PENAMBAHAN BIT (BETA VULGARIS L.) SEBAGAI PEWARNA ALAMI TERHADAP DAYA TERIMA DAN KANDUNGAN ZAT GIZI KERUPUK MERAH Siti Hairunnisa Effendi Pohan1, Evawany Y Aritonang2, Etty Sudaryati2 1 Mahasiswi Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM USU 2 Dosen Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM USU Jl. Universitas No. 21 Kampus USU Medan, 20155 ABSTRACT Red crackers is a lots of food consumed by the people of Indonesia as a complement to eat fried rice, fried noodle and others. Substance dye used in the manufacture of red crackers are often using the dye that banned such as rhodamine B. Beetroot Essence can be used as a natural dye on manufacture of the red crackers. This is an experimental research with two treatment, where is the treatment given is : the addition of beetroot essence 25 % (P1) and the addition of beetroot essence 50 % (P2). Data collection method conducted with organoleptic test by 30 not trained panelists, they are students from Faculty of Public Health University of Sumatera Utara. Data analysis of the organoleptic test result it was descriptive qualitative percentage. The result of this experimental showed that acceptability for crackers with the addition of beetroot essence 50 % (P2) more preferred by the panelists in terms of aroma, color, flavor and texture, with a total score of each 90 (74,9 %), 98 (81,6 %), 91 (75,7 %), dan 95 (79,1 %). The laboratory test result showed the addition of beetroot essence 50 % contains of fiber higher 8,5 %, contains of protein higher 0,8750 % and contains of vitamin C higher 3,3 % . The addition of beetroot essence 25 % contains of fat higher 54,1 % and contains of moisture higher 0,24 %. Laboratory test result for ash, the addition of beetroot essence 25 % and 50 % contains the same result is 0,33 %. Efforts should be made to introduce more crackers with addition of beetroot essence as a natural dye that is safe to the public. Keywords : Crackers, Beetroot Essence, Natural Dye PENDAHULUAN Zat pewarna telah lama digunakan pada makanan. Pada awalnya zat warna yang digunakan adalah zat warna alami dari tumbuhan dan hewan. Namun dengan berkembangnya teknologi, kini zat warna sintetik lebih banyak digunakan. Bagi produsen kecil harga
zat pewarna sintetik dianggap cukup mahal, maka mereka beralih ke zat pewarna tekstil karena lebih murah dan cerah warnanya, contohnya : Rhodamin B untuk warna merah dan Metanil Yellow untuk warna kuning. Padahal penggunaan zat pewarna tekstil pada makanan telah dilarang 1
oleh pemerintah karena berdampak buruk terhadap kesehatan apabila dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama. Rhodamin B dan Metanil Yellow sering digunakan untuk mewarnai kerupuk, terasi, permen, sirup, biskuit, sosis, makaroni, cendol dan ikan asap (Hidayat, 2006). Salah satu kerupuk yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia adalah kerupuk merah. Kerupuk merah yang juga dikenal identik dengan makanan khas Padang adalah makanan pelengkap yang sering dijumpai saat menyantap lontong sayur, lontong pecal, nasi goreng, soto, mie goreng, mie rebus dan nasi ampera. Kerupuk merah dibuat dari tepung tapioka dengan sedikit bahan rempah dan diberi pewarna merah (Wahyono, 2000). Zat pewarna yang digunakan pada pembuatan kerupuk seringkali menggunakan zat pewarna yang dilarang. Hasil penelitian Zadiar (2010) pada kerupuk merah yang dijual dibeberapa pasar Kodya Padang menunjukkan bahwa semua (100%) zat warna merah yang digunakan dalam pembuatan kerupuk merah adalah rhodamin B. Hasil penelitian Murtiyanti (2012) mengenai penggunaan zat pewarna pada pembuatan kerupuk menunjukkan dari 16 produsen kerupuk ditemukan 17 sampel kerupuk yang menggunakan pewarna berbahaya yaitu merah 39% (Rhodamin B), kuning 22% (Methanyl Yellow) dan hijau 13% (Malachite Green), sedangkan yang tidak menggunakan pewarna adalah kerupuk putih sebanyak 6 sampel kerupuk (26%). Hasil penelitian Dalimunthe (2010) pada jajanan anak sekolah dasar di Kabupaten Labuhan Batu Selatan menunjukkan dari 28 sampel jajanan, terdapat 3 sampel yang mengandung rhodamin B dengan
