(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
Penanganan Kesulitan Belajar (Rendahnya Rasa Percaya Diri) Pada Siswa Tuna Rungu-Wicara Melalui Pembelajaran Tari Di SLB-B Se-Jawa Tengah Maria Denok Bekti Agustiningrum FIP IKIP Veteran Semarang Email :
[email protected] ABSTRAK Siswa tuna rungu-wicara adalah siswa yang memiliki masalah kesulitan belajar, faktor utama kesulitan belajar adalah rendahnya rasa percaya diri siswa.Kurangnya rasa percaya diri nampak dari prilaku siswa yang mudah menaruh curiga terhadap lingkungan, mudah gelisah, tidak berani tampil dimuka umum dan kurang menghargai keberadaan dirinya.Pendidikan seni tari sebagai salah satu cabang seni yang mempergunakan media tubuh sebagai ekspresinya diharapkan dapat meningkatkan rasa percaya diri siswa tuna rungu-wicara, dikarenakan pendidikan seni tari merupakan pendidikan yang menanamkan nilai-nilai; diantaranya mengajarkan sopan-santun, sabar, ketenangan bersikap, berani berinsiatif/berkreasi, menghargai diri sendiri dan sesama.Nilai yang terkandung dalam pendidikan seni dapat menjawab permasalahan kurangnya rasa percaya diri yang dialami oleh siswa tuna rungu-wicara.Dibeberapa SLB di Jawa Tengah menerapkan mata pelajaran seni tari sebagai mata pelajaran intrakurikuler maupun ekstra kurikuler dari tingkat SDLB sampai SMALB. Penelitian ini dilaksanakan di 5 SLB /SLB-B yang mewakili 6 karisidenan, 26 kabupaten dan 6 kota madya. Pemilihan ke-5 lokasi SLB/SLB-B didasari oleh para pemenang PORSENI tahun 2012 yang diadakan di Surakarta, 10-12 September 2012. Adapun sekolah-sekolah tersebut adalah sebagai berikut: DLB Kebakalan, SDLB Negeri Sokoharojo-Margorejo-Pati, SLB N Semarang, SLB-B YPSLB Gemolong-Sragen, SLB-B YPPALB Kota Magelang. Pada penelitian ini peneliti mendapati adanya perubahan sikap siswa yang mendapatkan pembelajaran seni tari dari kurang percaya diri menjadi percaya diri dengan dipenuhinya indikator-indikator percaya diri (nampak pada siswa memiliki sikap tenang, memiliki sikap terbuka, memiliki keberanian untuk tampil di muka umum, memiliki sikap menghargai diri sendiri, memiliki sikap mandiri) dibuktikan dengan tuntasnya pembelajaran seni tari dan diwujudkan dalam bentuk pementasan-pementasan. Kata Kunci : Percaya Diri, Seni Tari, Tuna Rungu-Wicara. PENDAHULUAN Manusia hidup berdampingan dengan manusia lain dalam segala segi kehidupan, manusia dengan kondisi fisik sempurna dan manusia dengan keterbatasan fisik
hidup
bersama dalam sebuah komunitas. Komunitas manusia ini yang juga sering disebut sebagai masyarakat. Masyarakat membentuk sebuah tata cara dan kehidupan yang mengikat setiap individu yang tinggal didalamnya dan menjadikannya sebuah aturan yang wajib untuk dipatuhi oleh setiap anggotanya. Setiap individu manusia dalam sebuah ikatan masyarakat memiliki kontribusi yang sama dalam mengembangkan dan membesarkan masyarakat tersebut.
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
1
(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
Kontribusi yang wajib diberikan sebagai pengakuan atas keberadaan individu dalam hubungannya dengan masyarakat dimana individu itu hidup. Fakta tersebut yang mendasari mengapa setiap individu wajib memiliki kemampuan tertentu untuk membentuk masyarakat dimana dia tinggal ataupun sekedar kemampuan untuk dapat bertahan hidup. Kemampuan untuk bertahan hidup merupakan kebutuhan mendasar dari tiap manusia terlepas bagaimana bentuk fisiknya maka setiap manusia wajib mempunyai kemampuan untuk dapat bertahan hidup. Pada dasarnya setiap manusia memiliki potensi untuk dikembangkan, potensi yang dimiliki setiap individu beragam diantaranya seni. Seni tari sebagai bagian dari seni memiliki berbagai unsur, diantaranya adalah musik; Musik dalam seni tari memiliki fungsi yang bermacam-macam, yaitu: mengiringi, pemberi suasana dan menjadi ilustrasi ( Jazuli,
2007: 14). Melihat dari fungsinya maka musik
memiliki posisi yang penting disamping gerak itu sendiri. Beberapa tokoh tari baik di dalam negeri maupun luar negeri mendefinisikan tari sebagai sebuah seni yang mempersatukan antara gerak dan musik. PBH Soerjodiningrat menyatakan: Ingkang dipun wastani djoget inggih punika ebahing sedaya sarandunging badan kasarengan ugeling gangsa katata pikanthuk wiramaning gendhing, djumbuhing pasemon lan pikajeninging djoget ( Yang dimaksud dengan tari adalah gerakan seluruh anggota badan yang diiringi oleh bunyi gamelan dan diatur berdasarkan irama gendhing, ekspresi dan maksud dari tari tersebut ). Hal tersebut dapat diartikan bahwa tari dan musik ( gangsa / gamelan ) tidak dapat dipisahkan, dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa sebuah tarian membutuhkan media tubuh manusia dikarenakan gerak tari terbentuk dari gerakan anggota badan dan membutuhkan pendengaran yang baik untuk dapat memperhatikan musik yang menjadi bagian dari tari tersebut. Menunjuk dari penjelasan tentang definisi tari pada umumnya maka dapat ditarik kesimpulan bahwa memiliki kesempurnaan fisik menjadi kunci utama seseorang bisa melakukan kesenian menari. Namun hakekat dari seni adalah sebagai suatu media ekspresi maka keterbatasan fisik manusia bukan menjadi kendala utama selama manusia dengan keterbatasan fisik tersebut mampu mengungkapkan ekspresinya. Keterbatasan