Sekretariat Negara Republik Indonesia
Pemerintahan Presidensial: Asal-Usul, Dinamika, dan Dukungan Administrasi Jumat, 28 Agustus 2009
Margarito Kamis Doktor Dalam Bidang Hukum Tata Negara. Dosen pada FH Univ. Khairun Ternate.
Â
Â
Pengantar Andaikan tidak ada hasrat untuk mengorganisasikan kekuasaan yang pada masa klasik hingga penghujung abad ke-18 digenggam penuh oleh raja, pasti tidak ada orang yang dapat berbicara mengenai kekuasaan pemerintahan, undangundang dan kekuasaan mengadili. Hasrat itu, begitulah yang diceritakan oleh serajahwan terkemuka, ambil misalnya, Ong Hok Ham (2002) disebabkan oleh, bukan hanya keangkuhan, tetapi dampak dari keangkuhan itu terhadap orang banyak.Â
Bereksistensi sebagai hamba sahaya pada masanya, seperti ditulis dengan sangat menarik dan jenaka oleh Sutandyo Wignjosoebroto (2002), menjadi perangsang munculnya hasrat agung, anggun dan mulia untuk menolak kekuasaan yang berabad-abad lamanya terkonsentrasi di tangan raja. Sebab itulah, metafora kekuasaan rakyat pada dirinya mengandung kemuliaan, sekurang-kurangnya dalam cita-cita.
Kemuliaannya terletak bukan saja pada penempatan rakyat dalam pusaran besar kehidupan itu saja, melainkan lebih dari itu. Kemuliaan tersebut, begitulah yang diyakini oleh para pemikir politik dan hukum terkemuka, karena pengalihan tersebut menandai termanusiakannya para hamba sahaya. Kehamba-sahayaan mereka ditandai dengan tidak ada hak apapun, dalam sistem politik dan hukum tempat mereka tumbuh kala itu.Â
Benua Amerika memang bukan Eropa, yang oleh Thomas Jefferson, satu di antara perancang konstitusi Amerika 1787 ditunjuk sebagai sebuah benua penuh feodalisme. Tetapi, seperti Eropa pada umumnya, benua Amerika juga diwarnai dengan tata sosial, politik, dan ekonomi yang mengabsahkan adanya hamba sahaya. Namun, seperti akan ditunjukan lebih jauh pada bagian lain, terlalu menyederhakan persoalan dengan menunjuk hanya pada adanya hamba sahaya sebagai dasar para pembentuk konstitusi memimpikan sebuah tatanan sosial, politik, dan hukum yang mengharamkan penghambaan.Â
Keadilan, sesuai sifatnya, tidak hanya anggun, mulia dan agung bagi para hamba sahaya. Keadilan, sekali lagi, sesuai sifatnya, selalu agung, mulia, dan anggun sehingga dirindukan, dimimpikan, dan dinanti-nantikan oleh siapapun. Keadilan pulalah sebagaimana diperikan oleh James Madison, diperlukan, dirindukan, dan dimimpikan oleh siapapun, tak terkecuali mereka yang telah menikmati keuntungan dari tatanan sosial, politik, dan ekonomi yang feodal.
Berenergi Tanpa Tirani Berkonfederasi sebelum akhirnya memilih Federasi, dengan segala permasalahannya sesudah kemerdekaan 1776, misalnya tak tumbuhnya perasaan sebangsa, sekurang-sekurangnya sebagai satu negara, dan pemerintahan yang hanya menaruh perhatian pada daerah administrasi mereka, dengan sistem pemerintahan warisan Inggris – parlementer – betapapun mereka telah terlatih dengannya, tetapi karena kekurang-kekurangannya mengakibatkan para pembentuk http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 1 March, 2017, 09:14
Sekretariat Negara Republik Indonesia
konstitusi betapapun tidak seluruhnya atau hanya sebagian bermaksud dan berusaha mati-matian untuk mengakhiri sistem ini.Â
Sistem pemerintahan parlementer yang telah dipraktikkan bertahun-tahun dalam koloni ini dianggap, misalnya oleh James Madison, sebagai sistem yang tidak menghasilkan pemerintahan yang efektif. Sistem ini, begitu kata Madison, karena menempatkan parlemen di jantung penyelenggaraan pemerintahan mengakibatkan semua kebijakan berpemerintahan harus berproses dari parlemen. Superioritas parlemen, betapapun digariskan oleh penemunya, John Locke, sebagai lembaga penjamin kemauan rakyat yang karena urgensinya, kekuasaan mereka tidak bisa dialihkan, sekecil apapun, kepada lembaga lain, apapun namanya, ternyata menghasilkan kondisi politik pemerintahan seperti itu.
Dari argumen-argumen Locke tentang parlemen yang berpostur seperti itu, diketahui bahwa kehendaknya untuk membuat parlemen sesuper itu karena dua hal. Pertama, Locke sendiri membayangkan bahwa cara tersebut merupakan skenario terbaik dalam menjamin orisinalitas kemauan rakyat. Baginya, undang-undang tidak lain adalah pantulan dari kemauan rakyat. Karena esensinya, maka kemauan itu harus dijamin orisinalitasnya.
