Sekretariat Negara Republik Indonesia
Menghampiri Semangat Multibudaya di Indonesia Jumat, 28 Agustus 2009
Hascaryo Pramudibyanto Staf Pengajar FISIP, Universitas Terbuka, Jakarta.
Pendahuluan Berawal dari keragaman suku dan ras, para tokoh perjuangan pendahulu yang pernah hidup di negara Indonesia bertekad menyatukan perbedaan itu dalam sebuah komitmen nasional yang tertuang dalam butir-butir Sumpah Pemuda. Komitmen yang dicetuskan pada tahun 1928 tersebut, memiliki satu tujuan utama, yaitu menjembatani perbedaan budaya, bahasa, nilai, dan agama yang saat itu menjadi satu bentuk egosentris tersendiri bagi para pengguna dan penganutnya. Untuk mengikat keragaman itu pula, para pendahulu berkeinginan agar segala bentuk perbedaan yang ada, dapat menumbuhkan sikap saling menerima dan semakin menghargai keragaman. Sejalan dengan itu, yaitu pada tahun 1945, bangsa Indonesia menghadirkan Pancasila sebagai dasar negara yang diimplementasikan dalam UUD 1945. Masyarakat Indonesia yang sadar akan hadirnya dasar negara tersebut, berupaya mengejawantahkannya dalam sikap dan perilaku, yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Artinya, nilai-nilai Pancasila bukan merupakan butiran yang hanya dapat dihafalkan, melainkan dilekatkan pada pola tingkah laku masyarakat pengikutnya. Dampak dihadirkannya Pancasila pun semakin terasa ketika masyarakat Indonesia merasa harus bersatu di bawah payung yang sama. Dengan bersatunya masyarakat Indonesia, negara ini menjadi kuat karena mampu menyeragamkan dan menghilangkan perbedaan yang ada, baik dari segi budaya, agama, nilai, dan aspek-aspek lain dalam masyarakat.
Multibudaya Budianta (2002) menyatakan, masyarakat Indonesia masih sering tersesat dengan persepsi mereka mengenai multikultur, multibudaya, atau keragaman budaya. Yang justru masih dipertahankan dan dikembangkan adalah masalah totenisme. Di sini, masalah multikultur kerap dipautkan dengan perspektif salah satu suku tertentu, yaitu suku Jawa. Lebih jauh Budianta menyatakan bahwa masalah multikultur dimaknai pula sebagai sesuatu yang eksklusif. Multikultur atau multibudaya justru diartikan sebagai hal yang dapat mempertegas batas identitas antarindividu. Ada juga yang mempersoalkan masalah asli atau tidak asli seseorang itu berasal. Padahal, seseorang tidak perlu memperoleh predikat asli atau tidak asli untuk mencintai Indonesia. Yang penting, seseorang yang memiliki solidaritas, toleransi, dan keterbukaan terhadap budaya lain, sudah dianggap dapat mewakili gagasan bahwa profil tersebut mewakili ketentuan multikultur. Di sisi lain, tanpa disadari http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 31 January, 2017, 13:48
Sekretariat Negara Republik Indonesia
masyarakat Indonesia pun digiring untuk menghafalkan, menghayati, dan menerapkan kebijakan Pancasila. Dan ternyata, itu saja tidak cukup. Pada diri manusia Indonesia, masih perlu ditanamkan keyakinan bahwa dengan menindakkan sikap dan perilaku menghargai orang lain, akan tercipta suasana rukun dan menumbuhkan semangat kebersamaan. Menengok pengalaman beberapa tahun lalu, Indonesia pernah menjadikan lingkungan pendidikan sebagai kendaraan transmisi sosial yang substansi pengajarannya pun dikendalikan oleh political will pemerintah, sehingga memunculkan kecenderungan pendidikan yang berbau politis pula. Kendaraan transmisi sosial tersebut berupaya membangun kehidupan bersama, namun menomorduakan ‘kebhinnekaan’ demi mengutamakan ‘keikaan’, konvergensi, dan kesamaan tujuan pembangunan (Sudharto: 2006). Suparno (2003) pernah memperkenalkan dua model yang diharapkan dapat menumbuhkan sikap kebersamaan, sehingga