66
PEMIKIRAN FIQIH IBN QAYYIM AL- JAWZIYAH
TATANG APENDI Dosen Universitas Kutai Kartanegara
Abstract: Qayyim al-Jawziyah is fiqh expert who is strictly bound to ulama salf’s method in the strong reference to nas of al-Qur’an and Hadith. This can be seen in the prinsciples of making legal conclusion which are not very diffent from those of Hambali school; namely the nas al-Qur’an Hadith, ijma, companions’ fatwa, qiyas, istishab, maslahah mursalah, sad al-dhari’ah, and ‘urf. Besides, with his fiqh thought, he is keen on eliminating taqlid, hilah (an effort to avoid law), using ijtihad, and referring to al-Qur’an and Hadith in solving controversial opinions. Ibn Qayyim’s freedom in his opinion is influenced by the political and social setting in which he lived, because despite his living in the period of stagnant thought and the speard of taqlid among Islam community, the anti-democratic ruling of Mamalik made ulama, in general, critical and strict againt the ruler. On the other hand, he was also very intent in making ijtihad and inviting Islamic people not to be strictly bound to one school, because that will end up in the emergence of excessive fanatism because of the taqlid to imam of that school. Keywords: Fiqh, Ijtihad, Istinbat al-hukm.
IBN al-Qayyim (begitu dia banyak disebut oleh para penulis), dikenal sebagai ulama yang mengusai berbagai studi keislaman, seperti fiqh, usul al fiqh, usul al-din, tasawuf, tafsir, hadith dan pendidikan Islam. Sebagai pakar dalam bidang fiqih menarik perhatian untuk diteliti lebih jauh, sebab, walaupun ia hidup di masa stagnasi pemikiran umat Islam dan tertutupnya pintu ijtihad, menurut sebagian besar ulama masanya, ia justru menganjurkan para ulama Islam untuk giat melakukan ijtihad dan menggunakan akalnya untuk berpikir liberal; dan di sisi lain, ia mengharamkan taqlid bagi ulama Islam Statemen seperti itu bisa dilihat dalam kegiatannya sebagai pemikir Islam. Misalnya, sebagai pengikut Madhhab Hambali, sebagaimana gurunya Ibn Taymiyah, ternyata dalam banyak masalah, ia berbeda pendapat dengan imam madhhadnya; tapi justru pendapatnya sama dengan madhhab lainnya. Bahkan , dalam banyak kasus, ia memiliki pendapat sendiri dan berbeda sama sekali dengan pendapat imam – imam madhhab tersebut. Oleh karena itu, ia bisa disebut sebagai seorang mujtahid liberal, karena pendapatnya dalam beberapa masalah tidak terikat oleh salah satu madhhab. Bertitik tolak dari latar belakang masalah seperti terurai di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul “Pemikiran Fiqih Ibn Qayyim al-Jawziyah”. Untuk mengetahui sekilas pemikirannya mengingat keterbatasan penulis, maka pembahasan dalam makalah ini difokuskan pada masalah prinsip-prinsip yang dipegangi dalam
Jurnal Cemerlang Volume III, Nomor 1, Juni 2015
67
istinbat hukum, metode yang ditempuhnya, dan sasaran yang ingin dicapai dengan pola pemikiran seperti itu. KONSEP PRINSIP IBN AL-QAYYIM DALAM ISTIBAT HUKUM Adapun prinsip-prinsipnya dalam istinbat hukum ialah berpegang pada: 1. Nass-nass Al-Qur’an dan Hadiith Nabi SAW. Ibn al-Qayyim berpendapat bahwa teks-teks Al-Qur’an dan Hadith merupaka rujukan utama dalam istinbat hukum. Maka seorang faqih harus melihat kedua sumber dalam mencari hukum suatu masalah; dan tidak pantas untuk menolak ke sumber lainnya selama hal itu bisa ditemukan dalam keduanya. Dalam kaitan dengan masalah ini, ia mengutip beberapa