PEMIKIRAN PENDIDIKAN IBNU SINA DAN APLIKASINYA DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA Fathor Rachman Utsman Dosen STIK Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep
Abstract: An islamic leader who was delivering the most successful and monumental in controlling and developing several branches of science is Avicenna. He also examined education in several aspects, such as the human essence, the purposes of education, curriculum, teaching methods, and concepts of teacher. The applications of his thoughts were emphasizing on: the first, the importance of early childhood education; the second, the importance of moral education; the third, the urge of making education of al-Quran as a model; the fourth, soul -oriented education (annafs); and the fifth, the need to build non-dichotomy educational paradigm or integral education. Kata kunci: Ibnu Sina, pendidikan Islam, manusia, tujuan pendidikan, metode pembelajaran, guru, kurikulum
Pendahuluan Pada zaman kebangkitan Islam (abad VII-XII M), hampir semua sarjana muslim saat itu tidak merasa cukup hanya dengan menguasai satu cabang ilmu pengetahuan saja. Mereka selalu melengkapi dirinya dengan berbagai macam kompetensi dan selalu berusaha untuk menguasai berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan. Kecenderungan seperti ini merupakan sebuah kebiasaan para tokoh Islam dalam rangka meningkatkan kualitas diri sekaligus sebagai upaya untuk memajukan Islam. Hal ini dilatarbelakangi oleh dasar dan pandangan Islam sendiri terhadap eksistensi ilmu pengetahuan dan pentingnya penguasaan berbagai disiplin ilmu bagi umat Islam. Islam mempunyai pandangan yang komprehensif terhadap hidup dan ilmu pengetahuan. Ilmu merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan kehidupan. Untuk itu, Islam memandang bahwa
Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina
sebaik-baiknya manusia, lebih-lebih ulama ialah orang yang dapat menguasai sebanyak mungkin cabang-cabang ilmu pengetahuan. Di antara tokoh Islam yang paling berjaya dan berjasa dalam menguasai beberapa cabang ilmu ialah Ibnu Sina. Ia bukan saja seorang ahli kedokteran kelas dunia, tetapi juga seorang yang cakap di bidang sains dan falsafah. Di samping itu Ibnu Sina juga merupakan ahli politik yang lincah dan ahli kemasyarakatan yang berkaliber dunia. Ia dikenal di Eropa sebagai Avicenna yang disebut sebagai “the greatest Muslim thinker and the last of the Muslim philoshopher in the East”.1 Bagi banyak orang, ia adalah "Bapak Pengobatan Modern" dan masih banyak lagi sebutan baginya yang kebanyakan bersangkutan dengan karya-karyanya di bidang kedokteran. Karyanya yang sangat terkenal adalah Qânûn fî al-Thib yang merupakan rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad. Meskipun ia lebih dikenal sebagai seorang filosof dan ahli di bidang kedokteran, beberapa kajian yang dilakukan oleh generasi sesudahnya tentang pemikiran Ibnu Sina ditemukan beberapa pemikirannya tentang konsep pendidikan Islam. Oleh sebab itu, Ibnu Sina juga tercatat sebagai salah satu tokoh pendidikan Islam yang memiliki pemikiran brilliant dan beberapa teorinya masih cukup relevan dikembangkan dalam konteks pendidikan Islam modern. Pemikiran Ibnu Sina tentang pendidikan Islam memang telah banyak dikaji oleh para ahli, tetapi tidak berarti kajian tersebut berhenti di situ saja. Pemikiran Ibnu Sina yang tertulis dalam karyakaryanya akan tetap relevan untuk dianalisis secara kritis hingga saat ini sehingga menimbulkan dinamika keilmuan yang diharapkan mampu memberikan kontribusi yang bersifat solutif terhadap berbagai permasalahan pendidikan Islam dewasa ini, termasuk juga problem pendidikan di Indonesia.
1M.
Ihsan Dacholfany, Sistem dan Pendidikan Menurut Ibnu Sina. Makalah ini ditulis dan diterbitkan dalam Bahasa Malaysia di http://www.teknologipendidikan.net/sistemdan-pendidikan-menurut-Ibnuu-sina. Diambil pada hari Ahad, 21 Juni 2009
Tadrîs. Volume 5. Nomor 1. 2010
37
Fathor Rachman Utsman
Biografi dan Karya Ibnu Sina Biografi Ibnu Sina Ibnu Sina bernama lengkap Abu ‘Ali al-Husayn ibn Abdullah ibn Hasan ibn Ali ibn Sina. Ia lahir pada tahun 370 H/980 M di Afshana (Kharmisin), sebuah kota kecil dekat Bukhara, sekarang wilayah Uzbekistan (bagian dari Persia). Ayahnya bernama Abdullah, seorang sarjana terhormat penganut Syi’ah Isma’illiyah,2 berasal dari Balkh Khorasan, suatu kota yang termasyhur di kalangan orang-orang Yunani dengan nama Bakhtra. Ayahnya tinggal di kota Balkh, tetapi beberapa tahun setelah lahirnya Ibnu Sina, keluarganya pindah ke Bukhara karena ayahnya menjadi gubernur di suatu daerah di salah satu pemukiman Daulat Samaniyah pada masa pemerintahan Amir Nuh ibn Mansur,3 sekarang wilayah Afghanistan (dan juga Persia). Ibunya, bernama Astarah, berasal dari Afshana yang termasuk wilayah Afghanistan. Ada yang menyebutkan ibunya sebagai orang yang berkebangsaan Persia, karena pada abad ke-10 Masehi, wilayah Afghanistan ini termasuk daerah Persia.4 Meskipun secara tradisional dipengaruhi oleh cabang Islam Isma’iliyah, pemikiran Ibnu Sina independen dengan tingkat kecerdasan dan ingatan luar biasa. Banyak orang yang mengaguminya, sebab ia adalah seorang anak yang luar biasa kepandaiannya (child prodigy). Sejarah mencatat, bahwa ia memulai pendidikannya pada usia 5 tahun di kota kelahirannya, Bukhara. Pengetahuan yang ia pelajari adalah alQuran, setelah itu ia melanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu agama Islam. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, pada usia 10 tahun telah hafal al-Qur'an dan ‘âlim dalam berbagai ilmu keislaman yang berkembang saat itu, seperti tafsir, fiqih, kalam, filsafat, logika dan pengobatan.
2Imam
Tholkhah & Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan; Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 248. Meskipun ayahnya seorang penganut paham Syi’ah Isma’illiyah, dan Ibnu Sina sendiri banyak belajar kepada ulama-ulama Isma’illiyah, ia sendiri menolak identitas tersebut. 3Muhammad Tolhah Hasan, Dinamika Pemikiran tentang Pendidikan Islam (Jakarta: Lantabora Press, 2006), hlm. 116. 4Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, suatu Kajian Filsafat Pendidikan Islam, cet. III (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 61.
