PENDAHULUAN Pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi siswa untuk menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan ini dapat dicapai oleh siswa melalui jalur pendidikan, salah satunya adalah jalur pendidikan formal. Sekolah Dasar (SD) merupakan merupakan jenjang paling dasar pada pendidikan formal di Indonesia. Menurut Santrock (2007) periode Sekolah Dasar merupakan tahap perkembangan kanak-kanak tengah dan akhir (middle and late childhood) yang dimulai dari usia 6 hingga 11 tahun. Tujuan pendidikan di Sekolah Dasar adalah memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik dalam mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara, serta mempersiapkan peserta didik untuk melanjutkan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Kemampuan dasar tersebut terdiri dari keterampilan dasar umum yakni pemahaman bahasa, ekspresi bahasa, orientasi motorik, atensi dan konsentrasi, emosi dan perilaku serta komunikasi dan keterampilan dasar akademik yakni membaca, menulis dan berhitung. Penguasaan berbagai keterampilan dasar di jenjang pendidikan dasar menjadi prediktor keberhasilan siswa dalam menghadapi tugas-tugas akademik di jenjang pendidikan selanjutnya. Siswa menguasai keterampilan dasar menulis, membaca, aritmatik dan secara formal dihadapkan pada dunia yang lebih besar (Santrock, 2007).
Menurut Partowisastro dan Hadisuparto (1984) tidak semua siswa memiliki kemampuan, kecerdasan, bakat, minat, latar belakang dan lingkungan fisik sosial yang sama. Akibatnya terdapat berbagai variasi kondisi siswa, ada siswa yang cepat, lambat dan biasa saja. Setiap siswa hendaknya mendapatkan kesempatan dan pelayanan untuk berkembang secara optimal sesuai dengan kondisinya. Salah satu tugas yang paling sulit bagi seorang guru adalah mendeteksi dan memecahkan permasalahan siswa. Berdasarkan hasil kuesioner mengenai peran wali kelas sebagai guru Bimbingan dan Konseling yang dilakukan pada wali kelas di Sekolah Dasar di Yogyakarta tahun 2013 maka diperoleh kesimpulan bahwa kegiatan pemecahan masalah siswa penting dilakukan karena berdampak pada pencapaian prestasi siswa, mencegah munculnya permasalahan yang lebih luas, membantu kelancaran proses pembelajaran dan menimbulkan kenyamanan di dalam diri siswa. Penelitian yang dilakukan oleh Al-amarat (2011) mengenai permasalahan yang sering dihadapi guru di Sekolah Dasar, menunjukkan bahwa terdapat beberapa permasalahan akademik dan perilaku siswa yang dihadapi oleh guru di Sekolah Dasar. Permasalahan akademik seperti lupa membawa peralatan sekolah, sering absen, kurang konsentrasi, hiperaktif, berbicara yang tidak pantas di kelas, ketidakpatuhan, penolakan untuk melakukan tugas, rendahnya pencapaian akademik siswa, kegagalan menyelesaikan PR dan kesulitan belajar. Permasalahan perilaku yang sering terjadi di kelas seperti perilaku menarik perhatian siswa lain, agresivitas, berbicara keras ketika menjawab pertanyaan guru dan membuat keributan di dalam kelas. Berdasarkan hasil asesmen yang diberikan pada wali kelas di SD
Muhammadiyah Sleman mengenai peran wali kelas sebagai guru Bimbingan dan Konseling di Sekolah Dasar tahun 2013 maka diperoleh data bahwa permasalahan siswa yang sering terjadi antara lain siswa tidak mengerjakan tugas dan PR, kesulitan konsentrasi mengikuti pelajaran, motivasi belajar yang rendah, siswa kelas 1 yang masih kesulitan menyesuaikan diri, perkelahian, terlambat masuk sekolah, buku ketinggalan dan keliru menjadwal pelajaran, belum lancar membaca dan menulis, agresivitas, kesulitan memahami pelajaran, tidak memiliki sopan santun dan rendahnya dukungan orang tua pada anak. Menurut Muhari (1996) salah satu tindakan yang dapat dilakukan untuk menurunkan angka permasalahan siswa di Sekolah Dasar adalah dengan mengintensifkan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah. Tujuan utama layanan bimbingan dan konseling di sekolah untuk membantu peserta didik dapat berkembang secara optimal (Wantu, 2011). Komponen pelayanan bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen yang penting dalam sistem pendidikan (Smith, 2011). Posisi struktural untuk konselor pada jenjang Sekolah Dasar belum ditemukan hingga saat ini oleh karena itu wali kelas memegang peranan kunci menangani permasalahan siswa di Sekolah Dasar (Winkel dan Hastuti, 2010). Konselor sekolah yang efektif dapat menjadi agen perubahan ke arah yang lebih positif dalam hal kedisiplinan siswa (Kyle dan Devoss, 2011). Hasil penelitian Washington (2010) mengenai pengaruh konselor sekolah terhadap performansi akademik siswa menyimpulkan bahwa konselor sekolah memiliki peranan yang
penting dalam upaya peningkatan perfomansi akademik siswa. Hasil asesmen mengenai peran wali kelas sebagai guru Bimbingan dan Konseling yang dilakukakan pada wali kelas di SD Muhammadiyah Sleman tahun 2013 menunjukkan bahwa wali kelas memiliki pengetahuan mengenai peran dan fungsi wali kelas juga sebagai guru Bimbingan dan Konseling di Sekolah Dasar, namun pengetahuan mengenai perkembangan psikologis siswa dan kemampuan dalam menyelesaikan permasalahan siswa masih minim. Kesulitan yang dihadapi wali kelas antara lain tidak sistematis dalam menyelesaikan masalah dan tidak tuntas akibatnya permasalahan terulang kembali, menggunakan metode memberikan nasihat saja pada siswa untuk berbagai permasalahan, kesulitan mengenali permasalahan dan kesulitan menentukan strategi pemecahan masalah yang tepat. Wali kelas juga belum pernah terlibat dalam kegiatan pengembangan kompetensi khususnya terkait dengan peran dan fungsi sebagai guru Bimbingan dan Konseling. Hal ini sejalan dengan penelitian Mushaandja, Haihambo, Vergnani dan Frank (2013) mengenai tantangan utama yang dihadapi oleh guru konselor sekolah di Namibia bahwa guru yang memliki peran ganda sebagai pengajar dan juga konselor sekolah, menghadapi banyak tantangan dan kurang memiliki kemampuan untuk menangani permasalahan siswa secara efektif. Menurut Winkel dan Hastuti (2010) perencanaan program bimbingan di Sekolah Dasar menekankan pada bimbingan belajar tentang cara belajar dan bimbingan membantu siswa untuk mencapai kemampuan minimum yang dituntut oleh kurikulum dan program pengajaran. Terdapat tiga pandangan dasar mengenai bimbingan di Sekolah Dasar, yaitu bimbingan terbatas pada pengajaran yang baik,
bimbingan diberikan kepada siswa yang menunjukkan gejala-gejala penyimpangan dari laju perkembangan yang normal dan pelayanan bimbingan tersedia untuk semua murid, supaya proses perkembangannya berjalan lebih lancar. Terdapat beberapa keterampilan yang dibutuhkan oleh guru Bimbingan dan Konseling di sekolah, salah satunya adalah kemampuan pemecahan masalah, yakni kemampuan untuk membantu siswa menyelesaikan masalahnya. Konseling yang berfokus pada pemecahan masalah siswa memberikan dampak yang positif terhadap permasalahan perilaku dan belajar siswa (Saadatzaade, dan Khalili, 2012: Udeani, Adeyemo, 2011; Webb dan Brigman,2007). Penelitian Kusmayarni (2010) mengenai penguasaan keterampilan konseling guru pembimbing di SD menyimpulkan terdapat beberapa kemampuan yang belum dikuasai oleh guru BK dalam memberikan layanannya pada siswa salah satunya adalah kemampuan pemecahan masalah, hal ini sejalan dengan penelitian Mushaandja, Haihambo,Vergnani, dan Frank (2013) mengenai tantangan utama yang dihadapi oleh konselor sekolah adalah kurangnya kemampuan dalam menangani siswa. Pemecahan masalah merupakan model utama yang digunakan dalam memecahkan kesulitan yang dialami oleh siswa, mulai dari mengkaji kekuatan dan kelemahan siswa, mengumpulkan data terkait dengan permasalahan siswa, mengidentifikasi penanganan serta mengevaluasi efek penanganan yang diberikan pada siswa (Andrea, 2004). Problem solver yang efektif harus mengetahui rangkaian pemecahan masalah dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya (Khan, Hafeez dan Saeed, 2012). Sebagai problem solver yang baik, guru sebaiknya tidak
