Vol : XXI, No : 1, MARET 2014
Penanaman Wawasan Kebangsaan Di Pondok Pesantren Melalui Pembelajaran Sejarah Nuryanti FPIPS IKIP VETERAN SEMARANG Email :
[email protected] ABSTRAK Pembangunan nasional pada hakekatnya bertujuan mencari nilai tambah agar kehidupan hari esok lebih baik dari pada kehidupan hari ini baik kehidupan jasmani maupun rohani. Dalam melaksanakan pembangunan nasional selalu mengalami tantangan yang semakin besar, kompleks dan mendesak sebagai akibat pertumbuhan penduduk dan kemajuan ilmu teknologi serta interaksi dengan bangsa-bangsa lain dalam konfigurasi kehidupan internasional. Untuk mengatasi tantangan tersebut, maka pendidikan dan pembelajaran agama sangat diperlukan. Keberhasilan pembangunan nasional harus ditunjang dengan pendidikan dan pembelajaran agama. Dengan begitu warga negara akan memperoleh pengetahuan moral dan budi pekerti yang akan membentuk bangsa Indonesia menjadi negara yang bermoral dan bertanggung jawab. Dengan modal jiwa yang bersih beriman kepada Tuhan YME, berbudi pekerti yang luhur pembangunan akan dapat berjalan lancar dan sukses. Di Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam Surakarta tujuan pendidikan Islam pesantren nampaknya belum sepenuhnya dilaksanakan. Hal ini dapat dilihat dari unsur keagamaan yang sangat menonjol. Santri harus mengikuti tata tertib pondok pesantren dengan jadwal kegiatan sehari-hari yang sangat padat dan aturan yang sangat ketat, sehingga boleh juga dikatakan kehidupan akhirat lebih dipentingkan daripada kehidupan dunia. Padahal di dalam ajaran agama Islam kehidupan akhirat dan kehidupan dunia haruslah seimbang. Metode penelitian adalah metode kualitatif diskriptif dalam bentuk studi kasus tunggal terpancang. Pengumpulan data dilaksanakan dengan wawancara mendalam, observasi langsung dan pencatatan dokumen serta arsip. Validitas data dilakukan dengan triangulasi sedangkan analisis yang digunakan model analisis interaktif, yaitu reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pengajaran sejarah pada MA di Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam Surakarta kurang baik, hal ini disebabkan oleh rendahnya kompetensi guru, profesionalisme guru dan media kurang dimanfaatkan secara optimal serta tidak sesuainya sistem evaluasi. Dalam pengajaran sejarah, kebanyakan masih bersifat konvensional, yaitu guru hanya menyampaikan fakta-fakta sejarah dan kurang berupaya menanamkan wawasan kebangsaan pada diri santri, oleh karena adanya beberapa hambatan yang ditemui yaitu terbatasnya waktu dan minat santri. Kata Kunci : wawasan kebangsaan di pondok pesantren, pendidikan sejarah
PENDAHULUAN Pendidikan merupakan salah satu perhatian sentral masyarakat Islam baik dalam negara mayoritas maupun minoritas. Tujuan pendidikan pun jelas, untuk memahami dan menyebarkan Islam, dengan menggunakan berbagai cara mengajarkannya kepada masyarakat (Zamaksyari Dhofier, 1986 : 56). Dalam ajaran agama Islam pendidikan MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
124
Vol : XXI, No : 1, MARET 2014
