LOVE, SINCERITY DAN BROTHERHOOD: ETIKA RELASI ANTAR AGAMA DALAM ISLAM UNTUK MENCIPTAKAN PERDAMAIAN MENURUT SAID NURSI Ustadi Hamsah Abstraks Wacana hubungan antar agama merupakan wacana yang klasik tetapi tetap menarik untuk didiskusikan. Salah satu yang menjadi sebab adalah karena menyangkut persoalan agama yang telah menjadi hal yang sangat privat. Untuk itu, persoalan etika menjadi hal yang sangat signifikan. Beberapa ulasan dari para sarjana telah menguraikan etika hubungan antar agama, misalnya Hans Kung, John Hick, Paul Tillich, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, salah satu hal yang “belum” banyak disinggung adalah persoalan etos keikhlasan dan persaudaraan dalam menjalin relasi. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan diulas etos-etos etis relasi antar agama itu dengan menguraikan pemikiran Said Nursi (1876-1960) dalam karya besarnya Risale-i Nur. Salah satu prinsip yang akan dikemukakan adalah sincerity (keikhlasan) dan brotherhood (persaudaraan) Kata kunci: Risale-i Nur, Etika Hubungan Antar Agama
A. PENDAHULUAN Tonggak sejarah relasi antar agama yang mempengaruhi hubungan antar agama pada abad XX dan XXI adalah hubungan antara Muslim dan Kristiani, 1 dan antara kedua agama tersebut dengan Yahudi dengan intensitas yang sedikit. 2 Relasi antar kedua agama dan penganutnya tersebut –Muslim dan Kristiani, menjadi sebuah “legenda” bagi sejarah hubungan antar agama untuk masa-masa berikutnya. 3 Ada dua horizon yang menjadi pertimbangan bagi keduanya sehingga sangat menentukan sejarah, yakni, pertama, pandangan teologi Kristiani terhadap Islam, bahwa sejak awal kemunculannya Islam merupakan 1Sejarah paling panjang dari perjumpaan agama adalah sejarah pertemuan Islam dengan Kristen. Dalam bukunya, Western View of Islam in the Middle Ages, R.W Southern memberikan gambaran yang sangat jelas bagaimana perjumpaan Islam dan Kristen yang selalu diwarnai dengan kepalsuan, fitnah dan prasangka. Lihat selengkapnya R.W Southren, Western Views of Islam in the Middle Ages (Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 1962). 2 Farid Esack, Qur’an, Liberation & Pluralism: an Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression (Finland: WSOY, 1997), 152. 3 Sebagai kelanjutan dari studi Southern, Norman Daniel menulis buku yang sangat gamblang tentang penggambaran Barat atas Islam. Lihat selengkapnya Norman Daniel, Islam and the West: The Making of an Image (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1980); Norman Daniel, Islam, Europe, and Empire (Edinburgh: Edinburgh Universty Press, 1980).
1
heresy dari Kristen. Ide ini muncul setelah ada pengaruh politik dalam relasi antar keduanya. Sejak awal persentuhannya, antara Islam dan Kristen tidak menampakkan intensitas ketegangan yang berarti, karena kedua komunitas masih mendapat pengetahuan langsung dari para “pendiri” agama dan para murid, sahabat, dan pengikut terdekat. Dari konteks sejarah muslim, peristiwa hijrah pertama ke Abysinia (Ethiopia), umat Islam diterima dengan baik oleh Raja Negus (Najashi),4 begitu pula pembacaan Pendeta Waraqah ibn Nawfal dari Syiria dan Pendeta Buhayra atas tanda-tanda kenabian Muhammad, yang akhirnya memberikan perlindungan kepada pemuda Muhammad.5 Begitu pula sebaliknya, penerimaan Rasulullah Muhammad atas eksistensi Kristen di Najran dan Yahudi di Madinah merupakan petanda bahwa awal persentuhan kedua agama menunjukkan sikap yang apresiatif. Bahkan Rasulullah mengirimkan surat kepada para penguasa di sekitar Arab yang masih memeluk agama lain. Selain mengajak kepada penghambaan total hanya kepada Allah, surat tersebut mengisyaratkan adanya relasi yang baik antar komunitas agama saat itu.6 Selain itu, Jacques Waardenburgh juga mengemukakan bahwa pada masa awal Islam, yakni pada masa kehidupan Rasulullah Islam telah bersentuhan dengan agamaagama lain, baik di Arab maupun di luar Arab, dan tercipta relasi yang positif.7 4 Dengan
mengutip Qâḍi ‘Iyâd, 364; dalam kitab al-Shifâ’î dan Alî al-Qarnî dalam kitab Sharḥ al-Shifâ’î, 744, Said Nursi menyebutkan bahwa Negus adalah seorang pengikut Kristen Nestorian yang beriman kepada kerasulan Muhammad SAW, dan menjadi keluarga “orang beriman” setelah mengetahui kerasulan Muhammad SAW dari kitab mereka. Lihat Said Nursi, The Letters, 19th letter, 203; bandingkan Said Nursi, Al-Maktubat, 221. 5Penelusuran Said Nursi dari kitab Dalâil al-Nubuwwah karya al-Bayhâqi, dan kitab Ḥujjat Allah ‘alâ al-‘Alamîn karya Yûsûf Nabhânî, Said Nursi menyatakan bahwa pendeta Buhaira merupakan seorang Kristen yang tidak saja beriman kepada kerasulan Muhammad SAW, tetapi juga telah “berislam” mengakui kerasulan Muhammad SAW. Lihat selengkapnya Said Nursi, Ibid., 176, 202. 6Rasulullah mengirimkan 6 surat kepada enam penguasa di wilayah sekitar Arab, yakni ke Kaisar Heraclius, Kaisar Romawi Timur (kurir: Dikhyah ibn Khalîfah), Qusraw Parvis, Shah Persia (kurir: Abdullah ibn Ḥudhafah), Najashi Adhama, Raja Ethi0phia (kurir: Amr ibn Umayyah), Muqawqis Juraij, Monarch Mesir (kurir: Ḥâtib ibn Abû Baltiah), Ḥawzah, Penguasa otoritas Yamâmah (kurir: Salout ibn Amr), dan ke Haris, Amir Ghassan (kurir: Shoujah). Lihat selengkapnya Osmanlı Yayınevi, The Letters From Prophet Muhammad, terj. dari Arab oleh Ismail Ercan (İstanbul: Osmanlı Yayınevi, t.th). 7Jacques Waardenburg, “World Religions as Seen in the Light of Islam”, dalam Islam: Past Influence and Present Challenge, A . Welch dan P. Cachia (ed.), (Edinburg: Edinburgh University Press, 1979), 248-249. Selain itu beberapa pemuka agama Yahudi, Nasrani, dan agama-agama lain yang tersebar di Arab telah mengakui bahwa Muhammad adalah seorang nabi yang melanjutkan risalah nabi-nabi sebelumnya seperti Musa dan Isa. Mereka mengakui itu karena dalam kitab-kitab mereka telah disebutkan akan kerasulan Muhammad. Lihat selengkapnya Said Nursi, Al-Maktubât, surat ke-19, 220-231; bandingkan dengan The Letters, 201-219. Mohammad Iqbal juga menjabarkan bagaimana sikap muslim terhadap persentuhan dengan agama-agama lain sepanjang sejarah muslim di berbagai belahan benua, lihat selengkapnya Shaikh Mohammad Iqbal, The Mission of Islam (New Delhi: Vikas Publishing House PVT Ltd., 1977), khususnya bagian II, bab xxiv, 121-224.
2
Kedua, bahwa realitas sosial keagamaan sampai awal abad XXI ini telah didominasi oleh wacana relasi Islam-Kristen. Wacana ini tidak muncul dari ruang yang kosong, melainkan dilatarbelakangi oleh konteks sosial yang mempunyai sejarah panjang. Implikasi nyata dari fenomena ini adalah “dominasi wacana agama” dari wacana-wacana sosial yang ada. Persoalan politik akhirnya juga “bersentuhan” dengan persoalan agama. Dengan demikian, apa yang dikatakan oleh Said Nursi tentang “rivalitas” paradigmatik antara West-deceived Christian dengan keluarga believers menjadi sebuah realitas sejarah.8 Senada dengan hal ini tesis Samuel Huntington tentang akan adanya the clash of civilization antara Barat dan Timur bukan sebuah teori tanpa pembenaran sejarah. 9 Apa yang diungkapkan Huntington tentang adanya benturan peradaban bukanlah antara “orang beriman” dengan orang “tidak beriman” tetapi lebih pada sebuah kesadaran paradigmatik yang mengakar pada tradisi budaya dan intelektual Barat-Kristen dengan tradisi yang berakar pada tradisi Timur-non-Kristen. Kemudian relasi antar agama-agama di luar kedua agama tersebut menjadi wacana yang tidak terlalu mendominasi diskusi hubungan antar agama. Hal ini disebabkan karena pada hakikatnya –kalau kembali pada uraian di atas, relasi antara Islam-Kristen-lah yang menjadi central issue dari wacana hubungan antar agama. Meskipun demikian, ketika pembicaraan terfokus pada hubungan antara agama berarti hubungan agama-agama secara umum, bukan hanya antara Islam dan Kristen. Di
dalam
menjalin
relasi
antar
agama,
berbagai
teori
telah
diuangkapkan, berbagai kajian metodologis juga telah dilakukan, tetapi ketika memasuki persoalan “private” tentang kedalaman pengalaman keagamaan, kajian-kajian itu belum banyak mendalaminya.Beberapa di antaranya adalah kajian tentangt etika dialog, sedangkan spirit dan etos yang perlu ditonjolkan dalam etika dialog tersebut belum teruraikan secara detail. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa munculnya konsep etika dialog tentu dilandasi oleh suatu sikap mental dan emosional yang fundamental. Ini terkait dengan disiplin
8Ungkapan ini didasarkan pada analisis dari Meryem Weld yang menguraikan bagaimana signifikansi îmân dalam konteks modern menjadi semakin terlihat. Lihat selngkapnya Meryem Weld, Islam, the West, and the Risale-i Nur (İstanbul: Sözler Neşriyat ve Sanayi, A.Ş., 1993 [1987]), 16 dan seterusnya. 9 Untuk penelusuran theis ini lihat selengkapnya Samuel Huntington, The Clash of Civilization and Remaking of World Order (New York: Simon and Schuster, 1996).
