Pembinaan Profesionalisme Guru Dalam Perspektif Teoretis Dan Praktis Fathurrahman *) *)
Dosen FKIP Universitas Islam Lamongan Email :
[email protected]
Abstrak Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, wacana mengenai profesionalisme guru gencar dibicarakan di Indonesia. Profesionalisme guru sering dikaitkan dengan tiga faktor yang cukup penting, yaitu kompetensi guru, sertifikasi guru, dan tunjangan profesi guru. Ketiga faktor tersebut merupakan latar yang disinyalir berkaitan erat dengan kualitas pendidikan. Guru profesional yang dibuktikan dengan kompetensi yang dimilikinya akan mendorong terwujudnya proses dan produk kinerja yang dapat menunjang peningkatan kualitas pendidikan. Guru kompeten dapat dibuktikan dengan perolehan sertifikasi guru berikut tunjangan profesi yang memadai menurut ukuran Indonesia. Sekarang ini, terdapat sejumlah guru yang telah tersertifikasi, akan tersertifikasi, telah memperoleh tunjangan profesi, dan akan memperoleh tunjangan profesi. Fakta bahwa guru telah tersertifikasi merupakan dasar asumsi yang kuat, bahwa guru telah memiliki kompetensi. Kompetensi guru tersebut mencakup empat jenis, yaitu (1) kompetensi pedagogi (2) kompetensi profesional, (3) kompetensi sosial, dan (4) kompetensi kepribadian. Kata Kunci : Pembinaan profesionalisme guru, teoriti dan praktis A. Pendahuluan Termaktub dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan diselenggarakan dengan tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan nasional tersebut perlu keterlibatan berbagai komponen pemangku kepentingan (stakeholder) dan berbagai upaya implementasinya. Hal tersebut dilakukan agar pengembangan pendidikan, khususnya di sekolah dapat dilakukan dengan baik dan optimal sehingga memberikan peluang yang sangat besar untuk keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan. Komponen yang paling penting dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan adalah pendidik dan tenaga kependidikan utamanya guru sebagai pendidik. Komponen ini dianggap paling penting karena merupakan ujung tombak pelaksanaan suatu program pendidikan yang dilakukan pada kegiatan pembelajaran di kelas. Oleh sebab itu, tinggi rendahnya kualitas guru sangat mempengaruhi tinggi rendahnya keberhasilan tujuan pembelajaran. Artinya bahwa suatu kegiatan pembelajaran akan berjalan dengan baik dan optimal untuk mencapai tujuan yang diharapkan jika guru memiliki kompetensi dan performansi pada bidang yang diajarkannya. Sebaliknya, kegiatan pembelajaran tidak akan berhasil dengan baik jika guru tidak memiliki kompetensi dan performansi untuk mengelola pembelajaran secara baik dan benar. Di antara kompetensi yang diharapkan dikuasai oleh seorang guru menurut Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen adalah kompetensi pedagogik. Kompetensi pedagogik salah satunya adalah dalam hal melaksanakan pembelajaran sesuai kurikulum. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru harus memiliki kualifikasi akademik minimum sarjana (S-1) atau diploma empat (D-IV), menguasai kompetensi (pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian), memiliki sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mendefinisikan bahwa profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Sebagai tenaga profesional, guru dituntut untuk selalu mengembangkan diri sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Permasalahannya adalah apakah konsepsi teoretis profesionalisme guru yang disematkan pada guru yang telah bersertifikasi itu linear dengan realitas praksis di ruang-ruang pembelajaran? Tulisan ini akan mengkaji dari perspektif teoretis dan praksis mengenai profesionalisme guru dengan tujuan: 1) Menelaah perspektif teoretis peningkatan profesionalisme guru, 2) Merumuskan strategi pembinaan dan pemberdayaan profesionalisme guru dalam perspektif praksis, dan 3) Praksis pembinaan dan pengembangan profesional guru melalui supervisi. Rumusan tujuan tersebut dalam rangka sinkronisasi
pembinaan profesionalitas guru antara perspektif teoretis dan praksis sebagai upaya mewujudkan profesionalisme guru.
