PEMISAHAN DAN PEMURNIAN KOMPONEN Δ –GUAIEN DARI MINYAK NILAM DENGAN METODE DESTILASI FRAKSINASI VAKUM SEPARATION AND PURIFICATION Δ –GUAIEN COMPONENT OF PATCHOULI OIL USE VACUM FRACTIONATION DISTILATION Pratiwi Kusumaning Ayu1), Nur Hidayat2), Edi Priyo Utomo3), Egi Agustian4) 1
Alumni Jurusan Teknologi Industri Pertanian ,Universitas Brawijaya Staff Pengajar Jurusan Teknologi Industri Pertanian,Universitas Brawijaya 3 Staff Pengajar Jurusan Kimia, Universitas Brawijaya 4 Staff Peneliti Pusat Penelitian Kimia,Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
[email protected] 2
Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memisahkan dan memurnikan komponen δ–guaien pada minyak nilam yang diketahui memiliki sifat antiinflamasi. Metode yang dilakukan adalah destilasi fraksinasi vakumminyak nilam dengan tekanan 0-1 mbar pada refluk rasio 10/1 dan 10/10. Variasi penampungan destilat dilakukan berdasarkan jumlah minyak yang dihasilkan pada persentase komposisi δ–guaien pada data GCMS. Hasil pemisahan dan pemurnian dengan kadar δ–guaien tertinggi pada refluk rasio 10/1 sebesar 99,61% sedangkan pada refluk rasio 10/10 sebesar 96,68%. Kata Kunci : Minyak Nilam, Destilasi Fraksinasi, δ –guaien,Refluk rasio
Abstract The aim of this research is separation and purificationδ-guaien componentsfrom patchouli oil thatare known to haveanti-inflammatoryactivity. Method that use is Vacuum fractionation distillation patchoulioilat0-1mbarpressurewitha refluxratioat10/1and10/10. Variation ofthe shelteris based onthe amount of oildistillateproducedin thepercentagecomposition ofδ-guaien on the dataGCMS. Resultsseparationandpurificationwiththe highestlevels ofδ-guaien therefluxratio10/1at99.61% while therefluxratio of10/10was96.68%. Keyword: Patchouli oil, Fractional Distillation, δ –guaien, Reflux Ratio
PENDAHULUAN Nilam adalah salah satu tanaman yang dapat menghasilkan minyak atsiri yang bersifat fiksatif bagi bahan atsiri yang lain. Dewan Atsiri Indonesia (DAI) menyebutkan bahwa kebutuhan minyak nilam dunia sebagian besar disuplai oleh Indonesia yakni sebanyak 90%, sisanya disuplai oleh Cina, Malaysia dan Brazil. Aceh merupakan sentra produksi minyak nilam terbesar di Indonesia disamping Sumatra Utara dan beberapa daerah lain. Harga minyak nilam dunia saat ini mencapai Rp. 500.000/ liternya.