3
keilmuan yang kompleks. Salah satu etika dialog yang paling monumental adalah gagasan global ethics dari Hans Kung. Secara ideal lahirnya konsep itu sangat mewarnai wacana hubungan antar agama, tetapi secara historis-sosiologis hal tersebut masih menemui hambatan-hambatan teknis, misalnya persoalan penyebaran agama (dakwah, zending, missi, dharma, dan lain sebagainya), persoalan agama yang telah masuk wilayah politik, serta persoalan sosial lainnya yang melekatkan agama di dalamnya. Oleh karena itu, perlu satu tawaran model etika hubungan antar agama sebagai enrichment dari konsep yang telah ada. Untuk itu, makalah berikut ini akan menguraikan gagasan Said Nursi tentant etika hubungan antar agama yang berbasis pada konsep keikhlasan dan persaudaraan. B. SAID NURSI DAN RISALE-I NUR Bediuzzaman Said Nursi (1876-1960), salah satu tokoh di antara ratusan tokoh, mencoba
mertumuskan
gagasan-gagasan
“Qur’ani”
untuk
merespon
perkembangan zaman yang sedemikian rupa yang terjadi pada akhir abad XIX dan awal abad XX. Dia hidup ketika dunia Islam, baik politik maupun intelektual, dihantam badai peradaban Eropa yang, dalam beberapa hal, dipandang bertentangan dengan spirit universalitas ide al-Qur’an. Oleh karena itu, dia menulis risalah yang berisi tentang kupasan terhadap kandungan al-Qur’an dengan semangat abad XX, yang sarat dengan pergolakan dan pancaroba peradaban Islam menuju peradaban Barat, yang pada masa kemudian dikenal dengan Risâle-i Nûr Külliyâtından. Secara umum periode kehidupan Said Nursi terbagi menjadi tiga bagian, yakni The Old Said [Sa’îd al-Qadîm] (1876-1923) yang merupakan periode panjang kehidupan Said Nursi yang bergumul dan terlibat langsung dengan pergerakan-pergerakan politik dalam pemerintahan Turki Utsmani. Periode kedua adalah The New Said (Sa’îd al-Jadîd) yang merupakan periode yang penuh dengan perenungan intelektual tentang nasib umat Islam yang berhadapan dengan ideologi-ideologi modern dengan usaha-usaha abrasi keimanan yang sistematis. Sedangkan periode ketiga adalah The Third Said (Said al-Tsâlits), yakni periode Said Nursi yang seluruh hidupnya diserahkan kepada pembinaan umat Islam dengan mengajarkan ilmu al-Qur’an kepada
4
masyarakat tentang pentingnya iman bagi tegaknya kedamaian abadi dunia dan akhirat. Guru-guru yang menempa pengetahuan Nursi awal adalah Abdullah, kakaknya
sendiri;
Şeyh
Sayyid
Nur
Muhammad,
seorang
syaikh
Naqsyabandiyyah di Hizan.10 Pengaruh kesalehan sang guru kepada Said Nursi sangat mendalam, terutama kehidupan zuhudnya, yang bersumber dari ajaran tarekat Nakshabandiyyah sehingga Said Nursi menjalankan praktik-praktik sufi dalam mendukung mendukung pendalaman sebuah ilmu.11 Kemudian dia menimba ilmu pada Şeyh Muhammed Amin Efendi 12 di Arvas. Selepas dari sini ia melanjutkan studi ke madrasah Mir Hasan Veli di Müküs. Kemudian di bawah bimbingan Şeyh Mehmed Celali ilmu-ilmu keislaman di samping nahw dan sarf 13 sampai mendapat ijazah dan gelar kehormatan Molla Said14. Tahun 1894 dia diberi gelar bediuzzaman (perhiasan zaman)15. Dia terobsesi untuk mendirikan Universitas Islam di Turki dengan nama Medresetü z-Zehra (madrâsah al-zahrah) yang meniru sistem al-Azhar di Mesir, tetapi selalu gagal karena perang. Aktivitasnya dalam politik dimulai dengan sokongan terhadap gerakan Pan-Islam-nya al-Afgâni, kemudian dilanjutkan dengan mendirikan organisasi politik Ittihad-i Muhamedi. Karier politiknya berhenti ketika dia selalu berhadapan dengan kepentingan-kepentingan politis yang sebagain besar, baginya, mengingkari
10Untuk
melihat pendidikan awal Nursi periksa Ihsân Qâsim al-Sâlihî, Badî’ al-Zamân Sa’îd al-Nursi: Nadrah ‘âmmah ‘an hayâtih wa atsârih (Al-Maghrib: Matba’at al-Najâh alJadîdah, 1999), 19. 11Sukran Vahide, The Author of The Risale-i Nur: Bediüzzaman Said Nursi. Istambul: Sozler Publication, 1992), 10-11. 12 Mohamed Zaidin bin Mat, Bediuzzaman Said Nursi: Sejarah Perjuangan dan Pemikiran (Selangor: Malita Jaya, 2001), 120 end note no . 20. 13 Vahide, The Author…, 9; periksa juga Said Nursi, Sirah Dhatiyah. Istanbul : Suzlar Rislae-i Nur C.D ROM, t.t),45. Di sini Said Nursi banyak menyelesaikan studi beberapa kitab induk dengan menghapalnaya seperti kitab Jamî’ al-Jawâmi’ karangan Tâjuddîn ‘Abd al-Wahhab bin ‘Ali al-Subki, Syarh al-Mawâkib fî ‘ilm al-Kalâm karangan ‘Ad al-Dîn al-Iji dan kitab Tuhfat al- Muhtaj fî syarh al-Minhâj karangan Ibn Hajar al-Haytsami. 14 Vahide, The Author…, 11; Gelar Molla merupakan gelar kehormatan yang diberikan kepada para sarjana dan cerdik cendekia yang telah menyelesaiakan pendidikannya dalam bidang agama dan kecerdasan untuk mengungkapkan keilmuannya. Lihat selengkapnya J. Chalmard, “Molla”, dalam C.E Bosworth et al. (eds.), The Encyclopaedia of Islam, vol. III (Leiden:, N.Y.: E.J Brill, 1993), 221-225; Henry Munson Jr., Islam and Revolution in the Middle East (New Heaven & London: Yale University Press, 1988), 33. 15Nursi tidak serta merta menerima gelar itu, ia lebih menyukai gelah al-mashur, dan gelar bediuzzaman baru dipakai di awal namanya tahun 1894. Lihat Vahide, The Author…12.
5
ajaran al-Qur’an. 16 Fenomena-fenomena kawan dan lawan dalam politik, bagi Nursi, semuanya jauh dari akhlak Qur’ani, terlebih ketika isu sekulerisme dan komunisme berkembang di Turki yang sarat dengan kepentingan yang pragmatis. Atas dasar itu dia menarik diri dari dunia politik. Inilah masa peralihan dari Eski Said [Said Lama] kepada Yeni Said [Said Baru]. Said Lama adalah Said yang berpolitik praktis dengan menerjunkan diri dalam pancaroba kultur Turki. Said Baru merupakan masa pengabdiannya pada al-Qur’an dengan menafsirkannya kemudian menyebarkan dalam bentuk risalahrisalah. Seluruh isi interpretasinya terhadap al-Qur’an merupakan respon langsung atas berkembangnya pola pikir yang materialistis, positivistis dan bahkan ateistis. Ajaran-ajaran Nursi mampu membangkitkan spirit Islam di Turki Anatolia yang terkenal dengan sebutan Nurculuk. Seluruh risalah tersebut kemudian dikumpulkan oleh Said Nursi dan diterbitkan oleh para muridnya dengan nama Risale-i Nur [Risalah-risalah Penerang] dan disebarkan ke negara-negara Eropa, Amerika dan Asia. Risale-i Nur seluruhnya terdiri dari 9 jilid (edisi Arab), 4 jilid (edisi Inggris), dan beberapa risalah yang diterbitkan secara terpisah menjadi kitab-kitab yang menjadi bagian Risale-i Nur yang terbit dalam berbagai macam bahasa.17 Tematema penulisan karya-karya ini mengikuti alur budaya dan kultur yang melingkupi kehidupan Said Nursi. Pada periode Sa’îd al-Qadîm (1887-1923) tulisan-tulisannya bernuansa kritik terhadap kebijakan pemerintahan Utmaniyah yang opresif dengan mengatasnamakan Islam, terutama dalam konstitusi. Sedangkan periode Sa’îd al-Jadîd (1923-1950) karyanya bernuansa refleksi keimanan sebagai landasan hidup pribadi dan masyarakat untuk “melawan” faham atheisme dan kuffâr, dan periode Sa’îd al-Tsâlits (1950-1960) merupakan kelanjutan dari periode sebelumnya dengan karya-karya yang ditulisnya sangat berwarna pelayanan terhadap kepentingan umat Islam terutama di dalam persoalan keimanan. Secara garis besar isi Risale-i Nur dapat dikelompokkan menjadi tema besar yakni: menumbuhkan kesadaran umat Islam, untuk menghadapi perkembangan intelektual yang bernuansa filsafat materialisme dan 16Kekecewaan Said Nursi terhadap politik tersebut tercermin dalam ungkapannya, “a’ûzu billâhi min al-shaytân wa al-siyâsah”. Lihat selengkapnya Said Nursi, Sirah Dhatiyah, 202-203; bandingkan dengan kitab karyanya yang lain Al-Maktûbât, 239; Letters, 317. Alasan Said Nursi menarik diri dari percaturan politik dapat dilihat dalam Said Nursi, The Rays Collections, 457 dst. 17 Untuk karya lengkap Bediuzzaman Said Nursi dapat diakses di Risâle-i Nur Külliyatından dalam CD ROM Risalei Nur 1.0, Nesil Basım Yayın Sam, İstanbul; atau kunjungi situs Nesil di www. nesil.com.tr/publication.