Kedua, pemerintah – eksekutif – begitu menurut Locke, hanya menjalankan undang-undang yang dibuat oleh rakyat melalui wakil-waklilnya dalam parlemen. Mekanisme ini dibayangkan sebagai cara yang tepat dalam mereduksi kesewenang-wenangan pemerintah. Sebab sesuai sejarahnya, dan hal ini pulalah yang menjadi spirit utama gagasannya, terjadinya kesewenang-wenangan raja dalam menjalankan kekuasaannya karena penumpukan kekuasaan di tangannya.Â
Penumpukan kekuasaan di tangan raja yang demikian itu dalam kenyataannya mengakibatkan penyelenggaraan pemerintahan monarki yang berciri absolut tersebut tidak dapat dikontrol, apalagi mengontrol secara ketat, sistimatik, dan berkelanjutan terhadap penggunaan kewenangannya. Tidak ada transparansi dan tidak ada pula akuntabilitas. Tirani, kleptokratis, dan otokratis yang dihasilkan oleh pemerintahan yang berciri absolut itulah yang hendak dimanusiakan dengan cara membagi-bagi kekuasaan tersebut ke sejumlah organ.
Berhakikat semulia itu, yang harus diakui dapat beroperasi dengan sangat baik di Inggris, ibu dari sistem ini, ternyata ditanggapi berbeda di belahan dunia lain, sekurang-kurangnya di Amerika Serikat pada saat para pembentuk konstitusi mereka di tahun 1787 membicarakan sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan parlementer, seperti telah diungkapkan secara sumir di muka oleh Madison dianggap sebagai sistem yang tidak tepat. Dalam pandangannya, sistem ini tidak menghasilkan penyelenggaraan pemerintahan yang efektif. Kelemahannya terletak pada adanya keharusan pemerintah untuk memperoleh pertimbangan dan persetujuan dari parlemen setiap kali mereka berkehendak merumuskan dan mengambil kebijakan.
Argumen mereka tidak mengada-ada. Sebab Maryland, Mesacusset, Viriginia, Connecticut, New York, dan lainnya telah mempraktikkan sistem pemerintahan tersebut. Apalagi para perancang konstitusi, ambil misalnya Madison dan Jefferson adalah bekas Gubernur. Mereka mengetahui lebih dari cukup tentang praktik pemerintahan ini. Berbekal pengalaman mereka itulah maka sistem tersebut tidak mendapat tempat di hati mereka untuk dipilih dan dilembagakan ke dalam konstitusi yang sedang dirancang.
Sampai dengan saat itu, kecuali sistem parlementer dan monarki absolut, tidak ada sistem pemerintahan presidensial yang dapat dijadikan rujukan untuk dikembangkan. Karena itulah, maka mereka, terutama James Madison, Alexander Hamilton dan John Jay menjadikan kedua sistem yang sedang eksis, termasuk di negara-negara bagian sebagai patokan, disertai dengan serangkaian inovasi, yang kalau tidak dapat dikatakan jenius dan gemilang, sesungguhnya dapat dikatakan sangat kreatif, dalam merancang sistem pemerintahan baru, berbeda dengan sistem parlementer yang sedang eksis tersebut. Lahirlah sistem pemerintahan, yang kini dikenal sebagai presidensial.
Ketika berbicara mengenai kewenangan Presiden dalam militer misalnya, per analogiam, Alexander Hamilton menunjuk kewenangan Raja Inggris, begitu juga Gubernur New York - sesuai yurisdiksi – jangkauan kewenangannya - dalam bidang ini. Tetapi, berkat inovasi dan kreasi jeniusnya lahir dan terbentuklah postur kekuasaan presiden seperti saat ini. Inovasi dan kreasi tersebut terlihat dalam argumen-argumen berikut ini:Â
The most material points of difference are these;-First. The President will have only the occasional cammond of such part of the militia of the nation as by legislative provision may be called into the actual service of the union. The king of Great Britain and the governor of New York have all times the entire command of all the militia within their several jurisdiction. http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 1 March, 2017, 09:14
Sekretariat Negara Republik Indonesia
In this article, therefore, the power of the President would be inferior to that of either the monarch or the governor. Second, The President is to be commander-in-chief of the army and navy of the United States. In this respect his authority would be nominally the same with that the king of Great Britain, but in substance much inferior to it.  Â
   Dalam The Federalist Papers Nomor 23 yang diedit oleh Clinton Rositer, terlihat secara jelas hasrat Hamilton untuk merancang pemerintahan Federal yang dalam istilahnya sendiri disebut “energetic―. Hamilton menyatakan bahwa the necessity of a constitution, at least equally energetic with the one proposed, to the preservation of the union is the point at the examination of wich we are now arrived. Prinsip penting dalam hasrat ini, seperti terlihat dari pernyataan lanjutannya dimaksudkan untuk memastikan terjamin dan terpeliharanya cammon defence of members, the preservation of the public peace, as well against internal convulsions as external attacks; the regulation of commerce with other nation and between the state; the superintendence of our intercourse, political and commercial, with foreign countries.
