Seminar Nasional Hasil Penelitian Unggulan Bidang Pangan Nabati Bogor, 25 September 2014
PEMBUATAN KOMPOS BERBAHAN DASAR POTONGAN RUMPUT DAN KOTORAN SAPI SERTA PEMANFAATANNYA UNTUK TANAMAN SAYURAN Dody Priadi dan Tri Muji Ermayanti Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI Jalan Raya Bogor Km 46 Cibinong 16911 Telp. (021)8754587 Fax. (021)8754588 Email :
[email protected]
ABSTRAK Kompos merupakan pupuk organik ramah lingkungan yang penting memperbaiki struktur fisik dan kimia tanah sehingga dapat memperkaya hara yang dapat memacu pertumbuhan tanaman. Dalam rangka aplikasi sistem pertanian terpadu di Kebun Plasma Nutfah Puslit Bioteknologi-LIPI telah dilakukan pembuatan kompos berbahan dasar limbah koleksi tanaman dan kotoran ternak sapi. Penelitian bertujuan untuk mengetahui tanggap pertumbuhan tanaman sayuran terhadap kompos yang dihasilkan dari limbah di Kebun Plasma Nutfah. Limbah tanaman yang digunakan adalah potongan rumput dan kotoran sapi. Kedua jenis limbah tersebut dicampur dengan perbandingan 1:3, 2:2 dan 3:1. Proses pembuatan kompos menggunakan bioaktivator Biosmic. Hasil percobaan menunjukkan bahwa kompos yang dihasilkan memenuhi baku mutu pupuk organik (Permentan dan atau SNI). Produk kompos yang dihasilkan (2:2) diujicobakan pada tanaman kangkung darat (Ipomoea reptans), pakcoy (B. rapa var. Chinensis), kailan (Brassica oleracea var. Alboglabra) dan bayam cabut merah (Amaranthus sp.). Dosis pemupukan adalah 8 kg/m2 lahan bedengan menggunakan kompospotongan rumput yang dicampur dengan kotoran sapi. Sebagai pembanding digunakan kompos limbah baglog jamur tiram (Pleurotus ostreatus). Sayuran ditanam pada bedengan yang berukuran 1 x 6 m di dalam rumah sayuran organik Kebun Plasma Nutfah. Pengendalian hama dilakukan secara hayati menggunakan campuran biopestisida dan mekanik menggunakan yellow sticky trap. Parameter yang diamati terdiri dari tinggi tanaman, jumlah daun dan biomassa basah. Selain pada pakcoy, hasil aplikasi kompos pada tiga jenis sayuran yang diujicobakan tersebut menunjukkan peningkatan biomassa dibandingkan dengan kompos baglog jamur tiram. Karakter tinggi tanaman dan jumlah daun meningkat masing-masing 24% dan 14% pada bayam cabut merah, sedangkan peningkatan biomassa basah tertinggi (50%) diperoleh dari kangkung darat. Kata kunci: kebun plasma nutfah, sistem pertanian terpadu, kompos, sayuran organik
PENDAHULUAN Pengomposan adalah dekomposisi terkontrol dari bahan organik menjadi bahan organik yang stabil dan sehat sehingga dapat digunakan sebagai soil conditioner dalam pertanian (Termorshuizen et.al., 2004). Proses pengomposan secara alami memerlukan waktu yang lama (6-12 bulan), tetapi dengan penambahan bioaktivator yang berupa konsorsium mikroba, proses ini dapat dipersingkat (Budihardjo, 2006). 169 | P a g e
Seminar Nasional Hasil Penelitian Unggulan Bidang Pangan Nabati Bogor, 25 September 2014
Jenis bahan baku merupakan faktor yang sangat penting dalam pembuatan kompos karena menurut Saidi et. al., (2008) jenis bahan kompos yang digunakan menentukan kualitas produk kompos yang dihasilkan. Kompos berperan dalam memperbaiki struktur tanah, memperbesar kemampuan tanah dalam menyerap dan menahan air serta zat-zat hara. Dewasa ini kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi sayuran sehat yang bebas pupuk kimia dan pestisida semakin meningkat sehingga kebutuhan kompos untuk pengelolaan pertanian organik semakin meningkat pula. Tanaman sayuran yang berumur singkat serta mempunyai produktivitas dan nilai jual yang tinggi seperti pakcoy (Brassica rapa sub. chinensis) dipilih sebagai salah satu komoditas dalam sistim budidaya secara organik (Perwitasari et.al., 2012). Aplikasi sistem pertanian terpadu telah dilaksanakan di Kebun Plasma Nutfah Puslit Bioteknologi-LIPI dengan memanfaatkan limbah kebun yang berupa potongan rumput dan kotoran sapi untuk pembuatan kompos dan biogas. Kompos yang dihasilkan digunakan kembali untuk pemupukan tanaman koleksi atau tanaman pakan ternak. Dengan demikian limbah yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sepenuhnya (zero waste). Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh kompos yang berasal dari limbah kebun plasma nutfah dibandingkan dengan kompos yang berasal dari limbah baglog jamur tiram terhadap pertumbuhan empat jenis sayuran yang banyak dikonsumsi masyarakat yang dikelola secara organik.
