PENDIDIKAN BERBASIS ALAM: Refleksi atas pendidikan di Qaryah Thayyibah, Kalibening, Kota Salatiga Sri Suparwi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga
Abstrack The Alternative Junior High School (SMP Alternatif) Qaryah Thayyibah (QT) built in Kalibening Village, Salatiga Town, and initiated by Bahrudin is to give the have-not peoples in his village to access inexpensive and qualified education. The learning activities are conducted in one of his neighbors’ house and based upon the communitybased learning principles by implementing the following ideas: freedom, unilateral-sideness, participation, needbased curriculum, networking, student-centered evaluation, and self-confidence. In addition, it also applies naturalbased learning. The use of natural environment as the learning medium makes students aware of their environment and be able to implement what they have learned out of the theoretical assumptions. The existence of teachers in the school is more as motivators, supporters, and appreciators of students’ work. The learning strategies developed in the school are: 1) Active Learning, 2) Student-centered learning, 3) Progressive curriculum model, 4) Intensive teacher roles, and 5) The availability of learning facilities.
Keywords: History of Alternative Junior High School (SMP Alternatif) Qaryah Thoyyibah, the development of learning strategies, positive side of Homeschooling. Pendahuluan “Akan datang suatu ketika guru manusia adalah alam, Kemanusiaan adalah kurikulumnya, Dan kehidupan adalah sekolahnya.” (Kahlil Gibran)
Goresan Kahlil Gibran, sastrawan besar Libanon di atas terasa faktual di tengah-tengah krisis pendidikan di Indonesia. Pendidikan yang seharusnya mencerdaskan, membebaskan , dan memanusiakan manusia dari belenggu kebodohan dan kemiskinan, pada kenyataannya menjadi ladang pembodohan, perbudakan dan sarana yang paling absah untuk membunuh sisi kemanusiaan seseorang. Pendidikan benar-benar telah kehilangan spirit sucinya. Pendidikan merupakan aset bangsa yang paling berharga, di mana bangsa Indonesia memperingati hari pendidikan nasional setiap tanggal 2 Mei. Perayaan ini menegaskan bahwa pendidikan merupakan modal sosial untuk membangun negeri ini. Seyogyanya pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, membuat rakyat Indonesia semakin cerdas baik secara intelektual maupun moral. Tapi ironisnya, pendidikan yang semula diharapkan menjadi bekal untuk membangun masyarakat Indonesia baru yang tercerahkan, justru sebaliknya menjadi percobaan yang membuat bangsa ini kian terpuruk lebih dalam dan mengerikan. Darmaningtyas (2007) mengatakan terdapat beberapa hal yang membuat pendidikan melenceng semakin jauh dari cita-cita idealnya sebagai wahana pembelajaran dan
pemberdayaan. Pertama, kecenderungan pendidikan yang semakin elitis dan tak terjangkau oleh rakyat miskin. Dalam hal ini pemerintah dituding banyak melahirkan kebijakan yang diskriminatif yang justru menyulitkan kaum miskin untuk mengenyam pendidikan. Pemerintah hanya mengakomodir kepentingan pemilik modal dan orang-orang kaya yang secara finansial. Kedua, manajemen pendidikan yang masih birokratis dan hegemonik. Sistem pendidikan yang ada saat ini bukanlah sistem yang memberdayakan melainkan mengekang dan semakin membuat peserta didik tidak mampu menggali potensi dirinya yang terdalam. Pendidikan telah membunuh kreativitas anak didik. Hal ini terbukti pada berbagai kebijakan yang lahir tidak mendukung terwujudnya pendidikan yang emansipatoris karena kebijakan tersebut lahir semata-mata untuk mendukung status quo dan memapankan kesenjangan sosial. Sebuah lembaga pendidikan yang lazim kita sebut dengan sekolah adalah tempat untuk melihat sejauhmana tujuan pendidikan nasional itu telah tercapai, meskipun memang tidak ada alat ukur pasti yang mampu untuk