Nampak betapa besar hasratnya dalam merancang sebuah pemerintahan federal yang efektif, Hamilton, seperti orangorang yang berhasrat besar untuk kebaikan pada umumnya, mengenyampingkan perlunya pembatasan atas kekuasaan presiden oleh kekuasaan lainnya. Agar eksis, menurut pendapatnya, kewenangan-kewenangan presiden tidak perlu dibatasi oleh organ kekuasaan lain. Hasrat ini seperti terlihat kembali pada pernyataan di bagian lain merupakan antitesis terhadap pemerintahan yang telah eksis pada saat itu. Pernyataannya mengenai hal itu adalah defective as the present confederation has ben prove to be, this principles appears to have ben fully recognized by the framers of it, though they have not made proper of adequat for its exercise. Konkritnya, hasrat tersebut diterjemahkan dengan cara memberi kewenangan kepada pemerintahan Federal untuk menandatangani semua undang-undang, dan membuat regulasi. Dari pandangannya yang tertuang dalam The Federalis Papers Nomor 70 dapat diketahui argument dasar Hamilton memilih mengonsentrasikan kekuasaan eksekutif hanya kepada Presiden dan tidak disebar ke institusi lainnya. Pandangannya adalah energy in the executive is a leading character in the defenition of good government. Â
Betapapun berhasrat kuat untuk membangun pemerintahan yang efektif, para perancang konstitusi, kalau bukan menjadikannya sebagai prinsip dasar dan tertinggi, dihantui dengan ketakutan terhadap kemungkinan terjadinya tirani setiap cabang kekuasaan. Sementara mereka sendiri, karena pengalamannya, berhasrat juga, bahkan sangat untuk memanusiakan setiap cabang kekuasaan. Hasrat ini, memperoleh jalan untuk dirumuskan berkat kejelian Alexander Hamilton dalam menilai postur ketiga kekuasaan tersebut di Inggris. Dalam pandangannya, di Inggris, ketiga cabang kekuasaan tersebut tidak terpisah dan kewenangannya tidak juga terbagi secara absolut. Walaupun, khususnya dalam Konfederasi Amerika, seperti diakui sendiri sendiri oleh Hamilton bahwa di Messacusset, kala itu, sedang eksis pemisahan ketiga cabang kekuasaan, persis seperti gagasan Monstesqieu.
Bersebab pada ketakutan terhadap bahaya tirani yang mengintai dan setiap saat dapat menerkam rakyat, dan hasrat untuk memanusiakan kekuasaan, maka rancang bangun distribusi kewenangan dari ketiga cabang kekuasaan –eksekutif, legislatif, dan yudikatif– dibuat sekompleks mungkin, dan setumpang tindih mungkin. Tujuannya sederhana – ketiga cabang kekuasaan tersebut tidak dapat saling menerkam, atau saling menjadi superior sehingga dapat dijauhkan dari tirani. Hal yang menarik adalah faktor manusia dan karakter kekuasaan juga ikut diperhitungkan, terutama oleh James Madison. Kalkulasi jenius terhadap masalah tersebut diungkapkan dalam sebuah kalimat bertuah yang mengagumkan sekaligus memperlihatkan betapa mereka –para perancang konstitusi– bekerja berdasarkan kerangka pemikiran dengan tingkat kehatian-hatian yang cukup tinggi.
Dalam The Federalist Papers Nomor 51, Madison menyatakan ambition must be made to counteract ambition. The interes of the man must be connected with the constitutional rights of the place. Tidak itu saja kata-katanya. Madison melanjutkan dengan serangkaian kalimat bertuah yang sama mengagumkannya. Madison menegaskan:
It may be reflection on human nature that such devices should be necessary to control the abuses of government. But what is government itself but the greatest of all reflection on human nature? Cukup menarik kata-katanya yang digunakan dalam menguraikan masalah ini. Katanya, If man were angels, no government would be necessary. If angels were to gevern men, neither external nor internal controls on government would be necessary. In framing a government which is to be administered by men over men the great deficulties lies in this; you must first anable the place oblige it to control itself.
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 1 March, 2017, 09:14
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Jalan pikiran tersebut mengantarkan dirinya merumuskan skema distribusi kekuasaan yang cukup mengagumkan. Skema distribusi kekuasaan buatan dirinya memperlihatkan secara jelas hubungan saling kontrol antarorgan dan fungsi secara berimbang – check and balances. Dalam the Federalis Papers Nomor 76 jalan pikirannya diskemakan sedemikian rupa dan pada akhirnya dilembagakan dalam konstitusi. Rumusannya adalah sebagai berikut:
The President is “to nominate― and, by and with the advice and consent of the Senate, to appoint ambassador, other public ministers and consuls, judges of the supreme court, and all other officers of the United States whose appointments are not otherwise provided for in the Constitution. The President shall have power to fill up all vacancies which may happen during the reces of the Senate by granting commissions which shall expire at the end of their next session.
Sulit, untuk tidak mengatakan mustahil menjelaskan postur distribusi kekuasaan seperti di atas sebagai pemisahan semua kekuasaan secara rigid atau membagi semuanya secara total. Yang harus dikatakan terhadap penjelasan di atas adalah mengalihkan sebagian, bukan semua, kekuasaan dari satu cabang kekuasaan ke cabang kekuasaan lainnya. Presiden diberikan kewenangan untuk dalam keadaan tertentu –ketika Senat dalam masa reses– mengangkat seorang pejabat karena jabatan tidak bisa dibiarkan vacuum. Namun Presiden diharuskan untuk mengonfirmasi ke Senat, kelak setelah berakhir masa resesnya. Presiden diberi kewenangan untuk mengangkat duta dan lainnya, namun Presiden diharuskan untuk memperoleh pertimbangan dan persetujuan dari Senat.
Agak menarik distribusi kekuasaan yang bersifat tumpang tindih ini. Di kemudian hari, sungguhpun tidak menyodorkan secara persis besaran kuantitatif, tetapi diakui oleh Richard M Tivus, dibandingkan dengan dua cabang kekuasaan lainnya, presidenlah yang memperoleh bagian terbesar dari kekuasaan yang dirancang bangun distribusinya secara tumpang tindih tersebut. Per analogiam, seperti Gubernur di negara-negara konfederasi memikul kewajiban teramat besar dalam menyelenggarakan kekuasaan, khususnya pemerintahan. Tidak ada organ lain yang dibebani tanggung jawab untuk menyejahterakan rakyat, kecuali presiden. Presidenlah yang mengeksekusi berbagai jenis undang-undang untuk kemaslahatan rakyat.
