KONSEP PENDIDIKAN IBN QAYYIM AL-JAUZIYAH (1292-1350 M) Oleh : Muhaemin*
Abstrak:Tulisan ini menggambarkan pemikiran pendidikan Ibn Qayyim alJauziyah dalam perspektif ilmu pendidikan Islam dengan pendekatan psikologis. Konsep tersebut digali dari karya-karya Ibn Qayyim seperti Miftâh Dâr al-Sa’âdah, Tuhfah al-Wadûd bî Ahkâm al-Maulûd dan sejumlah karyanya yang memiliki relevansi dengan pendidikan dan psikologi. Menurut Ibn Qayyim, tujuan pendidikan adalah melahirkan manusia berkepribadian utuh dan mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah secara seimbang. Kata Kunci: Konsep, Ibn Qayyim,Pendidikan Islam, Kepribadian.
I. Pendahuluan Manusia dalam istilah al-Qur'an merupakan totalitas pribadi yang utuh (ahsanu taqwîm). (QS. 95:4). Pada diri manusia terdapat unsur jasmani dan rohani yang membentuk sistem kepribadian manusia dan merupakan ciri khasnya dari makhluk hidup yang lain. (Amin Syukur,2002:vii) Adanya unsur jasmani dan rohani tersebut menghajatkan pendidikan sebagai proses yang akan membantu mengarahkan pertumbuhan, perkembangan dan pemberdayaan seluruh unsur kepribadiannya. Pendidikan yang dilakukan haruslah seimbang dan terpadu. Sebab, ketimpangan dalam pengembangan diri manusia akan sangat mengganggu kepribadian manusia. Ketimpangan yang terjadi bisa meliputi; (1) tubuh sehat dan kuat tetapi akalnya bodoh karena tidak memperoleh pendidikan yang layak. (2) akalnya cerdas dan pandai karena memperoleh ilmu yang memadai, tetapi tubuh atau fisik sakit-sakitan dan lemah karena kekurangan gizi dan pengobatan. (3) fisik dan akal baik, namun qalbu tidak berfungsi karena refleksi keimanan, keislaman, dan keihsanannya lemah atau singkatnya kesadaran keagamaannya lemah. Hal-hal tersebut *
Muhaemin, Dosen Tetap STAIN Palopo, memperoleh gelar Doktor (S3) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
7
tentu saja tidak tepat, karena jauh dari idealisasi hakekat manusia. Tujuan yang diinginkan pendidikan Islam adalah memantapkan keimanan, keislaman tanpa mengabaikan pengembangan sisi intelektual. Dalam sejarah Islam klasik, keseimbangan dalam pendidikan telah menjadi pemikiran para filosof dan cendekiawan semenjak beberapa abad yang lalu. (Hasan Langgulung, 2000:140). Menurut Suwito, berbeda dengan konsep materialistis dan intelektulistis, ruh atau jiwa manusia dalam Islam, berarti daya berpikir dan daya merasa/hati nurani. Karena itu, dalam pendidikan Islam ketiga hal ini (jasad, ruh, dan hati nurani/rasa) sama-sama diindahkan. Selain memusatkan perhatian pada kemajuan fisik, pendidikan Islam juga memusatkan perhatian pada kemajuan rohani yang berupa daya fikir dan hati nurani/rasa. (Suwito, 2004:45). Dalam konteks pembahasan tentang pendidikan dan pembinaan kepribadian muslim, salah satu tokoh yang membahas hal tersebut adalah Ibn Qayyim al-Jauziyah. Pemikirannya terhadap tema ini dapat ditemukan secara acak dalam pelbagai kitab karangannya antara lain; Masalah ruh dalam kitab al-Ruh, masalah hati dalam kitab Risalah fi Amradh al-Qulub, masalah pendidikan dan psikologi anak pada kitab Tuhfah al-Wadud bi Ahkam al-Maulud, masalah ilmu dan pembinaan rohani dalam kitab Miftah Dar al-Sa’adah serta masalah pembinaan pribadi muslim dalam kitab alFawa’id. Menurut Ustman Najati, Ibn Qayyim al-Jauziyah adalah salah satu tokoh yang kitab-kitab karangannya berkaitan dengan psikologi. Kitab tersebut antara lain: Kitab al-Ruh, Tuhfah al-Maudud di Ahkam al-Maulud, Miftah Dar al-Sa’adah, Raudlat al-Muhibbin wa Nuzhat al-Musytaqin, Thariq al-Hijratain wa Bab as-Sa’adatain, dan risalah fi Amradh alQulub. (Muhammad Ustman Najati, 2002:358-359). II. Pembahasan A. Biografi Ibn Qayyim al-Jauziyah Ibn Qayyim al-Jauziyah adalah seorang ahli fiqih, muhaddits, mufassir, ahli nahwu, ushuli dan mutakallim yang hidup pada abad ke-8 H/13 M. Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdillah Syams al-Dîn Muhammad Ibn Abi Bakr Ibn Ayyub Ibn Sa’d Ibn Harîz Ibn Makkiy Zayn al-Din al-Zur’iy al-Dimasyqiy. Ia dilahirkan pada tanggal 7 Safar tahun 691 H bertepatan dengan 29 Januari tahun 1292 M di Azra, salah satu desa di Damaskus. ( al-Zur’iy, tt.,:234)
8
