LAPORAN PENELITIAN
Pemetaan Minat Baca Masyarakat
Di Tiga Provinsi: Sulawesi Selatan, Riau dan
Kalimantan Selatan
Program Sinergi Departemen Pendidikan Nasional dengan Perpustakaan Nasional
Departemen Pendidikan Nasional Dengan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia 2007
RINGKASAN Berdasarkan beberapa laporan, tingkat minat baca masyarakat Indonesia disebutkan tergolong rendah dibandingkan bangsa lain, bahkan dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN. Laporan UNDP tahun 2003 yang menyatakan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index - HDI) berdasarkan angka buta aksara posisi Indonesia berada pada urutan 112 dari 174 negara. Salah satu faktor penyebab rendahnya kebiasaan dan kegemaran membaca masyarakat Indonesia adalah karena masih dominannya budaya tutur dari pada budaya baca. Selain itu tidak meratanya penyebaran koleksi bahan perpustakaan dan fasilitas baca di berbagai lapisan masyarakat dan belum optimalnya pemberdayaan perpustakaan di masyarakat. Sesungguhnya sejak tahun 1972 UNESCO telah memprioritaskan masalah pembinaan minat baca. Pada tahun tersebut diluncurkan program yang disebut Books for All (buku untuk semua orang), yang bertujuan untuk meningkatkan minat dan kegemaran membaca di masyarakat dunia. Di Indonesia sendiri, Presiden Soeharto pada tahun 1996 mencanangkan Hari Kunjung Perpustakaan, Presiden Megawati pada tahun 2002 mencanangkan Gerakan Nasional Gemar Membaca, dan yang terakhir pada bulan Mei 2007 Wakil Presiden Yusuf Kalla memberi perhatian penuh terhadap kegemaran membaca tersebut dengan meresmikan layanan Perpustakaan Elektronik Keliling yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Nasional RI. Namun sampai sekarang gaung dari gerakan-gerakan tersebut belum menampakkan hasil yang memuaskan. Karena itu usaha “senafas” dengan program tersebut perlu selalu dikembangkan. Dewasa ini, dengan semangat otonomi daerah, pemerintah daerah mencoba untuk membuat program untuk meningkatkan minat baca masyarakat. Salah satu contoh adalah Pemerintah Kota Makassar yang mencanangkan program Gerakan Makassar Gemar Membaca mulai dicanangkan tahun 2005. Selain itu Pemerintah Provinsi Riau, pada tahun 2006 juga mencanangkan Gerakan Riau Membaca. Untuk memetakan kondisi minat baca masyarakat maka dilakukan penelitian yang merupakan Kegiatan Sinergi Departemen Pendidikan Nasional dan Perpustakaan Nasional RI. Penelitian dilakukan di tiga provinsi yaitu Propivinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Riau, dan Provinsi Kalimantan Selatan dengan pengambilan sampel di Kota Makassar, Kota Pekanbaru, dan Kota Banjarmasin. Penelitian yang dilakukan dari bulan Juni sampai November 2007 ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui pemberdayaan perpustakaan oleh masyarakat sebagai sarana informasi; (2) Mengetahui gambaran tingkat minat baca masyarakat di tiga lokasi; (3) Mengetahui faktor yang mempengaruhi perkembangan minat baca masyarakat; (4) Mengetahui kemampuan masyarakat setempat dalam membaca; (5) Memetakan pengembangan minat baca di tiga lokasi; (6) Meningkatkan kerja sama sinergis Depdiknas dengan Perpusnas RI. Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah: (1) Teridentifikasinya keadaan masyarakat di tiga kota tersebut sebagai representasi dari keadaan masyarakat Indonesia secara umum baik dari segi pendidikan, minat baca, pola perilaku anggota keluarga dalam memenuhi kebutuhan informasi, dan lain sebagainya; (2) Terdeteksinya informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia, sehingga mereka merasa perpustakaan dapat menjadi salah satu tempat untuk mencari jawaban bagi masalah yang mereka hadapi; (3) Rekomendasi
terhadap perlu tidaknya didirikan perpustakaan serta jenis koleksi yang harus dikoleksi oleh perpustakaan yang akan didirikan. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan Stratified Proportional Purposive Sampling. Teknik ini digunakan karena secara umum berdasarkan literatur dan beberapa penelitian sebelumnya sudah diperoleh gambaran umum tentang kondisi masyarakat yang diteliti mengenai pemetaan minat baca. Data responden dengan unit satuan analisis berupa individu sebanyak 1000 orang untuk masing-masing wilayah (Kota Makassar, Pekanbaru, dan Banjarmasin) dipilih secara acak dari kecamatan yang dipilih. Selain itu untuk memperdalam pemahaman terhadap kondisi setempat termasuk keadaan masyarakat dilakukan pula tinjauan ke lapangan untuk melihat lokasi dan kegiatan taman bacaan masyarakat serta melakukan wawancara khusus kepada beberapa pejabat, tokoh masyarakat serta pengguna awam dan petugas dan pengelola perpustakaan atau taman bacaan masyarakat berkaitan dengan topik penelitian. Dalam penelitian ini diajukan sembilan hipotesis yaitu: 1) Semakin tua umur seseorang semakin singkat durasi membacanya; 2) Semakin tua umur seseorang semakin rendah frekuensi membacanya; 3) Semakin tua umur seseorang semakin kecil korbanannya untuk mengadakan bahan bacaan; 4) Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin lama durasi membacanya; 5) Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin tinggi frekuensi membacanya; 6) Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin besar korbanannya untuk mengadakan bahan bacaan; 7) Semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang semakin lama durasi membacanya; 8) Semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang semakin tinggi frekuensi membacanya; 9) Semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang semakin besar korbanannya untuk mengadakan bahan bacaan. Berdasarkan deskripsi dan kecenderungan korelasi data serta analisis kecenderungan, disertai dengan masukan yang didapatkan melalui wawancara, peninjauan lapangan serta studi literatur, maka berikut disajikan berbagai kesimpulan pemetaan minat baca di tiga kota yaitu Kota Makassar, Kota Pekanbaru, dan Kota Banjarmasin, saran-saran untuk pengembangan program-program kerja dalam rangka peningkatan minat baca masyarakat di ketiga kota. Pihak-pihak yang diharapkan menjalankan saran-saran yang diberikan adalah: (1) Departemen Pendidikan Nasional RI; (2) Perpustakaan Nasional RI; (3) Pemerintah Daerah dan lembaga terkait di daerah; (4) Badan Perpustakaan Daerah; dan (5) Lembaga Swadaya Masyarakat. Kesimpulan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pada umumnya masyarakat mengisi waktu luangnya dengan membaca, menonton, mendengarkan radio dan rekreasi. Frekuensi membaca dengan menonton hampir seimbang. 2. Pada umumnya waktu yang digunakan oleh responden untuk menonton lebih lama (lebih dari 3 jam sehari) dibandingkan dengan waktu yang digunakan untuk membaca (antara 1 – 2 jam sehari). b
3. Pada umumnya minat baca dapat dikategorikan rendah di tiga kota, terutama jika dibandingkan dengan standar yang diberikan oleh Abdul Razak dalam buku Formula 247 Plus: Metoda Mendidik Anak Menjadi Pembaca yang Sukses (2004). Apalagi jika dibandingkan dengan standar luar negeri misalnya Jepang, Amerika bahkan Singapura. 4. Berdasarkan perhitungan rata-rata untuk tiga indikator minat baca (durasi membaca, frekuensi membaca, dan korbanan untuk bahan bacaan), maka skor rata-rata masyarakat di tiga kota adalah 3,2 pada skala 1 sampai 7, dimana nilai 1 adalah minat baca rendah dan 7 adalah minat baca tinggi, atau berada pada tingkat agak sedang. 5. Terdapat korelasi tidak nyata negatif walau sangat kecil antara umur dengan durasi membaca (r = -0,031). Ini berarti makin tua umur seseorang, makin singkat durasi membacanya. 6. Terdapat korelasi tidak nyata negatif walau kecil antara umur dengan frekuensi membaca (r = -0,022). Artinya semakin tua umur seseorang semakin jarang berkuunjung ke perpustakaan. 7. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara umur dengan korbanan membeli bahan bacaan (r = 0,130). Artinya, semakin tua umur seseorang, semakin besar biaya yang dikorbankan untuk membeli bahan buku. 8. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara umur dengan korbanan kepemilikan buku (r = 0,176), artinya, semakin tua umur seseorang, semakin banyak memiliki buku. 9. Terdapat korelasi tidak nyata positif walau kecil antara pendidikan dengan durasi membaca (r = 0,008), artinya, semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin lama korbanan waktu yang digunakan untuk membaca. 10. Terdapat korelasi tidak nyata negatif walau kecil antara pendidikan dengan frekuensi membaca (r = -0,011), semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin jarang berkunjung ke perpustakaan. 11. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendidikan dengan korbanan membeli buku (r = 0,152), artinya semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin besar biaya yang digunakan untuk membeli buku. 12. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendidikan dengan korbanan memiliki bahan bacaan (r = 0,267), artinya semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin banyak memiliki koleksi buku. 13. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendapatan dengan durasi membaca (r = 0,134), artinya semakin tinggi pendapatan seseorang, maka semakin lama korbanan waktu yang digunakan untuk membaca. 14. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendapatan dengan frekuensi membaca (r = 0,231), artinya semakin tinggi pendapatan seseorang, maka semakin sering berkunjung ke perpustakaan. 15. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendapatan dengan korbanan membeli bahan bacaan (r = 0,225), artinya semakin tinggi pendapatan seseorang, maka semakin besar korbanan biaya yang digunakan untuk membeli buku. 16. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendapatan dengan korbanan memiliki bahan bacaan (r = 0,386), artinya semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin banyak memiliki koleksi buku. 17. Kesimpulan untuk masing-masing kota baik Makassar, Pekanbaru, maupun Banjarmasin untuk pola membaca masih sama dengan kesimpulan secara umum. c
18. Namun usaha yang telah dilakukan untuk meningkatkan minat baca masyarakat ini di tiga kota bervariasi, misalnya di Makassar gencar dilaksanakan program Gerakan Makassar Gemar Membaca (GMGM) dan pendirian Taman-taman Bacaan Masyarakat; di Pekanbaru telah dilaksanakan Gerakan Riau Membaca (GRM), Gerakan Hibah Sejuta Buku (GHSB), pendirian sudut-sudut baca dan lain-lain; Namun yang belum terlihat melakukan usaha peningkatan gemar membaca, setidaknya dengan program yang terstruktur, adalah di Banjarmasin, walaupun di Banjarmasin terdapat Rumah Baca yang sangat representatif dan dibiayai oleh sebuah yayasan dari Jakarta. 19. Jenis bahan bacaan yang paling digemari masyarakat di tiga kota berturutturut adalah koran, majalah, buku dan komik. 20. Topik bacaan yang paling digemari masyarakat di tiga kota berturut-turut adalah pengetahuan umum, ilmu pengetahuan, agama, sastra. 21. Masyarakat banyak yang belum tahu keberadaan perpustakaan umum/taman bacaan masyarakat. 22. Masyarakat banyak yang belum sering (jarang) berkunjung ke perpustakaan. 23. Alasan masyarakat banyak yang belum sering (jarang) berkunjung ke perpustakaan berturut-turut adalah jauh, tidak ada waktu, punya sendiri, malas, tidak suka baca, koleksi tidak menarik, koleksi tidak pernah ganti. 24. Pada umumnya masyarakat di tiga kota untuk berbagai kelompok profesi mendapatkan informasi melalui media elektronik terutama televisi. Berikut saran-saran yang diusulkan untuk dilaksanakan oleh berbagai pihak dalam rangka meningkatkan minat baca masyarakat di tiga kota: 1.
Perlu usaha memasukkan dan mengintegrasikan ke dalam kurikulum sekolah tentang bahan bacaan yang harus dibaca terutama buku sastra, agar dapat “memaksa” siswa (SD, SMP, SMA) untuk membaca buku sastra. Misalnya setiap siswa harus baca buku sastra/novel minimal dalam jumlah tertentu dalam satu tahun. Pihak Departemen Pendidikan yang berwewenang menindaklanjuti saran ini.
2. Tenaga pendidik (guru) harus memberi contoh dalam mengembangkan minat baca di sekolah dengan menunjukkan bahwa tenaga pendidik mempunyai minat baca tinggi. Dinas Pendidikan di tiap Pemerintah Daerah yang dapat melakukan himbauan untuk melaksanakan saran ini. 3. Tiap sekolah harus punya perpustakaan. Memenuhi standar perpustakaan sekolah dan yang kini sudah dipayungi oleh UU nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan. Departemen Pendidikan Nasional harus memaksa semua sekolah untuk mematuhi peraturan tentang standar perpustakaan sekolah. 4. Perpustakaan sekolah pada hakekatnya juga melayani kebutuhan bacaan untuk komunitas sekolah (misalnya siswa, guru, orangtua murid) termasuk masyarakat sekitarnya, bukan hanya untuk siswa. Dinas Pendidikan Nasional di daerah yang dapat berperan untuk memasyarakatkan hal ini ke sekolah-sekolah di daerah. 5. Perlu anggaran khusus dan rutin dari pemda untuk melaksanakan programprogram peningkatan minat baca (ini juga sesuai dengan amanat UU nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan). Pihak DPRD dan Pemerintah Daerah yang berwewenang melaksanakan saran ini. d
6. Perlu dikembangkan kebijakan lokal yang kondusif dalam meningkatkan semangat belajar masyarakat dan juga meningkatkan minat baca. Pihak Pemerintah Daerah yang harus mendorong pelaksanaan saran ini. 7.
Perlu perangkat aturan khusus setingkat perda untuk mendorong/memayungi program peningkatan minat baca. Misalnya diberlakukan aturan dimana pada jam-jam tertentu yaitu jam-jam belajar, siswa dilarang menonton televisi di rumah. Pihak DPRD dan Pemerintah Daerah yang harus melaksanakan saran ini.
8. Dalam melaksanakan berbagai program pengembangan minat baca masyarakat, dapat manfaatkan payung hukum UU nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan. Semua pihak terkait harus memanfaatkan keberadaan UU Perpustakaan ini untuk mendorong peningkatan minat baca. 9. Pemerintah Daerah perlu mendorong agar setiap kantor mendirikan perpustakaan untuk dimanfaatkan oleh karyawan dan keluarganya. 10. Pemerintah daerah harus selalu mendorong dan mendukung sehingga setiap kelurahan perlu ada taman bacaan agar masyarakat makin menjangkau sumbersumber bacaan yang murah. 11. Departemen Pendidikan Nasional, Perpustakaan nasional, Pemerintah daerah, Badan Perpustakaan Daerah bertanggungjawab dalam pengembangan SDM perpustakaan yang senantiasa perlu ditingkatkan melalui berbagai metode. 12. Selain sarana fisik perpustakaan yang perlu ditingkatkan, sistem perpustakaan juga perlu dibenahi. Perpustakaan Nasional dan Badan Perpustakaan Daerah dan didukung oleh Departemen Pendidikan Nasional dan Pemerintah Daerah harus berperan dalam mengembangkan sistem perpustakaan sehingga dapat mendukung terciptanya peningkatan minat baca masyarakat. 13. Gerakan semacam GMGM (Gerakan Makassar Gemar Membaca) dan GRM (Gerakan Riau Membaca) perlu senantiasa digencarkan dan digaungkan terutama dengan memanfaatkan publik-publik figur. Pemerintah daerah dan Perpustakaan Nasional perlu senantiasa mendorong gerakan semacam ini. 14. Diskon besar buku-buku dari penerbit dan toko buku serta bazar buku murah perlu sering diadakan untuk mendorong masyarakat gemar membeli buku. 15. Kompetisi dan lomba-lomba untuk merangsang minat baca perlu lebih sering dilakukan (lomba mengarang, resensi, duta baca dan lain lain) baik tingkat nasional maupun di daerah. Perpustakaan Nasional dan Pemerintah Daerah harus melaksanakan saran ini secara berkesinambungan. 16. Perlu disosialisaikan penyediaan bahan bacaan berupa buku ringan di pesawat oleh maskapai penerbangan dan di kapal-kapal penumpang, dan di bis kota bukan hanya menyediakan koran seperti selama ini pada pesawat komersial. Perpustakaan Nasional dan Pemerintah Daerah dapat mendorong dan menyarankan kepada pihak maskapai penerbangan melaksanakan saran ini. 17. Di halte-halte percontohan disediakan buku bacaan ringan, yang dapat dibaca diatas kendaraan umum dan dapat dikembalikan pada halte berikutnya ketika penumpang turun. Pemerintah Daerah berwewenang melaksanakan saran ini. 18. Perlu disediakan lebih banyak TBM (Taman Bacaan Masyarakat) di tamantaman tempat pertemuan komunitas seperti telah dlakukan di Makassar, e
Pekanbaru dan di Banjarmasin. Pemerintah Daerah berwewenang melaksanakan saran ini. 19. Perlu dilakukan pembentukan kelompok baca di perkampungan atau di kompleks perumahan, dimana anggota kelompok dibantu dalam melakukan program-program ekonomis yang dapat menghasilkan tambahan pendapatan untuk keluarga seperti sudah dicoba dilakukan di Pekanbaru. Pemerintah Daerah berwewenang melaksanakan saran ini.
f
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allat SWT atas selesainya tugas Penelitian Pemetaan Minat Baca di Tiga Provinsi (Sulawesi Selatan, Riau dan Kalimantan Selatan) ini. Penelitian ini terselenggara berkat program sinergi Departemen Pendidikan nasional dengan Perpustakaan nasional RI. Tim peneliti berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi peningkatan minat baca masyarakat, bukan saja masyarakat untuk ke tiga provinsi, tetapi juga bermanfaat bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Seperti diketahui minat baca masyarakat Indonesia saat ini oleh banyak pihak, baik para akademisi, pengamat pendidikan, pejabat pemerintah maupun berbagai komponen masyarakat, pada umumnya berpendapat bahwa minat baca masyarakat Indonesia masih rendah. Demikian pula yang tergambar dalam berbagai indikator statistik yang dilansir oleh banyak pihak, dalam negeri maupun luar negeri. Dari laporan hasil penelitian ini kiranya pemerintah, baik pusat maupun daerah dan pihak-pihak terkait dapat memetik informasi yang berguna sebagai dasar perencanaan dalam pengembangan minat baca masyarakat. Terima kasih kepada Departemen Pendidikan Nasional dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia yang telah memberi kepercayaan kepada kami sebagai tim peneliti untuk melaksanakan kegiatan penelitian ini. Mudah-mudahan kegiatan seperti ini dapat terus dipertahankan dan bahkan dapat lebih ditingkatkan di masa yang akan datang. Terima kasih pula kepada pihak-pihak yang telah membantu terselenggaranya penelitian ini, khususnya di tiga lokasi yaitu di Kota Makassar, Pekanbaru dan Banjarmasin. Akhirnya, kami sampaikan bahwa tentunya masih ada kekurangan pada laporan ini. Untuk itu kami sangat terbuka untuk menerima kritik dan saran guna penyempurnaan laporan ini.
Jakarta, November 2007 Tim Peneliti i
ii
DAFTAR ISI BAB I. PENDAHULUAN ……………………………………………………………………………………………………………………………. 1 Latar belakang ........................................................................................................................................... 1 Tujuan ....................................................................................................................................................... 2 Hasil Yang Diharapkan .............................................................................................................................. 3 Lokasi Pemetaan ....................................................................................................................................... 3 Sasaran ...................................................................................................................................................... 3 Wilayah dan Penduduk Tiga Kota ............................................................................................................. 3 BAB II. METODOLOGI ................................................................................................................................... 9 Data dan Sumber Data .............................................................................................................................. 9 Metode Pengumpulan dan Analisis Data .................................................................................................. 9 Pengolahan Data ..................................................................................................................................... 10 Hipotesis Penelitian ................................................................................................................................ 10 Keluaran .................................................................................................................................................. 11 BAB III. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................................................... 13 Definisi Membaca ................................................................................................................................... 13 Kondisi Minat Baca .................................................................................................................................. 14 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................................................. 25 4.1 Umum (Tiga kota: Makassar, Pekanbaru dan Banjarmasin) ............................................................. 25 4.1.1 Membaca dan Menonton untuk Mengisi Waktu Luang ................................................................ 32 4.1.2 Hubungan antara kelompok umur dengan membaca ................................................................... 37 4.1.3 Hubungan Pendidikan terhadap Lama Membaca ......................................................................... 47 4.1.4 Hubungan Tingkat Penghasilan terhadap Membaca ..................................................................... 59 4.1.5 Kunjungan ke Perpustakaan .......................................................................................................... 66 4.1.6 Bahan Bacaan yang Disukai Responden......................................................................................... 69 4.1.7 Korelasi Karakteristik Responden dengan Minat Baca ................................................................. 75 4.2. Makassar .......................................................................................................................................... 81 4.2.1 Gambaran Umum Responden Kota Makassar ............................................................................... 81 4.2.2 Membaca dan Menonton untuk Mengisi Waktu Luang ............................................................... 88 4.2.3 Hubungan antara Kelompok Umur dengan Membaca ................................................................. 94 4.2.4 Hubungan Tingkat Penghasilan terhadap Lama Membaca ........................................................ 106 4.2.5 Hubungan Pendidikan terhadap Lama Membaca ....................................................................... 109 4.2.6 Bahan Bacaan yang Disukai Responden ...................................................................................... 120 4.2.7 Rangkuman Hubungan Karakteristik Responden dengan Minat Baca ....................................... 130 4.3 Pekanbaru ...................................................................................................................................... 133 iii
4.3.1 Gambaran Umum Responden Kota Pekanbaru ........................................................................... 133 4.3.2 Membaca dan Menonton untuk Mengisi Waktu Luang .............................................................. 139 4.3.3 Hubungan antara kelompok umur dengan membaca ................................................................. 146 4.3.4 Hubungan Pendidikan Dengan Membaca ................................................................................... 159 4.3.5 Hubungan Tingkat Pendapatan terhadap Membaca .................................................................. 170 4.3 6 Bahan Bacaan yang Disukai Responden ...................................................................................... 177 4.3.7 Hubungan Karakteristik Responden dengan Minat Baca ........................................................... 183 4.4. Banjarmasin ................................................................................................................................... 189 4.4.1 Gambaran Umum Responden Kota Banjarmasin ....................................................................... 189 4.4.2 Membaca dan Menonton untuk Mengisi Waktu Luang ............................................................. 195 4.4.3 Hubungan antara Kelompok umur dengan Lama Membaca ...................................................... 202 4.4.4 Hubungan Tingkat Penghasilan terhadap Lama Membaca ........................................................ 205 4.4.5 Hubungan Pendidikan terhadap Lama Membaca ....................................................................... 208 4.4.6 Bahan Bacaan yang Disukai Responden ...................................................................................... 217 4.4.7 Hubungan Karakteristik Responden dengan Minat Baca ........................................................... 225 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................................................ 230 Kesimpulan: ........................................................................................................................................... 230 Di Kota Makassar: ............................................................................................................................. 233 Di Kota Pekanbaru: ........................................................................................................................... 234 Di Kota Banjarmasin: ......................................................................................................................... 235 Saran: .................................................................................................................................................... 236 DAFTAR KEPUSTAKAAN ............................................................................................................................. 239 LAMPIRAN ............................................................................................................................................... 242
iv
DAFTAR TABEL Umum Tabel 4.1.1 Tabel 4.1.2 Tabel 4.1.3 Tabel 4.1.4 Tabel 4.1.5 Tabel 4.1.6 Tabel 4.1.7 Tabel 4.1.8 Tabel 4.1.9 Tabel 4.1.10 Tabel 4.1.11 Tabel 4.1.12 Tabel 4.1.13 Tabel 4.1.14 Tabel 4.1.15 Tabel 4.1.16 Tabel 4.1.17 Tabel 4.1.18 Tabel 4.1.19 Tabel 4.1.20 Tabel 4.1.21 Tabel 4.1.22 Tabel 4.1.23 Tabel 4.1.24 Tabel 4.1.25 Tabel 4.1.26 Tabel 4.1.27 Tabel 4.1.28 Tabel 4.1.29 Tabel 4.1.30 Tabel 4.1.31 Tabel 4.1.32
Responden Berdasarkan Jenis Kelamin . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Responden Berdasarkan Kelompok Umur. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Status Responden pada Kelompok yang Masih Bersekolah . . . . . . Responden Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan . . . . . . . . . . . Responden Berdasarkan Profesi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan per Bulan . Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga . . . . Kepemilikan Fasilitas Media Informasi . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Sebaran Pemanfaatan Waktu Luang Responden . . . . . . . . . . . . . . . Kegiatan Ayah, Ibu dan Anak dalam Mengisi Waktu Luang . . . . . . Sebaran Lama Membaca dan Lama Menonton. . . . . . . . . . . . . . . . . . Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Lama Membaca . . . . . . . Hubungan Umur dengan Lama (Durasi) Membaca . . . . . . . . . . . . . Hubungan Antara Umur dengan Biaya Belanja Buku Bulanan. . . Hubungan Antara Umur dengan Tingkat Kepemilikan Buku . . . . Hubungan Umur dengan Frekuensi Kunjung ke Perpustakaan . . Hubungan Profesi dengan Frekuensi kunjung ke Perpustakaan . Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Lama Membaca . . . . . . . . Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Belanja Buku Bulanan. . . Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kepemilikan Buku . . . . . . Hubungan Pendidikan dengan Frekuensi Kunjung Perpustakaan Hubungan Pendapatan dengan Durasi Membaca . . . . . . . . . . . . . . . Hubungan Pendapatan dengan Belanja Buku . . . . . . . . . . . . . . . . . . Hubungan Pendapatan dengan Pemilikan Buku . . . . . . . . . . . . . . . Hubungan Pendapatan dengan Kunjungan ke Perpustakaan . . . . . Alasan Responden Tidak Datang ke Perpustakaan Umum . . . . . . . Bahan Bacaan yang Dibaca Responden . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Durasi Membaca Koran, Majalah dan Buku . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambaran Perolehan Buku Responden sebagai Bahan Bacaan . . Hubungan Karakteristik Responden dengan Minat Baca . . . . . . . . Hasil Rataan Skor Minat Baca Tiga Kota . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Skor Kategori Tingkat Minat Baca . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
v
25 26 27 27 28 29 30 31 33 34 36 37 38 41 42 44 45 47 55 57 58 60 62 64 65 67 70 72 74 75 77 80
Makassar Tabel 4.2.1 Tabel 4.2.2 Tabel 4.2.3 Tabel 4.2.4 Tabel 4.2.5 Tabel 4.2.6
Responden Berdasarkan Jenis Kelamin . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Responden Berdasarkan Kelompok Umur. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan per Bulan Responden Berdasarkan Besarnya Anggota Keluarga . . . . . . . . . . . Responden Berdasarkan Fasilitas Informasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Sebaran Pemanfaatan Waktu Luang Responden dalam Melakukan Kegiatan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Tabel 4.2.7 Kegiatan Ayah, Ibu dan Anak dalam Mengisi Waktu Luang . . . . . Tabel 4.2.8 Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Lama Membaca . . . . . . Tabel 4.2.9 Hubungan antara jenis kelamin dengan lama membaca vs lama menonton . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Tabel 4.2.10 Hubungan Karakteristik Responden dengan Waktu Luang dan Terpaan Media . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Tabel 4.2.11 Hubungan Antara Umur dengan Lama (Durasi) Membaca . . . . . Tabel 4.2.12 Korelasi Umur dengan Durasi Membaca . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Tabel 4.2.13 Korelasi Umur dengan Frekuensi Membaca . . . . . . . . . . . . . . . . . . Tabel 4.2.14 Hubungan Antara Umur dengan Biaya Belanja Buku . . . . . . . . . . Tabel 4.2.15 Hubungan Antara Umur dengan Kepemilikan Buku . . . . . . . . . . . Tabel 4.2.16 Hubungan Umur dengan Jumlah Kunjungan ke Perpustakaan . . Tabel 4.2.17 Frekuensi Responden Berkunjung ke Perpustakaan . . . . . . . . . . . . Tabel 4.2.18 Alasan Responden Tidak Datang ke Perpustakaan . . . . . . . . . . . . . . Tabel 4.2.19 Hubungan Antara Pendapatan dengan Lama Membaca . . . . . . . . . Tabel 4.2.20 Korelasi Pendapatan Terhadap Durasi Membaca . . . . . . . . . . . . . . . Tabel 4.2.21 Korelasi Pendapatan Terhadap Frekuensi Membaca . . . . . . . . . . . . . Tabel 4.2.22 Hubungan Pendidikan dengan Lama Membaca . . . . . . . . . . . . . . . Tabel 4.2.23 Hubungan Pendidikan dengan Besarnya Belanja Buku . . . . . . . . . Tabel 4.2.24 Hubungan Pendidikan dengan Jumlah Pemilikan Buku . . . . . . . . Tabel 4.2.25 Hubungan Pendidikan dengan Frekuensi ke Perpustakaan . . . . . Tabel 4.2.26 Korelasi Pendidikan terhadap Durasi Membaca. . . . . . . . . . . . . . . Tabel 4.2.27 Bahan Bacaan yang Dibaca Responden . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Tabel 4.2.28 Durasi Membaca Koran, Majalah dan Buku . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Tabel 4.2.29 Gambaran Perolehan Buku Responden sebagai Bahan Bacaan . . Tabel 4.2.30 Frekuensi Kunjung ke Perpustakaan Berdasarkan Profesi . . . . . . Tabel 4.2.31 Alasan Responden Tidak Datang ke Perpustakaan Umum . . . . . . . Tabel 4.2.32 Hubungan Karakteristik responden dengan Minat Baca . . . . . . . . .
vi
81 82 84 86 87 88 89 91 92 92 94 97 97 97 99 101 102 104 106 108 108 109 116 117 119 120 121 122 124 127 128 130
Pekanbaru Tabel 4.3.1 Tabel 4.3.2 Tabel 4.3.3 Tabel 4.3.4 Tabel 4.3.5 Tabel 4.3.6 Tabel 4.3.7 Tabel 4.3.8 Tabel 4.3.9
Responden Berdasarkan Jenis Kelamin . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 113 Responden Berdasarkan Kelompok Umur. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 134 Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan per Bulan 136 Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga . . . . 137 Kepemilikan Fasilitas Media Informasi . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 138 Sebaran Pemanfaatan Waktu Luang dalam Melakukan Kegiatan 140 Kegiatan Ayah, Ibu dan Anak dalam Mengisi Waktu Luang . . . . . . 142 Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Lama Membaca . . . . . . . 143 Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Lama Membaca dan Menonton . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 143 Tabel 4.1.10 Hubungan Karakteristik Responden dengan Waktu Luang dan Terpaan Media . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 144 Tabel 4.3.11 Hubungan Umur dengan Lama (Durasi) Membaca . . . . . . . . . . . . . 147 Tabel 4.3.12 Korelasi Umur terhadap Durasi membaca . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 149 Tabel 4.3.13 Korelasi Umur terhadap Frekuensi membaca. . . . . . . . . . . . . . . . . . 149 Tabel 4.3.14 Hubungan Umur dengan Korbanan Belanja Buku . . . . . . . . . . . . . 149 Tabel 4.3.15 Hubungan Umur dengan Kepemilikan Buku . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 151 Tabel 4.3.16 Hubungan Umur dengan Jumlah Kunjung ke Perpustakaan . . . . . 152 Tabel 4.3.17 Frekuensi Responden Berkunjung ke Perpustakaan . . . . . . . . . . . . 154 Tabel 4.3.18 Alasan Responden Tidak Datang ke Perpustakaan Umum . . . . . . . 156 Tabel 4.3.19 Hubungan Antara Pendidikan dengan Lama Membaca . . . . . . . . . 159 Tabel 4.3.20 Korelasi Pendidikan terhadap Durasi Baca . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 166 Tabel 4.3.21 Hubungan Antara Pendidikan dengan Besarnya Belanja Buku . . 167 Tabel 4.3.22 Hubungan Antara Pendidikan dengan Jumlah Pemilikan Buku . 168 Tabel 4.3.23 Hubungan Antara Pendidikan dengan Frekuensi Kunjung Ke Perpustakaan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 168 Tabel 4.3.24 Hubungan Antara Pendapatan dengan Durasi Membaca . . . . . . . . 171 Tabel 4.3.25 Gambaran Tingkat Penghasilan dengan Anggaran Membeli Buku 173 Tabel 4.3.26 Gambaran Tingkat Penghasilan dengan Kepemilikan Buku . . . . . 174 Tabel 4.3.27 Gambaran Tingkat Penghasilan dengan Frekuensi Kunjung ke Perpustakaan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 175 Tabel 4.3.28 Bahan Bacaan yang Dibaca Responden . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 178 Tabel 4.3.29 Durasi Membaca Koran, Majalah dan Buku . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 179 Tabel 4.3.30 Gambaran Perolehan Buku Responden sebagai Bahan Bacaan . . 181 Tabel 4.3.31 Hubungan Karakteristik Responden dengan Minat Baca . . . . . . . . 183
vii
Banjarmasin Tabel 4.4.1 Responden Berdasarkan Jenis Kelamin . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 189 Tabel 4.4.2 Responden Berdasarkan Kelompok Umur. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 190 Tabel 4.4.3 Status Responden pada Kelompok yang Masih Bersekolah . . . . . . 191 Tabel 4.4.4 Responden Berdasarkan Profesi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 192 Tabel 4.4.5 Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan per Bulan . 192 Tabel 4.4.6 Sebaran Responden Berdasarkan Besarnya Anggota dalam Keluarga . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 193 Tabel 4.4.7 Kepemilikan Fasilitas Media Informasi . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 194 Tabel 4.4.8 Sebaran Pemanfaatan Waktu Luang Responden dalam Melakukan Kegiatan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 196 Tabel 4.4.9 Kegiatan Ayah, Ibu dan Anak dalam Mengisi Waktu Luang . . . . . . 198 Tabel 4.4.10 Hubungan Karakteristik Responden dengan Waktu Luang dan Terpaan Media . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 198 Tabel 4.4.11 Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Lama Membaca . . . . . . . 201 Tabel 4.4.12 Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Lama Membaca vs Lama Menonton . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 201 Tabel 4.4.13 Hubungan Antara Umur dengan Lama Membaca . . . . . . . . . . . . . . . 203 Tabel 4.4.14 Korelasi Umur Terhadap Durasi Membaca . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 205 Tabel 4.4.15 Korelasi Umur Terhadap Frekuensi Membaca . . . . . . . . . . . . . . . . . . 205 Tabel 4.4.16 Hubungan Antara Pendapatan dengan Lama Membaca . . . . . . . . . 206 Tabel 4.4.17 Korelasi Pendapatan terhadap Durasi Membaca . . . . . . . . . . . . . . . . 207 Tabel 4.4.18 Korelasi Pendapatan terhadap Frekuensi Membaca . . . . . . . . . . . . . . 207 Tabel 4.4.19 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Lama Membaca . . . . . . . . . 208 Tabel 4.4.20 Korelasi Pendidikan Terhadap Durasi Membaca . . . . . . . . . . . . . . . . 216 Tabel 4.4.21 Bahan Bacaan yang Dibaca Responden . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 218 Tabel 4.4.22 Durasi Membaca Koran, Majalah dan Buku . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 218 Tabel 4.4.23 Gambaran Perolehan Buku Responden sebagai Bahan Bacaan . . 220 Tabel 4.4.24 Gambaran Frekuensi Kunjungan ke Perpustakaan Berdasarkan Profesi Responden . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 222 Tabel 4.4.25 Alasan Responden Tidak Datang ke Perpustakaan Umum . . . . . . 223 Tabel 4.4. 26 Hubungan Karakteristik Responden dengan Minat Baca . . . . . . . . . 226
viii
DAFTAR GAMBAR Umum Gambar 4.1.1 Gambar 4.1.2 Gambar 4.1.3 Gambar 4.1.4 Gambar 4.1.5 Gambar 4.1.6 Gambar 4.1.7 Gambar 4.1.8
Grafik Sebaran Tingkat Pendidikan Responden . . . . . . . . . . Grafik Sebaran Profesi Responden . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Grafik Sebaran Tingkat Pendapatan Responden . . . . . . . . . Grafik Sebaran Jumlah Anggota Keluarga . . . . . . . . . . . . . . Grafik Sebaran Kepemilikan Fasilitas Media Informasi . . Grafik Sebaran Pemanfaatan Waktu Luang . . . . . . . . . . . . . Garfik Sebaran Pemanfaatan Waktu Luang . . . . . . . . . . . . . Grafik Perbandingan antara Lama Membaca dan Lama Menonton . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 4.1.9 Perbandingan Lama Membaca dan Lama Menonton Laki-laki dan Perempuan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 4.1.10 Grafik Hubungan antara Umur dengan Lama Membaca . . Gambar 4.1.11 Grafik Sebaran Korbanan Waktu Rata-rata Membaca . . . . Gambar 4.1.12 Grafik Sebaran Belanja Buku Berdasarkan Umur . . . . . . . . Gambar 4.1.13 Pola Hubungan Umur dengan Kepemilikan Buku . . . . . . . Gambar 4.1.14 Grafik Sebaran Tingkat Kunjungan ke Perpustakaan . . . . . Gambar 4.1.15 Grafik Sebaran Kunjungan Ke Perpustakaan Berdasarkan Kelompok Umur . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 4.1.16 Grafik Sebaran Latar Belakang Pendidikan dengan Lama Membaca . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 4.1.17a,b,c,d Grafik Indikator Minat Baca pada Kelompok Mahasiswa Gambar 4.1.18a,b,c,d Grafik Indikator Minat Baca pada Kelompok Siswa SLTA Gambar 4.1.19a,b,c,d Grafik Indikator Minat Baca pada Kelompok Siswa SLTP Gambar 4.1.20a,b,c,d Grafik Indikator Minat Baca pada Kelompok Siswa SD Gambar 4.1.21 Tingkat Pendidikan terhadap Belanja Buku . . . . . . . . . . . . Gambar 4.1.22 Tingkat Pendidikan terhadap Pemilikan Buku . . . . . . . . . . . . Gambar 4.1.23 Tingkat Pendidikan terhadap Kunjungan ke Perpustakaan Gambar 4.1.24 Tingkat Pendapatan terhadap Lama Membaca . . . . . . . . . . . Gambar 4.1.25 Tingkat Pendapatan terhadap Belanja Buku . . . . . . . . . . . . . Gambar 4.1.26 Tingkat Pendapatan terhadap Pemilikan Buku . . . . . . . . . . Gambar 4.1.27 Tingkat Pendapatan terhadap Kunjungan ke Perpustakaan Gambar 4.1.28 Grafik Sebaran Alasan Tidak Berkunjung ke Perpustakaan Gambar 4.1.29 Grafik Sebaran Bacaan yang Digemari untuk Dibaca . . . . . . Gambar 4.1.30 Grafik Sebaran Lama Membaca untuk Beragam Bacaan . . . Gambar 4.1.31 Grafik Sebaran Topik Bacaan yang Digemari . . . . . . . . . . . . . Gambar 4.1.32 Grafik Sebaran Sumber Perolehan Bahan Bacaan . . . . . . . . . Gambar 4.1.33 Grafik Model Data Plot Umur dan Pendidikan terhadap terhadap Beli Buku . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 4.1.34 Grafik Model Data Plot Umur, Pendidikan terhadap Pemilikan Buku . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 4.1.35 Grafik Model Data Plot Pendapatan terhadap Durasi dan Frekuensi Baca . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ix
28 29 30 31 32 34 35 36 37 39 40 41 43 44 45 48 50 52 53 54 56 58 59 61 63 65 66 68 71 72 73 74 76 77 78
Gambar 4.1.36
Grafik Model Data Plot Pendapatan terhadap Beli dan Pemilikan Buku . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 79
Makassar Gambar 4.2.1 Gambar 4.2.2 Gambar 4.2.3 Gambar 4.2.4 Gambar 4.2.5
Grafik Sebaran Tingkat Pendidikan Responden . . . . . . . . . . 84 Grafik Sebaran Tingkat Pendapatan Responden . . . . . . . . . 85 Grafik Sebaran Kepemilikan Fasilitas Media Informasi . . . 87 Sebaran Pemanfaatan Waktu Luang Responden . . . . . . . . . 89 Sebaran Pemanfaatan Waktu Luang Berdasarkan Status dalam Rumah Tangga . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 90 Gambar 4.2.6 Grafik Perbandingan antara Lama Membaca dengan Lama Menonton . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 91 Gambar 4.2.7 Grafik Perbandingan antara Lama Membaca dan Lama Menonton . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 92 Gambar 4.2.8 Grafik Perbandingan Lama Membaca Menurut Kelompok Umur . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 95 Gambar 4.2.9 Grafik Korbanan Waktu Rata-rata dalam Membaca . . . . . . . 96 Gambar 4.3.10 Grafik Biaya Korbanan Membeli Buku Berdasarkan Umur . 98 Gambar 4.2.11 Grafik Besarnya Pemilikan Buku Berdasarkan Umur . . . . . . 100 Gambar 4.2.12 Sebaran Frekuensi Kunjung ke Perpustakaan Berdasarkan Umur . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 101 Gambar 4.2.13 Sebaran Rata-rata Frekuensi Kunjung ke Perpustakaan . . . . 102 Gambar 4.2.14 Grafik Hubungan Pendapatan dengan Lama Membaca . . . . . 107 Gambar 4.2.15 Sebaran Rata-rata Lama Membaca Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 109 Gambar 4.2.16a,b,c,d Grafik Indikator Minat Baca pada Kelompok Mahasiswa 110 Gambar 4.2.17a,b,c,d Grafik Indikator Minat Baca pada Kelompok Siswa SLTA 112 Gambar 4.2.18a,b,c,d Grafik Indikator Minat Baca pada Kelompok Siswa SLTP 114 Gambar 4.2.19a,b,c,d Grafik Indikator Minat Baca pada Kelompok Siswa SD 115 Gambar 4.2.20 Tingkat Pendidikan terhadap Belanja Buku . . . . . . . . . . . . 117 Gambar 4.3.21 Grafik Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Korbanan Pemilikan Buku . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 118 Gambar 4.3.22 Grafik Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Frekuensi Kunjung ke Perpustakaan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 119 Gambar 4.2.23 Grafik Gambaran Jenis Bacaan yang Digemari Responden . 123 Gambar 4.2.24 Grafik Frekuensi Kunjung ke Perpustakaan Umum . . . . . . . 126 Gambar 4.2.25 Grafik Model Data Plot Umur dan Pendapatan Terhadap Durasi Baca . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 130 Gambar 4.2.26 Grafik Model Data Plot Umur terhadap Frekuensi Baca . . . 131 Gambar 4.2.27 Grafik Model Data Plot Umur dan Pendidikan terhadap Beli Buku . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 131
x
Pekanbaru Gambar 4.3.1 Gambar 4.3.2 Gambar 4.3.3 Gambar 4.3.4 Gambar 4.3.5
Sebaran Tingkat Pendidikan Responden . . . . . . . . . . . . . . . Sebaran Tingkat Pendapatan Responden . . . . . . . . . . . . . . . Tingkat Kepemilikan Media . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Sebaran Pemanfaatan Waktu Luang Responden. . . . . . . . . Sebaran Pemanfaatan Waktu Luang Berdasarkan Status dalam Rumah Tangga . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 4.3.6 Grafik Perbandingan Antara Lama Membaca dan Lama Menonton . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 4.3.7 Grafik Perbandingan Antara Lama Membaca dan Lama Menonton pada Laki-laki dan Perempuan . . . . . . . . Gambar 4.3.8 Grafik Hubungan antara Umur dengan Lama Membaca . . Gambar 4.3.9 Korbanan Waktu (Durasi) Rata-rata dalam Membaca . . . . Gambar 4.3.10 Sebaran Besarnya Korbanan Membeli Buku berdasarkan Umur . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 4.3.11 Sebaran Besarnya Pemilikan Buku berdasarkan Umur Responden . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 4.3.12 Sebaran Frekuensi Kunjung ke Perpustakaan berdasarkan Umur . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 4.3.13 Sebaran Rata-rata Frekuensi Kunjung ke Perpustakaan . . Gambar 4.3.14 Sebaran Rata-rata Lama Membaca berdasarkan Latar Belakang Pendidikan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 4.3.15a,b,c,d Grafik Indikator Minat Baca pada Kelompok Mahasiswa Gambar 4.3.16a,b,c,d Grafik Indikator Minat Baca pada Kelompok Siswa SLTA Gambar 4.3.17a,b,c,d Grafik Indikator Minat Baca pada Kelompok Siswa SLTP Gambar 4.3.18a,b,c,d Grafik Indikator Minat Baca pada Kelompok Siswa SD Gambar 4.3.19 Grafik Hubungan Latar Belakang pendidikan dengan Korbanan Membeli Buku . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 4.3.20 Grafik Hubungan Latar Belakang pendidikan dengan Korbanan Pemilikan Buku . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 4.3.21 Grafik Hubungan Pendidikan dengan Frekuensi Kunjung ke Perpustakaan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 4.3.22 Grafik Hubungan Pendapatan dengan Durasi Membaca . . Gambar 4.3.23 Hubungan Tingkat Penghasilan dengan Anggaran Membeli Buku . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 4.3.24 Gambar 4.3.25 Gambar 4.3.26 Gambar 4.3.27 Gambar 4.3.28 Gambar 4.3.29
Grafik Hubungan Tingkat Penghasilan dengan Kepemilikan Buku . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Grafik Hubungan Tingkat Penghasilan dengan Frekuensi Kunnjung ke Perpustakaan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambaran Bacaan yang Digemari . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Grafik Model Data Plot Umur dan Pendidikan terhadap Durasi baca . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Grafik Model Data Plot Umur dan Pendidikan terhadap Frekuensi Baca . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Grafik Model Data Plot Umur dan Pendidikan terhadap Beli Buku . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . xi
135 137 139 141 142 143 144 147 148 150 151 153 154 160 161 162 164 165 167 168 170 171 174 175 176 180 184 185 186
Gambar 4.3.30 Gambar 4.3.31 Banjarmasin Gambar 4.4.1 Gambar 4.4.2 Gambar 4.4.3 Gambar 4.4.6 Gambar 4.4.5 Gambar 4.4.6 Gambar 4.4.7 Gambar 4.4.8 Grambar 4.4.9 Gambar 4.4.10 Gambar 4.4.11 Gambar 4.4.12 Gambar 4.3.13 Gambar 4.4.14 Gambar 4.4.15 Gambar 4.4.16 Gambar 4.4.17 Gambar 4.4.18 Gambar 4.4.19
Grafik Model Data Plot Pendapatan terhadap Durasi dan Frekuensi Baca . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Grafik Model Data Plot Pendapatan terhadap Pembelian dan Pemilikan Buku . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Grafik Sebaran Tingkat Pendidikan Responden . . . . . . . . . Grafik Sebaran Tingkat Pendapatan Responden . . . . . . . . . Grafik Sebaran Kepemilikan Fasilitas Media Informasi . . Grafik Sebaran Pemanfaatan Waktu Luang .Responden . Sebaran Pemanfaatan Waktu Luang Berdasarkan Status dalam Rumah Tangga . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Grafik Perbandingan antara Lama Membaca dengan Lama Menonton . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Grafik Perbandingan Lama Membaca dengan Lama Menonton . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Grafik Perbandingan Lama Membaca Menurut Kelompok Umur . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Korbanan Waktu Rata-rata Membaca Responden . . . . . . . Hubungan Pendapatan dengan Lama Membaca . . . . . . . . Hubungan Pendidikan dengan Lama Membaca . . . . . . . . Grafik Hubungan Beberapa Indikator dengan Minat Baca Kelompok Mahasiswa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Grafik Hubungan Beberapa Indikator dengan Minat Baca Kelompok Siswa SLTA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Grafik Hubungan Beberapa Indikator dengan Minat Baca Kelompok Siswa SLTP . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Grafik Hubungan Beberapa Indikator dengan Minat Baca Kelompok Siswa SD . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambaran Bacaan yang Digemari Responden . . . . . . . . . . . Gambaran Frekuensi Berkunjung ke Perpustakaan Umum Grafik Model Data Plot Pendidikan dan Pendapatan terhadap Beli Buku . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Grafik Model Data Plot Pendidikan dan Pendapatan terhadap Pemilikan Buku . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
xii
187 187 191 193 195 197 198 201 202 203 204 206 208 210 212 214 216 219 222 227 228
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Instrumen Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . .
243
Lampiran 3 Susunan Tim Peneliti . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
255
xiii
BAB I. PENDAHULUAN Latar belakang Berdasarkan beberapa laporan, tingkat minat baca masyarakat Indonesia pada umumnya tergolong rendah dibandingkan dengan tingkat minat baca masyarakat bangsa lain, bahkan dibandingkan dengan beberapa negara di tingkat ASEAN. Pernyataan negatif pesimistis ini sering muncul dan diulang-ulang dalam berbagai laporan hasil penelitian dan pendapat para pakar yang dituangkan dalam berbagai tulisan atau disampaikan dalam beragam pertemuan ilmiah. Hal ini diperkuat oleh laporan UNDP tahun 2003 yang menyatakan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index - HDI) berdasarkan angka buta aksara posisi Indonesia berada pada urutan 112 dari 174 negara. Posisi ini berada di bawah Vietnam (urutan ke 109) yang baru keluar dari konflik yang berkepanjangan. Salah satu faktor penyebab rendahnya kebiasaan dan kegemaran membaca masyarakat Indonesia adalah karena masih dominannya budaya tutur dari pada budaya baca. Selain itu tidak meratanya penyebaran koleksi bahan perpustakaan dan fasilitas baca di berbagai lapisan masyarakat dan belum optimalnya pemberdayaan perpustakaan di masyarakat. Membaca merupakan salah satu kunci untuk meningkatkan kreativitas sedangkan dalam mengembangkan IPTEKS diperlukan kreativitas yang tinggi. Bila Indonesia tidak ingin menjadi konsumen dari IPTEKS yang dikembangkan oleh negara-negara lain, maka pemerintah harus melakukan usaha-usaha untuk mendorong masyarakat agar membaca menjadi kebutuhan mereka sehari-hari. Sesungguhnya sejak tahun 1972 UNESCO telah memprioritaskan masalah pembinaan minat baca. Pada tahun tersebut diluncurkan program yang disebut Books for All (buku untuk semua orang), yang bertujuan untuk meningkatkan minat dan kegemaran membaca di masyarakat dunia. Salah satu implementasi program ini adalah dicanangkannya International Book Year 1972 (Tahun Buku Internasional 1972). Di Indonesia sendiri, Presiden Soeharto pada tahun 1996 mencanangkan Hari Kunjung Perpustakaan, Presiden Megawati pada tahun 2002 mencanangkan Gerakan Nasional Gemar Membaca, dan yang terakhir pada bulan Mei 2007 Wakil Presiden Yusuf Kalla memberi perhatian penuh terhadap kegemaran membaca tersebut dengan meresmikan layanan Perpustakaan Elektronik Keliling yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Nasional RI. Namun sampai sekarang gaung dari
gerakan-gerakan tersebut belum menampakkan hasil yang memuaskan. Karena itu usaha “senafas” dengan program tersebut perlu selalu dikembangkan. Dewasa ini, dengan semangat otonomi daerah, pemerintah daerah mencoba untuk membuat program untuk meningkatkan minat baca masyarakat. Salah satu contoh adalah Pemerintah Kota Makassar yang mencanangkan program Gerakan Makassar Gemar Membaca mulai dicanangkan tahun 2005. Selain itu Pemerintah Provinsi Riau, pada tahun 2006 juga mencanangkan Gerakan Riau Membaca. Salah satu faktor penyebab rendahnya kualitas pendidikan masyarakat Indonesia adalah belum melekatnya gemar membaca dalam kehidupan sehar-hari. Hal ini mempunyai dampak negatif terhadap kemampuan mereka dalam mengembangkan dirinya untuk menambah ilmu melalui kegiatan membaca secara mandiri dalam usaha pendidikan sepanjang hayat. Program nasional yang menitikberatkan aset budaya masyarakat belum dapat direalisasikan, hal ini tercermin dari laporan Perpustakaan Nasional (2002) yang menyatakan bahwa “Pengembangan produk fisik minat baca (taman bacaan, perpustakaan umum desa/kelurahan, perpustakaan sekolah, perpustakaan khusus/ dinas/ jawatan, perpustakaan provinsi dan perpustakaan perguruan tinggi) tidak jelas menurut target kebutuhan masyarakat: (1) Pola pembinaan minat dan kebiasaan membaca yang dilakukan oleh Perpustakaan Nasional RI pada lingkungan keluarga, taman kanak-kanak, sekolah dasar, SLTP/SLTA tidak sesuai dengan tipologi kawasan yang berlaku di Indonesia; (2) Temuan masalah minat baca (kelangkaan koleksi bahan bacaan dan faktor budaya serta alternatif pemecahan masalahnya, cenderung bersifat umum). Oleh karena itu Kegiatan Sinergi Departemen Pendidikan Nasional dan Perpustakaan Nasional RI ingin melakukan penelitian lebih lanjut mengenai tipikal kebutuhan minat baca di tiga provinsi yaitu Propivinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Riau, dan Provinsi Kalimantan Selatan dengan pengambilan sampel di Kota Makassar, Kota Pekanbaru, dan Kota Banjarmasin.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: •
Mengetahui pemberdayaan perpustakaan oleh masyarakat sebagai sarana informasi.
•
Mengetahui gambaran tingkat minat baca masyarakat di tiga lokasi. 2
•
Mengetahui faktor yang mempengaruhi perkembangan minat baca masyarakat.
•
Mengetahui kemampuan masyarakat setempat dalam membaca.
•
Menemukan pola/model pemetaan pengembangan minat baca di tiga lokasi.
•
Meningkatkan kerja sama sinergis Depdiknas dengan Perpusnas RI.
Hasil Yang Diharapkan 1. Teridentifikasinya keadaan masyarakat di tiga kota tersebut sebagai representasi dari keadaan masyarakat Indonesia secara umum baik dari segi pendidikan, minat baca, pola perilaku anggota keluarga dalam memenuhi kebutuhan informasi, dan lain sebagainya. 2. Terdeteksinya informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia, sehingga mereka merasa perpustakaan dapat menjadi salah satu tempat untuk mencari jawaban bagi masalah yang mereka hadapi. 3. Rekomendasi terhadap perlu tidaknya didirikan perpustakaan serta jenis koleksi yang harus dikoleksi oleh perpustakaan yang akan didirikan.
Lokasi Pemetaan Penelitian ini akan dilakukan pada tiga lokasi ibu kota provinsi yakni di: •
Ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu di Kota Makassar.
•
Ibu kota Provinsi Riau, yaitu di Kota Pekanbaru.
•
Ibu Provinsi Kalimantan Selatan, yaitu di Kota Banjarmasin.
Sasaran Sasaran penelitian ini adalah berbagai lapisan masyarakat di tiga kota misalnya dari segi aspek profesi yaitu kalangan pelajar, mahasiswa, pegawai kantor, pejabat instansi tertentu, pedagang, petani atau dari aspek kemampuan ekonomi yaitu dari kalangan yang mampu, sedang dan kurang mampu.
Wilayah dan Penduduk Tiga Kota Kota Makassar Kota Makassar mempunyai posisi strategis karena berada di persimpangan jalur lalu lintas dari arah selatan dan utara dalam propinsi di Sulawesi, dari wilayah kawasan Barat ke wilayah kawasan Timur Indonesia dan dari wilayah utara ke 3
wilayah selatan Indonesia. Dengan kata lain, wilayah kota Makassar berada pada koordinat 119 derajat bujur timur dan 5,8 derajat lintang selatan dengan ketinggian yang bervariasi antara 1-25 meter dari permukaan laut. Kota Makassar merupakan daerah pantai yang datar dengan kemiringan 0 - 5 derajat ke arah barat, diapit dua muara sungai yakni sungai Tallo yang bermuara di bagian utara kota dan sungai Jeneberang yang bermuara di selatan kota. Luas wilayah kota Makassar seluruhnya berjumlah kurang lebih 175,77 Km2 daratan dan termasuk 11 pulau di selat Makassar ditambah luas wilayah perairan kurang lebih 100 Km² Jumlah kecamatan di kota Makassar sebanyak 14 kecamatan dan memiliki 143 kelurahan. Diantara kecamatan tersebut, ada tujuh kecamatan yang berbatasan dengan pantai yaitu kecamatan Tamalate, Mariso, Wajo, Ujung Tanah, Tallo, Tamalanrea dan Biringkanaya. Kota Makassar sendiri berdekatan dengan sejumlah kabupaten yakni sebelah utara dengan kabupaten Pangkep, sebelah timur dengan kabupaten Maros, sebelah selatan dengan kabupaten Gowa dan sebelah barat dengan Selat Makassar. Dari gambaran selintas mengenai lokasi dan kondisi geografis Makassar, memberi penjelasan bahwa secara geografis, kota Makassar memang sangat strategis dilihat dari sisi kepentingan ekonomi maupun politik. Dari sisi ekonomi, Makassar menjadi simpul jasa distribusi yang tentunya akan lebih efisien dibandingkan daerah lain. Memang selama ini kebijakan makro pemerintah yang seolah-olah menjadikan Surabaya sebagai home base pengelolaan produk-produk draft kawasan Timur Indonesia, membuat Makassar kurang dikembangkan secara optimal. Padahal dengan mengembangkan Makassar, otomatis akan sangat berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di kawasan Timur Indonesia dan percepatan pembangunan. Dengan demikian, dilihat dari sisi letak dan kondisi geografis Makassar memiliki keunggulan komparatif dibanding wilayah lain di kawasan Timur Indonesia. Saat ini Kota Makassar dijadikan inti pengembangan wilayah terpadu Mamminasata. Penduduk Kota Makassar tahun 2005 tercatat sebanyak 1.193.434 jiwa yang terdiri dari 572.382 laki-laki dan 610.862 perempuan. Penyebaran penduduk Kota Makassar dirinci menurut kecamatan, menunjukkan bahwa penduduk masih terkonsentrasi di wilayah kecamatan Tamalate, yaitu sebanyak 144.458 atau sekitar 12,21 persen dari total penduduk, disusul kecamatan rappocini sebanyak 136.725
4
jiwa (11,55 persen). Kecamatan Panakkukang sebanyak 129.967 jiwa (10,98 persen), dan yang terendah kecamatan Ujung Pandang sebanyak 27.921 jiwa (2,30 persen). Ditinjau dari kepadatan penduduk per km persegi, kecamatan Makassar yang terpadat yaitu 31.898 jiwa per km persegi, disusul kecamatan Mariso (28.013 per km persegi), kecamatan Bontoala (25.139 jiwa per km persegi). Sedang kecamatan Biringkanaya merupakan kecamatan dengan kepadatan penduduk terendah yaitu sekitar 2.485 jiwa per km persegi, kemudian kecamatan Tamalanrea 2.666 jiwa per km persegi, Manggala (3.833 jiwa per km persegi), kecamatan Ujung Tanah (7.711 jiwa per km persegi), kecamatan Panakkukang (7.623 jiwa per km persegi). Wilayahwilayah yang kepadatan penduduknya masih rendah tersebut masih memungkinkan untuk pengembangan daerah pemukiman terutama di tiga kecamatan yaitu Biringkanaya, Tamalanrea, dan Manggala. Penduduk menurut kelompok umur dapat menggambarkan tingkat kelahiran dan tingkat kematian di suatu daerah. Disamping itu struktur umur penduduk juga dapat menggambarkan angka beban tanggungan (Dependency Ratio), penduduk usia tidak produktif terhadap penduduk usia produktif. Penduduk yang tergolong usia non produktif adalah penduduk kelompok umur 0-14 dan 65 tahun atau lebih. Sedangkan penduduk usia produktif adalah penduduk kelompok umur 15-64 tahun. Persentase penduduk usia dewasa (15-64 tahun) persentasenya sedikit mengalami penurunan dari 69,05 persen tahun 2000 menjadi 68,34 persen tahun 2004. sementara penduduk usia muda (0-14 tahun) persentasenya walaupun masih di bawah 40 persen, akan tetapi dibanding tahun 2000 meningkat dari 27,99 persen menjadi 28,18 persen tahun 2004, demikian pula untuk penduduk usia tua (65+ tahun) meningkat dari 2,96 persen tahun 2000 menjadi 3,47 persen tahun 2004, peningkatan persentase pada penduduk usia muda ini disebabkan oleh menurunnya penduduk produktif usia 15-64 tahun. Pada tahun 2004 diketahui bahwa umur median penduduk Kota Makassar adalah 24,45 pertahun. Kota Pekanbaru Kota Pekanbaru adalah salah satu daerah tingkat II sekaligus merupakan ibukota
Provinsi Riau, dengan luas wilayah 632.26 dengan jumlah penduduk
720.197 jiwa, yang terdiri atas laki-laki sbanyak 363.687 jiwa dan perempuan 356.510 jiwa dengan kepadatan penduduk 1.139 jiwa per km2 (2005). Pekanbaru, yang terdiri atas 12 kecamatan dan 50 kelurahan. 5
Kota Pekanbaru, yang berada pada lintang 101° 14' - 101° 34' dan Bujur Timur 0° 25' - 0° 45' Lintang Utara, dibelah oleh Sungai Siak yang mengalir dari barat ke timur, emmiliki beberapa anak sungai antara lain: Sungai Umban Sari, Sungai Air Hitam, Sungai Sibam, Sungai Setukul, Sungai Pengambang, Sungai Ukai, Sungai Sago, Sungai Senapelan, Sungai Limau dan Sungai Tampan. Sungai Siak juga merupakan jalur perhubungan lalu lintas perekonomian rakyat pedalaman ke kota serta dari daerah lainnya. Penyebaran
penduduk
Kota
Pekanbaru
dirinci
menurut
kecamatan,
menunjukkan bahwa penduduk masih terkonsentrasi di wilayah Kecamatan Pekanbaru Kota
dan Kecamatan Sukajadi.
