Pola Pembinaan NAPI Anak sebagai Salah Satu Upaya Pemenuhan Kebutuhan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Anak Gasti Ratnawati
PENDAHULUAN Dalam rangka mewujudkan SDM yang berkualitas, anak sebagai generasi penerus harus dapat tumbuh dan berkembang dalam suasana yang menyediakan sarana dan prasarana yang dapat menopang kelangsungan hidup. Sehingga kelangsungan hidup, perkembangan fisik dan mental, serta perlindungan dari berbagai gangguan atau marabahaya yang dapat mengancam masa depan dapat tersedia sebagaimana mestinya. Lebih lanjut Arif Gosita mengungkapkan bahwa diperlukan perhatian dan sekaligus pemikiran bahwa anak-anak adalah tunas harapan bangsa yang akan melanjutkan eksistensi nusa dan bangsa untuk selama-lamanya.1 Di Indonesia sedang berlangsung perubahan tata nilai sosiokultural masyarakat. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap pola perilaku masyarakat dan juga pada proses perkembangan anak. Diperlukan sebuah kecermatan dan perhatian yang ekstra terhadap posisi dan eksistensi anak agar perkembangan anak tetap dalam koridor yang diharapkan dan dapat dihindarkan dari pengaruh negatif pertumbuhan, perkembangan dan perubahan yang terjadi saat ini. Fenomena yang terjadi memperlihatkan bahwa perilaku anak menjurus kepada tindak pidana kejahatan, seperti pemerkosaan, pencabulan, pencurian, perkelahian antar pelajar dan lain-lain sudah mulai menjamur. Hal ini dapat menyebabkan anak tersebut diharuskan berhadapan dengan proses hukum yang disamakan dengan orang dewasa. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai faktor. Beberapa faktor tersebut antara lain dampak negatif perkembangan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan perubahan cara hidup 1
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Presindo, Jakarta, 1989, halaman 2.
sebagian orang tua yang pada akhirnya membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Anak yang kurang memperoleh kasih sayang, bimbingan, pembinaan, dan pengawasan orang tua dapat terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungan yang kurang sehat dan dapat merugikan perkembangan pribadi. Peningkatan kenakalan atau kejahatan anak bukanlah gangguan keamanan dan ketertiban semata, tetapi merupakan bahaya yang mengancam masa depan masyarakat suatu bangsa. Penanganan dan penyelesaian dapat dilakukan dengan memperhatikan kondisi yang harus diterima oleh anak. Bagi Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran mengenai fungsi pemidanaan bukan hanya pemenjaraan tetapi juga suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi warga binaan pemasyarakatan. Usaha ini dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan juga masyarakat agar dapat meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan. Tujuan akhir dari usaha ini adalah agar warga binaan menyadari kesalahan, dapat memperbaiki diri, dan juga tidak mengulangi melakukan tindakan-tindakan pidana di masa yang akan datang. “Dalam hal ini, Bahrudin Soerjobroto mengemukakan bahwa pemasyarakatan dinyatakan sebagai usaha untuk mencapai kesatuan hidup, kehidupan, dan penghidupan yang terjalin antara individu pelanggar hukum dengan pribadinya sebagai manusia, antara pelanggar dengan sesama manusia, antara pelanggar dengan masyarakat serta alamnya, kesemuanya dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa”.2 Banyak lembaga peradilan yang memilih alternatif pengenaan sanksi pidana sebagai upaya penanganan dan penyelesaian anak yang melakukan tindak pidana setelah melalui proses peradilan. Dengan adanya UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak diharapkan dapat memberi jaminan yang lebih baik dalam pengambilan keputusan yang lebih adil, arif, dan bijak bagi anak pelaku tindak pidana. Dalam undang-undang tersebut
2
Bahrudin Soerjobroto, Ilmu Pemasyarakatan (Pandangan Singkat), AKIP, Jakarta, 1986, halaman 8.
anak pelaku tindak pidana (NAPI anak) sebaiknya diberi perlakuan khusus dengan menempatkan pada Lapas yang terpisah dari NAPI dewasa.
mudah untuk diimplementasikan pada semua NAPI anak. Muladi dan Barda Nawawi mengemukakan.
Berdasarkan Pasal 14 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, tertuang hak-hak yang dimiliki oleh NAPI seperti hak beribadah, hak perawatan jasmani dan rohani, pelayanan kesehatan, pendidikan dan pengajaran serta hak lain yang seharusnya dilindungi dan dijamin. Dengan kata lain orang yang menjalani masa pidana, hak-hak kewarganegaraan dan kemanusiannya tidak akan hilang. Sistem Pemasyarakatan berfungsi untuk menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat berinteraksi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Lebih lanjut Soejono Dirdjosisworo menyimpulkan sebagai berikut.
“Perlindungan hukum bagi anak dalam proses peradilan tidak dapat di lepaskan dari apa yang sebenarnya tujuan atau dasar pemikiran dari peradilan anak (juvenile justice) itu sendiri bertolak dari dasar pemikiran baru yang dapat ditentukan apa dan bagaimana hakikat wujud dari perlindungan hukum yang sifatnya diberikan kepada anak. Tujuan dan dasar pemikiran dari peradilan anak tidak dapat di lepaskan dari tujuan utama untuk mewujudkan kesejahteraan anak yang pada dasarnya merupakan bagian integral dari kesejahteraan sosial. Bahwasanya kesejahteraan atau kepentingan anak berada di bawah kepentingan masyarakat, tetapi justru harus dilihat bahwa mendahulukan atau mengutamakan kesejahteraan dan kepentingan anak itu pada hakikatnya merupakan bagian dari usaha mewujudkan kesejahteraan sosial”.4
“Yang dimaksud dengan pembinaan NAPI adalah segala daya upaya perbaikan terhadap tuna warga atau narapidana dengan maksud secara langsung dan minimal menghindarkan pengulangan tingkah laku yang menyebabkan keputusan hakim tersebut. Lapas mempunyai tugas pemasyarakatan dan berfungsi dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana atau anak didik, memberikan bimbingan, mempersiapkan sarana dan mengelola hasil kerja, melakukan pemeliharaan keamanan dan tata tertib, serta melakukan urusan tata usaha rumah tangga Lapas. Sistem Pemasyarakatan identik dengan reintegrasi sosial, terpidana tidak hanya menjadi obyek tetapi juga menjadi subyek dalam pembinaan”.3
Lapas bukan tempat untuk menghukum anak, tetapi tempat mendidik anak. Bukan pula berfungsi sebagai tempat pembinaan anak karena melangar hukum. Bentuk pembinaan NAPI anak sama dengan anak lain yang berada ditengah masyarakat dalam rangka memelihara masa depan. Hal tersebut bukan hal yang
Sistem peradilan anak sangat berbeda dengan sistem peradilan orang dewasa. Letak perbedaan adalah dimulai perlakuaan khusus dari pihak kepolisisan, kejaksaan, pengadilan sampai dengan Lapas sebagai institusi yang melaksanakan pembinaan hukum terhadap NAPI anak. Sehingga dalam pembinaan NAPI anak diperlukan penangganan khusus yang sebaiknya dilakukan oleh petugas yang terdidik atau memahami tentang anak nakal dan anak terlantar. Hal tersebut adalah salah satu hal yang sampai sekarang belum dapat direalisasikan secara baik oleh instansi terkait. Permasalahan kejahatan yang dilakukan oleh anak mengundang perhatian tersendiri dari berbagai kalangan dan instansi pemerintah. Sepanjang tahun 2000, tercatat dalam statistik kriminal kepolisian terdapat lebih dari 11,344 anak yang disangka sebagai pelaku tindak pidana. Pada bulan Januari hingga Mei 2002, ditemukan 4,325 tahanan anak di Rutan dan Lapas yang berada di Indonesia. Tetapi sebagian besar atau sebanyak 84.2% anak-anak tersebut berada di dalam lembaga penahanan dan pemenjaraan untuk orang-orang dewasa dan pemuda. Jumlah anak-anak yang ditahan, tidak termasuk anak-anak yang ditahan dalam kantor polisi. Pada rentang waktu yang sama, yaitu Januari hingga Mei 2002, tercatat 9,465
3
Soejono D. Sosio Kriminologi, Ilmu-ilmu Sosial dalam Studi Kejahatan, Sinar Baru, Bandung, 1985, halaman 235.