terjebak pada mental set yang lama dan mau terbuka untuk mempelajari hal-hal yang baru dalam menyelesaikan masalah, tidak mudah menyerah dalam menyelesaikan masalah dan percaya akan kemampuan mereka dalam menyelesaikan masalah (Santrock, 2007). Pada dasarnya kemampuan pemecahan masalah oleh pejabat di sekolah cenderung kurang diperhatikan. Disarankan pada pejabat sekolah untuk memberikan perhatian lebih supaya guru memiliki kemampuan pemecahan masalah guna menunjukkan performansi kerja yang lebih baik khususnya dalam usaha meningkatkan prestasi siswa (Khan, Hafeez dan Saeed, 2012). Guru SD hendaknya berupaya meningkatkan keterampilan melalui berbagai aktivitas seperti diskusi dengan teman sejawat, konsultasi dengan kepala sekolah, aktif dalam kegiatan kelompok kerja guru dan aktif dalam mengidentifikasi kesulitan dalam proses belajar (Trimo, 2011; Swinton, Berry, Scafidi dan Woodard, 2010; Wingfield, Reese dan Olatunji, 2010). Terdapat tiga komponen penting dalam membuat program guna mensukseskan kinerja guru salah satunya adalah program yang dibuat harus memiliki hubungan yang sifatnya proaktif dari pihak sekolah berupa pelayanan siswa yang memiliki berbagai permasalahan (Darling dan Hammond, 2006). Guru yang proaktif melakukan berbagai tugas sebaik-baiknya, tidak menunggu perintah dari orang lain untuk melakukan tugasnya (Ramdhani, 2012) dan guru yang responsif mampu menjalin kerjasama dengan rekan guru lain dan orangtua siswa dalam menangani siswa dengan baik (Gentry, 2012).
Menurut Soresi (2004) untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah maka pemahaman yang perulu diberikan pada peserta antara lain: pentingnya memecahkan masalah, mempertimbangkan konsekuensi
dari masalah, cara
mengidentifikasi dan mendefinisikan masalah, mendefinisikan tujuan yang ingin dicapai dari suatu masalah, kaitan masalah dan penetapan tujuan, menentukan strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan yang, kegiatan membuat keputusan, dan karakteristik dari perilaku pemecah masalah (pasif, tegas, agresif). Salah satu pelatihan yang terbukti mampu mengoptimalkan peran dan fungsi guru Bimbingan Konseling adalah pelatihan keterampilan psikologis model BK “PROAKTIF” yang dikembangkan oleh Atamimi (2011). Pelatihan ini memberikan pengetahuan dan keterampilan antara lain memahami diri dan orang lain (siswa, guru lain dan orang tua), manajemen fungsi dan layanan BK, stress dan pemberdayaan diri, deteksi dini siswa bermasalah, komunikasi efektif dan hubungan interpersonal yang empatik, menangani siswa bermasalah melalui konseling individu atau kelompok, pengembangan diri siswa, pengembangan diri guru BK untuk menjadi fasilitator, moderator dan kolabolator yang efektif dan nyaman bagi sekolah (siswa, guru dan orangtua). Pelatihan psikologis adalah pelatihan yang didesain untuk meningkatkan keterampilan personal dan keterampilan interpersonal salah satunya adalah kemampuan pemecahan masalah (Goldstein, 1981). Pelatihan psikologis model BK “PROAKTIF” dirancang dengan acuan teori Adler dan teori Rogers. Teori Adler menyatakan individu dilahirkan dengan kekuatan untuk berjuang yang diaktifkan melalui perasaan inferiority. Perasaan ini
menstimulasi individu menetapkan tujuan untuk mengatasi keadaan inferiority mereka (Feist & Feist ,2006). Teori Rogers menyatakan setiap individu berusaha untuk menjadi lebih baik, setiap individu memiliki potensi dan berusaha memaksimalkan potensinya (Glonce, 1995). Pelatihan keterampilan psikologis model BK “PROAKTIF” memfasilitasi peserta untuk mengembangkan potensi dirinya agar menjadi diri yang positif, aktif kreatif, konstruktif, maju, berkembang, mau berproses sehingga mampu untuk mengaktualisasikan diri seutuhnya (Atamimi, 2011). Materi yang diberikan pada pelatihan keterampilan psikologis model BK “PROAKTIF” antara lain diriku yang ajaib yang bertujuan untuk membantu peserta mengenali kondisi dirinya kelebihan dan kekurangannya serta tindakan yang dapat dilakukan peserta untung mengembangkan dirinya. Materi relaksasi S-EFT bertujuan supaya peserta mengetahui