Pemikiran Eskatologi Bediuzzaman Said Nursi dalam Risâle-i Nûr Ustadi Hamsah* Abstrak Kajian tentang eskatologi merupakan tema besar tetapi belum banyak yang concern mengurainya lebih dalam. Selain isu yang diangkat terkesan statis, eskatologi merupakan “ajaran” yang berasal dari tradisi agama, yang dalam frame pemikiran filsafat kurang mendapat respon tidak sebagai mana persoalan Tuhan dan manusia. Meskipun demikian bukan berarti tidak ada studi tentang hal ini. Di dalam disiplin keilmuan di Eropa, eskatologi menempati salah satu “kapling” filsafat agama, sementara dalam dunia Islam telah menjadi salah isu pokok dalam pesan al-Qur’an yang dikaji dari berbagai perspektif: kalam, tafsir, filsafat, dan tasawuf oleh ulama-ulama Islam. Tulisan berikut ini merupakan elaborasi dari salah satu ulama tersebut, yakni Bediuzzaman Said Nursi, yang merupakan enrichment dari pemikiran-pemikiran tentang eskatologi yang telah diletakkan oleh para ulama pendahulunya.
A. Pendahuluan Perkembangan filsafat Eropa pada akhir abad XVIII menandai munculnya caracara berfikir yang positivistis1. Filsafat naturalis yang dijadikan sandaran perkembangan ilmu pengetahuan menjadi parameter utama sebuah hasil pemikiran itu dinilai ilmiah atau tidak ilmiah. Cara-cara berfikir yang induktif mulai menempati pola pemikiran yang positivistis tersebut tanpa membedakan secara tegas objek yang dikajinya, sehingga pemikiran yang tidak dapat diukur secara positivistik adalah pemikiran yang tidak ilmiah. Perkembangan itu telah merubah kebudayaan manusia secara umum. Kemajuan teknologi dan sains sebagai efek utama kemajuan berfikir “ilmiah” telah menciptakan kebutuhan-kebutuhan praktis bagi kemajuan tersebut. Ketika pola berfikir yang positivis itu telah menjadi mindset, konsekuensi logisnya tentu 1Efek langsung yang dapat disaksikan adalah karakter positivistis yang diterapkan dalam studi agama (dalam hal ini teologi) dan ilmu-ilmu humaniora. Suatu disiplin yang semestinya “hanya“ diperlakukan sebagai entitas yang perlu pemahaman (verstehen) harus diperlakukan secara paksa sebagaimana entitas yang perlu dijelaskan (erklaren). Namun karena milieu dan climate and culture berfikir yang seperti itu, Eropa menjadikan parameter-parameter positivistik dan naturalis sebagai pilihan utama dalam perkembangan pemikirannya. Salah satu indikasi dari fenomena ini adalah terbitnya karya David Hume (1711-1776), The Natural History of Religion. John Ferguson menengarai bahwa karya ini merupakan puncak superioritas filsafat naturalis dan positivis di Eropa, lihat selengkapnya John Ferguson, “The Pioneers of the Study of Religion”, dalam The Open University, Seekers and Scholars, Unit 2, Part I (Manchester: The Open University Press, 1981), 16 dst.
1
menolak pemikiran yang tidak masuk standard-standard positivis, seperti harus terjangkau akal kualitas kebenarannya, dapat dibuktikan secara empiris, dan adanya kontinyuitas gejala yang dapat diukur secara pasti.2 Latar belakang kultur yang mendasari perkembangan filsafat naturalis di Eropa ini adalah kemapanan dan dominasi agama dalam cara-cara berfikir, dalam hal ini gereja, yang menolak otoritas akal sebagai determinan sebuah kenbenaran. Bagi gereja kebenaran adalah kitab suci, Alkitab, maka pertentangan antara otoritas gereja atas ilmu dan pola berfikir positivis mewarnai sejarah Eropa apada akhir abad pertengahan. Kalangan ilmuwan dengan kebebasan berfikirnya mengembangkan metode berfikir “ilmiah” di luar otoritas gereja (agama), dan dengan pertimbangan-pertimbangan rasio. “Ideologi” Cartesian dengan jargon cogito ergo sum-nya mengambil alih peran alkitab dalam memberi spirit berfikir dan digantinya dengan peran rasio. Bagi mereka agama, yang merupakan otoritas gereja, dianggap menghalangi kemajuan, maka gerakan sekulerisasi menjadi pilihan utama untuk mencapai kemajuan3. Kembali pada persoalan awal, mainstream filsafat naturalis ini mewarnai setiap perkembangan cara pandang manusia terhadap dunia. Agama di satu sisi dipandang sebagai sesuatu yang menghambat kemajuan, sehingga harus ditempatkan secara subordinatif dalam tingkatan kemajuan peradaban manusia. Secara ekstrem pula ajaran-ajaran agama dipandang tidak berarti sama sekali 2Fenomena
ini telah menjadi isu sentral epistemologi ilmu pengetahuan di Eropa. Pilihanpilihan antara ilmu (sains dan teknologi) dan agama (gereja) menjadi sesuatu yang menentukan dalam perjalanan kemajuan manusia. Konsekuensi-konsekuensi logis dalam memilih jalan itu juga harus dijalani, misalnya kalau gereja dijadikan pilihan, maka harus berkiblat pada alkitab yang bagi kalangan ilmuan sangat tidak rasional. Kalau memilih ilmu, secara praktis meninggalkan gereja dan berkiblat pada rasio. Eropa Barat dalam sejarahnya telah menjadikan ilmu sebagai pilihan utamanya dengan konsekuensi menempatkan agama dalam subordinasi yang periferial. Pola berfikir positivis dalam ilmu pengetahuan telah mengantarkan Eropa pada masyarakat teknis yang jauh dari sentuhan nurani. Pada gilirannya Revolusi Industri menandai dimulainya era industri dan teknisisasi yang distimulasi oleh Revolusi Sains yang semakin menjauhkan manusia dari jati dirinya sebagai manusia. Mereka semakin teralienasi menjadi barang-barang yang hanya diperhitungkan secara teknis. F.A Hayek mengeksplorasi fenomena ini secara mendalam, lihat F.A Hayek, The Counter-Revolution of Science: Studies on the Abuse of Reason (NY: The Free Press, 1955). 3Terkadang fenomena ini dihubungkan dengan modernisasi. Modernisasi, proses menuju pada kehidupan “modern”, harus didahului oleh sekulerisasi. Dalam konstelasi seperti ini agama “dikamarkan” dalam space yang sangat sempit menjadi “hanya” sekedar hubungan privasi dengan Tuhan, atau bahkan dimarginalkan perannya dalam kemajuan, sekalipun, agama oleh beberapa orang dari kalangan fungsionalis seperti Weber mengapresiasikannya sebagai spirit modernisasi. Untuk uraian kait kelindan modernisasi dan sekulerisasi lihat selengkapnya Myron Weiner, “Introduction” dalam buku Modernization: The Dynamics of Growth, Myron Weiner (ed.), (Cambridge, Massachussets: Voice of America Forum Lectures, 1966), 1-16.