BAHAN DAN METODE Bahan Bahan yang digunakan untuk pembuatan kompos adalah limbah kebun plasma nutfah yaitu potongan rumput dan kotoran sapi yang dicampur dengan perbandingan 1:3, 2:2 dan 3:1 dengan penambahan bioaktivator komersial dengan merek dagang Biosmic. Percobaan pengomposan Sebelum proses pengomposan, rumput dicacah secara manual atau menggunakan mesin chopper untuk mempermudah proses dekomposisi oleh mikroba aktivator. potongan rumput tersebut dicampur dengan kotoran sapi dan bioaktivator sesuai dengan perbandingan yang telah ditentukan yaitu dengan perbandingan 1:3, 2:2 dan 3:1 (RB1-3; RB2-2 dan RB3-1) sehingga berat akhir setiap perlakuan adalah 5 kg. Setiap perlakuan dilembabkan dengan 150 ml akuades. Proses pengomposan dilakukan secara aerob di dalam ember plastik yang berdiameter 45 cm. Menurut Cooperband (2002), proses pengomposan secara aerob adalah proses dekomposisi yang paling efisien dan dapat menghasilkan kompos matang dalam waktu paling singkat. Pengamatan difokuskan kepada tiga parameter yaitu suhu, pH dan 170 | P a g e
Seminar Nasional Hasil Penelitian Unggulan Bidang Pangan Nabati Bogor, 25 September 2014
kelembaban karena menurut Tchobanoglous & Keith (2002) faktor yang mempengaruhi proses pengomposan antara lain adalah suhu, kelembaban dan pH. Pengukuran suhu, pH dan kelembaban Suhu dan kelembaban selama proses pengomposan dimonitor menggunakan thermohigrometer digital (SK-80TRH) yaitu dengan cara menusukkan sensor alat tersebut yang berupa jarum dan diberi gagang sehingga dapat diarahkan kepada bagian tengah kompos, sedangkan pH diukur menggunakan pH meter digital (Adwa AD11) yaitu dengan cara melarutkan 1 gram sampel kompos dalam 20 ml akuades. Setiap pengukuran suhu maupun pH dilakukan secara triplo. Pengamatan suhu, kelembaban dan pH kompos dilakukan setiap 3 hari sampai kompos dinyatakan matang. Analisis Kimia Kompos yang telah matang mempunyai karakteristik antara lain tidak berbau menyengat dan berwarna coklat kehitaman (Zaman & Sutrisno, 2007). Analisis kadar N, P dan K kompos matang dari semua perlakuan campuran bahan kompos (1:3, 2:2 dan 3:1) dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanah Bogor sebagai salah satu lembaga resmi untuk melakukan uji mutu pupuk organik dan pembenah tanah yang ditunjuk oleh Kementerian Pertanian. Sampel kompos yang memenuhi baku mutu pupuk organik berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011 dan atau SNI 19-7030-2004 diperbanyak untuk kemudian diaplikasikan pada tanaman sayuran. Aplikasi pada tanaman sayuran Kompos matang berbahan dasar potongan rumput dengan kotoran sapi (2:2) (K2) diujicobakan di rumah sayuran pada tanaman kangkung darat (Ipomoea reptans), pakcoy (B. rapa var. Chinensis), kailan (Brassica oleracea var. Alboglabra Produksi Chung Shin Seed Co. Ltd. Taiwan) dan bayam cabut merah (Amaranthus sp (L.) P. Beauv.). Sebagai pembanding digunakan kompos yang berasal dari bag log jamur tiram (Pleureotus ostreatus) (K-1). Dosis kompos yang digunakan adalah 8kg/m2 lahan bedeng percobaan yang berukuran 6 m (panjang) x 1 m (lebar). Bibit sayuran disemai pada media campuran tanah, kompos dan sekam bakar (1:1:1) dalam pot tray di dalam rumah semai, sedangkan benih kangkung darat disebar langsung di bedengan. Parameter yang diamati adalah rataan tinggi tanaman, jumlah daun dan berat basah. Menurut Widowati (2009) kecukupan hara tanaman dapat diukur dari respon pertumbuhan berdasarkan peubah tinggi, jumlah daun, dan produksi berat basah. Angka rataan parameter pertumbuhan diambil dari 50 contoh tanaman, kecuali untuk berat basah bayam merah diambil dari rataan dua bedengan yang berukuran 6 x 1 m. 171 | P a g e
Seminar Nasional Hasil Penelitian Unggulan Bidang Pangan Nabati Bogor, 25 September 2014
Pada penelitian ini digunakan 2 macam campuran biopestisida. Biopestisida A terdiri dari minyak Cindoya (ekstrak serai wangi) (1 ml/liter air) dan cendawan Metarhizium antisopliae (2 gr/liter air), sedangkan B terdiri dari ekstrak daun mindi, sereh wangi, daun sirsak (0,5 liter larutan pekat/liter air). Penggunaan biopestisida dilakukan setiap 4 hari sampai tanaman siap untuk dipanen. Parameter yang diamati adalah rataan tinggi tanaman, jumlah daun dan biomasa basah.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh suhu, pH dan kelembaban terhadap proses pengomposan Hasil pengamatan proses pengomposan menunjukkan bahwa kompos yang berasal dari potongan rumput yang dicampur dengan kotoran sapi pada semua perbandingan mencapai tingkat kematangan sempurna adalah pada hari ke-46. Menurut Tchobanoglous & Keith (2002) proses pengomposan dibagi dalam 3 tahap yaitu: lag phase yaitu tahap dimana mikroba mulai berkembang; active phase dimana terjadi peningkatan secara eksponensial jumlah mikrobayang ditandai dengan kenaikan suhu; dan maturation phase dimana jumlah mikroba mengalami penurunan yang ditandai dengan menurunnya suhu. Pada percobaan ini kenaikan suhu pada lag phase tidak terlalu tinggi karena potongan rumput maupun kotoran sapi sebagai bahan kompos tidak langsung diproses menjadi kompos dalam keadaan segar tetapi terlebih dahulu dikeringanginkan sehingga pada tahap ini mikroba telah mulai berkembang dan menghasilkan suhu yang tinggi (Gambar 1A). Pola perubahan pH bahan kompos tidak berbanding lurus dengan kelembaban (Gambar 1). Hal tersebut sesuai dengan penelitian Kusuma (2012) bahwa pH tidak dipengaruhi oleh kadar air. Pada awal proses pengomposan keadaan bahan bersifat asam kemudian meningkat menjadi basa pada sekitar hari ke-13 dan akhirnya menurun menjadi 7,6 – 8,3 pada akhir pengomposan (hari-46). Perbandingan bahan baku kompos antara limbah tanaman dan kotoran sapi menghasilkan pola perubahan suhu (Gambar 1a) dan pH (Gambar 1B) yang tidak berbeda. Kelembaban pada awal proses pengomposan adalah lebih dari 90% dan berangsur-angsur menurun hingga kisaran 83-85% pada fase pematangan. Pola perubahan kelembaban pada tiga perbandingan bahan baku juga serupa. (Gambar 1C). Kompos matang yang masih mengandung kadar air yang tinggi perlu diturunkan supaya tidak memicu terjadinya kontaminasi oleh mikroba patogen.
