KARAKTERISASI SENYAWA ORGANIK LARUT AIR (SOLA) DALAM KOMPOS BERBAHAN DASAR KOTORAN AYAM DAN KOTORAN SAPI
Oleh Balthasar Fahik Feo A14070078
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ii
RINGKASAN
BALTHASAR FAHIK FEO. Karakterisasi Senyawa Organik Larut Air (SOLA) dalam Kompos Berbahan Dasar Kotoran Ayam dan Kotoran Sapi. Dibawah bimbingan ISKANDAR dan DYAH TJAHYANDARI SURYANINGTYAS. Kompos merupakan bahan organik padat yang biasa digunakan sebagai pupuk organik untuk memperbaiki sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, Namun, kompos memiliki kandungan hara yang rendah sehingga penggunaan kompos harus dalam jumlah yang bayak. Hal ini menjadi faktor penghambat dalam penggunaan kompos, oleh karena itu diperlukan suatu teknologi untuk mengatasi kekurangan tersebut. Teknologi yang telah diteliti yaitu penggunaan ekstrak bahan organik yang dikenal dengan istilah senyawa organik larut air (SOLA) atau Water Extractable Organic Matter (WEOM). Tujuan penelitian ini adalah karakterisasi terhadap SOLA yang diperoleh melalui penyaringan ekstrak bahan organik menggunakan saringan membran 0,45 µm. Bahan organik yang digunakan berupa tiga jenis kompos yang berbahan dasar kotoran ayam dan kotoran sapi. Kompos yang digunakan yaitu kompos A (kompos kotoran ayam), kompos B (kompos kotoran sapi) dan kompos C (kompos yang berasal dari campuran kotoran ayam, kotoran sapi, jerami dan sekam). Parameter SOLA yang dianalisis adalah pH, daya hantar listrik, karbon organik terlarut, kandungan hara dari kompos yang digunakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa SOLA yang diekstrak dari ketiga jenis kompos memiliki pH netral. SOLA dari Kompos A dan kompos B memiliki pH 6,7, sedangkan SOLA kompos C memiliki pH 6,4. Kompos B dan kompos C memiliki daya hantar listrik (DHL) berturut-turut sebesar 0,7 mS/cm dan 0,8 mS/cm, sedangkan kandungan karbon organik terlarut (DOC) dari kedua jenis kompos tersebut berturut-turut yaitu 142,7 mg/L dan 40,0 mg/L. Kompos kotoran ayam memiliki DHL yang salin (5,6 mS/cm) dan DOC yang sangat tinggi (1.046,1 mg/L). Gugus fungsional yang terkandung pada ketiga jenis kompos diantaranya adalah: gugus C-H (alkana dan alkena), C-O (alkohol, eter, ester dan asam karboksilat), O-H (asam karboksilat), N-H (bend amina dan amida primer dan sekunder) dan gugus berhalogen C-X (khloro, bromo, iodo dan fluoro). Adapun gugus fungsional yang hanya terkandung pada kompos tertentu seperti gugus fungsional O-H (alkohol dan fenol H-bonded) dan C-N (amina) hanya terdapat pada kompos A dan kompos B. Gugus fungsional C-H (aromatik) hanya terdapat pada kompos A dan kompos C, sedangkan gugus fungsional C=C (alkena) dan CH (aldehida) dan O-H (alkohol dan fenol -free) hanya terdapat pada kompos B dan kompos C. Gugus fungsional C≡C (alkuna) dan C-H (alkana-CH3 (bend)) hanya terdapat pada kompos A. Kata kunci: daya hantar listrik, gugus fungsional, karbon organik terlarut, kompos, senyawa organik larut air.
iii
SUMMARY BALTHASAR FAHIK FEO. Characterization of Water Extractable Organic Matter (WEOM) in Chicken Manure and Cow Manure Base Compost. Under supervision of ISKANDAR and DYAH TJAHYANDARI SURYANINGTYAS. Compost is a solid organic matter which is used as organic fertilizer to improve physical, chemical and biological characteristics of soil. The use of compost should be in huge significant amounts, due to its low nutrient content. This is a limiting factor in the use of compost, therefore a technology to overcome these shortage is needed. The technology has been investigated is the use of extracts from organic matter known as Watter Extractable Organic Matter (WEOM). The objective of this research is to characterize of WEOM which is obtained by filtering the extract organic matter with a 0,45 μm filter. The organic matter which used for this research are compost made from chicken manure and cow manure. The compost used are compost A (chicken manure compost), compost B (cow manure compost) and compost C (compost from a mixture of chicken manure, cow manure, straw and chaff). The analyzed parameter of WEOM are pH, electrical conductivity, dissolved organic carbon, nutrient content of compost being used. The results showed that the WEOM extracted from three types of compost has a neutral pH. (WEOM from compost A and compost B has pH 6,7, whereas WEOM from compost C has pH 6,4. Compost B and compost C respectively has the electrical conductivity (EC) of 0,7 mS/cm and 0,8 mS/cm, whereas the content of dissolved organic carbon (DOC) from both types of compost is 142,7 mg/L and 40,0 mg/L. Compost A has a salin EC (5,6 mS/cm) and very high DOC (1.046,1 mg / L). Functional groups which contained in three types of compost are: C-H (alkanes and alkenes), C-O (alcohols, ethers, esters and carboxylic acids), O-H (carboxylic acid), N-H (Primary and secondary amines and amides (bend)) and halogen groups C-X (chloride, bromide, iodide and fluoride). The functional groups that are only contained in certain compost such as functional group O-H (alcohols and phenols H-bonded) and C-N functional group (amine) is only found in compost A and compost B. The functional groups of C-H (aromaties) is only found in compost A and compost C, while the functional group of C = C (alkene), O-H (alcohol and phenol-free) and C-H (aldehyde) is only found in compost B and compost C. The functional group C≡C (alkyne) and C-H (alkane -CH3 (bend)) is only found in compost A. Keywords: Compost, dissolved organic carbon, electrical conductivity, functional group, water extractable organic matter.
iv
KARAKTERISASI SENYAWA ORGANIK LARUT AIR (SOLA) DALAM KOMPOS BERBAHAN DASAR KOTORAN AYAM DAN KOTORAN SAPI
Balthasar Fahik Feo A14070078
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
v
Judul : Karakterisasi Senyawa Organik Larut Air (SOLA) dalam Kompos Berbahan Dasar Kotoran Ayam dan Kotoran Sapi Nama : Balthasar Fahik Feo NRP
: A14070078
Menyetujui, Pembimbing I
Dr. Ir. Iskandar NIP. 19611001198703 1 002
Pembimbing II
Dr. Ir. Dyah Tj.Suryaningtyas, M. Appl.Sc NIP. 19660622199103 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc NIP. 19621113198703 1 003
Tanggal Lulus :
vi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Loofoun, Belu, NTT pada tanggal 15 Februari 1987. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Lazarus Feo dan Ibu Martha Seuk Fahik. Penulis memulai pendidikan di Sekolah Dasar Katolik St. Yusuf Atambua pada tahun 1994 dan lulus tahun 2001. Penulis melanjutkan pendidikan di SMP Katolik Donbosco Atambua, dan lulus pada tahun 2004. Selanjutnya penulis melanjutkan ke SMA N. 1 Atambua dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD). Selama menjadi mahasiswa di IPB, penulis berkesempatan menjadi asisten praktikum mata kuliah Morfologi dan Klasifikasi Tanah pada tahun 2011. Kegiatan kemahasiswaan yang pernah penulis ikuti seperti Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (HMIT) IPB sebagai penanggungjawab badan olahraga dan seni (BOS-HMIT) periode 2010/2011 dan ketua organisasi daerah Keluarga Mahasiswa Nusa Tenggara Timur (GAMANUSRATIM) di Bogor periode 2009/2010.