mendapat posisi yang sangat penting karena umat Islam selalu mempunyai perhatian, misalnya demi kemajuan dunia dan kehidupan akhirat. Oleh karena itu untuk kepentingan masa depan umat Islam, termasuk Indonesia yang mayoritas rakyatnya beragama Islam, pendidikan berkembang begitu pesat. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang sejak abad ke-15. Di tanah Jawa Pondok Pesantren hingga kini tetap eksis tidak hanya sebagai lembaga pendidikan tetapi juga sebagai sarana dakwah Islam dan lembaga pengembangan masyarakat yang mengentaskan para santri untuk dibina atas tanggung jawab menuju kehidupan yang lebih baik. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren terbukti melahirkan kader-kader bangsa, ulama, pemimpin umat yang berkharisma baik pada skala lokal, regional maupun nasional. Pesantren dalam sejarah kebangsaan Indonesia merupakan fenomena yang unik dan khas terutama bila dikaitkan dengan perjuangan demi kelangsungan hidup bangsa. Peranan pesantren dalam menentukan nasib bangsa dapat dilihat dari perjuangan pesantren melawan penjajah pada masa kolonial Belanda. Begitu pula pada zaman pendudukan Jepang, kembali sejarah menjadi saksi atas heroisme kiai dan santri melancarkan pemberontakan untuk mengusir Jepang. Semangat pesantren juga dibutuhkan pada zaman kemerdekaan mengenai hal bela negara. Pada mulanya, pesantren menunjukkan suatu komunikasi yang dinamis dan kosmopolit, karena berkembang di tengah-tengah masyarakat intelek. Kedinamisan pesantren tidak hanya di bidang ekonomi dan dekatnya dengan kekuasaan, tetapi juga maju dalam bidang keilmuan Islam, membuat Taufik Abdullah (1985 : 34) mencatat pesantren sebagai pusat pemikiran keagamaan. Hal ini dapat dilihat pada semakin suburnya pondokpondok pesantren di pusat-pusat kota dan semakin terlihat besarnya keinginan orang tua daerah perkotaan untuk memasukkan anak-anak mereka ke pondok pesantren. Oleh karena itu tidak heran jika dewasa ini masyarakat cenderung menghendaki pembinaan anak didik yang dilaksanakan secara terpadu antara aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Di lingkungan pesantren hal demikian dimaksudkan agar anak didik memiliki kemampuan berkomunikasi dan menyesuaikan diri secara konstruktif terhadap perubahan-perubahan di sekitarnya. Dengan demikian, kehadiran pesantren sebagai salah satu alternatif pendidikan, tidak asing di tengah-tengah masyarakat perlu memperoleh perhatian serius. Pesantren di masa globalisasi dihadapkan pada tantangan yang jauh berbeda dengan masa sebelumnya, lebih bertumpu pada pengorbanan fisik yakni melawan penjajah. Masa globalisasi dihadapkan pada tantangan yang lebih berat, tantangan tersebut disebabkan oleh adanya era industrialisasi dan arus imformasi mengalir dengan cepat. Gejala perubahan yang terjadi pada masa terakhir ini tidak hanya mencakup skala kehidupan masyarakat secara total, global dan struktural, tetapi juga akseleratif dan multidimensional. MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
125
Vol : XXI, No : 1, MARET 2014
Secara fisik-material, globalisasi telah mengubah pengalaman manusia dalam kehidupan di muka bumi secara spektakuler. Perkembangan iptek selama 200 tahun terakhir melebihi perkembangan dan pengalaman sejarah kemanusiaan lebih dari 3000 tahun. Umat manusia tidak dapat mengingkari pengalaman berharga ini. Begitu pula yang terjadi di pondok pesantren. Lembaga yang berfungsi sebagai alat Islamisasi dan sekaligus memadukan tiga unsur pendidikan yakni : ibadah untuk menanamkan iman, tabliq untuk menyebarkan ilmu dan amal untuk mewujudkan kegiatan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Pondok pesantren ini lebih menonjolkan pendidikan agama, sedangkan pendidikan yang berhubungan dengan masalah wawasan kebangsaan kurang mendapat