2
dalam menciptakan kemajuan, karena hanya berhenti pada dogma dan doktrin yang statis. Oleh karena itu “pengingkaran-pengingkaran” teologis banyak mewarnai literatur filosofis era ini. Ide “matinya Tuhan”-nya Nieztsche4, “agama candu”-nya
Karl
Marx5,
“absurditas”-nya
Freud,
“nihilisme”-nya
Sartre
merupakan contoh-contoh dari fenomena tersebut. Sayangnya pandanganpandangan itu justru menjadi “rujukan” bagi perkembangan pemikiran Eropa, khususnya, dan negeri-negeri afiliasinya, pada umumnya, bagi perkembangan dan kemajuan dengan serta merta menafikkan agama sebagai satu determinan sejarah kemajuan. Kekhawatiran seperti ini bagi sebagian orang, sejak jaman awal kemajuan peradaban Islam, menjadi stimulus bagi penolakannya terhadap pemikiran filsafat secara umum, tetapi bagi sebagian yang lain justru menjadi khazanah pemikiran yang tak ternilai harganya bagi perkembangan pemikiran Islam pada era-era berikutnya. Filsafat, dalam hal ini, dipandang sebagai metode berfikir an sich, tidak pada detail ajaran dan muatan nilai yang include di dalamnya. Oleh karena itu, bagi golongan terakhir filsafat naturalis, memperoleh momen yang tepat dalam memecahkan persoalan pemikiran manusia ketika berjumpa dengan spirit agama, dan inilah yang sebenarnya menjadi obsesi Said Nursi6. Puncak dari pemikiran seperti ini adalah bahwa kemajuan dan kesejahteraan hanya diperoleh dengan upaya manusia sendiri di dunia ini, sehingga hancurnya kesejahteraan dan kemajuan via kematian adalah akhir dari segala-galanya. Bagi Filsafat Naturalis, kematian merupakan nothingness dan kehidupan adalah being, sehingga kematian merupakan proses peluruhan ke-
4Pengaruhnya terhadap relasi antar manusia dan antar institusi yang tuhmbuh dalam komunitas manusia ide ini diulas dan dijelaskan oleh H.H Gerth dan C. Wright Mills secara detail. Lihat selengkapnya H.H Gerth dan C. Wright Mills (Trans. And Eds.), From Max Weber: Essays in Sociology (London:Routledge&Kegan Paul, 1952), 161. 5Karl Marx, Karl Marx and Frederich Engels on Religion (Moscow: Foreign Languages Publishing House, 1957),42. 6 Meskipun Nursi sangat antipati dengan filsafat, tetapi ketika warna filsafat itu diambil dari spirit agama –atau istilah khusus Nursi adalah wahyu dan nabi-, dia sama sekali respektif . Filsafat yang ditentang Nursi adalah filsafat naturalis yang mengingkari eksistensi mutlak (Allah) sebagai determinan utama seluruh fenomena alam raya melalui hukum-hukumnya. Oleh karena itu, obsesi Nursi adalah filsafat yang sama sekali tidak terpisah dari agama Terkesan seolah Nursi deistis, namun ketika melihat uraian epistemologi pengetahuan-pengetahuan manusia, termasuk filsafat, yang dibedakan antara harfi logic dan ismi logic, kesan itu tereliminir dengan sendirinya, karena Nursi menempatkan filsafat sebagai salah satu jalan menguraiakan eksistensi tersebut. Lihat selengkapnya said Nursi, The Words, terj. Sukran Vahide (Istanbul: Sozler Publications, 1997),
3
ada-an menuju ketiadaan7. Alih-alih mengakui kebangkitan kembali, filsafat naturalis justru menganggap ide eskatologis (hari akhir sebagai media pembalasan) sebagai ilusi yang –meminjam istilah Freud- absurd, dan merupakan “nyanyian penghibur” bagi penindasan, dengan harapan akan hidup damai “di sana” kelak meskipun di dunia hidup tertindas. Pandangan filosofis seperti ini oleh beberapa teolog, agamawan, dan orang-orang beragama merupakan reduksi bagi pemahaman komprehensif tentang kehidupan. Ide keselamatan dalam agama-agama adalah keabadian dalam kesejahteraan, dan ini, bagi agama-agama, hanya bisa ditelusuri dalam ide eskatologis. Dalam diskursus ini masalah yang kemudian muncul adalah bagaimana kalangan agamawan menginterpretasikan ide keselamatan abadi dalam bingkai ide eskatologis (hari akhir). Untuk itu tulisan ini akan melihat pandangan seorang yang hidup dalam pergulatan antara ide-ide filsafat naturalis dan ide keselamatan dalam agama, yaitu Bediuzzaman Said Nursi. Uraian berikut ini akan melihat secara dekat latar belakang pemikiran yang melandasi idenya tentang eskatologi yang terkodifikasi dalam magnum opus-nya Risale-i Nur yang secara frontal merupakan kritikan terhadap pandangan filsafat naturalis yang tidak mengingkarinya. B. Said Nursi dan Risale-i Nur Pergolakan politik di Turki sejak awal abad XIX menghantarkan negara ini pada pilihan-pilihan sulit dalam menemukan jati diri sebagai bangsa yang berdaulat. Di satu sisi politik Imperium Uthmani yang didasarkan pada sistem shari’ah Islam terlampau “kebarat-baratan” yang menganulir credo resmi shari’ah dengan menciptakan sistem jurisdiksi di luar shari’ah yang disebut dengan kanun, di sisi lain kemajuan Eropa telah mempengaruhi cara pandang elit-elit politik Turki dalam melihat agama, dalam hal ini Islam. Pandangan Eropa telah menjadi kiblat bagi, meskipun tidak semuanya, bangsa Turki. Semangat enlightenment Eropa,
7Dalam Islam pola berfikir seperti ini dikembangkan oleh Mu’tazilah. Mereka melihat fenomena ini dari perspektif rasio sehingga kematian atau kehancuran alam merupakan gejala fisik belaka yang “ada” menuju “ketiadaan”. Lihat misalnya Zamakhshari, sebagai mufassir Mu’tazilah, mengilustrasikan proses itu ketika menafsirkan QS. 67:2, “Dialah (Allah) yang menciptakan kematian dan kehidupan”, dengan penjelasan bahwa kata “kh-l-q [menciptakan]” dengan mengantarkan sesuatu pada eksistensi dan kehancuran. Lihat Zamakhsyari, Tafsir al-Kashshaf, iv, 134.
