Petita, Volume 2, Nomor 1, April 2017
http://jurnal.ar.raniry.ac.id/index.php/petita/index ISSN-P: 2502-8006 ISSN-E: 2549-8274
PEMENUHAN HAK NAFKAH SEBAGAI SALAH SATU POLATERHADAP PERLINDUNGAN ANAK: ANALISIS PEMIKIRAN A. HAMID SARONG HETI KURNAINI Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Banda Aceh Email:
[email protected] Abstrak: Orang tua merupakan pihak pertama yang bertanggung jawab terhadap perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak. Hak anak pada orang tua dimulai sejak anaknya dilahirkan dan menghirup udara kehidupan. Sejak itu pula timbul tanggung jawab orang tua terhadap anakanaknya. Diantara hak-hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tua adalah hak nafkah. Tentang nafkah keluarga, Hamid Sarong mengatakan bahwa ayah berkewajiban mencukupkan nafkah anak-anaknya apabila mereka memerlukan, demikian pula anak berkewajiban mencukupkan nafkah ibu bapaknya apabila mereka memerlukan. Apabila ayah dalam keadaan fakir atau penghasilannya tidak mencukupi, kewajiban memberi nafkah kepada anak-anaknya itu tetap ada, tidak menjadi gugur, dan apabila ibu anak-anak berkecukupan dapat diperintahkan mencukupkan nafkah anak-anaknya yang menjadi kewajiban ayah mereka itu, tetapi dapat ditagih untuk mengembalikannya. Apabila ibu fakir juga, maka nafkah anak dimintakan kepada kakek (bapak ayah), dan pada saatnya kakek berhak minta ganti nafkah yang diberikan kepada cucunya itu kepada ayah. Apabila ayah tidak ada lagi, maka nafkah itu dibebankan kepada kakek, sebab kakek berkedudukan sebagai pengganti ayah dalam hal ayah tidak ada lagi. Pendapat Hamid Sarong ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku di dalam hukum Islam dan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia. Namun tentang nafkah yang tidak mampu ditunaikan oleh ayah bisa ditagih untuk dikembalikan, perundang-undangan yang di Indonesia belum mengatur sejauh itu. Kata Kunci: Kewajiban Orang Tua, Hak Nafkah, Perlindungan Anak
1.
PENDAHULUAN Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan. Pengertian ini dicantumkan di dalam undang-undang nomor 22 tahun 2003 tentang perlindungan anak. Selanjutnya dikatakan juga bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.1 Anak mempunyai hak yang bersifat asasi, sebagaimana yang dimiliki orang dewasa, hak asasi manusia (HAM). Pemberitaan yang menyangkut hak anak tidak segencar sebagaimana hak-hak orang dewasa (HAM) atau isu gender, yang menyangkut hak perempuan. ____________ 1
Lihat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Perlindungan anak; Pasal 1 ayat (1) dan (2), dan Pasal 3.
79
Petita, Volume 2, Nomor 1, April 2017
http://jurnal.ar.raniry.ac.id/index.php/petita/index ISSN-P: 2502-8006 ISSN-E: 2549-8274
Perlindungan hak anak tidak banyak pihak yang turut memikirkan dan melakukan langkahlangkah kongkrit. Demikian juga upaya untuk melindungi hak-hak anak yang dilanggar yang dilakukan negara, orang dewasa atau bahkan orang tuanya sendiri, tidak begitu menaruh perhatian akan kepentingan masa depan anak. Padahal anak merupakan belahan jiwa, gambaran dan cermin masa depan, aset keluarga, agama, bangsa, dan negara. Di berbagai negara dan berbagai tempat di negeri ini, anak-anak justru mengalami perlakuan yang tidak semestinya, seperti eksploitasi anak, kekerasan terhadap anak, pekerja anak, diterlantarkan, menjadi anak jalanan dan korban perang/konflik bersenjata. Di Indonesia pelanggaran hak-hak anak, baik yang tampak mata maupun tidak tampak mata, menjadi pemandangan yang lazim dan biasa diberitakan di media masa, seperti mempekerjakan anak baik di sektor formal, maupun informal, eksploitasi hak-hak anak. Upaya mendorong prestasi yang terlampau memaksakan kehendak pada anak secara berlebihan, atau untuk mengikuti berbagai kegiatan belajar dengan porsi yang melampaui batas kewajaran agar mencapai prestasi seperti yang diinginkan orang tua. Termasuk juga meminta anak menuruti kehendak pihak tertentu (produser) untuk menjadi penyayi atau bintang cilik, dengan kegiatan dan jadwal yang padat, sehingga anak kehilangan dunia anak-anaknya.2 Orang tua merupakan pihak pertama yang bertanggung jawab terhadap perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak. Hak anak pada orang tua dimulai sejak anaknya dilahirkan dan menghirup udara kehidupan. Sejak itu pula timbul tanggung jawab orang tua terhadap anakanaknya.3 Diantara hak-hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tua adalah hak nafkah. Lalu bagaimana pendapat Hamid Sarong terkait hak nafkah anak tersebut, dan bagaimana kaitannya antara pandangan beliau dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, apakah terdapat persamaan atau perbedaan atau mungkin hal ini belum ada undang-undang yang mengaturnya, akan dijelaskan lebih lanjut dalam pembahasan artikel ini.
