BAB I
PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Kesehatan adalah salah satu penentu modal manusia (human capital)
dalam persaingan di dunia global. Kesehatan menjadi salah satu tolok ukur karena kualitas manusia tidak hanya diukur dari kualitas non fisik seperti latar belakang pendidikan tetapi juga diukur dari kualitas fisiknya yaitu kesehatan. Jadi tidak mengherankan jika kesehatan menjadi isu penting dalam kebijakan pemerintah, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia. Pada bulan September tahun 2000, Indonesia bersama 189 negara anggota Perserikatan Bangsa-‐Bangsa mengikuti Deklarasi Millenium Development Goals (MDGs). Deklarasi ini berisi komitmen untuk mempercepat pembangunan manudia dan pemberantasan kemiskinan. Terdapat 8 kelompok tujuan yang harus dicapai pada tahun 2015, yaitu: (1) Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, (2) Mencapai pendidikan dasar untuk semua, (3) Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, (4) Menurunkan angka kematian bayi, (5) Meningkatkan kesehatan ibu, (6) Memerangi HIV/AIDS, Malaria, dan penyakit menular lainnya, (7) Memastikan kelestarian lingkungan hidup, dan (8) Mengembangkan kemitraan global. Goal tersebut menunjukkan bahwa perhatian dunia internasional akan pentingnya kesehatan. Hal ini dapat dilihat dari kedelapan goal yang ditetapkan, lima goal yaitu MDGs 1, 4, 5, 6 dan 7 terkait erat dengan kesehatan.
1
Pemerintah Indonesia menunjukkan perhatian mereka terhadap kesehatan dengan memberikan peraturan tersendiri dalam bidang kesehatan, yaitu Undang-‐Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan. Undang-‐undang ini menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan, mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau dan berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. Pemerintah berkewajiban memberikan jaminan untuk terpenuhinya hak hidup sehat setiap warga negaranya termasuk penduduk miskin dan tidak mampu. Tanggung jawab pemerintah juga termasuk dalam penyediaan sumber daya di bidang kesehatan yang adil bagi seluruh warga negara Indonesia. Regulasi yang mengatur masalah kesehatan juga dimuat dalam Undang-‐undang Nomor 40 tahun 2002 tentang sistem jaminan sosial nasional yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur. Sebelumnya pada tahun 1999, Departemen Kesehatan juga meluncurkan Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010. Menurut Departemen Kesehatan, ‘Indonesia Sehat’ adalah suatu kondisi yang merupakan gambaran masyarakat Indonesia di masa depan, yakni masyarakat, bangsa, dan negara yang ditandai oleh penduduknya
2
hidup dalam lingkungan dan dengan perilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-‐tingginya di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (Rakernas Departemen Kesehatan RI: 1999). Selanjutnya pada tahun 2009, sebagai bagian dari Kebijakan 100 Hari Kabinet Indonesia Bersatu periode kedua, Menteri Kesehatan mengangkat 4 isu, yaitu (1) peningkatan pembiayaan kesehatan untuk memberikan Jaminan Kesehatan Masyarakat, (2) peningkatan kesehatan masyarakat untuk mempercepat pencapaian target MDGs, (3) pengendalian penyakit dan penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana, serta (4) peningkatan ketersediaan, pemerataan dan kualitas tenaga kesehatan terutama di daerah terpencil, tertinggal, perbatasan dan kepulauan (DTPK). Keempat isu tersebut diwujudkan melalui 6 Rencana Strategi Tahun 2010 – 2014 (Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan: 2009), yaitu: 1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, swasta dan masyarakat madani dalam pembangunan kesehatan melalui kerjasama nasional dan global 2. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, bermutu dan berkeadilan, serta berbasis bukti,: dengan pengutamaan pada upaya promotif dan preventif 3. Meningkatkan pembiayaan pembangunan kesehatan, terutama untuk mewujudkan jaminan sosial kesehatan nasional
3
4. Meningkatkan pengembangan dan pendayagunaan SDM kesehatan yang merata dan bermutu 5. Meningkatkan ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat dan alat kesehatan serta menjamin keamanan, khasiat, kemanfaatan, dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan 6. Meningkatkan manajemen kesehatan yang akuntabel, transparan, berdayaguna dan berhasilguna untuk memantapkan desentralisasi kesehatan yang bertanggung jawab. Hasil dari Kebijakan Departemen Kesehatan ‘Menuju Indonesia Sehat 2010’ ternyata belum mampu memenuhi target yang diinginkan. Maka dibuat Kebijakan Menuju Indonesia Sehat 2015. Sasaran pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat adalah perilaku hidup sehat, lingkungan sehat, upaya kesehatan, manakemen pembangunan kesehatan dan derajat kesehatan. Sejalan dengan tujuan pembangunan yang berwawasan kesehatan dan kesejahteraan
maka
pemerintah
telah
menetapakan
pola
dasar
pembangunan yaitu pembangunan mutu SDM di berbagai sektor serta masih menitik beratkan pada Kebijakan-‐Kebijakan pra-‐upaya kuratif dan rehabilitatif
yang
didukung
oleh
informasi
kesehatan
secara
berkesinambungan sehingga dapat mewujudkan masyarakat yang berperilaku hidup sehat, lingkungan sehat dan memiliki kemampuan untuk menolong dirinya sendiri serta dapat menjangkau pelayanan kesehatan yang berkualitas di tahun 2015. (Depkes RI 2010).