Walaupun jumlah penduduk kedua
kecamatan ini lebih sedikit dibandingkan dengan beberapa kecamatan lain misalnya Kecamatan Marpoyan Damai, Kecamatan Tenayan Raya, dan Kecamatan Tampan yang masing-masing jumlah penduduknya 111.854, 90.321, dan 83.172 jiwa, namun karena luas wilayah Kecamatan Pekanbaru Kota yang hanya 2,26 Km2 dan Kecamatan Sukajadi yang hanya 3,76 dengan jumlah penduduk masing sebesar 30.055 dan 51.334 jiwa, maka kepadatan penduduknya termasuk yang paling padat yakni masing-masing 13.299 dan 13.653 jiwa per Km2. Hanya Kecamatan Lima Puluh yang jumlah penduduknya hanya 42.800 jiwa namun karena luas wilayahnya hanya 4,04 Km2, maka kepadatan penduduknya cukup tinggi yaitu 10.594 jiwa per Km2. Sembilan kecamatan lain rata-ratanya kepadatan penduduknya dibawah 7000 jiwa per Km2. Kota Banjarmasin Kota Banjarmasin merupakan salah satu kota dari 11 kota dan kabupaten yang berada dalam wilayah propinsi Kalimantan Selatan yang terletak di ujung selatan dan berada diantara 3' 15" - 3' 22" Lintang Selatan dan diantara 114' 32" - 114' 38" Bujur Timur. Kota ini terhampar di dataran rendah (rata-rata datar) berawa-rawa 0,16 meter dipermukaan laut. Dengan luas wilayah 72 km2 atau 0,22 % dari luas wilayah Kalsel. Dibelah oleh Sungai Martapura dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut Jawa, sehingga berpengaruh kepada drainase kota mapun memberikan ciri khas tersendiri terhadap kehidupan masyarakat, terutama pemanfaatan sungai sebagai salah satu prasarana transportasiair, pariwisata, perikanan dan perdaganan. Di
6
sebelah Utara dan Barat berbatasan dengan Kabupaten Barito Kuala, di sebelah Timur dan Selatan berbatasan dengan Kabupaten Banjar. Luas Wilayah Kota Banjarmasin adalah 72,00 Km atau 0,019 % dibanding luas wilayah Kalimantan Selatan, dengan komposisi luas wilayah masing-masing ke lima kecamatan sebagai berikut : (1) Kecamatan Banjarmasin Utara 15,25 Km2, (2) Kecamatan Banjarmasin Selatan 20,18 Km2 (3) Kecamatan Banjarmasin Barat 13,37 Km2 (4) Kecamatan Banjarmasin Timur 11,54 Km2 dan (5) Kecamatan Banjarmasin Tengah 11,66 Km2. Pada tahun 2005 jumlah penduduk kota Banjarmasin 662.825 jiwa. Wilayah yang memiliki penduduk relatif
padat adalah Kecamatan Banjarmasin Barat
(140.227 jiwa), dengan kepadatan penduduk 10.488 jiwa per Km2, disusul Kecamatan Banjarmasin Utara (107.874 jiwa) dengan kepadatan penduduk 9.348 jiwa per Km2, kemudian Kecamatan Banjarmasin Selatan (97.262 jiwa) dengan kepadatan penduduk 8.342 jiwa per Km2. Kecamatan Banjarmasin Timur (132.929 jiwa) dan Kecamatan Banjarmasin Tengah (94.008 jiwa) adalah dua kecamatan dengan penduduk yang tidak terlalu padat, masing-masing 6.587 dan 6.164 jiwa per Km2.
7
BAB II. METODOLOGI a. Data dan Sumber Data Untuk mendukung rekomendasi dalam penelitian ini, maka ada dua jenis data yang dikumpulkan untuk kemudian diolah, yaitu data sekunder dan data primer. •
Data Sekunder Data sekunder berupa statistik dan deskripsi yang diperoleh dalam dokumen mengenai keadaan geografis, administrasi pemerintahan, data kependudukan, dan lain-lain diambil dari Pemerintah Daerah setempat, baik secara langsung maupun melalui web site Pemda Kota Makassar, Pekanbaru dan Banjarmasin.
•
Data Primer Data responden dengan unit satuan analisis berupa individu sebanyak 1000 orang
untuk
masing-masing
wilayah
(Kota
Makassar,
Pekanbaru,
dan
Banjarmasin) dipilih secara acak dari kecamatan yang dipilih dengan menggunakan teknik Stratified Proportional Purposive Sampling. Teknik ini digunakan karena secara umum berdasarkan literatur dan beberapa penelitian sebelumnya sudah diperoleh gambaran umum tentang kondisi masyarakat yang diteliti mengenai pemetaan minat baca. Selain itu untuk memperdalam pemahaman terhadap kondisi setempat termasuk keadaan masyarakat dilakukan pula tinjauan ke lapangan untuk melihat lokasi dan kegiatan taman bacaan masyarakat serta melakukan wawancara khusus kepada beberapa pejabat, tokoh masyarakat serta pengguna awam dan petugas dan pengelola perpustakaan atau taman bacaan masyarakat berkaitan dengan topik penelitian.
b. Metode Pengumpulan dan Analisis Data Instrumen penelitian berupa kuesioner disebarkan secara acak kepada anggota masyarakat yang berpendidikan minimum kelas 2 SD sebagai unit analisis (unit penelitian), baik melalui sekolah-sekolah yang dipilih dalam suatu kecamatan, maupun melalui kantor-kantor pemerintah atau swasta serta langsung ke masyarakat melalui pusat-pusat kegiatan seperti pasar atau tempat keramaian lain. Batasan unit analisis (unit penelitian) tersebut dipilih mengingat kemampuan membaca dari anak-anak sekolah sampai dengan kelas 2 SD masih rendah. Selain batasan pendidikan, batasan lain yang digunakan adalah profesi responden seperti 9
buruh, pegawai negeri, pegawai swasta, anak sekolah, mahasiswa, tentara dan polisi, ibu rumah tangga, pedagang, petani dan lain-lain. Pemilihan responden dilakukan secara acak proporsional pada kelompok yang telah ditentukan (stratified propotional purposive sampling). Dengan pemilihan secara acak demikian diharapkan akan terwakili data dari berbagai lapisan masyarakat.
c. Pengolahan Data Data dan informasi yang diperoleh dari pengisian kuesioner akan dianalisis berdasarkan statistika faktor dan parameter yang menentukan masalah studi ini. Analisis data disesuaikan dengan kebutuhan masukan bagi masalah-masalah yang akan dipelajari dalam tahapan pendekatan pemecahan masalah. Dari analisis data yang diperloleh akan ditarik pula korelasi dari beberapa faktor variabel. Misalnya apakah ada korelasi antara umur seseorang dengan minat bacanya, apakah ada korelasi antara tingkat pendidikan dengan minat baca, dan apakah ada korelasi antara tingkat kemampuan ekonomi dengan minat baca. Minat baca antara lain diukur dari durasi atau lamanya seseorang membaca, frekuensi membaca seseorang dan korbanan berupa materi atau korbanan lain yang dikeluarkan seseorang untuk memuaskan keinginan membaca. Sehingga dapat terjadi hubungan ordinal-ordinal antara parameter yang diukur. Untuk itu akan dilakukan uji korelasi menggunakan Rank Spearman dengan memanfaatkan alat hitung SPSS (Paket program Statistical Package for Social Science). Namun untuk beberapa indikator minat baca akan digambarkan melalui tabulasi frekuensi sederhana untuk mendiskripsikan hubungan atau keterkaitan antara beberapa indikator. Beberapa eksposur media lain (seperti TV dan Radio) terhadap kegiatan membaca juga diukur menggunakan analisis korelasi Rank Spearman.
d. Hipotesis Penelitian Dalam penelitian ini diajukan sembilan hipotesis yaitu: 1) Semakin tua umur seseorang semakin singkat durasi membacanya; 2) Semakin tua umur seseorang semakin rendah frekuensi membacanya; 3) Semakin tua umur seseorang semakin kecil korbanannya untuk mengadakan bahan bacaan; 4) Semakin
tinggi tingkat
pendidikan
membacanya; 10
seseorang
semakin
lama
durasi
5) Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin tinggi frekuensi membacanya; 6) Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin besar korbanannya untuk mengadakan bahan bacaan; 7) Semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang semakin lama durasi membacanya; 8) Semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang semakin tinggi frekuensi membacanya; 9) Semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang semakin besar korbanannya untuk mengadakan bahan bacaan.
e. Keluaran Keluaran atau produk akhir dari laporan ini adalah dokumen naskah hasil penelitian pemetaan minat baca masyarakat di tiga provinsi yaitu Provinsi Sulawesi Selatan (Kota Makassar), Provinsi Riau (Kota Pekanbaru), dan Provinsi Kalimantan Selatan (Kota Banjarmasin) dalam pemberdayaan perpustakaan yang diharapkan dapat menjadi gambaran, ukuran atau indikator minat baca masyarakat secara nasional dalam rangka meningkatkan mutu SDM melalui penelitian/pemetaan di beberapa provinsi di Indonesia.
11
12
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA Masyarakat Indonesia, meskipun sudah lama mengenal tulisan, masih dikategorikan sebagai masyarakat berbudaya kelisanan (orality). Memang benar bahwa budaya kelisanan dan budaya keberaksaraan (literacy) tidak dapat dipandang hitam putih karena keduanya pasti berbaur. Dalam kasus masyarakat Indonesia, budaya kelisanan lebih kental dibandingkan dengan budaya keberaksaraan.1 Budaya keberaksaraan atau baca-tulis meningkatkan kemampuan information literacy. Berdasarkan standar dalam information literacy standards tahun 2001, definisi information literacy adalah seperangkat kemampuan yang memungkinkan individu menyadari saat ia membutuhkan informasi dan memiliki kemampuan untuk menempatkan, mengevaluasi, dan menggunakan informasi yang dibutuhkan tersebut secara efektif. Pernyataan Joni Ariadinata bahwa daya pikir untuk menyerap bacaan dan kemampuan merangkai logika dalam tulisan merupakan salah satu indikator kuatnya sumberdaya manusia dalam sebuah negara. Oleh karena itu Laksmi (2007) menganggap bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih perlu didorong untuk memiliki kebiasaan membaca. Atas nama pembangunan manusia yang berkualitas, masyarakat Indonesia perlu menyadari kelemahan dan kelebihan yang dimiliki dalam kebudayaan mereka.2
Definisi Membaca Menurut Ratnaningsih (1998) membaca adalah memperoleh pengertian dari kata-kata yang ditulis orang lain dan merupakan dasar dari pendidikan awal. Ratnaningsih juga mengutif pendapat Sofyan (1991) mengenai membaca ini, yaitu sebagai suatu proses penafsiran dan pemberian makna tentang lambang-lambang oleh seorang pembaca dalam usahanya untuk memperoleh pesan yang disampaikan oleh penulis melalui kata-kata atau bahasa tulis. Sedangkan Razak (2004) mendefinisikan membaca sebagai kegiatan melisankan (dalam hati) setiap sumber yang tertulis. Melalui aktifitas membaca maka seseorang dapat memperoleh gagasan dan informasi yang terkandung dalam suatu bacaan. Melalui kegiatan membaca ini pula seseorang dapat memperoleh kesimpulan dan mengetahui sudut pandang pengarang bacaan tersebut. Selanjutnya Razak menyatakan bahwa pemahaman isi 1
Laksmi, 2007. Tinjauan Kultural Terhadap Kepustakawanan: inspirasi dari karya Umberto Eco, Sagung Seto. Hal. 31. 2 Laksmi, 2007. Tinjauan Kultural Terhadap Kepustakawanan: inspirasi dari karya Umberto Eco, Sagung Seto. Hal. 33.
13
bacaan paling banyak ditentukan oleh kuantitas membaca yaitu berkisar antara 60 – 65 %. Sedangkan faktor lain yang ikut menentukan adalah intelegensia (20 – 25 %), dan faktor lain sekitar 15 %. Kuantitas membaca ini kemudian diterjemahkan ke dalam banyak membaca yang berarti seringnya seseorang melakukan aktifitas membaca. Seseorang yang sering melakukan aktifitas membaca disebut sebagai seseorang yang memiliki kegemaran membaca (reading habit) atau memiliki minat membaca yang tinggi. Menurut Bondar (2002), kegiatan membaca dapat bersifat imperatif atau keharusan, tetapi dapat juga bersifat fakultatif atau pilihan. Kegiatan membaca yang bersifat keharusan tentunya wajib dilakukan oleh seseorang yang terkena kewajiban tersebut baik orang itu memiliki minat baca yang rendah maupun memiliki minat baca yang tinggi, misalnya siswa harus membaca buku pelajaran di sekolah. Oleh karena itu Razak dalam mengukur lamanya siswa membaca, dan kemudian membuat standar mengenai rajin tidaknya siswa membaca, hanya mengukur kegiatan membaca yang bersifat fakultatif yaitu kegiatan membaca di luar lingkungan sekolah seperti di rumah (termasuk rumah teman), toko buku, perpustakaan umum dan tempat-tempat lainnya.
Kondisi Minat Baca Secara umum kebiasaan atau kegemaran membaca masyarakat dapat dikelompokkan menjadi: (1) membaca hanya sekali-sekali saja; (2) senang melihat gambar atau foto atau membaca cerita bergambar/ komik; (3) hanya ingin tahu sesuatu sehingga terbatas membaca surat kabar saja; dan (4) membaca dalam artian sebenarnya yaitu untuk menimba ilmu dari bacaan yang dibacanya. Masalah kegemaran membaca perlu dilihat secara menyeluruh. Masalah minat dan kegemaran membaca ini tidak berdiri sendiri. Secara historis kita harus melihat lingkungan tempat tinggal seseorang sejak kanak-kanak. Yang paling mudah adalah dengan cara melihat lingkungan keluarga sekitar kita tinggal. Bagaimana sebagian besar keluarga di sekitar kita membina minat baca anak-anaknya. Kita bisa perhatikan kebiasaan anak-anak pada hari minggu. Sebagian besar anak-anak akan berada di depan TV sejak pukul 07.00 sampai paling tidak pukul 10.00 atau bahkan lebih. Hampir tidak ada anak yang tekun membaca pada jam-jam tersebut. Pengamatan kondisi ini diperkuat oleh pernyataan Mulyana (1998) yang menyatakan bahwa televisi diduga mengurangi kegiatan belajar (membaca buku) anak, menghambat imajinasi, kreativitas, dan sosiabilitas mereka. Lebih lanjut 14
Mulyana mengutip hasil penelitian Leknas dan LIPI tahun 1977/1978 dimana akibat masuknya televisi di pedesaan, pola kehidupan warga pedesaan berubah, anak-anak sekolah menjadi mundur dalam pelajaran karena waktu malamnya dihabiskan untuk menonton televisi. Hasil penelitian Saleh dkk (1995 dan 1996) melaporkan bahwa sebagian besar orang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk nonton TV dibandingkan dengan membaca. Bahan bacaannyapun sebagian besar hanya membaca koran dan majalah. Tidak terlalu banyak orang yang membaca buku. Ini merupakan salah satu bukti bahwa minat membaca masyarakat Indonesia masih kalah dibandingkan dengan minat menonton. Bukti lain yang menunjukkan bahwa minat baca dikalangan kaum intelektual juga masih rendah adalah data kunjungan ke perpustakaan oleh mahasiswa yang memperlihatkan betapa sedikitnya mahasiswa yang memanfaatkan perpustakaan. Data dari beberapa perpustakaan perguruan tinggi menunjukkan bahwa pengunjung perpustakaan tersebut tidak lebih dari 10 % dari jumlah mahasiswa. Sebagian rata-rata mahasiswa berkunjung ke perpustakaan tidak lebih dari 1 (satu) kali dalam sebulan atau perpustakaan tersebut memiliki angka kunjungan perkapita (library visit percapita) sebesar 12, bahkan banyak perpustakaan perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki angka library visit percapita yang jauh lebih rendah dari itu. Mahasiswa lebih suka berkumpul di kantin daripada di perpustakaan. Arifin (2006) mengutip sebuah hasil penelitian dimana diketahui bahwa 75 % pengetahuan seseorang didapat melalui indra mata (termasuk membaca), 13 % melalui mendengar dan hanya 12 % melalui indra lainnya. Oleh karena itu membaca, khususnya bagi pelajar dan mahasiswa, menjadi suatu keharusan. Di negara-negara maju, termasuk di Singapura, mahasiswa dianggap normal jika membaca sebanyak 1.500 halaman buku setiap minggu (enam hari). Untuk itu mahasiswa tersebut sedikitnya harus mampu menyisihkan waktu selama 8 jam sehari untuk membaca, selain kuliah, praktikum dan sebagainya. Hanya dengan membaca maka mahasiswa tersebut dapat menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan3. Ukuran membaca selama 8 jam sehari ini bagi mahasiswa Indonesia pada umumnya masih sangat sulit dicapai. Razak (2004) memberi ukuran bagi mahasiswa Indonesia yang disebut sangat rajin membaca adalah yang membaca lebih dari 3,5 jam setiap hari. Sedangkan mahasiswa yang malas membaca adalah mahasiswa yang membaca antara 2,5 – 3 jam sehari, dan sangat malas membaca adalah mahasiswa yang membaca kurang dari 2,5 jam setiap 3
Anwar Arifin (Prof. Dr.). Format baru Pengelolaan Pendidikan. Jakarta: Pustaka Indonesia, 2006. Hal. 129.
15
hari. Selanjutnya Razak4 memberi ukuran untuk masing-masing kelompok pelajar seperti pada tabel 3.1. Tabel 3.1 Kriteria Kerajinan Membaca per Hari Menurut Kelompok Umur (dalam satuan menit) No.
Kategori
Kelompok Pendidikan SD*
SMP
SMA
PT
< 30
< 60
< 90
< 150
2. Malas
30 - 45
60 - 75
90 – 120
150 – 180
3. Rajin
45 - 60
75 - 90
120 – 150
180 – 210
> 60
> 90
> 150
> 210
1. Sangat malas
4. Sangat rajin Keterangan: * Kelas 4 - 6
Artikel di Harian Pikiran Rakyat berikut mendukung pernyataan bahwa minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah. Yang menjadi indikator tinggi rendahnya minat baca masyarakat dalam artikel ini adalah konsumsi masyarakat terhadap surat kabar. Dilaporkan bahwa masyarakat Indonesia mengkonsumsi satu surat kabar untuk setiap 45 orang (1:45). Konsumsi surat kabar ini tentunya sangat terkait dengan tingkat melek huruf dari kelompok masyarakat tertentu, misalnya saja di Jawa Barat, jumlah masyarakat buta huruf mencapai 1,8 juta orang dan Provinsi Banten 1,4 juta dari 8 juta warganya. Tingkat konsumsi surat kabar ini sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain, bahkan negara tetangga seperti Srilangka sudah 1:38 dan Filipina 1:30. Idealnya satu surat kabar dibaca oleh 10 orang atau 1:10. Artikel ini juga menjadikan jam bermain anak sebagai indikator tinggi rendahnya minat baca. Diungkapkan bahwa jam bermain anak-anak Indonesia masih tinggi, yakni lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menonton acara televisi. Di Amerika Serikat, jumlah jam bermain anak-anak antara 3-4 jam per hari. Bahkan di Korea dan Vietnam, jam bermain anak-anak sehari hanya satu jam. Selebihnya anak-anak menghabiskan waktu untuk belajar atau membaca buku, sehingga tak heran budaya baca mereka sudah demikian tinggi5. Sedangkan kebiasaan membaca anak Indonesia masih sangat rendah. Seperti dikutip oleh Harian Republika (15 Juli 2007) dari laporan Bank Dunia No 16369-IND dan Studi IAEA (International Association of Education Achievement) di Asia Timur 4
Abdul Razak. Formula 247 Plus: metode mendidik anak menjadi pembaca yang sukses. Jakarta: Elek Media Komputindo, 2004. Hal. 3. 5 Minat Baca di Indonesia Sangat Rendah. Pikiran Rakyat. Senin, 8 Maret 2004.
16
pada tahun 2000 kebiasaan membaca anak Indonesia peringkatnya paling rendah dan berada di bawah Filipina, Thailand, Singapura dan Hong Kong. Kemampuan anak-anak Indonesia dalam menguasai bahan bacaan juga sangat rendah yakni hanya 30 %. Survey IAEA menunjukkan minat baca, yang diukur dari kemampuan membaca rata-rata, para siswa SD berada pada urutan 38, dan SMP pada urutan 34 dari 39 negara. Sutarno (2005, 2004) juga mendukung pernyataan bahwa minat dan budaya masyarakat Indonesia masih rendah. Menurut Baderi (2005) yang mengutip beberapa laporan, buruknya kemampuan membaca anak-anak Indonesia berdampak pada kekurang-mampuan mereka dalam penguasaan bidang ilmu pengetahuan dan matematika. Hasil tes yang dilakukan oleh Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) dalam tahun 2003 pada 50 negara di dunia terhadap para siswa kelas II SLTP, menunjukkan prestasi siswa-siswa Indonesia hanya mampu meraih peringkat 34 dalam kemampuan bidang matematika dengan nilai 411 dibawah rata-rata internasional yang 467. Sedangkan hasil tes bidang ilmu pengetahuan, mereka hanya mampu menduduki peringkat ke 36 dengan nilai 420 dibawah nilai rata-rata internasional 474. Bandingkan dengan anak-anak Malaysia yang berhasil menduduki peringkat ke 10 dalam kemampuan bidang matematika dengan memperoleh nilai 508 (diatas rata-rata nilai internasional). Dari keadaan ini nampak bahwa kecerdasan bangsa kita sangat jauh ketinggalan dari bangsa negaranegara berkembang lainnya. Menurut Sutarno6, kelompok masyarakat yang memiliki minat dan budaya baca rendah disebabkan karena: (1) Akses informasi dari dan ke perpustakaan (sumber-sumber bacaan) terbatas; (2) Tingkat pendidikan masyarakat yang masih banyak di bawah standar; (3) Kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang kurang menguntungkan sehingga mempengaruhi daya beli mereka terhadap bahan bacaan; (4) Layanan perpustakaan kepada masyarakat yang belum merata; dan (5) Apresiasi dan respon masyarakat terhadap perpustakaan yang masih rendah. Sedangkan menurut Sholeh (1998) yang menyebabkan budaya baca dari masyarakat Indonesia rendah yaitu: (1) kuatnya budaya lisan (oral culture) di Indonesia; budaya ngomong masih kuat berakar di Indonesia. Orang lebih senang ngobrol daripada membaca. Banyak orang yang lebih senang mendengarkan orang berpidato atau ceramah daripada 6
Sutarno NS. Manajemen Perpustakaan: Suatu pendekatan praktik. Jakarta: Sagung Seto, 2004. hal 224 ‐ 228
17
membaca, sehingga kadang-kadang orang yang suka membaca menjadi terlihat aneh dan dianggap sok pinter, sok ilmiah dan sombong. (2) persaingan antara buku dengan televisi, video, atau film seperti banyaknya saluran televisi yang saling berlomba menyuguhkan acara terbaiknya; televisi dan video menjanjikan hiburan-hiburan yang menyenangkan, sehingga orang lebih senang menonton televisi daripada membaca buku. (3) jumlah buku yang diterbitkan yang masih relatif sedikit di Indonesia; Sholeh mengutip laporan Alfons Taryadi yang menyebutkan bahwa Indonesia menerbitkan rata-rata 5.000 judul buku setiap tahun, jauh di bawah Jepang yang menerbitkan rata-rata 100.000 judul setiap tahun. Bahkan di Indonesia, buku yang diterbitkan kebanyakan buku-buku paket untuk pegangan pelajaran di sekolah. (4) Sistem pendidikan di Indonesia kurang mendukung budaya baca; metode pengajaran di kelas kurang memotivasi pelajar atau mahasiswa untuk aktif mencari buku di perpustakaan dan giat membacanya. Pelajar atau mahasiswa hanya “diceramahi”, digiring untuk hanya menyimak buku paket atau diktat, tetapi tidak dipaksa untuk melacak buku di perpustakaan. (5) Motivasi untuk berprestasi dan rasa ingin tahu rendah sehingga tidak mendorong terhadap keinginan membaca. Terhadap rendahnya minat baca siswa, Widjajanto dkk (1998), menyalahkan lingkungan keluarga yang tidak kondusif. Menurutnya usaha sekolah meningkatkan minat baca bagi siswa selalu terbentur keadaan ekonomi keluarga siswa sehingga minat baca yang ditumbuhkan tidak dapat berkembang akibat ketiadaan bahan bacaan di rumah. Sedangkan perpustakaan sekolah masih miskin koleksi, dan bahkan koleksi yang adapun kurang sesuai dengan kebutuhan bacaan siswa. Agak berbeda dengan pendapat umum, Kepala Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Jawa Barat, Dedi Junaedi, berpendapat bahwa minat baca masyarakat, khususnya Jawa Barat, sudah ada atau tidak rendah, namun yang jadi masalah adalah penyediaan bahan bacaannya yang sangat terkendala terutama dari segi jumlah dan tingkat pemerataannya. Menurut beliau, masyarakat dengan kondisi sosial ekonomi seperti di Jawa Barat yang umumnya petani, keberadaan buku-buku bacaan tentunya bukanlah barang yang ”murah” dan mudah dijangkau. Untuk itu, penyediaan layanan jasa peminjaman buku semacam perpustakaan mau tidak mau
18
menjadi solusi strategis7. Sependapat dengan pernyataan Junaedi, Nasoetion (2002) menyatakan: “Hal ini berarti bahwa di Indonesia sesungguhnya tidak ada masalah dengan tidak adanya minat membaca. Masalah yang ada hanyalah tidak terjangkaunya buku untuk dibaca. Sewaktu Pusat Buku di Jakarta mengadakan proyek pengadaan perpustakaan di balai desa di sepanjang Bogor – Sukabumi, saya sempat melihat anak‐anak berjejal menunggu waktu bukanya perpustakaan di setiap perpustakaan itu.”8
Masyarakat
belum
menjadikan
kebiasaan
membaca
sebagai
sebuah
kebutuhan untuk memperluas pengetahuan dan wawasan berpikir. Sebagian bahkan masih menjadikan membaca sebagai beban. "Contohnya, kita baru terpaksa membaca jika mau ujian. Malah bila perlu tidak tidur semalam suntuk karena akan ujian besok paginya. Jika kebiasaan membaca seperti ini, artinya belum tumbuh budaya yang baik," tutur Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin dalam talkshow "Gerakan Minat Baca" di Jambi, Selasa (5/6).9 Padahal, minat membaca yang tinggi sangat penting. Kesuksesan pendidikan anak sangat bergantung pada kemampuan membaca. Minat baca yang rendah mempengaruhi kemampuan anak didik dan secara tidak langsung berakibat pada rendahnya daya saing mereka dalam percaturan internasional. Sejarah belum pernah mencatat ada orang pintar dan hebat yang tak banyak membaca. Sayang, hal ini belum menjadi perhatian serius kebanyakan para orang tua. Gerakan pemberantasan buta huruf yang sudah lama dicanangkan pemerintah tidak akan berhasil dengan baik tanpa dukungan dari orang tua sebagai ujung tombak pendidik anak dalam keluarga. Secara sederhana, literasi berarti kemampuan membaca dan menulis atau melek aksara. Dalam konteks sekarang, literasi memiliki arti yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar. Kirsch dan Jungeblut dalam buku Literacy: Profiles of America’s young adults mendefinisikan literasi kontemporer sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Lebih jauh, seorang baru bisa dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman bacaannya.
7
Pengembangan Budaya Literasi terganjal Fasilitas. Kompas Cybermedia. Selasa, 2 Januari 2007. Pola Induksi Seorang Eksperimentalis. Editor Asep Saefuddin. Bogor: IPB Press, 2002. hal 184. 9 Membaca belum menjadi kebutuhan. Kompas, Rabu, 6 Juni 2007. http://www.kompas.co.id. Diakses 1 Agustus 2007 8
19
Arifin (2006) menyatakan bahwa pendidikan literat atau literer merupakan pendidikan yang didasarkan kepada penggunaan karya tulis sebagai sarana utama. Kebalikannya adalah pendidikan praliterer yaitu pendidikan tanpa menggunakan media tertulis sebagai sarana utamanya. Dalam pendidikan literer terutama yang mendasarkan diri pada teori “self activity” anak didik dan teori behavioristik dengan sendirinya memerlukan banyak buku sebagai sarana utama, dan tentu saja aktifitas membaca menjadi sangat penting didalam menggali ilmu yang ada dalam buku-buku tersebut. Sekarang ini, generasi literat mutlak dibutuhkan agar bangsa kita bisa bangkit dari keterpurukan bahkan bersaing dan hidup sejajar dengan bangsa lain. Wagner (2000) menegaskan bahwa tingkat literasi yang rendah berkaitan erat dengan tingginya tingkat drop-out sekolah, kemiskinan, dan pengangguran. Ketiga kriteria tersebut adalah sebagian dari indikator rendahnya indeks pembangunan manusia. Seperti yang dikutip dari Human Development Report 2003 oleh Harian Republika 15 Juli 2007, diketahui bahwa Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) Indonesia menempati urutan ke 112 dari 175 negara. Menciptakan generasi literat merupakan jembatan menuju masyarakat makmur yang kritis dan peduli. Kritis terhadap segala informasi yang diterima sehingga tidak bereaksi secara emosional dan peduli terhadap lingkungan sekitar.10 Salah satu indikator rendahnya minat baca adalah dihitung dari jumlah buku yang diterbitkan yang memang masih jauh di bawah penerbitan buku di Malaysia, Singapura, apalagi India, atau negeri-negeri maju lainnya. Negara disebut maju karena rakyatnya suka membaca. Ini dibuktikan dari jumlah buku yang diterbitkan dan jumlah perpustakaan yang ada di negeri itu. Penerbit buku di Indonesia pada tahun 1994 mencapai 565 penerbit. Angka itu belum termasuk penerbit yang tidak terdaftar sebagai anggota IKAPI. Walaupun begitu, oplah buku pada saat itu tidak bisa dibilang menggembirakan. Diperkirakan 7.000 judul yang diterbitkan, 1.500 diantaranya tidak bisa dicetak ulang karena kurang diminati. Ini masih terbilang kecil dibanding Jepang atau Thailand yang mencetak 68.000-70.000 judul per tahun (Kompas, 17/5-2004). Penelitian Saleh dkk (2004) melaporkan bahwa publikasi Indonesia selama tahun 2002 dan 2003 adalah sebesar 12.709 judul buku 10
Artikel ini merupakan versi lengkap dari tulisan berjudul Menciptakan Generasi Literat, oleh Ahmad Bukhori, publikasi Pikiran Rakyat, Sabtu, 26 Maret 2005 pada kolom Artikel. Ditulis ulang dari H.U. Pikiran Rakyat versi cetak terbitan Sabtu, 26 Maret 2005
20
yang terdiri dari 6.656 judul buku (52,4 %) diterbitkan pada tahun 2002 dan sebanyak 6.053 judul buku (47,6 %) diterbitkan pada tahun 2003. Publikasi ini diterbitkan oleh 1.977 penerbit baik penerbit komersial (sebanyak 1.169 penerbit atau 59,13 %) maupun penerbit non komersial (sebanyak 808 atau 40,87 %) seperti lembaga pemerintah dan swasta serta perguruan tinggi non penerbit universitas. Mengapa minat baca di Indonesia dikatakan rendah? Ada banyak teorinya. Pertama,
sistem
pembelajaran
di
Indonesia
belum
membuat
anak-
anak/siswa/mahasiswa harus membaca buku (lebih banyak lebih baik), mencari informasi/pengetahuan lebih dari apa yang diajarkan, mengapresiasi karya-karya ilmiah, filsafat, sastra dsb. Kedua, banyaknya jenis hiburan, permainan (game) dan tayangan TV yang mengalihkan perhatian anak-anak dan orang dewasa dari buku, surfing di internet walaupun yang terakhir ini masih dapat dimasukkan sebagai sarana membaca, hanya saja apa yang dapat dilihat di internet bukan hanya tulisan tetapi hal-hal visual lainnya yang kadangkala kurang tepat bagi konsumsi anak-anak. Ketiga, banyaknya tempat hiburan untuk menghabiskan waktu seperti taman rekreasi, tempat karaoke, night club, mall, supermarket. Keempat, budaya baca memang belum pernah diwariskan nenek moyang kita. Kita terbiasa mendengar dan belajar berbagai dongeng, kisah, adat-istiadat secara verbal (budaya orality) dikemukakan orangtua, tokoh masyarakat, penguasa pada zaman dulu. Anak-anak didongengi secara lisan, diajar membuat banten dengan melihat cara memotong janur, menata buah-buahan dan lain-lain sajian. Tidak ada pembelajaran (sosialisasi) secara tertulis. Jadi tidak terbiasa mencapai pengetahuan melalui bacaan. Kelima, para ibu, saudari-saudari kita senantiasa disibukkan berbagai kegiatan sosial-keagamaan serta membantu mencari tambahan nafkah untuk keluarga, belum lagi harus memberi makan hewan peliharaan seperti babi, bebek, ayam (lebih-lebih kaum wanita di desa) sehingga tiap hari waktu luang sangat minim bahkan hampir tidak ada untuk membantu anak membaca buku. Keenam, sarana untuk memperoleh bacaan, seperti perpustakaan atau taman bacaan, masih merupakan barang aneh dan langka.11 Bunanta (2004) menyebutkan bahwa minat baca terutama sangat ditentukan oleh:
11
Arixs. Enam penyebab rendahnya minat baca. Tokoh. Senin, 29 Mei 2006. Http://www.cybertokoh.com. Diakses tanggal 1 Agustus 2007
21
•
Faktor lingkungan keluarga dalam hal ini misalnya kebiasaan membaca keluarga di lingkungan rumah.
•
Faktor pendidikan dan kurikulum di sekolah yang kurang kondusif.
•
Faktor infrastruktur dalam masyarakat yang kurang mendukung peningkatan minat baca masyarakat.
•
Serta faktor keberadaan dan keterjangkauan bahan bacaan. Sementara itu dipahami bahwa terdapat hubungan antara minat baca dengan
tingkat kecepatan pemahaman bacaan bagi peserta didik. Dalam artikel di Harian Kompas Rabu 26 Juli 2000 disebutkan hasil penelitian Guritnaningsih A Santoso dengan judul "Studi Perkembangan Kognitif Anak Indonesia". Dalam penelitian itu ditemukan bahwa minat baca dan pemahaman bacaan dapat ditingkatkan melalui pendekatan pemrosesan informasi. Penelitian dilakukan terhadap 180 siswa SD di DKI Jakarta dan Jawa Barat pada Oktober 1999. Hasilnya antara lain, siswa memiliki kemampuan yang rendah dalam memahami kalimat sehingga tidak mampu menangkap ide pokok bacaan. Hal ini terutama disebabkan karena rendahnya minat baca siswa sekolah. Untuk mengatasinya keterbelakangan ini diperlukan pendidikan sejak dini, dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pendidikan di dalam keluarga merupakan pendorong minat baca yang utama (Nasoetion, 2002). Minat baca seharusnya ditanamkan oleh orangtua sejak anak masih kecil. Cara yang paling mudah adalah mendongeng melalui buku cerita. Setelah seorang anak dapat membaca, diharapkan mereka akan berusaha mengetahui isi bacaan tanpa menunggu didongengi. Pada gilirannya mereka akan tertarik untuk membaca. Faktor selanjutnya yang juga sangat berpengaruh adalah pendidikan di sekolah dan lingkungan tempat tinggal. Pendidikan di sekolah mendorong anak membaca karena tuntutan pelajaran. Sementara, lingkungan turut mendorong minat baca karena seorang anak melakukan kegiatan sesuai yang dilakukan orang-orang di sekelilingnya. Anak menjadi rajin membaca jika masyarakat di sekitarnya melakukannya. Ki Supriyoko dalam tulisannya dengan judul “Minat Baca dan Kualitas Bangsa” di Harian Kompas Selasa, 23 Maret 2004, menyatakan: “ Secara teoritis ada hubungan yang positif antara minat baca (reading interest) dengan kebiasaan membaca (reading habit) dan kemampuan membaca (reading ability). Rendahnya minat baca masyarakat menjadikan kebiasaan membaca yang rendah, dan kebiasaan 22
membaca yang rendah ini menjadikan kemampuan membaca rendah. Itulah yang sedang terjadi pada masyarakat kita sekarang ini.” Faktor-faktor berikut ditengarai menghambat peningkatan minat baca dalam masyarakat dewasa ini (Leonhardt, 1999): •
Langkanya keberadaan buku-buku anak yang menarik terbitan dalam negeri
•
Semakin jarangnya bimbingan orang tua yang suka mendongeng sebelum tidur bagi anak-anak. Padahal kebiasaan ini merupakan kebiasaanya jaman dulu banyak dilakukan orang tua.
•
Pengaruh televisi yang bukannya mendorong anak-anak untuk membaca, tetapi lebih betah menonton acara-acara televisi.
•
Harga buku yang semakin tidak terjangkau oleh kebanyakan anggota masyarakat
•
Kurang tersedianya taman-taman bacaan yang gratis dengan koleksi buku yang lengkap dan menarik. Pernyataan dan fenomena diatas sangat relevan direnungkan dalam rangka
meningkatkan kecerdasan bangsa. Sementara itu beberapa guru di Yogyakarta berinisiatif kreatif mencoba menanamkan kegemaran dan kesenangan membaca kepada siswanya. Metoda yang mereka terapkan adalah mengharuskan semua siswa mereka melakukan semacam silent reading selama setengah jam setiap pagi sebelum pelajaran dimulai. Semua siswa diharuskan membaca bacaan secara diam bacaan apa saja. Kebiasaan membaca ini diharapkan membuat anak menjadi imajinatif, kreatif dan senang membaca. Tradisi membaca seperti ini belum digarap dengan baik oleh sekolah-sekolah.
23
24
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Umum (Tiga kota: Makassar, Pekanbaru dan Banjarmasin) Penelitian ini dilakukan dengan menyebarkan kuesioner sebanyak 1.000 kuesioner di masing-masing kota yaitu Makassar, Pekanbaru dan Banjarmasin. Dari total kuesioner yang disebarkan yaitu sebanyak 3.000, jumlah kuesioner yang kembali adalah sebanyak 2746 (91,53 %). Responden terdiri dari 1185 laki-laki (43,15 %) dan perempuan sebanyak 1561 (56,85 %). Responden tersebut terdiri dari beberapa kelompok yaitu 280 orang Mahasiswa (10,20 %), 65 orang pegawai swasta (7,21 %), 428 orang siswa SMU (15,59 %), 448 orang siswa SMP (16,31 %), 476 orang siswa SD (17,33 %), 230 orang ibu rumah tangga (8,38 %), 97 orang pedagang (3,53 %), 74 orang dosen (2,69 %), 89 orang petani/nelayan (3,24 %), 169 orang pegawai swasta (6,15 %), 219 orang pegawai negeri sipil (7,98 %), 103 orang guru (3,75 %), 58 orang anggota TNI/Polri (2,11 %), dan 75 orang buruh (2,73 %). Tabel 4.1.1 Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Kelompok Responden Lakilaki Perempuan Jumlah Mahasiswa
103
177
280
10,20
Siswa SMU
185
243
428
15,59
Siswa SMP
187
261
448
16,31
Siswa SD
204
272
476
17,33
0
230
230
8,38
Pedagang
58
39
97
3,53
Dosen
47
27
74
2,69
Petani/Nelayan
69
20
89
3,24
Peg Swasta
90
79
169
6,15
PNS
94
125
219
7,98
Guru
36
67
103
3,75
TNI/Polri
53
5
58
2,11
Buruh
59
16
75
2,73
1185
1561
Ibu Rumah Tangga
Jumlah
25
%
2746 100,00
Dari aspek status responden dalam rumah tangga, responden dapat dibagi menjadi 437 orang (15,91 %) berstatus sebagai ayah, 506 orang (18,43 %) berstatus sebagai Ibu, sedangkan sisanya sebanyak 1805 orang (65,73 %) berstatus sebagai anak, sedangkan satu orang tidak menjawab status yang bersangkutan. Sedangkan dari ke segi kelompok umur, responden di bagi menurut kelompok umur kurang dari 12 tahun (atau diperkirakan usia siswa SD) yaitu sebanyak 449 orang (16,35 %), 13 tahun sampai dengan 15 tahun (atau diperkirakan usia siswa SLTP) sebanyak 376 orang (13,69 %), 16 tahun sampai dengan 18 tahun (atau diperkirakan usia siswa SLTA) sebesar 381 orang (13,87 %), 19 tahun sampai dengan 23 tahun (atau diperkirakan usia mahasiswa) sebesar 294 orang (10,71 %), 24 tahun sampai dengan 40 tahun (atau usia tenaga kerja muda) sebanyak 572 orang (20,83 %), 41 tahun sampai dengan 55 tahun (atau usia tenaga kerja tua) sebanyak 367 orang (13,36 %), dan terakhir yang berusia lebih dari 56 tahun (atau usia tidak produktif atau pensiunan) sebanyak 61 orang (2,22 %). Ada sebanyak 246 (8,96 %) responden tidak menjawab. Tabel 4.1.2 Responden Berdasarkan Kelompok Umur Kelompok Responden Mahasiswa
Umur (tahun) < 12 th 13‐15 16‐18 19‐23 24‐40 41‐55 >56 0 0 0 204 40 1 2
Total Tidak Jumlah Menjawab Menjawab 247
33
280
Siswa SMU
0
0
368
0
0
0
0
368
60
428
Siswa SMP
0
360
5
0
0
0
0
365
83
448
449
16
0
0
0
0
0
465
11
476
Ibu Rumah Tangga
0
0
2
14
109
77
22
224
6
230
Pedagang
0
0
0
7
53
32
5
97
0
97
Dosen
0
0
0
0
39
28
4
71
3
74
Petani/Nelayan
0
0
0
12
35
18
14
79
10
89
Peg Swasta
0
0
5
32
100
18
2
157
12
169
PNS
0
0
0
1
75
127
6
209
10
219
Guru
0
0
0
1
48
40
1
90
13
103
TNI/Polri
0
0
0
9
34
13
0
56
2
58
Buruh
0
0
1
14
39
13
5
72
3
75
449
376
381
294
572
367
61
2500
246
2746
16,35 13,69 13,87
10,71
20,83
13,36
2,22
91,04
8,96
Siswa SD
Jumlah Persentase
26
Sesuai dengan kuota, maka responden yang berasal dari kalangan sekolah lebih besar yaitu 1642 responden (59,80 %), yang sudah tidak bersekolah lagi sebesar 887 responden (32,30 %), sedangkan sisanya tidak menjawab apakah mereka masih berstatus masih sekolah atau sudah bekerja yaitu sebesar 217 responden (7,90 %). Responden yang masih sekolah terdiri dari siswa sekolah dasar atau SD sebesar 479 responden (28,06 %), siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama atau SLTP sebesar 458 responden (26,83 %), siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Atas atau SLTA sebesar 462 responden (27,07 %), mahasiswa sebesar 308 responden (18,04 %). Dari keseluruhan responden yang mengaku sebagai masih bersekolah, sebanyak 18 responden menjawab selain bekerja, mereka juga berstatus pelajar atau mahasiswa. Tabel 4.1.3 Status Responden Kelompok yang Masih bersekolah Siswa SD Jumlah
Siswa SLTP
%
Jumlah
479 28,06
%
458 26,83
Siswa SLTA Jumlah
Mahasiswa
%
Jumlah
462 27,07
%
308 18,04
Total Jumlah
%
1707
100
Tabel 4.1.4 berikut menunjukkan kondisi responden dalam hal pendidikan. Responden yang tidak tamat SD sebesar 164 responden (5,97 %), tamat SD sebanyak 491 responden (17,88 %), tamat SLTP sebanyak 451 reponden (16,42 %), tamat SLTA sebesar 555 responden (20,21 %), diploma sebesar 127 responden (4,62 %), sarjana sebesar 360 responden (13,11 %), dan pascasarjana atau bergelar S2 dan atau S3 sebesar 56 responden (2,04 %).
Jumlah
164
491
555
127
360
56
536
Persentase 5,97 17,88 16,42
20,21
4,62
13,11
2,04
19,52
27
2210
Total
Menjawab
Tidak Jawab
Pasca sarjana
451
Sarjana (S1)
Diploma
Tamat SLTA
Tamat SLTP
Tamat SD
Kelompok Responden
Tdk tamat SD
Tabel 4.1.4 Responden Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan
2746
80,48 100,00
Gambar 4.1.1 Grafik Sebaran Tingkat Pendidikan Responden
Dari aspek profesi responden diharapkan dapat mewakili sebanyak mungkin profesi. Kelompok responden tersebut terdiri atas (lihat tabel 4.1.5) pegawai negeri sebesar 346 responden (27,75 %), pegawai swasta sebesar 150 responden (12,03 %), pedagang sebesar 84 responden (6,74 %), TNI/POLRI sebesar 86 responden (6,90 %), petani sebesar 87 responden (6,98 %), wiraswastawan sebesar 86 responden (6,90 %), wartawan sebesar 4 responden (0,32 %), buruh sebesar 70 responden (5,61 %), dan profesi lainnya yang tidak termasuk kategori tersebut sebesar 334 responden (26,78 %).
Profesi
Pegawai Negeri
Pegawai Swasta
Pedagang
TNI/POLRI
Petani
Wiraswasta
Wartawan
Buruh
Lainnya
Tabel 4.1.5 Responden Berdasarkan Profesi
Jumlah
346
150
84
86
87
86
4
70
334
%
27,75 12,03 6,74
6,90
6,98
6,90
0,32
28
5,61 26,78
Gambar 4.1.2 Grafik Sebaran Profesi Responden
Pendapatan responden tersebar dari pendapatan kurang dari 500 ribu rupiah per bulan sampai kepada yang berpendapatan lebih ari 4,5 juta rupiah setiap bulan. Sebagian terbesar responden berpendapatan antara 500 ribu sampai 2,5 juta rupiah per bulan. Sebaran responden menurut tingkat pendapatan digambarkan pada tabel 4.1.6 dan grafik 4.1.3 menggambarkan sebaran pendapatan responden secara umum.
Lebih 1 jt – 1,5 jt
Lebih 1,5 jt – 2,5 jt
Lebih dar 2,5 jt – 3,5 jt
lebih dari 3,5 jt – 4,5 jt
Lebih dari 4,5 jt
Total Persentase
500 rb – 1 juta
Kelompok Responden
Kurang dari 500 ribu
Tabel 4.1.6 Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan per Bulan
142 10,85
322 24,60
277 21,16
297 22,69
149 11,38
70 5,35
52 3,97
29
Gambar 4.1.3 Grafik Sebaran Tingkat Pendapatan Responden
Dari aspek jumlah anggota dalam keluarga, sebagian responden terdiri dari keluarga dengan jumlah anggota keluarga sebesar 3 – 4 orang (1099 responden) kemudian diikuti berturut-turut dengan jumlah anggota keluarga 5 – 6 orang (921 responden), 7 – 8 orang (260 responden), kurang dari 2 orang (110 responden), dan yang terakhir adalah keluarga besar yaitu dengan jumlah keluarga sebanyak lebih dari 8 orang (90 responden). Secara rinci kondisi responden berdasarkan jumlah anggota dalam keluarga disajikan pada tabel 4.1.7. Tabel 4.1.7 Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga Jumlah Persentase
Kurang 3 – 4 5 – 6 7 – 8 Lebih dari 2 orang orang orang orang dari 8 orang 110 1099 921 260 90 4,44
44,31
30
37,14
10,48
3,63
Gambar 4.1.4 Grafik Sebaran Jumlah Anggota Keluarga
Pada umumnya responden termasuk kelompok masyarakat yang cukup terbuka. Hal ini dicerminkan dari fasilitas informasi untuk melakukan akses ke luar. Pada umumnya mereka memiliki pesawat radio, pesawat televisi, pemutar video/vcd/dvd, komputer. Sebagian dari mereka bahkan memiliki akses ke internet. Sedangkan media cetak yang mereka miliki cukup banyak adalah koran dan majalah. Fasilitas tersebut selain digunakan untuk mendapatkan informasi dari luar, juga digunakan sebagai sarana hiburan. Tabel 4.1.8 memperlihatkan sebaran responden dalam hal kepemilikan fasilitas informasi. Tabel 4.1.8 Kepemilikan Fasilitas Media Informasi Fasilitas informasi yang dimiliki Video/ Koneksi Responden Pesawat Pesawat VCD/ Komputer ke Koran Majalah Radio TV DVD Internet Jumlah 1849 2391 1649 1076 260 1467 1100 Persentase 67,33 87,07 60,05 39,18 9,47 53,42 40,06
31
Gambar 4.1.5 Grafik Sebaran Kepemilikan Fasilitas Media Informasi
4.1.1 Membaca dan Menonton untuk Mengisi Waktu Luang Dalam mengisi waktu luang sebagian besar responden mengaku melakukan kegiatan membaca dan menonton televisi/video/vcd, mendengarkan siaran radio dan rekreasi. Kegiatan membaca dan menonton dilakukan seimbang oleh sebagian besar responden yaitu membaca oleh 2192 responden atau sebesar 79,83 % dari total responden, dan sebanyak 2219 responden atau 80,81 % dari total responden melakukan kegiatan menonton dalam mengisi waktu luangnya. Penggunaan radio sebagai alat untuk mengisi waktu luang tidak terlalu populer yaitu hanya digunakan oleh 1164 responden (42,39 % terhadap total responden). Sedangkan rekreasi adalah kegiatan yang sangat sedikit dilakukan oleh responden dalam mengisi waktu luang yaitu hanya dilakukan oleh sebanyak 697 responden atau 25,38 % terhadap total responden. Dari tabel dapat dilihat bahwa profesi yang memang menuntut kegiatan membaca seperti guru, dosen, mahasiswa serta pelajar, maka membaca merupakan sebagai kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu luang lebih tinggi dibandingkan dengan menonton. Dosen menyatakan bahwa membaca dan menonton televisi merupakan kegiatan yang dilakukan setiap saat bila mereka memiliki waktu luang. Hal ini tidak mengherankan, karena profesi dosen memang menuntut harus selalu memperbaharui pengetahuannya. 32
Mahasiswa, pelajar SD, pelajar SMP, serta guru menyatakan mengisi waktu luang mereka dengan membaca dan menonton televisi lebih tinggi dibandingkan dengan mendengarkan mendengarkan siaran radio dan rekreasi. Sebagian profesi ini tetap menempatkan membaca adalah kegiatan dominan. Penelitian ini menemukan fakta bahwa pelajar SMU lebih suka menonton televisi/video/VCD daripada membaca. Padahal seharusnya sebagai pelajar mereka dituntut untuk melakukan kegiatan membaca secara intensif. Sudah dapat ditebak bahwa pada profesi yang tidak menuntut kegiatan membaca secara intensif seperti ibu rumah tangga, petani, pedagang, TNI/POLRI, dan buruh, kegiatan menonton televisi/video/vcd merupakan pilihan kegiatan yang lebih banyak dilakukan dalam mengisi waktu luang mereka. Tabel 4.1.9 Sebaran Pemanfaatan Waktu Luang Responden
Kelompok Responden
Jumlah responden (n)
Membaca Resp
%
Menonton TV/Video/ VCD Resp
Resp
%
Rekreasi Resp
%
Mahasiswa
280
249 88,93
211 75,36
148
52,86
76 27,14
Siswa SMU
428
331 77,34
372 86,92
249
58,18
148 34,58
Siswa SMP
448
398 88,84
365 81,47
185
41,29
109 24,33
Siswa SD
476
420 88,24
296 62,18
107
22,48
107 22,48
Ibu Rmh Tgg
230
108 46,96
191 83,04
59
25,65
24 10,43
Pedagang
97
75 77,32
90 92,78
49
50,52
21 21,65
Dosen
74
71 95,95
69 93,24
52
70,27
33 44,59
Petani
89
50 56,18
77 86,52
36
40,45
Peg Swasta
169
136 80,47
145 85,80
74
43,79
60 35,50
PNS
219
185 84,47
193 88,13
94
42,92
72 32,88
Guru
103
99 96,12
88 85,44
61
59,22
30 29,13
Polri
58
37 63,79
54 93,10
20
34,48
8 13,79
Buruh
75
33 44,00
68 90,67
30
40,00
7
2746 2192 79,83 2219 80,81
1164
42,39
Total
33
%
Mendengarkan Siaran Radio
2
2,25
9,33
697 25,38
Gambar 4.1.6 Grafik Sebaran Pemanfaatan Waktu Luang
Kegiatan ayah, ibu dan anak dalam membaca dan menonton kurang lebih seimbang. Pada ayah dan ibu frekuensi kegiatan menonton sedikit lebih tinggi, sedangkan pada anak frekuensi kegiatan membaca yang lebih tinggi. Ini tidak mengherankan melihat mayoritas responden berasal dari kalangan pelajar yang masih aktif sekolah. Jadi dapat diduga kegiatan membaca mereka ada kaitannya dengan status mereka sebagai pelajar. Tabel 4.1.10 Kegiatan Ayah, Ibu dan Anak dalam Mengisi Waktu Luang Responden
n
Membaca
Nonton tv/video/vcd jml % 386 88,33
Mendengar siaran radio jml % 209 47,83
jml % 106 24,26
ayah
437
jml % 332 75,97
Ibu
506
337 66,60
436 86,17
191 37,75
98 19,37
1805
1525 84,49
1396 77,34
767 42,49
498 27,59
Anak
34
Rekreasi
Gambar 4.1.7 Garfik Sebaran Pemanfaatan Waktu Luang
Mendengarkan siaran radio masih dilakukan sebagian masyarakat untuk mengisi waktu luangnya, namun penggemar siaran radio ini sudah dikalahkan oleh kegiatan menonton televisi/video/vcd. Rata-rata masyarakat melakukan aktifitas mendengarkan siaran radio hanya setengah dari melakukan kegiatan membaca maupun menonton televisi. Walaupun dari segi frekuensi, kegiatan membaca dan menonton televisi nampak seimbang, namun dari aspek lamanya (durasi) melakukan kegiatan membaca dan menonton maka kegiatan menonton dilakukan lebih lama oleh sebagian besar responden (lihat grafik). Bahkan responden yang menonton lebih dari 3 jam setiap hari menduduki jumlah terbesar yaitu 32,7 % dari jumlah responden, sedangkan yang membaca lebih dari 3 jam sehari hanya sebesar 10,38 % dari jumlah seluruh responden. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa masyarakat Indonesia memang lebih senang menonton daripada membaca.
35
Tabel 4.1.11 Sebaran Lama Membaca dan Lama Menonton Persentase Responden Membaca
Menonton
Waktu yang digunakan oleh responden 1 – 2 j/mg 2 – 3 j/mg
3 – 4 j/mg
< 1 j/hr
1 – 2 j/hr
2 – 3 j/hr > 3 j/hr
Jumlah
89
49
68
652
1010
330
285
(%)
3,2
1,8
2,5
23,7
36,8
12,0
10,4
Jumlah
33
31
80
302
798
569
898
(%)
1,2
1,1
2,9
11,0
29,1
20,7
32,7
Gambar 4.1.8 Grafik Perbandingan antara Lama Membaca dengan Lama Menonton
Lebih jauh diperoleh fakta bahwa secara umum perempuan lebih banyak memiliki waktu luang yang kemudian digunakan untuk membaca ataupun nonton televisi. Perempuan umumnya menonton televisi lebih lama dibandingkan dengan lakilaki (lihat gambar 4.1.9).
36
Tabel 4.1.12 Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Lama Membaca Jenis Kelamin
laki
Perempuan
Lama Membaca dan Lama Menonton TV
Kegiatan
12 j/mg 23 j/mg
3 4j/mg < 1 j/hr
12 j/hr
2 3 j/hr > 3 j/hr
Baca
36
20
26
305
427
138
125
% thd resp
1,3
0,7
0,9
11,1
15,5
5,0
4,6
nonton
16
14
24
140
375
261
329
% thd resp
0,6
0,5
0,9
5,1
13,7
9,5
12,0
Baca
53
29
42
346
581
192
159
% thd resp
1,9
1,1
1,5
12,6
21,2
7,0
5,8
nonton
17
17
55
161
422
306
569
% thd resp
0,6
0,6
2,0
5,9
15,4
11,1
20,7
Gambar 4.1.9 Perbandingan Lama Membaca dengan Lama Menonton pada Laki‐laki dan Perempuan
4.1.2 Hubungan antara kelompok umur dengan membaca Dari aspek umur diduga pada usia sekolah sampai mahasiswa (usia SD yaitu kurang dari 12 tahun sampai usia mahasiswa yaitu sampai 23 tahun) memiliki kebiasaan membaca yang tinggi. Anggapan ini berdasarkan kenyataan bahwa kegiatan 37
membaca sangat erat kaitannya dengan pendidikan. Pada usia kerja kebiasaan membaca ini diduga akan menurun dan kemudian akan meningkat lagi pada usia tua, dimana pada usia tua seseorang akan memiliki waktu luang yang berlimpah. Namun dari data yang diperoleh, dugaan ini tidak terjadi. Tabel 4.1.13 Hubungan Umur dengan Lama (Durasi) Membaca Kelompok Umur < 12 th
13‐15 th
16‐18 th
19‐23 th
24‐40 th
41‐55 th
> 55 th
Total
Jumlah responden dengan lama (durasi) membaca 1‐2 j/mg 2‐3 j/mg 3‐4 j/mg < 1 j/hr 1‐2 j/hr 2‐3 j/hr > 3 j/hr Jml 24 9 14 132 215 54 94 %
4,43
1,66
2,58
24,35
39,67
9,96
17,34
20
13
12
96
208
74
32
4,40
2,86
2,64
21,10
45,71
16,26
7,03
14
12
15
127
159
66
29
3,32
2,84
3,55
30,09
37,68
15,64
6,87
9
7
14
75
109
40
33
3,14
2,44
4,88
26,13
37,98
13,94
11,50
19
12
15
126
188
61
63
3,93
2,48
3,10
26,03
38,84
12,60
13,02
12
6
8
98
116
38
36
3,82
1,91
2,55
31,21
36,94
12,10
11,46
2
3
2
6
27
9
9
%
3,45
5,17
3,45
10,34
46,55
15,52
15,52
Jml
100
62
80
660
1022
342
296
%
3,90
2,42
3,12
25,76
39,89
13,35
11,55
Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % Jml
38
Gambar 4.1.10 Grafik Hubungan antara Umur dengan Lama Membaca
Tabel 4.1.13 dan gambar 4.1.10 memperlihatkan bahwa membaca nampaknya tidak dipengaruhi oleh umur. Pola grafik dari semua kelompok umur responden terlihat sama yaitu sedikit responden pada membaca dengan durasi rendah (dari 1 jam sampai 2 jam setiap minggu), kemudian naik jumlahnya pada korbanan waktu membaca sedang (kurang dari satu jam sampai 2 jam per hari), dan kembali menurun pada durasi membaca dengan korbanan waktu tinggi (lebih dari 3 jam sehari). Semua kelompok responden menyatakan bahwa mereka menghabiskan waktu rata-rata dalam membaca antara 1 sampai 2 jam setiap hari. Sebenarnya korbanan waktu demikian dapat dikatakan tidak terlalu tinggi karena masyarakat yang kegemaran membacanya tinggi, mereka akan menghabiskan waktu membaca lebih dari 3 jam setiap harinya.
39
Gambar 4.1.11 Grafik Sebaran Korbanan Waktu Rata‐rata dalam Membaca
Secara statistik hubungan antara umur dengan lama (durasi) membaca berbanding terbalik walaupun hubungan tersebut sangat lemah yaitu dengan koefisien korelasi sebesar -0,031. Jadi semakin tua umur responden semakin pendek durasi mereka membaca. Kenyataan ini tidak sesuai dengan harapan dimana seharusnya semakin tinggi umur seseorang, semakin lama ia membaca. Hal ini terutama jika dikaitkan dengan aktifitas membaca dalam hubungannya dengan aktifitas pendidikan. Tabel yang disampaikan oleh Razak (2004) menunjukkan bahwa semakin tinggi usia yang ditunjukkan oleh status pendidikan maka dia dituntut semakin lama membaca. Kenyataan ini tentu harus menjadi perhatian dari pemerintah, khususnya para pendidik atau regulator pendidikan. Sudah waktunya kewajiban membaca di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi dimonitor dan masuk ke dalam kurikulum wajib. Misalnya saja, guru atau dosen harus lebih banyak memberikan penugasan yang berkaitan dengan membaca, membuat ringkasan, dan membuat soal-soal ujian yang bahan-bahannya diambil dari bacaan yang diwajibkan oleh guru dan lain-lain.
