MEMBANGUN RASA PERCAYA DIRI SISWA MELALUI TEHNIK ‘THREE IN ONE (TNO) ‘ (Pengembangan Tehnik ’Integrated Skill’) Oleh : Hasriati (Dosen Prodi Bahasa Inggris FKIP Unigha)
ABSTRACT In globalization era, employee and laborer get more interacting with foreign worker and sophisticated technology means which most of them use English language as instruction usage. Spoken English fluently becomes more important. That’s why development of potential or skill of English speaking fluently should have been emphasized in the institution of education especially at school institution as basic learning process. Beside has own field, graduated of university and senior high school are necessary the skill of this language to cater market demand. The high demand and better quality of employee and laborer have made a strict vocation rivalry. It is supposed weak employee or laborer of English skill will be defeated by foreigner k-worker who are professional in their own field, high English communication potential as well as technology usage. Whatever, spoken English fluently is not as easy as speaking. It needs a long time mastering vocabulary, pronunciation and phrases, and continuously practice. To reach proficiency level, throughout school as education institution, Indonesia government has developed a wide range of strategies to enhance English learning quality especially in English spoken language. Among of the strategies effort are English learning has been started from primary school; regeneration some points of English learning elements, such as learning material; technique and teaching method, which more contextual; facilitating English laboratory, separating English skills mark, like speaking skill mark, writing skill mark, listening skill mark, and reading skill mark. In previous years, they were written in one as English subject mark only. Currently, our government encourages and facilitates teachers to find new approach and techniques out through ‘Action Research’ enforcing better outcome and preparing the student to face information age. Keywords : English speaking, student, teachers Pendahuluan Bahasa Inggris bagi pelajar Indonesia masih merupakan bahasa asing. Lingkungan yang sangat tidak mendukung, media yang tidak lengkap, sumber yang terlalu miskin membuat mata pelajaran bahasa Inggris masih sulit dan momok. Perubahan kemajuan hasil belajar yang masih rendah membutuhkan strategi yang tepat untuk membantu pelajar dalam mata pelajaran bahasa Inggris sehingga penguasaan mata pelajaran ini tidak terlalu sulit dan memakan waktu yang lama, seperti yang dapat dilihat dari durasi proses pembelajaran disekolah yang memakan waktu cukup panjang. Bagi peserta didik yang memulai pembelajaran bahasa Inggris dari SMP sampai ke perguruan tinggi berarti dia menghabiskan waktu enam tahun setengah (6.5). Bagi partisipan yang
Sains Riset Volume 1 - No. 2, 2011
memulai dari SD, ada yang menghabiskan waktu 8 tahun, 9 tahun dan bahkan ada 10 tahun bagi lulusan SMA dan Universitas. Namun tahap berbicara lancar atau ‘fluent speaking’ masih belum maksimum. Pada hal dari segi Ilmu Tata Bahasa; pengucapan, fungsi bahasa, bahasa Inggris sama halnya dengan bahasa lain didunia. Hanya dari segi penggunaan (usage) dan jumlah kosakata bahasa Inggris berada di level tertinggi. Kondisi yang berdampak lambat dalam penguasaan bahasa Inggris pada pelajar didaerah dapat dilihat dari ujian harian disekolah dan hasil ujian nasional EBTANAS, UAN dan UAS. Nilai mata pelajaran bahasa Inggris masih sangat jauh dari target (Murniati, 1999; Priyatno (2000); Darul Aman (2010). Dari laporan Diknas Pendidikan dalam Darul Aman
(2010) menemukan tahun 2008 dan 2009 hasil rerata nilai speaking mata pelajaran bahasa Inggris pelajar SMA Aceh adalah 33 dari nilai standar 50.00. Rendahnya kualitas pembelajaran bahasa Inggris tidak saja terdapat dinegara Indonesia tercinta ini. Dinegara tetangga Malaysia juga menemukan 67% dari siswa sekolah menengah tidak tahu bagaimana cara meningkatkan penguasaan speaking bahasa Inggris. Penguasaan bahasa Inggris yang masih rendah ini telah menghambat peluang para pelajar memperdalam pengetahuan apalagi dalam mencari kerja didalam dan luar negri. Parilah Shah (2000) mengurutkan beberapa faktor yang mempengaruhi pencapain pelajar dalam profisiensi bahasa Inggris. Faktor faktor itu adalah: 1. Sikap/motivasi : (a) sikap yang kurang posistif terhadap bahasa Inggris, (b) usaha sangat minimal, (c) instrument motivasi, 2. Faktor sosial budaya; (a) sikap dan reaksi negative kawan, (b) pelaksanaan pengajaran, (c) pengaruh komunitas. 3. Karakter individu; (a) karakter pribadi (i,e. Mementingkan diri sendiri (introverted); takut dengan resiko (non-ristacker); kurang menghargai (low selfesteem), (b) sikap terhadap bahasa (language attitude), (c) kecemasan yang tinggi, (d) strategi pembelajaran yang tidak tepat dan kurang memuaskan; 4. Pengajaran formal (Instruksi formal); (a) amalan pengajaran yang tidak efektif (b) suasana kelas yang kurang ceria (unfavorable classroom), (c) waktu pembelajaran yang tidak sesuai, (d) kelas yang terlalu besar; 5. Kebijakkan dalam pendidikan berbahasa, (a) kebijakkan yang tidak (b) kebijakkan yang kurang tepat (unjustifiable policy), (c) kebijakkan yang tidak efektif (ineffective policy).