dalil yang mengharamkan berfatwa dengan sesuatu yang bertentangan dengan teks-teks Al-Qur’an, antara lain dalam QS. Al-Ma’idah (5): 44, 45, dan 47; an-Nahl (16) : 116; an-Nur (24) : 51; dan Al-Ahzab (33): 36. Untuk memperkuat argumentasinya, ia juga mengutip hadith-hadith yang valid untuk dijadikan hujjah hukum. Dalam hubungannya dengan masalah diatas, Ibn al-Qayyim adalah tokoh yang sangat berhati-hati dalam menetapkan suatu Hadith sebagai sebagai dalil hukum; sebab selain sebagai tokoh Salaf yang sangat kuat dalam berpegang pada Hadith Nabi, ia juga seorang ahli Hadith (al-muhaddith) yang berlian dan mengetahui banyak hadith, sehingga dengan mudahnya ia bisa memelih HadithHadith yang sahih sebagai dalil hukum dan menolak Hadith-hadith yang berlawanan dengannya, karena Hadith yang demikian itu pasti tidak kuat (al-da’if). Hal itu didasarkan pada pendapatnya bahwa Hadith-hadith yang sahih tidak mungkin saling berlawanan. 2. Ijma (konsesus ulama). Berkaitan dengan masalah ini, Ibn Qayyim al-Jawziyah berkata, “Sesungguhnya pengetahuan seorang mujtahid tentang hukum yang didasarkan pada al-Qur’an maupun Hadith jauh lebih dari dibanding untuk mengetahui konsensus ulama barat dan timur tentang suatu Hukum. Yang demikian ini jika tidak dikatakan mustahil, agaknya hal itu suatu yang paling sulit dan berat dilakukan jika bukan keharudsan agama.” Pernyataan Ibn al-Qayyim di atas mengisyaratkan bahwa ijma yang diambilanya sebagai dalil hukum ialah suatu ketetapan yang tidaka diketahui ada yang menentangnya. Dalam hal ini ia mengutip ucapan Ima Ahmad yang mengatakan, “Barang siapa mengaku/mengklaim bahwa ia mengetahui ijma maka ia adalah pembohong, sebab mungkin banyak pendapat lain yang menentangnya; tetapi dia tidak mengetahui atau tidak memperhatikannya; karenanya lebih baik jika ia mengatakan kami tidak mengetahui ada yang menentangnya.” Adapun ijma menurutnya ada dua tingkatan yaitu: a. Ijma para sahabat dalam beberapa masalah yang diajaukan kepada mereka untuk ditetapkan hukumnya; kemudian mereka mendiskusikannya hingga menemukan suatu ketetapan hukum yang disepakati oleh semuanya. b. Diketahui ada suatu pendapat yang masyhur dan tidak diketahui ada pendapat lainyang menentangnya. Ijma semacam ini berada dibawah Hadith sahih tetapi masih diatas al-Qiyas. Dan jika ada seorang ahli iqih saja yang menentangnya
Jurnal Cemerlang Volume III, Nomor 1, Juni 2015
68
maka ijma semacam ini tidak sah, apalagi jika ada khabar (Hadith yang disandarkan pada Nabi, sahabat atau tabi’in) yang menentangnya maka ia lebih utama untuk dibatalkan keabsahannya. 3. Fatwa Sahabat Fatwa sahabat yang terjadi pada masa Rasulullah SAW. Secara sepakat dipegangai oleh para ulama sebagai dalil Hukum. Hal itu bukan karena mereka berkompeten untuk menjadi shari, tetapi karena fatwa mereka dibenarkan oleh beliau. Adapun fatwa sahabat setelah Rasulullah SAW. Wafat, ada sebagian ulama yang menolaknya seperti Al-Shawkanity dan Al-Ghazaliy. Tetapi Ibn al-Qayyim dan sebagian ulama lainnya menerimanya. Alasan mereka karena para sahabat adalah orang-orang yang paling tahu tentang hukum karena mereka menyaksikan turunnya wahyu dan memahami maksud Rasulullah SAW. , sehingga pendapat mereka adalah pendapat yang terpuji dan tidak bisa disamai oleh generasi sesudahnya. Apalagi sejarah membuktikan bahwa banyak sekali pendapat mereka yang kemudian dibenarkan oleh al-Qur’an. Misalnya