4
Barda Nawawi dan Muladi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992, halaman 11.
anak-anak yang berstatus sebagai Anak Didik (Anak Sipil, Anak Negara dan Anak Pidana) tersebar di seluruh Rutan dan Lapas. Namun sebesar 53.3%, Anak Didik berada di Rutan dan Lapas untuk orang dewasa dan pemuda. Atas dasar hal tersebut, penulis tertarik melakukan kajian mengenai pola pembinaan anak pelaku tindak pidana dalam sistem pemasyarakatan Indonesia, dengan mengkaji implementasi dari kebijakan legislatif yang telah diundangkan. Sehingga diperoleh gambaran dan bentuk yang jelas pelaksanaan pembinaan anak pelaku tindak pidana yang telah diputuskan melalui proses pengadilan. Pola pembinaan dalam sistem pemasyarakatan sebaiknya dapat memberi gambaran tentang penanganan anak pelaku tindak pidana, sehingga anak itu dapat menyadari perbuatan, untuk kemudian tidak akan diulangi dan justru sebagai batu pijakan, pelajaran berharga dalam proses memperbaiki diri. Setelah selesai menjalani pembinaan (bebas) dapat diterima oleh masyarakat dan dapat ikut aktif berperan dalam pembangunan, dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Agar masalah yang akan diteliti oleh penulis mempunyai penafsiran yang jelas, maka perlu dirumuskan secara sistimatis kedalam suatu rumusan masalah, dengan dapat dipecahkan secara sistimatis dan dapat memberikan gambaran yang jelas. Berdasarkan uraian dalam identifikasi dan pembatasan masalah di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. (1)Bagaimana bentuk pemenuhan kebutuhan pendidikan NAPI anak yang berada di dalam Lapas Anak? (2)Bagaimana pola pembinaan yang paling tepat untuk diberikan kepada NAPI anak di dalam Lapas Anak? Berdasarkan latar belakang yang telah dirumuskan diatas, tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut.(1)Untuk memaparkan mengenai bentuk-bentuk pemenuhan kebutuhan pendidikan NAPI anak yang berada di dalam Lapas Anak. (2)Untuk memaparkan mengenai konsep atau pola pembinaan yang paling tepat untuk diberikan kepada NAPI anak di dalam Lapas Anak.
PEMBAHASAN Pengertian dan Batasan Anak Usia merupakan salah satu tolok ukur dalam kajian hukum untuk menentukan kualifikasi pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukan.
Salah satu penekanan adalah pada batasan usia dalam menentukan pengertian anak. Terdapat banyak definisi yang menjabarkan atau memberikan batasan mengenai anak. Masing-masing definisi memberi batasan yang berbeda-beda disesuaikan dengan sudut pandangnya masing-masing. Secara psikologis pertumbuhan manusia mengalami tahapan-tahapan perkembangan kejiwaan, yang ditandai dengan ciri-ciri tertentu. Untuk menentukan kriteria seorang anak di samping ditentukan atas dasar batas usia, juga dapat dilihat dari pertumbuhan dan perkembangan jiwa yang dialaminya. Anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. “….. Tahap-tahap perkembangan yang dialami oleh anak dapat diuraikan sebagai berikut. 1. Masa kanak-kanak, terbagi sebagai berikut. a. Masa bayi, yaitu masa seorang anak dilahirkan sampai umur 2 tahun. Pada masa ini seorang anak masih lemah belum mampu menolong dirinya sehingga sangat tergantung kepada pemeliharaan ibu.. Pada umur ini terhadap anak terjadi beberapa peristiwa penting yang mempunyai pengaruh kejiwaanya, seperti disapih, tumbuh gigi, mulai berjalan dan berbicara. b. Masa kanak-kanak pertama, yaitu umur antara 2—5 tahun. Pada masa ini anak-anak sangat gesit bermain dan mencoba. Mulai berhubungan dengan orang-orang dalam lingkungannya serta mulai terbentuknya pemikiran tentang dirinya. Pada umur ini anak-anak sangat suka meniru dan emosinya sangat tajam. Oleh karena itu diperlukan suasana yang tenang dan memperlakukannya dengan kasih sayang serta stabil. c. Masa kanak-kanak terakhir, yaitu antara umur 5—12 tahun. Pada fase ini anak berpindah dari tahap mencari kepada tahap memantapkan. Pada tahap ini terjadi pertumbuhan kecerdasan yang cepat, suka bekerja, lebih suka bermain bersama serta berkumpul tanpa aturan. Pada tahap ini disebut juga masa anak sekolah dasar atau periode intelektual. 2. Masa Remaja antara usia 13—20 tahun. Masa remaja adalah masa perubahan secara cepat dalam segala bidang, pada tubuh dari luar dan dalam, perubahan perasaan, kecerdasan, sikap sosial dan kepribadian. Masa ini disebut juga sebagai masa persiapan untuk menempuh masa dewasa. Bagi seorang anak, masa ini merupakan masa goncang karena banyaknya perubahan yang terjadi dan tidak
stabilnya emosi yang dapat menyebabkan timbulnya sikap dan tindakan yang oleh orang dewasa dinilai sebagai perbuatan nakal. 3. Masa dewasa muda, antara umur 21—25 tahun. Pada masa dewasa muda ini pada umumnya masih dapat dikelompokan kepada generasi muda. Walaupun dari segi perkembangan jasmani dan kecerdasan telah betut-betul dewasa, dari kondisi ini anak sudah stabil, namun dari segi kemantapan agama dan ideologi masih dalam proses pemantapannya.”5
d. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Menurut pasal 1 angka 8, mengklasifikasikan anak ke dalam pengertian sebagai berikut. 1. Anak pidana yaitu anak berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lapas anak paling lama sampai berumur 18 tahun. 2. Anak negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 tahun. 3. Anak sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau wali memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak paling lama sampai berumur 8 tahun. e. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak. Menurut Pasal 1 ayat 1 mendefiniskan Anak nakal adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun, tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin. Ter Haar mengungkapkan saat seseorang menjadi dewasa ialah saat ia (lelaki atau perempuan) sebagai orang yang sudah kawin, meninggalkan rumah ibu bapaknya atau ibu bapak mertuanya untuk berumah lain sebagai laki-bini muda yang merupakan keluarga berdiri sendiri.6 Selanjutnya Soedjono, menyatakan bahwa menurut hukum adat, anak di bawah umur adalah mereka yang belum menentukan tanda-tanda fisik yang konkrit bahwa ia telah dewasa.7 Dari pendapat Ter Haar dan Soedjono, menurut hukum adat Indonesia tidak terdapat batasan umur yang pasti sampai umur berapa seseorang masih dianggap sebagai anak atau sampai umur berapakah seseorang dianggap belum dewasa. Ukuran kedewasaan yang diakui oleh masyarakat adat adalah dapat bekerja sendiri (mandiri), cakap melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat, dan bertanggung jawab, serta dapat mengurus harta kekayaan sendiri. Dari pernyataan diatas, yang dapat dikategorikan sebagai anak, bukan hanya dilihat dari batasan usia yang dimiliki seseorang. Yang dapat dijadikan
