Evidence Based Case Report
Pemberian Albumin atau Koloid Sintetis pada Paracentesis Volume Besar
disusun oleh: dr. R. Fidiaji Hiltono S Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis I Tahap II Ilmu Penyakit Dalam
DIVISI HEPATOLOGI Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokte ran Universitas Indonesia
I.
Pendahuluan
Ascites merupakan komplikasi sirosis y ang paling umum, sekitar 60% pasien dengan sirosis terkompensasi akan memiliki ascites dalam waktu 10 tahun perjalanan penyakit. Ascites juga dapat disebabkan oleh keganasan, gagal jantung, infeksi tuberculosis, penyakit pancreas atau berbagai kondisi lainnya. Perkembangan ascites berkaitan erat dengan prognosis buruk dan penurunan kualitas hidup pada pasien sirosis. Angka mortalitas diperkirakan 40% pada tahun pertama dan 50% pada tahun kedua. (1)
Ketika paracentesis dilakukan tanpa pemberian plasma ekspander, resiko tejadi gangguan sirkulasi yang ditandai dengan peningkatan aktivitas sy stem renin angiotesion aldosteron, dan terkait pula dengan gangguan fungsi ginjal. Pemberian albumin direkomendasikan untuk pencegahan terjadinya gangguan sirkulasi tersebut, namun terapi albumin memerlukan biaya yang tinggi sehingga seringkali tidak terjangkau. Penggunaan plasma eksp ander sintetik setelah paracentesis merupakan hal yang masih diperdebatkan.
Laporan kasus ini mencoba membahas mengetahui pemilihan serta penggunaan plasma ekspander sintetik sebagai pengganti albumin sebagai tindakan pencegahan pada paracentesis volume besar. Semoga dengan adanya pembahasan ini memberikan pemahaman mengenai penggunaan dan pemilihan plasma eksp ander sintetik untuk paracentesis.
II.
Ilustrasi Kasus
Laki-laki 60 tahun dengan keluhan perut yang semakin membesar sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluhkan perut terasa penuh, cepat kenyang, dan nafsu makan menurun, disertai rasa mual dan kedua kaki membengkak. Pasien juga merasa semakin sulit bernapas terutama bila berbaring, namun tidak saat beraktivitas. Pasien berobat ke dokter dan diberikan furosemid 40 mg, 2 kali sehari, namun keluhan tidak berkurang. Pasien tidak memiliki riwayat muntah darah, buang air besar hitam, menyangkal adanya riwayat hepatitis, TB paru, penyakit jantung ataupun ginjal. Pasien memiliki riwayat penggunaan obat intravena dan konsumsi alkohol saat muda, tidak memiliki riwayat promiskuitas, tranfusi darah maupun tato. Pemeriksaan fisik saat masuk memperlihatkan tanda vital dalam batas normal, tekanan darah 130/90 mmH g, denyut nadi 96 x per menit, laju napas 18 x per menit, suhu afebris. Pemeriksaan fisik lainnya menunjukkan konjungtiva tidak pucat dan sclera tidak ikterik. Tekanan vena jugular 5-2 cmH20, tidak didapatkan ronki maupun wheezing pada kedua lapang paru, bunyi jantung 1 dan 2 dalam batas normal, tidak didapatkan murmur maupun gallop. Abdomen tampak buncit, tegang, dengan lingkat perut 114 cm, hepar dan lien sulit dinilai, tidak didapatkan nyeri tekan. Pada ekstremitas didapatkan edema. Stigmata sirosis yang ditemukan hanya palmar eritema, tidak ditemukan ginekomastia, sp ider nevi, maunpun caput medusa. Pemeriksaan laboratorium awal menunjukkan adanya anemia (Hb 6.8 g/dL, hematokrit 20.9, leukosit 6690, dan trombosit 194.000), kadar transaminase SGOT 37, SGPT 46, rasio albumin-globulin terbalik (albumin 1.5, globulin 3.62). Bilirubin Total 0.55, bilirubin direk 0.27, bilirubin indirek 0.28, hiponatremia (Na 126, K 377, Cl 102), gangguan koagulasi; prothrombin time 1.4 x kontrol (16.6/11.7), activated partial prothrombin time 0.98 x kontrol, gangguan ginjal (ureum 107.3 dan kreatinin 2.8). Pemeriksaan serologis memperlihatkan positif untuk hepatitis C (HbsAg negatif, anti HCV positif) Pemeriksaan ultrasonografi hepatologi menunjukkan adanya ascites masif, sirosis hepatis, splenomegali dengan hipertensi portal, dan kolesistitis kronik. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, ditegakkan masalah yaitu ascites masif pada sirosis hepatis child C ec hepatitis C, gangguan ginjal akut, dyspepsia, anemia mikrositik hipokrom, hiponatremia dilutional dan hipertensi terkontrol.