Sains Riset Volume 1 - No. 2, 2011
Faktor-faktor ini mempengaruhi pencapaian pembelajaran bahasa Inggris di sekolah, Faktor-faktor motivasi dan faktor sosial seperti faktor sikap/motivasi, sikap yang kurang posistif terhadap bahasa Inggris, usaha sangat minimal ini ditemukan oleh Murniati (1999) dan Minah and Wong Fook (2000) dalam kajian yang dibuat oleh kedua peneliti ini, mereka menemukan bahwa ’self-esteem’ (rasa menghargai) pelajar terhadap pelajaran bahasa Inggris sangat rendah. Beberapa orang respondent menulis, ”... masalahnya mereka adalah malas’. Dalam pelajaran berbicara dikelas guru-guru mengeluh pelajar tidak memberikan perhatian serius dan tidak mau mempraktekkan bahasa Inggris dalam kelas. Parilah Shah (2000) juga menemukan kebanyakan pelajar tidak suka akan hal-hal yang menantang, berfikir dan bekerja keras. Mereka tidak memainkan peranan aktif dalam proses pembelajaran bahasa Inggris di dalam kelas. Sedangkan faktor kecemasan yang sangat tinggi juga ditemukan dalam Action Research yang dijalankan oleh Gugus MGMP Kab. Kudus, Propinsi Jawa Tengah dan Minah and Wong Fook (2000) mengatakan kosakata bahasa Inggris pelajar sangat rendah. peserta didik tidak PD dan malu berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Dalam pengamatan penulis pelajar sangat sulit mengucapkan bunyi kata-kata bahasa Inggris. Bila guru bahasa Inggris mengajarkan pengucapan (pronounciation) pelajar merasa aneh, sulit dan lucu. Mereka mengatakan ’... tidak terbiasa mengucapkan kosakata bahasa Inggris yang tulisan dan bacaannya berbeda’. Minah and Wong Fook (2000) juga menemukan percampuran siswa laki-laki dan siwa perempuan didalam kelas juga mempengaruhi motivasi pelajar. Kesemua faktor ini kata Minah and Wong Fook (2000) dan Parilah Shah (2000) membuat mereka takut salah dan sangat ‘malu’ berinteraksi dalam pembelajaran bahasa Inggris dengan aktif. Hal-hal ini kata Parilah Shah (2000) yang membuat rasa malu peserta didik cukup tinggi. Namun, dari pengamatan penulis pada kelas yang terdiri dari satu jender yaitu perempuan saja atau lelaki saja, kebanyakan mereka juga masih malu berinteraksi didalam maupun diluar kelas.
Dipihak guru, yaitu dari segi faktor pelaksanaan pembelajaran berbicara disekolah kurang memuaskan dan kurang efektif. Melalui studi kasus Ambari Sutardi (2005) menemukan dari sudut pandangan peserta didik hanya beberapa kali saja latihan berbicara dibuat oleh guru dan kesempatan itu tidak cukup membuat mereka percaya diri (PD) berbicara dalam bahasa Inggris. Ambari menambahkan peserta didik kurang ditugaskan untuk berbicara dan mengucapkan kata-kata dan nama-nama benda yang telah dipelajari. Pada hal kekerapan atau frekwensi yang tinggi mendengar dan berkomunikasi dalam bahasa Inggris dapat memotivasi berbicara bahasa Inggris. Ini dapat dilihat dari proses belajar bahasa Ibu. Seorang anak tidak pernah belajar berbicara bahasa ibunya secara resmi. Kekerapan mendengar dan mengulangi beberapa kali dalam sehariannya membuat anak familiar dengan kata-kata yang dia didengar disekelilingnya. Selain itu dengan program pemerintah terkini yang menggugurkan peringkat sekolah bila hasil ujian WAS dan UAN rendah, telah mendorong fokus pembelajaran kepada menghafal kuncikunci jawaban soal ujian negara (UN). Guru-guru akhirnya mengabaikan tujuan pembelajaran bahasa Inggris yang sesungguhnya. Padahal kata Wina Sanjaya (2007) orientasi pendidikan yang sesungguhnya adalah mengarahkan anak didik dapat mengembang potensi dirinya. Pendidik bertugas mengembangkan potensi yang dimilik oleh anak didik bukan menjejalkan materi pelajaran atau memaksa anak dapat menghafal data dan fakta. Keadaan ini berdampak siswa tidak termotivasi terhadap pelajaran bahasa Inggris yang sesungguhnya apalagi untuk mencapai profienci komunikasi. Akibatnya ketrampilan atau profisiensi berbahasa Inggris tidak menampakkan peningkatan yang signifikan. Nilai-nilai siswa tetap kecil dan tidak memuaskan. Akhir pembelajaran sebuah bahasa tidak menunjukkan kemampuan berbahasa yang komunikatif (Ambari Sutardi, 2005 dan Darul Aman, 2010). Selain itu Ambari Sutardi (2005) dan Darul Aman (2010) juga menemukan bahwa guru-guru tidak mampu mengembangkan atau mempelbagaikan
Sains Riset Volume 1 - No. 2, 2011
tehnik pembelajaran speaking sehingga pembelajaran berbicara atau speaking sangat jarang dilaksanakan. Parilah Shah (2000), dan Minah and Wong Fook (2000) menemukan alasan guru tidak melaksanakan pembelajaran speaking dengan sering karena jumlah pelajar dalam kelas terlalu besar sehingga sulit untuk melaksanakan pembelajaran speaking. Sedangkan faktor sosial budaya, yaitu pengaruh komunitas dan faktor pengajaran formal yaitu pelaksanaan pengajaran serta kebijakan dan amalan pengajaran yang kurang efektif juga berpengaruh besar. Ini ditemukan dalam observasi penulis melalui image bahasa Inggris yang cukup solid dimata masyarakat sekolah termasuk publik bahwa mata pelajaran bahasa Inggris adalah mata pelajaran yang sangat sulit sehingga banyak peserta mundur sebelum belajar tuntas. Jawaban lain mengatakan karena tuntutan berbicara bahasa Inggris tidak terlalu besar dilingkungan mereka membuat mereka bersikap tidak tertarik pada pelajaran bahasa Inggris. Yang lebih dikahwatirkan lagi terlalu loyalnya sekolah dan pemerintah pada target sekolah ’cluster’ yang sedang diprogramkan. Ini telah mendorong karakter low ’self-esteem’ dalam diri peserta didik terhadap kebanyakan mata pelajaran. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa masalah pelajar dalam berbicara bahasa Inggris adalah;
Kosa-kata yang rendah Masalah pengucapan kesulitan menyusun kata-kata untuk menjadi kalimat yang bermakna. Malu berbicara didepan lawan jenis Suasana atau konsisi pembelajaran yang kurang kondusif Tehnik pembelajaran yang semu Penekanan pembelajaran bahasa Inggris yang tidak relevan Sikap kurang menghargai terhadap pembelajaran bahasa Inggris Motivasi yang rendah Peluang yang sangat kecil untuk latihan berbicara dalam bahasa Inggris Apakah sesungguhnya yang Mendorong peserta didik malu dan malas
