Perkembangan Teknologi TRO 21 (2) Desember 2009 Hlm. 56-63 ISSN 1829-6289
PEMBUNGAAN DAN PENYERBUKAN PADA JAMBU METE (Anacardium occidentale L.) Melati Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Jl. Tentara Pelajar No. 3, Bogor 16111 (Terima tgl. 25/7/2009 - Disetujui tgl. 15/11/2009) ABSTRAK Jambu mete (Anacardium occidentale L.) merupakan salah satu tanaman yang cukup potensial diusahakan di Indonesia. Tanaman ini mempunyai banyak manfaat antara lain sebagai makanan kecil (kacang mete). Salah satu permasalahan dalam penanaman jambu mete adalah musim pembungaan dan pembuahan yang pendek. Sedikitnya bunga sempurna yang terbentuk sehingga produksi kernel yang dihasilkan rendah. Penyerbukan dipengaruhi oleh serangga penyerbuk dan pollen. Untuk meningkatkan fuit set perlu penelitian lebih lanjut mengenai kualitas bunga dan cara mengatasinya melalui budidaya. Pembungaan jambu mete dipengaruhi antara lain oleh curah hujan, pemupukan, dan serangga penyerbuk. Oleh karena itu diperlukan penelitian untuk menghasilkan teknologi peningkatan kualitas bunga. Kata kunci : Anacardium occidentale L., pembungaan, bunga sempurna, penyerbukan
ABSTRACT Flowering and Pollination of Cashew (Anacardium occidentale. L) Cashew (Anacardium occidentale L.) is one of potential crops to be developed in Indonesia. This plant can be utilized for many kinds of food products such as chasew nut as snack. One of the problem in cashew cultivation is short period of flowering and fruiting. In addition, there is low number of hermaphrodite flower causing less kernel prodiction. Polination of the flowers is determined by insect and pollen. Fuit set could be increased through appropriate cultivation techniques and advaced research on flower quality. Flowering is determined by many factors, such as rainfall, fertilizer, and insects. Further research is required to improve quality of flower. Keywords :
Chashew, flowering, pollination, insect.
PENDAHULUAN Jambu mete (Anacardium occidentale L.) adalah tanaman yang berasal dari Brasil Tenggara dan disebarkan oleh Portugis ke seluruh dunia pada tahun 1500. Tumbuh secara ekstensif di Mozambik dan juga di Maputoland (utara KwaZulu-Natal) (Robertson, 2008). Penyebaran jambu mete saat ini meliputi daerah tropis dan subtropis lainnya seperti Bahama, Senegal, Kenya, Madagaskar, Mozambik, Srilangka, Thailand, Malaysia, Filipina, dan In-donesia. Australia juga merupakan negara penghasil me-te saat ini. Sementara di daerah Amerika hanya terdapat di Florida Utara, Hawaii, dan
56
Puertorico, dan hasilnya belum untuk komersial (dalam jumlah yang terbatas), hanya sebatas tanaman koleksi (Mclaughlin, 2009). Di alam, ada dua tipe daerah penyebaran pohon jambu mete yaitu tipe biasa dan tipe kerdil. Tipe biasa (yang banyak tumbuh) umumnya mempunyai tinggi yang bervariasi 8 – 5 m bahkan ada yang mencapai 20 m. Pohon akan berproduksi dengan stabil setelah berumur 8 tahun, dan normalnya 12-14 tahun (Paiva et al., 2009). Jambu mete (Anacardium occidentale L.) merupakan salah satu tanaman yang menguntungkan untuk dikembangkan dan cukup potensial diusahakan di Indonesia. Tanaman ini mempunyai manfaat yang banyak antara lain sebagai makanan kecil (kacang mete) yang merupakan produk utama. Produk lain yaitu buah, kulit gelondong, dan daun. Buah semu dapat dikonsumsi langsung sebagai manisan, minuman (anggur dan sari buah), alkohol, abon, dan makanan ternak. Daun muda dapat dikonsumsi langsung sebagai lalap, selain itu juga dapat digunakan sebagai obat. Kulit gelondong yang digunakan sebagai sumber CNSL yang memiliki prospek sebagai pelapis rem mobil dan campuran pada industri kayu lapis (Joker, 2001). Produsen terbesar jambu mete yaitu Vietnam, India, Brazil, Nigeria, dan Indonesia (FAO dalam Karmawati 2006). Sedangkan konsumen terbesar yaitu Jerman, Perancis, Italia, Amerika Serikat, Kanada, dan