Keterampilan Politik Presiden Sejauh kajian-kajian konstitusionalisme tentang perdebatan para perancang konstitusi tidak ditemukan, jangankan komprehensif, parsialpun tidak, ihwal perdebatan tentang sistem partai politik. Tak terlihat satu di antara semua delegasi dalam konvensi konstitusi di Philadelphia 1787 membicarakan partai politik. Yang terjadi dalam perdebatan tersebut adalah pembelahan, sangat idiologis, antara para delegasi yang berhaluan politik pemerintahan nasional yang kuat dan delegasi yang berhaluan politik antirepublik –anti federalis– anti pemerintahan nasional yang kuat.
Kalau memberanikan diri untuk melukiskan jalan pikiran yang terekam dalam The Federalis Papers, akan terlalu sulit buat siapapun untuk mengatakan bahwa rancangan pemerintahan yang demokratis dengan menempatkan Presiden di jantung penyelenggaraan kekuasaan negara berlandaskan pada motivasi untuk mengefisienkan dan mengefektifkan penyelenggaraan pemerintahan. Catatan-catatan di atas menunjukkan bahwa para perancang sistem pemerintahan ini menolak untuk mengadopsi sistem pemerintahan –parlementer– yang diberlakukan di negara konfederasi, dan sedang eksis pada saat itu.  Â
Sebegitu jauh, ide mengefektifkan pemerintahan seolah menjadi take it for granted sehingga tak terlihat sedikitpun gagasan-gagasan yang mengaitkan sistem pemerintahan tersebut dengan partai politik. Tetapi tidak dapat dikatakan bahwa mereka tidak memikirkan cara pengisian jabatan tersebut. Ketidaksukaan mereka terhadap sistem pemerintahan parlementer, bukan semata-mata karena kecenderungan intervensionis dari parlemen, tetapi juga karena kekuasaannya dalam menaikan dan menurunkan pimpinan pemerintahan. Itu sebabnya muncul gagasan agar rakyatlah yang memilih pemimpinnya. Diciptakanlah electoral college, yang akan diisi oleh orang-orang yang terseleksi langsung oleh rakyat dari setiap negara bagian. Mereka inilah yang diberi hak memilih presiden.Â
Pemilihan Presiden pertama mereka –George Washington, misalnya memperlihatkan keunikan. George Washington memperoleh suara 132 dari Federalis dan John Adams, wakilnya –unik– memperoleh suara dari Federalis pula sebesar 77 http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 1 March, 2017, 09:14
Sekretariat Negara Republik Indonesia
suara. Demokrat dan Republik membentuk tiga kaukus. Kaukus pertama memberi suara 50 kepada George Clinton, Kaukus kedua memberi suara sebesar 4 suara untuk Thomas Jefferson, dan kaukus ketiga memberi suara sebesar 1 kepada Aaron Burr, dan enam orang tidak memberikan suara. Kaukus Demokrat –Republik terus berlangsung hingga pemilihan James Monro pada tahun 1820. Kaukus ini pecah ketika berlangsung pemilihan Presiden Andrew Jackson pada tahun 1828 sekaligus menandai awal polarisasi politik besar Amerika di tingkat nasional – Republik-Demokrat– hingga saat ini. Â
Terkisah melalui praktik semacam itu, menandai partai politik di negara ini –berbeda dengan Perancis– namun sedikit mirip dengan Inggris, berkembang secara evolutif dan praktis, sehingga memungkinkan penyelenggaraan pemerintahan yang berporos di kantor Presiden dengan Presiden di puncaknya, tidak terinterupsi secara berarti oleh polarisasi antagonistik dari partai politik yang kalah. Pragmatisme, betapapun tidak sekuat Inggris, memiliki andil besar walaupun bukan satusatunya unsur dalam membantu memastikan bekerjanya sistem presidensial sesuai dengan mimpi-mimpi terutama para publius – penulis The Federalis Papers yang gemilang itu.    Â
Luputnya kalkulasi tentang kerumitan-kerumitan yang lahir dari relasi kompleks antara sistem pemerintahan presidensial dengan sistem kepartaian ternyata dapat ditemukan juga dalam perdebatan para perancang UUD 1945. Risalah sidang BPUPKI, baik yang terekam dalam buku-buku Mohammad Yamin, seorang guru besar konstitusi yang sangat menaruh perhatian pada sejarah konstitusi, maupun buku Risalah Sidang BPUPKI dari Sekretariat Negara dan buku RM.A,B Kusuma tentang lahirnya UUD 1945 Atmakusumah, sama sekali tidak memperlihatkan perdebatan para pembuat UUD 1945 tentang sistem kepartaian pada saat membicarakan sistem pemerintahan.
Partai-partai kita, sesuai sejarahnya dalam kehidupan bernegara lahir setelah pemerintahan Presidensial di bawah Bung Karno sebagai Presiden dan Bung Hatta sebagai Wakil presiden terbentuk pada awal September 1945. Lahirnya partaipartai politik kala itu lebih dirangsang oleh kebutuhan taktis politik untuk kalau tidak menggalang dukungan dunia, sekurang-kurangnya sekutu, memperlihatkan kepada dunia bahwa pemerintahan Indonesia yang sedang eksis dan baru seumur jagung tersebut bukan sebuah pemerintahan fasis apalagi bikinan Jepang yang kalah perang.