40
Tabel 4.1.14 Hubungan Antara Umur dengan Biaya Belanja Buku Bulanan Biaya belanja buku per bulan (dalam ribuan)
Umur
< 12
13‐15
16‐18
19‐23
24‐40
41‐55
>55
Jumlah
< 50
50‐100
100‐200
200‐300
300‐400
400‐500
> 500
Jumlah
336
97
42
8
12
4
4
%
66,8
19,3
8,3
1,6
2,4
0,8
0,8
Jumlah
208
111
22
12
4
3
6
%
56,8
30,3
6,0
3,3
1,1
0,8
1,6
Jumlah
201
100
19
10
8
1
4
%
58,6
29,2
5,5
2,9
2,3
0,3
1,2
Jumlah
104
59
12
7
2
2
3
%
55,0
31,2
6,3
3,7
1,1
1,1
1,6
Jumlah
169
109
36
15
7
4
6
%
48,8
31,5
10,4
4,3
2,0
1,2
1,7
96
70
14
13
6
4
6
45,9
33,5
6,7
6,2
2,9
1,9
2,9
23
8
1
2
2
1
1
%
60,5
21,1
2,6
5,3
5,3
2,6
2,6
Jumlah
1137
554
146
67
41
19
30
%
57,0
27,8
7,3
3,4
2,1
1,0
1,5
Jumlah % Jumlah
Gambar 4.1.12 Grafik Sebaran Belanja Buku Berdasarkan Kelompok Umur 41
Dari tabel 4.1.14 di atas nampak bahwa minat untuk membeli buku sebagai indikator dari tingginya minat baca juga terlihat sangat rendah. Pada umumnya responden berbelanja buku di bawah Rp. 50.000,- per bulan (57 % responden). Bahkan yang menganggarkan beli buku rata-rata di atas Rp. 100.000,- setiap bulan hanya sebesar 15,2 %, atau dengan kata lain yang di bawah Rp. 100.000,- setiap bulan berjumlah sangat besar yaitu 84,8 %. Pola seperti ini sama untuk setiap kelompok umur (perhatikan grafik 4.1.12). Tabel 4.1.15 Hubungan Antara Umur dengan Tingkat Kepemilikan Buku Umur
< 12
13‐15
16‐18
19‐23
24‐40
41‐55
>55
Jumlah
Kepemilikan buku (judul) 0
< 10
10‐25
25‐50
50‐75
75‐100
> 100
Jumlah
180
236
80
24
6
2
6
%
33,7
44,2
15,0
4,5
1,1
0,4
1,1
88
182
94
41
18
8
8
20,0
41,5
21,4
9,3
4,1
1,8
1,8
81
199
85
32
6
6
8
19,4
47,7
20,4
7,7
1,4
1,4
1,9
61
96
71
24
8
4
7
%
22,5
35,4
26,2
8,9
3,0
1,5
2,6
Jumlah
106
152
105
51
18
19
21
%
22,5
32,2
22,2
10,8
3,8
4,0
4,4
60
72
70
35
10
19
19
21,1
25,3
24,6
12,3
3,5
6,7
6,7
12
13
10
4
1
3
7
%
24,0
26,0
20,0
8,0
2,0
6,0
14,0
Jumlah
588
950
515
211
67
61
76
%
23,8
38,5
20,9
8,5
2,7
2,5
3,1
Jumlah % Jumlah % Jumlah
Jumlah % Jumlah
Tabel 4.1.15 memperlihatkan hubungan antara kelompok umur dengan tingkat kepemilikan buku sebagai salah satu indikator tinggi rendahnya minat baca. Cukup banyak responden yang mengaku tidak memiliki koleksi buku satupun di rumahnya. Jika kita buat kriteria bahwa minat baca yang tinggi dicerminkan dengan kepemilikan 42
buku di atas 100 judul, menengah antara 50 – 100 judul dan rendah adalah 0 – 50 judul, maka berdasarkan hasil pengamatan di atas dapat disimpulkan bahwa minat baca masyarakat masih rendah (91,7 % responden memiliki buku 0 – 50 judul buku). Sedangkan yang memiliki minat baca sedang hanya sebesar 5,2 % responden, dan yang memiliki minat baca tinggi sangat sedikit yaitu 3,1 %. Pola kepemilikan buku ini hampir sama pada setiap kelompok umur, yaitu tinggi pada kepemilikan buku sedikit, dan rendah pada kepemilikan buku yang banyak.
Gambar 4.1.13 Pola Hubungan Umur dengan Kepemilikan Buku Hubungan antara umur dengan frekuensi membaca yang ditunjukkan dengan frekuensi responden datang ke perpustakaan ternyata memiliki hubungan negatif, walaupun hubungan tersebut sangat rendah atau lemah sekali yaitu dengan nilai koefisien korelasi hanya sebesar -0,022. Artinya, walaupun pengaruhnya tidak besar, semakin tua umur seseorang, maka cenderung semakin jarang datang ke perpustakaan umum.
43
Tabel 4.1.16 Hubungan Umur dengan Frekuensi Kunjungan ke Perpustakaan Umur
> 12 th
13‐15 th
16‐18 th
19‐23 th
24‐40 th
41‐55 th
>55 th
total
Frekuensi kunjungan ke perpustakaan 1x/th 1x/6bln 1x/3bln 1x/bln 1x/mg 2x/mg 1x/hr
Jumlah
25
12
15
41
75
110
84
%
6,9
3,3
4,1
11,3
20,7
30,4
23,2
Jumlah
22
7
17
45
57
62
21
%
9,5
3,0
7,4
19,5
24,7
26,8
9,1
Jumlah
27
14
17
59
50
45
7
12,3
6,4
7,8
26,9
22,8
20,5
3,2
Jumlah
11
3
6
32
63
77
25
%
5,1
1,4
2,8
14,7
29,0
35,5
11,5
Jumlah
16
7
20
66
96
64
42
%
5,1
2,3
6,4
21,2
30,9
20,6
13,5
8
8
11
44
33
27
60
4,2
4,2
5,8
23,0
17,3
14,1
31,4
1
1
2
11
3
4
6
%
3,6
3,6
7,1
39,3
10,7
14,3
21,4
Jumlah
110
52
88
298
377
389
245
%
7,1
3,3
5,6
19,1
24,2
25,0
15,7
%
Jumlah % Jumlah
Gambar 4.1.14 Grafik Sebaran Tingkat Kunjungan ke Perpustakaan 44
Dari tabel 4.1.16 dan grafik 4.1.14 terlihat bahwa frekuensi responden yang datang ke perpustakaan paling besar pada 2 kali seminggu (25 %), sedangkan yang setiap hari mengunjungi perpustakaan hanya 15,7 %. Jika kita persempit batasan minat baca dengan indikator frekuensi kunjungan ke perpustakaan dengan batasan bahwa minat baca tinggi ditunjukkan dengan kunjungan dua kali seminggu atau lebih, minat baca rendah ditunjukkan dengan kunjungan ke perpustakaan antara satu kali seminggu atau lebih, maka dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat yang memiliki minat baca tinggi adalah sebesar 40,7 % responden, sedangkan yang memiliki tingkat minat baca rendah sebesar 59,3 % responden.
Gambar 4.1.15 Grafik Sebaran Kunjungan Ke Perpustakaan Berdasarkan Kelompok Umur
Tabel 4.1.17 Hubungan Profesi dengan Frekuensi Kunjungan ke Perpustakaan Kelompok Frekuens kunjungan ke perpustakaan Responden 1 X /th 1 X /6 bln 1 X /3 bln 1 X /bln 1 X /mg 2 X /mg 1 X /hari Mahasiswa
10
3
3
30
61
89
23
Siswa SMU
29
11
19
58
54
34
4
Siswa SMP
19
6
12
36
53
80
22
Siswa SD
22
10
14
42
69
84
78
0
0
1
21
34
7
7
Ibu Rmh Tgg
45
Kelompok Frekuens kunjungan ke perpustakaan Responden 1 X /th 1 X /6 bln 1 X /3 bln 1 X /bln 1 X /mg 2 X /mg 1 X /hari Pedagang
0
1
3
10
8
3
0
Dosen
5
1
2
9
19
19
3
Petani
4
1
6
5
5
1
0
Peg Swasta
5
2
5
28
20
29
6
PNS
6
2
4
23
20
17
89
Guru
2
6
6
22
21
12
3
Polri
2
0
2
4
5
1
0
Buruh
1
3
4
0
3
2
7
105
46
81
288
372
378
242
Total
Dari tabel 4.1.17 tersebut dapat dilihat bahwa jumlah responden dari kelompok mahasiswa berkunjung ke perpustakaan satu sampai dua kali seminggu cukup banyak (51,1 % responden mahasiswa), dan yang 1 bulan sekali sampai 1 minggu sekali juga cukup banyak (41,6 % responden mahasiswa). Artinya, dengan batasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa mahasiswa memiliki minat baca tinggi cukup banyak. Kunjungan mahasiswa ke perpustakaan umum ini jumlahnya cukup besar karena diduga di kampusnya mereka tidak mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Kunjungan siswa SD ke perpustakaan umum termasuk tinggi yaitu 50,8 % berkunjung antara satu kali sehari sampai dua kali seminggu, dan sisanya berkunjung kurang dari satu kali seminggu. Pola kunjungan Siswa SMP tidak begitu berbeda dengan siswa SD, namun untuk siswa SMA agak berbeda. Kunjungan ke perpustakaan umum dari kelompok ini justru tinggi di satu kali sebulan sampai satu kali seminggu (53,6 %), sedangkan kunjungan dua kali seminggu sampai satu kali sehari hanya dilakukan oleh sebanyak 18,2 % responden. Antara umur dengan tingkat kepemilikan buku ternyata ada hubungan walaupun sangat rendah atau lemah sekali yaitu dengan nilai koefisien korelasi hanya sebesar 0,176. Artinya walaupun hubungannya lemah sekali, semakin tua umur seseorang maka cenderung memiliki buku yang lebih banyak. Hal ini ada kaitannya dengan kerelaan berkorban untuk membeli buku yang juga memiliki hubungan positif walaupun nilainya 46
sangat rendah yaitu dengan nilai koefisien korelasi hanya sebesar 0,130. Artinya, walaupun hubungan tersebut lemah sekali, bertambahnya umur akan berpengaruh terhadap kerelaan berkorban untuk membeli buku.
4.1.3 Hubungan Pendidikan terhadap Lama Membaca Salah satu hal yang diduga mempunyai hubungan dengan minat baca dengan indikator lama (durasi) membaca, korbanan untuk memperoleh bahan bacaan yang ditandai dengan biaya yang dikeluarkan untuk membeli buku dan jumlah kepemilikan buku, serta frekuensi membaca yang ditandai dengan frekuensi datang ke perpustakaan, adalah tingkat pendidikan masyarakat. Tabel 4.1.18 Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dengan Lama Membaca Pendidikan
Tidak tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Tamat Diploma
Tamat S1
Tamat S2‐S3
Jumlah
Jumlah
Lama (durasi) membaca 1‐2 j/mg 2‐3 j/mg 3‐4 j/mg < 1 j/h 1‐2 j/h 2‐3 j/h >3 j/h 4
6
9
34
67
24
28
%
2,3
3,5
5,2
19,8
39,0
14,0
16,3
Jumlah
17
11
11
110
209
62
25
%
3,8
2,5
2,5
24,7
47,0
13,9
5,6
Jumlah
13
11
11
125
184
69
28
%
2,9
2,5
2,5
28,3
41,7
15,6
6,3
Jumlah
27
8
16
187
200
53
47
%
5,0
1,5
3,0
34,8
37,2
9,9
8,7
4
3
3
26
61
15
13
%
3,2
2,4
2,4
20,8
48,8
12,0
10,4
Jumlah
11
9
11
73
141
69
55
%
3,0
2,4
3,0
19,8
38,2
18,7
14,9
3
3
7
4
20
18
15
%
4,3
4,3
10,0
5,7
28,6
25,7
21,4
Jumlah
79
51
68
559
882
310
211
%
3,7
2,4
3,1
25,9
40,8
14,4
9,8
Jumlah
Jumlah
Tabel 4.1.18 di atas memperlihatkan rata-rata responden membaca antara kurang dari satu jam per hari sampai dua jam per hari. Hal ini menunjukkan bahwa dari yang tidak tamat SD sampai responden yang berpendidikan pascasarjana tidak banyak 47
membaca lebih dari 3 jam sehari. Padahal ukuran seseorang yang termasuk rajin membaca atau mempunyai minat baca tinggi untuk mahasiswa (dalam hal ini termasuk diploma, sarjana dan pasca sarjana) adalah membaca antara 3 jam sampai 3,5 jam setiap hari (Razak, 2004). Sedangkan yang dikategorikan sangat rajin atau mempunyai minat baca tinggi untuk kelompok ini adalah yang membaca lebih dari 3,5 jam setiap hari.
Gambar 4.1.16 Grafik Sebaran Latar Belakang Pendidikan dengan Lama Membaca
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa mayoritas kelompok lulusan perguruan tinggi di lokasi penelitian termasuk memiliki minat baca yang kurang atau menurut Razak (2004) termasuk malas membaca, yaitu membaca antara 2,5 sampai 3 jam dan bahkan ada yang sangat malas karena membaca kurang dari 2,5 jam setiap hari. Untuk lulusan SMU atau SLTA sebagian besar responden membaca antara kurang dari satu jam dan antara 1 sampai 2 jam setiap hari. Hal ini juga dapat dikatakan sebagian besar responden memiliki minat baca yang kurang atau menurut Razak (2004) malas membaca (71,9 % membaca kurang dari 2 jam per hari). Ukuran rajin membaca bagi siswa SMU menurut Razak (2004) adalah mereka yang membaca antara dua jam sampai 2,5 jam setiap hari, sedangkan membaca antara 1,5 jam sampai dua jam setiap hari termasuk kategori malas, apalagi yang kurang dari 1,5 jam setiap hari dimasukkan 48
dalam kategori sangat malas. Namun demikian ada sebagian responden yang termasuk kategori rajin membaca bahkan sangat rajin membaca dimana mereka membaca lebih dari 2 jam dan lebih dari 3 jam setiap hari (9,9 % responden membaca lebih dari 2 jam dan bahkan lebih dari 3 jam setiap hari sebanyak 8,7 % responden). Ukuran sangat rajin membaca bagi siswa SMU adalah membaca lebih dari 2,5 jam setiap hari. Untuk lulusan SMP membaca antara 1 sampai 2 jam setiap hari termasuk memiliki minat baca antara sedang sampai tinggi. Menurut Razak (2004) ukuran rajin membaca bagi SLTP adalah antara 1,25 jam sampai 1,5 jam per hari. Oleh karena itu lulusan SLTP di tiga kota lokasi penelitian termasuk memiliki minat baca antara sedang atau rajin membaca sampai tinggi atau sangat rajin membaca (69,2 %), sedangkan sisanya berada pada posisi malas membaca dan bahkan malas sekali membaca. Kelompok responden tamat SD dan tidak tamat SD juga berada pada posisi membaca antara 1 – 2 jam per hari. Oleh karena ukuran rajin dan tidaknya membaca bagi siswa SD semakin turun dibandingkan dengan SLTP, SLTA maupun sarjana, maka kelompok ini termasuk yang rajin membaca, yaitu berada pada kisaran membaca antara 45 menit sampai satu jam (Razak, 2004), dan bahkan berada di atas satu jam dimana menurut Razak termasuk yang sangat rajin membaca. Secara statistik tingkat pendidikan berkorelasi positif atau ada hubungannya dengan durasi membaca, namun secara umum hubungan tersebut sangat rendah atau lemah sekali yaitu dengan koefisien korelasi hanya sebesar 0,008. Hal ini menggambarkan bahwa minat baca masyarakat memang belum tinggi. Seharusnya semakin tinggi pendidikan seseorang kecenderungan membaca tinggi sangat kuat. Pada hubungan antara pendidikan dengan frekuensi berkunjung ke perpustakaan malah negatif dengan nilai koefisien korelasi sebesar -0,011. Artinya, walaupun hubungannya sangat lemah, semakin tinggi pendidikan seseorang akan semakin jarang datang ke perpustakaan.
Dengan
kondisi
perpustakaan
yang
belum
dapat
memuaskan
pelanggannya, maka hal ini dapat dimengerti. Kemudian kebutuhan bahan bacaan tersebut dipenuhi dengan cara membeli sehingga tingkat kepemilikan, bagi kelompok tertentu, juga menjadi tinggi.
49
Gambar 4.1.17a,b,c,d Grafik Indikator Minat Baca pada Kelompok Mahasiswa
Selanjutnya, untuk memperlihatkan bagaimana tabel Razak (2004) tersebut menggambarkan minat atau kegemaran membaca masyarakat Indonesia, maka secara khusus dibahas minat baca siswa SD, SLTP, SLTA, dan mahasiswa seperti berikut. Gambar 4.1.17 a.b.c.d menegaskan bahwa kelompok mahasiswa sebagian besar (40,4 %) membaca antara 1 – 2 jam setiap hari, dan membaca kurang dari 1 jam setiap hari (24,1 %). Hal ini menunjukkan bahwa kelompok mahasiswa di tiga kota lokasi penelitian memiliki minat baca rendah atau sangat malas membaca. Jika kita hanya mengelompokkan dua kelompok saja mengenai membaca ini yaitu memiliki minat baca yang tinggi dan dan memiliki minat baca yang rendah, maka kelompok mahasiswa sebagian besar (87,8 %) memiliki minat baca yang rendah, dan hanya 12,2 % saja yang memiliki minat baca tinggi. 50
Dari aspek korbanan biaya untuk membeli buku juga menunjukkan bahwa kelompok mahasiswa sebagian besar berbelanja buku kurang dari Rp. 50.000,- setiap bulan (51,5 %), sedangkan yang berbelanja antara Rp. 50.000 sampai dengan Rp. 100.000,- per bulan adalah sebesar 39,9 %. Sisanya 12,6 % berbelanja buku lebih dari Rp.100.000,- setiap bulan. Oleh karena itu tidak mengherankan jika sebagian besar responden memiliki buku kurang dari 10 judul (55 %). Sebagian responden memiliki buku antara 10 – 25 judul buku (25,3 %), dan yang memiliki lebih dari 25 judul buku hanya 19,7 %. Fakta yang memperkuat pernyataan bahwa minat baca masyarakat, dalam kasus ini mahasiswa, adalah rendah adalah kunjungan ke perpustakaan dari responden yang juga rendah. Jika minat baca mereka tinggi, sedangkan mereka tidak mampu membeli buku sehingga tingkat kepemilikan buku mereka rendah, maka seharusnya frekuensi kunjungan mereka ke perpustakaan tinggi yaitu untuk memenuhi kebutuhan bahan bacaan mereka yang tidak bisa mereka beli. Kenyataannya frekuensi kunjungan ke perpustakaan hanya berada pada dua kali seminggu (40,6 %) dan sebagian besar malah kurang dari dua kali seminggu (48,9 %), sedangkan yang datang ke perpustakaan umum setiap hari hanya 10,5 %.
51
Gambar 4.1.18a,b,c,d Grafik Indikator Minat Baca pada Kelompok Siswa SLTA
Untuk siswa SMU atau SLTA sebagian besar responden membaca antara kurang dari satu jam dan antara 1 sampai 2 jam setiap hari. Hal ini juga dapat dikatakan sebagian besar responden memiliki minat baca yang kurang atau menurut Razak (2004) malas membaca (77,1 % membaca kurang dari 2 jam per hari). Ukuran rajin membaca bagi siswa SMU menurut Razak (2004) adalah mereka yang membaca antara dua jam sampai 2,5 jam setiap hari, sedangkan membaca antara 1,5 jam sampai dua jam setiap hari termasuk kategori malas, apalagi yang kurang dari 1,5 jam setiap hari dimasukkan dalam kategori sangat malas. Namun demikian ada sebagian responden yang termasuk kategori rajin membaca bahkan sangat rajin membaca dimana mereka membaca lebih dari 2 jam dan lebih dari 3 jam setiap hari (16,7 % responden membaca lebih dari 2 jam dan bahkan lebih dari 3 jam setiap hari sebanyak 6,2 % responden). Ukuran sangat rajin membaca bagi siswa SMU adalah membaca lebih dari 2,5 jam setiap hari. Grafik pada gambar 4.1.18a,b,c,d memperlihatkan gambaran minat baca siswa SLTA. Sebagian besar kelompok siswa SLTA membaca antara 1 – 2 jam per hari dan kurang dari 1 jam per hari, yang dapat dikategorikan sebagai malas membaca atau dengan kata lain mereka memiliki minat baca yang masih rendah. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar (77,1 %) siswa SLTA tergolong memiliki minat baca yang rendah, dan hanya 22,9 % saja siswa SLTA memiliki minat baca yang tinggi. Dari indikator belanja buku setiap bulan dan tingkat kepemilikan buku juga tidak dapat menunjukkan bahwa minat baca mereka tinggi. Sebagian besar anggaran untuk membeli buku mereka adalah sebesar kurang dari Rp. 50.000,- setiap bulan (60,5 %). 52
Sedangkan tingkat kepemilikan buku mereka berada pada kelompok kurang dari 10 judul buku (65,4 %). Frekuensi kunjungan ke perpustakaan umum dari responden SLTA juga rendah. Mereka yang berkunjung setiap hari ke perpustakaan umum hanya sebesar 1,8 %. Sedangkan yang berkunjung sebanyak dua kali seminggu sebesar 15,5 %. Sisanya berkunjung ke perpustakaan sebanyak sekali seminggu atau lebih jarang lagi (78,1 %).
Gambar 4.1.19a,b,c,d Grafik Indikator Minat Baca pada Kelompok Siswa SLTP
Untuk siswa SMP membaca antara 1 sampai 2 jam setiap hari termasuk memiliki minat baca antara sedang sampai tinggi. Menurut Razak (2004) ukuran rajin membaca bagi SLTP adalah antara 1,25 jam sampai 1,5 jam per hari. Gambar 4.1.19a,b,b,d memberikan gambaran lebih spesifik mengenai minat baca kelompok siswa SLTP. Berdasarkan ukuran Razak maka siswa SLTP di tiga kota lokasi penelitian termasuk 53
memiliki minat baca antara sedang atau rajin membaca sampai tinggi atau sangat rajin membaca (68,6 %), sedangkan sisanya (31,4 % responden) berada pada posisi malas membaca dan bahkan malas sekali membaca. Biaya untuk belanja buku juga sama dengan siswa SLTA yaitu mayoritas berada pada kelompok kurang dari Rp.50.000,setiap bulan (56,4 %), dengan tingkat kepemilikan buku berada pada kelompok kepemilikan kurang dari 10 judul buku (63,6 %). Namun demikian, walaupun mereka tidak banyak berbelanja buku dan memiliki koleksi buku sedikit, mereka malas berkunjung ke perpustakaan. Mereka yang berkunjung ke perpustakaan setiap hari hanya sebesar 9,6 %, sedangkan yang berkunjung ke perpustakaan dua kali seminggu hanya sebesar 35, 1 %. Sisanya, yaitu sebesar 55,3 % responden berkunjung ke perpustakaan antara seminggu sekali sampai setahun sekali.
Gambar 4.1.20a,b,c,d Grafik Indikator Minat Baca pada Kelompok Siswa SD
54
Kelompok responden siswa SD juga berada pada posisi membaca antara 1 – 2 jam per hari. Oleh karena ukuran rajin dan tidaknya membaca bagi siswa SD semakin turun dibandingkan dengan SLTP, SLTA maupun sarjana, maka kelompok ini termasuk yang rajin membaca, yaitu berada pada kisaran membaca antara 45 menit sampai satu jam (Razak, 2004), dan bahkan berada di atas satu jam dimana menurut Razak termasuk yang sangat rajin membaca. Gambar 4.1.20a,b,c,d memberikan gambaran yang lebih jauh mengenai minat baca siswa SD. Sebagian besar (38,4 %) responden kelompok siswa SD mengaku membaca antara 1 – 2 jam setiap hari, dan ini termasuk kepada kelompok yang mempunyai minat baca yang tinggi. Bahkan 28,6 % termasuk yang memiliki minat baca sangat tinggi. Hanya 33 % siswa SD yang memiliki minat baca antara rendah sampai sedang. Menurut Razak (2004) siswa SD yang termasuk malas membaca adalah mereka yang membaca kurang dari 30 menit setiap hari. Sama seperti kelompok responden lain, maka kelompok responden siswa SD biasa berbelanja buku kurang dari Rp.50.000,- per bulan (70 %), hanya sebagian responden saja mengaku berbelanja lebih dari Rp. 50.000,- per bulan. Tingkat kepemilikan buku mereka juga sangat rendah sebanyak 80,8 % memiliki buku kurang dari 10 judul. Bahkan 34,8 % diantaranya tidak memiliki koleksi buku sama sekali. Frekuensi kunjungan mereka ke perpustakaan umum cukup menggembirakan. Sebanyak 50,8 % responden mengaku berkunjung ke perpustakaan sedikitnya dua kali seminggu. Sedangkan sisanya yaitu 49,2 % berkunjung ke perpustakaan antara satu kali seminggu sampai satu kali setahun (diantaranya berkunjung satu kali seminggu sebesar 21,6 %). Kebiasaan berkunjung siswa SD ini perlu terus dipelihara dan bahkan terus dipupuk sehingga kebiasaan ini tidak menghilang walaupun usia mereka terus bertambah. Tabel 4.1.19 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Biaya Belanja Buku Bulanan Pendidikan
Jumlah responden dengan belanja buku per bulan (x Rp.100.000,-)
< 0,5 Tidak tamat SD
Tamat SD
Jumlah
0,5‐1
2‐3
3‐4
4‐5
> 5
82
42
21
5
6
3
3
%
50,6
25,9
13,0
3,1
3,7
1,9
1,9
Jumlah
243
91
25
5
5
0
6
%
64,8
24,3
6,7
1,3
1,3
0,0
1,6
55
1‐2
Pendidikan
Jumlah responden dengan belanja buku per bulan (x Rp.100.000,-)
< 0,5 Tamat SMP
Tamat SMA
Tamat Diploma
Tamat S1
Tamat S2‐S3
Jumlah
0,5‐1
1‐2
2‐3
3‐4
4‐5
> 5
Jumlah
203
89
19
6
7
0
2
%
62,3
27,3
5,8
1,8
2,1
0,0
0,6
Jumlah
209
96
23
11
4
1
6
%
59,7
27,4
6,6
3,1
1,1
0,3
1,7
46
29
7
2
0
0
2
%
53,5
33,7
8,1
2,3
0,0
0,0
2,3
Jumlah
132
101
26
15
9
3
3
%
45,7
34,9
9,0
5,2
3,1
1,0
1,0
17
24
8
7
1
3
1
%
27,9
39,3
13,1
11,5
1,6
4,9
1,6
Jumlah
932
472
129
51
32
10
23
%
56,5
28,6
7,8
3,1
1,9
0,6
1,4
Jumlah
Jumlah
Gambar 4.1.21 Tingkat Pendidikan terhadap Belanja Buku
Tingkat pendidikan memang berkorelasi positif terhadap korbanan responden untuk membeli buku dan tingkat kepemilikan buku dengan nilai koefisein korelasi 56
masing-masing sebesar 0,152 dan 0,267. Dari tabel 4.1.20 dapat terlihat bahwa semakin tinggi pendidikan responden semakin banyak responden yang memiliki buku dalam jumlah besar dan semakin sedikit responden yang tidak punya koleksi buku pribadi. Tabel 4.1.20 Hubungan Antara Pendidikan dengan Kepemilikan Buku Pendidikan Tidak tamat SD Jumlah
Jumlah responden dengan kepemilikan buku (judul) 0 64
< 10
10‐25 25‐50 50‐75 75‐100 > 100
53
35
6
2
2
2
21,3
3,7
1,2
1,2
1,2
%
39,0 32,3
Tamat SD
Jumlah
123
207
71
23
10
3
4
%
27,9 46,9
16,1
5,2
2,3
0,7
0,9
Tamat SMP
Jumlah
101
190
88
31
3
5
4
%
23,9 45,0
20,9
7,3
0,7
1,2
0,9
Tamat SMA
Jumlah
147
196
103
39
11
5
7
%
28,9 38,6
20,3
7,7
2,2
1,0
1,4
41
35
15
4
1
3
14,7 35,3
30,2
12,9
3,4
0,9
2,6
92
103
53
18
20
23
12,2 26,1
29,3
15,1
5,1
5,7
6,5
7
5
12
2
15
20
Tamat Diploma Jumlah
17
%
Tamat S1
Jumlah
%
Tamat S2‐S3
Jumlah
%
6,2 10,8
7,7
18,5
3,1
23,1
30,8
Jumlah
Jumlah
499
786
440
179
50
51
63
%
24,1 38,0
21,3
8,7
2,4
2,5
3,0
43
4
57
Gambar 4.1.22 Tingkat Pendidikan terhadap Pemilikan Buku
Dan pada tabel 4.1.21 terlihat bahwa semakin tinggi pendidikan, walaupun tidak begitu nampak, semakin banyak responden yang berkunjung ke perpustakaan. Namun secara umum memang frekuensi kunjungan terbesar adalah pada dua kali seminggu sampai setiap hari. Semakin jarang frekuensi kunjungan ke perpustakaan semakin sedikit jumlah responden. Tabel 4.1.21 Hubungan Pendidikan dengan Frekuensi Kunjung ke Perpustakaan Frekuensi kunjungan ke perpustakaan
Pendidikan
Tidak tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
1x/th 1x/6bln 1x/3bln 1x/bln 1x/mg 2x/mg 1x/h
Jumlah
7
5
5
5
20
%
6,3
4,5
4,5
4,5
18,0
Jumlah
15
9
15
30
67
%
6,1
3,6
6,1
12,1
27,1
Jumlah
31
11
18
56
49
46
13
13,8
4,9
8,0
25,0
21,9
20,5
5,8
Jumlah
17
8
17
72
87
78
57
%
5,1
2,4
5,1
21,4
25,9
%
58
33
36
29,7 32,4 81
30
32,8 12,1
23,2 17,0
Frekuensi kunjungan ke perpustakaan
Pendidikan
Tamat Diploma
Tamat S1
Tamat S2‐S3
Jumlah
1x/th 1x/6bln 1x/3bln 1x/bln 1x/mg 2x/mg 1x/h
Jumlah
4
1
3
13
25
%
4,3
1,1
3,2
14,0
26,9
Jumlah
12
8
11
53
68
%
4,6
3,1
4,2
20,2
26,0
4
1
2
14
15
11
3
%
8,0
2,0
4,0
28,0
30,0
22,0
6,0
Jumlah
90
43
71
243
331
336
209
%
6,8
3,3
5,4
18,4
25,0
25,4 15,8
Jumlah
25
22
26,9 23,7 62
48
23,7 18,3
Gambar 4.1.23 Tingkat Pendidikan terhadap Kunjungan ke Perpustakaan
4.1.4 Hubungan Tingkat Penghasilan terhadap Membaca Pada masyarakat yang mempunyai kegemaran membaca yang tinggi, maka membeli buku untuk memuaskan dirinya dalam hal memenuhi bahan bacaan akan selalu dilakukan. Oleh karena itu asumsi sementara adalah semakin tinggi penghasilan seseorang maka akan semakin tinggi kegiatan membacanya yang ditandai dengan semakin tingginya korbanan uang untuk membeli buku, juga tingkat kepemilikan buku mereka akan semakin tinggi akibat aktifitas mereka membeli buku. Sebagai akibat tentu 59
saja semakin tinggi pula durasi (lama membaca) mereka membaca. Jika mereka tidak mampu membeli buku sehingga kepemilikan buku mereka rendah, maka seharusnya frekuensi kunjungan mereka ke perpustakaan akan tinggi. Beriku adalah pembahasan yang berkaitan dengan hubungan antara tingkat pendapatan responden dengan pola membaca mereka. Tabel 4.1.22 Hubungan Pendapatan dengan Durasi Membaca Pendapatan (x Rp.1.000.000,‐) < 0,5
Jumlah
Persentase responden dengan lama (durasi) membaca 1‐2 j/mg 2‐3 j/mg 3‐4 j/mg < 1 j/h 1‐2 j/h 2‐3 j/h >3 j/h 6
4
5
39
41
11
13
%
5,0
3,4
4,2
32,8
34,5
9,2
10,9
0,5‐1
Jumlah
12
4
9
73
77
27
32
%
5,1
1,7
3,8
31,2
32,9
11,5
13,7
1‐1,5
Jumlah
10
5
4
82
100
23
16
%
4,2
2,1
1,7
34,2
41,7
9,6
6,7
1,5‐2,5
Jumlah
9
7
7
78
116
33
25
%
3,3
2,5
2,5
28,4
42,2
12,0
9,1
2,5‐3,5
Jumlah
2
5
6
29
58
31
12
%
1,4
3,5
4,2
20,3
40,6
21,7
8,4
3,5‐4,5
Jumlah
5
2
3
9
16
18
16
%
7,2
2,9
4,3
13,0
23,2
26,1
23,2
> 4,5
Jumlah
5
1
3
11
15
8
14
%
8,8
1,8
5,3
19,3
26,3
14,0
24,6
Jumlah Jumlah
49
28
37
321
423
151
128
4,3
2,5
3,3
28,2
37,2
13,3
11,3
%
60
Gambar 4.1.24 Tingkat Pendapatan terhadap Lama Membaca
Tabel 4.1.22 dan gambar 4.1.24 di atas memperlihatkan pola membaca dari beberapa kelompok penghasilan dari Rp. 500.000,- ke bawah sampai yang berpenghasilan di atas Rp.4.500.000,-. Dari tabel dan gambar tersebut dapat dilihat bahwa pola membaca dari beberapa kelompok penghasilan menunjukkan pola yang sama dimana pada semua kelompok yaitu sebagian besar responden membaca selama kurang lebih 1 jam setiap hari. Jika besarnya penghasilan berpengaruh kepada lamanya membaca, seharusnya grafik orang yang berpengasilan rendah akan bergerak dari rendah ke tinggi dan sebaliknya yang berpenghasilan tinggi akan bergerak dari tinggi ke rendah. Namun kenyataannya tidak demikian. Semua garis menunjukkan pola yang sama yaitu bergerak dari rendah pada durasi membaca rendah (lama membaca lebih dari 1 - 2 jam per minggu), naik pada kelompok orang yang durasi membacanya sedang (lama membaca sekitar 1 jam per hari), dan bergerak turun lagi pada kelompok orang yang durasi membacanya tinggi (lama membacanya lebih dari 3 jam per hari). Hanya pada kelompok orang yang berpenghasilan antara 3,5 sampai 4,5 juta per bulan yang memperlihatkan gambaran seperti yang kita harapkan yaitu sebagian besar responden 61
membaca lebih dari 3 jam setiap hari. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sebagian besar responden melakukan kegiatan membaca selama kurang lebih 1 jam setiap hari. Dan ini merupakan indikasi bahwa besarnya penghasilan ternyata tidak berpengaruh kepada kegiatan membaca. Secara statistik dibuktikan bahwa penghasilan memiliki hubungan positif, walaupun sangat rendah atau lemah sekali, dengan lama (durasi) membaca. Nilai koefisien korelasinya hanya sebesar 0,134. Artinya, memang ada pengaruh penghasilan terhadap lama membaca, namun pengaruhnya lemah sekali. Namun yang agak mengejutkan adalah hubungan antara tingkat penghasilan dengan frekuensi seseorang datang ke perpustakaan yang mempunyai hubungan walaupun rendah tetapi pasti yaitu dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,231. Ini berarti semakin tinggi penghasilan seseorang, semakin sering dia mengunjungi perpustakaan. Tabel 4.1.23 Hubungan Pendapatan dengan Belanja Buku Pendapatan (x Rp.1.000.000,‐) < 0,5
Jumlah
%
0,5‐1
Jumlah
%
1‐1,5
Jumlah
%
1,5‐2,5
Jumlah
%
2,5‐3,5
Jumlah
%
3,5‐4,5
Jumlah
%
> 4,5
Jumlah
%
Belanja buku per bulan (dalam ribuan) < 50 50‐100 100‐200 200‐300 300‐400 400‐500 > 500 48
16
8
1
1
0
1
64,0
21,3
10,7
1,3
1,3
0,0
1,3
83
42
5
6
2
0
5
58,0
29,4
3,5
4,2
1,4
0,0
3,5
94
33
14
7
1
1
2
61,8
21,7
9,2
4,6
0,7
0,7
1,3
98
67
7
3
1
1
2
54,7
37,4
3,9
1,7
0,6
0,6
1,1
52
42
15
4
7
2
1
42,3
34,1
12,2
3,3
5,7
1,6
0,8
13
17
4
11
2
4
2
24,5
32,1
7,5
20,8
3,8
7,5
3,8
17
15
6
4
1
0
0
39,5
34,9
14,0
9,3
2,3
0,0
0,0
Jumlah Jumlah
405
232
59
36
15
8
13
52,7
30,2
7,7
4,7
2,0
1,0
1,7
%
62
Gambar 4.1.25 Tingkat Pendapatan terhadap Belanja Buku
Tabel 4.1.23 memperlihatkan hubungan antara tingkat pendapatan seseorang dengan biaya belanja buku setiap bulan. Nampak pada gambar bahwa pada semua tingkatan pendapatan ternyata biaya belanja buku terbesar pada kurang dari Rp.50.000,- kecuali pada pendapatan Rp.3,5 – Rp.4,5 juta yang berbelanja buku antara Rp.50.000, - Rp.100.000,- setiap bulan. Secara statistik hubungan antara tingkat pendapatan dengan kerelaan berkorban untuk membeli buku adalah positif walaupun hubungannya rendah atau lemah yaitu dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,225. Dan bahkan pada tingkat kepemilikan buku hubungan ini semakin erat yaitu dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,386. Hal ini berarti bahwa tingkat kepemilikan buku dipengaruhi oleh tingkat pendapatan seseorang. Tabel 4.1.24 berikut memperlihatkan hubungan antara penghasilan dengan tingkat kepemilikan buku. Dari tabel tersebut dapat terlihat bahwa semakin tinggi penghasilan responden, semakin banyak responden yang memiliki buku dalam jumlah yang lebih besar dan semakin sedikit yang tidak punya koleksi buku pribadi.
63
Tabel 4.1.24 Hubungan Pendapatan dengan Pemilikan Buku Pendapatan (x Rp.1.000.000,‐) < 0,5
0,5‐1
1‐1,5
1,5‐2,5
2,5‐3,5
3,5‐4,5
> 4,5
Jumlah
Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Kepemilikan buku (judul) 0 42
< 10
10‐25 25‐50 50‐75 75‐100 > 100
44
8
4
2
1
0
41,6 43,6
7,9
4,0
2,0
1,0
0,0
82
40
14
4
0
5
34,4 37,1
18,1
6,3
1,8
0,0
2,3
94
42
15
5
3
2
28,1 42,0
18,8
6,7
2,2
1,3
0,9
72
66
47
4
6
7
22,0 27,8
25,5
18,1
1,5
2,3
2,7
24
38
25
8
13
12
14,3 17,1
27,1
17,9
5,7
9,3
8,6
8
17
8
6
15
8
7,5 11,9
25,4
11,9
9,0
22,4
11,9
9
11
2
2
3
15
4,5 20,5
25,0
4,5
4,5
6,8
34,1
265
333
222
115
31
41
49
25,1 31,5
21,0
10,9
2,9
3,9
4,6
76
63
57
20
5
2
Hubungan antara tingkat pendapatan responden dengan frekuensi kunjungan responden ke perpustakaan umum dapat dilihat pada tabel 4.1.25 dan gambar 4.1.27 Pada tabel terlihat bahwa umumnya mereka berkunjung antara satu kali seminggu (22,8 %) sampai dua kali seminggu (23,5 %). Sebanyak 19,9 % responden mengaku cukup rajin datang ke perpustakaan yaitu setiap hari mengunjungi perpustakaan. Sedangkan sisanya sebanyak 33,8 % mengaku jarang datang ke perpustakaan yaitu dengan frekuensi antara sebulan sekali sampai setahun sekali. Pola kunjungan ini hampir sama untuk setiap kelompok responden. Secara statistik hubungan antara tingkat pendapatan dengan frekuensi kunjungan ke perpustakaan menampakkan hubungan yang positif walaupun rendah atau lemah yaitu dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,231.
64
Gambar 4.1.26 Tingkat Pendapatan terhadap Pemilikan Buku
Tabel 4.1.25 Hubungan Pendapatan dengan Kunjungan ke Perpustakaan Pendapatan (x Rp.1.000.000,‐) <0,5
Jumlah
%
0,5‐1
Jumlah
Frekuensi kunjungan ke perpustakaan 1x/th 1x/6bln 1x/3bln 1x/bln 1x/mg 2x/mg 1x/h 4
3
2
9
15
5,3
4,0
2,7
12,0
20,0
6
5
8
26
35
%
3,9
3,3
5,3
17,1
23,0
1‐1,5
Jumlah
12
5
11
18
19
%
9,8
4,1
9,0
14,8
15,6
1,5‐2,5
Jumlah
8
5
11
37
47
%
4,7
2,9
6,5
21,8
27,6
2,5‐3,5
Jumlah
2
1
6
30
26
%
2,0
1,0
6,1
30,3
26,3
3,5‐4,5
Jumlah
1
1
1
10
14
%
1,9
1,9
1,9
18,5
25,9
>4,5
Jumlah
1
0
0
14
4
65
32
10
42,7 13,3 45
27
29,6 17,8 25
32
20,5 26,2 22
40
12,9 23,5 23
11
23,2 11,1 14
13
25,9 24,1 4
7
Pendapatan (x Rp.1.000.000,‐)
%
Frekuensi kunjungan ke perpustakaan 1x/th 1x/6bln 1x/3bln 1x/bln 1x/mg 2x/mg 1x/h 3,3
0,0
0,0
46,7
13,3
13,3 23,3
Jumlah Jumlah
34
20
39
144
160
165
4,8
2,8
5,6
20,5
22,8
23,5 19,9
%
140
Gambar 4.1.27 Tingkat Pendapatan terhadap Kunjungan ke Perpustakaan
4.1.5 Kunjungan ke Perpustakaan Sebagian besar responden tahu bahwa di kota tempat mereka tinggal tersedia perpustakaan umum (83,8 %), walaupun ada juga yang mengatakan bahwa di kota tempat mereka tinggal tidak ada perpustakaan umum (5,4 %) dan bahkan ada yang tidak tahu bahwa di kotanya ada perpustakaan umum (8,8 %). Sisanya sebesar 2 % tidak menjawab pertanyaan ini. Walaupun sebagian besar dari mereka tahu bahwa di kotanya tersedia perpustakaan umum, namun jumlah yang berkunjung ke perpustakaan umum belum menggembirakan. Hanya 43,3 % saja dari jumlah responden yang mengaku sering berkunjung ke perpustakaan umum, sebanyak 48,8 % mengaku jarang 66
berkunjung ke perpustakaan umum, sedangkan sisanya (7,9 %) tidak menjawab pertanyaan ini. Frekuensi berkunjung ke perpustakaan umum yang paling banyak adalah sekali dalam satu minggu (13,8 %) kemudian diikuti masing-masing oleh sekali dalam seminggu (13,5 %), sekali dalam sebulan (10,5 %). Namun ada juga yang berkunjung setiap hari ke perpustakaan umum dengan jumlah responden hanya 8,8 %. Jumlah responden yang berkunjung ke perpustakaan umum hanya sekali dalam tiga bulan atau bahkan lebih sebesar 8,4 %, sedangkan sebanyak 44,9 % responden tidak menjawab pertanyaan ini. Pada umumnya responden datang sendirian ke perpustakaan (52,3 %), dan hanya sebagian kecil mengajak isteri (2,5 %), dan membawa anak (7,1 %), sedangkan sisanya sebanyak 38 % responden tidak menjawab. Namun demikian mereka mengaku memberitahu orang lain bahwa di kota tempat mereka tinggal ada perpustakaan (82,3 %), dan hanya sebagian saja yang tidak memberitahu orang lain yaitu sebanyak 10,3 %, sedangkan sisanya tidak menjawab (7,4 %).
24 54 50 56 37 50 7 28 41 34 16 20 28 445 16,2
67
4 14 16 13 18 21 0 16 4 8 0 4 21 139 5,1
9 44 21 16 31 5 1 3 3 3 0 5 11 152 5,5
Alasan lain
17 11 15 24 1 1 1 0 4 2 2 1 0 79 2,9
Malas
18 15 13 7 4 5 4 0 8 7 3 2 0 86 3,1
Tidak sering membaca
Tidak ada waktu karena sibuk
37 147 126 132 29 7 4 8 20 11 14 7 9 551 20,1
Koleksinya tidak pernah berganti
persentase
15 24 47 109 3 0 10 3 7 9 8 4 2 241 8,8
Bukunya tidak menarik dan sudah tua
Mahasiswa Siswa SMU Siswa SMP Siswa SD Ibu Rmh Tgg Pedagang Dosen Petani Peg Swasta PNS Guru Polri Buruh Jumlah
Jaraknya terlalu jauh
Kelompok Responden
Punya buku sendiri di rumah
Tabel 4.1.26 Alasan Responden Tidak Datang ke Perpustakaan Umum
10 16 20 12 2 1 1 0 6 2 1 2 0 73 2,7
Gambar 4.1.28 Grafik Sebaran Alasan Tidak Berkunjung ke Perpustakaan
Dari responden yang jarang atau tidak datang ke perpustakaan (lihat tabel 4.1.26) diperoleh alasan bahwa jarak perpustakaan terlalu jauh dari tempat tinggal mereka (20,1 %), tidak ada waktu karena sibuk (16,2 %), sudah memiliki koleksi sendiri di rumah (8,8 %), malas (5,5 %), tidak sering membaca (5,1 %), bukunya tidak menarik dan sudah tua (3,1 %), koleksinya tidak pernah berganti (2,9 %) dan karena alasan lain (2,7 %), serta ada responden yang tidak menjawab sebanyak 35,7 %. Alasan jarak merupakan alasan paling banyak dipilih oleh responden. Untuk mengatasi masalah jarak antara pemukiman penduduk dengan lokasi perpustakaan umum maka perlu diperbanyak perpustakaan keliling, atau dengan kata lain mendekatkan perpustakaan kepada lokasi tempat tinggal pengguna perpustakaan. Yang agak mengejutkan adalah adanya responden yang tidak datang ke perpustakaan dengan alasan tidak ada waktu karena sibuk. Jika alasan ini dikemukakan oleh responden yang berprofesi
seperti pedagang dan sejenisnya mungkin dapat
dimengerti, namun bila alasan ini dinyatakan oleh kelompok mahasiswa dan pelajar maka sepertinya alasan ini kurang dapat diterima dan terkesan dibuat-buat. Ini merupakan bukti bahwa minat baca yang ditunjukkan dengan frekuensi datang ke perpustakaan memang rendah. Beberapa responden memberi alasan bahwa tidak datang ke perpustakaan karena mereka memiliki koleksi buku sendiri di rumahnya. Nampaknya alasan ini dapat diterima. Namun bila dianalisa lebih mendalam, 68
sesungguhnya sulit bagi seseorang atau individu yang memiliki kegemaran membaca yang tinggi dapat memenuhi sendiri segala kebutuhan bahan bacaannya. Untuk itu orang yang memiliki kegemaran membaca yang tinggi biasanya akan datang ke perpustakaan. Hal ini sesuai dengan pendapat Nasoetion (1992) yang menyatakan bahwa tidak ada seorangpun yang dapat mengumpulkan kepustakaan (buku) yang berhubungan dengan minatnya sebagai milik pribadi di rumah. Itulah sebabnya perpustakaan umum adalah sarana penunjang pengembang ilmu dan penelitian yang sangat penting. Yang perlu disediakan di rumah hanyalah sumber-sumber rujukan yang diperlukan sewaktu-waktu1. Alasan bahwa responden sudah memiliki buku sendiri di rumahnya terkesan mengada-ada. Hal ini terlihat dari data kepemilikan buku dimana responden memiliki koleksi buku kurang dari 10 judul (termasuk yang tidak punya buku) adalah sebesar 55,68 % responden, memiliki buku antara 10 – 50 judul hanya sebesar 25,97 %, dan yang memiliki koleksi diatas 50 judul jumlahnya sangat sedikit yaitu 6,77 % rsponden. Dengan demikian alasan tidak datang ke perpustakaan karena sudah memiliki koleksi buku sendiri di rumahnya menjadi kurang bermakna. Alasan ini kemudian malah memperkuat pernyataan bahwa minat dan kegemaran membaca masyarakat Indonesia masih rendah.
4.1.6 Bahan Bacaan yang Disukai Responden Menurut Razak (2004) yang lebih penting dalam mengukur lama membaca seseorang adalah proses yang mendorong kegiatan membaca seseorang dimana kegiatan membaca tersebut didorong oleh keinginan atau motivasi yang keluar dari dirinya, bukan karena dipaksa seperti disuruh oleh guru atau merupakan kewajiban dari sekolah. Jadi bacaannya bisa apa, yang penting bukan buku pelajaran yang menjadi kewajiban sekolah. Bahkan menurut Razak, membaca headline di surat kabar, membaca ringkasan cerita di toko buku ketika memilih buku yang akan dibeli, termasuk membaca. Lebih jauh Razak menyatakan dalam mengukur waktu membaca adalah: “Waktu yang dicatat hanyalah waktu yang digunakan untuk membaca buku di luar lingkungan sekolah, seperti di rumah, perpustakaan (bukan perpustakaan sekolah), toko buku, pameran buku, rumah teman, atau tempat-tempat lainnya.” 1
Andi Hakim Nasoetion. Panduan Berpikir dan Meneliti Secara Ilmiah bagi Remaja. Jakarta: Grasindo, 1992. hal 62. 69
Untuk mempermudah dalam memperoleh jenis bacaan yang dibaca oleh responden maka penelitian ini mengelompokkan bahan bacaan kedalam empat macam yaitu koran, majalah, buku dan komik. Responden dapat memilih lebih dari satu jenis bahan bacaan. Hasil dari survei ini (lihat tabel 4.1.27) menunjukkan bahwa buku merupakan bahan bacaan paling banyak dibaca (64,42 %) menyusul koran (55,24 %), kemudian majalah (44,43 %) dan terakhir adalah komik (32,59 %). Tabel 4.1.27 Bahan bacaan yang dibaca oleh responden Responden
Koran Majalah Buku Komik
Mahasiswa
193
160
220
87
Siswa SMU
232
253
261
229
Siswa SMP
206
215
338
265
Siswa SD
138
115
394
228
Ibu Rumah Tangga
89
78
67
18
Pedagang
75
29
32
1
Dosen
73
59
69
4
Petani/Nelayan
45
17
38
1
Peg Swasta
123
88
93
26
PNS
185
117
142
15
Guru
90
56
79
9
TNI/Polri
49
24
18
5
Buruh
19
9
18
7
Jumlah
1517
1220
1769
895
%
55,24
44,43
64,42
32,59
70
Gambar 4.1.29 Grafik Sebaran Bacaan yang Digemari untuk Dibaca
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebagian besar responden memilih bacaan yang serius atau responden tersebut membaca dalam artian yang sebenarnya yaitu untuk menimba ilmu dari bahan bacaan yang dibacanya. Responden yang memilih buku sebagai bahan bacaan sebagian besar adalah mahasiswa dan siswa (SD, SMP, SMA). Guru dan Dosen yang diperkirakan banyak membaca buku, ternyata lebih banyak membaca koran. Sedangkan profesi yang lain seperti ibu rumah tangga, pedagang, petani, pegawai swasta, pegawai negeri sipil, TNI/Polri dan juga buruh, sudah dapat diduga bahwa mereka akan memilih koran sebagai bacaan yang lebih banyak dibaca, sebab mereka memerlukan informasi mengenai perkembangan bisnis yang menjadi kompetensinya dan juga untuk mendapatkan berita dan hiburan. Membaca seperti itu termasuk kategori hanya ingin tahu sesuatu sehingga terbatas membaca surat kabar saja. Ibu rumah tangga memilih koran dan majalah sebagai bacaan yang lebih disukainya. Hal ini dapat dimengerti karena sebagian besar ibu rumah tangga membaca untuk mendapatkan bacaan hiburan sehingga mereka memilih koran (termasuk tabloit) dan majalah hiburan.
71
Tabel 4.1.28 Durasi Membaca Koran, Majalah dan Buku 1 – 2 jam 2 – 3 jam 3 – 4 jam < 1 jam 1 – 2 jam 2 – 3 jam > 3 jam per minggu per minggu per minggu per hari per hari per hari per hari
Baca Koran
Baca Majalah
Baca Buku
117
41
35
1080
478
79
54
4,26 %
1,49 %
1,27 %
39,33 %
17,41 %
2,88 %
1,97 %
159
49
41
757
448
102
61
5,79 %
1,78 %
1,49 %
27,57 %
16,31 %
3,71 %
2,22 %
69
40
44
609
840
245
240
2,51 %
1,46 %
1,60 %
22,18 %
30,59 %
8,92 %
8,74 %
Gambar 4.1.30 Grafik Sebaran Lama Membaca untuk Beragam Jenis Bacaan
Kegiatan membaca koran dilakukan kurang dari satu jam setiap hari oleh sebagian besar responden (39,33 %), dan antara 1 – 2 jam setiap hari (17,41 %). Namun ada juga yang membaca koran lebih dari 2 jam setiap hari yaitu antara 2 – 3 jam (2,88 %), bahkan lebih dari 3 jam setiap hari (1,97 %). Hal ini tidak lazim dilakukan. Hal yang sama terjadi pada membaca majalah yaitu rata-rata responden membaca majalah antara kurang dari satu jam setiap hari (27,57 %), dan 1 – 2 jam setiap hari (16,31 %). Membaca majalah lebih dari dua atau bahkan lebih dari 3 jam setiap hari tidak biasa dilakukan orang, namun demikian ada responden yang membaca majalah lebih dari 3 72
jam setiap hari (2,22 %). Sebaliknya, membaca buku biasanya dilakukan lebih lama dibandingkan dengan membaca koran dan majalah. Namun pada kasus ini kelompok responden yang membaca buku lebih dari 1 jam setiap hari ternyata tidak terlalu banyak yaitu hanya sebesar 30,59 % dan yang membaca buku kurang dari 1 jam setiap hari sebesar 22,18 %. Yang agak mengherankan adalah membaca buku antara 1 – 4 jam per minggu yang dilakukan oleh 5,57 % responden merupakan hal yang kurang lazim, karena biasanya membaca buku (untuk mengerti isi buku tersebut) merupakan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus tanpa terputus sampai buku tersebut selesai (tamat) dibaca.
Gambar 4.1.31 Grafik Sebaran Topik Bacaan yang Digemari
Bahan bacaan yang paling populer adalah ilmu pengetahuan yaitu dipilih oleh 50,07 % responden, diikuti dengan bacaan kelompok buku agama yang dipilih oleh 45,81 % responden, kemudian bacaan pengetahuan populer oleh 24,29 % responden, fiksi oleh 20,83 % responden, dan terakhir bacaan lain-lain dipilih oleh 17,99 % responden. Fakta ini menunjukkan bahwa masyarakat, khususnya di lokasi penelitian, tidak begitu menyukai fiksi/sastra. Hal ini memperkuat pernyataan Taufik Ismail yang menyatakan bahwa sejak tahun 1943 sekolah-sekolah SMA di Indonesia tidak pernah mewajibkan siswanya membaca buku-buku sastra. Dikatakan demikian oleh Taufik 73
Ismail karena di sekolah-sekolah SMA buku sastra (1) tak disebut di kurikulum, (2) dibaca cuma ringkasannya, (3) siswa tak menulis mengenainya, (4) tidak ada di perpustakaan sekolah, dan (5) tidak diujikan2. Jika siswa diberi tugas wajib untuk membaca buku sastra, maka diharapkan hal ini mendorong siswa tersebut untuk membaca karya-karya sastra yang lain. Untuk membaca buku, sebagian besar responden mengaku membeli (67,6 %), diikuti dengan meminjam dari meminjam dari teman (37,6 %), perpustakaan umum (36,3 %), dan meminjam dari kantor atau pejabat pemerintah (8,5 %). Tabel 4.1.29 Gambaran Perolehan Buku Responden sebagai Bahan Bacaan
Meminjam Membeli dari Teman
Meminjam Meminjam dari dari Kantor/ perpustakaan Pejabat/aparat umum pemerintah
Jumlah
1783
1154
224
958
% responden
64,93
42,02
8,16
34,89
Gambar 4.1.32 Grafik Sebaran Sumber Perolehan Bahan Bacaan 2
Taufik Ismail (2005). Tragedi Nol Buku Tragedi Kita Bersama. Makalah Rapat Kerja Nasional Ikatan Pustakawan Indonesia, Hotel Mutiara Merdeka, Pekanbaru, tanggal 31 Mei 2005. 74
Dari tabel 4.1.29 ini menunjukkan bahwa peran perpustakaan umum belum optimal sebab belum banyak responden yang memanfaatkan perpustakaan untuk memenuhi kebutuhan bahan bacaannya. Malah responden lebih banyak membeli daripada memanfaatkan perpustakaan umum. Perhatian terhadap penyediaan buku untuk meningkatkan minat baca masyarakat ini sudah diberikan oleh Pemerintah Pusat, salah satunya melalui Departemen Pendidikan Nasional dalam hal ini ditangani oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah yang pada tahun 2007 menyediakan dana sebesar Rp. 90 milyar untuk peningkatan budaya baca masyarakat Indonesia. Dari dana tersebut 60 % diberikan dalam bentuk block grant yang disalurkan berdasarkan proposal ke Pemerintah Daerah melalui Pemerintah Provinsi. Dana tersebut untuk mensubsidi taman bacaan masyarakat yang jumlahnya tidak kurang dari 6.000 unit. Setiap taman bacaan masyarakat mendapatkan subsidi antara Rp. 5 juta sampai Rp. 40 juta untuk pengadaan koleksi taman bacaannya (perpustakaan). Tahun-tahun sebelumnya Pemerintah Pusat juga telah mengucurkan dana bantuan serupa, misalnya pada tahun 2005 sebesar Rp. 8,5 milyar dan pada tahun 2006 naik menjadi Rp. 40 milyar3.
4.1.7 Korelasi Karakteristik Responden dengan Minat Baca Secara ringkas pada tabel dan grafik berikut dapat dilihat hubungan karakteristik responden (umur, pendidikan, pendapatan) dengan minat baca (durasi membaca, frekuensi membaca dan korbanan) untuk data gabungan tiga kota (Makassar, Pekanbaru dan Banjarmasin) adalah sebagai berikut. Tabel 4.1. 30 Hubungan Karakteristik Responden dengan Minat Baca Karakteristik Responden Umur Pendidikan Pendapatan
Minat Baca Durasi Baca
Frekuensi baca
-0,031
-0,022
0,008
-0,011
0,134**
0,231**
Korbanan Beli buku Pemilikan buku 0,130** 0,176** 0,152** 0,267** 0,225** 0,386**
** Korelasi nyata pada α = 0,01 (uji dua arah). * Korelasi nyata pada α = 0,05 (uji dua arah).
3
Taman Bacaan Jadi Prioritas. Kompas, Kamis 12 Juli 2007. 75
Pada grafik berikut jelas tergambar hubungan korelasi yang dimaksud. MODEL:
MOD_1.
Independent:
belibuku
Dependent Mth
Rsq
d.f.
F
Sigf
b0
b1
umur_1
LIN
,011
1947
21,01
,000
2,8275
,1692
pddkn_1
LIN
,019
1947
38,51
,000
2,8846
,2192
Pendidikan
Umur
Observed
7.00
Observed
7.00
Linear
Linear 6.00
6.00 5.00
5.00 4.00
4.00 3.00
3.00 2.00
2.00 1.00 1.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
Beli buku 1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
Beli buku
Gambar a. Grafik Plot data ordinal hubungan Karakteristik Personal terhadap Minat Baca komponen Umur dengan Anggaran beli buku, r = 0,130 berbeda nyata pada α = 0,01 (uji dua arah). Ini berarti semakin tinggi umur terdapat kecenderungan semakin banyak anggaran untuk membeli buku.
Gambar b. Grafik Plot data ordinal hubungan Karakteristik Personal terhadap Minat Baca komponen Pendidikan dengan Anggaran beli buku, r = 0,152 berbeda nyata pada α = 0,01 (uji dua arah). Ini berarti semakin tinggi pendidikan terdapat kecenderungan semakin banyak anggaran untuk membeli buku.
Gambar 4.1.33 Grafik Model Data Plot Umur dan Pendidikan terhadap Beli Buku
76
MODEL:
MOD_2.
