Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
PEMBERIAN PAKAN MENGANDUNG ASAM AMINO SEIMBANG DAN ANTIOKSIDAN NABATI SEBAGAI STRATEGI PROTEKSI TERHADAP SERANGAN PENYAKIT PADA TERNAK AYAM S. PRAWIRODIGDO Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah Jl. Soekarno-Hatta 10 A, Bergas, Kabupaten Semarang 50552
ABSTRAK Serangan virus flu burung (FB, Avian influenza) yang berkepanjangan ternyata melemahkan usaha peternakan di Indonesia. Sampai saat ini berbagai upaya dan penerapan biosecurity belum mampu mengatasi masalah FB, karena hewan liar yang prospektif sebagai pembawa dan menyebabkan berkembangnya penyakit ini tidak dapat dikendalikan. Fenomena yang umumnya tampak pada perusahaan ayam adalah bahwa pakan yang digunakan oleh peternak tidak memenuhi persyaratan standar keseimbangan nutrien pakan dan kebutuhan ternak, dan pembersihan residu kandang dilaksanakan dalam interval waktu yang panjang. Kondisi ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap kesehatan ternak ayam sehingga tidak dapat memenuhi syarat layak vaksinasi, mudah terserang FB maupun virus lainnya dan akhirnya kematian unggas sangat tinggi. Guna mencapai usaha ternak ayam yang berdayasing tinggi maka anjuran strategi solusi utama adalah melalui (1) penerapan formulasi pakan berdasarkan keseimbangan asam amino, dan (2) introduksi antioksidan nabati. Di samping itu solusi penunjang yang perlu dilakukan adalah (a) pemanfaatan bahan pakan lokal sebagai komponen utama dalam formula pakan ayam, (b) pembersihan residu kandang ayam secara rutin dalam interval waktu pendek, dan (c) melaksanakan program vaksinasi sesuai standar kebutuhan. Kata kunci: Biosecurity, Avian influenza, ayam
PENDAHULUAN Ternak ayam merupakan komoditas andalan untuk pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat di Indonesia. Sangat disayangkan bahwa budidaya ternak ayam ini menjadi sangat lemah setelah terjadi krisis moneter di Indonesia, dan semakin parah akibat serangan wabah flu burung (FB, Avian influenza, PRAWIRODIGDO, 2005). Kondisi yang demikian terjadi tidak hanya karena populasi ayam turun secara drastis sebagai akibat mortalitas tinggi, tetapi dampak serangan wabah FB juga menghambat permintaan. Fenomena ini tidak mengejutkan karena FB khususnya virus H5N1 bersifat zoonosis (BLAIR, 2005), sehingga sebagian masyarakat cenderung mencegah untuk menkonsumsi produk ayam. Konsekuensinya, permintaan produk ayam berkurang sehingga motivasi usaha ternak ini juga lemah. FARRELL (2005) berpendapat bahwa wabah FB dan kenaikan harga bahan bakar minyak
144
tampaknya tidak ada penyelesaian, sehingga usaha unggas akan merupakan industri mahal. Berdasarkan hasil-hasil penelitian Balai Penelitian Veteriner Bogor, ADJID et al. (2005) mengkonfirmasikan teknologi-teknologi terapan untuk pengendalian dan pencegahan berbagai penyakit viral ayam. Walaupun demikian, penerapan biosecurity terhadap usaha ternak unggas di Indonesia belum menjadi solusi tuntas terhadap wabah FB. Fenomena ini tidak mengherankan sebab sebagian carrier yang membawa virus ini hidup bebas-tidak-terkendali. Menurut GILCHRIST (2005), burung-burung liar mungkin dapat menjadi intermedia berkembangnya virus FB, Newcastle disease, atau infeksi bursal disease. Fakta tidak dapat dipungkiri bahwa mobilisasi ayam dari suatu perusahaan ke perusahaan lain atau ke konsumen dapat dikendalikan, tetapi pengendalian burung maupun hewan liar lainnya yang prospektif sebagai carrier virus FB tidak mungkin dilaksanakan secara tuntas.
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
Akhir-akhir ini masalah FB telah menimbulkan konflik antar masyarakat, dan bahkan mengakibatkan sikap kontroversial antara masyarakat dan pemerintah. Sebagai contoh, pernah ditayangkan dalam media masa bahwa di Sulawesi Selatan terjadi kasus perilaku barbarian oleh masyarakat berupa pembakaran hidup-hidup satu truk anak ayam dalam keranjangnya milik suatu perusahaan setempat, tanpa konfirmasi terlebih dahulu tentang positif-negatifnya anak-anak ayam tersebut sebagai pembawa penyakit FB. Di Sumatra, dalam demonstrasi sebagai protes terhadap pemerintah atas pembasmian ternak ayam di suatu desa karena terdapat warganya yang menderita penyakit FB, masyarakat memotong ayam dan mengoleskan darahnya pada muka mereka sebagai bukti bahwa ayamayamnya tidak membawa penyakit tersebut. Kedua contoh ini tentu saja merusak citra bangsa karena dapat menimbulkan pandangan masyarakat mancanegara bahwa semua masyarakat Indonesia bertemperamen sadistik yang tidak peduli terhadap kesejahteraan hewan (animal welfare). Kenyataannya, sampai sekarang masalah FB belum teratasi secara tuntas dan cenderung bersifat never ending story. Di sisi lain, aplikasi vaksin sebagai salah satu upaya solusi masalah FB hanya terapan pada ayam yang masih sehat. Sehubungan dengan itu, untuk memenuhi syarat layak vaksinasi agar ayam memiliki ketahanan tubuh prima guna menghadapi serangan penyakit FB atau virus lainnya, budidaya ternak ini perlu dilaksanakan sesuai aturan yang benar. Agar sehat dan berdayasaing tinggi, maka budidaya ayam seharusnya dilakukan berdasarkan prinsip pemberian pakan sesuai kebutuhan nutrien, dan residu kandangnya dibersihkan secara rutin dalam interval waktu pendek. Di samping itu, pemberian antioksidan juga sering dinyatakan mampu meningkatkan daya tahan tubuh ternak ayam. Penggunaan antioksidan dalam tindakan preventif terhadap serangan penyakit pada manusia sudah banyak dilaporkan (KRITCHEVSKEY dan KRITCHEVSKEY., 1999; PARKE, 1999; SINGH et al., 1999). Pada kesempatan yang sama, penggunaan antioksidan nabati untuk kepentingan tersebut juga diinformasikan oleh para peneliti (GAOLI dan SHOUMIN, 1999; WOODSIDE et al., 1999).
