1
PENDIDIKAN BERBASIS MORAL DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH, KELUARGA, DAN MASYARAKAT Muhammad Turhan Yani●
Abstrak
Dari sekian persoalan pendidikan nasional di Indonesia, ada dua hal mendasar yang sangat penting diperhatikan. Pertama, mengapa anak didik atau bahkan hasil pendidikan (output) di Indonesia masih banyak yang belum mencerminkan kepribadian manusia Indonesia yang bermoral (akhlaq al-karimah). Sebagai contohnya, sering terjadi penyelewengan sosial dan seksual seperti korupsi, penyalagunaan jabatan, konsumsi narkoba, perselingkuhan, pelecehan seksual, pakaian wanita yang serba terbuka, pergaulan bebas, dan lain sebagainya yang dilakukan oleh sebagian anak bangsa, baik pelajar, mahasiswa maupun kalangan dewasa. Kedua, sebagai bentuk tanggung jawab institusi pendidikan (sekolah, keluarga, dan masyarakat) atas berbagai persoalan degradasi moral maka bagaimana implementasi model pendidikan berbasis moral dalam lingkungan tiga institusi pendidikan tersebut. Tulisan ini akan mencoba memberikan kontribusi pemikiran berkaitan dengan persoalan yang diketengahkan.
1. Pendahuluan
Pendidikan harus mempunyai landasan yang jelas dan terarah. Landasan tersebut sebagai acuan atau pedoman dalam proses penyelenggaraan pendidikan, baik dalam institusi pendidikan formal, nonformal maupun informal. Landasan yang jelas dan terarah ini sangat diperlukan sebagai upaya mengantarkan anak didik menuju kedewasaan berpikir, bersikap, dan berperilaku secara terpuji. Dalam tulisan ini yang
●
Penulis adalah dosen jurusan PMP-KN Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya
2
dimaksud landasan pendidikan yang jelas dan terarah adalah pendidikan berbasis moral (akhlak al-karimah). Dewasa ini terdapat sesuatu yang memprihatinkan dalam dunia pendidikan nasional di Indonesia. Dari sekian problem dalam dunia pendidikan, tulisan ini hanya mengkaji salah satu aspek saja, yaitu aspek moralitas (akhlak) yang secara spesifik menyoroti potret anak didik atau bahkan output pendidikan di Indonesia yang akhirakhir ini mengalami degradasi moral. Realitas ini berangkat dari permasalahan mendasar, yaitu (1) mengapa peserta didik dan output pendidikan nasional di Indonesia masih banyak yang belum mencerminkan kepribadian yang bermoral ? (2) bagaimana tanggung jawab dan solusi institusi pendidikan (sekolah, keluarga, dan masyarakat) atas persoalan tersebut dan model pendidikan yang diterapkannya ?. Jika dilihat secara seksama potret dan wajah pendidikan nasional di Indonesia, kurang lebih seperti kaca yang banyak debunya. Dengan kata lain, wajahnya suram, khususnya dalam hal profil dan performan para pelajar dan mahasiswa yang di antara mereka banyak yang tidak lagi mengindahkan ajaran agama, tata susila, dan kesopanan. Hal ini bisa dilihat dalam realitas kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, banyak pelajar dan mahasiswa yang terlibat dalam tindak penyelewengan sosial dan pelecehan seksual, seperti ketergantungan pada narkoba, pencurian, pemerkosaan, pergaulan bebas, free sex, dan lain-lain. Kenyataan pahit tersebut tentu menjadi tanggung jawab berat dunia pendidikan, baik pendidikan dalam konteks formal, nonformal maupun informal. Persoalan ini menjadi tamparan tersendiri bagi dunia pendidikan nasional di Indonesia.
