Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1997
PENANGGULANGAN NEMATODIASIS PADA RUMINANSIA KECIL SECARA TERPADU ANTARA MANAJEMEN, NUTRISI DAN OBAT CACING BERIAIAYA
dan SUI-IARDONO
Balai Penelitian Veteriner Alan RE Afartadinala 30, P.O . Box 151, Bogor 16114
RINGKASAN Domba clan kambing menlpakan ternak ruminansia kecil yang mempunyai peranan penting terutama bagi petani dengan skala usaha kecil karena ternak ini mempunyai fungsi sebagai ternak tabungan, pengliasil daging dan pupuk kandang : Dalam usaha meningkatkan produktivitas ternak ini, penyakit cacing masili menlpakan salah satu penghambat utama yang sangat mengganggu produktivitas karena penyakit ini menyebabkan penurunan bobot badan sebesar _+ 38% clan angka kematian sampai _+ 17% terutama pada ternak muda. Penyakit ini kurang disadari oleh petani karena tidak langsung membunuh, tetapi bila dihitung secara ekonomi, merupakan penyakit yang menimbulkan kenigian ekonomi yang sangat besar . Sistim beternak yang ada pada saat ini adalah dengan dikandangkan secara terus menerus, dilepas untuk mencari nlmput atau kombinasi kedua cara tersebut. Cara-cara tersebut mempunyai konsekuensi terhadap infeksi cacing. Ternak dengan cara dikandangkan secara tems menertis clan pakan diberikan dalam kandang menlpakan salah satu cara mengurangi infeksi oleh parasit cacing sedangkan ternak yang dilepas atau kombinasi antara dilepas clan dikandangkan menlpakan cara yang kurang baik dari segi penanggiilangan infeksi cacing karena dengan cara ini maka infeksi cacing dapat terjadi secara tenis menents . Pada musim kemarau walau agak susah mendapatkan hijauan tetapi ternak inemperlihatkan kenaikan bobot badan yang lebill tinggi dibanding pada musim hujan . Hal ini karena pada musim kemarau, ternak mempunyai lebih banyak kesempatan untuk mencari nlmput clan kualitas pakan tampaknya lebill baik dibanding pada musim luijan dalam hal kandungan air . Pada musini hujan, junilah pakan yang diberikan berkurang tenitama pada ternak yang dikandangkan clan waktu penggembalaan yang terbatas pada ternak yang dilepas. Oleh karena itu sangat dianjurkan untuk memberi pakan tambahan tenitama pada musim luijan . Infeksi cacing lebih banyak terjadi pada musim hujan, dimana terlihat kenaikan junilah telur cacing dalam tinja . Hal tersebut mempunyai konsekuensi dalam frekuensi pemberian obat cacing. Diperkirakan pemberian obat cacing hanya perlu dilakukan satu atau dua kali setalnin. Untuk daerah dengan musim kemarau yang panjang, maka pemberian obat cacing cukup dilakukan satu kali yaitu pada awal musim luijan, sedangkan untuk daerah yang musim lnijannya lebill panjang maka pemberian obat cacing hanis dilakukan dua kali yaitu pada awal clan pertengahan musim hujan yang bertujuan untuk mengurangi infeksi cacing pada musim hujan. Untuk ternak anak, bunting clan menyusui maka pemberian obat cacing dilakukan tergantung derajad ilufeksi . Pada infeksi yang berat maka pemberian obat cacing dapat dilakukan dua kali. Kata kunci : Nematodiasis, niminansia kecil
Seminar Nasionol Peternakan dan Veteriner J997
PENDAHULUAN Ruminansia kecil yang terdiri dari domba dan kambing, merupakan ternak yang mempunyai peranan yang penting bagi petani dengan skala usaha kecil karena ternak ini mempunyai fungsi sebagai tabungan, menghasilkan daging clan pupuk kandang (SABRANI et al ., 1982 ; RANGKuTI et al., 1985). Pada daerah tertentu, ternak jantan menjadi mahal harganya karena sebagai ternak .adu atau dijual sebagai ternak qurban pada musim haji (SOEDJANA, 1983 ; SuBANDRIYO, 1990). Pada saat ini ada peternak yang memelihara ternak ini hanya untuk digemukkan dan kemudian diual setelah 2 bulan. Usaha ini sudah dikembangkan dengan melibatkan petani lain . Penyakit cacing khususnya cacing gastrointestinal nematoda merupakan salah satu penyakit yang menghambat produktivitas ternak . Penyakit ini menyebabkan penurunan bobot badan _+ 38 dan kematian sampai 17 % pada ternak yang dipelihara di daerah Jawa Barat (BERIAJAYA-and STEVENSON, 1986). Pada daerah dimana ternak digembalakan di bawah perkebunan karet, angka kematian ternak domba karena infeksi cacing dapat mencapai 28 % (HANDAYANI and GATtNBY, 1988). Penyakit cacing hampir inerata menginfeksi semua ternak domba dan kambing a sistim pemeliharaan yang masih tradisionil . Bila pada saat ini populasi ternak domba mencapai 6,485 