fisik tidaklah menjadi hal yang prinsip apabila seseorang tersebut mampu mengungkapkan ekspresinya, termaksud dalam hal ini dalam berekspresi melalui kegiatan menari. Sama seperti anak-anak yang lain yang membutuhkan sekolah formal sebagai tempat mereka dipersiapkan untuk terjun di masyarakat maka anak-anak tuna rungu-wicara juga membutuhkan sekolah formal sebagai tempat mereka dipersiapkan agar mampu memberikan kontribusi yang sama terhadap lingkungan. SLB merupakan tempat mereka dipersiapkan agar mempunyai bekal yang cukup dalam bermasyarakat seperti halnya yang terjadi di SLB-B YPSLB Gemolong Sragen-Jawa Tengah. Di SLB-B YPSLB Gemolong siswa tuna rungu-wicara juga memiliki kesulitan dalam belajar. Salah satu faktor kesulitan belajar MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
2
(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
tersebut kurangnya rasa percaya diri anak tuna rungu-wicara. Kurangnya rasa percaya diri pada anak tuna rungu-wicara ditunjukkan dengan prilaku siswa yang mudah menaruh curiga terhadap lingkungan, mudah gelisah, tidak berani tampil dimuka umum dan kurang menghargai keberadaan dirinya. Pendidikan seni tari sebagai salah satu cabang seni yang mempergunakan media tubuh sebagai ekspresinya diharapkan dapat meningkatkan rasa percaya diri terhadap siswa tuna rungu-wicara dikarenakan pendidikan seni tari merupakan pendidikan yang menanamkan nilai-nilai; diantaranya mengajarkan sopan-santun, sabar, ketenangan bersikap, berani berinsiatif/berkreasi, menghargai diri sendiri dan sesama. Pemikiran tersebut mendasari studi ini yang berasumsi bahwa kurangnya percaya diri yang dimiliki oleh siswa tuna rungu-wicara dapat ditingkatkan melalui pembelajaran seni tari, maka fokus masalahnya adalah menemukan proses percaya diri siswa tuna rungu–wicara melalui pembelajaran tari di SLB-B YPSLB Gemolong-Sragen, Jawa Tengah.Tujuan penelitian ini: (1)Untuk mengetahui, mendeskripsikan dan menjelaskan pembelajaran seni tari bagi siswa tuna rungu–wicara di SLB-B YPSLB Gemolong-Sragen, Jawa Tengah. (2)Untuk menemukan proses peningkatkan rasa percaya diri siswa SLB-B YPSLB Gemolong-Sragen, Jawa Tengah melalui pembelajaran seni tari. KAJIAN TEORI Landasan teori dan kajian pustaka yang terkait permasalahan, yaitu: Pengertian dan Teori tentang Percaya diri,Teori tentang Tuna Rungu, Pengertian Pendidikan Seni Tari, Kurikulum dan Kebijakan di SLB, dan beberapa Kajian Pustaka yang mempunyai keterkaitan pada permasalahan yang peneliti lakukan. Teori tentang percaya diri peneliti kutip dari beberapa tokoh:Menurut Rubin (1990: 114) tanpa rasa percaya diri seseorang tidak akan mungkin dapat mengambil keputusan melainkan akan merasa ragu dengan apa yang dikerjakannya. Rasa percaya diri didefinisikan sebagai sebuah perasaan atau sikap yang tidak perlu membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain, baik pembandingan yang berisikan kekuatan, kemampuan, dan ketrampilan untuk menghasilkan sesuatu yang didasarkan oleh keyakinan akan kesuksesan dalam melaksanakannya ( Walgito, 1993: 16). Ciri-ciri kepercayaan diri menurut Guilford dalam Afiatin dan Mataniah (1998: 67), adalah individu yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:(1)Individu percaya terhadap dirinya serta memiliki ketenangan sikap. Hal ini didasari oleh adanya keyakinan terhadap kekuatan dan kemampuannya. Ia bersikap tenang tidak mudah gugup, cukup toleran terhadap berbagai macam situasi.(2) Individu merasa diterima oleh kelompoknya. Hal ini disadari oleh adanya kemampuannya dalam berhubungan sosial. Ia merasa bahwa kelompoknya atau orang lain menyukainya, aktif menghadapi keadaan lingkungan,
berani mengemukan
kehendak atau ide-idenya secara bertanggung-jawab dan tidak mementingkan
dirinya
sendiri.(3) Individu memiliki Kemandirian. Hal tersebut didasari oleh adanya keyakinan MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
3
(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
terhadap kekuatan, kemampuan, dan ketrampilan yang dimiliki. Ia merasa optimis, cukup ambisius, tidak selalu memerlukan bantuan orang lain, sanggup bekerja keras, mampu menghadapi tugas dengan baik dan bekerja secara efektif serta bertanggung jawab atas keputusan dan perbuatannya. Ciri-ciri orang percaya diri menurut Anthony (dalam Yahya: 2010), meliputi: (1) Harga diri; Mempunyai harga diri berarti mampu menyadari segala kekurangan dan kelebihan dirinya sehingga tidak memiliki perasaan rendah diri.(2) Bertanggung jawab; Bertanggung jawab berarti mau menerima dan menanggung resiko akibat perbuatannya. (3) Mandiri; Bersikap mandiri berarti hidup tidak bergantung orang lain dan selalu dapat mengerjakan sesuatu tanpa menunggu orang lain.(4) Tidak Ragu-ragu; Tidak ragu-ragu berarti dengan penuh keyakinan dan cepat dalam mengambil keputusan. (5) Rasa Aman; Memiliki rasa aman berarti jauh dari perasaan cemas dan dapat menghambat rasa percaya dirinya. Menurut David ( 2009: 274 ) Klasifikasi berkurangnya pendengaran menurut lokasi anatomis meliputi: (a) Conductive Hearing Loss, adalah kondisi berkurangnya kemampuan mendengar dikarenakan rusaknya organ fisik dari telinga:(b) Sensorineural Hearing Loss, adalah kondisi berkurangnya kemampuan mendengar dikarenakan rusaknya syaraf organ telinga; (c) Mixed Hearing Loss, adalah kondisi berkurangnya kemampuan mendengar dikarenakan rusaknya organ fisik dari telinga dan rusaknya syaraf organ telinga.Tunarunguwicara adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen. Klasifikasi tunarungu-wicara berdasarkan tingkat gangguan pendengaran adalah: (1) Gangguan pendengaran sangat ringan(27-40dB), (2) Gangguan pendengaran ringan(41-55dB),