Minyak hasil destilasi tanaman nilam memiliki potensi strategis di pasar dunia sebagai bahan pengikat aroma wangi pada parfum dan kosmetika. Komponen tersebut diantaranya adalah Patchouli alcohol, αguaeine, δ-guaeine, β-patcholene, βcaryophilene, δ-cadinane, pogostol, seycellen dan germacrene(Sundaresanet al., 2009). Pemanfaatan beberapa komponen pun beragam, sebagai contoh komponen mayor Patchouli Alcohol sebagai zat fiksatif pada parfum (Ramya dkk., 2013). Salah satu komponen yang ada pada minyak nilam adalah δ-guaien.Senyawa δguaien memiliki titik didih274oC dengan
indeks bias 1.492. Senyawa δ-guaien diketahui mempunyai aktivitas anti inflamasi terhadap PAF (Platelet Activiting Factor) sebuah phospolipid mediator yang dihasilkan berbagai sel pada saat terkena penyakit alergi, radang, asma, dan lain-lain (Hsu et al., 2006). Menurut Abimayu dkk (2003), destilasi fraksinasi vakum merupakan metode pemisahan secara fisika dengan menggunakan tekanan yang sesuai. Distilasi terfraksi digunakan untuk menghasilkan destilat yang lebih murni, sedangkan vakum dalam proses ini digunakan agar suhu yang digunakan tidak terlalu tinggi, sehingga menjaga kerusakan komponen dari suhu terlalu tinggi. Prinsip kerja destilasi ini adalah pemisahan campuran yang berbentuk cair berdasarkan perbedaan tekanan uap senyawa-senyawa yang ada dalam campuran tersebut. Saat destilasi fraksinasi vakum berlangsung, peralatan destilasi harus benar-benar tidak mengalami kebocoran agar kondisi vakum dapat diraih. Nantinya, output dari destilasi fraksinasi vakum yang dilakukan adalah tiga destilat yang berwarna dan memiliki titik didih yang berbeda. Sehingga menurut Agustian dkk (2005), hal yang diperlukan dalam destilasi tipe ini adalah titik didih dan tekanan uap beberapa komponen yang ada pada minyak atsiri. Beberapa kondisi tersebut yang nantinya akan dipertimbangkan dalam pemisahan dan pemurnian komponen δguaien dengan destilasi fraksinasi vakum. Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis bagaimana kualitas dan kuantitas fraksi yang didominasi δ-guaien pada minyak nilam dengan metode destilasi frasinasi vakum.
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah minyak nilam hasil penyulingan PT. PHKI UB di Blitar, Periode penyulingan April 2013 Sebanyak 2000ml seiap batchnya. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah serangkaian alat destilasi fraksinasi vakum PiloDist 104. Alat analisa berupa Piknometer , Refraktometer dan timbangan digital. Pelaksanaan Penelitian Penelitian dilakukan di Pusat Penelitian Kimia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Serpong Tangerang. Analisa GCMS dilakukan di Laboratorium Kimia Organik, Universitas Brawijaya. Minyak nilam dianalisis komposisi GCMS dengan menggunakan GCMS Shimadzu 2100 kolom RTX 5MS dengan suhu kolom terprogram 50-250oC. Pengolahan dan analisa data dilakukan di Laboratorium Komputasi dan Analisis Sistem, Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang.Waktu pelaksanaan penelitian 16 Mei sampai 12 September 2013. Penelitian dimulai dengan mengukur minyak nilam sebanyak 2000 ml dan dimasukkan pada labu leher tiga. Labu leher tiga kemudian dirangkai pada alat PiloDist 104 dan dimulai melakukan destilasi fraksinasi vakum pada tekanan 01 mbar dengan refluk rasio 10/1 dan10/10. Beberapa destilat yang merupakan fraksi minyak nilam yang telah keluar ditampung pada botol dan dianalisis warna, berat jenis dan indeks bias sebagai pendukung analisis GCMS. Rancangan percobaan dilakukan dengan beberapa langkah yakni sebagai berikut: 1. Penentuan GCMS bahan baku minyak nilam. Kromatogram bahan baku dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kromatogram GCMS Bahan Baku Minyak Nilam 2. Perhitungan volume penampungan hasil dari GCMS dapat dilihat pada Tabel 1. Volume Penampungan pada setiap peak dihitung dengan rumus: V(ml) = Area (%) x Bahan baku Untuk peak 1 memiliki volume penampungan: V1(ml) = 0,57 x 2000 ml = 11,4 ml Tabel 1. Perhitungan Volume Penampungan berdasarkan GCMS Peak
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
3.