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
Ibn Qayyim al-Jauziyah berasal dari keluarga terhormat, berilmu dan mapan secara ekonomis. Ayahnya, Abû Bakr Ibn Ayyûb al-Zur’iy dikenal sebagai seorang faqih dari mazhab Hambali dan ahli ilmu fara’idh, yang berprofesi sebagai guru kemudian menjadi pimpinan di madrasah al-Jauziyah. Pada tahap awal, Ibn Qayyim al-Jauziyah belajar beberapa ilmu yang menjadi keahlian ayahnya kemudian melanjutkannya di Madrasah. Hal ini disebabkan karena kegiatan intelektual pada masa itu secara umum berpusat di madrasah-madrasah, (Menurut Ziauddin Alavi, 2000:105) masjid-masjid, khanqah-khanqah, dan ribath-ribath. (Abd alAzim Abd al-Salam Syaraf al-Dîn, th.,:42). Posisi Ibn Qayyim al-Jauziyah sebagai ulama yang cerdas dan disegani di zamannya, menyebabkan ia lebih banyak mengabdikan dirinya dalam hal-hal yang terkait dengan ilmu pengetahuan. Selama hidupnya, ia dikenal sebagai imam tetap di madrasah al-Jauziyah, sekaligus sebagai pengajar. Madrasah ini cukup masyhur karena peranannya yang besar dalam penyebaran dan pengembangan ilmu pengetahuan, sehingga memberi kedudukan yang terhormat kepada para pengasuhnya di mata masyarakat. (Ibn Qayyim al-Jauziyah, 1411:62). Di samping itu, ia juga pengajar di madrasah al-Shadriyah yang didirikan oleh Sadr al-Dîn As’ad Ibn Nu’man Ibn al-Manja (w.657 H). Aktifitas lainnya, ia adalah seorang pemberi fatwa dan pengarang buku. (Abd al-Azim Abd al-Salam Syaraf al-Dîn, t.th.,:72-74). Ibn Qayyim berkeinginan menyebarkan ilmunya dan berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi kaum muslimin. Oleh karena itu, ditemukan banyak sekali hasil karya tulisnya. Karya-karyanya meliputi berbagai bidang ilmu antara lain: fiqh, hadits, ilmu kalam dan akhlak. Diantara karya-karya Ibn Qayyim al-Jauziyah yang terkenal adalah: (Ibn Qayyim al-Jauziyah, 1961:3-5). 1) Tharîq al-Hijratain wa Bâb al-Sa’adatain 2) al-Wabil al-Shayyîb min Kalâm al-Thayyib 3) Syifa al-‘Alil fi al-Qadha wa al-Qadar. 4) Jalal al-Afham f i al-Shalati ‘ala Khair al-Anam 5) Hadî al-Arwah ila Bilâd al-Afrah 6) Zad al-Ma’ad fi Hadyi Khaîr al-Ibad 7) al-Rah 8) Madarij al-Sâlikin: Bain al-Manazil “Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nastain” 9) Miftah Dâr al-Sa’adah 10) Raudhat al-Muhibin Wa Nasyat al-Musytaqin,
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
9
11) 12) 13) 14) 15) 16)
Tuhfah al-Wadud bî Ahkam al-Maulud Risalah fi Amradh al-Qulub al-Fawa’id al-Thuruq al-Hukmiyah fî al-Siyâsah al-Syar’iyyah I’lâm al-Mûqiîn min Rab al-Âlamin Igâtsah al-Luhfan min Mashâyid al-Syaithan (Ibn Qayyim alJauziyyah, al-Fawaid, t.th.,: 29-32). Dalam menulis karya-karyanya, gaya penulisan (metodologi penulisan dalam istilah sekarang), Ibn Qayyim al-Jauziyah memiliki karakteristik dan ciri-ciri yang nyata dan jelas. Adapun karakteristik-karaktristik yang terpenting adalah sebagai berikut: (Muhammad Anwar al-Sanhuti, 2001:48-53) 1) Penyandaran terhadap al-Qur'an dan Sunnah. 2) Mengutamakan aqwal Shahabah (pendapat para sahabat) di atas pendapat selain mereka. 3) Totalitas dan Menyeluruh 4) Berpindah-pindah topik pembicaraan. B. Relevansi Pendidikan dan Pembentukan Kepribadian Muslim Secara bahasa, kepribadian memiliki sebutan yang hampir sama dalam berbagai bahasa besar dunia, misalnya personality dalam bahasa Inggris, Persoolijkheid dalam bahasa Belanda, Personalita dalam bahasa Italia. Akar kata masing-masing sebutan itu berasal dari kata latin “persona” yang berarti topeng. (Abdul Mujib,1999:722) Istilah ini kemudian berkembang dalam psikologi dengan psychologi of personality (psikologi kepribadian) yaitu bidang ilmu jiwa yang mempelajari kepribadian manusia. Dalam bahasa Arab, kepribadian seringkali diistilahkan dengan syakhshiyah yang terambil dari akar kata syakhasha-yasykhashusyukhshan. Kata ini mengandung berbagai arti antara lain; terangkat atau menampakkan dirinya, terbuka, pergi dan kembali. Dalam bentuk yang bertasydid (syakhkhasha) kata ini berarti menentukan dan membedakan sesuatu. (Mahmud Yunus, 1989:191). Secara terminologi, para psikolog komtemporer mendefenisikan kepribadian sebagai berikut: “Pola-pola yang secara relatif menetap dan bertahan lama dalam menghayati, mengamati, berfikir, berperasaan dan berperilaku yang
