PEMBERIAN CONTOH ANALOGI UNTUK MENGATASI MISKONSEPSI SISWA
Taufiq Hidayanto dan Subanji Universitas Negeri Malang
[email protected];
[email protected] Abstrak: Miskonsepsi merupakan salah satu masalah serius yang perlu segera ditangani oleh seorang pendidik. Miskonsepsi dapat menyebabkan kesalahankesalahan lain yang lebih sistemik bagi siswa. Penelitian ini merupakan studi kasus miskonsepsi dalam menyelesaikan soal matematika yang dialami oleh dua siswa sekolah dasar dan upaya untuk mengatasinya. Upaya tersebut berupa pemberian contoh analogi yang memberi kesempatan kepada siswa untuk mengonstruksi ide penyelesaian masalah sehingga mencapai solusi yang tepat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa contoh analogi dapat membantu siswa mengatasi kesalahan konsep dalam menyelesaikan masalah matematika. Kata Kunci: Contoh Analogi, Miskonsepsi, Siswa SD
Miskonsepsi merupakan masalah yang sering menjadi perhatian para peneliti (Radatz dalam Sarwadi & sahrill, 2014; Subanji, 2015; Zazkis & Leikin, 2008). Miskonsepsi berdasarkan oxford dictionary diartikan sebagai “A view or opinion that is incorrect because based on faulty thinking or understanding” atau suatu pandangan atau opini yang tidak tepat yang disebabkan oleh pemikiran atau pemahaman yang salah. Miskonsepsi siswa perlu segera diatasi karena akan menyebabkan kesalahankesalahan lain dalam belajar matematika. Hal ini didukung oleh pernyataan Radatz dalam Sarwadi & Shahrill (2014) bahwa miskonsepsi dapat menyebabkan kesalahan-kesalahan sistemik yang dilakukan oleh siswa. Berdasakan teori kesalahan yang dikemukanan oleh Subanji (2015: 86106), kesalahan-kesalahan siswa tersebut dapat berupa pseudo konstruksi, lubang konstruksi, mis-analogical konstruksi, dan mis-logical konstruksi. Penelitian ini mengungkapkan peran contoh analogi dalam mengatasi mis-
konsepsi siswa sekolah dasar (SD). Contoh analogi digunakan dalam penelitian ini karena didukung dengan banyaknya penelitian-penilitian yang telah mengkaji pentingnya contoh dalam pembelajaran matematika. Contoh-contoh tersebut digunakan untuk memverifikasi pernyataan, untuk menggambarkan algoritma dan prosedur, memberikan kasus-kasus tertentu yang sesuai dengan batasan definisi (Rissland dalam Zazkis dan Chernoff, 2008), membentuk dan menyangkal generalisasi (Zazkis, Liljedah, Chernoff, 2007), dan memperjelas suatu definisi (Zazkis, Leikin, 2008). Amir-movidi, Amiripur, dan Bizan-Jadah (2012) menyatakan bahwa salah satu strategi yang dapat digunakan memfasilitasi siswa untuk membangun pemahaman konseptualnya yaitu penggunaan analogi. Penggunaan analogi ini digunakan untuk mengembangkan penalaran analogi siswa. Richland, et al (2004) dan Loc & Uye (2014) menyatakan bahwa penalaran analogi memiliki peran penting dan meru-
156
Hidayanto, Pemberian Contoh Analogi, 157
pakan strategi yang efektif dalam pembelajaran matematika. Dalam penelitian ini, contoh analogi didasarkan pada kemampuan penalaran analogi siswa. Selanjutnya, Amir-movidi, et al (2012) menyimpulkan bahwa kemampuan penalaran analogi membantu siswa dalam mengaitkan pengetahuan matematika baru ke dalam pengalaman yang telah ada. Poin penting dalam penalaran analogi, yaitu: 1. Berupaya untuk menemukan kasus yang mirip namun berbeda dengan masalah awal; 2. Jawaban atau gagasan masalah analogi tersebut mengarah pada jawaban