Nama Komponen
Area (%)
b-pinene d-elemene b-elemene C16H24O3 Trans b-caryophilene a-guaien b-guaien Seychellene a-patchoulen b-seychellene a-guaien δ –guaien δ –guaien a-panasinsen Cycloexanone Caryophilene C14H22O Pogostol Patchouli Alcohol Patchouli Alcohol C8H8O4
0.57 0.33 6.55 1.73
Volume Tampung (ml) 11.4 6.6 131 34.6
6.87 11.63 1.63 11.45 12.38 1.26 4.2 10.83 4.08 0.63 1.96 1.45 1.06 3.74 11.08 4.4 2.15
137.4 232.6 32.6 229 247.6 25.2 84 216.6 81.6 12.6 39.2 29 21.2 74.8 221.6 88 43
Penggunaan nomogramuntuk menentukkan titik didih masing-masing komponen sehingga didapatkan komponen akan mendidih pada tekanan
1mmHg sesuai dengan kinerja nomogram yang menghubungkan suhu atmosfer, tekanan dan suhu pada tekanan yang ditentukan (Doerfler,2009).Komponen δ–guaien memiliki titik didih atmosfer sebesar 274oC jika menggunakan nomogram maka titik didih δ –guaien pada 1mmHg adalah 96oC. HASIL DAN PEMBAHASAN Beberapa parameter fisika pada bahan baku minyak nilam yang digunakan dengan perbandingan Standar Nasional Indonesia (SNI) minyak nilam dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Karakteristik Minyak Nilam Karakteristik Warna
Berat Jenis Indeks Bias Kadar Patchouli Alcohol
Minyak Nilam Bahan Baku SNI* Kuning gelap Kuning mudacoklat kemerahan 0.953 0.950-0.975 1.497 1.507-1.515 15.48% Minimal 30%
Sumber: SNI 2006 Proses destilasi fraksinasi vakum dilakukan pada tekanan 0-1 mbar pada masing- masing batch. Penentuan tekanan ini didasarkan pada kemampuan alat pilodist 104 dan juga karakteristik minyak nilam yang memiliki titik didih tinggi. Proses dilakukan dengan bahan baku yang sama pada setiap batchnya yakni 2000 ml.
Refluk rasio yang digunakan adalah 10/10 dan 10/1. Pada refluk rasio 10/10 10 detik uap akan tertahan dan 10 detik uap akan menuju destilat. Pada refluk rasio 10/1 yakni 10 detik uap akan tertahan dan 1 detik uap akan menuju destilat. Proses destilasi fraksinasi vakum minyak nilam ini menggabungkan kedua refluk rasio tersebut. Variasi volume penampungan dilakukan pada setiap batch, sehingga didapatkan 16 fraksi dari batch pertama, 16 fraksi dari batch kedua, 28 fraksi dari batch ketiga dan 38 fraksi dari batch keempat. Dari keempat batch didapatkan fraksi yang didominasi δ –guaien yang akan dianalisis kadar δ –guaien, rendemen, berat jenis dan indeks bias fraksi dominasi δ –guaien. Kadar δ –guaien dalam fraksi Setelah dilakukan proses pemisahan dan pemurnian minyak nilam, didapatkan beberapa fraksi yang didominasi δ–guaien. Pada Gambar 2 tampak bahwa Pada refluk rasio 10/1 memiliki tingkat kemurnian rata-rata δ– guaien paling tinggi yakni 99,97% dengan standar deviasi 6.27, dari kedua nilai tersebut didapatkan nilai persentasenya adalah 6.82%. Sedangkan pada refluk rasio 10/10 didapatkan rata-rata kadar δ–guaien dalam fraksi sebesar 89.29% dengan standar deviasi 9.16, dengan data diatas persentasenya adalah 10.26%. Perbedaan prosentse sebesar 3.44% menjdikan fraksi yang bekerja pada refluk 10/10 memiliki tingkat kemurnian lebih rendah dikarenakan prinsip refluk rasio sendiri adalah jika pada refluk rasio 10/1 maka hanya 1 detik uap yang akan menuju destilat dan 10 detik akan kembali ke kolom vegrux. Sedangkan pada refluk rasio 10/10 terdapat 10 detik uap yang lolos ke dalam destilat dengan pengembalian yang sama ke kolom vegrux.
