BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Deskripsi Teori 1.
Pembelajaran Matematika Gagne dalam Eveline (2011:12) mendefinisikan pembelajaran sebagai
pengaturan peristiwa secara seksama dengan maksud agar terjadi belajar dan membuatnya berhasil guna. Sugihartono (2007: 81) menyebutkan bahwa pembelajaran merupakan suatu upaya yang dilakukan dengan sengaja oleh pendidik
untuk
menyampaikan
ilmu
pengetahuan,
mengorganisasi
dan
menciptakan sistem lingkungan dengan berbagai metode sehingga dapat melakukan kegiatan belajar secara efektif dan efisien serta dengan hasil optimal. Pembelajaran juga dapat didefinisikan menggunakan beberapa pandangan, seperti: a. b.
c.
d.
Menurut aliran Behavioristik, pembelajaran adalah usaha guru membentuk tingkah laku yang diinginkan dengan menyediakan lingkungan (stimulus). Menurut pandangan Kognitif, Pembelajaran adalah cara guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir agar dapat mengenal dan memahami apa yang sedang dipelajari. Menurut pandangan Gestalt, pembelajaran adalah usaha guru untuk memberikan materi pembelajaran sedemikian rupa sehingga siswa lebih mudah mengorganisasinya menjadi pola bermakna. Menurut pendangan Humanistik, pembelajaran adalah memberikan kebebasan kepada siswa sesuai dengan minat kemampuannya. (Darsono dkk, 2000: 24-25). Menurut UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
menyatakan bahwa, “Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.” Isi dari UndangUndang tersebut menjelaskan bahwa dalam pembelajaran sesungguhnya tidak
11
sebatas interaksi guru dan siswa, melainkan juga juga melibatkan pihak lain yaitu sumber belajar, lingkungan belajar, ataupun model pembelajaran. Pembelajaran juga memiliki ciri-ciri, salah satu yang mengemukakan ciriciri pembelajaran adalah Darsono, yaitu sebagai berikut: a. Pembelajaran dilakukan secara sistematis. b. Pembelajaran dapat menumbuhkan perhatian dan motivasi siswa dalam belajar. c. Pembelajaran dapat membuat siswa siap menerima pelajaran baik secara fisik maupun psikologis. d. Pembelajaran dapat menyediakan bahan belajar yang menarik dan menantang bagi siswa. e. Pembelajaran dapat menggunakan alat bantu belajar yang tepat dan menarik. f. Pembelajaran dapat menciptakan suasana belajar yang aman dan menyenangkan bagi siswa. Pembelajaran sering disamakan dengan pengajaran, padahal jika dilihat dari beberapa aspek maka terlihat perbedaan diantaara keduanya. Perhatikan tabel berikut untuk membedakan pembelajaran dan pengajaran. Tabel 3. Perbedaan pengajaran dan pembelajaran No. 1. 2. 3.
4.
Pengajaran Dilaksanakan oleh orang yang berprofesi sebagai pengajar Tujuannya menyampaikan informasi kepada si belajar Merupakan penerapan salah satu strategi pembelajaran
Kegiatan belajar berlangsung jika ada guru/pengajar
Pembelajaran Dilakukan oleh orang yang dapat membuat orang belajar Tujuannya agar terjadi belajar pada diri siswa belajar Merupakan cara untuk mengembangkan rencana yang terorganisir untuk keperluan belajar Kegiatan belajar dapat berlangsung dengan atau tanpa hadirnya guru
(Sumber: Eveline dan Hartini, 2011 :13) Agar tujuan pembelajaran dapat tercapai, guru harus mengorganisir semua komponen supaya semua komponen dapat berfungsi sebagaimana mestinya dan dapat bejalan harmonis satu sama lain. Sedangkan matematika memiliki fungsi untuk mengembangkan kemampuan menghitung, mengukur, menurunkan dan
12
menggunakan rumus matematika yang diperlukan. Dilihat dari tujuannya, maka tujuan dari pembelajaran maatematika adalah melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan, ekspolari, eksperimen, menunjukkan kesamaan, peredaan, konsisten dan inkonsisten. Agar
tujuan
pembelajaran
dapat
tercapai,
guru
harus
mampu