6
positivisme, dan untuk menampilkan kesadaran kolektif dengan menghidupkan masyarakat yang berbasis satu Islam.18 Sepanjang hayatnya Nursi mencurahkan perhatian pada penyebaran Risale-i Nur sebagai media untuk membentengi umat Islam dari hantaman sekulerisme dan komunisme.19 Tahun 1960 Nursi wafat dan dimakamkan di Urfa dengan meninggalkan kader-kader “iman” yang mewarnai Islam di Turki pada masa-masa berikutnya. Terkait dengan wacana hubungan antar agama Said Nursi memulai pemikirannya dngan mereinterpretasi terhadap Al-Qur’an yang disesuaikan dengan persoalan-persoalan yang muncul pada zamannya. Karena persoalan yang muncul begitu kompleks, maka pemikirannyapun yang tertuang dalam Risale-i Nur juga sangat kompleks. Persoalan ini, bagi Nursi, sangat penting karena Qur’an yang penuh dengan pesan moral ditinggalkan begitu saja. 20 Berbeda dengan Mustafa Sabri, yang mengedepankan isu Pan-Islamisme21, Said Nursi lebih ke arah sikap moderat. Dengan kata lain ia tidak semata-mata meninggalkan aspek lokal Turki dengan menonjolkan Pan-Islam, atau sebaliknya. Tetapi Nursi menekankan “middle way”, yakni mengambil sikap di tengah-tengah antara dua kutub tersebut22. Risale-i Nur sebagai interpretasi Qur’an menempatkan diri pada respon positif terhadap kemajuan Eropa juga semangat Qur’an untuk melihat secara luas kondisi sosial Turki. Oleh karenanya, Risale-i Nur mengedepankan sikap tersebut 23 . Dari perspektif ini, menurut Nursi, bahwa kemajuan Eropa yang membawa misi keadilan, hak asasi manusia dan persamaan, merupakan wajah Eropa yang lahir dari kedalaman semangat relijius Kristen. Sementara dekadensi moral, kebodohan sekulerisme dan ateisme merupakan wajah Eropa yang lahir dari pemahaman filsafat materialistis, dan ini menjadi musuh universal setiap
18M. Hakan Yavuz, “The Assassination of Collective Memory: The Case of Turkey”, The Muslim World, Vol.LXXXIX, No. 3-4 (July-October 1999), 199. 19Dia memposisikan al-Qur’an sebagai supremasi tertinggi untuk melawan faham-faham tersebut, maka Risale-i Nur tidak lain hanya ungkapan-ungkapan al-Qur’an dengan “bahasa” modern, lihat Vahide, The Author…, 205. 20Bediuzzaman Said Nursi, The Flashes Collection, trans. Şukran Vahide, (Istanbul: Sozler Publications A.S, 2000), 51 21Niyazi Berkes, The Development…, 341. 22John Obert Voll, “Renewal and Reformation in the Mid-twentith Century: Bediuzzaman and Religion in the 1950s”, The Muslim World, vol. Lxxxix, No. 3-4, July-October 1999, 259. 23Said Nursi, The Flashes Collection, 203.
7
agama.24 Agama-agama, bagi Nursi sebagaimana dikutip oleh Thomas Michel, lahir dan berkembang dalam kondisi masyarakat yang chaos, dan akan memperbaharui kondisi sosial yang dekaden tersebut dengan semangat masingmasing agama yang universal yang memiliki keunikan dan karakteristiknya sendiri-sendiri25. Dengan demikian, Said Nursi melihat adanya persoalan yang mendesak dalam hubungan antar agama untuk segera difikirkan. Menurut Said Nursi, agama-agama yang sudah niscaya ada dan hidup berdampingan perlu dasar pijak untuk menjalin hubungan yang baik. Dari dasar inilah etika hubungan antar agama menjadi kebutuhan pokok. C. KONSEP ETIS RELASI ANTAR AGAMA Dengan mengembangkan logika bahwa eksistensi merupakan kesatuan realitas kosmos yang mempunyai relasi yang utuh, Said Nursi menegaskan bahwa eksistensi pada hakikatnya merupakan manifestasi dari eksistensi mutlak yang dalam konsep agama disebut dengan tuhan, Allah. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab III, bahwa eksistensi manusia merupakan atribut dari eksistensi Allah, maka menurut logika bahasa, Said Nursi memposisikan eksistensi manusia sebagai ḥarf yang tidak dapat bermakna tanpa hadirnya eksistensi lain, yakni ism. Kebermaknaan tersebut tergantung pada proses transendensi harf (ego manusia) pada ism (Allah Dzat Penciptanya). Dengan demikian, manusia menjadi “subjek” dari proses transendensi tersebut. Untuk konteks hubungan antar agama, Said Nursi menghubungkan dasar paradigma ḥarf logic dengan posisi agama dalam kehidupan manusia. Dari sinilah kemudian Said Nursi mengemukakan titik konvergensi antar agama dalam konsep sharî’ah, dan kemudian dijabarkan dalam konsep-konsep teologis, seperti konsep nabi, kitab suci, dan tradisi, melalui konsep îmân yang dibangun dari relasi dengan The Supreme Being, Allah. Dari penjabaran ini Nursi kemudian menarik garis demarkasi antara manusia yang “beragama” yaitu manusia yang berjalan sesuai dengan sharî’ah para nabi, dan manusia yang “tidak beragama” yakni yang pemikiran dan tindakannya mengacu pada pemikiran dan supremasi akal (dehâ) semata-mata, dan ini yang menjadi dasar 24Ibid.,
160; Nursi mengidentikkan wajah Eropa yang ke-2 dan juga kekuatan-kekuatan yang menjadi musuh agama tersebut sebagai perwujudan dari Dajjal anti-Kristus (161); lihat juga Said Nursi, Letters 1928-1932, terj. Sukran Vahide, (İstanbul: Sözler Publications A.S, 1997), 78-79; bandingkan dengan Said Nursi, The Words (İstanbul: Sozler Nesriyat, 1992), 423. 25Thomas Michel, “Muslim-Christian…”, 325-326
8
dari pemikiran filsafat naturalis. Kemudian dari uraian pemikiran Said Nursi dapat dijelaskan bahwa pluralitas agama muncul ketika konsep îmân di terjemahkan dalam dua kategori, yakni mushâhadah (transenden) dan shâhid (imanen). 26 Konsep pertama merupakan bentuk “penyandaran diri” manusia pada Allah yang melahirkan beberapa konsekuensi epistemologis; dan yang kedua merupakan bentuk manifestasi dan implikasi langsung dari transendensi yakni relasi dengan alam dan manusia lainnya, termasuk dalam hal ini relasi antara manusia yang berlainan agama. Konsep-konsep itu secara langsung merupakan artikulasi dari keseluruhan paradigma ḥarfi logic, yang dijelaskan disana bagaimana eksistensi “Aku” berimplikasi pada relasi antara entitas satu dengan lainnya, serta landasan yang menjadi fondasi bagi terwujudnya sikapsikap riil dalam realitas sosial. Jalan kenabian yang diungkapkan oleh Said Nursi meniscayakan konsep wahyu dan sharî’ah yang keduanya ditemukan di dalam setiap masa kenabian. Artinya wahyu dan sharî’ah selalu menyertai jalan kenabian yang di sini lekat pemahaman secara akal dan kebijaksanaan relijius (pholosophy and religious wisdom).27 Dari sini Said Nursi membedakan antara manusia yang tunduk pada sharî’ah para nabi dan yang tidak, atau hanya mengandalkan supremasi akal semata. Sharî’ah yang utuh dan solid yang diturunkan Allah pada masa kenabian tertentu selalu berinteraksi dengan struktur tradisi yang berbeda, sehingga interpretasi sharî’ah pada masa yang berbeda akan melahirkan sistem keagamaan yang berbeda, dan inilah apa yang disebut dengan dîn tersebut. Di sinilah muncul keragaman agama, tetapi yang perlu digarisbawahi bahwa keragaman agama dari penelusuran pemikiran Said Nursi ini terbagi dalam dua dimensi, universalitas agama dan pertikularitas agama. Konsep pertama terlihat dari konsep sharî’ah yang universal dari setiap masa kenabian yang selalu membawa sistem sharî’ah yang utuh dan solid dari Allah. Adapun yang kedua adalah keragaman yang berasal dari interpretasi konsep sharî’ah yang utuh dan 26Said Nursi tidak menyebut langsung konsep penyandaran diri dengan transendensi dan proses relasi dengan wilayah riil dengan imanensi, tetapi untuk menguraikan konsep-konsep ini digunakan istilah transendensi dan imanensi. Penggunaan istilah ini dimaksudkan untuk mempermudah secara teknis penyebutan konsep mushahadah. Istilah transendensi sendiri berasal dari kata transcendence yang artinya “God is completely outside of and beyond the world, as contrasted with the notion that God is manifested in the world” yang membawa kepada makna tertentu dalam ranah filosofis sekaligus relijius. Lihat www.wikipedia.com/trancendence (religion).mht. diakses 24 Maret 2008, 14:52. 27 Said Nursi, The Flashes Collection, 11th flash, 8th poin, 87; bandingkan dengan The Letters, 18th, 3rd matter, 113-4.
9
solid tersebut, sehingga setiap masa terdapat struktur sharî’ah yang telah berinteraksi dengan sistem tradisi dan budaya manusia. Dengan demikian, masing-masing identitas agama tetap terjaga sebagai sistem keagamaan yang eksis sebagai agama (dîn). Dari masing-masing agama dalam keragaman agama itu, terdapat komunitas manusia yang secara intens melakukan transendensi dan mengikuti sharî’ah dan sunnah para nabi dan rasul secara konsisten, tetapi ada juga yang mengingkarinya.
Manusia
yang
mengikuti
sharî’ah
para
nabi
akan
dikelompokkan ke dalam kategori people of religion, begitu sebaliknya yang mengingkarinya dan lebih condong mengikuti supremasi akal manusia dikelompokkan ke dalam people of irreligion. Masing-masing atribut yang melekat pada kelompok tersebut adalah people of guidance untuk manusia yang being religion (people of religion) dan people of misguidance untuk manusia yang having religion (people of irreligion).28 Kelompok-kelompok manusia dalam agama-agama ini dihadapkan satu sama lain, sehingga tercipta konfigurasi yang dikotomis. Sekalipun demikian, Said Nursi membuat kategori lagi manusia yang beriman dengan konsep true believer, yang dihadapkan dengan believer saja. Inti dari kategori-kategori ini berada pada konsep true belief ini. Artinya orientasi yang dijadikan sandaran Nursi untuk melihat bagaimana masing-masing agama bisa saling berhubungan didasarkan pada konsep true belief ini. Di dalam kelompok orang beragama ada orang beriman, dan di dalam orang kelompok orang beriman ada orang yang beriman secara benar (true belief), yakni îmân yang mendorong manusia peduli pada kondisi sosial yang melingkupinya. Ini dibedakan dari îmân saja, karena sebagaimana konsep itu dipahami sebagai “aktivitas” individual saja yang belum menyentuh aspek sosiologis. Konsep true belief dan true believer inilah yang concern pada jalur kenabian yang selalu meyakini dan mewarisi shari’ah para nabi, dari nabi Adam a.s sampai nabi Muhammad SAW. Meskipun Said Nursi mengakhiri konsep keragaman ini pada sharî’ah nabi Muhammad, dan agama-agama pada ahkir zaman menyatu dengan sharî’ah nabi Muhammad, tetapi persoalan relasi antar agama pada zaman sekarang tetap berangkat dari karakter dan indentitas khas masing-masing agama. Dengan
