Zulfikar Siregar: Limbah Perkebunan terhadap Nilai pH, nh3, dan vfa Rumen
Pengaruh Suplementasi Hidrolisat Bulu Ayamdan Mineral Esensial dalam Ransum Berbasis Limbah Perkebunan terhadap Nilai pH, NH3, dan VFA Rumen (The Effect of Hidrolyzed Poultry Feather and Mineral Essential Supplementation In Plantation by-product Based Ration on Value of Rumen pH, NH3, VFA) Zulfikar Siregar1 1)
Departemen Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan
Abstract: The objective of this study was to know the effect of supplementation of hydrolyzed poultry feather and S, Cl as the essential macro mineral and I, Co, Se as essential rare mineral in plantation by-product based ration on value of rumen pH, NH3, VFA. The experiment was designed in a randomized complete block design with 2 x 4 factorial arrangements. The first factor was sheep breed consisted of 2 breeds, b1 (Sumatra Thin Tail Lamb) and b2 (Sunge Putih Crossbred). The second factor was supplementation consisted of 4 levels, s1 = basal ration (control) contains 14% crude protein (CP) and 70% total digestible nutrient (TDN). s2 = s1 + hydrolyzed poultry feather 3%, s3 = s2 + 0,12% Cl + 0,17% S and s4 = s3 + 0,40 ppm I + 0,15 ppm Se. Twenty four heads lamb, 12 heads b1 and 12 heads b2 were used in the experiment. Lambs were divided into 3 group based on the initial body weight. Initial body weight of lamb was 23,90 ± 2,60 kg. The result of research showed that hydrolyzed poultry feather and S, Cl as well as I, Co, Se supplementation increased (P<0.05) pH, NH3, and VFA total. The value of pH, NH3, and VFA total in b2 was higher (P<0.05) than b1 (7;10;120; vs 6,7mM, 104 mM). if was concluded that by-product supplement with hydrolyzed poultry feather and S, Cl as well as I, Co, Se could be used as substitute of grass for sheep. Key words: by product, ration, mineral, sheep Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi pengaruh suplementasi hidrolisat bulu ayam, mineral esensial makro S, Cl, dan esensial langka I, Co, Se dalam ransum berbasis limbah perkebunan terhadap pertambahan bobot badan domba. Penelitian ini dirancang dengan menggunakan rancangan acak kelompok pola faktorial 2 x 4. Faktor pertama adalah bangsa domba yang terdiri atas 2 bangsa, yaitu b1 = lokal (domba Sumatera ekor tipis) dan b2 = persilangan (Sunge Putih). Faktor kedua adalah suplementasi terdiri atas 4 level yaitu s1 = ransum basal (tanpa suplementasi) dengan kandungan protein kasar 14% dan TDN 70%, s2 = s1 + hidrolisat bulu ayam 3%,s3 = s2 + 0,12%Cl+0,17S, dan s4 = s3 + 0,40 ppm I + 0,15 ppm Co + 0,15 ppm Se. Penelitian ini menggunakan 24 ekor domba jantan, 12 ekor b1 dan 12 ekor b2. Ternak dibagi 3 kelompok berdasarkan bobot badan awal. Bobot badan awal domba 23,90 ± 2,60 kg. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa suplementasi hidrolisat bulu ayam, mineral S, Cl, dan I, Co, Se dapat meningkatkan nilai pH, NH3, dan total VFA (P<0.05). Nilai pH, NH3 dan total VFA pada b2 (P<0.05) dibanding b1 (7; 10; 120; vs 6,7mM, 104mM). Dapat disimpulkan bahwa limbah perkebunan setelah disuplementasi hidrolisat tepung bulu ayam, mineral S, Cl, dan I, Co, Se dapat digunakan sebagai pengganti hijauan pakan ternak untuk domba. Kata kunci: limbah perkebunan, ransum, mineral, rumen
Pendahuluan Latar Belakang Salah satu kendala pada pengembangan domba di Indonesia adalah fluktuasi ketersediaan dan rendahnya kualitas
pakan. McDowell (1992) melaporkan bahwa hijauan pakan di daerah tropis jarang dapat memenuhi semua kebutuhan nutrisi lemak, terutama nutrisi mineral. Hal ini ternyata benar untuk ternak di Indonesia telah dilaporkan beberapa kasus defisiensi mineral pada ternak