B. Peningkatan Profesionalisme Guru dalam Perspektif Teoritis Peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia semakin dituntut untuk memenuhi terwujudnya profesionalisme dan kebutuhan global. Tuntutan ini menjadi sangat berat ketika kita melihat kondisi pendidikan Indonesia saat ini. Rendahnya kualitas pendidikan tersebut sebagai akibat dari kualifikasi dan kompetensi tenaga pendidik yang masih rendah pula. Keadaan seperti ini masih berlangsung paling tidak sampai saat ini, data yang menyedihkan berdasar hasil the Trends in International Mathematics and Science Studies (TIMSS) dan Progress in International Reading Literacy Studies (PIRLS) 2011, yang diselenggarakan the International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA) dan dipublikasikan pada 11 Desember 2012, selayaknya membangunkan kita semua, termasuk para pengambil kebijakan di bidang pendidikan, akan risiko yang akan dihadapi bangsa ini bila pendidikan tidak ditangani dengan tepat. Secara rata-rata, kemampuan siswa-siswa Indonesia dalam matematika, sains, dan membaca sangat mencemaskan. Siswa kelas delapan menempati urutan ke-38 dari 42 negara untuk matematika dengan rata-rata 386 dan urutan ke-40 untuk sains dengan ratarata 406. Tingkat Penalaran TIMSS, yang diselenggarakan empat tahun sekali, didesain untuk menilai dua dimensi, yaitu penguasaan siswa atas materi ajar (konten) dan proses berpikir siswa.Assessment kelas delapan untuk matematika meliputi bilangan, aljabar, geometri, serta data dan peluang. Adapun sains meliputi biologi, kimia, fisika, dan ilmu bumi. Proses berpikir yang dinilai dalam matematika dan sains terdiri dari knowing (mengetahui), applying (menerapkan), dan reasoning (bernalar). Dalam ketiga assessment tersebut, pencapaian siswa dibagi berdasarkan empat patokan dengan mengacu ke rata-rata yang diperoleh, yaitu low international benchmark (400),intermediate benchmark (475), high international benchmark (550), dan advanced international benchmark (625). Hasil TIMSS 2011 untuk matematika menunjukkan tidak ada siswa Indonesia yang mencapaiadvanced international benchmark, 2% siswa mencapai high international benchmark (turun dari 4% di 2007), 15% mencapai intermediate benchmark (turun dari 19% di 2007), dan 43% mencapai low international benchmark (turun dari 48% di 2007). Dengan demikian, 57% siswa kelas delapan kita bahkan belum berhasil mencapai low international benchmark, yang menggambarkan tingkat berpikir terendah di saat siswa baru sampai pada tahap menyelesaikan masalahmasalah sederhana dengan mengikuti prosedur yang telah biasa digunakan. Tingkat pencapaian tertinggi, yaitu advanced international benchmark, antara lain, meliputi kemampuan memanfaatkan informasi dari berbagai sumber, mengambil kesimpulan dan
melakukan generalisasi, dan menyelesaikan masalahmasalah yang membutuhkan beberapa tahapan penyelesaian. Untuk sains, tidak ada siswa kita yang mencapai advanced international benchmark, 3% siswa mencapai high international benchmark (turun dari 4% di 2007), 19% mencapai intermediate benchmark (turun dari 27% di 2007), dan 54% mencapai low international benchmark (turun dari 65% di 2007). Artinya, 46% siswa belum berhasil mencapai kategori terendah tersebut, yang menggambarkan pengenalan siswa akan fakta-fakta dasar di bidang sains dan kemampuan menginterpretasi diagram yang sederhana, melengkapi tabel sederhana dan mengaplikasikan pengetahuanpengetahuan dasar ke dalam situasi nyata. Advanced international benchmark, antara lain, menggambarkan kemampuan siswa dalam mengomunikasikan konsep-konsep yang abstrak dan kompleks di bidang sains serta mengombinasikan informasi dari berbagai sumber untuk menyelesaikan masalahmasalah dan mengambil kesimpulan. Pencapaian siswa kelas empat dalam membaca relatif lebih baik jika dibandingkan dengan pencapaian siswa kelas delapan dalam matematika dan sains. Tidak ada siswa kita yang mencapai advanced international benchmark, 4% mencapai high international benchmark (naik dari 2% di 2006), 28% mencapai intermediate bench mark (naik dari 19% di 2006), dan 66% mencapai low international benchmark (naik dari 54% di 2007). Artinya, 34% siswa masih belum mampu menemukan hal-hal spesifik ataupun informasi yang sesungguhnya telah dinyatakan secara eksplisit dalam teks yang diberikan. Menelaah capaian prestasi yang rendah tersebut tentunya sebagai dampak dari sistem pembelajaran yang belum optimal dan salah satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas, kualifikasi dan kompetensi guru, yang cenderung unqualified, underqualified, dan mismath. Diberlakukannya UU Guru-Dosen dan SNP yang mensyaratkan guru harus S-1, merupakan titik tolak upaya pemberdayaan dan pengembangan untuk meningkatkan kualifikasi dan kompetensi guru harus dilakukan secara berkelanjutan. Selain itu, pemberlakuan Otoda dan otonomi pendidikan adalah instrumen penting untuk menyokong dan meretas persoalan yang sangat kompleks ketika menyangkut kompetensi profesi guru. Dalam bingkai ini, munculnya UU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru-Dosen dan Peraturan Mendiknas nomor 11 tahun 2005 serta SNP (Standar Nasional Pendidikan) merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan profesionalisme dan memprofesikan guru. Dengan asumsi bahwa guru sebagai profesi yang profesional dengan segala kompetensi yang harus dimiliki, akan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran, output, maupun outcome. Hal ini akan menjadi kenyataan apabila kita menjalankan amanah dalam perundangan tersebut yang mengatakan bahwa ”Pendidik dan Tenaga Kependidikan harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi (pedagogik, kepribadian, profesional, sosial) sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan
rohani, serta memilik kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (Paulina, 2006). Secara teoretik, ini sejalan dengan syarat pertama agar suatu pekerjaan bisa dikategorikan sebagai profesi menurut Macionis (1987: 498), yakni landasan pengetahuan teoretik (theoretical knowledge). Guru memang bukan sekedar pekerjaan atau mata pencaharian yang membutuhkan ketrampilan teknis, tetapi juga pengetahuan teoretik (Rosidi, 2007). Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menetapkan bahwa kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi pedagogik menunjuk pada kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi kepribadian menunjuk pada kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Kompetensi profesional menunjuk pada kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi sosial menunjuk kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Tampaknya, kendati syarat kualifikasi pendidikan terpenuhi, tak berarti dengan sendirinya seseorang bisa bekerja profesional, sebab juga harus ada cukup bukti bahwa dia memiliki keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu. Karena itu, belakangan ditetapkan bahwa sertifikasi pendidik merupakan pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional. Syarat kedua profesi adalah pemberlakuan pelatihan dan praktik yang diatur secara mandiri (selfregulated training and practice). Kalau kebanyakan orang bekerja di bawah pengawasan ketat atasan, tak demikian dengan kerja profesional. Pekerjaan profesional menikmati derajat otonomi tinggi, yang bahkan cenderung bekerja secara mandiri. Karena itu, sejumlah pelatihan profesional masih diperlukan, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah dan atau instansi yang mempekerjakan, maupun yang diselenggarakan oleh asosiasi profesi. Gelar formal dan berbagai bentuk sertifikasi dipersyaratkan untuk berpraktik profesional. Bahkan, pada sejumlah profesi yang cukup mapan, lobilobi politik asosiasi profesi ini bisa memberikan sanksi hukum terhadap mereka yang melakukan praktik tanpa sertifikasi terkait. Pasal 42 Undang-undang Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen tampak sudah sejalan dengan prinsip profesionalisme menurut tinjauan teoretik akademik. Berkenaan dengan organisasi profesi, ditegaskan sebagai berikut: Organisasi profesi guru mempunyai kewenangan: a. menetapkan dan menegakkan kode etik guru; b. memberikan bantuan hukum kepada guru; c. memberikan perlindungan profesi guru; d. melakukan pembinaan dan pengembangan profesi guru; dan e. memajukan pendidikan nasional.