2.
TIMBULNYA HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK SEBAGAI AKIBAT ADANYA HUBUNGAN NASAB Di dalam bukunya yang berjudul Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, berbicara
perihal kedudukan nasab anak; A. Hamid Sarong menulis: QS. Al-Ahzab ayat 5 mengajarkan, “Panggillah anak-anak dengan nasab (garis keturunan) ayah-ayah mereka; demikian itulah yang lebih adil menurut Allah...”. Ayat ini berhubungan dengan ayat sebelumnya yang ____________ 2Puspa,
Perlindungan Hukum Hak-Hak Anak, 4 April 2017, diakses pada tahun 2010, dari situs: https://puspa06.wordpress.com/2010/05/20/perlindungan-hukum-hak-hak-anak. 3Raja’ Thaha Muhammad Ahmad, Hifzhul Lisan: Penuntun Akhlak Keluarga, (Semarang: Pustaka Adnan, 2005), hlm. 319-320.
80
Petita, Volume 2, Nomor 1, April 2017
http://jurnal.ar.raniry.ac.id/index.php/petita/index ISSN-P: 2502-8006 ISSN-E: 2549-8274
menentukan bahwa pengangkatan anak dengan jalan adopsi tidak dapat dibenarkan, sebab berakiat keluarny seseorang dari garis keturunan ayah kandungnya dan masuknya kepada nasab orang yang mengangkatnya. Dari ayat 5 surat al-Ahzab diperoleh ketentuan bahwa anak selalu bernasab kepada ayah, tidak kepada ibu. Satu-satunya anak bernasab kepada ayah, tidak kepada ibunya, yang disebutkan dalam al-Qur’an adalah ‘Isa bin Maryam, karena Nabi Isa dilahirkan oleh ibunya yang belum pernah bertemu dengan laki-laki. Dalam hubungan ini QS. Maryam 17-20 menyebutkan bahwa ketika Maryam kedatangan malaikat Jibril yang menjelma sebagai seorang laki-laki, ia menolak kedatangannya sambil memohon perlindungan kepada Allah agar jangan sampai melakukan perbuatan serong; tetapi malaikat Jibri menjawab bahwa ia diutus Allah untuk memberi kabar gembira bahwa Maryam akan dianugerahkan putera yang bersih; mendengan jawaban Malaikat jibril itu Maryam mengatakan: “Bagaimana mungkin ku akan mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh seorang laki-lakipun, demikian pula aku bukan perempuan jalang”. Seruan al-Qur’an kepada umat manusia dengan panggilan “Wahai anak keturunan Adam”, memberi isyarat bahwa menisbahkan keturunan anak adalah kepada ayahnya, bukan kepada ibunya.4 Selanjutnya tentang sahnya keturunan seorang anak, beliau mengatakan jika hukum Islam menentukan bahwa pada dasarnya keturunan anak adalah sah apabila pada permulaan kehamilan antara ibu anak dan laki-laki yang menyebabkan terjadinya kehamilan terjadi dalam hubungan perkawinan yang sah. Untuk mengetahui secara hukum apakah anak dalam kandungan berasal dari suami ibu atau bukan ditentukan masa kehamilannya, masa terpendek enam bulan dan masa terpanjang biasanya adalah satu tahun. Dengan demikian apabila seseorang perempuan melahirkan dalam keadaan perkawinan sah dengan seorang laki-laki, tetapi jarak waktu antara terjadinya perkawinan dengan saat melahirkan kurang dari enam bulan, maka anak yang dilahirkannya bukan anak sah bagi suami ibunya. Demikian juga halnya dengan seorang janda yang ditinggal mati suaminya melahirkan anak setelah lebih dari satu tahun kematian suaminya, maka akan yang dilahirkan bukan anak sah bagi almarhum suami perempuan tersebut. Apabila seorang perempuan diketahui telah hamil sebagai akibat hubungan zina, kemudian dikawinkan dengan laki-laki yang menyebabkan kehamilan dan akhirnya melahirkan kandungannya lebih dari enam bulan dari waktu perkawinan dilakukan, dapatkan anak tersebut dinyatakan sebagai anak sah bagi kedua orang tuanya. Dalam hal ini, karena anak tersebut telah ada dalam kandungan sebelum terjadi perkawinan, maka meskipun ia lahir dalam perkawinan yang sah antara laki-laki yang menyebabkan kehamilan-katakanlah bapaknya- dan ibu yang melahirkannya, kedudukannya hanya menjadi anak sah dari ibunya ____________ 4A.
Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Banda Aceh: PeNa, 2010), hlm. 173-174.