Terapi pada pasien ini meliputi diet restriksi garam 2 g/hari, dengan target keseimbangan cairan negatif 500 hingga 1000 cc per hari dengan pemberian diuretik furosemid iv 40 mg/ hari dan sp ironolakton 100 mg/hari. Prop anolol tab 10 mg, 3 x sehari. Omeprazol iv 40 mg, 2 x sehari. Inpepsa 15 cc, 3 x sehari. Vitamin K iv, 3 x 1 amp. Ciprofloxacin tab 200 mg, 2 x sehari. Amlodipin 10 mg/ hari. Albumin intravena diberikan hingga kadar albumin serum 2.48 g/dL. Paracentesis p ertama dilakukan pada pasien ini dan dikeluarkan cairan sebanyak 5500 ml dengan pemberian Haemaccel 500 ml sebagai plasma ekspander. Pada follow up lanjutan pasien, tidak didapatkan tanda tanda gangguan sirkulasi (hipotensi, peningkatan kreatinin, hiponatremia), namun kadar ascites p asien kembali perburukan hingga dilakukan paracentesis kedua sebanyak 5000 ml, dengan pemberian Haemaccel 500 ml, dan tidak didapatkan tanda tanda gangguan sirkulasi, namun nilai kreatinin tidak menunjukkan perbaikan.
III.
Masalah Klinis
Paracentesis merupakan komponen penting dalam dalam tatalaksana ascites masif. Namun paracentesis volume besar beresiko tinggi terjadinya gangguan sirkulasi. Pemberian albumin direkomendasikan untuk pencegahan terjadinya gangguan sirkulasi tersebut, namun terapi albumin memerlukan biaya yang tinggi sehingga seringkali tidak terjangkau. Pemberian koloid sebagai pengganti albumin dapat dijadikan alternatif, namun pemilihan koloid yang tepat memerlukan penelusuran.
IV.
Metode Penelusuran
Prosedur pencarian literatur untuk menjawab masalah klinis tersebut adalah dengan melakukan penelusuran kepustakaan secara online dengan menggunakan instrumen mesin pencari Endnote online search dalam kepustakaan Pubmed. Kata kunci yang dipergunakan adalah “ascites” AND "paracentesis" AND “large” AND "colloid" AND ascites. Dengan metode tersebut pada awalnya didapati 80 artikel yang memenuhi 4ystem4t pencarian tersebut. Penelusuran lebih lanjut dilakukan secara manual pada daftar pustaka yang relevan dan didapati sebanyak 6 artikel jurnal yang relevan.
V.
Hasil Penelusuran
Ascites Pasien sirosis dengan ascites memiliki resiko tinggi untuk berkembangnya komplikasi lainnya, seperti ascites refrakter, peritonitis bacterial sp ontan, hiponatremia, atau sindrom hepatorenal. Keberhasilan penatalaksanaan ascites dapat memperbaiki gejala dan prognosis. Ascites dapat dikategorikan menjadi 3 derajat dan setiap derajat memiliki penatalaksanaan yang berbeda. (Tabel 1) Pasien dengan ascites derajat 2 dapat diberikan tatalaksana sebagai pasien rawat jalan dan tidak membutuhkan perawatan rumah sakit, kecuali bila terdapat komplikasi sirosis lainnya. Penatalaksanaan bertujuan untuk mengurangi retensi natrium hingga mencapai keseimbagan negatif natrium, yang dapat dicapai dengan mengurangi asupan natrium dan meningkatkan sekresi natrium oleh ginjal dengan pemakaian diuretik.