mengorganisir semua komponen sedemikian rupa sehingga antara komponen yang satu dengan yang lainnya dapat berinteraksi secara harmonis (Suhitno, 2000:12). Potensi siswa harus dapat dikembangkan secara optimal dalam proses belajar dan siswa dituntut untuk memiliki kemampuan sebagai berikut: a. Melakukan kegiatan penelusuran dan pola hubungan b. Mengembangkan kreatifitas dengan imajinasi, intuisi dan penemuannya c. Melakukan kegiatan pemecahan masalah d. Mengkomunikasikan pemikiran matematisnya kepada orang lain. Untuk mencapai kemampuan tersebut perlu dikembangkan proses belajar matematika yang menyenangkan, memperhatikan keinginan siswa, membangun pengetahuan dari apa yang diketahui siswa, menciptakan suasana yang mendukung dalam kegiatan belajar, memberikan kegiatan yang sesuai dengan
tujuan
pembelajaran,
memberikan
kegiatan
yang
menantang,
memberikan kegiatan yang memberi harapan keberhasilan, dan menghargai setiap pencapaian siswa. Dari uraian di atas, dapat diartikan bahwa pembelajaran matematika adalah upaya sadar peningkatan pengetahuan matematika melalui berbagai
13
macam kegiatan yang melibatkan siswa, guru, sumber belajar, lingkungan belajar, model pembelajaran, serta komponen-kompenen terkait lainnya. 2.
Efektivitas Pembelajaran Matematika Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata efektivitas yang berasal dari
kata dasar efektif dapat diartikan memiliki efek, akibat, atau pengaruh. Apabila kata efektivitas digunakan dalam konteks pembelajaran, maka kata efektiktivitas memiliki arti ketepatgunaan pembelajaran yang dapat diukur melalui tujuan pembelajaran. Efektivitas menekankan perbandingan antara rencana dan hasil atau realita. Oleh karena itu, efektivitas suatu pembelajaran sering kali diukur menggunakan instrumen untuk mendapatkan data yang diolah guna mengetahui efektif atau tidaknya suatu pembelajaran. Institute of Education University of London (2002: 4) menyatakan Although the term ‘effective’ has been widely used, it only makes sense when context and goals are specified. Dari pernyataan tersebut, dapat diartikan efektif memiliki konteks dan tujuan yang spesifik. Pernyataan di atas menimbulkan suatu pemahaman apabila dikaitkan dengan konteks dan tujuan, pembelajaran dapat dikatakan efektif jika dipandang dari pengaruh atau efek yang terjadi terhadap tujuan yang telah direncanakan sebelumnya. Maka efektif atau tidaknya pembelajaran metematika dapat dilihat dari seberapa besar pengaruh atau efek yang terjadi setelah dilaksanakannya pembelajaran matematika apabila ditinjau dari beberapa hal yang merupakan
14
tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pada penelitian ini, hal yang ditinjau ada dua, yaitu kemandirian belajar siswa dan juga prestasi belajar siswa. Pembelajaran matematika yang efektif menurut Nightingale dan O’Neil (Killen, 2009: 4) memiliki karakteristik sebagai berikut. a. Students are able to apply knowledge to solve problems. b. Students are able to communicate their knowledge to others. c. Students are able to perceive relationship between their existing knowlegde and the new things they are learning. d. Students retain newly acquired knowledge for a long time. e. Students are able to discover or create new knowlegde for themselves. f. Students want to learn more. Karakteristik di atas dapat diartikan sebagai berikut. a. Siswa mampu mengaplikasikan pengetahuan untuk menyelesaikan masalah. b. Siswa mampu mengomunikasikan pengetahuan yang dimiliki kepada orang lain. c. Siswa mampu menghubungkan pengetahuan yang telah dimiliki dengan pengetahuan baru yang dipelajari. d. Siswa mampu mempertahankan yang dimiliki dalam jangka waktu lama. e. Siswa mampu menemukan atau membuat pengetahuan bagi dirinya masingmasing. f. Siswa memiliki keinginan untuk belajar lebih banyak. Efektivitas pembelajaran merujuk pada berdaya dan berhasil guna seluruh komponen pembelajaran yang diorganisir untuk mencapai tujuan pembelajaran (Suwarjono, 2009: 16). Dalam penelitian ini, komponen pembelajaran yang diuji keefektivitasannya pembelajaran
adalah
model
Problem
Based
yang dimaksud adalah tingkat
15
Learning.