(3)
Gangguan
pendengaran
sedang(56-70dB),
(4)
Gangguan
pendengaran berat(71-90dB), (5) Gangguan pendengaran ekstrem/tuli(di atas 91dB). Karena memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara. Cara berkomunikasi dengan individu menggunakan bahasa isyarat, untuk abjad jari telah dipatenkan secara internasional sedangkan untuk isyarat bahasa berbeda-beda di setiap negara. Saat ini dibeberapa sekolah sedang dikembangkan komunikasi total yaitu cara berkomunikasi dengan melibatkan bahasa verbal, bahasa isyarat dan bahasa tubuh. Individu tunarungu-wicara cenderung kesulitan dalam memahami konsep dari sesuatu yang abstrak. Dinegara Indonesia ada simbol bahasa isyarat yang dipatenkan atau dipergunakan SIBI (Simbol Isyarat Bahasa Indonesia). SIBI ini dipergunakan dalam komunikasi baik disekolah maupun ditempat umum lainnya. Terdapat 2 faktor utama penyebab gangguan pendengaran, yaitu: (1) Faktor Genetik ( Northernand, 1974: 243 adalah faktor yang muncul pada saat proses pembentukan janin. Penyebab gangguan pendengaran yang ditularkan oleh orangtua kepada anak – anaknya, melalui gen – gen resesif yang berarti orangtua mempunyai pendengaran normal maupun MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
4
(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
gen – gen domain yang berarti orang tua baik salah satu maupun keduanya mempunyai dasar gangguan pendengaran. (2) Faktor Lingkungan / Pengalaman adalah faktor yang muncul pada saat anak sudah lahir. Faktor lingkungan dibedakan menurut penyebab peristiwa, yaitu:
(a) Lahir Prematur / Premature Birth,
tertularnya bayi oleh virus maternal rubella,
(b) Campak / Viral Infection,
(c) Tertular virus radang selaput otak /
encephalitis, sumsum tulang belakang, meningitis, penyakit gondok / mumps,
(d)
Ketidaksesuaian Rh darah,(e) Radang telinga tengah,(f) Pemakaian obat–obat tertentu dan beberapa faktor kebiasaan hidup yang buruk (David J., 2009: 279 ). Dikarenakan alat pendengarannya tidak mampu berfungsi dengan baik maka permasalahan anak tuna rungu-wicara adalah pada komunikasi. Ciri umum yang lain adalah kemampuan intelektual mereka berada dibawah rata-rata anak pada umumnya dan memiliki gangguan pada kemampuan sosial-emosi yang kurang stabil. Anak tuna rungu-wicara pada umumnya memiliki tingkat kecerdasan yang cenderung sama dengan anak-anak normal lainnya, tetapi dikarenakan terputusnya informasi yang diterima oleh otak maka Anak Tuna rungu-wicar nampak seperti anak dengan tingkat kecerdasan dibawah rata-rata atau dalam istilah medis disebut dengan “Bodoh Semu”(Sastrawirata, 1977 ). Anak-anak tuna rungu adalah anak-anak yang cenderung memiliki kecurigaaan yang besar terhadap lingkungan disekitarnya, hal tersebut dikarenakan mereka tidak bisa mendengar suara apapun yang ada disekitarnya. Anak-anak tuna rungu-wicara pada umumnya memiliki ciri-ciri fisik, yaitu: berjalan agak membungkuk dan atau seperti sempoyongan. Hal tersebut dikarenakan adanya kerusakan alat keseimbangan tubuh yang terletak di telinga bagian tengah.Anak-anak tuna rungu-wicara pada umumnya memiliki ciri-ciri sosial, yaitu: ketidakpunyaan rasa percaya diri, hal tersebut dikarenakan mereka memiliki perasaan diputuskan dengan dunia disekitarnya sehingga muncul ketidakmampuan beradaptasi dengan lingkungan. Perasaan tersebut yang menyebabkan mereka memiliki sikap kecurigaan yang besar terhadap orangorang disekitarnya. Penelitian ini mempergunakan subyek penelitian pada siswa tuna runguwicara dengan beberapa kualifikasi, yaitu: kondisi fisik tidak dapat mendengar suara tanpa alat bantu, kemampuan berkomunikasi adalah dengan membaca gerak bibir dan mempergunakan bahasa isyarat, latar belakang kondisi cacat yang mereka alami merupakan cacat bawaan atau lahir, tingkat kecerdasan rata-rata; Atau
biasa disebut
sebagai penyandang cacat tuna rungu-wicara yang bersekolah di SLB atau SLB-B se-Jawa Tengah. Pendidikan seni tari adalah pendidikan nilai–nilai, ideal rasional dengan media seni tari ( Dikti, 2007: 2 ). Ekspresi yang digambarkan melalui gerak tubuh manusia menjadi point penting dalam sebuah pendidikan seni tari, memberikan gambaran–gambaran estetis melalui pengalaman yang dirasakan oleh peserta didik dalam menari merupakan salah satu MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
5
(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
tujuan dari pendidikan seni tari. Wisnoe Wardhana ( 1990: 15 ) mengungkapkan bahwa pendidikan seni tari memiliki dua tujuan, yaitu: Secara langsung dan tidak secara langsung. (1) Secara langsung bertujuan untuk mengarahkan siswa agar dapat menari dengan baik sesuai dengan wirama, wirasa dan wiraga dan (2) Secara tidak langsung mempunyai tujuan untuk menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam seni tari atau dengan kata lain membentuk kepribadian dari sipembelajar.