hubungan kondisi emosi dengan kegiatan guru dalam mendampingi siswa dan memberikan teknik relaksasi yang dapat digunakan oleh guru dalam kehidupan sehari-hari. Materi lebih dekat dengan siswa untuk memberikan pengetahuan mengenai karakteristik dan tugas perkembangan siswa serta kaitannya dengan permasalahan siswa serta memberikan pengetahuan pada guru mengenai teknik-teknik yang dapat digunakan guru dalam menghadapi permasalahan siswa. Materi komunikasi mengenal gesture untuk memberikan pengetahuan mengenai pentingnya peran komunikasi interpersonal yang baik dalam berinteraksi dengan siswa, guru dan rekan sejawat serta teknik konseling yang baik. Materi cinema edukasi-1 untuk memberikan gambaran modeling yang tepat mengenai
strategi guru dalam mengenali permasalahan siswa, memberikan penanganan pada siswa dan efektivitas dari penanganan yang diberikan melalui kasus siswa yang mengalami kesulitan belajar. Materi menuju BK “PROAKTIF” untuk memberikan pengetahuan pada peserta bedanya proaktif dan reaktif serta konsep BK “PROAKTIF” yang dapat membantu guru dalam memaksimalkan perannya sebagai guru BK. Materi bermain peran untuk memberikan kesempatan pada peserta praktik seperti yang telah dicontohkan melalui tayangan, peserta akan dstimulasi melalui blind case. Materi mengungkap multiple intelligences untuk memberikan pengetahuan pada guru mengenai perbedaan kecerdasaan yang potensial dan menonjol pada siswa yang merupakan salah satu aspek yang dapat dipertimbangkan oleh guru dalam menyelesaikan permasalahan siswa. Materi cinema edukasi-2 untuk memberikan gambaran permasalahan siswa dan modeling strategi pemecahan masalah siswa yang tepat, tantangan, pengorbanan dan peluang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan peserta dalam menghadapi permasalahan siswa melalui kegiatan latihan blindcase. Materi diskusi pelayanan BK, bertujuan untuk memberikan pengetahuan pada peserta mengenai fungsi, layanan dan peran BK disekolah agar peserta dapat menggunakannya dalam praktik mendampingi siswa. Terkahir materi pembuatan program BK bagi wali kelas untuk melatih guru dalam membuat program layanan BK dan praktik menyusun program penyelesaian permasalahan siswa. Pada penelitian ini peneliti menggunakan pelatihan keterampilan psikologis model BK “PROAKTIF” dan terdapat 4 sesi yang tidak dilibatkan dalam penelitian
ini antara lain ruangan indahku untuk memberikan informasi pada guru BK mengenai desain ruangan yang tepat pada ruang BK, peer educator untuk mengajarkan pada guru BK mengenai teknik yang tepat membimbing siswa agar mampu menjadi peer educator bagi teman sebayanya, si bisu menggosip yang memiliki materi yang sama dengan komunikasi mengenal gesture, di balik makna BK untuk meningkatkan pemahaman guru BK mengenai makna dari profesi guru BK. Pada penelitian ini beberapa materi yang terkait dengan karakteristik siswa SMP juga diganti dengan karakteristik dan tugas perkembangan siswa SD. Hal ini dilakukan karena wali kelas SD tidak memiliki ruangan BK dan karakteristik siswa yang dihadapi oleh guru SD berbeda dengan siswa SMP. Pemahaman mengenai siswa SD ini sangat penting bagi guru dalam memecahkan masalah karena menurut Hayes (1978) dalam memecahkan individu harus memahami mengenai permasalahan tersebut. Tayangan film yang diberikan juga disesuaikan dengan peserta pelatihan yakni mengenai guru SD, tindakan ini dilakukan sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Bandura (1987) mengenai efektivitas keberadaan model tergantung pada tiga hal yaitu seseorang akan meniru model yang serupa dengan dirinya, model yang memiliki kompetensi tinggi lebih ditiru dan status model yang memerankan. Dinamika pelatihan keterampilan psikologis model BK “PROAKTIF” dalam penelitian ini menganut teori kognitif sosial dari Bandura. Teori kognitif sosial merupakan pembaharuan dari teori belajar sosial yang memberikan gambaran lebih rinci mengenai proses perubahan perilaku dan peningkatan keterampilan seseorang (Hill dan Lent, 2006).