123
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol. 1, No. 3, Desember 2005
ruminansia (Prabowo et al., 1994). Untuk mengatasi permasalahan ini perlu dicari sumber pakan baru yang punya potensi sebagai pakan domba. Limbah perkebunan dan pabriknya dapat dijadikan sebagai pakan alternatif dan sampai sekarang belum dimanfaatkan secara maksimal. Bahan pakan yang berasal dari limbah perkebunan dan pabriknya mempunyai kandungan protein, kecernaan dan palatabilitas rendah, serta kandungan serat kasar tinggi. Meskipun limbah ini memiliki kualitas rendah, tidak berarti produksi domba yang tinggi tidak dapat dihasilkan sepanjang dilakukan sentuhan teknologi untuk mengoreksi nutrisi yang tidak seimbang. Domba dapat menggunakan pakan limbah perkebunan yang sebagian besar berupa serat dengan bantuan enzim yang dihasilkan oleh mikroba rumen. Karena itu kecernaan pakan serat ini sangat tergantung pada populasi mikroba rumen, terutama bakteri pencerna serat. Peningkatan populasi mikroba rumen terutama pencerna serat dapat didekati dari kecukupan zat nutrisi untuk perkembangbiakannya. Hal utama yang harus diperhatikan dalam memanipulasi sistem ekosistem rumen adalah memperhatikan nutrisi yang esensial untuk pertumbuhan mikroba. Pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroba rumen terutama bakteri selulotik membutuhkan asam lemak rantai cabang (BCFA). Bakteri selulotik menggunakan asam lemak rantai cabang sebagai kerangka karbon untuk sintesis protein tubuhnya. Asam lemak rantai cabang, yakni isobutirat, isovalerat, dan 2-metil butirat diperoleh dari protein pakan. Asam lemak rantai cabang ini adalah hasil deaminasi dan dekarboksilasi dari asam amino rantai cabang (BCAA), yakni leusin, isoleusin, dan valin. Bila kandungan asam amino rantai cabang pakan rendah maka asam lemak rantai cabang merupakan faktor pembatas pertumbuhan bakteri selulotik. Hidrolisat bulu ayam adalah pakan sumber protein yang dapat diproduksi secara lokal dengan kandungan protein kasar sebesar 81-90,60% (NRC, 1985; Sutardi, 2001). Protein hidrolisat bulu ayam kaya akan asam amino bercabang, yaitu leusin, isoleusin, dan valin dengan kandungan masing-masing sebesar 4,88, 3,12, dan 4,44% namun defisien akan asam amino metionin dan lisin. Untuk memenuhi kebutuhan asam lemak rantai cabang bagi pertumbuhan bakteri selulotik maka dilakukan suplementasi hidrolisat bulu ayam sebagai sumber asam amino rantai
124
cabang yang berperan sebagai prekusor asam lemak rantai cabang . Bagi ternak ruminansia mineral merupakan nutrisi yang esensial, selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan ternak, juga memasok kebutuhan mikroba rumen. Hogan (1996) menyatakan bahwa untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan yang optimal, mikroba rumen membutuhkan mineral makro (Ca, P, Mg, Cl dan S), mikro (Cu, Fe, Mn dan Zn), dan langka (I, Co dan SE). Mineral mikro dan mineral langka dibutuhkan mikroba untuk melakukan berbagai aktivitas termasuk sintesis vitamin B12, dan kebutuhannya akan mineral ini sangat sedikit dibanding dengan mineral makro. Kekurangan mineral ini bergantung pada ketersediaannya dalam tanah dan kemampuan tanaman untuk menyerap dan meretensinya. Kekurangan, ketidakserasian, dan keracunan mineral pada ternak ruminansia dilaporkan hampir terjadi di seluruh daerah tropis (McDowell, 1996). Setiap mineral mempunyai fungsi faali yang berbeda dan spesifik. Mineral makro terutama menyusun bagian terbesar struktur organisme, sedangkan mikro dan langka lebih berfungsi biokimiawi dan sebagai katalis pada reaksi enzimatis (McDonald et al.,1995). Mineral esensial dibutuhkan dalam jumlah sedikit, dosis yang tepat