juta clan kambing 11,886 juta (ANONIMUS, 1995), maka dapat dihitung berapa kerugian,yang diderita oleh karena penyakit cacing secara nasional . Barat ringannya penyakit ikut menentukan banyaknya gangguan yang ditimbulkan. Apabila infeksinya ringan seperti ternak yang dikandangkan di daerah dataran tinggi, mungkin tidak mengganggii produksi, tetapi ternak-ternak yang terinfeksi berat, biasanya ternak yang dilepas, akan sangat mengganggii produktivitas, malahan menimbulkan kematian (BERInjAYA, 1986a ; BERIAJAYA, 1986b) . Penanggulangan yang saat ini dilakukan adalah dengan mengobati menggunakan obat tradisionil seperti pepaya, pinang (MURDIATI et al ., 1997 ; BERIAJAYA et al ., 1997) karena biasanya murah dan murah didapat . Untuk peternak yang sudah maju, pengobatan dilakukan dengan menggunakan obat cacing (antelmintik) . Penggunaan obat cacing saat ini belum ineluas karena terbentur harga clan kadang-kadang tidak tersedia dalain kemasan kecil. Apabila petani sudah menyadari arti pemberian obat cacing maka mereka man membeli obat tersebut karena dampaknya lebih baik dari segi kesehatan ternak . Dalam tulisan ini akan dibahas tentang cara penanggulangan cacing gastrointestinal neinatoda yang harus dilakukan secara terpadu dilulbungkan dengan manajemen, nutrisi clan pemberian obat cacing pada kondisi saat ini. PERANAN INFEKSI CACING TERHADAP PRODUKTIVITAS TERNAK Beberapa spesies cacing nematoda yang dianggap paling banyak clan menimbulkan gangguan produkduksi adalah cacing Haemonchus contortus, Trichostrongylus spp dan Oesophagostomum columbianum (BERIAJAYA clan COPEMAN, 1997, RIDWAN et al, 1996). Cacing ini mempunyai siklus hidup yang langsung tanpa inang perantara . Cacing dewasa hidup di dalam abomasum dan usus sedangkan telur clan larva cacing hidup di luar tubuh hewan yaitu di rumput clan hijauan. Larva tiga menipakan larva infektif yang tertelan oleh hewan sewaktu hewan memakan rumput . Larva ini kennldian berkembang menjadi larva 4 dan kemudian menjadi larva 5 dan selanjutnya menjadi cacing muda . Masa inkubasi sejak tertelannya larva infektif sampai akhirnya menjadi cacing dewasa yang akan mengeluarkan telur cacing dibutulikan waktu 3 minggri. Waktu ini jelas berkaitan dengan rotasi penggembalaan (SOULSBY, 1982).
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1997
Gejala Minis yang ditinibulkan sebagai akibat infeksi cacing dapat berupa kehilangan bobot badan, tidak nafsu makan, nienurunnya daya penyerapan makanan di usus, pucat (anemia) karena kehilangan darall yang menyebabkan kehilangan protein darah=sehingga tedadi oedema di rahang bawah, leher dan penit bagian bawah . Infeksi juga tedadi -karena tenak kekurangan mineal . Kekurangan mineral terjadi baik dalain tubuh hewan, hijauan maupun dalam tanah . Ada dugaan bahwa mineral tertentu nienipunyai pengaruh terhadap infeksi cacing (BERIAJAYA et al., 1995) . Akibat dari infeksi cacing akan nienimbulkan kematian terutama pada ternak muda. Kematian terjadi karena hewan banyak kehilangan darah sehingga pemeriksaan hematokrit darah sangat penting dilakukan (ADIWINATA dan SUKARSIH, 1992). Hematokrit secara difinisi adalah junilah butir darah dibanding plasma darah . Bila hasil hematokrit jauh di bawah 20 maka hewan harus segera diobati dengan obat cacing . Pengobatan yang terlambat akan menyebabkan hewan makin menjadi kunas dan keniudian mati (ADIWINATA dan SUKARSIH, 1992) . Penuninan bobot badan sebagai akibat infeksi cacing saluran penyerapan pada domba dan kambing yang dipchliara di pedesaan di Jawa Barat pernah dianlati olell BERIAJAYA (BERIAJAYA and STEVENSON, 1996 . BERIM AYA and Coi'EMAN, 1997) dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 1 . Penurunan bobot badan dan angka kematian bervariasi dari satu lokasi ke lokasi yang lain. Angka ini sangat dipengandii oleh derajat infeksi cacing . Ternak dengan infeksi yang ringan akan menyebabkan penunman bobot badan yang rendah dan sebaliknya ternak dengan infeksi yang berat akan menyebabkan penunman bobot badan yang besar . Serijig juga :terliliat secara individu bahwa ternak yang banyak anengeluarkan telur cacing (di atas 10.(K)O butir per 3 gram tinja), tetapi masih sehat, artinya infeksi cacing tidak Inengganggu produktivitas (ADIWINATA dan SLIKARSItt, 1992). Akibat infeksi cacing akan menuninkan daya tahan hewan terhadap penyakit lain. Ternak yang terinfeksi bcrat, juga dfkuti dengan infeksi koksidia, radang niata, orf atau scabies pada kambing . Apabila hewan juga terinfeksi dengan penyakit lain, maka produktivitas hewan juga akan nienunin. Tabel 1. Jenis ternak