terbangun potensi negara yang kuat. Model pertama, yaitu dengan menyeragamkan dan menghilangkan perbedaan yang ada, baik dari segi budaya, agama, nilai, dan lainnya. Mereka yang berbeda-beda itu, dipaksa disatukan dengan aturan ketat dan sentuhan penyeragaman. Sementara itu, model kedua justru menerima perbedaan, mengakui, dan menghargainya. Dengan sikap berterima, orang yang berbeda dapat saling melengkapi dan saling membantu, sehingga antarmereka dapat semakin kaya dengan keberagamannya. Dari dua model itu, ternyata model kedualah yang lebih memiliki semangat multikultural. Beranjak dari konsep kedua itu, agaknya perlu disadari pula bahwa sikap saling menerima, menghargai nilai, budaya, dan keyakinan yang berbeda, tidak serta merta berkembang sendiri. Apalagi jika dalam diri orang tersebut, masih senantiasa mengharapkan penghargaan dari orang lain. Atau lebih dari itu, yaitu mengharapkan orang lain menjadi seperti dirinya. Sikap menerima dan menghargai perbedaan akan cepat diresapi jika hal itu dilatihkan dan dididikkan pada semua jenjang pendidikan baik formal maupun nonformal. Melalui pendidikan, perbedaan yang tumbuh di masyarakat akan dapat dikelola dengan baik, sehingga masyarakat akan terhindar dari perselisihan yang merugikan. Selain itu, masyarakat juga akan berpola pikir dewasa dalam menyikapi perbedaan yang berdampak pada perubahan. Di sini, institusi yang berkewajiban memupuk kesadaran seperti itu, yang utama adalah sekolah.
Layanan Pendidikan Multibudaya Meskipun dalam Undang-undang Pendidikan Nasional secara tersurat tidak dinyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengelola anak didik agar menjadi manusia demokratis yang memiliki semangat kemasyarakatan dan kebangsaan tinggi, namun kesadaran untuk menerima dan menghargai perbedaan tetap menjadi menu utama para peserta didik. Semiawan (2003) pernah menyatakan bahwa sistem pendidikan nasional saat ini belum dapat memberikan layanan pada pengembangan pendidikan multikultur. Jadi, tidak mengherankan apabila aspek pendidikan masih kurang menghayati kebutuhan anak didik, melainkan lebih mengutamakan berbagai standar akademis semata. Oleh karena itu, untuk mendampingi tujuan Undang-Undang Pendidikan Nasional yang mengharapkan agar anak didik Indonesia dapat menjadi warga negara yang menghargai sesama warga negara, termasuk yang berbeda, pemerintah Indonesia selaku pembina instusi pendidikan perlu mengarahkan dan menyadarkan semua jenjang institusi pendidikan agar mengutamakan atau menyelipkan materi ajar yang bernuansa semangat kebersamaan. Paradigma pendidikan multibudaya memberikan sinyalemen bahwa individu (anak didik) belajar dengan http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 31 January, 2017, 13:48
Sekretariat Negara Republik Indonesia
individu yang lain dalam suasana saling menghormati, toleransi, dan saling memahami. Untuk mengiringinya, sebagai pendidik, guru harus terus mengembangkan semangat belajarnya agar dapat menerapkan strategi pembelajaran kooperatif dalam pergaulan sosial dengan anak didik yang memiliki beragam latar belakang budaya. Suasana belajarnya pun seyogianya menyenangkan sehingga anak didik akan belajar hal-hal positif dari temannya, sebab tujuan utama pendidikan multibudaya adalah mengubah (transformasi) berbagai pendekatan belajar mengajar, serta mengubah konseptualisasi dan organisasinya agar tiap individu yang berasal dari berbagai budaya dapat memperoleh kesempatan yang sama untuk belajar dalam pendidikan. Dalam paparan ini, yang dimaksud memperoleh kesempatan yang sama, bukan sekadar memperoleh tempat duduk di sekolah, tetapi juga faktor kebersamaan, perhatian, dan layanan kebutuhan khusus pendidikan. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah melalui institusi pendidikan dalam merancang pendidikan multibudaya, antara lain melalui pengembangan sikap empati dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, anak didik tidak diperkenalkan konsep pendidikan multibudaya dengan cara menghafal, melainkan menerapkannya dalam pola interaksi dengan lingkungannya. Dari sini, anak didik belajar beradaptasi dengan lingkungan dan makhluk hidup yang benar-benar baru dan berbeda dengan latar belakang mereka. Kemampuan anak didik dalam mengelola konflik yang muncul dalam pola interaksi tersebut, menjadi bekal penting bagi pengembangan sikap kebersamaan di kemudian hari. Agar pendidikan multibudaya lebih mengena pada sasaran, maka kurikulum, model pembelajaran, suasana sekolah, kegiatan ekstrakurikuler, serta peran gurunya pun harus dibuat bernuansa multibudaya. Secara khusus, Semiawan juga menyatakan bahwa isi, pendekatan, dan evaluasi kurikulum yang dikembangkan oleh institusi pendidikan harus menghargai perbedaan dan tidak bersifat deskriminatif. Artinya, substansi pengajaran dan materi ajar yang digunakan pun harus menekankan pengenalan dan penghargaan terhadap budaya dan nilai lain. Untuk mewujudkannya, institusi pendidikan dapat memasukkan nilai dan tokoh yang terlibat, yang berasal dari budaya atau daerah lain, ke dalam semua mata pelajaran. Misalnya, ditemukan dan disalahgunakannya daun ganja, dimulai dari wilayah daratan Indonesia yang sejak dahulu dikenal sebagai daerah agamis. Namun karena keterbatasan pengetahuan dan teknik pemanfaatannya, akhirnya daun ganja digunakan untuk keperluan yang sia-sia. Atau misalnya, di daerah tertentu dikenal upacara adat untuk memperingati seribu hari meninggalnya seseorang, dengan mengkonsumsi binatang ternak berharga puluhan juta rupiah. Agar tidak menimbulkan prasangka buruk pada anak didik terhadap nilai budaya daerah lain, pengetahuan semacam itu perlu diperkenalkan kepada mereka bahwa upacara tersebut memang lazim dan bersifat wajib bagi masyarakat daerah itu. Dengan demikian, anak didik akan terbantu untuk semakin mengerti, menerima, dan menghargai nilai budaya daerah lain. Adapun dalam hal model pembelajarannya, institusi pendidikan dapat memberlakukannya dalam koridor kelas, yang bisa jadi tiap kelas multibudaya memperoleh sentuhan yang berbeda-beda. Penyajian materi ajar, misalnya untuk mata pelajaran bahasa Indonesia khususnya mengenai cara menuliskan petunjuk tentang penggunaan sebuah alat kerja tradisional, kelas A akan mempraktikkannya dengan menggunakan benda budaya berupa alat pembajak sawah, sedangkan kelas B dalam praktiknya menggunakan miniatur traktor. Selain anak didik harus mengenal perbedaan budaya, mereka juga perlu mengenal adanya faktor jender yang mempengaruhi unsur-unsur budaya. Misalnya, penanaman pengetahuan bahwa tidak semua benda budaya tradisional hanya dapat dioperasikan oleh kaum laki-laki. Masih segar dalam ingatan anak didik Indonesia yang mengenyam pelajaran Sejarah Indonesia di bangku SD sampai dengan SMU di era tahun 1980-an, yang dalam buku pelajaran tersebut tidak tampak simbol negara komunis atau http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 31 January, 2017, 13:48
Sekretariat Negara Republik Indonesia
bahkan simbol yang digunakan oleh agama lain. Argumentasi yang dikatakan saat itu adalah semata-mata untuk mengurangi ketegangan terhadap simbol-simbol tersebut. Padahal secara substantif, hal itu sangat penting bagi pengetahuan anak didik, sehingga mereka dapat memahami dan menghargi perbedaan tersebut.