Di sisi lain, penelitian intensif tentang penggunaan antioksidan nabati untuk hewan belum banyak dilaporkan. Sejalan dengan itu, makalah ini mendiskusikan kemungkinan implementasi pemberian pakan mengandung asam amino (AA) seimbang + antioksidan nabati sebagai upaya proteksi terhadap serangan FB dan virus lainnya pada ayam sehingga berdayasaing tinggi. KRONOLOGI PERMASALAHAN Umumnya, dalam memberi pakan, sebagian peternak hanya mempertimbangkan profit finansial tanpa memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan nutrien ayam dan yang tersedia di dalam pakannya. Hal ini terjadi karena sebagian pengetahuan peternak ayam di Indonesia tentang kualitas pakan terbatas. Padahal nutrien yang terkandung di dalam pakan dituntut untuk dapat secara tepat memenuhi keperluan ternak ayam. Di satu sisi, kekurangan nutrien yang dapat dikonsumsi dari pakan dapat menekan laju pertumbuhan dan/atau produksi ayam. Di sisi lain, pemberian yang berlebihan juga menimbulkan konsekuensi biaya produksi tinggi, tidak efisien, dan bahkan potensial terhadap terjadinya polusi lingkungan (SUMMERS, 1993; PRAWIRODIGDO, 1999a). Sebenarnya yang dimaksud dengan keseimbangan nutrien khususnya protein, tidak sekedar untuk mencukupi kuantitas protein yang diperlukan, tetapi juga penting untuk memenuhi persyaratan keseimbangan proporsi antar AA esensial, antara AA esensial dan AA nonesensial, serta antara AA: energi metabolis yang terefleksi pada profil dan karakternya dalam pakan yang diberikan untuk ternak ayam (WILLIAMS, 1995; PRAWIRODIGDO, 1999a). Dalam hal ini pengertian seimbang bukan berarti kuantitas masing-masing AA dalam pakan harus sama, tetapi seimbang dalam arti sesuai dengan proporsi kebutuhan pada ayam. Ketidak seimbangan nutrien pakan pada usaha peternakan ayam tersebut di atas pada umumnya dapat dievaluasi dari formula pakan yang digunakan oleh peternak. Di Jawa, biasanya peternak memberikan pakan berupa campuran antara pakan konsentrat buatan pabrik, jagung kuning giling, dan dedak. Formula pakan ini dibuat berdasarkan
145
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
wawasan “Dengan biaya pakan (input) murah dapat dicapai produksi ayam (output) yang nilai komersialnya masih menguntungkan”. Dalam hal ini tentu saja pertimbangan tentang keseimbangan profil AA tercerna yang terkandung dalam pakan dan kebutuhan ternak ayam cenderung diabaikan. Di lain pihak, para peneliti (WILLIAMS, 1995; LEESON dan SUMMERS, 1997; PRAWIRODIGDO, 1999a; LEMME et al., 2004) secara konsisten mendukung pernyataan S.C.A. (1987) dan N.R.C. (1994) yang memaparkan data hasil-hasil penelitian dalam membuktikan bahwa proporsi AA tidak seimbang dan tidak sesuai dengan kebutuhan ternak ayam mengakibatkan kurang efisiennya penggunaan pakan. Selanjutnya, sebagai akibat dari kurang efisiensi penggunaan pakan pada ternak ayam adalah kondisi tubuhnya tidak fit dan produksinya juga tidak maksimal. Pada prinsipnya, AA yang tidak dapat dimanfaatkan akan terekskresi kembali sebagai residu kandang yang bersifat polutan (WILLIAMS, 1995; PRAWIRODIGDO, 1999a; LEMME et al., 2004; GONZALEZ-ESQUERRA dan LEESON, 2006). Pada kondisi ini, residu yang menumpuk di dalam kandang akan mengalami dekomposisi dan menimbulkan emisi gas nitrogen (N) dalam bentuk gas amonia yang bersifat mudah terbang (volatile). KIMM et al. (2006) mensitasi pernyataan MOORE (1999) yang mendukung pendapat SUMMERS (1993) menyimpulkan bahwa manure ayam dengan N yang terkandung di dalamnya dapat menjadi polutan yang berpotensi menyebabkan timbunan mineral (eutrophication), kontaminasi nitrat atau nitrit pada air, emisi gas amonia, dan deposisi asam pada udara. Sehubungan dengan itu, dari analisis logis dapat dipahami bahwa gas N yang terinhalasi ke dalam paru ternak dapat menimbulkan radang saluran pernafasan, sehingga tubuh ternak tersebut menjadi lemah (PRAWIRODIGDO, 2005 mensitasi PATTON, 1984). Analog dengan kejadian pada ternak lainnya, apabila teori tersebut diimplementasikan pada usaha ternak ayam, ketika wabah flu burung atau virus lainnya menyerang ayam yang lemah sebagai akibat kualitas pakan yang tidak sesuai dan kondisi kesehatannya menjadi semakin parah sebagai akibat efek emisi gas N, maka unggas ini tidak akan mampu bertahan,
146
kemudian menderita penyakit tersebut, dan akhirnya mati. Selanjutnya, apabila residu kandang yang terdapat di perusahaan ayam ini tidak segera ditangani dengan prosedur biosecurity yang benar maka burung-burung liar mungkin hinggap di situ dan menyebarkan virus tersebut ke perusahaan-perusahaan ayam lainnya. Oleh karena kondisi (fitness) buruk ini terjadi pada ternak ayam dalam suatu atau beberapa perusahaan ayam berskala usaha cukup besar di Indonesia, maka tidak mengherankan apabila ribuan ayam dalam perusahaan tersebut terkena wabah dan mati. Menurut COLE dan TUCK (2002) yang disitasi oleh KIMM et al. (2006), efek negatif dari gas amonia ini tidak hanya terjadi pada ternak unggas, tetapi juga berbahaya bagi kesehatan manusia. Peduli dengan masalah serius itu, maka industri-industri unggas di negara-negara maju berusaha memperoleh metode untuk mengeliminasi, menekan dan mengontrol polutan yang timbul dari residu kandang (SUMMERS, 1993; KIMM et al., 2006). Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik intisari kronologi permasalahan sebagai berikut: (1) Peternak berusaha memperoleh keuntungan finansial dengan menggunakan formula pakan yang relatif lebih murah tetapi tidak dipahami bahwa pakan tersebut tidak sesuai dengan persyaratan keseimbangan nutrien yang dibutuhkan ternak ayam, (2) ketidak seimbangan nutrien ini mengakibatkan pertumbuhan atau produksi ternak tidak maksimal, dan karena pemanfaatannya tidak efisien maka sebagian protein terekskresi melalui feses dan urin sehingga menjadi residu kandang, (3) residu kandang yang pembersihannya tidak dalam rutinitas berinterval pendek mengalami dekomposisi dan menghasilkan polutan berupa gas N yang mengakibatkan kebugaran (fitness) ayam menjadi rendah, (4) ternak ayam menjadi rentan terhadap serangan virus FB atau virus lainnya, dan (5) banyak ternak ayam yang sakit yang akhirnya terjadi kematian yang tinggi. STRATEGI SOLUSI Teori klasik bersifat fundamental menyebutkan bahwa tindakan kuratif menggunakan antibiotik terhadap penyakitpenyakit viral tidak efektif (HAGAN dan