Betapapun semula bermotivasi untuk memuluskan konsolidasi kemerdekaan, termasuk juga pemerintahan yang telah terbentuk pada masa itu, tetapi dalam kenyataannya, sedikit banyaknya partai-partai tentu karena perbedaan cara menimbulkan komplikasi-komplikasi yang tidak dapat dikatakan sederhana. Pemerintahan parlementer yang terbentuk setelah November 1945 harus jatuh bangun karena rumitnya memperoleh kepercayaan dari partai-partai politik yang berada di luar pemerintahan. Kebiasaan buruk terus berlangsung pada pemerintahan parlementer babak kedua – berdasarkan UUD Sementara tahun 1950 sampai dihentikan oleh dekrit presiden tanggal 5 Juli 1959. Bung Karno, segera setelah itu, memang berhasil mendemonstrasikan kekuasaannya dengan sangat efektif di bawah UUD 1945 walaupun partai politik cukup ramai. Praktik ini disudahi oleh Presiden Soeharto pada pemilu 1977. Dengan berbagai macam argumen dan kebutuhan, kebiasaan bermulti partai kembali mewarnai tatanan politik pasca berhentinya Presiden Soeharto 1998 di tengah sistem pemerintahan Presidensial.   Â
Kalau pada fase awal ini Indonesia disambut dengan kebutuhan untuk mengonsolidasi kemerdekaan dan pemerintahan, maka Amerika pada masa-masa awalnya pun disambut dengan penolakan sebagian negara bagian terhadap konstitusi tersebut. Penyebabnya sederhana, negara-negara ini merasa tidak terjamin eksistensinya di dalam Serikat yang terbentuk berdasarkan konstitusi 1787. Tetapi tidak seperti Indonesia, politisi Amerika tidak mengintroduksi perubahan sistem pemerintahannya seperti yang dilakukan di Indonesia.
Berbeda dengan para perumus konstitusi Amerika yang tidak memperhitungkan faktor sistem kepartaian, faktor multipartai justru diperhitungkan oleh anggota MPR ketika mengubah UUD 1945, walaupun sangat sumir. Hanya kekurangannya sistem pemerintahan presidensial diterima apa adanya dan sistem partai politik juga demikian. Itulah yang tergambar dalam perdebatan mengenai pengangkatan Menteri – pasal 17 – dan perdebatan mengenai pengusulan calon presiden – pasal 6A. Presiden kita memang tidak memiliki hak veto tetapi diberi hak untuk ikut serta membahas dan menyetujui sebuah RUU menjadi UU. Hak seperti ini tidak dimiliki presiden Amerika, tetapi ia diberi hak veto.
Karena terdapat kemiripan distribusi kekuasaan kepada Presiden Indonesia dengan Amerika, ada baiknya mempertimbangkan pandangan Clinton Rositer (1960) tentang betapa demonstratifnya Presiden Amerika menggunakan kewenangannya. Sejumlah presiden, katanya, karena keterampilannya dalam mendramatisasi situasi politik yang berkembang dan dihadapi, dapat menggunakan kewenangan secara cepat. Karena kecanggihannya, mengakibatkan bukan hanya rakyat, Senatpun kalah langkah dalam menggunakan kewenangan konstitusional mereka untuk mengoreksinya. Sedemikian seringnya presiden-presiden Amerika Serikat menggunakan kewenangannya tanpa dapat dikoreksi oleh Senat. Inilah yang dinilai oleh Clinton Rositer sebagai Constitutional Dictatorship. Menariknya, http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 1 March, 2017, 09:14
Sekretariat Negara Republik Indonesia
penggunaan kekuasaan bergaya dictatorship itu tidak melahirkan seorang diktator sebagaimana dikatator-diktator modern yang dikenal dalam berbagai kajian konstitusionalisme.
Mirip dengan Rositer, Richard M Tivus ketika menulis tentang Presidensialisme Amerika, mengajukan serangkaian contoh menarik. Dalam kasus perang antara Inggris melawan Perancis, George Washington secara sepihak mengumumkan sikap negaranya –netral– dalam kemelut politik tersebut tanpa konfirmasi kepada senat. Thomas Jefferson membeli pulau Loisiana dari Perancis di tahun 1803, sekalipun tidak ada satu katapun dalam Konstitusi yang merinci kekuasaan pemerintahan nasional untuk mendapatkan wilayah. Andrew Jackson menggunakan kewenangannya untuk memecat anggota-anggota kabinetnya. Abraham Lincoln menggunakan begitu banyak kewenangan yang melampaui kekuasaan konstitusionalnya. Franklin Delano Roosevelt membuat kesepakatan dengan Inggris untuk menukar kapalkapal perusak lama bagi pangkalan Angkatan Laut, sebuah maneuver yang menolong konvoi Inggris melintasi Atlantik Utara dengan peralatan perang. Kesepatan antarpemerintah, tidak seperti halnya sebuah traktat tidak memerlukan persetujuan Senat. Truman, penerus Roosevelt menyita pabrik-pabrik baja selama perang Korea.
Sebenarnya masih terdapat sederet presiden Amerika yang sukses karena terampil dalam menggunakan kekuasaan konstitusionalnya yang mencatat sukses besar dalam kepemimpinan Presidensialnya. George W Bush, Jr, adalah yang paling mutakhir memperlihatkan betapa kewenangan presidensialnya digunakan secara cerdik, dengan alasan-alasan yang belakangan tidak sepenuhnya ternalar. Keberhasilannya memperoleh, betapapun sedikitnya dukungan dari kalangan Demokrat, cukup untuk membuktikan bahwa keterampilan politik sang Presiden dapat menolong dirinya mengenergikan kewenangan sekaligus pemerintahan presidensial yang dipimpinnya dalam situasi kompleks sekalipun.           Â
Kantor Presiden Bukan kongres –House of Representative dan Senat – yang menjadi poros penyelenggaraan pemerintahan presidensial. Dalam praktik dan sejarahnya, ketua House atau Senat sehebat apapun kapasitas politik mereka, tidak pernah muncul menjadi atau sebagai simbol bangsa. Suara mereka, secemerlang apapun di panggung internasional, tidak pernah dapat menyandang sifatnya sebagai suara bangsa. Semuanya melekat pada presiden. Hanya presiden yang dapat menyatakan perang dengan negara lain termasuk membuat perdamaian dan relasi-relasi internasional lainnya, betapapun harus disertai dengan pendapat-pendapat –pertimbangan atau persetujuan– dari senat. Hanya Presiden yang dapat berbicara atas nama bangsa, tentu dengan konsekuensi-konsekuensi negatif atau positif buat bangsanya.