Spanyol (Vieira et al., 2005 ). Tanaman ini pada umumnya ditanam di lahan kritis sehingga tidak bersaing dengan komoditas lain dan juga dapat berfungsi sebagai tanaman konservasi. Sebagai komoditas ekspor, pasar mete cukup luas karena tidak tergantung pada pasar domestik. Indonesia sangat berpeluang meningkatkan areal pertanamannya karena kontribusinya terhadap pasar dunia masih kecil (hanya 6,3%) sehingga belum mengganggu pasar mete dunia secara signifikan. Usahatani, perdagangan, dan agroindustri mete melibatkan banyak tenaga kerja, dan sekitar 98% pertanaman merupakan perkebunan rakyat. Produktivitas gelondong yang diperoleh di daerah sentra produksi, khususnya Kawasan Timur Indonesia, masih sangat rendah dibandingkan dengan produksi ne-
Melati: Pembungaan dan penyerbukan pada jambu mete (Anacardium occidentale L)
gara penghasil jambu mete lain (seperti India dan Srilanka) yakni 1.000 kg/ha, sedangkan di Australia mencapai 4.000 kg/ha (Hadad et al., 2003). Di daerah Sulawesi Tenggara rata-rata produksi 267,16 kg/ha pada hal ditinjau dari segi agroekosistem daerah ini sangat sesuai. Sentra produksi mete lainnya di Indonesia yaitu NTT, NTB, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tengah. Pengembangan jambu mete dewasa ini telah menyebar di 26 propinsi. Sampai tahun 2005 arealnya telah mencapai 581.270 ha dengan produksi 130.052 ton gelondong (Anonymous, 2006). Tanaman ini menghendaki tanah bertekstur ringan dan subur, dapat tumbuh baik pada bentang tanah yang luas, cepat tumbuh, dan tahan kekeringan. Jambu mete sengaja ditanam untuk diambil bijinya, sehingga cocok untuk agroforestry, rehabilitasi lahan, penghutanan lahan kritis dll. Rendahnya produktivitas gelondong di Indonesia disebabkan oleh sedikitnya bunga sempurna (hermaprodit) sehingga kernel yang dihasilkan rendah. Selain itu permasalahan dalam penanaman jambu mete adalah musim pembungaan dan pembuahannya yang pendek. Berdasarkan permasalahan di atas, maka dalam makalah ini dikemukakan tentang pembungaan, penyerbukan, dan faktor-faktor yang mempengaruhi pembungaan dan penyerbukan serta gambaran mengenai halhal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pembungaan dan penyerbukan jambu mete. Deskripsi Botani Jambu mete termasuk tanaman tahunan, selalu hijau, berbatang tegak, mempunyai kanopi simetris, pada umumnya berbentuk payung, tinggi 6-12 m. Pada lahan yang subur ketinggiannya bisa mencapai 15 m. Tanaman kebanyakan bercabang sejak pangkal pohon. Pada beberapa tanaman pertumbuhannya ada yang menyerupai kerucut (conical). Kecambah mete berkembang dengan cepat. Pada tanaman muda dengan tinggi 10 cm dan 5 daun dicapai dalam waktu 2 minggu, dan 10 hari setelah itu tingginya mencapai 15 cm dengan 8-9 daun. Kondisi dalam masa perkecambahan mempunyai pengaruh yang besar dalam perkembangan selanjutnya. Jambu mete berdaun gundul, bergantian, tebal, kaku, dan berbentuk oblong dengan panjang 10-20 cm dan lebar 5-10 cm. Panjang tangkai daun ± 0,5 -1 cm. Tiap lembar daun mempunyai ± 20 pasang tulang daun. Daun muda berwarna coklat kemerahan, hijau pucat, dan menjadi hijau gelap pada saat tua. Perubahan warna dimulai dari tangkai daun menuju ujung daun. Bunga jambu mete merupakan bunga majemuk berbentuk raceme (tandan yang memanjang), bunga malai terbuka, terdiri atas yang berbunga lengkap (hermaprodite) dan ada yang berbunga staminate (jantan),
panjang 14-25 cm, terminal. Sebagian besar merupakan bunga jantan dan bunga hermaprodit jumlahnya sedikit sekali (hanya 10 %). Hasil penelitian di India menunjukkan bahwa perbandingan antara bunga hermaprodit dan bunga jantan berkisar (22 :1)-(3 : 1). Kedua macam bunga mempunyai 8-11 benang sari dengan ukuran yang berbeda, satu putik, dan bakal buah (ovarium), tetapi putik pada bunga jantan dalam keadaan rudimenter sehingga hanya bunga hermaprodit yang mampu membentuk buah.
