PEMERINTAH KABUPATEN BANYUWANGI RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR
TAHUN 2013
TENTANG PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan kedudukan, peran dan kualitas Perempuan serta menjamin hak yang sama antara perempuan dan laki-laki untuk menikmati hak-hak warga negara di bidang ekonomi, sosial budaya, politik dan hukum sebagai upaya mewujudkan kesetaraan,
keadilan
pembangunan, sehingga
dan
diperlukan
dapat
berperan
Kesehatan
Kesehatan serta
dalam
Reproduksi
dalam
proses
pembangunan; b. bahwa Kesehatan Reproduksi merupakan strategi yang efektif dalam mewujudkan kesetaraan, keadilan dan kesehatan
dalam
kehidupan
berkeluarga,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang sudah disepakati oleh masyarakat internasional; c. bahwa upaya Kesehatan Reproduksi perlu dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi pada satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dan instansi vertikal serta lembaga non pemerintah daerah;
d. bahwa
berdasarkan
pertimbangan
sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk
Peraturan
Daerah
tentang
Pelayanan
Kesehatan Reproduksi Dalam Pembangunan Daerah.
Mengingat : 1. Undang-Undang
Nomor
4
Tahun
1979
tentang
Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara RI Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3143); 2. Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209); 3.
Undang-Undang
Nomor
7
Tahun
1984
tentang
Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3277); 4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886); 5. Undang-Undang Penghapusan
Nomor
23
Kekerasan
Tahun
Dalam
2004
tentang
Rumah
Tangga
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419); 6. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421); 7. Undang-Undang Pemerintahan
Nomor
Daerah
32
Tahun
(Lembaran
2004
Negara
tentang Republik 2
Indonesia
Tahun
2004
Nomor
125,
Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 8. Undang-Undang
Nomor
33
Tahun
2004
tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Indonesia
Daerah
Tahun
(Lembaran
2004
Nomor
Negara 126,
Republik Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438); 9. Undang-undang
Nomor
36
Tahun
2009
tentang
Kesehatan(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor
144,
Tambahan
Lembaran
Negara
2009
Tentang
Republik Indonesia Nomor 5063) 10. Undang-Undang
No.52
Perkembangan
Tahun
Kependudukan
Dan
Pembangunan
Keluarga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor
161,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik Indonesia Nomor 5080) 11. Undang-Undang Pembentukan
Nomor
12
Tahun
Peraturan
2011
tentang
Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); 12. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan
Daerah
(Lembaran
Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578); 13. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah
(Lembaran
Negara
Republik 3
Indonesia
Tahun
2005
Nomor
165,
Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593); 14. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah
Provinsi
dan
Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 15. Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan,Pengundangan
dan
Penyebarluasan
Peraturan Perundang-undangan; 16. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 tahun 2011 tentang Produk Hukum Daerah. Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI DAN BUPATI BANYUWANGI MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN
DAERAH
TENTANG
PELAYANAN
KESEHATAN REPRODUKSI BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : (1)
Daerah adalah Kabupaten Banyuwangi.
(2)
Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah Kabupaten Banyuwangi. 4
(3)
Bupati adalah Bupati Kabupaten Banyuwangi.
(4)
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Banyuwangi.
(5)
orang adalah perseorangan, kelompok orang, masyarakat, dan badan hukum.
(6)
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi.
(7)
Kesehatan reproduksi adalah keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan.
(8)
Hak Reproduksi adalah hak setiap pasangan suami istri dan perorangan untuk secara bebas dan bertanggung jawab serta tanpa
diskrimanasi,
paksaan,
kekerasan
dan
tidak
bertentangan dengan agama, norma budaya, adat istiadat serta hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam menentukan jumlah, jarak dan waktu melahirkan anak, memperoleh pelayanan derajat kesehatan reproduksinya dan kesehatan seksual terbaik bagi pasangannya dan atau dirinya. (9)
Pelayanan Kesehatan adalah bagian integral dari pelayanan masyarakat
jaringan
medik
yang
diselenggarakan
oleh
Pemerintah Daerah yang meliputi upaya promosi (promotif), pencegahan (preventif), penyembuhan (kuratif ) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif). (10) Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian
kegiatan
pelayanan
kesehatan
yang
lebih
mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi kesehatan. (11) Pelayanan
kesehatan
preventif
adalah
suatu
kegiatan
pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/penyakit. (12) Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian penyembuhan
kegiatan
pengobatan
penyakit,
yang
pengurangan
ditujukan
untuk
penderitaan
akibat
penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin.