4
Dari berbagai kebijakan yang dijalankan oleh Departemen Kesehatan RI, salah satu kebijakannya adalah Jaminan Persalinan (Jampersal). Kebijakan ini merupakan bentuk dari perhatian pemerintah untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, Angka kematian ibu adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup, angka kematian bayi (AKB) 34 per 1000 kelahiran hidup. Pencapaian tersebut masih jauh jika dibandingkan dengan target yang harus dicapai pada tahun 2015 berdasarkan kesepakatan yang telah ditanda tangani dalam Millenium Development Golas (MDGs 2000) yaitu menurunkan angka kematian ibu menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi menurun menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2562/MENKES/PER/XII/2011: 2011). Perhatian Indonesia terhadap kesehatan Ibu dan Bayi tidak hanya terjadi pada zaman saat ini saja, sejak dahulu bahkan saat zaman penjajahan Belanda pada abad ke-‐19. Pada tahun 1807, saat pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels telah dilakukan pelatihan terhadap dukun bayi dan praktik persalinan (Soekidjo Notoatmodjo, 2005:11). Upaya tersebut dilakukan dalam rangka upaya penurunan angka kematian bayi yang tinggi pada waktu itu. Hal yang disayangkan, upaya ini tidak berlangsung lama karena
jumlah
pelatih
kebidanan
yang
sedikit
bahkan
langka.
Perkembangannya kesehatan ibu dan bayi, kembali membaik ketika pada tahun 1930 dilakukan pendataan semua dukun bayi dan pelatihan penolong
5
persalinan. Pasca kemerdekaan, pada tahun 1952, upaya tersebut ditingkatkan lagi dengan diadakannya pelatihan-‐pelatihan dukun bayi yang lebih intensif. Kebijakan Jaminan Persalinan merupakan kebijakan peningkatan akses masyarakat terhadap persalinan yang sehat dengan cara memberikan kemudahan pembiayaan kepada seluruh ibu hamil yang belum memiliki jaminan persalinan. Kebijakan Jaminan Persalinan ini diluncurkan pada tahun 2011. Kebijakan ini diberikan kepada semua ibu hamil yang belum mempunyai jaminan kesehatan atau persalinan agar dapat mengakses pemeriksaan persalinan (antenatal), pertolongan persalinan, pelayanan nifas termasuk pelayanan KB pasca persalinan (postnatal) serta pelayanan bayi baru lahir oleh tenaga kesehatan dengan fasilitas kesehatan yang memadai. Meningkatnya akses yang didapat oleh ibu hamil dan bayi oleh tenaga kesehatan dengan menghilangkan hambatan finansial ini, diharapkan dapat menurunkan Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi yang ada di Indonesia. Kebijakan ini berlaku universal, seluruh daerah yang mendapat Kebijakan kebijakan ini maka siapapun ibu hamil yang belum memiliki jaminan persalinan meskipun dia bukan termasuk orang miskin maka berhak mendapatkan Kebijakan jaminan persalinan ini. Kebijakan ini diawali dengan Rapat Kerja Cipanas pada bulan Januari 2010 yang menghasilkan Inpres Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010. Tujuan dari Inpres tersebut salah satunya adalah untuk mengatasi sumbatan
6
pembangunan (debottlenecking) yang dihadapi oleh Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 19-‐21 April, bertempat di Istana Tampaksiring Bali, jajaran Kabinet Indonesia Bersatu kembali mengadakan Rapat Kerja yang berfokus pada pembangunan ekonomi berkeadilan. Dua panel dibahas dalam rapat pleno, pertama terkait dengan percepatan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, seimbang dan berkelanjutan serta peningkatan daya saing melalui inovasi teknologi. Panel yang kedua membahas pembangunan keadilan, mengevaluasi
pelaksanaan
pembangunan
berkeadilan,
disparitas
pembangunan
dan
kelemahan-‐kelemahan
pelaksanaan
kebijakan.