Peristiwa tersebut jelas mengungkapakan jika refluk rasio 10/1 lebih selektif dalam memilih komponen untuk dikeluarkan pada destilat, sehingga menghasilkan ratarata kadar tertinggi dengan standar deviasi yang lebih kecil dari refluk rasio 10/10. Sedangkan pada refluk rasio 10/10 yang mengeluarkan selama 10 detik komponen kemungkinan akan membawa campuran komponen yang ada pada plate di kolom vegrux sehingga hasil yang didapat memiliki kemurnian rendah. Terlepas dari itu, terbukti semakin tinggi refluk rasio, semakin tinggi pula kadar dari komponen δ–guaien. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Adeleke et all (2013) yang melakukan penelitian tentang pengaruh refluk rasio dalam pemurnian etanol mengungkapkan bahwa semakin tinggi refluks rasio tingkat kemurnian akan semakin tinggi.Kemurnian yang tinggi juga dipengaruhi oleh volume penampungan yang menyebabkan rendemen yang rendah atau tinggi pada masing- masing fraksi. Grafik yang menjelaskan tentang rendemen dapat dilihat pada Gambar 3. Rendemen δ–guaien Pada Gambar 3 tampakbahwa rendemen komponen δ–guaien memiliki perbedaan yang signifikan pada refluk rasio 10/1 dan 10/10. Jumlah rendemen selain dipengaruhi oleh volume penampungan juga dipengaruhi oleh refluk rasio yang digunakan. Pada δ–guaien dengan refluk rasio 10/1 membutuhkan waktu lebih lama dalam pengumpulan destilat dibandingkan δ–guaien dengan refluk rasio 10/10. Lama penampungan ini berpengaruh juga terhadap volume penampungan komponen δ–guaien yang diperoleh, pada refluk rasio 10/10 jelas memiliki volume penampungan yang lebih besar dibanding 10/1.
120 91.97
Kadar (%)
100
89.29
80 Rata-rata 60 40 20 0
Gambar 2 Hubungan antara Kadar Terhadap Refluk Rasio dan Standar Deviasinya
Rendemen (%)
14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 -2.00
11.44
Rata-Rata 0.80 δ-Guaien Reflux Ratio 10/1
δ-Guaien Reflux Ratio 10/10
Gambar 3. Hubungan antara Rendemen Terhadap Refluk Rasio dan Standar Deviasinya Rerata rendemen δ–guaien pada refluk rasio 10/1 adalah 0,8% dengan standar deviasi 0,07 dan didapatkan persentase sebesar 8.75%. Pada refluk rasio 10/10 memiliki rerata rendemen 11,43% dengan standar deviasi 5.24. dan didapatkan persentase 45.84%. perbedaan persentase standar deviasi sebesar 40% tersebut menunjukkan terdapat beda nyata antara rendemen pada kedua refluk rasio dan terbukti refluk rasio mempengaruhi rendemen yang dihasilkan. Jika dikaji lebih lanjut, rerata diatas jelas menunjukkan bahwa rata-rata volume penampungan pada refluk 10/10 jauh lebih tinggi dibanding 10/1. Efek dari perlakuan ini mejadikan fraksi yang didapat pada refluk rasio10/1 memiliki kuantitas yang jauh lebih rendah dibanding 10/10 karena pada refluk rasio 10/1 tujuan enrichment lebih diutamakan agar komponen yang
dihasilkan benar- benar murni dengan hanya membuka plunger keluar pada destilat selama 1 detik sedangkan 10 detik kembali pada kolom sehingga waktu yang dibutuhkan pun akan lebih lama dalam penampungan destilat. Hal ini sejalan dengan penelitian penelitian Adeleke et all (2013) tentang pengaruh refluk rasio dalam pemurnian etanol mengungkapkan bahwa semakin tinggi refluks rasio tingkat kemurnian akan semakin tinggi. Namun semakin tinggi refluk rasio akan menurunkan kuantitas komponen yang dihasilkan jika waktu yang digunakan adalah sama pada setiap refluk rasio. Perbedaan volume penampungan dilakukan pada setiap batchnya. Perbedaan ini dilakukan didasarkan pada minyak nilam memiliki titik didih yang sangat tinggi dibanding minyak yang pernah didestilasi sebelumnya, dengan titik didih
ini jika digunakan refluk rasio 10/1 seluruhnya selain energi yang akan digunakan akan membengkak juga kapabilitas mesin untuk running lebih dari tiga hari non stop akan mengakibatkan kondisi pompa vakum terganggu. Solusi dari keadaan penelitian menjadikan refluk
10/10 dan 10/1 dalam satu proses. Selain parameter kadar komponenδ–guaien dan rendemen, parameter fisik juga diperhitungkan. Parameter fisik yang diukur adalah berat jenis dan indeks bias. Hubungan antara fraksi dan berat jenis dapat dilihat pada Gambar 4.