38
Tadrîs. Volume 5. Nomor 1. 2010
Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina
Ketika anak genius ini berusia 17 tahun, ia telah memahami seluruh teori kedokteran yang ada di masanya dan melebihi siapa pun juga. Karena kepintarannya itulah, ia diangkat sebagai konsultan dokter-dokter praktisi. Peristiwa ini terjadi setelah ia berhasil mengobati Pangeran Nuh ibn Manshur, di mana sebelumnya tidak seorang pun yang dapat menyembuhkannya. Ia juga pernah diangkat menjadi Menteri oleh Sultan Syams al-Daulah yang berkuasa di Hamdan, karena berhasil mengobati penyakitnya. Anak muda ini memperoleh predikat sebagai seorang fisikawan pada usia 18 tahun dan menemukan bahwa "kedokteran tidaklah ilmu yang sulit ataupun menjengkelkan, seperti matematika dan metafisika, sehingga saya cepat memperoleh kemajuan; saya menjadi dokter yang sangat baik dan mulai merawat para pasien, menggunakan obat-obat yang sesuai".5 Kemasyhuran sang fisikawan muda menyebar dengan cepat, dan dia merawat banyak pasien tanpa meminta bayaran. Ibnu Sina mempelajari ilmu kedokteran secara otodidak dan mendalam, hingga ia dikenal sebagai seorang dokter profesional dan termasyhur pada zamannya. Hal ini didukung oleh kesungguhannya melakukan penelitian dan praktik pengobatan. Berkenaan dengan ini ada sebagian yang mengatakan bahwa Ibnu Sina mempelajari kedokteran dari Ali Abi Sahl al-Masity dan Abi Mansur al-Hasan ibn Nuh al-Qomary. Dengan cara demikian, ilmu kedokteran yang ditekuninya mengalami perkembangan yang luar biasa karena didukung oleh keluasan teori dan praktik. Di antara guru yang mendidiknya adalah Abu 'Abd Allâh al-Nâtili dan Abi Muhammad Ismâ'il ibn al-Husyain. Dengan kejeniusannya, ia mampu menguasai ilmu yang diterimanya, bahkan melebihi gurunya. Meskipun Ibnu Sina sempat kebingungan untuk memenuhi hasrat belajarnya yang tak kunjung terpenuhi dari guru yang telah ia temui, akhirnya ia dapat lebih banyak belajar di perpustakaan istana, Kutub Khana. Ia diberi kebebasan belajar di perpustakaan ini karena keberhasilannya menyembuhkan sang pangeran, sebagaimana yang telah disinggung di atas. Beragam ilmu pengetahuan yang ia pelajari dan 5Mohammad
Kosim, Analisis Kritis Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina, (4 Februari 2009). Makalah Filsafat Pendidikan Islam yang ditulis di http://mhdkosim.blogspot.com/ 2009/02/makalah-filsafat-pendidikan-islam_04.html. Diambil pada hari Ahad, 21 Juni 2009
Tadrîs. Volume 5. Nomor 1. 2010
39
Fathor Rachman Utsman
kuasai di perpustakaan ini, termasuk di bidang filsafat. Namun, dalam mempelajari filsafat ini, terkadang ia memperoleh kesulitan. Pada beberapa penyelidikan yang membingungkan, dia meninggalkan buku-bukunya, mengambil air wudhu, lalu pergi ke masjid, dan terus shalat sampai hidayah menyelesaikan kesulitan-kesulitannya. Ia secara tekun melanjutkan kegiatan belajarnya dan menstimulasi perasaannya. Empat puluh kali, dikatakan, dia membaca Metaphysics dari Aristoteles, sampai kata-katanya tertulis dalam ingatannya; tetapi artinya tak dikenal, sampai suatu hari ia menemukan pencerahan dari uraian singkat al-Farabi, yang dibelinya di suatu Bookstall seharga tiga dirham. Dengan mengenal pemikiran al-Farabi, ia mengaku berhutang budi kepada al-Farabi. Sejak itu ia tidak perlu lagi belajar "meluas" tapi hanya perlu meningkatkan pemahamannya secara "mendalam" atas apa yang sudah dipelajari pada saat ia memasuki usia delapan belas tahun. Ketika ia memasuki usia senja, ia pernah menyatakan kepada muridnya, alJuzjani, bahwa sepanjang tahun yang dilaluinya ia telah mempelajari tidak lebih dari yang ia ketahui sebagai seorang pemuda berusia 18 tahun. Menurut Ibnu Sina ”masa muda sangat menentukan keberhasilan seseorang”. Sebagai pemikir yang inovatif dan kreatif pada umumnya, Ibnu Sina tidaklah terlepas dari cobaan yang menimpanya. Tatkala perpustakaan istana terbakar, musuh-musuhnya menuduh Ibnu Sina yang membakarnya supaya orang tidak bisa menguasai ilmu yang ada di sana, kecuali Ibnu Sina sendiri sehingga ia tidak tertandingi. Ia juga pernah dipenjarakan oleh putra al-Syam al-Daulah hanya karena ketidaksenangan, atau kedengkian. Setelah beberapa bulan, ia dapat meloloskan diri dari penjara dan lari ke Isfahan kemudian disambut oleh Amirnya dengan kehormatan. Di kota ini kemudian ia mengabdikan kiprahnya sebagai seorang intelektual muslim yang disegani. Ibnu Sina wafat pada usia 58 tahun, tepatnya pada tahun 980 H/1037 M di Hamadan, Iran, karena penyakit maag yang kronis. Ia wafat ketika sedang mengajar di sebuah sekolah.6
6Imam
40
Tholkhah & Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan, hlm. 250.