berbicara? Menurut ahli psychology CP Threshyamma (2003) ada beberapa gangguan yang menghambat seseorang berbicara sbb: 1. Psychological: sulit mendengar atau ber-ekspresi. 2. Psychological: gangguan emosi, cemas (neurosis),netc. 3. Lingkungan: keributan, (Noise), ketidak jelasan (invisibility), hambatan (congestion). 4. Budaya: tingkat knowledge dan pemahaman, customs, kepercayaan (beliefs), agama, dan sikap (attitude) etc. Pendapat CP Threshyamma (2003) sejalan dengan pendapat Parilah Shah (2000). Gangguan tertinggi adalah kelompok 4 yaitu masalah budaya yang meliputi tingkat pengetahuan dan pemahaman, kebiasaan, kepercayaan, agama, sikap dan pandangan terhadap pelajaran bahasa Inggris dsb. Gangguangangguan ini merupakan gangguan emosi yang membuat mereka menjadi malu, tidak PD dan berakhir malas. Bila dianalisa dari fenomena yang dipaparkan diatas dapat disimpulkan bahwa kondisi kedua-dua pihak pendidik dan peserta didik merupakan faktor yang cukup dominan melemahkan prestasi hasil pembelajaran mata pelajaran bahasa Inggris. Namun perlu disadari perbedaan peserta didik sekarang dengan peserta didik beberapa tahun yang lalu sangat jauh berbeda. Fasilitas teknologi yang canggih di era global telah membangun mental yang lebih kuat dan berani, pengetahuan yang lebih banyak, spontanitas yang tajam, bahkan ada yang tidak terarah. Kegiatan siswa dalam memanfaatkan waktunya membuat mereka menjadi pelajar yang super sibuk dan lelah sehingga banyak siswa yang m alas membaca tambahan bahkan malas membuat tugas sekolah. Menghadapi pelajar sekarang perlu strategi yang lebih sesuai, beragam, mapan dan menarik. Memberi kesempatan yang banyak dan membantu namun juga ketegasan jelas. Potensi yang dimiliki siswa tidak cukup dihadapi dengan strategi yang menoton dan selintas. Wina (2007) mengatakan anak didik merupakan organisme yang memiliki
Sains Riset Volume 1 - No. 2, 2011
potensi. Potensi tersebut hanya dapat dikembangan melalui strategi dan tehnik pembelajaran yang bervariasi atau berbagai. Untuk memperoleh mutu hasil pembelajaran yang lebih berkualitas, guru perlu mempelbagaikan tehnik mengajar, merancang pembentukan tingkah laku yang diharapkan. Persiapan rancangan pembelajaran yang lengkap, bahan pembelajaran dan media yang sesuai, latihan, dan sistem pembelajaran yang lebih mudah, yaitu dimulai dari yang sederhana dan dikembangkan ketingkat yang sulit secara menarik, berulang-ulang dan bertubi-tubi dengan tehnik yang menarik, diakhiri dengan kegiatan ’post activity’ yang bisa dijalankan dengan tehnik yang tidak semu. Hal-hal yang boleh membangkitkan motivasi belajar dan menghambat minat belajar peserta didik harus menjadi pertimbangan berat dalam menyusun rancangan pembelajaran. Prayitno (2000) juga menganjurkan guru perlu merancang tehnik atau strategi dan pendekatan yang membebaskan pelajar dari hambatan-hambatan yang membelengu rasa percaya diri pelajar. Tehnik pembelajaran yang membebaskan peserta didik dari hambatan-hambatan tersebut ialah pembelajaran yang menyenangkan, penggunaan kosa kata berulang-ulang, beban materi yang tidak terlalu banyak, mudah, dan memperkecil masalah-masalah pelajar seperti sulit mengucapkan, kesulitan yang terlalu tinggi, malas dan malu. Pembelajaran yang terancang dengan memperkecil hambatan-hambatan ini hendaknya mampu merubah situasi pembelajarn yang disukai, disenangi, digemari, mudah dan dapat dirasakan nikmatnya serta berkelanjutan. Ini sesuai dengan anjuran Prayitno (2000) gerak belajar dinamis tuntas dalam proses pembelajaran diperlukan satu sistem pengelolaan pembelajaran yang sejauh mungkin meniadakan hambatan-hambatan tersebut untuk berlangsungnya gerak maju berkelanjut an itu. Selain itu hal lain yang juga perlu menjadi perhatian guru-guru bahasa Inggris bahwa pengajaran dan pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing di negara kita tidak selalu bisa disamakan dengan pengajaran dan pembelajaran bahasa
Inggris sebagai bahasa kedua dari segi metoda mengajar walaupun ada beberapa strategi pembelajaran yang bisa digunakan dalam proses pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Pengguna bahasa kedua berada dilingkungan yang sangat mendukung. Peserta didik familiar dengan kosa kata dan pengucapan (pronounciation) bahasa Inggris. Oleh karena itu, banyak juga tehnik pembelajaran atau strategi yang mereka guna sering kurang tepat untuk kondisi peserta didik kita. Guru bahasa Inggris perlu mencari dan menciptakan strategi dan tehnik baru yang mempertimbangkan kondisi peserta didik agar pembelajaran tidak menjemukan. Tehnik pembelajaran hendaknya memperbanyak kegiatan komunikasi interaktif untuk mengingat kosakata, latihan mengguna (useful expressing) dan mengucap (pronunciation) secara berulangulang dan bertubi-tubi. Kemampuan berbicara memerlukan praktek atau latihan yang konsisten. Frekwensi latihan berbicara yang komunikatif dan interaktif antara peserta didik dan guru, sesama peserta didik perlu ditingkatkan dengan tehnik dan strategi yang dipelbagaikan dalam proses PBM (Woods, 1995). Masalah peserta didik dalam menyusun kata-kata dalam dan kalimat secara terkontrol membutuhkan bantuan guru, sehingga peserta didik mengetahui cara mengekspresikan ide atau isi pikiran mereka dalam bahasa Inggris dengan susunan kalimat yang komunikatif dan bermakna. Komunikasi dan interaktif ini memberi peluang kepada pelajar untuk menggunakan semua pengetahuan bahasa yang mereka miliki (River. 1987: Gairns, R. & S. Redman 1986). Apa lagi jika pembelajaran latihan berbicara dan mendengar bahasa Inggris telah dimulai sejak dini. Latihan berbicara akan memberi sumbangan ’fluent speaking’ yang cukup tinggi dalam belajar bahasa, terutama dalam hal ucapan (Oyama, 1976 dalam Ellis R, 1985). Latihan-latihan ini akan menambah rasa percaya diri peserta didik mempraktek bahasa Inggris mereka. Kesempatan berbicara dan mendengar yang frekwensinya tinggi dalam situasi pembelajaran bahasa Inggris di sekolah SD, dan SMP mutu lulusan mata pelajaran