Pembahasan dilanjutkan dengan diskusi paralel yang dibagi ke dalam empat kelompok. Hal ini dilakukan untuk mempertajam masing-‐masing tema. Kelompok pertama membahas pembangunan ekonomi dan dunia usaha mencakup pembahasan kebijakan ekonomi makro, percepatan penyediaan infrastuktur dan energi (termasuk kemitraan dengan swasta) serta peningkatan investasi dan ekspor. Kelompok kedua membahas evaluasi dan peningkatan Kebijakan-‐Kebijakan pro-‐rakyat mencakup pembahasan perlindungan sosial, pemberdayaan masyarakat (PNPM) serta penguatan ekonomi rakyat. Kelompok ketiga membahas upaya untuk meningkatkan keadilan bagi rakyat termasuk pembahasan mengenai masyarakat penyandang masalah sosial, lansia, anak terlantar, cacat, keadilan, HAM dan lain-‐lain. Kelompok keempat membahas upaya pencapaian MDG’s (Millenium Development Goal’s), mengenai percepatan Kebijakan tersebut, disparitas wilayah dan off track (masalah HIV/AIDS, Angka Kematian Ibu, Angka
7
Kematian Bayi, dan air minum). Tercapainya delapan tujuan dari MDG’s dapat mencitrakan Suistinable Development dan Human Capital Development Indonesia. Pelaksanaan Kebijakan Jaminan Persalinan di berbagai daerah pada tahun 2011 banyak mengalami kendala, salah satunya di Kabupaten Nganjuk dimana Kebijakan jampersal terkesan tumpang tindih dengan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Nganjuk. Dalam Perda tentang persalinan juga mengatur tentang besaran biaya persalinan, hal ini menyebabkan terjadinya kebingungan dikalangan bidan dalam menetapkan tarif jasa persalinan yang harus mereka tarik dari warga yang memanfaatkan jasa mereka. Dalam Perda itu disebutkan bahwa biaya persalinan untuk setiap ibu melahirkan yang di tanggung oleh pemerintah sebesar Rp.500.000,-‐, sementara itu dalam petunjuk teknis jampersal biaya persalinan hanya Rp.350.000,-‐ untuk setiap persalinan (Suara Bela Negara : 9 September 2011). Melihat beberapa kendala yang dihadapi pada pelaksanaan Jampersal 2011 tersebut, maka pada Desember 2011 diturunkan Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan yang sudah direvisi dan diberlakukan untuk tahun 2012. Tarif Pelayanan Jaminan Persalinan juga mengalami Revisi.
8
Tabel 1. Perbandingan Tarif dan Fasilitas Jampersal 2011 dan 2012 No
Jenis Pelayanan
Frek 2011
Tarif 2011 (Rp)
Frek 2012
Tarif 2012 (Rp)
1.
Pemeriksaan kehamilan (ANC)
4 kali
10.000
4 kali
20.000
2.
Persalinan Normal
1 kali
350.000
1 kali
500.000
3.
Pelayanan ibu nifas dan bayi baru lahir.
3 kali
10.000
4 kali
20.000
4.
Pelayanan pra rujukan pada komplikasi kebidanan dan neonatal. a. Pelayanan penanganan perdarahan pasca keguguran, persalinan per vaginam dengan tindakan emergensi dasar. Pelayanan rawat inap untuk komplikasi selama kehamilan, persalinan dan nifas serta bayi baru lahir.
1 kali
100.000
1 kali
100.000
1 kali
500.000
1 kali
650.000
5.