Independent:
jmlkoleksi
Dependent Mth
Rsq
d.f.
F
Sigf
b0
b1
umur_1
LIN
,041
2459
104,93
,000
2,6506
,2604
pddkn_1
LIN
,117
2459
325,43
,000
2,3412
,4063
Pendidikan
Umur
Observed
7.00
Observed
7.00
Linear
Linear
6.00
6.00
5.00
5.00
4.00
4.00
3.00
3.00
2.00
2.00
1.00
1.00 1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
1.00
7.00
Gambar a. Grafik Plot data ordinal hubungan Karakteristik Personal terhadap Minat Baca komponen Umur dengan Pemilikan buku, r = 0,176 berbeda nyata pada α = 0,01 (uji dua arah). Ini berarti semakin tinggi umur terdapat kecenderungan semakin banyak koleksi buku yang dimiliki.
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
Pemilikan buku
Pemilikan buku
Gambar b. Grafik Plot data ordinal hubungan Karakteristik Personal terhadap Minat Baca komponen Pendidikan dengan Pemilikan buku, r = 0,267 berbeda nyata pada α = 0,01 (uji dua arah). Ini berarti semakin tinggi pendidikan terdapat kecenderungan semakin banyak koleksi buku yang dimiliki.
Gambar 4.1.34 Grafik Model Data Plot Umur, Pendidikan terhadap Pemilikan Buku
77
MODEL:
MOD_3.
Independent:
Dependent Mth pdptn_1
MODEL:
durasi
LIN
MOD_4.
Independent:
Rsq
d.f.
F
Sigf
b0
b1
,015
1088
16,19
,000
2,8678
,1367
frekuensi
Dependent Mth pdptn_1
LIN
Rsq ,051
Pendapatan
Observed Linear
5.00
5.00
4.00
4.00
3.00
3.00
2.00
2.00
1.00
1.00 4.00
5.00
Sigf ,000
b0 2,9687
b1 ,1903
6.00
7.00
1.00
Durasi baca
Gambar a. Grafik Plot data ordinal hubungan Karakteristik Personal terhadap Minat Baca komponen Pendapatan dengan Durasi membaca, r = 0,134 berbeda nyata pada α = 0,01 (uji dua arah). Ini berarti semakin banyak pendapatan terdapat kecenderungan semakin lama membaca
Observed Linear
6.00
3.00
F 36,79
7.00
6.00
2.00
691
Pendapatan
7.00
1.00
d.f.
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
Frekuensi baca
Gambar b. Grafik Plot data ordinal hubungan Karakteristik Personal terhadap Minat Baca komponen Pendapatan dengan Frekuensi baca, r = 0,231 berbeda nyata pada α = 0,01 (uji dua arah). Ini berarti semakin banyak pendapatan terdapat kecenderungan semakin besar frekuensi membaca.
Gambar 4.1.35 Grafik Model Data Plot Pendapatan terhadap Durasi dan Frekuensi Baca
78
MODEL:
MOD_5.
Independent:
MODEL:
belibuku
Dependent Mth pdptn_1
LIN
MOD_6.
Independent:
Rsq
d.f.
F
Sigf
b0
b1
,053
747
42,19
,000
3,1870
,2996
jmlkoleksi
Dependent Mth pdptn_1
LIN
Rsq ,179
Pendapatan
d.f. 1043
F 227,78
Sigf ,000
b0 2,5428
b1 ,3799
Pendapatan Observed
7.00
Linear
Linear
6.00
6.00
5.00
5.00
4.00
Observed
7.00
4.00
3.00
3.00
2.00
2.00
1.00
1.00 1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
1.00
Beli buku
Gambar a. Grafik Plot data ordinal hubungan Karakteristik Personal terhadap Minat Baca komponen Pendapatan dengan Anggaran beli buku, r = 0,225 berbeda nyata pada α = 0,01 (uji dua arah). Ini berarti semakin banyak pendapatan terdapat kecenderungan semakin banyak anggarang untuk membeli buku.
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
Pemilikan buku
Gambar b. Grafik Plot data ordinal hubungan Karakteristik Personal terhadap Minat Baca komponen Pendapatan dengan Pemilikan buku, r = 0,386 berbeda nyata pada α = 0,01 (uji dua arah). Ini berarti adalah semakin banyak pendapatan terdapat kecenderungan semakin banyak buku yang dimiliki.
Gambar 4.1.36 Grafik Model Data Plot Pendapatan terhadap Beli dan Pemilikan Buku Dari tabel dan grafik diatas dapat disimpulkan hal-hal berikut: 1.
Terdapat korelasi nyata negatif walau sangat kecil antara umur dengan durasi membaca.
Ini berarti makin tua umur seseorang, makin singkat durasi
membacanya. Ini mungkin berhubungan dengan daya tahan tubuh. 2. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara umur dengan frekuensi membaca. 3. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara umur dengan korbanan membeli bahan bacaan. 4. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara umur dengan korban pemilikan buku. 5. Terdapat korelasi nyata negatif walau kecil antara pendidikan dengan durasi membaca. 79
6. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendidikan dengan frekuensi membaca. 7.
Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendidikan dengan korbanan membeli bahan bacaan.
8. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendidikan dengan korbanan memiliki bahan bacaan. 9. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendapatan dengan durasi membaca. 10. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendapatan dengan frekuensi membaca. 11. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendapatan dengan korbanan membeli bahan bacaan. 12. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendapatan dengan korbanan memiliki bahan bacaan. Tabel 4.1.31 Hasil Rataan Skor Minat Baca Tiga Kota Variabel Minat Baca Rata-rata durasi membaca Rata-rata korbanan uang Rata-rata pemilikan buku Rata-rata frekuensi membaca Rata-rata total minat baca
Responden 2495 1949 2461 1518
Total Skor 12142 3239 5966 5373
Rata-rata Skor 4,87 1,67 2,42 3,54 3,12
Tabel 4.1.32 Skor Kategori Tingkat Minat Baca Skor 1 2 3 4 5 6 7
Kategori Sangat rendah Rendah Agak sedang Sedang Agak tinggi Tinggi Sangat tinggi
Hasil rata-rata skor Mendekati agak sedang (3,12)
Dengan skala skor dan kategori dibuat tujuh sesuai dengan skala pada instrumen penelitian, maka hasil pengolahan yang didapatkan menunjukkan bahwa skor rata-rata tingkat minat baca masyarakat di tiga kota adalah di bawah sedang.
80
4.2. Makassar 4.2.1 Gambaran Umum Responden Kota Makassar Jumlah kuesioner yang disebarkan sebanyak 1000 unit di kota Makassar, namun yang kembali sebesar 927 (92,7 %). Sampel terdiri dari 401 laki-laki (43,92 %) dan perempuan sebanyak 512 (56,08 %). 14 (0,15 %) responden tidak mengisi jenis kelamin. Sampel tersebut terdiri dari beberapa kelompok profesi yaitu 100 orang Mahasiswa (6,36 %), 54 orang pegawai swasta (5,82 %), 18 orang petani (1,94 %), 89 orang ibu rumah tangga (9,60 %), 46 orang pedagang (4,96 %), 24 orang dosen (2,59 %), 150 orang siswa SD (16,18 %), 138 orang siswa SMP (14,89 %), 140 orang siswa SMU (15,10 %), 59 orang pegawai negeri sipil (6,36 %), 41 orang guru (4,42), 31 orang anggota TNI/Polri (3,03 %), dan 22 orang buruh (2,37 %). Sebagian besar responden yang terjaring merupakan penduduk asli Kota Makassar atau setidaknya lahir di kota Makassar yaitu sebesar 689 responden (74,33 %), sebesar 226 responden lainnya (24,38 %) mengaku sebagai pendatang, sedangkan sisanya sebesar 13 responden (1,29 %) tidak menjawab. Umumnya pendatang atau perantau ini sudah tinggal di kota Makassar antara kurang dari 5 tahun sampai lebih dari 25 tahun. Dari aspek status dalam rumah tangga, responden dapat dibagi menjadi 178 orang (19,20 %) berstatus sebagai ayah, 162 orang (17,48 %) berstatus sebagai Ibu, sedangkan sisanya sebanyak 584 orang (63,00 %) berstatus sebagai anak, sedangkan tiga orang tidak menjawab status yang bersangkutan. Tabel 4.2.1 Responden berdasarkan jenis kelamin Kelompok Responden Laki‐laki Perempuan Jumlah Mahasiswa
34
66
Pegawai Swasta
37
17
54
5,83
Petani
18
0
18
1,94
0
89
89
9,60
Pedagang
31
15
46
4,96
Dosen
16
8
24
2,59
Siswa SD
67
85
Ibu Rumah Tangga
81
%
100 10,79
152 16,18
Kelompok Responden Laki‐laki Perempuan Jumlah
%
Siswa SMP
55
83
138 14,89
Siswa SMU
52
87
139 15,10
PNS
23
36
59
6,36
Guru
16
25
41
4,22
TNI/Polri
31
0
31
3,34
Buruh
21
1
22
2,37
Jumlah
401
512
913
Sedangkan dari ke segi kelompok umur, responden terbagi menurut kelompok umur kurang dari 12 tahun (diperkiraan berusia siswa SD) yaitu sebanyak 169 orang (18,23 %), kelompok umur 13 tahun sampai dengan 15 tahun (diperkirakan usia siswa SLTP) sebanyak 112 orang (12,08 %), kelompok umur 16 tahun sampai dengan 18 tahun (diperkirakan usia siswa SLTA) sebesar 155 orang (16,72 %), kelompok umur 19 tahun sampai dengan 23 tahun (diperkirakan usia mahasiswa) sebesar 103 orang (11,11 %), kelompok umur 24 tahun sampai dengan 40 tahun sebanyak 213 orang (22,98 %), kelompok umur 41 tahun sampai dengan 55 tahun (usia tenaga kerja tua) sebanyak 136 orang (16,67 %), dan terakhir yang berusia lebih dari 56 tahun (usia tidak produktif atau pensiunan) sebanyak 20 orang (2,16 %). Sebanyak 19 orang (2,05 %) responden tidak mengisi pertanyaan mengenai umur. Tabel 4.2.2 Responden Makassar Berdasarkan Kelompok Umur Umur (tahun)
Kelompok
Jumlah < 12 th 13‐15 16‐18 19‐23 24‐40 41‐55 >56
Mahasiswa
0
0
18
58
22
0
1
99
Pegawai Swasta
0
0
2
10
31
7
2
52
Petani/Nelayan
0
1
1
4
19
5
2
32
Ibu Rumah Tangga
0
3
2
14
34
29
5
87
Pedagang
0
0
0
4
29
11
3
47
Dosen
0
0
0
0
10
9
4
23
132
8
4
3
13
2
0
162
Siswa SD
82
Umur (tahun)
Kelompok
Jumlah < 12 th 13‐15 16‐18 19‐23 24‐40 41‐55 >56
Siswa SMP
37
92
4
0
0
1
0
134
Siswa SMU
0
8
121
0
1
2
0
132
PNS
0
0
0
0
19
39
1
59
Guru
0
0
2
1
7
21
1
32
TNI/Polri
0
0
0
4
17
8
0
29
Buruh
0
0
1
5
11
2
1
20
Jumlah
169
112
155
103
213
136
20
908
Dari data yang terkumpul, maka responden yang berasal dari kalangan anak sekolah lebih besar yaitu 550 responden (59,33 %), yang sudah tidak bersekolah lagi sebesar 337 responden (40,67 %), sedangkan sisanya sebesar 56 responden (6,04 %) tidak menjawab apakah mereka masih berstatus masih sekolah atau sudah bekerja. Responden yang masih sekolah terdiri dari siswa sekolah dasar atau SD sebesar 151 responden (16,29 %), siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sebesar 135 responden (14,56 %), siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) sebesar 154 responden (16,61 %), mahasiswa sebesar 110 responden (11,87 %). Dari keseluruhan responden yang mengaku sebagai masih bersekolah, sebanyak 45 (4,85 %) responden menjawab selain bekerja, mereka juga berstatus pelajar atau mahasiswa. Gambar 4.2.1 berikut menunjukkan kondisi responden dalam hal pendidikan. Responden yang tidak tamat SD sebesar 102 responden (11,00 %), tamat SD sebanyak 118 responden (12,73 %), tamat SLTP sebanyak 177 reponden (19,09 %), tamat SLTA sebesar 211 responden (22,76 %), diploma sebesar 56 responden (5,61 %), sarjana sebesar 148 responden (15,97 %), dan pascasarjana atau bergelar S2 dan atau S3 sebesar 38 responden (4,10 %). Sebanyak 81 (8,74 %) responden tidak mengisi pertanyaan mengenai latar belakang pendidikan mereka.
83
Gambar 4.2.1 Grafik Sebaran tingkat pendidikan responden
Dari aspek profesi responden diharapkan dapat mewakili sebanyak mungkin profesi. Kelompok responden tersebut terdiri atas pegawai negeri sebesar 59 responden (63,65 %), pegawai swasta sebesar 54 (58,25 %)responden, pedagang sebesar 46 responden (49,62 %), TNI/Polri sebesar 31 responden (48,54 %), petani dan nelayan sebesar 33 responden (3,56 %), wiraswastawan sebesar 46 responden (4,96 %), wartawan sebesar 1 responden (0,10 %), buruh sebesar 22 responden (2,37 %), dan profesi lainnya yang tidak termasuk kategori tersebut sebesar 571 responden (61,60 %). Pendapatan responden tersebar dari pendapatan kurang dari 500 ribu rupiah per bulan sampai kepada yang berpendapatan lebih ari 4,5 juta rupiah setiap bulan. Sebagian terbesar responden berpendapatan antara 500 ribu sampai 2,5 juta rupiah per bulan. Sebaran responden menurut tingkat pendapatan digambarkan pada tabel 4.2.3 dan grafik 4.2.2.
Kurang dari 500 ribu
500 rb – 1 juta
Lebih 1 jt – 1,5 jt
Lebih 1,5 jt – 2,5 jt
Lebih dar 2,5 jt – 3,5 jt
lebih dari 3,5 jt – 4,5 jt
Mahasiswa
11
16
8
4
2
1
0
Pegawai Swasta
1
5
11
17
6
5
2
Petani/Nelayan
6
12
12
2
0
0
0
Kelompok Responden
84
Lebih dari 4,5 jt
Tabel 4.2.3 Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan per Bulan
500 rb – 1 juta
Lebih 1 jt – 1,5 jt
Lebih 1,5 jt – 2,5 jt
Lebih dar 2,5 jt – 3,5 jt
lebih dari 3,5 jt – 4,5 jt
Lebih dari 4,5 jt
Kurang dari 500 ribu
Ibu Rumah Tangga
1
5
17
37
11
4
4
Pedagang
3
9
4
7
10
6
5
Dosen
0
0
1
5
6
6
5
PNS
0
3
9
26
11
7
3
Guru
8
2
5
14
9
1
1
TNI/Polri
0
3
2
15
9
1
0
Buruh
0
18
3
0
0
0
0
Total
30
73
72
127
64
31
20
Kelompok Responden
Gambar 4.2.2 Grafik Sebaran Tingkat Pendapatan Responden
Dari aspek jumlah anggota keluarga sebagian responden terdiri dari keluarga dengan jumlah anggota keluarga sebesar 3 – 4 orang (352 responden) kemudian diikuti berturut-turut dengan jumlah anggota keluarga 5 – 6 orang (358 responden), 7 – 8 orang (128 responden), kurang dari 2 orang (36 responden), dan yang terakhir adalah keluarga besar yaitu dengan jumlah keluarga lebih dari 8 orang (44 responden). 85
Sebanyak 9 (0,97%) responden tidak menjawab pertanyaan ini. Secara rinci kondisi responden berdasarkan jumlah anggota dalam keluarga disajikan pada tabel 4.2.4. Tabel 4.2.4 Sebaran Responden Berdasarkan Besarnya Anggota Keluarga Responden Mahasiswa
Kurang Lebih 3 – 4 5 – 6 7 – 8 dari 2 dari 8 orang orang orang orang orang 2 19 48 21 9
Pegawai Swasta
5
25
17
6
1
Petani/Nelayan
0
18
11
2
0
Ibu Rumah Tangga
6
55
20
6
2
Pedagang
2
24
13
4
4
Dosen
1
12
12
0
0
Siswa SD
4
54
58
28
13
Siswa SMP
6
39
60
22
5
Siswa SMU
1
35
65
28
8
PNS
3
23
23
8
2
Guru
1
24
11
1
0
TNI/Polri
3
12
13
1
0
Buruh
2
12
7
1
0
Jumlah
36
352
358
128
44
Persen
3,92
38,34 39,00 13,94
4,79
Pada umumnya responden termasuk kelompok masyarakat yang cukup maju dalam mencari informasi. Hal ini dicerminkan dari fasilitas informasi untuk melakukan akses ke luar. Umumnya mereka memiliki pesawat radio, pesawat televisi, pemutar video/vcd/dvd, komputer. Sebagian dari mereka bahkan memiliki akses ke internet. Sedangkan media cetak yang mereka miliki cukup banyak adalah koran dan majalah. Fasilitas tersebut selain digunakan untuk mendapatkan informasi dari luar, juga digunakan sebagai sarana hiburan. Tabel 4.2.5 memperlihatkan sebaran responden dalam hal kepemilikan fasilitas informasi.
86
Tabel 4.2.5 Kepemilikan fasilitas media informasi Fasilitas informasi yang dimiliki Responden
Pesawat Pesawat Video/ Koneksi ke Komputer Koran Majalah Radio TV VCD/DVD Internet
Mahasiswa
62
72
39
37
8
38
34
Pegawai Swasta
42
50
37
21
4
20
8
Petani/Nelayan
26
27
5
0
0
2
1
Ibu Rumah Tangga
61
85
53
23
3
21
13
Pedagang
37
40
29
17
4
21
15
Dosen
20
24
18
18
8
17
11
Siswa SD
58
109
64
49
18
90
71
Siswa SMP
75
116
85
45
6
63
48
Siswa SMU
109
123
81
61
16
78
56
PNS
41
55
32
30
3
26
17
Guru
24
35
26
17
3
23
7
Polri
24
30
17
11
3
12
6
15 594 64,08
22 788 85,01
1 487 52,54
0 329 35,94
0 76 8,20
0 411 44,34
0 287 30,96
Buruh Jumlah Persen dari Responden
Gambar 4.2.3 Grafik Sebaran Kepemilikan Fasilitas Media Informasi
87
4.2.2 Membaca dan Menonton untuk Mengisi Waktu Luang Dalam mengisi waktu luang sebagian besar responden mengaku melakukan kegiatan membaca dan menonton televisi/video/vcd. Sebagian lagi mengatakan mengisi waktu luangnya dengan mendengarkan siaran radio dan rekreasi. Kegiatan membaca dan menonton dilakukan seimbang oleh sebagian besar responden yaitu membaca oleh 723 responden atau sebesar 80,24 % dari total responden, dan sebanyak 702 responden atau 77,91 % dari total responden melakukan kegiatan menonton dalam mengisi waktu luangnya. Penggunaan radio sebagai alat untuk mengisi waktu luang juga cukup banyak dilakukan yaitu oleh 382 responden (42,40 % terhadap total responden). Sedangkan rekreasi adalah kegiatan yang paling sedikit dilakukan oleh responden dalam mengisi waktu luang yaitu hanya dilakukan oleh sebanyak 267 responden atau 29,63 % terhadap total responden. Dari tabel dapat dilihat bahwa profesi yang memang menuntut kegiatan membaca seperti dosen, mahasiswa serta pelajar, maka membaca merupakan kegiatan yang dilakukan mereka untuk mengisi waktu luangnya. Dosen menyatakan bahwa membaca, menonton televisi dan mendengarkan siaran radio merupakan kegiatan yang dilakukan setiap saat bila mereka memiliki waktu luang. Hal ini tidak tentu saja mengherankan, karena profesi dosen memang menuntut harus selalu memperbaharui pengetahuannya antara lain melalui media tersebut.
Dari 25
responden dosen, hanya 8 responden saja yang mengisi waktu luangnya dengan rekreasi selain membaca, menonton televisi dan mendengarkan siaran radio. Mahasiswa dan pelajar, guru, serta PNS menyatakan mengisi waktu luang mereka dengan
membaca
dan
menonton
televisi
lebih
tinggi
dibandingkan
dengan
mendengarkan mendengarkan siaran radio dan rekreasi. Sebagian profesi ini tetap menempatkan membaca adalah kegiatan dominan. Data yang perlu mendapat perhatian adalah pada pelajar SMU, yaitu mereka mengaku lebih suka menonton televisi/video/VCD daripada membaca. Padahal profesi mereka sesungguhnya menuntut kegiatan membaca secara intensif. Sudah dapat diduga bahwa profesi yang tidak menuntut kegiatan membaca secara lebih intensif seperti ibu rumah tangga, petani/nelayan, TNI/Polri, dan buruh, maka kegiatan menonton televisi/video/vcd merupakan pilihan kegiatan yang lebih banyak dalam mengisi waktu luang mereka.
88
Tabel 4.2.6 Sebaran Pemanfaatan Waktu Luang Responden dalam Melakukan Kegiatan
Kelompok Responden
Jumlah responden
Membaca
Resp
%
Menonton TV/ Video/VCD
Mendengarkan Siaran Radio
Resp
Resp
%
%
Rekreasi
Resp
%
100
87 87,00
67
67,00
54
54,00
15 15,00
Pegawai Swasta
54
38 70,37
46
85,19
21
38,89
21 38,89
Petani/Nelayan
18
17 94,44
26
144,44
13
72,22
4 22,22
Ibu Rumah Tangga
89
64 71,91
78
87,64
20
22,47
17 19,10
Pedagang
46
32 69,57
42
91,30
16
34,78
14 30,43
Dosen
24
23 95,83
22
91,67
14
58,33
11 45,83
Siswa SD
152
138 90,79
98
64,47
25
16,45
23 15,13
Siswa SMP
138
125 90,58
92
66,67
57
41,30
17 12,32
Siswa SMU
139
99 71,22
113
81,29
79
56,83
26 18,71
PNS
59
53 89,83
53
89,83
27
45,76
14 23,73
Guru
41
40 97,56
31
75,61
20
48,78
15 36,59
TNI/Polri
31
28 90,32
27
87,10
9
29,03
14 45,16
Buruh
22
6 27,27
20
90,91
6
27,27
0
0,00
715
361
191
Mahasiswa
Total
913
750
Gambar 4.2.4 Sebaran Pemanfaatan Waktu Luang Responden
Kegiatan ayah, ibu dan anak dalam membaca dan menonton kurang lebih berpola sama. Pada ayah dan ibu frekuensi kegiatan menonton sedikit lebih tinggi, 89
sedangkan pada anak frekuensi kegiatan membaca yang lebih tinggi. Ini tidak mengherankan melihat mayoritas responden berasal dari kalangan pelajar yang masih aktif sekolah. Jadi dapat diduga kegiatan membaca mereka ada kaitannya dengan status mereka sebagai pelajar. Walaupun bagi sebagian masyarakat siaran radio masih merupakan acara yang menarik, namun penggemar siaran radio ini sudah dikalahkan oleh
kegiatan
menonton
televisi.
Rata-rata
masyarakat
melakukan
aktifitas
mendengarkan siaran radio hanya setengah dari melakukan kegiatan membaca maupun menonton televisi. Tabel 4.2.7 Kegiatan Ayah, Ibu dan Anak dalam Mengisi Waktu Luang Responden Ayah (192) Ibu (162) Anak (589)
Baca
Nonton
Dengarkan radio
Rekreasi
140
160
86
61
72,92%
83,33%
44,79%
31,77%
138
108
39
29
85,19%
66,67%
24,07%
17,90%
485
453
204
107
82,34%
76,91%
34,63%
18,17%
Gambar 4.2.5 Sebaran Pemanfaatan Waktu Luang Berdasarkan Status dalam Rumah Tangga
90
Walaupun dari pola frekuensi, kegiatan membaca dan menonton televisi nampak seimbang, namun dari aspek lamanya melakukan kegiatan membaca dan menonton maka kegiatan menonton dilakukan lebih lama oleh sebagian besar responden (lihat grafik 4.2.3). Bahkan responden yang menonton lebih dari 2 jam sehari menduduki jumlah terbesar (417 atau 45,23 % responden), sedangkan yang membaca lebih dari 2 jam sehari hanya sebesar 133 atau 27 % responden. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa umumnya masyarakat lebih senang menonton dari pada membaca.
Gambar 4.2.6 Grafik Perbandingan antara Lama Membaca dengan Lama Menonton Tabel 4.2.8 Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Lama Membaca Lama Membaca (B) dan Lama Menonton TV (N) Jenis Kelamin
> 3 j/hr
2 – 3 j/hr
1 – 2 j/hr
< 1 j/hr
3 – 4 j/mg 2 – 3 j/mg 1 – 2 j/mg
B
N
B
N
B
N
B
N
B
N
B
laki‐laki
79
75
50
91
132
163
59
61
13
10
11
8
4
4
perempuan
85 125
61 109
184
163
136
77
14
25
8
12
13
11
164 200 111 200
316
326
195
138
27
35
19
20
17
15
Total
N
B
N
Lebih jauh diperoleh fakta bahwa secara umum perempuan lebih banyak memiliki waktu luang yang kemudian digunakan untuk membaca ataupun nonton
91
televisi. Perempuan umumnya menonton televisi lebih lama dibandingkan dengan lakilaki (lihat grafik 4.2.9). Tabel 4.2.9 Hubungan antara jenis kelamin dengan lama membaca vs lama menonton > 3 j/hr 2 – 3 j/hr 1 – 2 j/hr < 1 j/hr 3 – 4 j/mg 2 – 3 j/mg 1 – 2 j/mg
laki‐laki (baca)
79
50
132
59
13
11
4
Perempuan (baca)
85
61
184
136
14
8
13
Laki‐laki (nonton)
75
91
163
61
10
8
4
Perempuan (nonton)
125
109
163
77
25
12
11
Gambar 4.2.7 Grafik Perbandingan Lama Membaca dengan Lama Menonton Tabel 4.2.10 Hubungan Karakteristik Responden dengan Waktu Luang dan Terpaan Media Karakteristik Responden
Terpaan (Exposure) Media
Waktu Luang (aktivitas membaca dan lain-lain)
Televisi (durasi menonton)
Umur
-,247**
-,115**
-,075*
Pendidikan
-,138**
-,033
-,015
Pendapatan
-,017
-,003
,015
** Korelasi nyata pada α = 0,01 (uji dua arah). * Korelasi nyata pada α = 0,05 (uji dua arah).
92
Radio (durasi mendengar)
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa umur berpengaruh nyata (memiliki korelasi negatiff) terhadap aktifitas membaca
dengan koefisien korelasi -0,247. Ini berarti
bahwa semakin tua umur seseorang aktifitas membaca dalam rangka mengisi waktu luang akan semakin rendah. Padahal pada usia anak-anak waktu luangnya lebih banyak digunakan untuk bermain, sedangkan pada usia semakin tua, biasanya makin banyak waktu untuk diperlukan untuk beragam kegiatan yang menyita waktu. Menurut literatur waktu bermain anak Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak Amerika yang hanya 3 – 4 jam sehari, apalagi dengan anak-anak Korea yang hanya memiliki waktu bermain sebanyak satu jam sehari1. Bahkan bagi anak-anak dari keluarga ekonomi lemah sebagian waktu mereka digunakan untuk membantu orang tuanya mencari uang tambahan bagu keluarga. Sedangkan waktu luang orang tua selain digunakan untuk aktifitas membaca, juga digunakan untuk aktifitas menonton dan mendengarkan radio, dan bahkan sebagian kecil juga menggunakan waktu luangnya untuk berekreasi. Namun demikian umur tidak berpengaruh terhadap perilaku baik mendengarkan radio maupun menonton (televisi/video/vcd). Koefisien korelasi antara umur dengan mendengarkan radio hanya sebesar -0,115 berarti berkorelasi negatif yang berarti makin tua umur makin jarang mendengar radio, sedangkan koefisien korelasi antara umur dengan menonton -0,075 walau juga sangat lemah tetapi nyata menurut uji statistik. Ini berarti makin tua umur seseorang, makin jarang nonton televisi. Pendidikan pada responden Makasaar ternyata mempunyai hubungan negatif tetapi nyata dengan penggunaan waktu luang untuk membaca yaitu dengan nilai koefisien korelasi sebesar -0,138. Ini berarti semakin berpendidikan seseorang semakin membutuhkan informasi untuk memenuhi kebutuhan menambah pengetahuan. Pada siswa dan mahasiswa tentu kegiatan membaca harus menjadi kegiatan utama, begitu juga pada profesi dosen dan guru. Oleh karena itu untuk meningkatkan minat dan kegemaran membaca masyarakat, dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas pendidikan. Penugasan-penugasan di sekolah dan di kampus akan mendorong kebiasaan siswa dan mahasiswa untuk membaca sekalipun nantinya membaca tersebut tidak ada hubungannya dengan penugasan dari guru dan dosen. Kebiasaan 1
Minat Baca di Indonesia Sangat Rendah. Pikiran Rakyat. Senin, 8 Maret 200. 93
memecahkan masalah dengan cara mencari sumber informasi pada sumber-sumber bacaan akan mendorong peningkatan minat dan kegemaran membaca. Selanjutnya tabel tersebut menggambarkan bahwa pendidikan walaupun mempengaruhi kebiasaan responden baik dalam mendengarkan radio maupun menonton televisi/video/vcd, namun pengaruhnya sangat lemah. Walaupun koefisien korelasinya positif, namun nilainya sangat lemah yaitu masing-masing -0,033 dan -0,015 untuk pendidikan terhadap mendengarkan radio dan pendidikan terhadap menonton televisi/video/vcd. Pendapatan seseorang tidak berpengaruh terhadap penggunaan waktu luang yang digunakan untuk aktifitas membaca. Sebenarnya nilai koefisien korelasinya negatif yakni 0,017 yang berarti ada hubungan negatif antara tingkat penghasilan dengan aktifita membaca, namun karena nilainya sangat kecil yaitu mendekati nol, maka pengaruh tersebut hampir tidak ada artinya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada masyarakat yang berpenghasilan baik rendah, sedang, maupun tinggi pola membacanya sama saja. Sedangkan pengaruh penghasilan terhadap kebiasaan mendengarkan radio malah negatif dengan nilai koefisien korelasi lebih tinggi (-0,003), artinya walaupun pengaruhnya kecil, namun menunjukkan bahwa semakin tinggi penghasilan seseorang, semakin jarang mendengarkan radio. Berbeda dengan waktu yang mereka gunakan untuk mendengarkan radio yang cenderung negatif (terbalik), waktu yang mereka gunakan untuk menonton televisi/video/vcd ternyata berpengaruh positif atau berbanding lurus (walaupun sangat lemah) dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,015. Artinya, semakin tinggi penghasilan seseorang, maka mereka akan cenderung semakin sering melakukan aktifitas menonton.
4.2.3 Hubungan antara Kelompok Umur dengan Membaca Dari aspek umur diduga pada usia sekolah sampai mahasiswa (usia SD yaitu kurang dari 12 tahun sampai usia mahasiswa yaitu sampai 23 tahun) responden memiliki kebiasaan membaca yang tinggi. Diasumsikan demikian karena kegiatan membaca merupakan tuntutan pendidikan. Pada usia kerja kebiasaan membaca ini diduga akan menurun dan kemudian akan meningkat lagi pada usia tua, dimana pada usia ini orang akan memiliki waktu luang yang banyak untuk membaca. Namun dari data deskriptif yang diperoleh, asumsi ini tidak terjadi. 94
Tabel 4.2.11 Hubungan Umur dengan Lama (Durasi) Membaca Umur
Jumlah 1‐2 j/mg 2‐3 j/mg 3‐4 j/mg < 1 j/hr 1‐2 j/hr 2‐3 j/hr > 3 j/hr 276
< 12 th %
35
13‐15 th %
148
16‐18 th %
88
19‐23 th %
98
24‐40 th %
56
41‐55 th %
30
> 55 th % Tidak isi Total
196 927
97 35,14 0 0,00 15 10,14 18 20,45 4 4,08 3 5,36 0 0 ‐ 32
26 9,4 1 2,86 22 14,86 11 12,50 12 12,24 4 7,14 0 0 ‐
90 32,61 8 22,86 48 32,43 27 30,68 26 26,53 26 46,43 0 0 ‐
60 21,74 6 17,14 31 20,95 23 26,14 24 24,49 14 25,00 0 0 ‐
7 2,54 0 0,00 4 2,70 6 6,82 2 2,04 0 0,00 0 0 ‐
14
27
215
374
6 2,17 0 0,00 8 5,41 1 1,14 0 0,00 1 1,79 0 0 ‐ 107
Gambar 4.2.8 Grafik Perbandingan Lama Membaca Menurut Kelompok Umur 95
6 2,17 1 2,86 0 0,00 1 1,14 2 2,04 0 0,00 0 0 ‐ 72
Tabel dan gambar diatas memperlihatkan bahwa membaca tidak dipengaruhi oleh umur. Pola grafik dari semua kelompok umur responden terlihat hampir sama, kecuali pada kelompok responden umur dibawah 12 tahun dan tara 19-23 tahun (umur mahasiswa) yaitu sedikit responden pada korbanan waktu membaca rendah (dari 2 jam sampai 3 jam setiap minggu), kemudian naik jumlahnya pada korbanan waktu membaca sedang (antara 3 sampai 4 jam per minggu atau kurang lebih setengah jam per hari), dan sangat sedikit responden pada korbanan waktu membaca yang tinggi (lebih dari 3 jam sehari). Korbanan waktu demikian dapat dikatakan sangat rendah karena masyarakat yang kegemaran membacanya tinggi, mereka akan menghabiskan waktu membaca lebih dari 3 jam setiap harinya.
Gambar 4.2.9 Grafik Korbanan waktu Rata‐rata dalam Membaca Responden Makassar
Secara statistik hubungan antara umur dengan lama (durasi) membaca nyata namun negatif walau kecil. Ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi yaitu hanya sebesar -01,06 (Lihat tabel 4.3.12) yang didapatkan melalui uji Rank Spearman menggunakan SPSS. Kenyataan ini tidak sesuai dengan hipotesa dimana seharusnya semakin tinggi umur seseorang, semakin lama ia membaca. Hal ini terutama jika dikaitkan dengan aktifitas membaca dalam hubungannya dengan aktifitas pendidikan. Tabel yang disampaikan oleh Razak (2004) menunjukkan bahwa semakin tinggi usia yang ditunjukkan oleh status pendidikan maka dia maka dituntut semakin lama membaca. Kenyataan ini tentu harus menjadi perhatian dari pemerintah, khususnya 96
para pendidik atau regulator pendidikan. Sudah waktunya kewajiban membaca di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi dimonitor dan masuk ke dalam kurikulum wajib. Misalnya saja, guru atau dosen harus lebih banyak memberikan penugasan yang berkaitan dengan membaca, membuat ringkasan, dan membuat soal-soal ujian yang bahan-bahannya diambil dari bacaan yang diwajibkan oleh guru dan lain-lain. Tabel 4.2.12 Korelasi Umur terhadap Durasi Membaca Durasi membaca Spearman's rho
Umur
Correlation Coefficient
-,106(**)
Sig. (2-tailed)
,002
N
731
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Demikian pula
jika umur dihubungkan dengan frekuensi baca terdapat
hubungan yang nyata walau sangat kecil yaitu sebesar 0,134 pada tingkat kepercayaan 0,01. Hal ini dapat dilihat hasil perhitungan seperti pada tabel berikut. Tabel 4.2.13 Korelasi umur terhadap frekuensi membaca Frekuensi membaca Spearman's rho
Umur
Correlation Coefficient
,134(**)
Sig. (2-tailed)
,002
N
555
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Tabel 4.2.14 Hubungan Umur dengan Korbanan Belanja Buku Umur Responden < 12 th 13‐15 th 16‐18 th 19‐23 th
Jml % Jml % Jml % Jml %
Biaya belanja buku responden <50 rb
128 53,56 17 56,67 50 64,10 60 95,24
50 ‐100 rb
68 28,45% 4 13,33% 18 23,08% 2 3,17%
100‐200 rb
200‐300 rb
21 8,79% 6 20,00% 8 10,26% 0 0,00%
9 3,77% 2 6,67% 1 1,28% 1 1,59%
97
300‐400 rb 400‐500 rb >500 rb
4 1,67% 1 3,33% 0 0,00% 0 0,00%
3 1,26% 0 0,00% 0 0,00% 0 0,00%
6 2,51% 0 0,00% 1 1,28% 0 0,00%
Biaya belanja buku responden
Umur Responden
<50 rb
50 ‐100 rb
100‐200 rb
200‐300 rb
300‐400 rb 400‐500 rb >500 rb
66 32 7 5 0 0 4 24‐40 th 57,89 28,07% 6,14% 4,39% 0,00% 0,00% 3,51% % 25 10 4 0 2 0 0 Jml 41‐55 th 60,98 24,39% 9,76% 0,00% 4,88% 0,00% 0,00% % 4 0 0 0 0 0 0 Jml > 55 th 100,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% % Jml 350 134 46 18 7 3 11 Total 61,51% 23,55% 8,08% 3,16% 1,23% 0,53% 1,93% % Jml
Gambar 4.3.10 Sebaran Besarnya Korbanan Membeli Buku berdasarkan Umur
Hubungan antara umur dengan korbanan responden dalam bentuk biaya atau anggaran membeli buku dapat dilihat pada tabel 4.3.14 dan gambar 4.3.10. Pada tabel dan gambar tersebut terlihat bahwa rata-rata korbanan untuk membeli buku sebagian besar ada pada jumlah kurang dari Rp. 50.000,- per bulan. Sebagian responden mengaku berbelanja buku antara Rp 50.000,- - Rp. 100.000,- per bulan. Namun yang berbelanja buku lebih besar dari Rp. 100.000,- per bulan jumlahnya sangat sedikit. Hubungan antara umur dengan korbanan untuk membeli buku memang berkorelasi 98
positif, namun hubungan tersebut sangat lemah yaitu dengan koefisien korelasi sebesar 0,197. Jadi dapat dikatakan bahwa umur tidak terlalu berpengaruh terhadap korbanan responden membeli buku.
Tabel 4.2.15 Hubungan Umur dengan Pemilikan Buku Kelompok
Kepemilikan buku responden
Umur Responden
Tdk punya < 10 bk 10‐25 bk 25‐50 bk 50‐75 bk 75‐100 bk >100 bk
< 12 th
64
72
61
27
10
16
19
23,79
26,77
22,68
10,04
3,72
5,95
7,06
11
9
10
2
0
0
0
34,38
28,13
31,25
6,25
0,00
0,00
0,00
29
47
8
4
1
0
1
32,22
52,22
8,89
4,44
1,11
0,00
1,11
16
40
11
1
0
0
0
23,5
58,8
16,2
1,5
0,0
0,0
0,0
34
62
40
10
5
3
6
21,25
38,75
25,00
6,25
3,13
1,88
3,75
14
16
12
6
0
0
1
28,57
32,65
24,49
12,24
0,00
0,00
2,04
Jml resp
4
2
1
0
0
0
0
%
57,14
28,57
14,29
0,00
0,00
0,00
0,00
172
248
143
50
16
19
27
25,48
36,74
21,19
7,41
2,37
2,81
4,00
Jml resp %
13‐15 th
Jml resp %
16‐18 th
Jml resp %
19‐23 th
Jml resp %
24‐40 th
Jml resp %
41‐55 th
Jml resp %
> 55 th
Total
Jml resp %
Hubungan antara umur dengan kepemilikan buku digambarkan oleh tabel 4.2.15 dan grafik pada gambar 4.2.11. Pada tabel dan grafik tersebut terlihat bahwa pola kepemilikan buku responden terlihat sama baik pada umur muda maupun pada umur dewasa. Jumlah responden terbesar adalah pada kepemilikan buku antara nol atau tidak punya buku sampai 10 judul buku, dan makin sedikit responden yang memiliki buku di atas 10 judul, apalagi di atas 100 judul buku. Dengan uji statistik umur sesungguhnya berkorelasi nyata positif namun tidak terlalu besar yaitu hanya 0,319.
99
Artinya, walaupun terdapat hubungan positif antara umur dengan tingkat kepemilikan buku, namun hubungan tersebut agak lemah.
Gambar 4.2.11 Sebaran Besarnya Pemilikan Buku berdasarkan Umur Responden
Hubungan antara umur dengan frekuensi membaca yang ditunjukkan dengan frekuensi responden datang ke perpustakaan ternyata memiliki korelasi nyata positif, walaupun lemah yaitu dengan nilai koefisien korelasi hanya sebesar 0,134.
Artinya,
walaupun pengaruhnya tidak besar, semakin tua umur seseorang, maka cenderung semakin sering datang ke perpustakaan umum. Sebagian besar responden tahu bahwa di kota tempat mereka tinggal tersedia perpustakaan umum (87,00 %), walaupun ada juga yang mengatakan bahwa di kota tempat mereka tinggal tidak ada perpustakaan umum (4,5 %) dan bahkan ada yang tidak tahu bahwa di kotanya ada perpustakaan umum (8,5 %).
Sebanyak 54 % dari jumlah responden yang mengaku pernah
berkunjung ke perpustakaan umum, sebanyak 46 % mengaku belum pernah berkunjung ke perpustakaan umum. Frekuensi berkunjung ke perpustakaan umum yang paling banyak adalah sekali dalam satu bulan (28 %) kemudian diikuti masing-masing oleh sekali dalam seminggu (26,4 %), sekali dalam tiga bulan (16,1 %). Namun ada juga yang berkunjung setiap hari ke perpustakaan umum dengan jumlah responden hanya 4,0 %.
100
Ada juga responden yang berkunjung ke perpustakaan umum hanya sekali dalam tiga bulan atau bahkan lebih (6,7 %). Tabel 4.2.16 Hubungan Umur dengan Jumlah Kunjungan ke Perpustakaan Kelompok Umur Responden < 12 th 13‐15 th 16‐18 th 19‐23 th 24‐40 th 41‐55 th > 55 th Total
Jml resp % Jml resp % Jml resp % Jml resp % Jml resp % Jml resp % Jml resp % Jml resp %
Jumlah kunjungan responden ke perpustakaan 1x/th
59 26,82 9 34,6 11 14,67 2 4,76 8 8,89 2 8,33 0 0,00 59 26,82
1x/6bln 1x/3bln 1x/bln 1x/mg 2x/mg 1X/h
46 20,91 5 19,2 23 30,67 4 9,52 8 8,89 4 16,67 0 0,00 46 20,91
41 18,64 7 26,9 10 13,33 1 2,38 27 30,00 8 33,33 1 100,00 41 18,64
29 13,18 2 7,7 18 24,00 28 66,67 31 34,44 5 20,83 0 0,00 29 13,18
15 6,82 0 0,0 4 5,33 2 4,76 8 8,89 1 4,17 0 0,00 15 6,82
14 6,36 1 3,8 4 5,33 3 7,14 3 3,33 1 4,17 0 0,00 14 6,36
16 7,27 2 7,7 5 6,67 2 4,76 5 5,56 3 12,50 0 0,00 16 7,27
Gambar 4.2.12 Sebaran Frekuensi Kunjung ke Perpustakaan berdasarkan Umur 101
Gambar 4.2.13 Sebaran Rata‐rata Frekuensi Kunjung ke Perpustakaan
Dari tabel 4.2.15 dapat dilihat bahwa kelompok mahasiswa berkunjung ke perpustakaan satu sampai dua kali seminggu. Kunjungan mahasiswa ke perpustakaan umum lebih banyak bertujuan untuk memenuhi kebutuhan bacaan dalam kaitannya dengan penulisan skripsi Hal ini dapat diduga karena di kampusnya mereka tidak mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Tabe 4.2.17 Frekuensi Responden Berkunjung ke Perpustakaan Frekuensi kunjungan ke perpustakaan
Kelompok Responden Mahasiswa Pegawai Swasta Petani/Nelayan Ibu Rumah Tangga Pedagang
1 X /th 1 X /6 bln 1 X /3 bln 1 X /bln 1 X /mg 2 X /mg 1 X /h Jml % Jml % Jml % Jml % Jml %
2 2,53 2 6,90 1 4,00 0 0,00 0 0,00
1 1,27 0 0,00 11 44,00 0 0,00 0 0,00 102
1 1,27 4 13,79 3 12,00 1 2,78 2 14,29
8 10,13 13 44,83 4 16,00 17 47,22 8 57,14
19 24,05 6 20,69 6 24,00 13 36,11 2 14,29
37 46,84 2 6,90 0 0,00 3 8,33 2 14,29
11 13,92 2 6,90 0 0,00 2 5,56 0 0,00
Frekuensi kunjungan ke perpustakaan
Kelompok Responden Dosen Siswa SD Siswa SMP Siswa SMU PNS Guru TNI/Polri Buruh Total
1 X /th 1 X /6 bln 1 X /3 bln 1 X /bln 1 X /mg 2 X /mg 1 X /h Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % Jml %
4 19,05 9 7,50 6 7,41 9 12,50 1 2,00 1 3,23 2 13,33 0 0,00 78 13,49
0 0,00 7 5,83 2 2,47 4 5,56 2 4,00 3 9,68 0 0,00 3 60,00 139 24,05
0 0,00 7 5,83 4 4,94 4 5,56 2 4,00 5 16,13 1 6,67 1 20,00 127 21,97
8 38,10 27 22,50 7 8,64 18 25,00 7 14,00 8 25,81 4 26,67 0 0,00 129 22,32
6 28,57 17 14,17 15 18,52 24 33,33 6 12,00 5 16,13 8 53,33 0 0,00 35 6,06
3 14,29 25 20,83 37 45,68 11 15,28 10 20,00 8 25,81 0 0,00 1 20,00 33 5,71
0 0,00 28 23,33 10 12,35 2 2,78 22 44,00 1 3,23 0 0,00 0 0,00 37 6,40
Kunjungan siswa SD ke perpustakaan umum (80,00% dari total siswa SD) sebagian besar berkunjung antara satu kali seminggu, dua kali seminggu, dan bahkan setiap hari (58,33 % dari responden yang berkunjung ke perpustakaan), sisanya menyatakan jarang berkunjung ke perpustakaan yaitu dengan berkunjung antara satu kali sebulan dan bahkan ada yang berkunjung hanya satu kali saja dalam setahun. Pada kelompok siswa SMP persentase yang berkunjung ke perpustakaan umum lebih rendah dari siswa SD yaitu 54,00 % dan pola kunjungannya juga bergeser dimana siswa yang berkunjung ke perpustakaan banyak di sekali dalam satu minggu sampai dua kali dalam seminggu. Persentase siswa SMA yang berkunjung ke perpustakaan umum lebih sedikit lagi yaitu hanya sekitar 48,00 %. Kelompok siswa SMA rata-rata berkunjung antara sebulan sekali sampai seminggu sekali. Seperti yang sudah disebutkan di awal laporan ini bahwa salah satu indikator tinggi rendahnya minat baca adalah korbanan waktu untuk datang ke perpustakaan (frekuensi).
103
Pada umumnya responden datang sendirian ke perpustakaan (84,35 %), dan hanya sebagian kecil mengajak isteri (5,32 %), dan membawa anak (10,33 %). Namun demikian mereka mengaku memberitahu orang lain bahwa di kota tempat mereka tinggal ada perpustakaan (87,58 %), dan hanya sebagian saja yang tidak memberitahu orang lain yaitu sebanyak 12,42 %.
Pedagang Dosen Siswa SD Siswa SMP Siswa SMU PNS Guru TNI/Polri Buruh Rata-rata persen
19,05 3,23 0,00 0,00 0,00 12,50 8,55 1,10 4,04 0,00 9,09 4,55 0,00 4,78
11,90 48,39 15,79 58,14 62,50 37,50 14,53 17,58 12,12 58,33 27,27 68,18 22,73 35,00
Alasan lain
Ibu Rumah Tangga
16,67 6,45 0,00 2,33 7,50 25,00 3,42 6,59 6,06 8,33 9,09 4,55 0,00 7,38
Malas
Petani/Nelayan
16,67 22,58 47,37 2,33 15,00 0,00 28,21 41,76 37,37 16,67 31,82 18,18 0,00 21,38
Tidak sering membaca
Pegawai Swasta
14,29 6,45 10,53 2,33 0,00 12,50 29,06 18,68 8,08 8,33 22,73 4,55 4,55 10,93
Tidak ada waktu karena sibuk
Mahasiswa
Koleksinya tidak pernah berganti
Bukunya tidak menarik dan sudah tua
Jaraknya terlalu jauh
Punya buku sendiri di rumah
Tabel 4.2.18 Alasan Responden Tidak Datang ke Perpustakaan
2,38 6,45 10,53 13,95 10,00 0,00 5,13 3,30 5,05 8,33 0,00 0,00 45,45 8,51
7,14 3,23 15,79 18,60 2,50 0,00 3,42 4,40 19,19 0,00 0,00 0,00 27,27 7,81
11,90 3,23 0,00 2,33 2,50 12,50 7,69 6,59 8,08 0,00 0,00 0,00 0,00 4,22
Dari responden yang jarang atau tidak datang ke perpustakaan (lihat tabel 4.2.18) diperoleh bahwa faktor kesibukan adalah alaan utama tidak datang ke perpustakaan (35,00 %). Alasan berikutnya adalah jarak perpustakaan terlalu jauh dari tempat tinggal mereka (21,38 %), dan mereka merasa punya buku sendiri di ruah (10,93 %). Alasan tidak sering membaca cukup besar yaitu 8,51 %. Selanjutnya pernyataan malas sebesar 7,81 %. Kemudian alasan berikutnya adalah buku tidak menarik (7,38 %), koleksinya tidak pernah berganti (4,78 %) dan karena alasan lain (4,22 %). Selain alasan kesibukan, maka alasan jarak merupakan alasan paling banyak dipilih oleh responden. Ini ada kaitannya dengan kemampuan mereka dalam menanggulangi ongkos 104
menggunakan angkutan umum yang menurut mereka tidak murah (rata-rata 87,62 % menyatakan tidak murah), hanya 12,38 % saja dari responden yang menyatakan bahwa ongkos angkutan umum di wilayah mereka termasuk murah. Kondisi jumlah angkutan umum sendiri menurut sebagian besar responden termasuk banyak (dinyatakan oleh 66,99 %). Untuk mengatasi masalah jarak antara pemukiman penduduk dengan lokasi perpustakaan umum maka perlu diperbanyak perpustakaan keliling, atau dengan kata lain mendekatkan perpustakaan kepada lokasi tempat tinggal pengguna perpustakaan. Saat ini sudah selain jumlah taman bacaan di Makassar sudah banyak didirikan keberadaan perpustakaan keliling berupa mobil keliling juga sudah dioperasikan, namun jumlahnya belum memadai dibandingkan dengan luas daerah dan jumlah penduduk yang akan dilayanain. Taman-taman bacaan masyarakat (TBM) yang sudah banyak dikembangkan khususnya baik yang dikembangkan oleh pemerintah maupun atas swadaya masyarakat dan dibina oleh suatu kelompok yang bernama GMGM. Untuk mengatasi masalah jarak ini maka keberadaan TBM perlu senantiasa dikembangkan. Perlu adanya perputaran koleksi antara TBM yang satu dengan TBM yang lain. Yang agak mengejutkan adalah alasan utama responden yang tidak datang ke perpustakaan dengan alasan tidak ada waktu karena sibuk. Jika alasan ini dikemukakan oleh responden yang berprofesi
seperti pedagang dan sejenisnya mungkin dapat
dimengerti, namun bila alasan ini dinyatakan oleh kelompok mahasiswa dan pelajar maka sepertinya alasan ini kurang dapat diterima dan terkesan dibuat-buat. Ini merupakan bukti bahwa minat baca yang ditunjukkan dengan frekuensi datang ke perpustakaan memang rendah. Beberapa responden memberi alasan bahwa tidak datang ke perpustakaan karena mereka memiliki koleksi buku sendiri di rumahnya. Tampaknya alasan ini dapat diterima. Namun bila dianalisis lebih mendalam, sesungguhnya sulit bagi seseorang atau individu yang memiliki kegemaran membaca yang tinggi dapat memenuhi sendiri segala kebutuhan bahan bacaannya. Untuk itu orang yang memiliki kegemaran membaca yang tinggi biasanya akan datang ke perpustakaan. Hal ini sesuai dengan pendapat Nasoetion (1992) yang menyatakan bahwa tidak ada seorangpun yang dapat mengumpulkan kepustakaan (buku) yang berhubungan dengan minatnya sebagai milik pribadi di rumah. Itulah sebabnya perpustakaan umum adalah sarana penunjang pengembang ilmu dan penelitian yang 105
sangat penting. Yang perlu disediakan di rumah hanyalah sumber-sumber rujukan yang diperlukan sewaktu-waktu2. Alasan bahwa responden sudah memiliki buku sendiri di rumahnya terkesan mengada-ada. Hal ini terlihat dari data kepemilikan buku dimana responden yang punya koleksi buku di rumahnya sedikit (di bawah 25 eksemplar) yaitu mencapai 85,68 %, dan yang memiliki buku dengan jumlah cukup banyak (diatas 25 eksemplar) hanya 14,32 %. Dengan demikian alasan tidak datang ke perpustakaan karena sudah memiliki koleksi buku sendiri di rumahnya menjadi kurang bermakna. Alasan ini kemudian malah memperkuat pernyataan bahwa minat dan kegemaran membaca masyarakat Indonesia, khususnya di lokasi penelitian yaitu Makassar, masih rendah. Antara umur dengan tingkat kepemilikan buku ternyata secara statistik ada korelasi yang cukup nyata yaitu sebesar 0,319 Ini berarti semakin tua umur seseorang maka cenderung memiliki buku yang lebih banyak. Hal ini ada kaitannya dengan kerelaan berkorban untuk membeli buku yang juga memiliki hubungan positif walaupun nilainya sangat lemah yaitu dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,151. Artinya, walaupun hubungan tersebut lemah, bertambahnya umur akan berpengaruh terhadap kerelaan berkorban untuk membeli buku.
4.2.4 Hubungan Tingkat Penghasilan terhadap Lama Membaca Pada masyarakat yang mempunyai kegemaran membaca yang tinggi, maka membeli buku untuk memuaskan dirinya dalam hal memenuhi bahan bacaan akan selalu dilakukan. Oleh karena itu asumsi sementara adalah semakin tinggi penghasilan seseorang maka akan semakin tinggi kegiatan membacanya yang ditandai dengan semakin tingginya korbanan waktu mereka dalam membaca.
2
Andi Hakim Nasoetion. Panduan Berpikir dan Meneliti Secara Ilmiah bagi Remaja. Jakarta: Grasindo, 1992. hal 62. 106
Tabel 4.2.19 Hubungan antara pendapatan dengan lama membaca
Tingkat Penghasilan
Jumlah jam membaca rata‐rata 1‐2 j/mg 2‐3 j/mg 3‐4 j/mg < 1 j/hr 1‐2 j/hr 2‐3 j/hr > 3 j/hr
< 500 rb (65 resp)
4
4
2
27
14
7
7
500 ‐ 1 jt (88 resp)
0
2
1
20
24
8
33
lbh 1 jt ‐ 1,5 jt (84 resp)
3
2
3
15
23
7
31
lbh 1,5 jt ‐ 2,5 jt (112 resp)
2
0
1
24
45
10
30
lbh 2,5 jt ‐ 3,5 jt (56 resp)
0
1
2
16
29
7
1
lbh 3,5 ‐ 4,5 jt (18 resp)
0
3
1
2
4
5
3
> 4,5 jt (14 resp)
0
1
0
0
4
4
5
Total
9
13
10
104
143
48
110
Gambar 4.2.14 Grafik Hubungan antara Pendapatan dengan Lama Membaca Responden Makassar
Dari tabel dan grafik di atas dapat dilihat bahwa pola membaca dari beberapa kelompok penghasilan menunjukkan pola yang hampir sama dimana pada semua kelompok penghasilan sebagian besar responden membaca selama kurang lebih 1 jam setiap hari. Jika besarnya penghasilan berpengaruh kepada lamanya membaca, 107
seharusnya grafik orang yang berpengasilan rendah akan bergerak dari rendah ke tinggi dan sebaliknya yang berpenghasilan tinggi akan bergerak dari tinggi ke rendah. Namun kenyataannya tidak demikian. Semua garis menunjukkan pola yang sama yaitu bergerak dari rendah pada kelompok orang yang kebiasaan membacanya rendah (lama membaca lebih dari 1-2 jam per minggu), naik pada kelompok orang yang kebiasaan membacanya sedang (lama membaca sekitar 1 jam per hari), dan bergerak turun lagi pada kelompok orang yang durasi membacanya tinggi (lama membacanya lebih dari 3 jam per hari). Hanya pada kelompok orang yang berpenghasilan antara 3,5 sampai 4,5 juta per bulan yang memperlihatkan gambaran seperti yang kita harapkan yaitu sebagian besar responden membaca lebih dari 3 jam setiap hari. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sebagian besar responden melakukan kegiatan membaca selama kurang lebih 1 jam setiap hari. Ini merupakan indikasi bahwa besarnya penghasilan ternyata tidak berpengaruh kepada kegiatan membaca. Namun berdasarkan analisis data yang lebih akurat menggunakan uji statistik Rank Spearman dengan alat hitung SPSS didapat hasil pengolahan seperti berikut: Tabel. 4.2.20 Korelasi pendapatan terhadap durasi membaca Durasi membaca Spearman's
Pendapatan
rho
Correlation Coefficient
,253(**)
Sig. (2-tailed)
,000
N
355
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Tabel 4.2.21 Korelasi pendapatan terhadap frekuensi membaca Frekuensi membaca Spearman's
Pendapatan
rho
Correlation Coefficient
,086
Sig. (2-tailed)
,181
N
245
Hasil uji statistik diatas menunjukkan bahwa ada korelasi antara pendapatan responden dengan durasi membaca walau sangat kecil yaitu yaitu 0,253 pada tingkat kepercayaan 0,01. Namun tidak ada koralesi nyata antara tingkat pendapatan dengan frekuensi membaca responden. 108
4.2.5 Hubungan Pendidikan terhadap Lama Membaca Salah satu hal yang diduga mempunyai hubungan dengan minat baca yang ditandai dengan lamanya membaca (durasi), frekuensi membaca yang ditandai dengan frekuensi datang ke perpustakaan, serta korbanan untuk memperoleh bahan bacaan yang ditandai dengan membeli buku dan jumlah kepemilikan buku adalah tingkat pendidikan masyarakat. Tabel 4.2.22 Hubungan antara Pendidikan dengan Lama Membaca Jumlah jam membaca rata-rata Jumlah
> 3 jam/hr
2 - 3 jam/hr
1 - 2 jam/hr
< 1 jam/hr
3-4 jam/mg
jml
jml
jml
Responden
jml
(%)
jml
Tdk tamat SD
208
28
13,5
24
11,5
83
39,9
55
26,4
8
3,9
4
1,9
6
2,9
25
5
20,0
2
8,0
6
24,0
10
40,0
0
0,0
1
4,0
1
4,0
Tamat SLTP
133
72
54,1
8
6,0
21
15,8
26
19,6
1
0,8
3
2,3
2
1,5
Tamat SLTA
156
19
12,2
26
16,7
58
37,2
37
23,7
7
4,5
9
5,8
0
0,0
Diploma
35
11
31,4
4
11,43
11
31,4
9
25,7
0
0,0
0
0,0
0
0,0
Sarjana
64
4
6,3
12
18,8
22
34,4
21
32,8
3
4,7
0
0,0
2
3,1
8
0
0
1
12,5
3
37,5
4
50,0
0
0,0
0
0,0
0
0,0
629
139
1,37
77
0,85
204
2,20
162
2,18
19
0,14
17
0,14
11
0,12
Pascasarjana Total
(%)
(%)
(%)
jml
(%)
1-2 jam/mg
Pendi-dikan
Tamat SD
(%)
2-3 j/mg
jml
(%)
Gambar 4.2.15 Sebaran Rata‐rata Lama Membaca berdasarkan Latar Belakang Pendidikan 109
Tabel 4.2.15 di atas memperlihatkan rata-rata responden membaca antara kurang dari satu jam per hari sampai dua jam per hari. Hal ini menunjukkan bahwa dari yang tidak tamat SD sampai responden yang berpendidikan pascasarjana tidak banyak membaca lebih dari 3 jam sehari. Padahal ukuran seseorang yang termasuk rajin membaca atau mempunyai minat baca tinggi untuk mahasiswa (dalam hal ini termasuk diploma sarjana dan pasca sarjana) adalah membaca antara 3 jam sampai 3,5 jam setiap hari (Razak, 2004). Sedangkan yang dikategorikan sangat rajin atau mempunyai minat baca tinggi untuk kelompok ini adalah yang membaca lebih dari 3,5 jam setiap hari. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa mayoritas kelompok lulusan perguruan tinggi di lokasi penelitian termasuk memiliki minat baca yang kurang atau menurut Razak (2004) termasuk malas membaca, yaitu membaca antara 2,5 sampai 3 jam dan bahkan ada yang sangat malas karena membaca kurang dari 2,5 jam setiap hari. Gambar … menegaskan bahwa kelompok mahasiswa sebagian besar (53,0 %) membaca antara 1 – 2 jam setiap hari, dan membaca kurang dari 1 jam setiap hari (18,1 %). Hal ini menunjukkan bahwa kelompok mahasiswa di lokasi penelitian memiliki minat baca rendah atau sangat malas membaca. Jika kita hanya mengelompokkan dua kelompok saja mengenai membaca ini yaitu memiliki minat baca yang tinggi dan dan memiliki minat baca yang rendah, maka kelompok mahasiswa sebagian besar (75,9 %) memiliki minat baca yang rendah, dan hanya 24,1 % saja yang memiliki minat baca tinggi.