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan
rahmat
menyelesaikan penelitian
dan
karunia-NYA,
sehingga
penulis
dapat
dan penulisan skripsi ini. Skripsi ini berjudul
“Karakterisasi Senyawa Organik Larut Air (SOLA) dalam Kompos Berbahan Dasar Kotoran Ayam dan Kotoran Sapi” merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Program studi Manajemen Sumberdaya Lahan, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Atas segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan selama penelitian ini dan penulisan skripsi, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, terutama kepada: 1. Dr. Ir. Iskandar selaku dosen pembimbing akademik dan dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan dan nasehat serta saran kepada penulis selama menjalani masa kuliah, penelitian sampai penulisan skripsi. 2. Dr. Ir. Dyah Tj. Suryaningtyas, M. Appl. Sc selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, saran dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi. 3. Dr. Ir. Untung Sudadi, M.Sc selaku dosen penguji yang telah memberikan saran kepada penulis untuk perbaikan skripsi
4. Ibu, Paman, Tante dan seluruh keluarga yang senantiasa memberikan nasehat dan do’a serta dukungan baik material maupun spiritual kepada penulis. 5. Kakak Junianto S. dan Bayu yang telah membantu dan memberikan masukan selama penelitian dan penulisan skripsi.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan rahmat-NYA dan membalas kebaikan semua pihak yang telah membantu penulis, baik yang tersebutkan maupun yang tidak tersebutkan.
viii
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat banyak kekurangan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Bogor, Desember 2011
Penulis
ix
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL Error! Bookmark not defined. DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xii
I. PENDAHULUAN
1
1.1.
Latar Belakang ………………………………………. ……….
1
1.2.
Tujuan Penelitian .....................................................................
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
4
2.1.
Bahan Organik .........................................................................
4
2.2.
Gugus Fungsional ....................................................................
5
2.3
Senyawa Organik Larut Air ......................................................
7
2.4.
Spektrofotometer Infra Merah .................................................
8
III. BAHAN DAN METODE
9
3.1.
Waktu dan Tempat ...................................................................
9
3.2.
Bahan dan Alat .........................................................................
9
3.3.
Metode Penelitian ....................................................................
9
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
12
4.1.
Hasil Analisis Bahan Organik Padat .........................................
12
4.2.
Hasil Analisis Senyawa Organik Larut Air ...............................
22
V. KESIMPULAN DAN SARAN
27
5.1.
Kesimpulan ..............................................................................
27
5.2.
Saran ........................................................................................
27
DAFTAR PUSTAKA
28
LAMPIRAN
31
x
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.
Kandungan Hara dari Kotoran dan Kompos Kompos Sapi dan Ayam..
11
2.
Parameter dan Metode Analisis Bahan Organik Padat…………………
10
3.
Parameter dan Metode Analisis SOLA………………………………...
10
4.
Hasil Analisis Beberapa Sifat Kimia Bahan Organik Padat…………...
16
5.
Hasil Analisis FTIR Kompos A, Kompos B dan Kompos C………….
14
6.
Hasil Analisis Kadar Hara Total dari Beberapa Kompos……………..
22
7.
Hasil Analisis Kandungan Hara dalam SOLA………………………...
25
xi
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Diagram Alir Ekstraksi Senyawa Organik Larut Air……………..... 2.
11
Kemunculan Gugus Fungsional C-O (alkohol, eter, eter, dan sam karboksilat……………………………………………………….......
15
3.
Kemunculan Gugus Fungsional C-H (alkana stretch)……………….
16
4.
Kemunculan Gugus Fungsional C-H (alkena)………………………
16
5.
Kemunculan Gugus Fungsional N-H amina dan amida primer dan sekunder-bend)…………………………………………………......
6.
16
Kemunculan Gugus Fungsional C-X (chloride, fluoride, bromide, dan iodide)………………………………………………………......
17
7.
Kemunculan Gugus Fungsional O-H (asam karboksilat)……………
17
8.
Kemunculan Gugus Fungsional C=O (amida)……………………….
17
9.
Kemunculan Gugus Fungsional C-H (aromatik)…………………….
18
10. Kemunculan Gugus Fungsional N-H amina dan amida primer dan sekunder-strecth)……………………………………………………
18
11. Kemunculan Gugus Fungsional C-N (amina)……………………….
19
12. Kemunculan Gugus Fungsional O-H (alkohol, fenol H-bonded)
19
13. Kemunculan Gugus Fungsional O-H (alkohol, fenol -free)…………
19
14. Kemunculan Gugus Fungsional C-H (aldehida) ……………………
20
15. Kemunculan Gugus Fungsional C=C (alkena)………………..…….
20
16. Kemunculan Gugus Fungsional Kemunculan Gugus Fungsional C-H (alkana –CH3 bend) dan C≡C (alkuna) ………………..……..
20
17. Diagram Grafik Perubahan pH Bahan Organik Setelah Diekstrak....
25
18. Grafik Perubahan Kandungan Unsur Hara Makro Dari Kompos A..
25
19. Grafik Perubahan Kandungan Unsur Hara Makro Dari Kompos B...
25
20. Grafik Perubahan Kandungan Unsur Hara Makro Dari Kompos C..
26
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Data Pengukuran Gugus Fungsional Kompos A……………. …......
32
2.
Data Pengukuran Gugus Fungsional Kompos B ……………………
33
3.
Data Pengukuran Gugus Fungsional Kompos C……………………
34
4.
Hasil Analisis FTIR pada kompos A………………………………..
35
5.
Hasil Analisis FTIR pada kompos B…………………………………
35
6.
Hasil Analisis FTIR pada kompos……………………………………
36
1
I.
1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memiliki lahan pertanian yang luas dengan intensitas penggunaannya yang sangat tinggi. Tingkat penggunaan lahan pertanian yang tinggi ini sering diiringi dengan penggunaan pupuk anorganik untuk meningkatkan produksi pertanian. Padahal berbagai penelitian telah banyak menyebutkan bahwa cara pertanian demikian telah menyebabkan terjadinya kerusakan tanah, baik sifat fisik, kimia maupun biologi tanah. Kerusakan tanah perlu diperbaiki sebab bila dibiarkan akan dapat menurunkan produktivitas pertanian. Kerusakan tanah akibat kegiatan pertanian dapat diperbaiki dengan menambahkan bahan organik. Penambahan bahan organik ke lahan pertanian tidak hanya memperbaiki sifar-sifat tanah yang rusak tetapi dapat juga meningkatkan produktivitas tanaman dan mengurangi penggunaan pupuk anorganik. Hal ini dibuktikan oleh Hatta (2005) dimana produktivitas tanaman padi gogorancah yang diberi pupuk kotoran ayam 1 ton ha-1 lebih tinggi 1,4 ton ha-1 dibandingkan dengan tanaman yang tidak diberi pupuk organik, serta penggunaan bahan organik juga dapat mengurangi penggunaan pupuk urea dan KC1 masing-masing sebanyak 30 kg dan 25 kg. Bahan organik yang sering digunakan sebagai pupuk dalam pertanian adalah kotoran ternak yang dikenal dengan istilah pupuk kandang. Pupuk kandang sering diolah menjadi kompos untuk meningkatkan haranya dan mematangkan pupuk kandang dengan menurunkan nisbah C/N dari pupuk kandang tersebut. Hal ini dilakukan agar penambahan bahan organik tidak menggangu pertumbuhan tanaman. Bahan organik yang digunakan seperti pupuk kandang atau kompos merupakan bahan organik padat. Bahan organik ini memiliki beberapa kekurangan seperti kandungan hara yang lebih rendah daripada pupuk anorganik, sehingga bila digunakan sebagai pupuk, maka diperlukan dalam jumlah yang banyak. Selain itu, respon tanaman lambat dan bila diberikan di daerah tropis
2
maka tingkat dekomposisinya sangat cepat, sehingga efek residunya kecil. Untuk mengatasi kekurangan-kekurangan ini, maka diperlukan suatu teknologi yang dapat menyediakan unsur hara yang berasal dari bahan organik yang segera tersedia bagi tanaman. Salah satu teknologi yang telah diterapkan adalah penggunaan ekstrak bahan organik. Bahan organik diekstrak menggunakan H2O dan dikenal dengan sebutan Water-Extractable Organic Matter (WEOM) atau senyawa organik larut air (SOLA). SOLA memiliki peran utama dalam banyak proses kimia dan biologis yang terjadi dalam pembentukan kompos, termasuk reaksi xenobiotik organik dan anorganik, transportasi hara dan bioavailabilitas, aktivitas mikroba dan biokontrol berbagai macam phytopathogens tanaman (Bernal-Vicente et al., 2008 dan Kohler et al., 2008 dalam Traversa et al., 2010). Senyawa organik larut air memberikan pengaruh yang kuat terhadap ekologi, berperan sebagai pelarut dan transport pencemar organik seperti logam berat (Kalbitz dan Wennrich, 1998 dalam Embacher et al., 2007). Efektifitas SOLA pada tanaman telah dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan oleh Traversa et al. (2010) dimana penggunaan SOLA tidak hanya memperkaya bahan organik tanah namun dapat juga memberikan efek positif pada tanaman, yaitu pada pertumbuhan awal tanaman tomat dan selada, khususnya pada panjang tunas dan bobot basah. Pemanfaatan SOLA akan sangat menguntungkan, baik dari segi ekonomi maupun lingkungan. Namun minimnya informasi dan pengetahuan tentang SOLA menjadi suatu penghambat dalam pengembangan teknologi ini. Oleh sebab itu penelitian bertujuan menyelidiki sifat-sifat atau karakter dari SOLA yang berasal dari tiga jenis kompos yang berbeda yaitu kompos kotoran ayam, kompos kotoran sapi dan kompos campuran perlu dilakukan. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang SOLA kepada semua pihak yang membutuhkan, sehingga SOLA dapat diterapkan dalam kegiatan pertanian.