Tabel 1. Penderajatan Ascites dan Tatalaksana. (1) Derajat Ascites 1 2 3
Definisi Ascites ringan hanya ditemukan melalui ultrasonografi Ascites derajat sedang, tampak distensi simetris pada abdomen Ascites berat dengan distensi abdomen berat
Tatalaksana Tanpa terapi Restriksi natrium dan penggunaan diuretik Paracentesis volume besar diikuti restriksi natrium dan penggunaan diuretik
Keseimbangan negatif natrium dengan megurangi konsumsi garam harian dapat dicapai pada 10-20% kasus sirosis dengan ascites, terutama pada episode pertama. Peningkatan restriksi konsumsi garan harian hingga 80-120 mmol natrium per hari direkomendasikan. Restriksi konsumsi garam harian yang lebih besar dari jumlah tersebut tidak direkomendasikan karena dapat membahayakan. Restriksi konsumsi garam harian merupakan kompenen penting dalam penatalaksanaan ascites, namun tidak didapatkan data yang mendukung restriksi garam sebagai tindakan pencegahan terjadinya ascites. (1) Retensi natrium pada pasien sirosis dengan ascites terjadi akibat peningkatan reabsorbsi natrium pada tubulus proksimal dan distal. Peningkatan reabsorp si natrium pada tubulus distal dipengaruhi oleh peningkatan kadar aldosteron, sementara proses peingkatan reabsorbsi pada tubulus distal belum diketahui. Antagonis aldosteron merupakan bekerja lebih efektif dibandingkan loop diuretic dalam tatalaksana ascites dan merupakan diuretik yang direkomendasikan. Rekomendasi European Association for the Study of the Liver (EASL) menyatakan bahwa pasien dengan ascites derajat 2 diberikan antagonis aldosteron
seperti spironolakton tunggal, dimulai dengan dosis 100mg/hari dan ditingkatkan secara berkala 100mg tiap 7 hari, hingga dosis maksimum 400 mg/hari bila target tidak tercapai. Ap abila pasien tidak meresp on pemberian antagonis aldosteron (penurunan berat badan kurang dari 2 kg/minggu) atau terjadi hiperkalemia, furosemid harus diberikan mulai dari 40 mg/hari dan ditingkatkan secara berkala 40 mg/hari hingga dosis maksimum 160 mg/hari.(1) Untuk ascites derajat 3, paracentesis volume besar (volume >5L) merupakan tatalaksana pilihan. Paracentesis volume besar dengan pemberian albumin intravena lebih efektif dan lebih aman daripada penggunaan diuretik, dalam hal frekuensi terjadinya hiponatremia, gangguan ginjal dan ensefalopati hepatik. Berkurangnya cairan ascites dalam jumlah besar berkaitan erat dengan gangguan sirkulasi akibat berkurangnya volume efektif arteri, yang dikenal dengan post-paracentesis circulatory dysfunction (PPCD). PPCD memiiki dampak yang sangat besar bagi pasien sirosis, meliputi re-akumulasi ascites dengan cepat, sindrom hepatorenal, hiponatremia delusional, dan peningkatan tekanan portal akibat efek vasokontriksi pada jaringan pembuluh vaskuler. (1) Pencegahan PPCD yang paling efektif adalah pemberian albumin intravena dengan perbandingan 8 g albumin tiap 1L cairan ascites.(1) Namun, pada negara-negara berkembang terapi menggunakan albumin memerlukan biaya yang sangat tinggi, sehingga pemberian koloid sebagai alternatif yang perlu dipertimbangkan.