kadar di dalam sampel adalah 0,6 ppm pada es doger , 50 ppm pada saus tomat dan 59 ppm pada kerupuk. Bit saat ini juga dimanfaatkan sebagai salah satu sumber zat pewarna alami. Umbi bit memiliki ciri spesifik bewarna merah. Walaupun bewarna merah umbi ini tidak memiliki pigmen merah (antosianin). Rata-rata bit mengandung pigmen betalain sebesar 1.000 mg/100 gr berat kering atau 120 mg/100 gr berat basah (Andarwulan, 2012). Bit merupakan sumber potensial akan serat pangan serta berbagai vitamin dan mineral yang dapat digunakan sebagai sumber antioksidan yang potensial dan membantu mencegah infeksi. Bit juga mengandung karbohidrat, protein dan lemak yang berguna untuk kesehatan tubuh (Wirakusumah, 2007). Pembuatan kerupuk dapat dilakukan dengan penambahan sari bit sebagai zat pewarna alami. Pada pembuatan kerupuk ini akan menggunakan konsentrasi sari bit yang berbeda. Penentuan konsentrasi ini diambil batas bawah dan batas atas adonan, dari hasil percobaan pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti batas bawah ditentukan dengan konsentrasi 25 % hal ini disesuaikan dengan jumlah air yang digunakan yaitu sama dengan jumlah sari bit, sedangkan untuk batas atas ditentukan dengan konsentrasi 50 % yaitu untuk menghasilkan warna yang lebih merah pada kerupuk. Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti mencoba memanfaatkan bit sebagai bahan pewarna alami dalam pembuatan kerupuk. Hal ini menarik untuk diteliti dalam sebuah penelitian yang berjudul “Penambahan Sari Bit (Beta Vulgaris L.) Sebagai Pewarna Alami Terhadap Daya Terima dan
2
Kandungan Merah”.
Zat
Gizi
Kerupuk
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan jenis eksperimen, dimana hanya memilki satu perlakuan yaitu penambahan sari bit pada pembuatan kerupuk, yang berbeda hanya konsentrasi yang digunakan dalam penelitian. Konsentrasi yang dipilih yaitu 25 % dan 50 %. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif persentase yaitu kualitatif yang diperoleh dari panelis harus dianalisis dahulu untuk dijadikan data kuantitatif (Hanafiah, 2014). Adapun bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan kerupuk dalam penelitian ini terdiri dari tepung tapioka, air, garam dan sari bit. Pembuatan Sari Bit Pembuatan sari bit dimulai dengan mengupas bit terlebih dahulu. Kemudian bit di cuci dan dikukus selama 5 menit, setelah itu bit diblender dengan air (jumlah air setengah dari berat bit). Bubur bit yang diperoleh dari pemblenderan disaring sehingga hanya tinggal ampas dan diperoleh sari bit. Panaskan sari bit untuk pasteurisasi dari mikrobia.
ketebalan 1 mm dan dikeringkan dengan menggunakan oven selama 4 jam dengan suhu 70°C. Kerupuk mentah yang dihasilkan kemudian digoreng dan dilakukan uji daya terima pada panelis. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Kerupuk Karakteristik kerupuk dengan penambahan sari bit 25 % (perbandingan antara tepung tapioka 50 % dan sari bit 25 %) bewarna merah muda keputihan, beraroma khas kerupuk, rasanya gurih dan khas kerupuk, dan teksturnya renyah. Sedangkan kerupuk dengan penambahan sari bit 50 % (perbandingan antara tepung tapioka 50 % dan sari bit 50 %) bewarna merah, beraroma khas kerupuk, rasanya gurih dan berasa manis bit, teksturnya renyah. Hasil Uji Organoleptik Persentase Uji Organoleptik Kerupuk P1 (25 %) 74.9 67.5
81.6 62.5
P2 (50 %) 75.7 64.9
79.1 71.6
Rasa
Tekstur
Pembuatan Kerupuk Sari bit yang dihasilkan digunakan sebagai pewarna pada pembuatan kerupuk (dengan konsentrasi 25 % dan 50 %), kemudian dicampur dengan bahanbahan yaitu tepung tapioka dan garam hingga terbentuk adonan yang homogen. Setelah itu adonan dicetak, dikukus selama ± 2 jam, didinginkan selama satu hari, diiris dengan