3
2. Pembahasan a. Di Balik Ide Pendidikan Berbasis Moral Ide pendidikan berbasis moral pada dasarnya diilhami oleh sebuah keprihatinan atas realitas anak didik bahkan output pendidikan di Indonesia yang belum sepenuhnya mencerminkan kepribadian yang bermoral (akhlak al-karimah), yakni santun dalam bersikap dan berperilaku. Hal ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang perlu diperbaiki dalam sistem pendidikan kita. Oleh karenanya, sebagai upaya awal perbaikan terhadap sistem pendidikan di Indonesia maka sangat diperlukan adanya landasan pendidikan yang jelas dan terarah yaitu pendidikan berbasis moral. Salah satu kritik yang paling menarik terhadap sistem pendidikan di Indonesia antara lain adalah bahwa pendidikan di Indonesia terlalu mementingkan aspek akademis saja, kurang diimbangi pendidikan karakter, akhlak, moral, budi pekerti, dan mental. Untuk apa menghasilkan anak didik yang pintar, akan tetapi tidak dilengkapi dengan akhlak, moral, dan mentalitas yang baik. Atas dasar itulah, perlu adanya perbaikan dalam sistem pendidikan nasional dengan tujuan mewujudkan dan mengantarkan anak didik agar mempunyai keluasan pengetahuan yang dilandasi nilai-nilai moral sehingga kedalaman ilmu seseorang nantinya dapat dimain-perankan dengan benar. Sebab kedalaman ilmu yang dimiliki seseorang tanpa dilandasi nilainilai moral akan dapat menimbulkan kerugian pada dirinya sendiri dan orang lain.
4
Dalam implementasinya, konsep pendidikan berbasis moral dapat dilakukan oleh semua institusi pendidikan mulai dari sekolah, keluarga sampai masyarakat dengan model atau pendekatan yang beraneka ragam, akan tetapi mempunyai tujuan yang sama yaitu mewujudkan generasi penerus bangsa yang bermoral (berakhlak mulia). Sebab tanpa adanya modal utama “moralitas” ke depan bangsa Indonesia akan terus terpuruk. Hal tersebut sangat logis dan merupakan tanggung jawab berat semua institusi pendidikan, sebab kegelapan nurani masyarakat Indonesia dewasa ini sudah melanda berbagai sektor kehidupan, mulai sektor pemerintahan yang di dalamnya banyak terjadi korupsi, sektor ekspor-impor yang di dalamnya terdapat cara-cara ilegal, bahkan sampai sektor pendidikan. Konon sektor pendidikan diharapkan mampu mengantarkan manusia lebih dewasa dan beradab, dan masyarakat terdidik tersebut diharapkan menjadi teladan bagi masyarakat lainnya, akan tetapi penyelewenganpenyelewengan ternyata juga banyak dilakukan oleh masyarakat terdidik seperti pelajar, mahasiswa, bahkan guru dan dosen. Hal ini tentu sangat memprihatinkan. b. Konsep dan Ilustrasi Pendidikan Berbasis Moral Kajian tentang konsep pendidikan berbasis moral (akhlak al-karimah) sebenarnya berangkat dari sebuah terminologi Islam, yaitu “al-Ta‟dib dan alTarbiyah” yang berarti pendidikan dalam arti luas, yakni pendidikan dalam aspek intelektualitas (akliyah) dan aspek nilai seperti budi pekerti, moral, dan sopan santun (adabiyah). Secara sederhana menurut Muhammad Naquib Al-Attas (lahir tahun
5
1931), istilah al-Ta‟dib dan al-Tarbiyah ini dipahami sebagai suatu upaya peresapan dan penanaman sikap dan perilaku pada diri manusia (anak didik) dalam proses pendidikan. Di samping itu, tatakrama yang selama ini sering terkesampingkan merupakan suatu muatan atau kandungan
yang harus ditanamkan dalam proses
