1
Pemisahan Campuran Etanol – Amil Alkohol – Air dengan Proses Distilasi dalam Structured Packing dan Dehidrasi Menggunakan Adsorbent Garry Sinawang, Lutfia, Tri Widjaja Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak—Salah satu potensi yang relatif besar untuk mengatasi krisis energi adalah pengembangan bioetanol menggunakan metode fermentasi ekstraktif. Hasil bioetanol dari metode fermentasi ekstraktif masih rendah yaitu hanya sekitar 15%, sehingga diperlukan penelitian untuk pemurniannya. Penelitian untuk pemurnian dibagi menjadi dua bagian yaitu distilasi dengan structured packing steel wool dan dilanjutkan adsorpsi (dehidrasi). Pada bagian distilasi dilakukan evaluasi parameter Height of Packing Equivalent to a Theoretical Plate (HETP) dan pressure drop dari kolom distilasi yang digunakan untuk mendapatkan kadar etanol yang lebih tinggi. Pada bagian adsorpsi dilakukan pencarian jenis adsorbent terbaik untuk proses adsorpsi. Penelitian dilakukan pada tekanan 1 atm. Distilasi dilakukan pada suhu operasi 124°C, 145°C dan 160°C serta dua macam reflux ratio yaitu 0,26 dan 0,92 untuk setiap suhu operasi. Adsorpsi adalah dilakukan pada suhu operasi 120°C dan 140°C serta tiga macam adsorbent yaitu silica gel, calcium chloride (CaCl2), dan molecular sieve 3A. Kadar etanol pada penelitian ini dianalisa dengan metode analisa gas chromatography. Hasil dari penelitian pada bagian distilasi didapatkan etanol dengan kadar tertinggi pada suhu 145°C dan reflux ratio 0,92 yaitu sebesar 69,4336% v/v. Pada evaluasi hasil HETP didapatkan HETP kolom untuk tiap rate uap dan reflux ratio sekitar 0,0875 – 0,1 m yang berarti sudah mendekati HETP secara teoritis yaitu 0,13 m. Pada evaluasi pressure drop tiap rate uap dan reflux ratio masih memenuhi ketentuan secara teoritis. Sedangkan pada bagian adsorpsi yang paling baik menggunakan molecular sieve 3A dengan menghasilkan kadar etanol sebesar 81,2306% v/v. Kata Kunci—distilasi, etanol, steel wool, structured packing, reflux ratio, adsorpsi.
I. PENDAHULUAN
K
RISIS energi yang berasal dari bahan bakar fosil pada akhir-akhir ini membuat keresahan di dunia karena menipisnya cadangan bahan bakar fosil yang tidak terbarukan. Sehingga diperlukan pengembangan bahan bakar dari sumber daya alam yang dapat terbarukan. Etanol merupakan salah satu sumber energi alternatif yang mempunyai beberapa kelebihan, di antaranya sifat etanol yang dapat diperbarui dan ramah lingkungan karena emisi CO2 nya rendah. Fermentasi etanol adalah salah satu aplikasi tertua dari bioteknologi. Fermentatif-ekstraktif adalah teknik alternatif yang digunakan untuk mengurangi hambatan pada produk akhir dengan menghilangkan produk fermentasi in situ. Hal ini
menurut Cheng, dkk [1] sangat sederhana dan bisa dengan mudah diterapkan pada skala fermentasi yang besar. Produksi dengan cara fermentatif-ekstraktif digunakan karena diharapkan dapat dihasilkan etanol dengan kadar 99%. Fermentatif-ekstraktif berarti etanol diproduksi dengan cara fermentasi suatu bahan sehingga didapatkan etanol yang kemudian dilakukan proses ekstraktif. Proses awal adalah melakukan fermentasi pada bahan yang mengandung glukosa sehingga didapatkan hasil berupa etanol. Etanol hasil fermentasi tersebut masih berupa broth yang dapat dikatakan masih banyak bahan pengotornya. Pada broth ini kemudian dilakukan proses