METODE PENELITIAN Lokasi penelitian dipilih berdasarkan beberapa alasan yang dimaksudkan untuk memperkecil lingkup penilitian sehingga menjadi lebih fokus, adapun kriteria pemilihan lokasi tersebut adalah sebagai berikut: (1) Seni Tari dipergunakan sebagai mata pelajaran intra kurikuler dan ekstra kurikuler yang diajarkan kepada siswa-siswi tuna rungu-wicara. (2) Sekolah tersebut merupakan sekolah yang berprestasi dibidang seni tari. Maka dari hasil PORSENI khusus Anak-ANAK Luar Biasa yang diadakan oleh DIKSUS pada tahun 2012; peneliti menemukan 5 lokasi yaitu para pemenang lomba bidang Seni Tari se-Jawa Tengah. Penelitian ini mempergunakan peneliti sebagai instrument kunci ( researcher as key instrument ); maksud dari pernyataan tersebut adalah dalam penelitian ini peneliti mengumpulkan sendiri data melalui dokumentasi, observasi prilaku siswa tuna rungu-wicara di SLB-B YPSLB Gemolong, atau wawancara dengan para subyek penelitian. Metode yang digunakan adalah Kualitatif dengan teknik observasi kualitatif, teknik wawancara kualitatif dan teknik dokumentasi–dokumentasi kualitatif
kemudian peneliti meriview semua data
tersebut, memberikan makna dan mengolahnya ke dalam kategori–kategori atau tema–tema yang melintasi semua sumber data ( John W. 2010: 268 ). Teknik Observasi yang digunakan dibagi dalam 2 jenis yaitu: (a) Observasi langsung dalam penelitian ini yaitu peneliti melakukan pengamatan terhadap proses belajar-mengajar di kelas khususnya dalam pembelajaran seni tari; Sedangkan instrumen pengamatannya adalah prilaku siswa-siswi ke-5 Sekolah tersebut diatas. Waktu observasi langsung peneliti laksanakan selama proses pembelajaran seni tari. Observasi langsung yang peneliti lakukan juga meliputi perangkat pembelajaran seperti sarana-prasarana pembelajaran tari, kurikulum seni tari, media pembelajaran seni tari, suasana kelas seni tari, penilaian terhadap hasil belajar seni tari, dan tingkah laku orang tua siswa beserta lingkungan dimana subyek penelitian tinggal dan berkembang. (b) Observasi tidak langsung, Observasi tidak langsung yang peneliti lakukan adalah dengan melakukan pengamatan terhadap prestasi-prestasi seni tari yang sudah dimiliki oleh siswa-siswi melalui piala, dan cerita/tutur kata yang terkait prestasi yang dimiliki terdahulu juga hasil pengamatan guru dan orangtua terhadap siswa yang berprestasi terkait prilaku mereka yang berupa penilaian.
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
6
(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data melalui percakapan face to face yang dilakukan oleh peneliti dengan subyek penelitian. Wawancara dalam penelitian ini bisa dilakukan dengan cara face-to-face interview, interview by phone, focus group interview. Sedangkan pertanyaan-pertanyaan yang dilakukan bisa terstruktur ataupun tidak terstruktur, umum atau khusus, atau bersifat terbuka ataupun tertutup ( Creswell, 2010: 267 ).Walaupun dalam penelitian ini merupakan penelitian terhadap siswa tuna rungu-wicara namun peneliti tetap mempergunakan teknik wawancara ini sebagai salah satu cara untuk memperoleh data. Alasan penggunaan teknik ini adalah: (1) Peneliti dikarenakan ada beberapa data dari subyek penelitian yang tidak mengalami ketunanaan dalam hal ini tuna rungu-wicara, yaitu guru dan orangtua. (2) Ada beberapa data yang harus disampaikan sendiri oleh subyek penelitian terkait penilaian prilaku siswa dan perasaaan yang dirasakan. Penelitian ini mempergunakan keseluruhan teknik wawancara yang disampaikan Creswell (2010) yaitu dengan wawancara langsung maupun melalui media telekomunikasi dan kemudian mempergunakan pertanyaan-pertanyaan yang sudah disusun maupun spontan sesuai dengan kondisi di lapangan.Maksud wawancara ini adalah untuk memperoleh data yang dipergunakan dalam mengurai permasalahan yang dihadapi dilapangan, mengolahnya dan untuk mengetahui opini-opini yang ada.Wawancara mendalam peneliti lakukan pada guru pengajar seni tari, kepada guru kelas, terhadap kepala sekolah dan Orangtua siswa di 5 SLB yang menjadi lokasi penelitian. Sedangkan wawancara mendalam juga peneliti lakukan terhadap siswa melalui angket yang peneliti bagi untuk siswa yang isinya untuk untuk mengetahui perasaan yang dirasakan oleh siswa dan bagaimana suasana hati siswa terkait pembelajaran tari, bagaimana kesulitan-kesulitan yang dirasakannya dan pementasan tari/perlombaan-perlombaan tari. Adapun pelaksanaannya peneliti dibantu oleh guru pengajar. Studi dokumentasi merupakan instrumen yang dipergunakan baik pada studi pendahuluan ataupun dalam proses penelitian. Studi dokumentasi dilakukan dengan mempelajari data-data inti maupun pendukung yang dibutuhkan dalam mengurai permasalahan penelitian. Adapun dokumen yang dipelajari bisa berwujud media cetak atau audio visual. Melalui metode studi dokumentasi ini peneliti melakukan perekaman data melalui (a) Data penunjang yaitu hasil-hasil dari penelitian serupa (tesis, disertasi, makalah), melalui media cetak yaitu buku The Story Of My Life (kisah hidup anak tuna rungu-wicara), koran artikel Suara Merdeka yang memuat berita tentang prestasi yang dilakukan anak-anak tuna rungu, data base DIKSUS tentang pelaksanaan Porseni SLB bidang seni tari bagi siswa tunarungu-wicara yang dilaksanakan sejak tahun 2002. (b) Data langsung yang terkait subyek penelitian berupa data base KE-5 SLB tersebut, dalam hal ini peneliti mempelajari dokumen berupa: piala dan piagam sebagai hasil prestasi sekolah di ke-5 SLB tersebut dan
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
7
(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