28 Pejelasan lengkap tentang karakter people of misguidance lihat selengkapnya Said Nursi, The Flashes Collection, 205.
10
demikian, keragaman agama pada era globalisasi ini dapat dipahami sebagai ajang untuk “menyapa dan berdialog” di dalam menghadapi pemikiran naturalis dan ateis yang melahirkan paham sekulerisme, hedonisme, konsumerisme dan lain sebagainya. Untuk konteks seperti ini Said Nursi menekankan prinsipprinsip sincerity, brotherhood, dan love. Jelas terlihat bagaimana Said Nursi memilah persoalan teologis yang selalu senantiasa strict pada konsep “permanen” dari teks-teks kitab suci beserta interpretasinya, dan persoalan sosiologis yang “melintasi” batas keyakinan, agama, dan identitas agama, yang masing-masing dapat secara menyapa dalam suasana yang penuh rasa sincerity, brotherhood, dan love.29 Terciptanya dialog antar agama dalam arti yang sebenarnya hanya akan terwujud dengan pengakuan terhadap keunikan masing-masing agama dengan berbagai corak ajarannya. Yang terpenting dari hal itu bukan pada eksplorasi perbedaan-perbedaan tanpa memberikan apresiasi terhadap aspek-aspek yang sama dari masing-masing agama. Dalam perspektif Islam, fenomena ini bukanlah hal yang baru, tetapi sudah merupakan agenda dari kenabian Muhammad SAW itu sendiri untuk menjalin kerjasama dengan siapa saja untuk meneguhkan bahwa tiada tuhan selain Allah dengan menerjemahkan sifat-sifat mulia Allah untuk kedamaian dunia. Oleh karena itu, Muhammad Iqbal menerjemahkan risâlah kenabian tersebut sebagai “the reconciliation of all who believe in God of Abraham, of all who are the children of Abraham, of Jews, Christian, and Muslim”, 30 sehingga keyakinan ini memposisikan kutub yang berseberangan dengan keyakinan yang mengingkari tuhan, yang Iqbal menyebutnya sebagai “atheistic materialism”.31 Said Nursi telah menegaskan perbedaan yang tajam antar misi kenabian dan paham ateistik materialism ini. Inti dari seluruh tulisannya di Risale-i Nur merupakan uraian tentang persoalan ini dari perspektif al-Qur’an. Dengan tegas 29Uraian-uraian
tentang hal ini dijelaskan secara panjang oleh Said Nursi The Damascus Sermon, terj. Hütbe-i Şemiye oleh Şukran Vahide (İstanbul: İhlas Neşriyat, t.t), risalah ke-4, 5,6, 38-48; Sincerity and Brotherhood, terj. Hamid Alghar (İstanbul: Sözler Neşriyat, 1998 [1976]). 30Muhammad Iqbal, The Mission of Islam, 131. 31Ibid.; Iqbal membuat pertentangan antara keyakinan yang dibawa oleh para nabi yang terartikulasi dalam monoteisme dengan keyakinan yang mengingkari eksistensi tuhan. Agamaagama, di sisi lain, menurut Iqbal merupakan barisan yang membawa misi kenabian yang “samasama” melawan kekuatan atheistic materialism. Iqbal juga melihat adanya persamaan orientasi dari agama-agama yang merupakan titik singgung dari perkembangan agama dari masa ke masa. Hal ini tidak bisa dipungkiri karena Islam lahir dari kultur yang sudah dipenuhi oleh tradisi agamaagama yang besar dan hidup sampai sekarang, dan memungkinkan terjadinya persinggungan ajaran dalam arti positif.
11
Said Nursi mengelaborasi nilai-nilai al-Qur’an dengan konteks sosial dan sains modern yang dihadapinya menjadi pandangan “universal” tentang truth of belief yang dihadapkan dengan pemikiran filsafat atheistic dan materialistic.32 Dengan dasar pemikiran seperti ini Said Nursi mengemukakan titik temu agama-agama dalam satu îmân dalam menggalang kerjasama untuk menyelesaikan masalah bersama, yakni menghadapi kekuatan dari pemikiran filsafat materialis dan ateis yang terjadi di Eropa.33 Meskipun Said Nursi mengritik peradaban Eropa, tetapi Nursi memadukan semangat Eropa yang berasal dari ajaran Jesus –yang merupakan ajaran yang dalam beberapa hal “identik” dengan ajaran nabi Muhammad yang mengusung kemanusiaan, dengan semangat Islam untuk tunduk pada Tuhan dengan bersama-sama melawan tirani dan kesewenang-wenangan. 34 Apa yang dilakukan oleh Said Nursi dalam melihat agama-agama lain dari perspektif Islam menurut John Obbert Voll sebagai bentuk penilaian “anonymous muslim”, dan menyamakannya dengan Karl Rahner, seorang Katolik Roma, yang melihat agama-agama lain dari perspektif Kristen dengan menyebutnya anonymous Christianity.35 Sekalipun demikian apa yang dilakukan oleh Nursi tidaklah identik in toto dengan konsep Karl Rahner. Nursi berangkat dari kesatuan nabi-nabi dan konsep sharî’ah, sementara Karl Rahner “hanya” memandang dari perspektif teologis Kristen yang kebenarannya diimplementasikan dalam agama-agama lain. Lebih dari itu, Said Nursi melihat fenomena ini sebagai penjabaran konsep sharî’ah kepada nabi-nabi yang dinterpretasikan secara berbeda sesuai dengan konteks kultur sosial yang berbeda. Perspektif sharî’ah yang digunakan oleh Said 32Pandangan yang sedikit berbeda dengan filsafat Barat, yang justru menegaskan aspek spiritual dengan “menyatukan” aspek “dunia” dengan aspek ketuhanan adalah filsafat Timur. Untuk filsafat Timur tulisan-tulisan Said Nursi yang secara implisit mengapresiasinya karena bersumber dari keyakinan terhadap tuhan. Untuk kajian Risale-i Nur dan pemikiran filsafat Timur lihat Hee-Soo Lee, “Risale-i Nur as the Model Texts of Asian Value System”, makalah tidak diterbitkan, International Conference on Modern Islamic Thought: The Contribution of Bediuzzaman Said Nursi, Yogyakarta 11-12 Agustus 2001. 33 Telah disebutkan di bab III bahwa Said Nursi membagi Eropa menjadi dua, yakni Eropa yang bersumber dari ajaran Jesus yang menebarkan arti kemanusiaan sebenarnya yang disinari ajaran tuhan, dan yang kedua Eropa yang bersumber dari filsafat ateis-materialis dan menjadi penentang ajaran Jesus (anti-Christ, dajjal) –dan ini yang menjadi idola bagi kaum sekularis dan westernis Turki. Eropa yang kedua inilah yang disebut Said Nursi sebagai kekuatan “buas” yang menjerumuskan manusia lebih rendah dari binatang, lihat selengkapnya Said Nursi, The Flashes Collection, 161. 34Said Nursi, The Flashes Collection, 165. 35 John Obbert Voll, ”Renewal and Reformation in the Mid-twentieth Century: Bediuzzaman Said Nursi and Religion in the 1950s”, The Muslim World, Vol. LXXXIX, No 3-4 (July-Oktober 1999), 257.
12
Nursi untuk melihat keragaman agama dan jalan bagi terciptanya relasi antara agama banyak dipengaruhi oleh pemikiran Imâm Rabbanî Shaykh Aḥmad Sirhindî. Aḥmad Sirhindî menjelaskan sebagaimana diuraikan oleh Abdul Ḥaq Anṣârî, bahwa sharî’ah mempunyai dua pengertian dasar, pertama, sharî’ah merupakan aturan dan kewajiban yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah yang meliputi ibadah ritual, ajaran moral dan kemasyarakatan, ekonomi dan pemerintahan. Kedua, sharî’ah adalah ajaran tentang keimanan, nilai-nilai ideal, dan seluruh ajaran yang diturunkan kepada para nabi. 36 Operasionalisasi diktum-diktum sharî’ah, menurut Aḥmad Sirhindî, harus sepenuhnya mengacu pada apa yang dilakukan oleh nabi (sunnah), karena nabi mempunyai kapasitas sebagai orang yang mengetahui kehendak Tuhan melalui wahyu yang diterimanya.37 Di sinilah pentingnya wahyu dalam konsep sharî’ah, karena dengan wahyu itu nabi sekaligus dapat mencapai “pengetahuan” tentang Tuhan dan sekaligus memberitakan pengetahuan tersebut untuk kebahagiaan manusia, melalui buah îmân sebagai inti dari sharî’ah, yaitu keikhlasan dan cinta. Inilah yang disebut dengan “the way of prophet”.38 Jalan kenabian yang merepresentasikan konsep wahyu (risâlah) yang membawa sharî’ah dan mengajarkan keragaman agama-agama telah mengakui dan menempatkan agama-agama bersaudara dalam “îmân”, menyandarkan diri pada Allah, yang oleh Said Nursi disebut dengan people of religion. Sementara itu, orang yang di luar logika îmân ini disebut dengan irreligion. Sekalipun demikian, Said Nursi melihat bahwa agama-agama lain merupakan “serapan” dari sharî’ah yang sama dari nabi-nabi yang berbeda tergantung dari tingkat akulturasi dan transformasi sejarah yang berbeda pula. Oleh karena itu, Said Nursi memandang agama-agama tersebut merupakan Islam anonim, mereka 36Muhammad Abdul Haq Ansari, Sufism and Shari’ah: A Study of Ahmad Sirhindi Effort to Reform Sufism (Leicester: The Islamic Foundation, 1997), 71. 37Yohanan Friedmann, Shaykh Ahmad Sirhindi: An Outline of His Thought and a Study of His Image in the Eyes of Posterity (Montreal, London: Institute of Islamic Studies McGill University & McGill-Queen’s University Press, 1971), 43. 38 Sebenarnya ide tentang jalan yang ditempuh nabi di sini merupakan jalan dalam mencapai pengetahuan tentang Tuhan yang dibedakan dari jalan para sufi, tetapi dalam menjelaskan konsep sharî’ah baik jalan para nabi maupun sufi akan bertemu pada esensi dari sharî’ah, yakni iman, sedangkan ṭarîqah (jalan, cara) menuju ke arah itu dibedakan antara sharî’ah (jalan nabi) dan taṣawuf (jalan sufi). Shaykh Aḥmad Sirhindî sendiri menegaskan bahwa yang paling esensial ketika “berhadapan” dengan Tuhan bukanlah tasawuf tetapi sejauh mana mengikuti jalan para nabi. Lihat selengkapnya uraian tentang hal ini dalam ibid., 228. Untuk ungkapan di atas Aḥmad Sirhindî mengatakan “farad-yi qiyamat az shari’at kwahand pusid az tasawuf na-kwahand pusid”, kutipan dari Maktûbât karya Aḥmad Sirhindî vol. I, 66, 19-20 dari Yohanan Friedmann, Shaikh..., 41.