Efektivitas
keberhasilan pembelajaran
matematika dengan model Problem Based Learning tersebut apabila ditinjau dari kemandirian dan juga prestasi belajar siswa. Untuk mengetahui keefektifan model pembelajaran tersebut akan dilaksanakan tes untuk mengukur kemandirian dan prestasi belajar siswa. Kemandirian belajar siswa diukur menggunakan hasil angket kemandirian siswa, sedangkan untuk keefektifan prestasi belajar dapat diukur dari hasil tes prestasi belajar. Pada penelitian ini, kriteria pembelajaran yang efektif adalah sebagai berikut. a.
Pembelajaran dikatakan efektif ditinjau dari kemandirian belajar apabila ratarata skor kemandirian belajar siswa dapat mencapai klasifikasi baik, cara menentukan klasifikasinya adalah sebagai berikut. Rata-rata ideal: Xi
skor maks skor min 2
Satuan lebar wilayah:
Sbi
skor maks skor min 6
Tabel 4.Rumus Klasifikasi Kemandirian Belajar Rumus ̅ ̅ ̅ ̅
Klasifikasi Sangat Baik Baik Cukup Kurang Sangat Kurang
̅ ̅ ̅ ̅
(Eka Putra Widoyoko, 2009 : 238) b.
Pembelajaran dikatakan efektif ditinjau dari prestasi belajar siswa apabila rata-rata nilai hasil tes prestasi belajar siswa dapat melampaui Kriteria
16
Ketuntasan Minimal (KKM). Pada SMK N 1 Saptosari, KKM untuk mata pelajaran matematika adalah 75, maka pada penelitian ini pembelajaran dikatakan efektif apabila rata-rata nilai posttest dapat melampaui 75 ( c.
).
Apabila kelas yang diberi perlakuan menggunakan model Problem Based Learning (PBL) dan model pembelajaran Ekspositori memiliki kemampuan awal yang sama. Pembelajaran menggunakan PBL dikatakan lebih efektif dari pada menggunakan model pembelajaran Ekspositori ditinjau dari kemandirian belajar apabila rata-rata skor kemandirian belajar kelas yang menggunakan PBL lebih tinggi dari pada kelas yang menggunakan model Ekspositori.
d.
Apabila kelas yang diberi perlakuan menggunakan model Problem Based Learning (PBL) dan model pembelajaran Ekspositori memiliki kemampuan awal yang sama. Pembelajaran menggunakan PBL dikatakan lebih efektif dari pada menggunakan model pembelajaran Ekspositori ditinjau dari prestasi belajar apabila rata-rata nilai posttest kelas yang menggunakan PBL lebih tinggi dari pada kelas yang menggunakan model Ekspositori.
3.
Model Problem Based Learning Eveline dan Hartini (2011:119) menyatakan bahwa PBL (Problem Based
Learning) merupakan model pembelajaran yang sangat populer dalam dunia kedokteran sejak 1970-an. PBL berfokus pada penyajian suatu permasalahan (nyata atau simulasi) kepada siswa, kemudian siswa diminta mencari pemecahannya melalui serangkaian penelitian dan investigasi berdasarkan teori,
17
konsep, prinsip dan yang dipelajarinya dari berbagai bidang ilmu (multiple perspective). Menurut Jamil (2013:215-216) PBL adalah suatu model pembelajaran, yang mana siswa sejak awal dihadapkan pada suatu masalah, kemudia diikuti oleh proses pencarian informasi yang bersifat student centerd. Di dalam PBL, dikenal adanya conseptual fog yang bersifat umum, mencakup kombinasi antara metode pendidikan dan filosofi kurikulum. Pada aspek filosofi, PBL dipusatkan pada siswa yang dihadapkan pada suatu masalah. Sementara pada subject based learning
guru
menyampaikan
pengetahuannya
kepada
siswa
sebelum
menggunakan masalah untuk memberi ilustrasi pengetahuan tadi. Pembelajaran PBL memberikan kesempatan kepada siswa mempelajari materi akademis dann keterampilan megatasi masalah dengan terlibat diberbagai situasi kehidupan nyata. Ini dapat memberikan makna bahwa sebagian besar konsep atau generalisasi dapat diperkenalkan dengan efektif melalui pemberian masalah. Permasalahan menjadi fokus, stimulus dan pemandu proses belajar, sementara guru menjadi fasilitator dan pembimbing, PBL memiliki banyak variasi, diantaranya terdapat lima bentuk belajar berbasis masalah, yaitu: (1) Permasalahan sebagai pemandu (2) Permasalahan sebagai kesatuan dan alat evaluasi (3) Permasalahan sebagai contoh (4) Permasalahn sebagai fasilitasi proses belajar (5) Permasalahan sebagai stimulus. (Eviline dan Hartiti, 2011:120).