110
Gambar 4.2.16 Grafik Hubungan Beberapa Indikator dengan Minat Baca Kelompok Mahasiswa
Korbanan untuk membeli buku bagi mahasiswa juga tidak terlalu tinggi. Jumlah mahasiswa yang membeli buku kurang dari Rp. 50.000,- setiap bulan cukup tinggi (46,8 %) dan yang berbelanja buku antara Rp. 50.000,- - Rp 100.000,- juga cukup tinggi (32,9 %). Sedangkan yang berbelanja lebih dari Rp. 100.000,- sangat sedikit (18,5 %). Dari aspek kepemilikan buku pada responden mahasiswa juga tidak memberikan gambaran yang menggembirakan. Sebagian besar mahasiswa memiliki buku antara 0 – 10 judul buku (64,7 %), memiliki buku antara 10 – 25 judul (23,2 %), memiliki buku antara 25 – 50 judul buku (3,0 %), 50 – 100 judul buku (5,0 %), dan ada juga yang meiliki koleksi buku di atas 100 judul (4,02 %). Logikanya, jika mereka tidak membeli buku sehingga mereka tidak memiliki koleksi buku di rumahnya, maka mereka akan ke perpustakaan untuk memenuhi kebutuhan bacaannya. Namun, kenyataan ini tidak terjadi. Sebagian besar mahasiswa hanya berkunjung ke perpustanaan umum sebanyak antara satu kali sampai dua kali seminggu (70,9 %). Jumlah yang berkunjung ke perpustakaan umum setiap hari tidak banyak yaitu hanya 13, 9 %. Yang mengherankan adalah masih ada mahasiswa yang jarang datang ke perpustakaaan umum yaitu berkunjung sekali sebulan (10,1 %), berkunjung sekali setiap tiga bulan (1,3 %), berkunjung sekali setiap enam bulan (1,3 %), dan berkunjung sekali setiap satu tahun (2,5 %). Untuk lulusan SMA atau SLTA sebagian besar responden membaca antara kurang dari satu jam dan antara 1 sampai 2 jam setiap hari. Hal ini juga dapat dikatakan sebagian besar responden memiliki minat baca yang kurang atau menurut Razak (2004) malas membaca (76,5 % membaca kurang dari 2 jam per hari). Ukuran rajin membaca 111
bagi siswa SMU menurut Razak adalah mereka yang membaca antara dua jam sampai 2,5 jam setiap hari, sedangkan membaca antara 1,5 jam sampai dua jam setiap hari termasuk kategori malas, apalagi yang kurang dari 1,5 jam setiap hari dimasukkan dalam kategori sangat malas. Namun demikian ada sebagian responden yang termasuk kategori rajin membaca bahkan sangat rajin membaca dimana mereka membaca lebih dari 2 jam dan lebih dari 3 jam setiap hari (16,7 % responden membaca lebih dari 2 jam dan bahkan lebih dari 3 jam setiap hari sebesar 6,8 % responden). Ukuran sangat rajin membaca bagi siswa SMU adalah membaca lebih dari 2,5 jam setiap hari. Grafik pada gambar 4.3.18 memperlihatkan gambaran minat baca siswa SMA.
Gambar 4.2.17 Grafik Hubungan Beberapa Indikator dengan Minat Baca Kelompok Siswa SLTA
Dari besarnya dana yang dianggarkan untuk belanja buku tiap bulannya juga tidak menampakkan minat terhadap membaca yang tinggi. Pada umumnya responden kelompok ini berbelanja buku kurang dari Rp. 50.000,- per bulan (67,3 %), dan antara Rp. 50.000,- sampai Rp. 100.000,- (21,2 %). Sedangkan yang berbelanja buku lebih dari 112
Rp.100.000,- tiap bulan hanya sebesar 11,6 % responden. Dari aspek kepemilikan buku juga menunjukkan hal yang sama, yaitu minat baca responden belum tinggi. Responden kelompok ini sebagian besar memiliki koleksi buku kurang dari 10 judul (79,1 % diantaranya tidak memiliki buku sama sekali sebesar 29,1 %). Sedangkan yang memiliki buku antara 10 sampai 25 judul hanya sebesar 14,9 %. Apalagi yang memiliki koleksi buku lebih dari 25 judul yaitu hanya sebesar 6,0 %. Walaupun tingkat kepemilikan buku mereka rendah dan kemauan untuk membeli buku rendah, kunjungan ke perpustakaan umumpun menunjukkan persentase yang rendah yaitu mayoritas responden berkunjung ke perpustakaan sekali dalam se minggu (33,3 %), sekali dalam sebulan (25,0 %). Sedangkan yang berkunjung dua kali dalam seminggu hanya 15,3 %, apalagi yang berkunjung tiap hari ke perpustakaan umum yang hanya 2,8 %. Bahkan ada yang lebih jarang lagi dari sekali sebulan yaitu sekali dalam tiga bulan (5,6 %), sekali dalam enam bulan (5,6 %), dan yang hanya sekali dalam satu tahun (12,5 %). Untuk lulusan SMP membaca antara 1 sampai 2 jam setiap hari termasuk memiliki minat baca antara sedang sampai tinggi. Menurut Razak (2004) ukuran rajin membaca bagi SLTP adalah antara 1,25 jam sampai 1,5 jam per hari. Oleh karena itu lulusan SLTP di lokasi penelitian termasuk memiliki minat baca antara sedang atau rajin membaca sampai tinggi atau sangat rajin membaca (70,1 %), sedangkan sisanya berada pada posisi malas membaca dan bahkan malas sekali membaca. Grafik pada gambar 4.3.19 memberikan gambaran lebih spesifik mengenai minat baca kelompok siswa SLTP. Pada gambar tersebut kelompok siswa yang membaca antara 1 – 2 jam menduduki posisi terbanyak yaitu 53,5 %. Artinya kelompok siswa SLTP di lokasi penelitian termasuk yang memiliki minat baca antara sedang sampai tinggi (rajin membaca). Bahkan sebanyak 16,7 % responden kelompok ini memiliki minat baca yang tinggi atau sangat rajin membaca. Hanya 29,9 % responden yang termasuk malas membaca.
113
Gambar 4.2.18 Grafik Hubungan Beberapa Indikator dengan Minat Baca Kelompok Siswa SLTP
Jika salah satu ukuran minat baca adalah korbanan biaya untuk membeli buku, maka kelompok responden ini tidak jauh berbeda dengan kelompok responden SMA maupun mahasiswa dimana mayoritas mereka berbelanja buku kurang dari Rp. 50.000,- dalam sebulan (67,2 %), dan antara Rp.50.000,- sampai Rp.100.000,- dalam sebulan (19,8 %), sedangkan sisanya mengaku berbelanja buku lebih dari Rp.100.000,setiap bulan (13,0 %). Dari sisi kepemilikan buku juga sama yaitu tidak menunjukkan minat yang tinggi teradap membaca. Mayoritas responden memiliki buku kurang dari 10 judul (82,5 %), memiliki buku antara 10 sampai 25 judul (9,5 %), dan memiliki buku lebih dari 25 judul (8,1 %). Yang agak menggembirakan adalah kunjungan mereka ke perpustakaan umum. Mayoritas responden kelompok ini berkunjung ke perpustakaan antar sekali dalam seminggu sampai dua kali dalam seminggu (64,2 %), dan bahkan ada yang tiap hari berkunjung ke perpustakaan (12,3 %). Hanya 16,7 % responden saja yang
114
mengaku jarang berkunjung ke perpustakaan dimana mereka mengaku berkunjung antara sekali dalam tiga bulan sampai hanya sekali dalam satu tahun. Kelompok responden tamat SD dan tidak tamat SD juga berada pada posisi membaca antara 1 – 2 jam per hari. Oleh karena ukuran rajin dan tidaknya membaca bagi siswa SD semakin turun dibandingkan dengan SLTP, SLTA maupun mahasiswa, maka kelompok ini termasuk yang rajin membaca, yaitu berada pada kisaran membaca antara 45 menit sampai satu jam (Razak, 2004), dan bahkan berada di atas satu jam dimana menurut Razak termasuk yang sangat rajin membaca. Grafik pada gambar .. berikut memberikan gambaran yang lebih jauh mengenai minat baca siswa SD. Sebagian besar (47,1 %) responden kelompok siswa SD mengaku membaca antara 1 – 2 jam setiap hari, dan ini termasuk kepada kelompok yang mempunyai minat baca yang tinggi. Bahkan 19,8 % termasuk yang memiliki minat baca sangat tinggi. Hanya 33,2 % siswa SD yang memiliki minat baca antara rendah sampai sedang. Menurut Razak (2004) siswa SD yang termasuk malas membaca adalah mereka yang membaca kurang dari 30 menit setiap hari.
115
Gambar 4.2.19 Grafik Hubungan Beberapa Indikator dengan Minat Baca Kelompok Siswa SD
Jika dilihat dari korbanan biaya untuk membeli buku, tingkat kepemilikan buku serta kunjungangan ke perpustakaan, maka kelompok responden SD tidak banyak berbeda dengan kelompok responden lainnya dimana korbanan biaya untuk membeli buku berada pada kurang dari Rp. 50.000,- setiap bulan, kepemilikan buku berada pada jumlah di bawah 10 judul buku. Namun demikian untuk kunjungan ke perpustakaan umum, kelompok ini agak mirip dengan kelompok siswa SMP, bahkan lebih baik, dimana frekuensi berkunjung mereka ke perpustakaan dapat dikatakan lumayan sering yaitu antara sekali dalam seminggu sampai setiap hari (58,3 %). Yang berkunjung sekali dalam sebulan sebesar 22,5 %. Sisanya mengaku jarang berkunjung ke perpustakaan (18,1 %). Tabel 4.2.23 Hubungan antara Pendidikan dengan Besarnya Biaya Belanja Buku
Pendidikan Terakhir Responden Tdk tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat Diploma
Jml
Jumlah biaya berbelanja buku responden 50rb‐ <50 rb 100rb
100rb‐ 200rb
200rb‐ 300rb
400rb‐ 500rb
>500rb
14
12
5
0
3
2
1
%
37,8
32,4
13,5
0,0
8,1
5,4
2,7
Jml
148
62
20
3
4
0
4
%
61,4
25,7
8,3
1,2
1,7
0,0
1,7
75
37
7
0
3
0
1
61,0
30,1
5,7
0,0
2,4
0,0
0,8
58
42
10
2
1
1
1
50,4
36,5
8,7
1,7
0,9
0,9
0,9
15
17
4
2
0
0
0
39,5
44,7
10,5
5,3
0,0
0,0
0,0
Jml % Jml Resp % Jml %
116
300rb‐ 400rb
Pendidikan Terakhir Responden Tamat S1 Tamat S2‐S3 Total
Jumlah biaya berbelanja buku responden 50rb‐ <50 rb 100rb
Jml % Jml %
100rb‐ 200rb
200rb‐ 300rb
300rb‐ 400rb
400rb‐ 500rb
>500rb
25
31
15
10
9
2
0
27,2
33,7
16,3
10,9
9,8
2,2
0,0
1
3
0
2
0
2
0
12,5
37,5
0,0
25,0
0,0
25,0
0,0
Jml
336
204
61
19
20
7
7
%
51,4
31,2
9,3
2,9
3,1
1,1
1,1
Gambar 4.2.20 Grafik Hubungan Tingkat Pendidikan terhadap Belanja Buku Tabel 4.3.24 Hubungan antara Pendidikan dengan Jumlah Pemilikan Buku Pendidikan Responden Jml resp % Jml resp Tamat SD % Jml resp Tamat SMP % Jml resp Tamat SMA % Jml resp Tamat Diploma % Tdk tamat SD
0 17 51,5 73 26,4 38 23,2 65 36,7 4 9,3
Jumlah responden memiliki buku < 10 10‐25 25‐50 50‐75 75‐100 >100 10 5 1 0 0 0 30,3 15,2 3,0 0,0 0,0 0,0 120 55 16 8 2 2 43,5 19,9 5,8 2,9 0,7 0,7 72 41 9 0 4 0 43,9 25,0 5,5 0,0 2,4 0,0 45 36 17 7 2 5 25,4 20,3 9,6 4,0 1,1 2,8 13 16 6 2 0 2 30,2 37,2 14,0 4,7 0,0 4,7 117
Pendidikan Responden Tamat S1 Tamat S2‐S3 Total
0 Jml resp 6 % 5,7 Jml resp 0 % 0,0 Jml resp 203 % 25,2
Jumlah responden memiliki buku < 10 10‐25 25‐50 50‐75 75‐100 >100 16 30 18 10 15 11 15,1 28,3 17,0 9,4 14,2 10,4 0 2 0 0 3 2 0,0 28,6 0,0 0,0 42,9 28,6 276 185 67 27 26 22 34,2 23,0 8,3 3,3 3,2 2,7
Gambar 4.2.21 Grafik Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Pemilikan Buku
Tingkat pendidikan memang berkorelasi positif terhadap korbanan responden untuk membeli buku dan tingkat kepemilikan buku dengan nilai koefisein korelasi masing-masing sebesar 0,186 dan 0,3. Khusus untuk tingkat kepemilikan buku ternyata antara tingkat pendidikan dengan kepemilikan buku hubungannya lumayan tinggi. Dari tabel 4.3.21 dapat terlihat bahwa semakin tinggi pendidikan responden semakin banyak responden yang memiliki buku dalam jumlah besar dan semakin sedikit responden yang tidak punya koleksi buku pribadi.
118
Tabel 4.3.25 Hubungan antara Pendidikan dengan Frekuensi Kunjung ke perpustakaan Jumlah kunjungan responden ke perpustakaan
Pendidikan Responden Tdk tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat Diploma Tamat S1 Tamat S2‐S3 Total
1x/th 1x/6bln 1x/3bln 1x/bln 1x/mg 2x/mg 1X/h Jml resp
0
0
1
0
2
4
0
%
0,0
0,0
14,3
0,0
28,6
57,1
0,0
Jml resp
14
4
9
21
53
56
20
%
7,9
2,3
5,1
11,9
29,9
31,6
11,3
Jml resp
10
1
5
20
14
12
4
15,2
1,5
7,6
30,3
21,2
18,2
6,1
5
2
8
21
35
22
31
4,0
1,6
6,5
16,9
28,2
17,7
25,0
1
1
0
3
13
9
10
2,7
2,7
0,0
8,1
35,1
24,3
27,0
3
1
0
15
32
26
14
3,3
1,1
0,0
16,5
35,2
28,6
15,4
0
0
0
0
3
3
1
%
0,0
0,0
0,0
0,0
42,9
42,9
14,3
Jml resp
33
9
23
80
152
132
80
%
6,5
1,8
4,5
15,7
29,9
25,9
15,7
% Jml resp % Jml resp % Jml resp % Jml resp
Gambar 4.2.22 Grafik Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Frekuensi Kunjung ke Perpustakaan
Pada
hubungan
antara
pendidikan
dengan
frekuensi
berkunjung
ke
perpustakaan malah negatif dengan nilai koefisien korelasi sebesar -0,200. Artinya, 119
walaupun hubungannya sangat lemah, semakin tinggi pendidikan seseorang akan semakin jarang datang ke perpustakaan. Dengan kondisi perpustakaan yang belum dapat memuaskan pelanggannya, maka hal ini dapat dimengerti. Kemudian kebutuhan bahan bacaan tersebut dipenuhi dengan cara membeli sehingga tingkat kepemilikan, bagi kelompok tertentu, juga menjadi tinggi. Berdasarkan analisis data yang lebih akurat menggunakan uji statistik Rank Spearman dengan alat hitung SPSS untuk mengukur hubungan antara tingkat pendidikan dengan durasi membaca responden didapat hasil pengolahan bahwa tidak terdapat korelasi nyata antara tingkat pendidikan dengan durasi membaca sbagaimana ditunjukkan pada tabel berikut berikut: Tabel 4.2.26 Korelasi Pendidikan terhadap Durasi Membaca Durasi membaca Spearman's rho
Pendidikan
Correlation Coeficient
-,068
Sig. (2-tailed)
,052
N
824
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
4.2.6 Bahan Bacaan yang Disukai Responden Menurut Razak (2004) yang lebih penting dalam mengukur lama membaca seseorang adalah proses yang mendorong kegiatan membaca seseorang dimana kegiatan membaca tersebut didorong oleh keinginan atau motivasi yang keluar dari dirinya, bukan karena dipaksa seperti disuruh oleh guru atau merupakan kewajiban dari sekolah. Lebih jauh Razak menyatakan dalam mengukur waktu membaca adalah: “Waktu yang dicatat hanyalah waktu yang digunakan untuk membaca buku di luar lingkungan sekolah, seperti di rumah, perpustakaan (bukan perpustakaan sekolah), toko buku, pameran buku, rumah teman, atau tempat-tempat lainnya.” Untuk mempermudah dalam memperoleh jenis bacaan yang dibaca oleh responden maka penelitian ini mengelompokkan bahan bacaan kedalam empat macam saja yaitu koran, majalah, buku dan komik. Responden dapat memilih lebih dari satu jenis bahan bacaan. Hasil dari survey ini menunjukkan bahwa buku merupakan bahan bacaan paling banyak dibaca menyusul koran, kemudian majalah dan terakhir adalah komik (lihat tabel 4.2.20). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebagian besar
120
responden memilih bacaan yang serius atau responden tersebut membaca dalam arti yang sebenarnya yaitu untuk menimba ilmu dari bahan bacaan yang dibacanya. Sedangkan pegawai swasta dan pedagang agak mengherankan ternyata mereka pun lebih banyak membaca buku dibandingkan dengan koran dan majalah. Ibu rumah tangga memilih koran dan majalah sebagai bacaan yang lebih disukainya. Hal ini dapat dimengerti karena sebagian besar ibu rumah tangga membaca untuk mendapatkan bacaan hiburan sehingga mereka memilih koran (termasuk tabloit) dan majalah hiburan. Kelompok dosen memilih tiga kelompok bahan bacaan yaitu buku, majalah dan koran secara berimbang dan hampir tidak membaca komik. Hal ini wajar karena sebagai dosen mereka harus terus memperbaharui pengetahuannya melalui ketiga kelompok bahan bacaan tersebut. Siswa SD dan SLTP lebih banyak membaca buku dibandingkan dengan ketiga bahan bacaan lain. Diduga buku yang mereka baca adalah kelompok buku-buku cerita atau dongeng. Mereka juga membaca komik lebih banyak dibandingkan dengan membaca koran dan majalah. Siswa SMU juga lebih banyak membaca buku dibandingkan dengan jenis bacaan lain, sedangkan secara berimbang mereka senang membaca koran dan majalah. Kelompok pegawai swasta, guru, TNI/POLRI, serta buruh juga menurut data penelitian lebih banyak membaca buku dibandingkan dengan bahan bacaan lainnya. Pegawai negeri sipil memilih bahan bacaan koran lebih banyak daripada jenis bahan bacaan lain, demikian pula dengan guru yang sedikit lebih senang baca koran dibandingkan dengan buku dan majalah. Memang sangat sedikit guru yang senang baca komik. Tabel 4.2.27 Bahan bacaan yang dibaca oleh responden
Koran
Komik
Mahasiswa
61
49
82
21
Pegawai Swasta
12
6
44
33
Petani/Nelayan
3
4
12
6
Ibu Rumah Tangga
50
44
42
17
Pedagang
19
20
53
28
Dosen
24
14
23
1
Siswa SD
48
33
130
80
121
Majalah Buku
Koran
Majalah Buku
Komik
Siswa SMP
63
45
112
62
Siswa SMU
65
66
84
51
PNS
124
73
116
15
Guru
32
19
27
7
TNI/Polri
16
23
42
26
Buruh
8
1
9
4
Total
525
397
776
351
25,62%
19,38%
37,87%
17,13%
%
Informasi tentang jenis bacaan yang digemari berbagai kelompok profesi ini dapat membantu perpustakaan menentukan jenis bacaan yang disediakan untuk kalangan utama pembacanya. Tabel 4.2.28 Durasi membaca Koran, majalah dan buku
Baca Koran Baca Majalah Baca Buku
> 3 jam 2 – 3 jam 1 – 2 jam < 1 jam 3 – 4 jam 2 – 3 jam 1 – 2 jam per hari per hari per hari per hari per minggu per minggu per minggu 15 2,21% 8 5,80% 15 9,62%
24 3,54% 7 5,07% 20 12,82%
218 32,15% 38 27,54% 59 37,82%
357 52,65% 65 47,10% 56 35,90%
14 2,06% 4 2,90% 2 1,28%
18 2,65% 3 2,17% 1 0,64%
32 4,72% 13 9,42% 3 1,92%
Kegiatan membaca koran dilakukan kurang dari satu jam setiap hari oleh sebagian besar responden (62,09 %), dan antara 1 – 2 jam setiap hari (32,15 %). Namun ada juga yang membaca koran lebih dari 2 jam setiap hari yaitu antara 2 – 3 jam (3,54 %), bahkan lebih dari 3 jam setiap hari (2,21 %). Hal ini tidak lazim dilakukan. Hal yang sama terjadi pada membaca majalah yaitu rata-rata responden membaca majalah antara kuran dari satu jam sampai 2 jam setiap hari (61,59 %). Membaca majalah lebih dari dua atau bahkan lebih dari 3 jam setiap hari tidak biasa dilakukan orang. Sebaliknya, membaca buku biasanya dilakukan lebih lama dibandingkan dengan membaca koran dan majalah. Kelompok orang yang membaca buku lebih dari 1 jam 122
setiap hari ternyata cukup besar yaitu sebesar 60,26 % dan yang membaca buku kurang dari 1 jam setiap hari sebesar 39,74 %.
Gambara 4.2.23 Grafik Gambaran Jenis Bacaan yang Digemari Responden
Bahan bacaan yang paling populer adalah bacaan agama yang dipilih oleh 503 responden, diikuti dengan bacaan kelompok buku ilmu pengetahuan yang dipilih oleh 486 responden, kemudian bacaan pengetahuan populer oleh 207 responden, bacaan lain-lain dipilih oleh 168 responden, dan terakhir dan paling sedikit adalah buku-buku fiksi. Pada kolom lain-lain responden umumnya menulis novel, cerpen. komik, dongeng, Fakta ini menunjukkan bahwa masyarakat, khususnya di lokasi penelitian, tidak begitu menyukai fiksi/sastra oleh 160 responden. Hal ini memperkuat pernyataan Taufik Ismail yang menyatakan bahwa sejak tahun 1943 sekolah-sekolah SMA di Indonesia tidak pernah mewajibkan siswanya membaca buku-buku sastra. Dikatakan demikian oleh Taufik Ismail karena di sekolah-sekolah SMA buku sastra (1) tak disebut di kurikulum, (2) dibaca hanya ringkasannya, (3) siswa tak menulis mengenainya, (4) tidak ada di perpustakaan sekolah, dan (5) tidak diujikan3. Jika siswa diberi tugas wajib 3
Taufik Ismail (2005). Tragedi Nol Buku Tragedi Kita Bersama. Makalah Rapat Kerja Nasional Ikatan Pustakawan Indonesia, Hotel Mutiara Merdeka, Pekanbaru, tanggal 31 Mei 2005. 123
untuk membaca buku sastra, maka diharapkan hal ini mendorong siswa tersebut untuk membaca karya-karya sastra yang lain. Untuk membaca buku, sebagian besar responden mengaku membeli (67,6 %), diikuti dengan meminjam dari meminjam dari teman (37,6 %), perpustakaan umum (36,3 %), dan meminjam dari kantor atau pejabat pemerintah (8,5 %). Tabel 4.2.29 Gambaran perolehan buku responden sebagai bahan bacaan
Membeli
Meminjam dari Teman
Meminjam dari Kantor/Pejabat/aparat pemerintah
Perpustakaan Umum
Mahasiswa
61
66
8
54
Pegawai Swasta
28
21
4
10
Petani/Nelayan
11
18
0
6
Ibu Rumah Tangga
37
16
4
22
Pedagang
28
11
5
6
Dosen
22
16
9
14
Siswa SD
136
24
5
69
Siswa SMP
103
56
2
62
Siswa SMU
93
96
4
32
PNS
31
21
15
37
Guru
37
15
5
13
TNI/Polri
21
12
8
5
Buruh
9
3
1
7
617
375
70
337
66,56%
40,45%
7,55%
36,35%
Jumlah % dr sampel
Data tabel 4.2.21 menunjukkan bahwa peran perpustakaan umum belum optimal sebab belum banyak responden yang memanfaatkan perpustakaan untuk memenuhi kebutuhan bahan bacaannya. Padahal usaha Pemerintah Provinsi sudah sangat gencar dilakukan misalnya melalui Gerakan Makassar Gemar Membaca GMGM) yang dicanangkan oleh Walikota Makassar Ir.H. Ilham Arief Sirajuddin sejak tanggal 05 Juni 2006. GMGM merupakan salah satu program Pemerintah Kota Makassar, yang bertujuan meningkatkan minat baca dengan program antara lain pendirian rumah baca atau Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Untuk tahap awal sudah didirikan di setiap 124
kecamatan di Makassar, juga yang didirikan masyarakat secara swadaya. Pada tahun 2007 semakin gencar dilakukan berbagai kegiatan yang mendukung tercapainya tujuan dicanangkannya GMGM. Kepedulian Pemerintah Kota Makasssar dalam mengembangkan minat baca masyarakat sesungguhnya sudah tampak, terutama dalam menggerakkan pengusaha dan komponen masyarakat lainnya untuk berpartisipasi dalam mengembangkan minat baca masyarakat. Bahkan Walikota Makassar Ilham Arief Sirajuddin sempat mendapat penghargaan Nugra Jasadarma Puspataloka (NJP).
Nugra Jasadarma Puspataloka
adalah penghargaan atas prestasi Kota Makassar dalam peningkatan minat baca. Penghargaan dari Perpustakaan Nasional itu diserahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Penghargaan yang sama pada kesempatan yang sama juga diberikan kepada perorangan, pejabat dan instansi yang berperan nyata dalam meningkatkan minat baca masyarakat, misalnya Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan, Gubernur Riau Rusli Zainal, Wali Kota Malang Peni Suparto, Pimpinan Perpustakaan Prof Dr Doddy A Tisna Amidjaja Bandung, Dien Sardinah dan penulis Gola Gong dari Rumah Dunia, Serang, Banten, penerbit Serambi Ilmu Semesta, PT Bina Media Tenggara, LIPI Press, Gema Nada Pertiwi, Dirjen Pemberdayaan Masyarakat Departemen Dalam Negeri dan Badan Penasihat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Departemen Agama. Pemda Kota Makassar memang pemda belum memberikan anggaran secara khusus untuk program peningkatan minat baca masyarakat. Hal ini diakui oleh yang terhormat para anggota Komisi D DPRD Kota Makassar yang sempat diwawancarai di ruang kerja mereka di Gedung DPRD Kota Makassar.
Untuk saat ini baru
mengandalkan bantuan dana dan fasilitas dari perusahaan-perusahaan yang bergerak di kota Makassar. Namun Pemprov Sulsel mulai tahun 2007 sudah menganggarkan untuk membiayai 40 Taman Bacaan Masyarakat (TBM) yang sudah dirintis oleh Pemda Makassar. Sedangkan sisanya yaitu 8 TBM akan dibiayai oleh Pemda Makassar. Sebagian besar responden (78,43 %) tidak menjawab pertanyaan mengenai keberadaan perpustakaan umum atau taman bacaan di Kota Makassar.
Dari 200
responden yang menjawab pertanyaan ini, hanya 174 (87,0% dari yang menjawab atau 18,77 % dari keseluruhan sebanyak 927 responden) mengetahui bahwa ada perpustakaan atau taman bacaan umum di Kota Makassar. Sebanyak 9 responden (0,45 atau 0,97) yang menyatakan tidak ada perpustakaan atau taman bacaan di Kota 125
Makassar. Sisanya sebanyak 17 responden (0,85 atau 1,83 %) menyatakan tidak tahu mengenai keberadaan perpustakaan umum atau taman bacaan di Kota Makassar. Dari 174 orang responden yang tahu kalau di kota Makassar ada perpustakaan umum, hanya 102 (58,62 %) orang yang menyatakan pernah berkunjung ke perpustakaan umum atau taman bacaan tersebut. Frekuensi berkunjung ke perpustakaan umum yang paling banyak adalah dua kali dalam satu minggu dan sebulan sekali masing-masing 28 %, kemudian diikuti sekali dalam seminggu (26,4 %), lainnya rata-rata frekuensi kunjungan ke perpustakaan sangat jarang yaitu diatas tiga bulan sekali. Ada empat persen responden menyatakan berkunjung ke perpustakaan atau taman bacaan setiap hari. Dari tabel 4.2.22 dapat dilihat bahwa kelompok mahasiswa berkunjung ke perpustakaan satu sampai dua kali seminggu. Kunjungan mahasiswa ke perpustakaan umum lebih banyak bertujuan untuk memenuhi kebutuhan bacaan dalam kaitannya dengan penulisan tugas akhir mahasiswa, misalnya dalam penulisan skripsi. Hal ini dapat disebabkan karena mereka ingin menambah literatur yang sudah didapatkan di kampus mereka.
Gambar 4.2.24 Grafik Frekuensi Berkunjung ke Perpustakaan Umum 126
Tabel 4.2.30 Frekuensi Kunjungan ke Perpustakaan Berdasarkan Profesi Responden
1 X /hari 2 X /mg 1 X /mg 1 X /bln 1 X /3 bln 1 X /6 bln 1 X /th
Mahasiswa
1
37
19
8
1
1
1
Pegawai Swasta
2
2
6
13
4
0
2
Petani/Nelayan
0
0
6
4
3
1
1
Ibu Rumah Tangga
2
3
13
17
1
0
0
Pedagang
0
2
2
8
2
0
0
Dosen
0
3
6
8
0
0
4
Siswa SD
28
25
17
27
7
7
9
Siswa SMP
10
37
15
7
4
2
6
Siswa SMU
2
11
24
18
4
4
9
PNS
22
10
6
7
2
2
1
Guru
1
8
5
8
5
3
1
TNI/Polri
0
0
8
4
1
0
2
Buruh
0
1
0
0
1
3
0
68
139
127
129
35
23
36
Kunjungan siswa SD ke perpustakaan umum oleh 120
(22,43 %) dari total
responden dan sebagian besar berkunjung antara satu kali seminggu, dua kali seminggu, dan sekali sebulan, sisanya menyatakan jarang berkunjung ke perpustakaan yaitu dengan berkunjung antara satu kali tiga bulan dan bahkan ada yang berkunjung hanya satu kali saja dalam setahun. Pada kelompok siswa SMP persentase yang berkunjung ke perpustakaan umum rendah dari siswa SD yaitu hanya 81 (1514 %) dari total responden dengan pola kunjungannya juga bergeser dimana siswa yang berkunjung ke perpustakaan banyak di sekali dalam satu bulan sampai dua kali dalam seminggu. Persentase siswa SMA yang berkunjung ke perpustakaan umum malah lebih lagi yaitu hanya 72 responden atau hanya sekitar 13,46 %. Kelompok siswa SMA ratarata berkunjung antara sebulan sekali sampai seminggu dua kali. Seperti yang sudah disebutkan di awal laporan ini bahwa salah satu indikator tinggi rendahnya minat baca adalah korbanan waktu untuk datang ke perpustakaan (frekuensi). Pada umumnya responden datang sendirian ke perpustakaan (84,35 %), dan hanya sebagian kecil mengajak isteri (5,32 %), dan membawa anak (10,33 %). Namun 127
demikian mereka mengaku memberitahu orang lain bahwa di kota tempat mereka tinggal ada perpustakaan (87,58 %), dan hanya sebagian saja yang tidak memberitahu orang lain yaitu sebanyak 12,42 %.
7
8
5
1
3
5
Pegawai Swasta
2
7
2
1
15
2
1
1
Petani/Nelayan
2
9
0
0
3
0
2
3
Ibu Rumah Tangga
1
1
1
0
25
6
8
1
Pedagang
0
6
3
0
25
4
1
0
Dosen
1
0
2
1
3
0
0
0
Siswa SD
34
33
4
10
17
6
4
9
Siswa SMP
17
38
6
1
16
3
4
6
Siswa SMU
8
37
6
4
12
5
19
8
PNS
1
2
1
0
7
1
0
0
Guru
5
7
2
2
6
0
0
0
TNI/Polri
1
4
1
1
15
0
0
0
Buruh Jumlah
Alasan lain
Malas
Tidak ada waktu karena sibuk
7
Tidak sering membaca
Koleksinya tidak pernah berganti
6
Jaraknya terlalu jauh
Mahasiswa
Punya buku sendiri di rumah
Bukunya tidak menarik dan sudah tua
Tabel 4.2.31 Alasan Responden Tidak Datang ke Perpustakaan Umum
1
0
0
0
5
10
0
0
79 14,11%
151 26,96%
35 6,25%
28 5,00%
154 27,50%
38 6,79%
42 7,50%
33 5,89%
Dari responden yang jarang atau tidak datang ke perpustakaan (lihat tabel 4.2.23) diperoleh data bahwa tidak ada waktu karena sibuk menjadi alasan utama (27,50 %), kemudian jarak perpustakaan terlalu jauh dari tempat tinggal mereka (26,96 %), alasan karena sudah memiliki koleksi sendiri di rumah (14.11 %), malas (7,50 %), tidak sering membaca (6,79 %), bukunya tidak menarik dan sudah tua (6,25 %), koleksinya tidak pernah berganti (5,00 %) dan karena alasan lain (5,89 %) misalnya tidak ada keperluan, sulit prosedur pinjam buku, tidak punya kartu perpustakaan, . Alasan jarak merupakan alasan paling banyak dipilih oleh responden. Ini ada kaitannya dengan kemampuan mereka dalam membayar ongkos menggunakan angkutan umum yang menurut mereka tidak murah (rata-rata 87,62 % menyatakan mahal dan sedang),
128
hanya 7,93 % saja dari responden yang menyatakan bahwa ongkos angkutan umum di wilayah mereka termasuk murah. Kondisi jumlah angkutan umum sendiri menurut sebagian besar responden termasuk banyak (dinyatakan oleh 66,99 %). Untuk mengatasi masalah jarak, perlu diperbanyak perpustakaan keliling atau TBM (Taman Bacaan Masyarakat) yang saat ini di Kota Makassar sudah banyak didirikan, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Yang agak mengejutkan adalah adanya responden yang tidak datang ke perpustakaan dengan alasan tidak ada waktu karena sibuk. Jika alasan ini dikemukakan oleh responden yang berprofesi seperti pedagang dan sejenisnya mungkin dapat dimengerti, namun bila alasan ini dinyatakan oleh kelompok mahasiswa dan pelajar maka sepertinya alasan ini kurang dapat diterima dan terkesan dibuat-buat. Ini merupakan bukti bahwa minat baca yang ditunjukkan dengan frekuensi datang ke perpustakaan memang rendah. Beberapa responden memberi alasan bahwa tidak datang ke perpustakaan karena mereka memiliki koleksi buku sendiri di rumahnya. Nampaknya alasan ini dapat diterima. Namun bila dianalisa lebih mendalam, sesungguhnya sulit bagi seseorang yang memiliki kegemaran membaca yang tinggi dapat memenuhi kebutuhan bahan bacaannya. Untuk itu orang yang memiliki kegemaran membaca yang tinggi biasanya akan datang ke perpustakaan. Hal ini sesuai dengan pendapat Nasoetion (1992) yang menyatakan bahwa tidak ada seorangpun yang dapat mengumpulkan kepustakaan (buku) yang berhubungan dengan minatnya sebagai milik pribadi di rumah. Itulah sebabnya perpustakaan umum adalah sarana penunjang pengembang ilmu dan penelitian yang sangat penting. Yang perlu disediakan di rumah hanyalah sumbersumber rujukan yang diperlukan sewaktu-waktu4. Alasan yang dikemukakan ini terkesan mengada-ada, karena dari data kepemilikan buku, responden yang tidak punya koleksi buku di rumahnya cukup besar yaitu mencapai 24,33 %, dan kalau digabung dengan responden yang memiliki buku dengan jumlah sedikit (kurang 10) persentasinya mencapai mencapai 64,14 %. Dengan demikian sesungguhnya alasan tidak datang ke perpustakaan karena sudah memiliki koleksi buku sendiri di rumahnya menjadi kurang bermakna. 4
Andi Hakim Nasoetion. Panduan Berpikir dan Meneliti Secara Ilmiah bagi Remaja. Jakarta: Grasindo, 1992. hal 62. 129
4.2.7 Rangkuman Hubungan Karakteristik Responden dengan Minat Baca Secara ringkas pada tabel dan grafik berikut dapat dilihat hubungan karakteristik responden (umur, pendidikan, pendapatan) dengan minat baca (durasi membaca, frekuensi membaca dan korbanan) untuk Kota Makassar adalah sebagai berikut. Tabel 4.2. 32 Hubungan Karakteristik responden dengan Minat Baca Karakteristik Responden
Minat Baca Korbanan Beli buku Pemilikan buku
Durasi Baca
Frekuensi baca
‐0,106**
0,134**
0,151**
0,319**
Pendidikan
‐0,068
0,049
0,163**
0,367**
Pendapatan
0,253**
0,086
0,148*
0,484**
Umur
** Korelasi nyata pada α = 0,01 (uji dua arah). * Korelasi nyata pada α = 0,05 (uji dua arah).
Pada grafik berikut jelas tergambar hubungan korelasi yang dimaksud. MODEL:
MOD_1.
Independent:
MODEL:
durasi
Dependent Mth umur_1
LIN
MOD_2.
Independent:
Rsq
d.f.
F
Sigf
b0
b1
,008
822
6,45
,011
4,0360
-,1310
durasi
Dependent Mth pdptn_1
LIN
Rsq ,058
d.f. 353
Umur
F 21,80
Sigf ,000
b0 2,2809
b1 ,3109
Pendapatan Observed
7.00
Observed
7.00
Linear
Linear
6.00
6.00
5.00
5.00
4.00
4.00
3.00
3.00
2.00
2.00
1.00
1.00 1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
1.00
Durasi baca
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
Durasi baca
Grafik a. Plot data ordinal hubungan Karakteristik Personal terhadap Minat Baca komponen Umur dengan Durasi membaca, r = ‐ 0,106 berbeda nyata pada α = 0,01 (uji dua arah), ini berarti
Grafik b. Plot data ordinal hubungan Karakteristik Personal terhadap Minat Baca komponen Pendapatan dengan Durasi membaca, r = 0,253 berbeda nyata pada α = 0,01 (uji dua
semakin tinggi umur terdapat kecenderungan durasi membaca semakin menurun
arah). Ini berarti semakin besar pendapatan terdapat kecenderungan membaca semakin tinggi pula.
Gambar 4.2.25 Grafik Model Data Plot Umur dan Pendapatan terhadap Durasi Baca
130
MODEL:
MOD_3.
Independent:
frekuensi
Dependent Mth umur_1
LIN
Rsq
d.f.
F
Sigf
b0
b1
,009
553
5,17
,023
3,0096
,1084
Umur
Observed
7.00
Linear
6.00
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00 1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
Frekuensi baca
Grafik a. Plot data ordinal hubungan Karakteristik Personal terhadap Minat Baca komponen Umur dengan Frekuensi membaca, r = 0,134 berbeda nyata pada α = 0,01 (uji dua
arah). Ini berarti semakin tinggi umur terdapat kecenderungan frekuensi membaca semakin tinggi
Gambar 4.2.26 Grafik Model Data Plot Umur terhadap Frekuensi Baca ODEL:
MOD_4.
Independent:
beli buku
Dependent Mth
Rsq
d.f.
F
Sigf
b0
b1
umur_1
LIN
,011
660
7,39
,007
2,9465
,1800
pddkn_1
LIN
,011
660
7,12
,008
3,1167
,1766
Umur
Pendidikan
Observed
7.00
Linear
Linear
6.00
6.00
5.00
5.00
4.00
4.00
3.00
3.00
2.00
2.00
1.00
Observed
7.00
1.00 1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
1.00
Beli buku
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
Beli buku
Gambar 3a. Plot data ordinal hubungan Karakteristik Personal terhadap Minat Baca komponen Umur dengan Korbanan (beli buku), r = 0,151 berbeda nyata pada α = 0,01 (uji dua arah).
Gambar 3b. Plot data ordinal hubungan Karakteristik Personal terhadap Minat Baca komponen Pendidikan dengan Korbanan (beli buku), r = 0,163 berbeda nyata pada α = 0,01 (uji dua
Ini berarti semakin tinggi umur terdapat kecenderungan mengorbankan dana untuk beli buku semakin besar
arah). Ini berarti semakin tinggi pendidikan terdapat kecenderungan mengorbankan dana untuk beli buku semakin besar pula.
Gambar 4.2.27 Grafik Model Data Plot Umur dan Pendidikan terhadap Beli Buku
131
Dari tabel dan grafik diatas dapat disimpulkan hal-hal berikut: 1. Terdapat korelasi nyata negatif walau sangat kecil antara umur dengan durasi membaca.
Ini berarti makin tua umur seseorang, makin singkat durasi
membacanya. Ini mungkin berhubungan dengan daya tahan tubuh. 2. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara umur dengan frekuensi membaca. 3. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara umur dengan korbanan membeli bahan bacaan. 4. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara umur dengan korban pemilikan buku. 5. Terdapat korelasi nyata negatif walau kecil antara pendidikan dengan durasi membaca. 6. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendidikan dengan frekuensi membaca. 7. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendidikan dengan korbanan membeli bahan bacaan. 8. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendidikan dengan korbanan memiliki bahan bacaan. 9. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendapatan dengan durasi membaca. 10. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendapatan dengan frekuensi membaca. 11. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendapatan dengan korbanan membeli bahan bacaan. 12. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendapatan dengan korbanan memiliki bahan bacaan.
132
4.3 Pekanbaru 4.3.1 Gambaran Umum Responden Kota Pekanbaru Untuk menjaring data di Pekanbaru, maka disebarkan sebanyak 1000 kuesioner, namun jumlah kuesioner yang kembali sebesar 901 (90,1 %). Responden terdiri dari 403 laki-laki (44,73 %) dan perempuan sebanyak 498 (45,39 %). Responden tersebut terdiri dari beberapa kelompok yaitu 80 orang Mahasiswa (8,88 %), 65 orang pegawai swasta (7,21 %), 46 orang petani (5,11 %), 40 orang ibu rumah tangga (4,44 %), 26 orang pedagang (2,89 %), 25 orang dosen (2,77 %), 175 orang siswa SD (19,42 %), 160 orang siswa SMP (17,76 %), 136 orang siswa SMU (15,09 %), 59 orang pegawai negeri sipil (6,55 %), 37 orang guru (4,11), 25 orang anggota TNI/Polri (2,77 %), dan 27 orang buruh (3 %).
Sebagian besar responden yang terjaring merupakan penduduk asli Kota
Pekanbaru atau setidak-tidaknya lahir di kota Pekanbaru yaitu sebesar 684 responden (75,92 %), sebesar 188 responden (46,65 %) mengaku sebagai pendatang, sedangkan sisanya sebesar 29 responden (5,82 %) tidak menjawab. Pendatang atau perantau ini sudah tinggal di kota Pekanbaru antara kurang dari 5 tahun sampai lebih dari 25 tahun. Dari aspek status dalam rumah tangga, responden dapat dibagi menjadi 131 orang (14,56 %) berstatus sebagai ayah, 128 orang (14,22 %) berstatus sebagai Ibu, sedangkan sisanya sebanyak 641 orang (71 %) berstatus sebagai anak, sedangkan satu orang tidak menjawab status yang bersangkutan. Tabel 4.3.1 Responden berdasarkan jenis kelamin Kelompok Responden Laki‐laki Perempuan Jumlah Persen Mahasiswa
30
50
80
8,88
Pegawai Swasta
33
32
65
7,21
Petani/Nelayan
27
19
46
5,11
0
40
40
4,44
Pedagang
11
15
26
2,89
Dosen
16
9
25
2,77
Siswa SD
72
103
175
19,42
Siswa SMP
71
89
160
17,76
Siswa SMU
65
71
136
15,09
Ibu Rumah Tangga
133
Kelompok Responden Laki‐laki Perempuan Jumlah Persen PNS
28
31
59
6,55
Guru
14
23
37
4,11
TNI/Polri
21
4
25
2,77
Buruh
15
12
27
3,00
Jumlah
403
498
901
Berdasarkan umur, responden dibagi menurut kelompok umur kurang dari 12 tahun (atau diperkirakan usia siswa SD) yaitu sebanyak 192 orang (21,43 %), 13 tahun sampai dengan 15 tahun (atau diperkirakan usia siswa SLTP) sebanyak 169 orang (18,86 %), 16 tahun sampai dengan 18 tahun (atau diperkirakan usia siswa SLTA) sebesar 132 orang (14,73 %), 19 tahun sampai dengan 23 tahun (atau diperkirakan usia mahasiswa) sebesar 100 orang (11,16 %), 24 tahun sampai dengan 40 tahun (atau usia tenaga kerja muda) sebanyak 209 orang (23.33 %), 41 tahun sampai dengan 55 tahun (atau usia tenaga kerja tua) sebanyak 88 orang (9,82 %), dan terakhir yang berusia lebih dari 56 tahun (atau usia tidak produktif atau pensiunan) sebanyak 6 orang (0,67 %). Tabel 4.3.2 Kelompok Responden Berdasarkan Umur Kelompok
Umur (tahun) 13‐15
16‐18
19‐23
24‐40
41‐55
>56
Mahasiwa
0
0
5
59
15
0
1
80
Pegawai Swasta
0
0
2
18
40
5
0
65
Petani/Nelayan
0
4
4
10
20
7
0
46
Ibu Rumah Tangga
0
0
0
0
33
6
1
40
Pedagang
0
0
0
0
10
16
0
26
Dosen
0
0
0
0
14
11
0
25
173
2
0
0
0
0
0
175
Siswa SMP
12
145
0
0
0
1
0
160
Siswa SMU
0
15
121
0
0
0
0
136
PNS
0
0
0
0
27
29
2
59
Guru
0
0
0
0
29
7
0
37
TNI/Polri
0
0
0
7
16
2
0
25
Buruh
0
0
0
6
14
5
2
27
192
169
132
100
209
88
6
901
Siswa SD
Jumlah
134
Jumlah
< 12 th
Sesuai dengan kuota, maka responden yang berasal dari kalangan sekolah lebih besar yaitu 551 responden (61,15 %), yang sudah tidak bersekolah lagi sebesar 294 responden (32,63 %), sedangkan sisanya sebesar 56 responden tidak menjawab apakah mereka masih berstatus masih sekolah atau sudah bekerja yaitu sebesar 56 responden (6,22 %). Responden yang masih sekolah terdiri dari siswa sekolah dasar atau SD sebesar 175 responden (19,42 %), siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama atau SLTP sebesar 158 responden (17,54 %), siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Atas atau SLTA sebesar 138 responden (15,32 %), mahasiswa sebesar 85 responden (9,43 %). Dari keseluruhan responden yang mengaku sebagai masih bersekolah, sebanyak lima responden menjawab selain bekerja, mereka juga berstatus pelajar atau mahasiswa. Gambar 4.3.1 berikut menunjukkan kondisi responden dalam hal pendidikan. Responden yang tidak tamat SD sebesar 40 responden (4,59 %), tamat SD sebanyak 294 responden (33,75 %), tamat SLTP sebanyak 172 reponden (19,75 %), tamat SLTA sebesar 200 responden (22,96%), diploma sebesar 47 responden (5,40 %), sarjana sebesar 109 responden (12,51 %), dan pascasarjana atau bergelar S2 dan atau S3 sebesar 9 responden (1,03 %).
Gambar 4.3.1 Sebaran Tingkat Pendidikan Responden
Dari aspek profesi responden diharapkan dapat mewakili sebanyak mungkin profesi. Kelompok responden tersebut terdiri atas pegawai negeri sebesar 66 responden (17 %), pegawai swasta sebesar 54 responden (13,9 %), pedagang sebesar 30 responden 135
(7,7 %), TNI/POLRI sebesar 25 responden (6,4 %), petani sebesar 46 responden (11,8 %), wiraswastawan sebesar 30 responden (7,7 %), wartawan sebesar 1 responden (0,3 %), buruh sebesar 20 responden (5,1 %), dan profesi lainnya yang tidak termasuk kategori tersebut sebesar 117 responden (30,1 %). Pendapatan responden tersebar dari pendapatan kurang dari 500 ribu rupiah per bulan sampai kepada yang berpendapatan lebih ari 4,5 juta rupiah setiap bulan. Sebagian terbesar responden berpendapatan antara 500 ribu sampai 1 juta rupiah per bulan. Sebaran responden menurut tingkat pendapatan digambarkan pada tabel 4.3.3 dan gambar 4.3.2 menggambarkan sebaran pendapatan responden secara umum.
Lebih 1 jt – 1,5 jt
Lebih 1,5 jt – 2,5 jt
Lebih dar 2,5 jt – 3,5 jt
lebih dari 3,5 jt – 4,5 jt
Lebih dari 4,5 jt
Mahasiswa Pegawai Swasta Petani/Nelayan Ibu Rumah Tangga Pedagang Dosen PNS Guru TNI/Polri Buruh Jumlah % dari responden
500 rb – 1 juta
Kelompok Responden
Kurang dari 500 ribu
Tabel 4.3.3 Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan per Bulan
7 5 1 2 1 0 0 2 0 8 26 7,2
19 21 20 11 6 0 5 2 0 19 103 28,6
8 11 16 7 7 0 9 3 6 0 67 18,6
1 11 9 2 7 0 18 8 9 0 65 18,1
1 6 0 0 3 7 6 21 9 0 53 14,7
0 1 0 0 0 18 11 1 0 0 31 8,6
0 7 0 0 0 0 8 0 0 0 15 4,2
136
Gambar 4.3.2 Sebaran Tingkat Pendapatan Responden
Dari aspek jumlah anggota keluarga sebagian responden terdiri dari keluarga dengan jumlah anggota keluarga sebesar 3 – 4 orang (390 responden) kemudian diikuti berturut-turut dengan jumlah anggota keluarga 5 – 6 orang (325 responden), 7 – 8 orang (83 responden), kurang dari 2 orang (49 responden), dan yang terakhir adalah keluarga besar yaitu dengan jumlah keluarga sebanyak lebih dari 8 orang (30 responden). Secara rinci kondisi responden berdasarkan jumlah anggota dalam keluarga disajikan pada tabel 4.3.4. Tabel 4.3.4 Sebaran Responden Berdasarkan Besarnya Anggota Keluarga Kurang Lebih 3 – 4 5 – 6 7 – 8 dari 2 dari 8 orang orang orang orang orang Mahasiswa 1 27 26 15 7 Peg Swasta 5 21 24 8 7 Petani/Nelayan 4 34 6 2 1 Ibu Rumah Tangga 1 28 10 1 0 Pedagang 1 17 7 1 0 Dosen 0 13 10 2 0 Siswa SD 5 75 72 14 6 Siswa SMP 6 52 72 15 3 Siswa SMU 1 53 60 19 1 PNS 4 30 18 4 4 137
Kurang Lebih 3 – 4 5 – 6 7 – 8 dari 2 dari 8 orang orang orang orang orang 1 24 11 1 0 15 5 5 0 0 5 11 4 1 1 49 390 325 83 30 5,4 43,3 36,1 9,2 3,3
Guru TNI/Polri Buruh Jumlah Persen
Pada umumnya responden termasuk kelompok masyarakat yang cukup terbuka. Hal ini dicerminkan dari fasilitas informasi untuk melakukan akses ke luar. Pada umumnya mereka memiliki pesawat radio, pesawat televisi, pemutar video/vcd/dvd, komputer. Sebagian dari mereka bahkan memiliki akses ke internet. Sedangkan media cetak yang mereka miliki cukup banyak adalah koran dan majalah. Fasilitas tersebut selain digunakan untuk mendapatkan informasi dari luar, juga digunakan sebagai sarana hiburan. Tabel 4.3.5 memperlihatkan sebaran responden dalam hal kepemilikan fasilitas informasi. Tabel 4.3.5 Kepemilikan Fasilitas Media Informasi
Responden
Fasilitas informasi yang dimiliki Video/ Koneksi Pesawat Pesawat VCD/ Komputer ke Koran Majalah Radio TV DVD Internet
Mahasiswa
61
70
45
43
13
52
39
Pegawai Swasta
45
55
44
28
10
42
29
Petani/Nelayan
26
42
20
0
0
0
1
Ibu Rumah Tangga
27
38
21
3
0
9
6
Pedagang
23
25
22
3
0
12
7
Dosen
25
25
25
23
5
25
23
Siswa SD
55
95
86
83
18
78
67
Siswa SMP
119
139
126
86
18
118
106
Siswa SMU
102
126
104
75
15
100
88
PNS
45
53
40
30
10
38
28
Guru
29
36
33
24
2
30
25
TNI/Polri
10
25
14
3
0
3
2
Buruh
16
21
14
1
2
10
4
Jumlah
583
750
594
402
93
517
425
Persen dari Responden
64,7
83,2
65,9
44,6
10,3
57,4
47,2
138
Gambar 4.3.3 Tingkat Pemilikan Media
4.3.2 Membaca dan Menonton untuk Mengisi Waktu Luang Dalam mengisi waktu luang sebagian besar responden mengaku melakukan kegiatan membaca dan menonton televisi/video/vcd. Sebagian lagi mengatakan mengisi waktu luangnya dengan mendengarkan siaran radio dan rekreasi. Kegiatan membaca dan menonton dilakukan seimbang oleh sebagian besar responden yaitu membaca oleh 723 responden atau sebesar 80,24 % dari total responden, dan sebanyak 702 responden atau 77,91 % dari total responden melakukan kegiatan menonton dalam mengisi waktu luangnya. Penggunaan radio sebagai alat untuk mengisi waktu luang tidak terlalu populer yaitu hanya digunakan oleh 382 responden (42,40 % terhadap total responden). Sedangkan rekreasi adalah kegiatan yang sangat sedikit dilakukan oleh responden dalam mengisi waktu luang yaitu dilakukan oleh sebanyak 267 responden atau 29,63 % terhadap total responden. Dari tabel dapat dilihat bahwa profesi yang memang menuntut kegiatan membaca seperti dosen, mahasiswa serta pelajar, maka membaca merupakan kegiatan yang dilakukan mereka untuk mengisi waktu luangnya. Dosen menyatakan bahwa membaca, menonton televisi dan mendengarkan siaran radio merupakan kegiatan yang dilakukan setiap saat bila mereka memiliki waktu luang. Hal ini tidak mengherankan, karena profesi dosen memang menuntut harus selalu memperbaharui pengetahuannya. Dari 25 responden dosen, hanya 8 responden saja yang mengisi waktu luangnya dengan rekreasi selain membaca, menonton televisi dan mendengarkan siaran radio. Mahasiswa dan pelajar, guru, serta PNS menyatakan 139
mengisi waktu luang mereka dengan membaca dan menonton televisi lebih tinggi dibandingkan dengan mendengarkan mendengarkan siaran radio dan rekreasi. Sebagian profesi ini tetap menempatkan membaca adalah kegiatan dominan. Hanya pada pelajar SMU yang agak mengherankan, karena mereka mengaku menonton televisi/video/VCD lebih tinggi daripada membaca. Padahal profesi mereka menuntut kegiatan membaca yang intensif. Sudah dapat ditebak bahwa pada profesi yang tidak menuntut kegiatan membaca secara intensif seperti ibu rumah tangga, petani, TNI/POLRI, dan buruh, maka kegiatan menonton televisi/video/vcd merupakan pilihan kegiatan yang lebih banyak dalam mengisi waktu luang mereka. Agak mengherankan juga bahwa profesi buruh menyatakan membaca lebih banyak ketimbang menonton televisi/video/vcd. Mungkin juga disebabkan oleh kepemilikan maupun akses terhadap fasilitas ini yang tidak begitu tinggi sehingga mereka memilih untuk melakukan kegiatan membaca. Tabel 4.3.6 Sebaran Pemanfaatan Waktu Luang Responden dalam Melakukan Kegiatan Kelompok Responden
Jumlah responden
Menonton TV/Video/ VCD
Membaca Resp
%
Resp
Resp
%
Rekreasi Resp
%
Mahahasiswa
80
71 88,75
62 77,50
45
56,25
28 35,00
Pegawai Swasta
65
56 86,15
53 81,54
30
46,15
25 38,46
Petani/Nelayan
46
24 52,17
35 76,09
9
19,57
0
0,00
Ibu Rumah Tangga
40
30 75,00
35 87,50
9
22,50
4 10,00
Pedagang
26
19 73,08
25 96,15
22
84,62
1
Dosen
25
25
25
100
25
100
8 32,00
100
3,85
Siswa SD
175
141 80,57
87 49,71
42
24,00
52 29,71
Siswa SMP
160
128 80,00
126 78,75
55
34,38
44 27,50
Siswa SMU
136
106 77,94
121 88,97
74
54,41
61 44,85
PNS
59
55 93,22
50 84,75
25
42,37
26 44,07
Guru
37
36 97,30
36 97,30
29
78,38
11 29,73
TNI/Polri
25
8 32,00
24 96,00
7
28,00
27 901
24 88,89 723 80,24
23 85,19 702 77,91
10 382
37,04 42,40
Buruh Total
140
%
Mendengarkan Siaran Radio
1
4,00
6 22,22 267 29,63
Gambar 4.3.4 Sebaran Pemanfaatan Waktu Luang Responden
Kegiatan ayah, ibu dan anak dalam membaca dan menonton kurang lebih seimbang. Pada ayah dan ibu frekuensi kegiatan menonton sedikit lebih tinggi, sedangkan pada anak frekuensi kegiatan membaca yang lebih tinggi. Ini tidak mengherankan melihat mayoritas responden berasal dari kalangan pelajar yang masih aktif sekolah. Jadi dapat diduga kegiatan membaca mereka ada kaitannya dengan status mereka sebagai pelajar. Walaupun bagi sebagian masyarakat siaran radio masih merupakan acara yang menarik, namun penggemar siaran radio ini sudah dikalahkan oleh
kegiatan
menonton
televisi.
Rata-rata
masyarakat
melakukan
aktifitas
mendengarkan siaran radio hanya setengah dari melakukan kegiatan membaca maupun menonton televisi.
141
Tabel 4.3.7 Kegiatan Ayah, Ibu dan Anak dalam Mengisi Waktu Luang Aktivitas Mengisi Waktu Luang Responden Membaca Menonton Ayah Ibu Anak
Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen
108 82,4 103 80,5 512 79,9
115 87,8 114 89,1 472 73,6
Mendengar Rekreasi Radio 66 50,4 60 46,9 256 39,9
26 19,8 26 20,3 215 33,5
Total Responden
131 128 641
Gambar 4.3.5 Sebaran Pemanfaatan Waktu Luang Berdasarkan Status dalam Rumah Tangga
Walaupun dari segi frekuensi, kegiatan membaca dan menonton televisi nampak seimbang, namun dari aspek lamanya melakukan kegiatan membaca dan menonton maka kegiatan menonton dilakukan lebih lama oleh sebagian besar responden (lihat grafik). Bahkan responden yang menonton lebih dari 3 jam sehari menduduki jumlah terbesar (302 responden), sedangkan yang membaca lebih dari 3 jam sehari hanya sebesar 72 responden. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa masyarakat Indonesia lebih senang menonton daripada membaca.