juga harus diperhitungkan agar jumlah mineral tertentu tidak mengganggu mineral yang lain serta tidak menyebabkan keracunan pada domba. Mineral yang paling kekurangan di padang penggembalaan dan tanaman di daerah tropik adalah I, Co, dan Se (Hanjra et al., 1995; Nurdin, 1995; Sambuu 1995; Hogan, 1996) dan di Indonesia terutama Sumatera, ketiga mineral langka ini juga mengalami defisiensi (McDowell et al., 1980). Bahan pakan asal limbah perkebunan dan pabriknya yang digunakan sebagai bahan penyusun ransum penelitian ternyata defisien akan mineral Cl, S, I, Co, dan Se. Dalam ransum domba yang penting diperhatikan adalah kecukupan mineral di samping nutrien yang lain, karena domba tidak dapat mensintesis mineral dalam tubuhnya. Semua kebutuhan mineral khususnya mineral esensial harus tesedia dalam ransum yang diberikan. Penambahan berbagai mineral baik secara in vitro maupun in vivo memberikan pengaruh yang positif pada aktivitas mikroba rumen (Martinez, 1972). Apabila terjadi status kekurangan mineral, maka aktivitas fermentasi mikroba dalam rumen tidak berlangsung secara optimal, hal ini akan menyebabkan efisiensi penggunaan ransum rendah dan akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ternak. Oleh karena itu suplementasi hidrolisat bulu ayam sebagai
Zulfikar Siregar: Limbah Perkebunan terhadap Nilai pH, nh3, dan vfa Rumen
sumber asam amino rantai cabang dan mineral esensial Cl, S, I, Co, dan Se ke dalam ransum berbasis limbah perkebunan perlu dikaji manfaatnya terhadap pertambahan bobot badan domba jantan persilangan Sunge Putih dan Lokal Sumatera.
Metodologi Penelitian 1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi Ternak, Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian USU Medan, Laboratorium Makanan Ternak IPB, dan Laboratorium Bioteknologi Cimanggu Bogor selama 10 bulan mulai tanggal 7 Januari sampai 7 November 2002. 2. Materi Penelitian a. Bahan Ransum Bahan ransum terdiri atas daun kelapa sawit, lumpur sawit, bungkil inti sawit, kulit buah kakao, tetes tebu, urea, dan kalsium fosfat. Bahan suplementasi terdiri atas hidrolisat bulu ayam, NaCl, Na2SO4, Kl, (CH3COO) Co. 4H2O, dan K2SO4 yang mengandung 0,10% Se. Jumlah mineral esensial makro dan langka yang disuplementasi sesuai dengan kebutuhan domba (NRC, 1970; NRC, 1985). b. Domba Domba jantan 24 ekor umur 4 – 8 bulan terdiri atas 12 ekor lokal Sumatera dan 12 ekor Sunge Putih. Bobot badan awal domba sebesar 23,90 ± 2,6kg c. Kandang Kandang individu ukuran 0,75 x 1,50 m 24 unit dilengkapi tempat pakan, air minum, penampung feses, dan urin. d. Ransum Ransum basal dengan TDN 70% protein kasar 14%. Ransum uji pada domba terdiri atas 4 jenis, yaitu s1 sebagai ransum basal (tanpa suplementasi), s2 yaitu s1 + hidrolisat bulu ayam sebesar 3%, s3 yaitu s2 + 0,12% Cl+0,15%S dan s4 = s3 + 0,40 ppm I + 0,15 ppm Co + 0,15 ppm Se. Komposisi bahan dan kandungan nutrien ransum penelitian tertera pada lampiran 1. 3. Rancangan Percobaan Percobaan ini merupakan suatu percobaan faktorial 2 x 4. Faktor pertama adalah bangsa domba yang terdiri atas 2 level. Faktor kedua adalah suplementasi yang terdiri atas 4 level. Pada penelitian ini ada 8 kombinasi perlakuan. Rancangan yang digunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 3 kelompok. Model matermatika yang digunakan:
Yijk = μ + δI + ∝j + βk (∝β)jk + ∑ijk 4. Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil percobaan ditabulasi dan dilakukan analisis ragam (Anova) kemudian uji banding antarperlakuan dilakukan dengan kontras ortogolan (Steel dan Torrie, 1980). Semua analisis dari peubah dikerjakan dengan menggunakan paket Microsoft Word Exel 2000 dan Mathcad 2001.