pendapat mereka yang kemudian dibenarkan oleh al-Qur’an. Misalanya pendapat Umar RA. Untuk memenggal leher tawanan perang Badar, dan perbuatan Umar mencegah Rasulullah SAW. Untuk menyolati jenazah Abdullah ibn Ubay karena seorang munafik yang keduanya dibenarkan oleh al-Qur’an. Jika terjadi perbedaan fatwa di antara para sahabat, antara Imam Ahmad dan Ibn al-Qayyim ada kesesuaian pendapat, yakni ada tiga kemungkinan yang terjadi: a. Didahulukan fatwa sahabat yang paling tahu tentang keadaan Nabi SAW., sehingga fatwa Khulafa Rashidin lebih diutamakan dari lainnya, fatwa Abu Bakar dan Umar lebih didahulukan dari fatwa Uthman dan Aliy, dan fatwa Abu Bakar lebih didahulukan dari fatwa Umar. b. Jika Sahabat yang berfatwa sederajat, maka didahulukan fatwa yang paling dekat dengan al-Qur’an dan Hadith c. Jika sulit untuk memilih mana yang harus didahulukan karena kesamaan derajat dan kedekatan fatwa mereka dengan al-Qur’an dan Hadith, maka kedua pendapat diambil sehingga dalam masalah itu mereka memiliki dua pendapat. 4. Al-Qiyas Dalam hal al-qiyas ini Ibn Qayyim berpegang pada surat Umar ibn al-Khattab kepada Abu Musa al-Ash’ariy. Dalam surat tersebut, Umar menyuruh untuk memahami hukum yang tidak ada nasnya dalam al-Qur’an dan Hadith dengan melihat hukum semisal (al-nazir) yang sudah ada ketentuan hukumnya dari nas. Selain itu, Ibn al-Qayyim juga melihat bahwa al-Qur’an ditemukan pemakaian al-qiyas (analogi) di banyak tempat. Misalnya: Allah menganalogikan kemungkinan kebangkitan kedua (di Akhirat) dengan kebangkitan pertama. Jika kebangkitan pertama dari tida saja bisa terjadi, apalagi kebangkiatan kedua dari sesuatu yang pernah sudah ada. Analogi seperti diatas adalah analogi akal., dan banyak perumpamaan (al-amthal) dalam al-Qur’an yang pada intinya merupakan analogi akal, sebab dalam penyamaan dua hal tersebut Allah juga menyebutkan kesamaan
Jurnal Cemerlang Volume III, Nomor 1, Juni 2015
69
sifat-sifatnya. Dan itulah hakikat al-qiyas yakni mempersamakan hukum dua masalah karena ada kesamaan illah-nya. Di samping itu, ditemukan dalam banyak ayat al-Quran bahwa Allah menyebutkan ‘illah atau sifat-sifat dalam suatu masalah yang cocok untuk ditetapkan hukum karena keberadaannya dan keberadaannya ‘illah atau sifat tersebut dimaksudkan agar setiap masalah yang memilikinya di tetapkan padanya dimaksud agar setiap masalah yang memilikinya ditetapkan padanya hukum yang sama. Inilah bukti bahwa al-Qur’an membenarkan penerapan al-qiyas. Dalam berdalil dengan al-qiyas, Ibn al-Qayyim menerima qiyas al-tard dan qiyas al-‘aks. Yang pertama ialah penetapan hukum masalah asal (hukm al-asl) pada masalah cabang (al-far’) karena adanya kesamaan ‘illah pada keduanya, dan disebut qiyas al-tard karena hukumnya diterapkan (yattarid) pada semua masalah yang memiliki ‘illah yang sama. Sedang yang kedua, ialah penetapan kebalikan dari hukum masalah asal kepada masalah cabang karena adanya kebalikan ‘illah al-asl pada masalah cabang tersebut. Selanjutnya, dalam mengelaborasi tentang keabsahan al-qiyas sebagai salah satu sumber hukum (metode penyimpulan hukum), Ibn al-Qayyim seperti halnya gurunya, Ibn Taymiyah, mengatakan bahwa al-qiyas cantelan hukum pada al-asl terdapat pada al-far’, tidak mungkin bertentangan dengan shariah, Hadith Nabi, maupun fatwa para sahabat, oleh karenanya bisa dijadikan sebagai salah satu sumber hukum (masadir al-tashri). 