10
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
memberikan identitas diri kepada seseorang tertentu”. (Davidoff, 1991:133). Dalam masyarakat, kepribadian sering dipahami sebagai kecakapan atau keterampilan sosial. Kepribadian sering kali dikaitkan dengan kesan yang paling menonjol yang diperlihatkan seseorang kepada orang lain. Karena itulah, ada orang yang kadang disebut memiliki kepribadian agresif, kepribadian penurut, kepribadian penakut dan lain-lain. Kepribadian yang ditampilkan manusia dipengaruhi oleh tenaga kepribadian yang dimiliki. Tenaga kepribadian pada garis besarnya terbagi atas: a) Tenaga-tenaga kejasmanian, b) Tenaga-tenaga kejiwaan terdiri atas karsa, rasa dan cipta, c) Tenaga kerohanian yang luhur. (Ahmad D. Marimba, 1974:69). Tenaga-tenaga tersebut selanjutnya akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan berdasarkan pengaruh yang melingkupinya. Faktorfaktor yang menentukan kepribadian dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok utama. Pertama, faktor keturunan, yaitu faktor-faktor yang lahir dari individu itu sendiri. Kedua, faktor lingkungan, yaitu faktor-faktor yang timbul dari lingkungan eksternal, baik sosial maupun kultural. (Muhammad Usman Najati, 2003:178). Salah faktor eksternal yang menentukan arah kepribadian manusia adalah pendidikan. Dalam konteks pendidikan Islam, beberapa ahli pendidikan Islam berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah pembentukan kepribadian muslim: Mereka antara lain: a) Ahmad D. Marimba. Menurutnya, defenisi pendidikan sebagai bimbingan atau tuntunan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian utama. (Ahmad D. Marimba, 1986:20). b) Arifin, memandang pendidikan Islam mengandung makna internalisasi dan transformasi nilai-nilai islami ke dalam pribadi manusia didik dalam upaya membentuk pribadi muslim yang beriman, bertaqwa dan berilmu pengetahuan yang bersifat ‘amalî yang mengacu kepada tuntunan agama dan kebutuhan masyarakat. (Ahmad D. Marimba, 1986:20). c) Mahmud Sayyid Sulthan. Ia memberikan defenisi pendidikan sebagai berikut:
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
11
َّ ِي ت َ ْن ِميَةُ ال صى دَ َر َج ٍة ِ ش ْخ َ صيَّ ِة البَش َِريَّ ِة الإل ِجْ تِ َما ِعيَّ ِة إِلَى أ َ ْق َ إِ َّن الت َّ ْربِيَةَ ه ٌعةٌ خَال َقَةٌ ُم ْنت َ َجة ُ ت َ ْس َم ُح بِ َها إِ ْم َكا نَت ُ َها َوإِ ْستِ ْعدَادُهَا بِ َحي َ صيَّةٌ ُم ْب ِد ِ َص ُّح ش َْخ ِ ْث ت َ ُم .ط َّو َرة ٌ ِلذَاتِ َها َو ِلـ ُمجْ ت َِم ِع َها َو ِلبِ ْيئَتِ َها ِم ْن َح ْو ِلنَا Artinya : “Sesungguhnya al-Tarbiyah adalah menanamkan kepribadian kemanusiaan yang bermasyarakat untuk mencapai derajat yang tinggi yang dapat melahirkan perbuatan baik, pekerjaan dan harapan-harapannya dengan menjadi pribadi yang inovatif, kreatif, produktif dan dinamis yang bermanfaat baik bagi dirinya, masyarakat maupun lingkungan sekitar”. (Mahmud Sayyid Sulthan, 1979:99) C. Pemikiran Ibn Qayyim tentang pendidikan dan Kepribadian Muslim 1. Pandangan Ibn Qayyim al-Jauziyah terhadap Manusia Pandangan Ibn Qayyim terhadap manusia tersebar pada pelbagai kitab karangnya. Pandangan-pandangan tersebut antara lain sebagai berikut: a. Manusia adalah makhluk yang potensial. Manusia adalah makhluk yang paling dimuliakan Allah dengan dianugerahinya akal, ilmu, kemampuan untuk berbicara, memahami dan menjelaskan. Disamping itu manusia diciptakan dalam bentuk yang sangat baik dengan penuh keseimbangan dalam postur tubuhnya, juga diberi kemampuan untuk berpikir dan memiliki akhlak dalam kehidupannya. Pandangan ini dijelaskan Ibn Qayyim al-Jauziyah dalam kitab Miftâh Daral-Sa’adah dengan mengatakan: “yang membedakan manusia dari makhluk Allah yang lain seperti hewan adalah keistimewaan dan kelebihan yang dimilikinya berupa ilmu, akal dan kemampuan menganalisa. Maka apabila semua kelebihan itu hilang darinya, hilang pulalah yang membedakannya dari makhluk Allah yang bernama hewan, kecuali satu, yaitu bahwa manusia mampu berbicara sedangkan hewan tidak.” (Ibn Qayyim alJauziyah, t.th.,:185).