13
sebenarnya mengelaborasi spirit “islam”, atau dîn al-fiṭrah menurut istilah Ismâ’îl al-Fârûqî,
hanya derajat akulturasi yang
berlainan,
dan akan
“mengadopsi” semangat islam dalam agama mereka. Di dalam kitabnya The Damascus Sermon, secara tegas Said Nursi mengajak semua agama untuk mempererat persaudaraan dalam “semangat islam”, untuk menciptakan suasana kondusif bagi terciptanya perdamaian bersama.39 Dengan semangat ini pula Said Nursi melihat perkembangan peradaban di Eropa dan Amerika merupakan “kandungan” peradaban Islam yang pada suatu saat akan “lahir” memimpin dunia menuju perdamaian abadi. 40 Hal ini berangkat dari analisis ḥarfi logic di atas bahwa kebenaran Kristen yang dibawa oleh nabi Isa, yang oleh Said Nursi disebut sebagai true Christianity 41 yang dibedakan dengan deceived Christianity – Kristen yang telah dirusak oleh filsafat materialisme,42 akan memperkuat sharî’ah yang dibawa nabi Muhammad dalam menghadapi kelompok unbelief dan ateism.43 Kemudian secara lebih sempit terhadap ahl al-kitâb, agama-agama yang mendapat kitab suci dari Allah, Said Nursi tetap melihatnya sebagai “keluarga” agama-agama profetik yang membawa etos sharî’ah dari nabi-nabi yang membawanya. Dia menjelaskan hal ini ketika menjawab pertanyaan apakah antara muslim dan non-muslim itu sama di hadapan hukum dan sharî’ah.44 Said Nursi lebih lanjut mengerucutkan persoalan bahwa agama-agama yang ada di dunia ini, Yahudi dan Kristen yang banyak disebut dalam al-Qur’an, merupakan “saudara” untuk menciptakan perdamaian. Dengan memperluas interpretasinya terhadap QS. al-Mâidah (5): 51, Nursi mengatakan bahwa pada hakikatnya persahabatan dengan orang Yahudi ataupun Nasrani sebagaimana
39
Said Nursi, Damascus Sermon, terj. Sukran Vahide (t.t: t.p, t.th), 23
40Ibid.
41 Penjelasan tentang hal ini lihat misalnya dalam Said Nursi, The Letter..., 78-80; bandingkan dengan The Rays Collection, 108. 42 Said Nursi menamakan agama Kristen yang membawa kepada peradaban yang menghargai kemanusiaan adalah ajaran nabi Isa yang benar dengan true Christianity, sedangkan agama Kristen yang telah “tertipu” oleh filsafat naturalisme dan materialisme dengan deceived Christianity. Lihat penjelasan ini dalam Said Nursi, The Letters, 29th letter 511; bandingkan dengan penjelasan dalam The Flashes Collection, 160-162. 43Said Nursi, The Letters, 22. 44Said Nursi, Munâzarat, vol. 2 (İstanbul: Yeni Asya Yayinlar, 1996), 25; sebagaimana dikutip dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Zeki Saritoprak dalam artikel “Said Nursi’s Teaching on the People of Books: A Case Study of Islamic Social Policy in Early Twentieth Century”, Islam and Chrsitian-Muslim Relation, Vol. II, No.3 (2000), 326. Dalam edisi Arab lihat Bediuzzama Said Nursi, Munâẓarat, dalam Kulliyât Rasâ’il al-Nûr, jilid 8: Ṣaiqal al-Islâm, terj. Iḥsân Qâsim al-Ṣâlihî (Cairo: Shirkah Suzlar li al-Nashr, 2004), 398-9.
14
interpretasi di atas merupakan bentuk persahabatan yang dijalin dengan orang Yahudi dan Kristen yang taat dan salih, sesuai dengan ajaran nabi-nabi mereka.45 Hal ini di dasarkan pada asumsi bahwa di dalam merespon ajaran dan sharî’ah nabi-nabi mereka ada orang yang taat ada orang yang mengingkarinya. Said Nursi menganggap orang Yahudi dan Kristen yang taat-lah yang merupakan sahabat Muslim yang taat. Ini sejalan dengan ungapan Sachiko Murata dan William C. Chittick, bahwa Yahudi dan Kristen yang disebut di dalam al-Qur’an untuk dijauhi oleh Muslim adalah mereka yang ingkar pada ajaran nabi-nabi mereka,46 dan mereka yang ingkar tidak hanya ada di dalam agama Yahudi dan Kristen saja, di kalangan muslim juga ada yang ingkar pada sharî’ah Nabi Muhammad, begitu juga di dalam agama-agama lain ada yang îmân ada yang kufr. Dengan demikian “persahabatan” yang terbangun adalah persahabatan antara people of belief, believers, îmân yang murni menjalankan sharî’ah para nabi dan berada di dalam komunitas agama manapun47. Terhadap agama profetik, Said Nursi menunjukkan sikap yang spesifik dan apresiasi yang tinggi dalam capaian untuk kerjasama ini. Sebagaimana Muhammad Iqbal yang menyebutnya sebagai “children of Abraham”, 48 maka Said Nursi juga menyebutnya sebagai “descendants of Abraham” yang membawa semangat ke-Tuhan-an yang tulus. Said Nursi lebih rinci lagi menarik keturunan nabi-nabi sampai kepada Ibrahim dengan masing-masing nubuwwah terhadap nabi-nabi setelah Ibrahim. Maksudnya, nabi-nabi setelah Ibrahim selalu memberikan berita nubuwwah kepada nabi sesudahnya sampai kepada Nabi Muhammad, dan Rasulullah SAW sendiri mengakui seluruh nabi-nabi yang diutus oleh Allah sebelumnya tidak hanya sampai pada Ibrahim, yang masing-
45Zaki
Saritoprak, “Said Nursi’s Teaching...”, 327. Murata dan William C. Chittick, The Vision of Islam (N.Y.: Paragon House,
46Sachiko
1994), 171-2. 47Lihat Thomas Michel, “Mulsim-Cristian Dialogue and Cooperation in the Thought of Bediuzzaman Said Nursi”, The Muslim World, Vol. LXXXIX, No. 3-4 (July-Oktober 1999), 332. Periksa pula Zeki Saritoprak, “ Said Nursi’s Teaching...”, 327. 48Iqbal sebenarnya mempertemukan agama-agama manusia pada poros nabi Adam, tetapi secara spesifik dia menamai penganut agama Yahudi, Kristen, dan Islam sebagai “anak-anak Ibrahim”. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa semua keluarga agama (orang yang taat dalam being religion) menjunjung tinggi nilai kemanusiaan karena berasal dari satu kelurga yang sama, yakni dari satu keturunan, Adam; sedangkan penyebutan ketiga agama tersebut sebagai anak-anak Ibrahim sebagai penekanan terhadap pernyataan al-Qur’an yang dikutip oleh Iqbal, bahwa ketiga agama tersebut “hanya” punya satu tugas yaitu “serve none but God”, lihat selengkapnya Muhammad Iqbal, The Mission of Islam, 127-8.
15
masing nabi membawa risâlah yang sama dari Allah.49 Oleh karena itu, secara spesifik pula pada tahun 1951 Said Nursi mengirim karya-karyanya kepada Paus Pius XII di Roma, dan tahun 1953 dia mengunjungi Pendeta Ekuminis Athenagoras di Istanbul untuk menjalin persahabatan dalam menghadapi pemikiran materialis yang mewujud dalam ateisme dan sekulerisme.50 Dengan prinsip sharî’ah yang diturunkan dari konsep îmân dari perspektif ḥarfi logic, dan merupakan jalan para nabi tersebut, Said Nursi membentangkan sebuah kerangka kerjasama antar pemeluk agama dalam menghadapi orang-orang yang menjadi musuh dari misi kenabian tersebut. Menurut Said Nursi, misi para nabi itu adalah, sebagaimana mengutip Aḥmad Sirhindî, adalah menegakkan sharî’ah, dan sebagai landasan bagi terciptanya kerjasama dan persaudaraan (brotherhood) dalam mewujudkan “mutual understanding” harus mengacu pada elemen-elemen pembentuknya. Bagi Nursi, elemen-elemen itu adalah keikhlasan, sebagai buah dari îmân, dan cinta abadi terhadap supremasi kemanusiaan.51 Ini adalah landasan bagi relasi antar agama bagi terciptanya saling pengertian dan tasâmuh antar pemeluk agama. Sekalipun demikian, Said Nursi melekatkan konsep true (benar) pada kata “orang beriman” (believers) menjadi true believers. Tujuan utama dari Nursi adalah menunjukkan bahwa di dalam komunitas orang beriman sekalipun ada yang merespon perkembangan zaman dengan sangat terbuka untuk menggali makna îmân yang hakiki (tahqîqi îmân) ketika berhadapan dengan “persoalan” modernitas. Dalam konteks al-Qur’an konsep îmân selalu meniscayakan ‘amal ṣalih, dan ini membawa konsekuensi pada manifestasi dalam konteks sosial yang dinamis dan selalu berubah. Konsep ini dibedakan dengan konsep believers tanpa ada atribut true, yakni orang yang hanya “meresapi pengalaman dengan Tuhan semata” tanpa melihat konteks sosial, dan cenderung mengisolasi dari perkembangan modernitas. Mereka hanya sibuk dengan “individualitas” tanpa memperhatikan “sositas”. Dalam hal ini tepat sekali ungkapan Eric Hoffer yang
49Lihat
Said Nursi, The Letters..., 200-211; bandingkan dengan penyebutan yang serupa dalam The Rays Collection, 121. 50 Thomas Michel, “Muslim-Christian...”, 331. 51Said Nursi, Sincerity and Brotherhood, terj. Hamid Algar (İstanbul: Sözler Publication, 1998), 31; bandingkan dengan The Letters..., 311.
16
mengatakan bahwa “true believers is everywhere on the march, and both by converting and antagonizing he is the shaping the world in his own image”.52 Konsep true belief yang diusung Said Nursi perlu digarisbawahi karena untuk
merespon
perkembangan
moderinitas
dan
globalisasi,
persoalan
kemanusiaan selalu aktual dan peran “orang-orang beragama” dituntut untuk memberikan alternatif pemikiran. Konsep ini dilatarbelakangi oleh kondisi internal Said Nursi sebagai “orang beragama” yang mempunyai tanggung jawab îmân atas realitas sosial yang dihadapinya. Sedangkan kondisi eksternal yang melatarbelakangi pemikirannya adalah puncak pertentangan dua ideologi besar yang berasal dari “filsafat materialisme” yakni ideologi Kapitalisme Barat dan Sosialisme dan Komunisme “Timur”. Pertentangan ini semakin meningkat dengan meletusnya Revolusi Bolshevik tahun 1918 di Russia yang menandai berkuasanya komunisme. Fenomena ini membawa dunia pada blok-blok yang berafiliasi pada satu di antara dua ideologi besar tersebut. Peretentangan ideologi ini melahirkan Perang Dingin yang memisahkan kekuatan Barat dengan Timur, Kapitalisme dengan Komunisme, dan hal ini membawa konsekuensi besar dalam setiap lini kehidupan manusia. Stabilitas kehidupan di berbagai bidang banyak ditentukan oleh fluktuasi kedua kekuatan tersebut. Siklus pandangan-pandangan yang muncul dalam situasi kultur semacam ini merupakan serangkaian dari pertentangan antara ide-ide yang ekstrem. Dengan kata lain, kultur seperti itu mengekskalasi munculnya pandangan-pandangan ekstrem, baik bernuansa agama, politik, sosial, ekonomi, atau bahkan blended dari semuanya. Di dalam menghadapi gelombang perkembangan seperti itu, eksistensi “orang beriman” menghadapi pilihan-pilihan dilematis. Di dalam menghadapi faham ateisme-komunisme, menurut Ursula Spuler, lahirlah serangkaian gerakan yang ekstrem sebagai respon ide yang bertentangan, tetapi di pihak lain kapitalisme bukanlah aliansi bagi orang beriman yang cocok.53
52 Eric Hoffer melihat bagaimana sebuah keyakinan yang menjadi “semacam ideologi” menjadi landasan bagi aksi yang melibatkan akumulasi massa yang berada dalam satu naungan ideologi yang dianggap, dalam perspektifnya, benar. Lihat selengkapnya pembahasan ini dalam Eric Hoffer, The True Believers: Thoughts on the Nature of Mass Movements (New York: Harper & Brothers, 1951). 53 Ursula Spuler, “Christian and Muslim Dialogue”, makalah tidak diterbitkan, Second International Symposium on Bediuzzaman Said Nursi: The Reconstruction of Islamic Thought in the Twentieth Century and Bediuzzaman Said Nursi, İstanbul, 27-29 September 1992.