Namun demikian, bila yang dimaksudkan adalah pengaturan praktik kependidikan secara otonom oleh guru, jelas kemantapan guru sebagai profesi belum sampai tahapan ini. Banyak guru masih bekerja dalam pengawasan ketat para atasan, serta tidak memiliki derajat otonomi dan kemandirian sebagaimana layaknya profesi. Pun nyaris tanpa sanksi bagi siapa saja yang berpraktik keguruan meskipun tanpa sertifikasi kependidikan. Sistem konvensional teramat jelas tidak mendukung pemantapan profesi keguruan. Keputusan penilaian seorang guru bidang studi. Syarat terakhir, pekerjaan profesional juga ditandai oleh orientasinya yang lebih kepada masyarakat daripada kepada pamrih pribadi (community rather than self-interest orientation). Pekerjaan profesional juga dicirikan oleh semangat pengutamaan orang lain (altruism) dan kemanfaatan bagi seluruh masyarakat ketimbang dorongan untuk memperkaya diri pribadi. Kecintaan pada bidang pekerjaan dan pengabdian kepada masyarakat merupakan salah satu landasan etika pekerjaan profesional. Walaupun secara praktik boleh saja menikmati penghasilan tinggi, bobot cinta altruistik profesi memungkinkan diperolehnya pula prestise sosial tinggi. Untuk memecahkan permasalahan belum terpenuhinya sebagian aspek persyaratan keprofesionalan guru, diperlukan suatu sistem pembinaan professional guru secara berkesinambungan. Dalam pasal 39 ayat (2) UU SISDIKNAS dinyatakan bahwa Pendidik merupakan tenaga professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada msyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Tersuratnya sebutan professional untuk tenaga pendidik (guru), menuntut harus dipenuhinya berbagai persyaratan professional oleh guru. Surya (2005) merekomendasikan hal yang harus dilaksanakan dalam rangka mereposisi jabatan guru menjadi jabatan professional sebagai berikut: (1) Pemerintah harus ada kemauan dan komitmen politik untuk menempatkan posisi guru dalam keseluruhan pendidikan nasional dan memberikan penghargaan sesuai dengan hak dan martabatnya. Penataan kembali berbagai perundangundangan dan produk hokum yang berkaitan dengan pendidikan, agar lebih sesuai dengan tuntutan yang berkembang. Dalam penataan ini dapat dilakukan perbaikan perundang-undangan yang telah ada, dan menghasilkan produk baru termasuk undang-undang khusus tentang guru. (2) Mewujudkan suatu sistem manajemen guru dan tenaga kependidikan lainnya dalam satu institusi yang meiliki kewenangan nasional secara terpadu yang sistematik, sinergik, dan simbiotik. Seluruh aspek manajemen guru yang mencakup antara lain rekrutmen, pendidikan, penempatan, pembinaan, dan pengembangan berada dalam satu sistem pengelolaan tunggal yang professional dan proporsional. Pengelolaan yang lebih bersifat birokratis harus digeser menjadi pengelolaan yang lebih bersifat “pemberdayaan” dengan suatu mobilitas yang terbuka baik secara vertical maupun horizontal sesuai dengan kesempatan dan kompetensinya serta memperhitungkan
berbagai variable individual. (3) Pembenahan sistem pendidikan dan pelatihan guru yang lebih fungsional untuk lebih menjamin dihasilkan kualitas professional guru dan tenaga kependidikan lainnya. Dilihat dari posisi dan perannya, guru memerlukan kompetensi pribadi dan profesi agar mampu mampu melaksanakan proses pendidikan secara mendasar. Oleh karena itu pendidikan dan latihan guru hendaknya lebih berorientasi pada pembentukan dan pemberdayaan kepribadian guru professional, lingkungan kehidupan pendidikan, dinamika adaptasi yang tinggi, pengembangan dedikasi kependidikan, dsb. Pendidikan guru pada masa kini harus menggunakan strategi yang lebih mengarah pada pembentukan kepribadian dan kompetensi, memiliki ketrkaitan dengan lingkungan dan kebutuhan. (4) Pengembangan satu sistem remunerasi (gaji dan tunjangan lainnya) bagi para guru secara adil, bernilai ekonomis, serta memiliki daya tarik sedemikian rupa sehingga merangsang para guru melakukan tugasnya dengan penuh dedikasi dan memberikan kepuasan lahir batin. Sejalan dengan rekomendasi UNESCO/ILO, dalam upaya untuk mewujudkan kesejahteraan guru Indonesia, sistem penggajian guru harus dibangun sebagai satu kulminasi kesatuan berbagai variable yang saling terkait yaitu: (1) jenjang pendidikan tempat guru bertugas, (2) tingkat pendidikan, (3) pengalaman/masa kerja, (4) beban kerja, (5) kreativitas, (6) lokasi atau lingkungan kerja, (7) kepangkatan. Rekomendasi tersebut mengisyaratkan bahwa dalam usaha mereposisi guru ke posisi jabatan professional harus dilakukan melalui manajemen terpadu yang melibatkan berbagai unsur dan memperhatikan berbagai variabel yang berpengaruh, serta dilakukan secara berkelanjutan. Sejalan dengan hal tersebut, maka dalam membina profesionalisme guru juga harus dilakukan secara terpadu dengan melibatkan berbagai komponen