12
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
b. Manusia memiliki kecenderungan berbuat baik Manusia dilebihkan oleh Allah Swt dari makhluk lainnya dengan dipadukannya tiga unsur dalam jiwa, yaitu unsur kekuatan, syahwat dan iradah (kecenderungan yang baik). Ibn Qayyim al-Jauziyah memaparkan sebagai berikut: “Sesungguhnya Allah telah telah memadukan tiga unsur dalam jiwa manusia yaitu: unsur kekuatan, syahwat, dan iradah. Perpaduan tiga unsur ini akan membentuk sebuah kekuatan yang handal yang akan menggerakkannya untuk senantiasa berusaha mencari sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya dan menghindari setiap yang membahayakan jiwanya atau jiwa orang lain yang telah membantunya.” (Ibn Qayyim al-Jauziyah, t.th.,:275). c. Manusia mempunyai motivasi untuk bekerja dan beribadah. Manusia dibedakan dari makhluk lainnya dengan anugerah dawafi (motivasi dan kecenderungan jiwa) untuk bekerja demi mengemban tugasnya sebagai hamba. Ibn Qayyim al-Jauziyah menyatakan: “Sungguh hikmah Kemahalembutan dan Mahabijaksana-Nya benarbenar telah merasuk ke dalam jiwa manusia, ketika Dia menganugerahkan kepada mereka kecenderungan dan motivasi yang selalu mendorongnya untuk berbuat sesuatu yang akan membawanya kepada kelurusan dan kelanggengan serta kebaikan dan kemaslahatan hidupnya.” ( Ibn Qayyim al-Jauziyah, t.th.,:276). d. Manusia mempunyai kemampuan untuk belajar. Keistimewaan manusia atas makhluk adalah kemampuannya untuk belajar dengan seperangkat alat bantu yang dianugerahkan Allah kepadanya. Ibn Qayyim al-Jauziyah menyatakan: “Siapakah yang memberi kepada manusia akal untuk berpikir, lisan untuk berkomunikasi, jari-jemari untuk menulis dan siapakah yang merancang akal manusia sehingga mampu digunakan untuk belajar, sedangkan binatang tidak diberi rahmat seperti itu? dan siapakah yang menggerakkan lisan dan jari-jemarinya sehingga manusia mampu berbicara dan menulis? Siapakah lagi kalaui bukan Allah Azza wa Jalla? Tetapi betapa banyak ayat-ayat-Nya yang kita lalaikan.” (Ibn Qayyim al-Jauziyah, t.th.,:279). Dari paparan di atas, Ibn Qayyim al-Jauziyah memandang bahwa dalam diri manusia ada unsur internal (ruh, dawafi) dan unsur eksternal (lingkungan) yang berpengaruh dalam proses pendidikan manusia.
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
13
2. Pandangan Ibn Qayyim tentang Pendidikan Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, manusia tercipta dari tiga unsur yang saling berkaitan yaitu, ruh, badan dan akal. Berdasarkan pandangannya itu, ia menegaskan bahwa pendidikan (tarbiyah) yang baik ialah proses pendidikan yang menyeimbangkan arah kerjanya, yakni memperhatikan semua unsur tersebut bukan hanya memperhatikan satu unsur dan melupakan unsur yang lain. (Hasan bin Ali Hasan al-Hijazy, 2001:135). Pendidikan dalam pandangan Ibn Qayyim al-Jauziyah mencakup pendidikan rohani dan jasmani secara sekaligus. Ia menjelaskan kaifiyah (cara) mendidik rohani dan jasmani manusia dengan ungkapan sebagai berikut: “Antara hati dan badan sama-sama membutuhkan pendidikan. Keduanya harus ditumbuhkembangkan dan ditambah gizinya sehingga mampu tumbuh dengan sempurna dan lebih baik dari sebelumnya. Badan disehatkan dengan cara diberi gizi yang baik, dijaga, dan dilindungi dari segala hal yang mengancam keselamatan dan kesehatannya. Adapun dengan hati, ia tidak akan tumbuh menjadi lebih baik dan tidak akan bersih serta tidak akan sempurna kesuciannya kecuali jika selalu diberi gizi yang menyehatkan dan selalu dilindungi dari hal-hal yang mengancam diri dan kesehatnnya. Tidak ada resep yang mampu menyehatkan hati dan mampu mengantarkannya kepada kesempurnaan fitrah kecuali resep dan jalan yang diberikan oleh al-Qur'an. (Ibn Qayyim al-Jauziyah, t.t.,:46) Menurut Hasan Ali al-Hijazy, berdasarkan kajian pada kitab Tuhfah al-Maudud fi Ahkâm al-Maulud karangan Ibn Qayyim al-Jauziyah, secara umum, tujuan pendidikan yang direkomendasikan oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah meliputi empat aspek, yaitu: (Ibn Qayyim al-Jauziyah, t.th.,:143-243). 1. Ahdaf jismiyah (tujuan yangberkaitan dengan badan) 2. Ahdaf akhlakiyah (tujuan yang berkaitan dengan pembinaan rohani atau mental spiritual) 3. Ahdaf Fikriyah (tujuan yang berkaitan dengan pembinaan akal) 4. Ahdaf maslakiyah (tujuan yang berkaitan dengan skill atau keterampilan) 3. Pemikiran Ibn tentang Kepribadian Muslim
14
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
Ketika membicarakan struktur kepribadian manusia, dalam alFawaid, Ibn Qayyim al-Jauziyah menyebutkan badan manusia diciptakan dari tanah dan roh manusia tercipta dari malakut langit. Kemudian kedua unsur itu disatukan sehingga membentuk wujud yang bernama manusia. (Ibn Qayyim al-Jauziyah, t.th.,:242). Sedangkan psikologi Islam berpandangan bahwa pada awalnya manusia memiliki dua subtansi asal, yaitu ruh dan tubuh (jasad, jism). Ketika keduanya bertemu, maka lahirlah subtansi ketiga yang namanya jiwa. Jiwa ini bukanlah alat, tetapi ia merupakan suatu sistem di mana komponen-komponen yang ada di dalam dirinya berada dalam wadah jiwa. Wadah jiwa itu terdiri atas qalbu, akal dan nafsu. Bagaimana kualitas jiwa sangat bergantung kepada tingkat berfungsinya alat-alat yang bekerja dalam wadah jiwa itu. (Fuad Nashori, 2003:112). Terhadap tipologi kepribadian manusia, Ibn Qayyim al-Jauziyah menjelaskan bahwa sebenarnya jiwa manusia itu sebenarnya satu, tetapi memiliki tiga sifat dan dinamakan berdasarkan sifat yang mendominasinya. Ada jiwa yang disebut muthmainnah (jiwa yang tenang) karena ketenangannya beribadah, ber-mahabbah, ber-inabah, bertawakkal, serta keridhaannya dan kedamaiannya kepada Allah Swt. Ada jiwa yang bernafsu nafs lawwamah karena tidak selalu berada pada satu keadaan dan ia selalu mencela; atau dengan kata lain, selalu ragu-ragu, menerima dan mencela secara bergantian. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nafsu lawwamah dinamakan demikian karena orangnya sering mencela. Sedangkan nafsu ammarah adalah nafsu yang menyuruh kepada keburukan. Dalam al-Rûh ia menegaskan, jiwa manusia merupakan satu jiwa yang terdiri dari ammarah, lawwamah, dan muthmainnah yang menjadi tujuan kesempurnaan dan kebaikan manusia. (Ibn Qayyim alJauziyah, t.th.,:330-340). Berikut ini akan diuraikan penjelasan Ibn Qayyim terhadap ketiga tipologi kepribadian tersebut; 1. Kepribadian Ammarah (nafs al-Ammarah)
Kepribadian al-Ammarah adalah kepribadian yang cenderung pada tabiat jasad dan mengejar pada prinsip-prinsip kenikmatan (pleasure priciple). Ia menarik qalbu manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang rendah sesuai dengan naluri primitifnya, sehingga ia merupakan tempat dan sumber kejelekan dan tingkah laku yang tercela. Firman Allah SWT:
... وء إِ ََّّل َما َر ِح َم َربِي ِ س ُّ ارة ٌ بِال َ س ََل َ َّم َ إِ َّن النَّ ْف...