perhatian. Sebagai contoh gambaran menipisnya rasa nasionalisme dan wawasan kebangsaan pada santri, misalnya : (1) Pada saat melaksanakan upacara bendera setiap hari senin dan hari besar nasional hanya sekedar kegiatan rutinitas belaka; (2) Santri ketika belajar yang berhubungan dengan pendidikan wawasan kebangsaan, hanya sekedar membaca dan menghafal, tidak meresapi makna yang terkandung di dalam pelajaran tersebut; (3) Kurangnya rasa persaudaraan di antara sesama teman; (4) Ketika mengunjungi tempat-tempat bersejarah seperti museum dan candi, santri menganggap kunjungan itu hanya sekedar rekreasi untuk menghilangkan kejenuhan dan kepenatan di dalam pondok pesantren. Terkait dengan latar belakang permasalahan di atas, maka pembentukan kepribadian yang mantap dan rasa tanggung jawab sebagai warga negara serta pemahaman terhadap wawasan kebangsaan perlu ditanamkan pada seluruh generasi muda sejak dini. Hal ini dapat diupayakan melalui pembelajaran sejarah, sebab mata pelajaran ini mempunyai fungsi strategis, yaitu dasar bagi terbinanya identitas bangsa yang merupakan salah satu modal utama dalam membangun bangsa masa kini maupun di waktu yang akan datang. Mata pelajaran sejarah secara materi mempunyai potensi dalam menanamkan wawasan kebangsaan seperti cinta tanah air, patriotisme, nasionalisme yang semuanya memberikan kekhasan wawasan dalam hal menghayati nilai-nilai kebangsaan. Penelitian ini dipandang perlu melihat pesantren sebagai sub lembaga di bawah naungan Departemen Agama banyak berperan dan memberi kontribusi yang besar dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia, dengan demikian pesantren merupakan sasaran yang sangat ideal untuk menanamkan dan menumbuhkembangkan wawasan kebangsaan dalam upaya menjaga kelangsungan hidup dan keutuhan bangsa.
PEMBAHASAN A. Sistem pendidikan pondok pesantren Pondok pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh dan diakui oleh masyarakat sekitar. Para santri berada di asrama (kampus) dan MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
126
Vol : XXI, No : 1, MARET 2014
santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pembelajaran atau madrasah, yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari seorang atau beberapa kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik serta independen dalam segala hal (Arifin, 1991 : 239-246). Semula pondok pesantren memiliki sistem pendidikan dan pembelajaran non klasikal yang dikenal dengan nama Sorogan dan wetonan (Abd Rahman Shaleh : 11). Wetonan, istilah weton berasal dari bahasa Jawa yaitu waktu. Disebut demikian karena pengajian model ini dilakukan pada waktu-waktu tertentu biasanya sesudah mengerjakan sholat fardhu. Pelaksanaan sistem pembelajaran ini adalah sebagai berikut: kiai, membaca sesuatu kitab dalam waktu tertentu dan santri membawa kitab yang sama, kemudian mendengarkan dan menyimak. Sistem pembelajaran yang demikian seolaholah sistem bebas, sebab tidak ada presensi untuk santri. Santri boleh datang boleh tidak, tidak ada sistem kenaikan kelas atau tingkat. Santri yang cepat menamatkan kitab boleh menyambung ke kitab lain yang lebih tinggi atau mempelajari kitab-kitab yang lain. Sistem ini mendidik santri supaya kreatif dan dinamis. Jadi keberhasilan atau kelulusan santri tidak ditentukan oleh lamanya waktu belajar, tetapi berpatokan kepada kapan santri menamatkan kitab-kitab yang telah ditetapkan. Sorogan Sistem