172 | P a g e
Seminar Nasional Hasil Penelitian Unggulan Bidang Pangan Nabati Bogor, 25 September 2014
Gambar 1. Pengaruh perbandingan bahan dan bioaktivator Biosmic terhadap suhu (A), pH (B) dan kelembaban (C) kompos
Analisis kompos Hasil analisis bahan baku pembuatan kompos yaitu limbah pertanian (potongan rumput) dan kotoran sapi disajikan pada Tabel 1. Kadar hara makro seperti N dan K potongan rumput lebih tinggi dibandingkan dengan kotoran sapi, sebaliknya kadar P kotoran sapi lebih tinggi dibandingkan dengan potongan rumput. Dengan demikian kompos yang dibuat dari campuran kedua bahan baku tersebut dapat menghasilkan nutrisi yang lengkap untuk pertumbuhan tanaman. Ratio C/N kedua bahan baku kompos tersebut masih dalam kisaran yang dipersyaratkan oleh baku mutu namun kondisi pH-nya terlalu rendah. Kondisi pH bahan baku kompos yang terlalu rendah akan memperlambat proses pengomposan karena mikroorganisme tidak akan bekerja secara optimal. Hasil analisis kimia kompos menunjukan bahwa sebagian besar perlakuan kombinasi bahan kompos dengan menggunakan bioaktivator Biosmic telah memenuhi persyaratan baku mutu pupuk organik dari Permentan dan atau SNI (Tabel 2). Kompos yang dihasilkan masih mengandung kadar air yang lebih tinggi dari baku mutu. Oleh karena itu perlu dilakukan pengeringan terlebih dahulu hingga memenuhi baku mutu (minimal 50%) dan supaya tidak terkontaminasi oleh mikroba 173 | P a g e
Seminar Nasional Hasil Penelitian Unggulan Bidang Pangan Nabati Bogor, 25 September 2014
yang tidak diinginkan yang justru akan membunuh tanaman karena menurut Yenie (2008), kandungan kelembaban yang terlalu tinggi akan menyebabkan nutrisi dan mikrooganisme patogen larut dalam timbunan kompos. Selain itu dilakukan penyaringan atau pengayakan supaya ukurannya seragam. Nilai pH kompos yang dihasilkan dari ketiga perbandingan bahan baku sesuai dengan baku mutu dari Kementan maupun SNI. Kadar C organik kompos belum memenuhi baku mutu, sedangkan N dan P telah memenuhi SNI. Persen K untuk perbandingan bahan baku kompos RB 1:3 belum memenuhi SNI, akan tetapi perbandingan RB2:2 dan 3:1 telah memenuhi SNI. Nilai C/N telah memenuhi SNI namun belum memenuhi baku mutu acuan dari Kementan (Tabel 2). Tabel 1. Hasil analisis bahan kompos Parameter
Potongan rumput
Kotoran sapi
Kadar air (%)
30,6
67,1
pH
6,0
5,8
C- organik (%)
34,75
8,04
N (%)
1,72
0,56
P2O4 (%)
0,15
0,19
K2O (%)
0,32
0,11
C/N ratio
20,20
14,36
Tabel 2. Hasil analisis kompos matang Kadar air (%)
pH
COrganik (%)
N-total (%)
P (P2O5) (%)
K (K2O5) (%)
C/N
RB (1:3)
80,31
7,3
6,58
0,56
0,18
0,16
12
RB (2:2)
81,05
7,8
6,31
0,59
0,15
0,20
11
RB (3:1)
83,15
7,8
6,50
0,58
0,13
0,25
11
Perlakuan*
Baku Mutu Permentan**
15 - 25
4-9
>15 %
SNI 19-70302004***
50
6,80 7,49
9,8-32
N+P2O5+K2O >4 % ≥ 0,40
≥ 0,10
≥ 0,20
*) RB = Rumput + Kotoran Sapi + Biosmic **) Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011 (Pupuk Organik,Pupuk Hayatidan Pembenah Tanah. ***) SNI 19-7030-2004 (Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik)
174 | P a g e
15-25 10 - 20
Seminar Nasional Hasil Penelitian Unggulan Bidang Pangan Nabati Bogor, 25 September 2014