menjawab pertanyaan di atas tapi kita dapat melihatnya melalui praktek-praktek pembelajaran serta output dari sekolah itu sendiri. Menurut Shindunata (Basis, 2008) praktek-praktek pendidikan di sekolah dewasa ini berjalan seperti mesin turbo. Siswa dipacu untuk menyerap ilmu sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat-singkatnya. Pendidikan berjalan sangat mekanis dan menganut prinsip profit oriented (bisnis). Sekolah diorganisasikan seperti target utamanya adalah efisiensi. Akibatnya anak-anak hanya dididik untuk menjadi instrumen untuk meraih efisiensi. Model pendidikan semacam ini berimbas pada pola pembelajaran yang diterapkan di sekolah. Siswa hanya diharuskan menghafal tanpa mengetahui makna dari materi-materi yang dihafal. Tidak adanya proses dialog atau komunikasi antar siswa dengan guru. Pada gilirannya, proses pembelajaran semacam ini menjadi wahana pembelengguan kreativitas siswa. Siswa dibebani dengan tugas-tugas yang sebetulnya mereka sendiri tidak memahami makna dari tugas itu. Selain itu, sekolah lebih menitikberatkan pada hasil bukan proses, sehingga seringkali bukan hanya siswa (guru, pengelola) menghalalkan segala cara untuk mencapai hasil yang diinginkan. Berdasarkan analisis Pieree Bourdieu (Basis, 2008; 12) salah seorang tokoh pendidikan Perancis menyatakan bahwa sekolah saat ini hanya menjadi lembaga reproduksi kesenjangan sosial. Kelas atas lebih diuntungkan oleh sistem sekolah dan lebih siap bersaing karena budaya sekolah lebih dekat dengan habitus mereka, sedangkan mereka yang dari kalangan bawah sudah mengalami banyak hambatan, apalagi pembelajaran untuk pengembangan intelektual dan kepribadian. Oleh karena itu pendidikan seharusnya memiliki tiga unsur yaitu pengajar, pelajar dan realitas dunia atau kondisi sosial masyarakat sekitar.(Topatimasang, 2005) Layanan pendidikan yang diharapkan oleh masyarakat sebagai konsumen jasa pendidikan pada saat ini setidaknya memenuhi delapan ciri sebagai berikut: 1) membangun proses belajar yang berpusat pada anak, 2). inovatif dan luwes, 3). dipijakkan pada bakat dan minat, 4). anak yang beragam, dan unik, serta multi-cerdas, 5). mendorong kebiasaan belajar yang sehat, 6).
membangun kreatifitas, dan tanggungjawab, 7). membangun toleransi, 8). terjangkau secara finansial dan relevan dengan kebutuhan peserta didik. Sistem persekolahan yang terbangun saat ini belum mampu menunjukkan ciri-ciri tersebut secara nyata. Bahkan ada kecenderungan negatif atas ciri-ciri tersebut. Sekolah masih terjebak dalam formalisme yang luar biasa, dengan jadwal belajar yang sangat kaku, dan amat berorientasi pada kurikulum dan guru, bukan pada anak. Padahal, seharusnya kurikulum dan guru diorientasikan bagi kepentingan terbesar peserta didik sebagai konsumen dengan kebutuhan yang unik sekaligus beragam. Sistem persekolahan yang kaku ini telah mengakibatkan tingkat putus-sekolah yang tinggi, tidak hanya di kawasan perkotaan, namun terutama justru di daearah pedesaan. Bahkan ada kecenderungan, sekolah justru mengasingkan anak-anak ini dari lingkungan mereka sehari-hari. Karena banyak guru yang tidak berkompeten, KTSP sebagai strategi untuk membangun kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan anak boleh dikatakan gagal dilaksanakan di lapangan. Melihat kondisi realitas pendidikan di sekolah dewasa ini yang sedemikian parahnya, menimbulkan rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap kualitas pendidikan, selain itu pendidikan semakin tidak terjangkau oleh mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Oleh sebab itu akhirnya masyarakat mulai mencari alternatif untuk pendidikan anak-anak mereka sebagai upaya untuk menjembatani dan mereorientasikan pendidikan di negeri ini. Salah satu pendidikan Homeschooling yang diterapkan di Indonesia adalah SMP Alternatif