5
(13) Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota
masyarakat
masyarakat
yang
berguna
semaksimal
untuk
mungkin
dirinya
sesuai
dan
dengan
kemampuannya. (14) Pelayanan
Kesehatan
Reproduksi
adalah
konstelasi
dari
metode, teknis dan pelayanan yang menunjang Kesehatan Reproduksi dengan pencegahan dan pemecahan masalahmasalah Kesehatan Reproduksi. (15) Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri atas suami/isteri, atau suami isteri dan anaknya atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. (16) IMS (Infeksi Menular Seksual) adalah penyakit infeksi yang ditularkan
melalui
hubungan
seksual
seperti
Gonorhoe
(kencing nanah), Sifilis, Condyloma Accuminata (jengger ayam), Herpes Simplex, HIV/AIDS, Hepatitis B; (17) PONED (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar) adalah sarana pelayanan kesehatan di tingkat dasar (puskesmas) yang memberikan
pelayanan
kegawatdaruratan
pada
Ibu
dan
Neonatal; (18) PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif) adalah sarana pelayanan kesehatan di tingkat rujukan (RSUD) yang memberikan pelayanan kegawatdaruratan pada Ibu dan Neonatal; BAB II AZAS, MAKSUD DAN TUJUAN Bagian Kesatu Azas Pasal 2 Pelayanan Kesehatan Reproduksi berazaskan: (1) pembangunan keluarga berasaskan norma agama; (2) penghormatan terhadap hak asasi manusia; 6
(3) keadilan; (4) partisipasi; (5) kesetaraan; (6) perikemanusiaan; (7) nondiskriminatif (8) keseimbangan; dan (9) manfaat; Bagian Kedua Maksud Pasal 3 Penyelenggaraan
kesehatan
Reproduksi
sebagai
kebijakan
pembangunan
dasar
dimaksudkan kesehatan
Reproduksi di Daerah untuk dijadikan pedoman bentuk dan cara penyelenggaraan kesehatan Reproduksi yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, setiap orang dan pemangku
kepentingan
meningkatkan
di
kesadaran,
bidang
kemauan
kesehatan dan
guna
kemampuan
hidup sehat. Bagian Ketiga Tujuan Pasal 4 Tujuan pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Reproduksi di daerah adalah sebagai berikut : (1) memberikan acuan bagi aparatur Pemerintah Daerah dalam menyusun strategi pengintegrasian Kesehatan Reproduksi
yang
dilakukan
melalui
perencanaan,
pelaksanaan, penganggaran, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan, program dan kegiatan pembangunan di daerah; (2) mewujudkan Reproduksi
perencanaan melalui
berperspektif
pengintegrasian
Kesehatan
pengalaman, 7
aspirasi,
kebutuhan,
potensi
dan
penyelesaian
permasalahan laki-laki dan perempuan; (3) mewujudkan dalam
kesetaraan
kehidupan
dan
keadilan
berkeluarga,
reproduksi
berbangsa
dan
bernegara; (4) mewujudkan
pengelolaan
anggaran
daerah
yang
responsif Kesehatan Reproduksi; (5) meningkatkan
kesetaraan
dan
keadilan
dalam
kedudukan, peranan dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan
sebagai
insan
dan
sumberdaya
pembangunan ; dan (6) meningkatkan peran dan kemandirian lembaga yang menangani pemberdayaan perempuan BAB III RUANG LINGKUP Pasal 5 Ruang lingkup Pelayanan Kesehatan reproduksi meliputi : 1. saat sebelum hamil, hamil, melahirkan, dan sesudah melahirkan; 2. pengaturan kehamilan, alat konstrasepsi, dan kesehatan seksual; dan 3. kesehatan sistem reproduksi. BAB IV HAK DAN KEWAJIBAN Bagian Pertama HAK Pasal 6
8
Setiap orang berhak: a. menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah. b. menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi,
paksaan,
dan/atau
kekerasan
yang
menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama. c. menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin bereproduksi sehat secara medis serta tidak bertentangan dengan norma agama. d. memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai kesehatan
reproduksi
yang
benar
dan
dapat
dipertanggungjawabkan. Bagian Kedua KEWAJIBAN Pasal 7 (1)
Pemerintah Daerah dan setiap orang bertanggung jawab menyelenggarakan kesehatan Reproduksi;
(2)
Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat, termasuk keluarga berencana.
(3)
Setiap orang wajib mengembangkan kualitas diri melalui peningkatan
kesehatan,
pendidikan,
ketahanan
dan
kesejahteraan keluarga; (4)
Kewajiban sebagaimana dimaksud ayat (2), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati. BAB V JENIS PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI Bagian ke satu 9
Umum Pasal 8 (1) Pelayanan Kesehatan reproduksi dilaksanakan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. (2) Setiap pelayanan kesehatan reproduksi yang bersifat promotif,
preventif,
kuratif,
dan/atau
rehabilitatif,
termasuk reproduksi dengan bantuan dilakukan secara aman dan sehat dengan memperhatikan aspek-aspek yang khas, khususnya reproduksi perempuan. (3) Pelaksanaan
pelayanan
kesehatan
reproduksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan tidak bertentangan dengan nilai agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian kedua Informasi Kesehatan Pasal 9 (1) Pemerintah Daerah wajib memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk memperoleh akses terhadap informasi kesehatan reproduksi dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. (2) Setiap
orang
dan/atau
lembaga
yang
memberikan
pelayanan kesehatan reproduksi kepada masyarakat wajib memberikan
laporan
kepada
Dinas
dalam
rangka
pengembangan kebijakan pengendalian upaya kesehatan. (3) Informasi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui
sistem
informasi
kesehatan
yang
bersifat lintas sektor secara terpadu dan berjenjang antarsusunan pemerintahan. (4) Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
sistem
informasi
kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Bupati. BAB VI 10
PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI SEBELUM HAMIL, HAMIL, MELAHIRKAN, DAN SESUDAH MELAHIRKAN Bagian Kesatu Pelayanan Kesehatan Reproduksi Sebelum Hamil Pasal 10 Pelayanan kesehatan Reproduksi Sebelum Hamil ditujukan kepada setiap orang yang berusia 10 (sepuluh) hingga 19 (sembilan
belas)
tahun
dan
belum
menikah
yang
selanjutnya disebut dengan remaja Pasal 11 Pelayanan Kesehatan Reproduksi remaja dilakukan dengan : (1) Pemerintah dan setiap orang wajib mensosialisasikan kesehatan reproduksi dengan kemudahan mendapatkan informasi
dan
layanan
kesehatan
reproduksi
yang
bertanggung jawab bagi remaja dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender; (2) Upaya kesehatan reproduksi remaja harus memberikan manfaat
yang
sebesar-besarnya
untuk
mendukung
peningkatan derajat kesehatan remeja dengan disertai upaya pendidikan kesehatan reproduksi yang seimbang; (3) Upaya
pendidikan
kesehatan
reproduksi
remaja
dilaksanakan melalui jalur pendidikan formal maupun nonformal, pendidik
dengan dan
memberdayakan
pengelola
pendidikan
para
tenaga
pada
sistem
pendidikan yang ada; (4) Upaya kesehatan remaja harus dilaksanakan secara terkoordinasi dan berkesinambungan melalui prinsip kemitraan dengan pihak-pihak terkait serta harus mampu membangkitkan dan mendorong keterlibatan dan kemandirian remaja.