142
Gambar 4.3.6 Grafik Perbandingan antara Lama Membaca dengan Lama Menonton Tabel 4.3.8 Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Lama Membaca Lama Membaca (B) dan Lama Menonton TV (N) Jenis Kelamin
> 3 j/hr B
N
2 – 3 j/hr
1 – 2 j/hr
< 1 j/hr
B
N
B
N
B
N
3 – 4 j/mg 2 – 3 j/mg 1 – 2 j/mg B
N
B
N
B
N
Laki‐laki
38 130
46
91
159
102
114
53
8
6
2
4
13
10
Perempuan
34 172
61 110
215
133
103
53
19
11
12
3
19
6
Total
72 302 107 201
374
235
217
106
27
17
14
7
32
16
Lebih jauh diperoleh fakta bahwa secara umum perempuan lebih banyak memiliki waktu luang yang kemudian digunakan untuk membaca ataupun nonton televisi. Perempuan umumnya menonton televisi lebih lama dibandingkan dengan lakilaki (lihat gambar 4.3.7). Tabel 4.3.9 Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Lama Membaca vs Lama Menonton > 3 j/hr 2 – 3 j/hr 1 – 2 j/hr < 1 j/hr 3 – 4 j/mg 2 – 3 j/mg 1 – 2 j/mg
laki‐laki (baca)
38
46
159
114
8
2
13
Perempuan (baca)
34
61
215
103
19
12
19
Laki‐laki (nonton)
130
91
102
53
6
4
10
Perempuan (nonton)
172
110
133
53
11
3
6
143
Gambar 4.3.7 Grafik Perbandingan Lama Membaca dengan Lama Menonton pada Laki‐laki dan Perempuan
Hubungan antara karakteristik responden seperti umur, pendidikan, dan pendapatan terhadap penggunaan waktu luang yang dihitung secara statistik menggunakan uji Rank Spearman dengan bantuan Aplikasi SPSS dapat dilihat pada tabel 4.3.10 berikut. Tabel 4.3.10 Hubungan Karakteristik Responden dengan Waktu Luang dan Terpaan Media Karakteristik Responden
Terpaan (Exposure) Media
Waktu Luang (aktivitas membaca dan lain-lain)
Radio
Televisi
(durasi mendengar)
(durasi menonton)
Umur
0,316**
0,056
0,098**
Pendidikan
0,260**
0,052
0,091**
Pendapatan
-0,070
-0,145**
0,129*
** Korelasi nyata pada α = 0,01 (uji dua arah). * Korelasi nyata pada α = 0,05 (uji dua arah).
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa umur berpengaruh nyata (memiliki korelasi positif) terhadap aktifitas membaca walaupun hubungannya tidak terlalu kuat 144
yaitu dengan koefisien korelasi hanya sebesar 0,316. Ini berarti bahwa semakin tua umur seseorang aktifitas membaca dalam rangka mengisi waktu luang akan semakin tinggi. Hal ini dapat dimengerti karena pada usia anak-anak waktu luangnya lebih banyak digunakan untuk bermain. Menurut literatur waktu bermain anak Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak Amerika yang hanya 3 – 4 jam sehari, apalagi dengan anak-anak Korea yang hanya memiliki waktu bermain sebanyak satu jam sehari1. Bahkan bagi anak-anak dari keluarga ekonomi lemah sebagian waktu mereka digunakan untuk membantu orang tuanya mencari uang tambahan bagu keluarga. Sedangkan waktu luang orang tua selain digunakan untuk aktifitas membaca, juga digunakan untuk aktifitas menonton dan mendengarkan radio, dan bahkan sebagian kecil juga menggunakan waktu luangnya untuk berekreasi. Namun demikian umur tidak berpengaruh terhadap perilaku baik mendengarkan radio maupun menonton (televisi/video/vcd). Koefisien korelasi antara umur dengan mendengarkan radio hanya sebesar 0,056 yang berarti hampir mendekati nol yaitu tidak ada korelasi antara umur dengan perilaku mendengarkan radio), sedangkan koefisien korelasi antara umur dengan menonton 0,098 juga sangat lemah dan hampir tidak ada ada hubungan antara umur dengan perilaku menonton. Pendidikan ternyata mempunyai hubungan dengan penggunaan waktu luang untuk membaca walaupun hubungan tersebut tidak dapat dikatakan tinggi yaitu dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,260. Ini dapat dimengerti karena semakin berpendidikan
seseorang
semakin
membutuhkan
informasi
untuk
memenuhi
kebutuhan menambah pengetahuan. Pada siswa dan mahasiswa tentu kegiatan membaca harus menjadi kegiatan utama, begitu juga pada profesi dosen dan guru. Oleh karena itu untuk meningkatkan minat dan kegemaran membaca masyarakat, dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas pendidikan. Penugasan-penugasan di sekolah dan di kampus akan mendorong kebiasaan siswa dan mahasiswa untuk membaca sekalipun nantinya membaca tersebut tidak ada hubungannya dengan penugasan dari guru dan dosen. Kebiasaan memecahkan masalah dengan cara mencari sumber informasi pada sumber-sumber bacaan akan mendorong peningkatan minat dan kegemaran membaca. Selanjutnya tabel tersebut menggambarkan bahwa pendidikan 1
Minat Baca di Indonesia Sangat Rendah. Pikiran Rakyat. Senin, 8 Maret 2004. 145
walaupun mempengaruhi kebiasaan responden baik dalam mendengarkan radio maupun menonton televisi/video/vcd, namun pengaruhnya sangat lemah. Walaupun koefisien korelasinya positif, namun nilainya sangat lemah yaitu masing-masing 0,052 dan 0,091 untuk pendidikan terhadap mendengarkan radio dan pendidikan terhadap menonton televisi/video/vcd. Pendapatan seseorang tidak berpengaruh terhadap penggunaan waktu luang yang digunakan untuk aktifitas membaca. Sebenarnya nilai koefisien korelasinya negatif yakni -0,070 yang berarti ada hubungan negatif antara tingkat penghasilan dengan aktifita membaca, namun karena nilainya sangat kecil yaitu mendekati nol, maka pengaruh tersebut hampir tidak ada artinya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada masyarakat yang berpenghasilan baik rendah, sedang, maupun tinggi pola membacanya sama saja. Sedangkan pengaruh penghasilan terhadap kebiasaan mendengarkan radio malah negatif dengan nilai koefisien korelasi lebih tinggi (-0,145), artinya walaupun pengaruhnya kecil, namun menunjukkan bahwa semakin tinggi penghasilan seseorang, semakin jarang mendengarkan radio. Berbeda dengan waktu yang mereka gunakan untuk mendengarkan radio yang cenderung negatif (terbalik), waktu yang mereka gunakan untuk menonton televisi/video/vcd ternyata berpengaruh positif atau berbanding lurus (walaupun sangat lemah) dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,129. Artinya, semakin tinggi penghasilan seseorang, maka mereka akan cenderung semakin sering melakukan aktifitas menonton.
4.3.3 Hubungan antara kelompok umur dengan membaca Dari aspek umur diduga pada usia sekolah sampai mahasiswa (usia SD yaitu kurang dari 12 tahun sampai usia mahasiswa yaitu sampai 23 tahun) memiliki kebiasaan membaca yang tinggi. Dianggap demikian karena hal ini merupakan tuntutan pendidikan. Pada usia kerja kebiasaan membaca ini diduga akan menurun dan kemudian akan meningkat lagi pada usia tua, dimana pada usia ini orang akan memiliki waktu luang yang berlimpah. Namun dari data yang diperoleh, ternyata dugaan ini tidak terjadi.
146
Tabel 4.3.11 Hubungan Umur dengan Lama (Durasi) Membaca Umur Responden < 12 th 13‐15 th 16‐18 th 19‐23 th 24‐40 th 41‐55 th > 55 th Total
Lama (durasi) membaca 1‐2 j/mg 2‐3 j/mg 3‐4 j/mg < 1 j/hr 1‐2 j/hr 2‐3 j/hr > 3 j/hr
Jml resp
10
3
8
42
88
19
17
%
5,3
1,6
4,3
22,5
47,1
10,2
9,1
5
5
5
28
87
23
6
3,1
3,1
3,1
17,6
54,7
14,5
3,8
1
3
5
38
52
18
9
0,8
2,4
4,0
30,2
41,3
14,3
7,1
3
1
2
27
41
9
11
3,2
1,1
2,1
28,7
43,6
9,6
11,7
Jml resp % Jml resp % Jml resp % Jml resp
10
2
5
51
74
26
19
%
5,3
1,1
2,7
27,3
39,6
13,9
10,2
3
0
2
28
29
12
9
3,6
0,0
2,4
33,7
34,9
14,5
10,8
0
0
0
1
3
0
1
%
0,0
0,0
0,0
20,0
60,0
0,0
20,0
Jml resp
32
14
27
215
374
107
72
%
3,8
1,7
3,2
25,6
44,5
12,7
8,6
Jml resp % Jml resp
Gambar 4.3.8 Grafik hubungan antara umur dengan lama membaca
Tabel 4.3.11 dan gambar 4.3.8
memperlihatkan bahwa membaca tidak
dipengaruhi oleh umur. Pola grafik dari semua kelompok umur responden terlihat sama 147
yaitu sedikit responden pada korbanan waktu membaca rendah (dari 1 jam sampai 2 jam setiap minggu), kemudian naik jumlahnya pada korbanan waktu membaca sedang (kurang dari satu jam sampai 2 jam per hari), dan kembali sedikit responden pada korbanan waktu membaca tinggi (lebih dari 3 jam sehari). Semua kelompok responden menyatakan bahwa mereka menghabiskan waktu rata-rata dalam membaca antara 1 sampai 2 jam setiap hari. Sebenarnya korbanan waktu demikian dapat dikatakan tidak terlalu tinggi karena bagi masyarakat yang kegemaran membacanya tinggi, mereka akan menghabiskan waktu membaca lebih dari 3 jam setiap harinya.
Gambar 4.3.9 Korbanan Waktu (durasi) Rata‐rata dalam Membaca
Secara statistik hubungan antara umur dengan lama (durasi) membaca hampir tidak ada. Ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi yang nilainya sangat kecil yaitu hanya sebesar 0,011 (Lihat tabel 4.3.12). Kenyataan ini tidak sesuai dengan hipotesa dimana seharusnya semakin tinggi umur seseorang, semakin lama ia membaca. Hal ini terutama jika dikaitkan dengan aktifitas membaca dalam hubungannya dengan aktifitas pendidikan. Tabel yang disampaikan oleh Razak (2004) menunjukkan bahwa semakin tinggi usia yang ditunjukkan oleh status pendidikan maka dia maka dituntut semakin lama membaca. Kenyataan ini tentu harus menjadi perhatian dari pemerintah, khususnya para pendidik atau regulator pendidikan. Sudah waktunya kewajiban membaca di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi dimonitor dan masuk ke dalam kurikulum wajib. Misalnya saja, guru atau dosen harus lebih banyak 148
memberikan penugasan yang berkaitan dengan membaca, membuat ringkasan, dan membuat soal-soal ujian yang bahan-bahannya diambil dari bacaan yang diwajibkan oleh guru dan lain-lain. Tabel 4.3.12 Korelasi Umur terhadap Durasi Membaca Durasi Membaca Spearman's rho
Umur
Correlation Coefficient
,011
Sig. (2-tailed)
,748
N
835
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat korelasi antara umur dengan lama membaca walau sangat kecil yaitu sebesar 0,011 pada tingkat kepercayaan 0,01. Ini berarti makin tua umur seseorang, makin lama durasi membacanya. Demikian pula jika umur dihubungkan dengan frekuensi baca terdapat hubungan yang nyatanegatif walau kecil yaitu sebesar -0,186 pada tingkat kepercayaan 0,01. Hal ini dapat dilihat hasil perhitungan seperti pada tabel berikut. Tabel 4.3.13 Korelasi Umur terhadap Frekuensi Membaca Frekuensi Spearman's rho
Umur
Correlation Coefficient
-,186(**)
Sig. (2-tailed)
,000
N
521
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Tabel 4.3.14 Hubungan Umur dengan Korbanan Belanja Buku Umur Responden < 12 th 13‐15 th 16‐18 th
Biaya belanja buku responden <50 rb 50 ‐100 rb 100‐200 rb 200‐300 rb 300‐400 rb 400‐500 rb >500 rb
Jml resp
100
38
19
2
6
2
3
%
58,8
22,4
11,2
1,2
3,5
1,2
1,8
75
41
7
0
1
0
2
59,5
32,5
5,6
0,0
0,8
0,0
1,6
Jml resp % Jml resp %
66
31
5
0
3
0
0
62,9
29,5
4,8
0,0
2,9
0,0
0,0
149
Umur Responden 19‐23 th 24‐40 th 41‐55 th > 55 th Total
Jml resp
Biaya belanja buku responden <50 rb 50 ‐100 rb 100‐200 rb 200‐300 rb 300‐400 rb 400‐500 rb >500 rb 27
30
5
1
1
1
2
40,3
44,8
7,5
1,5
1,5
1,5
3,0
48
43
20
11
6
1
0
37,2
33,3
15,5
8,5
4,7
0,8
0,0
20
25
6
5
3
3
0
32,3
40,3
9,7
8,1
4,8
4,8
0,0
2
0
0
0
0
0
0
100,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
Jml resp
338
208
62
19
20
7
7
%
51,1
31,5
9,4
2,9
3,0
1,1
1,1
% Jml resp % Jml resp % Jml resp %
Gambar 4.3.10 Sebaran Besarnya Korbanan Membeli Buku berdasarkan Umur
Hubungan antara umur dengan korbanan responden dalam bentuk biaya atau anggaran membeli buku dapat dilihat pada tabel 4.3.14 dan gambar 4.3.10. Pada tabel dan gambar tersebut terlihat bahwa rata-rata korbanan untuk membeli buku sebagian besar ada pada jumlah kurang dari Rp. 50.000,- per bulan. Sebagian responden mengaku berbelanja buku antara Rp 50.000,- - Rp. 100.000,- per bulan. Namun yang berbelanja buku lebih besar dari Rp. 100.000,- per bulan jumlahnya sangat sedikit. Hubungan antara umur dengan korbanan untuk membeli buku memang berkorelasi positif, namun hubungan tersebut sangat lemah yaitu dengan koefisien korelasi sebesar
150
0,197. Jadi dapat dikatakan bahwa umur tidak terlalu berpengaruh terhadap korbanan responden membeli buku. Tabel 4.3.15 Hubungan Umur dengan Pemilikan Buku Kelompok Umur Responden < 12 th 13‐15 th 16‐18 th 19‐23 th 24‐40 th 41‐55 th > 55 th Total
Jml resp % Jml resp % Jml resp % Jml resp % Jml resp % Jml resp
Kepemilikan buku responden Tdk punya < 10 bk 10‐25 bk 25‐50 bk 50‐75 bk 75‐100 bk >100 bk 63
83
19
14
0
0
0
35,2
46,4
10,6
7,8
0,0
0,0
0,0
28
63
42
9
9
2
3
17,9
40,4
26,9
5,8
5,8
1,3
1,9
24
58
35
8
1
4
0
18,5
44,6
26,9
6,2
0,8
3,1
0,0
29
21
23
9
4
2
4
31,5
22,8
25,0
9,8
4,3
2,2
4,3
54
42
44
19
9
11
10
28,6
22,2
23,3
10,1
4,8
5,8
5,3
12
21
19
8
5
7
5
15,6
27,3
24,7
10,4
6,5
9,1
6,5
2
0
2
0
0
0
0
%
50,0
0,0
50,0
0,0
0,0
0,0
0,0
Jml resp
212
288
184
67
28
26
22
%
25,6
34,8
22,2
8,1
3,4
3,1
2,7
% Jml resp
Gambar 4.3.11 Sebaran Besarnya Pemilikan Buku berdasarkan Umur Responden 151
Hubungan antara umur dengan kepemilikan buku digambarkan oleh tabel 4.3.15 dan grafik pada gambar 4.3.11. Pada tabel dan grafik tersebut terlihat bahwa pola kepemilikan buku responden terlihat sama baik pada umur muda maupun pada umur dewasa. Jumlah responden terbesar adalah pada kepemilikan buku antara nol atau tidak punya buku sampai 10 judul buku, dan makin sedikit responden yang memiliki buku di atas 10 judul, apalagi di atas 100 judul buku. Secara statistik umur memang tidak terlalu mempengaruhi kepemilikan buku yang ditandai dengan koefisien korelasi yang rendah yaitu hanya sebesar 0,199. Artinya, walaupun terdapat hubungan positif antara umur dengan tingkat kepemilikan buku, namun hubungan tersebut sangat lemah. Hubungan antara umur dengan frekuensi membaca yang ditunjukkan dengan frekuensi responden datang ke perpustakaan ternyata memiliki hubungan negatif, walaupun hubungan tersebut sangat lemah yaitu dengan nilai koefisien korelasi hanya sebesar -0,186. Artinya, walaupun pengaruhnya tidak besar, semakin tua umur seseorang, maka cenderung semakin jarang datang ke perpustakaan umum. Padahal sebagian besar responden tahu bahwa di kota tempat mereka tinggal tersedia perpustakaan umum (84,6 %), walaupun ada juga yang mengatakan bahwa di kota tempat mereka tinggal tidak ada perpustakaan umum (7,1 %) dan bahkan ada yang tidak tahu bahwa di kotanya ada perpustakaan umum (5,4 %). Tabel 4.3.16 Hubungan Umur dengan Jumlah Kunjungan ke Perpustakaan Kelompok Umur Responden < 12 th 13‐15 th 16‐18 th 19‐23 th 24‐40 th 41‐55 th
Jml resp % Jml resp % Jml resp % Jml resp % Jml resp % Jml resp %
Jumlah kunjungan responden ke perpustakaan 1x/th 1x/6bln 1x/3bln 1x/bln 1x/mg 2x/mg 1X/h 9
4
6
9
39
46
20
6,8
3,0
4,5
6,8
29,3
34,6
15,0
6
1
4
20
22
15
3
8,5
1,4
5,6
28,2
31,0
21,1
4,2
9
2
5
17
8
12
2
16,4
3,6
9,1
30,9
14,5
21,8
3,6
3
0
3
8
21
20
15
4,3
0,0
4,3
11,4
30,0
28,6
21,4
5
2
3
24
54
28
19
3,7
1,5
2,2
17,8
40,0
20,7
14,1
1
0
3
6
14
12
19
1,8
0,0
5,5
10,9
25,5
21,8
34,5
152
Kelompok Umur Responden > 55 th Total
Jml resp
Jumlah kunjungan responden ke perpustakaan 1x/th 1x/6bln 1x/3bln 1x/bln 1x/mg 2x/mg 1X/h 0
0
0
0
0
0
3
%
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0 100,0
Jml resp
33
9
24
84
158
133
81
%
6,3
1,7
4,6
16,1
30,3
25,5
15,5
Gambar 4.3.12 Sebaran Frekuensi Kunjung ke Perpustakaan berdasarkan Umur
Walaupun sebagian besar dari responden mengetahui bahwa di dalam kota tersedia perpustakaan umum, namun jumlah yang berkunjung ke perpustakaan umum belum menggembirakan. Hanya 45 % saja dari jumlah responden yang mengaku pernah berkunjung ke perpustakaan umum, sebanyak 47,8 % mengaku belum pernah berkunjung ke perpustakaan umum, sedangkan sisanya sebanyak 7,2 % tidak menjawab pertanyaan ini. Frekuensi berkunjung ke perpustakaan umum yang paling banyak adalah sekali dalam satu minggu (30,2 %) kemudian diikuti masing-masing oleh sekali dalam seminggu (25,4 %), sekali dalam sebulan (16,1 %). Namun ada juga yang berkunjung setiap hari ke perpustakaan umum dengan jumlah responden hanya 15,7 %. Ada juga responden yang berkunjung ke perpustakaan umum hanya sekali dalam tiga bulan atau bahkan lebih (12,6 %). 153
Gambar 4.3.13 Sebaran Rata‐rata Frekuensi Kunjung ke Perpustakaan
Dari tabel 4.3.15 dapat dilihat bahwa kelompok mahasiswa berkunjung ke perpustakaan satu sampai dua kali seminggu. Kunjungan mahasiswa ke perpustakaan umum lebih banyak bertujuan untuk memenuhi kebutuhan bacaan dalam kaitannya dengan penulisan skripsi2. Hal ini dapat diduga karena di kampusnya mereka tidak mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Tabe 4.3.17 Frekuensi Responden Berkunjung ke Perpustakaan Frekuensi kunjungan ke perpustakaan Kelompok Responden 1 X /th 1 X /6 bln 1 X /3 bln 1 X /bln 1 X /mg 2 X /mg 1 X /h Jml Resp 3 1 1 9 21 23 9 Mahasiswa % 4,5 1,5 1,5 13,4 31,3 34,3 13,4 Jml Resp 2 1 1 12 8 13 4 Pegawai Swasta % 4,9 2,4 2,4 29,3 19,5 31,7 9,8 Jml Resp 3 1 3 1 2 1 0 Petani/Nelayan % 27,3 9,1 27,3 9,1 18,2 9,1 0 Jml Resp 0 0 0 4 18 2 5 Ibu Rmh angga % 0 0 0 13,8 62,1 6,9 17,2 Jml Resp 0 0 0 2 6 1 0 Pedagang % 0 0 0 22,2 66,7 11,1 0 2
Mahasiswa ke Perpustakaan untuk Skripsi. Riau Mandiri, Selasa 24 April 2007 154
Frekuensi kunjungan ke perpustakaan Kelompok Responden 1 X /th 1 X /6 bln 1 X /3 bln 1 X /bln 1 X /mg 2 X /mg 1 X /h Jml Resp 0 0 0 0 10 15 0 Dosen % 0 0 0 0 40 60 0 Jml Resp 8 3 6 8 38 42 18 Siswa SD % 6,5 2,4 4,9 6,5 30,9 34,1 14,6 Jml Resp 6 1 4 17 20 19 1 Siswa SMP % 8,8 1,5 5,9 25 29,4 27,9 1,5 Jml Resp 9 1 4 18 11 11 2 Siswa SMU % 16,1 1,8 7,1 32,1 19,6 19,6 3,6 Jml Resp 1 0 1 4 8 2 36 PNS % 1,9 0 1,9 7,7 15,4 3,8 69,2 Jml Resp 1 1 1 7 13 3 0 Guru % 3,8 3,8 3,8 26,9 50 11,5 0 Jml Resp 0 0 1 2 0 0 0 TNI/Polri % 0 0 33,3 66,7 0 0 0 Jml Resp 0 0 2 0 3 1 7 Buruh % 0 0 15,4 0 23,1 7,7 53,8 Jml Resp 33 9 24 84 158 133 82 Total % 6,3 1,7 4,6 16,1 30,2 25,4 15,7
Kunjungan siswa SD ke perpustakaan umum dilakukan oleh 70,3 % responden dan sebagian besar berkunjung antara satu kali seminggu, dua kali seminggu, dan bahkan setiap hari (79,7 % dari responden yang berkunjung ke perpustakaan), sisanya menyatakan jarang berkunjung ke perpustakaan yaitu dengan berkunjung antara satu kali sebulan dan bahkan ada yang berkunjung hanya satu kali saja dalam setahun. Pada kelompok siswa SMP persentase yang berkunjung ke perpustakaan umum lebih rendah dari siswa SD yaitu 42,5 % dan pola kunjungannya juga bergeser dimana siswa yang berkunjung ke perpustakaan banyak di sekali dalam satu bulan sampai dua kali dalam seminggu. Persentase siswa SMA yang berkunjung ke perpustakaan umum malah lebih sedikit lagi yaitu hanya 56 dari 136 responden atau hanya sekitar 41,2 %. Kelompok siswa SMA rata-rata berkunjung antara sebulan sekali sampai seminggu dua kali. Seperti yang sudah disebutkan di awal laporan ini bahwa salah satu indikator tinggi rendahnya minat baca adalah korbanan waktu untuk datang ke perpustakaan (frekuensi). Keadaan ini dibenarkan oleh pernyataan Kepala Perpustakaan dan Arsip
155
Daerah Provinsi Riau, Radja Erisman, dimana beliau mengakui bahwa minat baca masyarakat Riau masih sangat rendah3. Pada umumnya responden datang sendirian ke perpustakaan (85,2 %), dan hanya sebagian kecil mengajak isteri (2,6 %), dan membawa anak (12,2 %). Namun demikian mereka mengaku memberitahu orang lain bahwa di kota tempat mereka tinggal ada perpustakaan (90,5 %), dan hanya sebagian saja yang tidak memberitahu orang lain yaitu sebanyak 9,5 %.
6
3
10
2
2
2
Pegawai Swasta
3
5
6
2
13
1
2
4
Petani/Nelayan
1
6
0
0
16
2
0
0
Ibu Rumah Tangga
2
4
1
1
4
2
2
1
Pedagang
0
1
1
1
11
1
4
0
Dosen
0
0
0
0
0
0
0
0
Siswa SD
51
58
3
11
23
7
11
1
Siswa SMP
16
55
4
5
9
7
7
8
Siswa SMU
5
66
2
2
20
4
11
7
PNS
4
1
4
2
3
0
1
0
Guru
2
1
1
0
6
0
0
1
TNI/Polri
1
3
1
0
6
3
3
0
Buruh
1
9
0
0
6
1
5
0
Total
89
220
29
27
127
30
48
24
15,0
37,0
4,9
4,5
21,4
5,1
8,1
4,0
Persentase
Alasan lain
Malas
Tidak ada waktu karena sibuk
11
Tidak sering membaca
Koleksinya tidak pernah berganti
3
Jaraknya terlalu jauh
Mahasiswa
Responden
Punya buku sendiri di rumah
Bukunya tidak menarik dan sudah tua
Tabel 4.3.18 Alasan Responden Tidak Datang ke Perpustakaan
Dari responden yang jarang atau tidak datang ke perpustakaan (lihat tabel 4.3.16) diperoleh alasan bahwa jarak perpustakaan terlalu jauh dari tempat tinggal mereka (37 %), tidak ada waktu karena sibuk (21,4 %), sudah memiliki koleksi sendiri di rumah (15 %), malas (8,1 %), tidak sering membaca (5,1 %), bukunya tidak menarik dan sudah tua (4,9 %), koleksinya tidak pernah berganti (4,5 %) dan karena alasan lain (4,0 3
BPA Kampanyekan Gemar Membaca, Riau Pos, Kamis 26 April 2007. 156
%). Alasan jarak merupakan alasan paling banyak dipilih oleh responden. Ini ada kaitannya dengan kemampuan mereka dalam menanggulangi ongkos menggunakan angkutan umum yang menurut mereka tidak murah (rata-rata 86,3 % menyatakan tidak murah), hanya 8,2 % saja dari responden yang menyatakan bahwa ongkos angkutan umum di wilayah mereka termasuk murah. Kondisi jumlah angkutan umum sendiri menurut sebagian besar responden termasuk banyak (dinyatakan oleh 54,8 %). Untuk mengatasi masalah jarak antara pemukiman penduduk dengan lokasi perpustakaan umum maka perlu diperbanyak perpustakaan keliling, atau dengan kata lain mendekatkan perpustakaan kepada lokasi tempat tinggal pengguna perpustakaan. Saat ini sudah ada perpustakaan keliling berupa mobil keliling serta sepeda motor (motor pintar atau motor cerdas) yang secara bergiliran mengunjungi tempat-tempat yang jauh dari perpustakaan umum, namun jumlahnya masih belum memadai, apalagi mengingat medan untuk wilayah yang harus dikunjungi tidak selalu mudah. Tahun 2006 Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah telah mengadakan motor pintar sebanyak 30 unit dan sudah didistribusikan ke kabupaten-kabupaten di Provinsi Riau, sedangkan pada tahun 2007 Pemerintah Provinsi juga membagi lagi masing-masing dua unit motor pintar ke kabupaten dan kota. Taman-taman bacaan yang menamakan diri sudut baca atau rumah baca atau kampung baca sudah banyak dikembangkan khususnya baik yang dikembangkan oleh pemerintah melalui Penggerak PKK maupun atas swadaya masyarakat dan dibina oleh Lembaga Swadaya Masyarakat. Untuk mengatasi masalah jarak ini maka sudut-sudut baca ini perlu diberdayakan. Perlu adanya perputaran koleksi antara sudut baca yang satu dengan sudut baca yang lain. Perputaran koleksi ini akan dilakukan oleh motor pintar tersebut.4 Yang agak mengejutkan adalah adanya responden yang tidak datang ke perpustakaan dengan alasan tidak ada waktu karena sibuk. Jika alasan ini dikemukakan oleh responden yang berprofesi
seperti pedagang dan sejenisnya mungkin dapat
dimengerti, namun bila alasan ini dinyatakan oleh kelompok mahasiswa dan pelajar maka sepertinya alasan ini kurang dapat diterima dan terkesan dibuat-buat. Ini merupakan bukti bahwa minat baca yang ditunjukkan dengan frekuensi datang ke perpustakaan memang rendah. Beberapa responden memberi alasan bahwa tidak 4
Sukseskan Gerakan Riau Membaca Hari ini BPA Serahkan Motor Pintar, Harian Riau Mandiri, 15 Januari 2007 157
datang ke perpustakaan karena mereka memiliki koleksi buku sendiri di rumahnya. Tampaknya alasan ini dapat diterima. Namun bila dianalisis lebih mendalam, sesungguhnya sulit bagi seseorang atau individu yang memiliki kegemaran membaca yang tinggi dapat memenuhi sendiri segala kebutuhan bahan bacaannya. Untuk itu orang yang memiliki kegemaran membaca yang tinggi biasanya akan datang ke perpustakaan. Hal ini sesuai dengan pendapat Nasoetion (1992) yang menyatakan bahwa tidak ada seorangpun yang dapat mengumpulkan kepustakaan (buku) yang berhubungan dengan minatnya sebagai milik pribadi di rumah. Itulah sebabnya perpustakaan umum adalah sarana penunjang pengembang ilmu dan penelitian yang sangat penting. Yang perlu disediakan di rumah hanyalah sumber-sumber rujukan yang diperlukan sewaktu-waktu5. Alasan bahwa responden sudah memiliki buku sendiri di rumahnya terkesan mengada-ada. Hal ini terlihat dari data kepemilikan buku dimana responden yang tidak punya koleksi buku di rumahnya cukup besar yaitu mencapai 25,8 %, dan yang memiliki buku dengan jumlah sedikit mencapai 57 %. Jadi dengan kata lain jika kita menggabung data kedua kelompok tersebut (yang tidak punya koleksi buku dengan data kelompok yang punya koleksi buku sedikit) maka kelompok ini mencapai 82,8 %, suatu jumlah yang sangat besar. Dengan demikian alasan tidak datang ke perpustakaan karena sudah memiliki koleksi buku sendiri di rumahnya menjadi kurang bermakna. Alasan ini kemudian malah memperkuat pernyataan bahwa minat dan kegemaran membaca masyarakat Indonesia, khususnya di lokasi penelitian yaitu Pekanbaru, masih rendah. Antara umur dengan tingkat kepemilikan buku ternyata secara statistik ada hubungan walaupun agak lemah yaitu dengan nilai korfisien korelasi sebesar 0,199. Artinya walaupun tidak terlalu kuat, semakin tua umur seseorang maka cenderung memiliki buku yang lebih banyak. Hal ini ada kaitannya dengan kerelaan berkorban untuk membeli buku yang juga memiliki hubungan positif walaupun nilainya sangat lemah yaitu dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,197. Artinya, walaupun hubungan tersebut lemah, bertambahnya umur akan berpengaruh terhadap kerelaan berkorban untuk membeli buku. 5
Andi Hakim Nasoetion. Panduan Berpikir dan Meneliti Secara Ilmiah bagi Remaja. Jakarta: Grasindo, 1992. hal 62. 158
4.3.4 Hubungan Pendidikan Dengan Membaca Salah satu hal yang diduga mempunyai hubungan dengan minat baca yang ditandai dengan lamanya membaca (durasi), frekuensi membaca yang ditandai dengan frekuensi datang ke perpustakaan, serta korbanan untuk memperoleh bahan bacaan yang ditandai dengan membeli buku dan jumlah kepemilikan buku adalah tingkat pendidikan masyarakat. Tabel 4.3.19 Hubungan antara Pendidikan dengan Lama Membaca Pendidikan terakhir
Durasi membaca responden
Responden
1‐2 j/mg 2‐3 j/mg 3‐4 j/mg < 1 j/hr 1‐2 j/hr 2‐3 j/hr > 3 j/hr
Tdk tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat Diploma Tamat S1 Tamat S2‐S3 Total
Jml Resp
0
2
4
3
19
2
7
%
0,0
5,4
10,8
8,1
51,4
5,4
18,9
Jml Resp
13
5
8
64
135
35
16
%
4,7
1,8
2,9
23,2
48,9
12,7
5,8
1
4
6
50
63
22
11
0,6
2,5
3,8
31,8
40,1
14,0
7,0
Jml Resp % Jml Resp
13
0
5
75
74
10
11
%
6,9
0,0
2,7
39,9
39,4
5,3
5,9
1
1
1
7
26
4
6
2,2
2,2
2,2
15,2
56,5
8,7
13,0
4
1
1
13
39
31
19
3,7
0,9
0,9
12,0
36,1
28,7
17,6
0
0
1
0
4
2
2
0,0
0,0
11,1
0,0
44,4
22,2
22,2
Jml Resp % Jml Resp % Jml Resp % Jml Resp
32
13
26
212
360
106
72
%
3,9
1,6
3,2
25,8
43,8
12,9
8,8
159
Gambar 4.3.14 Sebaran Rata‐rata Lama Membaca berdasarkan Latar Belakang Pendidikan
Tabel 4.3.19 di atas memperlihatkan rata-rata responden membaca antara kurang dari satu jam per hari sampai dua jam per hari. Hal ini menunjukkan bahwa dari yang tidak tamat SD sampai responden yang berpendidikan pascasarjana tidak banyak membaca lebih dari 3 jam sehari. Padahal ukuran seseorang yang termasuk rajin membaca atau mempunyai minat baca tinggi untuk mahasiswa (dalam hal ini termasuk diploma sarjana dan pasca sarjana) adalah membaca antara 3 jam sampai 3,5 jam setiap hari (Razak, 2004). Sedangkan yang dikategorikan sangat rajin atau mempunyai minat baca tinggi untuk kelompok ini adalah yang membaca lebih dari 3,5 jam setiap hari. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa mayoritas kelompok lulusan perguruan tinggi di lokasi penelitian termasuk memiliki minat baca yang kurang atau menurut Razak (2004) termasuk malas membaca, yaitu membaca antara 2,5 sampai 3 jam dan bahkan ada yang sangat malas karena membaca kurang dari 2,5 jam setiap hari. Gambar 4.3.15 menegaskan bahwa kelompok mahasiswa sebagian besar (53,0 %) membaca antara 1 – 2 jam setiap hari, dan membaca kurang dari 1 jam setiap hari (18,1 %). Hal ini menunjukkan bahwa kelompok mahasiswa di lokasi penelitian memiliki minat baca rendah atau sangat malas membaca. Jika kita hanya mengelompokkan dua kelompok saja mengenai membaca ini yaitu memiliki minat baca yang tinggi dan dan memiliki 160
minat baca yang rendah, maka kelompok mahasiswa sebagian besar (75,9 %) memiliki minat baca yang rendah, dan hanya 24,1 % saja yang memiliki minat baca tinggi.
Gambar 4.3.15 Grafik Hubungan Beberapa Indikator dengan Minat Baca Kelompok Mahasiswa
Korbanan untuk membeli buku bagi mahasiswa juga tidak terlalu tinggi. Jumlah mahasiswa yang membeli buku kurang dari Rp. 50.000,- setiap bulan cukup tinggi (45,6 %) dan yang berbelanja buku antara Rp. 50.000,- - Rp 100.000,- juga cukup tinggi (45,6 %). Sedangkan yang berbelanja lebih dari Rp. 100.000,- sangat sedikit (8,8 %). Dari aspek kepemilikan buku pada responden mahasiswa juga tidak memberikan gambaran yang menggembirakan. Sebagian besar mahasiswa memiliki buku antara 0 – 10 judul buku (44,5 %), memiliki buku antara 10 – 25 judul (25,9 %), memiliki buku antara 25 – 50 judul buku (16 %), 50 – 100 judul buku (7,4 %), dan ada juga yang meiliki koleksi buku di atas 100 judul (6,2 %). Logikanya, jika mereka tidak membeli buku sehingga mereka tidak memiliki koleksi buku di rumahnya, maka mereka akan ke perpustakaan untuk memenuhi kebutuhan bacaannya. Namun, kenyataan ini tidak 161
terjadi. Sebagian besar mahasiswa hanya berkunjung ke perpustanaan umum sebanyak antara satu kali sampai dua kali seminggu (65,8 %). Jumlah yang berkunjung ke perpustakaan umum setiap hari tidak banyak yaitu hanya 12, 9 %. Yang mengherankan adalah masih ada mahasiswa yang jarang datang ke perpustakaaan umum yaitu berkunjung sekali sebulan (12,9 %), berkunjung sekali setiap tiga bulan (2,9 %), berkunjung sekali setiap enam bulan (1,4 %), dan berkunjung sekali setiap satu tahun (4,3 %). Untuk lulusan SMA atau SLTA sebagian besar responden membaca antara kurang dari satu jam dan antara 1 sampai 2 jam setiap hari. Hal ini juga dapat dikatakan sebagian besar responden memiliki minat baca yang kurang atau menurut Razak (2004) malas membaca (76,5 % membaca kurang dari 2 jam per hari). Ukuran rajin membaca bagi siswa SMU menurut Razak adalah mereka yang membaca antara dua jam sampai 2,5 jam setiap hari, sedangkan membaca antara 1,5 jam sampai dua jam setiap hari termasuk kategori malas, apalagi yang kurang dari 1,5 jam setiap hari dimasukkan dalam kategori sangat malas. Namun demikian ada sebagian responden yang termasuk kategori rajin membaca bahkan sangat rajin membaca dimana mereka membaca lebih dari 2 jam dan lebih dari 3 jam setiap hari (16,7 % responden membaca lebih dari 2 jam dan bahkan lebih dari 3 jam setiap hari sebesar 6,8 % responden). Ukuran sangat rajin membaca bagi siswa SMU adalah membaca lebih dari 2,5 jam setiap hari. Grafik pada gambar 4.3.16 memperlihatkan gambaran minat baca siswa SMA.
162
Gambar 4.3.16 Grafik Hubungan Beberapa Indikator dengan Minat Baca Kelompok Siswa SLTA
Dari besarnya dana yang dianggarkan untuk belanja buku tiap bulannya juga tidak menampakkan minat terhadap membaca yang tinggi. Pada umumnya responden kelompok ini berbelanja buku kurang dari Rp. 50.000,- per bulan (60,4 %), dan antara Rp. 50.000,- sampai Rp. 100.000,- (30,6 %). Sedangkan yang berbelanja buku lebih dari Rp.100.000,- tiap bulan hanya sebesar 2,7 % responden. Dari aspek kepemilikan buku juga menunjukkan hal yang sama, yaitu minat baca responden belum tinggi. Responden kelompok ini sebagian besar memiliki koleksi buku kurang dari 10 judul (61 % diantaranya tidak memiliki buku sama sekali sebesar 16,9 %). Sedangkan yang memiliki buku antara 10 sampai 25 judul hanya sebesar 29,4 %. Apalagi yang memiliki koleksi buku lebih dari 25 judul yaitu hanya sebesar 9,5 %. Walaupun tingkat kepemilikan buku mereka rendah dan kemauan untuk membeli buku rendah, kunjungan ke perpustakaan umumpun menunjukkan persentase yang rendah yaitu metoritas responden berkunjung ke perpustakaan sekali dalam sebulan (31 %), sekali dalam seminggu (20,7 %). Sedangkan yang berkunjung dua kali dalam seminggu hanya 19 %, apalagi yang berkunjung tiap hari ke perpustakaan umum yang hanya 5,2 %. Bahkan ada yang lebih jarang lagi dari sekali sebulan yaitu sekali dalam tiga bulan (6,9 %), sekali dalam enam bulan (1,7 %), dan yang hanya sekali dalam satu tahun (15,5 %). Untuk lulusan SMP membaca antara 1 sampai 2 jam setiap hari termasuk memiliki minat baca antara sedang sampai tinggi. Menurut Razak (2004) ukuran rajin membaca bagi SLTP adalah antara 1,25 jam sampai 1,5 jam per hari. Oleh karena itu lulusan SLTP di lokasi penelitian termasuk memiliki minat baca antara sedang atau rajin membaca sampai tinggi atau sangat rajin membaca (70,1 %), sedangkan sisanya 163
berada pada posisi malas membaca dan bahkan malas sekali membaca. Grafik pada gambar 4.3.17 memberikan gambaran lebih spesifik mengenai minat baca kelompok siswa SLTP. Pada gambar tersebut kelompok siswa yang membaca antara 1 – 2 jam menduduki posisi terbanyak yaitu 53,5 %. Artinya kelompok siswa SLTP di lokasi penelitian termasuk yang memiliki minat baca antara sedang sampai tinggi (rajin membaca). Bahkan sebanyak 16,7 % responden kelompok ini memiliki minat baca yang tinggi atau sangat rajin membaca. Hanya 29,9 % responden yang termasuk malas membaca.
Gambar 4.3.17 Grafik Hubungan Beberapa Indikator dengan Minat Baca Kelompok Siswa SLTP
Jika salah satu ukuran minat baca adalah korbanan biaya untuk membeli buku, maka kelompok responden ini tidak jauh berbeda dengan kelompok responden SMA maupun mahasiswa dimana mayoritas mereka berbelanja buku kurang dari Rp. 50.000,- dalam sebulan (56,5 %), dan antara Rp.50.000,- sampai Rp.100.000,- dalam sebulan (33 %), sedangkan sisanya mengaku berbelanja buku lebih dari Rp.100.000,164
setiap bulan (10,4 %). Dari sisi kepemilikan buku juga sama yaitu tidak menunjukkan minat yang tinggi teradap membaca. Mayoritas responden memiliki buku kurang dari 10 judul (59,1 %), memiliki buku antara 10 sampai 25 judul (27,5 %), dan memiliki buku lebih dari 25 judul (13,3 %). Yang agak menggembirakan adalah kunjungan mereka ke perpustakaan umum. Mayoritas responden kelompok ini berkunjung ke perpustakaan antar asekali dalam sebulan sampai dua kali dalam seminggu (81,9 %), dan bahkan ada yang tiap hari berkunjung ke perpustakaan (1,5 %). Hanya 16,7 % responden saja yang mengaku jarang berkunjung ke perpustakaan dimana mereka mengaku berkunjung antara sekali dalam tiga bulan sampai hanya sekali dalam satu tahun. Kelompok responden tamat SD dan tidak tamat SD juga berada pada posisi membaca antara 1 – 2 jam per hari. Oleh karena ukuran rajin dan tidaknya membaca bagi siswa SD semakin turun dibandingkan dengan SLTP, SLTA maupun mahasiswa, maka kelompok ini termasuk yang rajin membaca, yaitu berada pada kisaran membaca antara 45 menit sampai satu jam (Razak, 2004), dan bahkan berada di atas satu jam dimana menurut Razak termasuk yang sangat rajin membaca. Grafik pada gambar 4.3.18 berikut memberikan gambaran yang lebih jauh mengenai minat baca siswa SD. Sebagian besar (47,1 %) responden kelompok siswa SD mengaku membaca antara 1 – 2 jam setiap hari, dan ini termasuk kepada kelompok yang mempunyai minat baca yang tinggi. Bahkan 19,8 % termasuk yang memiliki minat baca sangat tinggi. Hanya 33,2 % siswa SD yang memiliki minat baca antara rendah sampai sedang. Menurut Razak (2004) siswa SD yang termasuk malas membaca adalah mereka yang membaca kurang dari 30 menit setiap hari.
165
Gambar 4.3.18 Grafik Hubungan Beberapa Indikator dengan Minat Baca Kelompok Siswa SD
Jika dilihat dari korbanan biaya untuk membeli buku, tingkat kepemilikan buku serta kunjungangan ke perpustakaan, maka kelompok responden SD tidak banyak berbeda dengan kelompok responden lainnya dimana korbanan biaya untuk membeli buku berada pada kurang dari Rp. 50.000,- setiap bulan, kepemilikan buku berada pada jumlah di bawah 10 judul buku. Namun demikian untuk kunjungan ke perpustakaan umum, kelompok ini agak mirip dengan kelompok siswa SMP, bahkan lebih baik, dimana frekuensi berkunjung mereka ke perpustakaan dapat dikatakan lumayan sering yaitu antara sekali dalam seminggu sampai setiap hari (79,6 %). Sisanya mengaku jarang berkunjung ke perpustakaan (20,4 %). Secara statistik menggunakan uji Rank Spearman dengan alat hitung SPSS, tingkat pendidikan ini memang ada hubungannya dengan durasi membaca, namun pada kasus di Pekanbaru hubungan tersebut sangat lemah yaitu dengan koefisien korelasi hanya sebesar 0,072. Hal ini menggambarkan bahwa minat baca masyarakat di Pekanbaru memang belum tinggi. Seharusnya semakin tinggi pendidikan seseorang kecenderungan membaca tinggi sangat kuat. Tabel 4.3.20 Korelasi pendidikan terhadap durasi membaca Durasi membaca Spearman's rho
Pendidikan
Correlation Coeficient Sig. (2-tailed)
,038
N
835
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
166
0,072(*)
Tabel 4.3.21 Hubungan antara Pendidikan dengan Besarnya Biaya Belanja Buku Pendidikan Terakhir Responden Tdk tamat SD Tamat SD Tamat SMP
Jumlah biaya berbelanja buku responden <50 rb 50rb‐100rb 100rb‐200rb 200rb‐300rb 300rb‐400rb 400rb‐500rb >500rb Jml
14
12
5
0
3
2
1
%
37,8
32,4
13,5
0,0
8,1
5,4
2,7
Jml
148
62
20
3
4
0
4
%
61,4
25,7
8,3
1,2
1,7
0,0
1,7
Jml %
Tamat SMA
Jml
Tamat Diploma
Jml
Tamat S1 Tamat S2‐ S3 Total
% % Jml % Jml
75
37
7
0
3
0
1
61,0
30,1
5,7
0,0
2,4
0,0
0,8
58
42
10
2
1
1
1
50,4
36,5
8,7
1,7
0,9
0,9
0,9
15
17
4
2
0
0
0
39,5
44,7
10,5
5,3
0,0
0,0
0,0
25
31
15
10
9
2
0
27,2
33,7
16,3
10,9
9,8
2,2
0,0
1
3
0
2
0
2
0
%
12,5
37,5
0,0
25,0
0,0
25,0
0,0
Jml
336
204
61
19
20
7
7
%
51,4
31,2
9,3
2,9
3,1
1,1
1,1
Gambar 4.3.19 Grafik Hubungan Latar Belakang pendidikan dengan Korbanan Membeli Buku 167
Tabel 4.3.21 Hubungan antara Pendidikan dengan Jumlah Pemilikan Buku Pendidikan Responden Jml resp Tdk tamat SD % Jml resp Tamat SD % Jml resp Tamat SMP % Jml resp Tamat SMA % Jml resp Tamat Diploma % Jml resp Tamat S1 % Jml resp Tamat S2‐S3 % Jml resp Total %
0 17 51,5 73 26,4 38 23,2 65 36,7 4 9,3 6 5,7 0 0,0 203 25,2
Jumlah responden memiliki buku < 10 10‐25 25‐50 50‐75 75‐100 >100 10 5 1 0 0 0 30,3 15,2 3,0 0,0 0,0 0,0 120 55 16 8 2 2 43,5 19,9 5,8 2,9 0,7 0,7 72 41 9 0 4 0 43,9 25,0 5,5 0,0 2,4 0,0 45 36 17 7 2 5 25,4 20,3 9,6 4,0 1,1 2,8 13 16 6 2 0 2 30,2 37,2 14,0 4,7 0,0 4,7 16 30 18 10 15 11 15,1 28,3 17,0 9,4 14,2 10,4 0 2 0 0 3 2 0,0 28,6 0,0 0,0 42,9 28,6 276 185 67 27 26 22 34,2 23,0 8,3 3,3 3,2 2,7
Gambar 4.3.20 Grafik Hubungan Latar Belakang pendidikan dengan Korbanan Pemilikan Buku
168
Tingkat pendidikan memang berkorelasi positif terhadap korbanan responden untuk membeli buku dan tingkat kepemilikan buku dengan nilai koefisein korelasi masing-masing sebesar 0,186 dan 0,3. Khusus untuk tingkat kepemilikan buku ternyata antara tingkat pendidikan dengan kepemilikan buku hubungannya lumayan tinggi. Dari tabel 4.3.21 dapat terlihat bahwa semakin tinggi pendidikan responden semakin banyak responden yang memiliki buku dalam jumlah besar dan semakin sedikit responden yang tidak punya koleksi buku pribadi. Tabel 4.3.23 Hubungan antara Pendidikan dengan Frekuensi Kunjung ke perpustakaan Jumlah kunjungan responden ke perpustakaan Pendidikan Responden 1x/th 1x/6bln 1x/3bln 1x/bln 1x/mg 2x/mg 1X/h Tdk tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Tamat Diploma
Tamat S1
Tamat S2‐S3
Total
Jml resp
0
0
1
0
2
4
0
%
0,0
0,0
14,3
0,0
28,6
57,1
0,0
Jml resp
14
4
9
21
53
56
20
%
7,9
2,3
5,1
11,9
29,9
31,6
11,3
Jml resp
10
1
5
20
14
12
4
15,2
1,5
7,6
30,3
21,2
18,2
6,1
5
2
8
21
35
22
31
4,0
1,6
6,5
16,9
28,2
17,7
25,0
1
1
0
3
13
9
10
2,7
2,7
0,0
8,1
35,1
24,3
27,0
3
1
0
15
32
26
14
3,3
1,1
0,0
16,5
35,2
28,6
15,4
0
0
0
0
3
3
1
%
0,0
0,0
0,0
0,0
42,9
42,9
14,3
Jml resp
33
9
23
80
152
132
80
%
6,5
1,8
4,5
15,7
29,9
25,9
15,7
% Jml resp % Jml resp % Jml resp % Jml resp
169
Gambar 4.3.21 Grafik Hubungan Pendidikan dengan Frekuensi Kunjung ke Perpustakaan
Pada
hubungan
antara
pendidikan
dengan
frekuensi
berkunjung
ke
perpustakaan malah negatif dengan nilai koefisien korelasi sebesar -0,200. Artinya, walaupun hubungannya sangat lemah, semakin tinggi pendidikan seseorang akan semakin jarang datang ke perpustakaan. Dengan kondisi perpustakaan yang belum dapat memuaskan pelanggannya, maka hal ini dapat dimengerti. Kemudian kebutuhan bahan bacaan tersebut dipenuhi dengan cara membeli sehingga tingkat kepemilikan, bagi kelompok tertentu, juga menjadi tinggi.
4.3.5 Hubungan Tingkat Pendapatan terhadap Membaca Diduga bahwa tingkat pendapatan seseorang mempunyai hubungan dengan kebiasaan membaca, sebab semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang semakin tinggi pula daya beli terhadap bahan bacaan yang tentu saja akan semakin tinggi pula durasi mereka membaca. Namun dari tabel dan grafik berikut dapat dilihat bahwa pola membaca dari beberapa kelompok penghasilan menunjukkan pola yang sama dimana pada semua kelompok penghasilan sebagian besar responden membaca selama kurang lebih 1 jam setiap hari.
170
Tabel 4.3.24 Hubungan antara Pendapatan dengan Durasi membaca Durasi membaca responden Penghasilan Responden 1‐2 j/mg 2‐3 j/mg 3‐4 j/mg < 1 j/hr 1‐2 j/hr 2‐3 j/hr > 3 j/hr Jml resp 2 1 3 4 10 1 3 < 500 rb % 8,3 4,2 12,5 16,7 41,7 4,2 12,5 Jml resp 5 1 3 32 34 10 11 500 ‐ 1 jt % 5,2 1,0 3,1 33,3 35,4 10,4 11,5 Jml resp 2 0 0 29 24 4 1 lbh 1 jt ‐ 1,5 jt % 3,3 0,0 0,0 48,3 40,0 6,7 1,7 Jml resp 1 0 0 22 26 2 6 lbh 1,5 jt ‐ 2,5 jt % 1,8 0,0 0,0 38,6 45,6 3,5 10,5 Jml resp 1 1 1 7 19 18 2 lbh 2,5 jt ‐ 3,5 jt % 2,0 2,0 2,0 14,3 38,8 36,7 4,1 Jml resp 3 0 1 1 4 11 11 lbh 3,5 ‐ 4,5 jt % 9,7 0,0 3,2 3,2 12,9 35,5 35,5 Jml resp 2 0 1 4 8 0 1 > 4,5 jt % 12,5 0,0 6,3 25,0 50,0 0,0 6,3 Jml resp 16 3 9 99 125 46 35 Total % 4,8 0,9 2,7 29,7 37,5 13,8 10,5
Gambar 4.3.22 Grafik Hubungan Pendapatan dengan Durasi Membaca
171
Jika besarnya penghasilan berpengaruh kepada lamanya membaca, seharusnya grafik orang yang berpengasilan rendah akan bergerak dari tinggi pada durasi baca pendek ke rendah pada durasi baca panjang (lama) dan sebaliknya yang berpenghasilan tinggi akan bergerak dari rendah pada durasi pendek ke tinggi pada durasi baca panjang (lama). Dengan kata lain bahwa semakin tinggi pendapatan seseorang akan cenderung semakin lama mereka membaca. Namun kenyataannya tidak demikian. Semua kelompok pendapatan menunjukkan pola yang sama yaitu bergerak dari rendah pada durasi membaca pendek (lama membaca lebih dari 1 - 2 jam per minggu), naik pada durasi membaca sedang (lama membaca sekitar 1 jam per hari), dan bergerak turun lagi pada durasi membaca tinggi (lama membacanya lebih dari 3 jam per hari). Hanya pada kelompok orang yang berpenghasilan antara 3,5 sampai 4,5 juta per bulan yang memperlihatkan gambaran seperti yang kita harapkan yaitu sebagian besar responden membaca lebih dari 3 jam setiap hari. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sebagian besar responden melakukan kegiatan membaca selama kurang lebih 1 jam setiap hari. Dan ini merupakan indikasi bahwa besarnya penghasilan ternyata tidak berpengaruh kepada kegiatan membaca. Secara statistik dibuktikan bahwa lama membaca (durasi) memang mempunyai hubungan yang sangat lemah dengan tingkat penghasilan. Nilai koefisien korelasinya hanya sebesar 0,143. Artinya, memang ada pengaruh penghasilan terhadap lama membaca, tetapi pengaruhnya sangat lemah. Namun yang agak mengejutkan adalah hubungan antara tingkat penghasilan dengan frekuensi seseorang datang ke perpustakaan yang mempunyai hubungan dengan nilai koefisien korelasi sebesar agak tinggi yaitu 0,478. Ini berarti semakin tinggi penghasilan seseorang, maka semakin sering pula dia mengunjungi perpustakaan. Pada masyarakat yang mempunyai kegemaran membaca yang tinggi, maka membeli buku untuk memuaskan dirinya dalam hal memenuhi kebutuhan bahan bacaan akan selalu dilakukan. Oleh karena itu asumsi sementara adalah semakin tinggi penghasilan seseorang maka akan semakin tinggi kegiatan membacanya yang ditandai dengan semakin tingginya korbanan waktu mereka dalam membaca. Pada hubungan antara tingkat penghasilan seseorang dengan kerelaan berkorban untuk membeli buku ternyata cukup baik, dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,333. Tabel 4.3.25 dan Gambar 4.3.23 memperlihatkan hubungan antara penghasilan dengan korbanan responden untuk membeli buku dan tingkat kepemilikan buku dari responden. Dari 172
tabel tersebut dapat terlihat bahwa semakin tinggi penghasilan responden, semakin banyak responden yang memiliki buku dalam jumlah yang lebih besar dan semakin sedikit yang tidak punya koleksi buku pribadi. Tabel 4.3.25 Gambaran Tingkat penghasilan dengan Anggaran Membeli Buku Tingkat Pendapatan Responden
< 500 rb
500 ‐ 1 jt
lbh 1 jt ‐ 1,5 jt
lbh 1,5 jt ‐ 2,5 jt
lbh 2,5 jt ‐ 3,5 jt
lbh 3,5 ‐ 4,5 jt
> 4,5 jt
Total
Jml Resp % Jml Resp % Jml Resp % Jml Resp % Jml Resp % Jml Resp % Jml Resp % Jml Resp %
Jumlah responden dengan anggaran belanja buku <50 rb 50‐100 rb 100‐200 rb 200‐300 rb 300‐400 rb 400‐500 rb >500 rb 9
7
2
0
0
0
0
50,0
38,9
11,1
0,0
0,0
0,0
0,0
29
16
4
3
0
0
1
54,7
30,2
7,5
5,7
0,0
0,0
1,9
15
13
2
0
0
0
0
50,0
43,3
6,7
0,0
0,0
0,0
0,0
18
14
2
1
1
1
0
48,6
37,8
5,4
2,7
2,7
2,7
0,0
8
19
8
1
7
0
0
18,6
44,2
18,6
2,3
16,3
0,0
0,0
5
6
2
10
2
4
0
17,2
20,7
6,9
34,5
6,9
13,8
0,0
4
4
4
0
0
0
0
33,3
33,3
33,3
0,0
0,0
0,0
0,0
88
79
24
15
10
5
1
39,6
35,6
10,8
6,8
4,5
2,3
0,5
173
Gambar 4.3.23 Hubungan Tingkat Penghasilan dengan Anggaran Membeli Buku Tabel 4.3.26 Gambaran Tingkat Penghasilan dengan Kepemilikan Buku Jumlah responden yang memiliki buku
Tingkat Pendapatan Responden < 500 rb 500 ‐ 1 jt lbh 1 jt ‐ 1,5 jt lbh 1,5 jt ‐ 2,5 jt lbh 2,5 jt ‐ 3,5 jt lbh 3,5 ‐ 4,5 jt > 4,5 jt Total
0 jdl < 10 jdl 10‐25 jdl 25‐50 jdl 50‐75 jdl 75‐100 jdl >100 jdl Jml Resp
13
4
4
2
0
1
0
54,2
16,7
16,7
8,3
0,0
4,2
0,0
36
21
20
6
2
0
3
40,9
23,9
22,7
6,8
2,3
0,0
3,4
24
23
12
2
1
1
1
37,5
35,9
18,8
3,1
1,6
1,6
1,6
19
11
17
9
1
0
1
32,8
19,0
29,3
15,5
1,7
0,0
1,7
7
6
11
11
8
5
3
13,7
11,8
21,6
21,6
15,7
9,8
5,9
1
4
4
1
3
12
5
3,3
13,3
13,3
3,3
10,0
40,0
16,7
0
1
4
1
1
1
3
%
0,0
9,1
36,4
9,1
9,1
9,1
27,3
Jml Resp
100
70
72
32
16
20
16
%
30,7
21,5
22,1
9,8
4,9
6,1
4,9
% Jml Resp % Jml Resp % Jml Resp % Jml Resp % Jml Resp % Jml Resp
174
Gambar 4.3.24 Grafik Hubungan Tingkat Penghasilan dengan Kepemilikan Buku Dari tabel dan gambar di atas menunjukkan bahwa pola kepemilikan buku dari semua tingkatan pendapatan responden menunjukkan hal yang kurang lebih sama yaitu sebagian besar mereka memiliki buku kurang dari 10 judul buku, terutama pada kelompok berpendapatan di bawah Rp. 2,5 juta. Sedangkan pada kelompok berpenghasilan di atas Rp. 2,5 juta, kepemilikan bukunya makin meningkat, bahkan pada kelompok berpenghasilan Rp. 4,5 juta banyak responden yang memiliki koleksi lebih dari 100 judul buku. Secara stratistik memang ada hubungan antara pendapatan responden dengan tingkat kepemilikan buku dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,439. Tabel 4.3.27 Gambaran Tingkat Penghasilan dengan Frekuensi Kunjung ke Perpustakaan Tingkat Pendapatan Responden < 500 rb 500 ‐ 1 jt lbh 1 jt ‐ 1,5 jt
Jml Resp % Jml Resp % Jml Resp %
Jumlah kunjungan responden ke perpustakaan 1x/th 1x/6bln 1x/3bln 1x/bln 1x/mg 2x/mg 1X/h 1
0
0
1
5
3
5
6,7
0,0
0,0
6,7
33,3
20,0
33,3
3
1
4
3
11
19
19
5,0
1,7
6,7
5,0
18,3
31,7
31,7
3
1
2
6
6
1
12
9,7
3,2
6,5
19,4
19,4
3,2
38,7
175
Tingkat Pendapatan Responden lbh 1,5 jt ‐ 2,5 jt lbh 2,5 jt ‐ 3,5 jt lbh 3,5 ‐ 4,5 jt > 4,5 jt Total
Jml Resp % Jml Resp % Jml Resp % Jml Resp % Jml Resp %
Jumlah kunjungan responden ke perpustakaan 1x/th 1x/6bln 1x/3bln 1x/bln 1x/mg 2x/mg 1X/h 0
2
2
6
14
3
9
0,0
5,6
5,6
16,7
38,9
8,3
25,0
0
0
1
9
14
12
3
0,0
0,0
2,6
23,1
35,9
30,8
7,7
0
0
0
1
10
9
9
0,0
0,0
0,0
3,4
34,5
31,0
31,0
1
0
0
5
0
1
5
8,3
0,0
0,0
41,7
0,0
8,3
41,7
8
4
9
31
60
48
62
3,6
1,8
4,1
14,0
27,0
21,6
27,9
Gambar 4.3.25 Grafik Hubungan Tingkat Penghasilan dengan Frekuensi Kunnjung ke Perpustakaan Tabel 4.3.27 dan gambar 4.3.25 menunjukkan pola kunjungan responden ke perpustakaan menurut kelompok penghasilan tertentu. Pada kelompok responden berpenghasilan kurang dari Rp.2,5 juta, memiliki kebiasaan berkunjung ke perpustakaan umum dengan frekuensi yang cukup sering yaitu antara berkunjung setiap hari sampai kepada berkunjung sekali dalam sebulan. Namun pada kelompok
176
responden yang berpenghasilan lebih tinggi jumlah responden yang sering berkunjung ke perpustakaan menjadi berkurang.