Qaryah Thayyibah yang terletak di Desa Kalibening Kotamadia Salatiga. Sekolah ini dilaksanakan di rumah salah satu penduduk desa dengan menggunakan sistem pendidikan berbasis komunitas, artinya segala sesuatunya didasarkan pada kebutuhan komunitas. Dengan demikian, pendidikan berbasis komunitas adalah satu solusi untuk masyarakat Indonesia yang masih kental dengan kultur kekerabatan. Pendidikan yang berbasis komunitas ini memiliki prinsip-prinsip dasar yang diterapkan yaitu: membebaskan, keberpihakan, partisipatif, kurikulum berbasis kebutuhan, kerjasama, sistem evaluasi berpusat pada subyek didik, serta kepercayaan diri. Disamping itu, pendidikan ini berbasis pada alam. Penggunaan alam sebagai media belajar diharapkan agar kelak siswa jadi lebih aware dengan lingkungannya dan bisa mengaplikasikan pengetahuan yang dipelajari, tidak hanya sebatas teori saja. Makalah ini berusaha mengkaji tentang pendidikan berbasis alam sebagai refleksi pendidikan Alternatif SMP Qaryah Thayyibah di Kalibening Kotamadia Salatiga. Sejarah Qaryah Thayyibah Ide pembuatan SMP Alternatif Qaryah Thayyibah (QT) di Desa Kalibening, Salatiga, berangkat dari keprihatinan Bahrudin, warga desa setempat yang kini menjabat sebagai kepala di sekolah tersebut, atas mahalnya biaya pendidikan. Masyarakat setempat yang hidup dalam kemiskinan, tidak akan mampu menyekolahkan anak-anaknya. Untuk mencukupi kebutuhan
sehari-hari saja sulit, apalagi menyediakan biaya sekolah, buku, seragam dan transportasi. Akibatnya banyak anak-anak di desa Kalibening yang hanya bersekolah sampai SD saja , itupun banyak dari mereka yang tidak lulus. Melihat kenyataan ini, Bahruddin menginginkan adanya perubahan dan dia pun segera memutuskan untuk mendirikan sekolah setingkat SMP untuk membantu warga miskin mengakses pendidikan murah dan berkualitas. Melalui musyawarah dengan warga setempat, disepakati bersama untuk membuat Sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah yang kurikulumnya tetap didasarkan pada kurikulum nasional (kurnas). Hanya saja pada Sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah ini muatan pengetahuan teknologi informasi dan bahasa inggris mendapat porsi yang lebih banyak. Meski mengadopsi kurikulum nasional, Bahrudin lebih menggunakan pendekatan pendidikan yang membebaskan, artinya siswa diberi kebebasan untuk berperan aktif dalam kelas. Para siswa adalah anak-anak dari buruh tani setempat yang begitu lantang berbicara di kelas. Mereka berani mengemukakan pendapatnya sendiri. Tentunya sikap-sikap seperti ini sangat baik sebagai modal mereka menjalani kompetisi kehidupan nanti. Dengan model pembelajaran seperti ini, satu sisi siswa merasa sangat senang dan di sisi lain orang tua siswa pun merasa sangat antusias menyekolahkan anaknya di sekolah ini. Disamping jaraknya yang sangat dekat dengan rumah penduduk, sekolah ini juga menerapkan biaya yang sangat murah. Berdasarkan kesepakatan dengan warga. Setiap orangtua siswa sanggup memberikan sumbangan sebesar Rp. 10.000,- perbulannya. Siswa mendapatkan fasilitas berupa 1 unit komputer, gitar, sepasang kamus bahasa inggris-indonesia dan indonesia-inggris, serta satu paket pelajaran bahasa inggris BBC di rumahnya, meskipun semuanya tidak gratis bagi siswa, tapi anak-anak mendapatkan semua itu dengan mengelola uang saku bersama-sama sebesar Rp. 3000,- yang diterima anak dari orang tuanya setiap hari. Uang sebesar Rp. 1000,dipergunakan untuk mengangsur pembelian komputer, untuk sarapan pagi (minum susu, madu, dan makanan kecil setiap hari) Rp. 1000,- sedangkan Rp. 1000,- lagi untuk ditabung di sekolah. Sekolah alternatif ini menempati dua ruangan di rumah Bahrudin, yang sebelumnya digunakan sebagai sekretariat organisasi tani Qaryah Thayyibah. Jumlah guru yang mengajar sembilan orang dan sebagian besar diantaranya para