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
BRUNER, 1961; MERCHANT dan PACKER, 1965). Oleh karena itu tindakan preventif yang dianjurkan adalah menjaga kondisi ternak ayam agar memiliki ketahanan tubuh prima. Konsisten dengan permasalahan yang didiskusikan di atas, maka dalam mewujudkan usaha ternak ayam berdayasaing tinggi yang berarti juga dapat memenuhi target profit finansial, maka perlu solusi terapan yang bersifat low external input sustainable agriculture. Pada dasarnya, solusi terapan prospektif yang dianjurkan untuk budidaya ayam berdayasaing tinggi terdiri dari implementasi strategi utama dan strategi penunjang. Adapun penjabaran dari kedua strategi tersebut adalah sebagai berikut: Strategi utama Penerapan formulasi pakan berdasarkan keseimbangan asam amino Dalam menentukan proporsi komponenkomponen pada suatu campuran pakan (diet) ternak ayam, maka keseimbangan asam amino tercerna yang terkandung di dalam pakan tersebut perlu menjadi perhatian utama. Hal ini penting karena hasilnya jelas lebih valid apabila dibandingkan formulasi dengan dasar protein kasar, karena penggunaan nutrien pakan efisien, pemborosan dana untuk pakan dapat ditekan, dan polusi lingkungan dari residu kandang dapat ditekan serendah mungkin (PRAWIRODIGDO, 1999a). Di negaranegara maju, polusi lingkungan sebagai akibat pencemaran nitrogen dan phosphor (P) dari residu kandang merupakan masalah prinsip yang sudah diatur dengan suatu regulasi (PATTERSON, 2004). Regulasi ini cepat atau lambat juga perlu diberlakukan Indonesia (PRAWIRODIGDO, 2005), sehingga para peternak bertanggungjawab dalam mengeleminasi masalah pencemaran udara dari residu kandang. Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan ini adalah melalui pelaksanaan program pengurangan kadar N dan P dalam ekskreta unggas (LEMME et at., 2004; FARRELL, 2005). Sebenarnya, di dalam diet ternak ayam kurang-lebih terdapat 12 AA esensial yang harus tersedia. Meskipun demikian MCDONALD et al (1992) menegaskan bahwa dalam menyusun formula pakan unggas, proporsi AA
yang paling utama untuk diperhatikan adalah perimbangan (rasio) lysine dan methionine. Pengetahuan dasar yang menjadi pertimbangan pernyataan MCDONALD et al (1992) ini adalah, bahwa apabila kebutuhan kedua AA tersebut sudah tercukupi, maka AA esensial lainnya akan terpenuhi juga. Adapun kebutuhan kedua AA tersebut untuk: (a) ayam pedaging kira-kira 11,3 g lysine/kg (umur 0-4 minggu) dan 9 g/kg (umur 4-8 minggu), dengan rasio methionine : lysine = 0,4-0,5; dan energi metabolis 12.6-13.4 MJ/kg (SCA, 1987), dan (b) ayam petelur kirakira 8.3g lysine/kg, dengan rasio methionine: lysine = 0,46 (SCA, 1987), dengan energi metabolis 11-12 MJ/kg (DAGHIR, 1995). FARRELL (2005) menambahkan bahwa produksi unggas pada kondisi tropis tidak akan sebagus seperti yang dihasilkan di negaranegara barat yang beriklim sedang (temperate climate). Tentu saja pemakaian standar kebutuhan nutrien untuk ternak ayam yang digunakan di negara barat seperti yang terdapat dalam tabel kebutuhan nutrien yang direkomendasikan oleh SCA (1987) atau NRC (1994) kurang tepat untuk diterapkan pada ayam di Indonesia. Menurut FARRELL (2005) standar kebutuhan AA yang direkomendasikan di daerah beriklim sedang umumnya berlebihan bila diimplementasikan di daerah beriklim tropis (Tabel 1). Lebih lanjut, FARRELL (2005) menyitasi hasil penelitian FARRELL et al. (1999) melaporkan bahwa pakan ayam pedaging yang mengandung 91% dari kebutuhan AA yang selama ini direkomendasikan yang bahkan formulasinya berbasis AA tercerna, ternyata tingkat pertumbuhan dan konversi pakannya tidak berbeda dengan yang diberi pakan yang nutriennya mendekati rekomendasi (97%), sepanjang keseimbangan AA nya ideal. Hasil penelitian ini mendorong FARRELL (2005) untuk menyimpulkan, bahwa guna efisiensi biaya dan menekan kuantitas N maupun P yang terekskresi di dalam ekskreta maka sebaiknya profil AA dalam pakan lebih rendah dari pada yang direkomendasikan selama ini. Contoh dari keseimbangan AA ideal yang direkomendasikan untuk ayam pedaging selama ini adalah seperti yang disampaikan oleh MC DONALD (1992) dan SCA (1987) dalam Tabel 2 berikut.
147
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
Tabel 1. Perbedaan rekomendasi kebutuhan asam amino (mg/kg) pada ayam di negara-negara beriklim sedang dan beriklim tropis Ayam pedaging Ayam petelur SCA (1987)a NRC (1994)a DAGHIR (1995)b SCA (1987)a NRC (1994)a DAGHIR (1995)b Arginine 1017 1100 1150 570 770 950 Glysine + serine 0 1140 1000 0 0 0 Histidine 396 320 280 193 190 380 Isoleusine 701 730 0 611 715 760 Leucine 1390 1090 1150 757 900 1320 Lysine 1130 1000 950 833 760 800 Methionine 452 380 400 389 330 380 Methionine + Cysteine 848 720 700 523 645 670 Phenylalanine 791 650 650 438 520 850 Phenylalanine +Tyrosine 1356 1220 1150 773 910 0 Threonine 678 740 700 400 520 650 Tryptophan 215 180 180 189 175 190 Valine 927 820 700 613 770 780 Asam amino
Keterangan: arekomendasi untuk daerah beriklim sedang, brekomendasi untuk daerah tropis
Tabel 2. Keseimbangan asam amino ideal dalam pakan ayam pedaging umur 0-4 minggu Asam amino Kebutuhan: Lysine (g/kg diet) Energi metabolis (MJ/kg) Kesimbangan optimum: Lysine Arginine Histidine Isoleusine Leucine Methionine Methionine + Cysteine Phenylalanine Phenylalanine +Tyrosine Threonine Tryptophan Valine
MC DONALD (1982)
SCA (1987)
10,7 13,2
11,3 12,6
100 93 34 58 126 44 85 55 103 58 21 64
100 90 35 50 – 76 103 – 172 40 75 70 120 60 19 68 – 94
MJ, Mega Joule
Mengintroduksikan antioksidan nabati sebagai feed additive dalam pakan Antioksidan adalah suatu substansi yang mampu menyumbangkan elektron-elektron kepada elektron pengoksidasi substansi (WARDLAW et al., 1992). Substansi-substansi yang termasuk sebagai antioksidan ini adalah phenol, quinines, α-tocopherol, β-carotene, asam gallic, dan gallat (MC DONALD et al.,
148
1992; WILSON, 1999). Selain itu vitamin juga dikenal sebagai antioksidan, terutama vitamin C dan vitamin E (LINDER, 1992; WARDLAW et al., 1992). Vitamin E dan antioksidan lainnya ternyata dapat memberikan kekebalan pada jaringan saluran pernafasan terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh penyakit infeksi, kanker (SOMER, 1993), dan polusi udara (YOUNG et al ., 1999).