3
1.2.
Tujuan Penelitian
a)
Melakukan karakterisasi SOLA dari tiga jenis kompos yang berbahan dasar kotoran ayam dan kotoran sapi.
b)
Membandingkan karakteristik SOLA dengan bahan asalnya (bahan organik padat).
4
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Bahan Organik Bahan organik tersusun atas bahan-bahan yang sangat beraneka berupa zat
yang ada dalam jaringan tumbuhan dan hewan, sisa organik yang sedang menjalani
perombakan,
dan
hasil
metabolisme
mikroorganisme
yang
menggunakan sisa organik sebagai sumber energi. Perombakan bahan organik dapat berlangsung terbatas atau tuntas. Perombakan yang berlangsung terbatas menghasilkan zat-zat organik lebih sederhana dari yang ada semula, sedangkan yang berlangsung tuntas membebaskan unsur-unsur yang semula berada dalam ikatan molekul organik menjadi senyawa-senyawa anorganik (Notohadiprawiro, 1999). Pelapukan bahan organik merupakan salah satu kegiatan jazad mikro, yang membebaskan unsur hara yang terikat dalam bentuk organik menjadi tersedia bagi tumbuhan. Kecepatan pelapukan tergantung pada kandungan senyawa dari bahan organik tersebut. Adapun urutan senyawa-senyawa yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan menurut tingkat mudah tidaknya senyawa tersebut dilapuk yaitu: gula, zat pati, protein sederhana, protein kasar, hemiselulosa, selulosa, lignin, lemak dan lilin (Supardi, 1983). Senyawa organik memiliki peranan yang sangat penting dalam sifat-sifat kimia tanah. Menurut Kussow (1971) senyawa organik dapat mempertahankan pH tanah pada kisaran 5,0 - 8,5 dan senyawa organik berfungsi secara langsung dalam reaksi oksidasi-reduksi dalam tanah. Bahan organik segar tidak dapat digunakan secara langsung oleh tanaman karena perbandingan kandungan C/N dalam bahan tersebut tidak sesuai dengan C/N tanah dimana rasio C/N tanah berkisar
antara 10-20 (Suryadikarta dan
Simanungkalit, 2006). Oleh karena itu perlu dilakukan penurunan nilai C/N rasio bahan organik dengan cara melakukan pengomposan terhadap bahan tersebut. Menurut Indranada (1986) pengomposan adalah dekomposisi bahan organik segar menjadi bahan yang menyerupai humus (rasio C/N mendekati 10). Proses
5
perombakan bahan organik ini terjadi secara biofisiko-kimia, melibatkan aktivitas biologi mikroba dan mesofauna (Suryadikarta dan Simanungkalit, 2006). Hasil pengomposan berupa kompos, yaitu jenis pupuk yang terjadi karena proses penghancuran oleh alam (Sarief, 1985) dan mikroorganisme pengurai terhadap bahan organik (daun-daunan, jerami, alang-alang, rumput-rumputan, dedak padi, batang jagung serta kotoran hewan). Adapun karakteristik umum yang dimiliki kompos antara lain: (1) mengandung unsur hara dalam jenis dan jumlah bervariasi tergantung bahan asal, (2) menyediakan unsur hara secara lamban (slow release) dan dalam jumlah terbatas, dan (3) mempuyai fungsi utama memperbaiki kesuburan dan kesehatan tanah (Suryadikarta dan Simanungkalit, 2006). Sifat fisik dari kompos antara lain kadar kelembaban (< 35%), bobot isi, kemampuan memegang air, dan ukuran bahan, sedangkan sifat kimia dari kompos antara lain karbon organik total, kapasitas tukar kation, Nitrogen total, pH, daya hantar listrik (DHL), P, K, Ca, Mg dan unsur mikro (Sullivan dan Miller, 2001). Hasil analisis hara kotoran sapi dan ayam serta kandungan hara dalam kompos yang berasal dari kedua jenis kotoran dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan Hara dari Kotoran dan Kompos Kotoran Sapi dan Ayam Jenis Bahan Asal
Kotoran sapi Kotoran ayam Kompos kotoran sapi Kompos kotoran ayam
C ----- % ----63,44 42,18 39,31 18,36
N
Kadar Hara C/N
1,53 1,50 2,34 1,70
41,47 28,12 16,80 10,80
P K -------%------0,67 1,97 1,08 2,12
0,70 0,68 0,69 1,45
Sumber: Hartatik dan Widowati, 2006
2.2.
Gugus Fungsional Dekomposisi bahan organik menghasilkan asam-asam organik yang
selanjutnya membentuk koloid organik dengan tapak muatan yang jauh lebih banyak dibandingkan koloid inorganik. Tapak-tapak reaktif ini terdiri dari gugusgugus fungsional dari senyawa organik (Anwar dan Sudadi, 2007). Menurut Tan
6
(1991) bahan organik mengandung sejumlah gugus fungsional seperti gugus karboksilat, gugus-gugus hidroksil fenolat dan alkoholik, gugus asam amino, amida, keton, dan aldehida. Gugus fungsional yang mempunyai peranan dalam jerapan air adalah gugus karboksil. Menurut Hart (2003) gugus fungsional utama dapat digolongkan dalam beberapa kelompok, seperti gugus fungsional yang merupakan bagian dari kerangka molekul (alkana, alkuna, dan alkena), gugus yang mengandung oksigen (alkohol, eter, aldehida, keton, asam karboksilat, ester), gugus yang mengandung nitrogen (amina dan amida), dan gugus yang mengandung belerang (tiol, tioter, asam sulfonat), serta gugus yang mengandung halogen (alkil dan halide asam). Alkohol dan fenol digolongkan dalam gugus hidroksil (-OH). Fenol mempunyai gugus yang sama dengan alkohol, tetapi gugus fungsinya melekat langsung pada cicin aromatik. Gugus hidroksil bersifat polar sebagai akibat atom oksigen elektronegatif yang menarik elektron ke arah dirinya sendiri. Akibatnya, molekul air tertarik ke gugus fungsional. Hal ini akan membantu melarutkan senyawa organik yang mengandung gugus hidroksil. Sedangkan, asam karboksilat digolongkan sebagai gugus karboksil (COOH). Alkohol, fenol dan asam karboksilat dapat mengion dan melepaskan H+ dari ion hidroksilnya. Aldehida dan keton digolongkan dalam gugus fungsional karbonil (C=O) (Hart, 2003). Alkana tidak larut dalam air. Hal ini disebabkan karena molekul air bersifat polar, sedangkan alkana bersifat nonpolar. Ketidaklarutan alkana dan air sangat menguntungkan bagi tumbuhan (Hart, 2003).