baik komponen struktural maupun non-struktural dan dilaksanakan secara berkelanjutan. Arah pembinaan guru ditekankan kepada pencapaian kemampuan dan keterampilan. melaksanakan pembelajaran yang meliputi penggunaan: 1) open-ended inquiry, 2) collaborative learning, 3) active participation during lecture, 4) in cooperation of relevan material and 5) integration of the laboratory experiences with the lectur material (Wagner, 2001). Komponen-komponen tersebut merupakan indikator keprofesionalan guru yang menjadi tolok ukur keberhasilan proses pembinaan. Membina profesionalisme guru berarti praktek professional dari supervisor dan organisasi profesi untuk membantu guru mencapai indicator tersebut di atas. Guru yang menunjukkan indikator-indikator seperti di tersebut di atas dalam melaksanakan pembelajaran diharapkan akan menjadi jaminan mutu pendidikan (education quality assurance). Manejemen pembinaan professional guru dilakukan dengan pendekatan TQM yang mendudukan setiap orang sebagai manajer dalam posisinya dan semua komponen terlibat di dalamnya (Sallis, 1993). Berdasarkan prinsip TQM, dalam pelaksanaan pembinaan professional guru diarahkan harus terjadi tarnsformasi budaya dari budaya tradisional ke budaya mutu (cultural change), serta proses
perbaikan/peningkatan dilaksanakan secara berkesinambungan (continuous improvement). Sebagai contoh program penataran guru untuk kemampuan guru dalam menguasai bahan ajar (content) seharusnya dilaksanakan secara terencana dengan tujuan yang jelas dan metode sesuai. Apabila kigiatan penataran ini dilakukan asal tugas penyelenggaraan selesai tiadka akan berdampak pada peningkatan kemampuan guruguru tersebut. Dalam kaitan ini budaya “asal selesai” seharusnya diubah kepada budaya “penyelenggaraan berkualitas” Seperti telah diuraikan di bagian Pendahuluan makalah ini, untuk membina profesionalisme guru telah tersedia berbagai lembaga atau organisasi profesi baik di tingkat pusat maupun daerah. Lembaga/organisasi tersebut dipersiapkan Pusat dan Daerah untuk membantu para guru dalam meningkatkan kemampuan dan keterampilan mengajar. Komponen-komponen tersebut dapat dibagai menjadi dua kategori yaitu, kategori structural dan kategori nonstruktural. Komponen Pembina yang termasuk kategori strukutral antara lain Kepala Sekolah, Pengawas, LPMP, PPPG. Sedangkan yang termasuk kategori nonstruktural antara lain MGMP, KKG, dan PGRI. C. Strategi Pembinaan dan Pemberdayaan Profesionalisme Guru dalam Perspektif Praktis Meskipun guru telah mendapatkan sertifikasi sebagai guru profesional pasca uji portofolio atau pendidikan dan latihan profesional guru sebagai implementasi UU Guru dan Dosen, yang dapat diasumsikan mereka telah memiliki kecakapan kognitif, afektif, dan unjuk kerja yang memadai, namun sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tuntutan pembangunan pendidikan kekinian, maka guru dituntut untuk terus menerus berupaya meningkatkan kompetensinya secara dinamis. Mantja (2002) menyatakan bahwa peningkatan kompetensi tersebut tidak hanya ditujukan pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor, namun yang lebih penting adalah kemamuan diri untuk terus menerus melakukan peningkatan kelayakan kompetensi. Sergiovanni (dalam mantja, 2002) menegaskan bahwa teachers are axpected to put their knowledge to work to demonstrate they can do the job. Finally, professional are expected to engage in a life long commitment to self improvement. Self improvement is the will-grow competency area. Pernyataan Sergiovanni tersebut memberikan petunjuk bahwa asumsi profesionalisme guru pasca sertifikasi seyognya menjadi spring board bagi guru untuk terus menerus menata komitmen melakukan perbaikan diri dalam rangka meningkatkan kompetensi. Peningkatan kompetensi atas dorongan komitmen diri diharapkan akan mampu meningkatkan keefektifan kinerjanya di sekolah. Komitmen untuk meningkatkan kefektifan kinerja sangat berkaitan dengan pencapaian tujuan program, yaitu program pembelajaran yang diharapkan mampu menghasilkan output dan outcome yang mencapai standar. Jika guru memiliki komitmen untuk mengembangkan kompetensi diri secara terus menerus, maka proses-proses perencanaan, pengembangan, penerapan, pengelolaan, dan penilaian program