Sains Riset Volume 1 - No. 2, 2011
bahasa Inggris lebih berkualitas. Ambari Sutardi (2005, tahun ke11) mengatakan sayangnya situasi ini tidak sering terjadi di sekolah. Guru enggan menerapkan pembelajaran berbicara (speaking). Beberapa penelitian menemukan penyebabnya adalah masih banyak guruguru kemampuan bahasa Inggrisnya lemah dan kurang menguasai tehnik dan strategi mengajar. Ambari Sutardi (2005) mengatakan bila hal ini selalu dihadapi oleh murid dalam kelas maka pembelajaran bahasa Inggris akan kurang bermanfaat bagi mereka. Dalam pengamatan penulis rendahnya penguasaan kosakata (vocabulary) dan pengucapan (pronunciation) yang digunakan dalam bahasa Inggris serta imej bahasa Inggris sebagai mata pelajaran sulit dan momok yang cukup solit dalam diri siswa adalah hambatan yang juga cukup dominan mempengaruhi rendahnya motivasi siswa dan rendahnya sikap mereka untuk menekuni pelajaran ini sehingga tidak aktif berbicara. Jadi, perlu suatu strategi membantu siswa mengingat kosakata dan ucapan dengan mudah serta merobah imej dan sikap mereka terhadap pelajaran bahasa Inggris. Satu strategi yang menunjukkan bahasa Inggris adalah pelajaran sangat mudah seperti halnya dengan bahasa ibu mereka. Bahkan ia bahasa internasional yang menarik dan menyenangkan yang bisa dipelajari oleh semua orang kecuali orang bisu atau tuli. Berikut ini penulis mencoba memaparkan satu tehnik yang membantu peserta didik menguasai kosakata dan pengucapan serta merubah imej mereka yang dapat dirasakan langsung oleh peserta didik. Teori Tehnik Integrated Skill Mengajar merupakan usaha pengembangan seluruh aspek kepribadian siswa, yaitu pengembangan kemampuan aspek kognitif, aspek afektif, aspek psikomotor secara terintegrasi (Wina 2007). Pengajaran dan pembelajaran yang berkesan pada diri peserta didik dapat dicapai dengan menggunakan strategi dan tehnik yang beragam, menarik dan tepat untuk mengembangkan seluruh aspek tersebut. Dengan demikian proses
pembelajaran seharusnya bervariasi dan lebih dinamis. Pengembangan seluruh aspek ini sesuai dengan Bab IV pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 bahwa proses belajar haruslah di selenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberi ruang dan peluang yang cukup bagi prakarsa, kreatifitas dan kemandirian yang sesuai dengan kondisi siswa secara psikologis. Situasi ini cukup penting karena proses belajar merupakan kegiatan melatih kemampuan peserta didik berfikir secara teratur dan terarah. Bukan untuk memaksakan menulis latihan-latihan yang banyak kepada peserta didik. Terutama dalam mata pelajaran bahasa Inggris. Potensi yang diharapkan dari pelajaran bahasa Inggris adalah; siswa terampil berbicara bila diajak berkomunikasi dalam bahasa Inggris, trampil mendengar saat orang lain berbicara bahasa Inggris, trampil mengembangkan satu pikiran atau topik dalam bentuk karia tulis dalam bahasa Inggris dan trampil membaca dan memahami makna yang terkandung dalam teks (rading texts) bahasa Inggris untuk mendapatkan bermacam-macam informasi, Little Wood (1990). Ketrampilan ini diperoleh bila siswa mengalami proses berkomunikasi, proses membaca, proses mendengar dan proses menulis. Materi pelajaran bahasa Inggris digunakan sebagai alat untuk melatih kemampuan berfikir dalam bahasa Inggris, bukan sebagai tujuan. Melalui strategi dan tehnik mengajar yang menarik siswa didorong percaya diri mengeluarkan gagasan atau ide-ide yang orisinil, mendorong siswa bersikap jujur, tenggang rasa, dsb. Menurut Wina (2007) latihan-latihan kemampuan berfikir dapat membuat siswa cerdas dan mampu memecahkan setiap persoalan yang dihadapi. Tehnik integrated skill dipandang sesuai dengan konsep pembelajaran bahasa Inggris, karena tehnik ini merupakan serangkaian kegiatan yang menggunakan keempat ketrampilan bahasa (listening, speaking, reading dan writing) saling terkait dan berkesinambungan. Peserta didik, dalam pembelajaran bahasa Inggris melalui
Sains Riset Volume 1 - No. 2, 2011
tehnik ini, senantiasa terlibat aktif selama tahap latihan-latihan berbicara, latihanlatihan mendengar, latihan membaca dan latihan menulis. Pelaksanaan yang tidak di pisah-pisahkan, tetapi disajikan secara terpadu dan spesifik. Peranan fasilitator dalam kegiatan in adalah mendorong siswa ikut berperan aktif seperti yang diatur dalam Satuan Pembelajaran (SP), (Reads, 1985 didalam Moon dan Kartini, 2007). Tehnik integrated skill dapat dikembangkan atau dipelbagaikan sehingga tidak menoton karena pelajar dilibatkan secara aktif Namun dalam penelitian yang dilaksanakan oleh Asmadi dan Balakrishnan (2000) juga pengawas sekolah kerajaan Malaysia menemukan guru-guru bahasa Inggris jarang mengembangkan strategi pengajaran mereka sehingga pembelajaran tidak maksimum. Pada hal strategi pengajaran merupakan aspek yang diutamakan dalam penyerapan ilmu.Alhasil pelajar masih menjadi individu yang pasif dalam menerima ilmu pengetahuan. Pelajar kurang diberi peluang dalam mencari dan mengokohkan pengetahuan dan mengaplikasikan pengetahuan dan ketrampilan belajar yang sudah diperoleh. Guru jarang sekali melaksanakan kegiatan memproses, mentafsir, merumus, dan penerapan dikalangan pelajar untuk memperkuat penguasaan ilmu pengetahuan. Pada hal menurut Parilah Shah (2000) konsep ini dapat melahirkan pelajar yang menerapkan konsep belajar seumur hidup. Tehnik Three in One (TnO) Pengembangan Teori Integrated Tehnik integrated dapat dikembangkan atau dipelbagaikan sehingga penyajiannya lebih bervariasi dan tidak membosankan peserta didik. Salah satu tehnik integrated yang dipelbagaikan atau dikembangkan adalah tehnik ”Three in One (TnO)”. Tehnik ”Three in One (TnO)” adalah tehnik yang menyepadukan tiga atau empat skill sekaligus secara bertahap atau sistematik dalam 1 x tatap muka selama 90 menit. Diharapkan peserta didik setelah mengikuti tehnik ini memperoleh tiga atau empat skill atau ketrampilan bahasa sekaligus secara spesifik. Tehnik ini sangat cocok untuk beginer atau pemula.