Adanya fase-fase perkembangan yang dialami dalam kehidupan seorang anak, memberikan pemahaman dalam pandangan psikologis untuk menentukan batasan terhadap seorang anak. Dalam fase tersebut, ada bermacam-macam kriteria, baik didasarkan pada segi usia maupun dari perkembangan pertumbuhan jiwa. Atas dasar hal tersebut seseorang dikualifikasikan sebagai anak-anak apabila berada pada masa bayi hingga masa remaja awal antara 16—17 tahun. Sedangkan melewati masa tersebut seseorang sudah termasuk kategori dewasa yang ditandai dengan adanya kestabilan dan tidak mudah dipengaruhi oleh pendirian orang lain serta propaganda seperti pada masa remaja awal. Menelusuri siapa sesungguhnya yang dimaksud dengan anak, sebenarnya banyak definisi yang diberikan dengan berbagai variasi penekanan sesuai dengan perspektif sang pembuat definisi yang berbeda-beda, sebagai berikut. a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Menurut pasal 1 angka 1, menyatakan bahwa “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. b. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1976 tentang Kesejahteraan Anak. Menurut pasal 1 butir 2, menyatakan bahwa “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin”. c. Convention On The Rights Of The Child (Konvensi Hak Anak). Menurut pasal 1, menyatakan bahwa “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan UU yang berlaku bagi anak-anak kedewasaan dicapai lebih awal”. 6
5
Zakiah Daradjat, Faktor-Faktor yang Merupakan Masalah dalam Proses Pembinaan Generasi Muda, Bina Cipta, Bandung, 1985, halaman 38—39.
Safiyudin Sastrawijaya, Beberapa Masalah Tentang Kenakalan Remaja, PT. Karya Nusantara, Bandung, 1977, halaman 18. 7 Soedjono Dirjosisworo, Hukuman Dalam Berkembangnya Hukum Pidana, Tarsito, Bandung, 1983, halaman 230.
patokan dari mampu tidaknya hidup mandiri menurut pandangan sosial kemasyarakatan. “Dalam pandangan hukum Islam, untuk membedakan antara anak dan dewasa tidak didasarkan pada kriteria usia. Bahkan tidak dikenal adanya perbedaan anak dan dewasa sebagaimana diakui dalam pengertian hukum adat. Dalam ketentuan hukum Islam hanya mengenal perbedaan antara masa anak-anak dan masa baligh. Seseorang dikategorikan sudah baligh ditandai dengan adanya tanda-tanda perubahan badaniah, baik terhadap seorang pria maupun wanita. Seorang pria dikatakan sudah baligh apabila ia sudah mengalami mimpi yang dialami oleh orang dewasa. Sedangkan bagi seorang wanita dikatakan sudah baligh apabila ia telah mengalami haid atau mensturasi. Dalam pandangan hukum Islam seseorang yang dikategorikan memasuki usia baligh merupakan ukuran yang digunakan untuk menentukan umur awal kewajiban melaksanakan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain terhadap mereka yang telah baligh dan berakal, berlakulah seluruh ketentuan hukum Islam.”8
Pengertian anak secara umum adalah seseorang yang masih di bawah umur tertentu, belum dewasa, dan belum pernah kawin. Batas umur kedewasaan seseorang yang ada di dalam beberapa peraturan-peraturan di Indonesia terdapat bermacam-macam batasan. Perbedaan tersebut dari sudut mana dilihat dan ditafsirkan, apakah dari sudut pandang perkawinan, dari sudut pandang kesejahteraan anak, dan dari berbagai sudut pandang lainnya. Hal ini tentu ada pertimbangan psikologis, yang menyangkut kematangan jiwa seseorang. Batas umur minimum berhubungan erat dengan soal, pada umur berapakah pembuat atau pelaku tindak pidana dapat dihadapkan ke pengadilan dan dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan. Sedangkan batas umur maksimum dalam hukum pidana adalah untuk menetapkan siapa saja yang sampai batas umur ini diberikan kedudukan anak, sehingga harus diberi perlakuan hukum secara khusus.
Tindak Pidana Anak Kriminalitas atau tindak kriminal segala sesuatu yang melanggar hukum atau sebuah tindak kejahatan. Pelaku kriminalitas disebut seorang kriminal. Biasanya yang dianggap kriminal adalah seorang pencuri, pembunuh, perampok, atau teroris. Walaupun begitu kategori terakhir (teroris) agak berbeda dari kriminal karena melakukan tindak kejahatannya berdasarkan motif politik atau paham. Dalam mendefinisikan kejahatan, ada beberapa pandangan mengenai perbuatan apakah yang dapat dikatakan sebagai kejahatan. Definisi kejahatan dalam pengertian yuridis tidak sama dengan pengertian kejahatan dalam kriminologi yang dipandang secara sosiologis. Secara yuridis, kejahatan dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan yang melanggar undang-undang atau ketentuan yang berlaku dan diakui secara legal. Secara kriminologi yang berbasis sosiologis kejahatan merupakan suatu pola tingkah laku yang merugikan masyarakat (dengan kata lain terdapat korban) dan suatu pola tingkah laku yang mendapatkan reaksi sosial dari masyarakat. Reaksi sosial tersebut dapat berupa reaksi formal, reaksi informal, dan reaksi non-formal. “….. Noach merumuskan kriminologi sebagai ilmu pengetahuan dari bentuk-bentuknya gejala, penyebab, dan akibat dari perbuatan jahat dan perilaku tercela. Objek dari kriminologi adalah perbuatan jahat dan perilaku tercela. Untuk selanjutnya istilah yang akan dipergunakan untuk menggantikan kedua objek tersebut adalah kriminalitas.” 9
Unsur dalam kriminologi ada tiga, yaitu bentuk gejala, penyebab kriminalitas, dan juga akibat dari kriminalitas. Penyebab munculnya tidakantindakan kriminal (kriminalitas) yaitu faktor eksternal (dari lingkungan atau ekonomi), bakat (sesuatu yang turun temurun, bisa juga disebut internal, dari sikap dan sifat orang tersebut), dan gabungan antara lingkungan dan bakat. Penyebab munculnya tidakan-tindakan kriminal yaitu faktor eksternal (dari lingkungan atau ekonomi), bakat (sesuatu yang turun temurun, bisa juga disebut 9
Prof. Dr. J.E. Sahetapy, S.H. Kriminologi Suatu Pengantar, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992,
halaman 23-24 8
Zakiah Daradjat, Remaja Harapan dan Tantangan, Ruhama, Jakarta, 1994, halaman 11.