81
Petita, Volume 2, Nomor 1, April 2017
http://jurnal.ar.raniry.ac.id/index.php/petita/index ISSN-P: 2502-8006 ISSN-E: 2549-8274
saja, bukan anak sah dari bapaknya. Antara anak dengan anak-anak dari ibu bapaknya yang lahir kemudian mempunyai hubungan saudara seibu. Ishaq bin Rahawaih berpendapat bahwa anak yang lahir sebelum berlangsungnya perkawinan antara bapak dan ibunya seperti tersebut di atas mungkin menjadi anak-anak sah daripada bapak ibunya apabila diakui oleh bapaknya dengan jalan istilhaq (mengakui sebagai anak). Tentang hal ini, Hamid Sarong mengatakan, sepintas lalu pendapat Ishaq bin Rahawaih itu melindungi kepentingan anak jangan sampai anak tidak mempunyai nasab. Tetapi apabila ditinjau dari segi moral, pendapat Ishaq yang seperti ini akan mudah disalahgunakan untuk melindungan kemerosotan moral; dengan dimungkinkannya pengangkatan anak yang jelas terjadi sebagai akibat hubungan zina itu, orang akan tidak merasa keberatan untuk melakukan hubungan sebelum perkawinan, sebab akhirnya toh anak yang lahir dapat dinyatakan anak sebagai anak sah dari kedua orangtuanya. Oleh karena itu pendapat Ishaq tersebut seyogianya tidak usah dipertahankan, guna melindungi nilai-nilai akhlak mulia dalam kehidupan masyarakat. Selain itu untuk mengatasi agar peristiwa kehamilan di luar nikah tidak banyak terjadi ialah dengan menentukan bahwa perbuatan zina adalah delik yang diancam dengan hukuman.5 Abdulkadir Muhammad mengatakan bahwa hubungan darah adalah pertalian darah antara manusia yang satu dengan manusia yang lain karena berasal dari leluhur yang sama. Hubungan darah ada dua garis, yaitu: (a) hubungan darah menurut garis lurus ke atas dan ke bawah; (b) hubungan darah menurut garis ke samping. Hubungan darah menurut garis lurus ke atas disebut “leluhur”, sedangkan hubungan darah menurut garis lurus ke bawah disebut “keturunan”. Hubungan darah menurut garis lurus ke samping adalah pertalian darah antara manusia bersaudara kandung dan keturunannya.6 Dekat-jauh hubungan darah mempunyai arti penting dalam hal perkawinan, pewarisan, dan perwalian dalam kehidupan keluarga. Hubungan darah sampai batas tertentu menjadi halangan/rintangan pelangsungan perkawinan, misalnya hubungan darah satu tingkat7, dua tingkat8, dan tiga tingkat9. Demikian juga dengan urutan dalam pewarisan. Hubungan darah sampai batas tertentu menentukan urutan prioritas sebagai ahli waris. Misalnya, dalam hal tidak ada hubungan darah satu tingkat (tidak ada anak, tidak ada lagi ____________ 5A.
Hamid Sarong, Hukum Perkawinan..., hlm. 174-175. Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2010), hlm. 70. 7Hubungan darah satu tingkat contohnya hubungan antara anak dan ayah/ibu. Antara keduanya tidak ada yang menghalangi. 8Hubungan darah dua tingkat contohnya hubungan antara anak dan kakek/nenek. Antara keduanya ada satu tingkatan yang membatasi, yaitu ayah. 9Hubungan darah tiga tingkat contohnya hubungan antara ayah/ibu dan cicit. Antara kedaunya ada dua tingkatan yang membatasi, yaitu anak dan cucu. 6Abdulkadir
82
Petita, Volume 2, Nomor 1, April 2017
http://jurnal.ar.raniry.ac.id/index.php/petita/index ISSN-P: 2502-8006 ISSN-E: 2549-8274
orang tua), hubungan dua tingkat berhak mewaris (saudara kandung atau nenek/kakek dari almarhum). Demikian juga dalam hal perwalian. Hubungan darah sampai batas tertentu menentukan urutan perioritas menjadi wali. Misalnya, dalam hal hubungan darah satu tingkat tidak ada karena orang tua anak sudah meninggal semua atau karena kekuasaan orang tua dicabut pengadilan negeri. Dalam hal ini, hubungan darah dua tingkat (saudara kandung, nenek) berhak menjadi wali bagi anak.10 Pendapat Hamid Sarong tentang anak sah berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam kitab Undang-Undang hukum perdata (BW). Di dalam BW, yang dikatakan dengan keturunan yang sah adalah keturunan yang dilahirkan atau dibuahkan di dalam perkawinan. Adapun jika seorang anak dibenihkan di dalam perkawinan tapi lahirnya setelah perkawinan orang tuanya bubar, maka anak itu adalah sah. Begitu pula jika anak itu dibenihka di luar perkawinan, tapi lahir di dalam perkawinan, maka anak itu adalah sah juga. Dengan demikian, maka menurut BW seorang anak yang lahir dengan tidak memenuhi ketentuan tadi, adalah anak tidak sah.11 Keturunan yang sah sebagaimana yang dimaksud di dalam BW terdapat ketentuanketentuan sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 250, Seorang anak yang dilahirkan atau dibenihkan di dalam perkawinan mempunyai si suami sebagai bapaknya. Dengan demikian hubungan anak dan bapak itu adalah hubungan yang sah. Bahwasanya seorang anak itu dilahirkan dari seorang ibu, hal itu mudah saja pembuktiannya. Tetapi bahwa seorang anak itu betul-betul anaknya seorang bapak, itu agak sukar dibuktikan, sebab bisa saja terjadi bahwa orang yang membenihkan anak itu, bukan suami dari ibunya. Maka berhubung dengan itu demi kepastian hukum ditentukan saja apa yang disebut dalam pasal 250 tersebut.12 Sehubungan dengan itu, oleh undang-undang ditetapkan suatu tenggang kandungan yang paling lama, yaitu 300 hari dan suatu tenggang kandungan yang paling pendek, yaitu 180 hari. Seorang anak yang lahir 300 hari setelah perkawinan orang tuanya dihapuskan, adalah anak yang tidak sah.13 Dalam Pasal 251 disebutkan bahwa si suami dapat memungkiri keabsahan seorang anak yang dilahirkan oleh si isteri jika anak itu lahir sebelum 180 hari setelah perkawinan mereka. Sebagai pengecualian disebut bahw pemungkiran itu tidak mungkin di dalam hal-hal: (1) jika si suami sebelum perkawinan mengetahui bahwa si isteri mengandung; (2) jika pada ____________ 10Abdulkadir