18
Pembelajaran yang menggunakan model Problem Based Learning terdiri dari 5 langkah utama, berikut tabel sintaks pembelajaran berbasis masalah menurut Ibrahim dalam Jamil (2013:223) Tabel 5. Sintaks PBL menurut Ibrahim Tahap Tahap-1 Orientasi siswa pada masalah Tahap-2 Mengorganisasi siswa untuk belajar Tahap-3 Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok Tahap-4 Mengembangkan dan menyajikan hasil karya Tahap-5 Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Tingkah Laku Guru Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang diperlukan, mengajukan fenomena, demostrasi, atau cerita untuk memunculkan masalah, memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah. Guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasi tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah. Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai, seperti laporan, video, dan model serta membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya. Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.
Menurut Arends (2008: 56-60) langkah-langkah dalam menerapkan model problem based learning dalam pembelajaran dikelas yaitu: a. b. c. d. e.
Memberikan orientasi permasalahan pada siswa Mengorganisasi siswa untuk meneliti Membantu investigasi mandiri maupun kelompok Mengembangkan dan mempresentasikan artefak dan exhibit Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah Menurut Paul Eggen dan Don Kauchak (2012:136) langkah pembelajaran
yang dilakukan dengan menggunakan model Problem Based Learning yaitu: a. b. c. d.
Mereview dan menyajikan masalah Menyusun strategi Menerapkan strategi Membahas dan mengevaluasi hasil
19
Dari bebapa pendapat ahli di atas, apabila disimpulkan, pembelajaran yang menggunakan model Problem Based Learning memiliki 5 (lima) tahapan belajar, meliputi: (1) Orientasi siswa pada masalah (2) Mengorganisasi siswa untuk belajar (3) Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok (4) Mengembangkan dan menyajikan hasil karya (5) Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. 4.
Model Pembelajaran Ekspositori (Ceramah) Paul Eggen dan Don Kauchak (2012: 400) menyatakan bahwa model
ceramah adalah sebuah model pengajaran yang dirancang untuk membantu siswa memahami bangunan pengetahuan. Meskipun model pembelajaran ini kerap dikritik, namun pada kenyataannya model pembelajaran Ekspositori atau ceramah ini masih begitu dominan untuk digunakan. Alasan model ini banyak digunakan karena model pembelajaran Ekspositori membantu siswa mendapatkan informasi yang sulit diakses dengan cara lain, ceramah bisa efektif jika tujuannya adalah memberi siswa informasi yang memerlukan waktu berjam-jam untuk memahami suatu materi (Ausubel dalam Eggen, 2012: 401). Ceramah memiliki kelebihan lain. Pertama, karena terbatasnya waktu perencanaan untuk mengatur materi, ceramah menjadi efisien. Kedua, ceramah itu fleksibel karena bisa diterapkan pada nyaris semua bidang materi. Ketiga, ceramah itu sederhana, ketimbang merencanakan cara untuk melibatkan siswa atau memikirkan faktor-faktor pembelajaran dan motivasi lain, upaya guru berfokus pada mengatur dan menyajikan materi. Bahkan guru pemula bisa belajar menyampaikan ceramah-ceramah yang memadahi (Eggen, 2012:401).