yang mirip dengan masalah asal; 3. Menghasilkan hubungan antara kasus yang trivial maupun tidak dalam contoh analogi; 4. Memisahkan analogi yang dihasilkan dari langkah penyelesaian masalah yang lain, seperti menghasilkan kasus ekstrem, memecah solusi ke dalam beberapa bagian yang terpisah, dan analisis masalah dalam pernyataan prinsip teoritis. Contoh Analogi menggunakan gagasan Watson dan Mason (2005) dalam Zazkis dan Chernoff (2007) yaitu konsep ruang contoh. Menurut Watson dan Mason, ruang contoh adalah kumpulan contoh yang memenuhi fungsi tertentu. Ruang contoh dipengaruhi oleh pengalaman individu dan memori serta prasyarat tertentu dari tugas yang diberikan. Ruang contoh dibedakan menjadi tiga, yaitu: 1. ruang contoh personal, yaitu contoh yang dikembangkan melalui tugas, isyarat, dan lingkungan melalui pengalaman terbaru siswa; 2. ruang contoh personal potensial, yaitu contoh yang terdiri atas pengalaman masa lalu seseorang dan tidak terstruktur, sehingga tidak mudah untuk menjangkaunya;
3. ruang contoh konvensional, yaitu contoh yang telah dikemukakan matematikawan dan yang tersaji dalam buku teks dan dapat ditularkan langsung kepada siswa oleh guru. Keempat gagasan ruang contoh tersebut digunakan sebagai landasan peneliti untuk memberikan contoh analogi. Selain itu, pemberian contoh harus berhati-hati. Hal ini sesuai dengan saran Amir Movidi, et al (2012) untuk memilih contoh analogi dengan tepat karena memungkinkan siswa bernalar dengan tidak tepat dan menyebabkan miskonsepsi. METODOLOGI Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, karena data utamanya adalah berupa kata-kata dan hasil pekerjaan siswa dalam menyelesaikan soal. Jenis penelitian ini adalah studi kasus karena peneliti memilih subjek tertentu dengan teknik purposive sampling yaitu memilih siswa yang mengalami kesalahan akibat dari miskonsepsi dalam menyelesaikan soal yang diberikan dan mampu mengomunikasikan idenya dengan baik. Subjek yang dipilih adalah dua siswa SD, yaitu Alfa dan Beta (bukan nama sebenarnya). Alfa merupakan siswa kelas 3 SD dengan kemampuan sedang dan memiliki motivasi matematika yang rendah. Beta adalah siswi kelas 5 SD dengan kemampuan sedang dan memiliki motivasi tinggi terhadap matematika. Prosedur pengambilan datanya diawali dengan pemberian masalah kepada siswa. Subjek 1 (Alfa) diberi diberikan masalah penjumlahan dan subjek 2 (Beta) diberi masalah terkait dengan materi “waktu”. Selanjutnya, siswa yang mengalami kesalahan karena miskonsepsi diwawancarai untuk mengetahui letak kesalahannya. Setelah mengetahui letak kesala-
158, J-TEQIP, Tahun VI, Nomor 2, November 2015
hannya, siswa dberikan contoh analogi yang serupa dengan contoh asal dengan penyelesaian yang lebih mudah. Contoh analogi yang diberikan mengarahkan siswa untuk mengonstruk penyelesaian masalah asal. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dan pembahasan ini menyajikan diskripsi terjadinya kesalahan yang diakibatkan oleh adanya miskonsepsi siswa serta upaya pemberian contoh analogi dalam mengatasi masalah siswa tersebut. Hasil penelitian disajikan berdasarkan karakteristik masing-masing subjek, karena itu dibentuk dalam dua kasus. Kedua kasus ini tidak bisa digeneralisasi, namun dapat menjadi inspirasi bagaimana mengatasi miskonsepsi siswa dalam belajar matematika melalui pemberian contoh analogi.