11
(5) Pembinaan Kesehatan Reproduksi Remaja disesuaikan dengan kebutuhan proses tumbuh kembang remaja dengan menekankan pada upaya promotif dan preventif yaitu
penundaan
usia
perkawinan
muda
dan
pencegahan seks pranikah; (6) Pembinaan
Kesehatan Reproduksi Remaja
dilakukan
melalui pola intervensi di sekolah mencakup sekolah formal dan non formal dan diluar sekolah dengan memakai
pendekatan
“pendidik
sebaya”
atau peer
educator; (7) Pelaksanaan pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja melalui mata pelajaran khusus kesehatan reproduksi remaja dan atau diintegrasikan ke dalam mata pelajaran yang
relevan
dan
mengembangkan
kegiatan
ekstrakurikuler Sekolah; (8) Pelaksanaan pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja bagi remaja di luar sekolah dapat diterapkan melalui berbagai kelompok remaja yang ada di masyarakat. (9) Kewajiban reproduksi
pemerintah
mensosialisasikan
sebagaimana
diatur
pada
kesehatan ayat
(1)
dilaksanakan oleh petugas Keluarga berencana. Bagian ke dua Ibu Hamil Pasal 12 (1) Pemerintah menjamin seluruh ibu hamil mendapatkan pelayanan pemeriksaan kehamilan yang memadai. (2) Pemerintah menjamin serta memprioritaskan pelayanan kehamilan kepada ibu dari kelompok miskin dan tidak mampu. (3) Ibu hamil yang menderita gizi kurang terutama ibu hamil yang berasal dari keluarga miskin dan tidak mampu, berhak mendapatkan gizi selama kehamilan dari pemerintah daerah. 12
(4) Teknis Pelayanan gizi sebagaimana dimaksud ayat (3) akan diatur lebih lanjut oleh dinas kesehatan bersama instansi terkait lainnya. Pasal 13 (1) Tenaga Kesehatan Reproduksi harus menyampaikan informasi
dan
keluarganya
penyuluhan
mengenai
ibu
kepada hamil
suami
yang
dan
terdeteksi
memiliki risiko tinggi. (2) Suami dan keluarga harus memberikan perlindungan terhadap ibu hamil yang terdeteksi risiko tinggi. (3) Perhatian
dan
penanganan
khusus
sebagaimana
dimaksud ayat (2) dipersiapkan dari mulai kehamilan sampai dengan melahirkan. Bagian Ketiga Pelayanan Melahirkan atau Persalinan Pasal 14 (1) Ibu yang akan bersalin di sarana pelayanan kesehatan milik
pemerintah
daerah
maupun
milik
masyarakat/swasta harus segera ditangani oleh Tenaga kesehatan
yang
bekerja
pada
sarana
pelayanan
kesehatan tersebut. (2) Pemerintah menyediakan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED) berkualitas paling sedikit 8 puskesmas PONED yang telah ditentukan; (3) Pemerintah menyediakan Pelayanan Obstetri Neonatal Komprehensif
(PONEK)
berkualitas
di
rumah
sakit
Kabupaten; (4) Dalam hal ibu bersalin dalam kondisi rawat rujuk atau datang tanpa dirujuk, maka seluruh unit di sarana pelayanan Kesehatan harus segera memberi pelayanan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. 13
(5) Dalam hal
dokter ahli
tidak ada ditempat dan tidak
dapat dihubungi, maka petugas rumah sakit wajib menjemput
dokter
ahli
tersebut
bila
dokter
ahli
dimaksud berada dalam radius yang dimungkinkan untuk dijemput. (6) Pemerintah daerah dapat membiayai seluruh biaya persalinan dan darah untuk kebutuhan ibu bersalin. Pasal 15 (1) Tenaga pada
kesehatan yang menyelenggarakan persalinan
fasilitas
kebersihan
pelayanan
diri,
kesehatan
tempat
dan
harus
sterilitas
menjaga peralatan
kesehatan. (2) Tenaga
kesehatan
menyelenggarakan
dan
keluarga
ibu
yang
persalinan
di
rumah,
harus
menyiapkan segala material yang memungkinkan bagi ibu bersalin pada tempat yang bersih. (3) Setiap tenaga kesehatan mencatat seluruh kondisi ibu dalam
bentuk
pencatatan
medis,
termasuk
grafik
persalinan atau partograf. (4) Pemerintah Daerah wajib memberikan pelayanan nifas sesuai
prosedur
yang
ditetapkan
dan
melakukan
penyuluhan kesehatan terhadap kesehatan ibu dan anak. Bagian Keempat Pelayanan Sesudah Melahirkan Pasal 16 (1) Tenaga Kesehatan melakukan tindakan pemotongan tali pusat kepada bayi baru lahir dengan standar pelayanan. (2) Keluarga atau pihak lain dilarang melakukan perawatan tali pusat selain yang dianjurkan oleh tenaga Kesehatan.