Ket
Mengikuti Buku Pedoman KIA. Pada kasus-‐kasus kehamilan dengan komplikasi/resiko tinggi frekuensi ANC dapat > 4 kali dengan penanganan di RS berdasarkan rujukan Besaran biaya ini hanya untuk pembayaran; a. Jasa Medis b. Akomodasi pasien maksimum 24 Jam pasca persalinan Sedangkan untuk obat-‐obatan permintaan diajukan ke Dinas Kesehatan Mengikuti Buku Pedoman KIA. Pada kasus-‐ kasus kehamilan dengan komplikasi/resiko tinggi frekuensi ANC dapat > 4 kali dengan penanganan di RS berdasarkan rujukan. Mengikuti Buku Pedoman KIA
Hanya dilakukan pada Puskesmas PONED yang mempunyai tenaga yang berkompeten serta fasilitas yang Menunjang Biaya pelayanan rawat inap sesuai dengan ketentuan tarif rawat inap Puskesmas PONED yang berlaku
9
No
6.
Jenis Pelayanan
Frek 2011
Tarif 2011 (Rp)
b. Pelayanan rawat inap untuk bayi baru lahir sakit
1 kali
100.000
1 kali
c. Pelayanan Tindakan Pasca Persalinan (misal Manual Plasenta)
1 kali
100.000
1 kali
-‐ -‐
-‐ -‐
1 kali 1 kali
KB Pasca Persalinan a. Jasa pemasangan alat kontrasepsi (KB):
Frek 2012
Tarif 2012 (Rp)
Sesuai tarif Hanya dilakukan pada rawat inap Puskesmas Perawatan Puskesmas Perawatan yang berlaku 150.000 Hanya dilakukan oleh Tenaga terlatih untuk itu (mempunyai surat Penugasan kompetensi oleh Kadinkes setempat) dan di fasilitas yang mampu. 60.000 a. Termasuk jasa dan 10.000 penyediaan obat-‐obat komplikasi 100.000 b. Pelayanan KB Kontap dilaksanakan di RS melalui penggerakan dan besaran tarif mengikuti INA-‐CBG’s
1) IUD dan Implant 2) Suntik b. Penanganan Komplikasi KB pasca persalinan 7.
Transport Rujukan
Ket
-‐
-‐
Setiap Kali (PP)
Besaran biaya transport sesuai dengan Standar Biaya Umum (SBU) APBN, Standar biaya transportas i yang berlaku di daerah
Biaya transport rujukan adalah biaya yang dikeluarkan untuk merujuk pasien, sedangkan biaya petugas dan pendampingan dibebankan kepada pemerintah daerah.
Sumber: Petunjuk Teknik Jaminan Persalinan 2011 dan 2012, diolah 10 Desember 2013. Kondisi berbeda dialami oleh Puskesmas Depok 3 yang terletak di Kelurahan Caturtunggal yang berada di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Kelurahan Caturtunggal yang menjadi area kerja Puskesmas 10
Depok 3 luasnya 889.7480 Ha yang terdiri atas 20 padukuhan, 297 RT dan 95 RW (Profil Puskesmas Depok 3: 2012). Jumlah penduduk dan kepala kelurahan di wilayah kerja Puskesmas depok adalah 17.723 KK (Kepala Keluarga) dan 61.606 jiwa. Fasilitas pelayanan masyarakat yang ada di Desa Caturtunggal tidak jauh berbeda dengan desa-‐desa lainnya, hal yang membuat perbedaan adalah di desa ini terdapat 23 Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta. Bisa dikatakan bahwa Desa Caturtunggal sudah bukan desa pada umumnya, kondisi masayarakatnya sudah digolongkan menjadi masyarakat sub-‐urban. Fasilitas yang ada di desa ini cukup lengkap, dalam hal fasilitas pendidikan, di Desa Caturtunggal memilikinya secara lengkap, Playgroup, Taman Kanak-‐Kanak, Sekolah Dasar, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi. Seluruh fasilitas pendidikan tersebut ada di Desa Caturtunggal, bahkan tidak tanggung-‐tanggung fasilitas pendidikan tersebut sangat lengkap karena selain milik pemerintah, di Desa ini cukup banyak fasilitas pendidikan yang dimiliki oleh swasta. Desa Caturtunggal juga memiliki fasilitas kesehatan bagi masyarakatnya, desa ini memiliki satu Puskesmas yaitu Puskesmas Depok 3, satu Rumah Sakit Negeri yaitu Rumah Sakit Sardjito, dan satu Rumah Sakit Swasta yaitu Rumah Sakit Pantirapih. Bidang Ekonomi masyarakat Desa Caturtunggal juga sangat terbantu dengan adanya pasar tradisional hingga mall. Kondisi masyaraat yang sangat bervariatif membuat gerak perekonomian di desa ini juga bervariasi mulai dari sektor barang, jasa, serta yang lainnya.