Dampak Paracentesis Terhadap Hemodinamik Vasodilatasi pembuluh darah splanchnic berperan besar dalam terjadinya ascites. Vasodilatasi tersebut menyebabkan penurunan volume efektif intravaskular sehingga terjadi penurunan tekanan darah arteri yang menyebabkan peningkatan aktivitas hormone vasokonstriktor dan antinatriuresis, sehingga terjadi retensi air dan natrium. Kombinasi antara vasodilatasi splanchnic dan perubahan permeabilitas dan tekanan kapiler saluran cerna, menyebabkan akumulasi cairan ekstravaskular dalam rongga peritoneum. (2, 3) Semakin besar derajat ascites, maka semakin besar akumulasi cairan dalam rongga peritoneum sehingga terjadi peningkatan tekanan intraabdomen. Peningkatan tekanan intra abdomen ini menyebabkan penurunan tekanan perfusi dan gradient filtrasi pada ginjal, sehingga terjadi penurunan fungsi ginjal. Peningkatan tekanan intraabdomen juga menyebabkan penurunan jumlah aliran balik vena ke jantung sehingga menurunkan volume pengisian diastolik ventrikel kanan(4), menurunkan cardiac ouput, dan meningkatkan tekanan rata-rata arteri dan resistensi vascular sistemik.(5)
Paracentesis volume besar dapat menyebabkan gangguan sirkulasi yang dikenal dengan post-paracentesis
circulatory dysfunction (PPCD),
yaitu
kondisi sirkulasi
hiperdinamik yang berhubungan dengan peningkatan aktivitas system renin-angiotensinaldosteron. Kondisi dapat muncul hingga hari ke 6 setelah paracentesis.(6) PPCD didefinisikan sebagai peningkatan aktivitas renin dalam plasma lebih dari 50% nilai awal hingga > 4 ng/mL/jam pada hari ke 6 paska paracentesis.(7)
Gambar 1. Patofisiologi Ascites (2, 3)
Alternatif Pengganti Albumin untuk Paracentesis Volume Besar Paracentesis diperlukan dalam penatalaksanaan ascites besar, pemberian albumin diperlukan untuk mencegah gangguan sirkulasi akibat paracentesis, namun pemberian albumin memerlukan biaya yang tinggi, sehingga diperlukan alternatif pengganti albumin. Koloid sintesis merupakan alternatif yang menjanjikan, pilihan koloid yang dapat diberikan meliputi manitol, poligelline, starch, atau dextran. (Tabel 2) Efektifitas koloid sebagai p engganti abumin dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti berat molekul, masa paruh, jumlah yang diberikan, serta jumlah cairan ascites yang dikeluarkan. Dextran 70 merupakan polisakarida dengan berat molekul antara 15.000 hingga 160.000 dalton dengan masa paruh waktu antara 23 hingga 25.5 jam.(8) Polygeline (Haemaccel) merupakan polymer urea dan polipeptida yang berasal dari gelatin sapi, dengan
berat molekul 35000 dalton, dengan masa paruh 5 jam.(9)
Hydroxyethil starch (HES)
memiliki berat molekul 200.000 dalton dengan masa paruh 24 jam.(10) M anitol merupakan senyawa heksanol dengan masa paruh 6 jam.(11) Berbagai macam koloid di atas memiliki masa paruh yang jauh lebih pendek dibandingkan albumin, yaitu 21 hari. Sebagaimana dijelaskan dalam pathogenesis PPCD dan ascites, upaya mempertahankan tekanan arteri efektif merupakan komponen yang penting dalam penatalaksaan. M asa paruh koloid yang lebih pendek dibandingkan albumin menyebabkan efektifitas dalam mempertahankan tekanan arteri efektif menjadi berkurang, dan memicu aktivasi sistem RAAS. Pemberian koloid dapat mencegah terjadinya gangguan hemodinamik akut pada masa-masa awal paska paracentesis volume besar, namun tidak memberikan proteksi jangka panjang seperti albumin. (7-9, 11)
Tabel 2. Perbandingan Koloid (7-11) Peneliti T erg et al
Je nis Koloid Dextran 70
Metode
Hasil
Pemberian dextran pada 12 jam pasca
100 ml dexran 70 tiap
paracentesis vs pemberian dextran
1000 ml ascites
bersamaan saat paracentesis Moreau et al
Polygelline
100 ml Albumin 20% vs 500 ml
Albumin lebih efektif
3.5%
polygelline 3.5%
dibandingkan poligelline
Zhao et al
Manitol
100 ml Albumin 20% vs 250 ml manitol
Manitol memiliki
25%
efektivitas sama dengan albumin
Altman et al
Hydroxyethil
100 ml Albumin 20% vs 500 ml HES
HES memiiki
starch (HES)
6.5%
efektivitas yang sama dengan albumin
Gines et al
Dextran 70
Albumin vs Polygelline vs Dextran 70
Albumin lebih efektif
Polygelline
tiap 8g/L cairan
dibandingkan dextran 70 dan polygelline
Jumlah cairan yang dikeluarkan saat paracentesis memiliki pengaruh besar terhadap kejadian PPCD. Berdasarkan rekomendasi EASL, pemberian polygelline atau dextran 70 memiliki efektivitas yang sama dengan albumin untuk mencegah PPCD pada paracentesis dengan jumlah cairan yang dikeluarkan < 5L, sedangkan albumin lebih direkomendasikan pada paracentesi >5 L.