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
Di satu sisi, salah satu gejala klinis penyakit virus pada ayam adalah gangguan pada saluran pernafasan (contohnya New Castle Diseases, HAGAN dan BRUNER, 1961). Di sisi lain, masalah serius pada paru dan saluran pernafasannya adalah bahwa permukaannya yang luas dan berhubungan langsung dengan gas yang terinhalasi maupun polutan atmosphere beresiko tinggi terhadap gangguan oksidan (YOUNG et al., 1999). Oleh karenanya, pemberian antioksidan diharapkan akan dapat memberikan perlindungan pada epithel dan jaringan paru ternak ayam dari kerusakan yang ditimbulkan oleh infeksi penyakit maupun oksidan. CROFT (1999) menyatakan bahwa mayoritas kelompok substansi phenolic adalah flavonoid-flavonoid yang peranannya penting dalam menghasilkan aroma dan warna buahbuahan serta sayuran. Secara umum juga sudah dipahami bahwa vitamin-vitamin antioksidan dapat diperoleh dari buah-buahan dan sayuran. Sebelumnya, NUGROHO (1998) menyatakan bahwa kunyit (Curcuma domestica Val.) adalah salah satu emponempon yang disamping mengandung substansi yang berguna sebagai biomedika juga berfungsi untuk antioksidan. Berdasarkan informasi-informasi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa buah-buahan, sayuran dan empon-empon merupakan antioksidan nabati yang mestinya prospektif untuk ditambahkan ke dalam pakan guna meningkatkan ketahanan tubuh unggas, sehingga kebal terhadap serangan penyakit FB maupun virus lainnya. Akhir-akhir ini, hasil beberapa penelitian tentang pemanfaatan empon-empon dan tanaman tradisional sebagai feed additive telah didiskusikan secara intensif oleh RAHAYU dan BUDIMAN (2005). Tanaman-tanaman tradisional yang dievaluasi dalam penelitian
adalah Lempuyang (Zingiber aromaticum Val.), Kencur (Kaempferia galanga L.), Lidah Buaya (Aloe vera), Kunyit (Curcuma domestica Val.), Temu lawak (Circum xanthorriza Roxb.), dan Bawang putih (Allum sativum Linn.). Walaupun demikian, informasi data profil substansi-substansi yang terkandung di dalamnya yang mungkin dapat berfungsi sebagai biofarma maupun antioksidan untuk ternak unggas tidak begitu banyak yang diutarakan oleh RAHAYU dan BUDIMAN (2005). SINURAT et al. (2002; 2003) secara intensif telah meneliti pengaruh introduksi bioaktif tanaman lidah buaya (Aloe vera barbadens) dalam pakan terhadap penampilan ayam pedaging. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan kesehatan dan memperbaiki efisiensi penggunaan pakannya, sehingga pertumbuhan ternak juga pesat. Hasil percobaan SINURAT et al. (2002; 2003) secara konsisten menunjukkan bahwa introduksi gel lidah buaya sebagai feed additive pakan dapat memperbaiki konversi pakan hingga 8,2%. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa pemberian lidah buaya memperbaiki efisiensi pakan, sehingga jumlah N atau unsur lainnya yang terekskresikan dalam ekskreta ayam dapat diperkecil. SINURAT et al. (2003) menegaskan bahwa gel lidah buaya dapat menekan populasi bakteri pathogen dalam saluran pencernaan ayam, sehingga kesehatannya menjadi semakin baik. Di lain kesempatan, penggunaan tepung kencur (Kaempferra Galanga L) yang dikombinasi dengan tepung bawang putih (Allium sativum) sebagai feed additive pada pakan untuk memacu pertumbuhan ayam ras pedaging pernah dievaluasi oleh BINTANG dan NATAAMIJAYA (2004). Formula pakan dan hasil percobaan ini dicantumkan pada Tabel 3.