sorogan adalah sistem belajar seorang santri yang menyorogkan (menyodorkan) kitab yang akan dikajinya kepada kiai untuk dibaca di hadapan kiai dan kalau ada yang salah langsung dibetulkan oleh kiai. Dengan sistem ini, terjadilah proses belajar mengajar yang bersifat ”personal”, karena santri dilayani sebagai pribadi oleh kiai, tidak bersama-sama dengan yang lain. Dalam sistem sorogan, santri bebas menentukan program yang dipilihnya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Santri yang memilih sistem ini mengevaluasi sendiri hasil studinya. Kenaikan tingkat pun ditentukan sendiri oleh yang bersangkutan dengan berpindahnya buku kajian yang dipergunakan. Mereka yang telah tamat mengkaji buku-buku/kitab tertulis, tidak diberikan ijazah oleh pesantren bersangkutan, karena ijazah menurut kalangan pesantren diberikan oleh masyarakat kelak, kalau masyarakat menerima dan mengakui ilmu serta kecakapannya. Sistem sorogan yang memberikan pelayanan ”personal” dan kebebasan kepada santri untuk menentukan program studinya serta keikutsertaannya dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pendidikan dirinya. Sistem sorogan merupakan sistem yang membuka iklim yang baik pada pertumbuhan pribadi santri, kemampuan berinovasi dan bertanggung jawab sendiri mengenai pilihan dan tindakan yang dilakukannya. Selain dua sistem tersebut, pesantren menggunakan model musyawarah. Biasanya materi telah ditentukan lebih dulu dan para santri dituntut menguasai kitab-kitab rujukan, MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
127
Vol : XXI, No : 1, MARET 2014
kiai memimpin kelas musyawarah sebagaimana moderator memandu seminar. Model ini lebih bersifat dialogis, sehingga umumnya hanya diikuti oleh santri senior, tujuannya untuk melatih dan menguji kemampuan dan ketrampilan para santri dalam menangkap dan memahami sumber-sumber argumentasi dari kitab-kitab Islam klasik (Wahjoetomo, 1997 : 84). Akan tetapi dewasa ini kalangan pesantren mulai menerapkan sistem madrasah atau model klasikal. Kelas-kelas dibentuk secara berjenjang dengan tetap memakai kurikulum dan materi pelajaran kitab kuning. Dilihat dari sistem pendidikan dan pembelajaran di pondok pesantren di atas, di dalam kenyataannya sebagian pondok tetap mempertahankan pada bentuk pendidikan semula, sebagian lagi mengalami perubahan. Hal ini disebabkan oleh tuntutan zaman, kebutuhan, masyarakat dan perkembangan pendidikan di tanah air (Ahmad Qodri, 2000 : 108). Model-model Pesantren Pesantren yang mempunyai ciri dan penekanan tersendiri itu tidak berarti bahwa lembaga-lembaga pesantren benar-benar berbeda satu sama lain, sebab antara satu dengan yang lain saling terkait, di antara model-model pesantren antara lain : 1) Pesantren Salaf Menurut Zamaksyari Dhofier (1986 : 92) pesantren salaf adalah lembaga pesantren yang mempertahankan kitab-kitab Islam Klasik (salaf) sebagai inti pendidikan sedangkan sistem madrasah ditetapkan hanya untuk memudahkan sistem Sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pembelajaran pengetahuan umum. Kurikulum sistem madrasah pesantren salaf masih sangat umum, tidak dirumuskan secara jelas dan rinci dengan kata lain pesantren belum dapat mengimplementasikan tujuan pendidikannya ke dalam kerangka operasional. Misalnya tujuan pembelajaran ibadah hanya dipahami sebagai ibadah salat, puasa, zakat dan haji tanpa dikaitkan dengan ajaran ibadah yang lebih luas. Tujuan pembentukan akhlaqul karimah dipahami sebagai sopan santun terhadap orang tua, guru, keluarga tanpa dikaitkan dengan etika ekonomi, sosial, politik dan sebagainya. Tipe pesantren salaf ini cenderung mempertahankan tradisi secara kaku. Lebih memberikan wawasan ritualitas, kurang ada upaya untuk mengimplementasikan aspek-aspek keagamaan ke arah yang lebih kongkrit dan operasional. 2) Pesantren Khalaf Pesantren khalaf adalah lembaga pesantren yang memasukkan pelajaran umum dalam