aktivis petani. Fasilitas internet di sekolah ini dapat diakses selama 24 jam, dan fasilitas internet ini diperoleh dari seorang pengusaha internet di salatiga yang tertarik dengan gagasan Bahruddin. SMP Alternatif Qaryah Thayyibah ini merupakan pengembangan dari konsep bersekolah di rumah, yang dalam istilah bahasa inggrisnya populer dengan sebutan homeschooling yang berbasis komunitas karena segala sesuatunya didasarkan pada kebutuhan komunitas. Dengan demikian, pendidikan berbasis komunitas adalah merupakan satu solusi untuk masyarakat Indonesia yang masih kental dengan kultur kekerabatan. Pendidikan yang berbasis komunitas ini memiliki prinsip-prinsip dasar yang diterapkan yaitu: membebaskan, keterpihakan, partisipatif,
kurikulum berbasis kebutuhan, kerjasama, sistem evaluasi berpusat pada subyek didik, serta kepercayaan diri. Pembahasan Strategi Pengembangan Pembelajaran 1. Active Learning Active Learning merupakan suatu istilah yang digunakan di SMP Alternatif Qaryah Thayyibah dalam kegiatan pembelajarannya, active learning disini adalah suatu metode pembelajaran dengan memposisikan siswa sebagai subyek dalam pembelajarannya. Sistem ini bermuara pada filsafat kontruksionisme sebagai landasan berpikir aktif dimana pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit (tidak sekonyong-konyong), menghadapkan siswa pada masalah dan pada tahapan selanjutnya, siswa diajarkan secara aktif untuk berusaha memecahkan setiap permasalahnya sendiri sehingga guru hanya berperan sebagai fasilitator kebutuhan siswa dalam proses pembelajaran. Pendidikan qaryah Thayyibah juga berbasis pada alam, Penggunaan alam sebagai media belajar diharapkan agar kelak anak atau siswa jadi lebih aware dengan lingkungannya dan tahu aplikasi dari pengetahuan yang dipelajari tidak hanya sebatas teori. Dengan mengalami langsung siswa diharapkan belajar dengan lebih bersemangat, tidak bosan, dan lebih aktif. 2. Siswa adalah aktor yang bebas Pendidikan di SMP Alternatif Qaryah Thayyibah, siswa diberi kepercayaan untuk merasa bangga dengan apa yang dimilikinya, tanpa harus merasa terpaksa atau dipaksa, dan siswa diupayakan untuk memaksimalkan sikap adaptif pada akhir dari seluruh proses pembelajaran mereka. Atas kesadaran ini siswa dikenalkan dengan bahasa inggris sebagai bahasa komunikasi yang tidak dianggap sebagai hal yang sangat istimewa, tetapi bahasa hanyalah alat komunikasi yang digunakan oleh sebuah kebudayaan. Namun demikian ketika mereka memilih bahasa inggris dipergunakan sebagai bahasa kedua setelah bahasa Indonesia, hal ini karena melihat kenyataan sosial bahwa bahasa internasional ialah bahasa Inggris, sehingga ketika siswa belajar bahasa Inggris adalah sebuah kebutuhan komunikasi dalam pergaulan dalam sekup Internasional. 3. Kurikulum: Merenda sebuah Kebekuan Di SMP Alternatif Qaryah Thayyibah, kurikulum sekolah yang menjadi standar nasional dilihat sebagai standar kompetensi atau tujuan pembelajaran, yang kemudian dikembangkan dalam metode dan strategi pembelajaran aktif yang menjadi pijakannya. Disamping itu, ada beberapa kurikulum yang dikembangkan secara optimal seperti bahasa, tidak hanya diajarkan secara teoritik semata melainkan dipraktekkan secara langsung. Penggunaan situasi kelas yang
kondusif dalam bentuk interaksi partisipatif, dimana siswa tidak hanya direduksi sebagai pelajar yang pasif melainkan bisa juga mengajar dalam bentuk penyampaian pendapat dengan bebas dan terbuka sehingga suasana dialogis dapat terbangun dalam waktu yang terbatas antara suasana di kelas dan di luar kelas. 