Dalam proses pembelajaran bahasa Inggris melalui tehnik Integrated ‘Three in One (TnO)’ peserta didik secara sadar mengucapkan, mendengar, membaca dan menulis beberapa kosakata berulangberulang, dalam kalimat yang baik dan bermakna. Pembelajaran secara sadar sangat penting untuk pelajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing, karena lingkungan tidak berbahasa Inggris. Kata-kata dan pengucapan yang asing proses pembelajarannya membutuhkan pengamatan untuk kesan yang dalam. Sebaliknya pembelajaran bahasa Inggris secara tidak sadar perlu ditekankan untuk pelajar yang bahasa Inggris sebagai bahasa kedua karena pelajar terbiasa dengan lingkungan berbahasa Inggris dan kosakata serta ucapan sangat familiar bagi mereka. Tehnik ini dapat menjadi sumber dalam memperkaya wawasan, topik pembicaraan, dan ide menulis. Cara ini berkesan bagi peserta didik karena berpeluang aktif mendengar ketika guru membaca teks seperti mendengar berita atau dialog bahasa Inggris di radio atau di TV; bertanya dan menjawab pertanyaan dalam bahasa Inggris secara oral, seperti wawancara dalam bahasa Inggris; bercerita dalam kalimat panjang, yaitu menjelaskan sesuatu benda atau keadaan dan menceritakan kembali (retell). Selain itu tehnik ini dapat mengurangi beberapa hambatan yang sering dihadapi peserta didik dalam komunikasi seperti sering bingung dalam mengembangkan ide atau topik pembicaraan, mudah lupa kosakata; kesulitan dalam menyusun kalimat; dan tidak terbiasa berbicara dalam bahasa Inggris. Dengan demikian tehnik belajar ini dapat membangun rasa percaya diri karena selain terlatih mendengar peserta didik dilatih mengutarakan pendapat dan menggunakan kata-kata baru atau yang sudah dikenal. Peserta didik lebih terarah dalam menerima latihan berbicara berulang-ulang yaitu menyusun kata-kata dan kalimat. Bila tehnik ini dapat dilaksanakan berulang-ulang, akan dapat memperkuat penguasaani kosa-kata atau vocabulary dan akhirnya membangun rasa percaya diri. Kemampuan berbicara bahasa Inggris tumbuh berkembang dengan kuat.
Sains Riset Volume 1 - No. 2, 2011
Logikanya sering mengucap lalu terbiasa, lama-lama menjadi mudah, dan akhirnya timbul percaya diri. Sebagaimana sering dikatakan ’malu karena belum terbiasa’. ’Lupa karena tidak diulang-ulang dan kurang peduli’. ’Malas karena kurang wawasan. ’Kecewa karena kurang dihargai’. ’Putus asa karena terlalu sulit atau berat’. ’Tidak PD karena belum menguasai’. Kondisi ini membuat mereka kehilangan percara diri (PD) dan malas. Tapi sebaliknya siswa akan tampil PD tampa perasaan malu atau takut salah bila mereka telah terbiasa dan menguasai suatu ketrampilan. Sebagaimana halnya seorang pelajar yang pintar bernyanyi dan menguasai lagu tertentu. Diberi kesempatan menari atau bernyanyi didepan khalayak ramai dia akan tampil dengan PD dan cantik. Sebaliknya bila dia sangat lemah dalam bahasa Inggris, dia tidak ada keberanian tampil mengucapkan dua patah kata bahasa Inggris. Peranan guru tidak hanya memotivasi siswa dalam pembelajaran bahasa Inggris, tapi juga mensiasati strategi belajar untuk membantu siswa terbiasa, menguasai, berulang-ulang dan diberi penghargaan. Tehnik ini sesuai dengan kondisi peserta didik yang lingkungan mereka tidak atau kurang menggunakan bahasa Inggris untuk membentuk kebiasaan. Sesuai dengan saran Reads (1985) didalam Moon dan Kartini (2007) yang mengatakan agar keempat kertampilan berbahasa tidak dipisahpisahkan, tetapi disajikan secara terpadu. Tehnik ini juga memenuhi konsep pembelajaran ’student centered’ yang memberi fokus hubungan komunikasi timbal balik antara siswa untuk menciptakan siswa aktif. Tehnik ini juga memenuhi strategi PBAS yang menekankan aktifitas siswa yang optimal. Tehnik ini sesuai dengan kondisi peserta didik yang lingkungannya kurang atau tidak sama sekali menggunakan bahasa Inggris untuk membentuk kebiasaan. Tehnik ini merupakan gabungan unggulan dua teori ’Communicative Approach’ dengan ‘Oral-Aural Approach’. Penggabungan unggulan atau kebaikan (advantages) dari kedua teori tersebut yaitu drill konteks dari oral-aural dan komunikasi sebanyak mungkin dari Communicative
Approach’. Tehnik ini juga mengambil beberapa asumsi teori oral-aural approach bahwa; belajar bahasa merupakan pembentukan kebiasaan, dan ketrampilan berbahasa dapat dipelajari secara lebih efektif jika penyajian dilakukan dalam bentuk lisan. Oleh karena itu, siswa perlu mempraktekkan komunikasi bahasa Inggris sebanyak mungkin dengan menggunakan sumber yang ada. Bahkan fasilitator juga memberikan drill bila perlu. Sedangkan dari model ’Communicative Approach’ yang lebih banyak dipengaruhi oleh Sociolinguistic, psycholiguistics dan psikologi kognitif, tehnik ini memanfaatkan asumsi yang dilihat dari segi psikologi kognitif yaitu ’language acquisition’ tentang bagaimana seseorang sebenarnya belajar bahasa yang terjadi secara ’unconscious’ (Moon dan Kartini, 2007). Prinsip ini juga menjadi prioritas selama proses pembelajaran berlangsung. Maknanya kesalahan yang berlaku selama proses komunikasi ditolerir ringan. Tehnik integrated ”Three in One (TnO)” memberi sumbangan yang cukup signifikan terhadap penguatan kosakata (vocabulary) dan dapat membangun rasa percaya diri pelajar atau peserta didik. Tehnik ini juga mengembangkan
pembelajaran ‘Critical Thinking’. Peserta didik dilatih kritis dalam melihat persoalan, peraturan yang terkandung dalam teks, cerdik dalam memberi jawaban, gagasan pendapat dan ide. Tehnik ini menggunakan satu teks bacaan pendek (short reading text) atau (short conversation text) untuk kelas pemula (elementary). Untuk peserta didik pemula ( English for children atau Elementary) sebaiknya dimulai dengan writing dikte. Sedangkan untuk tingkat Elementary pre-intermediate dan Intermediate dapat diambil dari teks yang lebih panjang. Tehnik ”Three in One (TnO)” untuk pemula dapat didahului dengan menulis dalam bentuk dikte (dictation) dilanjutkan dengan reading dan seterusnya dikembang menjadi topik pembicaraan dalam ketrampilam berbicara. Materi dikte yang diambil adalah teks yang akan dipelajari dalam modul atau buku teks yang digunakan. Cara ini lebih baik karena pada pembelajaran selanjutnya siswa telah mempunyai bahan bacaan dan berpeluang mempelajari reading teks sebelum kesekolah. Sehingga pembelajaran menjadi semakin mudah. Sedangkan untuk kelas ’Intermediate’ latihan dikte mungkin tidak diperlukan lagi.Untuk lebih jelasnya pola tehnik tersebut seperti yang nampak pada gambar 1 (halaman berikut).