5. Al-Istishab Ibn al-Qayyim seperti halnya para pengikut madhhab Hanbali berpegang pada al-istishab dalam menerapkan suatu hukum. Al-istishab ialah penetapan atau penafikan hukum sesuai dengan hukum asalnya, misalnya: kesucian orang yang sudah bersuci tetap melekat padanya hingga terjadi suatu yang membatalkannya, dan dalam hal keraguan tidak bisa mengubah hukum asal. Adapun macam-macamnya ada tiga yaitu: a. istishab al-bara’ah al-asliyah, seperti: tiadk adanya kewajiban shalat fardu keenam. b. istishab al-wasf al-muthbit li al-hukum (tidak berubahnya hukum sesuatu) sampai terjadi kebalikannya, seperti: tetapnya kesucian seseorang yang sudah bersuci sampai terjadi suatu yang membatalkannya. Bersuci adalah sifat, dan implikasi hukumnya adalah sahnya perbuatan yang ia menjadi syarat sahnya, misalnya shalat dan tawaf. c. istishab hukm al-ijma fi mahall al-niza (tidak berubahnya hukum yang disepakati ketika terjadi perselisihan), seperti seseorang yang sedang salat dengan bertayammum, tetap sah salatnya jika ditengah-tengah salat ia melihat ada air. Sebab ijma’ menetapkan bahwa hukum shalat dengan tayammum itu sah. Dalam hal ini, Ibn al-Qayyam berkata bahwa adanya air ketika sedang shalat tidak seharusnya membatalkan hukum yang sudah ada sebelumnya. Persoalan yang muncul kemudian ialah apakah al-istishab bisa menetapkan dan menafikan hak-hak? Al-istishab sebenarnya memiliki dua sisi, yakni sisi positif dan negatif. Sisi positif menetapkan hak-hak dan negative menafikannya. Misalnya,
Jurnal Cemerlang Volume III, Nomor 1, Juni 2015
70
seseorang yang hilang ditetapkan keadaannya hidup ketika hilang). Sisi positifnya yang berhak menerima waris dan wasiat dari muwarrith, dan sisi negatifnya, hartanya tidak boleh berpindah pemilikan karena ia masih hidup. 6. Maslahah Al-Mursalah Ibn al-Qayyim menerimanya sebagai salah satu sumber hukum. Hal ini dilakukan bukan karena mengikuti Madhhab yang dianutnya semata, tetapi ia lebih banyak mendasarkan pendapatannya tersebut pada apa yang dilakukan para sahabatnya terutama ‘Umar ibn al-Khattab, yang paling banyak menerapkan almaslahah dalam menerapkan hukum suatu masalah. Bahkan tidak jarang, apayang di tetapkan ‘Umar berdasarkan maslahat tersebut secara eksplisit bertentangan dengan ketetapan atau hadith Nabi SAW. Misalnya: pada masa Rasulullah, Abu bakar, dan dua tahun dari masa ‘Umar, talak tiga dalam satu majelis dianggap talak satu. Setelah itu, ‘Umar menetapkan bahwa talak tiga dalam satu majelis berarti langsung jatuh tiga talak sehingga menjadi talak ba’in. Pendapat itu di tetapkan ‘Umar demi kemaslahatan, agar para suami tidak bermain-main dengan kata talak. Seperti ucapannya, “Sesungguhnya orang-orang telah tergesa-gesa dalam memutuskan sesuatu padahal mereka bisa bersabar untuk itu, karenannya saya menetapkan hal itu atas mereka. Namun demikian, Ibn al-Qayyim membatasi pemakaian al-maslahah ini tatkala tidak di temui nas dari al-Qur’an atau hadith untuk suatu masalah, Misalanya: ia mewajibkan (penguasa) untuk menetapkan harga barang dipasar demi kemaslahatan umat untuk mengindarkan terjadinya penipuan atau aniaya. Hanya saja, menetapkan harga dalam kondisi normal di mana harga-harga barang wajar tidak terlalu mahal dan tidak ada unsur aniaya, maka hal itu merupakan perbuatan aniaya. Termasuk bila terjadinya kenaikan harga karena suatu hal yang wajar, misalnya: karena sedikitnya barang sedangkan permintaan cukup banyak sehingga berlaku hukum ekonomi yang berkaitan dengan needs and demands. Jadi, penetapan harga oleh pengusaha hanya boleh dilakukan ketika terjadi fluktuasi harga yang irrasional dan tidak dalam kondisi normal atau stabil. Demikian pula jika ada pedagang yang menahan untuk tidak menjual barangnya keculi jika harganya dinaikkan dari harga yang wajar, maka pengusaha boleh intervensi dalam menetapkan harga. 