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
15
Terjemahnya:
Sesungguhnya nafsu itu selalu menyerukan pada perbuatan buruk, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku (QS. Yusuf:53). Keberadaan kepribadian ammarah ditentukan oleh dua daya, yaitu; (1) daya syahwat yang selalu menginginkan birahi, egois, ingin tahu dan campur tangan urusan orang lain, dan sebagainya; (2) daya ghadab yang selalu menginginkan tamak, serakah, berkelahi, ingin menguasai orang lain, keras kepala, sombong, angkuh, dan sebagainya. Adapun bentuk-bentuk kepribadian Ammarah: (Ibn Qayyim alJauziyah, t.th.,:228-260). -Menjatuhkan harga diri (juf’a) -Menghinakan diri (mahaat) -Menghambur-hamburkan harta benda (sarf) -Kesombongan (kibr) -Nekat (jar’at) -Penakut (jubn) -Menduga (zhan) -Menunjukkan keburukan (ghibat) -Menyogok (riswah) -Hina (zull) -Bodoh dan lupa (balh wa ghafl) -Penipu (ghurur) -Angan-angan (tamanny) -Membangga-banggakan harta (fakhkhar) -Penuh keluh kesah (jaza’) -Iri hati atas keburukan (hidq) -Dengki (hasad) -Menyintai karena yang lain (hubb ma’a Allah) -Lemah hati (‘ajz) -Inspirasi dari syetan (ilham min al-Syaithan) -Terburu-buru dalam bekerja (‘ajlat) -Pelit (syukh) Bentuk kepribadian ammarah tercermin dalam kufur, nifak, iri hati, dengki, pemalas, pengecut dan pembohong. Bentuk-bentuk kepribadian ini disebabkan oleh dominasi nafsu cenderung mengumbar hawa nafsu. Tetapi apabila ia diberi rahmat oleh Allah maka ghadab bisa berubah menjadi kemampuan (qudrat) dan syahwah bisa berubah menjadi kemauan (iradah).
2. Kepribadian Lawwamah (nafs al-Lawwamah) Lawwamah berasal dari kata al-lawum yang berarti al-taraddud (bimbang dan ragu-ragu). Kebimbangan itu seperti mengingat lalu lupa, menerima lalu menolak, halus lalu kasar, taubat lalu durhaka, cinta lalu
16
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
benci, senang lalu sedih, taat dan takwa lalu hancur. Dikatakan lawwamah karena sifatnya al-lawm yang berarti celaan karena meninggalkan iman, atau celaan karena berbuat maksiat dan meninggalkan ketaatan. (Ibn Qayyim al-Jauziyah, t.th.,:220-221). Dilihat dari segi bahasa, perkataan lawwamah berasal dari dan merupakan bentuk “penekanan” atau shibghah mubalaghah dari perkata la-i-ma yang berarti mencela atau menyesali diri. Al-nafs al-lawwamah bukan sekedar kesadaran moral yang dengannya mengerti baik dan buruk, tetapi bisa dianggap suatu potensi batin yang mencegah, menghentikan dan menyesali segala perbuatannya yang bersifat dosa dan immoral. (Djohan Effendi, 1991:5). Ibn Qayyim al-Jauziyah membagi kepribadian lawwamah menjadi dua bagian, yaitu: 1. Kepribadian lawwamah ma’lumat, yaitu kepribadian lawwamah yang bodoh dan zalim. 2. Kepribadian lawwamah ghayr ma’lumat, yaitu kepribadian yang mencela atas perbuatannya yang buruk dan berusaha memperbaikinya. (Ibn Qayyim al-Jauziyah, t.th.,:221). Bentuk-bentuk kepribadian lawwamah adalah cinta, guna, sosialitas dan moralitas. Bentuk-bentuk ini kadang dimotivasi oleh nafsu sehingga menimbulkan cinta material. Namun kadang-kadang ia dimotivasi oleh kalbu sehingga ia menimbulkan cinta kepada Tuhan, Nabi, keluarga dan umat. 2. Kepribadian Muthmainnah (nafs al-Muthmainnah) Kepribadian muthmainnah adalah kepribadian yang telah diberi kesempurnaan cahaya qalbu, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat tercela dan tumbuh sifat-sifat yang baik. Kepribadian ini selalu berorientasi ke kompenen qalbu untuk mendapatkan kesucian dan menghilangkan segala kotoran, sehingga dirinya menjadi tenang. AlQur’an menginformasikan bahwa manusia nanti yang akan dipanggil memasuki surga-Nya dengan panggilan kepada jiwanya yang muthmainnah (tenteram), sehingga terkesan bahwa manusia yang sukses dan menurut al-Qur’an adalah mereka yang berjiwa muthmainnah itu. (Rif’at Syauqi Nawawi, 2000:19). Firman Allah:
)وَّ ُل ُيِفا ااَلم َ 29 )فَا ااا ُل ُيِفَلمِماَِا ااال28 ( َّمرََّا ااََّ (م َ ُ َ ا ا َ مرِا ااي َ ََ ) َُّرجعا ااَلم27 ُ طمَّف ُُنة َُن اَّا ا ُ يَاأَيَّاتُا َها ااامَّف ا ااَّا ُم ) م30 َجاَِّت
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
17