Kasus 1: Kasus pada Alfa, yaitu Operasi Penjumlahan dan Pengurangan Bilangan Ratusan Kasus pada Alfa terjadi ketika Ia menyelesaikan masalah operasi bilangan ratusan. Alfa diberikan masalah 123 + ........... = 435 yaitu Alfa diminta menentukan bilangan yang tepat untuk mengisi titik-titik tersebut sehingga pernyataan menjadi benar. Alfa menuliskan jawaban: 123 + 558 = 432 Berikut transkrip wawancara penelusuran peneliti: ...... P: Gimana dengan jawabanmu ini? Bagaimana kamu mendapatkan jawaban seperti ini? A: ini....Pak, 123 + 432 trus hasilnya jadi 558, begitu ........... P: menurutmu jawabanmu ini benar?
A: hmm............... gak tau, benar kayaknya ............ Berdasakan ulasan transkrip di atas, siswa mengalami kesalahan dalam berpikirnya. Kesalahan siswa terjadi karena adanya miskonsepsi dalam menyelesaikan soal. Siswa menganggap bahwa untuk mengisi titik-titik tersebut dengan menjumlahkan 123 dengan 432 sehingga menghasilkan jawaban salah. Berikut ini transkrip wawancara peneliti ketika memberikan contoh analogi untuk memperbaiki miskonsepsi tersebut: ...... P: sekarang, kalo misalkan 2 + ........... = 5, bilangan yang tepat untuk mengisi titik-titik adalah ...... A: 7.... eh ...... 3, Pak P: 7 atau 3? A: 3, Pak, iya, 3.... P: kok bisa gitu? P: iya, karena 2 + 3 = 5 ...... Transkrip wawancara di atas merupakan bentuk pemberian contoh analogi oleh peneliti. Peneliti memberikan contoh analogi yang melibatkan bilangan yang lebih sederhana agar siswa dapat menyelesaikan dengan mudah. Selanjutnya peneliti membangkitkan berpikir siswa untuk dapat menemukan langkah menentukan jawaban yang tepat. ...... P: Ok, jawabnnya tadi 3, ya, karena 2 + 3 = 5, terus, kira-kira, bagaimana kamu mendapatkan jawaban 3? A: hmmm....... gimana ya, Pak? (siswa berpikir) ........Oh aku tahu, ............ begini, Pak, 5 dikurangi 2, jadinya 3. P: apakah yakin begitu? A: iya, Pak. Benar, ketemu 3, dan ............ 2 ditambah 3 hasilnya 5
Hidayanto, Pemberian Contoh Analogi, 159
Melalui contoh analogi tersebut, siswa diberi kesempatan untuk mengonstruksi prosedur untuk menemukan jawaban yang tepat. Siswa mencoba memikirkan bagaimana mendapatkan jawaban yang tepat, dan akhirnya menemukan cara bahwa untuk menemukan jawabannya adalah dengan mengurangakan 5 dengan 2, sehingga ketemu 3. Selanjutnya peneliti memberikan kasus lain yang analogi dengan kasus sebelumnya, namun bilangannya lebih rumit. ......... P: kalo seandainya saya punya soal gini, gimana? 12 + ......... = 27 A: ini seperti tadi kan, Pak, kalo gitu berarti titik-titik itu isinya......... hmmm.......... 27 dikurangi 12 jadinya 15, P: apa kamu yakin? A: iya, Pak, karena 12 + 15 = 27 ......... Alfa telah mampu menggunakan prosedur yang Ia temukan dari contoh analogi sebelumnya. Selanjutnya, peneliti mengajak siswa untuk memastikan jawaban pada masalah asal, yaitu 123 + 558 = 432. ......... P: nah, sekarang, kalo kita kembali ke masalah untuk menentukan bilangan yang mengisi titik-titik dari soal 123 + ...... = 432, tadi caramu gimana? A: 123 + 432 = 558 P: kalo dibandingkan dengan caramu untuk menyelesaikan 2 + ......... = 5 tadi, berarti gimana? Caramu udah benar atau masih salah? A: hmm........... iya...ya.... berarti ini salah, tadi kan ditambah, harusnya dikurangi P: maksudnya gimana? A: ini lho, Pak. Yang ini 432 harusnya dikurangi 123, trus jadinya jawabannya