pendidikan. Selanjutnya menurut Al-Attas yang meraih gelar Ph.D dari University of London dalam bidang filsafat Islam ini menyatakan, bahwa penekanan pada tatakrama (adab) yang mencakup sikap dan perilaku dalam proses pendidikan dimaksudkan untuk menjamin bahwa ilmu yang dimiliki seseorang akan dipergunakan secara benar dan tidak diselewengkan oleh pemiliknya. Orientasi pendidikan berbasis moral dalam perspektif Islam pada dasarnya mengarah pada pendidikan yang bercorak moral-religius seperti yang tersirat dalam konsep ta‟dib yaitu memadukan antara ilmu dan amal. Hal yang sama juga pernah digagas dan dibangun oleh Ibnu Maskaweh tokoh, seorang pemikir pendidikan Islam klasik (932-1006 M). Ia menyatakan bahwa konsep pendidikan harus bertumpu pada pendidikan akhlak karena dengan pendidikan bertumpu pada akhlak akan terwujud pribadi susila, berwatak, dan berperilaku luhur. Lebih lanjut menurut Maskaweh setiap materi bidang ilmu harus diarahkan untuk terciptanya akhlak mulia dan juga bisa memberikan makna kejasmanian terhadap ajaran agama yang bernilai kerohanian, seperti perintah shalat dikaitkan dengan kesehatan tubuh, makna filosofis shalat berjamaah sebagai simbol kebersamaan dan persatuan, dan lain sebagainya. Dengan demikian, berbagai bidang
6
ilmu yang diajarkan dalam proses pendidikan seharusnya tidak diajarkan semata-mata karena ilmu itu sendiri atau tujuan akademik semata, akan tetapi juga karena tujuan lain yang lebih substansial, yaitu akhlak yang mulia. Dengan kata lain, setiap bidang ilmu membawa misi moral atau akhlak mulia. Masih dalam kaitan dengan pendidikan berbasis moral (akhlak al-karimah), perlu juga mengacu pada pendapat Ibnu Sina (980-1039) yang oleh dunia Barat dikenal dengan Avicenna. Ia mengatakan, bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan (al-Sa‟adah). Kebahagiaan dicapai secara bertingkat, yaitu kebahagiaan
pribadi,
kebahagiaan
rumah-tangga,
kebahagiaan
masyarakat,
kebahagiaan manusia secara menyeluruh, dan kebahagiaan manusia yang hakiki yaitu kebahagiaan di Akhirat. Selanjutnya menurut Ibnu Sina tujuan pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual, dan budi pekerti. Dari beberapa konsep dan ilustrasi pendidikan berbasis moral sebagaimana dikemukakan oleh para tokoh tersebut di atas, pada dasarnya semuanya berorientasi pada keberhasilan anak didik agar mampu mencerminkan potensi intelektual dan potensi budi pekertinya. Dengan demikian, diharapkan kelak menjadi manusia yang mulia, baik di hadapan Tuhan maupun manusia. Oleh karenanya, dalam proses penilaian terhadap anak didik dalam pendidikan tidak bisa hanya menitikberatkan pada potensi intelektualnya saja, akan tetapi juga harus menitikberatkan pada moralitasnya (akhlak).
7
Kalau kita bercermin pada realitas pendidikan di Indonesia dalam proses penilaian anak didik didik masih banyak yang berkutat pada penilaian aspek kognitif saja, belum secara konkrit melibatkan aspek afektif dan psikomotorik sehingga dalam realitasnya, banyak pelajar dan mahasiswa dinilai dari aspek kognitif berhasil, akan tetapi dari aspek afektif dan psikomotorik belum menunjukkan keberhasilan belajarnya. Padahal yang dinamakan belajar yang sesungguhnya adalah adanya perubahan sikap dan perilaku ke arah yang lebih baik daripada sebelumnya. Dengan modal pendidikan berbasis moral diharapkan anak didik ke depan memiliki keunggulan komparatif dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang dilandasi dan dijiwai oleh kepribadian yang luhur. Sebagai suatu ilustrasi betapa penting karakter seseorang yang dilandasi dengan moralitas (akhlak mulia) daripada hanya sekedar pintar tapi tidak terpuji seperti halnya orang berenang. Seseorang akan menilai orang lain pandai berenang apabila ia mempunyai pengalaman berenang dan bisa mempraktekkannya. Artinya ketika ia dimasukkan ke dalam kolam renang, ia bisa berenang dan tidak tenggelam, bukan dinilai pintarnya dia mengusai teori-teori berenang, akan tetapi ketika dimasukkan ke dalam kolam renang ia tenggelam dan tidak bisa berbuat apa-apa. Demikian pula seseorang akan lebih menghargai orang lain dalam hal sikap dan perilakunya yang terpuji walaupun tidak terlalu pintar daripada orang pintar akan tetapi sikap dan perilakunya tidak benar. Ini menunjukkan betapa penting sikap dan perlaku terpuji di hadapan manusia, terelebih di hadapan Tuhan.