14
Pasal 17 (1) Pemerintah daerah melalui Dinas Kesehatan harus menggalakkan program pemberian ASI eksklusif. (2) Tenaga Kesehatan dan keluarga
dilarang melakukan
hal-hal yang menyebabkan bayi baru lahir mengalami penurunan suhu tubuh normalnya. (3) Tenaga Kesehatan harus melakukan IMD dan melakukan rawat gabung. (4) Tenaga Kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan dilarang memberikan air susu selain air susu ibu (ASI) dan cenderamata susu formula. (5) Pemberian air susu selain air susu ibu harus mendapat indikasi yang kuat dan atas anjuran dokter. (6) Ibu harus memberikan ASI eksklusif kepada bayi sampai berumur 6 (enam) bulan. (7) Suami dan anggota keluarga lainnya harus mendukung ibu dalam pemberian ASI eksklusif. Pasal 18 (1) Tenaga
Kesehatan
harus
mampu
mengidentifikasi
seorang bayi atau anak balita yang menderita infeksi. (2) Sarana pelayanan kesehatan pemerintah, swasta dan mandiri harus mampu memberikan pelayanan kesehatan yang memadai kepada bayi dan anak balita yang menderita infeksi. Pasal 19 (1)
Pemerintah daerah, melalui Dinas Kesehatan : a.
Membantu pertumbuhan dan perkembangan bayi dan anak balita.
15
b.
Menggalakkan program pola asuh dan gizi anak kepada ibu, pengasuh bayi dan masyarakat.
c.
Memberikan pelayanan makanan tambahan pada bayi dan anak balita kurang gizi dari keluarga miskin dan tidak mampu.
d.
Memfungsikan dan mengaktifkan Posyandu.
e.
Wajib memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan anak.
(2)
Keluarga dan masyarakat harus terlibat aktif dalam memantau pertumbuhan dan perkembangan bayi dan balita, serta melaksanakan pelayanan kesehatan tingkat komunitas untuk bayi dan balita.
BAB VII PENGATURAN KEHAMILAN, ALAT KONSTRASEPSI, DAN KESEHATAN SEKSUAL Bagian Kesatu Pengaturan Kehamilan dan Alat Konstrasepsi Pasal 20 Untuk
mewujudkan
penduduk
tumbuh
seimbang
dan
keluarga berkualitas, Pemerintah menetapkan kebijakan keluarga
berencana
melalui
penyelenggaraan
program
keluarga berencana. Pasal 21 (1) Kebijakan keluarga berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dilaksanakan untuk membantu calon atau pasangan suami istri dalam mengambil keputusan dan mewujudkan hak reproduksi secara bertanggung jawab tentang: a. usia ideal perkawinan; b. usia ideal untuk melahirkan; 16
c. jumlah ideal anak; d. jarak ideal kelahiran anak; dan e. penyuluhan kesehatan reproduksi. (2) Kebijakan keluarga berencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk: a. mengatur kehamilan yang diinginkan; b. menjaga kesehatan dan menurunkan angka kematian ibu, bayi dan anak; c. meningkatkan akses dan kualitas informasi, pendidikan, konseling,
dan
pelayanan
keluarga
berencana
dan
kesehatan reproduksi; d. meningkatkan
partisipasi
dan
kesertaan
pria
dalam
praktek keluarga berencana; dan e. mempromosikan penyusuan bayi sebagai upaya untuk menjarangkan jarak kehamilan. (3) Kebijakan keluarga berencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengandung pengertian bahwa dengan alasan apapun aborsi sebagai pengaturan kehamilan dilarang. Pasal 22 (1) Kebijakan keluarga berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dilakukan melalui upaya: a. peningkatan keterpaduan dan peran serta masyarakat b. pembinaan keluarga; dan c. pengaturan kehamilan dengan memperhatikan agama, kondisi perkembangan sosial ekonomi dan budaya, serta tata nilai yang hidup dalam masyarakat. (2) Upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan sosialisasi, komunikasi, informasi dan edukasi. (3) Kebijakan keluarga berencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan bupati Pasal 23 Pemerintah daerah wajib meningkatkan akses dan kualitas informasi, pendidikan, konseling, dan pelayanan kontrasepsi dengan cara: (1) menyediakan metode kontrasepsi sesuai dengan pilihan pasangan
suami
istri
dengan
mempertimbangkan
usia,
paritas, jumlah anak, kondisi kesehatan, dan norma agama; 17
(2) menyeimbangkan kebutuhan laki-laki dan perempuan; (3) menyediakan informasi yang lengkap, akurat, dan mudah diperoleh tentang efek samping, komplikasi, dan kegagalan kontrasepsi,
termasuk
manfaatnya
dalam
pencegahan
penyebaran virus penyebab penyakit penurunan daya tahan tubuh dan infeksi menular karena hubungan seksual; (4) meningkatkan kerahasiaan,
keamanan, serta
keterjangkauan,
ketersediaan
alat,
obat
jaminan dan
cara
kontrasepsi yang bermutu tinggi; (5) meningkatkan
kualitas
sumber
daya