11
Sehingga bisa dikatakan bahwa kawasan wilayah Desa Caturtunggal adalah kawasan trans-‐sosial antara wilayah kota dengan desa. Perkembangan komunitas pendatang baik pedagang maupun pencari kerja yang akseleratif membuat peningkatan kebutuhan hidup di desa ini semakin pesat. Komunitas mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah memberikan sumbangan berarti pada perkembangan desa sub-‐urban ini. Karateristik masyarakat yang sangat bervariasi inilah yang menjadikan Desa Caturtunggal menjadi entitas tersendiri yang memerlukan pertimbangan dan perhatian penting
dari
pemerintah
dalam
memberikan
Kebijakan-‐Kebijakan
perlindungan. Kondisi kesehatan masyarakat Desa Caturtunggal tentang kesehatan juga sudah cukup baik. Hal ini dibuktikan dengan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi yang cukup rendah di daerah ini. Pada tahun 2010 sebelum kebijakan jampersal diberlakukan tidak terdapat kasus kematian pada ibu melahirkan dan bayi baru lahir. Kebijakan Jampersal mulai diberlakukan di Puskesmas Depok 3 pada bulan Juni 2011. Kebijakan ini adalah bentuk kerjasama antara Bidan yang menandatangani kontrak kerjasama dengan Dinas Kesehatan. Sehingga Puskesmas adalah fasilitator dari Bidan yang memiliki homebase di Puskesmas Depok 3 dengan para pasien ibu hamil yang membutuhan jampersal. Puskesmas depok adalah puskesmas yang hanya melayani perawatan jalan, maka pengguna jampersal di Puskesmas ini mendapatkan fasilitas kunjungan periksa kehamilan gratis saja, untuk pelayanan persalinan didapatkan dengan mengunjungi bidan Puskesmas yang melakukan MOU
12
dengan Jampersal, rujukan ke Puskesmas lain yang memiliki Rawat Inap, atau rujukan ke Rumah Sakit Daerah jika pengguna Jampersal membutuhkan perawatan yang tidak bisa disediakan oleh Puskesmas. Melihat fenomena bahwa sebagian besar masyarakat area kerja Puskesmas Depok 3 sudah memiliki kesadaran tentang kesehatan yang tinggi. Pertanyaan yang kemudian timbul adalah bagaimana kinerja implementasi Kebijakan ini berjalan di Puskesmas Depok 3. Faktor apa sajakah yang mendukung implementasi Jampersal di Puskesmas Depok 3 1.2.
Rumusan Masalah Kebijakan Jaminan Persalinan merupakan salah satu kebijakan yang
menjadi prioritas pemerintah untuk akselerasi penurunan AKI dan AKB di Indonesia. Sayangnya Kebijakan ini berjalan dengan sasaran kebijakan yang tidak fokus. Ibu hamil yang belum memiliki jaminan persalinan baik mampu maupun tidak mampu dapat mengakses jaminan ini syarat yang mudah. Tidak adanya pembatasan yang jelas terhadap sasaran kebijakan membuat masyarakat yang seharusnya sudah mampu memenuhi atau sadar akan kebutuhan kesehatan ibu dan bayi tanpa adanya jaminan persalinan akhirnya menggunakan jaminan ini. Latar belakang inilah yang akan menjadikan penelitian ini mengkaji lebih dalam tentang implementasi Kebijakan Jaminan Persalinan yang berlaku di Puskesmas Depok 3. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
13
Bagaimana kinerja implementasi Kebijakan Kebijakan Jaminan Persalinan yang terjadi di Puskesmas Depok 3 dan faktor apa sajakah yang mendukung mplementasi Jampersal di Puskesmas Depok 3. 1.3.
Tujuan Penelitian Sesuai dengan masalah penelitian yang telah disebutkan sebelumnya,
penelitian ini akan mengkaji lebih dalam tentang kinerja implementasi Kebijakan Kebijakan Jaminan Persalinan dan dampak yang dihadapi pemerintah. Selain itu penelitian ini akan mencoba memberikan perbandingan antara hal-‐hal normatif yang seharusnya terjadi dengan fakta yang terjadi di lapangan. Berdasar pemikiran tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1. Mengkaji kinerja implementasi Kebijakan Kebijakan Jaminan Persalinan yang merupakan bentuk perlindungan sosial di kalangan masyarakat sub-‐urban 2. Mengkaji faktor-‐faktor yang mempengaruhi kinerja implementasi Kebijakan Kebijakan Jaminan Persalinan di Puskesmas Depok 3. 1.4.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:
1. Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang kinerja implementasi Kebijakan Kebijakan Jaminan Persalinan yang sejauh ini penelusuran terhadap
14
daerah sub-‐urban masih jarang dilakukan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian serupa. 2. Manfaat secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan untuk perbaikan kebijakan khususnya dalam hal ini kinerja Kebijakan Kebijakan Jaminan Persalinan yang pada tahun 2014 ini melebur dalam BPJS agar selanjutnya menjadi lebih baik. 1.5.