Gambar 1. (a) bunga jantan , (b) bunga hemaprodit
Figure 1. (a) stamen, (b) hermaphrodite flower
Sumber : Freitas and Plaxton (1998)
Bunga jambu mete memiliki lima helai kelopak daun yang berwarna hijau, berbulu dan panjang 0,3 -0,5 cm, lebar 0,1 cm. Di dalam kelopak bunga terdapat 5 mahkota bunga yang berbentuk panjang dengan ujung meruncing melekuk keluar. Bunga hermaprodit memiliki 8 – 9 benang sari yang pendek berukuran 23 – 30 mm dan panjang yang berukuran 53 - 56 mm dengan lebar 6 mm. Bunga jantan memiliki benang sari pendek 7 - 9 buah dengan ukuran antara 10 - 35 mm dan panjang kotak sari 3 mm serta lebar kotak sari 4 mm. Tangkai sari yang panjang adalah 100 - 108 mm dengan kotak sari yang berukuran panjang 6 mm dan lebar 5 mm. Kotak sari berwarna merah dan ketika pecah berubah menjadi keabu-abuan (Hadad et al., 2003) Pada bunga hermaprodit, dimana putik berkembang normal, kedudukan kepala putik umumnya berada di atas kepala sarinya. Untuk membawa tepung sari ke kepala putik diperlukan vektor penyerbuk. Bunga jambu mete mempunyai tepung sari yang bersifat lengket dan menempel pada stigma, sehingga angin biasa tidak mampu menerbangkan tepung sari. Sifat ini menyebabkan serangga mempunyai peranan penting dalam penyerbukan jambu mete. Selain itu bunga jambu mete mempunyai bau kuat yang dapat menjadi daya tarik
57
PERKEMBANGAN TEKNOLOGI TRO VOL. 21 No. 2, Desember 2009: 56-63
kehadiran serangga (Freitas and Paxton, 1998). Bunga jambu mete berukuran kecil, berwarna putih, wangi ketika mekar, berkelamin dua, panjang 6-12 mm, bunga jantan 1-2 mm. Dalam beberapa waktu warna bunga akan berubah menjadi merah jambu. Bunga jambu mete merupakan bunga majemuk dengan bentuk malai berupa kerucut, piramid atau tidak bera-turan, tetapi tidak diketahui apa penyebab variasi bentuk malai. Penelitian di India melaporkan bahwa malai bunga majemuk bervariasi yaitu 45 % berbentuk kerucut, 15 % berbentuk piramid, dan 50 % tidak beraturan. PEMBUNGAAN JAMBU METE Periode Pembungaan Waktu dan musim pembungaan jambu mete bervariasi pada setiap daerah tergantung pada posisi altitude (ketinggian dari permukaan laut), suhu, kelembapan, dan curah hujan. Biasanya pembungaan terjadi setelah puncak pertumbuhan vegetatif (awal musim kering) dan berakhir pada musim hujan (Tabel 1). Jambu mete mempunyai bunga jantan dan bunga hemaprodit pada panicula yang sama dengan ratio 10 : 1. Tapi pada beberapa daerah dan penelitian yang telah dilakukan ditemukan ratio bunga jantan dan hemaprodit bervariasi dari 1 : 28 sampai 1 : 3,7 (Duncan, 2001) Tabel 1.
Periode pembungaan jambu mete berdasarkan lokasi tanam (negara).
Table 1.
Cashew flowering period based on plant location (state).
Lokasi tanam (negara)
Periode
Periode
pembungaan
buah masak
(bulan)
(bulan)
- Brasil
Agust – Sept
Nov– Feb
- Australia Barat
Juni – Juli
Sept – Nov
- India
Desember – Januari
Maret
- Kerala (India)
Maret – April
Mei – Juli
- Indonesia
Mei - Juli
Sept - Des
(NTT) Sumber
: Ohler, (1979); Wunnachit (1991); Karmawati (2006); Anonymous (2009)
Di lahan kering seperti Tanzania, pembungaan terjadi pada musim kemarau dan buah matang dalam 2-3 bulan. Bunga dan buah dengan berbagai tingkat perkembangannya sering berada dalam panicula (malai) yang sama. Pada musim berbunga yang lebat terdapat ± 200 hingga 1.600 jumlah bunga dalam 1 malai. Tapi rata-rata terdapat 486 bunga setiap malainya.
58
Bunga mulai membuka (mekar) pukul tujuh pagi sampai pukul 3 sore. Mekarnya bunga hermaprodit mencapai puncaknya pada pukul 9 – 11, sedangkan di India puncak mekarnya bunga pada pukul 11.30 – 12.30 siang. Penelitian di Tanzania melaporkan bahwa stigma reseptif 1 hari setelah anthesis dan berakhir 2 hari setelah itu, dengan periode optimumnya sesaat setelah anthesis. Tetapi penelitian lain menyatakan bahwa stigma reseptif cuma 1 hari dan keesokan harinya sudah tidak reseptif lagi. Anther dehiscence satu sampai beberapa jam setelah itu. Mekarnya bunga dan anther dehiscence dipengaruhi oleh suhu dan iklim lokal, sehingga pada beberapa daerah sedikit ada perbedaan waktu mekarnya bunga. Pada tempat yang sama, bunga tanaman yang terkena sinar matahari akan mekar lebih dulu daripada tanaman yang kena naungan. Waktu antara mekarnya bunga dan anther dehiscence sangat pendek pada saat udara panas dibandingkan dengan mekarnya bunga di pagi hari. Waktu terpanjang adalah antara mekarnya bunga dan anther dehiscence sedangkan yang terpendek adalah waktu terjadinya penyerbukan sendiri. Polen dari jambu mete bersifat lengket dan viabel selama 2 hari. Penelitian di Jamaica menunjukkan bahwa periode pembungaan berlangsung selama 2,5 bulan, dan puncak pembungaan terjadi pada minggu keempat setelah bunga pertama muncul. Wunnachit (1991) melaporkan bahwa ada korelasi antara jumlah bunga hermaprodit yang mekar dengan inisiasi dan pembentukan fruit set. Bunga majemuk muncul pada bagian terminal tempat perkembangan tunas, tetapi studi di Malaysia melaporkan bahwa bunga majemuk muncul di bagian terminal tanpa adanya tunas sebelumnya. Bunga majemuk juga dapat tumbuh pada bagian samping jika tunas terminal rusak. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembungaan Pembungaan merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan produksi tanaman budidaya. Proses pembungaan pada dasarnya merupakan interaksi dari pengaruh dua faktor besar, yaitu faktor eksternal (lingkungan) dan internal. Faktor eksternal (lingkungan) yakni suhu, cahaya, kelembapan, dan unsur hara, sedangkan faktor internal yaitu fitohormon dan genetik. Serangan hama dan penyakit juga mempengaruhi pembungaan. Pada tanaman jembu mete, selain faktor-faktor di atas secara genetis pembentukan bunga hemaprodit terjadi sangat rendah. Jambu mete menginginkan suhu tinggi, banyak cahaya, dan tidak cocok terhadap salju, walaupun hanya sebentar. Tumbuh pada daerah hangat lembab, dan ketinggian 0-1.200 m dpl tapi batas optimum untuk pembungaan hanya sampai 700 m dpl, curah hujan tahunan
Melati: Pembungaan dan penyerbukan pada jambu mete (Anacardium occidentale L)
500-3.500 mm. Budidaya jambu mete paling sesuai di daerah yang mempunyai jumlah curah hujan antara 1.000-2.000 mm/tahun dengan 4-6 bulan kering (<60 mm) serta distribusi hujan yang merata dengan suhu rata-rata 20-35oC. Penyebaran antara 27o Lintang Utara dan 28o Lintang Selatan. Hujan yang berlebihan pada saat berbunga dapat berpengaruh nyata terhadap penurunan produksi buah karena buah memerlukan musim panas untuk masak (Joker, 2001). Di daerah yang mengalami curah hujan sepanjang tahun, pembungaan jambu mete juga dapat terjadi sepanjang tahun, tetapi bunga menjadi rontok. Pada daerah yang mengalami dua periode musim kering, maka pembungaan dapat terjadi dua kali setahun. Karmawati (2006) melaporkan bahwa jambu mete yang ditanam di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada musim kemarau ditandai dengan tingginya jumlah bunga yang dijumpai di pertanaman dan tidak dijumpai pucuk. Hasil penelitian Lubis et al. (1999) melaporkan bahwa di Bogor pengamatan pada umur 11 bulan setelah perlakuan pengaruh cekaman air terhadap pembungaan didapatkan bahwa cekaman air berpengaruh nyata terhadap pembentukan tandan bunga, dengan kecenderungan menurun seiring dengan peningkatan cekaman air. Namun cekaman air tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap perbandingan bunga jantan, hermaprodit, dan nisbah bunga hermaprodit dibanding total bunga. Pengaruh awal dari kekurangan air pada tanaman adalah terhambatnya pembukaan stomata daun serta terjadinya perubahan morfologis (pertumbuhan tanaman) dan fisiologis daun (Penny Packer et al., 1990 dalam Rusmin et al., 2002). Lubis et al. (1999) melaporkan bahwa pada tanaman jambu mete, cekaman air berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan vegetatif serta pembentukan tandan bunga, jumlah gelondong, dan hasil. Firman (2006) melaporkan bahwa pembuatan rorak di daerah yang dipengaruhi musim hujan yang berlangsung singkat (± 3 bulan) merupakan suatu upaya untuk menahan air agar dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk pertumbuhan dan peningkatan produktivitas tanaman jambu mete. Rorak dibuat di antara tanaman jambu mete sebanyak delapan titik dengan panjang 1 m, lebar 0,4 m, dan dalam 0,7-0,8 m (Gambar 2). Pertumbuhan generatif tanaman jambu mete yang mendapat perlakuan rorak memperlihatkan perkembangan yang lebih baik (Tabel 3). Pada saat berbunga bulan Juni-Juli, bunga muncul serempak dan merata hampir pada seluruh permukaan tajuk. Pada tanaman jambu mete tanpa rorak, pembungaan kurang merata dan hanya terjadi pada sebagian permukaan tajuk bagian atas. Menurut Schaper dalam Chipojola (2009) bahwa di Australia Utara didapatkan adanya perbedaan yang
nyata pada proses fotosintesis antara jambu mete yang diberi irigasi dengan tanaman tanpa irigasi, pada bulan Oktober, kadar air tanah rendah dan tanaman mempunyai buah yang banyak. Studi di India menunjukkan bahwa tanaman muda responsif terhadap pemupukan N dan P, dimana dengan penambahan N dan P dapat meningkatkan pembungaan (Tabel 2). Tanaman yang dipupuk dengan N dan P, pada umur 4,5 tahun sudah berbunga semuanya (100%), sedangkan yang tidak dipupuk hanya berbunga 31 %. Di Madagaskar ditemukan bahwa N dan K merupakan nutrisi yang penting selama pembentukan buah semu, demikian juga N dan P dibutuhkan sebelum buah semu terbentuk.
Gambar 2.
Denah pembuatan rorak pada pertanaman jambu mete di Desa Nampar Mancing, NTT, 2004– 2005. (Firman, 2006)
Figure 2.
Sketch of rorak positions in chasew plantation in Ngampar Mancing Village, NTT, 2004-2005. (Firman, 2006)
Tabel 2.
Table 2.
Pengaruh pemupukan N pembungaan jambu mente
dan
P
terhadap
The Influence of N and P fertilization on cashew flowering
Pemupukan
Persentase pembungaan pada umur tanaman 2,5 tahun 3,5 tahun 4,5 tahun
N dan P
35 %
87 %
100 %
Tanpa N dan P
0%
8%
31 %
Sumber : Mandal (2009).