8
c. Model dan Kendala Pendidikan Berbasis Moral di Lingkungan Sekolah Dalam sistem persekolahan, pendidikan berbasis moral dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum semua mata pelajaran atau bidang studi dengan cara memasukkan nilai-nilai moral pada pokok bahasan, khususnya pada pokok bahasan bidang studi yang mempunyai relevansi sangat tinggi seperti Pendidikan Agama, PPKn, bahasa Indonesia, Biologi, Fisika, Matematika, dan lain sebagainya. Menurut penulis ini lebih efektif walaupun ada sebagian pihak yang berpendapat perlu mata pelajaran budi pekerti tersendiri. Model integrasi ini merupakan tugas berat guru karena ia dituntut tidak hanya berhasil mengantarkan anak didiknya dari aspek kognitif saja, akan tetapi juga dituntut berhasil dari aspek afektif dan psikomotorik melalui keteladanan guru. Dengan pendekatan ini, para guru mengajarkan substansi mata pelajaran atau bidang studinya sekaligus menanamkan nilai-nilai moral atau budi pekerti yang terkandung di dalam mata pelajaran tersebut, dengan argumentasi bahwa setiap mata pelajaran pada hakikatnya selalu mengandung dua aspek yang tidak dapat dipisahkan antara satu dan lainnya, yaitu aspek materi dan aspek nilai. Jika seorang guru dan dosen telah mengintegrasikan keduanya maka pada hakikatnya ia telah melaksanakan proses pembelajaran dan pendidikan dalam arti yang sebenarnya. Di sinilah salah satu letak kelemahan para guru atau dosen di Indonesia pada umumnya, yaitu lebih mengutamakan pada aspek penyampaian materi (transfer of knowledge) saja dan menomorduakan aspek yang justru lebih penting, yakni penanaman nilai-nilai luhur (transfer of value).
9
Model pengintegrasian nilai-nilai budi pekerti atau moral pada sistem persekolahan dapat dilakukan dalam proses pembelajaran mulai jenjang SD, SMP, SMA sampai perguruan tinggi. Hal ini perlu dilakukan sebagai salah satu tugas guru dan dosen, yakni mengajar dan sekaligus mendidik anak bangsa menuju kedewasaan berpikir, bersikap, dan berperilaku yang dilandasi dan dijiwai moralitas (akhlak alkarimah). Oleh karenanya, dalam praktek pembelajaran, tidak monoton dilakukan dalam bentuk ceramah, melainkan lebih mengutamakan kepada peneladanan diri dan pelatihan pembentukan karakter . Integrasi pendidikan budi pekerti dalam mata pelajaran merupakan bagian dari wujud pendidikan berbasis moral dalam perencanaan pembelajaran. Upaya ini perlu ditindaklanjuti dengan kegiatan pelaksanaan pembelajaran yang memungkinkan tercapainya keterpaduan antara penyajian materi dan nilai-nilai luhur. Oleh karena itu, dalam integrasi ini harus dititikberatkan pada aspek sikap, perilaku, dan kognitif secara terpadu. Tujuannya adalah terbentuknya sosok anak didik yang memiliki karakter dan kepribadian yang dilandasi dengan keimanan dan ketakwaan. Pembentukan sikap dan perilaku terpuji memerlukan bentuk pembelajaran yang mampu memberikan peluang penghayatan atau internalisasi nilai. Berbeda dengan transformasi ilmu pengetahuan yang dapat dilakukan seketika dan sewaktuwaktu, penghayatan atau internalisasi nilai merupakan proses yang memerlukan pengulangan dan kesinambungan. Untuk itu, dalam proses pembelajaran harus memadukan antara penyajian materi dan penerapan nilai-nilai moral dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal penilaian mengenai moralitas anak didik, guru dan dosen
10
dapat melakukan melalui alat penilaian non tes seperti wawancara, pengamatan, skala sikap, dan lain-lain yang memungkinkan guru dan dosen mendapatkan informasi yang sebanyak-banyaknya dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dan kepedulian terhadap proses pendidikan. Adapaun terkait dengan kendala pendidikan berbasis moral di lingkungan sekolah di antaranya adalah paradigma guru dalam mengukur keberhasilan anak didik masih banyak yang menitikberatkan pada aspek kognitif saja, sementara aspek afektif dan psikomotorik masih banyak yang dikesampingkan. Di samping itu juga belum siapnya guru dan dosen untuk memberikan keteladanan sikap dan perilaku kepada anak didiknya. Dalam kenyataannya selama ini, sebagian paradigma guru dan dosen kalau sudah selesai mengajar berarti selesai pula tugasnya, padahal masih ada tugas yang lebih substansial yaitu mendidik melalui keteladanan sikap dan perilaku yang diwujudkan dalam bertutur kata, bersikap, dan berperilaku. d. Model dan Kendala Pendidikan Berbasis Moral di Lingkungan Keluarga Keluarga merupakan satuan unit dari masyarakat. Ia menjadi payung pertama bagi anak didik, dari keluargalah sebenarnya anak memperoleh pendidikan yang pertama kali. Di samping itu, kesempatan berinteraksi dalam keluarga juga lebih banyak, akan tetapi tidak semua keluarga bisa mewujudkan situasi dan kondisi seperti itu. Hal ini juga bisa disebabkan orang tua sibuk bekerja, atau anak banyak bermain di luar, dan sebagainya. Atau kedua-duanya sibuk sehingga komunikasi dalam keluarga tidak efektif. Padahal pondasi pertama dalam pendidikan berbasis moral adalah ada di keluarga.