4. Peran guru di Sekolah Peran guru di Sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah sebagai teman atau sahabat yang menfasilitasi siswa dalam proses pembelajaran. Hal mendasar yang dikembangkan di sekolah ini adalah mengembalikan pembelajaran pada pemilik aslinya yaitu para siswa. Situasi pendidikan yang diterapkan adalah dengan menciptakan kelas yang tidak kaku, tidak penuh intimidasi, karena hal itu tidak akan menghasilkan kelas yang dinamis dan penuh kreativitas. Menurut Rogers (Munandar, 1999) kreativitas memang tidak bisa dipaksakan, tetapi dimungkinkan untuk tumbuh. Penciptaan kondisi keamanan dan kebebasan psikolologis memungkinkan timbulnya kreativitas. Kreativitas akan dapat dihasilkan jika siswa penuh percaya diri dan tanpa rasa takut. Dalam situasi yang penuh persahabatan dan keriangan semua potensi kreatif sudah menemukan wajah awalnya dalam kompleksitas siswa yang unik. Hal ini juga menyebabkan minimnya tingkat pelanggaran siswa, karena semua diatur dan disepakati oleh dan untuk para siswa sendiri secara partisipatif, sehingga guru tidak harus bertindak melewati batas kewenangannya yaitu selalu memarahi dan menghukum. 5. Sarana dan Prasarana Pembelajaran Sarana dan prasarana yang ada di Sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah semuanya bersifat sederhana, tidak ada ruangan ber-AC atau laboratorium dengan segenap peralatan canggih, karena sekolah ini tidak menyandarkan mutunya pada berbagai fasilitas belajar, akan tetapi lebih kepada proses pembelajaran itu sendiri. Akan tetapi di Sekolah ini tersedia fasilitas internet yang memungkinkan siswa maupun guru bisa menggali berbagai informasi yang bersifat global dan dapat berkomunikasi dengan dunia Internasional. SMP alternatif Qaryah Thayyibah membuktikan diri sebagai Sekolah untuk semua kalangan (education for all) Artinya, sekolah bermutu untuk semua siswa, tidak memandang ia berlatar belakang miskin atau kaya. Hal lain yang terpenting disini adalah dengan penggunaan komunitas sebagai basis pmbelajaran. Sebenarnya banyak sekali fasilitas yang didapat dengan sangat murah bahkan tidak menggunakan biaya. Inilah alternatif dari sebuah alternatif yang ideal bagi masyarakat Indonesia. Kegiatan Belajar Mengajar Sejak bulan juli 2003, 12 anak yang menjalani pembelajaran di SMP Alternatif Qaryah Thayyibah ini telah sampai pada tahun ke empat (memasuki tingkat SMA) karena ada tambahan dari kelas reguler kini mereka berjumlah 19 anak, sementara yang di SMP kini ada 75 anak
sehingga total murid di Qaryah Thayyibah kini 94 anak. Dari 19 anak yang berada di SMA, mereka menamai kelompok belajarnya dengan nama SMU (Sekolah Menengah Universal), kadang-kadang kelas 4 SLTP Alternatif dan yang paling sering dengan nama creative kids. Penamaan ini terinspirasi oleh anak-anak kelas satu yang memberi nama Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari diikuti kelas 2 dengan nama full colour dan paradise baru creative kids dan terakhir kelas 3 dengan nama Ideals. Nama ini secara perlahan tapi pasti akan menghilangkan tingkatan kelas maupun jenjang SMP, SMA, dan PT. Mereka mulai tidak memperdulikan lagi kelasnya, karena memang tidak ada istilah tidak naik kelas atau tinggal kelas, bahkan di creative kids sendiri terbagi-bagi lagi menjadi 15 jurusan dengan masing-masing anak bebas mengikuti jurusan apa saja yang diinginkan atau menciptakan jurusan baru. Anak-anak cretive kids sudah menunjukkan kemandirian total. Mereka bebas belajar pada apa saja yang diinginkan karena belajar tidak ada istilah tamat. Sumber pembelajaran telah tersedia tanpa batas bahkan persoalan-persoalan kehidupan yang datang setiap saat akan menjadi sumber pembelajaran. Tempat belajar siswa bisa dimana saja disesuaikan dengan kebutuhkan. Seluruh rumah dari 25 anak di Kalibening disiapkan sekaligus untuk menjadi kelas yang dipakai bergiliran. Metode pembelajarannyapun mereka ciptakan sendiri. Mereka menggunakan 5 fase pembelajaran pada setiap harinya. a. Fase I pukul 06.00 – 07.00 English Morning. b. Fase II pukul 07.00 – 09.30 Knowledge. Pada fase ini mereka