7
2.3
Senyawa Organik Larut Air Senyawa organik larut air (SOLA) merupakan fraksi dari bahan organik
yang terlarut atau dissolved organic matter (DOM) yang diekstrak dengan air secara perlahan-lahan, dan secara konseptual merupakan bagian dari DOM total yang mobile dan yang tersedia (Zsolnay, 1996 dalam Corvasce et al., 2006). DOM menggambarkan bagian bahan organik yang paling aktif dan mobile (Corvasce et al., 2006). SOLA diperoleh dengan melakukan penyaringan ekstrak bahan organik menggunakan saringan 0,45 µm yang sebelumnya dikocok dan disentrifuse (Zsolnay, 2003). Karbon organik terlarut (dissolved organic carbon/DOC) merupakan bagian dari SOLA dan salah satu cadangan karbon yang paling aktif dalam siklus karbon organik dan berperan penting pada transportasi nutrisi seperti N, P dan S, serta logam berat (Jimenez dan Lal, 2006 dalam Undurraga et al., 2009). Siklus DOC dalam tanah dipengaruhi oleh kombinasi proses kimia, fisika dan biologi. Proses pengendalian siklus DOC dalam horizon tanah yang utama adalah mikroba dan pengaturan retensi DOC dalam horizon mineral melalui adsorpsi pada permukaan tanah (Kalbitz et al., 2000 dalam Kothawala et al., 2008) Ketersediaan DOC dalam tanah dipengaruhi oleh tingkat pemupukan dan kedalaman dari sampel tanah (Undurraga et al., 2009). Menurut Zsolnay (1996 dalam Chantigny, 2003) konsentrasi SOLA cenderung lebih besar di hutan daripada di tanah pertanian, yaitu konsentrasi DOC di lantai hutan berkisar 5 sampai 440 mg/L, sedangkan DOC di tanah pertanian nilainya bervariasi dari 0 sampai 70 mg/L. Senyawa organik larut air dari kompos memiliki peran utama dalam banyak proses kimia dan biologi selama proses terjadinya kompos. Aktifitas biologi SOLA yang berasal dari kompos sebagian besar bergantung pada jenis substrat aktif yang digunakan untuk proses pengomposan dan lamanya proses tersebut. Selama terjadinya proses pengomposan yang terdiri atas penghancuran bahan asal dari bahan organik berukuran besar yang didegradasi oleh mikroorganisme dan sintesis biokimia dari bahan molekul berbobot rendah, sebagian besar berpengaruh terhadap perubahan konsentrasi dan komposisi kimia dari SOLA (Said-Pullicino et al., 2007 dalam Traversa et al., 2010).
8
2.4.
Spektrofotometer Infra Merah Serapan inframerah berkaitan dengan getaran molekul atau atom. Atom
dan molekul dalam suatu senyawa bergetar pada frekuensi sekitar 103-1014 hitungan per detik. Frekuensi ini sesuai dengan frekuensi radiasi inframerah, oleh karena itu radiasi inframerah dapat diserap oleh getaran molekul. Getaran molekul atau atom menyebabkan perubahan jarak antar atom karena pergerakan atom. Hal ini disebut osilasi. Ada dua jenis getaran yaitu getaran regang/uluran dan getaran lengkung/tekukan. Getaran regang/uluran yaitu atom berosilasi pada arah sumbu ikatan tanpa mengubah sudut ikatan. Geteran lengkung/tekukan yaitu gerakan atom-atom menghasilkan perubahan dalam sudut ikatan. Posisi pita dalam analisis inframerah dinyatakan dalam satuan frekuensi yaitu cm- (Tan, 1991). Frekuensi uluran dari suatu ikatan kimia tergantung pada beberapa faktor, antara lain masa atom, energi ikatan, dan ikatan ganda. Ikatan yang terbentuk dari atom yang berat dan atom yang ringan selalu bergetar pada frekuensi yang lebih tinggi dibadingkan ikatan yang terbentuk dari dua atom yang berat. Ikatan ganda dua bergetar pada frekuensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan ikatan tunggal yang terbentuk diantara atom-atom yang sama (Hart, 2003).
9
III. BAHAN DAN METODE 3.1.
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juli 2011 di
Laboratorium Pengembangan Sumberdaya Fisik Lahan, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 3.2.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa kompos yaitu Kompos
A (kompos kotoran ayam), Kompos B (kompos kotoran sapi), Kompos C (kompos yang berasal dari campuran kotoran ayam, kotoran sapi, jerami dan sekam) dan bahan kimia untuk analisis N, C-organik, kapasitas tukar kation (KTK), K, Na, Ca, Mg, Fe, Cu, Zn, Mn dan karbon organik terlarut dan gugus fungsional dalam senyawa organik. Alat yang digunakan antara lain: ayakan, kertas saring, membran saring 0,45µm, alat analisa berupa Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) untuk analisis Ca, Mg, Fe, Cu, Zn dan Mn. Flamephotometer untuk analisis K, Na, pH meter, EC-meter, Hiper TOC untuk analisis karbon organik terlarut dan FTIR (Fourier Transform Infra Red) Spectrophotometer untuk analisis gugus fungsional bahan organik dan berbagai peralatan analisis kimia lainnya. 3.3.
Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu persiapan bahan dan
analisis sifat kimia. Pada tahap persiapan bahan, bahan organik yang digunakan dikeringanginkan lalu diayak dengan ayakan ukuran 2 mm. Tahap analisis terdiri dari dua bagian yaitu analisis bahan organik padat dan analisis senyawa organik larut air.
10
3.3.1. Analisis Bahan Organik Padat Parameter dan metode yang digunakan untuk menganalisis bahan organik padat disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Parameter dan Metode Analisis Bahan Organik Padat No
Parameter
Metode
1
Kadar air
Gravimetri
2
pH
pH - meter
3
Kapasitas Tukar Kation
NH4OAc pH 7
4
Kadar Hara
Nitrat-Perklorat
5
C-Organik
Walkley and Black
6
N-total
Kjeldahl
7
Gugus Fungsional
KBr Pelet
3.3.2. Analisis Senyawa Organik Larut Air Analisis SOLA diawali dengan pengocokan bahan organik dengan air destilata (aquades) selama 120 menit pada kecepatan 125 rpm. Perbandingan antara bahan organik dan air yaitu 1: 10 (150 gram bahan organik : 1,5 liter air destilata). Setelah pengocokan, campuran tersebut disentrifuse selama 30 menit. Larutan setelah proses sentrifuse disaring menggunakan saringan membran 0,45 µm. Kemudian dilakukan analisis pH, DHL, KTK, K, Na, Ca, Mg, Fe, Cu, Zn, Mn dan karbon organik terlarut dalam senyawa organik larut air. Parameter dan metode analisis SOLA dapat dilihat pada Tabel 3, sedangkan kegiatan pengekstrakkan SOLA dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Tabel 3. Parameter dan Metode Analisis SOLA No
Parameter
Metode
1
pH
pH - meter
2
Daya hantar listrik
EC - meter
3
Kadar Hara
AAS
4
Karbon Organik Terlarut
Hiper TOC
11
Kompos A (kotoran ayam) Kompos B (kotoran sapi) Kompos C (campuran kotoran ayam, kotoran sapi, jerami dan sekam.)