Aplikasi kompos Aplikasi kompos berbahan baku potongan rumput yang dicampur dengan kotoran sapi (2:2) menunjukkan peningkatan pada semua parameter pertumbuhan tanaman sayuran yang diujicobakan kecuali pada pakcoy, dibandingkan dengan kompos baglog jamur tiram sehingga diperoleh jenis bahan kompos yang paling sesuai untuk tiap jenis sayuran yang diujicoba karena kedua jenis limbah ini banyak dihasilkan dari kegiatan pemeliharaan kebun maupun produksi jamur. Kompos baglog jamur tiram dibuat dari serbuk gergaji yang dicampur dengan kotoran sapi (Tabel 3). Menurut Djaja et.al. (2006), perbandingan kotoran sapi dan serbuk gergaji berpengaruh terhadap kadar nitrogen dan fosfor pada kompos yang dihasilkan. Peningkatan tertinggi karakter tinggi tanaman (24%) dan jumlah daun (14%) diperoleh dari bayam merah cabut, sedangkan peningkatan biomassa basah tertinggi (50%) diperoleh dari kangkung darat. Tabel 3. Pertumbuhan empat jenis tanaman sayuran yang dipupuk dengan dua jenis kompos Jenis sayuran
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah daun
Berat basah* (kg)
Kompos baglog jamur tiram (K-1) Kangkung
34,2
11,7
0,2
Pakcoy
16,8
8,0
0,2
Kailan
17,2
7,9
0,2
Bayam merah
18,0
7,2
2,8
Kompos potongan rumput (K-2) Kangkung
36,6
13,3
0,3
Pakcoy
15,1
7,0
0,1
Kailan
18,2
8,5
0,2
Bayam merah
23,3
9,2
4.0
Keterangan: Angka rataan parameter pertumbuhan diambil dari 50 contoh tanaman, kecuali untuk berat basah bayam merah diambil dari rataan dua bedengan yang berukuran 6 x 1 m.
Aplikasi biopestisida Uji coba kompos pada tanaman sayuran tersebut dilakukan berdasarkan tata cara pertanian organik sehingga pengendalian hama dan penyakitnya menggunakan biopestisida. Menurut Gupta et.al., (2010) biopestisida dianggap pestisida yang ramah lingkungan karena relatif tidak berbahaya terhadap manusia, bersifat spesifik terhadap target sehingga tidak mematikan organisme non target dan mudah
175 | P a g e
Seminar Nasional Hasil Penelitian Unggulan Bidang Pangan Nabati Bogor, 25 September 2014
terdegradasi sehingga mengurangi residu pestisida pada produk pertanian. Selain itu seiring dengan meningkatnya kesadaran konsumen untuk berperilaku sehat dengan mengkonsumsi sayuran organik maka permintaan terhadap sayuran yang dikelola dengan sistem pertanian organik juga akan meningkat. Serangan hama kutu daun (Aphis sp.) terhadap tanaman sayuran merupakan gangguan yang mempengaruhi hasil panen. Hasil aplikasi biopestisida menunjukkan bahwacampuran biopestisida A lebih efektif untuk menanggulangi hama kutu daun yang ditandaimeningkatnya nilai parameter pertumbuhan, kecuali pada jumlah daun yang dipupuk dengan kompos potongan rumput yang dicampur dengan kotoran sapi. Tabel 4 menunjukkan hasil panen bayam merah cabut yang disemprot dengan 2 macam campuran biopestisida. Tabel 4. Hasil panen bayam merah yang berumur 32 hari di rumah sayuran organik kebun plasma nutfah Jenis kompos
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah daun
Berat basah (kg)
Biopestisida A Kompos baglog jamur tiram (K-1)
18,0
7,2
2,8
Kompos potongan rumput (K-2)
23,3
9,2
4,0
Biopestisida B
Kompos baglog jamur tiram (K-1)
17,3
7,6
1,5
Kompos potongan rumput (K-2)
21,4
8,7
2,0
Keterangan: Angka rataan tinggi tanaman dan jumlah daun diambil dari 50 contoh tanaman, sedangkan berat basah diambil dari rataan dua bedengan yang berukuran 6 x 1 m. Biopestisida A = Minyak Cindoya (ekstrak serai wangi) (1 ml/liter air) dan cendawan Metarhizium antisopliae (2 gr/liter air) Biopestisida B = Ekstrak daun mindi, sereh wangi, daun sirsak (0,5 liter larutan pekat/liter air).