ekstraksi dengan solvent berbasis alkohol sehingga didapatkan etanol. Hasil ekstraksi ini pun belum didapatkan kadar etanol yang tinggi sehingga diperlukan proses distilasi. Proses distilasi menghasilkan etanol yang telah terpisah dengan solvent dan air kemudian solvent dapat digunakan kembali untuk proses ekstraksi, tetapi sistem etanol-air akan membentuk azeotrop pada 78,2oC dengan komposisi 89,4% mol etanol dan 10,6% mol air sehingga dengan menggunakan distilasi biasa, tidak dapat diperoleh etanol absolut. Agar didapatkan etanol absolut diperlukan proses adsorpsi. Adsorpsi bertujuan agar sisa air yang terdapat dalam etanol itu dapat diserap oleh adsorbent sehingga dapat dihasilkan etanol absolut. Penelitian dilakukan dengan menggunakan sebuah structured packing berupa steel wool. Steel wool digunakan karena memiliki performa terbaik jika dibandingkan dengan packing lainnya pada diameter yang kecil (2-3 in), tetapi pada diameter besar penggunaan steel wool kurang disarankan karena akan menyebabkan steel wool terbawa oleh liquid. Hal ini karena steel wool hanya bekerja maksimal jika disusun merata. Kelebihan lainnya pada steel wool adalah harganya yang cukup murah dibandingkan dengan packing lainnya. Berikut merupakan hasil penelitian yang didapat dengan menggunakan beberapa jenis packing berdasarkan sumber http://homedistiller.org. Tabel 1. Perbandingan Hasil Penggunaan Packing Packing Stainless Steel Wool Scrubbers Marbles (10mm diameter) 6mm Ceramic Raschig Rings 13mm Ceramic Raschig Rings
HETP 0,13 m 0,33 m 0,24 m 0,38 m
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mira dan Diyah [2] etanol berasal dari hasil fermentasi molasses yang
2 konsentrasinya tidak terlalu besar kemudian dilakukan distilasi dan adsorpsi. Hasil terbaik yang didapatkan adalah pada saat distilasi dengan menggunakan solvent oktanol dan reflux ratio sebesar 3 ml/menit yaitu sebesar 39% dan dilanjutkan pada adsorpsi pada suhu 80°C sehingga didapatkan kadar etanol sebesar 73%. Dari hasil tersebut maka diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan hasil yang optimal. Pada penelitian lanjutan ini dilakukan perhitungan HETP minimum dan pressure drop, selain itu juga dilakukan evaluasi pencarian jenis adsorbent yang memiliki kapasitas besar pada proses adsorpsi. II. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Biokimia menggunakan sebuah kolom distilasi dan kolom adsorpsi. Setiap kolom dilengkapi dengan hot plate, condenser, dan labu leher dua untuk feed. Kolom distilasi yang digunakan adalah tipe packed bed dengan bed berupa steel wool. Kolom adsorpsi yang digunakan adalah adsorber tipe fixed-bed dengan adsorbent berupa silica gel, CaCl2, dan molecular sieve (digunakan secara bergantian). Adapun spesifikasi kolom distilasi dan adsorpsi dapat dilihat di Tabel 2. Tabel 2. Spesifikasi Kolom Distilasi dan Adsorpsi No
Keterangan
Ukuran
1
Diameter kolom distilasi
5 cm
2
Tinggi kolom distilasi
60 cm
3
Volume labu distilasi
500 ml
4
Volume labu adsorpsi
500 ml
5
Diameter kolom adsorpsi
2 cm
6
Tinggi kolom adsorpsi
30 cm