Penuninan bobot badan dan angka kematian domba dan kambing sebagai akibat infeksi parasit cacing di daerah Jawa Barat Antehnintik
Penurunan bobot badan (%)
Persentase angka kematian
-
Suniber
Domba
Levalnisole
38,1
17,1
1 BERIAJAYA dan
Domba Domba Domba Kambing Domba Domba Kambing Domba Kambing Domba Kambing
Closantel Tetraniisole Albendazole Albendazole Albendazole Oxfendazole Oxfendazole Oxfendazole Oxfendazole Albendazole Albendazole
12,5 37,1 32,3 28,2 1,7 18,5
2,2 12,0 6,0 12,5 2,0 na Ila na na na na
STEVENSON, 1986
30,0 18,9
0,9 31,7 29,7
2 BERIAJAYA dan COPEMAN, 1997
Seminar Nasional Peternakan don Yetertner 1997
MANAlEMEN YANG-BERKORELAST DENGAN INFEKSI CACING -Kandan g Umumnya ternak domba dan kambing dipelihara dalam kandang panggung kurang lebih I meter dengan lantai berjariyari . Selain itu ada juga sebagian kecil peternak yang memelihara ternak dalam kandang dengan lantai dari tanah. Dalam kandang panggung tinja yang kemungkinan banyak mengandung telur cacing akan jatuh ke bawah melalui sela-sela lantai kandang. Oleh karena itu perlu diperhatikan bawwa jarak antara bambu di lantai kandang harus cukup besar agar tinja dapat jatuh . Jarak yang terlalu rapat akan membuat tinja menumpuk di kandang clan bila tidak segera dibersihkan maka tinja yang menumpuk selama beberapa hari akan memberi kesempatan pada telur cacing untuk nucnctas menjadi larva yang kemungkinan akan mengkontaminasi pakan. Sedangkan jarak yang terlalu renggang akan membuat kaki ternak mudah terperosok dan bila tidak cepat ditolong akan memyebabkan fractura (patah kaki) . Kotoran hewan yang menumpuk di bawah kandang selama 2-3 bulan biasanya dipakai sebagai pupuk kandang, tetapi kadang-kadang kooran luewan yang dipakai relatif masih segar, berbentuk pelet yang kemungkinan mengandung telur atau larva cacing. Bila hal ini terjadi maka berarti penyebaran telur cacing dalam tinja yang kemungkinan akan menetas menjadi larva cacing . Oleh karena itu sangat dianjurkan agar tinja diakumulasi selama 3 bulan dan dibuat kompos dengan menambahkan kapur. Infeksi cacing juga berkaitan dengan sanitasi kandang. Kandang yang bersih dimana secara rutin dibersilikan akan mengurangi infeksi cacing terutaina cacing Slrongyloides papillosus. Cacing jenis ini dapat menginfeksi hewan secara langsung melalui kulit kaki (SOULSBY, 1982) . Oleh karena itu kandang yang kotor menyebabkan larva Strongyloides papillosus yang keluar bersama tinja dapat mcnginfcksi .kembali ternak tersebut . Kandang yang bersilu akan mengurangi terjadinya kontaminasi hijauan olch larva cacingjenis ini . Sistem pemberian pakan Pada saat ini ada tiga sistim penuberian pakan yang umum dilakukan mengingat umumnya petemak tidak mempunyai lahan untuk melepas ternak agar inerumput (THAHAR and PETtiERAM, 1982) . Sistim yang dilakukan tergantung pada jumlah pakan yang tersedia, jenis clan macam tanaman, ketinggian tempat, musim dan gangguan tenak terhadap tanaman. Ternak yang dipelihara dengan sistim dikandangkan secara fetus menerus dan pakan diberikan dalam kandang seperti ternak di daerah dataran tinggi akan menyebabkan infeksi cacing sangat rendah. Pemberian obat cacing pada ternak ini kurang diperlukan kecuali pada tenak yang sakit secara individu (BERIAJAYA, 198Ga) . Ternak yang dipelihara dengan cara melepas pada siang hari untuk mencari rumput clan baru dikandangkan pada sore hari menyebabkan infeksi cacing dapat terjadi secara terus menerus (BERIAJAYA, 198Gb). Larva cacing akan naik ke ujung-ujung nimput pada pagi hari dan akan kembali turun ke bagian bawalu nlmput bila matahari sudah mulai menyinari rumput (KUSUMAMIHARDJA, 1982). Oleh karena itu secara empiris, petani akan melepas tenak mereka untuk mencari nimput pada siang hari setelah matahari bersinar, karena berdasar pengalaman mereka, bila melepas ternak pada pagi hari akan menyebabkan ternak mereka menjadi sakit. Bila
Seminar Naaional Peternakan dam 1!ereriner 1997