Serangan serangga pada bunga jambu mete dapat merusak bunga. Salah satu hama yang menyerang yaitu wereng pucuk (Sanurus indecora) (Siswanto et al., 2003) yang sebelumnya dikenal sebagai Lawana candida. Serangga ini menyerang tanaman jambu mete di NTB menjelang musim bunga yaitu April/Mei dan mencapai puncaknya pada musim bunga/buah yaitu Agustus/ September (Siswanto et al., 2002). Kerugian akibat se-
59
PERKEMBANGAN TEKNOLOGI TRO VOL. 21 No. 2, Desember 2009: 56-63
rangannya menurunkan hasil sampai 57,83% (Mardiningsih et al., 2004). Penyebaran S. indecora secara eksplosif menyerang tanaman jambu mete di propinsi NTB, Wonogiri, Jawa Tengah. Baik nimfa maupun imago merupakan serangga menusuk dan mengisap cairan tanaman. Pada bekas tusukan nimfa dan imago yaitu pada pucuk dan tangkai bunga, tampak titik-titik hitam yang agak menonjol seperti bisul. Apabila dibelah titik hitam tersebut akan terlihat bahwa bekas tusukan yang tembus mencapai jaringan floem dan xilem, akibatnya mengganggu unsur hara menuju ke bunga sehingga bunga tidak dapat berkembang dan akhirnya akan menurunkan produksi. Pada populasi tinggi, serangan S. indecora terutama pada tangkai bunga dan bunga, mengakibatkan bagian terserang cepat kering sehingga bunga tidak dapat menjadi buah. Selain itu dapat menyebabkan terhalangnya serangga penyerbuk melakukan aktivitas penyerbukan. Permukaan daun banyak ditumbuhi cendawan jelaga karena adanya embun madu yang dihasilkan oleh S. indecora. (Siswanto et al., 2003). PENYERBUKAN Angin kurang berperan dalam proses penyerbukan putik tanaman jambu mete. Serangga lebih berperan dalam proses penyerbukan karena serbuk sari jambu mete pekat dan berbau sangat harum. Freistan dan Paxton (1996) melaporkan bahwa angin mempunyai peranan yang kecil pada penyerbukan jambu mente. Free dan William dalam Bhattacharya (2004) melaporkan bahwa lebah dan tawon merupakan polinator utama jambu mete. Di India serangga penyerbukan yang datang cuma sedikit. Pada umumnya tanaman dikunjungi oleh serangga yang berwarna hitam dan semut merah. Wangi bunga yang menyengat dapat menarik datangnya serangga. Di Tanzania dilaporkan bahwa penyerbukan dengan bantuan serangga sangat tinggi dibandingkan penyerbukan dengan manusia. Di Afrika dan Amerika Selatan dilaporkan bahwa bunga jambu mete dikunjungi oleh banyak jenis serangga. Ada kemungkinan penyerbukan sendiri dibantu oleh semut. Jambu mete yang ditanam dalam rumah kaca dimana tidak ada angin, dan serangga yang datang hanya semut, tanaman dapat berbunga dan berbuah tetapi dalam jumlah yang relatif sedikit. Heard et al. (1990) melakukan penelitian tentang penyerbukan jambu mete di Australia menyatakan bahwa angin dan serangga malam tidak berpengaruh terhadap penyerbukan jambu mete. Air yang disemprotkan pada bunga sebagai penyerbukan buatan selama empat kali selama bulan Maret dan April dengan interval waktu 6 hari, ternyata dapat melarutkan zat-zat pada polen selama pembungaan.
60
Peranan serangga penyerbuk Pemanfaatan serangga penyerbuk dalam usaha pertanian dan perkebunan belum banyak dilakukan di Indonesia, padahal serangga penyerbuk merupakan salah satu faktor penentu produksi buah. Tanaman jambu mete memerlukan bantuan serangga untuk penyerbukannya. Hal ini telah dibuktikan dengan percobaan pengerodongan bunga dengan menggunakan kurungan berpori. Perlakuan tanpa kehadiran serangga jumlah bunga yang menjadi buah turun 6-7 kali dibanding dengan bunga yang tidak dikurung, karena serangga dapat bebas mengunjunginya. Produktivitas tanaman jambu mete berhubungan erat dengan keragaman serangga pada musim pembungaan. Jenis serangga yang ditemukan pada musim berbunga sangat banyak, namun jenis yang potensial membantu penyerbukan belum banyak diketahui. Biasanya serangga mengunjungi bunga untuk mencari makan, bukan secara sengaja untuk melakukan penyerbukan. Proses terjadinya penyerbukan merupakan efek samping dari kegiatan mencari makan tersebut. Serangga penyerbuk memerlukan tepung sari dan atau nektar yang diproduksi oleh bunga tanaman untuk kepentingan hidupnya, sehingga musim bunga menjadi penting untuk terjadinya proses penyerbukan oleh serangga. Pada musim bunga jambu mete banyak serangga yang berasosiasi dengan bunga tersebut. Seranggaserangga tersebut bukan hanya serangga penyerbuk yang mempunyai kepentingan langsung terhadap bunga, tetapi termasuk serangga-serangga hama, parasitoid, predator dan serangga-serangga lain. Keragaman serangga pada suatu areal pertanaman jambu mete saat musim bunga menjadi sangat penting dalam menentukan produktivitas buah. Ada kecenderungan bahwa bila keragaman serangga tinggi dan merata, produksi yang dicapai juga tinggi. Keragaman serangga pada suatu areal pertanaman berhubungan dengan kondisi habitat atau agro-sistem setempat. Pada habitat yang berbeda seringkali ditemukan keragaman jenis serangga yang berbeda (Siswanto dan Sukardi, 1996). Studi tentang pengerodongan bunga telah dilakukan di India. Hasilnya menunjukkan bahwa pada bunga yang tidak dikerodong (A), serangga bebas untuk datang dan menyerbuki sepanjang hari, total fruit set yang dihasilkan cukup tinggi. Bunga dibungkus (dikerodong terus menerus) (E) dan bunga yang dikerodong pada siang hari (D) (pukul 7.00 – 17.00), kerodong dibuka pada malam hari dimana yang ada hanya serangga malam saja tidak terjadi pembentukan fruit set. Hal ini menunjukkan bahwa serangga yang aktif pada malam hari tidak membantu penyerbukan pada jambu mete. Pada tanaman yang dikerodong tetapi semut dibiarkan untuk masuk (G) menunjukkan bahwa walaupun jumlah
Melati: Pembungaan dan penyerbukan pada jambu mete (Anacardium occidentale L)
Tabel 3.