Tadrîs. Volume 5. Nomor 1. 2010
Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina
Karya-karya Ibnu Sina Ibnu Sina dikenal sebagai ulama yang sangat produktif dalam melahirkan karya tulis, meskipun ia sibuk dalam pemerintahan dan tugasnya sebagai "dokter". Buku-bukunya hampir meliputi seluruh cabang ilmu pengetahuan, seperti ilmu kedokteran, filsafat, ilmu jiwa, fisika, logika, politik dan sastra Arab. Di antara karya tulisan yang ia tinggalkan dan berpengaruh terhadap generasi-generasi sesudahnya adalah: a. Al-Syifâ', terdiri dari 18 jilid berisikan uraian tentang filsafat yang mencakup empat bagian, yaitu: ketuhanan, fisika, matematika, dan logika. Dalam kitab ini juga ditemukan beberapa pemikirannya tentang pendidikan; b. Al-Najât, merupakan ringkasan dari al-Syifâ' yang ditujukan kepada para pelajar yang ingin mempelajari dasar-dasar ilmu hikmah secara lengkap; c. Al-Qânûn fî al-Thibb (Canon of Medicine), berisikan tentang ilmu kedokteran yang terbagi atas lima kitab dalam berbagai ilmu dan berjenis-jenis penyakit dan lain-lain. d. Al-Isyârât wa al-Tanbîhât, berisikan uraian tentang logika dan hikmah. Masih banyak karya lainnya yang telah ditulis. Semuanya sekitar 250 karya yang di antaranya banyak berbicara tentang ilmu pengetahuan dan kesusastraan. Karya-karya ini sebagian besar berbahasa Arab, tapi ada sebagian kecil di antaranya berbahasa Persia, seperti Danishnamah 'Ala'i (buku ilmu pengetahuan yang dipersembahkan kepada 'Ala al-Dawlah). Buku ini merupakan karya filsafat pertama di Persia Modern. Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina Hakikat Manusia Membahas tentang pendidikan, tentu tidak terlepas dari kajian tentang hakikat manusia. Pandangan seseorang terhadap manusia akan berpengaruh terhadap konsep-konsep pendidikan yang ia kemukakan. Demikian halnya Ibnu Sina, juga memiliki pandangan tentang hakikat manusia. Bahkan dalam kajian filsafat, pembahasan tentang Ibnu Sina tidak pernah terlepas dari pemikirannya tentang manusia, khususnya tentang konsep jiwa. Secara garis besar, manusia Tadrîs. Volume 5. Nomor 1. 2010
41
Fathor Rachman Utsman
terdiri dari unsur jasmani dan rohani. Keduanya mesti dipelihara dalam kelangsungan hidup di dunia ini. Demikian halnya dengan Ibnu Sina, meskipun ia sebagai seorang dokter yang mengkaji tentang organ tubuh manusia secara jasmani, tetapi ia juga memiliki pemikiran yang unik tentang jiwa. Sebagaimana al-Farabi, ia juga menganut paham pancaran (emanasi). Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama; demikian seterusnya sehingga tercapai akal kesepuluh dan bumi. Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat yaitu: 1) sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah (wâjib al-wujûd li ghairih); dan 2) sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakikat dirinya (mumkin al-maujûd li dzâtih). Sebagaimana Aristoteles, Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bagian, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia. Hanya saja Ibnu Sina menguraikan lebih rinci, dan tentunya sesuai dengan ajaran yang terkandung dalam al-Qur'an. Adapun pembagian jiwa tersebut adalah: a. Jiwa tumbuh-tumbuhan (nabatîyah). Daya ini terbagi tiga macam, yaitu ghadzîyah (makan); munmîyah (tumbuh); muwallidah (mereproduksi). Daya jiwa nabatîyah ini adalah jiwa terendah dari dua jiwa yang lain. b. Jiwa binatang (hayawanîyah). Daya jiwa ini terdiri dari dua macam, yakni: 1) Daya jiwa hayawanîyah muhrikah (menggerakkan) sesuai dengan tuntutan daya-daya keinginan; 2) Daya jiwa hayawanîyah mudrikah (menanggap); ialah jiwa menangkap dari penginderaan terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari luar, dan yang datang dari dalam jiwa atau dalam dirinya sendiri. c. Jiwa manusia (insânîyah), yang disebut juga al-nafs al-nâthiqât, mempunyai dua daya, yaitu: 1) daya praktis (al-'âmilah), hubungannya dengan jasad. Daya jiwa al-'âmilah disebut juga al-'aql al-'amali (akal atau intelegensia praktis), yakni daya jiwa insani yang punya kekuasaan atas badan manusia yang dengan daya jiwa inilah manusia melaksanakan perbuatan-perbuatan yang mengandung pertimbangan dan pemikiran yang membedakan dia dengan binatang; 2) Daya teoretis (al-'âlimah) hubungannya dengan hal-hal yang abstrak. Daya jiwa al-'âlimah disebut juga "aql al-nazhari" (akal inte42
Tadrîs. Volume 5. Nomor 1. 2010
Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina
legensia teoretis), daya jiwa ini menemukan konsep-konsep umum yang ditimbulkan dari materi. Daya teoretis ini mempunyai beberapa tingkatan akal, yaitu; a) al-'aql bi al-quwwâb, yaitu intelegensia yang berkembang disebabkan proses interaksi dengan lingkungannya baik melalui proses belajar mengajar ataupun pengalaman-pengalaman. Di dalamnya terdapat; a) al-aql al-hayulanî (akal material), al-'aql al-malakât, (kebenaran aksioma) dan al-aql bi al-fi'l, (akal aktual); b) al-‘aql al-mustafâd (konsepsi rasional). Jadi, akal seperti inilah yang dapat berhubungan dan menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif. Menurut Ibnu Sina, untuk meningkatkan kualitas jiwa dan akal manusia, diperlukan latihan-latihan berupa penelitian dan pendidikan. Dari konsep ini, terlihat jelas peran penting pendidikan bagi pengembangan diri manusia. Ia juga menjelaskan bahwa sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga jiwa itu yang berpengaruh pada dirinya, jika yang lebih berpengaruh jiwa binatang maka orang itu akan menyerupai sifat-sifat binatang. Sebaliknya jika jiwa manusia telah mempunyai kesempurnaan sebelum berpisah dengan badan, maka ia akan memperoleh kesenangan abadi di akhirat. Sebaliknya, jika ia berpisah dengan badan dalam keadaan tidak sempurna akibat terpengaruh oleh godaan hawa nafsu, maka ia akan sengsara selama-lamanya di akhirat. Kemudian Ibnu Sina juga membedakan antara jiwa dan jasad. Kesatuan antara keduanya bersifat accident, hancurnya jasad tidak membawa kepada hancurnya roh (jiwa). Akan tetapi jiwa yang kekal adalah jiwa insâniyah di mana kelak akan mendapat pembalasana di akhirat, sementara jiwa tumbuh-tumbuhan dan hewan akan hancur bersama hancurnya jasad. Dengan demikian, jiwa memiliki kedudukan sangat penting daripada jasad. Hal ini berimplikasi kepada konsepnya tentang pendidikan yang mengutamakan pendidikan jiwa. Tujuan Pendidikan Ibnu Sina menerangkan tujuan pendidikan memiliki tiga fungsi yang kesemuanya bersifat normatif. Pertama, tujuan itu menentukan haluan bagi proses pendidikan. Kedua, tujuan itu bukan hanya menentukan haluan yang dituju tetapi juga sekaligus memberi rangsangan. Ketiga, tujuan itu adalah nilai, dan jika dipandang bernilai, dan jika Tadrîs. Volume 5. Nomor 1. 2010
43
Fathor Rachman Utsman
diinginkan, tentulah akan mendorong pelajar mengeluarkan tenaga yang diperlukan untuk mencapainya. Tujuan itu mempunyai fungsi untuk menjadi kriteria dalam memulai proses pendidikan. Berangkat dari pandangan tersebut, Ibnu Sina mengemukakan bahwa tujuan pendidikan adalah "pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang sempuma, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti”7. Selain itu tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup di masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan dan potensi yang dimilikinya. Khusus mengenai pendidikan yang bersifat jasmani, Ibnu Sina berpendapat hendaklah tujuan pendidikan tidak melupakan pembinaan fisik dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya seperti olahraga, makan, minum, tidur dan menjaga kebersihan. Sedangkan tujuan pendidikan yang bersifat keterampilan ditujukan pada pendidikan bidang perkayuan, penyablonan dan sebagainya, sehingga akan muncul tenaga-tenaga pekerja profesional yang mampu mengerjakan pekerjaan secara profesional. Dengan demikian, adanya pendidikan jasmani diharapkan seorang anak akan terbina pertumbuhan fisiknya dan cerdas otaknya. Sedangkan dengan pendidikan budi pekerti diharapkan seorang anak memiliki kebiasaan bersopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari dan sehat jiwanya. Dengan pendidikan kesenian seorang anak diharapkan pula dapat mempertajam perasaannya dan meningkat daya khayalnya. Begitu pula tujuan pendidikan keterampilan, diharapkan bakat dan minat anak dapat berkembang secara optimal. Khusus mengenai tujuan pendidikan untuk membentuk manusia yang berkepribadian akhlak mulia, Ibnu Sina juga mengemukakan bahwa ukuran akhlak mulia tersebut dijabarkan secara luas yang meliputi segala aspek kehidupan manusia. Aspek-aspek kehidupan yang menjadi syarat bagi terwujudnya suatu sosok pribadi berakhlak mulia meliputi aspek pribadi, sosial, dan spiritual. Ketiganya harus berfungsi secara integral dan komprehensif. Pembentukan akhlak 7Ahmad
44
D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1990), hlm. 2.