kurikulum
madrasah
yang
dikembangkan
atau
pesantren
yang
menyelenggarakan tipe-tipe sekolah seperti SLTP/MTs, SLTA/MA dan bahkan perguruan tinggi dalam lingkungannya. MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
128
Vol : XXI, No : 1, MARET 2014
Dibandingkan dengan pesantren salaf, pesantren khalaf mengantongi satu nilai plus karena disamping pendidikan agama juga pendidikan umum. Model pesantren khalaf diakui sebagai yang akomodatif terhadap pembaharuan, karena mulai akrab dengan kurikulum dan metodologi ilmiah modern, semakin berorientasi terhadap pendidikan fungsional, pengaturan program kegiatan, serta mulai berfungi sebagai pusat pengembangan masyarakat (Wahyoetomo, 1997 : 87). Pondok pesantren dengan sistem pendidikan modern mempunyai kriteria pendidikan formal (klasikal), di mana kitab kuning tidak lagi diajarkan dan berbentuk madrasah, bahkan sekolah umum dalam berbagai bentuk, tingkatan dan aneka kejuruan serta beberapa di antaranya mendirikan perguruan tinggi baik agama maupun umum menurut kebutuhan masyarakat masing-masing (Mastuhu, 1994 : 161). Lebih jelas Ari Anshori dkk (1994 : 335) mengatakan bahwa lembaga pendidikan Islam seperti pesantren haruslah : (1) Sesuai dengan konsepsi pendidikan Islam; (2) Relevan dengan kebutuhan masa depan, dan (3) Dapat dilaksanakan karena keterbatasannya sub sistem pendidikan nasional. Dalam pondok pesantren modern, sistem pendidikannya dengan sistem pendidikan klasikal (madrasah) dengan disiplin belajar serta praktek ibadah dan pelajarannya berdasarkan atas kurikulum yang tersusun baik, termasuk pendidikan ketrampilan. B. Wawasan Kebangsaan Wawasan kebangsaan terdiri dari kata wawasan dan kebangsaan. Wawasan berasal dari kata “wawas” yang dalam bahasa mengandung arti pandangan, tinjauan, penglihatan, tanggapan inderawi, dan dalam istilah lain wawasan mengandung arti paham atau keyakinan tentang suatu hal, cara pandang, cara tinjauan dan cara tanggapan inderawi. Kebangsaan berasal dari kata bangsa atau “nation” yang diartikan sebagai kelompok manusia yang berasal dari keturunan nenek moyang yang sama (SA Kodhi, 1988 : 83-84). Secara definitif istilah wawasan menurut Poespowardojo dan Chaplin yang dikutip oleh Bambang Sumardjoko (1995 : 22) diartikan sebagai bentuk pemahaman diri yang mengarah pada proses kesadaran terhadap hubungan kausal yang mendasari timbulnya suatu peristiwa atau masalah. Istilah kebangsaan umumnya dikaitkan dengan ciri-ciri yang menandai golongan bangsa yang mempunyai unsur-unsur berupa persaudaraan, keturunan, adat istiadat, sejarah dan sistem pemerintahan. Dalam kaitan ini wawasan kebangsaan merupakan hasil perkembangan dari dinamisasi rasa kebangsaan dalam mencapai cita-cita bangsa. Wawasan kebangsaan tersebut akhirnya melahirkan suatu paham kebangsaan atau nasionalisme, yaitu pikiran-pikiran yang bersifat nasional, dimana suatu bangsa memiliki cita-cita kehidupan dan tujuan nasional.