Aroma
Warna
Gambar 1. Persentase Uji Organoleptik Kerupuk Dari hasil uji organoleptik oleh panelis terhadap aroma, warna, rasa dan tekstur, kerupuk P2 (penambahan sari bit 50 %) memiliki skor persentase
3
lebih tinggi dibandingkan kerupuk P1 (penambahan sari bit 25 %). Kerupuk dengan penambahan sari bit 25 % dan kerupuk dengan penambahan sari bit 50 % menghasilkan aroma seperti aroma kerupuk pada umumnya. Pada dasarnya bit memiliki bau yang langu, namun pada proses pembuatan sari bit, bit dikukus sehingga dapat menghilangkan bau langu. Sesuai dengan Astawan (2009) bahwa bau langu dapat hilang ketika terkena suhu panas atau proses pemasakan dengan suhu tinggi. Warna merah yang dihasilkan pada kerupuk dipengaruhi oleh bahan yang digunakan yaitu bit. Bit mengandung pigmen betalain yang dapat memberikan warna merah alami. Perbedaan warna yang dihasilkan pada kedua perlakuan dikarenakan, kerupuk dengan penambahan sari bit 50 % penggunaan air digantikan seluruhnya oleh sari bit sehingga menghasilkan warna kerupuk yang lebih merah. Sedangkan kerupuk dengan penambahan sari bit 25 % adanya pencampuran sari bit dengan air sehingga pada saat dilakukan pemanasan pada adonan akan menghasilkan warna yang kurang merah. Rasa pada kerupuk dalam penelitian ini dihasilkan dari penggunaan garam dan sari bit. Secara alami bit mengandung sukrosa sehingga memiliki rasa manis. Perbedaan rasa pada kerupuk terjadi karena adanya penambahan sari bit yang berbeda pada setiap perlakuan. Hal tersebut disebabkan, karena semakin tinggi proporsi penambahan sari bit juga akan mempengaruhi rasa dari kerupuk. Menurut Hidayat (2006) rasa suatu bahan makanan dipengaruhi oleh senyawa kimia, suhu, konsentrasi,
dan interaksi dengan komponen rasa lain. Tekstur kerupuk yang renyah dikarenakan penggunaan tepung tapioka. Tepung tapioka mengandung amilopektin yang dapat mempengaruhi daya kembang kerupuk. Kerupuk dengan penambahan sari bit 25 % dan 50 % memiliki kerenyahan yang baik dan hampir sama, dikarenakan penggunaan tepung tapioka dengan konsentrasi yang sama. Namun pada kerupuk dengan penambahan sari bit 50 % memiliki tekstur yang sedikit padat, dikarenakan proporsi penggunaan sari bit yang lebih banyak. Kandungan Zat Gizi Kerupuk dengan Penambahan Sari Bit Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium Biokimia FMIPA USU kandungan zat gizi yang terkandung dalam setiap 100 gram kerupuk dengan penambahan sari bit dapat dilihat pada tabel 1 berikut. Tabel 1. Kandungan Zat Gizi Kerupuk dengan Penambahan Sari Bit per 100 gr Perlakuan Zat Gizi P1 P2 Serat 6,7 % 8,5 % Protein 0,7 % 0,8% Lemak 61,1 % 54,1 % Vitamin C 1,4 % 3,3 % Kadar Air 0,24 % 0,03 % Kadar Abu 0,33 % 0,33 % Berdasarkan hasil analisis laboratorium, dapat dilihat perbedaan kadar serat dalam kerupuk P1 dan P2, dimana kadar serat kerupuk per 100 gram yaitu pada kerupuk P2 lebih tinggi dibandingkan kerupuk P1. Perbedaan kadar serat pada tiap perlakuan kerupuk ini diakibatkan oleh
4
konsentrasi sari bit yang berbeda antara kerupuk P1 dan kerupuk P2. Angka kecukupan serat yang dianjurkan bagi anak-anak sebanyak 26 gram per hari, remaja laki-laki sebanyak 35 gram per hari dan 30 gram per hari untuk remaja perempuan, laki-laki dewasa sebanyak 38 gram per hari dan 30 gram per hari untuk wanita dewasa (PUGS, 2014). Sehingga dengan konsumsi tiap 100 gram kerupuk dengan penambahan sari bit 50 % memberikan kontribusi serat sebesar 8,5 gram. Kadar protein kerupuk per 100 gram pada kerupuk P2 lebih tinggi dibandingkan kerupuk P1. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi kenaikan kadar protein seiring dengan tingginya proporsi penambahan sari bit pada kerupuk. Jumlah asupan protein yang direkomendasikan bagi bagi anak-anak sebanyak 49 gram per hari, remaja laki-laki sebanyak 72 gram per hari dan 69 gram per hari untuk remaja perempuan, laki-laki dewasa adalah 65 gram per hari dan wanita dewasa adalah 57 gram per hari (PUGS, 2014). Dalam hal ini, kerupuk dengan penambahan sari bit 25 % dan 50 % belum dapat memenuhi kebutuhan protein karena kadar protein yang rendah. Akan tetapi, bila diperhatikan bahwa fungsi kerupuk hanya sebagai makanan tambahan lauk pauk atau sebagai makanan kecil, maka jumlah yang dikonsumsinya pun hanya sedikit saja. Sehingga dalam hal ini kerupuk tidak dapat dikategorikan sebagai sumber protein. Artinya walaupun ada, peranannya kecil sekali dalam mensuplai protein (Koswara, 2009). Kadar lemak kerupuk per 100 gram pada kerupuk P1 lebih tinggi dibandingkan kerupuk P2. Kadar lemak pada kerupuk P1 lebih tinggi dikarenakan memiliki daya serap yang
tinggi di dalam menyerap minyak setelah digoreng. Menurut Kusumaningrum (2009) daya serap yang tinggi menunjukkan terjadinya bagian yang matang dari kerupuk secara menyeluruh sehingga bagian tersebut menyerap banyak minyak, berbeda jika kerupuk memiliki daya serap minyak yang kecil, hal ini akan menyebabkan kerupuk berada dalam kondisi yang kurang mengembang. Anjuran konsumsi lemak dan minyak tidak boleh lebih dari 25 % dari kebutuhan energi sehari-hari (PUGS, 2014). Konsumsi tiap 100 gram kerupuk dengan penambahan sari bit 50 % dapat memberikan kontribusi lemak sebesar 54,1 gram. Karena sebagian besar lemak yang terdapat pada kerupuk ini berasal dari minyak goreng, sehingga konsumsinya juga tetap harus dibatasi. Kadar Vitamin C kerupuk per 100 gram pada kerupuk P2 lebih tinggi dibandingkan kerupuk P1. Perbedaan kadar vitamin C pada tiap perlakuan kerupuk ini diakibatkan oleh konsentrasi sari bit yang berbeda antara kerupuk P1 dan kerupuk P2. Semakin tinggi konsentrasi penambahan sari bit pada kerupuk, semakin tinggi pula kadar vitamin C yang terkandung pada kerupuk. Angka kecukupan vitamin C yang dianjurkan bagi anak-anak sebanyak 45 mg per hari, remaja lakilaki sebanyak 75 mg per hari dan 65 mg per hari untuk remaja perempuan, laki-laki dewasa sebanyak 90 mg per hari dan 75 mg per hari untuk wanita dewasa (PUGS, 2014). Sehingga dengan konsumsi tiap 100 gram kerupuk dengan penambahan sari bit 50 % memberikan kontribusi vitamin C sebesar 3,3 mg. Kadar air kerupuk per 100 gram pada kerupuk P1 lebih tinggi dibandingkan kerupuk P2, dikarenakan
5
adanya tambahan air pada adonan kerupuk P1 selain dari sari bit. Sedangkan pada kerupuk P2 tidak ditambahkan air lagi pada adonan kerupuk, sehingga memiliki kadar air yang lebih sedikit. Apabila kerupuk dengan penambahan sari bit dibandingan dengan kerupuk menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), kadar air kerupuk pada kedua perlakuan yaitu P1 sebesar 0,24 % dan P2 sebesar 0,03 % masih dalam standar SNI sebesar maksimal 12 % ketika kerupuk sudah digoreng. Makin rendah kadar airnya maka umur simpan akan semakin lama. Kadar abu pada kerupuk P1 dan P2 memiliki kadar yang sama yaitu 0,33 %. Apabila dibandingkan dengan kerupuk menurut Standar Industri Nasional (SNI), Kadar abu dari kerupuk dengan penambahan sari bit pada kedua perlakuan (25 % dan 50 %) yaitu sebesar 0,33 %, masih dalam ketentuan SNI yaitu sebesar maksimal 2 %. Penentuan kadar abu dilakukan dengan tujuan untuk menentukan baik tidaknya suatu proses pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan, serta dijadikan parameter nilai gizi bahan makanan (Budiyanto, 2002). Menurut Muchtadi (1989) kandungan abu dari suatu bahan menunjukkan kadar mineral dalam bahan tersebut. Kandungan kadar abu yang kecil pada produk kerupuk yang dihasilkan, disebabkan adanya proses pemanasan yang dilakukan dengan pengovenan, sehingga tidak menghasilkan zat anorganik yang merupakan sisa-sisa hasil pembakaran suatu bahan organik (Budiyanto, 2002).