Keaslian Penelitian Penelitian tentang kebijakan Kebijakan jaminan persalinan sudah
beberapa kali ditemukan dalam publikasi saat ini, hal ini disebabkan karena Kebijakan jaminan persalinan yang dicanangkan sejak bulan Januari 2011 baru dimulai pelaksanaannya di Yogyakarta pada bulan Juni tahun 2011. Berdasar telaah kepustakaan, ditemukan penelitian yang berkaitan dengan Jaminan Persalinan yaitu oleh Arifurrohman (2012) dari Magister Hukum Kesehatan Universitas Gadjah Mada yang membahas tentang Implementasi Regulasi Jaminan Persalinan Di Kabupaten Sleman (Kajian Pada Bidan Praktik Yang Melakukan Perjanjian Kerja Sama). Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa di Kabupaten Sleman, dari aspek kepesertaan, portabilitas jaminan persalinan, kewenangan bidan praktik, tarif pelayanan, hak pasien mengikuti Kebijakan KB, iuran biaya, penyediaan lembar administrasi, waktu pengajuan klaim sudah sesuai dengan regulasi perjanjian kerja sama. Sedangkan aspek penyediaan alat kontrasepsi oleh BKKBN tidak
15
sesuai dengan regulasi. Tidak ada kendala dari aspek sosialisasi Kebijakan jampersal, keikutsertaan bidan dalam Kebijakan jampersal, waktu pencairan klaim, proses administrasi pembuatan PKS, kendala yang terjadi adalah pada aspek rujukan pasien ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi. Pada tahun yang sama Armey Yudha Purwitasari (2012)dari Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia juga melakukan penelitian tentang Implementasi Kebijakan Kebijakan Jampersal di Kabupaten Lebak Propinsi Banten Tahun 2011. Penelitian ini berfokus untuk memahami implementasi Kebijakan, faktor pendukung Kebijakan dan hambatan-‐ hambatan dalam pelaksanaan implementasi Kebijakan. Hasil penelitian, Anggun menunjukkan bahwa implementasi kebijakan yang dilakukan sudah berjalan dengan baik, hanya saja masih ada hambatan-‐hambatan yang terjadi, seperti terhambatnya laporan ke Dinas Kesehatan Propinsi, rendahnya tarif, kurangnya fasilitas, sebagian bidan desa yang tidak berada di tempat dan struktur geografis yang kurang mendukung. Penelitian mengenai Jampersal juga telah dilakukan oleh Pansunu Perwitasari (2013) dari Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini membahas mengenai Kendali Biaya Kebijaan Jaminan Persalinan (Jampersal) di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Yogyakarta. Penelitian ini menghasilkan informasi bahwa tidak semua pejabat struktural di RSUD Kota Yogyakarta memahami pelaksanaan kendali biaya Jampersal di RSUD Kota Yogyakarta dan lemahnya kontrol terhadap sumber dana Jampersal yang berasal dari APBN. Monitoring atau on going process
16
evaluation ternyata tidak dapat dilaksanakan secara kontinu oleh direksi rumah sakit. Sehingga muncullah masalah klasik yang terus berulang yaitu lambatnya proses administrasi dan verivikasi klaim. Hal inilah yang menimbulkan penumpukan piutang klaim di RSUD Kota Yogyakarta sepanjang tahun 2012. Penelitian ini berbeda dengan penelitian tentang jaminan persalinan yang telah dilakukan sebelumnya, perbedaan utama terletak pada kinerja implementasi Kebijakan jaminan persalinan dan objek kebijakan yang terletak pada masyarakat sub-‐urban. Jadi bisa dipastikan bahwa penelitian ini masih belum pernah dilakukan dan sangat penting untuk dilakukan. Adapun kesamaan-‐kesamaan yang terdapat di dalam penelitian-‐penelitian sebelumnya bisa dijadikan referensi oleh peneliti untuk melakukan penelitian.
17