7. Al-‘Urf (kebiasaan/tradisi) Ibn al-Qayyim melihat banyak persoalan hukum yang dipengaruhi oleh al‘urf, dan dalam hal ini ia banyak memberlakukanmya dalam konteks pemakaian bahasa, karena pada masalah itulah al-‘urf banyak dipakai dalam penetapan hukum. Selain itu, ia mencontohkan bahwa seseorah boleh menyembelih hewan ternak milik orang lain ketika diketahui bahwa hewan itu akan mati. Alasannya ialah untuk menjaga fungsi kehartaan dari hewan itu; jika ia mati akan menjadi bangkai dan fungsi tersebut hilang, hal mana akan merugikan pemiliknya. Ketika di permasalahkan bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan shara’ karena termasuk “al-tasarruf fi milk al-ghayr duna idhn minh” (pengelolaan harta milik orang lain tanpa izin dari pemiliknya). Ibn al-Qayyim menjawab bahwa
Jurnal Cemerlang Volume III, Nomor 1, Juni 2015
71
kaidah itu berlaku bila pengelolaan itu justru menghindarkan pemiliknya dari kerugian. Dalam masalah ini, Ibn al-Qayyim juga berpegangan bahwa al-idhn al-‘urfiy ka al-idhin al-lafziy (perkenan berdasarkan kebiasaan memiliki kekuatan hukum seperti perkenan dengan lisan). Dalam kaitan dengan contoh diatas, kebolehan seseorang menyembelih hewan milik orang lain yang terancam bahaya kematian adalah berdasarkan “perkenan menurut kebiasaan”; dan perbuatan seperti itu memiliki kekuatan hukum seperti bila bila sebelunya sudah ada “perkenan secara lisan”n dari pemiliknya. Artinya perbuatannya tidak menyalahi hukum shara’. Bahkan bila “meyembelih” hewan itu pekerjaan yang harus digaji, maka ia berhak menerima gaji dari pemilik hewan yang disembelihnya; meskipun penyembelihan itu tanpa ada izin sebelumnya dari si pemilik. Dengan keberlakuan al-‘urf menunjukan bahwa hukum islam adalah fleksibel/lentur dan tidak kaku, sehingga bisa berlaku sepanjang zaman dan semua tempat. METODE IBN AL-QAYYIM ISTIMBAT HUKUM Pada uraian sebelumnya telah dipaparkan prinsip-prinsip Ibn al-qayyim dalam melalukan istinbat hukum. Seperti diketahui bahwa ada 7 (tujuh) prinsip yang memberlakukannya dalam hal ini, yaitu: nas-nas al-Quran dan hadith Nabi SAW. Ijma, fatma sahabat, al-qiyas, al-istishab, al-istihsan, dan al-‘arf. Setelah mengetahui prinsip-prinsipnya, maka perlu pula diketahui bagaimana metodenya dalam beristinbat hukum. Maksudnya ialah bagaimana Ibn al-Qayyim melakukan ijtihad dalam menetapkan suatu hukum. Dari beberapa kitabnya, ditemukan langkah-langkah yang ditempuhnya ketka dihadapkan kepadanya suatu masalah yang perlu ditetapkan hukumnya. Adapun langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut: 1. Ibn al-Qayyim memaparkan nas-nas al-Qur’an kemudian berusaha untuk menyimpulkan hukum darinya tanpa terikat oleh pendapat-pendapat para fuquha’. Sebagai misal ialah ketika ditanyakan kepadanya masalah bakhi seorang wanita terhadap suaminya. Ia langsung mengutip hadith yang menceritakan kedatangan ‘Aliy ibn Abi Talib bersama istrinya, Fatimah, kepada rasulullah SAW. Menanyakan tentang pembagian tugas