Hasil dan Pembahasan Nilai pH Cairan Rumen Nilai pH, NH3, dan total VFA cairan rumen disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai pH, NH3, dan total VFA cairan rumen, pada domba lokal dan persilangan yang mendapat ransum tanpa suplementasi, suplementasi hidrolisat bulu ayam, mineral esensial makro Cl, S, dan mineral esensial langka I, Co, Se
Perlakuan
B1s1 b1s2 b1s3 b1s4 b2s1 b2s2 b2s3 b2s4
PH cairan rumen 6,35a 6,30a 6,45a 6,67a 6,42a 6,45a 6,53b 6,70b
P e u b a h NH3 Total VFA cairan (mM) rumen (mM) 6,03a 96,20a 6,12a 93,90a b 7,40 110,90b b 7,67 115,90b 7,51b 107,60b c 8,51 122,60c c 10,33 123,50c c 11,60 125,70c
Nilai pH berbeda antara domba lokal dengan domba persilangan. Nilai pH terendah pada domba lokal dengan sumplementasi hidrolisat bulu ayam sebesar 6,30 dan tertinggi pada domba persilangan dengan suplementasi mineral esensial langka, yaitu sebesar 6,70. Suplementasi hidrolisat bulu ayam, mineral makro, dan langka pada domba lokal tidak meningkatkan nilai pH, sedangkan pada domba persilangan suplementasi hidrolisat bulu ayam tidak meningkatkan nilai pH, namun suplementasi mineral makro dan langkah meningkatkan pH. Kendati demikian kenaikan dan penurunan pH ini masih dalam kisaran pH yang ideal untuk mendukung pertumbuhan dan aktivitas mikroba terutama bakteri pencerna serat, yaitu 6,18-6,68. Nilai pH normal untuk mendukung pertumbuhan dan aktivitas mikroba
125
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol. 1, No. 3, Desember 2005
adalah 6,0-7,3 (Orskov dan Ryle, 1990; Counette, 1979). Kondisi pH yang ideal ini dapat dicapai karena ransum uji yang diteliti mengandung serat tinggi, keadaan ini mengharuskan domba banyak melakukan aktivitas pengunyahan sehingga saliva yang disekresikan dan yang masuk ke dalam retikulo-rumen lebih banyak. Saliva domba banyak mengandung bikarbonat, fosfat dan berperan sebagai penyangga sehingga pH dapat dipertahankan tetap pada kisaran normal (Sutardi, 1977). Kisaran nilai pH yang dicapai pada penelitian ini sebesar 6,30-6,70 hampir sama dengan yang dilaporkan oleh Mardiati (1999) dengan pemberian serat sabut sawit pada domba lokal Garut, yaitu sebesar 6,46-6,63. Kadar Amonia (NH3) Nilai NH3 merupakan tolok ukur untuk menilai fermentabilitas ransum dan erat kaitannya dengan populasi dan aktivitas mikroba. Nilai NH3 berbeda (P < 0,05) antara domba lokal dan persilangan. Nilai NH3 lebih tinggi pada domba persilangan dibanding lokal (9,60 vs 6,80 mM). Nilai NH3 terendah dicapai pada domba lokal yang mendapat ransum kontrol sebesar 6,03 mM dan tertinggi pada persilangan yang mendapat ransum dengan suplementasi mineral esensial langka, yaitu sebesar 11,60mM. Suplementasi hidrolisat bulu ayam pada domba persilangan nyata meningkatkan nilai NH3, sedangkan pada lokal tidak nyata, namun ada tendensi naik. Hal ini diduga karena protein hidrolisat bulu ayam merupakan protein yang tahan degradasi oleh mikroba rumen. Aderibidge dan Church (1983) melaporkan bahwa utilisasi protein hidrolisat bulu ayam rendah bila diukur secara in vitro, namun tinggi bila diukur secara in vivo. Suplementasi mineral makro dan langka dapat meningkatkan NH3 pada domba lokal dan persilangan. Di samping energi dan protein, nutrisi mineral sangat dibutuhkan mikroba rumen untuk berbagai aktivitas. Sulfur dibutuhkan mikroba untuk sintesis asam amino bersulfur (sistin, sistein, dan metionin) yang diperlukan untuk pertumbuhannya. Kobalt dibutuhkan dalam sistem vitamin B12. Dengan terpenuhinya nutrisi mineral yang dibutuhkan bakteri, maka populasinya naik dan menghasilkan NH3 yang lebih banyak. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa NH3 yang dicapai pada semua perlakuan mampu menyediakan NH3 dalam jumlah cukup untuk pertumbuhan mikroba. Kisaran nilai NH3 pada penelitian ini 6,03 – 11,60 mM dan hasil ini
126
sejalan dengan yang dilaporkan peneliti sebelumnya (Satter dan Slyter, 1974; Sutardi, 1979; Preston dan Leng, 1987) bahwa kadar NH3 yang mendukung pertumbuhan mikroba 4 – 14 mM dan apabila nilai NH3 yang optimal untuk pertumbuhan mikroba dan yang relevan dengan ternak adalah 8 mM (Agustin et al., 1992). Pada NH3 kurang dari 3,75 mM pertumbuhan bakteri terhambat (Satter dan Slyter, 1974). Asam Lemak Atsiri (VFA) Asam lemak atsiri (VFA) adalah sumber energi utama bagi ternak ruminansia maupun mikroba rumen dan merupakan hasil dari proses fermentasi ransum di dalam rumen. Nilai VFA berbeda (P < 0.05) antara domba lokal dan persilangan. Nilai VFA lebih tinggi pada domba persilangan dibanding lokal (120,00 vs 104,25 mM). Nilai VFA terendah dicapai pada domba lokal dengan suplementasi hidrolisat bulu ayam, yaitu 93,90 mM dan tertinggi pada persilangan dengan suplementasi mineral langka yaitu 125,70 mM. Pada domba lokal suplementasi hidrolisat bulu ayam tidak meningkatkan VFA dan nilainya rendah dari lokal yang mendapatkan ransum kontrol. Hal ini dapat dijelaskan karena hidrolisat bulu ayam mempunyai fermentabilitas rendah dan sulit dicerna mikroba rumen. Suplementasi mineral makro dan langka meningkatkan VFA pada domba lokal, sedangkan pada persilangan suplementasi hidrolisat bulu ayam, mineral makro, dan langka meningkatkan VFA. Hal ini erat kaitannya dengan bakteri yang dihasilkan. Pada kedua perlakuan ini populasi bakteri juga lebih tinggi dibanding kontrol dan ransum yang di suplementasi dengan hidrolisat bulu ayam, sehingga fermentasi yang dilakukan di dalam rumeh lebih optimal dan menghasilkan VFA yang lebih tinggi. Kisaran VFA pada penelitian ini sebesar 93,90 – 125,70 mM berada dalam kisaran yang dilaporkan France dan Siddon (1993), yaitu sebesar 70,00 – 130,00 mM, tetapi lebih besar dari yang dilaporkan Mardiati (1999) pada pengujian efek amoniasi sabut sawit sebagai subsitusi rumput, defaunasi, dan suplementasi analog hidroksi metionin dan asam amino bercabang pada domba, yaitu sebesar 102,60 – 120,62 mM dan Muhtaruddin (2002) pada pengujian efek amoniasi, hidrolisat tepung bulu ayam, daun singkong, dan camuran lisin-Znminyak lemuru pada kambing peranakan Etawah, yaitu sebesar 88,75 – 99,75 mM. Perbedaan VFA yang dihasilkan terjadi karena model fermentasi dalam rumen ditentukan komposisi mikroba yang dipengaruhi oleh ransum basal. Ransum basal pada penelitian ini berbeda dengan ransum basal yang digunakan
Zulfikar Siregar: Limbah Perkebunan terhadap Nilai pH, nh3, dan vfa Rumen
dalam penelitian Mardiati (1999) dan Muhtaruddin (2002) sehingga menyebabkan nilai total VFA yang berbeda.