11
Keluarga di sini banyak dimain-perankan oleh ibu-ayah atau orang yang dituakan dalam keluarga, mereka mempunyai tanggung jawab besar dalam mengantarkan anak-anaknya menjadi generasi penerus yang mempunyai kepribadian luhur atau bermoral (akhlak al-karimah). Ibu-ayah atau orang yang dituakan dalam keluarga merupakan cermin kehidupan bagi anak-anaknya. Kalau mereka menginginkan anak-anaknya menjadi baik, maka ibu-ayahlah yang pertama harus menjadi baik dulu sehingga di sinilah dibutuhkan keteladanan sikap dan perilaku terpuji dari ibu-ayah atau orang yang dituakan dalam keluarga. Dengan demikian, model pendidikan berbasis moral di keluarga agar bisa tercapai secara efektif maka diperlukan keteladanan atau pemodelan dari orang tua sebagai cermin kehidupan. Ini memang menuntut orang tua untuk menjadi teladan bagi anak-anaknya karena orang tualah yang lebih tahu karakter putra-putrinya. Adapun terkait kendala pendidikan berbasis moral di lingkungan keluarga adalah masih banyaknya ibu-ayah atau orang yang dituakan dalam keluarga belum bisa memberikan keteladanan sikap dan perilaku bagi anak-anaknya. Sebagai contoh ketika orang tua menyuruh anaknya melaksanakan shalat, akan tetapi ia sendiri tidak melaksanakannya. Atau bahkan di dalam lingkungan keluarga tidak kondusif tertanamnya nilai-nilai moral (akhlak) seperti tidak adanya “unggah-ungguh” antara anak dan orang tua, terlalu terpesona dengan kegemerlapan duniawi, hidup berfoyafoya, dan lain sebagainya. Tanggungjawab institusi pendidikan, baik institusi sekolah, keluarga maupun masyarakat semuanya mempuyai peran dan tanggung jawab yang sama dalam
12
menghasilkan anak didik yang bermoral sehingga di sinilah ketiga institusi tersebut perlu membangun kerjasama yang baik. Model pendidikan berbasis moral yang dilakukan oleh ketiga institusi pendidikan tersebut akan bisa berhasil secara efektif apabila dilakukan melalui pendekatan keteladanan sikap dan perilaku (pemodelan) dari ketiga pioner institusi pendidikan yaitu guru, dan orang tua, tokoh agama atau tokoh masyarakat.. Akan tetapi dalam kenyataannya, keteladanan sikap dan perilaku (pemodelan) itulah justru yang menjadi kendala bagi pendidikan berbasis moral karena selama ini masih banyak guru, orang tua, dan tokoh masyarakat yang belum bisa menjadi model dan cermin kehidupan bagi anak-anaknya. e. Model dan Kendala Pendidikan Berbasis Moral di Lingkungan Masyarakat Di tengah-tengah masyarakat idealnya harus tercermin nilai-nilai moral yang harus tergambar dalam pribadi tokoh agama, tokoh masyarakat, dan masyarakat pada umumnya sehingga memungkinkan anak didik bisa menjadikan masyarakat sebagai salah satu sumber belajar dan laboratorium penanaman pendidikan moral. Akan tetapi idealitas ini terkadang tidak ditemui di masyarakat, apalagi kalau masyarakatnya tergolong acuh tak acuk dengan nilai-nilai ajaran agama dan moral, maka sangat sulit bagi anak didik untuk berharap dapat pendidikan moral dari masyarakat. Model pendidikan berbasis moral di masyarakat dilakukan dengan cara menimba dan menggali nilai-nilai moral yang ada di masyarakat. Masyarakat mempunyai peran penting dalam ikut serta mengantarkan keberhasilan anak didik untuk mempunyai sikap dan perilaku terpuji. Masyarakat di sini dalam arti lebih luas, bisa masyarakat umum dan juga bisa tokoh agama atau tokoh masyarakat. Dengan