diantara mereka. Beliau menjawab bahwa Fatimah harus mengurusi pekerjaan rumah (al-khidmah al-batinah), dan ‘aliy meng-handle urusan di luar rumah (al-khidmah al-zahirah). Ibn al-Qayyim menguatkan argumentasinya dengan mengutip hadith Nabi SAW. Yang disampaikan dalam haji Wada’ yang penggalannya seperti berikut ini “Wa istawsu bi al-nisa khayran fa innama hunna ‘awan indakum’. ( HR. Al-Tirmidhiy). Kata “ awan ‘indakum” artinya mereka adalah “tawaran” bagi kalian, dan kewajiban seorang tawaran ialah mengabdi kepada orang yang menawannya. Selain itu, menurut adat kebiasaan telah dikenal bahkan disepakati bahwa wanita harus
Jurnal Cemerlang Volume III, Nomor 1, Juni 2015
72
berbakti kepada suaminya. Namun, dibalik kewajiban ada hak-hak mereka yang sebanding dengan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para lelaki (suami) (QS.AL-baqarah(2) :228). 2. Memperbanyak dalil-dalil dari nas. Seperti telah di singgung sebelumnya bahwa Ibn al- Qayyim secara intens berusaha memerangi sikap taklid. Untuk itu, ia harus mengemukkan bermacam-macam dalil guna memberantas taklid tersebut. Misalnya: ketika berbicara tentang bagaimna seharusnya seorang dalam melaksanakan salat, ia mengutip 7 (tujuh) buah hadith yang menjelaskan bagai mana tata cara shalat yang benar. 3. Setelah menyimpulkan hukum dari nas-nasnya, Ibn al-Qayyim mengemukakan pendapat-pendapat fuqaha’ dari berbagai maddhab untuk dipilih salah satunya tanpa sifat fanatik, kadang-kadang malah bersikap moderat dengan tidak memihak salah satunya. Sebagai contohnya ialah dalam masalah hadanah (pemeliharaan anak). Pertama-tama ia mengemukakan dalilnya dari hadith riwayat Abu Dawud yang artinya: “Diriwayatkanlah dari Abullah ibn ‘Umar bahwa seorang wanita berkata,” ya Rasullah, sesungguhnya perutku telah menjai tempat bagi anakku, payudaraku telah memberinya minum, dan di pangkuanku ia mendapat pengayoman. Ayahnya telah menceraikanku dan ingin mengambilnya dariku,” maka Rasulullah SAW menjawabnya, “kamu lebih berhak memeliharannya selama belum menikah (lagi).”(HR.Abu dawud). Menurut Ibn al-Qayyim, redaksi kata terakhir menyatakan bahwa al-hadanah adalah haknya ibu. Setelah mengemukakan hadith di atas , ia menguraikan pendapat-pendapat ulama dalam masalah ini. 4. Dikemukakan dalil-dalil hukum yang dipeganginya dan dalil-dalil yang berlawanan, kemudian ia mengemukakan sanggahannya. Misalnya dalam masalah talak yang di jatuhkan oleh suami yang sedang mabuk. Ia berpendapat bahwa talak itu tidak sah, alasannya adalah firmannya dalam QS. Al-Nisa (4): 43. Ucapan seorang yang mabuk tidak mempunyai implikasi hukum karena ia tidak mengetahui apa yang di ucapkan. Selain itu, ‘Uthman ibn Affan dalam salah satu athar-nya berkata “tidak sah talaknya orang gila dan yang sedang mabuk” dalam kasus ini, Ibn al-Qayyim mengambil pendapat Iman al-shafi’iy dan salah satu pendapat Iman Ahmad. Paling tidak ada 7 argumentasi para fuqaha’ yang berpendapat talak seperti itu tidak sah; kemudian Ibn al-Qayyim memberi sanggahan kepada ketujuh argumentasi tersebut, dalam upaya untuk memperkuat pendapatnya bahwa talak tersebut tidak sah. 5. Dalam memperkuat argumentasinya Ibn al-Qayyim tidak cukup hanya mengemukakan dalil-dalil dari al-Qur’an semata. Tetapi ia mengemukakan pula hadith-hadih yang menjelaskan nas-nas al-Qur’an tersebut menurut Ibn al-Qayyim, hadith Nabi SAW. Adalah penjelasan bagi kitab suci al-Qur’an.