ternak ,liarus dilepas untuk mencari rumput maka pemberian obat cacing juga harus dilakukan =ninimal setiap bulan untuk menjaga bahwa infeksi cacing tidak mengganggu produksi seperti kenaikan bobot badan (BERIAJAYA, 1986b). Ternak yang dipelihara dengan cara sebagian waktu dikandang dan sebagian waktu untuk mencari numput selama beberapa jam juga menimbulkan masalah dengan infeksi cacing. Ternak yang dilepas untuk mencari rumput menyebabkan infeksi larva cacing terjadi secara tents menerus (BERIAJAYA dan STEVENSON, 1986). Ternak kambing pada umumnya dikandangkan karena sifat yang suka merusak tanaman. Ternak kambing yang dilepas kadang-kadang pada lehernya digantung bambu sehingga tidak dapat masuk ke dalam pekarangan yang banyak ditumbuhi tanaman. Ternak kambing juga sulit diintegrasikan dengan lahan perkebunan . Ternak yang dikandangkan tentu juga mencegah menyebarnya telur racing, jadi mengurangi kontaminasi padang rumput. Hasil pengamatan pada ternak ini juga menyimpulkan infeksi yang rendah . Ternak yang tahan penyakit Ternak domba yang tahan penyakit cacing nematoda saluran pencernaan telah dipelajari pada domba-domba dalam proyek SR-CRSP di Sumlera Utara dari tahun 1990-1995 . GATENBY et al. (1991) dan CARMICHAEL et al . (1992) melaporkan bahwa beberapa induk dari flock yang sama secara kontinyu mengeluarkan telur cacing nernatoda dalam-jumlah yang sedikit . ROINJAu (1995) dalam percobaannya dengan cacing H. contortus pada 4 geflotipe domba jantan yang berumur 1824 bulan memperlihatkan bahwa tidak ada perbedaan jumlah telur cacing dari keempat genotipe tetapi terdapat variasi diantara individu ternak . Penelitian lain juga menyimpulkan bahwa domba Sumatera ekor tipis mempunyai jumlah telur cacing yang rendah dibanding campuran domba lokal dengan domba St . Croix atau Barbados Backbelly (BA'tvBARA et al., 1995) . Penelitian tentang bangsa domba atau kambing yang tahan penyakit cacing belum tuntas seluruhnya, sehingga perlu dilanjutkan agar didapatkan bangsa yang benar-benar tahan penyakit . Sebagai pegangan domba lokal mungkin lebili tahan infeksi cacing walau produktivitasnya rendah . Rotasi penggembalaan Infeksi cacing gastrointestinal nematoda sangat tergantung faktor lingkungan karena scbagian dari siklus hidup cacing adalah di luar induk semang . Faktor lingkungan yang mempenganihi diantaranya adalah kelernbaban, sulur, curah clan frekuensi hujan dan jenis tanaman . Telur cacing dalam tinja akan menetas menjadi larva satu, dua clan tiga yang disebut juga larva infektif, siap untuk kernbali untuk menginfeksi hewan yang mana memakan waktu satu minggu (SOLiL sBY, 1982). Ternak yang terlalu lama digembalakan di satu rokasi akan menyebabkan infeksi cacing yang tents mencrus, misalnya digembalakan selama 3 bulan walau telah diberi obat cacing pada waktu perrnulaan karena obat cacing tidak akan membunuh 100 % semua cacing yang ada ('WILSON et al., 1991). Oleh karena itu penggernbalan di satu lokasi sebaiknya satu minggu sehingga tidak memberi kesempatan untuk terjadi autoinfeksi . GINTING et al. (1996) dalam penelitiaannya pada domba Sumatra clan persilangan St. Ctoix menyimpulkan bahwa penggembalaan satu minggu dengan masa istirahat 6 rninggu adalah lebih baik dibanding penggembalaan 6 dafl 12 minggu (dilihat dari pcrsentase pemeriksaan hematokrit) .
Seminar Nasienal Fleternakan don iretstiner 1997
Untuk ternak rakyat, :baranglmli ,perlu -dipikirkan 4ara --xnerotasi penggembalaan secara keseluruhan walau tanah tersebut bukan miliknya. Untuk itu maka diperlukan adanya,kelompok ternak dalam setiap lokasi sehingga dapat-diatur dimana clan -kapan harus digernbalakan karena bila ticlak dirotasi penggembalaannya maka pemberian obat casing kurang manfaataya. NUTRISI YANG BERKORELASI DENGAN`INFEKSI CACING Pada musim kemarau ternak kesuiitan amtuk mendapatkan put, --tempi pada ada=h tertentu dimana pada musim kemarau masih terdapat hijauan rnaka ternak masih dapau ulih hijauan yang baik dengan waktu untuk mencari nmput yang lebih lama. Uutuk 4aerah Idogor dimana pada musim kemarau masih terdapat hijauan snaka kenaikan bobot badannya masih lebih tinggi dibandingkan ternak pada musim hujan (BEIUAJAYA and COPEMAN, 1997) . Pada musim hujan, walau tampaknya hijauan berlimpah -tempi biasanya kualitas pakan kurang baik karma banyak mengandung air sehingga ternak banyak mengalami diarhac clan kehilangan bobot.badan . Tabel 2 berikut ini memperlihatkan data bobot badan yang diamati selama 1 tahun di. daerah kecamatan Cigudeg, Bogor dihubungkan dengan musim dintana saat penelitian berlangsung . Tabel 2.