Penelitian menggunakan gas chromatography untuk menganalisa kadar etanol. Analisa gas chromatography dilakukan di Laboratorium Energi Gedung Robotika dan Laboratorium Thermodinamika. A. Distilasi Penelitian distilasi diawali dengan menyiapkan larutan campuran yang terdiri dari etanol, amil alkohol, dan air. Larutan campuran tersebut dibuat sejumlah 250 ml dengan komposisi 15% etanol, 80% amil alkohol, dan 5% air. Selanjutnya, keadaan peralatan distilasi diperiksa dan dipastikan semua valve tertutup. Kemudian labu leher dua diisi dengan larutan campuran. Setelah alat dan feed selesai disiapkan, air pendingin mulai dialirkan ke dalam condenser. Lalu hot plate dinyalakan untuk memanasi labu leher dua. Knop hot plate diatur sesuai suhu operasi yang ditentukan. Produk yang dihasilkan lalu ditampung dan dianalisa kadarnya dengan gas chromatography. Kemudian dilakukan langkah yang sama untuk variabel reflux ratio dan rate uap yang lain. Pada penelitian ini, variabel distilasi yang digunakan antara lain rate uap sebesar 4,3059 × 10-4 kg/s (suhu operasi 124°C), 4,8017 × 10-4 kg/s (suhu operasi 145°C), dan 5,3020 × 10-4 kg/s (suhu operasi 160°C), Proses ditilasi ini juga dilakukan pada dua macam reflux ratio yaitu 0,26 dan 0,92
untuk setiap rate uap. Pemilihan reflux ratio tersebut untuk mewakili kondisi operasi reflux total dan reflux partial. B. Adsorpsi Penelitian adsorpsi diawali dengan menyiapkan larutan campuran yang terdiri dari etanol, amil alkohol, dan air. Larutan campuran tersebut dibuat sejumlah 100 ml dengan komposisi berdasarkan hasil distilasi terbaik. Selanjutnya keadaan peralatan adsorpsi diperiksa dan dipastikan semua valve tertutup. Kemudian labu leher dua diisi dengan larutan campuran. Setelah alat dan feed selesai disiapkan, air pendingin mulai dialirkan ke dalam condenser. Lalu hot plate dinyalakan untuk memanasi labu leher dua. lalu hot plate dinyalakan untuk memanasi labu leher dua. Knop hot plate diatur sesuai suhu operasi yang ditentukan. Produk yang dihasilkan ditampung dan dianalisa kadarnya dengan gas chromatography. Kemudian dilakukan langkah yang sama untuk adsorbent dan rate uap yang lain. Penelitian ini menggunakan rate uap 1,1617 × 10-3 kg/s (suhu operasi 120°C) dan 1,5341 × 10-3 kg/s (suhu operasi 140°C). III. HASIL DAN DISKUSI A. Distilasi Variabel yang digunakan pada proses distilasi adalah rate uap dan reflux ratio. Berdasarkan perhitungan teoritis menggunakan HYSYS kondisi operasi harus berlangsung pada suhu 80,01°C untuk menghasilkan etanol dengan kadar 73,14% v/v. Sedangkan berdasarkan kurva kesetimbangan sistem etanol-1-pentanol-air dari referensi Maria J. Fernandez, dkk, kondisi operasi harus berlangsung pada suhu 80,55°C untuk mendapatkan etanol dengan kadar 93,2% v/v. Pada penelitian ini, variabel distilasi yang digunakan antara lain rate uap sebesar 4,3059 × 10-4 kg/s (suhu operasi 124°C), 4,8017 × 10-4 kg/s (suhu operasi 145°C), dan 5,3020 × 10-4 kg/s (suhu operasi 160°C). Rate uap dipilih karena pertimbangan beberapa faktor : 1. Suhu yang dipilih memang tidak sesuai dengan suhu yang diharapkan yaitu sekitar 80°C karena waktu penelitian dilakukan pada suhu 80-110°C yang terjadi adalah campuran menjadi uap tetapi tidak menuju kolom distilasi bagian atas karena adanya loss yang terjadi pada sambungan labu leher dua dengan kolom distilasi sehingga penelitian dilakukan pada suhu yang lebih tinggi agar dapat menuju kolom distilasi dan mengurangi loss. 2. Suhu 124°C masih di bawah titik didih amil alkohol sehingga saat campuran diuapkan amil alkohol tidak ikut teruapkan. 3. Suhu 145°C dan 160°C suhu terletak di atas titik didih amil alkohol tetapi diharapkan agar dengan suhu yang cukup tinggi campuran cepat menguap menuju kolom bagian distilasi bagian atas. Dari pertimbangan-pertimbangan tersebut diharapkan didapatkan etanol dengan kadar yang tinggi. Suhu pada variabel pertama ini berada di bawah titik didih amil alkohol yaitu 137,5°C. Variabel rate uap yang kedua dan ketiga dijalankan pada suhu operasi 145°C dan 160°C berada di atas