Seperti pada perdebatan-perdebatan dalam BPUPKI di tahun 1945 dan MPR di tahun 1999-2002 pada saat mengubah UUD 1945, yang semuanya berhasrat kuat untuk membentuk pemerintahan presidensial, sama dengan perdebatan perancang konstitusi Amerika pada tahun 1787 di Philadelphia, mungkin bukan ironi, kecuali hanya bersepakat dalam meletakkan kekuasaan eksekutif pada individu –presiden– atau tidak disebar ke beberapa orang - tidak ada satupun di antara mereka yang memikirkan, apalagi bersepakat tentang bagaimana menciptakan tata cara administratif praktis yang memungkinkan kewenangan presiden yang sedemikian besar itu diimplementasikan.
Presiden George Washington, yang mengagumkan itu, nyatanya tidak bekerja dengan satu team work di kantornya seperti saat ini. Tidak ada staf, yang seperti saat ini, bertugas untuk menyiapkan transisi pemerintahan. Tidak ada pula apa yang kini dikenal dengan Adviser for Policy and Strategy, Chief Staf, Secretary of Staf, Aides, Deputy Chief of Staf, staf Secretary, dan lainnya. Kala itu, dan kebiasaan ini berlangsung lebih dari 140 tahun, George Washington menggunakan Secretary of State dan beberapa Menteri serta Chief of Justice untuk bersama-sama dirinya membicarakan berbagai masalah pemerintahan. Keadaan ini digambarkan dengan tepat oleh George C. Edwards dan Stephen J. Waine (1999:1191-1997). Katanya pada masa pemerintahan Franklin Delano Roosevelt barulah kantor Presiden mengalami penataan secara signifikan, sebelum akhirnya setelah tahun 1960 berubah lagi, dalam arti mengalami perluasan struktur dan beroperasi sampai saat ini. Sentuhan Franklin dalam menata kantor presiden menghasilkan struktur White House terdiri atas:
              Bureau             Natural         Office of            http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 1 March, 2017, 09:14
Sekretariat Negara Republik Indonesia
               Of the           Resources      Government           for P
               Budget            Planing          Respons           Â
Struktur ini mengalami perubahan yang luar biasa fundamental pada tahun 1960 karena terjadi perluasan yang lumayan kompleks. Pada perubahan inilah, Presiden dalam mengoperasikan kewenangan presidensialnya secara administratif dibantu tentu di kantornya oleh sejumlah staf. Kantor Presiden dipimpin oleh seorang Chief Staf dan sejumlah staf pendukung yang bekerja secara hirearkis, yaitu Aides, Deputy Chief of Staf, Staf Secretary. Deputy Chief of Staf memimpin dua unit organisasi: Political Offices dan Policy Offices. Sedangkan staf Secretary memimpin unit Support Services. Pada unit Political Offices misalnya terdapat bagian-bagian Counselor Communication, Media Affairs, Speechwriting and Research, Pres Secretary, Corespondence, Legsilative Affairs, Public Laison, Intergovermental Affairs dan Political Affairs. Dimana Wakil Presiden berkantor? Kenyataannya, Wakil Presiden berkantor secara terpisah dengan Presiden. Karena itu, di kantornya ia didukung dengan sejumlah staf; Chief Staf, Press Secretary, Scheduling and Advance National Security Adviser, Domestic Policy Adviser, Legislative Affairs and National Performance Review Counsel. Tetapi kenyataan ini berubah segera setelah Jimmy Carter menjadi Presiden. Walter Mondale, wakilnya menandai untuk pertama kalinya dalam sejarah kepresidenan Amerika dengan berkantor bersama Presiden di gedung putih.
Kalau kenyataan ini digunakan sebagai patokan, sekurang-kurangnya sebagai perbandingan untuk mengkaji implementasi kekuasaan presiden, maka diperoleh gambaran yang cukup unik. Sepanjang periode Presiden Soeharto, kekuasaan eksekutif di tangannya digunakan dengan sangat efektif. Menariknya, seperti presiden-presiden Amerika sebelum periode Franklin Delano Rosevelt, Presiden Soeharto tidak membangun staf administrasi sendiri di kantornya. Hal-ihwal administrasi kepresidenan diproses di Sekretariat Negara. Seluruh personil di kantor Presiden –Binagraha– adalah personil-personil Sekretariat Negara. Mereka berada di bawah Menteri Sekretaris Negara dan bertanggung jawab kepada Menteri Sekretaris Negara.