Writing
Speaking
Listening Speaking
Reading
Reading
Listening
Gambar 1. Proses dan hasil pembelajaran tehnik Tree in One (TnO)
Sains Riset Volume 1 - No. 2, 2011
Reading Text
Keempat ketrampilan ini diperoleh sekaligus oleh pelajar hanya dengan menggunakan satu teks saja. Teks harus mengandung vocabualry baru yang tidak terlalu banyak. Penerapan Tehnik Tree In One Sesungguhnya tehnik ini dapat dijalankan dalam dua versi dalam proses Kegiatan Belajar dan Mengajar (PBM). Versi pertama terdiri dari sekwen sebagai berikut yaitu sesi dimulai dengan kegiatan menulis dalam bentuk dikte (dictation) sebagai pembelajaran ketrampilan listening yang menekankan spelling. Pada sesi kedua dilanjutkan dengan ketrampilan membaca. Sesi ketiga adalah berbicara dengan menjawab pertanyaan secara oral dan menceritakan kembali secara oral (retell). Bila waktu masih tersedia peserta didik dapat diberi tugas lagi dengan menceritakan kembali (retell) secara tertulis tampa melihat teks. Tugas dirumah adalah menceritakan pengalaman diri sendiri atau orang lain yang mirip dengan topik cerita. Andaikata waktu memang sudah tidak cukup peserta didik dapat diarahkan untuk mengerjakan dirumah (home assingment). Variasi lainnya dapat dimulai dengan mendengar teks pendek yang dibaca oleh guru. Tapi akan lebih bermakna bila guru memberi tahu sebelumnya. Kegiatan Belajar dan Mengajar (KBM) Pada sesi pertama pelajar tidak dibenarkan membuka buku atau melihat teks yang akan diajarkan. Sebelum dikte atau ’dictation’ dimulai pelajar diberi beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan topik yang dipilih sebagai kegiatan apreasiasi atau warming up. Untuk memasuki kegiatan inti sebaiknya guru memberi tahu bahwa mereka akan mendapat pelajaran dikte (dictation) dari sebuah bacaan atau percakapan (converation). Bila ini adalah pengalaman pertama bagi peserta didik, guru perlu memperkenalkan beberapa tanda baca yang akan digunakan selama dikte berlansung, seperti; ’coma’, ’fullstop’, ’new line’ atau ’new paragraph’, ’spelling’, ’question mark’, ’colon’, ’declamation mark’, dan seterusnya. Dengan strategi ini peserta didik memperoleh kesan yang lebih signifikan memperoleh listening, pronunciation, tanda
Sains Riset Volume 1 - No. 2, 2011
baca, dan mengeja (spwlling) pada saat menulis. Setelah dikte selesai peserta didik diarahkan untuk memeriksa kesalahan yang diperoleh kawannya. Untuk menghemat waktu guru dapat mengumpulkan buku latihan mereka menurut kelompok duduk peserta didik dan menukarkannya dengan kelompok lain. Andaikata guru mau lebih sabar dalam mengingatkan pelajar agar berani jujur dalam pemeriksaan tugas, akan lebih baik peserta didik memeriksa sendiri dikte yang mereka buat. Dalam prakteknya tehnik ini dapat diselang selingi. Namun, kebanyakan siswa tidak mau jujur karena berharap nilai yang lebih tinggi. Guru sebaiknya membeberkan sistim penilaian sehingga peserta didik boleh menentukan strategi mereka mengumpulkan nilai sebanyakbanyaknya pada hari-hari berikutnya. Pada tahap awal, teks yang didiktekan hendaknya dalam bentuk kalimat pendek dan berulang ulang sampai tiga kali. Bila siswa bingung mengingat ejaan (spelling) kata-kata yang dibacakan, guru dapat membantu mereka dengan membacakan spellingnya. Kadangkadang peserta didik juga lupa bunyi huruf. Guru dapat membantu dengan membaca abjad dengan keras. Akan lebih menarik lagi kalau guru bisa menyanyikannya dan murid mencoba menghubungkan bunyi dengan abjad yang dibaca guru. Setelah tuntas sebaiknya peserta didik diberi kesempatan mencek kesalahan ejaan (spelling) yang mereka tulis dan mereka diberi kesempatan untuk memperbaiki sehingga kesalahan tidak terlalu banyak dan nilai menjadi tinggi. Biasakanlah murid melaporkan kesalahan spelling dengan menuliskan ’false’ dan ’wrong’ dibawah teks ’dictation’ yang mereka tulis. Ini sangat mengesankan peserta didik untuk mengingat (pronuounciation). Apa lagi dikte dilakukan sampai beberapa kali. Pada tahap ini pelajar memperoleh; pembelajaran spelling, mendengar, dan mengingat kosakata. Sebaiknya guru menggunakan buku yang sama, tidak perlu mencari bahan lain diluar buku teks yang sudah dibagi atau ditentukan. Trik ini boleh memberi sumbangan positif kepada peserta didik. Mereka akan mengingatnya kembali dengan mudah karena konsentrasi pada satu buku. Dengan demikian beban pembelajaran jadi ringan dan menyenangkan. Mereka merasakan bahwa
mereka mampu membuat dikte dalam bahasa Inggris dan ini adalah sebuah kebanggaan. Pada sesi kedua teks tersebut menjadi materi pembelajaran reading. Sebagaimana dikatakan Beatrice and Linda (2003) bahwa pembelajaran membaca disekolah atau dilembaga bahasa berbeda dengan membaca textbooks. Pelajaran membaca menekankan perhatian pelajar kepada proses membaca, sedangkan membaca teksbooks fokus kepada isi bacaan, dan mempunyai tujuan membaca seperti membaca dengan tujuan hobi, untuk besenangsenang, mencari informasi, dsb. Pembelajaran reading terutama pada tingkat awal hanya untuk membantu peserta didik memahami kata-kata, grammar, ucapan, belajar bagaimana menterjemah, dan menjawab pertanyaan. Oleh karena itu, guru dapat memanfaatkan teks yang sama dan menyuruh siswa membaca teks tersebut Akan lebih baik lagi bila guru membaca teks reading kembali sehingga siswa dapat memperkuat pengucapan (pronunciation) dan kata-kata yang sukar bagi mereka. Siswa akan menghubungkan kosakata spelling dan pengucapan yang