3 titik didih amil alkohol. Perbedaan antara suhu operasi saat penelitian dengan suhu yang disarankan pada HYSYS adalah karena suhu 80°C pada HYSYS adalah suhu pada distilat sedangkan suhu operasi pada penelitian merupakan suhu pada feed saat dipanaskan. Berikut merupakan hasil analisa kadar etanol menggunakan gas chromatography yang telah dilakukan:
Gambar. 1. Kadar Etanol untuk setiap Rate Uap pada Reflux Ratio 0,92
Dari hasil penelitian didapatkan pada saat proses distilasi dijalankan pada kondisi operasi reflux ratio 0,92 dengan rate uap sebesar 4,3059 × 10-4 kg/s didapatkan kadar etanol sebesar 44,66% atau terjadi peningkatan kadar etanol sebesar 29,66% dari komposisi feed. Kadar etanol mengalami peningkatan hingga 69,43% setelah dijalankan pada kondisi variabel rate 4,8017 × 10-4 kg/s. Namun pada variabel rate uap ketiga, 5,3020 × 10-4 kg/s kadar etanol turun menjadi 59,71%. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa etanol dengan kadar tertinggi yang diperoleh dari variabel reflux ratio 0,92 dan rate uap 4,8017 × 10-4 kg/s, yaitu sebesar 69,43%.
Jumlah plate atau N (stage) didapatkan dari Gilliland equation 𝑁 − 𝑁𝑀𝑖𝑛 1 + 54.4𝑋 𝑋−1 = 1 − exp �� � � 0.5 �� 𝑁+1 11 + 117.2𝑋 𝑋 Nmin didapatkan dari Fenske Equation 𝑥 , 𝑥 , log �� 𝐿𝐾 𝐷 � � 𝐻𝐾 𝐹 �� 𝑥𝐿𝐾,𝐹 𝑥𝐻𝐾,𝐷 𝑁𝑚𝑖𝑛 = log𝛼𝐿𝐾,𝐻𝐾 dengan nilai X 𝑅−𝑅𝑀𝑖𝑛 𝑋= 𝑅+1 sedangkan Rmin dicari menggunakan Underwood Equation 𝛼𝑖,𝐻𝐾 𝑥𝐷𝑖 𝑅𝑚𝑖𝑛 + 1 = � 𝛼𝑖,𝐻𝐾 − 𝜑 di mana 𝑦𝑖 �𝑥𝑖 𝛼𝑖,𝐻𝐾 = 𝑦 𝐻𝐾� 𝑥𝐻𝐾 y adalah fraksi uap dan x adalah fraksi liquid dengan komponen LK=Light Key (Etanol) dan HK = Heavy Key (Amil alkohol) Hasil perhitungan HETP dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Perhitungan HETP untuk Setiap Rate Uap Reflux ratio 0,92 Rate Uap (kg/s)
N stages
HETP (m)
-4
7
0,0857
4,8017 × 10-4
7
0,0857
-4
5
0,12
4,3059 × 10
5,3020 × 10
Reflux ratio 0,26 Rate Uap (kg/s)
Gambar. 2. Kadar Etanol untuk setiap Rate Uap pada Reflux Ratio 0,26
Dari hasil penelitian didapatkan pada saat proses distilasi dijalankan pada kondisi operasi reflux ratio 0,26 dengan rate uap sebesar 4,3059 × 10-4 kg/s didapatkan kadar etanol tertinggi sebesar 62,91% atau terjadi peningkatan kadar etanol sebesar 47,91% dari komposisi feed. Namun pada variabel rate uap kedua dan ketiga, kadar etanol justru mengalami penurunan yaitu 62,31% dan 59,71%. Kadar etanol tertinggi di antara dua variabel reflux ratio 0,92 dan 0,26 adalah sebesar 69,43%, yaitu pada kondisi operasi reflux ratio 0,92 dan rate uap 4,8017 × 10-4 kg/s. Selanjutnya, dilakukan evaluasi parameter Height of Packing Equivalent to a Theoretical Plate (HETP) dari setiap variabel rate uap yang menghasikan kadar etanol tertinggi menggunakan persamaan: 𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑘𝑜𝑙𝑜𝑚 𝐻𝐸𝑇𝑃 = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑙𝑎𝑡𝑒
N stages
HETP (m)
4,3059 × 10
-4
7
0,0857
4,8017 × 10
-4
6
0,1
5,3020 × 10
-4
5
0,12