Menciptakan Suasana Pendidikan Multibudaya Suasana sekolah yang multibudaya, dapat diciptakan dan diterapkan oleh institusi pendidikan dengan memperhatikan situasi dan kebutuhan komponen sekolah. Sekolah dapat dibangun dengan suasana yang mengeksplorasi penghargaan terhadap budaya lain. Hubungan yang terjalin antara guru, karyawan, dan siswa dalam suatu sekolah dapat diharmoniskan misalnya dengan cara memberikan salam pada saat mereka saling bertemu, dalam suasana hati seperti apapun. Di samping itu, guru sebagai pengelola kelas dapat membaurkan siswanya yang berasal dari berbagai latar belakang budaya, melalui kegiatan akademik yang sifatnya berkelompok atau ekstrakurikuler. Penolakan siswa terhadap siswa lain yang berbeda budaya, tidak bisa ditolerir. Namun pendekatan yang digunakan oleh guru pun bukan dengan cara memaksa siswa untuk mau menerima siswa yang berbeda budaya, melainkan dengan menanamkan potensi jalinan kerja sama apabila di antara mereka bisa bersatu. Demikian juga halnya dengan segala atribut atau dekorasi yang menghiasi sekolah, perlu disentuhkan dengan nuansa multibudaya. Artinya, meskipun sekolah itu berada di pulau Sulawesi misalnya, akan tetapi atribut atau dekorasi yang disajikan di sekolah dirangkai teratur yang mencitrakan potensi budaya daerah lain. Dengan begitu, siswa pun akan semakin mengerti dan memahami keragaman budaya yang dimiliki oleh daerah lain. Dalam hal kegiatan ekstrakurikuler, institusi pendidikan pun hendaknya mengupayakan aktivitas yang multinilai. Semiawan menambahkan, sikap menghargai orang berasal dari wilayah yang berbeda, akan lebih berkembang jika anak didik dapat mempraktikkan dan mengalaminya secara langsung. Seperti halnya dengan berbagai kegiatan yang membutuhkan keterlibatan semua komponen sekolah, faktor asal usul daerah pesertanya pun tidak perlu dipertimbangkan secara rumit, sebab pada dasarnya semua manusia yang terlahir ke bumi ini memiliki potensi tersendiri yang apabila digali secara benar akan memunculkan kekuatan yang luar biasa. Secara riil, kegiatan yang dimaksud dalam paparan tersebut misalnya adalah seminar atau debat publik mengenai penyebab perselisihan antarkelompok masyarakat di suatu wilayah tertentu. Hal ini boleh saja dilakukan agar peserta didik semakin menghayati makna perbedaan dan siswa juga memperoleh kesempatan untuk mendalami persoalan masyarakat multibudaya.
Peran guru dalam pendidikan multibudaya juga sangat vital, mengingat guru harus menjadi koordinator, pengatur, dan pengorganisir aktivitas kelas. Cakupan kegiatan yang harus dilakukan oleh guru pendidikan multibudaya tersebut meliputi isi, proses, dan kegiatan sekolah yang dalam setiap aktivitasnya senantiasa diwarnai nuansa multikultur. Keterlibatan anak didik dalam upaya pengembangan diri dan kemampuan saling menghargai perbedaan, tidak perlu diselingi dengan faktor suku, jender, atau ras tertentu. Dalam konteks ini, guru perlu mengoptimalkan pentingnya proses pembelajaran, misalnya melalui kegiatan diskusi keanekaragaman budaya sebagai bagian dari kekayaan bangsa, atau diskusi mengenai ketergantungan seseorang terhadap barang tertentu yang diproduksi oleh orang lain yang berbeda budaya. Semakin diperkenalkan keanekaragaman itu, akan semakin mudah meluruhkan sikap curiga yang mungkin masih http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 31 January, 2017, 13:48
Sekretariat Negara Republik Indonesia