20
Menurut Arends (2008: 262), pembelajaran ceramah dapat digunakan di semua bidang dan di semua tingkat kelas. Dalam pembelajaran ceramah terdapat 4 fase utama, meliputi: a. Guru mengemukakan tujuan pembelajaran dan menyiapkan siswa; b. Guru memberi kerangka belajar berkaitan dengan materi sebelumnya sudah dimiliki siswa; c. Guru memresentasikan materi belajar dengan memperhatikan urutan logis dan maknanya bagi siswa; d. Guru memberikan pertanyaan-pertanyaan sehingga membangkitkan respon siswa. Pada penilitian ini, pembelajaran dengan model Ekspositori atau ceramah terdiri atas tiga tahap utama, yaitu: a. Pendahuluan Pada tahap pendahuluan, guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan menyiapkan siswa. Elain itu, guru juga bertugas untuk memotivasi siswa untuk belajar. Agar siswa fokus terhadap pembelajaran, maka juga diperlukan apersepsi dengan menggunakan materi yang sebelumnya telah dikuasai oleh siswa. Smentara itu, pada tahap ini siswa lebih banyak pasif dan hanya bertugas untuk mendengarkan penjelasan dari guru. b. Kegiatan Inti Pada tahap ini, guru bertugas untuk memresentasikan materi pembelajaran seperti yang telah direncanakan. Guru juga memberi contoh soal dan penyelesaiannya. Selanjutnya tugas siswa pada tahap ini adalah menyimak informasi yang diberikan kepada guru dan bertanya apabila belum jelas. Selain itu,
siswa
juga
mengerjakan
soal
latihan
agar
memiliki
pengalaman
menyelesaikan soal menggunakan materi yang dijelaskan oleh guru. Secara garis
21
besar, kegiatan inti dibagi menjadi tiga tahap yang sistematis, yaitu ekspolari, elaborasi, dan konfrimasi. c. Penutup Pada
tahap
ini,
guru
bersama-sama
siswa
menyimpulkan
hasil
pembelajaran. Peran siswa pada tahap ini adalah menyimpulkan apa saja yang dipelajari selama satu kali pelajaran yang telah dialui. Dari uraian di atas, terlihat bahwa model Ekspositori adalah pembelajaran yang menekannkan pada proses deduksi. Pada proses pembelajaran, guru adalah hal yang sangat penting karena pembelajaran lebih cenderung berpusat kepada guru yang memberikan pelayanan yang sama kepada setiap siswa. 5.
Kemandirian Belajar Matematika
a. Pengertian Kemandirian Belajar Dalam kamus besar Bahasa Indonesia mandiri adalah ”berdiri sendiri”. Sebagai salah satu unsur kepribadian yang dimilki oleh manusia, kepribadian merupakan suatu hal yang penting. Kemandirian dianggap penting karena kemandirian itu sendiri dibutuhkan oleh manusia untuk menyesuaikan diri secara aktif dalam lingkungannya. Kemandirian belajar menurut Haris Mudjiman (2007)
adalah kegiatan
belajar aktif yang didorong oleh niat atau motif untuk menguasai suatu kompetensi guna mengatasi suatu masalah, dan dibangun dengan bekal pengetahuan atau kompetensi yang telah dimiliki. Istilah kemandirian belajar berhubungan dengan beberapa istilah lain diantaranya self regulated learning, self regulated thinking, self directed learning,
22
self efficacy, dan self –esteem. Pengertian kelima istilah terakhir di atas tidak tepat sama, namun mereka memiliki beberapa kesamaan karakteristik (Utari Sumarmo, 2004:1). Menurut Utari Sumarmo karakteristik kemandirian belajar, yaitu bahwa individu : 1) Merancang belajar sendiri sesuai dengan tujuannya. 2) Memilih strategi kemudian melaksanakan rancangan belajarnya. 3) Memantau kemajuan belajarnya, mengevaluasi hasilnya dan dibandingkan dengan standar tertentu. Schunk dan Zimmerman (Utari Sumarmo, 2004:2) merinci kegiatan yang berlangsung pada tiap fase self regulated learning sebagai berikut 1) Fase merancang belajar : menganalisis tugas belajar, menetapkan tujuan belajar, dan merancang strategi belajar. 2) Fase mengevaluasi, memuat kegiatan memeriksa bagaimana jalannya evaluasi strategi: apakah strategi telah berjalan dengan baik? (evaluasi proses); hasil belajar apa yang telah dicapai? (evaluasi produk); dan sesuaikah strategi dengan tugas belajar yang dihadapi. 3) Pada fase merefleksi: pada dasarnya fase ini tidak hanya berlangsung pada fase ketiga dalam siklus self regulated learning, namun refleksi berlangsung pada tiap fase selama siklus berjalan. Anton Sukarno (1999:64) menyebutkan ciri-ciri kemandirian belajar sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) 5)
Siswa merencanakan dan memilih kegiatan belajar sendiri. Siswa berinisiatif dan memacu diri untuk belajar secara terus-menerus. Siswa dituntut bertanggung jawab dalam belajar Siswa belajar secara kritis, logis, dan penuh keterbukaan Siswa belajar dengan penuh percaya diri Dapat disimpulkan bahwa kemandirian belajar seorang siswa mengarah
kepada sikap inisiatif belajar untuk dirinya dan tidak bergantung pada orang lain, kemudian diupayakan dengan sungguh-sungguh sehingga siswa bertanggung jawab sepenuhnya atas proses dan hasil belajarnya.