KESIMPULAN Kematangan kompos semua perlakuan perbandingan bahan campuran potongan rumput dan kotoran sapi tercapai pada hari ke-46. Kompos yang dihasilkan oleh sebagian besar perlakuan percobaan telah memenuhi baku mutu pupuk organik dari Permentan dan atau SNI.Hasil aplikasi kompos pada kangkung darat, pakcoy, kailan dan bayam cabut merah yang diujicobakan menunjukkan peningkatan biomassa dibandingkan dengan kompos berbahan dasar baglog jamur tiram kecuali pada pakcoy. Karakter tinggi tanaman dan jumlah daun meningkat masing-masing 24%
176 | P a g e
Seminar Nasional Hasil Penelitian Unggulan Bidang Pangan Nabati Bogor, 25 September 2014
dan 14% pada bayam merah cabut, sedangkan peningkatan biomassa basah tertinggi (50%) diperoleh dari kangkung darat.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai oleh kegiatan DIPA Prioritas Nasional Meat Milk-Pro Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI Tahun Anggaran 2013-2014. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Agus Arfani SP dan para teknisi Kebun Plasma Nutfah yang telah membantu pelaksanaan kegiatan ini.
DAFTAR PUSTAKA Badan Standardisasi Nasional. SNI 19-7030-2004 (Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik) Budihardjo, M.A. 2006. Studi potensi pengomposan sampah kota sebagai salah satu alternatif pengelolaan sampah di TPA dengan mengunakan aktivator EM4 (Effective Microorganism). Jurnal Presipitasi 1(1): 25-30. Cooperband, L. 2002. The Art and Science of Composting. A Resource for Farmers and Compost Producers. Center for Integrated Agricultural Systems. University of Wisconsin-Madison. 14 pp. Djaja, W., N.K. Suwardi dan L.B. Salman. 2006. Pengaruh imbangan kotoran sapi perah dan serbuk gergaji kayu albizia terhadap kandungan nitrogen, fosfor dan kalium serta nilai C:N ratio kompos. Jurnal Ilmu Ternak 6(2) : 87 – 90. Gupta, Suman and A.K. Dikshit. 2010. ―Biopesticides : An ecofriendly approach for pest control‖. Journal of Biopesticides 3 (1 Special Issue) 186 – 188. Kusuma, M.A. 2012. Pengaruh Variasi Kadar Air terhadap Laju Dekomposisi Kompos Sampah Organic di Kota Depok. Tesis Fak. Teknik Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Indonesia. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011 tentang Pupuk Organik, Pupuk Hayati, dan Pembenah Tanah. Perwitasari, B., Mustika T., Catur W. 2012. Pengaruh media tanam dan nutrisi terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman pakcoy (Brassica juncea L.) dengan sistem hidroponik. Agrovigor 5 (1) : 14-25. Saidi N, Chérif M, Jedidi N, Mahrouk M, Fumio M, Boudabous A & Hassen A. (2008). Evolution of biochemical parameters during composting of various wastes compost. American Journal of Environmental Sciences 4(4): 332341. Tchobanoglous, G. & F. Keith. 2002. Handbook of Solid Waste Management. 2nd edition. New York: McGraw-Hill. Termorshuizen, A.J., S.W. Moolenaar, A.H.M. Veeken & W.J. Blok. 2004. The value of compost. Reviews in Environmental Science & Bio/Technology 3: 343–347. Widowati, L.R. 2009. Peranan pupuk organik terhadap efisiensi pemupukan dan tingkat kebutuhannya untuk tanaman sayuran pada tanah inseptisols Ciherang, Bogor. J. Tanah Trop. 14(3): 221-228.
177 | P a g e
Seminar Nasional Hasil Penelitian Unggulan Bidang Pangan Nabati Bogor, 25 September 2014
Yenie, E. (2008). Kelembaban bahan dan suhu kompos sebagai parameter yang mempengaruhi proses pengomposan pada Unit Pengomposan Rumbai. Jurnal Sains dan Teknologi 7 (2): 58-61. Zaman B & Sutrisno E. 2007. Studi pengaruh pencampuran sampah domestik, sekam padi, dan ampas tebu dengan metode Mac Donald terhadap kematangan kompos. Jurnal Presipitasi 2(1):1-7.
178 | P a g e