............ (siswa menghitung) ........... 432 – 123 = 321, begitu .......... P: gimana kamu yakin dengan jawaban 321? A: karena ini.....gini........ehm........... oh ya, karena 123 + 321 = 432 P: Ok, good ........... Pada transkrip tersebut tampak bahwa peneliti mengajak siswa untuk membandingkan langkah penyelesaian yang telah dilakukan dengan langkah penyelesaian yang baru saja ditemukan. Siswa telah mampu mentransformasikan langkah penyelesaian dari contoh analogi ke masalah awal sehingga menemukan jawaban yang tepat. Kasus 2: Kasus pada Beta, yaitu Operasi Penjumlahan dan Pengurangan pada Bilangan Jam Permasalahan yang dialami Beta adalah kesalahan dalam melakukan operasi penjumlahan dan pengurangan pada bilangan jam, yaitu basis 24 untuk bilangan jam sistem 24 jam. Masalah yang diberikan adalah sebagai berikut: “Ibu berangkat ke Bandara juanda dari Banyuwangi. Untuk mengejar jadwal penerbangan pagi, Ibu berangkat dari Banyuwangi pukul 21.15 WIB dan sampai Bandara Juanda pukul 04.45 WIB. berapa lama perjalanan Ibu dari Banyuwangi ke Bandara?” Beta menjawabnya dengan prosedur: 21.15 – 04.45 dan menghasilkan 16.30. berikut ini transkrip wawancaranya: ......... P: Bagaimana kamu mendapatkan jawaban ini? 16.30? B: Dengan mengurangi 21.15 dengan 04.45, Pak. Karena 21.15 lebih besar
160, J-TEQIP, Tahun VI, Nomor 2, November 2015
dari 04.45, jadi saya mengurangi 21.15 dengan 04.45, jadinya 16.30. A: apakah kamu yakin dengan jawabanmu? B: gak tau, Pak? Sepertinya begitu....... ............ Berdasarkan kutipan wawancara di atas, Beta sebenarnya telah bisa melakukan operasi pengurangan bilangan jam, namun masih salah dalam bernalar. Beta mengurangkan 21.15 dengan 04.45, sehingga mendapatkan jawaban 16.30. Beta mengabaikan kelogisan dari jawaban yang Ia temukan sehingga jawabannya salah. Selanjutnya, Peneliti memberikan contoh analogi untuk mengatasi masalah tersebut. ......... P: OK, sekarang misalkan, Beta berangkat ke sekolah pukul 06.00 dan sampai sekolah pukul 06.35, berapa lama perjalanan Beta ke Sekolah? B: 35 menit, Pak. P: giamana kamu bisa menjawab 35 menit? B: ya ini, Pak, kan berangkatnya jam 06.00, dan sampai sana jam 06.35, jadi 35 menit..... P: caranya gimana? B: ini, Pak. Kan sampainya jam 06.35 trus berangkatnya jam 06.00, jadinya lama perjalanannya 06.35 – 06.00, gitu, Pak. ......... Peneliti memberikan kasus yang serupa dengan kasus awal, namun diberikan dengan kasus yang lebih sederhana. Kemudian peneliti memberikan kasus lain yang lebih rumit. ......... P: sekarang, misalkan kamu dari malang mau ke Surabaya naik Bis, berangkat dari Malang jam 09.45 dan sampai Surabaya jam 12.10. Berapa lama perjalananmu?