Menteri Sekretaris Negara, tentu pada zamannya, nampak berfungsi dan difungsikan seperti Chief Staf di kantor Presiden Amerika. Menteri Sekretaris Negara, karena itu, tentu menjadi seorang figur yang sangat dominan dalam kabinet, persis seperti Chief Of Staf di Kantor Presiden Amerika dan atmosfir presidensial cabinet Amerika. Sekretariat Negara, kalau boleh dikatakan demikian, nampaknya dimaksudkan atau seolah berfungsi sebagai kantor presiden. Apa yang dibangun di kantor Presiden Amerika Serikat, misalnya dengan adanya unit Political Office di Indonesia tentu pada masa Presiden Soeharto berada di Sekretariat Negara. Sesdalobang misalnya kalau mau dikatakan sebagai special stafnya Presiden Soeharto, yang kalau di Amerika Serikat berkantor sehari pada unit Policy Office, pada zaman Presiden Soeharto justru merupakan bagian dari staf Sekretariat Negara, betapapun ia meng-exercise tugas-tugas yang mungkin bersifat khusus yang digariskan oleh Presiden. Di kantor Presiden pada unit ini –Policy Office– pula diadakan sekretaris Kabinet.
Eksistensi dan fungsi Sekretariat Negara seperti itu mengakibatkan dalam beberapa pandangan Sekretariat Negara seolah menjadi sangat superior dalam konstelasi presidensial Indonesia. Penamaan Sekretariat Negara, bukan kantor Presiden, menyulitkan siapapun untuk tidak menilai Sekretariat seperti pandangan-pandangan itu. Padahal seperioritas tersebut, kalau mau disebut demikian, lahir karena Sekretariat Negara mengerjakan atau berfungsi persis seperti kantor Presiden di Amerika Serikat. Chief of Staf di Gedung putih adalah seorang pejabat yang sangat berkuasa. Ia, karena kewenangan yang diberikan dan dimiliki, dapat mengordinasikan sejumlah menteri dalam merumuskan sebuah kebijakan. Dalam kasus tertentu dan gaya kepemimpinan Presiden tertentu, seorang menteri hanya dapat bertemu Presiden setelah sebelumnya bertemu Chief of Staf.
Kantor Presiden Amerika, seperti dikemukakan di atas, diwarnai pula dengan unit dan staf yang menangani relasi kepresidenan dengan Kongres. Hal yang sama, seperti sekali lagi dapat diamati pada masa Presiden Soeharto, unit seperti itu juga ada tetapi adanya di Sekretariat Negara, bukan di Binagraha –tempat Presiden Soeharto berkantor setiap hari. Disitulah letak keunikan cara Presiden Indonesia, sekurang-kurangnya Presiden Soeharto membangun organisasi untuk mendukung dirinya menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan yang sepenuhnya diletakkan pada dirinya. Sampai pada titik ini, menurut hemat saya cara ini logis. Sebab, Presiden tidak mungkin menjadi kepala kantor atau memimpin sebuah sekretariat. Bagaimanapun juga, presidensial office di Amerika, tidak lain, tentu dalam pandangan http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 1 March, 2017, 09:14
Sekretariat Negara Republik Indonesia
kita merupakan sebuah Sekretariat dalam lembaga kepresidenan. Logis, kalau dikepalai oleh seorang Chief of Staf, mungkin seperti Sekjen dalam rumpun administrasi negara kita.
ÂÂÂÂÂÂÂÂÂÂÂÂÂÂÂ
Sangat Dipercaya
   Tidak ada salahnya, andaikan muncul ide, untuk membangun kantor presiden Indonesia, tentu dengan sedikit inovasi, yang berlanggam White House. Hanya konsekuensinya adalah kita akan memasuki sebuah babakan penuh kompleksitas. Karena itu, nampaknya yang paling realistis adalah melanjutkan tradisi yang telah ada dengan sejumlah inovasi dan dengan ukuran yang sepadan dengan kebutuhan praktis untuk semakin menggelorakan efektifitas penyelenggaraan administrasi kepresidenan. Tujuan dasarnya adalah mengefektifkan implementasi kekuasaan eksekutif yang sepenuhnya diletakkan pada Presiden.
Soal pokok dalam konteks itu terletak pada siapa yang memimpin sekretariat tersebut, kalaupun di-set up persis seperti White House. Dalam kajian-kajian tentang kepresidenan Amerika Serikat, khususnya tentang siapa yang akan diambil atau diangkat menduduki posisi sebagai Chief of Staf, sekali lagi, mungkin paralel dengan Menteri Sekretaris Negara untuk kasus kita, menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang, bukan hanya sangat cerdas, memiliki keterampilan politik luar biasa mengagumkan dengan kemampuan komunikasi yang sama mengagumkannya, tetapi inilah yang utama- mereka adalah orang yang sangat dipercaya oleh Presiden. Kepercayaan tersebut diperoleh karena lamanya waktu keduanya bekerjasama, dan dalam beberapa kasus, ambil misalnya yang terakhir dalam kasus Presiden Obama, mereka adalah bekas Ketua Tim Kampanyenya.Â
Seorang Chief of Staf adalah orang yang sehaluan dengan haluan politik Presiden. Untuk kasus Amerika hal itu tidak sulit, karena praktis hanya terdapat dua partai politik. Tidak mungkin Presiden memilih orang dari partai yang menantangnya dalam kampanye menuju kursi Presiden. Untuk kasus kita masalahnya menjadi agak sedikit unik. Tetapi seunik-uniknya kenyataan politik kita, Presiden sesuai dengan kewenangan konstitusionalnya dapat saja mengangkat orang-orang yang sehaluan dengan politik Presiden sekalipun ia tidak berasal dari partai politik sang Presiden.