4
yang memandang secara subordinatif peran agama, merupakan impian lama bangsa Turki. Dalam iklim kultur seperti ini proses westernisasi dan sekulerisasi menemukan momen yang tepat. Tokoh seperti Mustafa Kamal Pasha hanyalah orang yang mematangkan fenomena sekularisasi tersebut. Agama dalam batasbatas tertentu dipandang sebagai penghalang bagi kemajuan, oleh karena itu dalam mencapai kemajuan, sebagaimana Eropa, agama harus dijauhkan dari sistem yang berjalan. Fenomena ini menstimulasi munculnya pandanganpandangan sekuler, bahkan ateistik. Di samping itu seluruh bangunan pemikiran Said Nursi dikonstruk oleh miliu Timur Tengah yang sarat dengan muatan tradisi yang sangat mengagungkan tokoh karismatik, dan dia adalah salah satu tokoh karismatik di Turki.8 Kultur inilah yang melatabelakangi Said Nursi untuk mengadakan pembaharuan pemikiran dalam rangka mencapai kemajuan tanpa meninggalkan nilai-nilai agama. Terlahir sebagai seorang “Kurdi-pinggiran” tahun 1876 di Bitlis, Anatolia Timur, Said Nursi bergumul dengan ajaran-ajaran tarekat Nakshabandiyah-Khalidiyyah
yang
menjadi
landasan
bagi
seluruh
pemikirannya9. Dia wafat di Urfa, wilayah Tenggara Turki, 25 Ramadan (23 Maret) 1960. Dia membagi periode kehidupannya dalam dua fase, yang pertama adalah Eski Said (Said Lama, 1897-1926), dan yang kedua Yeni Said (Said Baru, 1926-1950). Pada periode pertama dia banyak terjun dalam dunia politik, namun di penghujung tahun 1923-an dia mulai merasakan derita umat Islam atas serangan paham-paham filsafat naturalis yang mereduksi iman sehingga dia mulai menulis risalah-risalah yang kemudian terhimpun dalam Risale-i Nur Kulliyatından. Koreksi kritis terhadap pandangan positivis banyak dibahas dalam Sozler, jilid pertama dari Risale-i Nur, terutama risalah tentang haşir ve âhireti (kebangkitan dan akherat). Tetapi pandangannya tentang eskatologi banyak dilengkapi dengan risalah-risalahnya yang ditulis pada periode kedua
8Şerif
Mardin, Religion and Social Change in Modern Turkey: The Case of Bediuzzaman Said Nursi (Albany: SUNY Press, 1989), 22. 9Şerif Mardin, “The Nakşibendi Order in Turkish History”, dalam Islam in Modern Turkey, Richard Tapper (ed.) (London: I.B Tauris & Co. Ltd., 1991), 121-140.
5
yang secara sengaja ditujukan untuk meruntuhkan argumen filsafat naturalispositivis tentang kahidupan akherat10. Risale-i Nur merupakan interpretasi Said Nursi atas al-Qur’an dengan pendekatan rasional dan mengadopsi metode-metode interpretasi saintis untuk mempertahankan keyakinan dari paham-paham naturalis.11 Dia secara distingtif membedakan interpretasi tentang eksistensi dan entitas dari dua pendekatan. Pendekatan pertama didasarkan pada shari’ah nabi, yang melihat keseluruhan sebagai cerminan dari kekuasaan Allah. Inti dari seluruh eksistensi, sebagaimana ajaran para nabi, adalah Allah, Entitas Yang Mutlak; sedangkan seluruh ciptaanNya adalah ayat (sign) dari ke-Maha Kuasa-an-Nya. Sekalipun demikian, entitas di luar Allah juga eksis, tetapi nisbi dan sangat bergantung pada Entitas Mutlak tersebut. Said Nursi memahami seluruh ciptaan sebagai indikasi (harfi) dari substansi yang absolut (ismi), sehingga pendekatan yang digunakan Nursi dalam melihat keseluruhan ciptaan adalah mâne-yi harfî (harfi logic). Pendekatan kedua adalah pendekatan yang digunakan oleh filosof naturalis-positivis yang melihat keseluruhan ciptaan sebagai esesnsi dan substansi bagi dirinya sendiri, dan tidak membutuhkan eksistensi lain untuk memaknai esensi dirinya sendiri. Oleh karena itu esensi bagi dirinya sangat substansial dan esensial. Kalau dalam konteks manusia, esensi manusia adalah manusia itu sendiri yang berdiri sendiri dan tidak bergantung pada eksistensi di luar manusia. Cara berfikir dengan mengambil konklusi seperti ini, bagi Nursi, akan melahirkan pemahaman yang terputus dari “asal” manusia itu sendiri, maka Said Nursi mengidentifikasi pendekatan para filosof ini sebagai pendekatan ismi logic. Dengan lain kata ism adalah entitas yang berdiri sendiri, sedangkan harf tidak dapat berdiri sendiri dan membutuhkan entitas lain, sehingga pola berfikir yang terhenti pada kesimpulan bahwa seluruh entitas tidak tergantung pada yang lainnya adalah logika ism, bukan logika harf. Dengan demikian rasio dan akal manusia menjadi penentu bagi manusia itu sendiri. Risale-i
Nur
memposisikan
dirinya
pada
interpretasi
dengan
menggunakan pendekatan harfi logic. Dengan sendirinya konsep eskatologi yang
10M.
Hakan Yavuz, “The Assassination of Collective Memory: The Case of Turkey”, The Muslim World, Vol.LXXXIX, No.3-4 (July-October 1999), 199. 11Şükran Vahide, The Author of Risalei Nur: Bediuzzaman Said Nursi (Istanbul: Sozler Publication, 1992), 205.
6
dibangun oleh Said Nursi merupakan satu entitas yang juga merupakan sign dari kekuasaan Allah, padahal iklim pemikiran yang melingkupinya adalah pemikiran yang menolak eksistensi yang tidak terjangkau oleh rasio dan akal manusia sebagai efek langsung dari perkembangan filsafat naturalis di Turki. Atas dasar inilah konsep-konsep tentang adanya kebangkitan dan hari akhir diuraikan Nursi secara rasional dengan bukti-bukti empiris dari interpretasinya terhadap konsep eskatologi dalam al-Qur’an. C. Akar Eskatologi: Agama atau Filsafat? Dalam lapangan filsafat, khususnya filsafat agama, eskatologi merupakan satu agenda khusus yang dibahas secara luas.12 Tema-tema pokok yang dibicarakan dalam eskatologi mencakup masalah kehidupan pada akhir jaman, yang meliputi proses hancurnya alam sampai pertanggungjawaban manusia atas perilakunya. Sekalipun demikian, interpretasi terhadap efek dalam kehidupan sekarang juga banyak dielaborasi untuk menjelaskan pengaruhnya terhadap cara pandang manusia terhadap dunianya. Misalnya tentang adanya harapan millennialism, gerakan ratu adil, Armageddon dan lain sebagainya. Aspek terpenting dari pembahasan eskatologi adalah proses inisiasi dari satu dimensi ke dimensi lain yang menunjukkan distingsi yang kontras antara satu keadaan dengan keadaan sesudahnya yang berbeda sama sekali antara keduanya. Proses tersebut, dalam nomenclature agama, disebut dengan kiamat, doomsday. Proses awal dari serangkaian proses panjang itu adalah proses hancurnya alam. Dalam konteks jagad raya proses ini merupakan berhentinya proses perjalanan waktu dan ruang, sedangkan dalam konteks manusia merupakan proses kematian.
12Eskatologi merupakan satu disiplin ilmu yang concern pada gejala-gejala alamiah dari kehidupan setelah kehidupan yang dialami sekarang. Eskatologi merupakan derivasi dari kata eschaton (Yunani) yang berarti terakhir, berikutnya dan terjauh. Dari ungkapan dasar ini eskatologi merupakan kajian terhadap kondisi seetelah kondisi yang sekarang dilalui (kondisi berikutnya). Dalam perkembangan pemikiran tentang eskatologi selanjutnya, ide-ide tentang kondisi yang damai, bebas dari reduksi-reduksi kehidupan yang dialami sekarang merupakan isu sentral sehingga fantasi-fantasi eskatologis, yang terkadang berlanjut menjadi ide millenarianism menjadi orientasi utama, periksa Peter A. Angeles, Dictionary of Philosophy (N.Y.: Harper & Row Publisher, 1918), ; Dalam dunia Kristen ide eskatologi terlihat dari besarnya peran Jesus yang tampil sebagai penebus dosa bagi umatnya Setelah peristiwa Armageddon tiba, periksa H.P Owen,”Eschatology” dalam The Encyclopedia of Philosophy, Paul Edward (ed. in chief), vol. III, (N.Y.: Macmillan Publishing Co. Inc. & The Free Press, 1972), 48.