Berat Jenis (g/ml)
0.93 0.92 0.91 0.90
0.89
0.89
0.89
rata-rata
0.88 0.87 0.86 δ-Guaien Reflux Ratio 10/1
δ-Guaien Reflux Ratio 10/10
Gambar 4. Hubungan antara Berat Jenis Terhadap Refluk Rasio dan Standar Deviasinya Karakteristik Fisik fraksi dominasi δ– guaien Pada Gambar 4 diatas menunjukkan bahwa berat jenis dari δ– guaien termasuk dalam kategori sedang dan lebih rendah dibanding berat jenis minyak nilam. Rata-rata berat jenis pada refluk rasio 10/1 adalah 0.89 dengan standar deviasi 0.03 denganpersentase 3.37%. Pada refluk rasio 10/10 memiliki rata-rata berat jenis 0.89 dengan standar deviasi 0.01 dan didapatkan persentase 1.11%. Kedua refluk rasio tidak memiliki perbedaan yang nyata jika refluk rasio mempengaruhi berat jenis, namun demikian dapat dilihat bahwa persentase kesalahan berat jenis dari refluk rasio 10/10 lebih besar dibandingkan 10/1 hal ini disebabkan karena berat jenis merupakan salah satu indikator kemurnian, sehingga dapat dilihat kembali pada Gambar 2bahwa kadar kedua refluk rasio memiliki perbedaan yang tidak sigifikan, sehingga rata- rata berat jenis kedua refluk pun tidak signifikan. Belum adanya standar berat jenis d-guaien menyebabkan satu-satunya parameter paling disarankan adalah GCMS. Namun jika dibandingkan dengan
berat jenis minyak nilam sesuai dengan SNI tahun 2006 adalah sekitar 0,9500.975. Dengan lebih rendahnya berat jenis pada komponen δ–guaien dikarenakan adanya komponen berat yakni patchouli alcohol yang memiliki berat jenis sekitar 1,131 yang mendominasi PA sebanyak 30%. Sehingga jika hanya komponen δ– guaien saja yang terambil maka berat jenis pun akan mengalami penurunan. Penurunan berat jenis ini menandakan bahawa fraksi yang didominasi oleh δ –guaien telah terpisah dari patchouli alcohol. Harimurti (2012) bahwa semakin besar konsentrasi fraksi berat dalam minyak, akan semakin besar pula nilai berat jenisnya. Makin tingginya nilai berat jenis dipengaruhi oleh berat minyak dengan piknometer. Berat minyak dipengaruhi oleh viskositas dan kadar minyak yang dikandungnya. Suatu fraksi yang memiliki viskositas dan kadar minyak tinggi, maka berat jenis yang dihasilkan akan semakin tinggi. Selain berat jenis, jugaterdapat faktor fisik lain yakni indeks bias. Hubungan antara fraksi dan indeks bias terhadap refluk rasio dapat dilihat pada Gambar 5.
1.60
1.50
1.50
1.40 Indeks Bias
1.20 1.00
Rata-Rata
0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 δ-Guaien Reflux Ratio 10/1δ-Guaien Reflux Ratio 10/10
Gambar 5. Hubungan antara Indeks Bias Terhadap Refluk Rasiodan Standar Deviasinya Pada Gambar 5 tampak bahwafraksi yang didominasi oleh δguaien memiliki rerata indeks bias δ– guaien pada refluk rasio 10/1 dan 10/10 sebesar 1.50 dengan standar deviasi pada refluk rasio 10/1 adalah 0.01 dan persentase 0.66% sedankan pada refluk rasio 10/10 standar deviasinya adalah 0.00 dan persentasenya 0% dikarenakan standar deviasinya 0. Persentase diatas menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antara indeks bias refluk rasio 10/1 dan 10/10. Belum adanya standar indeks bias d-guaien saat ini sehingga indeks bias fraksi diatas belum dapat dibandingkan, namun jika dibandingkan dengan minyak nilam yang pada SNI yang menunjukkan angka 1.507-1.515 d-guaien telah memenuhi syarat karena memiliki indeks bias lebih rendah dibanding minyak nilam yang memiiki komponen berat didalamnya. Pada dasarnya selain komponen yang ada, sebab terjadinya nilai indeks bias yang bervariatif menurut Espino et al.,(2013) yakni besarnya indeks bias minyak nilam sangat ditentukan oleh metode pemrosesan, umur minyak nilam dan rasio komponen dalam minyak nilam.