pembelajaran diyakini akan dapat dilakukan sesuai dengan tuntutan kekinian. Penjelasan di atas mengindikasikan, bahwa komitmen diri dan strategistrategi manajemen sangat dibutuhkan dalam rangka memfasilitasi guru meningkatkan profesionalismenya. Sinergi antara komitmen guru dan strategi manajemen akan melahirkan proses kolaborasi yang efektif untuk meningkatkan kompetensi. Pada saat ini, guru dihadapkan pada perubahan paradigma persaingan dari sebelumnya lebih bersifat physical asset menuju paradigma knowledge based competition. Perubahan paradigma tersebut menuntut efesiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya guru, karena guru merupakan agen perubahan dan agen pembaharuan, sehingga mereka mampu bersaing dan memiliki keunggulan kompetitif. Pemantapan sumber daya guru sebagai intellectual capital harus diikuti dengan pengembangan dan pembaharauan terhadap kemampuan dan keahlian yang dimilikinya, sehingga mereka mampu dan peka terhadap arah perubahan yang terjadi. Strategi pemberdayaan merupakan salah satu cara pengembangan guru melalui employee involvement. Analog dengan pikiran Wahibur Rokhman (2002), dapat dikonsepsikan bahwa pemberdayaan merupakan upaya kepala sekolah untuk meberikanwewenang dan tanggung jawab yang proporsional, menciptakan kondisi saling percaya, dan pelibatan guru dalam menyelesaikan tugas dan pengambilan keputusan. Kepala sekolah memiliki peran strategis dalam proses pemberdayaan guru sebagai agen perubahan. Dalam hal ini, kepala sekolah dituntut memiliki kesadaran yang tinggi dalam mendistribusi wewenang dan tanggung jawab secara proporsional. Upaya ini, pada satu sisi merupakan proses kaderisasi, di sisi lain adalah untuk mengakomodasi proses peningkatan kompetensi guru secara berkelanjutan. Untuk menjamin keberhasilan proses pemberdayaan guru, dapat digunakan model pemberdayaan Khan (dalam Wahibur Rokhman, 2003) dengan paradigma-paradigma desire, trust, confident, credibility, accountability, communication. Paradigma desire merupakan upaya kepala sekolah untuk (a) memberi kesempatan kepada guru untuk mengidentifikasi permasalahan yang sedang berkembang, (b) memperkecil directive personality dan memperluas keterlibatan guru, (c) mendorong terciptanya perspektif baru dan memikirkan kembali strategi untuk meningkatkan kinerja, dan (d) menggambarkan keahlian team dan melatih guru untuk melakukan self-control. Paradigma trust mencakup upaya kepala sekolah untuk (a) memberi kesempatan kepada guru untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan, (b) menyediakan waktu dan sumber daya pendukung yang mencukupi bagi upaya guru untuk meningkatkan kinerja, (c) menyediakan pelatihan yang mencukupi bagi kebutuhan peningkatan kinerja guru, (d) menghargai perbedaan pandangan dan mengakui kesuksesan yang diraih oleh guru, dan (e) menyediakan akses informasi yang memadai bagi upaya guru untuk meningkatkan kinerja.
Paradigma Confident merupakan upaya kepala sekolah untuk (a) mendelegasikan tugas-tugas yang dianggap penting kepada guru, (b) menggali dan mengakomodasi gagasan dan saran guru, (c) memperluas tugas dan membangun jaringan dengan sekolah dan instansi lain, dan (d) menyediakan jadwal job instruction dan mendorong munculnya win-win solution. Beberapa upaya kepala sekolah terkait dengan paradigma credibility, adalah (a) memandang guru sebagai partner strategis, (b) menawarkan peningkat standar tinggi di semua aspek kinerja guru, (c) mensosialisasikan inisiatif guru sebagai individu kepada guru lain untuk melakukan perubahan secara partisipatif, dan (d) menggagas win-win solution dalam mengatasi perbedaan pandangan dalam penentuan tujuan dan penetapan prioritas. Paradigma accountability merupakan upaya kepala sekolah untuk (a) menggunakan jalur training dalam mengevaluasi kinerja guru, (b) memberikan tugas yang terdefinisikan secara jelas dan terukur, (c) melibatkan guru dalam penentuan standar dan ukuran kinerja, (d) memberikan bantuan dan saran kepada guru dalam menyelesaikan beban kerjanya, dan (e) menyediakan periode dan waktu pemberian feedback. Paradigma communication adalah upaya kepala sekolah untuk (a) menetapkan kebijakan open door communication, (b) menyediakan waktu untuk memperoleh informasi dan mendiskusikan permasalah secara terbuka, dan (c) menciptakan kesempatan untuk cross-training. Di samping enam paradigma pemberdayaan guru tersebut, faktor lingkungan sekolah juga sangat menentukan pelaksanaan program pemberdayaan. Caudron (dalam Wahibur Rokhman, 2003) menganjurkan enam hal penting untuk membangun lingkungan sekolah yang kondusif bagi pelaksanaan program pemberdayaan. Enam hal tersebut, adalah (1) work teams and information sharing, (2) training and resources, (3) measurement and feedback, (4) reinforcement, (5) responsibility, dan (6) flexibility procedure. Membentuk work teams and information sharing sangat penting bagi sekolah, karena di dalam tim terdapat peluang yang besar terjadinya sharing knowledge di antara para guru, pegawai, dan kepala sekolah. Setiap individu diharapkan mampu menyajikan unjuk kerja dan mempengaruhi secara positif kepada yang lain dalam meningkatkan kompetensi. Sharing knowledge di antara para guru, pegawai, dan kepala sekolah terjadi melalui proses-proses komunikasi terbuka tentang kekuatan dan kelemahan kinerja mereka serta mencermati tantangan dan peluang yang mereka hadapi seiring dengan perkembangan pendidikan. Pemberdayaan training and resources sangat penting untuk menunjang peningkatan profesionalisme guru. Training team memiliki peran penting untuk menjaga kekompakan dalam penyelesaian berbagai masalah di sekolah. Hal ini penting, karena pemberdayaan bagi guru tidak hanya untuk tujuantujuan independent empowering, tetapi juga interdependent empowering. Namun, training sangat membutuhkan penyediaan fasilitas da sumber daya lain