mencoba menggali pengetahuan umum yang biasanya mengambil dari standar kompetensi kurikulum nasional. Dalam fase ini akan dipilih beberapa orang leader dengan anak yang mengambil jurusan terkait. c. Fase III pukul 10.00 – 12.00: Forum. Pada fase forum ini berkumpul beberapa anak yang memiliki minat sama, misalnya samasama peminat bahasa mandarin. d. Fase IV pukul 12.00 – 13.30: private. Pada fase ini berpulang ke pribadi masing-masing, bagi yang ingin menulis novel, mencuci, tidur atau yang lainnya tergantung pada masing-masing anak. e. Fase V pukul 13.30 – 15.00: Refleksi Bersama. Pada fase ini semua dari kelas satu sampai kelas empat berkumpul di masjid untuk berjama’ah shalat dhuhur dilanjutkan baca tartil Alqur’an dan berembug bersama-sama tentang masalah-masalah yang dihadapi. Fungsi guru di sekolah ini lebih ditekankan sebagai motivator, dinamisator, dan apresiator atas hasil karya anak apapun bentuknya. Kalau guru ingin memberikan penilaian atas hasil karya
anak, maka minimal nilai yang diberikan adalah nilai baik (good), kemudian menampilkan dan mempromosikannya dalam berbagai media. Guru sangat disarankan utuk mengikuti selera anak sebatas selera itu tidak berdampak pada kerusakan diri dan orang lain. Ketika selera anak tidak sesuai dengan pandangan guru maka seorang guru harus berusaha mengalahkan dirinya. Ketika ada anak yang melanggar kesepakatan, maka guru bisa menjatuhkan hukuman pada anak. Hukuman yang tidak bisa ditinggalkan adalah membuat karya. Dalam hal ini apabila pelanggaran itu menyangkut perilaku anak yang menyakiti orang lain, hukumannya ditambah dengan menyelesaikan dan mempertanggungjawabkan pada korban akibat perilaku anak. Kecenderungan untuk menerapkan sistem belajar homeschooling diakibatkan oleh adanya rasa ketidakpercayaan terhadap sekolah formal Karena kurikulumnya terus berubah dan memberatkan anak, menganggap anak sebagai obyek bukan subyek, memasung kreativitas dan kecerdasan anak, baik dari segi emosi, moral, maupun spiritual (Tempo, 26/2/2006). Sebenarnya secara operasional, Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengakui sistem sekolah-rumahan, tetapi pemerintah masih belum melakukan standarisasi terhadap sistem belajar ini. Tanpa menafikkan peran sekolah formal dalam usaha memperbaiki kualitas pendidikan bangsa Indonesia, ada beberapa sisi positif dari homescooling sebagai upaya alternatif bagi proses perbaikan kualitas pendidikan bangsa yaitu: Pertama, belajar di rumah lebih menyenangkan. Jumlah mata pelajaran yang dibebankan kepada peserta didik di sekolah formal saat ini sangatlah memberatkan, ketika mereka merasa terbebani untuk mempelajari suatu bidang studi, bukan rasa ingin tahu yang muncul dalam benak mereka, melainkan setumpuk beban pengetahuan yang harus ia jejalkan ke dalam otaknya. Padahal “mentalitas mencari” dari rasa keingintahuan inilah sebenarnya yang harus ditanamkan ke dalam sikap dan perilaku anak-anak sejak dini. Dengan beban seperti itu, mereka akan enggan dan ogah-ogahan untuk membaca dan mengembangkan pengetahuannya sendiri, apalagi misalnya di sekolah mereka lebih banyak menerima pengetahuan dengan proses satu arah (spoon feeding). Naifnya, ketika peserta didik tidak mampu menyerap pelajaran di ruang kelas, mereka diajak untuk belajar lagi di luar kelas, misalnya dengan mengikuti les, pelajaran tambahan, ataupun bimbingan belajar. Padahal bidang studi yang mereka pelajari sama dengan yang mereka pelajari di ruang kelas. Sistem belajar seperti ini tidak hanya menambah beban bagi mereka, tetapi juga akan membuat mereka merasa jemu dan bosan karena ada proses pengulangan (repetisi) bahan pelajaran. Namun, dengan sistem belajar homeschooling, mereka akan belajar lebih menyenangkan karena menerima pelajaran dengan rasa ingin tahu dan tidak ada beban untuk mempelajarinya.