Analisis Kimia: (pH, KA, C-organik, N, K, Na, Ca, Mg, Fe, Cu, Zn, Mn, KTK dan gugus fungsional)
Ditambah Aquades (1 : 10)
Shaker (120 menit, 125 rpm)
Sentrifuse (30 menit, 25000 rpm)
Endapan dibuang
Saring menggunakan saringan membran (Syring Filter 0,45 µm)
Senyawa Organik Larut Air (SOLA)
Analisis Kimia: (pH, DHL, K, Na, Ca, Mg, Fe, Cu, Zn, Mn, karbon organik terlarut)
Gambar 1. Diagram Alir Ekstraksi dan Ananlisis Senyawa Organik Larut Air
12
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Analisis Bahan Organik Padat Karakteristik dari ketiga jenis bahan organik padat yaitu kadar air, C-
organik, N-total, C/N ratio, pH dan KTK disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil Analisis Beberapa Sifat Kimia Bahan Organik Padat Kadar Air ---%--35,0 Kompos A 227,0 Kompos B 41,0 Kompos C Contoh
C-Organik N-total -----% bobot kering----28,0 2,4 35,0 1,8 23,4 1,5
C/N pH
KTK (me/100 g) 11,7 7,4 33,8 19,5 6,5 95,9 15,6 5,4 47,7
Bahan organik tidak dapat digunakan secara langsung oleh tanaman. Penggunaan bahan organik oleh tanaman dipengaruhi oleh tingkat kematangan bahan tersebut yang ditunjukkan dengan nisbah karbon (C) dan nitrogen (N). Bila suatu bahan organik memiliki nisbah C/N yang tinggi, maka pemberian bahan organik tersebut dapat menggangu pertumbuhan tanaman. Bahan organik yang mempunya nisbah C/N mendekati atau sama dengan nisbah C/N tanah (10-20), maka bahan organik tersebut dapat digunakan tanaman (Suryadikarta dan Simanungkalit, 2006). Analisis C-organik dan N-total dari ketiga jenis kompos digunakan untuk mengetahui nisbah C/N kompos tersebut. Nisbah C/N dari ketiga jenis kompos berada dalam kisaran nisbah C/N tanah yaitu 10-20. Kompos A memiliki nisbah C/N sebesar 11,7, nisbah C/N kompos B sebesar 19,5 dan kompos C sebesar 15,6. Nisbah C/N kompos dipengaruhi oleh jenis bahan penyusun kompos tersebut. Kompos B memiliki nisbah C/N yang lebih tinggi dibandingkan kedua jenis kompos yang lain. Bahan penyusun Kompos B berasal dari kotoran sapi yang mengandung serat yang tinggi seperti selulosa.
13
Kemasaman suatu kompos terlihat dari pH kompos tersebut. pH merupakan salah satu syarat kematangan dari suatu kompos. Kompos yang baik memiliki pH mendekati netral atau sedikit kearah alkali (Setyorini et.al., 2006). Kompos yang memiliki pH masam akan mempengaruhi kemasaman tanah apabila kompos tersebut diberikan ke tanah karena dapat menyumbangkan ion H+. Hal ini akan mempengaruhi juga tingkat ketersediaan unsur hara dalam tanah tersebut. Kriteria pH kompos yang baik menurut SNI 19-7030-2004 yaitu 6,8 - 7,5. Hasil analisis pH ketiga jenis kompos yang digunakan menunjukkan bahwa kompos A memiliki pH sebesar 7,4, kompos B memiliki pH sebesar 6,5 dan pH kompos C sebesar 5,4. Kapasitas tukar kation merupakan kemampuan koloid menjerap dan mempertukarkan kation. Jerapan dan pertukaran kation memegang peran penting dalam penyerapan hara oleh tanaman, kesuburan tanah, retensi hara, dan pemupukan (Tan, 1991). KTK suatu kompos dapat dijadikan indikator kematangan suatu kompos (Harada dan Inoko, 1980). Menurut Setyorini et. al. (2006) kompos mengandung humus yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan hara makro dan mikro yang dibutuhkan tanaman. Misel humus mempunyai KTK yang lebih besar daripada misel liat (3-10 kali) sehingga penyediaan hara makro dan mikro lebih lama. Hasil analisis KTK terhadap ketiga jenis kompos menunjukkan bahwa kompos A memiliki KTK sebesar 33,8 me/100g, kompos B memiliki KTK sebesar 95,9 me/100g, dan kompos C sebesar 47,7 me/100g. Pengukuran FTIR bertujuan untuk mengetahui kandungan gugus fungsional dari ketiga jenis kompos. Secara umum gugus fungsional yang terkandung pada ketiga jenis kompos hampir sama, diantaranya adalah: gugus fungsional O-H (alkohol, fenol, dan asam karboksilat), C-H (alkana, aromatik), CO (alkohol, eter, ester, asam karboksilat), C=O (amida), N-H (amina dan amida primer dan sekunder), C-X (chlorida, fluorida dan bromida). Bilangan gelombang dari
masing-masing
gugus
fungsional
dapat
dilihat
pada
Tabel
5.
14
Tabel 5. Hasil Analisis FTIR Kompos A, Kompos B dan Kompos C Bilangan Gelombang (cm-1)
Jenis Vibrasi C-H
(stretch)
Rujukan* 3000-2850 s
Kom-A 2954,95
Kom-B 2947,23 2904,80
Kom-C 2947,23 2900,94
(bend)
1450 dan 1375
1450,47
-
-
(out-of-plane bend)
1000-690 s
910,40 875,68
914,26
914,26 875,68
Alkanes -CH3 Alkenes
Aromaties
(out-of-plane bend)
Aldehyde
713,66
775,38 694,37
875,68 713,66
-
648,08 875,68 775,38 694,37
2900-2800 w
-
2846,93
2846,93
900-690 s
C=C
Alkene
1680-1600 m-w
-
1651,07
1651,07 1600,92
C≡C
Alkyne
2550-2100 w
2144,84
-
-
C=O
Amida
1680-1630 s
1651,07
1651,07
1651,07
C-O
Alcohols, ethers, esters, carboxylic acids, anhydrides
1300-1000 s
1083,99 1037,70
1219,01 1087,85 1033,85
1087,85 1041,56
O-H
Alcohols, phenols Free
3650-3600 m
-
3618,46
3622,32
3400-3200 m
3282,84
3282,84
-
3400-2400 m
2954,95 2515,18
3282,84 2904,80 2947,23
2947,23 2900,94 2846,93 2519,03
(stretch)
3500-3100 m
3282,84
3282,84
-
(bend)
1640-1550 m-s
1600,92
1597,06 1554,63
1600,92
1350-1000 m-s
1037,70 1083,99
1334,74 1219,01 1087,85
H-bonded carboxylic acids
N-H
C-N
Primary and secondary amines and amides
Amines
1033,85
-
15
Bilangan Gelombang (cm-1)
Jenis Vibrasi Rujukan* C-X
Kom-A
Kom-B
Kom-C
Fluoride
1400-1000 s
1323,17 1083,99 1037,70
1384,89 1334,74 1219,01 1087,85 1033,85
1384,89 1041,56 1087,95
Chloride
785-540 s
648,08 543,93
771,53 648,08 690,52
532,35 466,77 435,91
<667s
648,08 543,93 470,63 428,20
648,08 636,21 470,63 432,05
532,35 466,77 435,91
Bromide, iodide
Keterangan: : Bilangan gelombang rujukan dari Tabel korelasi (Pavia et al., 2001) * s : kuat m : sedang w : lemah Kom-A: Kompos A Kom-B: Kompos B Kom-C: Kompos C Kemunculan setiap setiap gugus fungsional pada ketiga jenis kompos dapat dilihat pada Gambar 2 sampai Gambar 8, sedangkan kurva hasil analisis FTIR dari setiap jenis kompos dapat dilihat pada Lampiran 4, 5, dan 6.
Gambar 2. Kemunculan Gugus Fungsional C-O (alkohol, eter, ester dan asam karboksilat)
16
Gambar 3. Kemunculan Gugus Fungsional C-H (alkana Stretch)
Gambar 4. Kemunculan Gugus Fungsional C-H (alkena)
Gambar 5. Kemunculan Gugus Fungsional N-H (amina dan amida primer dan sekunder-bend)
17
Gambar 6. Kemunculan Gugus Fungsional C-X (chlorida, fluorida, bromide dan iodida)
Gambar 7. Kemunculan Gugus Fungsional O-H (asam karboksilat)
Gambar 8. Kemunculan Gugus Fungsional C=O (amida)
Keterangan
: : Kompos A : Kompos B : Kompos C
18
Adapun gugus fungsional yang hanya terkandung pada kompos tertentu seperti gugus fungsional O-H (alkohol dan fenol terikat -H) dan C-N (amina) hanya terdapat pada kompos A dan kompos B. Gugus fungsional C-H (aromatik) hanya terdapat pada kompos A dan kompos C, sedangkan gugus fungsional C=C (alkena) dan C-H (aldehida) dan O-H (alkohol dan fenol -free) hanya terdapat pada kompos B dan kompos C. Gugus fungsional C≡C (alkuna), dan C-H (alkanaCH3 (bend)) hanya terdapat pada kompos A. Kemunculan dari setiap gugus fungsional diatas dapat dilihat pada Gambar 9 sampai 16.