Tadrîs. Volume 5. Nomor 1. 2010
Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina
mulia ini juga bertujuan untuk mencapai kebahagiaan (sa'âdah). Kebahagiaan menurut Ibnu Sina dapat diperoleh manusia secara bertahap. Dari tujuan pendidikan yang berkenaan dengan budi pekerti, kesenian, dan perlunya keterampilan sesuai dengan bakat dan minat tentu erat kaitannya dengan perkembangan jiwa seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan yang bersifat spiritual mendapat penekanan yang lebih. Menurut Hasan Langgulung, salah satu fungsi tujuan pendidikan adalah sebagai alat untuk menentukan haluan pendidikan yang terbagi pada tiga tahap, yaitu tujuan khusus (objectivies), tujuan umum (goals), dan tujuan akhir (aims).8 Apabila dikaitkan dengan rumusan tujuan pendidikan Ibnu Sina di atas, maka tujuan akhir adalah "pengembangan akal". Sebab, bagi Ibnu Sina akal (intellect) adalah puncak dari kejadian ini. Walaupun para pakar pendidikan yang terkemudian memberi definisi yang berbeda dengan Ibnu Sina, tetapi sebagian besar mereka setuju bahwa akal adalah satu-satunya keistimewaan manusia dibandingkan makhluk-makhluk yang lain. Sementara tujuan yang bersifat khusus (objectives) adalah mencari kerja untuk hidup. Tujuan ini juga bisa disebut tujuan vokasional yang termasuk dalam tujuan khusus. Hal ini dapat dirumuskan berdasarkan tujuan pendidikan keterampilan sesuai dengan bakat minat anak, sebagaimana yang telah disinggung di atas. Dari beberapa tujuan yang dikemukakan di atas, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam menurut Ibnu Sina adalah "mengembangkan potensi anak didik secara optimal sehingga memiliki akal yang sempurna, akhlak yang mulia, sehat jasmani dan rohani serta memiliki keterampilan yang sesuai dengan bakat dan minatnya sehingga ia memperoleh kebahagiaan (sa'âdah) dalam hidupnya”. Kemudian, jika dikaitkan antara tujuan-tujuan yang dikemukakan di atas, jelaslah bahwa Ibnu Sina telah merumuskan tujuan secara sistematis. Tujuan pendidikan Ibnu Sina bersifat hirarkis-struktural. Artinya, di samping memiliki pendapat tentang tujuan pendidikan 8Hasan
Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, cet. III (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995), hlm. 21.
Tadrîs. Volume 5. Nomor 1. 2010
45
Fathor Rachman Utsman
yang bersifat universal (atau tujuan akhir) sebagaimana dikutip pada bagian pertama, juga memiliki pendapat tentang tujuan pendidikan yang bersifat kurikuler atau tiap bidang studi dan tujuan yang bersifat operasional. Hanya saja rumusan tujuan pendidikan Islam Ibnu Sina, selain dari falsafahnya tentang hakikat manusia, juga dipengaruhi oleh perjalanan atau pengalaman hidupnya yang cerdas dengan pemikiranpemikiran brilliant, juga terjun dalam pekerjaan sebagai tabib/dokter sesuai dengan keilmuan yang dikuasainya. Artinya, Ibnu Sina menghendaki orang lain bisa meneladani apa yang telah ia perbuat. Dengan demikian tidak berlebihan jika dikatakan bahwa rumusan tujuan pendidikan Ibnu Sina juga bersifat teoritis-praktis. Kurikulum Kurikulum dalam arti sempit adalah seperangkat mata pelajaran yang harus dikuasai oleh anak didik untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan demikian, ilmu apa saja yang dipelajari dan dikuasai oleh anak didik dapat disebut kurikulum. Ibnu Sina juga menyinggung tentang beberapa ilmu yang perlu dipelajari dan dikuasai oleh anak didik. Abuddin Nata menyimpulkan bahwa rumusan kurikulum Ibnu Sina didasarkan kepada tingkat perkembangan usia anak didik, yaitu:9 a. Usia 3-5 tahun Menurut Ibnu Sina, pada usia ini anak didik perlu diberi mata pelajaran olah raga, budi pekerti, kebersihan, seni suara, dan kesenian. Masing-masing materi ini memiliki tujuan dan cara pengembangannya dapat dilakukan sebagai berikut: Pelajaran olah raga harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan usia anak didik serta bakat yang dimilikinya. Dengan cara demikian dapat diketahui dengan pasti mana saja di antara anak didik yang perlu diberi pendidikan olah raga sekedarnya saja, dan mana saja di antara anak didik yang perlu dilatih berolahraga lebih banyak lagi. Pelajaran olah raga atau gerak badan tersebut diarahkan untuk membina kesempurnaan pertumbuhan fisik anak dan fungsi organ tubuh secara optimal. Hal ini penting mengingat 9Nata,
46
Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, hlm. 70-74.