23
b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Belajar Mohammad Noor Syam (1999:10) menyatakan ada dua faktor yang mempengaruhi kemandirian belajar yaitu sebagai berikut: Pertama, faktor internal dengan indikator tumbuhnya kemandirian belajar yang terpancar dalam fenomena antara lain: 1) Sikap bertanggung jawab untuk melaksanakan apa yang dipercayakan dan ditugaskan. 2) Kesadaran hak dan kewajiban siswa disiplin moral yaitu budi pekerti yang menjadi tingkah laku. 3) Kedewasaan diri mulai konsep diri, motivasi sampai berkembangnya pikiran, karsa, cipta dan karya (secara berangsur). 4) Kesadaran mengembangkan kesehatan dan kekuatan jasmani, rohani dengan makanan yang sehat, kebersihan dan olahraga. 5) Disiplin diri dengan mematuhi tata tertib yang berlaku, sadar hak dan kewajiban, keselamatan lalu lintas, menghormati orang lain, dan melaksanakan kewajiban. Kedua, faktor eksternal sebagai pendorong kedewasaan dan kemandirian belajar meliputi: potensi jasmani rohani yaitu tubuh yang sehat dan kuat, lingkungan hidup, dan sumber daya alam, sosial ekonomi, keamanan dan ketertiban yang mandiri, kondisi dan suasana keharmonisan dalam
dinamika
positif atau negatif sebagai peluang dan tantangan meliputi tatanan budaya dan sebagainya secara komulatif. Kemandirian belelajar siswa dapat diukur dari faktor internal yang mempengaruhi kemandirian belajar siswa tersebut. Dari uraian mengenai faktor internal yang mempengaruhi kemandirian belajar, dapat disimpulkan bahwa ada tiga aspek utama pada faktor internal, yaitu tanggung jawab, inisiatif, dan tidak bergantung pada orang lain.
24
1) Tanggung Jawab Seorang siswa dapat dikatakan mandiri apabila bisa bertanggung jawab minimal atas dirinya sendiri. Siswa yang bertanggung jawab pastilah siswa yang mampu mengontrol dirinya dan mau menerima konsekuensi terhadap apa yang dia lakukan. Selain itu, tanggung jawab juga membuat siswa memiliki komitmen yang tinggi atas tugas yang diberikan kepadanya. Tingginya komitmen terhadap tugas juga akan berimbas kepada orientasi siswa untuk mendapatkan prestasi belajar yang tinggi. Dalam penelitian ini, indikator tanggung jawab siswa yang dapat diamati meliputi: a) Keikutsertaan melaksanakan tugas kelompok b) Komitmen dalam mengerjakan tugas c) Bersungguh-sungguh dalam mengikuti pelajaran d) Ketepatan waktu pengumpulan tugas e) Ketepatan waktu kehadiran di kelas. 2) Memiliki Inisiatif Menurut Suryana (2006:2) inisiatif adalah kemampuan mengembangkan ide dan cara-cara baru dalam memecahkan masalah dan menemukan peluang (thinking new things). Ciri-ciri orang yang memiliki inisiatif menurut Sund dalam Slameto (2003 : 147) yaitu: a) b) c) d)
Hasrat keingintahuan yang besar Bersikap terbuka dalam pengalaman baru Panjang akal Keinginan untuk menemukan dan meneliti
25
e) f) g) h) i)
Cenderung menyukai tugas yang berat dan sulit Cenderung mencari jawaban yang luas dan memuaskan Memiliki dedikasi bergairah secara aktif dalam melaksanakan tugas Berpikir fleksibel Menanggapi pertanyaan yang diajukan serta cenderung memberi jawaban lebih banyak. Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, maka definisi inisiatif adalah