KESIMPULAN 1. Metode destilasi fraksinasi vakum pada fraksi yang didominasiδ-guaiendengan tekanan 0-1 mbar refluks rasio 10/1 diperoleh kadar δ-guaien 99.69% dan pada refluks rasio 10/10 kadar δguaien96,68%. 2. Rendemen tertinggi dengan refluks rasio 10/1 0.9%, sedangkan pada refluk rasio 10/10 diperoleh rendemen fraksi dominasi δ-guaientertinggi 17% UCAPAN TERIMA KASIH Grup Riset dan Entrepreneurial Agroindustri Atsiri (GUREAA) yang mendanai penelitian ini . DAFTAR PUSTAKA Abimanyu.H.,Sulaswatty,A., Wuryaningsih dan Agustian,E. 2003. Teknologi Distilasi Terfraksi Dalam Pemurnian Komponen Minyak Atsiri. Prosiding Pemaparan Hasil Litbang Ilmu Pengetahuan Teknik 2003, Bandung.
Adeleke,A.E,P.,Aiyedun,O.,Waheed.M.A., L.O.Sanni,Obawe S.O.A and DairoO.U. 2013. A New Simulation Model For Design Distillation Coloumn in a Bioethanol/Water System: Effect of Reflux Ratio. British Journal of Applied Science and Thecnology 3(3):508-517 Agustian,E.,Sulaswatty,A.,Tasrif, Laksmono,J.A.dan Adrina,I.B. 2005. Pemisahan Sitronelal dari Minyak Sereh Wangi Menggunakan Unit Fraksionasi Skala Bench. J.Tek.Ind.Pertanian Vol 17(2):49–53. Dewan Atsiri Indonesia (DAI). 2013. Atsiri Indonesia.www.atsiriindonesia.com. Diakses tanggal 18 April 2013 Doerfler,R. 2009. The Lost Art of Nomography. The UMA Journal 30(4):1-4. Espino T.M, Arevalo RE, Sapin A.B and Tambalo F.Z. 2002. Enzymatic extraction of essential oil from the leaves of patchouli (Pogostemon cablin Benth). Philippine Agricultural Sciences.85(3):286-294.
Harimurti.N,Tatang.,Djajeng danRisfaheri. 2012. Ekstraksi Minyak Nilam (Pogestemon Cablin Benth) dengan Teknik Hidrogenasi Pada Tekanan 13 Bar. J. Pasca Panen 9(1)1-10 Hsu,C.H.,Yang,W.C.,Tsai,W.J., Chen,C.C.,Huang,H.Y. and Tsai,Y.C. 2006. Α-Bulnesene,A Novel PAF Receptor Antagonist Isolated From pogostemon cablin. Biochemical And Biophysical Research Communications 345(3):1033-1038. Ramya H, Palanimuthu V, and Dayanandakumar R. 2013.Patchouli In Fragrances-Incense Stick Production From Patchouli Spent Charge Powder.Agric Eng Int: CIGR Journal 15(1):187-193. SNI. 2006. SNI Minyak Nilam No. 062385-2006.BSN.Jakarta Sundaresan.V,Singh, MishraA.N., Ajit K. Shasany, Mahendra P. Darokar, Kalra,A. and Naqvi,A.A. 2009. Composition and Comparison of Essential Oils of Pogostemon cablin (Blanco) Benth. (Patchouli) and Pogostemon travancoricus Bedd. var. travancoricus.Journal of Essential Oil Research Vol 21(3):220-222.