Table 3.
Pengaruh pengerodongan dan penyerbukan pada ”fruit set ”
Effect of hooding and pollination on the "fruit set"
Total pembungaan Total fruit set Persentase fruit set Persentase polen viable
A 3.485 272 7,8 75
B 3.592 258 7,2 77
C 3.254 181 5,5 63
Perlakuan D 3.936 0 0 48
E 2.960 0 0 76
F 3.235 334 10,32 75
G 3.160 4 0,12 26
Sumber: Bhattacharya, 2004 Keterangan : A. Bunga tidak dikerodong (kontrol) B. Bunga tidak dikerodong jam 7.00 – 13.00 dan dikerodong jam 13.00 – 17.00. C. Bunga tidak dikerodong jam 13.00 – 17.00 dan dikerodong jam 17.00 – 13.00. D. Bunga tidak dikerodong jam 17.00 – 7.00 dan dikerodong jam 7.00 – 17.00 E. Bunga dikerodong terus menerus. F. Bunga dikurung dengan lebah tertentu jam 9.00 – 13.00 dan dikerodong jam 13.00 – 19.00, tetapi semut tidak bisa masuk G. Bunga dikerodong terus menerus menggunakan jaring nilon sehingga lebah dan serangga tidak bisa masuk, hanya semut yang bisa masuk
bunga yang terbentuk banyak tapi total fruit set rendah sekali. Hal ini diduga disebabkan oleh semut yang dapat merusak polen yang ada. Pada perlakuan (F) menunjukkan hasil pembentukan fruit set paling tinggi diban dibandingkan perlakuan lainnya, serangga yang dibiarkan untuk menyerbuki hanya lebah sedangkan semut tidak dibiarkan masuk kedalam kerodong (Tabel 3). Pembentukan fruit set paling tinggi hanya 10,3 %. Persentase polen viabel paling rendah pada perlakuan G, tanaman dikerodong terus menerus dan hanya semut yang dibiarkan untuk masuk. Persentase pembentukan fruit set dan polen viabel pada tanaman yang dibiarkan terbuka cukup tinggi dibandingkan tanaman dikerodong.
Serangga yang dominan mengunjungi yaitu lebah dan semut. Lebah mengunjungi bunga mencapai puncaknya pada pukul 13.00 dan semakin menurun menjelang sore hari (pk 17.00). Lebah dengan bermacam species datang sepanjang hari selama stigma dan polen reseptif. Di India dilaporkan bahwa hanya 3 -12 % fruit set yang terbentuk. Buah yang mencapai dewasa sangat rendah, dibandingkan dengan jumlah bunga hermaprodit yang ada (Ohler, 1979). De Azevedo (1998) menambahkan bahwa pembungaan pada jambu mete hampir sama dengan mangga, dimana bunga jantan dan bunga hermaprodit terdapat dalam bunga majemuk yang sama. Tanaman yang mempunyai bunga majemuk dengan bunga hermaprodit yang lebih banyak sangat menentukan jumlah produksinya. Di Australia dilaporkan bahwa dari 442,9 jumlah bunga per malai yang terbentuk hanya 32,1 (7,3 %) merupakan bunga hermaprodit. Sisanya merupakan bunga jantan dan hanya 15,5 % membentuk fruit set (Ohler, 1997). Peranan Polen Sebagai Bahan Penyerbuk
Gambar 3. Persentase serangga yang datang pada waktu yang berbeda. (Bhattacharya, 2004)
Figure 3. The precentage of insect that came at different times
Aliyu (2007) telah melakukan penelitian tentang polen pada jambu mete. Peranan interaksi stigma dan pertumbuhan tabung polen sebagai standar terjadinya genetic compatibility telah dilakukan di Nigeria selama 3 tahun. Hasilnya menunjukkan bahwa terjadinya penyerbukan silang dari polen cross compatibility (CC) sebanyak 55 %, dan self compatibility 54,55 %. Hal ini menunjukkan bahwa pada jambu mete self fertile. Hasil pengujian secara sitologi tidak terbukti terjadinya post zygotic self incompatibility dan terhambatnya pembentukan tabung polen, baik pada penyerbukan
61
PERKEMBANGAN TEKNOLOGI TRO VOL. 21 No. 2, Desember 2009: 56-63
Tabel 4.
Table 4.