13
demikian, partisipasi masyarakat akan pendidikan moral pada generasi penerus bangsa sangat mutlak dibutuhkan sehingga konsekuensinya masyarakat juga harus menjadi cermin kehidupan bagi anak didik yang ditunjukkan dalam kehidupan seharihari melalui keteladanan sikap dan perilaku terpuji dari semua komponen masyarakat. Optimalisasi peran masyarakat dalam proses pendidikan sangat membantu sekolah dalam menanamkan nilai-nilai moral (akhlak) sehingga di sinilah dibutuhkan kerjasama yang baik antara sekolah dan masyarakat. Adanya komite sekolah merupakan salah satu upaya partisipasi masyarakat terhadap sekolah dan upaya sekolah mendekati masyarakat. Akan tetapi kenyataannya yang sering dibicarakan oleh kedua belah pihak adalah mengenai urusan yang bersifat materi saja seperti biaya sekolah, kebutuhan fisik, bukan hal-hal yang bersifat lebih substansial seperti bagaimana mengantisipasi kemerosotan moral anak didik, apa yang harus dilakukan oleh sekolah, orang tua, dan masyarakat, dan lain sebagainya. Adapaun kendala yang ditemui di lapangan dalam membangun pendidikan berbasis moral di lingkungan masyarakat adalah kurang kondusifnya lingkungan dalam masyarakat itu sendiri, seperti (1) masyarakat yang menjadi lingkungan tempat tinggal anak didik kurang peduli terhadap ajaran agama dan nilai-nilai moral, (2) kurang adanya keteladanan dari tokoh agama dan tokoh masyarakat, (3) pergaulan teman yang terlalu bebas, dan (4) perkembangan teknologi-informasi yang salah dalam penggunaannya seperti internet, TV dan lain sebagainya.
14
e. Refleksi dan Solusi Dalam pendidikan formal, idealnya penilaian dalam proses pendidikan mencakup tiga dimensi, yaitu dimensi keluasan pengetahuan, dimensi keshalehan vertikal, dan dimensi keshalehan horisontal. Ini artinya, bahwa hasil pendidikan tidak hanya mencerminkan keluasan pengetahuan yang diperoleh anak didik, akan tetapi juga mencerminkan sosok pribadi yang shaleh, yakni sosok pribadi yang memiliki kesadaran untuk mengabdi kepada Tuhannya dan juga berperilaku yang terpuji dengan sesama manusia. Itulah gambaran dari konsep pendidikan berbasis moral. Selama ini yang terjadi dalam dunia pendidikan Indonesia adalah peserta didik atau output pendidikan berhasil secara keilmuan, akan tetapi tidak berhasil mencerminkan sosok pribadi yang shaleh (Insan kamil). Kenyataan ini bisa dilihat masih banyaknya kalangan pelajar dan mahasiswa atau bahkan guru dan dosen yang notabene sebagai masyarakat terdidik terlibat dalam tindak penyelewengan sosial dan seksual, mulai dari konsumsi narkoba, perselingkuhan, pelecehan seksual, pergaulan bebas, dan lain sebagainya. Menurut penulis, kegagalan pendidikan di Indonesia yang belum mampu mencerminkan peserta didik dan output pendidikan yang bermoral diduga disebabkan adanya kekeliruan dalam tiga hal, pertama, tolok ukur yang dipakai dalam menilai keberhasilan peserta didik, kedua, paradigma guru
dan dosen dalam proses
pembelajaran, dan ketiga, partisipasi orang tua (keluarga) dan masyarakat. Sebagai upaya untuk mewujudkan anak didik yang bermoral (akhlaq al-karimah), maka
15