Muhammad, Hukum Perdata..., hlm. 71-72. Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian: Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), (Jakarta: PT Bina Aksara, 1986), hlm. 145. 12Ali Afandi, Hukum Waris ..., hlm. 140-141. 13Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1996), hlm. 48. 11Ali
83
Petita, Volume 2, Nomor 1, April 2017
http://jurnal.ar.raniry.ac.id/index.php/petita/index ISSN-P: 2502-8006 ISSN-E: 2549-8274
waktu anak itu dilahirkan dia ikut hadir waktu akta kelahiran dibuat dan ia ikut menanda tangani akta itu; (3) jika anak itu tidak hidup waktu dilahirkan. Selanjutnya ada kemungkinan lagi untuk memungkiri keabsahan anak yaitu yang terdapat dalam pasal 252. Apabila si suami dapat membuktikan bahwa ia sejak 300 sampai 180 hari sebelum lahirnya seorang anak, karena perpisahan atau karena suatu sebab yang kebetulan terjadi, tidak mungkin mengadakan hubungan dengan isterinya, maka keabsahan seorang anak dapat dipungkiri. Dalam hal ini ketidakmampuan seorang laki-laki (impotensi) tidak boleh dipakai sebagai sebab untuk memungkiri keabsahan seorang anak.14 Selanjutnya sang ayah dapat juga menyangkal sahnya anak dengan alasan isterinya terlah berzina dengan lain lelaki, apabila kelahiran anak itu disembunyikan. Di sini sang ayah harus membuktikan bahwa isterinya telah berzina dengan lelaki lain dalam waktu antara 180 dan 300 hari sebelum kelahiran anak itu. Tenggang waktu untuk penyangkalan ialah satu bulan jika sang ayah berada di tempat kelahiran anak, dua bulan setelah ia kembali jikalau ia sedang bepergian waktu anak dilahirkan atau dua bulan setelahnya ia mengetahui tentang kelahiran anak, jika kelahiran itu disembunyikan. Apabila tenggang waktu tersebut telah lewat, sang ayah itu tidak dapat lagi mengajukan penyangkalan terhadap anaknya. Pembuktian keturunan harus dilakukan dengan surat kelahiran yang diberikan oleh Pegawai Pencatat Sipil. Jika tidak mungkin didapatkan surat kelahiran, hakim dapat memakai buktibukti lain asal saja keadaan yang nampak keluar, menunjukkan adanya hubungan seperti antara anak dengan orang tuanya. Oleh hakim yang menerima gugatan penyangkalan itu, harus ditunjuk seorang wali khusus yang akan mewakili anak yang disangkal itu. Ibu si anak yang disangkal itu, yang tentunya paling banyak mengetahui tentang keadaan mengenai anak itu dan juga paling mempunyai kepentingan, haruslah dipanggil di muka hakim.15 Tentang anak di luar kawin dibagi ke dalam dua jenis. Anak yang lahir dari ayah dan ibu antara orang-orang mana tidak terdapat larangan untuk kawin, dan anak yang lahir dari ayah dan ibu yang diarang untuk kawin, karena sebab-sebab yang ditentukan oleh UndangUndang atau jika salah satu dari ayah atau ibu di dalam perkawinan dengan orang lain. Anak yang kedua disebut anak zinah atau anak sumbang16. Anak yang dilahirkan diluar kawin, perlu diakui oleh ayah atau ibunya supaya ada hubungan hukum. Sebab kalau tidak ada pengakuan maka tidak terdapat hubungan hukum. Jadi, meskipun seorang anak itu jelas dilahirkan oleh
____________ 14Ali
Afandi, Hukum Waris ..., hlm. 141. Pokok-Pokok Hukum..., hlm. 49. 16Anak yang lahir karena zinah adalah anak yang dilahirkan seorang perempuan atau dibenihkan seorang lelaki, sedangkan perempuan atau lelaki itu ada perkawinan dengan orang lain, sedang anak yang lahir dalam sumbang adalah anak yang lahir dari seorang ibu, yang dilarang kawin menurut undang-undang dengan orang lelaki yang membenihkan anak itu. 15Subekti,
84
Petita, Volume 2, Nomor 1, April 2017
http://jurnal.ar.raniry.ac.id/index.php/petita/index ISSN-P: 2502-8006 ISSN-E: 2549-8274
seorang ibu, ibu harus mengakui dengan tegas mengakui anak tersebut. Kalau tidak maka tidak ada hubungan hukum antara ibu dan anak.17 Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 menentukan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dari ketentuan UndangUndang ini ada dua kemungkinan sahnya anak, yaitu anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah atau anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang sah. Pada kemungkinan yang kedua tidak menjadi masalah, sebab hukum Islampun menentukan demikian, tetapi pada kemungkinan pertama, hanya dipandang sesuai dengan ketentua hukum Islam apabila diperhatikan syarat bahwa terjadinya anak benar-benar setelah perkawinan dilakukan, dengan memperhitungkan lamanya waktu hamil dan tidak diketahui dengan jelas bahwa anak telah terjadi sebelum perkawinan dilakukan. Namun bila bagian pertama Pasal 42 UndangUndang Nomor 1 tahun 1974 tersebut diartikan secara mutlaq, kapanpun lahirnya anak asal dalam perkawinan yang sah dan tanpa memperhatikan apakah laki-laki yang kemudian menjadi suami ibu anak itu adalah yang menyebabkan kehamilan atau bukan, maka dapat dipastikan bahwa ketentuan Undang-Undang itu tidak sejalan dengan ketentuan hukum Islam.18 Dengan adanya hubungan nasab tersebut antara orang tua dan anak, maka hubungan hak dan kewajiban akan berlaku pula pada keduanya. Salah satu diantara hak dan kewajiban yang dimaksud adalah hak nafkah.