Persentase pertumbuhan tabung polen pada stigma setelah penyimpanan
The percentage of pollen tube growth on the stigma after storage
Persentase (%) stylus yang terdapat tabung polen Suhu dingin Suhu ruang Rata-rata (8 – 10 o C) (27-29 oC) 0 hari 80 80 80 1 hari 87 55 71 2 hari 67 61 64 3 hari 83 66 74 4 hari 71 50 60 5 hari 66 0 33 Sumber: Wahyuni dan Bermawie (1997) Lama penyimpanan
silang atau penyerbukan sendiri. Untuk mendapatkan pertanaman yang mempunyai produksi tinggi, hendaknya penelitian selanjutnya diarahkan pada kualitas bunga yaitu tingginya polen fertil, kesuburan bunga, tingginya ratio bunga jantan, dan cross compability. Polen merupakan bahan utama dalam program perbaikan tanaman melalui hibridisasi. Pengetahuan tentang polen perlu dikuasai untuk mempertahankan viabilitas polen, terutama bila musim pembungaan dari tanaman yang akan disilangkan berbeda atau berada pada lokasi yang berjauhan. Bunga jantan atau bunga hermaprodit mempunyai 1-2 buah benang sari yang fertil, dicirikan dengan ukuran tangkai sari yang lebih panjang. Bunga jambu mete mulai mekar pukul 6.00 pagi, terutama bunga jantan. Pada waktu bunga hermaprodit mulai mekar, kotak sari bunga jantan yang mekar lebih awal sudah mulai membuka dan polen digunakan untuk penyerbukan. Sementara stigma mulai reseptif sehari sebelum bunga mekar sampai dengan sehari setelah bunga mekar. Salah satu permasalahan yang sering dialami dalam program hibridisasi adalah musim pembungaan yang berbeda antara dua tetua yang disilangkan atau adanya isolasi jarak yang cukup jauh. Masalah ini dapat diatasi dengan penyimpanan polen. Ada tiga metode untuk mengevaluasi kualitas polen yaitu secara in vivo, in vitro dan histokimia. Secara in vivo yaitu dengan cara menempatkan polen pada stigma. Secara in vitro yaitu polen dikecambahkan pada media buatan kemudian dihitung jumlah polen yang berkecambah (membentuk tabung polen). Sedangkan secara histokimia yaitu melalui pewarnaan dengan bahan kimia yang dapat berfungsi sebagai indikator viabilitas polen dengan penampakan warna tertentu. Wahyuni dan Bermawie (1997) telah melakukan penelitian mengenai penyimpanan polen dan didapatkan bahwa polen mempunyai ukuran 35 - 40 µ dengan bentuk agak bulat. Polen mempunyai dinding luar (exine) dan dinding sel bagian dalam (intine). Di sekeliling dinding tersebut terdapat bagian yang lebih
62
tipis (pores) yang dapat berfungsi untuk perkecambahan polen. Pada polen jambu mete jumlah pores ada tiga. Melalui pewarnaan dengan metode Alexander dan pengamatan di bawah mikroskop, stigma jambu mete berwarna ungu gelap. Demikian pula polen yang menempel pada stigma. Polen dapat dibedakan karena bentuk dan ukurannya kelihatan lebih besar dari jaringan kepala putik. Polen yang steril warnanya lebih terang dibanding polen yang tidak steril. Penyimpanan selama empat hari viabilitas polen masih di atas 50% (Tabel 3). Pertumbuhan polen, yang ditandai pada stigma yang berasal dari polen yang disimpan pada suhu ruang sampai lima hari penyimpanan, rata-rata adalah 52% sedangkan yang disimpan pada suhu dingin adalah 75 % (Tabel 4). KESIMPULAN Pembungaan pada jambu mete berlangsung 2,5 bulan dan puncaknya pada minggu keempat setelah bunga pertama muncul. Terdapat korelasi antara jumlah bunga hermaprodit dengan inisiasi pembentukan fruit set dan tidak terjadi self incompatibility pada proses penyerbukan. Pemupukan dengan N dan P dapat meningkatkan persentase pembungaan. Keragaman serangga pada saat musim bunga menentukan produktivitas buah. Faktor yang menghambat pembungaan diantaranya serangan hama wereng pucuk, S. indecora. Untuk meningkatkan terbentuknya fruit set perlu penelitian lebih lanjut mengenai kualitas bunga dan cara mengatasinya melalui perbaikan budidaya. DAFTAR PUSTAKA Aliyu, O.M. 2007. Pollen style compatibility in cashew (Anacardium occidentale L.). Eupthyca. 158, (12), p. 249-260 Anonymous. 2006. Direktorat Jenderal Perkebunan. Statistik Perkebunan. Anonymous. 2009. Cultural Practises and Nutrient Management of Cashew. http://www.egyankosh.ac.in/bitstream/123456789/32241/1/Unit18.pdf Diakses 26 Desember 2009. Bezerra, M.A. De.Lacerda, E.G. Filho, E.B Carlos, dan J.T. Prisco. 2007. Physiology of cashew plants grown under adverse conditions Braz. J. Plant Physiol., 19(4):449-461. Bhattacharya, A. 2004. Flower visitor and fruit set of Anacardium occidentale. Ann. Bot. Fennici 41:385392.