7
Di dalam pemikiran filsafat naturalis, kematian difahami sebagai terminal akhir dari kehidupan. Dengan pertimbangan akal dan gejala-gejala alam yang dapat disaksikan oleh indera manusia, kematian merupakan wujud dari yang tidak berwujud (being of nothingness), artinya ke-ada-an mati itu itu merupakan hakikat yang sebenarnya dari ke-tiada-an. Oleh karena itu dia tidak eksis, tetapi hampa, kosong, nir, emptiness; sedangkan hidup merupakan ada yang sebenarnya karena itu dia eksis. Eksistensi manusia dapat “disaksikan” dari adanya potensi hidup yang ada pada dirinya, tidak demikian halnya jika dia sudah mati. Eksistensi orang yang sudah mati dari perspektif being-nya tidak diakui, karena apa yang melekat dalam “sesuatu yang disebut mati”, yakni ketiada-an, nothingness yang menjadi sebab mengapa orang mati tidak eksis. Maka dari itu proses inisiasi dari hidup menjadi mati adalah proses dari ada menuju tidak ada, dari yang eksis menuju non-eksis. Dalam dunia Islam, pandangan seperti ini banyak dikembangkan oleh Mu’tazilah dengan logika berfikir induktifnya. Karena kematian merupakan “al-madkhal” menuju zaman dan waktu yang abadi, maka isu kematian dan hancurnya setiap yang ‘ada’ merupakan isu sentral dalam diskursus eskatologi. Hal ini sangat terkait dengan kebangkitan, surga dan neraka. Sekalipun demikian Said Nursi sangat menekankan pada pembuktian logis akan adanya kebangkitan, sesuatu yang tidak masuk kamus filsafat naturalis. Bagi Nursi, ide eskatologis tersentral pada ajaran-ajaran Islam itu sendiri, maksudnya peristiwa-peristiwa akhir zaman adalah bukti benarnya Islam. Akhir dari kehidupan, baik kematian maupun kiamat, “hanya” satu isyarat dari sign kekuasaan Allah, Sang Pencipta Pemilik spirit Islam tersebut.13 Berbeda dengan pandangan filsafat naturalis, kematian, menurut Said Nursi, merupakan eksistensi yang juga diciptakan yang sekaligus tanda kekuasaan Allah14. Kematian adalah proses peralihan (inisisasi) dari satu 13Said Nursi, The Rays Collections, 230 dst; Said Nursi menguraikan bahwa kematian dan kebangkitan merupakan salah satu tanda kekuasaan Allah yang pasti terjadi sebagaimana gejalagejala alam (makrokosmos) dan gejala-gejala dalam diri manusia sendiri (mikrokosmos) yang terjadi walaupun sains dan teknologi tidak dapat menjangkau, misalnya luas alam dalam jagad raya, atau fungsi usus buntu dalam diri manusia, semuanya masih misteri tetapi terjadi. 14Dengan menafsirkan ayat yang sama yang diinterpretasikan oleh Zamakhshari, QS. 67:2, Nursi justru menganggap kematian sebagai sebuah anugerah. Artinya, kematian yang merupakan proses peralihan dari eksistensi dunia menuju eksistensi lain, merupakan proses pembebasan dari segala macam kewajiban hidup. Oleh karena itu kematian bukanlah perjalanan menuju ketiadaan tetapi jalan menuju kepada keadaan yang, bagi Nursi, “a comfort, a mercy, a rest,particularly for
8
eksistensi menuju eksistensi lain. Oleh karena itu kematian merupakan pintu menuju pada eksistensi yang lain, yang eksis, ada, sehingga proses dan akhir dari kematian itu “ada” sebagaimana hidup dan proses untuk hidup. …death is a discharge from the duties of life; it is a rest, a change of residence, a change of existence; it is an invitation to an eternal life, a beginning, the introduction to an immortal life. Just as life comes into the world through an act of creation and a determining, so too departure from the world is through a creation and determining, through a wise and purposeful direction. … That is to say, the death of the seed is the start of life of the shoot; indeed, since it is like life itself, this death is created and well-ordered as much as is life. Moreover, the death of the fruits of living beings and animals in the human stomach is the beginning of their rising to the level of human life; it may therefore be said “such a death is more orderly and created than their own life.”15
Eksistensi inipun akan berproses menuju perjalanan akhir kehidupan, akhirat, melalui apa yang disebut dengan “kebangkitan” [yawm al-ba’th].16 Proses penalaran yang digunakan Nursi berangkat dari logika yang dibangun Nursi sendiri dari filsafat kenabian, yaitu logika harfi (harfi logic) yang dibedakannya dengan logika filsafat naturalis, yakni logika ismi (ismi logic). Sebagaimana telah disinggung di atas, pandangan ini tidak masuk dalam kerangka berfikir filsafat naturalis. Mereka berangkat dari paradigma yang berbeda dengan Said Nursi. Meskipun demikian, tentunya ada faktor yang menjadi dasar pijak yang berbeda pula sehingga melahirkan konsep yang berbeda. Inilah yang menjadi fokus pembicaraan selanjutnya untuk menggali akar ide eskatologi dalam Islam. Said Nursi sebagaimana telah disinggung di atas, memilah kerangka berfikir menjadi dua, harfi logic dan ismi logic. Harfi logic merupakan logika yang dibangun dari interpretasi terhadap eksistensi “aku” [eksistensi] (baik individu maupun alam semesta). Oleh karena itu dalam memahami “I” [ego],
-------------------------------------those afflicted by disaster and the wounded and the sick”. Lihat selengkapnya Said Nursi, Letters, terj Sukran Vahide (Istanbul: Sozler Publications, 1997), 25; periksa pula Said Nursi, al-Maktubat, terj Ihsan Qasim al-Salihi (Istanbul: Sozler Yayinevi, 1992), 7 15Nursi, Letters, 24; Al-Maktubat, 8. 16Nursi menjelaskan secara panjang lebar perjalanan itu sampai akhir dengan argumen logis dari interpretasinya terhadap al-Qur’an, serta bantahan terhadap paham naturalis yang menentang proses tersebut., lihat selengkapnya Said Nursi, The Words, terj Sukran Vahide (Istanbul: Sozler Publications,1992), 59 dst; Said Nursi, The Rays Collections, terj. Sukran Vahide (Istanbul: Sozler Publications, 1998), 205-212; 242-248.