Menurut Bandura (2011) teori kognitif sosial menjelaskan kerangka konseptual mengenai mekanisme dan faktor-faktor yang menentukan perubahan fikiran, perasaan dan perilaku manusia dalam bentuk triadic reciprocal causation atau hubungan sebab akibat timbal balik antara tiga faktor yaitu faktor personal, perilaku dan lingkungan. Teori ini menyebutkan bahwa seseorang dapat belajar dari mengamati perilaku orang lain (observational learning), hasil belajar tersebut tidak secara langsung dipraktikkan pada saat perilaku tersebut diamati namun dapat digunakan kemudian. Melalui observational learning seseorang dapat mempelajari perilaku baru berikut dengan memahami konsekuensi dari tindakannya (Schunk, 2000). Bandura (1989) mengemukakan 4 proses dalam observational learning yaitu attention, retention, reproduction dan motivation. Proses atensi (attention) adalah tahap dimana pembelajar menaruh perhatian melalui pengamatan. Di sini wali kelas mengamati perilaku model yang ditampilkan melalui tayangan. Dalam memberikan tayangan fasilitator menekankan pada peserta untuk memperhatikan keterampilan pemecahan masalah guru sebagai model yang berperan dalam film tersebut. Supaya dapat meniru perilaku model maka peserta harus meningat atau menyimpan (retain) perilaku tersebut dan menggunakan informasi yang telah disimpan untuk digunakan kemudian. Setelah wali kelas memahami keterampilan pemecahan masalah dan mengingat elemen ataupun langkah-langkahnya. Wali kelas membutuhkan banyak latihan, umpan balik dan latihan khusus untuk langkah-langkah yang sulit sebelum wali kelas dapat memproduksi perilaku model tersebut. Pada fase reproduksi
(reproduction) ini latihan yang berulang-ulang dapat membuat perilaku tersebut dapat ditirukan secara lebih lancar dan lebih mahir. Wali kelas memperoleh suatu keterampilan melalui pengamatan, namun wali kelas itu mungkin tidak melaksanakan keterampilan itu sampai ada motivasi untuk melaksanakannya. Untuk membangun motivasi melalui observational learning ini dapat dilakukan melalui bentuk pengamatan. Terdapat tiga bentuk penguatan yang dapat mendorong pembelajaran melalui pengamatan. Pertama adalah mendapat penguatan langsung, misalnya ketika wali kelas mempraktikkan keterampilan dengan tepat selanjutnya fasilitator memuji dengan berkata “bagus sekali”. Kedua penguatan dapat berbentuk vicarious reinforcement. yakni dengan melihat orang lain memperoleh penguatan untuk suatu keterampilan tertentu melalui tayangan film selanjutnya mendorong wali kelas untuk meniru keterampilan tersebut. Pendekatan yang ketiga adalah datang dari diri sendiri (self reinforcement) yakni motiavsi dari dalam diri wali kelas itu sendiri. Pendekatan observational learning juga mengacu pada teori self efficacy. Menurut Bandura (1997) self efficacy (keyakinan diri) adalah keyakinan seseorang tentang sejauh mana ia memperkirakan kemampuannya dalam melaksanakan suatu tugas atau tindakan yang diperlukan untuk mencapai suatu hasil. Self efficacy ini akan mempengaruhi pilihan tindakan yang akan dilakukan, besarnya usaha yang akan dikeluarkan dan ketahanan ketika menghadapi hambatan atau kesulitan. Self efficacy diperoleh dari 4 sumber yakni pengalaman orang lain, pengalaman yang dialami sendiri, persuasi verbal dan kondisi psikologis. Pada penelitian ini self efficacy berperan sebagai cek manipulasi.