149
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
Tabel 3. Pengaruh introduksi tepung kencur dan bawang putih terhadap pertambahan bobot badan ayam pedaging Keterangan Komponen pakan basal (g/kg): Biji jagung kuning (giling) Dedak halus Bungkil kedelai Tepung ikan Minyak kelapa Vitamin Premix Total: Profil nutrient: Protein kasar (g/kg) Gross energi (MJ/kg) Rata-rata pertambahan bobot hidup (g/hari) ayam yang menerima: Pakan basal (kontrol) Pakan basal + 2,5 g/kg tepung kencur + 0,2 g/kg tepung bawang putih Pakan basal + 5 g/kg tepung kencur + 0,2 g/kg tepung bawang putih Pakan basal + 10 g/kg tepung kencur + 0,2 g/kg tepung bawang putih
Satuan 545 104,8 150 100 40 0,2 940 200 12.97 35,5 36,1 37,7 35,3
Sumber: BINTANG dan NATAAMIJAYA (2004), MJ, Mega Joule
Pada penelitian ini proporsi komponen di dalam pakan basal (kontrol) agak sulit diinterpretasikan. Pada makalah BINTANG dan NATAAMIJAYA (2004), 6% komponen dari pakan basal tidak dicantumkan, sehingga pada Tabel 3 tampak bahwa total komponen pakan tidak mencapai 1000 g (100%). Meskipun demikian, karena semua pakan percobaan sama, kecuali tingkat penambahan tepung kencur dan tepung bawang putih, maka hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa introduksi tepung kencur 10 g/kg dan tepung bawang putih 0,2g/kg sebagai feed additive dalam pakan belum mampu mempercepat pertumbuhan ayam ras pedanging. Hasil ini membimbing BINTANG dan NATAAMIJAYA (2004) pada satu konklusi agar dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengevaluasi efek penggunaan kedua komponen feed additive tersebut dalam takaran lebih tinggi. Pada penelitian ini BINTANG dan NATAAMIJAYA (2004) tidak melaporkan adanya kematian ternak percobaan. Lebih lanjut, ketika menguji penggunaan tepung ubi singkong dalam pakan ayam lokal periode bertelur, PRAWIRODIGDO et al. (2000), menambahkan 20 g tepung kunyit dan 10 g tepung daun pepaya/kg pakan. Tujuan introduksi tepung kunyit dan tepung daun pepaya tersebut adalah untuk menghasilkan
150
telur ayam lokal yang warna kuningnya kuat. Secara kebetulan PRAWIRODIGDO et al. (2000) menemukan bahwa pada saat terjadi pergantian musim, ayam yang digunakan dalam penelitian tampil sehat, padahal ayam petani yang dipelihara di sekitar kandang percobaan banyak yang sakit dan mati. Berdasarkan fenomena ini PRAWIRODIGDO et al. (2000), berkeyakinan bahwa introduksi kedua antioksidan nabati itu dapat meningkatkan ketahanan tubuh ternak ayam. Selain itu, jahe (Zingiber officianle) tampaknya juga prospektif untuk meningkatkan ketahanan tubuh ternak, sehingga dapat difungsikan sebagai bioaktif dalam proteksi serangan FB atau virus lainnya. HEINERMAN (1995) menegaskan bahwa jahe merupakan materi terbaik untuk mengatasi mual, mencegah pembekuan darah (blood cloth) dalam sistem sirkulasi, dan menghilangkan lendir yang menumpuk di saluran pernafasan. Walaupun demikian untuk lebih meyakinkan maka perlu penelitian lebih mendalam tentang penggunaan berbagai antioksidan nabati sebagai feed additive rutin pada usaha ternak ayam.
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
Strategi penunjang Menggunakan bahan lokal sebagai komponen utama pakan (2005) Akhir-akhir ini, FARRELL mengkhawatirkan kompetisi dalam penggunaan biji kedelai dan jagung untuk pakan ternak monogastrict (unggas dan babi) akan menjadi semakin ketat. Larangan pemanfaatan limbah produksi ternak untuk pakan unggas yang berlaku di negara Uni Eropa akan memperketat kompetisi penggunaan bungkil kedelai dan bungkil biji kacang-kacangan lainnya sebagai sumber protein nabati. Di sisi lain, LYONS dan BANNERMAN (2001) yang disitasi FARRELL (2005) memprediksi bahwa Amerika Serikat pada tahun 2005 menggunakan 50 juta metrik ton biji jagung untuk memproduksi ethanol sebagai bahan bakar alternatif, karena keterbatasan minyak bumi. Tindakan Amerika Serikat ini mengindikasikan bahwa kompetisi bahan pakan sumber energi juga semakin berat. Oleh sebab itu untuk negara-negara yang mempunyai keterbatasan dalam pengadaan bungkil kedelai dan biji jagung, FARRELL (2005) menganjurkan penggunaan bahanbahan lokal sebagai komponen utama dalam formula pakan ternak ayam. Alasannya adalah, bahwa kesanggupan untuk pengadaan pangan manusia dan pakan ternak di negara-negara sedang berkembang yang pertambahan populasi penduduknya berlipat prospeknya meragukan.
Pada prinsipnya penggunaan bahan pakan lokal bertujuan agar biaya yang dialokasikan untuk pengadaan campuran bahan yang tersusun dalam suatu diet relatif lebih murah dari pada yang menggunakan bahan pakan impor. Walaupun demikian, untuk mencapai target pakan murah berkualitas sesuai kebutuhan, diperlukan data profil dan karakter nutrien bahan pakan lokal atau asli Indonesia. Enam tahun yang lalu, sebagian bahan indigenous Indonesia baik yang penggunaannya untuk komponen pakan ternak ayam tradisional maupun nontradisional sudah pernah dipaparkan (PRAWIRODIGDO, 1999b). Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa ketersediaan bahan pakan untuk usaha ternak unggas di Indonesia mengalami fluktuasi yang cukup tajam. Sebagai contoh, pada tahun 1999 sampai 2002 para peternak kesulitan dalam memperoleh konsentrat buatan pabrik, biji jagung, dan dedak. Selanjutnya, untuk mengantisipasi masalah tersebut dilakukan penelitian eksploratif tentang penggunaan ubi ketela pohon (Manihot esculenta) atau ubi talas (Cocoyams) kering untuk pengganti biji jagung sebagai sumber energi pakan ayam. Adapun profil nutrien pada ubi ketela pohon dan ubi talas tercantum pada Tabel 4. Selanjutnya, pada Tabel 5 dicantumkan data hasil penelitian perbandingan antara penampilan pertumbuhan ayam lokal (Kampung) yang diberi biji jagung dan yang menerima ubi singkong (PRAWIRODIGDO et al., 1999). Sedangkan hasil evaluasi penggunaan ubi singkong atau ubi talas pada ayam periode bertelur tercantum pada Tabel 6.