merekam proses belajar-mengajar siswa ke-5 SLB tersebut, mempelajari sejarah dan latar belakang lingkungan sekolah ke-5 SLB tersebut melalui data statistik yang ada. Teknik validasi data yang peneliti gunakan adalah teknik validasi menurut John W. ( 2010: 286 – 300 ). Adapun tahapan–tahapannya adalah sebagai berikut: (1) Trianggulasi dalam penelitian ini dilakukan peneliti untuk memfokuskan penelitian hanya kepada penemuan peningkatan rasa percaya diri siswa tuna rungu-wicara melalui pembelajaran seni tari.(2) Member checking diperlukan agar tidak ada kesalahan dalam perekaman data dilapangan sehingga data yang didapatkan benar-benar akurat.Dalam langkah ini peneliti melakukan cross cek data dengan menyerahkan kembali hasil perekaman kepada partisipan dalam hal ini guru tari dan Kepala Sekolah. (3) Membuat deskripsi yang kaya dan padat ( rich and thick description ) tentang hasil penelitian. Pada tahap ini peneliti memaknai dan mendeskripsikan data dengan keseluruhan analisa teori yang menjadi dasar pemikiran dalam menjawab permasalahan penemuan proses peningkatan rasa percaya diri siswa tuna rungu-wicara. (4) Mengklarifikasi bias yang mungkin dibawa peneliti ke dalam penelitian. Munculnya refleksivitas dalam tahapan ini yang menjadi kunci peneliian kualitatif. Klarifikasi bias ini dilakukan peneliti dengan bantuan para ahli dalam hal ini beberapa Profesor yang membidangi.(5) Memanfaatkan waktu yang relatif lama ( prolonged time ) dan observasi berulang. Tahapan ini dimaksudkan agar peneliti dapat lebih seksama mengobservasi dan memperkuat data dilapangan sehingga data yang didapatkan maksimal.Waktu yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah 1 semester pembelajaran sehingga dapat terlibat dengan lebih akurat dalam perolehan data.(6) Melakukan tanya jawab sesama rekan peneliti ( peer briefing ) untuk meningkatkan keakuratan hasil penelitian. Tahapan ini dimaksudkan untuk mendapatkan persepsi-persepsi diluar persepsi peneliti, langkah ini peneliti lakukan yaitu dengan berbincang dan berdiskusi dengan Retno Untari seorang Sarjana Seni yang pernah juga meneliti pembelajaran seni tari bagi siswa tuna rungu-wicara dan beberapa praktisi dibidang pendidikan anak difabel. (7)Mengajak seorang auditor ( external auditor ) untuk mereview keseluruhan proyek penelitian. Dalam penelitian ini Auditor yang dilibatkan adalah
kedua
pembimbing
tesis
dan
evaluator
juga
beberapa
pakar
dibidang
pendidikan.Langkah ini peneliti lakukan yaitu dengan mengkonsultasikan terus-menerus hasil penelitiian dan penulisan tesis ini. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Proses pembelajaran seni tari di SLB Se-Jawa Tengah Kelima sekolah yang mewakili Jawa Tengah sebagai lokasi penelitian terbagi dalam dua kurikulum pembelajaran tari; yaitu kurikulum yang yang mempergunakan seni tari sebagai sebuah mata pelajaran ekstra kurikuler dan kurikulum intra kurikuler. 3 sekolah yaitu SLB Negeri Semarang, SDLB Negeri Sukoharjo-Margorejo-Pati dan SDLB MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
8
(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
Kebakalan – Banjarnegara mempergunakan seni tari sebagai mata pelajaran ektra kurikuler.
Melalui
pengamatan
peneliti
didapati
kurang
adanya
jawaban
atas
permasalahan yang peneliti sampaikan sehingga peneliti melanjutkan penelitian ke lokasi sekolah yang mempergunakan seni tari sebagai mata pelajaran intra kurikuler atau memasukkan seni tari sebagai sebuah bidang studi yang wajib dan diberikan kepada seluruh siswa sejak kelas persiapan atau setara TK sampai dengan SMALB atau setara SMU. Maka ditemukan 2 lokasi yang memiliki kesamaan yaitu SLB-B YPPALB Kota Magelang dan SLB-B YPSLB Gemolong Sragen. Dibeberapa sekolah khususnya SLB-B YPSLB Gemolong memilih mata pelajaran Seni Tari didasari oleh kebijakaan dari kepala sekolah dalam hal ini bapak Zaini M.Pd., namun dalam teknis pelaksanaan diserahkan kepada ibu Sri Subekti S.Pd, sebagai seorang pengajar Sri subekti menentukan materi pembelajaran didasarkan pada: (a) Kemampuan siswa; Menurut wawancara dengan guru pengajar tari (Sri Subekti; 43th), yang dimaksudkan materi tari mempertimbangkan kemampuan siswa adalah: materi yang dipilih harus sesuai dengan kemampuan berkomunikasi siswa, hal tersebut nampak dari sisi usia dan jenjang pendidikan siswa tuna rungu wicara di SLB-B YPSLB Gemolong. (b) Kejiwaan siswa, yang nampak pada kestabilan emosi siswa. Menurut wawancara dengan guru pengajar tari (Sri Subekti; 43th), yang dimaksudkan materi tari mempertimbangkan Seorang anak tuna runguwicara mempunyai kecenderungan untuk menarik diri dari lingkungan, hal tersebut dikarenakan mereka tidak memahami percakapan yang ada di sekitarnya. Kondisi mereka tersebut mengakibatkan munculnya rasa marah/jengkel dalam bahasa psikologi disebut dengan istilah moody, sehingga yang dimaksud dengan Kejiwaan siswa adalah kestabilan emosi yang dimiliki oleh anak-anak tuna rungu wicara. Secara umum kestabilan emosi yang dimiliki anak-anak tuna rungu-wicara ini bisa di lihat dari jenjang pendidikan mereka. Siswa jenjang SDLB akan lebih labil jika dibandingkan dengan siswa jenjang SMPLB demikian seterusnya. Hal tersebut terjadi dikarenakan anak-anak tuna rungu wicara yang lebih dulu bersekolah akan lebih lama menerima pendidikan sehingga mereka mampu untuk belajar berkomunikasi dengan orang-orang disekitarnya sehingga mereka jadi lebih bisa tenang menghadapi lingkungan. (c) Kebutuhan siswa; Menurut wawancara dengan guru pengajar tari (Sri Subekti; 43th), yang dimaksudkan materi tari mempertimbangkan kebutuhan siswa adalah bahwa mata pelajaran seni tari di SDLB merupakan mata pelajaran yang masuk dalam kategori program khusus bina komunikasi, persepsi bunyi dan irama. Maka pembelajaran siswa tidak bisa terlepas dari kondisi masing-masing siswa, maksudnya adalah setiap siswa memiliki kebutuhan yang berbeda menurut jenjang pendidikannya. Siswa dengan jenjang pendidikan SDLB tentu memiliki kebutuhan yang berbeda dengan siswa dengan jenjang pendidikan SMPLB dan demikian seterusnya.