Hal ini penting untuk proses berpikir mereka ke depan Karena akan terus mengembangkan pengetahuannya tanpa harus dibatasi oleh ruang (jenjang pendidikan) dan waktu (belajar sepanjang hayat).Dengan demikian, mereka akan mempunyai kebebasan berpikir dan berkreasi sesuai dengan bakat dan minat yang mereka kenali dan tekuni. Kedua, minat dan potensi bakat anak akan lebih terarah dan terfokus. Berbeda dengan metode konvensional yang ada pada sistem pendidikan formal, metode konvensional memperlakukan anak secara “seragam”, padahal mereka memiliki keberagaman masing-masing. Banyaknya persoalan yang belum tertangani oleh metode konvensional yang belum seluruhnya mampu mengakomodasi keberagaman yang dimiliki oleh anak khususnya kekhasan karakter, kecerdasan, latar belakang, perkembangan fisik mental, minta, bakat, kecenderungan, dan sebagainya. Kecerdasan anak tidak harus berdasarkan ukuran aspek akademik, yakni sejauh mana anak menguasai materi pelajaran. Itupun acapkali naïf karena guru condong pada mata pelajaran Matematika dan Sains, tanpa melihat esensi pelajaran lainnya. Contohnya, anak yang unggul Matematika dan IPA langsung diacungi jempol. Sebaliknya, yang tidak unggul di bidang itu dianggap kurang cerdas. Bisa dibayangkan bagaimana tersiksanya perasaan anak yang kebetulan minat dan bakatnya condong ke seni dan ilmu sosial. Padahal, di luar aspek akademik masih banyak jenis kecerdasan lain yang perlu diperhitungkan seperti estetika dan emosional, sosial, serta spiritual. Bukan hal aneh jika seorang anak hanya unggul dalam salah satu jenis kecerdasan tersebut. Eksplorasi pada kelebihan anak mengakibatkan anak akan senang bersekolah karena ia tahu tujuan ia belajar untuk apa. Ketiga, belajar di rumah akan mendukung terhadap terciptanya lingkungan yang lebih komunikatif antar anggota keluarga. Di tengah kecenderungan merenggangnya rasa kekerabatan dan kekeluargaan, terutama di daerah urban, menyediakan ruang belajar terbuka di rumah akan kembali menumbuhkan dan mempererat tali persaudaraan dan kekeluargaan. Selain itu, mereka juga akan belajar lebih kooperatif, tak hanya mementingkan keberadaan dan prestisenya sendiri, tetapi juga dengan sendirinya akan membantu kesulitan yang dihadapi oleh saudara-saudaranya. Hal ini berbeda dengan target pencapaian yang selama in dikembangkan di sekolah formal yang hanya mementingkan nilai, sehingga tak jarang para siswa akan berusaha mempertaruhkan apapun untuk memperoleh nilai yang tinggi dengan cara curang misalnya menyontek ataupun membeli ijazah palsu. Cara seperti ini justru akan menghambat cara berpikir positif dan cara menghadapai masa depan kehidupannya; mereka akan cenderung mencari jalan pintas dalam menyelesaikan persoalan hidup.