4.3 6 Bahan Bacaan yang Disukai Responden Menurut Razak (2004) yang lebih penting dalam mengukur lama membaca seseorang adalah proses yang mendorong kegiatan membaca seseorang dimana kegiatan membaca tersebut didorong oleh keinginan atau motivasi yang keluar dari dirinya, bukan karena dipaksa seperti disuruh oleh guru atau merupakan kewajiban dari sekolah. Lebih jauh Razak menyatakan dalam mengukur waktu membaca adalah: “Waktu yang dicatat hanyalah waktu yang digunakan untuk membaca buku di luar lingkungan sekolah, seperti di rumah, perpustakaan (bukan perpustakaan sekolah), toko buku, pameran buku, rumah teman, atau tempat‐tempat lainnya.” Untuk mempermudah dalam memperoleh jenis bacaan yang dibaca oleh responden maka penelitian ini mengelompokkan bahan bacaan kedalam empat macam yaitu koran, majalah, buku dan komik. Responden dapat memilih lebih dari satu jenis bahan bacaan. Hasil dari survey ini menunjukkan bahwa buku merupakan bahan bacaan paling banyak dibaca menyusul koran, kemudian majalah dan terakhir adalah komik (lihat tabel 4.3.28). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebagian besar responden memilih bacaan yang serius atau responden tersebut membaca dalam artian yang sebenarnya yaitu untuk menimba ilmu dari bahan bacaan yang dibacanya. Yang mengherankan adalah pada kelompok mahasiswa yang lebih banyak membaca koran daripada membaca buku. Membaca seperti itu termasuk kategori hanya ingin tahu sesuatu sehingga terbatas membaca surat kabar saja. Sedangkan pegawai swasta dan pedagang cukup wajar bila kelompok ini lebih banyak memilih membaca koran daripada
membaca
buku,
sebab
mereka
memerlukan
informasi
mengenai
perkembangan bisnis yang menjadi kompetensinya. Ibu rumah tangga memilih koran dan majalah sebagai bacaan yang lebih disukainya. Hal ini dapat dimengerti karena sebagian besar ibu rumah tangga membaca untuk mendapatkan bacaan hiburan sehingga mereka memilih koran (termasuk tabloit) dan majalah hiburan. Kelompok dosen memilih tiga kelompok bahan bacaan yaitu buku, majalah dan koran secara berimbang dan tidak membaca komik. Hal ini wajar karena sebagai dosen mereka harus 177
terus memperbaharui pengetahuannya melalui ketiga kelompok bahan bacaan tersebut. Siswa SD dan SLTP lebih banyak membaca buku dibandingkan dengan ketiga bahan bacaan lain. Diduga buku yang mereka baca adalah kelompok buku-buku cerita atau dongeng. Mereka juga membaca komik lebih banyak dibandingkan dengan membaca koran dan majalah. Namun siswa SMU justru lebih banyak membaca komik dibandingkan dengan membaca buku. Walaupun perbedaannya tidak terlalu mencolok, namun ini agak mengherankan sebab sebagai pelajar mestinya mereka lebih banyak membaca buku untuk meningkatkan pengetahuan serta wawasan mereka. Membaca komik termasuk kelompok yang membaca karena senang melihat gambar. Kelompok pegawai negeri, guru, TNI/POLRI, serta buruh lebih banyak membaca koran dibandingkan dengan bahan bacaan lainnya. Pegawai negeri sipil memilih bahan bacaan koran lebih banyak daripada jenis bahan bacaan lain, sedangkan guru berimbang antara membaca buku dengan membaca koran. Tabel 4.3.28 Bahan bacaan yang dibaca oleh responden Koran Majalah Buku Komik Mahasiswa 61 47 57 34 Pegawai Swasta 50 34 48 15 Petani/Nelayan 26 11 15 1 Ibu Rumah Tangga 25 25 24 1 Pedagang 20 11 14 0 Dosen 25 24 25 0 Siswa SD 45 49 126 85 Siswa SMP 58 76 102 93 Siswa SMU 75 85 80 89 PNS 52 38 42 6 Guru 35 28 34 1 TNI/Polri 21 9 3 4 Buruh 14 8 11 6 Total 507 445 581 335 Persen 56,27 49,39 64,48 37,18
Informasi tentang jenis bacaan yang digemari berbagai kelompok profesi ini dapat membantu perpustakaan menentukan jenis bacaan yang disediakan untuk kalangan utama pembacanya. 178
Tabel 4.3.29 Durasi membaca Koran, majalah dan buku > 3 jam 2 – 3 jam 1 – 2 jam < 1 jam 3 – 4 jam 2 – 3 jam 1 – 2 jam per hari per hari per hari per hari per minggu per minggu per minggu 20 33 157 371 15 11 50 Baca Koran 3,0 % 6,4 % 23,9 % 56,5 % 2,3 % 1,7 % 7,6 % 12 37 164 278 14 13 62 Baca Majalah 2,1 % 9,7 % 28,3 % 47,9 % 2,4 % 2,2 % 10,7 % 86 71 291 209 18 18 36 Baca Buku 11,8 % 9,7 % 39,9 % 28,7 % 2,5 % 2,5 % 4,9 %
Kegiatan membaca koran dilakukan kurang dari satu jam setiap hari oleh sebagian besar responden (56,5 %), dan antara 1 – 2 jam setiap hari (23,9 %). Namun ada juga yang membaca koran lebih dari 2 jam setiap hari yaitu antara 2 – 3 jam (6,4 %), bahkan lebih dari 3 jam setiap hari (3 %). Hal ini tidak lazim dilakukan. Hal yang sama terjadi pada membaca majalah yaitu rata-rata responden membaca majalah antara kuran dari satu jam sampai 2 jam setiap hari. Membaca majalah lebih dari dua atau bahkan lebih dari 3 jam setiap hari tidak biasa dilakukan orang. Sebaliknya, membaca buku biasanya dilakukan lebih lama dibandingkan dengan membaca koran dan majalah. Kelompok orang yang membaca buku lebih dari 1 jam setiap hari ternyata cukup besar yaitu sebesar 61,4 % dan yang membaca buku kurang dari 1 jam setiap hari sebesar 28,7 %. Yang agak mengherankan adalah membaca buku antara 1 – 4 jam per minggu yang dilakukan oleh 9,9 % responden merupakan hal yang kurang lazim, karena biasanya membaca buku (untuk mengerti isi buku tersebut) merupakan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus tanpa terputus sampai buku tersebut selesai (tamat) dibaca.
179
Gambar 4.3.26 Gambaran Bacaan yang Digemari
Bahan bacaan yang paling populer adalah ilmu pengetahuan populer yaitu dipilih oleh 497 responden, diikuti dengan bacaan kelompok buku agama yang dipilih oleh 369 responden, kemudian bacaan pengetahuan populer oleh 218 responden, bacaan lainlain dipilih oleh 169 responden, dan terakhir dan paling sedikit adalah buku-buku fiksi. Fakta ini menunjukkan bahwa masyarakat, khususnya di lokasi penelitian, tidak begitu menyukai fiksi/sastra. Hal ini memperkuat pernyataan Taufik Ismail yang menyatakan bahwa sejak tahun 1943 sekolah-sekolah SMA di Indonesia tidak pernah mewajibkan siswanya membaca buku-buku sastra. Dikatakan demikian oleh Taufik Ismail karena di sekolah-sekolah SMA buku sastra (1) tak disebut di kurikulum, (2) dibaca Cuma ringkasannya, (3) siswa tak menulis mengenainya, (4) tidak ada di perpustakaan sekolah, dan (5) tidak diujikan6. Jika siswa diberi tugas wajib untuk membaca buku sastra, maka diharapkan hal ini mendorong siswa tersebut untuk membaca karya-karya sastra yang lain.
6
Taufik Ismail (2005). Tragedi Nol Buku Tragedi Kita Bersama. Makalah Rapat Kerja Nasional Ikatan Pustakawan Indonesia, Hotel Mutiara Merdeka, Pekanbaru, tanggal 31 Mei 2005. 180
Untuk membaca buku, sebagian besar responden mengaku membeli (67,6 %), diikuti dengan meminjam dari meminjam dari teman (37,6 %), perpustakaan umum (36,3 %), dan meminjam dari kantor atau pejabat pemerintah (8,5 %). Tabel 4.3.30 Gambaran Perolehan Buku Responden Sebagai Bahan Bacaan Responden
Meminjam Meminjam dari Kantor/ Perpustakaan Membeli dari Teman Pejabat/aparat Umum pemerintah
Mahasiswa
51
54
9
53
Pegawai Swasta
45
33
7
32
Petani/Nelayan
17
14
0
1
Ibu Rumah Tangga
17
7
3
23
Pedagang
16
3
0
12
Dosen
25
2
9
24
Siswa SD
135
26
20
41
Siswa SMP
117
70
0
28
Siswa SMU
106
92
1
42
PNS
33
11
21
36
Guru
34
16
5
26
4
8
1
2
TNI/Polri Buruh
9
3
1
7
Jumlah
609
339
77
327
Persen dari sampel
67,6
37,6
8,5
36,3
Tabel 4.3.30 diatas menunjukkan bahwa peran perpustakaan umum belum optimal sebab belum banyak responden yang memanfaatkan perpustakaan untuk memenuhi kebutuhan bahan bacaannya. Padahal usaha Pemerintah Provinsi sudah sangat gencar dilakukan misalnya melalui Gerakan Riau Membaca dan Gerakan Hibah Sejuta Buku. Tidak kurang dari Gubernur Riau sendiri yaitu H.M. Rusli Zainal yang mencanangkan gerakan tersebut. Gerakan ini didukung juga oleh DPRD Provinsi Riau, Penggerak PKK Provinsi Riau (yang memiliki rumah-rumah baca atau sudut-sudut baca), Harian Riau Pos, dan Yayasan Bandar Serai (memiliki kampung baca)7. Melalui gerakan ini Gubernur Riau meminta kepada setiap pejabat Provinsi Riau yang berkesempatan bertugas ke luar kota diwajibkan menyumbang dua buah buku sebagai oleh-oleh. Buku-buku tersebut dikumpulkan
oleh Kantor Perpustakaan dan Arsip
7
Hibah Sejuta Buku Dimulai. Harian Riau Pos, 25 Juli 2006. 181
Daerah untuk kemudian didistribusikan ke taman-taman bacaan di seluruh Provinsi Riau. Melalui Gerakan Hibah Sejuta Buku ini diharapkan dalam waktu lima tahun jumlah sejuta buku tersebut dapat dicapai. Semangat untuk mengumpulkan buku ini didorong oleh banyaknya anak-anak di daerah yang jarang membaca karena ketiadaan bahan bacaan. Kepedulian Pemerintah Provinsi Riau ini tidak main-main karena untuk mendukung gerakan Riau Membaca ini pada tahun 2007 Pemerintah Provinsi Riau telah mengucurkan anggaran sebesar Rp 33,1 Milyar, suatu jumlah yang cukup besar untuk suatu perpustakaan saat ini8. Bahkan gerakan seperti ini juga dilakukan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan ikut mendirikan tamanbacaan anak di enam kecamatan di provinsi Riau9. Perhatian terhadap penyediaan buku untuk meningkatkan minat baca masyarakat ini juga diberikan oleh Pemerintah Pusat, salah satunya melalui Departemen Pendidikan Nasional dalam hal ini ditangani oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah yang pada tahun 2007 menyediakan dana sebesar Rp. 90 milyar untuk peningkatan budaya baca masyarakat Indonesia. Dari dana tersebut 60 % diberikan dalam bentuk block grant yang disalurkan berdasarkan proposal ke Pemerintah Daerah melalui Pemerintah Provinsi. Dana tersebut untuk mensubsidi taman bacaan masyarakat yang jumlahnya tidak kurang dari 6.000 unit. Setiap taman bacaan masyarakat mendapatkan subsidi antara Rp. 5 juta sampai Rp. 40 juta untuk pengadaan koleksi taman bacaannya (perpustakaan). Tahun-tahun sebelumnya Pemerintah Pusat juga telah mengucurkan dana bantuan serupa, misalnya pada tahun 2005 sebesar Rp. 8,5 milyar dan pada tahun 2006 naik menjadi Rp. 40 milyar10. Namun demikian kondisi koleksi perpustakaan umum belum juga memuaskan sesuai kebutuhan masyarakat seperti yang disinyalir oleh Ketua Lembaga Pengembangan Anak Negeri (LPAN) Kepulauan Riau, W. Sudarwanto, yang menyatakan faktor dominan yang menyebabkan warga kurang berminat mengunjungi perpustakaan salah satunya akibat
8
Mahasiswa ke Perpustakaan untuk Skripsi. Harian Riau Mandiri, Selasa 24 April 2007.
9
PKS Dirikan Enam Taman Bacaan. Harian Riau Pos, Selasa 24 Juli 2007.
10
Taman Bacaan Jadi Prioritas. Kompas, Kamis 12 Juli 2007. 182
koleksi buku-buku yang ada selain terbatas, juga buku-bukunya relatif monoton. Intinya jarang ditemukan ada buku-buku koleksi terbaru di perpustakaan tersebut11.
4.3.7 Hubungan Karakteristik Responden dengan Minat Baca Secara ringkas pada tabel dan grafik berikut dapat dilihat hubungan karakteristik responden (umur, pendidikan, pendapatan) dengan minat baca (durasi membaca, frekuensi membaca dan korbanan) untuk Kota Pekanbaru adalah sebagai berikut. Tabel 4.3. 31 Hubungan Karakteristik responden dengan Minat Baca Minat Baca Karakteristik Responden
Durasi Baca
Frekuensi baca
Umur
0,011
Pendidikan Pendapatan
Korbanan Beli buku
Pemilikan buku
‐0,186**
0,197**
0,199**
0,072*
‐0,200**
0,186**
0,300**
0,143**
0,478**
0,333**
0,439**
** Korelasi nyata pada α = 0,01 (uji dua arah). * Korelasi nyata pada α = 0,05 (uji dua arah).
Pada sejumlah grafik berikut jelas tergambar korelasi yang dimaksud.
11
Minat Baca Masih Rendah. Harian Media Riau, 25 Juli 2007. 183
MODEL:
MOD_1
Independent:
durasi
Dependent Mth
Rsq
d.f.
F
Sigf
b0
b1
Umur_1
LIN
,001
833
,72
,395
3,0543
,0411
Pddkn_1
LIN
,011
833
8,95
,003
2,7475
,1226
Umur
Pendidikan
Observed
7.00
Linear
6.00
6.00
5.00
5.00
4.00
4.00
3.00
3.00
2.00
2.00
1.00
Observed
7.00
Linear
1.00 1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
1.00
Durasi membaca
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
Durasi membaca
Gambar a. Plot data ordinal hubungan Karakteristik Personal
Gambar b. Plot data ordinal hubungan Karakteristik Personal
terhadap Minat Baca komponen Umur dengan Durasi
terhadap Minat Baca komponen Pendidikan dengan Durasi
membaca, r = 0,011 tidak berbeda nyata pada α = 0,01 dan α =
membaca, r = 0,072 berbeda nyata pada α = 0,05 (uji dua
0,05 (uji dua arah).
arah), Ini berarti semakin tinggi pendidikan terdapat
kecenderungan durasi membaca semakin tinggi pula.
Gambar 4.3.27 Grafik Model Data Plot Umur dan Pendidikan terhadap Durasi baca
184
MODEL:
MOD_2.
Independent:
Frekuensi
Dependent Mth
Rsq
d.f.
F
Sigf
b0
b1
LIN
,038
519
20,32
,000
4,1641
-,1916
Pddkan_1 LIN
,027
519
14,22
,000
4,1754
-,1378
Umur_1
Umur
Pendidikan Observed
7.00
Observed
7.00
Linear
Linear
6.00
6.00
5.00
5.00
4.00
4.00
3.00
3.00
2.00
2.00
1.00
1.00 1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
Frekuensi baca
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
Frekuensi baca
Gambar a. Plot data ordinal hubungan Karakteristik Personal
Gambar b. Plot data ordinal hubungan Karakteristik Personal
terhadap Minat Baca komponen Umur dengan Frekuensi baca, r
terhadap Minat Baca komponen Pendidikan dengan Frekuensi
= ‐0,186 berbeda nyata pada α = 0,01 (uji dua arah). Ini
baca, r = ‐0,200 berbeda nyata pada α = 0,01 (uji dua arah).
berarti semakin tinggi umur terdapat kecenderungan
In i berarti semakin tinggi pendidikan terdapat
frekuensi membaca semakin menurun.
kecenderungan frekuensi membaca semakin menurun.
Gambar 4.3.28 Grafik Model Data Plot Umur dan Pendidikan terhadap Frekuensi Baca
185
MODEL:
MOD_3
Independent:
Korbanan
Dependent Mth
Rsq
d.f.
F
Sigf
b0
b1
Umur_1
LIN
,026
655
17,15
,000
2,6703
,2323
Pddkn_1
LIN
,040
655
27,12
,000
2,7985
,2595
Pendidikan
Umur
Observed
7.00
Observed
7.00
Linear
Linear 6.00
6.00
5.00
5.00
4.00
4.00
3.00
3.00
2.00
2.00 1.00
1.00 1.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
2.00
7.00
Beli buku
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
Beli buku
Gambar a. Plot data ordinal hubungan Karakteristik Personal
Gambar b. Plot data ordinal hubungan Karakteristik Personal
terhadap Minat Baca komponen Umur dengan Pembelian buku, r
terhadap Minat Baca komponen Pendidikan dengan
= 0,197 berbeda nyata pada α = 0,01 (uji dua arah). Ini berarti
Pembelian buku, r = 0,186 berbeda nyata pada α = 0,01 (uji
semakin tinggi umur terdapat kecenderungan pembelian
dua arah). Ini berarti semakin tinggi pendidikan
buku semakin tinggi.
terdapat kecenderungan pembelian buku semakin tinggi pula.
Gambar 4.3.29 Grafik Model Data Plot Umur dan Pendidikan terhadap Beli Buku
186
MODEL:
MOD_5.
Independent:
Dependent Mth Pdptn_1
MODEL:
Durasi
LIN
MOD_6.
Independent:
Rsq
d.f.
F
Sigf
b0
b1
,011
790
8,45
,004
3,0827
,0875
Frekuensi
Dependent Mth Pdptn_1
LIN
Rsq
d.f.
F
Sigf
b0
b1
,208
238
62,49
,000
2,1988
,3809
Pendapatan
Pendapatan
Observed
7.00
Observed
7.00
Linear
Linear
6.00
6.00
5.00
5.00
4.00
4.00
3.00
3.00
2.00
2.00
1.00
1.00 1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
1.00
2.00
3.00
Durasi membaca
4.00
5.00
6.00
7.00
Frekuensi membaca
Gambar a. Plot data ordinal hubungan Karakteristik Personal
Gambar b. Plot data ordinal hubungan Karakteristik Personal
terhadap Minat Baca komponen Pendapatan dengan Durasi
terhadap Minat Baca komponen Pendapatan dengan Frekuensi
membaca, r = 0,143 berbeda nyata pada α = 0,01 (uji dua arah).
membaca, r = 0,478 berbeda nyata pada α = 0,01 (uji dua arah).
Ini berarti semakin besar pendapatan terdapat kecenderungan
Ini berarti semakin besar pendapatan terdapat kecenderungan
durasi membaca semakin meningkat pula.
frekuensi membaca semakin banyak.
Gambar 4.3.30 Grafik Model Data Plot Pendapatan terhadap Durasi dan Frekuensi Baca MODEL:
MOD_7.
Independent:
Dependent Mth Pdptn_1
MODEL:
Korbanan
LIN
MOD_8.
Independent:
Rsq
d.f.
F
Sigf
b0
b1
,111
238
29,63
,000
2,8597
,4352
Pmlknbuku
Dependent Mth Pdptn_1
LIN
Rsq
d.f.
F
Sigf
b0
b1
,232
342
103,37
,000
2,2936
,4348
Pendapatan
Pendapatan
Observed
7.00
Linear
6.00
6.00
5.00
5.00
4.00
4.00
3.00
3.00
2.00
2.00
1.00
Observed
7.00
Linear
1.00 1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
1.00
Pembelian buku
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
Pemilikan buku
Gambar 6a. Plot data ordinal hubungan Karakteristik Personal
Gambar b. Plot data ordinal hubungan Karakteristik Personal
terhadap Minat Baca komponen Pendapatan dengan Pembelian
terhadap Minat Baca komponen Pendapatan dengan Pemilikan
buku, r = 0,333 berbeda nyata pada α = 0,01 (uji dua arah). Ini
buku, r = 0,439 berbeda nyata pada α = 0,01 (uji dua arah). Ini
berarti semakin besar pendapatan terdapat kecenderungan
berarti semakin besar pendapatan terdapat kecenderungan
pembelian buku semakin banyak.
pemilikan buku semakin banyak.
Gambar 4.3.31 Grafik Model Data Plot Pendapatan terhadap Pembelian dan Pemilikan Buku
187
Dari tabel dan grafik diatas dapat disimpulkan hal-hal berikut: 1.
Terdapat korelasi nyata negatif walau sangat kecil antara umur dengan durasi membaca.
Ini berarti makin tua umur seseorang, makin singkat durasi
membacanya. Ini mungkin berhubungan dengan daya tahan tubuh. 2. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara umur dengan frekuensi membaca. 3. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara umur dengan korbanan membeli bahan bacaan. 4. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara umur dengan korban pemilikan buku. 5. Terdapat korelasi nyata negatif walau kecil antara pendidikan dengan durasi membaca. 6. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendidikan dengan frekuensi membaca. 7.
Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendidikan dengan korbanan membeli bahan bacaan.
8. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendidikan dengan korbanan memiliki bahan bacaan. 9. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendapatan dengan durasi membaca. 10. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendapatan dengan frekuensi membaca. 11. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendapatan dengan korbanan membeli bahan bacaan. 12. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendapatan dengan korbanan memiliki bahan bacaan.
188
4.4. Banjarmasin 4.4.1 Gambaran Umum Responden Kota Banjarmasin Jumlah kuesioner yang disebarkan di Kota Banjarmasin sebanyak 1000 unit, namun yang kembali malah lebih besar yaitu 1003 kuesioner (100,03 %). Sampel terdiri dari 442 orang laki-laki (44,07 %) dan 324 orang perempuan (32,30 %). Sebanyak 237 responden (23,63 %) tidak mengisi pertanyaan mengenai jenis kelamin. Sampel tersebut terdiri dari beberapa kelompok profesi yaitu 100 orang mahasiswa (9,97 %), 50 orang pegawai swasta (4,99 %), 48 orang petani dan nelayan (4,79 %), 101 orang ibu rumah tangga (10,07 %), 25 orang pedagang (2,49 %), 25 orang dosen (2,49 %), 149 orang siswa SD (14,86 %), 150 orang siswa SMP (14,96 %), 153 orang siswa SMU (15,25 %), 101 orang pegawai negeri sipil (10,07 %), 25 orang guru (2,49), 50 orang anggota TNI/Polri (4,99 %), dan 26 orang buruh (2,59 %). Sebagian besar responden yang terjaring merupakan penduduk asli Kota Banjarmasin atau setidaknya lahir di kota Banjarmasin yaitu sebesar 622 responden (62,01 %), sebesar 133 responden lainnya (13,26 %) mengaku sebagai pendatang, sedangkan sisanya sebesar 248 responden (24,73 %) tidak menjawab. Angka yang tidak menjawab ini cukup besar. Umumnya pendatang atau perantau ini sudah baru tinggal di kota Banjarmasin antara kurang dari 5 tahun sampai lebih dari 15 tahun. Dari aspek status dalam rumah tangga, responden dapat dibagi menjadi 174 orang (17,35 %) berstatus sebagai ayah, 214 orang (21,34 %) berstatus sebagai ibu, sedangkan sisanya sebanyak 603 orang responden (60,12 %) berstatus sebagai anak, sedangkan 12 orang (1,2 %) tidak menjawab status yang bersangkutan. Tabel 4.4.1 Responden berdasarkan jenis kelamin Kelompok Responden Laki‐laki Perempuan Jumlah Mahasiswa 39 61 100 Pegawai Swasta 20 30 50 Petani/Nelayan 41 7 48 Ibu Rumah Tangga 0 101 101 Pedagang 16 9 25 Dosen 15 10 25 Siswa SD 65 84 149 Siswa SMP 61 89 150 Siswa SMU 68 85 153 PNS 43 58 101 189
% 9,97 4,99 4,79 10,07 2,49 2,49 14,86 14,96 15,25 10,07
Kelompok Responden Laki‐laki Perempuan Jumlah Guru 6 19 25 TNI/Polri 46 4 50 Buruh 23 3 26 Jumlah 443 560 1003
% 2,49 4,99 2,59
Sedangkan dari ke segi kelompok umur, responden terbagi menurut kelompok umur kurang dari 12 tahun yaitu sebanyak 169 orang ( 18,23 %), kelompok umur 13 tahun sampai dengan 15 tahun sebanyak 112 orang (12,08 %), kelompok umur 16 tahun sampai dengan 18 tahun sebesar 155 orang (16,72 %), kelompok umur 19 tahun sampai dengan 23 tahun sebesar 103 orang (11,11 %), kelompok umur 24 tahun sampai dengan 40 tahun sebanyak 213 orang (22,98 %), keompok umur 41 tahun sampai dengan 55 tahun sebanyak 136 orang (16,67 %), dan terakhir yang berusia lebih dari 56 tahun sebanyak 6 orang (2,16 %). Sebanyak 19 orang (2,05 %) responden tidak mengisi pertanyaan mengenai umur. Tabel 4.4.2 Responden Banjarmasin berdasarkan kelompok umur Tidak Mengisi
Umur (tahun) Kelompok
< 12 th
13‐15
16‐18
Mahasiswa
0
0
8
Pegawai Swasta Petani/Nelayan
3
3
0
Ibu Rumah Tangga Pedagang Dosen
24‐40
41‐55
>56
87
3
1
0
99
1
4
32
7
0
50
0
0
0
17
19
36
48
0
0
0
0
42
42
16
100
0
0
0
3
14
5
2
24
0
1
0
1
15
8
0
25
Siswa SD
144
6
0
0
0
0
0
150
Siswa SMP
26
123
1
0
0
0
0
149
Siswa SMU
0
27
126
0
0
0
0
153
PNS
0
0
0
1
35
59
3
95
Guru
0
0
0
0
12
12
0
24
TNI/Polri
0
0
0
2
19
16
0
47
Buruh
1
0
0
3
14
6
2
26
174
160
136
101
203
175
59
991
Jumlah
19‐23
Jumlah 1 0 0 0 1 0 0 0 0 6 1 3 0 12
Sesuai dengan kuota, maka responden yang berasal dari kalangan yang masih sekolah lebih besar yaitu 564 responden (56,23 %), yang sudah tidak bersekolah lagi 190
sebesar 325 responden (32,40 %), sedangkan sisanya sebesar 114 responden (11,37 %) tidak menjawab apakah mereka masih berstatus masih sekolah atau sudah bekerja. Responden yang masih sekolah terdiri dari siswa sekolah dasar atau SD sebesar 151 responden (26,17 %), siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sebesar 153 responden (26,52 %), siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) sebesar 164 responden (28,42 %), mahasiswa sebesar 109 responden (18,89 %). Tabel 4.4.3 Status responden pada kelompok yang masih bersekolah Siswa SD Jumlah
Siswa SLTP
%
151 26,17
Jumlah
%
153 26,52
Siswa SLTA Jumlah
%
164 28,42
Mahasiswa Jumlah
%
Total Jumlah
109 18,89
%
557 57,53
Gambar 4.4.1 berikut menunjukkan kondisi responden dalam hal pendidikan. Responden yang tidak tamat SD sebesar 30 responden (2,99 %), tamat SD sebanyak 93 responden (9,27 %), tamat SLTP sebanyak 167 reponden (16,65 %), tamat SLTA sebesar 252 responden (25,12 %), diploma sebesar 31 responden (3,09 %), sarjana sebesar 120 responden (11,96 %), dan pascasarjana atau bergelar S2 dan atau S3 sebesar 16 responden (1,60 %). Sebanyak 294 (29,31 %) responden tidak mengisi pertanyaan mengenai latar belakang pendidikan mereka.
Gambar 4.4.1 Grafik Sebaran Tingkat Pendidikan Responden
Dari aspek profesi responden diharapkan dapat mewakili sebanyak mungkin profesi. Kelompok responden tersebut terdiri atas pegawai negeri sebesar 148 191
responden (45,12 %), pegawai swasta sebesar 45 (13,72 %) responden, pedagang sebesar 33 responden (10,06 %), TNI/Polri sebesar 40 responden (12,20 %), petani dan nelayan sebesar 34 responden (10,37 %), wiraswastawan sebesar 4 responden (1,22 %), wartawan tidak ada (0,00 %), buruh sebesar 24 responden (7,32 %), dan profesi lainnya yang tidak termasuk kategori tersebut sebesar 106 responden (32,32 %). Tabel 4.4.4 Responden berdasarkan profesi
Jumlah
148
45
33
40
34
4
Lainnya
Buruh
Wartawan
Wiraswasta
Petani
TNI/POLRI
Pedagang
Swasta
Negeri
Profesi
0
22
106
Pendapatan responden tersebar dari pendapatan kurang dari 500 ribu rupiah per bulan sampai kepada yang berpendapatan lebih dari 4,5 juta rupiah setiap bulan. Sebagian terbesar responden berpendapatan antara 500 ribu sampai 2,5 juta rupiah per bulan. Sebaran responden menurut tingkat pendapatan digambarkan pada tabel 4.4.5 dan gambar 4.4.2.
Lebih 1,5 jt – 2,5 jt
Lebih dar 2,5 jt – 3,5 jt
lebih dari 3,5 jt – 4,5 jt
4 1 3 42 0 0 2 4 3 0 59
15 17 22 43 2 1 5 4 0 23 132
9 22 23 1 22 7 32 3 11 2 132
7 5 1 0 0 8 45 10 21 0 97
2 0 0 1 0 5 12 4 9 0 33
0 1 0 0 0 1 3 1 2 0 8
192
Lebih dari 4,5 jt
Lebih 1 jt – 1,5 jt
Mahasiswa Pegawai Swasta Petani/Nelayan Ibu Rumah Tangga Pedagang Dosen PNS Guru TNI/Polri Buruh Total
500 rb – 1 juta
Kelompok Responden
Kurang dari 500 ribu
Tabel 4.4.5 Sebaran responden berdasarkan tingkat pendapatan per bulan
3 2 0 0 0 2 1 0 1 0 9
Gambar 4.4.2 Grafik Sebaran Tingkat Pendapatan Responden
Dari aspek jumlah anggota keluarga sebagian responden terdiri dari keluarga dengan jumlah anggota keluarga sebesar 3 – 4 orang (404 responden) kemudian diikuti berturut-turut dengan jumlah anggota keluarga 5 – 6 orang (271 responden), 7 – 8 orang (47 responden), kurang dari 2 orang (28 responden), dan yang terakhir adalah keluarga besar yaitu dengan jumlah keluarga lebih dari 8 orang (12 responden). Sebanyak 241 (24,03 %) responden tidak menjawab pertanyaan ini. Secara rinci kondisi responden berdasarkan jumlah anggota dalam keluarga disajikan pada tabel 4.4.6. Tabel 4.4.6 Sebaran responden berdasarkan besarnya anggota dalam keluarga Lebih Kurang 3 – 4 5 – 6 7 – 8 dari 8 Responden dari 2 orang orang orang orang orang Mahasiswa 2 36 44 12 5 Pegawai Swasta 4 33 11 1 0 Petani/Nelayan 0 16 33 0 0 Ibu Rumah Tangga 3 63 29 4 0 Pedagang 0 13 11 1 0 Dosen 3 14 6 1 1 Siswa SD 0 25 20 5 1 Siswa SMP 1 35 12 4 1 Siswa SMU 4 48 52 14 2 PNS 6 69 23 1 1 Guru 1 12 9 0 1 TNI/Polri 4 28 11 4 0 Buruh 0 14 12 0 0 28 406 273 47 12 193
Pada umumnya responden termasuk kelompok masyarakat yang cukup maju dalam mencari informasi. Hal ini dicerminkan dari fasilitas informasi untuk melakukan akses ke luar. Umumnya mereka memiliki pesawat radio, pesawat televisi, pemutar video/vcd/dvd, komputer. Sebagian dari mereka bahkan memiliki akses ke internet. Sedangkan media cetak yang mereka miliki cukup banyak adalah koran dan majalah. Fasilitas tersebut selain digunakan untuk mendapatkan informasi dari luar, juga digunakan sebagai sarana hiburan. Tabel 4.4.7 dan Gambar 4.4.3 memperlihatkan sebaran responden dalam hal kepemilikan fasilitas informasi. Tabel 4.4.7 Kepemilikan fasilitas media informasi Fasilitas informasi yang dimiliki Koneksi ke Internet
Koran
Majalah
2
0
1
0
27
19
7
33
24
48
11
2
0
13
0
41
81
4
0
0
9
5
Pedagang
23
25
23
20
10
18
17
Dosen
20
24
18
18
8
17
11
Siswa SD
94
123
121
26
10
88
59
Siswa SMP
137
148
127
83
24
129
99
Siswa SMU
130
146
131
79
23
109
103
PNS
63
97
57
42
6
52
25
Guru
22
25
12
12
1
14
9
TNI/Polri
33
48
29
18
3
27
16
Buruh Jumlah (Persen dari responden)
16 680
26 867
5 570
2 323
0 92
1 511
0 368
(86,44)
(56,83)
(32,20)
(9,17)
(50,95)
(36,69)
Responden
Pesawat Radio
Pesawat TV
Mahasiswa
16
26
5
Pegawai swasta
40
50
Petani/Nelayan
45
Ibu Rmh angga
(67,80)
Video/ Komputer VCD/DVD
194
Gambar 4.4.3 Grafik Sebaran Kepemilikan Fasilitas Media Informasi
4.4.2 Membaca dan Menonton untuk Mengisi Waktu Luang Dalam mengisi waktu luang sebagian besar responden (diatas 75 %) mengaku melakukan kegiatan membaca dan menonton televisi/video/vcd. Sebagian lagi mengatakan mengisi waktu luangnya dengan mendengarkan siaran radio (sekitar 50 %) dan rekreasi (hanya 25,72 %). Kegiatan membaca dan menonton dilakukan hampir seimbang oleh sebagian besar responden yaitu membaca oleh 772 responden atau sebesar 76,97 % dari total responden, dan sebanyak 869 responden atau 86,64 % dari total responden melakukan kegiatan menonton dalam mengisi waktu luangnya. Penggunaan radio sebagai alat untuk mengisi waktu luang juga cukup banyak dilakukan yaitu oleh 461 responden (45,96 % terhadap total responden). Sedangkan rekreasi adalah kegiatan yang paling sedikit dilakukan oleh responden dalam mengisi waktu luang yaitu hanya dilakukan oleh sebanyak 258 responden atau 25,72 % terhadap total responden. Dari tabel dapat dilihat bahwa profesi yang memang menuntut kegiatan membaca seperti dosen, mahasiswa serta pelajar, maka membaca merupakan kegiatan yang dilakukan mereka untuk mengisi waktu luangnya. Dosen menyatakan bahwa membaca, menonton televisi dan mendengarkan siaran radio merupakan kegiatan yang dilakukan setiap saat bila mereka memiliki waktu luang. Hal ini tidak tentu saja mengherankan, karena profesi dosen memang menuntut harus selalu memperbaharui 195
pengetahuannya antara lain melalui media tersebut. Dari 25 responden dosen, hanya 8 responden saja yang mengisi waktu luangnya dengan rekreasi selain membaca, menonton televisi dan mendengarkan siaran radio. Mahasiswa dan pelajar, guru, serta PNS menyatakan mengisi waktu luang mereka dengan membaca dan menonton televisi lebih tinggi dibandingkan dengan mendengarkan mendengarkan siaran radio dan rekreasi. Sebagian profesi ini tetap menempatkan membaca adalah kegiatan dominan. Data yang perlu mendapat perhatian adalah pada pelajar SMU, yaitu mereka mengaku lebih suka menonton televisi/video/VCD daripada membaca. Padahal profesi mereka sesungguhnya menuntut kegiatan membaca secara intensif. Sudah dapat diduga bahwa profesi yang tidak menuntut kegiatan membaca secara lebih intensif seperti ibu rumah tangga, petani, TNI/POolri, dan buruh, maka kegiatan menonton televisi/video/vcd merupakan pilihan kegiatan yang lebih banyak dalam mengisi waktu luang mereka. Tabel 4.4.8 Sebaran Pemanfaatan waktu luang responden dalam melakukan kegiatan Kelompok Responden
Jumlah responden
Menonton TV/Video/ VCD
Membaca Resp
%
Resp
%
Resp
%
Rekreasi Resp
%
100
91 91,00
82
82,00
49
49,00
33 33,00
Pegawai Swasta
50
42 84,00
46
92,00
23
46,00
14 28,00
Petani/ Nelayan
48
24 50,00
48 100,00
32
66,67
0
0
101
14 13,86
78
77,23
30
29,70
3
2,97
Pedagang
25
24 96,00
23
92,00
11
44,00
6 24,00
Dosen
25
23 92,00
22
88,00
13
52,00
14 56,00
Siswa SD
149
141 94,63
111
74,50
40
26,85
32 21,48
Siswa SMP
150
145 96,67
147
98,00
73
48,67
48 32,00
Siswa SMU
153
126 82,35
138
90,20
96
62,75
61 39,87
PNS
101
77 76,24
90
89,11
42
41,58
32 31,68
Guru
25
23 92,00
21
84,00
12
48,00
4 16,00
TNI/Polri
50
40 80,00
42
84,00
28
56,00
10 20,00
Buruh
26
3 11,54
25
96,15
14
53,85
1
3,85
Total
1003
873
463
258
Mahasiswa
Ibu Rumah Tangga
773
196
Mendengarkan Siaran Radio
Gambar 4.4.4 Sebaran Pemanfaatan Waktu Luang Responden
Kegiatan ayah, ibu dan anak dalam membaca, menonton, mendengarkan radio dan rekreasi mempunyai pola yang berbeda. Responden dengan status ayah lebih banyak menghabiskan waktu untuk menonton dibandingkan dengan kegiatan mendengarkan radio dan membaca. Responden dengan status ibu lebih banyak membaca dari pada menonton dan mendengarkan radio. Sedangkan pada anak frekuensi kegiatan membaca dan menonton televisi lebih tinggi dibandingkan dengan kegiatan mendengarkan radio dan rekreasi. Ini tidak mengherankan melihat mayoritas responden berasal dari kalangan pelajar yang masih aktif sekolah. Jadi dapat diduga kegiatan membaca mereka ada kaitannya dengan status mereka sebagai pelajar. Walaupun bagi sebagian masyarakat siaran radio masih merupakan acara yang menarik, namun penggemar siaran radio ini sudah dikalahkan oleh kegiatan menonton televisi. Rata-rata masyarakat melakukan aktifitas mendengarkan siaran radio hanya setengah dari melakukan kegiatan membaca maupun menonton televisi. 197
Tabel 4.4.9 Kegiatan Ayah, Ibu dan Anak dalam mengisi waktu luang Responden Ayah (174) Ibu (110) Anak (475)
Baca 41 23,56% 108 98,18% 409 86,11%
Nonton 149 85,63% 74 67,27% 416 87,58%
Dengarkan radio 74 42,53% 27 24,55% 220 46,32%
Rekreasi 4 2,30% 23 20,91% 138 29,05%
Gambar 4.4.5 Sebaran Pemanfaatan Waktu Luang Berdasarkan Status dalam Rumah Tangga
Tabel 4.4.10 Hubungan Karakteristik Responden dengan Waktu Luang dan Terpaan Media Karakteristik Responden Umur Pendidikan Pendapatan
Exposure (Terpaan) Media Radio Televisi
Waktu Luang (aktivitas membaca dan lain-lain) -,289**
,133**
(durasi menonton) -,054
-,110**
,094**
-,028
,336**
-,211**
-,273**
(durasi mendengar)
** Korelasi nyata pada α = 0,01 (uji dua arah). * Korelasi nyata pada α = 0,05 (uji dua arah).
198
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa umur berpengaruh nyata (memiliki korelasi negatif) terhadap aktifitas membaca
dengan koefisien korelasi -0,289. Ini berarti
bahwa semakin tua umur seseorang aktifitas membaca dalam rangka mengisi waktu luang akan semakin rendah. Padahal pada usia anak-anak waktu luangnya lebih banyak digunakan untuk bermain, sedangkan pada usia semakin tua, biasanya makin banyak waktu untuk diperlukan untuk beragam kegiatan yang menyita waktu. Menurut literatur waktu bermain anak Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak Amerika yang hanya 3 – 4 jam sehari, apalagi dengan anak-anak Korea yang hanya memiliki waktu bermain sebanyak satu jam sehari1. Bahkan bagi anak-anak dari keluarga ekonomi lemah sebagian waktu mereka digunakan untuk membantu orang tuanya mencari uang tambahan bagu keluarga. Sedangkan waktu luang orang tua selain digunakan untuk aktifitas membaca, juga digunakan untuk aktifitas menonton dan mendengarkan radio, dan bahkan sebagian kecil juga menggunakan waktu luangnya untuk berekreasi. Namun demikian umur tidak berpengaruh terhadap perilaku baik mendengarkan radio maupun menonton (televisi/video/vcd). Koefisien korelasi antara umur dengan mendengarkan radio hanya sebesar 0,133 berarti berkorelasi positif yang berarti makin tua umur makin sering mendengar radio, sedangkan koefisien korelasi antara umur dengan menonton -0,054 sangat lemah. Ini berarti tidak ada korelasi nyata antara umur seseorang, dengan frekuensi nonton televisi. Pendidikan pada responden Banjarmasin ternyata mempunyai hubungan negatif tetapi nyata dengan penggunaan waktu luang untuk membaca yaitu dengan nilai koefisien korelasi sebesar -0,110. Ini berarti semakin berpendidikan seseorang semakin membutuhkan informasi untuk memenuhi kebutuhan menambah pengetahuan. Pada siswa dan mahasiswa tentu kegiatan membaca harus menjadi kegiatan utama, begitu juga pada profesi dosen dan guru. Oleh karena itu untuk meningkatkan minat dan kegemaran membaca masyarakat, dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas pendidikan. Penugasan-penugasan di sekolah dan di kampus akan mendorong kebiasaan siswa dan mahasiswa untuk membaca sekalipun nantinya membaca tersebut tidak ada hubungannya dengan penugasan dari guru dan dosen. Kebiasaan memecahkan masalah dengan cara mencari sumber informasi pada sumber-sumber 1
Minat Baca di Indonesia Sangat Rendah. Pikiran Rakyat. Senin, 8 Maret 200. 199
bacaan akan mendorong peningkatan minat dan kegemaran membaca. Selanjutnya tabel tersebut menggambarkan bahwa pendidikan walaupun mempengaruhi kebiasaan responden baik dalam mendengarkan radio maupun menonton televisi/video/vcd, namun pengaruhnya sangat lemah. Walaupun koefisien korelasinya positif, namun nilainya sangat lemah yaitu masing-masing 0,094 dan -0,028 untuk pendidikan terhadap mendengarkan radio dan pendidikan terhadap menonton televisi/video/vcd. Pendapatan seseorang berpengaruh terhadap penggunaan waktu luang yang digunakan untuk aktifitas membaca. Nilai koefisien korelasinya positif dan cukup signifikan yakni 0,336 yang berarti ada hubungan positif antara tingkat penghasilan dengan aktifitas membaca. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan lama membaca pada masyarakat antara yang berpenghasilan rendah, sedang,
dan
tinggi.
Sedangkan
pengaruh
penghasilan
terhadap
kebiasaan
mendengarkan radio malah negatif dengan nilai koefisien korelasi lebih tinggi (-0,211), ini menunjukkan bahwa semakin tinggi penghasilan seseorang, semakin jarang mendengarkan radio. Demikian pula dengan lama menonton televisi/video/vcd ternyata berpengaruh negatif atau berbanding terbalik dengan nilai koefisien korelasi sebesar -0,273. Artinya, semakin tinggi penghasilan seseorang, maka mereka akan cenderung semakin jarang melakukan aktifitas menonton televisi/video/vcd. Kalau ditinjau dari aspek lamanya melakukan kegiatan membaca dan menonton maka kegiatan menonton dilakukan lebih lama oleh sebagian besar responden (lihat gambar 4.4.6). Bahkan responden yang menonton lebih dari 2 jam sehari menduduki jumlah terbesar (570 responden atau 56,83 %), sedangkan yang membaca lebih dari 2 jam sehari hanya sebesar 113 responden atau 21,24 %. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa umumnya masyarakat lebih senang menonton dari pada membaca.
200
Gambar 4.4.6 Grafik Perbandingan antara Lama Membaca dengan Lama Menonton Tabel 4.4.11 Hubungan antara jenis kelamin dengan lama membaca Lama Membaca (B) dan Lama Menonton TV (N) Jenis Kelamin
> 3 j/hr B
2 – 3 j/hr
N
1 – 2 j/hr
< 1 j/hr
B
N
B
N
B
N
3 – 4 j/mg 2 – 3 j/mg 1 – 2 j/mg B
N
B
N
B
N
laki‐laki
44 138
34
64
129
177
84
23
3
7
5
5
8
2
perempuan
32 125
44 109
116
163
84
77
11
25
6
12
10
11
316
98
195
32
27
18
19
2
17
1
Total
164 111 111
62
Lebih jauh diperoleh fakta bahwa secara umum perempuan lebih banyak memiliki waktu luang yang kemudian digunakan untuk membaca ataupun nonton televisi. Perempuan umumnya menonton televisi lebih lama dibandingkan dengan lakilaki (lihat gambar 4.4.7). Tabel 4.4.12 Hubungan antara jenis kelamin dengan lama membaca vs lama menonton > 3 j/hr 2 – 3 j/hr 1 – 2 j/hr < 1 j/hr 3 – 4 j/mg 2 – 3 j/mg 1 – 2 j/mg
laki‐laki (baca)
44
34
129
84
3
5
8
Perempuan (baca)
32
44
116
84
11
6
10
Laki‐laki (nonton)
138
64
177
23
7
5
2
Perempuan (nonton)
111
62
198
32
18
2
1
201
Gambar 4.4.7 Grafik Perbandingan Lama Membaca dengan Lama Menonton
4.4.3 Hubungan antara Kelompok umur dengan Lama Membaca Dari aspek umur diduga pada usia sekolah sampai mahasiswa (usia SD yaitu kurang dari 12 tahun sampai usia mahasiswa yaitu sampai 23 tahun) responden memiliki kebiasaan membaca yang tinggi. Diasumsikan demikian karena kegiatan membaca merupakan tuntutan pendidikan. Pada usia kerja kebiasaan membaca ini diduga akan menurun dan kemudian akan meningkat lagi pada usia tua, dimana pada usia ini orang akan memiliki waktu luang yang banyak untuk membaca. Namun dari data deskriptif yang diperoleh, asumsi ini tidak terjadi.
202
Tabel 4.4.13 Hubungan antara umur dengan lama membaca Umur < 12 th 13‐15th 16‐18th 19‐23th 24‐40th 41‐55th > 55 th Tidak isi
Jumlah
2‐3 /mg 3‐4 /mg
< 1 j/hr
1‐2 j/hr
2‐3 j/hr
> 3 j/hr
177
0
2
0
10
25
7
10
0,00%
1,13%
0,00%
5,65%
14,12%
3,95%
5,65%
164
4
2
2
53
63
18
15
2,44%
1,22%
1,22%
32,32%
38,41%
10,98%
9,15%
136
4
2
3
27
50
16
27
2,94%
1,47%
2,21%
19,85%
36,76%
11,76%
19,85%
85
0
1
5
20
28
16
9
0,00
0,01
0,06
0,24
0,33
0,19
0,11
45
3
0
1
13
20
5
0
6,67%
0,00%
2,22%
28,89%
44,44%
11,11%
0,00%
56
7
1
1
13
16
3
9
12,50%
1,79%
1,79%
23,21%
28,57%
5,36%
16,07%
0
0
0
0
0
0
0
0
340
‐
‐
‐
‐
‐
‐
‐
18
8
12
136
202
65
70
1003
Total
1‐2 j/mg
Gambar 4.4.8 Grafik Perbandingan Lama Membaca Menurut Kelompok Umur 203
Tabel dan gambar diatas memperlihatkan bahwa membaca tidak dipengaruhi oleh umur. Pola grafik dari semua kelompok umur responden terlihat sama yaitu sedikit responden pada korbanan waktu membaca rendah (dari 2 jam sampai 3 jam setiap minggu), kemudian naik jumlahnya pada korbanan waktu membaca sedang (antara 3 sampai 4 jam per minggu atau kurang lebih setengah jam per hari), dan sangat sedikit responden pada korbanan waktu membaca yang tinggi (lebih dari 3 jam sehari). Kebanyakan responden menghabiskan waktu antara 1-2 jam per hari. Sesungguhnya data ini pun masih perlu dikaji lebih lanjut, karena umumnya responden (terutama siswa sekolah dan mahasiswa) memasukkan juga waktu membaca pada saat pelajaran berlangsung di sekolah atau di kampus. Korbanan waktu demikian dapat dikatakan sangat rendah karena masyarakat yang kegemaran membacanya tinggi, mereka akan menghabiskan waktu membaca lebih dari 3 jam setiap harinya.
Grambar 4.4.9 Korbanan Waktu Rata‐rata Membaca Responden Banjarmasin
Secara statistik hubungan antara umur dengan lama (durasi) membaca tidak nyata. Ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi yaitu hanya sebesar -0,02 (Lihat tabel 4.3.14) yang didapatkan melalui uji Rank Spearman menggunakan SPSS. Kenyataan ini tidak sesuai dengan hipotesa dimana seharusnya semakin tinggi umur seseorang, semakin lama ia membaca. Hal ini terutama jika dikaitkan dengan aktifitas membaca dalam hubungannya dengan aktifitas pendidikan. Tabel yang disampaikan oleh Razak (2004) menunjukkan bahwa semakin tinggi usia yang ditunjukkan oleh 204
status pendidikan maka dia maka dituntut semakin lama membaca. Kenyataan ini tentu harus menjadi perhatian dari pemerintah, khususnya para pendidik atau regulator pendidikan. Sudah waktunya kewajiban membaca di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi dimonitor dan masuk ke dalam kurikulum wajib. Misalnya saja, guru atau dosen harus lebih banyak memberikan penugasan yang berkaitan dengan membaca, membuat ringkasan, dan membuat soal-soal ujian yang bahan-bahannya diambil dari bacaan yang diwajibkan oleh guru dan lain-lain. Tabel 4.4.14 Korelasi umur terhadap durasi membaca responden Banjarmasin Durasi membaca Spearman's rho
Umur
Correlation Coefficient
-,002
Sig. (2-tailed)
,96
N
836
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Demikian pula jika umur dihubungkan dengan frekuensi baca tidak terdapat hubungan yang nyata karena hanya sebesar 0,028 pada tingkat kepercayaan 0,01. Hal ini dapat dilihat hasil perhitungan seperti pada tabel berikut. Tabel 4.4.15 Korelasi umur terhadap frekuensi membaca
Spearman's rho
Umur
Correlation Coefficient
Frekuensi membaca ,028
Sig. (2-tailed)
,562
N
442
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
4.4.4 Hubungan Tingkat Penghasilan terhadap Lama Membaca Pada masyarakat yang mempunyai kegemaran membaca yang tinggi, maka membeli buku untuk memuaskan dirinya dalam hal memenuhi bahan bacaan akan selalu dilakukan. Oleh karena itu asumsi sementara adalah semakin tinggi penghasilan seseorang maka akan semakin tinggi kegiatan membacanya yang ditandai dengan semakin tingginya korbanan waktu mereka dalam membaca.
205
Tabel 4.4.16 Hubungan antara Pendapatan dengan Lama Membaca Tingkat Penghasilan
1‐2 j/mg < 500 rb (61 resp) 0 500 ‐ 1 jt (90 resp) 0 lbh 1 jt ‐ 1,5 jt (131 resp) 1 lbh 1,5 jt ‐ 2,5 jt (102 resp) 3 lbh 2,5 jt ‐ 3,5 jt (24 resp) 2 lbh 3,5 ‐ 4,5 jt (6 resp) 0 > 4,5 jt (9 resp) 2 Tidak Mengisi (580 resp) 30 Total 38
Jumlah jam membaca rata‐rata 2‐3 j/mg 3‐4 j/mg < 1 j/hr 1‐2 j/hr 2‐3 j/hr > 3 j/hr 0 0 8 11 1 4 0 0 2 5 5 3 3 2 41 53 9 11 1 0 23 42 14 11 1 1 6 7 2 1 0 0 0 3 2 1 0 0 3 4 0 0 13 15 135 211 77 72 18 18 218 336 110 103
Gambar 4.4.10 Hubungan Pendapatan dengan Lama Membaca Responden Banjarmasin
Dari tabel dan grafik di atas dapat dilihat bahwa pola membaca dari beberapa kelompok penghasilan menunjukkan pola yang hampir sama dimana pada semua kelompok penghasilan sebagian besar responden membaca selama kurang lebih 1 jam setiap hari. Jika besarnya penghasilan berpengaruh kepada lamanya membaca, seharusnya grafik orang yang berpenghasilan rendah akan bergerak dari rendah ke tinggi dan sebaliknya yang berpenghasilan tinggi akan bergerak dari tinggi ke rendah. Namun kenyataannya tidak demikian. Semua garis menunjukkan pola yang sama yaitu
206
bergerak dari rendah pada kelompok orang yang kebiasaan membacanya rendah (lama membaca lebih dari 1-2 jam per minggu), naik pada kelompok orang yang kebiasaan membacanya sedang (lama membaca sekitar 1 jam per hari), dan bergerak turun lagi pada kelompok orang yang durasi membacanya tinggi (lama membacanya lebih dari 3 jam per hari). Hanya pada kelompok orang yang berpenghasilan antara 3,5 sampai 4,5 juta per bulan yang memperlihatkan gambaran seperti yang kita harapkan yaitu sebagian besar responden membaca lebih dari 3 jam setiap hari. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sebagian besar responden melakukan kegiatan membaca selama kurang lebih 1 jam setiap hari. Ini merupakan indikasi bahwa besarnya penghasilan ternyata tidak berpengaruh kepada kegiatan membaca. Berdasarkan analisis data yang lebih akurat menggunakan uji statistik Rank Spearman dengan alat hitung SPSS didapat hasil pengolahan seperti berikut:
Tabel. 4.4.17 Korelasi pendapatan terhadap durasi membaca Durasi membaca Spearman's
Pendapatan
rho
Correlation Coefficient
-,058
Sig. (2-tailed)
,283
N
342
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Tabel 4.4.18 Korelasi pendapatan terhadap frekuensi membaca Frekuensi membaca Spearman's rho
Pendapatan
Correlation Coefficient
-,100
Sig. (2-tailed)
,190
N
172
Hasil uji statistik diatas menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara pendapatan responden dengan durasi membaca karena sangat kecil yaitu yaitu -0,058 pada tingkat kepercayaan 0,01. Demikian pula tidak ada korelasi nyata antara tingkat pendapatan dengan frekuensi membaca responden.
207
4.4.5 Hubungan Pendidikan terhadap Lama Membaca Salah satu hal yang diduga mempunyai hubungan erat dengan minat baca yang ditandai salah satunya dengan durasi membaca adalah tingkat pendidikan masyarakat. Tabel 4.4.19 Hubungan antara pendidikan dengan lama membaca Jumlah jam membaca rata-rata Pendi-dikan
Jumlah Respon-den
> 3 jam/hr
2 - 3 jam/hr
1 - 2 jam/hr
< 1 jam/hr
3-4 jam/mg
jml
(%)
jml
jml
jml
jml
(%)
(%)
(%)
(%)
2-3 j/mg jml
(%)
1-2 jam/mg jml
(%)
Tdk tamat SD
30
0
0,0
0
0,0
0
0,0
6
20,0
8
26,7
0
0,0
0
0,0
Tamat SD
87
0
0,0
0
0,0
0
0,0
3
3,5
6
6,9
6
6,9
5
5,8
Tamat SLTP
123
0
0,0
2
1,6
1
0,8
31
25,2
35
28,5
3
2,4
11
8,9
Tamat SLTA
201
9
4,5
3
1,5
2
1,0
44
21,9
80
39,8
25
12,4
27
13,4
Diploma
18
0
0,0
1
5,6
0
0,0
3
16,7
3
16,7
5
27,8
5
27,8
Sarjana
91
0
0,0
1
1,1
6
6,6
22
24,2
30
33,0
13
14,3
13
14,3
6
0
0,0
0
0,0
1
16,7
0
0,0
2
33,3
3
50,0
0
0,0
30
6,7
11
2,5
8
1,8
109
24,4
172
38,5
55
12,3
42
9,4
19
0,14
17
0,1
11
0,1
Pascasarjana Tidak Isi Total
629
139
77
204
162
Gambar 4.4.11 Hubungan Pendidikan dengan Lama Membaca Responden Banjarmasin
Tabel 4.4.19 di atas memperlihatkan rata-rata responden membaca antara satu jam per hari sampai dua sampai tiga jam per minggu. Data ini menunjukkan bahwa 208
responden yang tidak tamat SD sampai responden yang berpendidikan pascasarjana tidak banyak membaca lebih dari 3 jam sehari. Padahal ukuran seseorang yang termasuk rajin membaca atau mempunyai minat baca tinggi untuk mahasiswa (dalam hal ini termasuk diploma sarjana dan pasca sarjana) adalah membaca antara 3 jam sampai 3,5 jam setiap hari (Razak, 2004). Sedangkan yang dikategorikan sangat rajin atau mempunyai minat baca tinggi untuk kelompok ini adalah yang membaca lebih dari 3,5 jam setiap hari. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa mayoritas kelompok lulusan perguruan tinggi di lokasi penelitian termasuk memiliki minat baca yang kurang atau menurut Razak (2004) termasuk malas membaca, yaitu membaca antara 2,5 sampai 3 jam dan bahkan ada yang sangat malas karena membaca kurang dari 2,5 jam setiap hari. Gambar 4.4.12. menegaskan bahwa kelompok mahasiswa sebagian besar (33 orang atau 35,87 %) membaca antara 1 – 2 jam setiap hari, dan membaca kurang dari 1 jam setiap hari (24 atau 26,09 %). Hal ini menunjukkan bahwa kelompok mahasiswa di lokasi penelitian memiliki minat baca rendah atau sangat malas membaca. Jika kita hanya mengelompokkan dua kelompok saja mengenai membaca ini yaitu memiliki minat baca yang tinggi dan dan memiliki minat baca yang rendah, maka kelompok mahasiswa sebagian besar (89,13 %) memiliki minat baca yang rendah, dan hanya 10 responden atau hanya 10,87 % saja yang memiliki minat baca tinggi yaitu lebih dari 3 jam per hari.
209
Gambar 4.4.12 Grafik Hubungan Beberapa Indikator dengan Minat Baca Kelompok Mahasiswa
Korbanan untuk membeli buku bagi mahasiswa juga tidak terlalu tinggi. Jumlah mahasiswa yang membeli buku kurang dari Rp. 50.000,- setiap bulan cukup tinggi (61,5 %) dan yang berbelanja buku antara Rp. 50.000,- - Rp 100.000,- juga cukup tinggi (29,2 %). Sedangkan yang berbelanja lebih dari Rp. 100.000,- sangat sedikit (9,2 %). Dari aspek kepemilikan buku pada responden mahasiswa juga tidak memberikan gambaran yang menggembirakan. Sebagian besar mahasiswa memiliki buku antara 0 – 10 judul buku (53,2 %), memiliki buku antara 10 – 25 judul (26,6 %), memiliki buku antara 25 – 50 judul buku (17,0 %), 50 – 100 judul buku (1,1 %), dan ada juga yang meiliki koleksi buku di atas 100 judul (2,0 %). Logikanya, jika mereka tidak membeli buku sehingga mereka tidak memiliki koleksi buku di rumahnya, maka mereka akan ke perpustakaan untuk memenuhi kebutuhan bacaannya. Namun, kenyataan ini tidak terjadi. Sebagian besar mahasiswa hanya berkunjung ke perpustakaan umum sebanyak antara satu kali sebulan sampai satu kali enam bulan (86,3 %). Jumlah yang berkunjung ke perpustakaan umum setiap hari tidak banyak yaitu hanya 6,8 %. Yang mengherankan adalah masih ada mahasiswa yang jarang datang ke perpustakaaan umum yaitu berkunjung sekali setahun (4,1 %).
