Pendekatan Total Quality Management/TQM), Pendidikan sebagai Paradigma Pembebasan (Telaah Filsafat Pendidikan Paulo Freire), Kebangkitan Madrasah di Dunia Islam (Kajian Sosio-Historis tentang Madrasah Nizhamiyah), Program Sertifikasi Guru: Antara Tuntutan Kesejahteraan dan Kualitas, Rekonstruksi Pendidikan Islam (Menimbang Pemikiran Muhammad Abduh), Pendidikan Agama Berwawasan Rahmatan lil Alamin (Membincang Pendidikan Islam dalam Tantangan Pluralisme Agama), Total Quality Management (TQM): Sebuah Ikhtiar Menciptakan Sekolah Bermutu Terpadu, Model Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah dan sebagainya. Di samping itu, ia telah menghasilkan beberapa penelitian, yaitu: Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di RSBI SMP Negeri Pamekasan (DIPA STAIN Pamekasan 2009), Peningkatan Mutu Pendidikan di Madrasah; Penerapan Manajemen Mutu Terpadu di MAN Pamekasan (DIPA STAIN Pamekasan 2010), Pengembangan Budaya Agama dalam Komunitas Sekolah; Studi Kasus RSBI SMAN 1 Pamekasan (Balitbang Semarang 2010), Strategi Pencapaian Standar Nasional Pendidikan di MA. Al-Amien Putri Prenduan Sumenep (DIPA STAIN 2011), dan Model Pengembangan Pendidikan Karakter pada Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional SMPN 1 Pamekasan (DIPA STAIN 2012), dan Standar Kompetensi Lulusan Pesantren Mu’adalah; Studi Kasus Dirasatul Mu’alimin Islamiyyah Banyuanyar Palengaan Pamekasan (DIPA STAIN 2013) .
190