menggelayuti pikiran anak didik kita. Namun demikian, titik tolak strategis yang dapat menjadi pijakan pertumbuhan toleransi perbedaan bukan urusan institusi pendidikan formal semata. Daya dukung pendidikan informal pun perlu dioptimalkan, misalnya melalui pendidikan dalam lingkungan keluarga atau masyarakat umum. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pun turut memberikan kontribusi dalam penguatan kesadaran multibudaya. Dari sinilah, interaksi antarmanusia yang berasal dari beragam latar belakang sosial budaya menyorong lajunya tindak komunikasi lintas budaya (Hassan: 2004). Oleh karena itu, terbangunnya pondasi pendidikan yang kuat dapat menjadi pijakan strategis untuk menumbuhkan kesadaran multibudaya, yang tidak hanya diajarkan secara teoretis melainkan juga praktis dalam kehidupan nyata. Selain itu, guru dan pengelola institusi pendidikan yang berupaya memperkenalkan pendidikan multibudaya harus mengawali kesadarannya dari diri mereka sendiri. Artinya, sebelum mengajarkan perlunya sikap toleransi terhadap keragaman di masyarakat, institusi sekolah harus terlebih dahulu membuka wawasannya (Maarif: 2004). Upaya membuka wawasan yang dimaksud antara lain dapat dengan memberikan kesempatan kepada anak didik untuk belajar budaya lain tidak hanya menggunakan media buku pelajaran, melainkan dapat memanfaatkan teknologi internet. Sebagai bandingan, Mitchener (2004) mengilustrasikan bahwa sejak jenjang sekolah dasar hingga sekolah menengah atas di Australia, sudah mulai diperkenalkan berbagai jenis masyarakat dan kebudayaannya di berbagai belahan bumi.
Hak Individu dan Kolektif Dalam Pendidikan Multibudaya Lebih jauh Mitchener menyatakan bahwa dalam pendidikan multibudaya perlu dimuati materi mengenai hak-hak individual dan kolektif dari setiap anggota masyarakat. Dalam bagian ini, anak didik dapat diberi bekal pengetahuan mengenai potensi individu dari suatu bangsa yang memiliki hak sama untuk hak kemanusiaannya, seperti hak untuk memeluk agama tertentu atau hak untuk hidup layak. Dalam arti kolektif, hak seseorang dapat diperoleh dari kelompok etnis minoritas yang tidak tertampung dalam perwakilan birokratif atau legislatif. Dari hak ini, seseorang dapat menyejajarkan haknya ketika menyampaikan aspirasi politik atau pengembangan budaya. Bekal pengetahuan lain yang dapat diberikan kepada anak didik, yaitu mengenai kebebasan individual dan budaya. Materi ini mengupas masalah kebebasan berkreasi, berkarya, dan mengembangkan budayanya bagi setiap individu yang masuk dalam etnis minoritas. Kelompok etnis minoritas harus menghargai hak-hak minoritas untuk mengembangkan kreativitas dan budayanya sendiri. Selain dua muatan materi tadi, pendidikan multibudaya juga perlu diisi dengan materi mengenai keadilan dan hak-hak minoritas. Materi ini mengulas persamaan hak dalam mendapatkan keadilan dari negara, serta hak untuk mengembangkan kultur etniknya. Termasuk juga di dalamnya keadilan untuk mengelola bahasa dan berbagai institusi sosial yang ada di dalamnya, sehingga komponennya tidak hilang dari etnis minoritas tersebut. Materi selanjutnya adalah mengenai jaminan minoritas dalam berbicara dan keterwakilan aspirasinya dalam struktur pemerintahan atau legislatif. Di sini, anak didik dapat mengetahui bahwa karena adanya latar belakang perbedaan etnik, budaya, dan kepentingan maka hak legislatifnya tidak dapat terwakili. Selanjutnya adalah materi mengenai toleransi dan batas-batasnya. Materi ini menggambarkan bahwa apabila etnik minoritas tidak memiliki wakil langsung di lembaga legislatif atau dalam lembaga birokrasi pemerintahan, maka ia harus dilindungi oleh etnik atau kelompok mayoritas yang menguasai lembaga pemerintahan sebagai lembaga http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 31 January, 2017, 13:48
Sekretariat Negara Republik Indonesia
otoritatif dalam pengambilan kebijakan publik. Namun demikian, mereka pun perlu memahami bahwa mereka yang diharapkan dapat memperhatikan hak minoritas tersebut, juga memiliki keterbatasan karena mereka juga harus memperhatikan etnik atau kelompok mayoritas yang justru mereka wakili. Oleh karena itu, hak minoritas tetap mendapatkan perhatian meskipun dalam keterbatasan.