yang dibutuhkan guru dalam meningkatkan kompetensinya. Measurement sangat dibutuhkan untuk memperoleh data ada atau tidaknya peningkatan dan kemajuan yang dialami guru. Konsep pengukuran tidak bisa dilepaskan dari konsep standar. Hasil pengukuran yang dibandingkan dengan standar akan berfungsi sebagai alat kontrol terhadap kinerja yang dilakukan oleh guru. Namun pasca pengukuran memerlukan adanya feedback secara cepat. Hal ini penting, karena feedback akan memberi peluang bagi guru untuk menampilkan kinerja yang lebih baik. Dukungan manajemen dengan pemberian reinforcement secara terus menerus akan mendukung dan memotivasi guru. Pada hakikatnya, semua manusia (termasuk guru) merasa respektif terhadap penghargaan yang diterima atas prestasi yang dicapainya. Kepala sekolah atau pengawas perlu memberikan penilaian yang baik atas prestasi kerja yang bisa dicapai oleh guru. Kepala sekolah wajib melakukan sosialiasi atas prestasi yang dicapai guru di sekolah. Memberikan kepercayaan kepada para guru untuk melakukan pekerjaan yang sesuai akan membangun responsibility guru terhadap tugas yang menjadi kewajibannya. Kepercayaan tersebut akan membangkitkan kreativitas dan inovasi mereka yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja dan produktivitasnya. Pemberian wewenang memiliki nilai strategis bagi guru dalam hal meningkatkan rasa percaya diri mereka sebagai akibat dirinya merasa dihargai, penting, dan dibutuhkan keberadaanya di sekolah. Dengan demikian, guru akan mengerahkan seluruh pengetahuan dan keahliannya untuk melakukan tugas dengan sebaik-baiknya. Flexibility procedure sangat dibutuhkan di sekolah, karena sangat memudahkan dalam pengambilan keputusan. Prosedur yang fleksibel akan mendukung sekolah dalam melakukan penyesuaian terhadap perubahan-perubahan zaman seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Di samping itu, akan memberi peluang pula bagi guru untuk mampu beradaptasi dan meningkatkan kompetensi, sehingga lebih siap dalam berkompetisi. D. Pembinaan dan Pengembangan Profesionalisme Guru melalui Supervisi Fase vital dalam pembinaan dan pengembangan profesionalisme guru adalah supervisi. kepala sekolah berfungsi sebagai supervisor pengajaran di sekolah. Kepala sekolah bertanggung jawab mengkoordinasikan semua program pengajaran. Para guru mengharapkan agar kepala sekolah menggunakan sebagian besar waktunya untuk perbaikan dan peningkatan pengajaran. Oleh sebab itu, kepala sekolah hendaknya memiliki kompetensi kepemimpinan pengajaran dalam melaksanakan tugasnya sebagai supervisor. Dia hendaknya memiliki pemahaman tentang cara yang tepat dalam melaksanakan supervisi. Fungsi supervisi pendidikan adalah sebagai layanan atau bantuan kepada guru untuk mengembangkan situasi belajar mengajar. Konsep supervisi sebenarnya diarahkan kepada pembinaan. Artinya kepala sekolah, guru dan para personel lainnya di sekolah diberi fasilitas untuk meningkatkan kemampuannya dalam melaksanakan tugas pokok dan
fungsinya. Menurut Anwar dan Sagala (2009) Supervisor mempunyai fungsi-fungsi utama, antara lain: a. Menetapkan masalah yang betul-betul mendesak untuk ditanggulangi. b. Menyelenggarakan inspeksi, yaitu sebelum memberikan pelayanan kepada guru, supervisor lebih dulu perlu mengadakan inspeksi sebagai usaha mensurvai seluruh sistem yang ada. c. Memberikan solusi terhadap hasil inspeksi yang telah di survai. d. Penilaian e. Latihan, dan f. Pembinaan atau pengembangan. Di lihat dari fungsi yang telah ada, tampak jelas peranan supervisi pendidikan. Peranan supervisi dapat dikemukakan oleh berbagai pendapat para ahli yang menyimpulkan tetang tugas dan fungsi supervisor: a. Koordinator, sebagai koordinator supervisor dapat mengkoordinasi program-program belajar mengajar, tugas-tugas anggota staf berbagai kegiatan yang berbeda-beda diantara guru-guru. b. Konsultan, sebagai konsultan supervisor dapat memberikan bantuan, bersama mengkonsultasikan masalah yang dialami guru baik secara individual maupun secara kelompok. c. Pemimpin kelompok, supervisor dapat memimpin sejumlah staf guru dalam mengembangkan potensi kelompok, pada saat mengembangkan kurikulum, materi pelajaran dan kebutuhan profesional guru secara bersama-sama. d. Evaluator, supervisor dapat membantu guru dalam