Gambar 9. Kemunculan Gugus Fungsional C-H (aromatik)
Gambar 10. Kemunculan Gugus Fungsional N-H (Amina dan amida primer dan sekunder (Stretch)) Keterangan
: : Kompos A : Kompos B : Kompos C
19
Gambar 11. Kemunculan Gugus Fungsional C-N (Amina)
Gambar 12. Kemunculan Gugus Fungsional O-H (alkohol, fenol H-bonded)
Gambar 13. Kemunculan Gugus Fungsional O-H (alkohol, fenol -free) Keterangan
: : Kompos A : Kompos B : Kompos C
20
Gambar 14. Kemunculan Gugus Fungsional C-H (aldehida)
Gambar 15. Kemunculan Gugus Fungsional C=C (alkena)
Gambar 16. Kemunculan Gugus Fungsional C-H (alkana –CH3 bend) dan C≡C (alkuna) Keterangan
: : Kompos A : Kompos B : Kompos C
21
Kandungan gugus fungsional hidroksil dan karboksil diperlukan untuk pelepasan hara. Menurut Ismangil dan Hanudin (2005) sifat-sifat asam organik -
yang penting dalam pelarutan mineral ditentukan oleh gugus karboksil (COO ) -
dan gugus hidroksil (OH ) fenolatnya serta tingkat disosiasinya. Jumlah gugus yang mengalami disosiasi ditentukan oleh jumlah gugus fungsionalnya dan pH lingkungannya. Jumlah gugus karboksil menentukan jumlah proton yang mungkin dapat dilepas. Dari hasil analisis gugus fungsional terlihat bahwa ketiga jenis kompos mengandung gugus fungsional karboksil (asam karboksilat) dan hidroksil (alkohol dan fenol) sehingga apabila ketiga jenis kompos ini diberikan ke tanah dapat melepaskan hara yang terikat dalam tanah. Selain itu, gugus fungsional bersifat hidrofilik sehingga meningkatkan kelarutan senyawa organik dalam air. Kompos merupakan salah satu sumber unsur hara makro dan mikro secara lengkap meskipun dalam jumlah yang relatif kecil. Kandungan hara dalam kompos bergantung dari jenis bahan asalnya. Ketiga jenis kompos yang digunakan dalam penelitian ini berbahan dasar kotoran ternak. Menurut Hartatik dan Widowati (2006) kandungan hara dalam kotoran ternak tergantung pada jumlah dan jenis makanan ternak. Hara dalam kotoran ternak tidak mudah untuk tersedia bagi tanaman. Rendahnya ketersediaan hara dari pupuk kandang disebabkan karena bentuk N, P, serta unsur hara lain dalam bentuk senyawa kompleks organo protein atau senyawa asam humat, atau lignin yang sulit terdekomposisi. Proses pengomposan dapat meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman karena perubahan bentuk dari tidak tersedia menjadi tersedia. Hasil analisis kadar hara ketiga jenis kompos secara umum menunjukkan bahwa, kompos A memiliki kandungan hara (kecuali Na, Fe dan Mn) yang lebih tinggi dari kedua jenis kompos yang lainnya. Kadar hara kompos A dipengaruhi oleh jenis konsentrat yang diberikan. Selain itu, dalam kompos A terdapat campuran sisa-sisa makanan ayam, serta sekam sebagai alas kandang yang dapat menyumbangkan hara dalam kompos tersebut. Kadar hara kompos C lebih rendah dari kompos A dan kompos B walaupun bahan asal kompos C merupakan campuran antara kotoran ayam, kotoran sapi, sekam, dan jerami. Hal ini desebabkan oleh kotoran ayam dan kotoran sapi yang digunakan dalam pembuatan kompos C berasal dari kandang
22
milik petani biasa, sedangkan kotoran ayam dan kotoran sapi yang digunakan untuk membuat kompos A dan kompos B berasal dari kandang milik Institut Pertanian Bogor (IPB). Kotoran ayam dan kotoran sapi yang berasal dari kandang IPB memiliki kandungan hara yang tinggi karena bahan makanan yang diberikan pada ternak diatur atau dihitung nutrisinya. Kadar hara dari ketiga jenis kompos dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil Analisis Kadar Hara Total dari Beberapa Kompos Contoh Kompos A Kompos B Kompos C
4.2.
K Na Ca Mg Fe Cu Zn Mn --------------------------------------%-------------------------------------0,96 0,03 0,70 0,68 0,60 0,02 0,06 0,09 0,36 0,04 0,19 0,37 2,06 0,01 0,02 0,11 0,24 0,02 0,18 0,21 0,61 0,01 0,02 0,05
Hasil Analisis Senyawa Organik Larut Air Senyawa organik larut air merupakan bagian dari bahan organik yang
terlarut dalam air yang diperoleh dengan menyaring bahan organik menggunakan saringan 0,45µm. Hasil penyaringan terhadap ketiga jenis bahan organik padat menunjukkan adanya perubahan karakteristik dari bahan tersebut. Karakteristik SOLA dari ketiga jenis kompos seperti pH, DHL, karbon organik terlarut disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil Analisis Karbon Organik Terlarut, DHL dan pH SOLA dari Beberapa Kompos Contoh Kompos A Kompos B Kompos C Keterangan * DOC
DOC (mg/L)* 1.046,1 142,7 40,0
DHL (mS/cm) 5,6 0,7 0,8
pH 6,7 6,7 6,4
: Jumlah bahan organik yang diekstrak sudah memperhitungkan kkadar air : Karbon organik terlarut/disolve organic carbon
Karbon organik terlarut menggambarkan senyawa C terlarut yang terkandung dalam air yang berasal dari bahan organik. Hasil pengukuran DOC terhadap ketiga jenis kompos menunjukkan bahwa kompos A memiliki
23
kandungan DOC sebesar 1.046,1 mg/L atau 0,105%, kompos B memiliki kandungan DOC sebesar 142,7 mg/L atau 0,014% dan kandungan DOC kompos C sebesar 40,0 mg/L atau 0,004%. Kandungan DOC dari Kompos B dan kompos C menurut Zsolnay (1996 dalam Zsolnay, 2003) masih dikatakan normal dalam ekosistem tanah karena kandungan DOC dari kedua jenis kompos kurang dari 100 mg/L, sedangkan kandungan DOC kompos C sangat tinggi. Tingginya DOC ini menurut Andersson et al. (2000) disebabkan oleh pH yang tinggi dan meningkatnya aktivitas mikroba. Menurut Bernal et al. (1998) kadar DOC yang terkandung dalam kompos apabila kurang dari 1,7% maka kompos tersebut dikategorikan telah matang. Berdasarkan asumsi tersebut, maka ketiga jenis kompos yang digunakan dikategorikan telah matang. Daya hantar listrik merupakan ukuran dari kandungan garam terlarut. Menurut Petrik (1985 dalam Turan, 2008) kompos yang ideal harus memiliki DHL kurang dari 2 mS/cm. Apabila DHL kompos melebihi 2 mS/cm maka kompos tersebut dikatakan salin.
Hasil pengukuran DHL terhadap SOLA dari
ketiga jenis kompos yang digunakan menunjukkan bahwa kompos A tergolong salin karena memiliki DHL 5,6 mS/cm, sedangkan kompos B dan kompos C digolongkan normal karena DHL kedua kompos tersebut berturut-turut yaitu 0,7 mS/cm dan 0,8 mS/cm. Senyawa organik yang telah diekstrak dengan air memiliki beberapa karakter yang berbeda dengan bahan asalnya. Perbedaan karakter tersebut diantaranya terdapat dalam pH dan kandungan unsur hara. Perubahan pH yang terjadi tidak terlalu tinggi. Gambar 17 memperlihatkan bahwa penyaringan menggunakan saringan 0,45 µm menyebabkan perubahan pH menuju ke arah reaksi yang netral (mendekati pH 7). Kompos A mengalami penurunan pH dari 7,4 menjadi 6,7, sedangkan kompos B dankompos C mengalami peningkatan pH. Peningkatan pH pada kompos B tidak terlalu tinggi yaitu dari pH 6,5 menjadi pH 6,7, sedangkan peningkatan pH kompos C cukup tinggi yaitu 5,4 menjadi 6,4. Menurut Zsolnay (2003) konsentrasi proton dapat memberikan efek yang kuat pada struktur SOLA dan efek ini dapat berbeda-beda antara sumber SOLA yang
24
berbeda, sehingga perubahan pH dapat mempengaruhi struktur dari SOLA. Perubahan pH dapat disebabkan oleh keadaan reduktif saat pembuatan SOLA.