9
Said Nursi membedakan dalam dua jalan,17 yang pertama adalah jalan kenabian dan yang kedua adalah jalan filosof ateisme. Jalan kenabian memandang “aku” sebagai esensi yang mempunyai makna indikatif, artinya untuk mengetahui makna sebenarnya membutuhkan makna yang lain. Dia sangat bergantung pada eksistensi lain. Oleh karena itu fungsi nabi (=baca agama) adalah menunjukkan tempat bergantung “aku”-nya manusia tersebut. Ini membawa konsekuensi logis yang besar bagi perjalanan pemaknaan terhadap seluruh aspek kehidupan manusia. Inilah yang disebut dengan logika berfikir harf (harfi logic). Sementara itu jalan filosof memahami “aku” sebagai esensi bagi dirinya sendiri, dia tidak membutuhkan eksistensi lain untuk memaknai esensi dirinya. Oleh karena itu eksistensinya sangat esensial. Dalam melihat realitas parameter yang digunakan berasal dari pespektif “aku” sentris. Cara berfikir dan mengambil konklusi seperti ini, bagi Nursi, akan melahirkan pemahaman yang terputus dari “asal” eksistensi manusia itu sendiri, dan Nursi mengidentifikasi logika ini dengan logika ismi (ismi logic). Diskursus ontologis tentang pemahaman terhadap “aku” membawa konsekuensi-konsekuensi epistemologis. Persoalan ini memunculkan penilaian-penilaian terhadap segala sesuatu. Bagi Nursi, vision manusia tentang realitas sejalan dengan persepsinya tentang dirinya sendiri. Persepsi inilah yang memunculkan distingsi antara haqq vision yang diajarkan oleh para Nabi dan bâtil. Said Nursi membedakan persepsi manusia (Aku, Ego) menjadi dua yakni “aku” yang mengetahui prototype (sifat dan bentuk dasar) dirinya sendiri; bahwa dirinya itu ada yang memiliki, dan “aku” yang
menguasai dirinya sendiri. “Aku” dalam arti yang pertama
merupakan lambang, simbol dan “gambar” dari realitas yang sangat besar dan agung daripada sekedar wujud dirinya sendiri. Lambang tersebut bersifat harfi (mânâ-yi harfî) artinya, menurut Nursi, bahwa “aku” manusia merupakan implikasi logis dari ke-Maha-Absolut-an Allah yang menciptakannya.18 Oleh karena itu makna “aku” dalam pengertian ini hanya lambang (sign, 17Said
Nursi, The Words,562 dst. membedakan logika harfi yang diambil dari harf (huruf) dan ismi yang diambil dari ism (kata). Harf merupakan perangkat untuk mengetahui makna dari segala sesuatu, termasuk juga makna dirinya sendiri. Sementara ism hanya menjelaskan dirinya sendiri. Lihat selengkapnya Said Nursi, The Flashes Collections, terj. Sukran Vahide (Istanbul: Sözler Nesriyet A.S, 2000), 155156; periksa juga karyanya yang lain Al- Mathnawî al-‘Arâbî al-Nûrî, terj Ihsan Qasim al-Salihi (Istanbul: CD ROM Risale-i Nur 1.0, t.t), 270. 18Nursi
10
ayat) dari eksistensi yang lebih besar (Allah), maka relasi antara Allah dan manusia adalah relasi harfi. Eksistensi manusia bukanlah eksistensi yang berdiri sendiri dan bukan pula sebab dari munculnya intelek, tetapi ia adalah akibat dari sebuah sebab yang tidak didahului sebab. Hubungan sebab akibat di sini juga berbeda dengan konsep causa prima-nya Aristoteles. Hubungan ini, menurut Nursi, tidak sepenuhnya tunduk pada hukum sebab akibat, tetapi lebih pada penekanan hubungan antar entitas yang menjadikan terjadinya hubungan sebab-akibat itu. Artinya tidak semata-mata sesuatu itu berasalal dari sebab, tetapi bagaimana sebab itu “dapat berfungsi sebagai sebab”, sehingga relasinya tidak horizontal, tetapi vertical. Yamine B. Mermer menggarisbawahi relasi ini dengan membedakan sebab menjadi “causation” dan “causality”. Causation adalah entitas yang dihasilkan oleh sebab, sedangkan causality merupakan prinsip bahwa tidak ada sesuatu yang ada tanpa ada yang menyebabkan ada.19 Logika yang dibangun sangatlah ontologis, karena begitu tajamnya penekanan “ke-ada-an” realitas alam sebagai sistem tanda (signifier), dan Allah Sang Pencipta sebagai yang ditandai (signified). Implikasi teologisnya bahwa relasi ini sangat tawhîdi. Manusia sebagai bagian dari seluruh ciptaan Allah merupakan saksi atas eksistensi Allah. Kapasitas dia sebagai penanda (signifier) merupakan fungsi sebagai saksi atas eksistensi Allah sebagai tinanda (signified), karena manusia dalam perspektif harfi logic merupakan harf dari penciptanya. Oleh karena itu manusia, atau seluruh ciptaan merupakan saksi (mushâhid) bahwa “tidak ada tuhan [lâ ilâha]” yang menciptakan dan sebagai sandaran seluruh ciptaan yang menyaksikan ke-Esa-an-Nya “selain Allah [illâ Allah]”. Allah-lah satu-satunya ilâh yang menciptakan dan menjadi sandaran bagi semua makhluknya. Kembali pada persoalan eskatologi, bahwa alam dan manusia merupakan tanda akan kekuasaan Allah, maka sumber pengambilan informasi tentang sesuatu yang belum terjadi tentu dari Allah melalui rasul-Nya, Muhammad. Tentunya argumen seperti ini sangat dangkal dan normatif sekali. Bagi Nursi yang bergulat dengan faham filsafat naturalisme di Turki, argumen ini ditujukan kepada umat Islam untuk memperkuat iman dari serangan faham naturalis, 19Yamine B. Mermer, “The Hermeneutical Dimension of Science: A Critical Analysis Based on Said Nursi’s Risale-i Nur”, The Muslim World, Vol. LXXXIX, No. 3-4 (July-October 1999), 282.
11
sebagaimana tujuan Risale-i Nur itu sendiri. Maka dari itu, tujuan utama Said Nursi mengemukakan hujjah-hujjah ayat dengan interpretasi saintis adalah penekanan bahwa doktrin eskatologi dalam Islam dikabarkan oleh rasul dari alQur’an. Sejauh pengamatan para penulis tentang fikiran Said Nursi tentang hal ini, Said Nursi terhenti pada interpretasinya atas al-Qur’an yang dielaborasi dalam Risale-i Nur, tanpa melihat keterpengaruhan doktrin Islam tentang eskatologi dari tradisi lain. Di dalam tradisi Jahudi dan Kristen, bahkan Zoroasterianism ide eskatologi merupakan doktrin pokok dan menempati pilar ajaran paling utama. Ide pokok yang muncul dalam tradisi agama-agama tersebut, termasuk Islam, adalah hancurnya alam yang ditandai munculnya kedamaian dan kebenaran yang dibawa oleh kembalinya “Messiah, Mahdi” ke dunia yang mempersatukan umat manusia dalam satu ikatan.20 Interpretasi munculnya mahdi inilah yang diantara agama-agama tersebut berlainan. Sedangkan kelanjutan dari datangnya mahdi itu adalah hancurnya alam secara total dan berhentinya sistem waktu, dan masing-masing agama mempunyai konsep yang berlainan pula. Dalam Islam ide ini kemudian disebut dengan alsa’ah, yang merupakan katalisator menuju al-akhirah. Bagaimanapun peristiwa akhir zaman itu, ide utama yang digariskan oleh Islam adalah, meminjam istilah Absar Ahmad, “that there will come a moment –‘the Hour’ (al-sa’ah)- when every human being will be shaken in to unique and unprecedented self-awareness of his deeds”.21 Dalam tradisi agama-agama eskatologi merupakan doktrin utama, meskipun dengan kapasitas dan interpretasi yang berbeda satu sama lain. Dengan bersandarkan pada sumber pengambilan ide eskatologi ini para filosof, terutama filosof naturalis-positivis, membuat argumentasi dan interpretasi yang menegasikan entitas yang berada pada jangkauan rasio sebagai sesuatu yang tidak ada.22 Oleh karena itu Said Nursi, setelah mengemukakan argumen bahwa pemikiran filosof naturalis adalah pemikiran yang nihilis, mengungkapkan: Therefore, O atheist! Because of your misguidance, you will either 20J.A
MacCulloch,”Eschatology”, dalam James Hasting (Ed.), The Encyclopaedia of Religion and Ethics (ERE), vol.5, (Edinburgh: T&T Clark, 1937), 376. 21Absar Ahmad, ”Time and Eschatology” Islamic Studies 39: 1 (2000), 84. 22Uraian panjang tentang hal ini lihat Linda Badham, “A Naturalistic case for Extinction” dalam Garry E. Kessler (ed.), Philosophy of Religion: Toward a Global Perspective (Albany, N.Y.: Wadsworth Publishing Company, 1999),365-371. Perksa juga Said Nursi, The Words, 125-126.