internal, dari sikap dan sifat orang tersebut), dan gabungan antara lingkungan dan bakat. Pengaturan tentang tindak pidana anak tidak terdapat secara khusus melainkan tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Disamping itu, istilah tindak pidana anak, dalam kajian hukum pidana sebenarnya merupakan istilah yang belum dikenal secara umum tetapi hanya merupakan materi khusus dari materi hukum pidana. Sementara yang lazim dikenal dalam kepustakaan hukum pidana hanya adanya istilah tindak pidana. Istilah tersebut menunjuk kepada perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh seseorang, baik dilakukan oleh seorang yang telah dewasa maupun oleh seorang anak. Istilah tindak pidana itu merupakan terjemahan dari strafbaar fiet atau delict bahasa Belanda, atau crime dalam bahasa Inggris. Beberapa literatur dan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia dapat dijumpai istilah lain untuk menterjemahkan strafbaar feit, antara lain peristiwa pidana, perbuatan pidana, pelanggaran pidana, perbuatan yang dapat dihukum, perbuatan yang boleh dihukum, dan lain-lain. “Sementara menurut Moeljatno, dengan memberikan alasan yang sangat luas lebih suka menggunakan istilah Perbuatan Pidana. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan dalam pidatonya pada tahun 1955, dengan judul Perbuatan Pidana dan pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana. Alasan beliau bahwa perbuatan ialah keadaan yang dibuat oleh seseorang atau barang sesuatu yang dilakukan. Lebih lanjut dikatakan: (Perbuatan) ini menunjuk baik pada akibatnya maupun yang menimbulkan akibat. Ia menganggap kurang tepat menggunakan istilah peristiwa pidana sebagaimana yang digunakan dalam Pasal 14 UUDS 1950 untuk memberikan suatu pengertian yang abstrak. Peristiwa adalah pengertian yang kongkrit, yang hanya menunjuk kepada suatu kejadian yang tertentu saja. Hal tersebut sama halnya dengan pemakaian istilah Tindak dalam Tindak Pidana”10
Di dalam definisi di atas, Moeljatno membedakan secara tegas antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Dengan demikian, terhadap seorang tersangka pertama-tama harus dibuktikan dulu mengenai perbuatan yang telah dilakukannya apakah memenuhi rumusan undang-undang atau tidak. Walaupun perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana ditentukan dalam undang-undang, namun tidak secara otomatis orang tersebut harus dihukum karena
harus dilihat pula mengenai kemampuan bertanggungjawab. Apabila dianggap tidak mampu bertanggung jawab maka orang tersebut lepas dari segala tuntutan hukum. Konsep demikian merupakan konsep yang dipakai dalam sistem Anglo Saxon dimana adanya pemisahan antara Criminal Act dan Criminal Responsibility. Apabila dihubungkan dengan masalah tindak pidana anak, maka terhadap anak yang dianggap telah melakukan criminal Act selain perlu dikaji sifat perbutannya apakah sebagai suatu kejahatan atau kenakalan (delinquency), patut dikaji pula masalah kemampuan pertanggungjawaban dari si anak yang pada dasamya kurang bahkan tidak memahami atau mengerti arti dari perbuatan tersebut. Dengan demikian, diperlukan adanya kecermatan bagi hakim dalam menangani anak yang disangka telah melakukan suatu tindak pidana untuk menentukan masalah pertanggungjawaban pidana. ‘Menurut Barda Nawawi Arief, pendekatan khusus dalam menangani masalah hukum dan peradilan anak antara lain sering terungkap dalam berbagai pernyataan, sebagai berikut. 1. Anak yang melakukan tindak pidana/kejahatan (juvenile offender) janganlah dipandang sebagai seorang penjahat (criminal), tetapi harus dilihat sebagai orang yang memerlukan bantuan, pengertian dan kasih sayang. 2. Pendekatan yuridis terhadap anak hendaknya lebih mengutamakan pendekatan persuasif-edukatif dan pendekatan kejiwaan (psikologis) yang berarti sejauh mungkin menghindari proses hukum yang semata-mata bersifat menghukum, yang bersifat degradasi mental dan penurunan semangat (discouragement) serta menghindari proses stigmatisasi yang dapat menghambat proses perkembangan, kematangan dan kemandirian anak dalam arti yang wajar.’11
Atas dasar hal tersebut, tujuan dari proses peradilan pidana yang digelar bukan hanya pada penghukuman, tetapi perbaikan kondisi, pemeliharaan, dan perlindungan anak serta pencegahan penanggulangan tindakannya melalui tindakan pengadilan yang konkrit. Menurut Sudarto, yang dimaksud dengan tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi syarat tertentu, yang dilakukan oleh orang, yang memungkinkan
11 10
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987, halaman 54-55
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni ,Bandung, 1992, halaman 115.
pemberian pidana.12 Simon, berpendapat bahwa unsur-unsur strajbaar fiet, sebagai berikut. a. Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat). b. Diancam dengan pidana (stratbaar gesteld). c. Melawan hukum (onrechtmatig). d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand). e. Oleh orang yang mampu bertanggungjawab (toerekeningsvatbaar persoon). Mengkaji tindak pidana secara normatif berarti terfokus pada masalah lahiriah, dalam arti hanya menitikberatkan kepada perbuatan nyata (actus reus). Walaupun jangkauan secara luas dari hukum pidana mencakup pula pada persoalan sikap batin (mens-rea) khususnya menyangkut persoalan pertanggungjawaban, namun menyangkut suatu tindak pidana persoalan pokok lebih menitikberatkan kepada masalah moral/etika yang erat hubungannya dengan masalah kepribadian atau kejiwaan (psikologis). Apabila dihubungkan dengan persoalan tindak pidana anak, maka persoalan pokok lebih menitikberatkan kepada masalah tingkah laku yang lebih erat bertalian dengan aspek kejiwaan. Dipandang dari segi perbuatan sesungguhnya tidak ada perbedaan antara tindak pidana anak dengan dewasa, yang dapat membedakan diantara keduanya terletak pada pelakunya itu sendiri. Perbedaan tersebut menyangkut kepada persoalan motivasi atas tindak pidana yang dilakukannya. Secara umum tindak pidana yang dilakukan oleh anak bukan didasarkan kepada motif yang jahat. Apabila terdapat anak-anak yang perilakunya menyimpang dari norma-norma sosial, masyarakat mengistilahkan sebagai anak nakal, anak jahat, anak tuna sosial, anak pelanggar hukum atau Juvenile Deliquency. Dengan istilah tersebut diharapkan anak tersebut dapat terhindar dari golongan yang dikategorikan sebagai penjahat (Criminal).