Dari hasil perhitungan HETP untuk setiap rate uap dan reflux ratio dapat disimpulkan bahwa sudah mendekati HETP steel wool secara teoritis yaitu 0,13 m (data dari www.homedistiller.org), adanya selisih hasil percobaan dengan teoritis adalah posisi penataan steel wool saat percobaan sedikit berbeda dengan posisi penataan steel wool saat dilakukan perhitungan secara teoritis. Selain HETP, parameter lainnya yang digunakan adalah pressure drop kolom. Perhitungan pressure drop menggunakan korelasi Ergun. 𝜀3 150 𝛥𝑝 𝜌 𝐷𝑝 = + 1.75 𝑁𝑅𝑒,𝑝 (𝐺 ′ )2 𝛥𝐿 (1 − 𝜀) ε adalah void fraction, G’ adalah rate uap, Dp adalah diameter partikel ΔL tinggi kolom, NRe adalah bilangan Reynolds, dan ρ adalah densitas uap.
4 Tabel 5. Komposisi Feed untuk Adsorpsi Komposisi Campuran (%)
Gambar. 3. Hubungan antara Flooding dan Pressure Drop pada Berbagai Packed Tower Tabel 4. Perhitungan Pressure Drop untuk Setiap Rate Uap Rate Uap (kg/s)
Etanol
Air
Amil Alkohol
48,89
49,87
1,24
Pengambilan sampel tiap variabel dilakukan setiap 15 menit sekali dan dilakukan hingga tidak ada yang produk yang keluar sehingga terjadi perbedaan jumlah sampel pada beberapa variabel. Adsorpsi pertama dilakukan pada adsorbent silica gel. Dari hasil penelitian didapatkan pada saat proses adsorpsi dilakukan pada suhu 120°C kadar etanol tertinggi adalah 59,13%, terjadi peningkatan kadar sebesar 10,24%. Kadar etanol tidak mengalami peningkatan pada setiap waktu pengambilan sampel, tetapi hanya berkisar 30-59%. Pada percobaan selanjutnya adsorpsi dilakukan pada suhu 140°C dan kadar etanol tertinggi adalah 57,39%, terjadi peningkatan kadar sebesar 8,5%. Pada percobaan ini, kadar etanol juga tidak mengalami peningkatan pada setiap waktu pengambilan sampel, tetapi hanya berkisar 42-57%.
ΔP (Pa/m)
4,3059 × 10
-4
15,8572
4,8017 × 10
-4
19,4247
5,3020 × 10-4
23,1496
Berdasarkan referensi Gambar 3 atau Grafik 6.34. pada Treybal [3], hubungan antara flooding dan pressure drop pada berbagai jenis packed tower dapat dilihat bahwa pada rate uap berapapun, nilai pressure drop pada kolom distilasi menggunakan packing steel wool berada di bawah batas pressure drop yang dapat menyebabkan flooding. Sehingga dalam hal ini untuk parameter pressure drop setiap rate uap sudah memenuhi. B. Adsorpsi Penelitian ini menggunakan variabel rate uap 1,1617 × 10-3 kg/s (suhu operasi 120°C) dan 1,5341 × 10-3 kg/s (suhu operasi 140°C). Rate uap ini ditentukan karena berhubungan dengan suhu campuran. Suhu yang diharapkan adalah pada suhu titik didih etanol yaitu 80°C tetapi pada penelitian digunakan suhu adalah 120°C dan 140°C karena: 1. Saat penelitian dilakukan pada suhu 80-110°C yang terjadi adalah campuran menjadi uap tetapi tidak menuju kolom adsorpsi karena adanya loss yang terjadi pada sambungan labu leher dua dengan kolom adsorpsi sehingga penelitian dilakukan pada suhu yang lebih tinggi agar dapat menuju kolom adsorpsi dan mengurangi loss. 2. Suhu 120°C masih di bawah titik didih amil alkohol sehingga saat campuran diuapkan amil alkohol tidak ikut teruapkan dan suhu 140°C suhu sudah melewati titik didihnya sehingga waktu campuran diuapkan akan ikut teruapkan semuanya. Dari pertimbangan pemilihan suhu tersebut diharapkan didapatkan kadar etanol yang tinggi dan tidak ada kandungan amil alkohol, tetapi pada hasil setelah pelaksanaan penelitian masih didapatkan kandungan amil alkohol pada produk.