menilai hasil dan proses belajar, dapat menilai kurikulum yang sedang dikembangkan. Konsepsi umum pendidikan mengenal supervisi sebagai salah satu usaha menstimulir, mengkoordinir dan membimbing secarr kontinyu pertumbuhan guruguru di sekolah baik secara individual maupun secara kolektif, agar lebih mengerti dan lebih efektif dalam mewujudkan seluruh fungsi pengajaran dengan demikian mereka dapat menstmulir dan membimbing pertumbuan tiap-tiap peserta secara kontinyu, serta mampu dan lebih cakap berpartisipasi dalam masyarakat demokrasi modern. Wilem Mantja (2002) mendefinisikan bahwa, supervisi diartikan sebagai kegiatan supervisor (jabatan resmi) yang dilakukan untuk perbaikan proses belajar mengajar (PBM). Ada dua tujuan (tujuan ganda) yang harus diwujudkan oleh supervisi, yaitu; perbaikan (guru -murid) dan peningkatan mutu pendidikan. Willem Mantja memandang supervisi sebagai kegiatan untuk perbaikan (guru murid) dan peningkatan mutu pendidikan Glickman (dalam Mantja 2002) memperkenalkan pendekatan supervisi pengembangan (developmental supervision). Pendekatan tersebut bertolak dari kenyataan, bahwa pada dasarnya proses supervisi adalah proses belajar. Dalam proses supervisi, hubungan antara kepala sekolah analog dengan hubungan antara guru dan siswa. Guru dalam melayani siswa memiliki kewajiban untuk memhamami semua karakteristik siswa. Demikian pula, kepala sekolah dalam melakukan supervisi pada para guru, hendaknya guru diperhatikan sebagai individu, karena adanya perbedaanpernedaan individual guru dalam perkembangan manusiawinya.
Perlakuan seperti itu sangat diperlukan, lebih-lebih guru dituntut untuk terlibat secara langsung dalam peningkatan kualitas pendidikan. Pendekatan supervisi perlu didasarkan atas perkembangan, kebutuhan, dan karakteristik guru. Pendekatan tersebut erat kaitannya dengan dua unsur penting keefektifan guru dalam menjalankan tugas keprofesionalan,nyaitu komitmen dan kemampuan berpikir abstraks. Komitmen guru merupakan banyaknya waktu dan tenaga yang mampu dicurahkan oleh guru tersebut bagi siswa dan menunjang profesinya. Komitmen diistilahkan sebagai kepedulian, yang dapat diklasifikasi atas tiga kategori, kepedulian terhadap diri sendiri, terhadap siswa, dan terhadap profesionalisasi. Kemampuan berpikir abstraks, adalah kemampuan kognitif berbasis pengalaman konkrit, mampu mengidentifikasi tindakan kekinian untuk membantu siswa belajar secara efektif, dan mampu mengidentifikasi tindakan yang akan datang yang lebih memberikan kesuksesan pelayanan bagi siswa. Kemampuan abstraks diistilahkan sebagai kompleksitas kognitif. Perpaduan antara kepedulian dan kompleksitas kognitif melahirkan tiga tahapan perkembangan profesional, yaitu perkembangan tingkat rendah, sedang, dan tinggi. Tahapan perkembangan tersebut membutuhkan fasilitas supervisi pengembangan, yang dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu (1) supervisi direktif diperuntukkan bagi guru yang memiliki kepedulian pada diri sendiri dengan kompleksitas kognitif rendah, (2) supervisi kolaboratif diperuntukkan bagi guru yang memiliki kepedulian kepada siswa dan kompleksitas kognitif menengah, dan (3) supervisi nondirektif diperuntukkan bagi guru yang memiliki kepedulian profesional dengan kompleksitas kognitif tinggi. Pola-pola tindakan supervisor yang berorientasi pada supervisi direktif adalah clarifying, presenting, demonstrating, directing, standardizing, reinforcing. Tindakan-tindakan tersebut dilakukan untuk mengarahkan kegiatan dalam perbaikan pembelajaran, menetapkan prangkat standar untuk perbaikan pembelajaran, menggunakan sarana dan berbagai dorongan untuk meningkatkan pembelajaran. Tampak, bahwa dalam supervisi direktif, tanggung jawab cenderung lebih banyak pada kepala sekolah dibandingkan dengan tanggung jawab guru. Dalam supervisi kolaboratif, pola-pola tindakan supervisor adalah listening, clarifying, pressenting, problem solving, negotiating, initiating. Pola-pola tindakan tersebut mengindikasikan bahwa antara kepala sekolah dan guru berbagi tanggung jawab. Kepala sekolah berupaya mendengarkan persepsi guru tentang masalah pembelajaran yang dihadapinya. Atas dasar persepsi guru, kepala sekolah menawarkan gagasan pemecahan masalah. Proses tersebut melahirkan alternatif pemecahan masalah yang kemudian disepakati untuk diterapkan dalam pembelajaran. Beranjak dari pemahaman kepala sekolah, bahwa guru adalah mampu berkembang dan mengembangkan dirinya ke arah yang lebih profesional, maka pola tindakan yang dapat dilakukan dalam supervisi nondirektif, adalah listening,