manusia
petugas
keluarga berencana; (6) menyediakan pelayanan ulang dan penanganan efek samping dan komplikasi pemakaian alat kontrasepsi; (7) menyediakan pelayanan kesehatan reproduksi esensial di tingkat primer dan komprehensif pada tingkat rujukan; (8) melakukan promosi pentingnya air susu ibu serta menyusui secara ekslusif untuk mencegah kehamilan 6 (enam) bulan pasca kelahiran, meningkatkan derajat kesehatan ibu, bayi dan anak; dan (9) melalui pemberian informasi tentang pencegahan terjadinya ketidakmampuan pasangan untuk mempunyai anak setelah 12 (dua belas) bulan tanpa menggunakan alat pengaturan kehamilan bagi pasangan suami-isteri. Pasal 24 (1) Pelayanan kontrasepsi diselenggarakan dengan tata cara yang berdaya
guna
dan
berhasil
guna
serta
diterima
dan
dilaksanakan secara bertanggung jawab oleh pasangan suami isteri sesuai dengan pilihan dan mempertimbangkan kondisi kesehatan suami atau isteri. (2) Pelayanan kontrasepsi secara paksa kepada siapa pun dan dalam bentuk apa pun bertentangan dengan hak asasi manusia dan pelakunya akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi dilakukan dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi agama, norma budaya, etika, serta segi kesehatan. Pasal 25 18
(1) Suami dan/atau isteri mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban
yang
sama
dalam
melaksanakan
keluarga
berencana. (2) Dalam menentukan cara keluarga berencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah wajib menyediakan bantuan pelayanan kontrasepsi bagi suami dan isteri. Pasal 26 (1)
Penggunaan
alat,
obat,
dan
cara
kontrasepsi
yang
menimbulkan risiko terhadap kesehatan dilakukan atas persetujuan suami dan istri setelah mendapatkan informasi dari
tenaga
kesehatan
yang
memiliki
keahlian
dan
kewenangan untuk itu. (2) Tata cara penggunaan alat, obat, dan cara kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut standar
profesi
kesehatan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan perundang-undangan. Pasal 27 Setiap orang dilarang memalsukan dan menyalahgunakan alat, obat, dan cara kontrasepsi di luar tujuan dan prosedur yang ditetapkan. Pasal 28 Penyampaian informasi dan/atau peragaan alat, obat, dan cara
kontrasepsi
hanya
dapat
dilakukan
oleh
tenaga
kesehatan dan tenaga lain yang terlatih serta dilaksanakan di tempat dan dengan cara yang layak. Pasal 29 (1) Pemerintah dan pemerintah daerah mengatur pengadaan dan penyebaran
alat
keseimbangan
dan
antara
obat
kontrasepsi
kebutuhan,
berdasarkan
penyediaan,
dan
pemerataan pelayanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan alat dan obat kontrasepsi bagi penduduk miskin. (3) Penelitian dan pengembangan teknologi alat, obat, dan cara kontrasepsi dan/atau
dapat
dilakukan
masyarakat
oleh
berdasarkan
pemerintah ketentuan
daerah
peraturan
perundang-undangan. 19
Bagian Kedua Kesehatan Seksual Pasal 30 Untuk menjaga Kesehatan seksual dilakukan dengan upaya Pencegahan, Penanggulangan dan Perlindungan IMS (Infeksi Menular Seksual) Pasal 31 Upaya Pencegahan Infeksi Menular Seksual dilakukan dengan : (1)
Upaya pencegahan penularan IMS agar terwujud kesehatan reproduksi dilakukan sejak Pra nikah dan Pasca Nikah.
(2)
Dalam upaya mewujudkan Kesehatan Reproduksi Pra nikah dititik beratkan pada kelompok remaja baik dilingkungan sekolah maupun di luar sekolah.
(3)
Upaya mewujudkan Kesehatan Reproduksi Pasca Nikah dilakukan pada masa hamil, bersalin dan nifas bersama dengan pasangannya. Pasal 32
Upaya Penanggulangan Infeksi Menular Seksual meliputi : (1) Upaya Penanggulangan IMS dalam mewujudkan Kesehatan Reproduksi didasarkan pada : a. Data surveilans penyakit dan perilaku yang konsisten dan berkelanjutan
terhadap
kelompok
rawan
dengan
memperhatikan prinsip-prinsip yang ada ; b. Data dari praktek pelayanan kesehatan pribadi, Rumah Sakit, poliklinik dan fasilitas kesehatan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah maupun swasta. (2) Dalam penanggulangan IMS dalam mewujudkan Kesehatan Reproduksi Dinas Kesehatan mempunyai tugas : a. Melakukan koordinasi surveilan penyakit dan perilaku IMS dengan puskesmas dan puskesmas pembantu serta bidan desa di masing-masing wilayah kerja di Kabupaten Banyuwangi ; b. Mengumpulkan data epidemiologi yang ada ;
20
c. Meningkatkan pelaksanaan penggunaan kondom 100% bagi yang sudah terinfeksi IMS; d. Mengembangkan
sistem
dukungan
perawatan
dan
pengobatan untuk kasus IMS ; 2. Dalam