Gambar. 4. Kadar Etanol pada Komposisi Hasil Adsorpsi dengan Silica Gel Setiap 15 Menit
Hasil adsorpsi pada adsorbent silica gel kurang begitu bagus, kadar etanol yang dihasilkan tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan, hasil adsorpsi hanya sekitar 4060%, hasil kadar etanol yang kurang tinggi disebabkan beberapa faktor. Faktor pertama adalah kapasitas maksimum penyerapan air oleh silica gel. Kapasitas maksimum penyerapan air adalah jumlah maksimum (dalam satuan gram) air yang dapat diserap oleh silica gel tiap gram silica gel. Di bawah ini adalah grafik kapasitas silica gel terhadap kapasitas silica gel. Dari perhitungan didapatkan bahwa relative humidity pada suhu 120°C adalah 25,45% dan pada suhu 140°C adalah 13,98%. Massa dry silica gel yang digunakan adalah sebanyak 81,4484 gram maka dapat diketahui secara teoritis bahwa kapasitas maksimum air yang terserap sebanyak 8,959324 gram atau 8,959324 mL air untuk percobaan pada suhu 120°C dan sebanyak 2,443452 gram atau 2,443452 mL air untuk percobaan pada suhu 140°C air , tetapi hasil percobaan didapatkan 9,81 mL air untuk percobaan pada suhu 120°C dan 6,97 mL air untuk percobaan pada suhu 140°C. Pada hasil percobaan terjadi selisih dengan perhitungan teoritis, hal ini
5 disebabkan karena karena saat percobaan ada sebagian air yang tidak terserap oleh silica gel tetapi hilang pada sambungan antara labu leher dua dan kolom adsorpsi sehingga pada perhitungan secara percobaan didapatkan jumlah yang terserap lebih besar daripada perhitungan secara teoritis.
Gambar. 5. Kurva (www.sigmaaldrich.com)
Moisture
Equilibrium
untuk
Silica
Gel
Faktor lain yang menyebabkan kadar etanol yang didapatkan kurang tinggi adalah suhu regenerasi berada di bawah suhu uap campuran silica gel. Silica gel memiliki suhu regenerasi sekitar 60-90°C. Hal ini yang menyebabkan saat melakukan adsorpsi sebagian daripada air teruap kembali dan ikut ke produk. Dari percobaan ini diketahui yaitu penggunaan silica gel sebagai adsorbent yaitu dengan cara mengalirkan larutan campuran melewati silica gel tidak perlu menguapkan campuran terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan referensi Pramuang S, dkk [4]. Adsorpsi kedua dilakukan pada adsorbent molecular sieve 3A. Hasil yang didapatkan adalah :
seiring dengan berjalannya waktu didapatkan kadar etanol yang meningkat. Pada percobaan selanjutnya adsorpsi dilakukan pada suhu 140°C dan kadar etanol tertinggi adalah 59,75%, terjadi peningkatan kadar sebesar 10,86%. Pada saat suhu 120°C kadar etanol meningkat tetapi mulai menurun saat menit ke-60. Peningkatan ini menandakan bahwa penggunaan molecular sieve 3A sebagai penyerap air cukup baik, tetapi masih belum maksimal karena molecular sieve 3A sudah mencapai kapasitas maksimum ketika air belum sepenuhnya terserap. Pada suhu 140°C kadar etanol pada menit awal (0 dan 15) menunjukkan peningkatan tetapi kemudian semakin lama semakin menurun. Hal ini disebabkan karena pada suhu tersebut sudah mulai memasuki suhu regenerasi molecular sieve 3A yang berada pada kisaran 140250°C sehingga air yang sudah terserap pada molecular sieve 3A teruapkan kembali (www.sigmaaldrich.com). Kapasitas