ICT dan Pendidikan Multibudaya Pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi (Information Communication Technology-ICT) oleh pemerintah negara Indonesia menjadi satu perhatian serius bagi dunia pendidikan. Guna mengemban salah satu sasaran teknologi ICT, yaitu untuk mewujudkan keadilan di bidang pendidikan, pemerintah Indonesia berpikir keras untuk mengejar ketertinggalan warganya dari negara lain. Dalam sebuah temuannya di tahun 2005, World Economics Forum pernah menempatkan Indonesia di tangga ke-60 sebagai negara yang memanfaatkan jaringan kerja di bidang teknologi komunikasi dan informasi, dari 65 negara yang disurvei. Lembaga tersebut mengakui bahwa ada beberapa aspek yang dapat mempengaruhi prestasi pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi. Aspek-aspek tersebut di antaranya adalah konektivitas, kapabilitas, isi, dan budaya. Dari tiap aspek yang ada, ternyata Indonesia kurang mempedulikannya. Untuk konektivitas, negara Indonesia termasuk negara yang belum sepenuhnya peduli dengan masalah infrastruktur ICT, akses internet, dan keterjangkauan biayanya. Dari sisi kapabilitas, seperti ICT literacy dan kebijakan ICT dalam level mikro masih belum jelas. Level mikro di sini dimisalkan dengan institusi pendidikan. Dari segi isi, lembaga tersebut juga menilai Indonesia masih kurang bagus. Mereka mengumpamakan program Depdiknas yang memiliki Jardiknas. Jalur seluas itu yang memanfaatkan hanya kendaraan-kendaraan kecil. Apabila dilewati kendaraan pun, isinya kurang berkualitas atau berbobot. Begitu juga dengan aspek budaya. Untuk masalah budaya, lembaga tersebut mengakui bahwa masih ada sebagian masyarakat Indonesia yang belum familiar dengan urusan komputer, apalagi yang terkoneksi ke mana-mana. Upaya sosialisasi pun sebenarnya sudah mulai digalakkan. Pernyataan Menteri Komunikasi dan Informasi, Sofyan Djalil, tanggal 11 April 2007 lalu pada saat penyerahan bantuan komputer di SMU Plus PGRI Cibinong, Jawa Barat, cukup menyegarkan telinga. Menurutnya, salah satu institusi pendidikan yang sudah mulai menjadi teladan pemanfaatan ICT adalah SMU Plus PGRI Cibinong, Jawa Barat. Dalam kesempatan itu, diresmikan pula program Kampung ICT Pendidikan, yaitu sebuah program yang berupaya memberikan pelatihan komputer bagi masyarakat sekitar, seperti remaja masjid atau karang taruna. Apa yang dicapai oleh SMU Plus PGRI Cibinong, Jawa Barat tersebut bisa jadi sudah masuk ke dalam level penerapan ICT untuk pendidikan yang sudah dicanangkan oleh UNESCO. UNESCO membelah penerapan ICT untuk pendidikan ke dalam empat tingkatan, yaitu emerging, applying, integrating, dan transforming. Negara yang dapat masuk kategori emerging yaitu jika para pemimpin, pengambil kebijakan, dan masyarakat di negara itu baru menyadari pentingnya ICT untuk pendidikan, tetapi negara itu belum melakukan tindakan apapun. Applying, yaitu jika negara itu baru sampai pada tahap mempelajari penggunaan ICT, sedangkan integrating jika negara itu sudah menggunakan ICT untuk kegiatan pembelajaran. Dan yang terakhir adalah transforming, yaitu jika negara itu menjadikan ICT sebagai media http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 31 January, 2017, 13:48
Sekretariat Negara Republik Indonesia