Kesimpulan Ransum berbahan dasar limbah perkebunan cukup prospek dan setara dengan ransum konvensional berkualitas sepanjang sentuhan teknologi untuk mengoreksi nutrisi yang tidak seimbang. Untuk mengoreksi nutrisi yang tidak seimbang pada ransum berbahan dasar limbah perkebunan perlu dibuat vitamin mineral mix (vitminmix). Limbah perkebunan dan pabriknya dapat digunakan sebagai pakan pengganti rumput dan mampu mendukung pertumbuhan domba jantan yang sedang bertumbuh.
Daftar Pustaka Aderidigbe A.O., Church D.C. 1983. “Feather and Hair Meals for Ruminant. Effect of Degree of Processing on Utilization of Feather Meal.” J. Anim. Sci. 56: 1198 – 1207
Mardiati Z. 1999. Substitusi Rumput dengan Sabut Sawit dalam Ransum Pertumbuhan Domba; Pengaruh Amoniasi, Defaunasi dan Suplementasi Analog Hidroksi Metionin serta Asam Amino Bercabang. [Disertasi]. Bogor. Institut Pertaian Bogor, Program Pascasarjana, Program Studi Ilmu Ternak. Martinez A. 1972. Effect of Some Major and Trace Element Interactions upon in vitro Rumen Cellulose Digestion. [Thesis]. Oregon. Oregon State Univ. McDowell P., Edwards RA, Greenhalg JFD, Morgan CA. 1995. Animal Nutrition. Longman Inc. New York. McDowell L.R., Conrad J.H., Loosli J.K. 1980. “Minerals Deficienscies and Toxicities for Grazing Ruminant in the Tropics.” Proc. First Seminar on Mineral Nutrition in Thailand. McDowell L.R. 1996. “Feeding Mineral to Cattle on Pasture.” J. Anim. Feed. Sci.60: 247 – 271.
Agustin F.S., Widyawati, Sutardi T. 1992. “Penggunaan serat dan lumpur sawit dalam ransum sapi perah.” Hal. 228 – 236. Dalam Pros. Agro-industri Peternakan di Pedesaan. Balai Penelitian Ternak, Puslitbang, Ciawi, 10-11 Agustus, Bogor.
Muhtaruddin. 2002. Efek Pengujian Amoniasi, Hidrolisat Tepung Bulu Ayam, Daun Singkong, dan Campuran Lisin-Zn-Minyak Lemuru pada Peranakan Ettawah. [Disertasi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor, Program Pascasarjana, Program Studi Ilmu Ternak.
Counette GHM. 1979. “Regulation of Rumen Lactate Metabolism and the Role of Lactic Acid in Nutritional Disorders of Ruminants.” Vet. Sci. Commun. 2: 277-303.
National Research Council. 1985. Nutrient Requirements of Sheep. Washington D.C.: National Academy Press.
France J., Siddons R.C. 1993. “Volatile Fatty Acids production.” In Quantitative Aspect of Ruminant Digestion and Metabolism. C.A.B. International. Hanjra S.H., Iqbal A., Hayat M.J. 1995. “Mineral Deficiencies in Grazing Sheep in Pakistan.” Proc. Mineral Problems in Sheep in Northern China and Other Region of Asia. Hogan J. 1996. Ruminant Nutrition and Production in the Tropics and Subtropics Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra.