3.
HAK NAFKAH ANAK Nafkah adalah semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan
tempat, seperti makanan, pakaian, rumah dan lain-lain.19 Tentang nafkah, Hamid Sarong mengatakan bahwa hubungan perkawinan menimbulkan kewajiban nafkah atas suami untuk isteri dan anak-anaknya. Ayah berkewajiban mencukupkan nafkah anak-anaknya apabila mereka memerlukan, demikian pula anak berkewajiban mencukupkan nafkah ibu bapaknya apabila merekaa memerlukan, tanpa memperhatikan agama yang dianutnya apakah sama atau berlainan. Kecuali itu diperoleh pula ketentuan bahwa setiap kerabat yang mempunyai hak waris dari kerabat lain berkewajiban memberi nafkah apabila memerlukan. Menurutnya juga, kewajiban ayah memberikan nafkah kepada anak-anaknya memerlukan syarat-syarat sebagai berikut:
____________ 17Ali
Afandi, Hukum Waris ..., hlm. 145-147. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan..., hlm. 176. 19Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, ter. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm. 383. 18A.
85
Petita, Volume 2, Nomor 1, April 2017
http://jurnal.ar.raniry.ac.id/index.php/petita/index ISSN-P: 2502-8006 ISSN-E: 2549-8274
a. Anak-anak membutuhkan nafkah (fakir) dan tidak mampu bekerja. Anak dipandang tidak mampu bekerja apabila masih kanak-kanak atau telah besar tetapi tidak mendapatkan pekerjaan atau perempuan. b. Ayah memiliki kemampuan dalam harta dan mampu untuk memberi nafkah, baik karena memang mempunyai pekerjaan yang menghasilkan atau memiliki kekayaan yang menjadi penompang hidupnya. Atas dasar adanya syarat-syarat tersebut, apabila anak yang fakir telah sampai pada umur mampu bekerja, meskipun belum baligh, dan tidak ada halangan apapun untuk bekerja, maka gugurlah kewajiban ayah untuk memberi nafkah kepada anak. berbeda halnya apabila anak telah mencapai umur dapat bekerja itu terhalang untuk bekerja disebabkan sakit atau kelemahan-kelemahan lain, maka ayah tetap berkewajiban memberikan nafkah untuk anaknya itu. Bagi anak perempuan, kewajiban ayah memberi nafkah kepadanya berlangsung sampai ia kawin, kecuali apabila anak telah mempunyai pekerjaan yang dapat menjadi penompang hidupnya, tetapi tidak dapat dipaksa untuk bekerja mencari nafkah sendiri. Apabila ia telah kawin, maka nafkahnya menjadi kewajiban suami apabila dan apabila suaminya meninggal juga tidak mendapat warisan yang cukup untuk nafkah hidupnya, maka ayahnya berkewajiban lagi memberi nafkah kepadanya seperti pada waktu belum kawin. Apabila ayah dalam keadaan fakir, tetapi mampu bekerja dan memang benar-benar telah bekerja, tetapi penghasilannya tidak mencukupi, kewajiban memberi nafkah kepada anak-anaknya itu tetap ada, tidak menjadi gugur, dan apabila ibu anak-anak berkecukupan dapat diperintahkan mencukupkan nafkah anak-anaknya yang menjadi kewajiban ayah mereka itu, tetapi dapat ditagih untuk mengembalikannya. Misalnya apabila suatu ketika anak sakit dan harus dirawat di rumah sakit yang biayanya tidak dipikul oleh ayah, hingga ibu harus menjual perhiasannya untuk menutup biaya anaknya itu, maka pada suatu saat ibu berhak menagih ayah untuk mengganti biaya yang pernah dibayarkan untuk membiayai anak yang pernah sakit dulu itu. Nampaknya contoh itu agak aneh di mana seorang ibu harus menagih kepada ayah karena harta yang dikeluarkan untuk pengobatan anak. Tetapi apabila diingat demikian besar tanggung jawab terhadap anak-anaknya, dan mungkin pada akhirnya terjadi perceraian antara ibu dan bapak, rasa aneh itu akan hilang. Apabila tiba-tiba ibupun fakir juga, maka nafkah anak dimintakan kepada kakek (bapak ayah), dan pada saatnya kakek berhak minta ganti nafkah yang diberikan kepada cucunya itu kepada ayah. Apabila ayah tidak ada lagi, maka nafkah itu dibebankan kepada kakek, sebab kakek berkedudukan sebagai pengganti ayah dalam hal ayah tidak ada lagi.20 ____________ 20A.