Sehingga materi pembelajan tari tentunya disesuaikan dengan kondisi
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
9
(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
kemampuaan siswa. (d) Tingkat Kesulitan Tarian; Menurut wawancara dengan guru pengajar tari (Sri Subekti; 43th), yang dimaksudkan materi tari mempertimbangkan tingkat kesulitan tarian adalah lebih kepada kemampuan siswa untuk mengikuti /menirukan gerakan-gerakan yang diberikan dalam pembelajaran seni tari. Semakin sulit gerakan yang dicontohkan semakin membutuhkan konsentrasi dan koordinasi gerak tubuh yang baik. Oleh karena itu sebuah tarian dengan tingkat kesulitan yang tinggi hanya mungkin bisa dilakukan oleh siswa yang sudah duduk di jenjang lebih tinggi. Motode Penyampaian Materi Tari di SLB-B adalah: (a) Penyampaian materi dengan mempergunakan bahasa simbol sehari-hari bagi anak tuna rungu-wicara. Percakapan yang biasa dilakukan dalam pembelajaran sehari-hari bagi siswa-siswi tuna rungu-wicara adalah percakapan bahasa Indonesia dengan sistem isyarat yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Direktur Pendidikan Luar Biasa. Bahasa tersebut dinamakan Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI), berwujud tatanan yang sistematis tentang seperangkat isyarat jari, tangan dan berbagai gerak yang melambangkan kosa kata Bahasa Indonesia. SIBI dilakukan dalam pembelajaran seni tari khususnya sebagai pengantar materi dan instruksi-instruksi yang diinginkan oleh guru pengajar dalam hal ini Sri Subekti. Contoh apabila guru mengucapkan salam, menanyakan kondisi siswa-siswi, menyuruh mengulang materi dan beberapa hal lain yang terkait materi pembelajaran. (b)Penyampaian materi dengan mempergunakan bahasa isyarat untuk menyimbolkan aba-aba tertentu dalam penyampaian tari. Dalam seni tari terdapat beberapa simbol kosakata yang melambangkan gerak tertentu yang penggunaan istilah tersebut hanya digunakan dalam bahasa tari. Contoh dari simbol kosakata tersebut adalah Trisig, kengser, panggel dan beberapa istilah lainnya.Untuk memudahkan penyampaian materi maka Sri Subekti sebagai guru pengajar membuat beberapa istilah agar mempermudah penyampaian materi. Simbol yang dipergunakan mirip dengan SIBI yang intinya mempergunakan jari dan tangan untuk mengganti bahasa verbal atau menyimbolkan pernyataan tertentu. (c) Penyampaian Gerak dengan Metode Pengenalan Gerak Dasar Tari; Pembelajaran seni tari di SLB-B juga melakukan beberapa kegiatan yang sama seperti pembelajaran tari bagi siswa-siswi yang tidak berkebutuhan khusus. Kesamaan tersebut nampak pada metode yang dipakai yaitu Metode Pengenalan Gerak Dasar Tari. Pengenalan Gerak Dasar adalah tahapan pembelajaran yang dilakukan diawal pelajaran yang berfungsi untuk
mengenalkan
gerak-gerak dasar yang dilakukan dalam pembelajaran seni tari bagi siswa-siswi tuna rungu-wicara SLB-B.Pengenalan Gerak tersebut meliputi: (1) Gerak-gerak dasar/posisi tubuh,tangan,kaki,kepala.
(2)
Gerak-gerak
dasar
dalam
bentuk
sekaran.
(d)
Penyampaian materi melalui metode Imitasi; Adalah metode yang dilakukan dalam pembelajaran tari dengan cara guru memberi contoh gerakannya dan siswa menirukan MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
10
(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
gerakan yng dicontohkan guru. Biasanya metode Imitasi terkait dengan metode pengenalan gerak dasar. B. Proses
peningkatan
rasa
percaya
diri
siswa
tuna
rungu-wicara
melalui
pembelajaran seni tari a. Dengan mempelajari seni tari siswa tuna rungu-wicara memiliki ketenangan sikap. Pembelajaran seni tari bagi siswa tuna rungu-wicara merupakan pembelajaran yang membutuhkan konsentrasi tinggi, hal tersebut dikarenakan siswa tuna rungu-wicara hanya mampu menaerima pembelajaran melalui satu indera yaitu indera penglihatan saja. Hal tersebut berbeda dengan siswa normal lainnya yang mempelajari tari dengan mempergunakan indera penglihatan dan indera pendengaran. Tidak berfungsinya indera pendengaran membuat siswa tuna rungu-wicara harus bekerja keras untuk fokus pada informasi yang diberikan kepada mereka oleh guru pengajar.Ketimpangan menangkap
informasi
bunyi
mengharuskan
siswa
tuna
rungu-wicara
untuk
memaksimalkan indera yang berfungsi yaitu indera penglihatan. Melalui indera penglihatan siswa tuna rungu-wicara menangkap semua informasi yang diberikan guru pengajar. Informasi tersebut adalah aba-aba, hitungan dan musik pengiring. Agar dapat menggantikan beberapa informasi yang ditangkap oleh siswa maka dalam proses pembelajaran tari ada 4 langkah yang harus dilalaui, yaitu: (1) Informasi yang berupa aba-aba dan hitungan diterjemahkan dalam bentuk simbol, yang dimaksud pernyataan tersebut adalah dalam pembelajaran seni tari guru Sri Subekti membuat beberapa simbol tari dan mempergunakan hitungan SIBI untuk menghitung gerakannya. Perubahan informasi bunyi menjadi lambang/simbol tersebut menolong atau menjadi jawaban terhadap ketidakmampuan siswa memahami hitungan melalui suara. (2) Informasi yang berupa pemahaman terhadap bunyi atau iringan tari yang tidak dipunyai oleh siswa diganti dengan kegiatan
menghafal gerak atau siswa
diharuskan menghafal urut-urutan gerak. (3) Langkah selanjutnya yang harus dilakukan oleh siswa setelah dapat menghafal urutan geraknya siswa mempelajari ritme dengan cara menghitung pengulangan setiap gerak beserta jumlah gerakan yang harus diulang dalam 1 rangkaian tari. (4) Setelah itu siswa belajar pola lantai dengan cara menghafal arah hadap melalui simbol-simbol yang dibuat oleh guru. b. Dengan mempelajari seni tari siswa tuna rungu-wicara memiliki sikap terbuka Pada awal pembelajaran tari siswa tuna rungu-wicara diberi wawasan tentang tari yang akan dipelajari; yaitu: isi tari, kostum tari, tujuan tari oleh guru. Pemahaman tentang beberapa tarian yang dipelajari oleh siswa tuna rungu-wicara merupakan tambahan informasi, informasi yang sebelumnya belum ada dibenak siswa tuna rungwicara. Semakin banyak siswa tuna rungu-wicara mendapat informasi semakin menolong siswa tuna rungu-wicara untuk dapat memahami dunia disekitar mereka. MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