Tadrîs. Volume 5. Nomor 1. 2010
Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina
fisik adalah tempat bagi jiwa yang harus dirawat agar tetap sehat dan kuat. Adapun pelajaran akhlak/budi pekerti diarahkan untuk membekali anak agar memiliki kebiasaan sopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari. Pelajaran budi pekerti ini sangat dibutuhkan dalam rangka membina kepribadian anak sehingga jiwanya menjadi suci dan terhindar dari perbuatan-perbuatan buruk yang dapat mengakibatkan jiwanya rusak dan sulit diperbaiki kelak pada usia dewasa. Dengan demikian, Ibnu Sina memandang pelajaran akhlak sangat penting ditanamkan kepada anak sejak usia dini. Sedangkan pelajaran pendidikan kebersihan juga mendapat perhatian Ibnu Sina. Pendidikan ini diarahkan agar anak memiliki kebiasaan mencintai kebersihan yang juga menjadi salah satu ajaran mulia dalam Islam. Untuk pendidikan seni suara dan kesenian diperlukan agar anak memiliki ketajaman perasaan dalam mencintai serta meningkatkan daya khayalnya. Jiwa seni perlu dimiliki sebagai salah satu upaya untuk memperhalus budi yang pada gilirannya akan melahirkan akhlak yang senang keindahan. Dari keempat pelajaran yang perlu diberikan kepada anak pada usia 3–5 tahun, menunjukkan bahwa Ibnu Sina telah memandang penting pendidikan pada usia dini. b. Usia 6 -14 tahun Kurikulum untuk anak usia 6 - 14 tahun menurut Ibnu Sina adalah mencakup pelajaran membaca dan menghafal al-Qur'an, pelajaran agama, pelajaran sya'ir, dan pelajaran olah raga. Pelajaran al-Qur'an dan pelajaran agama yang paling utama diberikan kepada anak yang sudah mulai berfungsi rasionalitasnya. Pelajaran membaca dan menghafal al-Qur'an menurut Ibnu Sina berguna di samping untuk mendukung pelaksanaan ibadah yang memerlukan bacaan ayat-ayat al-Qur'an, juga untuk mendukung keberhasilan dalam mempelajari agama Islam seperti pelajaran tafsir al-Qur'an, fiqih, tauhid, akhlak dan pelajaran agama lain-nya yang sumber utamanya adalah al-Qur'an. Pelajaran keterampilan diperlukan untuk mempersiapkan anak agar mampu mencari penghidupannya kelak. Dalam pendidikan modern pelajaran ini dikenal dengan vokasional. Pelajaran sya'ir Tadrîs. Volume 5. Nomor 1. 2010
47
Fathor Rachman Utsman
dibutuhkan pada usia ini sebagai lanjutan dari pelajaran seni pada tingkat sebelumnya. Anak perlu menghafal sya'ir-sya'ir yang mengandung nilai-nilai pendidikan dalam menuntun perilakunya, di samping petunjuk al-Qur'an dan Sunnah. Pelajaran olah raga harus disesuaikan dengan tingkat usia ini. Dari sekian banyak olahraga, menurut Ibnu Sina yang perlu dimasukkan ke dalam kurikulum atau rancangan mata pelajaran adalah olah raga adu kekuatan, meloncat, jalan cepat, memanah, berjalan dengan satu kaki dan mengendarai unta. Tentu semua ini berdasarkan kebutuhan anak dan disuasaikan dengan tingkat perkembangannya. Berdasarkan pemikiran di atas, jika pada usia 3-5 tahun lebih ditekankan pada aspek afektif atau pendidikan akhlak, maka pada usia 6-14 tahun telah diberikan pelajaran yang menyentuh aspek kognitif. Bahkan pada usia ini telah diajarkan al-Qur'an dengan membaca, menghafal dan memahami tata bahasanya. Dengan demikian, aspek afektif dan psikomotorik sudah banyak mendapat sentuhan. Hal ini beralasan mengingat pada usia ini, otak anak didik telah berkembang dan mulai mampu memahami persoalan yang abstrak. c. Usia 14 tahun ke atas Pada usia 14 tahun ke atas, Ibnu Sina memandang mata pelajaran yang harus diberikan kepada anak berbeda dengan usia sebelumnya. Mata pelajaran yang dapat diberikan kepada anak usia 14 tahun ke atas, sangat banyak jumlahnya. Namun pelajaran tersebut perlu dipilih sesuai dengan bakat dan minat anak. Ini menunjukkan perlu adanya pertimbangan dengan kesiapan anak didik. Dengan cara demikian, anak akan memiliki kesiapan untuk menerima pelajaran tersebut dengan baik. Ibnu Sina menganjurkan kepada para pendidik agar memilih jenis pelajaran yang berkaitan dengan keahlian tertentu yang dapat dikembangkan lebih lanjut oleh anak didiknya. Jadi, pada usia ini, anak didik diarahkan untuk menguasai suatu bidang ilmu tertentu (spesialisasi bidang keilmuan). Di antara mata pelajaran tersebut dapat dibagi ke dalam mata pelajaran yang bersifat teoritis dan praktis. Tampaknya pembagian 48
Tadrîs. Volume 5. Nomor 1. 2010
Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina
ini dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles yang juga membagi ilmu secara teoritis dan praktis. Akan tetapi, Ibnu Sina banyak menambahkan ilmu-ilmu lain ke dalam kelompok ilmu yang bersifat teoritis dan praktis yang berdasarkan kepada ajaran Islam. Adapun ilmu-ilmu pada masing-masing kelompok tersebut adalah: 1) Ilmu yang bersifat teoritis meliputi: a) ilmu tabi'i, (mencakup ilmu kedokteran, astrologi, ilmu firasat, ilmu sihir (tilsam), ilmu tafsir mimpi, ilmu niranjiyat, dan ilmu kimia;), b) ilmu matematika; c) ilmu ketuhanan, disebutnya ilmu paling tinggi (mencakup ilmu tentang cara-cara turunnya wahyu, hakikat jiwa pembawa wahyu, mu'jizat, berita ghaib, ilham, dan ilmu tentang kekekalan ruh, dan sebagainya). 2) Ilmu yang bersifat praktis, meliputi: a) ilmu akhlak; b) ilmu pengurusan rumah tangga, c) ilmu politik, terutama dalam kehidupan bermasyarakat yang menginginkan tegaknya keadilan dengan menetapkan undang-undang dan syariat. Dari uraian pemikiran Ibnu Sina tentang kurikulum di atas, dapat dipahami bahwa konsep kurikulum yang ditawarkannya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Pertama, dalam penyusunan kurikulum hendaklah mempertimbangkan aspek psikologis anak. Oleh karena itu, mengenal psikologi anak sangat penting dilakukan yang dalam kajian pendidikan modern mencakup tugas perkembangan pada setiap fase perkembangan, mengenal bakat minat, serta persoalan-persoalan yang dihadapi masing-masing tingkat perkembangan. Dengan begitu maka mata pelajaran yang diberikan sesuai dengan kebutuhan dan akan mudah dikuasai oleh anak didik. Kedua, kurikulum yang diterapkan harus mampu mengembangkan potenanak secara optimal dan harus seimbang antara jasmani, intelektual, dan akhlaknya. Namun masing-masing unsur tersebut mendapat penekanan lebih pada masing-masing tingkat usia. Pada usia dini, pendidikan akhlak harus lebih ditekankan. Pada usia remaja diseimbangkan antara afektif, psikomotorik dan kognitif. Sedangkan pada usia 14 tahun ke atas ditekankan pada pendalaman materi sesuai dengan keahlian dan kesenangan anak. Ketiga, kurikulum yang ditawarkan Ibnu Sina bersifat pragmatisfungsional, yakni dengan melihat segi kegunaan dari ilmu dan keteTadrîs. Volume 5. Nomor 1. 2010