210
Untuk lulusan SMU atau SLTA sebagian besar responden membaca antara kurang dari satu jam dan antara 1 sampai 2 jam setiap hari. Hal ini juga dapat dikatakan sebagian besar responden memiliki minat baca yang kurang atau menurut Razak (2004) malas membaca (76,82 % membaca kurang dari 2 jam per hari). Ukuran rajin membaca bagi siswa SMU menurut Razak (2004) adalah mereka yang membaca antara dua jam sampai 2,5 jam setiap hari, sedangkan membaca antara 1,5 jam sampai dua jam setiap hari termasuk kategori malas, apalagi yang kurang dari 1,5 jam setiap hari dimasukkan dalam kategori sangat malas. Namun demikian ada sebagian responden yang termasuk kategori rajin membaca bahkan sangat rajin membaca dimana mereka membaca lebih dari 2 jam setiap hari (23,18 % responden membaca lebih dari 2 jam dan bahkan lebih dari 3 jam setiap hari). Ukuran sangat rajin membaca bagi siswa SMU adalah membaca lebih dari 2,5 jam setiap hari. Grafik pada gambar 4.4.13 memperlihatkan gambaran minat baca siswa SLTA. Sebagian besar kelompok siswa SLTA membaca antara 1 – 2 jam per hari dan kurang dari 1 jam per hari, yang dapat dikategorikan sebagai malas membaca atau dengan kata lain mereka memiliki minat baca yang masih rendah. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar (76,82 %) siswa SLTA tergolong memiliki minat baca yang rendah, dan hanya 23,18 % saja siswa SLTA memiliki minat baca yang tinggi.
211
Gambar 4.3.13 Grafik Hubungan Beberapa Indikator dengan Minat Baca Kelompok Siswa SLTA
Dari besarnya dana yang dianggarkan untuk belanja buku tiap bulannya juga tidak menampakkan minat terhadap membaca yang tinggi. Pada umumnya responden kelompok ini berbelanja buku kurang dari Rp. 50.000,- per bulan (55,2 %), dan antara Rp. 50.000,- sampai Rp. 100.000,- (35,1 %). Sedangkan yang berbelanja buku lebih dari Rp.100.000,- tiap bulan hanya sebesar 9,6 % responden. Dari aspek kepemilikan buku juga menunjukkan hal yang sama, yaitu minat baca responden belum tinggi. Responden kelompok ini sebagian besar memiliki koleksi buku kurang dari 10 judul (56,3 % diantaranya tidak memiliki buku sama sekali sebesar 29,1 %). Sedangkan yang memiliki buku antara 10 sampai 25 judul hanya sebesar 22,5 %. Apalagi yang memiliki koleksi buku lebih dari 25 judul yaitu hanya sebesar 21,2 %. Walaupun tingkat kepemilikan buku mereka rendah dan kemauan untuk membeli buku rendah, kunjungan ke perpustakaan umumpun menunjukkan persentase yang rendah yaitu mayoritas responden berkunjung ke perpustakaan sekali dalam se bulan (27,2 %), sekali dalam tiga bulan (23,5 %). Sedangkan yang berkunjung satu kali dalam seminggu hanya 13,6 %, sama dentgan yang berkunjung tiap hari ke perpustakaan umum yaitu 13,6 %. Bahkan ada yang lebih jarang lagi dari sekali dalam enam bulan (14,8 %). Untuk lulusan SMP membaca antara 1 sampai 2 jam setiap hari termasuk memiliki minat baca antara sedang sampai tinggi. Menurut Razak (2004) ukuran rajin membaca bagi SLTP adalah antara 1,25 jam sampai 1,5 jam per hari. Oleh karena itu lulusan SLTP di lokasi penelitian termasuk memiliki minat baca antara sedang atau rajin membaca sampai tinggi atau sangat rajin membaca (69,7 %), sedangkan sisanya 212
berada pada posisi malas membaca dan bahkan malas sekali membaca. Grafik pada gambar 4.4.14 memberikan gambaran lebih spesifik mengenai minat baca kelompok siswa SLTP. Pada gambar tersebut kelompok siswa yang membaca antara 1 – 2 jam menduduki posisi terbanyak yaitu 41,9 %. Artinya kelompok siswa SLTP di lokasi penelitian termasuk yang memiliki minat baca antara sedang sampai tinggi (rajin membaca). Bahkan sebanyak 14,2 % responden kelompok ini memiliki minat baca yang tinggi atau sangat rajin membaca. Hanya 30,4 % responden yang termasuk malas membaca.
Gambar 4.4.14 Grafik Hubungan Beberapa Indikator dengan Minat Baca Kelompok Siswa SLTP
Kelompok responden dari siswa SD dari Kota Banjarmasin menurut penelitian ini lebih dari separuh memiliki minat baca sedang dan tinggi karena terdapat sebanyak 213
59,31 persen membaca satu dampai lebih dari satu jam per hari. Karena menurut Razak (2004) untuk siswa tingkat SD, jika membaca lebih dari satu jam per hari maka dapat digolongkan rajin dan sangat rajin membaca. Gambar 4.4.11 memberikan gambaran yang lebih jauh mengenai minat baca siswa SD. Sebagian besar (37,24 %) responden kelompok siswa SD mengaku membaca antara 1 – 2 jam setiap hari, dan ini termasuk kepada kelompok yang mempunyai minat baca yang tinggi. Bahkan 22,06 % termasuk yang memiliki minat baca sangat tinggi. Hanya 40,69 % siswa SD yang memiliki minat baca antara rendah sampai sedang. Menurut Razak (2004) siswa SD yang termasuk malas membaca adalah mereka yang membaca kurang dari 30 menit setiap hari (sekitar 5 persen).
Kelompok responden tamat SD dan tidak tamat SD juga berada pada posisi membaca antara 1 – 2 jam per hari. Oleh karena ukuran rajin dan tidaknya membaca bagi siswa SD semakin turun dibandingkan dengan SLTP, SLTA maupun mahasiswa, maka kelompok ini termasuk yang rajin membaca, yaitu berada pada kisaran membaca antara 45 menit sampai satu jam (Razak, 2004), dan bahkan berada di atas satu jam dimana menurut Razak termasuk yang sangat rajin membaca. Grafik pada gambar 4.4.15 berikut memberikan gambaran yang lebih jauh mengenai minat baca siswa SD. Sebagian besar (37,2 %) responden kelompok siswa SD mengaku membaca antara 1 – 2 jam setiap hari, dan ini termasuk kepada kelompok yang mempunyai minat baca yang tinggi. Bahkan 22,1 % termasuk yang memiliki minat baca sangat tinggi. Ada 40,7 % siswa SD yang memiliki minat baca antara rendah sampai sedang. Menurut Razak (2004) siswa SD yang termasuk malas membaca adalah mereka yang membaca kurang dari 30 menit setiap hari.
214
Gambar 4.4.15 Grafik Hubungan Beberapa Indikator dengan Minat Baca Kelompok Siswa SD
Jika dilihat dari korbanan biaya untuk membeli buku, tingkat kepemilikan buku serta kunjungangan ke perpustakaan, maka kelompok responden SD tidak banyak berbeda dengan kelompok responden lainnya dimana korbanan biaya untuk membeli buku berada pada kurang dari Rp. 50.000,- setiap bulan, kepemilikan buku berada pada jumlah di bawah 10 judul buku. Namun demikian untuk kunjungan ke perpustakaan umum, kelompok ini agak mirip dengan kelompok siswa SMP, bahkan lebih baik, dimana frekuensi berkunjung mereka ke perpustakaan dapat dikatakan lumayan sering yaitu antara sekali dalam seminggu sampai setiap hari (72,1 %). Yang berkunjung sekali sebulan sebesar 9,2 %. Sisanya mengaku jarang berkunjung ke perpustakaan (7,9 %).
215
Berdasarkan analisis data yang lebih akurat menggunakan uji statistik Rank Spearman dengan alat hitung SPSS untuk mengukur hubungan antara tingkat pendidikan dengan durasi membaca responden didapat hasil pengolahan bahwa tidak terdapat korelasi nyata antara tingkat pendidikan dengan durasi membaca sbagaimana ditunjukkan pada tabel berikut berikut: Tabel 4.4.20 Korelasi pendidikan terhadap durasi membaca Durasi membaca Spearman's rho
Pendidikan
Correlation Coeficient
,028
Sig. (2-tailed)
,420
N
836
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
4.4.6 Bahan Bacaan yang Disukai Responden Menurut Razak (2004) yang lebih penting diketahui dalam mengukur lama membaca seseorang adalah proses yang mendorong kegiatan membaca seseorang dimana kegiatan membaca tersebut didorong oleh keinginan atau motivasi yang keluar dari dirinya, bukan karena dipaksa seperti disuruh oleh guru atau merupakan kewajiban dari sekolah. Lebih jauh Razak menyatakan dalam mengukur waktu membaca adalah: “Waktu yang dicatat hanyalah waktu yang digunakan untuk membaca buku di luar lingkungan sekolah, seperti di rumah, perpustakaan (bukan perpustakaan sekolah), toko buku, pameran buku, rumah teman, atau tempat‐tempat lainnya.”
Untuk mempermudah dalam memperoleh jenis bacaan yang dibaca oleh responden maka penelitian ini mengelompokkan bahan bacaan kedalam empat macam yaitu koran, majalah, buku dan komik. Responden dapat memilih lebih dari satu jenis bahan bacaan. Hasil dari survey ini menunjukkan bahwa buku merupakan bahan bacaan paling banyak dibaca menyusul koran, kemudian majalah dan terakhir adalah komik (lihat tabel 4.4.21). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebagian besar responden memilih bacaan yang serius atau responden tersebut membaca dalam arti yang sebenarnya yaitu untuk menimba ilmu dari bahan bacaan yang dibacanya. Sedangkan pegawai swasta dan pedagang agak mengherankan ternyata mereka pun lebih banyak membaca buku dibandingkan dengan koran dan majalah. Ibu rumah 216
tangga memilih koran dan majalah sebagai bacaan yang lebih disukainya. Hal ini dapat dimengerti karena sebagian besar ibu rumah tangga membaca untuk mendapatkan bacaan hiburan sehingga mereka memilih koran (termasuk tabloit) dan majalah hiburan. Kelompok dosen memilih tiga kelompok bahan bacaan yaitu buku, majalah dan koran secara berimbang dan hampir tidak membaca komik. Hal ini wajar karena sebagai dosen mereka harus terus memperbaharui pengetahuannya melalui ketiga kelompok bahan bacaan tersebut. Siswa SD dan SLTP lebih banyak membaca buku dibandingkan dengan ketiga bahan bacaan lain. Diduga buku yang mereka baca adalah kelompok buku-buku cerita atau dongeng. Mereka juga membaca komik lebih banyak dibandingkan dengan membaca koran dan majalah. Siswa SMU juga lebih banyak membaca buku dibandingkan dengan jenis bacaan lain, sedangkan secara berimbang mereka senang membaca koran dan majalah. Kelompok pegawai swasta, guru, TNI/Polri, serta buruh juga menurut data penelitian lebih banyak membaca buku dibandingkan dengan bahan bacaan lainnya. Pegawai negeri sipil memilih bahan bacaan koran lebih banyak daripada jenis bahan bacaan lain, demikian pula dengan guru yang sedikit lebih senang baca koran dibandingkan dengan buku dan majalah. Memang sangat sedikit guru yang senang baca komik. Tabel 4.4.21 Bahan bacaan yang dibaca oleh responden
Koran
Komik
Mahasiswa
71
64
81
32
Pegawai Swasta
36
34
19
6
Petani/Nelayan
28
0
28
0
Ibu Rumah Tangga
14
9
1
0
Pedagang
23
3
1
1
Dosen
24
21
21
3
Siswa SD
45
33
138
63
Siswa SMP
85
94
124
110
Siswa SMU
92
102
97
89
PNS
81
50
48
6
Guru
23
9
18
1
TNI/Polri
41
23
22
3
Buruh
1
0
3
0
Total
564
442
601
314
29,36%
23,01%
31,29%
16,35%
%
217
Majalah Buku
Informasi tentang jenis bacaan yang digemari berbagai kelompok profesi ini dapat membantu perpustakaan menentukan jenis bacaan yang disediakan untuk kalangan utama pembacanya. Tabel 4.4.22 Durasi membaca Koran, majalah dan buku
Baca Koran Baca Majalah Baca Buku
2 – 3 1 – 2 3 – 4 jam > 3 jam jam jam < 1 jam per per hari per hari per hari per hari minggu
2 – 3 jam 1 – 2 jam per per minggu minggu
27
28
135
368
8
14
40
4,35%
4,52%
21,77%
59,35%
1,29%
2,26%
6,45%
33
37
135
218
13
21
59
6,40%
7,17%
26,16%
42,25%
2,52%
4,07%
11,43%
64
81
279
201
15
14
23
9,45%
11,96%
41,21%
29,69%
2,22%
2,07%
3,40%
Kegiatan membaca koran dilakukan kurang dari satu jam setiap hari oleh sebagian besar responden (69,35 %), dan antara 1 – 2 jam setiap hari (21,77 %). Namun ada juga yang membaca koran lebih dari 2 jam setiap hari yaitu antara 2 – 3 jam (4,52 %), bahkan lebih dari 3 jam setiap hari (4,35 %). Hal ini tidak lazim dilakukan. Hal yang sama terjadi pada membaca majalah yaitu rata-rata responden membaca majalah antara kurang dari satu jam sampai 2 jam setiap hari (60,27 %). Membaca majalah lebih dari dua atau bahkan lebih dari 3 jam setiap hari tidak biasa dilakukan orang. Sebaliknya, membaca buku biasanya dilakukan lebih lama dibandingkan dengan membaca koran dan majalah. Kelompok orang yang membaca buku lebih dari 1 jam setiap hari ternyata jumlahnya cukup besar yaitu 62,63 % dan yang membaca buku kurang dari 1 jam setiap hari sebesar 37,37 %.
218
Gambar 4.4.16 Gambaran Bacaan yang Digemari Responden
Bahan bacaan yang paling populer adalah bacaan agama yang dipilih oleh 458 responden, diikuti dengan bacaan kelompok buku ilmu pengetahuan yang dipilih oleh 451 responden, kemudian bacaan pengetahuan fiksi/sastra oleh 261 responden, bacaan pengetahuan populer oleh 238 responden. Pada kolom lain-lain, responden umumnya menyenangi bacaan jenis lainnya misalnya fiksi, novel, resep masakan, bahasa Indonesia, cerpen. komik, dongeng,
Fakta ini menunjukkan bahwa masyarakat,
khususnya di lokasi penelitian, kurang begitu menyukai fiksi/sastra oleh hanya 261 responden. Hal ini memperkuat pernyataan Taufik Ismail yang menyatakan bahwa sejak tahun 1943 sekolah-sekolah SMA di Indonesia tidak pernah mewajibkan siswanya membaca buku-buku sastra. Dikatakan demikian oleh Taufik Ismail karena di sekolahsekolah SMA buku sastra (1) tak disebut di kurikulum, (2) dibaca hanya ringkasannya, (3) siswa tak menulis mengenainya, (4) tidak ada di perpustakaan sekolah, dan (5) tidak diujikan2. Jika siswa diberi tugas wajib untuk membaca buku sastra, maka diharapkan hal ini mendorong siswa tersebut untuk membaca karya-karya sastra yang lain.
2
Taufik Ismail (2005). Tragedi Nol Buku Tragedi Kita Bersama. Makalah Rapat Kerja Nasional Ikatan Pustakawan Indonesia, Hotel Mutiara Merdeka, Pekanbaru, tanggal 31 Mei 2005. 219
Untuk membaca buku, sebagian besar responden mengaku membeli (41,10 %), diikuti dengan meminjam dari meminjam dari teman (31,75 %), perpustakaan umum (21,44 %), dan meminjam dari kantor atau pejabat pemerintah (5,70 %). Tabel 4.4.23 Gambaran perolehan buku responden sebagai bahan bacaan Meminjam dari Perpustakaan Kantor/Pejabat/ umum Aparat pemerintah
Membeli
Meminjam Dari Teman
Mahasiswa
62
77
7
59
Pegawai Swasta
28
31
5
8
Petani/Nelayan
15
16
0
1
Ibu Rumah Tangga
3
9
1
0
Pedagang
2
3
0
0
Dosen
22
12
9
12
Siswa SD
132
45
13
64
Siswa SMP
129
99
2
69
Siswa SMU
116
113
3
44
PNS
41
26
23
37
Guru
15
13
9
10
TNI/Polri
33
18
12
9
Buruh
2
2
0
1
600
464
84
314
59,82%
46,26%
8,37%
31,31%
Jumlah % dr sampel
Data tabel 4.4.23 menunjukkan bahwa peran perpustakaan umum belum optimal sebab belum banyak responden yang memanfaatkan perpustakaan untuk memenuhi kebutuhan bahan bacaannya, yaitu hanya 31,31 persden. Hal ini memang antara lain disebabkan karena belum banyak fasilitas Perpustakaan Umum dan Taman Bacaan Masyarakat yang terdapat di Kota Banjarmasin. Ada taman bacaan yang cukup menarik dan lokasinya strategis, namun belum banyak dimanfaatkan masyarakat.
Taman
bacaan ini sesungguhnya dibangun oleh suatu yayasan tingkat nasional di Jakarta. Namun tidak terlalu mendapat perhatian yang besar dari pemerintah daerah. Hal ini dinyatakan oleh petugas yang sehari-hari mengelola taman bacaan ini. Sampai saat ini, sejak didirikan, taman bacaan ini masih didanai oleh yayasan. Segala sesuatu mengenai pengembangan taman bacaan ini masih ditangani oleh yayasan dari Jakarta.
220
Pemda Kota Banjarmasin memang belum memberikan anggaran secara khusus untuk program peningkatan minat baca masyarakat.
Sebenarnya saat ini dengan
memanfaatkan program CSR (Corporate Social Responsibility) dari perusahaanperusahaan besar yang berkiprah di Banjarmasin atau di Provinsi Kalimantan Selatan, pengembangan minat baca dapat dilakukan. Kegiatan atau gerakan khusus untuk pengembangan minat baca sebagaimana sudah marak dilakukan di kota-kota lain di Indonesia, belum terasa gaungnya di Banjarmasin.
Ini diakui oleh masyarakat bahkan aparat dari Diknas yang sempat
diwawancarai selama penelitian.
Padahal sebagian besar responden (85,54 %)
menyatakan bahwa mereka tahu bahwa ada Perpustakaan Umum atau Taman Bacaan di dalam kota Banjarmasin. Sangat sedikit (hanya 3,29 %) yang menyatakan bahwa tidak ada fasilitas Perpustakaan Umum atau Taman Bacaan dalam kota. Ada sekitar 8 % yang menyatakan tidak tahu akan keberadaan Perpustakaan Umum atau Taman Bacaan di Kota Banjarmasin. Dari 858 orang responden yang tahu kalau di kota Banjarmasin ada perpustakaan umum, hanya 341 (34,74 %) orang yang menyatakan pernah berkunjung ke perpustakaan umum atau taman bacaan tersebut. Frekuensi berkunjung ke perpustakaan umum yang paling banyak adalah dua kali dalam satu minggu dan sekali dalam seminggu masing-masing 23,83 % dan 22,05 %. Cukup banyak responden yaitu 86 atau 19,15 % menyatakan berkunjung ke perpustakaan atau taman bacaan setiap hari. Dari tabel 4.4.24 dapat dilihat bahwa kelompok mahasiswa berkunjung ke perpustakaan satu sampai dua kali seminggu. Kunjungan mahasiswa ke perpustakaan umum lebih banyak bertujuan untuk memenuhi kebutuhan bacaan dalam kaitannya dengan penulisan tugas akhir, misalnya dalam penulisan skripsi. Hal ini dapat mungkin karena di kampus mereka tidak mendapatkan buku yang mereka butuhkan.
221
Gambar 4.4.17 Gambaran Frekuensi Berkunjung ke Perpustakaan Umum/Taman Bacaan Tabel 4.4.24 Gambaran Frekuensi Kunjungan ke Perpustakaan Berdasarkan Profesi Responden 1 X /hari 2 X /mg 1 X /mg 1 X /bln 1 X /3 bln 1 X /6 bln 1 X /th Mahasiswa 3 29 21 13 1 1 5 Pegawai Swasta 0 14 6 3 0 1 1 Petani/Nelayan 0 0 0 0 0 2 1 Ibu Rumah Tangga 0 2 3 0 0 0 0 Pedagang 0 0 0 0 1 1 0 Dosen 3 1 3 1 2 1 1 Siswa SD 32 17 14 7 1 0 5 Siswa SMP 11 24 18 12 4 3 7 Siswa SMU 0 12 19 22 11 6 11 PNS 31 5 6 12 1 0 4 Guru 2 1 3 7 0 2 0 TNI/Polri 4 2 6 3 0 1 2 Buruh 0 0 0 0 1 0 1 68 107 99 80 22 18 38
Kunjungan siswa SD ke perpustakaan umum oleh 79
(16,89 %) dari total
responden yang berkunjung ke perpustakaan atau taman bacaan.
Sebagian besar
berkunjung antara satu kali seminggu, dua kali seminggu, dan sekali sebulan, sisanya menyatakan jarang berkunjung ke perpustakaan yaitu dengan berkunjung antara satu kali tiga bulan dan bahkan ada yang berkunjung hanya satu kali saja dalam setahun.
222
Ada 32 murid SD atau 42,11 % dari keseluruhan murid SD yang berkunjung ke Perpustakaan atau Taman Bacaan menyatakan berkunjung setiap hari. Pada kelompok siswa SMP persentase yang berkunjung ke perpustakaan umum sedikit lebih tinggi dari siswa SD yaitu hanya 79 murid (17,56 %) dari total responden dengan pola kunjungannya juga bergeser dimana siswa yang berkunjung ke perpustakaan banyak di sekali dan dua kali dalam seminggu. Persentase siswa SMA yang berkunjung ke perpustakaan umum sedikit lebih yaitu 81 responden atau sekitar 18,00 %. Kelompok siswa SMA rata-rata berkunjung antara sebulan sekali sampai seminggu dua kali. Seperti yang sudah disebutkan di awal laporan ini bahwa salah satu indikator tinggi rendahnya minat baca adalah korbanan waktu untuk datang ke perpustakaan (frekuensi). Pada umumnya responden datang sendirian ke perpustakaan (82,36 %), dan hanya sebagian kecil mengajak isteri (5,44 %), atau membawa anak (12,20 %). Namun demikian mereka mengaku memberitahu orang lain bahwa di kota tempat mereka tinggal ada perpustakaan (85,40 %), dan hanya sebagian saja yang tidak memberitahu orang lain yaitu sebanyak 14,60 %.
6
19
9
4
3
Pegawai Swasta
2
8
0
1
13
1
0
1
Petani/Nelayan
0
1
0
0
16
30
0
0
Ibu Rumah Tangga
0
24
2
0
8
10
21
0
Pedagang
0
0
1
0
14
16
0
0
Dosen
9
4
2
0
4
0
1
0
Siswa SD
24
41
0
3
16
0
1
2
Siswa SMP
14
33
3
9
25
6
10
6
Siswa SMU
11
44
7
5
22
5
14
1
PNS
4
8
2
0
24
7
2
2
Guru
1
6
0
0
4
0
0
0
TNI/Polri
6
4
1
0
17
1
4
3
Buruh
0
0
0
0
17
10
0
0
77
192
23
24
189
87
57
18
Jumlah
223
1
Alasan lain
6
Malas
5
Tidak sering membaca
Tidak ada waktu karena sibuk
Mahasiswa
Koleksinya tidak pernah berganti
Bukunya tidak menarik dan sudah tua
Jaraknya terlalu jauh
Punya buku sendiri di rumah
Tabel 4.4.25 Alasan Responden Tidak Datang ke Perpustakaan Umum
28,34
Alasan lain
3,60
Malas
3,45
Tidak sering membaca
Tidak ada waktu karena sibuk
28,79
Koleksinya tidak pernah berganti
11,54
Bukunya tidak menarik dan sudah tua
Jaraknya terlalu jauh
Punya buku sendiri di rumah
13,04
8,55
2,70
Dari responden yang jarang atau tidak datang ke perpustakaan (lihat tabel 4.4.25) diperoleh data bahwa jarak perpustakaan terlalu jauh dari tempat tinggal mereka menjadi alasan utama (26,96 %), kemudian tidak ada waktu karena sibuk (27,50 %), berikutnya alasan karena tidak suka baca (13,04 %), kemudian alasan karena sudah memiliki koleksi sendiri di rumah (11,54 %), malas (8,55 %), koleksi tidak seringtidak sering membaca (6,79 %), bukunya tidak sering berganti (3,60 %), tidak menarik dan sudah tua (3,45 %), dan karena alasan lain (2,70 %) misalnya tidak ada keperluan, sulit prosedur pinjam buku, tidak punya kartu perpustakaan. Alasan jarak merupakan alasan paling banyak dipilih oleh responden. Ini ada kaitannya dengan kemampuan mereka dalam membayar ongkos menggunakan angkutan umum yang menurut mereka tidak murah (rata-rata 83,63 % menyatakan mahal dan sedang), hanya 7,91 % saja dari responden yang menyatakan bahwa ongkos angkutan umum di wilayah mereka termasuk murah. Kondisi jumlah angkutan umum sendiri menurut sebagian besar responden termasuk sedang dan banyak (dinyatakan oleh 86,58 %). Untuk mengatasi masalah jarak, perlu diperbanyak perpustakaan keliling atau TBM (Taman Bacaan Masyarakat) yang saat ini di Kota Banjarmasin belum banyak didirikan, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Yang agak mengejutkan adalah adanya responden yang tidak datang ke perpustakaan dengan alasan tidak ada waktu karena sibuk. Jika alasan ini dikemukakan oleh responden yang berprofesi seperti pedagang dan sejenisnya mungkin dapat dimengerti, namun bila alasan ini dinyatakan oleh kelompok mahasiswa dan pelajar maka sepertinya alasan ini kurang dapat diterima dan terkesan dibuat-buat. Ini merupakan bukti bahwa minat baca yang ditunjukkan dengan frekuensi datang ke perpustakaan memang rendah. Beberapa responden memberi alasan bahwa tidak datang ke perpustakaan karena mereka memiliki koleksi buku sendiri di rumahnya. Nampaknya alasan ini dapat diterima. Namun bila dianalisa lebih mendalam, sesungguhnya sulit bagi seseorang yang
224
memiliki kegemaran membaca yang tinggi dapat memenuhi kebutuhan bahan bacaannya. Untuk itu orang yang memiliki kegemaran membaca yang tinggi biasanya akan datang ke perpustakaan. Hal ini sesuai dengan pendapat Nasoetion (1992) yang menyatakan bahwa tidak ada seorangpun yang dapat mengumpulkan kepustakaan (buku) yang berhubungan dengan minatnya sebagai milik pribadi di rumah. Itulah sebabnya perpustakaan umum adalah sarana penunjang pengembang ilmu dan penelitian yang sangat penting. Yang perlu disediakan di rumah hanyalah sumbersumber rujukan yang diperlukan sewaktu-waktu3. Alasan yang dikemukakan ini terkesan mengada-ada, karena dari data kepemilikan buku, responden yang tidak punya koleksi buku di rumahnya cukup besar yaitu mencapai 22,11 %, dan kalau digabung dengan responden yang memiliki buku dengan jumlah sedikit (kurang 10) persentasinya mencapai mencapai 63,72 %. Dengan demikian sesungguhnya alasan tidak datang ke perpustakaan karena sudah memiliki koleksi buku sendiri di rumahnya menjadi kurang bermakna.
4.4.7 Hubungan Karakteristik Responden dengan Minat Baca Secara ringkas pada tabel dan grafik berikut dapat dilihat hubungan karakteristik responden (umur, pendidikan, pendapatan) dengan minat baca (durasi membaca, frekuensi membaca dan korbanan) untuk Kota Banjarmasin adalah sebagai berikut. Tabel 4.4. 26 Hubungan Karakteristik Responden dengan Minat Baca Minat Baca Karakteristik Responden
Durasi Baca
Frekuensi baca
Umur
-0,002
Pendidikan Pendapatan
Korbanan Beli buku
Pemilikan buku
0,028
0,044
0,017
0,028
0,096*
0,108**
0,147**
-0,058
-0,100
0,212**
0,173**
** Korelasi nyata pada α = 0,01 (uji dua arah). * Korelasi nyata pada α = 0,05 (uji dua arah).
3
Andi Hakim Nasoetion. Panduan Berpikir dan Meneliti Secara Ilmiah bagi Remaja. Jakarta: Grasindo, 1992. hal 62. 225
Pada grafik berikut jelas tergambar hubungan korelasi yang dimaksud. MODEL:
MOD_1.
Independent:
frekuensi
Dependent Mth pddkn_1
LIN
Rsq
d.f.
F
Sigf
b0
b1
,006
440
2,73
,099
3,1277
,0752
Pendidikan
Observed
7.00
Linear
6.00
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00 1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
Frekuensi
Gambar a. Plot data ordinal hubungan Karakteristik Personal terhadap Minat Baca komponen Pendidikan dengan Frekuensi, r = 0,096 berbeda nyata pada α = 0,05 (uji dua arah). Ini
berarti semakin tinggi pendidikan terdapat kecenderungan frekuensi berkunjung ke perpustakaan semakin meningkat. MODEL:
MOD_2.
Independent:
Dependent Mth pddkn_1
MODEL:
belibuku
LIN
MOD_3.
Independent:
Rsq
d.f.
F
Sigf
b0
b1
,014
628
8,77
,003
2,7384
,2103
belibuku
Dependent Mth pdptn_1
LIN
Rsq
d.f.
F
Sigf
b0
b1
,043
206
9,23
,003
3,0077
,2642
Pendidikan
Pendapatan
Observed
7.00
Observed
7.00
Linear
6.00
6.00
5.00
5.00
4.00
4.00
3.00
3.00
2.00
2.00
1.00
Linear
1.00 1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
Beli buku
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
Beli buku
Grafik a. Plot data ordinal hubungan Karakteristik Personal terhadap Minat Baca komponen Pendidikan dengan Korbanan beli buku, r = 0,108 berbeda nyata pada α = 0,01 (uji dua
Grafik b. Plot data ordinal hubungan Karakteristik Personal terhadap Minat Baca komponen Pendapatan dengan Korbanan beli buku, r = 0,212 berbeda nyata pada α = 0,01 (uji dua arah). Ini berarti
arah). Ini berarti semakin tinggi pendidikan terdapat kecenderungan semakin banyak korbanan dalam pembelian buku.
semakin besar pendapatan terdapat kecenderungan semakin banyak korbanan dalam beli buku.
Gambar 4.4.18 Grafik Model Data Plot Pendidikan dan Pendapatan terhadap Beli Buku
226
MODEL:
MOD_4.
Independent:
Dependent Mth pddkn_1
MODEL:
pmklbuku
LIN
MOD_5.
Independent:
Rsq
d.f.
F
Sigf
b0
b1
,038
797
31,43
,000
2,5965
,2480
pmklbuku
Dependent Mth pdptn_1
LIN
Rsq
d.f.
F
Sigf
b0
b1
,067
295
21,03
,000
2,8235
,2261
Pendapatan
Pendidikan
Observed
7.00
Observed
7.00
Linear
Linear 6.00
6.00
5.00
5.00
4.00
4.00
3.00
3.00
2.00
2.00
1.00
1.00 1.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
Pemilikan buku
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
Pemilikan buku
Gambar 2a. Plot data ordinal hubungan Karakteristik Personal terhadap Minat Baca komponen Pendidikan dengan Pemilikan buku, r = 0,147 berbeda nyata pada α = 0,01 (uji dua arah). Ini
Gambar 2b. Plot data ordinal hubungan Karakteristik Personal terhadap Minat Baca komponen Pendapatan dengan Pemilikan buku, r = 0,173 berbeda nyata pada α = 0,01 (uji dua arah). Ini
berarti semakin tinggi pendidikan terdapat kecenderungan semakin banyak koleksi buku pribadi yang dimilikinya.
berarti semakin besar pendapatan terdapat kecenderungan semakin banyak koleksi buku pribadi yang dimilikinya
Gambar 4.4.19 Grafik Model Data Plot Pendidikan dan Pendapatan terhadap Pemilikan Buku
Dari tabel dan grafik diatas dapat disimpulkan hal-hal berikut: 1.
Tidak terdapat korelasi nyata antara umur dengan durasi membaca pada responden Kota Banjarmasin. Ini berarti umur seseorang, tidak berpengaruh pada durasi membacanya.
2. Tidak terdapat korelasi nyata antara umur dengan frekuensi membaca. 3. Tidak terdapat korelasi nyata antara umur dengan korbanan membeli bahan bacaan 4. Tidak terdapat korelasi nyata antara umur dengan korban pemilikan buku 5. Tidak terdapat korelasi nyata antara pendidikan dengan durasi membaca 6. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendidikan dengan frekuensi membaca 7.
Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendidikan dengan korbanan membeli bahan bacaan
8. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendidikan dengan korbanan memiliki bahan bacaan 227
9. Tidak terdapat korelasi nyata antara pendapatan dengan durasi membaca 10. Tidak terdapat korelasi nyata antara pendapatan dengan frekuensi membaca 11. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendapatan dengan korbanan membeli bahan bacaan 12. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendapatan dengan korbanan memiliki bahan bacaan
228
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan deskripsi dan kecenderungan korelasi data serta analisis kecenderungan, disertai dengan masukan yang didapatkan melalui wawancara, peninjauan lapangan serta studi literatur, maka berikut disajikan berbagai kesimpulan serta saran-saran untuk pengembangan program-program kerja dalam rangka peningkatan minat baca masyarakat di tiga kota, yaitu Kota Makassar, Kota Pekanbaru dan Kota Banjarmasin. Diharapkan kesimpulan dan saran ini pun dapat diaplikasikan di kota-kota lain di Indonesia dengan penyesuaian-penyesuaian tertentu. Pihak-pihak yang kiranya dapat menjalankan saran-saran yang diberikan antara lain adalah: 1. Departemen Pendidikan Nasional 2. Perpustakaan Nasional 3. Pemerintah Daerah, melalui lembaga terkait 4. Badan Perpustakaan Daerah 5. Lembaga Swadaya Masyarakat.
Kesimpulan: Dari hasil dan pembahasan dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pada umumnya masyarakat mengisi waktu luangnya dengan membaca, menonton, mendengarkan radio dan rekreasi. Frekuensi membaca dengan menonton hampir seimbang. 2. Pada umumnya waktu yang digunakan oleh responden untuk menonton lebih lama (lebih dari 3 jam sehari) dibandingkan dengan waktu yang digunakan untuk membaca (antara 1 – 2 jam sehari). 3. Pada umumnya minat baca dapat dikategorikan rendah di tiga kota, terutama jika dibandingkan dengan standar yang diberikan oleh Abdul Razak dalam buku Formula 247 Plus: Metoda Mendidik Anak Menjadi Pembaca yang Sukses (2004).
Apalagi jika dibandingkan dengan standar luar negeri
misalnya Jepang, Amerika bahkan Singapura.
229
4. Berdasarkan perhitungan rata-rata untuk tiga indikator minat baca (durasi membaca, frekuensi membaca, dan korbanan untuk bahan bacaan), maka skor rata-rata masyarakat di tiga kota adalah 3,2 pada skala 1 sampai 7, dimana nilai 1 adalah minat baca rendah dan 7 adalah minat baca tinggi, atau berada pada tingkat agak sedang. 5. Terdapat korelasi tidak nyata negatif walau sangat kecil antara umur dengan durasi membaca (r = -0,031). Ini berarti makin tua umur seseorang, makin singkat durasi membacanya. 6. Terdapat korelasi tidak nyata negatif walau kecil antara umur dengan frekuensi membaca (r = -0,022).
Artinya semakin tua umur seseorang
semakin jarang berkuunjung ke perpustakaan. 7. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara umur dengan korbanan membeli bahan bacaan (r = 0,130). Artinya, semakin tua umur seseorang, semakin besar biaya yang dikorbankan untuk membeli bahan buku. 8. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara umur dengan korbanan kepemilikan buku (r = 0,176), artinya, semakin tua umur seseorang, semakin banyak memiliki buku. 9. Terdapat korelasi tidak nyata positif walau kecil antara pendidikan dengan durasi membaca (r = 0,008), artinya, semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin lama korbanan waktu yang digunakan untuk membaca. 10. Terdapat korelasi tidak nyata negatif walau kecil antara pendidikan dengan frekuensi membaca (r = -0,011), semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin jarang berkunjung ke perpustakaan. 11. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendidikan dengan korbanan membeli buku (r = 0,152), artinya semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin besar biaya yang digunakan untuk membeli buku. 12. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendidikan dengan korbanan memiliki bahan bacaan (r = 0,267), artinya semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin banyak memiliki koleksi buku. 13. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendapatan dengan durasi membaca (r = 0,134), artinya semakin tinggi pendapatan seseorang, maka semakin lama korbanan waktu yang digunakan untuk membaca.
230
14. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendapatan dengan frekuensi membaca (r = 0,231), artinya semakin tinggi pendapatan seseorang, maka semakin sering berkunjung ke perpustakaan. 15. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendapatan dengan korbanan membeli bahan bacaan (r = 0,225), artinya semakin tinggi pendapatan seseorang, maka semakin besar korbanan biaya yang digunakan untuk membeli buku. 16. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendapatan dengan korbanan memiliki bahan bacaan (r = 0,386), artinya semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin banyak memiliki koleksi buku. 17. Kesimpulan untuk masing-masing kota baik Makassar, Pekanbaru, maupun Banjarmasin untuk pola membaca masih sama dengan kesimpulan secara umum. 18. Berbagai usaha yang telah dilakukan untuk meningkatkan minat baca masyarakat ini di tiga kota bervariasi, misalnya di Makassar gencar dilaksanakan program Gerakan Makassar Gemar Membaca (GMGM) dan pendirian Taman-taman Bacaan Masyarakat; di Pekanbaru telah dilaksanakan Gerakan Riau Membaca (GRM), Gerakan Hibah Sejuta Buku (GHSB), pendirian sudut-sudut baca dan lain-lain; Namun yang belum terlihat gencar melakukan usaha peningkatan gemar membaca, setidaknya dengan program yang terstruktur, adalah di Banjarmasin, walaupun di Banjarmasin terdapat Rumah Baca yang sangat representatif dan dibiayai oleh sebuah yayasan dari Jakarta. 19. Jenis bahan bacaan yang paling digemari masyarakat di tiga kota berturutturut adalah koran, majalah, buku dan komik. 20. Topik bacaan yang paling digemari masyarakat di tiga kota berturut-turut adalah pengetahuan umum, ilmu pengetahuan, agama, sastra. 21. Masyarakat banyak yang belum tahu keberadaan perpustakaan umum/taman bacaan masyarakat. 22. Masyarakat banyak yang belum sering (jarang) berkunjung ke perpustakaan. 23. Alasan masyarakat banyak yang belum sering (jarang) berkunjung ke perpustakaan berturut-turut adalah jauh, tidak ada waktu, punya sendiri, malas, tidak suka baca, koleksi tidak menarik, koleksi tidak pernah ganti.
231
Pada umumnya masyarakat di tiga kota untuk berbagai kelompok profesi mendapatkan informasi melalui media elektronik terutama televisi. • Di Kota Makassar: 1.
Terdapat korelasi nyata negatif walau sangat kecil antara umur dengan durasi membaca. Ini berarti makin tua umur seseorang, makin singkat durasi membacanya.
Hal ini diduga berkaitan dengan kondisi fisik
seseorang yang berumur semakin tua. 2. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara umur dengan frekuensi membaca.
Ini berarti walau sangat kecil korelasinya, semaki tua
seseorang makin sering membaca.
Diduga ini berkaitan dengan
pemanfaatan waktu yang tersedia. 3. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara umur dengan korbanan membeli bahan bacaan. Ini berarti semakin tua umur seseorang, makin besar dana yang bersedia dikeluarkan untuk membeli bahan bacaan, terutam abuku. 4. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara umur dengan korban pemilikan buku. Ini berarti semakin tua seseorang, makin banyak kompilasi koleksi bahan bacaannya. Hal ini tentu saja wajar karena kumulasi koleksi bahan yang dimiliki bertambah dengan bertambahnya umur. 5. Terdapat korelasi nyata negatif walau kecil antara pendidikan dengan durasi membaca. 6. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendidikan dengan frekuensi membaca. 7.
Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendidikan dengan korbanan membeli bahan bacaan.
8. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendidikan dengan korbanan memiliki bahan bacaan. 9. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendapatan dengan durasi membaca. 10. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendapatan dengan frekuensi membaca.
232
11. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendapatan dengan korbanan membeli bahan bacaan. 12. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendapatan dengan korbanan memiliki bahan bacaan. • Di Kota Pekanbaru: 1. Terdapat korelasi nyata negatif walau sangat kecil antara umur dengan durasi membaca. Ini berarti makin tua umur seseorang, makin singkat durasi membacanya. 2. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara umur dengan frekuensi membaca. 3. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara umur dengan korbanan membeli bahan bacaan. 4. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara umur dengan korban pemilikan buku. 5. Terdapat korelasi nyata negatif walau kecil antara pendidikan dengan durasi membaca. 6. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendidikan dengan frekuensi membaca. 7. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendidikan dengan korbanan membeli bahan bacaan. 8. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendidikan dengan korbanan memiliki bahan bacaan. 9. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendapatan dengan durasi membaca. 10. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendapatan dengan frekuensi membaca. 11. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendapatan dengan korbanan membeli bahan bacaan. 12. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendapatan dengan korbanan memiliki bahan bacaan. 233
• Di Kota Banjarmasin: 1.
Tidak terdapat korelasi nyata antara umur dengan durasi membaca pada responden Kota Banjarmasin.
Ini berarti umur seseorang, tidak
berpengaruh pada durasi membacanya. 2. Tidak terdapat korelasi nyata antara umur dengan frekuensi membaca. 3. Tidak terdapat korelasi nyata antara umur dengan korbanan membeli bahan bacaan 4. Tidak terdapat korelasi nyata antara umur dengan korban pemilikan buku 5. Tidak terdapat korelasi nyata antara pendidikan dengan durasi membaca 6. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendidikan dengan frekuensi membaca 7.
Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendidikan dengan korbanan membeli bahan bacaan
8. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendidikan dengan korbanan memiliki bahan bacaan 9. Tidak terdapat korelasi nyata antara pendapatan dengan durasi membaca 10. Tidak terdapat korelasi nyata antara pendapatan dengan frekuensi membaca 11. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendapatan dengan korbanan membeli bahan bacaan 12. Terdapat korelasi nyata positif walau kecil antara pendapatan dengan korbanan memiliki bahan bacaan
234
Saran: Berikut saran-saran yang diusulkan untuk dilaksanakan oleh berbagai pihak dalam rangka meningkatkan minat baca masyarakat: • Perlu usaha memasukkan dan mengintegrasikan ke dalam kurikulum sekolah (semacam langkah law enforcement) tentang bahan bacaan yang harus dibaca terutama buku sastra, agar dapat memaksa siswa (SD, SMP, SMA) untuk membaca buku sastra.
Misalnya setiap siswa harus baca buku
sastra/novel minimal dalam jumlah tertentu dalam satu tahun. Pihak Departemen Pendidikan yang berwewenang menindaklanjuti saran ini. • Tenaga pendidik (guru) harus memberi contoh dalam mengembangkan minat baca di sekolah dengan menunjukkan bahwa tenaga pendidik mempunyai minat baca tinggi. Dinas Pendidikan di tiap Pemerintah Daerah yang dapat melakukan himbauan untuk melaksanakan saran ini. • Tiap sekolah harus punya perpustakaan. Memenuhi standar perpustakaan sekolah dan yang kini sudah dipayungi oleh UU Perpustakaan Nomor 43 tahun 2007.
Saat ini di Indonesia baru 20 persen SD yang punya
perpustakaan sekolah. Departemen Pendidikan Nasional harus memaksa semua sekolah untuk mematuhi peraturan tentang standar perpustakaan sekolah. • Perpustakaan sekolah pada hakekatnya juga melayani kebutuhan bacaan untuk komunitas sekolah (misalnya siswa, guru, orangtua murid) termasuk masyarakat sekitarnya, bukan hanya untuk siswa. Dinas Pendidikan Nasional di daerah yang dapat berperan untuk memasyarakatkan hal ini ke sekolah-sekolah di daerah. • Perlu anggaran khusus dan rutin dari pemda untuk melaksanakan programprogram peningkatan minat baca. Pihak DPRD dan Pemerintah Daerah yang berwewenang melaksanakan saran ini. • Perlu dikembangkan kebijakan-kebijakan lokal yang kondusif dalam meningkatkan semangat belajar masyarakat dan juga meningkatkan minat baca. Pihak Pemerintah Daerah yang harus mendorong pelaksanaan saran ini.
235
• Perlu
perangkat
aturan
khusus
(dukungan
DPRD)
untuk
mendorong/memayungi program peningkatan minat baca. Seperti yang sudah dilakukan oleh Pemda Kota Solo, dimana pada jam-jam tertentu yaitu jam-jam belajar, siswa dilarang menonton televisi di rumah. Pihak DPRD dan Pemerintah Daerah yang harus melaksanakan saran ini. • Untuk merangsang kebiasaan dan kegemaran membaca perlu dicoba untuk diterapkan sistem silent reading oleh seluruh siswa dalam kelas, terutama siswa SD selama kurang lebih 15 menit sebelum pelajaran dimulai setiap hari sebagaimana telah diterapkan oleh beberapa guru di Yogyakarta. Dinas Pendidikan di daerah dapat mendorong usaha ini. • Dalam
melaksanakan
berbagai
program
pengembangan
minat
baca
masyarakat, dapat manfaatkan payung hukum UU Perpustakaan Nomor 43 tahun 2007. Semua pihak terkait harus memanfaatkan keberadaan UU Perpustakaan untuk mendorong peningkatan minat baca. • Pemerintah Daerah perlu mendorong agar setiap kantor mendirikan perpustakaan untuk dimanfaatkan oleh karyawan dan keluarganya. • Pemerintah daerah harus selalu mendorong dan mendukung sehingga setiap kelurahan perlu ada taman bacaan agar masyarakat makin menjangkau sumber-sumber bacaan yang murah. • Departemen Pendidikan Nasional, Perpustakaan nasional, Pemerintah daerah,
Badan
Perpustakaan
Daerah
bertanggungjawab
dalam
pengembangan SDM perpustakaan yang senantiasa perlu ditingkatkan melalui berbagai metode. • Selain
sarana
fisik
perpustakaan
yang
perlu
ditingkatkan,
sistem
perpustakaan juga perlu dibenahi, termasuk pengembangkan koleksi perpustakaan. Perpustakaan Nasional dan Badan Perpustakaan Daerah dan didukung oleh Departemen Pendidikan Nasional dan Pemerintah Daerah harus
berperan
dalam
mengembangkan
sistem
perpustakaan
serta
mengembangkan dan memperkaya koleksi buku setiap perpustakaan sehingga dapat mendukung terciptanya peningkatan minat baca masyarakat. • Gebrakan semacam GMGM (Gerakan Makassar Gemar Membaca), GRM (Gearakan Riau Membaca) perlu senantiasa digencarkan dan digaungkan terutama dengan memanfaatkan publik-publik figur.
236
• Diskon besar untuk pembelian buku dari penerbit/toko buku perlu sering diadakan terutama untuk masyarakat miskin. • Lomba-lomba untuk merangsang minat baca perlu sering dilakukan (lomba mengarang, resensi, duta baca dan lain lain) baik tingkat nasional maupun di daerah. Perpustakaan Nasional dan Pemerintah Daerah harus melaksanakan saran ini secara berkesinambungan. • Perlu disosialisaikan penyediaan bahan bacaan berupa buku ringan di pesawat oleh maskapai penerbangan dan di kapal-kapal penumpang, bukan hanya menyediakan koran. Pemerintah Daerah berwewenang melaksanakan saran ini. • Di halte-halte percontohan disediakan buku bacaan ringan, yang dapat dibaca diatas kendaraan umum dan dapat dikembalikan pada halte berikutnya ketika penumpang turun. Pemerintah Daerah berwewenang melaksanakan saran ini. • Perlu disediakan lebih banyak TBM (Taman Bacaan Masyarakat) di tamantaman tempat pertemuan komunitas seperti telah dlakukan di di Makassar, Pekanbaru
dan
di
Banjarmasin.
Pemerintah
Daerah
berwewenang
melaksanakan saran ini. • Perlu dilakukan pembentukan kelompok baca di perkampungan atau di kompleks, dimana anggota kelompok dibantu dalam melakukan programprogram ekonomis yang dapat menghasilkan tambahan pendapatan untuk keluarga seperti sudah dicoba dilakukan di Pekanbaru. Pemerintah Daerah berwewenang melaksanakan saran ini. • Tiap jenis perpustakaan agar lebih proaktif mempromosikan layanannya kepada komunitas di sekitarnya, sehingga masyarakat mengetahui apa yang dapat diperoleh dari perpustakaan itu.
237
238
Dalam rangka pemetaan minat baca masyarakat, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia bekerjasama dengan Departemen Pendidikan Nasional mengadakan survey. Anda terpilih menjadi salah satu responden dalam survey ini dan diminta untuk menjawab beberapa pertanyaan seperti di bawah ini. Kami menyampaikan terima kasih atas partisipasi Anda dalam menjawab pertanyaan ini dengan jujur. PETUNJUK MENJAWAB PERTANYAAN Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan cara memberi tanda cek (√) pada pernyataan yang Anda pilih dan mengisi kolom jika diperlukan. Nama Alamat 1. Jenis kelamin Anda? a. Laki‐laki
b. Perempuan
2. Umur Anda saat ini? a. Kurang dari 12 tahun b. 13 sampai dengan 15 tahun c. 16 sampai dengan 18 tahun d. 19 sampai dengan 23 tahun e. 24 sampai dengan 40 tahun f. 41 sampai dengan 55 tahun g. Lebih dari 56 tahun 3. Apa status Anda dalam keluarga? a. Ayah (kepala keluarga) b. Ibu c. Anak
243
4. Apakah Anda saat ini masih sekolah? a. Masih sekolah
b. Sudah bekerja
5. Jika Anda masih sekolah, apakah Anda seorang? a. Pelajar SD b. Pelajar SLTP c. Pelajar SLTA d. Mahasiswa 6. Jika Anda masih sekolah atau sudah bekerja, apa pendidikan terakhir Anda? a. Tidak tamat SD b. Tamat SD c. Tamat SLTP d. Tamat SLTA e. Diploma f. Sarjana (S1) g. Pasca Sarjana (S2, S3) 7. Jika sudah bekerja, apa profesi profesi Anda saat ini? a. Pegawai Negeri b. Pegawai swasta c. Pedagang d. TNI/POLRI e. Petani f. Wiraswasta g. Wartawan 244
h. Buruh i. Lain‐lain, Sebutkan……………………………. 8. Jika Anda bekerja, apa bidang mata pencaharian Anda saat ini: a. Pertanian b. Pertambangan c. Industri d. Listrik e. Gas f. Air g. Bagunan h. Perdagangan i. Perhotelan j. Jasa Pengangkutan k. Jasa Kemasyarakatan l. Lainnya, Sebutkan……………………………. 9. Berapa perkiraan pendapatan Anda (dan keluarga Anda) per bulan a. Kurang dari 500 ribu b. 500 ribu s/d 1 juta c. Lebih 1 juta s/d 1,5 juta d. Lebih 1,5 juta s/d 2,5 juta e. Lebih dari 2,5 juta s/d 3,5 juta f. Lebih dari 3,5 juta s/d 4,5 juta g. Lebih dari 4,5 juta 245
10. Berapa jumlah anggota keluarga dalam keluarga Anda? a. Kurang dari 2 orang b. 3 – 4 orang c. 5 – 6 orang d. 7 – 8 orang e. Lebih dari 8 orang 11. Apakah Anda penduduk asli a. Ya b. Bukan 12. Jika bukan penduduk asli, sudah berapa lama menetap di kota ini? a. 0 – 5 tahun b. 6 – 10 tahun c. 11 – 15 tahun d. 16 – 20 tahun e. 21 – 25 tahun f. Lebih dari 25 tahun 13. Fasilitas media informasi apa yang Anda miliki? (bisa lebih dari 1 pilihan) a. Pesawat Radio b. Pesawat TV c. Video/VCD/DVD d. Komputer e. Koneksi ke Internet f. Koran g. Majalah 14. Apa yang Anda lakukan pada waktu luang Anda? (bisa lebih dari 1 pilihan) a. Membaca b. Menonton TV/Video/VCD 246
c. d.
Mendengarkan siaran radio
Rekreasi
15. Jika jawaban pertanyaan 14 membaca, bahan bacaan apa yang Anda baca? (bisa lebih dari 1 pilihan) a. Koran b. Majalah c. Buku d. Komik 16. Berapa jam rata‐rata waktu keseluruhan yang Anda gunakan untuk membaca? a. Lebih dari 3 jam per hari b. 2 – 3 jam per hari c. 1 – 2 jam per hari d. Kurang dari 1 jam per hari e. 3 – 4 jam seminggu f. 2 – 3 jam seminggu g. 1 – 2 jam seminggu 17. Jika jawaban pertanyaan 15 membaca Koran, berapa jam rata‐rata yang Anda gunakan untuk membaca Koran? a. Lebih dari 3 jam per hari b. 2 – 3 jam per hari c. 1 – 2 jam per hari d. Kurang dari 1 jam per hari e. 3 – 4 jam seminggu f. 2 – 3 jam seminggu g. 1 – 2 jam seminggu 247
18. Jika jawaban pertanyaan 15 membaca majalah, berapa jam rata‐rata yang Anda gunakan untuk membaca Majalah? a. Lebih dari 3 jam per hari b. 2 – 3 jam per hari c. 1 – 2 jam per hari d. Kurang dari 1 jam per hari e. 3 – 4 jam seminggu f. 2 – 3 jam seminggu g. 1 – 2 jam seminggu 19. Jika jawaban pertanyaan 15 membaca buku, berapa jam rata‐rata yang Anda gunakan untuk membaca Buku? a. Lebih dari 3 jam per hari b. 2 – 3 jam per hari c. 1 – 2 jam per hari d. Kurang dari 1 jam per hari e. 3 – 4 jam seminggu f. 2 – 3 jam seminggu g. 1 – 2 jam seminggu 20. Jika Anda sering membaca buku, Jenis buku apa yang Anda baca? (bisa lebih dari 1 pilihan) a. Fiksi/ sastra b. Agama c. Pengetahuan populer d. Ilmu pengetahuan e. Lainnya, Sebutkan……………………………. 248
21. Dari mana Anda mendapatkan buku tersebut? (bisa lebih dari 1 pilihan) a. Membeli b. Meminjam dari teman atau kenalan c. Meminjam dari kantor/pejabat/aparat pemerintah d. Dari perpustakaan umum 22. Jika jawaban pertanyaan 21 adalah membeli, berapa rupiah rata‐rata yang Anda belanjakan setiap bulan? a. Kurang dari Rp. 50.000,‐ b. Antara Rp. 50.000,‐ sampai Rp. 100.000,‐ c. Lebih dari Rp. 100.000,‐ sampai Rp. 200.000,‐ d. Lebih dari Rp. 200.000,‐ sampai Rp.300.000,‐ e. Lebih dari Rp. 300.000,‐ sampai Rp. 400.000,‐ f. Lebih dari Rp. 400.000,‐ sampai Rp. 500.000,‐ g. Lebih dari Rp. 500.000,‐ 23. Selain buku‐buku pelajaran, apakah Anda punya koleksi buku pribadi di rumah? a. Tidak punya b. Punya kurang dari 10 buku c. Punya antara 10 sampai 25 buku d. Punya antara 25 sampai 50 buku e. Punya antara 50 sampai 75 buku f. Punya antara 75 sampai 100 buku g. Punya lebih dari 100 buku 24. Jika Anda mendengarkan radio, jenis siaran apa yang Anda sukai? (bisa lebih dari 1 pilihan) a. Berita b. Musik (pilihan pendengar c. Olah Raga 249
d. Ceramah agama e. Ilmu pengetahuan f. Sandiwara radio 25. Berapa jam rata‐rata waktu yang Anda gunakan untuk mendengarkan siaran radio? a. Lebih dari 3 jam per hari b. 2 – 3 jam per hari c. 1 – 2 jam per hari d. Kurang dari 1 jam per hari e. 3 – 4 jam seminggu f. 2 – 3 jam seminggu g. 1 – 2 jam seminggu 26. Jika Anda menonton siaran televisi, jenis siaran apa yang Anda sukai? (bisa lebih dari 1 pilihan) a. Berita b. Musik/hiburan c. Ceramah agama d. Olah Raga e. Ilmu Pengetahuan f. Fim/ Sinetron g. Infotainment 27. Berapa jam rata‐rata waktu yang Anda gunakan untuk menonton televisi? a. Lebih dari 3 jam per hari b. 2 – 3 jam per hari c. 1 – 2 jam per hari d. Kurang dari 1 jam per hari e. 3 – 4 jam seminggu 250
28.
29.
30.
31.
f. 2 – 3 jam seminggu g. 1 – 2 jam seminggu Jika Anda memperoleh informasi, siapa saja yang Anda beritahu? (bisa lebih dari 1 pilihan) a. Isteri/suami b. Anak c. Bapak/ibu d. Kerabat e. Teman f. Mitra usaha g. Tetangga h. Tidak memberi tahu siapapun Bagaimana kondisi angkutan umum di kota Anda? a. Banyak b. Cukup c. Kurang d. Tidak tahu Apa pendapat Anda mengenai ongkos angkutan umum? a. Mahal b. Sedang c. Murah d. Tidak tahu Jika Anda masih sekolah atau kuliah, Apa pendapat Anda terhadap fasilitas sekolah atau kampus Anda? a. Jarak sekolah/kampus jauh ; dekat b. Transport ke sekolah/kampus sulit ; gampang c. Transport ke sekolah mahal ; murah 251
d. Ruang kelas kurang
; cukup
e. Gedung sekolah/kampus kurang memadai ; cukup memadai f. Fasilitas sekolah/kampus kurang ; cukup g. Fasilitas perpustakaan, ada ; tidak ada
h. Jumlah guru sekolah/dosen kurang i. Kualitas guru/dosen rendah
; cukup
j.
Biaya pendidikan mahal
; murah
k. Mendapatkan buku sulit
; mudah
; Cukup tinggi
32. Apakah Anda sering berkirim surat melalui pos? a. Ya b. Tidak 33. Apakah Anda memiliki fasilitas telekomunikasi? (bisa lebih dari 1 pilihan) a. Memiliki telepon rumah saja b. Memiliki telepon seluler (HP) saja c. Memiliki kedua‐duanya d. Tidak memiliki kedua‐duanya e. Memiliki alat komunikasi lain Sebutkan, ………………………. 34. Apakah di kota Anda ada perpustakaan umum atau taman bacaan untuk umum? a. Ada b. Tidak ada c. Tidak Tahu
35. Jika ada, apakah Anda sering datang atau berkunjung ke perpustakaan umum atau taman bacaan? a. Ya b. Tidak 36. Jika Anda sering datang, berapa sering Anda berkunjung ke perpustakaan? a. Setiap hari b. Seminggu dua kali c. Seminggu sekali 252
d. e. f. g.
Sebulan sekali
Tiga bulan sekali Enam bulan sekali Satu tahun sekali
37. Jika Anda tahu bahwa di kota Anda ada perpustakaan umum, apakah Anda memberitahu orang lain? a. Ya b. Tidak 38. Jika Anda sering dating ke perpustakaan, apakah Anda membawa anggota keluarga? a. Tidak, saya datang sendiri b. Ya, membawa isteri c. Ya, membawa anak 39. Jika jawaban pertanyaan 36 tidak pernah, apa alasan Anda tidak pernah berkunjung ke perpustakaan? a. Sudah punya buku sendiri di rumah b. Jaraknya terlalu jauh c. Bukunya tidak menarik dan sudah tua‐tua d. Koleksinya tidak pernah berganti e. Tidak ada waktu karena sibuk f. Tidak sering membaca g. Malas h. Lainnya Sebutkan, ………………… 40. Apakah di kota Anda ada toko buku? a. Ada b. Tidak ada c. Tidak tahu
Terima kasih atas partisipasi Anda menjawab pertanyaan kami 253
254
Susunan Tim Peneliti Susunan Tim Peneliti adalah sebagai berikut: Nara Sumber:
1. Sekjen Depdiknas 2. Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan 3. Sekretaris Utama Perpustakaan Nasional
Tim Peneliti:
1. Ir. Abdul Rahman Saleh, Dip.Lib., M.Sc. (Ketua) 2. Drs. Badollahi Mustafa, M.Lib. (anggota) 3. Drs. Widiyanto, M.Si. (Anggota) 4. Drs. Deni Kurniadi, M.Hum. (Anggota) 5. Wellem Pongtuluran, SE., M.Pd. (Anggota) 6. Dra. Nani Suryani (Anggota)
255