Hamid Sarong, Hukum Perkawinan..., hlm. 178-182.
86
Petita, Volume 2, Nomor 1, April 2017
http://jurnal.ar.raniry.ac.id/index.php/petita/index ISSN-P: 2502-8006 ISSN-E: 2549-8274
Demikianlah pendapat Hamid Sarong tentang kewajiban nafkah terhadap anak. Dengan menunaikan pemberian nafkah yang merupakan hak seorang anak dari ayahnya, menurut hemat penulis maka si ayah telah melakukan salah satu upaya perlindungan terhadap anak-anaknya. Karena yang dinamakan nafkah tidak hanya berupa makanan; tetapi semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempat seperti pakaian, tempat tinggal, pengobatan, biaya pendidikan, nafkah penyusuan, pemeliharaan, dan kebutuhan hidup21, merupakan nafkah yang menjadi kewajiban ayah terhadap anak-anaknya. Pendapat Hamid Sarong tentang kewajiban nafkah dari seorang ayah terhadap anaknya sesuai dengan tuntunan ajaran Islam dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Namun perihal nafkah yang tidak diberikan oleh seorang ayah terhadap anaknya yang kemudian dapat ditagih undang-undang tidak mengatur hal ini. Ada banyak hadits dan ayat al-qur’an yang menerangkan tentang kewajiban seorang suami terhadap keluarganya.22 Misalnya dalam QS. Al-Baqarah ayat 233, Allah swt berfirman yang artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 233) Ayat ini merupakan rangkaian pembicaraan tentang keluarga. Setelah berbicara tentang suami isteri, kini pembicaraan tentang anak yang lahir dari hubungan suami isteri itu. Di sisi lain, ia masih berbicara tentang wanita-wanita yang ditalak, yakni mereka yang memiliki bayi.23 Syahid Sayyid Quthb, di dalam kitab tafsirnya yang berjudul tafsir fi zhilalil-Quran tentang tafsir ayat di atas menerangkan bahwa, ibu yang telah diceraikan itu mempunyai kewajiban terhadap anaknya yang masih menyusu. Itu suatu kewajiban yang ditetapkan oleh Allah dan tidak dibiarkan-Nya meskipun fitrah dan kasih sayangnya mengalami kerusakan oleh pertengkaran urusan rumah tangganya, sehingga merugikan si kecil ini. Karena itu, Allah ____________ 21Lihat
Adnan Hasan Shalih, Tanggung Jawab Ayah Terhadap Anak Laki-Laki, terj. Sihabuddin,(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 42. Lihat juga Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I: Dilengkapi Perbandingan UU Negara Muslim Kontemporer, (Yogyakarta: ACAdeMIA, 2013), hlm. 181. 22Lihat Abdul Hamid Kisyik, Bimbingan Islam Untuk Mencapai Keluarga Sakinah, (Bandung: Mizan Media Utama), hlm. 129-134. 23M. Quraish Shihab, Tafsir AL-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an; Vol. 1, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 503.
87
Petita, Volume 2, Nomor 1, April 2017
http://jurnal.ar.raniry.ac.id/index.php/petita/index ISSN-P: 2502-8006 ISSN-E: 2549-8274
memberikan tugas dan kewajiban di pundak si ibu, karena Allah lebih dekat kepada manusia daripada dirinya sendiri. Lebih baik dan lebih penyayang dari pada kedua orang tuanya. Allah mewajibkan si ibu untuk menyusui si anak selama dua tahun penuh. Karena Dia mengetahui bahwa masa ini merupakan waktu yang paling ideal ditinjau dari segi kesehatan maupun jiwa anak, “yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan”. Pembahasan-pembahasan tentang kesehatan dan jiwa sekarang telah menetapkan bahwa masa dua tahun itu merupakan kebutuhan yang vital bagi pertumbuhan anak, baik mengenai kesehatan maupun mentalnya. Akan tetapi nikmat Allah kepada kaum muslimin ini tidak menunggu hasil penelitian para ahli. Maka potensi insani yang tersimpan pada diri anak itu tidak boleh dibiarkan digerogoti oleh kejahilan dalam masa yang sekian lama. Allah Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya. Lebih-lebih kepada si kecil yang lemah dan membutuhkan kasih sayang serta pemeliharaan. Kemudian sebagai timbal balik dari melaksanakan kewajiban yang ditetapkan Allah terhadap si ibu kepada anaknya itu, maka si ayah
(meskipun telah menceraikannya)
berkewajiban memberi nafkah dan pakaian kepada si ibu secara patut dan baik. Jadi, keduaduanya mempunyai beban dan tanggung jawab terhadap si kecil yang masih menyusui ini. Si ibu merawatnya dengan menyusui dan memeliharanya, dan si ayah harus memberikan makanan dan pakaian kepada si ibu itu supaya dia dapat memelihara anaknya.24 Alasan mengapa menjadi kewajiban ayah adalah karena anak itu membawa nama ayah, seakan-akan anak itu lahir untuknya. Karena nama ayah akan disandang oleh sang anak, yakni dinisbahkan kepada ayahnya. Kewajiban memberi makan dan pakaian itu hendaknya dilaksanakan dengan cara yang ma’ruf, yaitu yang dijelaskan maknanya dalam penggalan ayat selanjutnya, “seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya”, maksudnya jangan sampai ayah mengurangi hak yang wajar bagi