Kenalkan bobot badan domba dan kambing di Kecantatan Cigudeg, Bogor
Waktu
Ternak
Perlakuan antelmintik
Feb-Jun, 91
Domba
Kontrol
41,8
Domba
Oxfendazole
51,3
Kambing
Kontrol
Kambing
29,1 41,6
Domba
Oxfendazole , Kontrol
Domba
Albendazole
54,4
Kontrol
50,2
Kambing
Albendazole
50,7
Domba
Kontrol
23,9
Domba
Albenciazole
35,0
Kambing
Kontrol
27,4
Kambing
Albendazole
39,0
Jul-Nov, 91
Kambing Dec-Apr,92
Kenaikan bobot baclan (gihari)
44,1
:BERWAYA clan COPEMAN, 1996 Somber
Dalam penelitian tersebut, ternak dibagi dua kelompok yaitu kelommpok kontrol (tanpa pengobatan) dan kelompok obat casing yang diberikan setiap 2 mlnggu sekali sehingga diharapkan casing tidak mempengandu produktivitas . Pada musim kemarau, kelompok domba dan kambing yang diberi obat casing menlperlihatkan kenaikan bobot badan yang hampir sama bila dibanding dengan kelompok kontrol . Kenaikan bobot badan ini merupakan yang teninggi kecuali kelompok domba pada pengobaan yang dilakukan antara Februari - Juni (musim hujan dan kelnarau). Pada
Seminar Nasional Feternakan~dan Verermer ;1997
musim hujan lerlihat bahwa pada kedua kelompok tenak mempugai -kenaikan bobot badan yang rendah (BERIAJAYA dan COPEMAN, 1996) . Disini tampak bahwa peranan pakan sangat besar terhadap lltnaikan bobot badan yang pada gilirannya juga mempengaruhi daya tahan temak . Pemberian pakan tambahan-dan hijauan seperti legume yang banyak mengandung protein akan meningkatkan,daya tahan ternak terhadap infeksi casing (GINTING et al., 1996) . Walaupun infeksi casing cukup besar tetapi bila temak cukup mampu mempunyai daya tahan akan mengurangi ganngguan yang -ditimbulkan oleh parasit casing . PEMBERIAN ANTELMINTIK Anlelmintik (obat casing) digunakan untuk menanggulangi infeksi casing baik pada ternak maupun pada manusia . Ini adalah senjata yang paling ampuh dan mudah dilakukan . Masalahnya sekarang obat casing mempakan obat yang mahal, tidak tersedia dalam kemasan kecil, tidak tersedia di lapang sehingga menyulitkan bagi peternak . Bila aplikasinya harus disuntik tennu akan lebih menyulitkan bagi petani karena harus memanggil mantri hewan, tetapi bila aplikasinya cukup dicekok (drenching), maka dapat dilakukan sendiri . Dosis antelmintik biasanya berdasarkan bobot badan . Oleh karena itu, bila bobot badan hanya dikira-kira pada Avaktu pemberian obat casing, hal ini akan menyebabkan dosis yang diberikan tidak tepat. Dosis yang lebih rendah akan menyebabkan scbagian casing tidak mati. Bila ini dilakukan berulang-ulang akan menyebabkan timbul strain casing yang tahan terhadap obat casing (resisten). Di negara-negara Barat, pemakaias obit casing yang tents menerus menyebabkan terjadi resistensi terhadap obat. Banyak obat casing yang terbampun, tidak ampuh untuk membunuh casing (PRICHARD, 1990, WALLER et al, 1996) . Saat ini belum ada laporan di Indonesia yang menyebabkan terjadinya resistensi obat karena obat casing masih jarang digunakan oleh petani . Obat casing yang dipakai masih ampuh untuk membunuh casing dalam tubuh hewan yang diindikasikan dengan menunmnya jumlah telur casing sehingga menjadi no] atau negatif (WILSON et al., 1991) . Pada daerah-daerah tertentu, dimana petani yang sudah melihat perbedaannya antara tenak yang diobat dan yang tidak diobat, maka pemberian obat casing selalu dilakukan walau petani harus membeli . Biasanya pemberian obat casing dilakukan olch mantri hewan setiap 3 bulan sekali . Menunn CARMICHAEL (1993), paling tidak ada 4 faktor ysang menyebabkan timbulnya resisrensi obat yaitu frekuensi pemberian obat, dosis yang dibawah takaran, kurang tepatnya aplikasi dan tidak ada pergantian pengglmaan jenis obat casing . GATENBY et al., (1991) mclaporkan bahwa di Sumatera Utara belum terjadi resistensi obat Nvalaupun ternak yang dipchhara dalam jumlah besar dalam proyek SR-CRSP diobaai dengan antelmintik setiap 3 bulan dan jenis antelmintik diganti setiap setahun sekali . Cara ini sekarang dicoba pada peternak dengan jumlah pemilikan yang kecil. Dalam Tabel 3 terlihat kelompok obit racing, nama generik dan nama dagang. Orang biasanya melihat apakah obat racing tersebut tennasuk broad spectrum atau narrow spectrum . Obat racing broad spectrum lebih banyak digunakan karena dapat membunuh semua jenis casing (BERIAJAYA and STEVENSON, 1995), sedangkan obit racing narrow spectrum, biasanya dipakai, hanya untuk racing Haemonchus contortus . Hasil penelitian menunjukkan bahwa obat racing narrow spectrum kurang mampu mengimbangi kenaikan bobot badan karena ternak terinfeksi kembali dengan racing nematoda (SIrI'AAIA and BERIAJAYA, 1991) . Beberapa obit racing broad
Seminar Nosiona! Peternakan dan Veteriner 1997
spectrum diantaranya kelompok benzimidazole sedangkan obat cacing narrow spectrum diantaranya kelompok salicylanalide seperti nitroaynil. Obat cacing yang saat ini banyak dipakai untuk peternakan domba dan kambing adalah dengan nama generik albendazole. Tabel 3.