KESIMPULAN 1. Berdasarkan uji daya terima terhadap aroma, warna, rasa dan tekstur kerupuk yang disukai oleh panelis adalah kerupuk P2. 2. Kerupuk dengan penambahan sari bit 50 % memiliki kadar serat, protein, dan vitamin C yang lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan sari bit 25 %. 3. Kerupuk dengan penambahan sari bit 25 % memiliki kadar lemak dan air yang lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan sari bit 50 %. 4. Kerupuk terbaik diperoleh dari kerupuk P2 yaitu kerupuk dengan perbandingan 50 % sari bit dan 50 % tepung tapioka, menghasilkan kerupuk dengan warna merah, beraroma khas kerupuk, berasa gurih dan khas manis bit serta renyah. SARAN 1. Agar masyarakat menjadikan kerupuk dengan penambahan sari bit sebagai alternatif variasi pangan ditingkat rumah tangga ataupun tingkat industri. 2. Perlu dilakukan upaya untuk lebih memperkenalkan kerupuk dengan penambahan sari bit sebagai pewarna yang aman kepada masyarakat seperti bekerjasama dengan produsen kerupuk merah untuk memproduksi kerupuk merah dengan menggunakan pewarna dari bit. 3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan terkait kandungan gizi lain dalam kerupuk dengan penambahan sari bit sebagai pewarna.
6
DAFTAR PUSTAKA Andarwulan, N dan Faradila, RH. F. 2012. Pewarna Alami Untuk Pangan. Bogor : South East Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center, Institut Pertanian Bogor Astawan, M. 2009. Sehat dengan Hidangan Kacang dan BijiBijian. Depok : Penebar Swadaya Budiyanto, M. A. K. 2002. DasarDasar Ilmu Gizi. Malang : UMM Press Dalimunthe, I. 2010. Analisis Rhodamin B Pada Jajanan Anak Sekolah Dasar di Kabupaten Labuhan Batu Selatan, Sumatera Utara. Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan Hanafiah, K.A. 2014. Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi. Cetakan ke-15. Jakarta : Rajawali Pers
Kusumaningrum, I. 2009. Analisa Faktor Daya Kembang Dan Daya Serap Kerupuk Rumput Laut Pada Variasi Proporsi Rumput Laut. Jurnal Teknologi Pertanian Vol. IV No. 2 Murtiyanti, M.F. 2012. Identifikasi Penggunaan Zat Pewarna Pada Pembuatan Kerupuk Dan Faktor Perilaku Produsen. Skripsi Fakultas Keolahragaan Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang, Semarang Wahyono, R., Marzuki. 2000. Pembuatan Aneka Kerupuk. Surabaya : Trubus Agrisarana Wirakusumah, E. 1995. Buah Dan Sayur Untuk Terapi. Jakarta : Penerbit Swadaya Zadiar. 2010. Analisa Zat Warna Pada Kerupuk Merah Yang Dijual Dibeberapa Pasar Kodya Padang. Skripsi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Jurusan Farmasi Universitas Andalas, Padang
Hidayat, N dan Saati, E.A. 2006. Membuat Pewarna Alami. Cetakan Pertama. Surabaya : Trubus Agrisarana Kementrian Kesehatan RI. 2014. Pedoman Gizi Seimbang. Jakarta : Bakti Husada Koswara, S. 2009. Pengolahan Aneka Kerupuk. http://tekpan.unimus.ac.id/wpcontent/uploads/2013/07/Pengo lahan-Aneka-Kerupuk.pdf, diakses pada 7 September 2015
7