Tabel 4. Profil nutrien ubi ketela pohon dan ubi talas Uraian Nutrien Protein kasar (g/kg) Lemak (g/kg) Serat kasar (g/kg) Abu (g/kg) Phosphor (g/kg) Calcium (g/kg) Energi metabolis (MJ/kg)
Bahan pakan Ubi ketela pohon 25 11 15 18 4 4 13,98
Ubi talas 46 8 53 65 4 3 9,70
Sumber: PRAWIRODIGDO et al. (1999); MJ, Mega Joule
151
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
Tabel 5. Pertumbuhan ayam lokal selama dua bulan (umur 2- 4 bulan) yang diberi biji jagung atau ubi singkong, sebagai sumber energi pakannya Uraian Proporsi bahan pakan (g/kg kering udara) : Bungkil kedelai Tepung ikan Bekatul Ubi singkong kering (giling) Biji jagung kuning (giling) Konsentrat pabrik Top Mix Decalcium phosphate (DCP) Mineral B12 Minyak kelapa Total : Kandungan nutrien : Protein kasar (g/kg) Lemak (g/kg) Serat kasar (g/kg) Energi metabolis (MJ/kg) Harga pakan (Rp./kg)** Penampilan pertumbuhan ternak Bobot awal (g) Bobot akhir (g) Pertambahan bobot badan (g) Konsumsi pakan Konversi pakan
Pakan penelitian mengandung Biji jagung Ubi ketela pohon 245 441 294 20 1000
160 70 330 429 5 5 10 1000
132 25 108 11.926 1672
115 22 164 9.124 1292
372 886 514a 3496a 6,8a
387 975 538a 3480a 6,5b
*Sumber: PRAWIRODIGDO et al. (1999); **Harga tahun 1999. MJ, Mega Joule; Superskrip a dan b pada baris sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Dalam penelitian ini (baik pada Tabel 5 maupun Tabel 6) pakan yang mengandung biji jagung merupakan formula pakan yang secara rutin dan tradisional digunakan oleh peternak ayam lokal di pedesaan. Oleh karena itu, penelitian lebih difokuskan untuk memberikan formula pakan alternatif sebagai solusi darurat bagi peternak yang mengeluh kesulitan memperoleh ketiga bahan pakan yang biasa digunakan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa introduksi ubi ketela pohon tidak menimbulkan depresi pertumbuhan ayam lokal (Tabel 5). Di samping biaya pakan dapat dihemat Rp.380,-/kg, nilai konversi pakan pada ayam yang menerima pakan mengandung ubi ketela juga lebih baik (P<0,05) dari pada yang diberi pakan mengandung biji jagung. Hasil penelitian pada
152
ayam Kedu periode bertelur ternyata juga konsisten dengan yang diujikan pada ayam lokal periode pertumbuhan. Hasil penelitian ini (Tabel 6) memberikan konfirmasi bahwa selama 6 bulan penggunaan ubi singkong ataupun ubi talas dalam pakan ayam tidak menimbulkan efek negatif terhadap produksi telur. Meskipun perbedaan harga pakannya hanya Rp.22,-/kg (pakan mengandung ubi singkong) sampai Rp.63,-/kg (pakan mengandung ubi talas), paling tidak kedua macam pakan alternatif ini dapat menjadi solusi darurat dalam mengatasi kelangkaan konsentrat buatan pabrik, dan biji jagung. Konklusi dari penelitian ini memberikan highlight yang menunjukkan bahwa bahan pakan lokal mempunyai prospek baik untuk dimanfaatkan sebagai komponen pakan ayam.
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
Tabel 6. Produsi ayam Kedu periode bertelur pertama yang diberi biji jagung, ubi singkong, atau ubi talas sebagai sumber energi pakannya selama enam bulan* Uraian Proporsi bahan pakan (g/kg kering udara) : Bungkil kedelai Tepung ikan Bekatul Ubi singkong kering (giling) Ubi talas kering (giling) Biji jagung kuning (giling) Konsentrat pabrik Top Mix Kapur mati (CaCO3) Minyak kelapa Total : Kandungan nutrien : Protein kasar (g/kg) Lemak (g/kg) Serat kasar (g/kg) Energi metabolis (MJ/kg) Harga pakan (Rp./kg)** Rata-rata produksi telur (hen day production, %) TN
Pakan penelitian mengandung Biji jagung Ubi singkong Ubi talas 495 300 200 5 1000
150 65 400 340 5 30 10 1000
145 60 350 = 400 5 30 10 1000
137 56 69 10,365 1300 21,3
167 32 75 12,385 1278 23,0
164 37 75 12,134 1237 21,8
Sumber: PRAWIRODIGDO et al. (1999); MJ, Mega Joule; **Harga tahun 1999; TN, perpbedaan produksi telur tidak nyata
Oleh karena itu untuk implementasi data dalam formulasi pakan ayam, maka bahanbahan pakan indigenous Indonesia perlu dievaluasi profil dan karakater nutriennya. Urgensi evaluasi bahan pakan ini secara terperinci didiskusikan pada makalah sebelumnya (PRAWIRODIGDO, 2005). Lebih lanjut, untuk kepentingan tersebut, Pemerintah Indonesia melalui para peneliti nutrisi ternak seharusnya melakukan evaluasi bahan pakan asli Indonesia. Di samping itu untuk menjamin kertahanan pakan, maka Pemerintah juga perlu melakukan pengendalian kualitas dan harga serta menggadakan stock bahan pakan menggunakan sistem gudang sesuai standar teknologi penyimpanan bahan pakan. FARRELL (2005) mengingatkan bahwa bahan-bahan pakan pada umumnya mengandung zat-zat antinutrisi yang menghambat efisiensi pemanfaatan nutriennya. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi atau menetralisasi zat-zat antinutrisi, mungkin perlu tindakan-tindakan atau penerapan teknologi pakan khusus sehingga pemanfaatan nutrien pada bahan ini lebih efisien. TANGENJAYA
(1984, Komunikasi langsung) menerangkan bahwa pada dedak padi terdapat zat antinutrisi berupa asam pitat yang menghambat proses absorbsi phosphor. Oleh karena itu, untuk menonaktifkan antinutrisi tersebut maka sebaiknya dedak padi direndam dengan air mendidih yang kuantitasnya seberat dedak yang akan diberi perlakuan. Akhir-akhir ini para peneliti (KOMPIANG et al., 1994; SUPRIYATI et al., 1998; SUPRIYATI, 2003) melakukan upaya meningkatkan kualitas nutrien limbah pertanian atau limbah industri pangan untuk bahan pakan ternak dengan menggunakan probiotik atau bioaktivator. Sebagai contoh SUPRIYATI (2003) berhasil meningkatkan protein sejati dari onggok singkong dari 22 g/kg menjadi 184 g/kg melalui aplikasi teknologi fermentasi menggunakan kapang Aspergillus niger. Hasil evaluasi penggunaan onggok terfermentasi pada ayam pedaging memberikan konfirmasi bahwa introduksi onggok ini di dalam pakan sampai 10% menghasilkan pertumbuhan dan konversi pakan sama dengan yang dicapai oleh ayam yang menerima pakan tanpa onggok
153
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
(SUPRIYATI, 2003). Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa penggunaan onggok terfermentasi dapat menekan biaya produksi yang dialokasikan dalam pakan, sehingga profit finansial juga dapat meningkat. Membersihkan residu kandang secara rutin dalam interval waktu pendek Ekskreta ayam pada umumnya masih mengandung residu nitrogen dan unsur-unsur lainnya. Pada kenyataannya dalam membuat formula pakan untuk mencapai proporsi AA yang benar-benar seimbang sesuai kebutuhan sangat sulit. Pada umumnya walaupun hanya sedikit, pada suatu pakan yang dinyatakan mengandung AA dengan proporsi seimbang pun masih terjadi kelebihan salah satu atau beberapa AA. Kelebihan AA ini apabila tidak dapat dimanfaatkan oleh ternak ayam tentu saja akan dibuang melalui ekskreta. Lebih lanjut, pada hari ke empat timbunan ekskreta ini akan mengalami dekomposisi dan mengeluarkan gas ammonia (N), CO2, dan gas lainnya yang mengeluarkan bau menyengat (noxious). Kondisi yang demikian terjadi hampir di seluruh perusahaan ternak ayam, sehingga logis kalau kondisi ternaknya tidak fit dan mudah terserang FB. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan, maka residu kandang harus selalu dibersihkan dalam interval waktu 2-3 hari sekali. Seperti yang telah diutarakan dalam kronologi masalah di atas, pembersihan kandang secara rutin sangat berpengaruh terhadap kesehatan ternak ayam yang pada gilirannya menentukan kekebalan dalam melindungi tubuh dari serangan penyakit FB atau virus lainnya. MERCHANT dan PACKER (1965) menyatakan bahwa alkali mungkin merupakan virusida (virucide) yang efisien. Dinyatakan bahwa potassium, sodium, dan kalsium hidroksida akan menghancurkan virus dengan cepat melalui kontak dengan virus ini. Dalam praktek sehari-hari pemberian kapur pada lantai kandang ayam mungkin dapat berfungsi sebagai virusida terhadap ekskreta yang jatuh di lantai tersebut. Meskipun demikian bukan berarti program pembersihan residu kandang tidak perlu dilakukan.