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
129
Vol : XXI, No : 1, MARET 2014
Istilah wawasan dapat diartikan juga sebagai suatu pandangan hidup suatu bangsa yang dibentuk oleh kondisi-kondisi lingkungan (Hasnan Habib, 1980 : 99). Kebangsaan berasal dari kata bangsa atau nation. Menurut Benedict Anderson (2002 : 8) nation didefinisikan sebagai sebuah komunitas politik terbayang. Nation pada awalnya lebih dalam bentuk imaginasi pekerjaan belaka, namun kemudian nation terbayangkan sebagai komunitas dan diterima sebagai persahabatan yang kuat dan dalam. Ernest Renan yang dikutip oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X (2004 : 10) mengartikan : nation adalah jiwa dan prinsip spiritual yang menjadi ikatan bersama baik dalam pengorbanan (soerifice) maupun dalam kebersamaan (solidarity). C. Pembelajaran Sejarah Pembelajaran sejarah merupakan dua bentuk kata yaitu pembelajaran dan sejarah, masing-masing kata tersebut secara kebahasaan mempunyai makna sebagai berikut : pembelajaran mengandung makna proses, perbuatan dan cara mengajar. Dengan demikian pembelajaran merupakan proses penyampaian ilmu pengetahun atau ketrampilan kepada orang lain dengan menggunakan cara-cara tertentu, sehingga pengetahuan tersebut dapat menjadi milik orang banyak. Pembelajaran merupakan aktivitas (proses yang sistematis dan sitemik yang terdiri banyak komponen masing-masing komponen tidak bersifat partial (terpisah), tetapi harus berjalan secara teratur, saling bergantung komplementer, bersinambungan (Ahmad Rohani, 2004 : 1). Dalam sistem ini terdapat seperangkat unsur yang tersusun dalam suatu susunan yang saling berhubungan dan bergantung dalam melaksanakan aktivitasnya untuk tercapai tujuan yang telah ditetapkan. Beberapa unsur yang tercakup dalam pembelajaran, meliputi : a. Tujuan Tujuan dalam proses belajar mengajar merupakan komponen pertama yang harus ditetapkan dalam proses pembelajaran, yang fungsinya sebagai indikator keberhasilan pembelajaran. Tujuan ini merupakan rumusan tingkah laku dan kemampuan yang akan dicapai dan dimiliki oleh peserta didik setelah menyelesaikan pengalaman dan kegiatan belajar mengajar. Tujuan pembelajaran merupakan deskripsi tentang penampilan perilaku (performance) peserta didik yang diharapkan setelah mereka mempelajari bahan pelajaran yang diajarkan (Rustiyah, 2001 : 44). b. Siswa (peserta didik) Siswa merupakan faktor yang penting dalam proses pembelajaran, karena merupakan subjek atua pelaku sekaligus objek dalam pembelajaran. Menurut Bloom yang dikutip Dimyati dan Mudjono (2002 : 26) peserta didik yang belajar berarti menggunakan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik secara hirarkis.
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
130
Vol : XXI, No : 1, MARET 2014
c. Guru Guru merupakan penanggung jawab keberhasilan pelaksanaan pembelajaran di sekolah. Dalam pembelajaran guru dituntut memiliki kemampuan yang meliputi penguasaan bahan, mengelola proses belajar mengajar, mengelola kelas, memilih dan menggunakan media serta mengevaluasi hasil pembelajaran. Di samping itu guru juga perlu memiliki kemampuan khusus yang dikenal dengan pemantapan profesi pengajar sejarah yang berupa sosok guru sejarah (I Gde Widya, 2002 : 12). d. Bahan atau materi pelajaran yang termuat dalam kurikulum Kurikulum adalah seperangkat mata pelajaran dan pengalaman belajar yang sengaja dirancang untuk tujuan tertentu dengan mengedepankan : (a) organisasi materi, (b) organisasi pengalaman untuk memudahkan pencapaian materi, (c) tujuan belajar
kriteria
perubahan
perilaku,
(d)
pemanfaatan
berbagai
media
untuk
pembelajaran (Teja Angkasa, 2004 : 11). e. Metode Metode adalah suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam proses pembelajaran guru tidak harus terpaku pada salah satu metode tetapi guru sebaiknya menggunakan metode secara berfariasi sehingga tidak membosankan. Menurut Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain (2002 : 82-84), metode mengajar dapat digunakan dalam beberapa hal, antara lain : a) metode sebagai alat untuk mencapai tujuan; b) metode sebagai alat motivasi ekstrinsik; c) metode sebagai strategi pembelajaran. f. Media Media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai alat bantu dalam rangka mendukung pelaksanaan pembelajaran yang menjurus kepada pencapaian tujuan pembelajaran (I Nyoman Degeng,
2001 : 6).