8.0 7.0
7.4 6.7
6.5 6.7
6.4 5.4
6.0 5.0 4.0
pH H2O Bahan Organik Padat
3.0 2.0
pH SOLA
1.0
0.0 Kom-A
Kom-B
Kom-C
Gambar 17. Grafik Perubahan pH Bahan Baku Setelah Disaring. Keterangan : Kom-A : Kompos A Kom-B : Kompos B Kom-C : Kompos C
Penyaringan menggunakan saringan membran 0,45 µm tidak hanya menyebabkan perubahan pH, namun menyebabkan juga perubahan kandungan hara. Kandungan unsur hara mikro (Fe, Cu, dan Zn) dalam SOLA sangat rendah dibandingkan bahan bakunya (kompos padat), sedangkan kandungan unsur hara makro (K, Ca, dan Mg) dalam SOLA lebih rendah dari pada bahan bakunya. Hal ini disebabkan oleh kandungan hara SOLA dari ketiga jenis kompos merupakan yang larut air, sedangkan kandungan hara dari bahan baku SOLA (kompos padat) merupakan hara total yang terkandung dalam kompos tersebut. Penyaringan menggunakan saringan membran dapat menyebabkan terjadinya fouling. Fouling merupakan proses terakumulasinya komponen secara permanen akibat filtrasi itu sendiri. Fouling terjadi akibat interaksi yang sangat spesifik secara fisik dan kimia antara berbagai padatan terlarut pada membran (Juansah et al., 2009). Padatan terlarut yang terdapat pada membran dapat menggangu proses penyaringan sehingga dapat dimungkinkan kandungan hara dalam SOLA lebih rendah dari bahan asalnya. Selain itu, penyaringan juga menyebabkan hara tertentu tidak terukur dalam SOLA seperti Mn. Perubahan
25
kandungan hara dari masing-masing kompos dapat dilihat pada Gambar 18 sampai 20. Kandungan Na dalam SOLA dari ketiga jenis kompos dan Ca dalam SOLA dari kompos C tidak dipengaruhi oleh proses fouling. Hal ini ditunjukkan dengan kandungan Na dalam SOLA ketiga jenis kompos dan kandunan Ca dalam SOLA dari kompos C sama dengan bahan asalnya (kompos padat). Kandungan hara dalam SOLA dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil Analisis Kandungan Hara dalam SOLA Contoh
Kandungan Hara (%)
Kompos A Kompos B Kompos C
1.00
K Na Ca Mg ------------------%--------------0,40 0,03 0,13 0,27 0,10 0,04 0,02 0,02 0,07 0,02 0,18 0,05
Fe Cu Zn Mn --------------------ppm------------------28,61 3,81 2,66 8,79 0,99 0,50 0,76 0,58 0,36
0.96 0.70
0.80
0.68
0.60 0.40
0.40
0.20
0.27 0.03
0.13
Bahan baku SOLA
0.03
0.00 K
Na
Ca
Mg
Hara
Gambar 18. Grafik Perubahan Kandungan Unsur Hara Makro dari Kompos A
Kandungan Hara (%)
26
1.00 0.80 0.60 0.40
0.37
0.36 0.19
0.20
0.10
0.04
SOLA 0.02
0.04
Bahan baku
0.02
0.00 K
Na
Ca
Mg
Hara
Kandungan Hara (%)
Gambar 19. Grafik Perubahan Kandungan Unsur Hara Makro dari Kompos B
1.00 0.80 0.60 0.40 0.20
0.24
0.18 0.07
0.02
0.00 K
0.18
0.05
0.02
Na
0.21
Ca
Bahan baku SOLA
Mg
Hara
Gambar 20. Grafik Perubahan Kandungan Unsur Hara Makro dari Kompos C
27
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan
1.
Senyawa organik larut air (SOLA) dari kompos A memiliki DHL 5,6 mS/cm dan DOC sebesar 1.046,1 mg/L. SOLA dari kompos B memiliki DHL 0,7 mS/cm dan DOC sebesar 142,7 mg/L, sedangkan SOLA dari kompos C memiliki DHL 0,8 mS/cm dan DOC sebesar 40,0 mg/L. Secara umum gugus fungsional yang terkandung pada ketiga jenis kompos hampir sama seperti: gugus C-H (alkana-stretch dan alkena), C-O (alkohol, eter, ester dan asam karboksilat), O-H (asam karboksilat), N-H (bend amina dan amida primer dan sekunder), C=O (amida) dan C-X (chlorida, fluorida, bromide dan iodide).
2.
Penyaringan dengan saringan 0,45 µm menyebabkan terjadinya perubahan beberapa karakter bahan organik seperti pH dan kandungan hara. pH setelah penyaringan (pH SOLA) mengalami perubahan ke arah reaksi netral (pH 7). Kandungan hara SOLA lebih rendah dari kompos padat kecuali Na dari ketiga jenis kompos dan Ca dari kompos C (jumlah hara dalam
SOLA
sama
dengan
kompos
padat).
Penyaringan
juga
menyebabkan adanya hara yang tidak terukur dalam SOLA dari ketiga jenis kompos seperti Mn.
5.2.
Saran Untuk mengetahui potensi SOLA dalam menyediakan hara bagi tanaman maka diperlukan penelitian lebih lanjut terhadap SOLA, baik dalam peningkatan produksi tanaman maupun kesuburan tanah terutama pada tanah-tanah tua atau miskin hara.
28
DAFTAR PUSTAKA Andersson, S., S.I. Nilsson, P. Saetre. 2000. Leaching of dissolved organic carbon (DOC) and dissolved organic nitrogen (DON) in mor humus as affected by temperature and pH. Soil Biology & Biochemistry. 32: 1-10. Anwar, S., dan U. Sudadi. 2007. Kimia Tanah. Departemen Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Bernal, M.P., C. Paredes, M.A. Sanchez-Monedero, and J. Cegarra. 1998. Maturity and stability parameters of composts prepared with a wide-range of organic wastes. Bioresour. Technol. 63:91-99. Chantigny, M. H. 2003. Dissolved and water-extractable organic matter in soils: a review on the influence of land use and management practices. Geoderma. 113: 357– 380. Corvasce, M., A. Zsolnay, V. D’Orazio, R. Lopez, T. M. Miano. 2006. Characterization of water extractable organic matter in a deep soil profile. Chemosphere. 62: 1583–1590. Embacher, A., A. Zsolnay, A. Gattinger, and J.C. Munch. 2007. The dynamics of water extractable organic matter (WEOM) in common arable topsoils: I. Quantity, quality and function over a three year period. Geoderma. 139: 11– 22. Harada, Y. dan A. Inoko. 1980. The measurament of the cation exchange capacity of compost for the estimation of the maturity. Soil Sci. Plant Nutr. 26: 127134. Hart, H. 1983. Kimia Organik, Suatu Kuliah Singkat, Edisi Keenam. S. Achmadi, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Organic Chemistry, a Short Course, Sixth Edition. Hartatik, W. dan L.R. Widowati. 2006. Pupuk Kandang. dalam: R.D.M Simanungkalit, D.A. Suryadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini dan W. Hartatik. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Hatta, M. 2005. Kajian bahan organik dan cara pengelolaan tanah dalam budidaya padi gogorancah di Kabupaten Jeneponto. J. Agrivigor. 5 (1): 16-25. Indranada, H.K.1986. Pengelolaan Kesuburan Tanah. Bina Aksara. Jakarta. Ismangil, dan E. Hanudin. 2005. Degradasi mineral batuan oleh asam-asam organik. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. 5 (1): 1-17.