Kelompok amelmintik, nama generik dan nama dagang obat cacing
No . Kelompok Antelmintik 1
Benzimidozole
2
Probenzimidazole
3
Salicylanalide
4
buidazothiazole
5 6
Organophosphate Avermectin
: PRICHARD (1978); Somber
Nama Generik
Nama Dagang
Thiabendazole Parbendazole Mebendazole Oxibendazole Fenbendazole Oxfendazole Albendazole Febantel Thiopllanate Clioxanide Oxyclosanide Rafoxanide Nitroxynil Levamisole Morantel Trichlorpllon Ivermectin
Thibenzole Worm Guard Telmin Topclip Panacur Systalnex Valbazen Rintal Nemafax Tremerad Zanil Ranide Trodax Nilverm Banmith Neguvon Ivernlectin
WILSON et al. (1996) ; BERIAIAYA and BATUBARA (1996)
Pemberian obat cacing dillarapkan mengikuti 4 foktor yaitu musim, ternak bunting atau menyusui, ternak muda dan terakhir ternak sakit . Untuk musim, pemberian obat cacing dapat dilakukan satu atau dua kali setalnm . Pada daerah dengan musim kemarau yang panjang maka pemberian obat cacing dilakukan llanya satu kali yaitu pada permulaan musim hujan sedangkan untuk daerah dengan musim kenlarau yang pendek maka pemberian obat cacing dapat dilakukan dua kali yaitu pada permulaan dan periengallan musim hujan. Hal ini tidak harga mati, tetapi tergantung pada epidenliologi penyakit di suatu daerah yang dihubungkan dengan musim dan angka infeksi cacing . Bila bila angka infeksinya tetap tinggi pada musim hujan maka pemberian obat cacing dapat ditalnball pada pertengallan musim hujan . Untuk ternak bunting dan menyusui harus diberikan obat cacing mengingat pada saat itu terjadi relaksasi kekebalan sehingga ternak ini menjadi peka. BERIAJAYA (data tahun 1992, belum dipublikasi) dalam penelitian pada domba dan kambing di daerah Cigudeg, Bogor menyinlpulkan ba11Wa sennla ternak bunting mulai bulan kedua dan ternak menyusui sampai Man kedua menunjukkan kenaikan junilah telur cacing sehingga pada pada saat itu llarus diberi obat cacing satu kali. Selain itu ternak nluda juga sangat peka terlladap infeksi sehingga juga perlu diberi obat cacing, tetapi tergantung derajat infeksi . Bila derajat infeksinya cukup tinggi maka pemberian obat cacing harus dilakukan 2-3 kah .
SeminarNasional Peternakan dan Veteriner 1997
Temak yang sudah -dewasa biasanya lebih Iahan : terhadap cacing dibanding ternak yang masih rnuda. Batas umur yang diperkirakan mempunyai perbedaan infeksi cacing adalah 8 bulan . Ternak yang di bawah umur 8 bulan lebih rentan terhadap nfeksi racing . Demikian juga ternak dalam masa kebuntingan dan 2 bulan setelah melahirkan lebih rentan terhadap infeksi cacing karena biasanya kekebalannya menurun . Hal ini terlihat dengan meningkatnya jumlah telur cacing yang dikeluarkan melalui tinja . Secara umum pemberian obat cacing dapat mengikuti pola musim, tetapi untuk ternak yang sakit karena infeksi cacing maka pemberian obat cacing harus dilakukan secara individual. Ternak yang sakit dapat didiagnosa dengan meningkatnya junilah telur cacing dalam tinja atau menurunnya persentase PCV dari darah . Kedua hal tersebut memang harus dibantu dengan pemeriksaan laboratorium, tetapi bila hal ini sulit dilakukan, maka ternak-ternak yang kurus, tidak nafsu makan dan tinjanya lembek (bukan karena memakan hijauan yang banyak mengandung air) harus diberi obat cacing. Pemberian obat cacing dapat diberikan dua kali dengan interval satu bulan. TEKNOLOGI YANG MUNGKIN DAPAT DIAPLIKASIKAN Paket teknologi yang kenumgkinan dapat diaplikasi oleh petani harus memenuhi beberapa kriteria diantaranya tidak memefukan biaya yang besar, mudah didapat dan mudah diaplikasi dengan bahan yang tersedia . Paket ini juga harus diuji coba pada tingkat petani sehingga mereka melihat manfaatnya dan juga resiko yang ditimbulkah hanya sedikit terutaina dari segi finansial . Manajemen yang harus dilakukan menyangkut bentuk kontruksi kandang, sistim pemberian pakan, penggunaan ternak yang Whan penyakit, sistim rotasi penggembalaan clan sanitasi kandang.! Pemberian pakan tambalian tenitama pada musim hujan merupakan hal yang mcnguntungkan clad segi penanggulangan penyakit cacing . Introduksi hijauan seperti legume akan menambah kandungan pakan karena rumput yang ada di lapangan mempunyai kandungan nutrisi yang rendah, karena pada saat ini hanya sebagian kecil dari petani yang memanfaatkan lahannya untuk tanaman legume . Pemberian obat cacing hants diusaliakan agar frekuensinya minimal . Pemberian obat cacing harus mengikuti pola musim clan secara individu pada ternak anak, bunting, menyusui atau sakit karena infeksi cacing . KESIMPULAN Penanggulangan cacing saluran pencernaan khususnya cacing nematoda hanis dilakukan secara terpadu . Bila hanya salah satu metoda yang dilakukan, maka hasil yang didapat tidak sempurna atau kurang efektif sehingga infeksi cacing akan terus berulang . Kombinasi antara tiap faktor akan saling mendukung untuk kesuksesan program penanggulangan penyakit cacing. Beberapa teknologi penanggulangan cacing meliputi manajemen, pakan dan pemberian obal cacing. Manajemen menipakan faktor utama kesuksesan program penanggulangan cacing . Banyak program penanggulangan cacing yang gagal karena manajemen yang lemah pelaksanaannya . Manajemen ini menyangkut kontniksi perkandangan, sanitasi, sistim pembefan pakan, sistim pemeliharaan, penggunaan ternak yang bahan penyakit dan sistim rotasi penggembalaan. Hal yang terakhir memang agak sulit dilaksanakan mengingat umumnya petani tidak mempunyai bahan untuk penggembalaan . Lahan yang tersedia tidak dikhususkan untuk penggembalaan tetapi kadangkala terdiri dari semak belukar, rumput liar yang tumbuh di pinggir sungai, pematang
Seminar Nasional Peternakon don Vereriner 1997 sawah, pinggir jalan atau di bawah polion karet atau kelapa . Pemberian pakanUmbahanAtau memberi pakan yang banyak kandungan gizi seperti jenis legume merupakan--,sa lah satu cara untuk menanggulangi infeksi casing . Pemberian obat casing juga -ikut menentukan-kesuksusan program penanggulangan penyakit racing . Pemberian obat casing secara masal hams mengikuti pola musim dan secara individu hanya ditujukan pada temak anak, bunting, menyusui dan sakit karena infeksi casing. Frekuensi pemberian obat casing tergantung pada derajat infeksi, bila tinggi maka hams diberi beberapa kali .