Terjemahnya : “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi di ridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku” (QS al-Fajr [89]:27-30) Adapun bentuk-bentuk kepribadian muthmainnah adalah sebagai berikut: (Ibn Qayyim al-Jauziyah, t.th.,:228-260). -Memilih harga diri (hamiyah) -Merendahkan diri(tawadhu’) -Dermawan (jud) -Kewibawaan (mahabbat) -Memelihara diri (syiyanat) -Berani (syaja’at) -Ekonomis (iqtishad) -Waspada (ihtiraz) -Fisarat (farasat) -Memberi peringatan(nasihat) -Memberi hadiah (hadiyat) -Sabar (shabr) -Pemaaf (afw’) -Mengetahui dan berilmu (ma’rifah wa ‘ilm) -Dapat dipercaya (siqqat) -Pengharapan (raja’) -Menceritakan nikmat dari Allah (tahaddus) -Cekatan dalam bekerja (mubadarah) -Hati lembut (riqqah al-Qalb) -Iri hati atas kebaikan (mawjadat) -Berlomba demi kebaikan (munafasat) -Inspirasi dari malaikat (ilham min malaki) -Menyintai Allah (hubb fi Allah) -Hati-hati (ihtiyyat) -Menyerahkan diri setelah berusaha (tawakkal) Kepribadian muthmainnah bersumber dari kalbu manusia, sebab hanya kalbu yang mampu merasakan thuma’ninah (QS al-Ra’d: 28). Sebagai komponen yang bernatur ilahiyah, kalbu selalu cenderung pada kesenangan dalam beribadah, menyintai, bertaubat, bertawakkal dan mencari ridha Allah Swt. Orientasi kepribadian ini adalah teosentris. Sedangkan bentuk kepribadian muthmainnah adalah iman, Islam dan ihsan. Ia mempercayai hal-hal yang gaib seperti percaya Allah, hari akhir, ilham dan wahyu. Dari ketiga tipologi tersebut, dapat dipahami bahwa daya kalbu memiliki natur ilahiyah (teosentris). Daya akal memiliki natur insaniyah (antroposentris), sedangkan daya nafsu memiliki natur hayawaniyyah. Ketiga daya tersebut saling tarik menarik untuk mendominasi keseluruhan sistem kepribadian manusia. Apabila energi kalbu yang lebih dominan maka akan terwujud kepribadian muthmainnah. Bila energi akal yang dominal, maka akan terwujud kepribadian lawwamah yang berkedudukan
18
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
di alam kesadaran. Apabila energi nafsu yang dominan, maka akan terwujud kepribadian ammarah. Bila dilihat dari hirarkisnya, nafs terdiri dari ammarah, lawwamah dan mutmainnah. Permasalaha nya, bagaimana upaya dan cara yang harus dilakukan agar nafs yang dipunyai manusia bergeser menuju ke arah yang lebih baik? Jawaban proses perubahannya dapat dilakukan dengan berbagai cara bergantung pada anggapan dan interpretasi Islam mengenai hal ini. Pandangan bahwa nafs ammarah itu sesuatu yang jelek, kebinatangan dan kotor merupakan sebuah tantangan bagi pendidikan rohani. Pada konteks ini, makna menggeserkan tingkatan nafs dari yang terjelek ke hal yang lebih baik berarti membuat jadi bagus, menjadikan manusia pada makna hakikat manusia dan membersihkan manusia dari perbuatan kotor. Dengan itu, tawaran solusi tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa : QS. 79:18, 35:18 dan 87:14) merupakan obat penawar kegersangan “ammarah” menuju pada kesejukan “mutmainnah”. D. Komparasi Pemikiran Ibn Qayyim dengan Pandangan Aliran Psikologi Berikut akan dipaparkan secara singkat pandangan aliran psikologi dalam pendidikan dan kepribadian. 1. Behavorisme Aliran ini berkembang sangat pesat sejak zaman renaisans ( Harun Hadiwijoyo, 1995:11) sampai dewasa ini. Behavorisme merupakan pengembangan lebih jauh dari filsafat emprisme. Yaitu aliran yang berpandangan bahwa pengalaman manusia adalah sumber pengetahuan. Aliran ini didasarkan atas pandangan filosofis yang mengatakan bahwa manusia dilahirkan dalam kondisi netral atau kosong. Pandangan ini lebih dikenal dengan sebutan teori tabularasa (tabung kosong). Pandangan ini pertama kali dikemukakan oleh seorang filosof Inggris, John Locke (16321704). Dalam pandangan Locke manusia dilahirkan bagaikan kertas putih yang kosong untuk ditulis dengan berbagai pengalaman dan penilaian yang menulisi. Artinya pengalaman yang akan membentuk kepribadian seseorang. (Jalaluddin dan Abdullah Idi, 1997:40). Pandangan di atas berimplikasi kuat pada proses pendidikan yang memberikan rasa optimis yang tinggi kepada pendidikan. Untuk itu, pendidikan mempunyai peranan yang sangat besar dalam menentukan nasib seorang, seakan-akan tidak mengakui bahwa setiap orang memiliki
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
19