49
Fathor Rachman Utsman
rampilan yang dipelajari sesuai dengan tuntutan masyarakat, atau berorientasi pasar (marketing oriented). Dengan cara demikian, setiap lulusan pendidikan akan siap difungsikan dalam berbagai lapangan pekerjaan yang ada di masyarakat. Keempat, kurikulum yang disusun harus berlandaskan kepada ajaran dasar dalam Islam, yaitu al-Qur'an dan Sunnah sehingga anak didik akan memiliki iman, ilmu, dan amal secara integral. Hal ini dapat dilihat dari pelajaran membaca dan menghafal al-Qur'an yang ditawarkan oleh Ibnu Sina sejak usia kanak-kanak. Kelima, kurikulum yang ditawarkan adalah kurikulum berbasis akhlak dan bercorak integralistik. Pentingnya pendidikan seni dan syair merupakan bukti bahwa Ibnu Sina memberikan perhatian yang serius terhadap pendidikan akhlak. Sedangkan perhatian Ibnu Sina terhadap pendidikan al-Qur'an sejak dini membuktikan ia memahami bahwa semua ilmu berasal dari Allah dan harus terintegrasi antara iman, ilmu, dan amal. Metode Pembelajaran Ibnu Sina juga memiliki beberapa konsep metode pembelajaran. Pada dasarnya metode pembelajaran yang ia tawarkan memiliki perbedaan antara materi yang satu dan materi pelajaran lainnya. Artinya, pemilihan dan penetapan metode harus mempertimbangkan karakteristik dari masing-masing materi pelajaran, di samping juga harus mempertimbangkan tingkat perkembangan/psikologis anak didik. Hal itu bisa dilihat dari beberapa metode yang ditawarkannya. Menurut Abuddin Nata, di antara metode yang ditawarkan Ibnu Sina adalah metode talqin, demonstrasi, pembiasaan dan teladan, diskusi, magang, dan penugasan.10 Ketujuh metode pembelajaran ini akan dijelaskan di bawah ini, ditambah lagi dengan metode dera dan hukuman (metode targhîb dan tarhîb).11
10Ibid.,
hlm. 74-76. ini merupakan temuan Ali al-Jumbulati dalam mengkaji pemikiran pendidikan Ibnu Sina. Pendapat ini dikutip juga oleh Mohammad Kosim dalam tilisannya tentang, Analisis Kritis Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina, (4 Februari 2009). yang ditulis di http://mhdkosim.blogspot.com/2009/02/makalah-filsafat-pendidikanislam_04.html. Diambil pada hari Ahad, 21 Juni 2009 11Metode
50
Tadrîs. Volume 5. Nomor 1. 2010
Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina
a. Metode talqîn; perlu digunakan dalam mengajarkan membaca alQur'an, mulai dengan cara memperdengarkan bacaan al-Qur'an kepada anak didik, sebagian demi sebagian. Setelah itu anak tersebut disuruh mendengarkan dan mengulangi bacaan tersebut perlahan-lahan dan dilakukan berulang-ulang, hingga akhirnya ia hafal. b. Metode demonstrasi; dapat digunakan dalam pembelajaran yang bersifat praktik, seperti cara mengajar menulis. Menurut Ibnu Sina jika seorang guru akan mempergunakan metode tersebut, maka terlebih dahulu ia mencontohkan tulisan huruf hijaiyah di hadapan murid-muridnya. Setelah itu barulah menyuruh para murid untuk mendengarkan ucapan huruf-huruf hijaiyah sesuai dengan makhrajnya dan dilanjutkan dengan mendemonstrasikan cara menulisnya. c. Metode pembiasaan dan keteladanan; termasuk salah satu metode pengajaran yang paling efektif, khususnya dalam mengajarkan akhlak. Cara tersebut secara umum dilakukan dengan pembiasaan dan teladan yang disesuaikan dengan perkembangan jiwa anak. Ibnu Sina mengakui adanya pengaruh "mengikuti atau meniru" atau contoh tauladan baik dalam proses pendidikan di kalangan anak pada usia dini terhadap kehidupan mereka, karena secara thabî'îyah anak mempunyai kecenderungan untuk mengikuti dan meniru (mencontoh) segala yang dilihat, di rasakan dan yang didengarnya. d. Metode diskusi; dapat dilakukan dengan cara penyajian pelajaran di mana siswa di hadapkan kepada suatu masalah yang dapat berupa pertanyaan yang bersifat problematis untuk dibahas dan dipecahkan bersama. Ibnu Sina mempergunakan metode ini untuk mengajarkan pengetahuan yang bersifat rasional dan teoritis. Pengetahuan model ini pada masa Ibnu Sina berkembang pesat. Jika pengetahuan tersebut diajarkan dengan metode ceramah, maka para siswa akan tertinggal jauh dari perkembangan ilmu pengetahuan tersebut. e. Metode magang; Ibnu Sina telah menggunakan metode ini dalam kegiatan pengajaran yang dilakukannya. Para murid Ibnu Sina yang mempelajari ilmu kedokteran dianjurkan agar menggabungkan teori dan praktik. Metode ini akan menimbulkan manfaat ganTadrîs. Volume 5. Nomor 1. 2010
51
Fathor Rachman Utsman
da, yaitu di samping akan membuat anak didik mahir dalam suatu bidang ilmu, juga akan mendatangkan keahlian dalam bekerja yang menghasilkan kesejahteraan secara ekonomis. f. Metode penugasan; dilakukan dengan menyusun sejumlah modul atau naskah kemudian menyampaikan kepada para murid untuk dipelajarinya. Cara ini antara lain ia lakukan kepada salah seorang muridnya bernama Abu ar-Raihan al-Biruni dan Abi Husain Ahmad as-Suhaili. Dalam bahasa Arab, pengajaran dengan penugasan ini dikenal dengan istilah al-ta'lîm bi al-marâsil (pengajaran dengan mengirimkan sejumlah naskah atau modul). g. Metode targhîb dan tarhîb; dalam pendidikan modern dikenal istilah reward yang berarti ganjaran, hadiah, penghargaan atau imbalan dan merupakan salah satu alat pendidikan dan berbentuk reinforcement yang positif, sekaligus sebagai motivasi yang baik. Namun, dalam keadaan terpaksa, metode hukuman (tarhîb) atau punishment dapat dilakukan dengan cara diberi peringatan dan ancaman lebih dulu. Jangan menindak anak dengan kekerasan, tetapi dengan kehalusan hati, lalu diberi motivasi dan persuasi dan kadang-kadang dengan muka masam atau dengan cara agar ia kembali kepada perbuatan baik. Tetapi jika sudah terpaksa memukul, cukuplah pukulan sekali yang menimbulkan rasa sakit, dan dilakukan setelah diberi peringatan keras (ultimatum) dan menjadikan sebagai alat penolong untuk menimbulkan pengaruh yang positif dalam jiwa anak. Dari beberapa metode yang diuraikan di atas, menunjukkan bahwa Ibnu Sina memberikan perhatian yang serius terhadap pendidikan. Paling tidak ada empat karakteristik metode yang ditawarkan oleh Ibnu Sina, yaitu: pertama, pemilihan dan penerapan metode harus disesuaikan dengan karakteristik materi pelajaran; kedua, metode juga diterapkan dengan mempertimbangkan psikologis anak didik, termasuk bakat dan minat anak; ketiga, metode yang ditawarkan tidaklah kaku, akan tetapi dapat berubah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anak didik; dan keempat, ketepatan dalam memilih dan menerapkan metode sangat menentukan keberhasilan pembelajaran.