DAFTAR PUSTARA ADIWINATA, G . dan SUKARSIH . 1992 . Gambaran darah domba yang terinfeksi cacing nematoda saluran pencernaan secara alami di Kabupaten Bogor (Kec . Cijenlk, Jasinga dan Rumpin) . Penyakit Hewan 24(43):13-16 . ANONIMOUS . 1995 . Statistical Book of Livestock . Directorate General of Livestock Services. Jakarta . BATIJBARA, A ., V .S . PANDEY, E . ROMmm, I . MIRZA, WASITo, P . DORNY, R .M . GATENBY, A .J . WILsoN and Ng . GINTING . 1995 . Experimental Infection Of Different Genotypes Weaned Lambs With Haemonchus Contortus . Small Ruminant Collaborative Research Support Program, Sungai Putih, North Sumatra, Indonesia . Pp. 31-36 . BERIAJAYA and P . STEVENSON . 1985 . The effect of anthelmintic treatment on the weight gain of village sheep. Pros . the 3'° AAAPAnimal Science Congress 1 :519-521 . BERIAJAYA . 1986a . The significant importance of gastrointestinal nematodiasis on village sheep in upland areas of Garut, West Java . Penvakit Hewan 33 :130-133 . BERIAJAYA . 1986b . Penganlh albendazole terhadap infeksi cacing nematoda saluran pencernaan pada domba lokal di daerah Cirebon. Penyakit Hewar 18(31) :54-57 . BERIAJAYA and P .STEVENSON. 1986 . Reduced productivity in small ruminant in Indonesia as a result of a gstrointestinal nematode infections . In Livestock Production and Diseases in tire Tropics, (eds M.R . Jainudeen, M. Mahyuddin and J .E. Huhn) . Pros . 5'" Conf. Inst. Trop. Vet . Med. Kuala Lumpur, Malaysia . BERIAJAYA, S .E . ESTUNINGSIH, DARMONO, M .R . KNOx, D .R. STOLTZ and A .J . WILSON . 1995 . The use of Wonnolas in controlling gastrointestinal nematode infections in sheep under traditional grazing management in Indonesia. Jurnal Ilniu Ternak dan Veteriner 1(1) :49-55 . BERIAJAYA and A . BATUBARA . 1996 . Parasite control for small nuninant production . In : Small Production: Recommendations for Southeast Asia . Eds . R .C . Markel, T.D . Soedjana and Subandriyo. Proceedings of a workshop held in Prapat, North Sumatra, Indonesia, May I2-15 . BERIAJAYA and D .B . COPEMAN . 1996 . Seasona l differences in the effect of nematode parasitism on weight gain of sheep and goats in Cigudeg, West Java Junial Ilniu Ternak dim Veteriner 2(1) :66-72 . BERIAJAYA and D .B . COPEMAN . 1997 . An estimate of seasonality and intensity of infection with gastrointestinal nematodes in sheep and goats in West Java . Jurnal 11mu Ternak dun Veteriner 2(4) :270-276 . BERIAJAYA, T .B . MURDIATI dan G . ADIWINATA . 1997 . Pengarnh biji dan getah pepaya terhadap cacing Hoemonchus contortus secara in vitro . Maj. Parasitol. Ind. 10(2) :72-77 . CARMICHAEL, I .H ., S . WIDJAJANTI, M .D . SANCHEZ, M . HUTAURuK and A.J . WILSON . 1992. Helminth parasitism in sheep grazing in rubber plantations in North Sumatra . Final Report . Collaborative Research Project . SR-CRSP/CRIAS-James Cook University (Project ATA-219) . Balai Penelitian Veteriner, Bogor, Indonesia . pp. 54 .
Seminar Nasional Peternakan darr
teraner 1997
CARMICHAEL, I.H . 1993 . Internal and external parasites as constminst to productivity ofsmall -ruminants in the tropics. In : Small Ruminant Production in the Humid Tropics. Eds. M. -Wodzicka-Tomaszewska, S. Gardiner, A. Djajanegara, I.M. Mastika and T.R . Wiradarya. Sebelas :Maret University Press, Indonesia. pp . 284-335.
M. HUTAURUK, A.J . WiLsoN and E. ROMJALI. 1991 . Identification of work resistance in sheep. Annual Report 1990-1991 . Small Ruminant Collaborative Research Support Program, Sungai Putih, North Sumatra, Indonesia. pp . 58-59. concentrate S.P ., K.R . Porn and SUBANDRIYO. 1996 . Effects of grazing management and levels of supplementation on parasite establishment in two genotypes of lambs infected with Hoemonchus eontortus. Jurnal 11mu Ternak dun Veteriner 2(2):114-119 .
GATENBY, R.M.,
GINTING,
HANDAYANI, S.W . and R.M . GATENBY. 1988. Effect of management system, legume feeding and anthelmintic treatment on the performance of lambs in North Sumatera. Trop. Anim . Hlth. Prod . 20 :122-128 .