Dalam konteks Indonesia saat ini, nampaknya ada keharusan untuk memperhitungkan langgam politik relasi kepresidenan dengan DPR dan DPD. Betapapun kuatnya kaki politik Presiden di DPR, karena dinamikanya, ada baiknya, bahkan menjadi lebih tepat bila Menteri Sekertaris Negara, diisi oleh mereka yang bukan dari kalangan partai politik Presiden. Faktor kunci yang harus dipertimbangkan dalam kasus ini adalah “kejujuran, loyalitas total, dan kecerdasan politiknya dalam berkomunikasi dengan political presidential partner.― Penting pula untuk mempertimbangkan gaya dan kesantunannya dalam berkomunikasi.
Kesantunan seorang Chief Staf, sekali lagi, mungkin setara dengan Menteri Sekretaris Negara dalam kasus Indonesia, semakin terasa penting, karena dua hal: Pertama, relasi antara presiden dengan DPR dan DPD, tidak sepenuhnya bersifat instruktif. Kedua, relasi politik, tidak mungkin dapat dijauhkan dari berbagai trik, jebakan dan siasat, yang kalau tidak cerdas mengenalinya akan sangat mengganggu atmosfir penyelenggaraan pemerintahan. Lagi pula dalam berbagai kasus, ektifitas relasi ini sangat tergantung pada keterampilan politik dalam lingkungan kepresidenan yang dipimpin oleh Presiden sendiri. Kecerdasan dan kesantunanlah yang menjadi kuncinya.
Seperti telah dikemukakan pada bagian awal kajian ini, para pembuat konstitusi tidak memikirkan, walaupun hanya sekelumit, bagaimana hal-ihwal seperti ini, kecuali memikirkan tentang bagaimana mengefektifkan kekuasaan presiden. Tetapi, seperti telah dikemukakan juga di muka, keterampilan politik dan manajerial Presidenlah yang dalam semua kasus kepresidenan Amerika Serikat, menjadi faktor kunci dalam mengefektifkan penggunaan kewenangan Presiden.           Â
Penutup http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 1 March, 2017, 09:14
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Walaupun berasal-usul dan bermotivasi untuk menghasilkan pemerintahan yang efektif, dalam kenyataannya mimpi itu, pada mulanya cuma diasosiasikan sepenuhnya pada pertanggungjawaban semua kekuasaan di mata rakyat. Presidensialisme, yang sesuai asal-usulnya bermula di Amerika Serikat sejak tahun 1789, sekali lagi, betapapun bermotivasi agung untuk mengefektifkan penyelenggaraan pemerintahan, karena tidak diinterupsi, apalagi setiap saat oleh House of Representative atau Senat, kenyataannya sangat bergantung pula pada gaya kepemimpinan sang presiden.
Dukungan staf pada kantor presiden, dalam kasus kepresidenan Amerika Serikat, sebegini jauh, juga memainkan peranan yang luar biasa. Direktif Presiden terhadap masalah apapun, tentu sangat berpengaruh apalagi sang Chief of Staf memiliki kemampuan personalnya yang hebat. Loyalitas, kejujuran, kemampuan bekerjasama dengan Presiden dan kesantunan dalam berkomunikasi, termasuk dengan partner politik presiden adalah kunci sukses Presiden dalam menunaikan kewenangan konstitusionalnya menyelenggarakan pemerintahan.
Di atas semuanya, kepercayaan Presiden terhadap Chief of Staf –sekali lagi, mungkin setara dengan Menteri Sekretaris Negara– tentu dalam kasus Indonesia, adalah kunci efektifitas implementasi kewenangan konstitusional Presiden sebagai kepala pemerintahan, karena ditopang oleh organ penyelenggara administrasi kepresidenan yang andal.[]
---------
Alexander Hamilton, The Real Character of the Executive. Dalam Clinton Rositer (ed.) The Federalis Papers, New York (A Signet Clasic, 2003: 416).
 Setelah pemilihan George Washington, polarisasinya tetap sama –kaukus antara Demokrat dengan Republik berhadapan dengan Federalis. Pada tahun 1808 ketika memilih Presiden James Madison, muncul kandidat independent– George Clinton. Ia memperoleh enam suara. Ini adalah kandidat independent pertama dalam sejarah pemilihan Presiden di Amerika Serikat. Tetapi pada pemilihan Presiden James Madison untuk masa jabatan keduanya, tidak muncul aliran Federalis, melainkan fusion. Dari keterangannya merupakan peleburan dari New York State party dengan Federalis. Tetapi pada pemilihan James Monro untuk masa jabatannya yang pertama pada tahun 1816 kembali muncul kelompok Federalis. Tetapi Federalis menghilang lagi pada pemilihan James Monro untuk masa jabatan yang kedua. Pada pemilihan ini James Monro dinominasi oleh kaukus antara Demokrat dengan Republik. Diolah dari James M. McPherson, To The Best Of My Ability. The American Presidents, (New York, DK Publishing, Inc, 2004) hal, 316-341.
 Mohammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 (Jakarta; Jambatan, 1959).
 Tim Penyusun, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (Jakarta: Sekretariat Negara, 1998).
 Buku yang ditulis oleh RM. A.B. Kusuma menunjukkan perbedaan dalam beberapa aspek dengan uraian-uraian yang ditulis oleh Muhammad Yamin. Betapapun demikian, satu hal yang dapat ditandai sebagai kesamaan antara buku A.B Kusuma dengan buku Muhamad Yamin adalah sama-sama tidak memperlihatkan, sungguhpun hanya sekelumit, perdebatan para anggota BPUPKI tentang partai politik yang dikerangkakan dalam gagasan tentang sistem pemerintahan. RM. A.B Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Badan Penerbit FH Univ. Indonesia, 2004).Â
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 1 March, 2017, 09:14
Sekretariat Negara Republik Indonesia
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 1 March, 2017, 09:14