17
Konteks kultur sosial seperti ini meniscayakan adanya sebuah terobosan yang solutif dari komunitas agama untuk mengambil peran dalam menghadapi persoalan kemanusiaan tersebut. Pemikiran Said Nursi, dalam hal ini, merupakan satu breakthrough untuk mensikapi dua arus kekuatan yang keduaduanya menganut pemikiran yang materialistik. Said Nursi menawarkan jalan tengah yang semestinya ditempuh untuk merespon arus tersebut. Oleh karena itu, Said Nursi menolak sikap eksklusif dan segala bentuk ekstremisme, tetapi membuka pluralisme pandangan dan keterbukaan.54 Sikap keberagamaan yang eksklusif, radikal, dan ekstrem “digeser” menuju sikap yang ramah, moderat, dan terbuka seiring dengan perkembangan modernitas. Hal ini, menurut Nursi hanya bisa dilakukan oleh seorang true believer. Dengan demikian, konsep true belief di atas menemukan momen untuk “menentukan” sikapnya. Sikap ini penting untuk memahami wacana kemanusiaan di dalam arus modernitas dan pertarungan wacana tersebut. Menurut F. S. C Nothrop pergeseran pandangan tersebut distimulasi oleh pemahaman baru terhadap doktrin agama tentang kemanusiaan. Ide-ide agama yang diserap oleh pemeluknya mengerucut menjadi stimulan munculnya ide “mutual assistence” dan “sympathetic understanding” antara orang-orang beriman di luar ideology.55 Sejalan dengan pandangan ini, Said Nursi mengemukakan bahwa faktor îman-lah menjadi pembentuk dari ide-ide agama tersebut56. Dari sinilah Said Nursi mengembangkan konsep persaudaraan, brotherhood, bagi seluruh umat manusia beragama dalam menghadapi “common enemy”, sekularisme dan pemikiran materialisme. Dengan konsep brotherhood, bagi Said Nursi, kekuatan untuk menanggulangi faham ateisme-komunisme semakin kokoh. Oleh karena itu, Ursula Spuler mengatakan bahwa dengan persaudaraan yang dilontarkan oleh Said Nursi, “we can only solve these problems together”, 57 maka faktor kohesif yang terdapat di dalam people of religion adalah persaudaraan, yang dibangun di atas îmân dalam arti keyakinan akan eksistensi Tuhan sebagai pencipta dan pengendali seluruh aktivitas ciptaan-Nya. Derivasi pemahaman ini 54Lihat Said Nursi, The Flashes Collection, 43; bandingkan dengan artikel khusus yang membahas tentang hal ini yang ditulis Nevrat Yalçintas, Bediuzzaman’s Call to Brotherhood and Unity”, makalah tidak diterbitkan, Third International Symposium on Bediuzzaman Said Nursi, Istanbul, 24-26 September 1995, 4. 55F.S.C Nothrop, “The World’s Religions at Mid-Century: An Introductory Essay”, dalam Guy S. Metraux dan Farnçois Crouzet (eds.), Religions and the Promise and The Twentieth Century (N.Y.: New American Library, 1965), vx. 56Ursula Spuler, “Christian-Muslim Dialogue”, 6. 57Ibid.
18
akan menyatakan dan memposisikan manusia beragama dalam “humanity” yang sebenarnya. Oleh karena itu, bagi Said Nursi tugas para nabi dan rasul, setelah menegakkan sharî’ah adalah menyatakan bahwa manusia beriman berada dalam kesadaran kemanusiaannya yang tinggi, dan semua risâlah tersebut telah disempurnakan oleh kenabian Muhammad SAW.58 Meskipun demikian, pemikiran filsafat naturalis, materialis, dan ateis justru menyatakan bahwa manusia pada derajat yang dekaden dan fragile, karena terpisah dari kesadarannya sebagai manusia yang tergantung pada Tuhan. 59
Dalam berbagai tulisannya, misalnya Damascus Sermon, Said Nursi
mengembangkan konsep cinta sebagai katalisator persaudaraan, sehingga ketika persatuan
mengharuskan
adanya
persaudaraan,
maka
persaudaraan
meniscayakan cinta.60 Cinta inilah yang membuat warna persaudaraan menjadi cerah, dan selanjutnya akan memberi konsekuensi yang baik terhadap kehidupan manusia. Said Nursi memang berangkat dari konsep cinta dalam perspektif Islam, tetapi ketika dihadapkan pada kepentingan kemashlahatan manusia dan kemanusiaan pada umumnya, semangat itu ditujukan kepada seluruh umat manusia. Nursi menyebutnya hayat-ı içtimaiye-i beşeriyeyi, kehidupan sosial masyarakat manusia, tidak eksklusif bagi muslim saja. Cinta yang tumbuh dari dalam hati nurani dan merupakan buah dari îmân, menurut Said Nursi, menjadi perekat bagi tumbuhnya persaudaraan yang tulus61. Tidak ada prejudice yang muncul dari hati yang dihiasi cinta yang murni 58Said Nursi, The Letters..., 120; periksa juga al-Maktubat (İstanbul: CD ROM Risale-i Nur 1.0, t.t.), 388. Al-Fârûqî sendiri lebih tegas lagi menggarisbawahi bahwa kesadaran bersaudara antar agama-agama yang telah dimasukkan dalam keluarga “orang beragama” dengan kandungan dîn al-fiṭrah masing-masing, telah menempatkan manusia sebagai manusia utuh yang tunggal di bawah naungan Tuhan Penguasa Alam. Persoalan kemanusiaan ini oleh faham naturalis dan materialis dipecah-pecah menjadi golongan-golongan manusia berdasarkan pada pertimbangan jenis dan kelompok yang menjebak pada situasi kemanusiaan yang fragile, bukan pada kesatuan yang utuh. Al-Fârûqî mencontohkan faham nasionalisme yang membedakan manusia dalam bangsa-bangsa atas dasar warna kulit [putih, hitam, kuning, merah, coklat, dll], status [maju, berkembang, dan terbelakang], ras [German, Perancis, Inggris, Nordik, Skavic, Polynesia, Mongoloid, Negro, dll], serta domisili [Barat dan Timur]. Lihat selengkapnya Ismâil Rajî’ al-Fârûqî, “Islam and Other Faiths”, 111. 59Said Nursi, Mektubat, 386. Teks lengkap dalam bahasa Turki berbunyi “İşte, şu hikmet-i dakikayı felsefe ve fen ve hikmet bilmediği içindir ki, şuursuz tabiatı ve kör tesadüfü ve câmid esbabı, şu gayet derecede alîmâne, hakimane, basîrâne faaliyete karıştırmışlar, dalâlet zulümatına düşüp nur-u hakikati bulamamışlar”. 60Said Nursi, Damascus Sermon, 38-39; Risale-i Kulliyatindan Hutbe-i Semiye (İstanbul: CD ROM Risale-i Nur 1.0, t.th), 1968; bandingkan juga dengan Sincerity and Brotherhood, 64-65. 61Sebagaimana îmân, Said Nursi juga membedakan cinta dalam dua jenis, true love adalah cinta yang suci dalam arti murni dan tidak ada kepentingan apapun kecuali cinta itu sendiri, dan metafore love, artinya tidak murni dan sarat dengan kepentingan di luar cinta. Cinta yang tumbuh dari hati nurani adalah cinta yang murni (true love), lihat selengkapnya Said Nursi, The Letter..., 28-29.
19
tersebut. Dengan demikian “permusuhan” akan dapat dieliminasi dan yang tampak hanya persaudaraan yang didasari cinta yang suci, serta kebijaksanaan sejati.62 Dengan pandangan ini, Said Nursi menekankan cinta di antara orangorang yang beriman dalam bersama-sama menghalau kekuatan jahat yang muncul untuk melawan îmân, dari kelompok unbelievers, kuffâr. Dengan statemen yang tegas bahwa “the believer loves and should love his brother, and is pained by any evil he sees in him”, 63 Said Nursi ingin membangun sebuah persatuan orang-orang beriman dan kesatuan îmân yang didirikan di atas hati yang dihiasi.64 Ikatan yang kokoh dari cinta itulah yang akan melahirkan tindakantindakan yang arif dan bijaksana yang pada gilirannya memberikan ketentraman dan kedamaian pada kehidupan sosial masyarakat. Ide pluralitas Said Nursi lebih bernuansa islamic centrism, yakni menjadikan islam sebagai “ending” dari kebenaran yang ada dalam agama-agama.65 Hal ini ketika ditelusuri paradigma Said Nursi yang banyak “bermain” pada konsep sharî’ah dari “konsep kenabian”, maka akan ditemukan jawaban bahwa akhir dari sharî’ah dan kenabian itu berakhir pada Muhammad SAW, yang menyempurnakan “etos islam” yang dibawa oleh para nabi sebelum Rasulullah. Dengan demikian, islam centrism dari Said Nursi bukan Islam dalam arti organized religion, tetapi islam sebagai agama para nabi dan rasul (submission) dan dideklarasikan sebagai proper name pada kenabian Muhammad. Islam-nya para nabi yang oleh Nursi disebut dengan “shari’ah” yang dimaknai berbeda oleh umatnya karena bersentuhan dengan tradisi yang berbeda pula telah melahirkan organized religions yang berbedabeda. Sekalipun demikian, inti risâlah yang dibawa para nabi sama yakni “islam” –dîn al-fiṭrah, ür-religion menurut al-Fârûqî.