KusumANnHARDJA, S. 1982 . Pengaruh musim, umur dan waktu penggembalaan pada derajat infestasi nematoda saluran pencernaan domba (Ovis aries Lin.) di Bogor. Thesis Doktor. IPB. MuRmATI, T.B ., BERIAJAYA dan G. ADIWINATA. 1997 . Aktivitas getah pepaya terhadap cacing Haemonchus contortus pada domba. Maj. Parasitol. Ind. 10(1): 1-7. PRtcHARD, R.K . 1978 . Sheep anthelmintics. hi: The Epidemiology and Control of Gastrointestinal Parasites of Sheep in Australua. Eds. A.D . Donald, W.H. Southcott and J.K. Dineen. Division of Animal Health . CSIRO. Australia . Pp .75-108.
PRcHARD, R.K . 1990 . Anthelmintic resistance in nematodes, recent understanding and fixture directions for i control and research . Int. J. Parasitol. 20:515-523 . RANGKuTi . M., M. SABRANI and BERIAIAYA . 1985 . Goat production in Indonesia: current status and potential for research. In : Goat Production and Research in the Tropics. Ed . J.W . Copland. Proceeding of a workshop held at the University of Queensland. Brisbane, Australia. 6-8 February 1984 . ACIAR Proceedings Series No . 7. RIDWAN, Y., S. KUSiJMAMIHARDJA, P. DORNY, J. VERCRUYSSE . 1996 . The epidemiology of gastrointestinal nematodes of sheep in West Java-Indonesia. Hemera Zoo 78 :8-18. ROMJALI, E. 1995 . Studies of genetic resistance of sheep to gastrointestinal nematodes in North Swnatra,' Indonesia. M.Sc. Thesis . Prince Leopold Institute of Tropical Medicine, Department of Animal Production and Health, Antwerp, Belgium. SABRANI, M., P. SrroRus, M. RANGKUTI, SuBANDRYo, W. MATHms, T.D . SOEDJANA dan A. SEMALI. 1982 . Laporan survey baseline Ternak Kambing dan Domba. SR-CSRPBPT, Bogor, Indonesia. SOEDJANA, T.D . 1983 . Pemasaran tenuak donnba pada periode hari Raya Kurban d Kotamadya Bandung . 11m) dan Peternakan 1(3):75-79 . SouLsBY, E.J.L. 1982 . Helminths, Arthropods and Protozoa of Domestic Animal. 7'". Bailliere Tindall. London. _. SuBANDRIYo. 1990 . Ewe productivity in villages in the district of Garut, West Java . 11mu don Peternakan 4(3):307-310 . SUTAMA, K. and BERIAJAYA. 1991 . The effect of anthelmintic treahnent on growth and sexual development Javanese thin-tail ram lambs reared under village condition . 11mu dan Peternakan 4(4):371-374
of
THAHAR, A. and R. PETHERAM . 1982 . Ruminant feeding practices in West Java . Research Report, BPT Ciawy Bogor, Indonesia.
120
Seminar Nasional Peternakan don Veteriner 1997
WALLER, P. J., F. Ecl-EvARRIA, C. EDDI, S. MACIEL, A. NARi and J.W. HANsEN . 1996 . The prevalence of anthelmintic resistance in nematode parasites of sheep in Southern Latin America: General overview. Vet. Parasitol. 62 :181-187 . WiLsoN, A.J. I.H. CARmcHAEL, R.M. GATENBY, M. HuTAuRuK and E. RomiALI . 1991 . Helminth parasitism in sheep grazing in rubber plantation in North Sumatra . Annual Report 1990-1991 . Small Ruminant Collaborative Research Support Program . Pp. 4749 WiLsoN, A.J., Ng. GnmNG and E. Rommm . 1996 . Health and disease problems of small ruminants and management aspects to minimise such problems. In: Small Ruminant Production : Recommendations for Southeast Asia . Eds. R.C. Merkel, T.D. Soedjana and Subandriyo . Proceedings of a workshop held in Prapat, North Sumatra, hidonesia, May 12-15.
DISKUSI Tanya Jawab Nata Supriyatua : Persentase penurunan berat badan dengan macam treatment db + iwamisol bobot badan turun 38,1%, dan seterusnya . Apakali dengan hasil ini menunjulckan obat tersebut tidak efektif. Apakah jika pemeriksaan faeces positif perlu diobati, dengan kata lain berapa batas nilai ambang jumlah telur . Beriajaya : Dalam memberikan obat tidak mempermasalahkan obat. Kalau thiambudazol penunut berat badan tinggi ini karena perbedaan daerah jadi antara Garut dan Bogor berbeda. Nilai epg < 1000 tidak masalah kalau > 1000 sudah hanis diobati . Namun masih ada unsur individual . Penanya : Obat cacing modern ada efek sampingnya . Dewasa ini ada obat tradisional, kira-kira obat apa yang direkomendasikan . Jumlah telur pada saat foetus meningkat . Mohon penjelasan. Keterpaduan pemberantasan Nematode bagaimana terpadunya manajemen, nutrisi. Apakah nutrisi yang jadi tinggi atau yang bagaimana ? Beriajaya : Obat tradisional biasanya turun temtuun dari nenek moyangnya . Tetapi belum ada data laboratorium yang mendukung. Pada saat bunting dan menyusui biasanya meningkat; Terpadu manajemen dan nutrisi dan obat cacing tidak disebutkan sanitasi, gizi yang baik akan mengurangi infeksi cacing . Program yang baik keterpaduan dari 3 unsur tersebut.