Jurnal Cemerlang Volume III, Nomor 1, Juni 2015
73
Sasaran yang ingin dicapai Barang siapa saja yang membaca tulisan Ibn al-Qayyim akan mengatakan bahwa tulisan tersebut mempunyai tujuan mulia, yakni adanya keinginan untuk menyelesaikan dan memperbaiki persoalan masyarakat zamannya. Seperti yang diketahui bahwa masyarakat yang ada ketika itu dalam kondisi lemah sebagai akibat kekacauan dan ketidakpastian yang ditimbulkan oleh munculnya hulagu bersama bala tentara tartar yang membumi hanguskannya Baghdad, hal yang sangat mempengaruhi kondisi umat islam sampai di Damaskus, tempat kelahiran Ibn alQayyim. Selain itu, adanya perselisihan para penguasa islam sendiri yang saling berebut wibawa dan kekuasaan, menybabkan masyarakat dalam kondisi yang tidak menentu. Belum lagi semakin meruncingnya persoalan aliran yang sangat berpengaruh terhadap pemikiran mereka umumnya. Oleh karena itu, hal pertama yang dilakukan Ibn al-Qayyim ialah mengajak umat islam kembali ke madhhab kaum salaf, yaitu aliran yang menggambarkan agama terbebas dari pendapat-pendapat yang menyimpang dan keinginan-keinginan yang menyesatkan. Selain itu, ia juga sangat prihatin terhadap stagnasi pemikiran umat islam yang berdampak pada suburnya sikap taklid dan munculnya rekayasa untuk menghindar dari hukum agama yang biasa disebut dengan “hilah”, dan maksud sebenarnya adalah mempermainkan hukum agama. Karena alasan- alasan itu, ia mengajak umat untuk melakukan ijtihad dan berfikir liberal. Dari beberapa uraian di atas, maka sasaran Ibn al-Qayyim dengan pemikiran-pemikiran fiqihnya ialah, antara lain: 1. Kembali kepada aliran kaum salaf yang berpegang erat kepada al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW. 2. Ajaran untuk berfikir liberal dan tidak berfikir stagnan. 3. Memerangi sikap mempermainkan hukum agama. Sikap seperti itu biasa disebut “al-hilah” yang di definisikan oleh Ibn al-Qayyim sebagai semacam perbuatan/perlakuan yang dengan itu pelakuannya berubah dari satu kondisi ke kondisi lain. Ajaran untuk memahami secara benar jiwa agama (ruh al-din), tidak berhenti pada hal-hal yang tersurat atau terpaku secara kaku (rigid) pada redaksi kata-kata semata.
SIMPULAN Dari uaraian tentang pemikiran fiqih Ibn al-QAyyim al-jawziyah di atas, dapat di simpulkan bahwa: 1. Pada dasarnya ia adalah pengikut madhhab hambali yang dengan kuat berpegang pada manhaj madhhab tersebut dan bukan pendapat qawl-nya. Karena prinsip inilah maka ia kadang kala dalam menetapkan hukum berbeda dengan pendapat madhhabnya tetapi justru sama dengan madhhab lain. Bahkan tidak jarang pula
Jurnal Cemerlang Volume III, Nomor 1, Juni 2015
74
pendapatnya berbeda dengan semua madhhab. Sehingga ia bisa disebut sebagai mujtahid liberal yang tidak terikat oleh madhhab apapun. 2. Setting politik dan sosial yang melingkupi kehidupan Ibn al-Qayyim sangat besar pengaruhnya terhadap pemikirannya yang liberal, dan upaya-upaya yang dilakukan untuk mendobrak kebekuan (stagnasi) pemikiran masyarakat yang berdampak meluasnya sikap taklid. Untuk itu, secara intens dia menganjurkan agar para ulama kembali kepada sumber asli ajaran islam yakni al-Qur’an dan hadith, dan giat melakukan ijtihad untuk mengantisipasi perkembangan hukum islam yang terus berkembang sejalan dengan perkembangan zaman.
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Azim’Abd al-Salam Sharaf al-Din, Ibn Qayyim al-Jawziyah: Asruh wa Manhajuh wa Ara’uh fi al-fiqh wa al-Aqa’id wa al-Tasawwuf, (Kuwait: Dar alQalam, 1984), 104 Ibn Qayyim al-JawZiyah, Zaid al-Ma’ad fi Hady Khayr al-Ibad (ttp: Dar al-Fikr, 1972), Jilid 3, cetakan ke-2, 112 Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madhahib al-Islamiyyah (ttp: Dar al-Fikr alArabiy, tth), Jilid 2, 332 Muhammad Ajjaj al-Khafib, Usul al-Hadith, Ulumuh wa Mustalahuh (Beirut: Dar alFikr, 1989) Muhamad Abu Zahrah, Tarikh al-Madhahib, 332-333 Sharaf al-Din, Ibn Qayyim al-Jawziyah, 254-2556
Jurnal Cemerlang Volume III, Nomor 1, Juni 2015