11
(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
Siswa tuna rungu-wicara sedikit mendapat informasi tentang beberapa hal dilingkungan mereka karena mereka kesulitan untuk manangkap ritme kehidupan yang ada disekitar mereka. Dalam ilmu psikologi kondisi siswa tuna rungu-wicara ini disebut dengan “dunia yang bisu” atau komunitas colonis of deafness. Keadaan ini membutuhkan peran orang lain ataupun masyarakat disekitar untuk terus-menerus dan berkesinambungan memberikan informasi kepada siswa tuna rung-wicara agar mereka dapat sedikit demi sedikit memahami dunia disekitar mereka. Melalui penjelasan yang diberikan oleh guru Sri Subekti mengenai nama tari, kostum, gerakannya diawal pembelajaran tari maka siswa tuna rungu-wicara belajar/berlatih untuk bersikap terbuka dalam menerima informasi baru yang mereka dapatkan. Terlebih pada moment-moment tertentu hasil pembelajaran tari tersebut dipentaskan dan diperlombakan.Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang peneliti lakukan terhadap siswa tuna rungu-wicara mendapat banyak pengalaman menyenangkan pada saat mengikuti beberapa pementasan dan beberapa perlombaan yang mereka ikuti. Pengalaman bertemu orang lain yang berbeda komunitas dan pengalaman bertemu beberapa orang dengan latar belakang yang berbeda membantu siswa tuna rungu-wicara untuk belajar membuka diri sehingga sikap mudah curiga terhadap orang asing sedikit demi sedikit dapat di kikis. c. Dengan mempelajari seni tari siswa tuna rungu-wicara memiliki keberanian untuk tampil dimuka umum Salah satu permasalahan anak-anak tuna rungu-wicara adalah tampil dimuka umum (David, 2009: 275). Dengan adanya pembelajaran seni tari maka secara langsung atau siswa tuna rungu-wicara wajib untuk mementaskan tari yang sudah selesai mereka kuasai. Hal tersebut menjadi sebuah peluang untuk mengikis ketakutan tampil dimuka umum. Sikap berani tersebut ditunjukkkan dengan ekspresi tidak takut saat menari, selalu tersenyum dan mampu menatap penonton dengan baik. d. Dengan mempelajari seni tari siswa tuna rungu-wicara memiliki sikap menghargai diri sendiri Dalam
proses
pembelajaran
seni
tari
hasil
akhir
penguasaan tari
adalah
pementasan.Menurut hasil wawancara dan observasi yang peneliti lakukan terhadap responden didapati jawaban yang sama yaitu munculnya merasa senang karena dapat melakukan pementasan, dari rasa senang tersebut muncul rasa bangga terhadap yang apa sudah dilakukannya. Pernyataan tersebut menjadi salah satu indikasi adanya / munculnya sikap menghargai diri sendiri (Daniel, 2011:105). Menurut hasil wawancara dan observasi yang peneliti lakukan terhadap responden didapati jawaban yang sama yaitu munculnya merasa senang karena dapat melakukan pementasan, dari rasa senang tersebut muncul rasa bangga terhadap MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
12
(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
yang apa sudah dilakukannya. Pernyataan tersebut menjadi salah satu indikasi adanya / munculnya sikap menghargai diri sendiri (Daniel, 2011: 105). e. Dengan mempelajari seni tari siswa tuna rungu-wicara memiliki sikap mandiri Sikap mandiri muncul dalam pembelajaran seni tari khususnya pada saat pementasan, dalam pementasan tari unsur-unsur yang ada adalah kostum dan tata rias. Persiapan yang dilakukan pada saat pementasan mencakup kostum dan tata rias. Siswa tuna rungu-wicara yang didudk dijenjang SMPLB dan SMALB pada umumnya sudah mampu merias dirinya dengan baik, hal tersebut dikarenakan mereka mendapatkan mata pelajaran ketrampilan tata rias dan tata busana. Sehingga saat pementasan sebagai guru pengajar Sri Subekti hanya merapikan dan mengecek halhal yang perlu diperbaiki. Kemampuan siswa tuna rungu-wicara untuk mempersiapkan diri dengan merias dan menggunakan kostum sendiri menjadi bukti kemandirian mereka. Seni tari mampu memberikan ruang kepada mereka untuk menunjukkan kemandiriannya dengan tidak bergantung kepada orang lain.
KESIMPULAN A. Proses pembelajaran seni tari bagi siswa tuna rungu–wicara Keterbatasan yang dimiliki oleh siswa tuna rungu-wicara tidak menghambat proses pembelajaran seni tari, hal tersebut dikarenakan guru pengajar seni tari Sri Subekti memiliki metode khusus dalam proses belajar-mengajar seni tari. Adapun metode penyampaian
materi
tari
tersebut
adalah:
(1)
Penyampaian
materi
dengan
mempergunakan bahasa simbol sehari-hari bagi anak tuna rungu-wicara (SIBI); (2) Penyampaian materi dengan mempergunakan bahasa isyarat untuk menimbolkan abaaba tertentu; (3) Penyampaian gerak dengan metode pengenalan gerak dasar tari; (4) Penyampaian materi melelui metode Imitasi.Sedangkan pemilihan materi tarinya berdasarkan pada: (1)Kemampuan Siswa; (2) Kejiwaan Siswa; (3) Kebutuhan Siswa; (4) Tingkat Kesuliatan Tarian. Penentuan materi tersebut dilakukan sendiri oleh Sri Subekti sebagai guru tari, sehingga ditentukan kategori pengelompokkan jenis tari yaitu: siswa tuna rungu-wicara yang berada di jenjang SDLB berbeda dengan siswa yang berada di SMPLB dan berbeda dengan siswa yang berada di SMALB.Dengan teknik, peraturan dan metode yang dilakukan Sri Subekti maka siswa tuna rungu-wicara di SLB-B YPSLB Gemolong mampu menuntaskan bahkan mementaskan hasil pembelajaran siswa tuna rungu-wicara yang menunjukkan bahwa mereka mampu mengusai tari yang mereka pelajari.
