1
PENALARAN MORAL REMAJA MANTAN PENGGUNA OBAT DOUBLE L (STUDI KASUS PADA SISWA SMP DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA) Febrin Sarshia Valentine
[email protected] Yunita Kurniawati Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya
ABSTRACT This research intends to know about morality reasoning of adolescence that had used drug abuse which is double L drug. The concept of morality reasoning that is used in this research is Kohlberg’s morality reasoning which use dilemma moral. This reseach use qualitative method with study case model approach.which has two subjects who are study in the school based on religion. The method of data analysis in this research use interactive data analysis by Miles and Huberman. The result of this reseacrh showed that both of subjects get into fifth morality stages of Kohlberg’s morality reasoning (post conventional morality) which are morality contract, individual rights, and rules that democratically be accepted. However, on their own case, the first subject just get into fourth morality stages of Kohlberg’s morality reasoning, whereas the second subject get the third stages. The difference of morality reasoning stages could be reviewed by the several factors that affect morality reasoning subjects, those are religion education in school, the environment in the family and the outside, and also the education principle or motto in school Keyworrds : moral reasoning, adolescence, double L drug ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penalaran moral remaja yang pernah mengalami kasus penyalahgunaan obat, yaitu obat double L. Konsep penalaran moral yang dipakai dalam penelitian ini mengacu pada penalaran moral yang dikembangkan oleh Kohlberg melalui dilema moral dengan model pendekatan studi kasus yang mengambil dua orang subjek yang masih menempuh pendidikan di sekolah berbasis agama. Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis interaktif yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedua subjek telah memasuki masa transisi pada tahap penalaran moral kelima (post conventional morality), yaitu kontrak moralitas, hak-hak individual, dan hukum yang secara demokratis diterima. Akan tetapi, dalam kasus yang dialaminya, subjek 1 hanya memasuki tahap penalaran moral keempat, sedangkan subjek 2 hanya memasuki tahap penalaran moral ketiga. Perbedaan tahap penalaran moral tersebut juga dapat ditinjau melalui beberapa faktor-faktor yang memengaruhi penalaran moral kedua subjek, yaitu pendidikan agama di sekolah, lingkungan di rumah dan di luar rumah, serta prinsip/motto pendidikan di sekolah. Kata kunci : Penalaran moral, remaja, obat double L
2
LATAR BELAKANG Permasalahan yang umum terjadi pada manusia di jaman globalisasi ini adalah tingkat intelektual yang meningkat tetapi tidak diimbangi dengan moral yang baik, melainkan terjadi kemerosotan moral. Hal tersebut menjadi semakin mencemaskan mengingat bahwa kemerosotan tersebut sudah mulai terjadi bahkan pada masa anak-anak khususnya masa remaja. Secara umum, masa remaja memang sebuah masa dimana mereka mulai memperluas interaksi sosial dan pencarian identitas. Akan tetapi tanpa pengawasan dan penanaman nilai moral yang baik, anak dapat saja hanyut ke dalam kehidupan yang menyesatkan. Salah satu kemerosotan moral yang sedang menjamur dalam kehidupan masyarakat di masa kini adalah penyalahgunaan Narkoba (Narkotika dan Obat berbahaya), terutama di kalangan remaja. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Indiyah (2005) mencoba mencari tahu dan menjelaskan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif) pada para narapidana di LP Klas II/A Wirogunan Yogyakarta. Hasilnya menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan penyalahgunaan NAPZA yang bercirikan proses sosial, masalah sosial, faktor individu, faktor keluarga, faktor lingkungan keluarga, faktor lingkungan sekolah atau kuliah, atau pun faktor lingkungan masyarakat. Berdasarkan ketujuh faktor yang memengaruhi penyalahgunaan narkoba, persentase yang paling tinggi adalah dari faktor lingkungan masyarakat yang mencapai 96%, dan peringkat kedua adalah dari faktor lingkungan keluarga yang mencapai 91%. Dewasa ini, ada banyak sekolah alternatif maupun sekolah konvensional yang identik dengan agama tertentu, seperti madrasah, Sekolah Islam Terpadu, Sekolah Mangunan (yang dirintis oleh Alm. Romo Mangun) maupun Yayasan Keagamaan lainnya (Muslimin, 2004). Sekolah-sekolah ini dibentuk dengan tujuan untuk memajukan kondisi pendidikan di Indonesia dan menanamkan kembali nilai-nilai moral yang sudah semakin jauh dari kehidupan bangsa Indonesia. Pengajaran moral yang berbasis pada keagamaan atau nilai spiritual cenderung lebih efektif bagi penalaran moral anak. Meskipun ada beberapa faktor lainnya yang mendukung pemahaman anak mengenai nilai moral. Tidak menutup kemungkinan bahwa di dalam sekolah yang berbasis agama pun ada siswa yang berbuat suatu hal yang buruk, misalnya berbohong, mencuri, berbicara kasar, bahkan menjadi pengguna narkoba. Seorang siswi yang masih menempuh pendidikan di SMPK Pamerdi pernah menjadi pengguna obat jenis double L dan menjadi korban percobaan
3
pemerkosaan beberapa pelajar dari sekolah lain yang termasuk ke dalam pengguna obat double L yang masih aktif (Interview sebelum penelitian). Obat double L adalah salah satu jenis pil koplo yang juga merupakan salah satu jenis psikotropika. Ironisnya, sekolah dimana tempat siswi tersebut menempuh pendidikan adalah sekolah yang berbasis agama. Padahal, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa pendirian sekolah berbasis agama diwujudkan dalam rangka memajukan kondisi pendidikan di Indonesia dan menanamkan kembali nilai-nilai moral yang sudah semakin jauh dari kehidupan bangsa Indonesia. Berdasarkan fenomena tersebut, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana penalaran moral remaja yang pernah mengalami kasus penyalahgunaan obat tersebut. Konsep penalaran moral yang dipakai dalam penelitian ini mengacu pada penalaran moral yang dikembangkan oleh Kohlberg (Papalia, 2009). Tokoh perkembangan moral tersebut membagi penalaran moral (moral reasoning) menjadi tiga tingkatan, yaitu preconventional morality (orang berperilaku di bawah kontrol eksternal), conventional morality (orang telah menginternalisasi standar dari figur otoritas), dan postconventional morality (orang mengenali konflik antara standar moral dan membuat penilaian mereka sendiri berdasarkan prinsip kebenaran, keadilan, dan hukum). Selain itu, peneliti juga ingin mencari tahu faktor apa saja yang memengaruhi penalaran moral remaja yang pernah terlibat dalam penggunaan obat double L.
LANDASAN TEORI Penalaran Moral Kohlberg (Muslimin, 2004) menyatakan bahwa penalaran moral merupakan suatu pemikiran tentang masalah moral. Hal tersebut ditegaskan kembali oleh Setiono (Muslimin, 2004) yang menjelaskan bahwa penalaran moral tidak hanya berkaitan dengan jawaban atas sebuah pertanyaan mengenai “apa yang baik dan buruk” melainkan berkaitan dengan jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana seseorang bisa sampai pada suatu keputusan bahwa sesuatu itu dianggap baik dan buruk. Kohlberg mendasari pemikirannya dalam penekanan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan akan berkembang secara bertahap. Setelah melakukan wawancara terhadap anak-anak mengenai dilema moral yang ada di dalam ceritacerita, Kohlberg mengemukakan pandangannya mengenai tahapan penalaran moral. Terdapat tiga tingkatan dalam penalaran moral yang dinyatakan oleh Kohlberg (Papalia, 2009), yaitu
4