mereka peroleh pada saat dikte berlansung. Ucapan dengan benar lebih menjadi perhatian. Banyak juga peserta didik kurang memberi perhatian kepada pengucapan bahasa Inggris bahkan juga banyak yang kurang respek ketika guru membacakan reading. Ini sering disebabkan masih menyimpan imej bahasa Inggris adalah bahasa kafir dan respek mereka berkurang. Namun, walaupun akhirnya mereka menyadari bahwa sikap mereka salah. Mereka mulai mempunyai masalah dalam menguasai bahasa Inggris. Kesalahan ini juga perlu ditolerir ringan. Oleh karena itu, sebagai bahasa asing sebaiknya guru memfasilitasi pengucapan (pronunciation) kata-kata baru dalam pembelajaran membaca berikutnya. Ini penting karena tidak banyak peserta didik menangkap ucapan bahasa Inggris dengan mudah. Pengajaran ’pronounciation’ atau ucapan perlu diajarkan secara khusus dalam pembelajaran reading untuk mempercepat penguasaan dan kepintaran peserta didik. Kenapa kita harus membingungkan mereka meraba-raba dulu dan baru kita memberi tahu mereka. Kenapa kita biarkan umpan habis dipancing percuma. Lebih baik ulurkan tangan dan bimbing mereka.
Sains Riset Volume 1 - No. 2, 2011
Dilema yang kita hadapi adalah bahasa Inggris sebagai bahasa asing dinegara ini, tidak banyak orang menggunakan bahasa ini dilingkungan peserta didik kita. Peserta didik kebanyakan terdiri-dari pelajar yang lemah. Guru perlu mengarahkan mereka membaca dengan suara keras agar mereka dapat meniru, mengontrol pengucapannya dan ada waktu untuk bertanya. Memberi kesempatan membaca dengan benar sesungguhnya membesarkan hati pelajar. Apala bila peserta didik diajak menterjemah bersama-sama. Ada beberapa bentuk kalimat, kata-kata dan ,phrase, atau ungkapan dimana pelajar sering merasa sulit untuk memahami maknanya. Strategi ini sangat membantu mereka. Setelah diketahui pasti pelajar sudah memahami isi teks atau percakapan, suruhlah pelajar mengingatnya dan menutup buku. Setelah itu ajukanlah beberapa pertanyaan secara oral dalam bahasa Inggris. Dalam tehnik ini peserta didik harus menjawab secara oral juga. Pelajar yang lemah biasanya agak kalang kabut dan ada rasa takut dan malu bila mendapat giliran menjawab pertanyaan. Mereka kesulitan dalam menyusun kalimat walaupun pertanyaan yang diajukan sangat pendek dan simpel. Berilah mereka kesempatan dengan mengajukan pertanyaan yang paling sederhana, mereka pasti bisa menjawabnya. Yakinkan bahwa mereka adalah orang yang sedang belajar dan tidak perlu malu. Bahasa Inggris adalah bahasa asing yang harus dicobakan terus. Pada saat menjawab pertanyaan yang diajukan, guru dapat membantu mereka melalui bahasa Indonesia yang kemudian mereka susun sendiri dalam bahasa Inggris. Bila dilakukan berulang kali akan menimbulkan keberanian dan rasa percaya diri untuk mencoba menyampaikan pikiran. Persepaduan tehnik ini sesuai dengan pendapat Read (1985) bahwa tehnik yang melibatkan beberapa ketrampilan akan memberi peluang kepada pelajar untuk mengembangkan kemampuan mereka dalam dua ketrampilan atau lebih melalui satu teks bacaan. Oleh karena itu, guru tidak perlu mengutamakan satu ketrampilan saja. Apapun ketrampilan bahasa yang dicoba mengembangkannya tetap semua ketrampilan itu penting dalam penggunaan bahasa. Ada beberapa kiat dalam menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan yaitu
dengan memastikan seluruh peserta didik paham isi teks, dapat mengucapkan dengan benar dan bantu mereka cara menyusun kata-kata menjadi kalimat yang dapat dipahami dengan mudah. Bila pelajar dapat menjawab pertanyaan mereka merasa sangat senang dan gembira mereka merasakan bahwa bahasa Inggris tidak pelajaran sulit. Dengan demikian pembelajaran menjadi pembelajaran yang menyenangkan dan membangkitkan rasa percaya diri karena mereka sudah tau jawaban dan cara mengucapkannya. Setelah beberapa kali kesempatan peserta didik dengan percaya diri akan berebutan mencoba menjawab secara oral dari pertanyaanpertanyaan lisan yang diajukan. Pada sesi ketiga adalah sesi menceritakan kembali. Setelah seluruh pertanyaan dijawab guru dapat menyuruh siswa untuk menyimpulkan atau menceritakan kembali tentang isi teks. Dengan cara ini hampir semua pertanyaan dan semua pelajar dapat menyelesaikan dengan tuntas. Kemampuan mengingat kosakata yang mereka pelajari dari tehnik ini dapat diuji kembali pada pertemuan selanjutnya. Guru dapat mengajukan kembali pertanyaan mengenai teks yang mereka pelajari pada pertemuan sebelumnya. Atau dapat juga dalam bentuk teks yang mirip yang menggunakan kosakata yang diperoleh dari teks tersebut. Ini penting sebagai pembelajaran berulang-ulang dan latihan bertubi-tubi. Untuk menciptakan situasi dimana peserta didik lebih banyak aktif komunikasi dikelas, tehnik ini dapat lagi dimodifikasi dengan memasukkan tehnik role play yaitu bermainan peranan antara dua peserta didik. SS (students) A dan SS (students) B bertanya jawab untuk mendapatkan informasi. SS A berperanan sebagai seorang informan setelah membaca sebuah teks dan ss B berperanan sebagai pencari informasi. Role play berpasangan ini dapat diperankan dengan teman sebangku. Kegiatan role play dengan pola ini merupakan pembelajaran ketrampilan berbicara (speaking). Percakapan bertanya dan menceritakan kembali tentang sebuah informasi atau berita dari sumber bacaan atau melalui media, atau dari orang lain dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari peserta didik, seperti bertanya; Who...?