12
tumble into non-being at your eternal execution, or you will enter Hell! As for non-existence, which is absolute evil, since it consists of the annihilation together with yourself of all your relatives, forbears and descendants, whom you love and at whose happiness you are to an extent happy, it causes pain to your spirit, heart, and inner nature severer than a thousand Hells. For if there was no Hell, there would be no Paradise. Through your disbelief, everything falls into non-existence.23 Dengan dasar inilah Said Nursi dalam menguraikan aspek dan ide eskatologi dalam Islam berangkat dari al-Qur’an dan sunnah nabi dengan interpretasi hermeneutis dengan mengembangkan konsep harfi logic.
D. Kebangkitan: Simpul Eskatologi Islam Telah disinggung di atas bahwa persoalan eskatologi meliputi munculnya mahdi yang mengembalikan kedamaian dunia, hancurnya alam -kematian bagi manusia, barzakh, dan berhentinya sistem waktu dunia bagi alam semesta-, kebangkitan, pengadilan, surga dan neraka. Fenomena ini muncul dalam tradisi agama, apapun nama agama itu, dan menjadi pilar utama keimanan mereka dengan emphasizing yang berbeda-beda. Sementara itu filsafat yang berangkat dari penalaran yang deduktif tidak dapat menerima entitas yang tidak dapat diterima akal dan rasio sebagai basis ilmu pengetahuan modern.24 Kondisi semacam ini diperparah dengan hubungan yang tidak harmonis antara agama dan filsafat di Eropa pada awal abad pertengahan. Karena otoritas ilmu berada pada dunia Eropa, dunia Islam, setelah pudarnya pengaruh filsafat Islam dan kemajuan ilmu pengetahuan, berada pada hegemoni dunia Eropa. Fenomena ini menstimulasi munculnya pemikiran mekanis, positivis, dan naturalis dalam dunia Islam, sehingga pilar utama aqidah –iman pada yang ghaib dan hari akhir-, harus tunduk pada bingkai akal. 23Said
Nursi, The Rays Collection, 249. pemikiran filsafat dalam Islam juga mengalami suatu kondisi dilematis antara basis epistemologi al-Qur’an dan filsafat Yunani. Konsekuensi dari dilemma-dilema yang selalu dihadapi oleh filosof Muslim adalah terjadinya berbagai perbedaan interpretasi ketika mengacu pada tokoh yang berbeda pula. Meskipun ini sebagai pengayaan pemikiran filsafat, karena tidak mungkin terjadi pemikiran yang monolitik ketika kebebasan berfikir dalam filsafat begitu luas. Namun yang pasti dilemma itu akan selalu muncul ketika dua entitas, al-Qur’an dan filsafat selalu dipertentangkan. Hammouda Ghoraba mengulas persoalan ini secara mendalam dengan menguraikan berbagai persoalan dalam filsafat Islam dalam empat edisi, Lihat selengkapnya Mahmouda Ghoraba, “The Dilemma of Religion and Philosophy”, The Islamic Quarterly, vol. II, No.4 (Desember 1955),241-251; vol. III, No. 1 (April 1956), 4-15; vol. III, No. 2 (Juli 1956), 73-87. 24Sebenarnya
13
Dengan berangkat dari pendekatan harfi logic, yang Allah ditempatkan sebagai signified (tinanda), maka seluruh entitas selain Allah adalah signifier (penanda) dari entitas Allah yang tidak dapat dijangkau selain melalui tandatandanya (sign). Oleh karena itu terjadi relasi yang tidak terpisah, sehingga relasi antara makhluq dan khaliq merupakan witnesses relationship (hubungan dalam rangka menyaksikan). Konsekuensi logisnya bahwa eksistensi segala yang diciptakan merupakan saksi terhadap eksistensi Allah.25 Alur berfikir ini sangat ontologis dan tawhidi. Peneguhan terhadap eksistensi Allah sebagai entitas “Yang Ada” merupakan indikasi dari ontologi pemikiran dalam harfi logic, sedangkan entitas “Yang Ada” itu tidak ada yang lain, tunggal, oneness adalah aspek tawhidi-nya.26 Dalam pandangan Nursi alam, waktu dan manusia adalah ciptaan, maka mereka juga merupakan saksi atas ke-ada-an Allah. Dengan mengutip al-Qur’an (53:23) bahwa Allahlah pemilik al-akhirah dan al-ula, Said Nursi menguraikan tentang konsep waktu. Waktu di dunia ataupun di akhirat merupakan hubungan kausalitas, al-akhirah merupakan akibat dari adanya waktu di al-dunya, sehingga perpindahan antara keduanyalah yang sebenarnya sangat signifikan. Proses inilah yang kemudian dikenal dengan al-sa’ah (“titi wanci”), yakni titi wanci terjadinya segala peristiwa yang berakhir pada “akibat akhir” yang disebut al-akhirah. Waktu yang berlaku di al-dunya akan berganti dengan waktu alakhirah [yawm] (QS. 14:49). Proses setelah berhentinya sistem waktu dunia inilah yang sebenarnya menjadi “faktor” ditolaknya ide kebangkitan oleh filosof naturalis. Padahal ide kebangkitan itu justru menjadi mediator untuk sampai pada akhirat. Wacana ini bagi Nursi dilihat dari komitmen awal bahwa baik dunia atau akhirat, hidup atau mati merupakan tanda bahwa Allah itu eksis, sementara tanda-tanda itu sendiri juga eksis. Oleh karena itu selama Allah eksis, maka segala sesuatu, termasuk kebangkitan dan hari akhir juga eksis. Certainly and without any doubt, as necessitated by the truths in these six ‘sinces’ -six out of hundreds of points of belief in God- the end of the world shall come and the resurrection of the dead occur. Abodes of reward and punishment shall be thrown open so that the above-mentioned 25Said
Nursi, The Letters, 392. “The Hermeneutical…”, 280; periksa juga Said Nursi, ibid, 264-307.