Nurdin, M.M. 1995. “Trace Element Research in Sheep in Malaysia.” Proc. Mineral Problems in Sheep in Northern China and Other Region of Asia. Orskov E.R., Ryle M. 1990. “Energy Nutrition in Ruminant.” Elsevir Appl. Sci. London. Prabowo A., Djajanegara A., Lubis D., Inounu I. 1994. “Manipulasi Aktivitas Pencernaan Mikroba Rumen dengan Mineral (Fe, Mn, Zn, Cu, Co dan Mo) pada Domba. Penelitian in vitro.” Kumpulan Hasil Penelitian APBN Tahun Anggaran 1994/995. Preston
T.R., Leng R.A. 1987. Matching Ruminant Production System with Available Resources in Tropics. Armidale: Penambul Books.
127
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol. 1, No. 3, Desember 2005
Sambuu G. 1995. “Some issues of mineral in Mongolian sheep herds.” Proc. Mineral Problems in Sheep in Northern China and Other Region of Asia. Satter L.S., Slyter. 1974. “Effect of Amonia Concentration on Rumen Microbial Protein Production in Vitro.” J. Nutr. 32: 199-208. Steel R.G.D., Torrie J.H. 1980. Principles and Procedure of Statistics. New York: Mc Graw-Hill Book Co, Inc.
128
Sutardi T. 1979. “Ketahanan Protein Bahan Makanan terhadap Defradasi oleh Mikroba Rumen dan Manfaatnya bagi Peningkatan Produktivitas Ternak.” Pros. Seminar Penelitian dan Penunjang Peternakan, LIPI, Bogor. Sutardi T. 2001. Revitalisasi Peternakan Sapi Perah melalui Penggunaan Ransum Berbasis Limbah Perkebunan dan Suplemen Mineral Organik. Laporan Akhir Riset Unggulan Terpadu (RUT) VIII.I Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Tidak dipublikasikan.
Zulfikar Siregar: Limbah Perkebunan terhadap Nilai pH, nh3, dan vfa Rumen
Lampiran 1: Komposisi bahan dan kandungan nutrien ransum penelitian Ransum Uraian s1
s2
s3
s4
Komposisi bahan (%BK) Bungkil inti sawit
47,20
47,20
47,20
47,20
Lumpur minyak sawit
13,30
13,30
13,30
13,30
4,80
4,80
4,80
4,80
29,20
29,20
29,20
29,20
Tetes tebu
3,50
3,50
3,50
3,50
Dikalsium fosfat
1,00
1,00
1,00
1,00
Urea
1,00
1,00
1,00
1,00
Hidrolisat bulu ayam (%)
-
3,00
3,00
3,00
Dl (%)
-
-
0,12
0,12
S (%)
-
-
0,17
0,17
I (ppm)
-
-
-
0,40
Co (ppm)
-
-
-
0,15
Se (ppm)
-
-
-
0,15
Bahan kering*
93,80
93,70
94,00
93,60
Protein kasar*
14,19
16,94
16,94
16,94
Lemak kasar*
8,12
8,20
8,15
8,16
Daun kelapa sawit Kulit buah kakao
Suplementasi
Komposisi nutrien
25,34
25,35
25,32
25,32
TDN**
(%)
70,00
72,30
72,30
72,30
Ca**
(%)
0,57
0,57
0,57
0,57
P**
(%)
0,26
0,26
0,26
0,26
K**
(%)
0,66
0,66
0,66
0,67
Na**
(%)
0,15
0,15
0,48
0,48
Cl**
(%)
0,04
0,04
0,16
0,16
S**
(%)
0,03
0,05
0,22
0,23
Mg**
(%)
0,21
0,21
0,21
0,21
Zn**
(ppm)
46,00
47,50
47,50
47,50
Fe**
(ppm)
256,00
262,51
262,51
262,51
Cu**
(ppm)
28,00
28,08
28,08
28,08
Mn**
(ppm)
215,00
215,31
215,31
215,31
I**
(ppm)
0,05
0,05
0,05
0,45
Co**
(ppm)
0,00
0,00
0,00
0,15
Mo**
(ppm)
3,00
3,34
3,34
3,34
Se**
(ppm)
0,00
0,00
0,00
0,15
Serat kasar*
Keterangan: * = Hasil analisis. ** = Hasil perhitungan
129