Sains Riset Volume 1 - No. 2, 2011
Why did they/ he .... Where … happen? What did they do to ………? Dalam kegiatan berkomunikasi guru perlu bertindak sebagai ’advisor’ atau ’cocomunicator’. Hal ini sesuai dengan ciri pendekatan yang dikatakan Freeman (1986) bahwa yang paling menentukan dalam pendekatan komunikatif adalah apapun yang dilakukan dalam belajar bahasa, dilakukan dengan maksud komunikatif. Langkah terakhir adalah kegiatan post test. Guru dapat menggunakan sesi ini untuk ketrampilan writing dengan menyuruh peserta didik menulis kembali kesimpulan atau menceritakan kembali secara tertulis. Menurut Syafri Sjamsu (1996) ketrampilan writing dalam latihan ini dapat mengembangkan kemampuan menulis peserta didik dalam penggunaan tata bahasa, latihan mengingat kembali kosakata dan menggunakannya dalam kalimat komunikasi tulis. Kegiatan yang berulang-ulang seperti ini dapat membantu siswa mengingat kosakata yang telah mereka pelajari dengan mudah pada harihari berikutnya saat mereka berkomunikasi. Namun bila waktu tidak mencukupi guru dapat menjadikan tugas writing ini sebagai tugas rumah atau PR. Cara-cara ini mengandung prinsipprinsip khusus dalam pengelolaan pembelajaran; integrated secara spesifik, yaitu antara peserta didik dan guru, dan antara siswa; inspiratif, siswa memperoleh inspirasi, berfikir, dan mencobakan pelajaran bahasa yang diperoleh melalui informasi dalam teks bacaan; menyenangkan; siswa seperti sedang menguji tahap pemahaman mereka. Dan bila mereka paham atau mengerti pertanyaan yang diajukan mereka merasa tertantang, senang dan bangga dengan kepamampuan yang dicapai. Pembelajaran yang menantang dan mampu menjawab pertanyan secara oral menjadi tujuan akhir dari sebuah pembelajaran bahasa. Ia boleh meransang kerja otak secara maksimal. Pertanyaan dengan cara ini merupakan sebuah strategi mengembangkan rasa ingin tahu, berfikir secara intuitif atau berekplorasi. Peserata didik merasa tertantang. Motivasi pengetahuan (input ) yang telah diketahui, pengalaman berbicara serta tanya jawab dalam bahasa Inggris merupakan pengalaman yang
sangat berharga bagi mereka. Ditambah dengan nilai dan pujian atau pengahargaan yang diberikan dari setiap usaha berbicara yang dibuat membangkitkan motivasi yang cukup kuat. Dengan demikian tehnik ini dapat membuat basic bahasa Inggris peserta didik kuat dalam speaking, reading, listening, dan writing. DAFTAR PUSTAKA Ambari Sutardi (2005) Pengajaran Bahasa Inggris disekolah dasar dan permasalahannya.
Freeman, D.L. 1986. Techniques and Principle in Langguage Teaching, New York: Cambridge: Oxford University. Press: Idriss
HM Noor. Perubahan Kurikulum Pengajaran Bahasa Inggris di SLTP dan SLTA serta dampaknya terhadap pelaksanaannya dikelas. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Tahun ke 5 No 619.
Littlewood, W. 1990. Communicative Language Teaching. Cambridge: University Press.
Media Jarlit Nomor 5 tahun ke IX Maret. Asmadi dan Balakrishnan Pasarasuraman (2000) Peranan seorang tenaga Akademik dan kaedah pengajaran – pembelajaran. Staretgy 21 century 2000. Kuala Lumpur. Malaysia. Brester J.,G.Hellis & D. Girad, (1992) The Primary English Teacher’s Guide. Lonndon,Penguin Books Ltd, 27 Wirght Lane. Brumfit , C. 1994. Communicative Methodology in Laguage Teaching. Cambridge: University Press. CP Threshyamma (2003) Fundamental of Nursing Procedure Manual for General Nursing and Midifery Course). Jaypee. Newdelhi. Clare McBeath dan Graham Dellar,1995:3. Curriculum and Evaluation. Perth, Western Australia, Curtin Univesity of Technology.) Darul Aman (2010) Pengembangan Ketrampilan Berbicara Bahasa Inggris MelaluiGuided Conversation pada Siswa SMA Kelas X di takengon. UNP Padang. Dubin, F.& Olshtain (1986) Course Design. Development programs and materials for Language learning. Cambridge, Cambridge Univercity Press
Sains Riset Volume 1 - No. 2, 2011
Mikulecky, Beatrice S. (2004) More Reading Power. Pearson Education, 10Bank Street, White Palins New York. Moon Hidayati Otuluwa dan Kartin Lihawa (2007) Peningkatan ketrampilan Mahasiswa menulis dalam bahasa Inggris dengan menggunakan pendekatan komunikatif. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan tahun ke 13. no 064 Murniati Kudus, AMD (1999) Pendekatan Komunikatif yang dinamis dalam PBM Bidang Studi Bahasa Inggrisis Tingkat SLTP. Jurnal Pendidikan Pelangi 1999). Noldy Pelenkahu (2007) Pengajaran bahasa Inggris Kontekstual. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan tahun ke 13. no 064 Priyatno (2000) Pembangunan Karakter Serdas. Sumbar Parilah Shah (2000) Underachievement among Malaysian English language learners; Perception of their life experiences. Pathin dan Power, 1990:8. Pathin dan Power, 1990:8.Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 2007. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 2007
Read, C. 1985. Integrating Skills. Dalam Matthews, A. Et al.. 1985. At the chalkface Practical Techniques in
Langguage Teaching. Pp. 72.73. Great Britain: Edward Arnold. Richards J.C, John Platt dan Heidi Platt 1992. Dictionary of Language Teaching Applied Linguistics. Addison Wesley Longman Limited) White R.V (1988) The ELT Curriculum. Design, Innovative and Management. Oxford, Basil Blackwell Ltd.. Willis, J. 1996. Framework for Task-based Learning. Addison: Wesley Longman. Ltd.
Sains Riset Volume 1 - No. 2, 2011