B: hmm........... berarti itu, 12.10 dikurangi 09.45 jadinya ........... (Beta menghitung) ............ jadinya .....2. 25 P: itu berarti berapa lama? B: 2 jam 25 menit, pak. P: Ok ........... Contoh analogi yang kedua diberikan agar Beta lebih mantap dengan langkah yang Ia gunakan untuk menyelesaikan masalahnya. Kemudian, peneliti mencoba memancingnya untuk merumuskan metode untuk menyelesaikan masah yang berkenaan dengan bilangan jam. .......... P: dari dua contoh tadi, bagaimana untuk menentukan lamanya perjalanan? B: berarti itu, jam waktu sampai dikurangi dengan waktu berangkat, Pak P: OK. ......... Beta diberi kesempatan untuk menggeneralisasi metode yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah. Beta talah mencoba merumuskan dan kemudian Ia diajak untuk kembali menyelesaikan masalah awal. ........ P: Kalo kita kembali ke masalah awal tadi, menurutmu jawabannya salah atau benar? B: hmm.............. salah kayaknya P: kok bisa gitu? B: tadi aku ngitungnya, waktu berangkatnya trus dikurangi sampainya... P: harusnya gimana emang? B: kalo seperti yang tadi, harusnya waktu sampai dikurangi waktu berangkat. P: tadi kok bisa ngitung gitu kenapa? B: pokoknya, yang besar dikurangi yang kecil, Pak P: Oh, gitu, berarti ini gimana harusnya? B: berarti ini, harusnya jam 4.45 dikurangi 21.15, karena ini jam 4.45 subuh,
Hidayanto, Pemberian Contoh Analogi, 161
berarti saya jumlah 24 dulu biar mudah, jadinya, 28.45 dikurangi 21.15, hasilnya 7.30 P: Ok, berarti berapa lama perjalanannya? B: 7 jam 30 menit, Pak P: sekarang masuk akal nggak kalo lama perjalanannya 7 jam 30 menit? B: iya, Pak, karena berangkatnya jam 9 malam, trus sampainya jam 4 subuh, jadi kalo 7 jam itu masuk akal, Pak. ......... Berdasarkan transkrip wawancara di atas, bahwa Beta telah menemukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan soal yang diberikan. Beta memakai ide yang analog dengan contoh-contoh masalah sederhana yang telah diberikan sebelumnya. Pembahasan Kasus yang terjadi pada Alfa dan Beta menunjukkan adanya miskonsepsi pada keduanya. Miskonsepsi yang terjadi pada Alfa yaitu kesalahan dalam menentukan prosedur penyelesaian masalah yang diberikan. Kesalahan Alfa adalah langsung menjumlahkan bilangan yang ada, yaitu 123 + 432 = 558. Begitupun juga dengan Beta, kesalahan terjadi ketika Ia mengurangkan 21.15 – 04.45 = 16.30. Berdasarkan kajian Skemp (1976), kedua siswa hanya menggunakan pemahaman proseduralnya, tanpa menggunakan pemahaman relasionalnya. Pemahaman prosedural yang digunakan telah tepat, yaitu mereka mampu melakukan operasi hitung dengan benar, namun jawaban yang mereka temukan masih salah. Sehingga, kedua siswa tersebut mengalami kesalahan dalam menyelesaikan soal yang diberikan. Miskonsepsi yang terjadi pada kedua siswa tersebut mengakibatkan kesalahan dalam proses berpikir siswa. Siswa mengalami mis-logical thinking menurut teori kesalahan konstruksi oleh Subanji
(2015). Mis-logical terjadi karena subjek tidak menggunakan nalar dengan tepat sehingga menyebabkan jawabannya salah. Ketidaktepatan nalar ini yang menyebabkan miskonsepsi pada siswa dan berdampak pula pada kesalahan yang dilakukan oleh siswa subjek. Untuk mengatasi miskonsepsi tersebut, peneliti memberikan contoh analogi yang mengantarkan subjek menuju resolusi yang tepat. Karena bentuk bantuannya berbasis tugas, contoh diambil dari ruang contoh personal siswa menurut gagasan Watson & Mason, yaitu contoh yang didasarkan pada tugas yang sedang dialami oleh siswa. Pengambilan contoh ini dengan alasan agar subjek langsung dapat menganalogikan dengan kasus asal dan menuju pada resolusi yang tepat. Pemberian contoh analogi ini juga didasarkan pada pandangan konstruktivistik. Subanji (2013) menyatakan bahwa suatu konsep maupun prosedur tertentu diupayakan untuk dapat dikonstruksi sendiri