Melati: Pembungaan dan penyerbukan pada jambu mete (Anacardium occidentale L)
Chipojola, F.M., W.F. Mwasel, M.B. Kwapatal, J.M. Bokosiz, J.P. Njoloma, dan M.F. Maliroz. 2009. Morphological characterization of cashew (Anacardium occidentale L.) in four populations in Malawi. African Journal of Biotechnology Vol. 8 (20), pp. 5173-5181. De Azevedo, D.M.P., J.R. Crisóstomo, F.C.G. Imeda, and A.G. Rossetti. 1998. Estimates of genetic correlations and correlated responses to selection in cashew (Anacardium occidentale L.). Genet. Mol. Biol. 21: 344-400. Duncan, I.E. 2001. A Review of the potential for development of Cashew Production in Zona Paz Region, Guatemala, Central America. P 34. Abt Associates Inc. Suite 600-4800 Montgomery Lane Bethesda, MD 20814-5341 Firman, C. 2006. Teknik peningkatan produksi jambu mete (Anacardium occidentale L.) melalui teknologi rorak. Buletin Teknik Pertanian 11 (2): hal 64 – 66. Freitas, B.M. dan R.J. Paxton. 1998. A comparison of two pollinators the introduced honey bee Apis mellifera and an indigenous bee Centris tarsata on cashew (Anacardium occidentale) in its native range of NE Brazil. Journal of Applied Ecology .35, p. 109121
Mandal, R.C. 2009. Cashew (Anacardium occidentale L.). National Research Centre for Cashew, Puttur, Karnataka, India. Mardiningsih, T.L., I.M. Trisawa, A.M. Amir, I.G.N.R. Purnayasa, C. Sukmana, T.E. Wahyono, dan E. Sugandi. 2004. Bioekologi dan pengaruh serangan Sanurus indecora terhadap kehilangan hasil jambu mete. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 10 (3): 112 – 117. McLaughlin, J., C. Balerdi, and J. Crane. 2009. The Cashew Apple in Florida Ohler, J.G. 1979. Cashew. Department of Agricultural Research. Koninklijk Instituut voor de Tropen. Amsterdam. Paiva, J.R., L.de.N.Barros, dan J.J.V. Cavalcanti. 2009. Cashew (Anacardium occidentale L.) Breeding: A Global Perspective. Springer New York.287-384 Robertson, H. 2008. Anacardium occidentale. Biodiversity Explorer. The Web of life in Southern Afrika. Rusmin, D., Sukarman, Melati, dan M. Hasanah. 2002. Pengaruh cekaman air terhadap pertumbuhan bibit empat nomor jambu mente (Anacardium occidentale L.). Jurnal Penelitian Tanaman Industri 8(2): 49-54.
Hadad, E.A., S. Wahyuni, N. Bermawie, B. Sulistiono, Nawi, dan U. Rasiman, 2003. Status pemuliaan tanaman jambu mete. Perkembangan Teknologi TRO Vol. XV, No. 2.
Siswanto, E.A. Wikardi, Wiratno, dan E. Karmawati. 2003. Identifikasi wereng pucuk jambu mete, Sanurus indecora dan beberapa aspek biologinya. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 9(4): 157 - 161.
Heard, T.A., V. Vithanage, and E.K. Chacko. 1990. Pollination biology of cashew in the northern territory of Australia. Australian J. Agric. Res. 41(6): 11011114. http://miamidade.ifas.ufl.edu/old/programs/urbanho rt/publications/PDF/CashewApple.PDF. Diakses 26 Desember 2009
Siswanto, Supriadi, E.A. Wikardi, D. Wahyuno, Wiratno, M. Tombe, dan E. Karmawati. 2002. Hama dan Penyakit Utama Tanaman Jambu Mete serta faktorfaktor yang mempengaruhi perkembangannya. Booklet Bagian Proyek Penelitian PHT Perkebunan Rakyat. Bogor. 48 hal.
Joker, D. 2001. (Anacardium occidentale L. ). Informasi Singkat Benih. No 7 Maret 2001. Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. Karmawati, E. 2006. Peranan faktor lingkungan terhadap populasi Helopeltis spp. dan Sanurus indecora pada jambu mete. Jurnal Littri 12(4), Desember 2006. Hlm. 129 – 134 Lubis, M., Joko Pitono, dan Pasril Wahid. 1999. Pengaruh Cekaman Air terhadap Pertumbuhan dan Produksi pada Tanaman Jambu Mete. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Jurnal Penelitian Tanaman Industri, Vol. 5 (1) 1 – 7
Sri Wahyuni dan Nurliani Bermawie. 1997. Pengaruh Penyimpanan Serbuk Sari Jambu Mete Untuk Bahan Penyerbuk. Prosiding Forum Konsultasi Ilmiah Perbenihan Tanaman Rempah dan Obat, Bogor, 1314 maret 1997. Hal 202-207 Vieira, M.R., C.F. Lacerda, M.J.D. Cândido, P.L. Carvalho, R.N.T. Costa, and J.N. Tabosa. 2005. Produtividade e qualidade da forragem de sorgo irrigado com águas salinas. Rev. Bras. Eng. Agric. Amb. 9:42-46. Wunnachit. 1991. Flowering and Fruiting Phenology Cashew in Australia. Department of Plant Science, Faculty of Natural Resources. Prince of Songkla University, Hat Yai, Songkhla.90112. 9 P.
63