154
Melaksanakan program vaksinasi Secara meluas telah dipahami bahwa vaksinasi merupakan suatu program imunisasi melalui introduksi bakteri atau virus yang dinonaktifkan pada tubuh ternak maupun manusia. Di Indonesia program vaksinasi pada ternak unggas sudah umum dilaksanakan, namun kadang-kadang masih ada peternak yang kurang peduli terhadap pentingnya program vaksinasi. Sebagai tindakan preventif terhadap infeksi virus FB dan virus-virus lainnya, maka hendaknya program vaksinasi dilaksanakan sesuai standar kebutuhan. Persyaratan utama pelaksanaan program vaksinasi adalah bahwa ternak ayam harus dalam kondisi sehat, karena apabila vaksin diintroduksikan pada ayam yang sedang sakit, kondisi ternak ini akan menjadi semakin parah. Oleh karena itu untuk lebih pasti sebaiknya kondisi tubuh ternak dievaluasi melalui pemeriksaan darahnya. KESIMPULAN Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa untuk proteksi ternak ayam dari serangan FB maupun virus lainnya serta mencapai usaha ternak ayam berdayasaing tinggi maka: (1) pakan ayam perlu disusun berdasarkan kebutuhan ternak dan kandungan asam amino bahan pakan dalam proporsi seimbang, (2) ternak ayam sebaiknya diberi antioksidan nabati, (3) pakan yang diberikan menggunakan bahan lokal sebagai komponen utama, (4) pembersihan residu kandang harus dilaksanakan secara rutin dalam interval waktu pendek, dan (5) dilaksanakan program vaksinasi sesuai standar kebutuhan. DAFTAR PUSTAKA ABDUL ADJID, R.M., R. INDRIANI, R. DAMAYANTI, T. ARYANTI dan L. PAREDE. 205. Hasil-hasil Penelitian dan Dukungan Teknologi dalam Mengendalikan dan Mencegah Penyakit Viral Penting pada Ayam Lokal. Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal, hlm: 20-27 (SUBANDRIO, K. DIWYANTO, I. INOUNU, D. ZAENUDDIN, A. PRIYANTI dan E. HANDIWIRAWAN, Editor). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. BINTANG, I.A.K. dan A.G. NATAAMIJAYA. 2004. Pengaruh Penambahan Tepung Kencur dan Bawang Putih pada Ransum Terhadap Karkas dan Bagian-bagian Karkas Ayam Ras Pedaging. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, hlm: 469-472. BLAIR, P.J. 2005. Zoonotic Disease Outbreak Response Lesson from South America. Makalah Power Point Dipresentasikan pada Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner (tidak dipublikasikan). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor. CROFT, K.D. 1999. Antioxidant Effects of Plant Phenolic Compounds. In Antioxidants in Human Health and Disease, pp. 109-121 (T.K. BASU, & M.L. GARG, EDITORS). CABI Publishing, Oxon, UK. DAGHIR, N.J. 1995. Replacement Pullet and Layer Feeding and Management in Hot Climates. In Poultry Production in Hot Climates, pp. 219253 (N.J. DAGHIR, Editor). CAB International, Oxon, UK. FARRELL, D.J. 2005. Matching Poultry Production with Available Feed Resources: Issues and Constraints. World’s poult. Sci. J., 61: 198214. GAOLI, Z and Z. SHOUMIN. 1999. Antioxidant Effects of Soybean Isoflavones. In Antioxidants in Human Health and Disease, pp. 123-132 (T.K. BASU, & M.L. GARG, Editors). CABI Publishing, Oxon, UK. GILCHRIST, P. 2005. Involvement of Free-Flying Wild Birds in the Spread of the Viruses of Avian Influenza, Newcastle Disease and Infectious Bursal Diseases from Poultry Products to Commercial Poultry. World’s poult. Sci. J., 61: 298-307. GONZALEZ-ESQUERRA, R. and S. LEESON. 2006. Physiological and Metabolic Responses of Broilers to Heat Stress-Implications for Protein and Amino Acid Nutrition. World’s poult. Sci. J., 62: 282-295. HAGAN, W.A., and D.W. BRUNER. 1961. The Infectious Diseases of Domestic Animals (4th Ed). Ballière, Tindal and Cox, London. J. 1995. Heinerman’s New HEINERMAN, Enscyclopedia of Fruits and Vegetables. Parker Publishing Company, New York.
KIMM, W.K. C.A. FROELICH, JR., P.H. PATTERSON and S.C. RICKE. 2006. The Potential to Reduce Poultry Nitrogen Emissions with Dietary Methionine or Methionine Analogues Supplementation. World’s poult. Sci. J., 62: 338-353. KOMPIANG, I.P., A.P. SINURAT, S. KOMPIANG, T. PURWADARIA and J. DARMA. 1994. Nutritional Value of Protein Enriched Cassava-Cassapro. Ilmu dan Peternakan,. 7(8): 22-25. KRITCHEVSKEY, D. and S.B. KRITCHEVSKEY. 1999. Antioxidant and Their Role in Coronary Heart Disease. In Antioxidants in Human Health and Disease, pp. 151-164 (T.K. BASU, & M.L. GARG, Editors). CABI Publishing, Oxon, UK. LEESON, S. and J.D. SUMMERS. 1997. Commercial Poultry Nutrition (2nd Ed.). University Books, Guelph, Ontario, Canada. LEMME, A., V. RAVINDRAN and WL. BRYDEN 2004. Ileal Digestibility of Amino Acids in Feed Ingredients for Broilers. World Poult. Sci. J., 60 (4): 423-435. LINDER, M.C. 1992. Nutrisi dan Metabolisme Vitamin. Dalam Biokimia Nutrisi dan Metabolisme, hlm: 119-344 (M.C. LINDER, Editor, diterjemahkan oleh A. PARAKKASI & A.Y. AMWILA). Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. MC DONALD, P, R.A. EDWARDS, and J.F.D. GREENHALGH. 1992. Animal Nutritiuon (4th Ed.). Longman Scientific & Technical. John Wiley & Sons, Inc. Nerw York. MERCHANT, I.A. and R.A. PACKER. 1965. Veterinary Bacteriology and Virology (6th Ed.). Iowa State University Press, Ames, Iowa. N.R.C. (NATIONAL RESEARCH COUNCIL). 1994 Nutrient Requirements of Poultry (9th Rev. Ed.). National Academy Press, Washington D.C. NUGROHO, N.A. 1998. Manfaat dan Prospek Pengembangan Kunyit. Trubus Agriwidya. Ungaran, Kabupaten Semarang. PARKE, D.V. 1999. Nutritional Antioxidants and Deseases Prevention Mechanisems of Action. In Antioxidants in Human Health and Disease, pp. 15-26 (T.K. BASU, & M.L. GARG, Editors). CABI Publishing, Oxon, UK. PATTERSON, P.H. 2004. Dietary Strategies for Poultry to Reduce Nitrogen Losses to the Environment. Paper was distributed at MIPI Kongres II, Bogor.