oleh siswa. Guru memfasilitasinya sehingga siswa tersebut dapat menemukan solusi yang tepat, dalam hal ini, pemberian contoh analogi yang mengarah pada resulusi masalah asal. Contoh analogi yang diberikan berupa contoh yang sekiranya dapat diselesaikan siswa dengan mudah. Pemberian contoh analogi ini membangun berpikir siswa untuk mengkonstruksi ide yang mengarah pada resolusi yang tepat. Pemberian contoh analogi ini juga memperhatikan saran dari Amir-Movidi, et al (2012), yaitu pemberian contoh perlu hati-hati agar tidak menyebabkan subjek mengalami miskonsepsi kembali. Awalnya, siswa diberikan contoh yang sederhana agar siswa langsung dapat menemukan ide solusi yang dapat ditransformasikan ke dalam masalah asal. Selanjutnya, subjek diberikan contoh analogi yang lebih rumit agar dapat menjangkau masalah asal. Setelah subjek mendapatkan ide penyelesaian masalah dengan
162, J-TEQIP, Tahun VI, Nomor 2, November 2015
tepat, peneliti mengajak subjek untuk memverifikasi ulang terhadap jawaban masalah asal dan mengajak untuk menemukan solusi dengan tepat melalui ide yang telah dikonstruknya dari pemberian contoh analogi yang diberikan. Pada akhirnya, siswa mampu menyelesaikan masalah dengan tepat. PENUTUP Miskonsepsi merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian serius oleh para pendidik. Miskonsepsi ini akan meyebabkan kesalahan yang berdampak sistemik bagi siswa. Pemberian contoh analogi meruapakan salah satu upaya untuk mengatasi miskonsepsi siswa. Pemberian contoh analogi yang lebih sederhana memberikan DAFTAR RUJUKAN Amir-Mofidi, Somayeh; Amiripour, Parvaneh; & Bijan-zadeh, Mohammad H. 2012. Instruction of mathematical concepts through analogical reasoning skills. Indian Journal of Science and Technology Vol. 5 No. 6 ISSN: 0974- 6846 Loc, Nguyen Phu & Uyen, Bui Phuong. 2014. Using Analogy in Teaching Mathematics: An Investigation of Mathematics Education Students in School of Education - Can Tho University. International Journal of Education and Research Vol. 2 No. 7 Richland, Lindsey E., Holyoak, Keith J., and Stigler, James W. 2004. Analogy Use in Eighth-Grade Mathematics Classrooms. Cognition and Instruction, 22(1), 37–60 Sarwadi, Roselizawati & Shahrill, Masitah. 2014. Understanding Students' Mathematical Errors and Misconceptions: The Case of Year 11 Repeating Students. Mathematics Education Trends and Research 2014 (2014) 1-10
kesempatan kepada siswa untuk dapat mengkonstruksi ide sehingga menuju pada solusi tepat terhadap masalah asal yang perlu diselesaikan oleh siswa. Kedua kasus yang terjadi pada Alfa dan Beta merupakan contoh bentuk kasus siswa yang mengalami miskonsepsi dan peneliti berupaya mengatasinya melalui pemberian contoh analogi. Selanjutnya, peneliti menyarankan bahwa seorang pendidik harus berhati-hati dalam memberikan contoh analogi agar tidak menyebabkan siswa mengalami miskonsepsi yang lebih parah. Selanjutnya, komunikasi yang baik dengan siswa perlu dibangun oleh pendidik sebagai fasilitator dalam pembelajaran matematika agar mampu mengatasi miskonsepsi yang terjadi pada siswa.
Skemp, Richard R. 1976. Relational Understanding and Instrumental Understanding. Mathematics Teaching, 77, 20–26. Subanji. 2013. Pembelajaran Matematika Kreatif dan Inovatif. Malang: UM Press. Subanji. 2015. Teori Kesalahan Konstruksi Konsep dan Pemecahan Masalah Matematika. Malang: UM Press. Zazkis, Rina & Chernoff, Egan J.. 2008. What makes a counterexample exemplary?. Educ Stud Math 68:195–208 DOI 10.1007/s10649007-9110-4 Zazkis, Rina & Leikin, Roza. 2008. Exemplifying definitions: a case of a square. Educ Stud Math 69:131– 148 DOI 10.1007/s10649-0089131-7 Zazkis, Rina; Liljedahl, Peter; & Chernoff, Egan J. 2008. The role of examples in forming and refuting generalizations. ZDM Mathematics Education DOI 10.1007/s11858-0070065-9