seorang ibu dalam pemberian nafkah dan penyediaan pakaian, karena mengandalkan kasih sayang ibu kepada anaknya. “dan seorang ayah karena anaknya”, maksudnya adalah jangan sampai si ibu menuntut sesuatu di atas kemampuan sang ayah, dengan dalih kebutuhan anak yang disusukannya.25 Apabila si ayah meninggal dunia, kewajiban-kewajibannya pindah kepada ahli warisnya, “warispun berkewajiban demikian”. Ahli waris dibebani tugas untuk memberi sandang pangan kepada si ibu yang menyusui itu secara ma’ruf dan baik, sebagai realisasi solidaritas keluarga yang diantaranya terwujud dalam bentuk pewarisan. Dan pada sisi lain dalam bentuk menaggung beban orang yang diwarisi hartanya. Dengan demikian, tidak ____________ 24Syahid Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil-Qur’an, terj. As’ad Yasin dkk, ( Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hlm. 301-302. 25M. Quraish Shihab, Tafsir AL-Misbah..., hlm. 505.
88
Petita, Volume 2, Nomor 1, April 2017
http://jurnal.ar.raniry.ac.id/index.php/petita/index ISSN-P: 2502-8006 ISSN-E: 2549-8274
terabaikanlah si anak karena kematian ayahnya. Maka haknya dan hak ibunya dalam semua keadaannya tetap terjamin.26 Adapun hadits yang berbicara tentang kewajiban nafkah keluarga misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang artinya: “Aisyah ra. Menceritakan, bahwa pada suatu kali datanglah Hindun binti ‘Utbah, yaitu isteri Abu Sofyan menemui Rasulullah saw seraya berkata, “Wahai Rasulullah! Abu Sofyan itu adalah laki-laki yang kikir, sehingga tidak diberinya saya nafkah yang memadai untukku, kecuali hanya dengan mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah saya berdosa dengan begitu?” Jawab beliau, “Ambillah sebagian hartanya itu dengan niat baik secukupnya, yaitu untukmu dan anak-anakmu itu!” (HR. Muttafaq ‘Alaih).27 Imam Al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Suami wajib menafkahi kedua orang tua dan anak-anak berdasarkan ucapan Nabi saw kepada Hindun sebagaimana yang tercantum di dalam hadits di atas. Hadits tersebut menjelaskan tentang kewajiban menafkahi anak. Beliau juga berkata, “orang yang mampu wajib menafkahi kedua orang tua dan anak-anak yang tidak mampu, dan ia tidak wajib menafkahi orang yang mampu diantara mereka, atau orang yang kuat dan mampu menghasilkan nafkahnya. Ini adalah madzhab Syafi’i.28 Selain dalam nash al-Qur’an dan Hadits, ketentuan tentang kewajiban nafkah orang tua juga diterangkan dalam hukum positif yang ada di Indonesia, seperti dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Tentang kewajiban tersebut, diterangkan dalam pasal-pasal berikut ini: a) UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 41 Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, sematamata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya; b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut; Pasal 45 (1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
____________ 26Syahid
Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil-Qur’an, hlm. 302. Masyur, Bulughul Maram (Terjemahan), (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 140. 28Syaikh Al-Usrah Al-Muslimah, Panduan Keluarga Muslim, ter. Misbah, ( Jakarta; Cendekia Sentra Muslim, 2005), hlm. 431. 27Kahar
89
Petita, Volume 2, Nomor 1, April 2017
http://jurnal.ar.raniry.ac.id/index.php/petita/index ISSN-P: 2502-8006 ISSN-E: 2549-8274
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Pasal 49 (1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal: a. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; b. la berkelakuan buruk sekali. (2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.
b) Kompilasi Hukum Islam
(1) (2) (3)
(4) (5)
(1) (2) (3) (4)
(5)
Pasal 77 Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satui kepada yang lain; Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya; suami isteri wajib memelihara kehormatannya; jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama Pasal 80 Suami adalah pembimbing, terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh sumai isteri bersama. Suami wajib melidungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. sesuai dengan penghasislannya suami menanggung : a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri; b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak; c. biaya pendididkan bagi anak. Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya. Pasal 104
90
Petita, Volume 2, Nomor 1, April 2017
http://jurnal.ar.raniry.ac.id/index.php/petita/index ISSN-P: 2502-8006 ISSN-E: 2549-8274
(1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggungkawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahya telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya.