kelebihan dan kekurangan yang berbeda. Dalam pandangan ini setiap peserta didik dianggap memiliki potensi yang sama dan seimbang. Karena itu, tidak perlukan adanya penelusuran bakat dan minat, semua tergantung pada proses pendidikan yang terimanya. 2. Psikoanalisa Aliran ini merupakan perkembangan lebih jauh dari aliran Nativisme. Suatu aliran filsafat yang berpandangan bahwa manusia sejak dilahirkan telah membawah sifat dasar pembawaan atau warisan tertentu. Tokoh utamanya adalah Arthur Schopenheur (1788-1860). (Ahmad Tafsir, 1994:34). Oleh karena itu, dalam pandangan psikoanalisa manusia memiliki sifat dasar yang cenderung destruktif. (Erik H. Erikson, 1997:105). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dalam pandangan psikoanalisa, pendidikan tidak mempunyai fungsi. Kepribadian, keterampilan, kepekaan, dan keahlian seorang ditentukan oleh bakat yang diwarisi dari orang tuanya. Pengalaman dan pendidikan tidak mampu menjadikan seseorang yang memiliki sifat dasar bodoh, terbelakang, atau idiot dan jahat menjadi seorang yang pandai, berfikir maju, cerdas dengan inteligensia tinggi, atau baik dan berakhlak mulia. Oleh karena itu, sebagian besar pakar pendidikan kurang terima, karena sangat pesimis terhadap peranan pendidikan. 3. Humanistik Pada sisi yang berseberangan, terdapat aliran psikologi yang memandang sifat dasar manusia adalah cenderung kepada yang positif. Pandangan ini dianut dalam dunia psikologi humanistik, yang memandang manusia memiliki sifat dasar yang positif atau baik dan memiliki potensi yang tidak terbatas. Aliran psikologi ini dikembangkan oleh Carl Ranson Rogers (1902-1986). Implikasi dari aliran Humanistik ini dalam kaitannya dengan pendidikan adalah bahwa pendidikan merupakan sebuah keniscayaan dalam pengembangan potensi manusia. Namun demikian pendidikan hanya memiliki pengaruh sedikit terhadap perkembangan potensi tersebut. Karena pada dasarnya manusia telah membawah potensi yang luar biasa, meskipun tanpa pendidikan juga akan berkembang secara alamiah. Ketiga aliran psikologi di atas, dapat dipahami sebagai produk yang lahir di dunia Barat, yang hanya menyentuh pada aspek antroposentrisme tanpa menyentuh pada aspek theosentrisme. Jika dianalisis, maka akan nampak bahwa pandangan Ibn Qayyim al-Jauziyah terhadap manusia didasarkan atas paradigma intuitif dan
20
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
wahyu yang tidak memisahkan antara realitas fisik dan metafisik, serta antara yang profan dan transenden. Konsep-konsep Ibn Qayyim alJauziyah adalah hasil kerja intuisi atau hasil renungan terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits, dua sumber utama ajaran Islam. Dari segi filsafat manusia, psikologi barat cenderung menganggap manusia sebagai dan tingkah lakunya sebagai entitas yang bebas dari otoritas Tuhan. Manusia ibarat mesin yang bergerak sendiri sesuai sistem yang ada pada dirinya, tanpa pernah ada pengakuan bahwa Tuhan memiliki peran terhadapnya. Konsep Ibn Qayyim al-Jauziyah menempatkan Tuhan sebagai unsur yang berpengaruh pada diri manusia, karena manusia mengandung unsur malakut langit yang menyebabkan dirinya selalu rindu kepada panggilan ketuhanan. III. P e n u t u p Berdasarkan paparan sebelumnya, ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Ibn Qayyim al-Jauziyah yang selama ini dikenal sebagai ahli fiqih dan ahli kalam ternyata memiliki konsep pendidikan yang terdapat pada pelbagai kitab karangannya. Secara sederhana pemikiran pendidikan tersebut antara lain; a. Visi dan misi: Karena manusia diciptakan dari unsur jasmani dan rohani maka pendidikan (tarbiyah) yang baik ialah proses pendidikan yang menyeimbangkan arah kerjanya, yakni memperhatikan jasmani dan rohani secara seimbang bukan hanya memperhatikan satu unsur dan melupakan unsur yang lain. b) Peserta didik: Manusia sebagai peserta (obyek dan subyek) adalah makhluk potensial yang memiliki ilmu, akal dan kemampuan menganalisa. ia memiliki kecenderungan berbuat baik dan dianugerahi dawafi (motivasi dan kecenderungan jiwa) untuk bekerja demi mengemban tugasnya sebagai hamba. c) Tujuan: proses pendidikan bertujuan menjaga kesucian (fitrah) manusia dan melindunginya agar tidak jatuh ke dalam penyimpangan serta mewujudkan dalam dirinya ubudiyyah (penghambaan) kepada Allah Swt, hal ini sesuai tujuan utama diciptakannya seorang hamba. (QS. al-Dzâriyât [51]: 56). 2. Berdasarkan al-Qur’an, Ibn Qayyim membagi kepribadian manusia kepada kepribadian ammarah, kepribadian lawwamah dan kepribadian muthmainnah. Oleh karenanya, tujuan pendidikan adalah membimbing
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
21