52
Tadrîs. Volume 5. Nomor 1. 2010
Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina
Konsep Guru Guru memiliki peran sangat penting dalam pendidikan. Ibnu Sina pun menulis beberapa pemikirannya tentang konsep guru, terutama menyangkut tentang guru yang baik. Menurutnya, guru yang baik adalah guru yang berakal cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik akhlak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan main-main di hadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan santun, bersih dan suci murni12. Kemudian Ibnu Sina juga menambahkan bahwa seorang guru itu sebaiknya dari kaum pria yang terhormat dan menonjol budi pekertinya, cerdas, teliti, sabar, telaten dalam membimbing anak-anak, adil, hemat dalam penggunaan waktu, gemar bergaul dengan anakanak, tidak keras hati dan senantiasa menghias diri. Selain itu guru juga harus mengutamakan kepentingan umat daripada kepentingan diri sendiri, menjauhkan diri dari meniru sifat raja dan orang-orang yang berakhlak rendah, mengetahui etika dalam majelis ilmu, sopan dan santun dalam berdebat, berdiskusi dan bergaul. Ibnu Sina juga menekankan agar seorang guru tidak hanya mengajarkan dari segi teoritis saja kepada anak didiknya, melainkan juga melatih segi keterampilan, mengubah budi pekerti dan kebebasannya dalam berfikir. Ia juga menekankan adanya perhatian yang seimbang antara aspek penalaran (kognitif) yang diwujudkan dalam pelajaran bersifat pemahaman; aspek penghayatan (afektif) yang diwujudkan dalam pelajaran bersifat perasaan; dan aspek pengamalan (psikomotorik) yang diwujudkan dalam pelajaran praktik. Rumusan di atas menunjukkan bahwa Ibnu Sina menginginkan seorang guru memiliki kompetensi keilmuan yang bagus, berkepribadian mulia dan kharismatik sehingga dihormati dan menjadi idola bagi anak didiknya. Hal ini penting, sebab jika guru tidak memiliki wawasan yang luas tentang materi pelajaran yang diasuhnya dan kurang memiliki kharismatik, tentulah anak didik kurang menyukainya. Jika hal itu terjadi, maka ilmu akan sulit didapat, meskipun diketahui tetapi keberkahannya jelas berkurang.
12Tolhah
Hasan, Dinamika Pemikiran , hlm. 119.
Tadrîs. Volume 5. Nomor 1. 2010
53
Fathor Rachman Utsman
Aplikasi Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina dalam Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia Dari beberapa pemikiran Ibnu Sina tentang pendidikan Islam yang telah diuraikan di atas, ada beberapa pemikirannya yang menurut penulis tetap relevan untuk diaktualisasikan dalam pelaksanaan pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini. Bahkan aktualisasi pemikiran Ibnu Sina ini bisa menjadi pendidikan alternatif dalam mewujudkan pendidikan Islam yang mampu menjawab tantangan zaman. Adapun yang perlu mendapat perhatian dari pemikiran Ibnu Sina tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, pentingnya pendidikan anak usia dini. Di Indonesia dalam konteks ini sudah cukup serius melangsungkan proses pendidikan sejak dini, terutama dengan maraknya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Anak usia dini menurut Ibnu Sina perlu diperhatikan secara serius dan harus mendapatkan pendidikan yang maksimal terutama dalam hal pembiasaan anak melakukan perbuatan-perbuatan yang baik, karena masa ini akan menentukan karakter dan tingkat perkembangan pendidikan anak pada masa yang akan datang. Kedua, pentingnya pendidikan akhlak. Sebagaimana yang diuraikan di atas, pendidikan akhlak menjadi salah satu tujuan pendidikan dalam pemikiran Ibnu Sina. Pentingnya pendidikan akhlak ini juga tergambar dalam kurikulum yang ia tawarkan, serta metode dan sikap guru yang mengutamakan keteladanan di samping kompetensi keilmuan. Dalam konteks pendidikan Islam di Indonesia, pendidikan akhlak memang menjadi prioritas penting. Bahkan akhlak mulia menjadi salah satu indikator penting dalam rumusan tujuan Pendidikan Nasional (pasal 3 UU Sisdiknas Tahun 2003). Namun dalam tataran pelaksanaan pendidikan akhlak, tampaknya belum ditemukan formulasi yang tepat dan jelas. Padahal persoalan akhlak menjadi problema utama yang terjadi di negeri ini. Oleh karena itu, perhatian tokoh dan praktisi pendidikan, khususnya pendidikan Islam di Indonesia sangat dibutuhkan untuk membangun karakter (caracter building) bangsa ini ke arah yang lebih bermartarbat dan terhormat. Perhatian itu hendaknya terwujud dalam kebijakan pendidikan, seperti rekruitmen guru harus mempertimbangkan kepribadiannya, bukan hanya melalui tes tertulis secara kognitif, kurikulum yang diterapkan hendaknya berbasis akhlak, sekolah-sekolah yang mela54
Tadrîs. Volume 5. Nomor 1. 2010
Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina
kukan kecurangan harus ditindak tegas, dan sebagainya. Selain itu perlu ada perubahan paradigma bahwa persoalan akhlak bukan hanya tugas guru agama saja, akan tetapi juga menjadi tugas semua guru, terutama guru yang beragama Islam secara bersama bertanggung jawab menerapkan pendidikan akhlak (sesuai tuntunan Islam). Ketiga, pendidikan al-Qur'an sebagai model. Ibnu Sina yang sering dikenal dunia internasional sebagai ahli di bidang kedokteran (termasuk rumpun sains) dan filosof, ternyata memahami benar tentang alQur'an. Bahkan pada usia yang masih muda, sekitar 10 tahun, ia telah menghafal seluruh al-Qur'an. Itu artinya al-Qur'an sangat menentukan keberhasilan Ibnu Sina sebagai seorang ilmuan tiada tandingan di masanya. Tampaknya ia juga menyadari pengaruh al-Qur'an tersebut sehingga ia menawarkan pentingnya mempelajari al-Qur'an yang dimulai sejak dini bahkan perlu mengajarkan untuk menghafalnya pada usia 6 - 14 tahun. Dalam konteks pendidikan Islam di Indonesia, tampaknya pendidikan al-Qur'an kurang mendapat perhatian serius. Tingkat Sekolah Dasar, misalnya, masih lebih memfokuskan belajar baca tulis alQur'an, sementara di madrasah, al-Qur'an hanya menjadi salah satu pelajaran yang digabung dengan Al-Qur’an-Hadits, itu pun kadangkadang kurang maksimal. Untuk itu orang tua harus