maksimum molecular sieve adalah 21 mg H2O tiap g molecular sieve 3A (data dari www.sigmaaldrich.com). Massa molecular sieve 3A yang digunakan adalah sebanyak 95,8693 gram maka dapat diketahui secara teoritis bahwa kapasitas maksimum air yang terserap sebanyak 2,0133 gram atau 2,0133 mL air. Hasil percobaan didapatkan 1,39 mL air untuk percobaan pada suhu 120°C sudah masih lebih kecil daripada kapasitas maksimum air yang dapat diserap oleh molecular sieve 3A tetapi untuk percobaan pada suhu 140°C air yang diserap sebanyak 11,39 mL. Pada hasil percobaan pada suhu 140°C terjadi selisih dengan perhitungan teoritis, hal ini disebabkan karena karena saat percobaan ada sebagian air yang tidak terserap oleh molecular sieve 3A tetapi hilang pada sambungan antara labu leher dua dan kolom adsorpsi sehingga pada perhitungan secara percobaan didapatkan jumlah yang terserap lebih besar daripada perhitungan secara teoritis. Adsorpsi ketiga dilakukan pada adsorbent CaCl2 (calcium chloride). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa CaCl2 lebih bersifat sebagai absorbent daripada adsorbent.
Gambar. 6. Kadar Etanol pada Komposisi Hasil Adsorpsi dengan Molecular Sieve 3A Setiap 15 Menit
Molecular sieve yang digunakan memiliki pori-pori berukuran 3 Angstrom karena tujuannya adalah menyerap air yang memiliki diameter 2,75 Angstrom dan etanol memiliki diameter sekitar 4.5 Angstrom sehingga tidak ikut terserap. Dari hasil penelitian dengan molecular sieve 3A didapatkan pada saat proses adsorpsi dilakukan pada suhu 120°C kadar etanol tertinggi adalah 50,86%, terjadi peningkatan kadar sebesar 1,97%. Kadar etanol mengalami peningkatan pada setiap waktu pengambilan sampel, pada awal proses penyerapan banyak terdapat kandungan air tetapi
Gambar. 7. Kadar Etanol pada Komposisi Hasil Adsorpsi dengan CaCl2 Setiap 15 Menit
Hal ini diketahui ketika penelitian berlangsung setelah 45 menit CaCl2 yang semula berbentuk padatan dan berada di dalam kolom berubah menjadi seperti bubur berada di dalam labu leher dua. Dari perubahan ini dapat disimpulkan bahwa air terserap ke dalam CaCl2 bukan hanya pada permukaan. Pada percobaan pertama, hasil yang didapatkan pada suhu
6 120°C mencapai kadar tertinggi pada menit ke 30 dengan kadar 77,54% dapat dikatakan terjadi peningkatan kadar sebesar 28,65% tetapi kadar etanol menurun ketika CaCl2 mulai menjadi seperti bubur. Pada percobaan selanjutnya dilakukan pada suhu yang lebih tinggi yaitu 140°C didapatkan hasil kadar etanol 61,42% (peningkatkan sebesar 12,53%) tetapi seiring dengan berjalannya waktu kadar etanol yang didapatkan semakin menurun. Hasil yang didapatkan berdasarkan kenaikan konsentrasi tersebut dapat dikatakan cukup baik tetapi masih kurang maksimal karena prinsip penggunaan CaCl2 sebagai desiccant sama seperti silica gel yaitu bukan dilakukan pada fase uap tetapi hanya dengan cara mengalirkan larutan campuran melewati CaCl2. Ketika dilakukan pada fase uap atau suhu campuran di atas 60°C yang terjadi adalah tidak ada proses penyerapan air sebab air yang terserap kembali terikut pada campuran karena CaCl2 memiliki suhu regerenasi sekitar 4060°C. (Suhu regenerasi adalah suhu yang harus dicapai