transformasi pendidikan. Apapun yang sudah dilakukan oleh SMU Plus PGRI Cibinong, Jawa Barat tetap harus dihargai sehingga pemerintah pun tetap bersemangat untuk terus meningkatkan kemampuan dan fasilitas yang diperlukan. Semangat untuk terus mengembangkan kualitas pendidikan multibudaya di Indonesia tampaknya perlu ditangani secara arif. Penanganan semacam ini perlu dilakukan mengingat masyarakat multibudaya yang cenderung apriori, berburuk sangka, serta pola stereotipe negatif mengakibatkan masyarakat lebih memposisikan dirinya sebagai pihak yang lebih benar, akomodatif, terbuka, dan kooperatif. Dampak yang dapat dirasakan akibat adanya dominasi masyarakat multibudaya adalah kebiasaan untuk senantiasa mendahulukan kepentingan atau kekuasaan kelompoknya, daripada memprioritaskan kepentingan pihak yang lebih mayoritas. Kebiasaan semacam itu akhirnya menghilangkan kemampuan individu untuk selalu mengutamakan kepentingan berbasis budaya yang dominan dalam berbagai kesempatan interaksi antarpribadi, komunikasi sosial, atau komunikasi politik.
Praktik Pendidikan Multibudaya Fundamen praktik pendidikan multibudaya diakari oleh pemahaman mengenai praktik pendidikan itu sendiri yang berwajah keiindonesiaan. Dalam skala luas, aspek pendidikan lebih sering disinggungkan dengan upaya pengembangan diri seseorang terhadap tiga aspek kehidupan, yaitu pandangan hidup, sikap hidup, dan keterampilan hidup. Upaya pengembangan ketiga aspek tersebut dapat dilakukan di sekolah, luar sekolah, dan keluarga. Kegiatan yang dilakukan di sekolah dapat dijalankan sesuai dengan aturan yang sudah disepakati, sedangkan kegiatan di luar sekolah pelaksanaannya lebih fleksibel karena disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi lokal meskipun tetap perlu menghadirkan rencana dan program yang jelas. Adapun pelaksanaan pendidikan dalam keluarga, dilakukan secara informal tanpa tujuan yang terpampang secara baku dan tertulis. Sesungguhnya, pendidikan menjadi aspek pembudayaan atau enculturation penting yang diharapkan mampu mentasbihkan seseorang dalam suatu budaya tertentu. Konsekuensinya, praktik pendidikan harus sesuai dengan budaya masyarakat setempat dan kebudayaan yang berkembang di lingkungannya. Yang perlu diwaspadai adalah munculnya akibat yang ditimbulkan oleh adanya perbedaan pandangan dan pertikaian mengenai cara pandang sebuah budaya oleh masyarakat yang berlainan budaya. Untuk itu, harapan tercapainya keselarasan antara pendidikan dan kebudayaan dapat dipahami oleh masyarakat, dengan catatan bahwa praktik pendidikan harus didasarkan pada teori pendidikan yang bersumber pada pandangan hidup masyarakat setempat. Demikian halnya dengan praktik pendidikan multibudaya, yang nuansanya lebih kompleks. Dalam praktik pendidikan multibudaya, peran guru atau pembimbing sangat vital untuk menjembatani perbedaan peserta praktik pendidikan multibudaya. Tentu, bukan perkara mudah untuk mewujudkannya. Selain harus sabar, guru atau pembimbing yang terlibat dalam penanganan praktik pendidikan multibudaya juga harus memahami karakter budaya masing-masing pesertanya. Atau paling tidak, guru atau pembimbing tersebut sudah pernah mengenal sebelumnya, meskipun masih dalam taraf permulaan. Secara terselubung, praktik pendidikan multibudaya dapat dilakukan melalui kegiatan drama yang diikuti oleh peserta didik. Dalam kegiatan kegiatan drama tersebut, http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 31 January, 2017, 13:48
Sekretariat Negara Republik Indonesia