keterampilan atau kemampuan individu untuk mencipta sesuatu yang baru, baik berupa ide atau karya nyata yang bersifat orisinil. Pada penelitian ini, inisiatif siswa dapat diamati dari: a) Keikutsertaan dalam mengemukakan pendapat. b) Keikutsertaan dalam mengajukan pertanyaan c) Mencari sumber belajar lain d) Cenderung memilih tugas yang sulit. 3) Tidak Bergantung pada Orang Lain Hamzah (2008: 77) menyatakan bahwa kemandirian adalah kemampuan untuk mengarahkan dan mengendalikan diri sendiri dalam berpikir dan bertindak, serta tidak merasa bergantung pada orang lain secara emosional. Tidak bergantung pada orang lain menjadi salah satu aspek pokok sehingga siswa dapat dikatakan mandiri. Pada penelitian ini, ketidakbergantungan siswa pada orang lain yang diamati meliputi: a) Menentukan gaya/cara belajar sendiri b) Belajar tanpa ada paksaan dari pihak lain c) Mengerjakan soal tanpa bantuan orang lain d) Berusaha mengatasi masalah belajar pada dirinya sendiri.
26
6.
Prestasi Belajar Suatu pembelajaran selakyaknya memiliki tujuan yang harus dicapai.
Tujuan pembelajaran tersebut disusun sebelum proses pembelajaran berlangsung. Menurut Bloom dalam Ratna (2011 :118) menganjurkan kita merumuskan tujuan instruksional khusus, yang didasarkan pada Taksonomi Bloom tentang tujuantujuan prilaku, yang meliputi tiga domain: kognitif, afektif, dan psikomotorik. Gagne dalam Ratna (2011: 118) mengemukakan lima aspek hasil belajar, tiga diantaranya bersifat kognitif, satu bersifat afektif, dan satu lagi bersifat psikomotorik. Menurut Gagne dalam Ratna (2011 :118) penampilan-penampilan yang dapat diamati sebagai hasil belajar disebut kemampuan. Salah satu penampilan yang dapat diamati adalah prestasi belajar. Prestasi belajar dinilai masuk kedalam salah satu dari lima aspek hasil belajar yang dikemukakan oleh Gagne, yaitu bersifat kognitif. Berhasil atau tidaknya siswa mengikuti suatu pembelajaran dapat dilihat dari prestasi belajarnya. Untuk mengetahui prestasi belajar siswa, maka dilakukan suatu tes yang dimaksudkan untuk mengujinya setelah siswa mengikuti pembelajaran. Prestasi belajar adalah suatu aspek yang tidak bisa lepas dari proses pembelajaran, hal ini dikarenakan karena proses pembelajaran butuh evaluasi agar lebih baik dari waktu ke waktu dan salah satu yang bisa digunakan untuk mengevaluasi proses pembelajaran adalah dengan melihat prestasi belajar siswa. Mujis dan Reynolds (2005: 232) menyatakan bahwa,”achievement test measure pupils performance in a particular school subject or topic at a given
27
time”. Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa test prestasi belajar yang dilaksanakan bertujuan untuk mengetahui kinerja siswa pada suatu mata pelajaran dalam waktu tertentu. Pada dasarnya prestasi belajar matematika diperoleh melalui seluruh proses pembelajaran. Prestasi belajar metematika juga dapat dikatakan sebagai cerminan dari hasil upaya yang telah dilakukan selama proses pembelajaran. Prestasi belajar matematika dapat diukur dengan menggunakan tes yang berupa soal matematika. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar merupakan suatu hasil pembelajaran yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain: kemampuan dasar (intelegensi), bakat, cara belajar, motivasi, kondisi fisik anak, fasilitas belajar, lingkungan fisik, keadaan psikologis di rumah, hubungan siswa dengan orang tua, hubungan siswa dengan guru, serta hubungan siswa dengan sesama teman. B. Penelitian yang Relevan Beberapa Penelitian yang relevan dengan penelitian ini antara lain 1. Penelitian yang berjudul Pengaruh Model Problem Based Learning (PBL) Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa oleh Buang Saryantono, dosen PNSD pada STKIP Bandar Lampung. Eksperimen dilakukan di SMA Adiguna Bandar Lampung pada tahun 2013. Penelitian ini menyimpulkan bahwa
rata-rata
hasil
belajar
matematika
yang
pembelajarannya
menggunakan model PBL lebih tinggi dibanding dengan pembelajaran konvensional.