manusia untuk memiliki kepribadian yang mementingkan keridhaan Allah swt dari kesenangan syahwat dan hawa nafsu. Kepribadian yang mendorong untuk beribadah kepada-Nya dan menaati seluruh perintahNya. 3. Ada dua corak yang mewarnai ide-ide Ibn Qayyim al-Jauziyah. Pertama, pemikirannya merupakan kelanjutan dan pengembangan at-turast al-Hambali (warisan tradisi mazhab Hambali). Kedua, pemikirannya merupakan respon sadar terhadap kekisruhan sosial, politik dan budaya saat itu. Gagasan yang diusung oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah dilakukan dengan misi: menyatukan umat Islam yang sedang dilanda perpecahan, mengarahkan pemikiran keagamaan dengan merujuk kepada dua sumber utama yakni al-Qur’an dan al-Sunnah, memberantas sikap taklid guna perbaikan tatanan sosial dan budaya umat Islam guna perbaikan perjalanan sejarah Islam. Daftar Rujukan Arifin, M. 1993. Ilmu Pendidikan Islam, Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: Bumi Aksara. Agustian, Ary Ginanjar. 2001. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual (ESQ) Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta: Arga. Alavi, S. M. Ziauddin. 2000. Pemikiran Pendidikan Islam Abad Klasik dan Pertengahan terjemah. DR. H. Abuddin Nata Montreal Kanada. Davidoff, 1991. Psikologi Suatu Pengantar. Jilid I, terj: Mari Juniati, Jakarta: Erlangga. Gunarsa, Singgih D. 1997. Dasar dan Teori Perkembangan Anak. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Harun, Hadiwijoyo. 1995. Sari Sejarah Filsafat Barat. Jilid 2. Yogyakarta, Kanisius. Hijazy-al, Hasan bin Ali Hasan. 2001. al-Fikr al-Tarbawiy Inda Ibni Qayyim. Terj, Jakarta, Pustaka al-Kautsar. Idi, Jalaluddin dan Abdullah. 1997. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
22
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
Jauziyah-al, Ibn Qayyim. 1994. Raudlât al-Muhibbîn wa Nuzhât alMustaqîn. Tahqiq M. Sayyid Jumaili, Riyadh, Dâr al-Huda. --------. T.th. Al-Fawâid. Beirut: Dâr al-Huda. --------. 1961. Igâtsah al-Luhfân min Mashâyid al-Syaithân. Juz I, Kairo, Muhammad Mahmud al-Halaby wa Syirkah. --------. T. th. Miftâh Dâr al-Sa’âdah. I dan II, Beirut: Dâr al-kutub al‘Ilmiyah. --------. 1411 H. al-Tibb al-Nabawiy. Cet. ke-14. Aleppo, Dâr al-Wa’y. --------. T. th. Tuhfah al-Maudud fi Ahkâm al-Maulud. Kairo: Maktabah al-Mutarabbi. --------. 1992. al-Rûh fi al-Kalam ‘ala ‘Arwâh al-‘Amwât wa al-‘Ahwâ bi al-Dalil min al-Kitab wa al-Sunnah wa al-Asar wa Aqwâ l alUlamâ’. Beirut: Dâr al-Fikr. Langgulung, Hasan. 2000. Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta: Al-Husna Zikra. Marimba, Ahmad D. 1986. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Cet. 4. Bandung: PT. Al-Ma'arif. Mujib, Abdul. 1999. Fitrah dan Kepribadian Islam, Sebuah Pendekatan Psikologis. Cet. I. Jakarta: Darul Falah. Muhammad, Hasyim. 2002. Dialog antara Tasawuf dan Psikologi. Cet. I. Yogyakarta: Kerja sama Walisongo Press dan Pustaka Pelajar. Najati, Muhammad Ustman. 2002. Dirâsât an-Nafsâniyyah ‘inda al‘Ulamâ’ al-Muslimîn. Terj. Gazi Salom, Bandung: Pustaka Hidayah. Nashori, Fuad. 2003. Potensi-Potensi Manusia. Cet. I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nawawi, Rif’at Syauqi. 2000. “Konsep Manusia Menurut al-Qur’an” dalam: Rif’at Syauqi Nawawi dkk. Metodologi Psikologi Islam. Cet. I. Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Al-Sanhuti, Muhammad Anwar. 2001. Ibn Qayyim al-Jauziyah; Sîratuhu Manhajuhu wa Arâuhu fi al-Ilâhiyat. Terj. M. Romli & Heri,Jakarta: Mustaqim.
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
23
Sulthan, Mahmud Sayyid. 1979. Muqaddimah fi al-Tarbiyah. Mesir, Dâr al-Ma’arif. Suwito. 2004. Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih. Cet. I. Yogyakarta: Belukar. Syaraf al-Dîn, Abd al-Azim Abd al-Salam. 1967. Ibn Qayyim al-Jauziyah; Asruh wa Manhajuh wa Arâuh fî al-Fiqh wa al-‘Aqâid wa alTasawwuf. Cet. 2. Mesir: Maktabah Kulliyat al-Azhar. Tafsir, Ahmad. 1994. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya. Tasmara, Toto. 2001. Kecerdasan Ruhaniah (Transcendental Intelligence). Cet. 2. Jakarta: Gema Insani Press. Yunus, Mahmud. 1963. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT Hidayakarya Agung. Jurnal, Majalah, Koran Bastaman, Hanna Djumhana. 1991. “Islamisasi Sains dengan Psikologi Sebagai Ilustrasi”, dalam: Jurnal ‘Ulumul Qur’an. Jakarta, LSAF. Vol. II. Djohan, Effendi. 1991. Tasawuf al-Qur’an tentang Perkembangan Jiwa Manusia, dalam: Jurnal ‘Ulum al-Qur’an. Jakarta: LSAF. Vol. I.
24
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
25
26
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
Volume 13, Nomor 2, Juni 2011
27