pelakon cerita tidak harus berasal latar belakang budaya yang sama. Penghayatan atas peran yang harus dimainkan oleh pemain drama, memungkinkan dimuatinya potensi pendidikan multibudaya. Selain melalui kegiatan drama, peserta didik dapat mendalami pengetahuan mengenai pendidikan multibudaya dengan cara mengikuti kegiatan diskusi ilmiah yang di dalamnya terjadi peristiwa demokratis yang membutuhkan kesadaran akan sikap saling menghormati, memahami, dan toleransi. Selain kedua kegiatan itu, pendidikan multibudaya juga dapat diperoleh melalui kegiatan peringatan hari besar agama tertentu. Bagi peserta didik yang kebetulan tidak menganut ajaran agama yang saat itu sedang diperingati hari besarnya, mereka dapat berbaur dengan peserta didik yang lain atau membantu mempersiapkan keperluan kegiatan tersebut. Sikap demikian dapat dikategorikan sebagai sikap pluralis yang mengutamakan penghargaan terhadap perbedaan yang ada. Di samping itu, upacara peringatan hari Kartini pun termasuk kegiatan yang menunjang pengembangan pendidikan multibudaya. Dengan menggunakan busana yang tidak sama dengan budaya asli penggunanya, peserta didik dapat lebih menghargai kekayaan budaya Indonesia. Busana daerah yang menjadi simbol kekayaan budaya wilayah tertentu dapat juga ditunjukkan oleh kegiatan seni tari daerah yang ditampilkan oleh penari-penari yang juga berasal dari daerah berbeda budaya. Pada jenjang pendidikan sekolah dasar sampai dengan sekolah lanjutan pertama, kegiatan semacam peringatan hari Kartini yang mewajibkan siswanya menggunakan busana daerah, masih sering dilakukan. Sebagai contoh, peserta didik yang mengemban ilmu di beberapa sekolah di seputar wilayah Kota Depok dan Kabupaten Bogor. Menurut pengamatan, peserta didik yang sekolah di institusi pendidikan itu, sangat antusias ketika harus mengikuti kegiatan tersebut. Pada umumnya, mereka ingin merasakan pengalaman berharga pada dirinya apabila menggunakan busana daerah itu. Meskipun busana yang dikenakan bukan berasal dari daerah asal mereka, akan tetapi siswa yang mengenakannya pun tampak sangat menikmati perbedaan itu. Oleh karena itu, ketidakterasingan peserta didik dalam menggunakan busana daerah tersebut, menjadi modal awal bagi sekolah untuk memupuk sikap kebersamaan. Pada jenjang sekolah menengah umum, peserta didik menjalin kerja sama toleransi budaya melalui kegiatan kemah bersama dan bakti sosial. Dalam kegiatan ini, para peserta didik berbaur dengan masyarakat setempat yang belum tentu sama latar belakang budayanya. Kegiatan semacam ini sering dilakukan oleh sekolah-sekolah yang memiliki kegiatan kepramukaan aktif. Adapun praktik dan model pengajaran pendidikan multibudaya pada perguruan tinggi, terutama untuk pendidikan guru, mahasiswa yang memperoleh porsi lebih dalam kegiatan praktisnya adalah mahasiswa yang termasuk dalam jurusan atau program studi bahasa dan seni. Pada jurusan atau program studi ini, mahasiswa lebih dapat mengekspresikan kemampuan teknisnya melalui kegiatan yang bersifat kebahasaan atau kesenian, seperti pementasan wayang orang yang belum pernah dilakukan oleh mahasiswa yang berasal dari wilayah luar pulau Jawa. Kenyataan menunjukkan bahwa kegiatan-kegiatan yang diikuti oleh peserta didik tersebut, baik dari jenjang sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi, mampu mempererat tali persahabatan dan mengikis semangat kesukuan. Hal itu bisa tampak dalam kegiatan yang melibatkan komponen heterogen dengan skala yang lebih besar, seperti kegiatan jambore atau pendidikan anggota pasukan pengibar bendera pusaka (paskibraka).[]Â
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 31 January, 2017, 13:48
Sekretariat Negara Republik Indonesia
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 31 January, 2017, 13:48