g. Lingkungan Faktor lingkungan baik lingkungan sosial budaya atau lingkungan alam, lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat sangat berpengaruh terhadap proses pencapaian tujuan pembelajaran. Dalam konteks pembelajaran sejarah, lingkungan dapat dijadikan sumber belajar maupun media pembelajaran, karena memungkinkan siswa untuk mengamati atau observasi secara langsung jejak-jejak peristiwa sejarah, bahkan kalau mungkin mengadakan komunikasi dengan para pelaku sejarah yang masih hidup. D. Penanaman wawasan kebangsaan melalui pembelajaran sejarah Dalam silabus mata pelajaran sejarah terdapat banyak materi yang memuat wawasan kebangsaan. Sesuai dengan fokus penelitian ini beberapa materi yang memuat unsur wawasan kebangsaan antara lain proses kelahiran dan perkembangan MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
131
Vol : XXI, No : 1, MARET 2014
nasionalisme Indonesia, terbentuknya negara kebangsaan Indonesia, perkembangan masyarakat Indonesia sejak proklamasi hingga Demokrasi Terpimpin. Sesuai dengan penelitian ini guru
sejarah dalam
pelaksanaan kegiatan
pembelajaran sejarah menguraikan materi sebagaimana tercantum dalam silabus. Apa yang dilakukan guru sejarah dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang disesuaikan silabus dapat dijelaskan sebagai berikut : Untuk materi proses kelahiran dan perkembangan nasionalisme Indonesia, uraian materi dalam silabus : (1) Ideologiideologi yang berkembang pada masa pergerakan nasional dan pengaruhnya terhadap strategi organisasi pergerkan kebangsaan Indonesia dan pengaruhnya terhadap strategi organisasi pergerakan kebangsaan Indonesia, (2) Peristiwa-peristiwa penting yang mengakibatkan munculnya kebijakan keras pemerintah kolonial terhadap pergerakan kebangsaan Indonesia. Materi proses kelahiran dan perkembangan nasionalisme Indonesia yang terdapat dalam silabus dengan uraian materi ideologi-ideologi yang berkembang pada masa pergerakan nasional dan pengaruhnya terhadap strategi organisasi pergerakan kebangsaan Indonesia, yang dilakukan guru sejarah dari uraian materi tersebut adalah guru menjelaskan ideologi-ideologi yang berkembang pada masa pergerakan nasional dan pengaruhnya terhadap strategi organisasi pergerakan kebangsaan Indonesia. Selanjutnya guru menyuruh siswa menganalisis ideologi-ideologi yang berkembang pada masa pergerakan nasional dan pengaruhnya terhadap strategi organisasi pergerakan kebangsaan Indonesia melalui diskusi kelompok dengan alokasi waktu 1 x 40 menit. Guru menunjuk siswa secara bergantian berdasarkan kelompok untuk mempresentasikan tugas masing-masing. Untuk uraian materi peristiwa-peristiwa penting yang mengakibatkan munculnya kebijakan keras pemerintah kolonial terhadap pergerakan kebangsaan Indonesia, guru menjelaskannya
dengan
menghubungkan
beberapa
peristiwa
penting
yang
mengakibatkan munculnya kebijakan keras kolonial terhadap pergerakan kebangsaan Indonesia dengan alokasi waktu 1 x 40 menit. Untuk
materi
pembelajaran
terbentuknya
negara
kebangsaan
Indonesia
sebagaimana yang tercantum dalam silabus semester I butir 4 terdapat uraian materi yaitu : (1) proses transformasi etnik, terbentuk dan berkembangnya identitas kebangsaan Indonesia diberbagai daerah; (2) Ideologi-ideologi yang berkembang pada masa pergerakan nasional dan pengaruhnya terhadap strategi organisasi pergerakan. Sebelum guru memulai materi tersebut guru sejarah melakukan tanya jawab kepada siswa mengenai materi yang telah dibahas pada pertemuan sebelumnya. Seperti ideologiideologi yang berkembang pada masa pergerakan dan organisasi-organisasi yang berdiri pada masa kolonial. Hal ini dilakukan guru agar siswa mengingat kembali pelajaran yang MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
132
Vol : XXI, No : 1, MARET 2014
telah disampaikan pada pertemuan sebelumnya karena hal ini akan berhubungan dengan materi yang akan disampaikan yakni terbentuknya negara kebangsaan Indonesia. Dalam uraian materi proses transformasi etnik, terbentuk dan berkembangnya identitas
kebangsaan
Indonesia.