62Said
Nursi, Sincerity and Brotherhood, 33. dalam khutbahnya di Damascus, Said Nursi lebih tegas lagi bahwa cinta dan permusuhan bertentangan satu sama lain dan masing-masing sudah menghunjam dalam kesadaran maing-masing. Cinta dalam hati orang beriman dan permusuhan dalam hati orang tidak beriman. Periksa selengkapnya Said Nursi, The Damascus Sermon, 39-40. 64Ibid., 34. 65Said Nursi mengutip hadith-hadith Muslîm (bab îmân, 234); Tirmidhi (bab Fitan, 35); Musnad Ahmad ibn Hanbal (ii, 107, 201, 25); al-Ḥakîm al-Nîsâbûrî, al-Mustadrak ‘alâ al-Ṣaḥîḥain (vi, 494) –menjelaskan bahwa pada akhir zaman Islam akan menjadi penentu. Turunnya Jesus ke dunia akan melawan musuh-musuh agama dan bersatu dengan Islam dan membenarkan risâlah Muhammad, dan ini dibahas secara tuntas oleh Said Nursi dalam bagian kelima dari The Rays Collection. Periksa Said Nursi, The Rays Collection, 97-117; bandingkan dengan The Letters, 77-80. 63 Ibid.,
20
Orientasi utama konsep Said Nursi dari paradigma ini adalah bahwa kebenaran Islam akan menjadi rujukan bagi agama-agama lain dan akan memimpin people of belief melawan perilaku “merusak” dari ateis, irreligion dan unbelief dan “people of misguidance”. Said Nursi memberikan karakter pada “people of misguidance” itu sebagai lawan dari sharî’ah. Dalam agama Krsiten muncul
sosok
Dajjal
sebagai
anti-Kristus,
apapun
performanya,
yang
menebarkan kerusakan di dunia dalam segala lini kehidupan. Demikian pula di dalam Islam, munculnya sosok Sufyân sebagai artikulasi dari gerakan antiMuhammad, apapun performanya, yang juga menebarkan situasi chaos dan dekaden dalam tubuh umat Islam. Kedua sosok anti-sharî’ah tersebut meniupkan ide rasialisme, negatif nasionalisme, dan pemikiran naturalis dan materialis yang sama sekali tidak mengakar pada lembutnya ajaran para nabi yang menjunjung tinggi keadilan dan ketuhanan. 66 Dengan demikian, konsep “islam centrism” ini sedikit berbeda dengan konsep anonymous Christian dari Karl Rahner. Rahner “tidak” pernah mengkaitkan kesatuan risâlah para nabi sebelum Isa. Konsep “Kristen anonim” Karl Rahner berangkat dari doktrin-doktrin universal Kristen kemudian digeneralisir untuk melihat universalitas agama lain pula. Ini dikarenakan dua alasan, pertama, konsep Isa [Jesus] di dalam tradisi Kristen bukanlah nabi, tetapi teofani dari tuhan sehingga konsep nabi terputus dan tidak bersambung; kedua, di dalam tradisi Kristen tidak ada keterkaitan antar risâlah satu nabi dengan nabi lainnya, kecuali ajaran Jesus merupakan “penggenap” hukum Musa, sedangkan dengan nabi-nabi sebelum Musa dan setelah Isa tidak ada kaitannya. Karl Rahner membangun konsep “ajaran” Jesus yang independen, dan “kebenaran” yang ada di dalam Kristen digeneralisir dalam agama-agama lain dengan mengangkat konsep Kristen anonim (anonymous Christian).67 Pembahasan Said Nursi yang terkait dengan hal ini lebih banyak ditekankan pada pentingnya îmân bagi adanya pluralitas tersebut. Oleh karena itu, Said Nursi mengajak seluruh orang beriman untuk bersatu dan 66Lihat selengkapnya Said Nursi, The Letters..., 76; cetak miring asli dari penerbit karena kutipan dari kitab hadis, begitu juga penulisan huruf besar di tengah kalimat seperti pada kata “Ignorance”, dan tanda baca (;) asli dari penerbit. 67Kajian-kajian yang membahas konsep Kristen anonim Karl Rahner banyak mengupas basis pemikiran Rahner serta implikasi teologis terhadap dialog agama-agama. Lihat Leo Gafney, “The Anonymous Christian”, Commonwealth, 2/25/2005, vol. 132 issue 4 (2005), 4-28; Joseph H. Wong, Anonymous Christian: Karl Rahner’s Pneuma-Christocentrism and An East-West Dialogue”, Theological Studies, vol. 55, issue 4, (Desember 1994), 609 dan seterusnya. Diakses melalui elibrary EBSCO UIN Sunan Kalijaga 2008.
21
menghindarkan diri dari permusuhan.68 Persoalan permusuhan dan perpecahan yang terjadi di dalam komunitas orang beriman, orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran suci yang berasal dari para nabi dan rasul merupakan hal yang serius dan sesuatu yang beyond imagination. Oleh karena itu, Said Nursi membangun paradigma relasi antar agama fondasi utama selain persaudaraan (brotherhood) adalah cinta (love). 69 Ungkapan-ungkapan
Said
Nursi
tentang
hakikat
true
love
mengindikasikan bahwa kesatuan pemikiran yang dibangun merupakan sesuatu yang fundamental. True love di dalam konsep brotherhood merupakan satu hal yang signifikan, karena dalam teori tentang cinta, cinta selalu meniscayakan komunikasi intensif antara pihak-pihak yang terlibat langsung dengan cinta tersebut70. Di dalam komunikasi dan dialog inilah kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan dari kedua belah pihak akan tersalurkan, seperti rasa dihargai, didekati, dipercaya, diperhatikan, dipahami, dimengerti, diterima dengan baik, dan lain sebagainya. Bila kepentingan dan kebutuhan itu sudah diketahui masing-masing pihak, maka satu hal yang secara pasti muncul adalah bahwa perbedaan pasti akan selalu ada tetapi selalu dapat dipahami sebagai sesuatu yang membuat hubungan semakin indah. Fenomena “mencintai” itu selalu dilakukan karena ada perbedaan, tetapi dari perbedaan itu ditemukan satu poin kesamaan, atau dari perbedaan itulah muncul cinta. Tetapi jika cinta tidak dilandasi dengan komunikasi dengan baik, maka perbedaan itu akan menstimulasi misunderstanding antara kedua belah pihak. Oleh karena itu, berkomunikasi dalam mencinta harus didasari keikhlasan (sincerity). Sementara itu, bagi Said Nursi cinta tidak hanya menuntut kerelaan semata tetapi merupakan cermin dari kebutuhan untuk mengabdi pada Tuhan, Allah. Meskipun hakikat cinta itu adalah cinta itu sendiri, tetapi ketika cinta itu
68Said
1968.
69 Said
Nursi, Sincerity..., 46. Nursi, The Damascus Sermon, 39; Risale-i Nur Kulliyatindan Hutbe-i Semiye,
70Lihat selengkapnya tentang bagaimana cinta itu muncul, cara mengelola, dan memetik buah cinta dalam John Gray, Men Are From Mars, Women Are From Venus, terj. T. Hermaya (Jakarta: Gramedia, 1998). Meskipun topik inti yang dibicarakan Gray adalah hubungan cinta antara laki-laki dan perempuan, tetapi di bab-bab awal dia mengungkapkan teori-teori tentang cinta dari penyimpulan secara induktif atas kasus-kasus hubungan antara dua pihak yang berbeda kepentingan dan kebutuhan, baru kemudian ditarik dalam relasi laki-laki dan perempuan. Pada akhir bab Gray mengupas bagaimana hubungan-hubungan itu harus dipertahankan di dalam menciptakan maksud dari cinta itu, yakni kebutuhan dan kesejatian.
22
dijadikan landasan bagi perilaku, maka keikhlasan untuk mencintai sesama ciptaan Allah menjadi tujuan utama dari cinta. Dengan mengutip Sayyid Sharîf al-Jurjanî dalam kitab Sharḥ al-Mawâqif, Said Nursi mengatakan bahwa dengan cinta kedamaian, kemanfaatan, kesempurnaan dalam ukuran manusia bisa dicapai.71 Di tempat terpisah lebih lanjut, dengan mengutip Waliuddîn Tabrizî dalam kitabnya Mishkat al-Maṣâbih, Said Nursi menjelaskan hakikat cinta itu sebagai bentuk ketundukan kepada Allah Sang Penguasa Alam dan sebagai media manusia “mengada”, menunjukkan eksistensi kemuliaannya.72 Oleh karena itu, kemauan untuk mengakui pihak yang dicintai sebagai “yang dibutuhkan” akan membuat komunikasi efektif dalam mencari kepentingan dan kebutuhan agama. Hal ini harus diikuti dengan maksud semata-mata karena mencintai Allah, dan inilah keikhlasan dalam melaksanakan konsep “cinta”. Said Nursi melihat keikhlasan ini sebagai suatu “yang mutlak” dalam setiap berbuat dan berperilaku. Karena keikhlasan merupakan bentuk ketudukan terhadap Allah dalam berhadapan dengan manusia lain, maka prinsip utama yang didahulukan adalah pandangan bahwa seluruh manusia adalah ciptaan Allah, sehingga tidak ada yang merasa mempunyai kepentingan lebih atas manusia lainnya. Akan tetapi, karena dalam paradigma ḥarfi logic derajat manusia sama, maka setiap manusia harus mengeliminir semaksimal mungkin perasaan egoism. Dengan demikian menurut Said Nursi “if obstinacy and egoism are present, one will imagine himself to be right and the other to be wrong; discord and rivalry take the place of concord and love”. 73 Dengan melihat signifikansinya nilai keikhlasan di dalam menjalin relasi antar sesama manusia, maka Said Nursi menjelaskan sembilan prinsip keikhlasan sebagai berikut: 1. To act positively, that is, out of love for one’s own outlook, avoiding enmity for other outlooks, not criticizing them, interfering in their beliefs and sciences, or in any way concerning oneself with them. 2. To unite within the fold of Islam, irrespective of particular outlook, remembering those numerous ties of unity that evoke love, brotherhood and concord. 3. To adopt the just rule of conduct that the follower of any right outlook has the right to say, “My outlook is true, or the best,” but not that “My outlook alone is true,” or that “My outlook alone is good,” thus implying 71Said
Nursi, The Word, 647. Ibid., 670. 73Said Nursi, The Flashes Collection, 203. 72
23
the falsity or repugnance of all other outlooks. 4. To consider that union with the people of truth is a cause of Divine succour and the high dignity of religion. 5. To realize that the individual resistance of the most powerful person against the attacks through its genius of the mighty collective force of the people of misguidance and falsehood, which arises from their solidarity, will inevitably be defeated, and through the union of the people of truth, to create a joint and collective force also, in order to preserve justice and right in the face of that fearsome collective force of misguidance. 6. In order to preserve truth from the assaults of falsehood, 7. To abandon the self and its egoism, 8. And give up the mistaken concept of self-pride, 9. And cease from all insignificant feelings aroused by rivalry. If this nine-fold rule is adhered to, sincerity will be preserved and its function perfectly performed.74 Said Nursi menegaskan bahwa prinsip-prinsip keikhlasan ini menjadi dasar bagi terciptanya cinta dalam persaudaraan dalam rangka mencapai tujuan sama yakni menegakkan
îmân
di
muka
bumi
dan
menghadapi
musuh
bersama.