26Mermer,
14
importance of the earth, and its centrality, and man’s importance and value shall be realized, and the above-mentioned justice, wisdom, mercy, and sovereignty of the All-Wise Disposer, Who is the Creator of the earth and of man, and their Sustainer, shall be established; and the true and yearning friends of that eternal Sustainer shall be saved from eternal annihilation; and the most eminent and worthy of those friends receive the recompense for his sacred services, which have made all beings pleased and indebted; and the perfections of the Eternal Sovereign should be exempted and exonerated from all fault and deficiency, and His power from impotence, and His wisdom from foolishness, and His justice from tyranny. In Short: Since God exists, so does the hereafter certainly exist.27
Kebangkitan “hanya” proses untuk menuju kehidupan abadi, oleh karena itu dia juga eksis, sebagai salah satu saksi atas eksistensi Allah.28 Dengan dasar logika seperti ini al-akhirah tidak akan pernah ada tanpa ada kebangkitan (yawm al-ba’th), oleh karena itu, bagi Nursi, kebangkitan merupakan inti dari iman terhadap hari akhir. Dalam menjelaskan seluruh rangkaian yang terdapat dalam eskatologi, Said Nursi lebih menekankan pada aspek etis dari adanya ide ini sebagai salah satu pilar akidah Islam. Sebagaimana telah disinggung di atas juga, dalam rangkaian harfi logic relasi antara manusia dan Allah juga sebagai saksi atas eksistensi Allah, tetapi karena manusia juga diberi kebebasan oleh Allah untuk berbuat, maka ada hukum-hukum yang harus ditaati supaya manusia tetap dalam koridor mushahid. Oleh karena itu fungsi rasul menjadi penting dalam relasi ini. Dia mengemban misi menjelaskan tentang iman kepada Allah dan balasannya, serta memberi pertingatan kalau tidak bersaksi atas eksistensi Allah akan mendapat ancaman di al-akhirah.29 Dengan demikian kesaksian terhadap Allah “Tiada 27Said Nursi, The Rays Collection, 210, cetak miring asli dari penerbit. Bandingkan dengan The Words, 131. 28Lihat uraian proses kebangkitan itu dalam Said Nursi, The Words, 125-126. 29Iman kepada hari akhir bahkan menjadi isu utama misi dari kanabian, seluruh nabi dan rasul, yang semuanya diorientasikan sebagai saksi (shahid) atas Eksistensi Mutlak Allah dan eksistensi adanya hari berbangkit sebagai pintu menuju al-akhirah. Lihat selengkapnya Muhammad Abdul Haleem, “The Hereafter and Here-and-Now in the Qur’an”, The Islamic Quarterly, vol. xxxiii, No. 2 (Second quarter 1989), 119. Bandingkan dengan Said Nursi, The Letters, 394. Tidak mungkin kesaksian akan ke-Maha Kuasa-an Allah dengan tidak ada bukti sama sekali. Meskipun dalam beberapa kasus manusia bias sampai pada kebenaran Allah tanpa wahyu misalnya kasus yang diangkat Ibn Tufail dalam karyanya Hayyu bin Yaqzan, tetapi dia tetap mengetahui dari “ego”-nya yang dipahami secara harfi logic, bahwa yang dia (orang yang mengetahui kebenaran tanpa wahyu) ketahui adalah “benar” dan “tidak salah” tetap didasarkan pada pembedaan antara haqq dan bâtil, dan terminologi ini dari nomenclature yang didasarkan
15
Tuhan selain Allah” harus diikuti dengan “Muhammad utusan Allah”. Konsekuensinya iman dituntut manusia sebagai ketundukan kepada Allah, sebagaimana alam yang selalu tunduk. Karena selain alam nabi-lah, sebagai seorang manusia, yang menjadi bukti atas kesaksian akan ke-Maha Kuasa-an, maka orang beriman (believer) dituntut untuk mengikuti cara-cara yang dilakukan rasul dalam “tunduk” pada Allah.30 Dari konstelasi pemikiran seperti ini, iman selalu dikaitkan dengan amal, sehingga relasi manusia dengan Allah selalu didukung oleh aksi yang bersifat sosial. Meskipun Islam tidak mengajarkan karma, tetapi huklum kausalitas tetap berlaku dalam garis waktu. Amal sholeh yang diajarkan oleh rasul dan menjadi prototype bagi orang beriman (mukminun) berorientasi atas iman pada Allah dan sekaligus pada hari berbangkit. Hal ini, bagi Nursi, sangat kontras dengan cara berfikir yang ismi logic yang memposisikan manusia independen dan tidak terikat oleh eksistensi lain sehingga parameter sikap tidak ada yang pada gilirannya sangat nihilis, tidak ada tempat kembali.31 Oleh karena itu, eksistensi hari berbangkit merupakan sebuah beruf (panggilan) untuk bersikap etis yang dalam Islam merupakan refleksi dari taqwa. Konsekuensi logisnya, perilaku orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir selalu mengacu pada etika Islam yang telah dicontohkan rasul, sehingga harapanharapan mesianik (mahdi muntazar) akhir zaman seperti turunnya Isa al-Masih, munculnya Dajjal merupakan rangkaian kesaksian akan eksistensi Allah. Said Nursi menjelaskan bahwa turunnya Isa al-masih (Christ) ke dunia untuk melawan Dajjal (anti-Christ) merupakan eksplanasi alegoris bahwa kesantunan dan etika akan kontras dengan kesewenangan dan tirani, karena pada akhirnya, menurut Nursi, Isa akan memperteguh ajaran Muhammad.32 Jadi harapan
-------------------------------------pada ajaran wahyu yang dibawa nabi dan rasul. Maka kesaksian akan “ketiadaan” tuhan selain Allah dan “Ada”-nya Allah [lâ ilâha illa Allah] harus diikuti kesaksian akan rasul yang membawa kebenaran Allah tersebut yakni Muhammad utusan Allah [Muhammad rasûl Allah]. 30Said Nursi The Flashes Collection, terj. Sukran Vahide (Istanbul: Sozler Publication, 2000), 81. 31Said Nursi, The Words, 561. 32Said Nursi memberikan karakter pada orang-orang sesat itu sebagai lawan dari iman. Dalam agama Kristen muncul sosok Dajjal sebagai, apapun performanya, anti-Kristus yang menebarkan “kerusakan” di dunia dalam segala lini kehidupan. Demikian pula dalam Islam, munculnya sosok Sufyan sebagai artikulasi dari, apapun performanya, gerakan anti-Muhammad, yang juga menebarkan situasi chaos dan dekaden dalam tubuh umat Islam. Kedua sosok antishari’ah itu meniupkan ide rasialisme, nasionalisme dan pandangan naturalis yang sama sekali, bagi Nursi, tidak berakar pada lembutnya ajaran para nabi dan rasul yang menjunjung tinggi
16
mesianik dalam Islam adalah tegaknya keadilan, etika dan kedamaian di akhir zaman. Inilah, bagi Nursi, simpul dari eskatologi dalam Islam, yakni hari berbangkit yang dijadikan sandaran utama perilaku etis bagi manusia.33 Kemudian aspek etis inilah yang menjadi sebab dari keputusan akhir, apakah surga atau neraka, karena surga dan neraka merupakan konsekuensi dari perilaku di al-dunya saja. Oleh karena itu Said Nursi menyebutkan bahwa perbedaan surga dan neraka terletak pada perbedaan etis dan tidak etisnya perilaku manusia ketika hidup di dunia.34