untuk memanaskan desiccant agar dapat digunakan kembali). Hal ini sesuai dengan referensi Bouzenada S, dkk [5]. Kesimpulan secara keseluruhan adalah untuk menyerap kandungan air pada etanol untuk meningkatkan kadar etanol tersebut paling baik menggunakan molecular sieve 3A pada suhu suhu 120°C (rate uap 1,1617 x 10-3 kg/s). Setelah didapatkan adsorbent dan kondisi terbaik kemudian dilakukan adsorpsi dengan komposisi terbaik hasil distilasi. Komposisi feed untuk adsorpsi ada sedikit perbedaan dengan komposisi terbaik hasil distilasi dikarenakan feed dibuat secara sintetis dengan mencampur etanol, air, dan amil alkohol. Tabel 6. Komposisi Feed untuk Adsorpsi Komposisi Campuran (%) Etanol
Air
Amil Alkohol
69,32
26,4
4,28
Tabel 7. Komposisi Hasil Adsorpsi dengan Molecular Sieve 3A pada Rate Uap 1,1617 x 10-3 kg/s (T= 120°C) untuk Hasil Terbaik Distilasi %
t(menit) Etanol
Air
Amil Alkohol
0
76,44
23,56
0,00
15
76,44
23,56
0,00
30
81,23
8,62
10,15
45
63,32
31,79
4,88
Dari hasil penelitian dengan molecular sieve 3A pada komposisi terbaik hasil distilasi didapatkan kadar etanol tertinggi adalah 81,23%, terjadi peningkatan kadar sebesar 11,91%. IV. KESIMPULAN Kesimpulan dari hasil penelitian ini antara lain: 1. Hasil dari penelitian pada bagian distilasi didapatkan etanol dengan kadar tertinggi pada variabel rate uap
4,8017 × 10-4 kg/s dan reflux ratio 0,92 yaitu sebesar 69,43% v/v. 2. HETP kolom untuk tiap rate uap dan reflux ratio sekitar 0,0875 – 0,1 m. 3. Pressure drop tiap rate uap dan reflux ratio masih memenuhi ketentuan secara teoritis. 4. Adsorpsi yang paling baik menggunakan molecular sieve 3A dengan kadar etanol sebesar 81,23% v/v. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu proses penelitian kami, terutama kepada Prof. Dr. Ir. Tri Widjaja, M. Eng, selaku Dosen Pembimbing dan Ketua Jurusan Teknik Kimia FTI-ITS Surabaya, atas bimbingan dan saran yang telah diberikan. Serta Bapak Setiyo Gunawan ST. Ph. D., selaku selaku Sekretaris Jurusan II Jurusan Teknik Kimia Institut Teknologi Sepuluh Nopember dan Prof. Dr. Ir. Arief Widjaja, M. Eng, selaku Kepala Laboratoriun Biokim jurusan Teknik Kimia FTI-ITS Surabaya. Terima kasih juga kami sampaikan kepada orang tua serta saudara-saudara kami atas doa, dukungan, bimbingan, perhatian dan kasih sayang yang selalu tercurah selama ini. DAFTAR PUSTAKA [1] Cheng, H. C., Wang, F. S., 2008, Optimal Process / Solvent Design for Ethanol Extractive Fermentation with Cell Recycling, Biochemical Engineering Journal, 41: 258–265. [2] Mira, S., Khalimatussa’diyah, 2012, Pemisahan Ethanol dari Campuran Solvent Berbasis Alkohol dan Air dengan Proses Distilasi pada Packed Kolom dan Adsorpsi [3] Treybal, R.E., 1980, Mass-transfer Operations, Singapore: McGraw-Hill Book Company. [4] Pramuang S.S., Exell R.H.B., 2007, The Regeneration Of Silica Gel Desiccant By Air From A Solar Heater With A Compound Parabolic Concentrator, Journal of Renewable Energy, 32, 173-18. [5] Bouzenada, S., Salmon, T., Fraikin, L., Kaabi, A., Léonard, A., 2013, Experimental investigation on mass transfer for regeneration of liquid desiccant, International Conference on Renewable Energies and Power Quality.