preconventional morality, conventional morality, dan postconventional morality. Masingmasing tingkatan dibagi menjadi dua tahapan. Pada tingkat pertama dalam penalaran moral Kohlberg, orang berperilaku di bawah kontrol eksternal, yang dibagi menjadi dua tahap, tahap pertama yaitu orientasi terhadap hukuman dan tahap kedua adalah instrumental purpose dan exchange (saling tukar). Pada tingkat kedua ini, individu telah menginternalisasi standar figur otoritasnya, yang mana dibagi menjadi dua tahap, tahap ketiga yaitu mempertahankan hubungan timbal balik, memeroleh persetujuan dari orang lain, aturan emas, dan tahap keempat adalah social concern (kepedulian sosial) dan conscience (hati nurani). Tingkat ketiga ini merupakan tingkatan akhir pada teori penalaran moral Kohlberg, karena pada tingkatan ini, individu tidak lagi terfokus pada kontrol eksternal dan memiliki kesadaran akan suatu tindakan moral, yang mana dibagi menjadi dua tahap, tahap kelima adalah kontrak moralitas, hak-hak individual, dan hukum yang secara demokratis diterima dan tahap keenam adalah moralitas dan prinsip-prinsip etik universal. Kohlberg (Papalia, 2009) pun mengatakan bahwa pada usia 10 tahun ke atas, umumnya anak-anak mampu mencapai penalaran moral tingkat conventional morality, yang mana mereka mulai menginternalisasi standar figur otoritas. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa pada masa remaja, tingkat penalaran moral pun dapat semakin meningkat dalam proses mencapai kematangan baik secara fisik, kognitif maupun sosio-emosional. Pada perkembangan moral itu sendiri tidak hanya berkaitan dengan fungsi penalaran moral saja, tetapi juga perilaku dan perasaan moral. Studi tentang perilaku moral telah dipengaruhi oleh belajar sosial. Salah satu hal penting yang perlu diperhatikan mengenai pemikiran belajar sosial tentang perkembangan moral adalah perilaku moral secara ekstensif dipengaruhi oleh situasi (Santrock, 2002). Obat Double L Salah satu kemerosotan moral yang sedang ramai terjadi pada remaja khususnya di kalangan pelajar adalah penyalahgunaan narkotika dan psikotropika. Salah satu jenis obat yang sering dipakai oleh pelajar atau mahasiswa adalah jenis obat double L yang masuk ke dalam kategori psikotropika golongan IV. Obat double L ini sering digunakan oleh pelajar atau mahasiswa, karena dari harga jualnya, obat ini termasuk murah dan terjangkau. Efek dari obat ini dapat menghilangkan ketegangan dan kecemasan, sehingga setiap pemakainya dapat merasa tenang bahkan mengantuk. Oleh sebab itu, obat ini biasa digunakan oleh dokter dalam kaitannya dengan pengobatan.
5
METODE Partisipan dan Desain Penelitian Subjek dalam penelitian ini berjumlah dua orang. Penelitian ini menggunakan teknik purposive sample (sampel bertujuan), yang memfokuskan pada informan-informan terpilih yang sesuai dengan kasus yang diteliti untuk studi yang lebih mendalam (Sukmadinata, 2010). Adapun subjek dari penelitian ini adalah remaja yang berusia 15 tahun, bersekolah di sekolah berbasis agama, pernah menjadi pengguna obat doubel L, dan berdomisili di Kebon Agung Kabupaten Malang. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Adapun definisi dari penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain sebagainya, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2010). Model pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah studi kasus, yaitu memfokuskan pada kasus tertentu. Untuk teknik menganalisis data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik analisis interaktif yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (Herdiansyah, 2010) Teknik Pengumpulan Data dan Prosedur Penelitian Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan sumber data primer dan data sekunder. Perolehan data primer dalam penelitian ini didapatkan melalui subjek penelitian yang merupakan sumber utama, dan sumber data sekunder didapatkan melalui guru sekolah yang mengajar subjek di sekolah, orang tua dan teman subjek. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi dan dokumentasi. Adapun prosedur penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pengumpulan data yang dilakukan melalui wawancara, observasi dan dokumentasi. Kemudian dilakukan reduksi data, display data, dan kesimpulan/verifikasi. Untuk memeriksa keabsahan data, penelitian ini menggunakan teknik triangulasi dengan sumber, artinya dengan membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda (Moleong, 2011).