E. Penutup Konsep eskatologi yang dikemukakan Said Nursi tidak semata-mata uraian rangkaian peristiwa yang terjadi di akhir zaman, tetapi lebih jauh dari itu dia menggali akar etis yang terdapat dalam ajaran iman pada hari akhir sebagai pangkal eskatologi dalam Islam. Di dalam menguraikan konsep itu Nursi menggunakan pendekatan harfi logic, yakni pendekatan dalam interpretasi dengan menghubungkan dua entitas yang mempunyai fungsi yang berbeda, yang satu sebagai penanda dan yang lainnya sebagai tinanda. Dari sinilah Said Nursi melihat munculnya konsep hari berbangkit sebagai satu hal yang “riskan” ketika dihadapkan pada rasio. Sekalipun demikian, dia menginterpretasikan hari berbangkit sebagai salah satu sign dari kekuasaan Tuhan yang tidak terjangkau akal sebagaimana ada gejala alam yang tidak terjangkau akal juga. Uraian tentang hari berbangkit pada
-------------------------------------keadilan dan ketuhanan dengan implementasi yang beragam. Dia menulis: “Since the principles of racialism and nationalism do not follow justice and right, they are tyranny. They do not proceed on justice. For a ruler of racialist leanings prefers those of the same race, and cannot act justly. According to the clear decree of, Islam has abrogated what preceded it. There is no difference between an Abyssinian slave and a leader of the Quraish, once they have accepted Islam, Islam has abrogated the tribalism of Ignorance; the bonds of nationalism may not be set up in place of the bonds of religion; if they are, there will be no justice; right will disappear.” Lihat selengkapnya Said Nursi, Letters…, 76. 33Said
Nursi, The Flashes Collection, 174. Nursi, The Words, 505. Di sini Said Nursi secara tegas membedakan konsep surga dan neraka dengan menarik garis hubung kehidupan di dunia. Kebaikan dan etis merupakan surga bagi kehidupan, dan tempat kembalinya surga di al-akhirah, sedangkan kejahatan dan tirani merupakan neraka bagi kehidupan dan akan berulang ketika memasuki alam al-akhirah. Prinsip inilah yang tidak masuk dalam pemikiran filsafat naturalisme. Surga dan neraka hanya bisa dirasakan di dunia saja, karena bagi mereka al-akhirah merupakan ketiadaan abadi. 34Said
17
gilirannya menjadi turning point bagi konsep eskatologi dalam Islam, karena konsep hari akhir tidak akan pernah ada tanpa ada proses kebangkitan kembali. Sedangkan serangkaian peristiwa yang terjadi dalam hari akhir merupakan fenomena alamiah ketika seluruh alam yang terikat waktu pada saatnya akan berakhir, karena konsep waktu (al-awwal dan al-akhir) merupakan konsekuensi logis dari createdness (makhluq) yang sekaligus menjadi saksi atas eksistensi Mutlak yang tidak akan pernah tersentuh konsep watu yang berawal dan berakhir. Karena konsep etikalah yang dikemukakan Said Nursi, maka pembedaan yang baik dan yang buruk dalam parameter yang dicontohkan rasul menjadi acuan utama munculnya konsep surga dan neraka. Bagi Nursi, al-akhirah merupakan akibat dari al-dunya, sehingga konsep baik dan buruk di al-dunya akan membawa konsekuensi bagi baik dan buruk di al-akhirah.
Daftar Pustaka Abdul Haleem, Muhammad, “The Hereafter and Here-and-Now in the Qur’an”, The Islamic Quarterly, vol. xxxiii, No. 2. Second quarter 1989. Angeles, Peter A., Dictionary of Philosophy. N.Y.: Harper & Row Publisher, 1918. Badham, Linda, “A Naturalistic case for Extinction” dalam Garry E. Kessler (ed.), Philosophy of Religion: Toward a Global Perspective. Albany, N.Y.: Wadsworth Publishing Company, 1999. Ferguson, John, “The Pioneers of the Study of Religion”, dalam The Open University, Seekers and Scholars, Unit 2, Part I .Manchester: The Open University Press, 1981. Gerth, H.H dan Mills, C. Wright, (Trans. And Eds.), From Max Weber: Essays in Sociology. London:Routledge&Kegan Paul, 1952. Ghoraba, Mahmouda, “The Dilemma of Religion and Philosophy”, The Islamic Quarterly, vol. II, No.4 (Desember 1955); vol. III, No. 1 (April 1956); vol. III, No. 2 (Juli 1956). Hayek. F.A., The Counter-Revolution of Science: Studies on the Abuse of Reason. NY: The Free Press, 1955. MacCulloch, J.A, ”Eschatology”, dalam James Hasting (Ed.), The Encyclopaedia of Religion and Ethics (ERE), vol.5, Edinburgh:T&T Clark, 1937. Mardin, Şerif, Religion and Social Change in Modern Turkey: The Case of Bediuzzaman Said Nursi. Albany: SUNY Press, 1989. --------------, “The Nakşibendi Order in Turkish History”, dalam Islam in Modern Turkey, Richard Tapper (ed.). London: I.B Tauris & Co. Ltd., 1991. Marx, Karl, Karl Marx and Frederich Engels on Religion. Moscow: Foreign Languages Publishing House, 1957. Mermer, Yamine B., “The Hermeneutical Dimension of Science: A Critical Analysis Based on Said Nursi’s Risale-i Nur”, The Muslim World, Vol. LXXXIX, No. 3-4 (July-October 1999).
18
Owen, H.P, ”Eschatology” dalam The Encyclopedia of Philosophy, Paul Edward (ed. in chief), vol. III, N.Y.: Macmillan Publishing Co. Inc. & The Free Press, 1972. Said Nursi, Bediuzzaman, Letters, terj Sukran Vahide. Istanbul: Sozler Publications, 1997. --------------, Al- Mathnawî al-‘Arâbî al-Nûrî, terj Ihsan Qasim al-Salihi. Istanbul: CD ROM Risale-i Nur 1.0, t.t. --------------, al-Maktubat, terj Ihsan Qasim al-Salihi. Istanbul: Sozler Yayinevi, 1992 --------------, The Rays Collections, terj. Sukran Vahide. Istanbul: Sozler Publications, 1998. --------------, The Words, terj Sukran Vahide. Istanbul: Sozler Publications,1992. Vahide, Şükran, The Author of Risalei Nur: Bediuzzaman Said Nursi. Istanbul: Sozler Publication, 1992. Weiner, Myron, “Introduction” dalam buku Modernization: The Dynamics of Growth, Myron Weiner (ed.), Cambridge, Massachussets: Voice of America Forum Lectures, 1966. Yavuz, M. Hakan, “The Assassination of Collective Memory: The Case of Turkey”, The Muslim World, Vol.LXXXIX, No.3-4 (July-October 1999.
*Dr. Ustadzi Hamzah, M.Ag, pengajar pada Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam (Islamic Theology and Thought), Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Staf Peneliti pada Center for Study of Religion and Society (CSRS) Yogyakarta, Peneliti pada Lembaga Kajian Religi dan Budaya Lokal, Yogyakarta.
19