12
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987, halaman 9.
Pelaksanaan Pembinaan terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang “Pemasyarakatan” merupakan landasan yuridis yang menetapkan bahwa terhadap anak pelaku tindak pidana atau anak nakal yang telah diputus dikenai sanksi, berupa pidana penjara, terhadapnya akan dilakukan proses pembinaan dalam sistem pemasyarakatan dan ditempatkan secara khusus dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak (Lapas Anak). Definisi anak dan pelanggaran hukum menurut Peraturan Minimum Standar Perserikatan BangsaBangsa mengenai Administrasi Peradilan Bagi Remaja (Boijing Rules), dalam peraturan 2.2 pertama, seorang anak adalah anak atau orang muda yang menurut sistem hukum masing-masing dapat diperlakukan atas suatu pelanggaran hukum dengan cara yang berbeda dari perlakuan terhadap orang dewasa. Kedua, suatu pelanggaran hukum adalah perilaku apapun (tindakan atau kelalaian) yang dapat dihukum oleh hukum menurut sistem-sitem hukum masing-masing. Ketiga, seorang pelanggar hukum berusia remaja adalah seorang anak atau orang muda yang diduga telah melakukan atau yang telah ditemukan telah melakukan suatu pelanggaran hukum. Berikut adalah tabel mengenai jumlah anak yang berhadapan dengan hukum pada tahun 2008.
Tabel I. Data Anak yang Berhadapan Dengan Hukum menurut Jenis Kelamin dan Provinsi, Tahun 2008 No.
Nama Kantor
Tahanan Anak
L P Aceh 64 3 Sumatera Utara 7395 101 Sumatera Barat 263 9 Riau 1457 63 Kepulauan Riau 648 14 Jambi 221 0 Sumatera Selatan 2258 15 Kepulauan Babel 203 18 Lampung 1451 22 Bengkulu 331 5 Banten 333 70 DKI Jakarta 3137 300 Jawa Barat 2545 83 D. I. Yogyakarta 176 1 Jawa Tengah 14116 50 Jawa Timur 2713 107 Kalimantan Barat 557 19 Kalimantan Tengah 364 17 Kalimantan Selatan 589 1 Kalimantan Timur 348 35 Sulawesi Utara 306 7 Gorontalo 79 5 Sulawesi Tengah 163 8 Sulawesi Selatan 664 75 Sulawesi Barat 175 0 Sulawesi Tenggara 646 10 Bali 124 8 NTB 192 11 NTT 188 6 Maluku 15 0 Maluku Utara 5 3 Papua 55 0 Papua Barat 7 0 Jumlah 41.788 1.066 Sumber: Dirjen Pemasyarakatan, Depkumham 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
JML 67 7469 273 1520 662 221 2273 221 1473 336 403 3437 2628 177 14166 2820 576 381 590 383 313 84 171 739 175 656 132 203 194 15 8 55 7 42.854
Banten, (ix) Tangerang (Laki-laki), Banten (x) Sungai Raya, Kalimantan Barat (xi) Martapura, Kalimantan Selatan, (xii) Tomohon, Sulawesi Utara (xiii) ParePare, Sulawesi Selatan (xiv) Gianyar, Bali (xv) Kupang, NTT, dan (xvi) Blitar, Jawa Timur. Penempatan secara khusus dalam Lapas Anak berarti pembinaan NAPI anak dilakukan dalam sistem pemasyarakatan. Menurut ketentuan Pasal 60 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, bahwa Anak didik pemasyarakatan ditempatkan di Lapas yang terpisah dari NAPI dewasa. Anak yang ditempatkan di Lapas Anak, berhak memperoleh pendidikan dan latihan baik formal maupun informal sesuai bakat dan kemampuan, serta memperoleh hak lain. Guna melaksanakan pemasyarakatan dan sistem pemasyarakatan tersebut dilakukan oleh suatu lembaga, yaitu Lapas yang merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan NAPI dan Anak Didik Pemasyarakatan (vide Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan). Mengacu ketentuan dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak pada Bab VI dengan judul Lembaga Pemasyarakatan Anak Pasal 60, menentukan: a. Anak Didik Pemasyarakatan ditempatkan di Lapas Anak harus terpisah dari orang dewasa. b. Anak yang ditempatkan di lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berhak memperoleh pendidikan dan latihan sesuai dengan bakat dan kemampuannya serta hak lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Anak Didik Pemasyarakatan Anak Sipil Anak Negara Anak Pidana L P JML L P JML L P JML 1 0 1 12 1 13 89 6 95 0 0 0 9 0 9 24 129 6061 0 0 0 24 0 24 374 1 375 0 0 0 0 0 0 2132 77 2209 0 0 0 0 0 0 280 50 330 0 0 0 0 0 0 310 7 317 0 0 0 17 0 17 3910 6 3916 0 0 0 5 0 5 219 54 273 0 0 0 0 0 0 1364 80 1444 0 0 0 6 0 6 432 6 438 0 0 0 120 4 124 2722 449 3171 0 0 0 0 3 3 1605 111 1716 0 0 0 0 0 0 1991 34 2026 0 0 0 9 0 9 289 35 324 14 1 15 142 10 152 2216 64 2280 0 0 0 317 19 336 2007 19 2026 2 0 2 36 0 36 792 83 875 0 0 0 11 18 29 610 22 632 0 0 0 0 0 0 290 987 1277 10 0 10 15 0 15 831 34 865 0 0 0 10 0 10 491 4 495 0 0 0 0 0 0 155 6 162 0 0 0 16 0 16 212 12 224 0 0 0 10 6 16 993 62 1055 0 0 0 0 0 0 62 0 62 0 0 0 0 0 0 488 2 490 0 0 0 43 0 43 248 10 258 0 0 0 0 0 0 272 19 291 3 0 3 10 0 10 713 10 723 0 0 0 0 0 0 98 0 98 0 0 0 0 0 0 30 0 30 0 0 0 0 0 0 111 0 111 0 0 0 0 0 0 42 0 42 35 1 36 812 61 873 32.311 2.379 34.690
Jumlah Lapas Anak yang berada di Indonesia adalah 16. Keenam belas Lapas Anak tersebut meliputi: (i) Medan, Sumut, (ii) Sumbar, Tanjung Pati (iii) Riau, Pekanbaru, (iv) Jambi, Muna Bolian (v) Palembang, Sumatera Selatan (vi) Kota Bumi, Lampung (vii) Kutoarjo, Jateng, (viii) Tangerang (Perempuan),
“Melalui pelaksanaan pembinaan dengan sistem pemasyarakatan maka Anak Didik Pemasyarakatan diharapkan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana lagi. Pada akhirnya diharapkan dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dan dapat ikut aktif berperan dalam pembangunan, dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.”13
Untuk pelaksanaan pembinaan terhadap anak pelaku tindak pidana di Lapas Anak diatur di Pasal 20 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang 13
Darwan Print, Hukum Anak Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, halaman 58.