155
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
PRAWIRODIGDO, S. 1999a. Formulasi Ransum Ayam Berdasarkan Daya-Cerna-Ileum Asam Amino Bahan Pakan: Suatu Metode Baru. Sain Teks, 6 (3): 50-61. PRAWIRODIGDO, S. 1999b. Perspektif Bahan Pakan Lokal Tradisional dan Nontradisional sebagai Komponen Ransum Unggas. J. Pengembang. Peternakan. Trop., Ed. Khusus: 106-117. PRAWIRODIGDO, S.. 2005. Urgensi Evaluasi Bahan Pakan Asli Indonesia sebagai Pilar untuk Menopang Usaha Ayam Lokal. Dalam Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal, Hlm: 149-162 (SUBANDRIO, K.DIWYANTO, I. INOUNU, D. ZAINUDDIN, ATIEN PRIYANTI dan E. HANDIWIRAWAN, Editor). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan & Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Bogor. PRAWIRODIGDO, S. , D.M. YUWONO, D. PRAMONO, D. WILOETO dan SUGIONO. 2000. Pengkajian Teknologi Sistem Usaha Ayam Buras. Laporan Hasil Pengkajian. Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Ungaran. Jawa Tengah. PRAWIRODIGDO, S. , D.M. YUWONO, D. WILOETO, B. BUDIHARTO, SUBIHARTA, D. PRAMONO, ERNAWATI, I. MUSAWATI dan SUGIONO. 1999. Pengkajian Teknologi Sistem Usaha Ayam Buras. Laporan Hasil Kegiatan. Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Ungaran. Jawa Tengah. RAHAYU, I.H.S. dan C. BUDIMAN. 2005. Pemanfaatan Tanaman Tradisional sebagai Feed Additive dalam Upaya Menciptakan Budidaya Ayam Lokal Ramah Lingkungan. Dalam Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam lokal, Hlm: 126-131 (SUBANDRIO, K. DIWYANTO, I. INOUNU, D. ZAINUDDIN, A. PRIYANTI dan E. HANDIWIRAWAN, Editor). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan dan Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Bogor. S.C.A. (STANDING COMMITTEE on AGRICULTURE). 1987. Feeding Standard for Australian Livestock: Poultry. CSIRO, Melbourne, Australia. SINGH, R. B., S.S. RASTOGI, M. MOSHIRI and H.N. BHAGVAN. 1999. Antioxidant Vitamins and Coenzyme Q10 in the Prevention and Treatment of Coronary Artery Disease and Diabetes. In Antioxidants in Human Health and Disease, pp. 189-204 (T.K. BASU, & M.L. GARG, Editors). CABI Publishing, Oxon, UK.
156
SINURAT, A.P., T. PURWADARIA, M.H. TOGATOROP dan T. PASARIBU. 2003. Pemanfaatan Bioaktif Tanaman sebagai “Feed additive” pada Ternak Unggas: Pengaruh Pemberian Gel Lidah Buaya atau Ekstraknya dalam Ransum terhadap Penampilan Ayam Pedaging. JITV, 8: 139-145. SINURAT, A.P., T. PURWADARIA, M.H. TOGATOROP, T. PASARIBU, I.A.K. BINTANG dan J. ROSIDA. 2002. Respons Ayam Pedaging terhadap Penambahan Lidah Buaya dalam Ransum: Pengaruh berbagai Bentuk dan Dosis Bioaktif dalam Tanaman terhadap Performans Ayam Pedaging. JITV, 7: 69-75. SOMER, E. 1993. Nutrition for Women: The Complete Guide. Published by Bookman Press. Melbourne, Victoria, Australia. SUMMERS, J.D. 1993. Reducing Nistrogen Excretion of the Laying Hen by Feeding Lowqer Crude Protein Diets. Poult. Sci., 72: 1473-1478. SUPRIYATI. 2003. Onggok Terfermentasi dan Pemanfaatannya dalam Ransum Ayam Ras Pedaging. JITV, 8(3): 146-150. SUPRIYATI, T. PASARIBU, H. HAMID dan A.P. SINURAT. 1998. Fermentasi Bungkil Inti Sawit secara Substrat Padat dengan Menggunakan Aspergillus niger. JITV, 3:165-170. WARDLAW, G.M, P.M. INSEL and SEYLER, M.F. 1992. Contemporary Nutrition Issues and Insights. Mosby Year Book. Sydney. WILLIAMS, P.E.V. 1995. Digestible Amino Acids for Non-Ruminant Animals: Theory and Recent Challenges. Anim. Feed Sci.Tech., 53: 173187. WILSON, T. 1999. Whole Foods, Antioxidants and Health. In Antioxidants in Human Health and Disease pp. 141-150 (T.K. BASU, & M.L. GARG, Editors). CABI Publishing, Oxon, UK. WOODSIDE, J.V. I.S. YOUNG and J.W.G. YARNELL. 1999. Fruit, Vegetables and Antioxidants: Their Role in the Prevention of Cardiovascular and Other Diseases. In Antioxidants in Human Health and Disease, pp. 205-216 (T.K. BASU, & M.L. GARG, Editors). CABI Publishing, Oxon, UK. YOUNG, I.S., H.E. ROXBOROUGH and J.V. WOODSIDE. 1999. Antioxidants and Respiratory Disease. In Antioxidants in Human Health and Disease, pp. 293-311 (T.K. BASU, & M.L. GARG, Editors). CABI Publishing, Oxon, UK.