clarifying, encouraging, pressenting, negotiating, accomodating teacher-initiated. Tindakan-tindakan tersebut bertolak dari premis, bahwa proses belajar bagi guru diwarnai oleh pengalaman pribadinya, sehingga pada akhirnya guru tersebut akan mampu memecahkan masalahnya sendiri. Bagi guru, pemecahan masalah yang dimaksud adalah upaya memperbaiki dan meningkatkan pengalaman belajar siswa di kelas. Peranan kepala sekolah adalah mendengarkan, tidak memberi pertimbangan, membangkitkan kesadaran sendiri, dan mengklarifikasi pengalaman-pengalaman guru. Kepala sekolah lebih menekankan refleksi atau bertanya untuk memperoleh informasi dengan tujuan membuka komunikasi dalam pertemuan supervisi mereka. Peranan kepala sekolah dalam menjalankan supervisi seperti itu akan membuat persepsi guru menjadi positif. E. Kesimpulan Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mendefinisikan bahwa profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Sebagai tenaga profesional, guru dituntut untuk selalu mengembangkan diri sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, wacana mengenai profesionalisme guru gencar dibicarakan di Indonesia. Profesionalisme guru sering dikaitkan dengan tiga faktor yang cukup penting, yaitu kompetensi guru, sertifikasi guru, dan tunjangan profesi guru. Ketiga faktor tersebut merupakan latar yang disinyalir berkaitan erat dengan kualitas pendidikan. Guru profesional yang dibuktikan dengan kompetensi yang dimilikinya akan mendorong terwujudnya proses dan produk kinerja yang dapat menunjang peningkatan kualitas pendidikan. Guru kompeten dapat dibuktikan dengan perolehan sertifikasi guru berikut tunjangan profesi yang memadai menurut ukuran Indonesia. Sekarang ini, terdapat sejumlah guru yang telah tersertifikasi, akan tersertifikasi, telah memperoleh tunjangan profesi, dan akan memperoleh tunjangan profesi. Fakta bahwa guru telah tersertifikasi merupakan dasar asumsi yang kuat, bahwa guru telah memiliki kompetensi. Kompetensi guru tersebut mencakup empat jenis, yaitu (1) kompetensi pedagogi (2) kompetensi profesional, (3) kompetensi sosial, dan (4) kompetensi kepribadian. Permasalahannya adalah apakah konsepsi teoretis profesionalisme guru yang disematkan pada guru yang telah bersertifikasi itu linear dengan realitas praksis di ruang-ruang pembelajaran. Program sertifikasi guru merupakan upaya pemerintah untuk mengidentifikasi guru-guru berkualitas. Guru berkualitas yang terbukti dari hasil sertifikasi dijadikan dasar untuk memberikan tunjangan profesi. Guru yang memperoleh tunjangan profesi
dikategorikan sebagai guru yang profesional. Untuk menjamin konsistensi profesionalisme guru seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, diperlukan upaya-upaya peningkatan profesionalisme secara berkesinambungan. Secara preskriptif, dukungan kompetensi manajemen, strategi pemberdayaan, supervisi pengembangan, dan penelitian tindakan kelas merupakan dimensi-dimensi teoretis alternatif untuk meningkatkan profesionalisme guru. Dukungan kompetensi manajemen diperankan oleh kepala dinas pendidikan dan kepala sekolah. Strategi pemberdayaan dan supervisi pengembangan merupakan peran sentral kepala sekolah. Ketiga dimensi teoretis tersebut berlandaskan pada filosofi humanistik, bahwa guru yang harus berkembang secara profesional, pada dasarnya dapat meningkatkan profesionalismenya secara mandiri. Oleh sebab itu, peran kompetensi manajemen, strategi pemberdayaan, dan supervisi pengembangan tidak lebih dari sekadar fasilitas dan pijakan bagi guru untuk meningkatkan komitmen. Daftar Pustaka Macionis, John J. 1987. Sociology. Englewood Cliffs, New Jersey: Pentice-Hall. Inc Mantja, W. 2002. Manajemen pendidikan dan supervisi pengajaran. Malang: Wineka Media. McIntosh, J. E. 2005. Valuing the collaborative nature of professional learning communities. Tersedia pada http://www.nipissingu.ca/oar/PDFS/V82E.pdf. Rosidi, Sakban. 2008, Penelitian Tindakan, Praksis Pendidik Profesional. Makalah Seminar dan Lokakarya Nasional, Kerjasama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur dan PP Un-Nur Malang, tanggal 25 Mei 2008. Saiful Sagala, 2009, Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan. Bandung: Alfabeta Sallis, E. (1993), Total Quality Management in Education, London: Kogan Page Limited Surya Dharma. 2003. Pengembangan SDM berbasis kompetensi. Dalam Usmara, A (Ed.): Paradigma baru manajemen sumber daya manusia. 105120. Yogyakarta: Amara Book. Surya, M. (2005), Profesi Guru Dalam Kenyataan dan Harapan, Makalah Semiloka Nasional Profesionalisasi Pendidik dan Tenaga Kependidikan, , Bandung, FIP-UPI Wagner E (2001), Development and Evaluation of a Standards-Based Approach to Instruction in General Chemistry, Elektronic Journal of Science Education Vol. 6 No. 1 Wahibur Rokhman, J. 2003. Pemberdayaan dan komitmen: Upaya mencapai kesuksesan organisasi dalam menghadapi persaingan global. Dalam Usmara, A (Ed.): Paradigma baru manajemen sumber daya manusia. 121-133. Yogyakarta: Amara Book.