Pemasyarakatan, bahwa dalam rangka pembinaan terhadap anak pidana di Lapas Anak dilakukan penggolongan berdasarkan umur, jenis kelamin, lamanya pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan, dan kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan. ‘Dalam melaksanakan pembinaan terhadap Anak Didik Pemasyarakatan sesuai dengan sistem pemasyarakatan maka LPA terlebih dahulu telah mempertimbangkan bahwa usia kematangan jiwa antara terpidana dewasa berbeda dengan terpidana anak dengan ciri khas yang masih bersifat labil dan belum memiliki kematangan jiwa, sehingga terhadap terpidana anak perlu diterapkan metode pendekatan yang tepat dan terbaik bagi 14 pertumbuhan dan perkembangan mental anak tersebut.’
Metode pembinaan atau bimbingan yang ada di dalam LAPAS, sebagai berikut. a. Pembinaan berupa interaksi langsung yang bersifat kekeluargaan antara pembinaan dengan yang dibina. b. Pembinaan bersifat persuasif edukatif yaitu berusaha merubah tingkah lakunya melalui keteladanan dan memperlakukan adil diantara sesama mereka sehingga menggugah hatinya untuk hal-hal yang terpuji. Dengan menempatkan anak didik pemasyarakatan sebagai manusia yang memiliki potensi dan harga diri dengan hak-hak dan kewajiban yang sama dengan manusia lain. c. Pembinaan berencana secara terus menerus dan sistematis. d. Pemeliharaan dengan peningkatan langkah-langkah keamanan yang disesuaikan dengan keadaan yang dihadapi. e. Pendekatan individual dan kelompok. f. Untuk menambah kesungguhan, keikhlasan, dan tanggung jawab melaksanakan tugas serta menanamkan kesetiaan dan keteladanan dalam pengabdian terhadap negara, hukum, dan masyarakat. Petugas pemasyarakatan sebaiknya memiliki kode perilaku dan dirumuskan dalam bentuk “Etos Kerja”, yang berisi petugas Pemasyarakatan adalah abdi hukum, pembina narapidana atau anak didik dan pengayom 14
Sri Suharti, Pembinaan Warga Binaan Masyarakat, LPA Blitar, Blitar, halaman 17.
masyarakat, wajib bersikap bijaksana dan bertindak adil dalam pelaksanaan tugas, bertekad menjadi suri tauladan dalam mewujudkan tujuan sistem pemasyarakatan yang berdasarkan Pancasila. Walaupun proses pemasyarakatan yang dilakukan dengan menjalankan pembinaan terhadap terpidana anak telah diupayakan memenuhi dan sesuai dengan kebijakan yang diatur dalam perundang-undangan, serta memperhatikan hak terpidana dan didasarkan dengan asas-asas pembinaan yang tepat dan terbaik bagi anak, serta dilaksanakan dengan metode pendekatan yang telah memperhatikan kepentingan anak, namun dalam kenyataannya tetap akan memberikan citra negatif bagi anak, terutama bagi kepentingan perkembangan dan pertumbuhan jiwa anak, semestinya penjatuhan pidana terhadap anak benarbenar harus bersifat ultimum remidium atau sebagai upaya terakhir apabila caracara lain memang sudah tidak ada yang dipandang tepat. Mengingat anak merupakan bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang. Pola Pembinaan terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana dalam Pelaksanan Sistem Pemasyarakatan Indonesia Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Program pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan di Lapas dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan oleh Bapas ditekankan pada kegiatan pembinaan kepribadian dan kegiatan pembinaan kemandirian. Pembinaan kepribadian diarahkan pada pembinaan mental dan watak agar bertanggung jawab kepada diri
sendiri, keluarga dan masyarakat. Sedangkan pembinaan kemandirian diarahkan pada pembinaan bakat dan keterampilan agar Warga Binaan Pemasyarakatan dapat kembali berperan sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Sejalan dengan hal tersebut, secara singkat dapat dikatakan bahwa sistem pemasyarakatan adalah proses pembinaan terpidana yang beradasarkan asas Pancasila, dan memandang terpidana sebagai makhluk Tuhan, individu dan anggota masyarakat. Diranah filosofis, Pemasyarakatan memperlihatkan komitmen dalam upaya merubah kondisi terpidana, melalui proses pembinaan dan memperlakukan dengan sangat manusiawi, melalui perlindungan hak terpidana. Komitmen ini secara eksplisit ditegaskan dalam pasal 5 UU Pemasyarakatan, bahwa sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas; pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan, penghormatan harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, dan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. Selain itu juga ditegaskan dalam pasal 14 UU Pemasyarakatan, bahwa setiap narapidana memiliki hak sebagai berikut. a. b. c. d. e. f.
Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak. Menyampaikan keluhan. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lain yang tidak dilarang. g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan. h. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya. i. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga. k. Mendapatkan pembebasan bersyarat. l. Mendapatkan cuti menjelang bebas. m. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pelaksanaan pembimbingan dan pembinaan dalam sistem Pemasyarakatan dilakukan oleh petugas fungsional khusus, yaitu petugas Pemasyarakatan. Pelaksanaan Pemasyarakatan menuntut profesionalitas SDM yang akan memahami dengan baik tujuan Pemasyarakatan dan bagaimana cara mencapai tujuan tersebut, serta untuk menghindari perlakuan-perlakuan tidak manusiawi. Selain itu, di dalam melaksanakan pembinaan dan pembimbingan, juga diperlukan kerjasama dengan instansi pemerintah terkait serta lembaga kemasyarakatan untuk menunjang efektifitas. DISKUSI Konsep Pendidikan Luar Sekolah Pendidikan memiliki peranan penting dalam peningkatan kualitas kemampuan SDM yang professional. Melalui pendidikan individu disiapkan untuk memperoleh bekal agar dapat memecahkan permasalahan yang akan dihadapi nantinya. Hal tersebut akan berdampak pada kinerja dan pada akhirnya akan menjamin produktivitas kerjanya. Pendidikan luar sekolah sebenarnya bukan hal baru dalam khasanah budaya dan peradaban manusia. Pendidikan luar sekolah telah hidup dan menyatu di dalam kehidupan setiap masyarakat jauh sebelum muncul dan memasyarakatnya sistem persekolahan. PLS mempunyai bentuk dan pelaksanaan yang berbeda dengan sistem yang sudah ada di pendidikan persekolahan. PLS timbul dari konsep pendidikan seumur hidup, yang artinya kebutuhan akan pendidikan tidak hanya pada pendidikan persekolahanpendidikan formal saja. PLS pelaksanaannya lebih ditekankan kepada pemberian keahlian dan keterampilan dalam suatu bidang tertentu. PLS adalah jenis pendidikan yang tidak selalu terkait dengan jenjang dan struktur persekolahan, namun dapat berkesinambungan. PLS menyediakan program pendidikan yang memungkinkan terjadinya perkembangan peserta didik dalam bidang sosial, keagamaan, budaya, keterampilan, dan keahlian. Dengan PLS, setiap warga negara dapat memperluas wawasan pemikiran dan peningkatan kualitas pribadi dengan menerapkan landasan belajar seumur hidup. PLS dapat
dibedakan menjadi pendidikan keterampilan, pendidikan perluasan wawasan, dan pendidikan keluarga. Pendidikan Keterampilan mempersiapkan peserta didik untuk memiliki kemampuan melaksanakan suatu jenis pekerjaan tertentu. Pendidikan perluasan wawasan memungkinkan peserta didik memiliki pemikiran yang lebih luas. Pendidikan keluarga memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar, agama, dan kepercayaan, nilai moral, norma sosial, dan pandangan cara hidup untuk dapat berperan dalam keluarga dan masyarakat. PLS adalah sub sistem pendidikan nasional, yaitu suatu sistem yang memiliki tujuan jangka pendek dan tujuan khusus yakni memenuhi kebutuhan belajar tertentu yang fungsional bagi masa sekarang dan masa depan. Komponen atau sub sistem yang ada pada sistem PLS adalah masukan saran (Instrumen Input), masukan mentah (Raw Input), masukan lingkungan (Environmental Input), proses (Process), keluaran (Out Put) dan masukan lain (Other Input), dan pengaruh (Impact). Pelayanan Kebutuhan Pendidikan di LPA dalam Bidang PLS Pertanggungjawaban pidana bagi anak, tidak hanya mempertimbangkan keadaan psikis (kejiwaan) namun juga keadaan fisiknya. Dari segi psikis pertumbuhan jiwa anak belum sempurna dan matang, sehingga fungsi bathinnya belum sempurna juga. Dalam keadaan yang demikian ini, anak belum mempunyai cukup kematangan psikis untuk mempertimbangkan keadaan dan konsekuensi dari perbuatannya, sedang dari segi fisik anak belum kuat melakukan pekerjaan karena fisiknya masih lemah, sehingga tidak atau kurang tepat bila harus dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya. Anak Pidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu, yang dalam pelaksanaan program pembinaan. Ruang lingkup pembinaan terbagi ke dalam dua bidang yaitu bidang pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian. Pembinaan kepribadian yang ada di dalam Lapas Anak, sebagai berikut. a. Pembinaan kesadaran beragama. b. Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara. c. Pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan). d. Pembinaan kesadaran hukum.
e. Pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat. Sedangkan pembinaan kemandirian diberikan melalui program-program, sebagai berikut. a. Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri. b. Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil. c. Ketrampilan yang disesuaikan dengan bakat masing-masing. d. Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha industri atau kegiatan pertanian. Setiap Warga Binaan atau anak didik wajib mengikuti semua program pembinaan yang diberikan yang meliputi: a. Pendidikan umum, Kejar Paket A, Kejar Paket B, dan Kejar Paket C. b. Pendidikan ketrampilan,misalnya pembuatan keset, kursi atau meja, dan lainlain. c. Pembinaan Mental Spiritual, pendidikan Agama dan budi pekerti. d. Sosial dan Budaya, kunjungan keluarga dan belajar kesenian (nasional dan tradisional). e. Kegiatan Rekreasi, diarahkan pada pemupukan kesegaran jasmani dan rohani melalui olah raga, nonton TV, perpustakaan, dan sebagainya. Semua program pembinaan tersebut dilaksanakan oleh LPA dengan dibantu dan mendapat daya dukung dari pihak-pihak yang memiliki kompetensi dan sesuai dengan bidang yang ada dalam program pembinaan tersebut, dengan melakukan kerjasama baik dengan lembaga swadaya masyarakat maupun dengan lembaga pemerintahan seperti Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, Dinas Perdagangan dan Perindustrian dan lembaga-lembaga lain. ‘Faktor-faktor penyebab anak melakukan kejahatan adalah latar belakang dari kegagalan dirinya sehingga melakukan kejahatan, riwayat terjadinya kejahatan, lingkungan pergaulan, perhatian orang tua, dan lain-lain, harus dipertimbangkan dalam penyelesaian kejahatan yang dilakukan anak. Selain faktor-faktor tersebut yang perlu dipertimbangkan adalah pengembangan pembimbingan dalam proses pembinaan, yang meliputi social-rehabilitation, vocation-rehabilitation, educational-rehabilitation, dan medical-rehabilitation. Maksud social-rehabilitation, adalah proses pembinaan dengan pembimbingan sosial berupa penyuluhan, pengarahan dan pembinaan kepribadian, agar kelak mereka sebagai manusia mempunyai kepribadian dan keimanan. Vocation-rehabilitation,
adalah proses pembinaan dengan pembimbingan sosial yang menekankan pada upaya untuk memiliki ketrampilan tepat guna dan berhasil guna, mengingat anak setelah selesai menjalani pembinaan, diharapkan akan dapat berkarya di tengah masyarakat, karena tanpa persiapan, mereka dapat frustasi menghadapi tantangan lingkungan sosial yang baru, sehingga akan terbuka kemungkinan kambuh kembali. Educationalrehabilitation, adalah proses pembinaan dengan pelaksanaan pendidikan praktis, karena ada kemungkinan terdapat anak yang buta huruf atau putus sekolah. Medicalrehabilitation, adalah proses pembinaan dengan memperhatikan kondisi kesehatan fisik dan mental anak untuk kemudian dilakukan pengobatan secara tepat, dengan pertimbangan bahwa tiap anak memiliki latar belakang yang berbeda-beda.15
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan pemaparan diatas, dapat dirumuskan beberapa kesimpulan sebagai berikut. a. Pola pembinaan NAPI Anak sebagai salah satu upaya pemenuhan kebutuhan pendidikan di bidang PLS bagi napi anak sudah ada. Pemenuhan tersebut tercermin pada program-program yang termasuk ke dalam pembinaan kepribadian dan juga pembinaan kemandirian. Program dalam bidang PLS misalnya program Kejar Paket A, Kejar Paket B, dan Kejar Paket C. Selain itu, program-program yang ditujukan dalam rangka pemberian keterampilan bagi NAPI-NAPI anak tersebut. b. Pola Pembinaan terhadap anak pelaku tindak pidana dalam pelaksaaan sistem pemasyarakatan Indonesia adalah pola pembinaan terpadu, yaitu suatu tatanan mengenai arah dan batas, serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan yang ditekankan pada kegiatan pembinaan kepribadian dan kegiatan pembinaan kemandirian berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga 15
C.I. Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan-Ikapi, Jakarta, 1995, halaman 5-6.
dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Mengingat perkembangan perhatian masyarakat internasional terhadap anak maka dalam pelaksaaan pola pembinaan dalam sistem pemasyarakatan ini, diharapkan dapat diintegrasikan adanya penegasan tentang upaya pengalihan penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak dari jalur pengadilan ke jalur di luar pengadilan (diversi). Saran Sistem pemasyarakatan yang dikembangkan dalam melaksanakan pembinaan terhadap anak pelaku tindak pidana (Anak Pidana) merupakan sistem pembinaan dengan paradigma inovatif yang berorientasi pada kepentingan terbaik bagi anak. Sehingga berfungsi menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggungjawab. Hal tersebut menunjukkan bahwa sistem pemasyarakatan sebagai wujud pelembagaan respons masyarakat terhadap perlakuan pelanggar hukum pada hakekatnya merupakan pola pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan yang berorientasi pada masyarakat, yaitu pembinaan yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat. Peran serta masyarakat harus dipandang sebagai suatu aspek integral dari kegiatan pembinaan. Mengingat pentingnya pembinaan terhadap anak, sekalipun anak telah melakukan tindak pidana (anak pidana) maka perlu perhatian terhadap beberapa hal, sebagai berikut. a. Karakteristik anak berbeda dari orang dewasa, baik jasmani, rohani maupun social. Misalnya belum memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri, akal yang belum sempurna, belum dapat membedakan yang benar dan salah, baik dan buruk, serta belum matang dan stabil. Oleh karena itu apabila seseorang anak melakukan tindak pidana maka tidak hanya dilihat sifat jahat dan akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang dilakukan, tetapi diperhatikan juga kondisi dan latar belakang melakukan tindak pidana tersebut.
b. Apapun dan bagaimanapun kondisi anak, tetap membutuhkan perlindungan dan perhatian guna meningkatkan, mengembangkan dirinya sebagai generasi penerus dan menjadi manusia yang berkualitas. Walaupun anak telah melakukan tindak pidana maka perlindungan dan perhatian terhadapnya serta upaya pembinaan (pola pembinaan) harus menjadi tanggung jawab bersama secara integral dan tidak hanya seolah-olah menjadi tanggung jawab Lapas Anak saja. Oleh karena itu, sosialisasi dan diseminasi informasi harus terus dilakukan guna meningkatkan partisipasi semua pihak dalam melaksanakan pola pembinaan secara terpadu. c. Mengingat pentingnya kedudukan anak, kajian terhadap anak yang berhubungan dengan tindak pidana perlu dilakukan secara terus menerus. Agar dapat diperoleh pemahaman yang komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA Daradjat, Zakiah. 1944. Remaja Harapan dan Tantangan. Jakarta: Ruhama. Daradjat, Zakiah. 1985. Faktor-Faktor yang Merupakan Masalah dalam Proses Pembinaan Generasi Muda. Bandung: Bina Cipta. Dirdjosisworo, Soedjono. 1983. Hukuman Dalam Berkembangnya Hukum Pidana. Bandung:Tarsito. Dirdjosisworo, Soedjono. 1985. Sosio Kriminologi, Ilmu-ilmu Sosial dalam Studi Kejahatan. Bandung: Sinar Baru. Gosita, Arief. 1989. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademika Presindo. Harsono, C. I, 1995. Sistem Baru Pembinaan Narapidana. Jakarta: DjambatanIkapi.
Moeljatno. 1987. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara. Muladi & Nawawi, Barda. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni. Print, Darwan. 2003. Hukum Anak Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. Sahetapy S. H, Prof. Dr. J.E. 1992. Kriminologi Suatu Pengantar, Bandung: Citra Aditya Bakti. Sastrawijaya, Safiyudin. 1977. Beberapa Masalah Tentang Kenakalan Remaja. Bandung: Karya Nusantara. Soerjobroto, Bahrudin. 1986. Ilmu Pemasyarakatan (Pandangan Singkat). Jakarta: AKIP. Suharti, Sri. 2003. Pembinaan Warga Binaan Masyarakat. Blitar: LPA Blitar. Ali, Yusuf, Mohammad Noor. 2009. Criminology (Kriminologi), (Online), (http://humaspoldametrojaya.blogspot.com/2009/11/criminologykriminologi.html, diakses tanggal 31 Maret 2011). Junaidi, Wawan. 2010. Pendidikan Luar Sekolah, (Online), (http://wawanjunaidi.blogspot.com/2010/11/pendidikan-luar-sekolah.html, diakses tanggal 31 Maret 2011).
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Gasti Ratnawati (108141410046) Gasti Ratnawati dilahirkan di Malang, Jawa Timur tanggal 3 November 1990. Memulai pendidikan di TK Sabilillah Malang pada tahun 1994 dan lulus pada tahun 1996. Setelah itu, melanjutkan sekolah di sebuah SD Negeri di kota Malang, yaitu di SD Negeri Purwodadi 1 Malang pada tahun akademik 1996/1997. Pada tahun 2002 telah menyelesaikan sekolah SD dan menimba ilmu kembali pada tingkat SMP. Ia berhasil masuk menjadi salah seorang murid di salah satu SMP Negeri di kota Malang, dan SMP tersebut adalah SMP Negeri 14 Malang pada tahun akademik 2002/2003. Pada saat SMP ia mulai mengikuti ekskul PMR, dan ia pernah mengikuti salah satu lomba di sebuah Universitas negeri yang ada di kota Malang. Akhirnya pada tahun 2005 ia telah berhasil menyelesaikan sekolah dengan tepat waktu. Ia melanjutkan kembali studinya di salah satu SMA Negeri di kota Malang, yaitu SMA Negeri 9 Malang pada tahun akademik 2005/2006. Pada saat penjurusan SMA, ia mengambil jurusan IPS. Saat SMA, ia berhasil mendapat penghargaan dari sekolahnya, karena karya tulis yang pernah ia dan beberapa temannya susun sebagai tugas yang ia peroleh dari sekolahnya terpilih menjadi juara kelima, dari beberapa kelompok yang telah membuat karya tulis sebagai tugas dari sekolah, dan judul karya tulis yang telah dibuat tersebut adalah ‘Proses Pembuatan Keramik Cendera Mata di Dinoyo Malang’. Ia telah menyelesaikan sekolah di tingkatan SMA-nya pada tahun 2008 dengan nilai yang cukup baik, dan pada tahun tersebut pula ia telah berhasil mengikuti tes SNM-PTN dengan mengambil jurusan IPS. Tanpa harus menunggu beberapa tahun lagi, ia berhasil lulus dari tes tersebut dan diterima di salah satu Universitas Negeri di kota Malang. Ia melanjutkan studinya tersebut ke jenjang yang
lebih tinggi, yaitu di Perguruan Tinggi Negeri. Perguruan tinggi negeri tersebut adalah Universitas Negeri Malang yang masuk pada tahun akademik 2008/2009. Jurusan yang diambil adalah Pendidikan Luar Sekolah dengan jenjang pendidikan S1 yang masuk pada Fakultas Ilmu Pendidikan.