penanggulangan
Banyuwangi,
Pemerintah
epidemi
IMS
Daerah
di
dan
Kabupaten masyarakat
berkewajiban untuk : a. Melakukan program Komunikasi, Informasi dan Edukasi ( KIE) pencegahan IMS yang benar, jelas dan lengkap melalui media massa, organisasi masyarakat, dunia usaha, lembaga pendidikan dan lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang kesehatan secara periodik ; b. Melakukan pendidikan keterampilan hidup dan perilaku hidup sehat dengan tenaga yang berkompeten untuk menghindari IMS melalui sekolah baik SD / MI , SMP/MTs, SMA/MA dan sederajat, Pondok pesantren serta perguruan tinggi milik Pemerintah maupun swasta ; c. Mendorong dan melaksanakan konseling dan testing IMS secara sukarela ; d. Memberikan layanan kesehatan yang spesifik di pelayanan kesehatan dasar dan rumah sakit termasuk pengobatan sesuai dengan standar; e. Melaksanakan
kewaspadaan
Universal
Precaution
Standard di rumah sakit, poliklinik, dan fasilitas kesehatan milik Pemerintah maupun milik swasta sehingga dapat mencegah penyebaran infeksi IMS; f. Melaksanakan skrining yang standar terhadap IMS dan virus hepatitis atas seluruh darah donor dan jaringan tubuh yang didonorkan kepada orang lain ; g. Melaksanakan
pengawasan
dan
penertiban
terhadap
tempat-tempat yang berpotensi menular IMS bekerjasama dengan Kecamatan dan atau Pemerintah Desa. Pasal 33 Pemerintah Daerah berkewajiban mengembangkan kebijakan untuk melindungi masyarakat dari penularan IMS. 21
Pasal 34 (1) Testing IMS harus dilakukan secara sukarela dan sebelumnya harus melalui konseling yang baik dan disertai informed consent yang tertulis. (2) Seluruh fasilitas kesehatan seperti Rumah Sakit, Klinik dan atau dokter praktek dilarang menolak memberikan akses layanan kesehatan pada pasien yang terinfeksi IMS. (3) Setiap orang yang karena tugas dan pekerjaanya mengetahui atau memiliki informasi tentang status IMS seseorang wajib merahasiakannya, kecuali : a. Jika ada persetujuan / izin yang tertulis dari orang yang bersangkutan ; b. Kepada orang tua / Wali dari anak yang belum cukup umur, cacat atau tidak sadar ; c. Jika ada kepentingan rujukan layanan medis dengan komunikasi atas dokter atau fasilitas dimana orang dengan IMS tersebut dirawat ; d. Untuk kepentingan pro justicia. e. Pengumpulan dan penggunaan data, laporan kasus dan survey kegiatan apa saja untuk kepentingan surveilans dan pengendalian penyakit menular, tidak membuka identitas orang yang terinfeksi IMS. (4) Praktisi medis atau konselor IMS hanya dapat membuka informasi
sebagaimana
tersebut
pada
ayat
(3),
kepada
pasangan seksual dan atau mitra pengguna jarum suntik bersama dari seseorang terinfeksi IMS, bila : a. Orang terinfeksi IMS telah mendapat konseling yang cukup namun tidak kuasa untuk memberitahu pasangan atau partnernya ; b. Praktisi medis atau konselor IMS telah memberitahu pada orang lain yang terinfeksi IMS bahwa untuk kepentingan kesehatan
akan
dilakukan
pemberitahuan
kepada
pasangan seksualnya; c. Ada
indikasi
bahwa
telah
terjadi
transmisi
pada
pasangannya ;
22
d. Untuk kepentingan pemberian dukungan pengobatan dan perawatan pada pasangan seksualnya atau patner suntik. (5) Setiap
orang
boleh
mengetahui
status
IMS
pasangan
seksualnya atas persetujuan kedua belah pihak.
Pasal 35 Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi IMS tidak boleh : (1) Melakukan hubungan seksual beresiko; (2) Menggunakan secara bersama-sama jarum suntik tidak steril, alat medis atau alat lain yang patut diketahui dapat menularkan IMS kepada orang lain ; (3) Mendonorkan darah atau organ / jaringan tubuh dan air susu ibu kepada orang lain ; (4) Melakukan tindakan apa saja yang patut diketahui dapat menularkan atau menyebarkan infeksi IMS kepada orang lain baik dengan bujuk rayu atau kekerasan. Pasal 36 (1) Bagi
kelompok
rawan
diwajibkan
memeriksakan
kesehatannya secara rutin . (2) Bagi kelompok / individu yang berisiko tinggi diharuskan memeriksakan kesehatannya secara rutin. BAB VIII Penurunan Angka Kematian Pasal 37 (1) Pemerintah daerah menetapkan kebijakan penurunan angka kematian untuk mewujudkan penduduk tumbuh seimbang dan berkualitas pada seluruh dimensinya. (2) Kebijakan
penurunan
angka
kematian
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa pemberian prioritas pada: a. penurunan angka kematian ibu waktu hamil; b. ibu melahirkan; c. pasca persalinan; dan d. bayi dan/atau anak.