mengajarkan alQur'an sejak dini kepada anaknya. Sementara pihak sekolah, seharusnya mengintegrasikan ayat-ayat al-Qur'an ke seluruh mata pelajaran, khususnya untuk tingkat pendidikan SMP/MTs dan MA/SMA. Dalam hal ini, seluruh guru bidang studi perlu mendapat pelatihan dan pembinaan khusus untuk dapat mengintegrasikan ayat-ayat al-Qur'an tersebut ke dalam pelajaran yang diasuhnya. Dengan upaya ini, diharapkan anak didik akan merasa semakin dekat dengan al-Qur'an serta akan lahir generasi penerus Ibnu Sina sebagai "ulama yang ilmuwan, atau ilmuwan yang ulama". Keempat, pendidikan yang berorientasi kepada jiwa (al-nafs). Salah satu pemikiran penting Ibnu Sina dalam filsafat adalah konsep jiwa. Jika ditelusuri pemikiran pendidikan Islam Ibnu Sina tampaknya akan diarahkan kepada pengembangan potensi anak didik agar memiliki tingkat jiwa yang tertinggi. Penulis memahami bahwa konsep jiwa yang ditawarkannya telah mencakup kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual sebagaimana yang dikenal dewasa ini, bahkan Tadrîs. Volume 5. Nomor 1. 2010
55
Fathor Rachman Utsman
melebihi dari konsep itu. Oleh karena itu, pendidikan harus berorientasi kepada kecerdasan jiwa tersebut. Salah satu di antaranya yang terpenting adalah perlunya pendidikan penyucian jiwa (tazkiyah al-nafsiyyah). Dengan jiwa yang suci, niscaya akan memudahkan anak didik menguasai berbagai ilmu yang dipelajarinya serta mudah pula dibina kepribadiannya. Tegasnya, pendidikan yang berorientasi kepada jiwa (al-nafs) dapat mencerdaskan anak didik sekaligus membentuk kepribadian yang berakhlak mulia. Profil anak didik seperti sangat dibutuhkan dalam konteks kekinian. Kelima, perlu membangun paradigma pendidikan non-dikotomik, atau pendidikan integralistik. Dari beberapa pemikiran Ibnu Sina di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan yang diinginkan bersifat integral atau nondikotomik. Integralistik itu dapat dilihat antara jasad dan rohani, teoritis dan praktis, serta ilmu "umum" dengan "agama". Adanya paradigma integralistik atau nondikotomik telah membuat Ibnu Sina sebagai seorang saintis sekaligus ulama terkemuka, paling tidak ke-ulama’-annya dapat dilihat dari pemikiran filsafatnya serta penguasaannya terhadap ilmu al-Qur'an. Akhirnya, teori-teori yang dihasilkannya tetap berlandaskan kepada ajaran Islam. Dalam konteks pendidikan di Indonesia, paradigma semacam ini harus terbangun. Adanya istilah "pendidikan umum" dan "pendidikan agama" yang biasa dikenal di negeri ini sering kali menimbulkan paradigma dikotomik yang mempertentangkan antara satu ilmu dengan yang lain. Paradigma semacam ini menimbulkan beberapa persoalan, seperti: ilmu yang dimiliki tidak mengantarkan seseorang untuk dekat dengan Allah, sikap beragama hanya urusan privasi seseorang, pembinaan akhlak hanya tugas guru agama yang banyak berbicara tentang nilai, kecenderungan hidup pragmatis-materialistik lebih menguat, dan sebagainya. Oleh karena itu, pemikiran Ibnu Sina ini patut diaktualisasikan dalam mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas: beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta cerdas dalam menyelesaikan berbagai persoalan sehingga menemukan kebahagiaan hakiki, baik di dunia maupun di akhirat. Penutup Dari uraian pemikiran pendidikan Ibnu Sina di atas, dapat disimpulkan bahwa proses pendidikan harus diberikan sejak usia dini hing56
Tadrîs. Volume 5. Nomor 1. 2010
Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina
ga pada masa dewasa dengan cara melihat aspek psikologis anak didik. Masing-masing tingkatan usia tersebut memerlukan materi tertentu sesuai dengan tingkat kemampuan/psikologis anak. Pada usia dini lebih ditekankan pada aspek afektif/akhlak, pada usia remaja, akan dikenalkan berbagai ilmu-ilmu dasar, sementara itu, pada usia dewasa diarahkan kepada keahlian atau spesifikasi keilmuan sesuai dengan bakat dan minatnya. Kurikulum tersebut sudah bersifat hirarkis-sturuktural. Metode pembelajaran harus mempertimbangkan aspek psikologis anak dan jenis materi pelajaran yang diberikan. Dalam penyajian metode ini, seorang guru harus memerhatikan pembinaan akhlak, baik akhlak guru sendiri sebagai teladan maupun perilaku anak didik yang harus diarahkan kepada yang baik. Oleh karena itu seorang guru selain dituntut untuk cerdas dan kompeten dalam bidangnya, juga dituntut memiliki akhlak yang mulia, penuh kharisma sehingga menjadi teladan dan idola bagi anak didiknya. Pemikiran Ibn Sina di atas membuktikan bahwa ia adalah seorang tokoh pendidikan Islam, di samping bidang-bidang lain yang dikuasainya. Oleh karena itu di antara pemikirannya patut dianalisis dan perlu dijadikan referensi dalam pengembangan pendidikan Islam saat ini. Dalam hal ini, pemikirannya patut dikembangkan dan diaktualisasikan karena dianggap relevan dengan kondisi pendidikan Islam, khususnya di Indonesia. Wa Allâh a’lam bi al-Shawâb.*
Daftar Pustaka Dacholfany, M. Ihsan. “Sistem dan Pendidikan Menurut Ibnuu Sina”. Makalah ini ditulis dalam Bahasa Malaysia di http://www.teknologipendidikan.net/sistem-dan-pendidikan-menurut-Ibnuu-sina. Hasan, Muhammad Tolhah. Dinamika Pemikiran tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Lantabora Press, 2006. Kosim, Mohammad. “Analisis Kritis Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina”. Dalam http://mhdkosim.blogspot.com/2009/02/makalah-filsafatpendidikan-islam_04.html.
Tadrîs. Volume 5. Nomor 1. 2010
57
Fathor Rachman Utsman
Langgulung, Hasan. Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, cet. III Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995. Marimba, Ahmad D. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1990. Nata, Abuddin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Suatu Kajian Filsafat Pendidikan Islam, cet. III. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003. Tholkhah, Imam dan Barizi, Ahmad. Membuka Jendela Pendidikan; Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
58
Tadrîs. Volume 5. Nomor 1. 2010