Persaudaraan yang kohesif akan membentuk sebuah ikatan emosi yang jika merujuk konsep sosiologis Ibn Khaldûn disebut uṣbah –sebagaimana diuraikan di atas, yang menjadi faktor penentu dalam menghadapi “serangan-serangan” paham ateisme dan materialisme; dan mewujudkan tujuan sharî’ah yakni ketentraman, kedamaian hidup, dan equilibrium.
Keterikatan yang kuat ini
diakselerasi oleh penegasian persaingan yang tidak sehat, dan konsekuensi dari itu tumbuh sikap partnership yang menggeser sikap partisanship dan rivalitas.75 Konsep ikhlas (sincerity) yang merupakan landasan bagi relasi antara satu pihak dengan pihak lain, dikaitkan langsung dengan konsep persaudaraan (brotherhood) dan cinta (love). Ketiganya menjadi acuan bagi relasi antar agama sebagaimana telah diuraikan di atas. Paradigma ḥarfi logic yang dibangun Said Nursi telah melahirkan konsep-konsep kunci dalam membina hubungan antara agama. Distingsi yang tegas antara people of belief dengan people of unbelief melahirkan satu “identitas baru” yakni “keluarga orang beriman” yang merupakan kelompok baru dalam komunitas people of religion, dan ini lintas
74Ibid. Periksa juga Said Nursi, Sincerity..., 12-13; Dalam catatan kaki Nursi menjelaskan bahwa sembilan prinsip ini akan mewarnai plutalitas dan pada gilirannya menjadi landasan bagi terciptanya hubungan antar agama yang baik dalam menghadapi musuh bersama, yakni kelompok “irreligion” dan “agressive atheism”. 75Said Nursi, Kastamonu Lahikasi, 186; sebagaimana dikutip Sukran Vahide, The Author of Risale-i Nur: Bediuzzaman Said Nursi (İstanbul: Sözler Publication, 1992), 263. Di samping itu prinsip brotherhood juga menjadi “pendamping” bagi sincerity, Said Nursi mengatakan , “... our way is brotherhood”, lihat Said Nursi, The Flashes Collection, 220.
24
agama, yakni orang yang meyakini dan menyandarkan diri pada Allah dengan hakiki. Sekalipun demikian, di dalam kelompok believers ada satu komunitas yang secara tegas disebut Nursi dengan true believers, yakni dengan dasar îmân berusaha membangun relasi yang baik dengan eksistensi lain di luar dirinya, baik antar sesama manusia maupun alam semesta, dan peduli terhadap kondisi sosial yang dihadapinya. Dengan demikian, paradigma ḥarfi logic telah meletakkan manusia sebagai ḥarf yang dapat berada di dalam komunitas agama manapun, dengan mengacu pada tradisi sharî’ah para nabi yang memberikan uswah untuk “membangun relasi” dengan eksistensi lain. Wallahu a’lam. Daftar Bacaan Eric Hoffer, The True Believers: Thoughts on the Nature of Mass Movements (New York: Harper & Brothers, 1951). F.S.C Nothrop, “The World’s Religions at Mid-Century: An Introductory Essay”, dalam Guy S. Metraux dan Farnçois Crouzet (eds.), Religions and the Promise and The Twentieth Century (N.Y.: New American Library, 1965). Farid Esack, Qur’an, Liberation & Pluralism: an Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression (Finland: WSOY, 1997). Hee-Soo Lee, “Risale-i Nur as the Model Texts of Asian Value System”, makalah tidak diterbitkan, International Conference on Modern Islamic Thought: The Contribution of Bediuzzaman Said Nursi, Yogyakarta 1112 Agustus 2001. Henry Munson Jr., Islam and Revolution in the Middle East (New Heaven & London: Yale University Press, 1988). Ihsân Qâsim al-Sâlihî, Badî’ al-Zamân Sa’îd al-Nursi: Nadrah ‘âmmah ‘an hayâtih wa atsârih (Al-Maghrib: Matba’at al-Najâh al-Jadîdah, 1999). J. Chalmard, “Molla”, dalam C.E Bosworth et al. (eds.), The Encyclopaedia of Islam, vol. III (Leiden:, N.Y.: E.J Brill, 1993). Jacques Waardenburg, “World Religions as Seen in the Light of Islam”, dalam Islam: Past Influence and Present Challenge, A . Welch dan P. Cachia (ed.), (Edinburg: Edinburgh University Press, 1979). John Obbert Voll, ”Renewal and Reformation in the Mid-twentieth Century: Bediuzzaman Said Nursi and Religion in the 1950s”, The Muslim World, Vol. LXXXIX, No 3-4 (July-Oktober 1999). John Obert Voll, “Renewal and Reformation in the Mid-twentith Century: Bediuzzaman and Religion in the 1950s”, The Muslim World, vol. Lxxxix, No. 3-4, July-October 1999.
25
Joseph H. Wong, Anonymous Christian: Karl Rahner’s Pneuma-Christocentrism and An East-West Dialogue”, Theological Studies, vol. 55, issue 4, (Desember 1994). Leo Gafney, “The Anonymous Christian”, Commonwealth, 2/25/2005, vol. 132 issue 4 (2005). M. Hakan Yavuz, “The Assassination of Collective Memory: The Case of Turkey”, The Muslim World, Vol.LXXXIX, No. 3-4 (July-October 1999). Meryem Weld, Islam, the West, and the Risale-i Nur (İstanbul: Sözler Neşriyat ve Sanayi, A.Ş., 1993 [1987]). Mohamed Zaidin bin Mat, Bediuzzaman Said Nursi: Sejarah Perjuangan dan Pemikiran (Selangor: Malita Jaya, 2001). Muhammad Abdul Haq Ansari, Sufism and Shari’ah: A Study of Ahmad Sirhindi Effort to Reform Sufism (Leicester: The Islamic Foundation, 1997). Nevrat Yalçintas, Bediuzzaman’s Call to Brotherhood and Unity”, makalah tidak diterbitkan, Third International Symposium on Bediuzzaman Said Nursi, Istanbul, 24-26 September 1995. Norman Daniel, Islam and the West: The Making of an Image (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1980) Norman Daniel, Islam, Europe, and Empire (Edinburgh: Edinburgh Universty Press, 1980). Osmanlı Yayınevi, The Letters From Prophet Muhammad, terj. dari Arab oleh Ismail Ercan (İstanbul: Osmanlı Yayınevi, t.th). R.W Southren, Western Views of Islam in the Middle Ages (Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 1962). Sachiko Murata dan William C. Chittick, The Vision of Islam (N.Y.: Paragon House, 1994). Said Nursi, Bediüzzaman, Munâẓarat, dalam Kulliyât Rasâ’il al-Nûr, jilid 8: Ṣaiqal al-Islâm, terj. Iḥsân Qâsim al-Ṣâlihî (Cairo: Shirkah Suzlar li alNashr, 2004). --------------. Bediüzzaman, Munâzarat, vol. 2 (İstanbul: Yeni Asya Yayinlar, 1996), --------------. The Damascus Sermon, terj. Hütbe-i Şemiye oleh Şukran Vahide (İstanbul: İhlas Neşriyat, t.t), --------------. The Flashes Collection, trans. Şukran Vahide, (Istanbul: Sozler Publications A.S, 2000). --------------. al-Khutbah al-Shâmiyyah, dalam Kulliyât Rasâ-il al-Nûr, jilid 8: Ṣayq al-Islâm, terj. Iḥsân Qâsim al-Ṣaliḥî. Cairo: Shirkah Suzlar li alNashr, 2004. --------------. al-Luma’ât, terj. Iḥsân Qâsim al-Ṣaliḥî. Istanbul: Sharikat al-Nasl li al-Tibâ’ah, 1993. --------------. al-Maktûbât, terj, Iḥsân Qâsim al-Ṣaliḥî. Istanbul: Sharikat al-Nasl li al-Tibâ’ah, 1992.
26
--------------. Sincerity and Brotherhood, terj. Hamid Alghar. İstanbul: Sözler Neşriyat, 1998 [1976]. --------------. Sirah Dhâtiyah, terj. Iḥsân Qâsim al-Ṣaliḥî. Istanbul: Matba’at Suzlar, 1998. --------------. The Damascus Sermon, terj. Hamid Alghar. İstanbul: Sözler Publication A.Ş., 1997. --------------. The Flashes Collection, terj. dari bahasa Turki Lem’alar oleh Şukran Vahide. İstanbul: Sözler Neşriyat, A.Ş., 2000 [1995]. --------------. The Letters 1928-1932, terj. dari bahasa Turki ‘Mektûbat’ oleh Şukran Vahide, cet. II. İstanbul: Sözler Neşriyat, A.Ş., 1997 [1994]. --------------. The Rays Collections, terj. dari bahasa Turki Suâlar oleh Şukran Vahide. İstanbul: Sözler Neşriyat A.Ş., 1998. --------------, The Words, terj. dari bahasa Turki Sözler oleh Sukran Vahide. İstanbul: Sözler Neşriyat, Ticaret ve Sanayi, A.Ş., 1992. Samuel Huntington, The Clash of Civilization and Remaking of World Order (New York: Simon and Schuster, 1996). Shaikh Mohammad Iqbal, The Mission of Islam (New Delhi: Vikas Publishing House PVT Ltd., 1977). Sukran Vahide, The Author of The Risale-i Nur: Bediüzzaman Said Nursi. Istambul: Sozler Publication, 1992). Thomas Michel, “Mulsim-Cristian Dialogue and Cooperation in the Thought of Bediuzzaman Said Nursi”, The Muslim World, Vol. LXXXIX, No. 3-4 (July-Oktober 1999). Ursula Spuler, “Christian and Muslim Dialogue”, makalah tidak diterbitkan, Second International Symposium on Bediuzzaman Said Nursi: The Reconstruction of Islamic Thought in the Twentieth Century and Bediuzzaman Said Nursi, İstanbul, 27-29 September 1992. Yohanan Friedmann, Shaykh Ahmad Sirhindi: An Outline of His Thought and a Study of His Image in the Eyes of Posterity (Montreal, London: Institute of Islamic Studies McGill University & McGill-Queen’s University Press, 1971). Zeki Saritoprak dalam artikel “Said Nursi’s Teaching on the People of Books: A Case Study of Islamic Social Policy in Early Twentieth Century”, Islam and Chrsitian-Muslim Relation, Vol. II, No.3 (2000).
27