6
HASIL Hasil Analisa Data Hasil analisa data penalaran moral remaja mantan pengguna obat double L dengan menggunakan analisa data interaktif Miles dan Huberman ditampilkan dalam tabel berikut : Tabel 1. Hasil Analisa Data
Penalaran Moral Tahap Penalaran (Dilema) Tahap Penalaran (Kasus)
Subjek 1
memasuki masa transisi memasuki masa transisi tahap kelima tahap kelima mencapai tahap penalaran mencapai tahap penalaran moral keempat moral ketiga Dampak
Faktor-Faktor mempengaruhi moral
Subjek 2
pemakaian obat : sulit berkonsentrasi, sulit fokus, nilai menurun, perilaku buruk, tidak naik kelas. yang 1. Pendidikan agama 2. Prinsip pendidikan di penalaran sekolah 3. Lingkungan sosial di rumah.
Dampak pemakaian obat : sulit berkonsentrasi, tidak bisa fokus, selalu ingin tertawa, nilai akademik menurun. 1. Pendidikan Agama 2. Lingkungan sosial di rumah maupun di luar rumah.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedua subjek telah memasuki masa transisi pada tahap penalaran moral kelima (post conventional morality), yaitu kontrak moralitas, hak-hak individual, dan hukum yang secara demokratis diterima. Akan tetapi, dalam kasus yang dialaminya, subjek 1 hanya memasuki tahap penalaran moral keempat, sedangkan subjek 2 hanya memasuki tahap penalaran moral ketiga. Perbedaan tahap penalaran moral tersebut juga dapat ditinjau melalui beberapa faktor-faktor yang memengaruhi penalaran moral kedua subjek, yaitu pendidikan agama di sekolah, lingkungan di rumah dan di luar rumah, serta prinsip/motto pendidikan di sekolah. DISKUSI a)
Tahap Pertama : Orientasi Terhadap Hukuman dan Kepatuhan Pada tahap pertama ini, anak-anak mematuhi aturan dari figur otoritas untuk menghindari
hukuman. Belum ada motivasi internal untuk melakukan suatu tindakan, melainkan fokus pada bentuk fisiknya atau konsekuensinya (Papalia, 2009). Pada kedua subjek, tahap ini
7
ditunjukkan pada kepatuhan terhadap firgur otoritas, antara lain, Tuhan, orang tua, guru, dan polisi. Kedua subjek memahami bahwa suatu pelanggaran tetap harus menerima konsekuensi. Akan tetapi, kesamaan dari kedua subjek adalah mereka sama-sama memahami suatu konsekuensi atau hukuman melalui konsep dosa yang diajarkan melalui keyakinan yang dianut mereka. hal tersebut terlihat melalui jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh peneliti dalam wawancara. Melihat bahwa subjek 1 sebelumnya tidak pernah pergi ke gereja, dapat disimpulkan bahwa penalaran moral mengenai hukum dalam konsep agama diajarkan melalui pendidikan agama di sekolahnya. Begitu pula dengan subjek 2 yang mengaku bahwa ia tidak secara rutin ke gereja. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi sekolah yang berbasis agama juga memberikan dampak dalam pembentukan penalaran moral seperti penjelasan mengenai sebab-akibat dari suatu tindakan moral.
b) Tahap Kedua : Instrumental Purpose dan Exchange (saling tukar). Pada tahap kedua ini dikatakan sebagai tahap dimana anak-anak melakukan suatu tindakan dengan tujuan untuk memeroleh kepentingan pribadi dan sesuatu yang dapat dilakukan oleh orang lain untuk dirinya. Mereka melihat suatu tindakan sebagai suatu kebutuhan yang harus dipenuh dan membedakan nilai tersebut dari bentuk serta konsekuensi fisiknya. Subjek 1 memikirkan suatu tindakan moral sebagai upaya untuk membalas apa yang sudah orang lain lakukan untuknya. Seperti pada pernyataan yang muncul dalam tahap kedua, yaitu “kamu menggaruk punggungku, aku menggaruk punggungmu” (Papalia, 2009). Subjek 2 lebih memahami suatu tindakan moral sebagai upaya untuk memenuhi keinginannya. Berfokus pada apa yang bisa ia dapatkan dan memuaskannnya. Terkhusus pada kasus yang mereka lakukan yaitu pemakaian obat double L. Kedua subjek mengatakan bahwa mereka memakai obat double L sebagai keinginannya sendiri. Subjek 1 dengan lebih detail mengatakan bahwa ia ingin tidak berpikir, artinya subjek ingin terbebas dari beban pikirannya dengan cara meminum obat double L. Sedikit berbeda dengan subjek 2 yang memakai obat double L sebagai wujud keinginan dan rasa penasarannya. Akan tetapi kedua subjek sama-sama berfokus pada kepuasan dan keinginan diri mereka masingmasing.