28
2. Penelitian yang dilakukan oleh Desak Putu Kartiwi yang berjudul Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah Ditinjau Dari Bakat Numerik
dan
Kecemasan Siswa Terhadap Prestasi Belajar Matematika SiswaKelas X SMA Negeri 1 Kuta. Dari penelitian ini menunjukan bahwa Pembelajaran Berbasis Masalah dinilai lebih baik daripada Pembelajaran Konvensional jika ditinjau dari bakat numerik dan kecemasan siswa terhadap prestasi belajar siswa. 3. Penelitian yang dilakukan oleh Asep Ikin Sugandi dan Utari Sumarmo (2010) yang berjudul Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Setting Jigsaw terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis serta Kemandirian Belajar Siswa SMA. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pembelajaran berbasis masalah dengan setting Jigsaw memberikan pengaruh paling besar dibandingkan dengan pengaruh pembelajaran konvensional, level sekolah, dan kemampuan awal matematika siswa terhadap pencapaian kemampuan komunikasi matematik serta kemandirian belajar. 4. Penelitian yang dilakukan oleh Alif Nurhidayah (2012) tentang Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah Terstruktur Terhadap Kemampuan Penalaran Matematis dan Kemandirian Belajar Matematika Siswa Kelas VII MTsN 2 Yogyakarta. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa model pembelajaran berbasis masalah terstruktur memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan penalaran matematis siswa. Namun model pembelajaran berbasis masalah terstruktur tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemandirian belajar matematika siswa.
29
C. Kerangka Berpikir UU no 20 tahun 2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa kemandirian dan prestasi belajar siswa penting untuk ditumbuhkembangkan
Berdasarkan observasi, kemandirian belajar siswa kelas X SMK N 1 Saptosari masih rendah.
Berdasarkan nilai UTS, prestasi belajar siswa kelas X SMK N 1 Saptosari masih rendah
Dibutuhkan model pembelajaran yang tepat untuk menumbuhkembangkan kemandirian dan prestasi belajar siswa kelas X SMK N 1 Saptosari
Akan diuji keefektifan model pembelajaran ditinjau dari kemandirian dan prestasi belajar siswa pada materi fungsi kuadrat Model pembelajaran Ekspositori
Model Problem Based Learning (PBL)
Memiliki karekteristik student centered
Kemandirian Belajar
Memiliki karekteristik teacher centered
Prestasi Belajar Efisiensi waktu
Gambar 1. Skema kerangka berpikir
30
D. Hipotesis Penelitian Hipotesis merupakan jawaban sementara suatu masalah yang kemudian akan diuji kebenarannya. Berdasarkan anggapan awal, pada penelitian ini ada enam hipotesis yang diajukan, meliputi: a. Model pembelajaran Problem Based Learning efektif ditinjau dari kemandirian belajar pada materi fungsi kuadrat, b. Model pembelajaran Problem Based Learning efektif ditinjau dari prestasi belajar pada materi fungsi kuadrat, c. Model pembelajaran Ekspositori efektif ditinjau dari kemandirian belajar pada materi fungsi kuadrat, d. Model pembelajaran Ekspositori efektif ditinjau dari prestasi belajar pada materi fungsi kuadrat, e. Model pembelajaran pembelajaran Problem Based Learning lebih efektif daripada pembelajaran Ekspositori jika ditinjau dari kemandirian belajar siswa pada materi fungsi kuadrat, f. Model pembelajaran pembelajaran Problem Based Learning lebih efektif daripada pembelajaran Ekspositori jika ditinjau dari prestasi belajar siswa pada materi fungsi kuadrat.
31