ketiga hal tersebut perlu diperbaiki melalui paradigma baru, yaitu (1) dalam menilai keberhasilan anak didik harus menitikberatkan pada aspek afektif, psikomotorik, dan kognitif secara total, bukan parsial, (2) paradigma guru sebagai pendidik harus memadukan secara total antara penanaman nilai-nilai moral (transfer of value) melalui keteladanan sikap dan perilaku serta pemberian materi keilmuan (transfer of knowledge), dan (3) orang tua dan masyarakat perlu secara aktif mendidik putraputrinya. Untuk bisa mengantarkan anak didik menuju kedewasaan berpikir, bersikap, dan berperilaku yang terpuji (akhlaq al-karimah), maka sangat diperlukan kerjasama intensif antara sekolah, orang tua (keluarga), dan masyarakat karena pada dasarnya ketiga institusi pendidikan tersebut juga sama-sama sebagai stakeholders dari output pendidikan dan sebagai pihak yang bertanggungjawab. Konsep pendidikan berbasis moral dapat dilakukan oleh semua institusi pendidikan mulai dari sekolah, masyarakat sampai keluarga dengan model atau pendekatan yang beraneka ragam, akan tetapi mempunyai tujuan yang sama yaitu mewujudkan generasi penerus bangsa yang bermoral (berakhlak mulia). Sebab tanpa adanya modal utama “akhlak mulia” ke depan bangsa Indonesia akan terus terpuruk disebabkan oleh degradasi moral generasi penerus bangsanya. 3. Simpulan Sebagai catatan penutup dari tulisan ini ternyata menjadi seorang pendidik, baik di sekolah, keluarga maupun di masyarakat tidaklah ringan tanggungjawabnya
16
karena mereka harus siap menjadi cermin kehidupan dan sekaligus „driver‟ bagi semua anak didik. Keberhasilan anak didik dalam berbagai aspeknya banyak ditentukan oleh tiga pioner institusi pendidikan ini. Mereka diharapkan mampu memberikan petunjuk arah dan memilihkan jalan yang tepat bagi anak-anak didik dalam kehidupannya sehari-hari melalui keteladanan, baik dalam bertutur kata, bergaul, bersikap maupun bertindak.
17
Sumber Rujukan
Al-Attas, Muhammad Naquib, 1994, The Concept of Education in Islam : A Framework for an Islamic Philoshophy of Education, terj. Haidar Baqir, Bandung : Mizan. An-Nahlawi, Abdurrahman, 1992, Prinsip-prinsip dan Metoda Pendidikan Islam, Bandung : CV. Diponegoro. Busyairi, Majidi, 1977, Konsep Pendidikan Para Filosof Muslim, Yogyakarta : AlAmin Press. Daradjat, Zakiyah, dkk, 1996, Dasar-dasar Agama Islam, Jakarta : PT. Bulan Bintang. Hidayat, Komaruddin, dkk, 2000, Islam untuk Disiplin Ilmu Pendidikan, Jakarta : Depag RI, --------------------------------, 2000, Buku Teks Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum, Jakarta : Depag RI. Mudlor, Ahmad, 1995, Etika dalam Islam, Surabaya : Al-Ikhlas. Majalah Al-Falah, 2001, Mengajarkan Islam Pada Anak, Surabaya : Yayasan AlFalah. ---------------------, 2001, Menjadi Orangtua Sukses, Surabaya : Yayasan Al-Falah. ---------------------, 2002, Rumahku-Sekolahku, Surabaya : Yayasan Al-Falah. Nata, Abudin, 1995, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Sidi, Indra Djati, 2003, Model Pengintegrasian Budi Pekerti ke Dalam Pendidikan Agama Islam,Jakarta : Dikdasmen. Thoyib, Ruswan, 1999, Pemikiran Pendidikan Islam : Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Semarang : IAIN Walisongo. Tafsir, Ahmad, 1994, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung : Remaja Rosdakarya.