Pasal 105 Dalam hal terjadinya perceraian : a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya; c. biaya pemeliharaanditanggung olehayahnya. Pasal 149 Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a. memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul; b. memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telahdi jatuhi talak ba1in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil; c. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul; d. memeberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun c) UU Perlindungan anak Pasal 26 (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; b. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. (2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
91
Petita, Volume 2, Nomor 1, April 2017
http://jurnal.ar.raniry.ac.id/index.php/petita/index ISSN-P: 2502-8006 ISSN-E: 2549-8274
Pasal 30 (1) Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut. Pasal 45 (1) Orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan anak dan merawat anak sejak dalam kandungan. (2) Dalam hal orang tua dan keluarga yang tidak mampu melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pemerintah wajib memenuhinya. (3) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4.
PENUTUP Adanya hubungan nasab antara orang tua dan anak akan berakibat timbulnya hak dan
kewajiban antar orang tua dan anak. Hamid Sarong di dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,
tentang nafkah keluarga mengatakan bahwa hubungan perkawinan
menimbulkan kewajiban nafkah atas suami isteri dan anak-anaknya. Ayah berkewajiban mencukupkan nafkah anak-anaknya apabila mereka memerlukan, demikian pula anak berkewajiban mencukupkan nafkah ibu bapaknya apabila mereka memerlukan, tanpa memperhatikan agama yang dianutnya apakah sama atau berlainan. Apabila ayah dalam keadaan fakir atau penghasilannya tidak mencukupi, kewajiban memberi nafkah kepada anakanaknya itu tetap ada, tidak menjadi gugur, dan apabila ibu anak-anak berkecukupan dapat diperintahkan mencukupkan nafkah anak-anaknya yang menjadi kewajiban ayah mereka itu, tetapi dapat ditagih untuk mengembalikannya. Apabila ibu fakir juga, maka nafkah anak dimintakan kepada kakek (bapak ayah), dan pada saatnya kakek berhak minta ganti nafkah yang diberikan kepada cucunya itu kepada ayah. Apabila ayah tidak ada lagi, maka nafkah itu dibebankan kepada kakek, sebab kakek berkedudukan sebagai pengganti ayah dalam hal ayah tidak ada lagi. Pendapat beliau tentang kewajiban nafkah tersebut sesuai dengan ketentuan hukum Islam dan juga peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun tentang bahwa nafkah yang tidak dibayarkan oleh si ayah bisa ditagih untuk dikembalikan, Perundang-undangan yang ada di Indonesia belum mengatur sejauh itu. Dengan menunaikan kewajiban dalam hal memberikan nafkah kepada anak yang menjadi haknya, maka orang tua sebagai pihak pertama yang bertanggung jawab, telah melakukan upaya dalam hal memberikan perlindungan terhadap jiwa si anak. Karena nafkah tidak hanya berupa makanan; tetapi semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut 92
Petita, Volume 2, Nomor 1, April 2017
http://jurnal.ar.raniry.ac.id/index.php/petita/index ISSN-P: 2502-8006 ISSN-E: 2549-8274
keadaan dan tempat seperti pakaian, tempat tinggal, pengobatan, biaya pendidikan, pemeliharaan, kebutuhan hidup, kasih sayang, dan lain-lainnya yang bersifat memberikan perlindungan dan pemeliharaan atas jiwa dan masa depan anak.
93
Petita, Volume 2, Nomor 1, April 2017
http://jurnal.ar.raniry.ac.id/index.php/petita/index ISSN-P: 2502-8006 ISSN-E: 2549-8274
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hamid Kisyik, BimbinganIslam Untuk Mencapai Keluarga Sakinah, Bandung: Mizan Media Utama, 2005 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2010 Adnan Hasan Shalih, Tanggung Jawab Ayah Terhadap Anak Laki-Laki, terj. Sihabuddin,Jakarta: Gema Insani Press, 1996 Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian: Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Jakarta: PT Bina Aksara, 1986 Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Banda Aceh: PeNa, 2010 Kahar Masyur, Bulughul Maram (Terjemahan), Jakarta: Rineka Cipta, 1991 Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I: Dilengkapi Perbandingan UU Negara Muslim Kontemporer, Yogyakarta: ACAdeMIA, 2013 Muhammad Siddiq Armia, Studi Epistemologi Perundang-Undangan, Banda Aceh: Teratai Publisher, 2011. Muhammad Siddiq Armia, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 2009. M. Quraish Shihab, Tafsir AL-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an; Vol. 1, Jakarta: Lentera Hati, 2002 Raja’ Thaha Muhammad Ahmad, Hifzhul Lisan: Penuntun Akhlak Keluarga, Semarang: Pustaka Adnan, 2005 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 1996 Syahid Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil-Qur’an, terj. As’ad Yasin dkk, Jakarta: Gema Insani Press, 2000 Syaikh Al-Usrah Al-Muslimah, Panduan Keluarga Muslim, ter. Misbah, Jakarta; Cendekia Sentra Muslim, 2005 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, ter. Abdul Ghoffar, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005 Puspa, Perlindungan Hukum Hak-Hak Anak, 4 April 2017, diakses pada tahun 2010, dari situs: https://puspa06.wordpress.com/2010/05/20/perlindungan-hukum-hak-hak-anak. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Perlindungan anak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompiasi Hukum Islam
94