Selanjutnya
guru
menugaskan
siswa
untuk
menganalisis proses transformasi etnik, terbentuk dan berkembangnya identitas kebangsaan melalui presentasi yakni menunjuk siswa untuk mempresentasikan hasil analisisnya di depan kelas, dengan alokasi waktu 2 x 40 menit. Sumber : Dokumen silabus semester I tahun 2007. Mengenai materi perkembangan masyarakat Indonesia sejak proklamasi hingga Demokrasi Terpimpin terdapat daam silabus semester II butir 1 dengan uraian materi sebagai berikut : (1) Peristiwa penting sekitar proklamasi; (2) Makna proklamasi bagi bangsa Indonesia; (3) Perkembangan kehidupan politik sejak proklamasi hingga Demokrasi Terpimpin; dan (4) Perkembangan demokrasi Indonesia sejak demokrasi liberal sampai demokrasi terpimpin. Sebelum guru memulai memberikan materi tersebut guru sejarah mengawalinya dengan melakukan tanya jawab kepada siswa seputar masa Demokrasi Terpimpin dan masa Demokrasi Liberal. Pada saat guru memberikan materi perkembangan masyarakat Indonesia, guru sejarah menjelaskan peristiwa Rengasdengklok dalam hubungannya dengan perumusan naskah proklamasi, mendeskripsikan peristiwa-peristiwa sekitar proklamasi serta menjelaskan makna proklamasi bagi bangsa Indonesia, sementara itu untuk uraian perkembangan kehidupan politik sejak proklamasi hingga Demokrasi Terpimpin dan perkembangan Demokrasi Indonesia sejak Demokrasi Liberal sampai Demokrasi Terpimpin, guru dalam memberikan materi dengan menjabarkan materi yakni perkembangan kehidupan sosial dan budaya masyarakat Indonesia pada awal proklamasi dan menjabarkan perkembangan demokrasi Indonesia sejak Demokrasi Liberal. KESIMPULAN Upaya guru sejarah dalam menanamkan wawasan kebangsaan pada diri santri diantaranya, dengan menyisipkan nilai-nilai yang terkandung dalam materi pelajaran sejarah, mengunjungi tempat-tempat bersejarah dan membangkitkan minat santri agar tertarik untuk mempelajari sejarah, akan tetapi cara guru dalam pembelajarannya bersifat konvensional dan hanya menyampaikan fakta-fakta sejarah serta adanya hambatanhambatan lainnya, maka wawasan kebangsaan belum sepenuhnya tertanam dalam diri santri.
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
133
Vol : XXI, No : 1, MARET 2014
DAFTAR PUSTAKA Ahmad Syafi’i Mufid. 2006. Kebangkitan Agama di Jawa. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Ahmad Qodri A. Azizy. 2000. Islam dan Permasalahan Sosial, mencari jalan keluar. Yogyakarta : LKIS. Ari Anshori, dkk. 1994. Lembaga Kependidikan Islam : Mencari Alternatif Pengembangan dalam Studi Islam Asia Tenggara, disunting Zainuddin Panani M. Thoyib Surakarta. Arifin, H.M. 1991. Kapita Selektra Pendidikan (Islam dan Umum). Jakarta : Bumi Aksara. Anderson Benedict. 2002. Imagined Commuties, Komunitas-komunitas Terbayang. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Anthony Smith D. 2003. Nasionalisme Teori Ideologi Sejarah. Jakarta : Erlangga. Bambang Sumarjoko. 1995.
“Wawasan Kebangsaan dan Pembangunan Bangsa”.
Akademika no. 3 tahun XIII. Dimyati, Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta. Zhamaksyari Dhofier. 1986. Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pendangan Hidup Kyai. Jakarta : LP3ES Syaiful Bahri Djamarah, Aswan Zain. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Sudjoko Prasodjo dkk. 1975. Profil Pesantren, Laporan Hasil Penelitian Pesantren Al Falak dan Delapan Pesantren Lain di Bogor Jakarta : LP 3ES
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
134