8
c)
Tahap Ketiga : Hubungan Timbal Balik, Persetujuan Orang Lain dan Aturan Emas. Pada tahap ketiga ini, anak-anak mulai mempertahankan hubungan timbal balik (antar
pribadi), memeroleh persetujuan dari orang lain, aturan emas. Anak-anak mampu melihat suatu tindakan yang dilakukan oleh orang lain, apakah itu sesuatu yang baik atau tidak. Mereka juga mampu mengembangkan ide tentang seperti apa orang yang baik. Pada tahap ini, mereka juga ingin membantu orang lain. Seperti yang dikatakan oleh kedua subjek mengenai konsep apa yang baik dan buruk, misalnya kenapa dan bagaimana kita harus membantu orang lain, dan seperti apa seharusya hubungan antar-saudara. Pada
tahap
ini
pun,
anak-anak
mengevaluasi
tindakan
dari
motif
yang
melatarbelakanginya atau orang yang melakukannya, serta mempertimbangkan situasi. Adanya pertimbangan dari sisi baik dan buruknya suatu tindakan moral. Persetujuan dari orang lain pun menjadi salah satu pertimbangan. Kedua subjek menyadari bahwa menjaga hubungan dengan orang lain merupakan hal yang penting. Mereka juga mempertimbangkan perasaan orang lain saat mereka melakukan suatu tindakan moral, seperti yang terlihat dalam dilema moral yang ditanyakan oleh peneliti. Seperti halnya kasus yang mereka lakukan, yang mana subjek 1 sudah memikirkan apa yang baik dan akibat dari tindakannya, sedangkan subjek 2 berfokus pada orang-orang di lingkungan sekitarnya.
d) Tahap Keempat : Social concern (kepedulian sosial) dan conscience. Tahap ini menggambarkan bahwa individu mulai menjaga keteraturan sosial dan menyadari bahwa suatu tindakan tersebut salah, bagaimanapun situasi dan motifnya, apabila merugikan orang lain dan melanggar peraturan yang ada. Kedua subjek melihat bahwa suatu tindakan dikatakan tidak benar apabila dilakukan dengan cara yang tidak tepat. Meskipun tujuannya baik, akan tetapi apabila tidak dengan cara yang baik, maka orang tersebut dikatakan salah. Kedua subjek juga memahami nilai-nilai lainnya seperti tanggung jawab, tingkah laku yang baik, dan kejujuran. Kedua subjek juga melihat suatu tindakan moral yang baik dapat berdampak baik bagi orang lain, seperti contohnya pada jawaban mereka atas dilema moral II, yang mana mereka mempertimbangkan untuk jujur demi kebaikan serta mendidik adiknya untuk tidak berbohong lagi. Sayangnya subjek 2 belum mencapai tahap penalaran keempat ini dalam kasusnya, sedangkan subjek 1 sudah dapat memahami bahwa tindakannya yang memakai obat double L
9
adalah sesuatu yang salah karena berdampak buruk terhadap tingkah lakunya dan akademiknya yang menyebabkan ia tidak naik kelas.
e)
Tahap Kelima : Kontrak moralitas, Hak-hak individual, dan Hukum yang secara demokratis diterima. Pada tahap ini Individu menalar bahwa ada hal-hal yang lebih luas daripada hukum, yaitu
nilai, hak, dan prinsip. Walaupun ada saat-saat dimana kebutuhan manusia dan hukum berkonflik, mereka percaya bahwa akan lebih baik secara jangka panjang bila mereka menaati hukum. Seperti halnya pernyataan dari kedua subjek mengenai hak-hak individu dari dilema moral yang diberikan pada saat wawancara. Kedua subjek meyakini bahwa bagaimana pun setiap individu tidak boleh mengambil hak milik orang lain tanpa ijin karena hal tersebut melanggar hukum. Baik subjek 1 ataupun subjek 2 memahami kebutuhan utama dari seorang anak, yaitu hak untuk bertahan hidup. Subjek 2 menyatakan bahwa setiap individu harus mengerti dan memilih apa yang paling dibutuhkannya bukan lagi melihat apa yang diinginkannya. Akan tetapi, kedua subjek belum menunjukkan penalaran moralnya pada tahap yang kelima ini pada kasus yang mereka lakukan, yaitu pemakaian obat double L.