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
13
(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
B. Proses peningkatan rasa percaya diri siswa tuna rungu-wicara melalui pembelajaran seni tari Melalui penjelasan diatas siswa tuna rungu-wicara dapat memperoleh beberapa sikap yang menjadi ciri-ciri Percaya Diri yaitu: (a) Siswa dapat mempelajari, memahami dan mempunyai kemampuan ketenangan diri. (b) Siswa dapat mempelajari, memahami dan mempunyai kemampuan sikap terbuka. (c) Siswa dapat mempelajari, memahami dan mempunyai kemampuan berani tampil dimuka umum. (d) Siswa dapat mempelajari, memahami dan mempunyai kemampuan menghargai diri sendiri. (e) Siswa mempunyai kemampuan sikap mandiri. Kelima aspek tersebut merupakan indikator dari sikap percaya diri, sehingga terbukti melalui penelitian ini ditemukan fakta bahwa pembelajaran tari mampu meningkatkan rasa percaya diri siswa tuna rungu-wicara
DAFTAR PUSTAKA Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosda Karya Remaja Alison Clacke and Stewart Susan F. 1987. Child Development infancy through Adolescense. Boston: John Wiley and Sons Inc Alwisol. 2009. Psikologi Kepribadian ( Edisi Revisi ). Malang: UMM Press Arends, R. I. 1998. Learning to teach. Singapore: Mc Graw-Hill book Company. Atkinson, Rita. Richard. Ernest. 1996. Pengantar Psikologi. Jakarta: Erlangga. Bloom, Benjamin S.1982. Human characteristics and school learning. New York : McGraw-Hill BookCompany. Cervone Daniel; Pervin L. 2011. Kepribadian (Teori dan Penelitian). Jakarta : Salemba Humanika. David Smith J. 2009. Inklusi ( Sekolah Ramah Untuk Semua ). Bandung: Nuansa. Dedi Supriawan dan A. Benyamin Surasega, 1990. Strategi Belajar Mengajar (Diktat Kuliah). Bandung: FPTK-IKIP Bandung. Dewantara, Ki Hadjar. 1977. Karya Ki Hadjar Dewantara : Bagian Pertama Pendidikan. Yogyakarta : Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. Erickson Marilyn. 1980. Child Development and Developmental Disabilities. Boston: Little Brown and Company. Ellah Siti Chalidah. 2005. Terapi Permainan Bagi Anak Yang Memerlukan Layanan Pendidikan Khusus. Jakarta: DIKTI Fatchul Mu’in, 2011. Pendidikan Karakter ( Konstruksi Teoritik dan Praktik ). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
14
(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
Griffin, P., & Nix, P. 1991. Educational assessment and reporting: A new approach. Sydney: Harcourt Brace Jovanovich, Publishers. Gulo, W. 2002. Strategi Belajar – Mengajar. Jakara: Grasindo. Gagne, Robert M. dan Driscoll, Marcy P. 1988. Essentials of learning for instruction. Englewood Cliffs, NJ.: Prentice-Hall, Inc. Hellen Keller. 2010. The Story Of My Life. Jakarta Selatan: Genta Pustaka. Hurlock, B. Elisabeth 2000. Perkembangan Anak (jilid 1). Jakarta: Erlangga. Indriani Yessi. 2010. Tutorial Teman Sebaya Untuk Meningkatkan Ketrampilan Sosial Anak Autis. Tesis: Program Studi Magister Profesi Pasca Sarjana UNIKA. Jazuli. M. 2008. Pendidikan Seni Budaya (Suplemen Pembelajaran seni Tari). Semarang: Unnes Press. Jonet Sri Kuncoro. 2009. Karya Tari Sebuah Catatan Harian. Jurnal Greget Surakarta: Vol VIII/ No 1/ 2009. Khan, Yahya. 2010. Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri. Yogyakarta: Pelangi Publishing. Keller, John M. 1987. Development And Use Of ARCS Model Of Instructional Design, Journalof Instructional Development, Vol. 10 (3), 2-9. Koesoema Doni. 2007. Pendidikan Karakter. Jakarta: Kompas Gramedia Kodiran. 2004. Pewarisan Budaya Dan Kepribadian Jurnal Humaniora. Semarang: Vol XVI/ No 1 / 2004. Kuhn, T. S. 2002. The structure of scientific revolution. Diterjemahkan oleh: Tjun Nasution, S. 1989. Kurikulum Dan Pengajaran. Bandung: Bumi Aksara. Northern J. 1974. Hearing In Children. Baltimore: MD Williams and Wilkins Rahma, Y. Kurniati, L. 2010. Strategi Pengembangan Kreativitas Pada Anak. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Simon, H. A. 1996. The science of the artificial. Third edition. London: The MIT Press. Slavin, R. E. 1995. Cooperative learning. Second edition. Boston: Allyn and Bacon. Tim Peningkatan Kualitas Pendidikan Tinggi Seni di Indonesia. 2007. Paradigma Baru Pendidikan Tinggi Seni Indonesia. Jakarta: DIKTI. Tri Elisabeth, A.P.
2010. Efektifitas Terapi Musik untuk meningkatkan kemampuan
Kontak Mata pada Anak autis.Tesis : Program Studi Magister Profesi Pasca Sarjana UNIKA. Totok Sumaryanto. F. 2007. Pendekatan Kuantitatif Dan Kualitatif ( Dalam Penelitian Pendidikan Seni ). Semarang: Unnes Press. Udin S. Winataputra. 2003. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
15