Keempat, belajar di rumah akan mendukung terhadap proses kematangan jiwa anak. Hampir seluruh perkembangan jiwa anak bisa ter-cover karena lebih gampang memantau dan mengkomunikasikan dengan pihak orang tua. Jadi, hambatan belajar mereka, baik secara fisik maupun psikis, relatif lebih cepat diketahui dan dipecahkan. Proses kematangan jiwa ini sangatlah membantu terhadap rasa kepercayaan diri untuk selalu belajar dan berjuang demi kemajuan diri dan bangsanya. Kelima, mengajak anak-anak untuk tidak hanya berkutat dengan buku-buku, misalnya mereka diajak belajar di alam terbuka seperti di daerah persawahan, sungai, pantai, ataupun hutan, dalam artian apa yang mereka baca dan pelajari coba disinggungkan dan didiskusikan dengan keadaan sekitar. Di samping itu, karakter mandiri, kreatif, berani mengemukakan pendapat, terlindung dari pengaruh lingkungan negatif tanpa teralienasi dari lingkungan sosial yang positif, merupakan sisi positif dari adanya pendidikan alternatif jenis ini terhadap perkembangan anak. Melalui cara belajar seperti itu, lambat laun mereka akan mempunyai kesadaran bahwa pengetahuan yang diperoleh akan betul-betul diketahui manfaat dan fungsinya dalam kehidupan mereka; tidak sebatas pengetahuan kognitif yang menumpuk di dalam otak mereka. Dengan demikian, pada akhirnya mereka akan mempunyai kepekaan terhadap persoalan-persoalan di sekeliling mereka dan siap menghadapi kehidupan nyata dengan lingkup pergaulan yang lebih luas. Kesimpulan Pendidikan yang diakui sebagai aset paling berharga ternyata masih jauh dari harapan. Pendidikan yang seyogyanya bisa mencerdaskan kehidupan bangsa, membuat rakyat Indonesia semakin cerdas baik secara intelektual maupun moral ternyata belum sepenuhnya berhasil. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya: 1. Kecenderungan pendidikan kita semakin elitis dan tak terjangkau oleh rakyat miskin. Dalam hal ini pemerintah dituding banyak melahirkan kebijakan yang diskriminatif yang justru menyulitkan kaum miskin untuk mengenyam pendidikan. 2. Manajemen pendidikan yang masih birokratis dan hegemonik. Sistem pendidikan yang ada saat ini bukanlah sistem yang memberdayakan melainkan semakin membuat peserta didik tidak mampu menggali potensi dirinya yang terdalam. Bertolak dari fakta yang ada mengenai output lembaga pendidikan yang masih jauh dari harapan, masyarakat mulai mencari alternatif pendidikan bagi anak-anaknya. Dari beberapa alternatif yang muncul, salah satunya adalah Homescooling atau home education artinya pendidikan yang diadakan di rumah baik oleh orangtua ataupun seorang ahli yang dipercaya untuk membimbing proses belajar mengajar.
Homescooling (home education) muncul di Amerika Serikat, dan di Indonesia belum begitu banyak dipraktekkan, akan tetapi tidak menutup kemungkinan apabila sistem yang diterapkan pada lembaga pendidikan formal atau sekolah tidak mengalami perbaikan, maka pendidikan-pendidikan alternatif ini akan semakin meningkat seiring dengan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap kualitas pendidikan yang ada. Salah satu pendidikan Homeschooling yang diterapkan di Indonesia adalah SMP alternatif Qaryah Thayyiah yang terletak di Desa Kalibening Kotamadia Salatiga. Sekolah ini dilaksanakan di rumah salah satu penduduk desa dengan menggunakan sistem pendidikan berbasis komunitas, artinya segala sesuatunya didasarkan pada kebutuhan komunitas. Dengan demikian, pendidikan berbasis komunitas adalah satu solusi untuk masyarakat Indonesia yang masih kental dengan kultur kekerabatan. Pendidikan yang berbasis komunitas ini memiliki prinsip-prinsip dasar yang diterapkan yaitu: membebaskan, keberpihakan, partisipatif, kurikulum berbasis kebutuhan, kerjasama, sistem evaluasi berpusat pada subyek didik, serta kepercayaan diri. Daftar Pustaka Griffith, Mary. 2006. Belajar tanpa sekolah. Bandung: Nuansa. http://en.wikimedia.org./wiki.homescooling http://pormadi,wordpress.com/2007/11/12/homescooling Munandar, Utami. 1999. Pengembangan Kreativitas anak berbakat, Jakarta: Rineka Cipta. Prasetyo, Eko. 2008. Orang Miskin Dilarang Sekolah, Yogyakarta: Resist Book. Sumardiono. 2007. Homescooling-A Leap for better Learning-Lompatan Cara Balajar, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Topatimasang, Roem. 2004. Sekolah itu Candu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Topatimasang, Roem, dkk. 2005. Pendidikan Populer: Membanun Kesadaran Kritis, Yogyakarta: Insist Press. Zubaidi. 2007. Pendidikan Berbasis Masyarakat: Upaya Menawarkan Solusi terhadap Berbagai Problem Sosial. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.