f)
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penalaran Moral Remaja Mantan Pengguna Obat Double L Berdasarkan data-data yang telah diperoleh, ada beberapa faktor yang mempengaruhi
penalaran moral kedua subjek yang merupakan mantan pengguna obat double L, yaitu sebagai berikut : 1) Pendidikan Agama Pendidikan merupakan salah satu faktof penting dalam perkembangan pengetahuan anak. Hal ini juga terlihat dalam penalaran moral remaja yang pernah terlibat dalam penggunaan obat double L. Sekolah yang berbasis agama tentunya memiliki lebih banyak kesempatan dalam penanaman nilai-nilai rohani. Dengan menciptakan lingkungan sekolah yang sesuai dengan agamanya, maka para siswa akan mempersepsi lingkungan sekolah dengan penilaian yang lebih tinggi daripada tahap penalaran moralnya sendiri. Hal ini juga yang menjadi salah satu faktor peningkatan penalaran moral anak.
10
2) Lingkungan sosial di rumah dan di luar rumah Lingkungan sosial juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan kognitif anak. Tempat dimana anak pertama kali belajar adalah di dalam keluarga, sehingga anak mengerti nilai-nilai apa saja yang diajari oleh keluarga mereka sebelum mereka masuk ke dalam lingkungan masyarakat. Begitu pula dengan kedua subjek dalam penelitian ini. Mereka mempelajari nilai-nilai dalam keluarga mereka dan mencontoh apa yang diajarkan oleh orang tua mereka. Akan tetapi, dalam masa remaja, pengaruh teman sebaya pun mengambil porsi yang cukup besar, sehingga remaja juga menyerap nilai-nilai moral yang berlaku dalam lingkungan sosialnya di luar rumah. 3) Prinsip/motto pendidikan di sekolah Salah satu faktor lain yang memengaruhi penalaran moral subjek adalah prinsip/motto pendidikan yang diajarkan di sekolah mereka. Walaupun tindakan moral mereka tidak selalu mencerminkan apa yang diajarkan melalui prinsip sekolah, namun mereka memahami dan telah menginternalisasikannya dalam pikiran maupun tindakan mereka saat ini. Nilai-nilai yang diajarkan di sekolah mereka antara lain jujur, hormat, dan disiplin.
DAFTAR PUSTAKA
Indiyah. (2005). Faktor-Faktor Penyebab Penyalahgunaan NAPZA : Studi Kasus Pada Narapidana di LP Klas II/A Wirogunan Yogyakarta. Jurnal Kriminologi Indonesia. Vol. 4 No. 1. 87-104. Moleong, L. (2011). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Muslimin. (2004). Penalaran Moral Pada Siswa SLTP Umum dan Madrasah Tsanawiyah. Humanitas : Indonesian Psychologycal Journal. Vol. 1 No. 2 Agustus 2004. 25-32. Muslimin, Zidni I. (2004). Penalaran Moral Pada Siswa SLTP Islam Terpadu dan Madrasah Tsanawiyah. Humanitas : Indonesian Psychologycal Journal. Vol. 1 No. 2 Agustus 2004. Oladipo, S. E. (2009). Moral Education of The Child : Whose Responsibility?. Journal Social Science. 149-156. Papalia, Olds, & Feldman. (2009). Human Development. Jakarta: Salemba Humanika. Santrock, J. W. (2003). Adolescencce Perkembangan Remaja. Jakarta : Erlangga. Santrock, J. W. (2002). Life-Span Development edisi kelima. Jakarta : Erlangga.
11
Santrock, J. W. (2007). Perkembangan Anak Edisi Kesebelas Jilid Dua. Jakarta : Erlangga. Sukmadinata, N. (2010). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.