23
(3) Kebijakan
penurunan
angka
kematian
sebagaimana
dimaksudkan pada ayat (2) diselenggarakan pemerintah daerah, dan masyarakat melalui upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan norma agama. Pasal 38 Kebijakan penurunan angka kematian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dilaksanakan dengan memperhatikan: a. kesamaan hak reproduksi pasangan suami istri; b. keseimbangan akses dan kualitas informasi, pendidikan, konseling, dan pelayanan kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi bagi ibu, bayi dan anak; c. pencegahan dan pengurangan risiko kesakitan dan kematian; dan d. partisipasi aktif keluarga dan masyarakat. Pasal 39 (1) Pemerintah
daerah
melakukan
pengumpulan
data
dan
analisis tentang angka kelahiran, angka kematian dan IMS sebagai
bagian
dari
perkembangan
kependudukan
dan
pembangunan keluarga. (2) Pemerintah daerah wajib melakukan penyusunan pedoman dan pelaporan pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Ketentuan proyeksi
mengenai
tata
kependudukan
cara
pengumpulan
tentang
angka
data
dan
kematian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati
BAB IX KOMISI KESEHATAN REPRODUKSI Pasal 40
24
(1) Untuk mengefektifkan upaya koordinasi kegiatan kesehatan reproduksi maka dibentuk Komisi Kesehatan Reproduksi Kabupaten Banyuwangi. (2) Dalam melaksanakan tugasnya Komisi Kesehatan Reproduksi Kabupaten
Banyuwangi
melakukan
koordinasi
dan
atau
kerjasama secara terpadu dengan instansi pemerintah pusat maupun
instansi
pemerintah
pemerintah
daerah
terkait,
daerah, dunia
antar
usaha,
instansi organisasi
pemerintah, organisasi profesi, perguruan tinggi, pondokpondok pesantren, LSM, badan internasional, dan atau pihakpihak lain yang dipandang perlu, serta melibatkan partisipasi masyarakat. (3) Tugas Komisi kesehatan reproduksi Kabupaten Banyuwangi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: 1. Sebagai pendukung, pengawas dan koordinator program kesehatan reproduksi; 2. Mengidentifikasi
masalah
pelaksanaan
solusi
serta
managemen untuk
mengatasi
program masalah
tersebut; 3. Membahas perencanaan, pelaksanaan dan monitoring serta evaluasi kegiatan kesehatan reproduksi. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Komisi Kesehatan Reproduksi Kabupaten Banyuwangi diatur dalam Peraturan Bupati. BAB X Pemberdayaan Masyarakat Pasal 41 Pemerintah Daerah mendorong terlaksananya pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan potensi sumberdaya serta kemandirian masyarakat dalam pemeliharaan dan peningkatan kualitas hidup serta derajat kesehatan reprduksi masyarakat, meliputi : a. promosi kesehatan reprduksi; b. akses terhadap informasi kesehatan reprduksi; c. akses terhadap sarana prasarana dan fasilitas umum yang menunjang proses pemeliharaan kesehatan reprduksi; 25
d. sistem kewaspadaan dini berbasis masyarakat; e. kesempatan dalam mengemukakan pendapat; f. pengambilan kebijakan; dan g. pemecahan masalah kesehatan Pasal 41 (1) Pemberdayaan
masyarakat
dalam
bidang
kesehatan
harus memperhatikan prinsip-prinsip : a. berbasis masyarakat; b. pendidikan; c. pemecahan masalah kesehatan; d. kesempatan mengemukakan pendapat; e. musyawarah untuk mufakat; f. kemitraan; g. kemandirian; dan h. gotong-royong. (2) Penyelenggaraan
pemberdayaan
masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam tahapan perencanaan, pelaksanaan, pembinaan dan pengawasan, yang dilaksanakan secara berjenjang oleh Pemerintah Daerah. BAB XI PEMBIAYAAN Pasal 42 Pembiayaan pelaksanaan program dan kegiatan
Kesehatan
Reproduksi di Kabupaten Banyuwangi dapat bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Anggaran Pendapatan
Belanja
Daerah
(APBD)
Propinsi
Jawa
Timur,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Sumber dana
lainnya
yang
mengikat berdasarkan ketentuan
sah peraturan
dan
tidak perundang-
undangan. BAB XII KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRASI 26
Pasal 43 Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan, Setiap orang atau badan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), ayat (4), dan ayat (5) atau Pasal 34 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp 5.000.000,- (Lima Juta Rupiah). Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Pelanggaran. Pasal 44 (1) Setiap orang atau badan/atau organisasi atau lembaga berwenang dalam kesehatan reproduksi yang dengan sengaja tidak menyediakan aksesibilitas bagi kesehatan reproduksi padahal
menurut
melakukan
hukum
perbuatan
yang
tersebut
berlaku dapat
baginya dikenai
wajib sanksi
administrasi berupa: a. Teguran lisan; b. Teguran tertulis; c. Pencabutan izin. (2)Tata
cara
dimaksud
pengenaan pada
ayat
sanksi (1)
administrasi
ditetapkan
lebih
sebagaimana lanjut
dalam
Peraturan Bupati. Pasal 45 Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4) dipidana penjara paling lama 1 (satu) bulan dan denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) Pasal 46 Setiap orang dilarang memalsukan dan menyalahgunakan alat, obat, dan cara kontrasepsi di luar tujuan dan prosedur yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sehingga mengakibatkan
kerugian
harta
benda,
luka
berat
atau 27
kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). BAB XIII KETENTUAN PENYIDIKAN Pasal 47 Penyidikan terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud Pasal 43, pasal 45, dan pasal 46 Peraturan Daerah ini, dilaksanakan oleh Penyidik Polisi Republik Indonesia dan atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 47 Peraturan
Daerah
ini
mulai
berlaku
pada
tanggal
diundangkan.
Agar
setiap
orang
pengundangan penempatannya
mengetahuinya,
Peraturan dalam
Daerah
Lembaran
memerintahkan ini
Daerah
dengan Kabupaten
Banyuwangi.
Ditetapkan di Banyuwangi Pada Tanggal
BUPATI BANYUWANGI
Diundangkan di Banyuwangi 28
pada tanggal: SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI, ttd.
PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR
TAHUN 2013
TENTANG PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI I. UMUM Pemahaman kesehatan reproduksi memiliki peran penting dalam membentuk masyarakat suatu bangsa, karena kesehatan reproduksi tidak hanya berkutat pada penekanan kelahiran atau membatasi jumlah penduduk namun lebih dari itu bahwa kesehatan reproduksi merupakan awal langkah penyadaran akan pentingnya pemahaman kesehatan, perencanaan, dan pendidikan yang akan memberikan kontribusi positif yang sangat menentukan bagi kemajuan suatu bangsa, sebagaimana yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 berupa tujuan nasional. Tujuan nasional tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan
kesejahteraan melaksanakan
umum,
mencerdaskan
ketertiban
dunia
kehidupan
yang
bangsa
berdasarkan
dan
ikut
kemerdekaan
perdamaian abadi serta keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan nasional tersebut
diselenggarakanlah
upaya
pembangunan
yang
berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu, termasuk di antaranya pembangunan kesehatan. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29
Oleh karena itu, setiap kegiatan dan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, perlindungan, dan berkelanjutan yang sangat penting artinya bagi pembentukan sumber daya manusia Indonesia, peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa, serta pembangunan nasional. Upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan dikembangkan ke arah keterpaduan upaya kesehatan untuk seluruh masyarakat dengan mengikutsertakan
masyarakat
secara
luas
yang
mencakup
upaya
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bersifat menyeluruh terpadu dan berkesinambungan dalam pembangunan manusia Indonesia Seluruhnya dan seutuhnya. Untuk itu, sudah saatnya kita melihat persoalan kesehatan sebagai suatu faktor utama dan investasi berharga yang pelaksanaannya didasarkan pada sebuah paradigma baru yang biasa dikenal dengan paradigma sehat, yakni paradigma kesehatan yang mengutamakan upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif. Oleh karena itu, perlu dibentuk kebijakan umum kesehatan yang dapat dilaksanakan oleh semua pihak dan sekaligus dapat menjawab tantangan era globalisasi dan dengan semakin kompleksnya permasalahan kesehatan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 Cukup jelas.
Pasal 2 (6) asas perikemanusiaan yang berarti bahwa pembangunan kesehatan harus
dilandasi atas perikemanusiaan yang berdasarkan pada
Ketuhanan Yang Maha Esa dengan tidak membedakan golongan agama dan bangsa. (8) asas keseimbangan berarti bahwa pembangunan kesehatan harus dilaksanakan antara kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan mental, serta antara material dan sipiritual. (9)
asas
manfaat
berarti
bahwa
pembangunan
kesehatan
harus
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanausiaan dan perikehidupan yang sehat bagi setiap warga negara. 30
Pasal 3 Cukup jelas.
Pasal 4 Cukup jelas.
Pasal 5 Cukup jelas.
Pasal 6 Cukup jelas.
Pasal 7 Cukup jelas.
Pasal 8 Cukup jelas
Pasal 9 Cukup jelas
Pasal 10 Cukup jelas
Pasal 11 Cukup jelas.
Pasal 12 Cukup jelas.
Pasal 13 Cukup jelas.
Pasal 14 Cukup jelas
Pasal 15 31
Cukup jelas.
Pasal 16 Cukup jelas.
Pasal 17 (3) Inisisasi Menyusui Dini yang selanjutnya disebut IMD adalah
memberi kesempatan kepada bayi untuk menyusu paling lamabat satu jam setelah kelahiran; Pasal 18 Cukup jelas.
Pasal 19 Cukup jelas
Pasal 20 Cukup jelas.
Pasal 21 Cukup jelas.
Pasal 22 Cukup jelas.
Pasal 23 Cukup jelas.
Pasal 24 Cukup jelas.
Pasal 25 Cukup jelas.
Pasal 26 Cukup jelas.
Pasal 27 Cukup jelas. 32
Pasal 28 Cukup jelas.
Pasal 29 Cukup jelas.
Pasal 30 Cukup jelas.
Pasal 31 Cukup jelas.
Pasal 32 (1) Huruf a. Surveilans adalah kegiatan pengumpulan, pengolahan dan analisa data serta penyebarluasan hasil analisis dengan maksud untuk meningkatkan pelaksanaan penanggulangan penyakit;
Pasal 33 Cukup jelas
Pasal 34 (1)
Testing
IMS
mengetahui
adalah
status
IMS
pemeriksaan seseorang
laboratorium
yang
untuk
dilaksanakan
di
laboratorium milik pemerintah daerah atau swasta; Yang dimaksud dengan Informed Consent atau persetujuan tindakan
medik
adalah
persetujuan
yang
diberikan
oleh
seseorang untuk dilakukan suatu tindakan, pemeriksaan, perawatan dan pengobatan terhadapnya setelah meperoleh penjelasan tentang tujuan dan cara tindakan yang akan dilakukan
Pasal 35 Cukup jelas
33
Pasal 36 Cukup jelas
Pasal 37 Cukup jelas
Pasal 38 Cukup jelas
Pasal 39 Cukup jelas
Pasal 40 Cukup jelas
Pasal 41 Cukup jelas
Pasal 42 Cukup jelas
Pasal 43 Cukup jelas
Pasal 44 Cukup jelas
Pasal 45 Cukup jelas
Pasal 46 Cukup jelas
Pasal 47 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI TAHUN 2013 NOMOR ...........
34