29
Juansah, J., K. Dahlan dan F. Huriati. 2009. Peningkatan mutu sari buah nanas dengan memanfaatkan sistem filtrasi aliran dead-end dari membran selulosa asetat. Makara sains. 13(1): 94-100. Kothawala, D.N., T.R. Moore, and W.H. Hendershot. 2008. Adsorption of dissolved organic carbon to mineral soils: A comparison of four isotherm approaches. Geoderma. 148: 43–50. Kussow, W.R. 1971. Introduction to Soil Chemistry. Departemen Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Notohadiprawiro, T. 1999. Tanah dan Lingkungan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. Pavia, D.L., G.M. Lampaman, G.S. Kriz. 2001. Introduction to Spectroscopy.3th ed. Departemen of Chemistry. Western Washington University. Bellingham, Washington. Sarief, E.S. 1985. Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Pustaka Buana. Bandung. Setyorini, D., R. Saraswati, dan E.A. Anwar. 2006. Kompos. Dalam: R.D.M Simanungkalit, D.A. Suryadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini dan W. Hartatik (Eds). 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Suryadikarta, D.A., dan R.D.M Simanungkalit. 2006. Pendahuluan. Dalam: R.D.M Simanungkalit, D.A. Suryadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini dan W. Hartatik (Eds). 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Sullivan, D.M., dan R. O. Miller. 2001. Compost Quality Attributes, Measurements, and Variability. Dalam: Peter J. Stoffella dan Brian A. Kahn (Eds). Compost Utilization in Horticultural Cropping Systems. Lewis Publishers. New York. Supardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tan K.H. 1991. Dasar-Dasar Kimia Tanah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Traversa A., E. Loffredo, C. E. Gattullo, and N. Senesi. 2010. Water-extractable organic matter of different composts: A comparative study of properties and allelochemical effects on horticultural plants. Geoderma. 156: 287–292. Turan, N. G. 2008. The effects of natural zeolite on salinity level of poultry litter compost. Bioresource Technology. 99: 2097–2101.
30
Undurraga, P., E. Zagal, G. Sepúlveda, N. Valderrama. 2009. Dissolved organic carbon and nitrogen in Andisol for six crop rotations with different soil management intensity. Chilean journal of agricultural research. 69(3): 445454. Zsolnay, A. 2003. Dissolved organic matter: artefacts, definitions, and functions. Geoderma. 113: 187– 209.
31
LAMPIRAN
32
Lampiran 1. Data Pengukuran Gugus Fungsional Kompos Kotoran Ayam
No
Peak
Intensity
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
428,20 470,63 543,93 648,08 713,66 875,68 910,40 1037,70 1083,99 1323,17 1435,04 1450,47 1600,92 1651,07 1793,80 2144,84 2515,18 2954,95 3282,84 3691,75
40,90 39,95 40,66 44,71 47,27 43,97 54,73 41,17 42,52 56,87 40,14 39,77 53,19 50,60 77,08 83,49 76,86 61,44 54,53 82,52
Corr. Base (H) Base (L) Are Corr.Area Intensity 0,43 451,34 420,48 11,89 0,06 2,20 501,49 455,20 17,70 0,43 3,39 636,51 505,35 48,79 2,70 1,74 671,23 640,37 10,44 0,22 1,41 736,81 702,09 10,81 0,09 11,46 891,11 860,25 9,25 1,31 1,40 925,83 894,97 7,92 0,18 4,29 1064,71 929,69 44,23 2,86 1,49 1284,59 1068,56 62,82 1,10 1,09 1334,74 1288,45 10,77 0,17 0,69 1438,90 1338,60 32,08 0,73 0,57 1458,18 1438,90 7,69 0,08 0,14 1604,77 1577,77 7,34 0,04 0,35 1654,92 1620,21 9,95 0,09 3,20 1870,95 1778,37 8,12 0,29 0,44 2175,70 1990,54 13,76 0,23 2,49 2553,75 2376,30 16,67 0,52 2,27 2997,38 2557,61 68,27 1,90 16,36 3676,32 3001,24 145,50 48,39 1,97 3842,20 3680,18 3,70 -2,77
33
Lampiran 2. Data Pengukuran Gugus Fungsional Kompos Kotoran Sapi
No
Peak
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
432,05 470,63 536,21 648,08 690,52 771,53 914,26 1033,85 1087,85 1219,01 1334,74 1384,89 1415,75 1516,05 1554,63 1597,06 1651,07 2094,69 2846,93 2904,80 2947,23 3282,84 3618,46 3695,61
Intensity 45,10 43,25 45,95 51,62 54,60 57,78 59,74 48,54 51,19 62,01 65,76 59,87 64,02 65,97 64,76 63,01 63,72 89,61 81,26 78,88 77,44 68,28 76,12 83,63
Corr. Base (H) Base (L) Intensity 1,06 443,63 420,48 3,62 501,49 447,49 3,37 636,51 505,35 2,04 659,66 640,37 0,60 736,81 682,80 1,10 860,25 759,95 2,82 937,40 883,40 5,81 1072,42 941,26 1,11 1199,72 1076,28 0,83 1300,02 1203,58 0,16 1338,60 1303,88 4,85 1400,32 1338,60 0,94 1485,19 1404,18 0,52 1519,91 1489,05 0,19 1558,48 1523,76 1,28 1624,06 1562,34 1,67 1840,09 1639,49 0,13 2345,44 2086,98 0,24 2850,79 2438,02 1,04 2916,37 2854,65 0,79 2958,80 2920,23 0,25 3290,56 2989,66 1,24 3680,18 3610,74 5,20 3738,05 3680,18
Are 7,91 18,57 40,58 5,43 13,49 21,98 11,39 34,78 31,05 18,74 6,20 12,01 14,79 5,36 6,39 12,11 22,53 11,10 24,74 6,09 4,13 42,68 6,67 2,66
Corr.Area 0,14 0,82 1,63 0,21 0,09 0,45 0,47 2,43 0,47 0,29 0,02 0,52 0,37 0,09 0,03 0,29 0,46 0,62 0,01 0,31 0,12 1,04 0,28 0,37
34
Lampiran 3. Data Pengukuran Gugus Fungsional Kompos Campuran
No
Peak
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
435,91 466,77 532,35 648,08 694,37 775,38 875,68 914,26 1041,56 1087,85 1384,89 1415,75 1600,92 1651,07 1870,95 2519,03 2846,93 2900,94 2947,23 3263,56 3533,59 3622,32 3691,75
Intensity 44,81 43,15 47,93 53,67 55,39 56,76 62,93 60,76 48,72 50,29 63,64 65,20 67,67 67,25 86,50 88,74 81,01 79,21 77,97 71,78 76,25 77,24 83,47
Corr. Intensity 0,53 2,44 2,26 2,05 1,48 1,01 1,15 1,92 4,30 1,21 2,79 1,41 0,72 1,69 1,56 0,30 0,20 1,04 0,70 0,09 0,34 2,61 2,82
Base (H)
Base (L)
443,63 509,21 636,51 659,66 729,09 786,96 883,40 929,69 1072,42 1292,31 1396,46 1489,05 1624,06 1836,23 1921,10 2538,32 2850,79 2916,37 2958,80 3267,41 3595,31 3680,18 3799,77
424,34 455,20 513,07 640,37 682,80 732,95 860,25 887,26 933,55 1076,28 1296,16 1400,32 1566,20 1639,49 1840,09 2438,02 2542,18 2854,65 2920,23 3001,24 3525,88 3599,17 3680,18
Are 6,65 18,35 36,38 5,10 11,32 12,72 4,53 8,78 36,26 50,62 17,47 15,73 9,66 21,65 4,80 4,90 20,77 6,06 4,03 34,23 7,91 7,98 3,36
Corr.Area 0,06 0,52 1,34 0,20 0,19 0,10 0,08 0,28 1,85 1,03 0,40 0,59 0,16 0,57 0,37 0,05 0,01 0,29 0,10 0,65 0,06 0,63 -1,16
35
Lampiran 4. Hasil Analisis FTIR pada kompos A
Lampiran 5. Hasil Analisis FTIR pada kompos B
36
Lampiran 6. Hasil Analisis FTIR pada kompos C