VI.
Kesimpulan
Paracentesis dengan volume lebih dari 5 L beresiko tinggi terhadap terjadinya gangguan sirkulasi pasca paracentesis (PPCD). Pemberian albumin sebagai tindakan pencegahan terhadap PPCD pada paracentesis dengan volume >5 L tidak dapat digantikan dengan plasma eksp ander sintetik. Untuk paracentesis dengan volume < 5 L, resiko gangguan sirkulasi lebih kecil dan beberapa penelitian menunjukkan bahwa plasma ekspander sintetik memiliki efektivitas yang sama dengan albumin. Namun, albumin memiliki kelebihan yang tidak dapat ditandingi oleh plasma ekspander sintetik, yaitu lamanya masa paruh albumin, sehingga albumin mampu memberikan efek protektif jangka panjang yang lebih baik.
Daftar Pustaka 1.
EASL clinical practice guidelines on the management of ascites, spontaneous bacterial peritonitis, and hepatorenal syndrome in cirrhosis. Journal of hepatology. 2010;53(3):397417. Epub 2010/07/17.
2.
Gines P, Cardenas A, Arroyo V, Rodes J. Management of cirrhosis and ascites. The New England journal of medicine. 2004;350(16):1646-54. Epub 2004/04/16.
3.
Kashani A, Landaverde C, Medici V, Rossa ro L. Fluid retention in cirrhosis: pathophysiology and management. QJM : monthly journal of the Association of Physicians. 2008;101(2):7185. Epub 2008/01/11.
4.
Umgelter A, Reindl W, Wagner KS, Franzen M, Stock K, Schmid RM, et al. Effects of plasma expansion with albumin and paracentesis on haemodynamics and kidney function in critically ill cirrhotic patients with tense ascites and hepatorenal syndrome: a prospective uncontrolled trial. Crit Care. 2008;12(1):R4. Epub 2008/01/17.
5.
Cabrera J, Falcon L, Gorriz E, Pardo MD, Granados R, Quinones A, et al. Abdominal decompression plays a major role in early postparacentesis haemodynamic changes in cirrhotic patients with tense ascites. Gut. 2001;48(3):384-9. Epub 2001/02/15.
6.
Nasr G, Hassan A, Ahmed S, Serwah A. Predictors of large volume paracantesis induced circulatory dysfunction in patients with massive hepatic ascites. Journal of cardiovascular disease research. 2010;1(3):136-44. Epub 2010/12/29.
7.
Gines A, Fernandez-Esparrach G, Monescillo A, Vila C, Domenech E, Abecasis R, et al. Randomized trial comparing albumin, dextran 70, and polygeline in cirrhotic patients with ascites treated by paracentesis. Gastroenterology. 1996;111(4):1002-10. Epub 1996/10/01.
8.
Terg R, Berreta J, Abecasis R, Romero G, Boerr L. Dextra n administration avoids hemodynamic changes following paracentesis in cirrhotic patients. A safe and inexpensive option. Digestive diseases and sciences. 1992;37(1):79-83. Epub 1992/01/01.
9.
Morea u R, Valla DC, Durand-Zaleski I, Bronowicki JP, Durand F, Chaput JC, et al. Comparis on of outcome in patients with cirrhosis and ascites following treatment with albumin or a synthetic colloid: a randomised controlled pilot trail. Liver international : official journal of the International Association for the Study of the Liver. 2006;26(1):46-54. Epub 2006/01/20.
10.
Altman C, Bernard B, Roulot D, Vitte RL, Ink O. Ra ndomized comparative multicenter study of hydroxyethyl starch versus albumin as a plasma expander in cirrhotic patients with tense ascites treated with paracentesis. European journal of gastroenterology & hepatology. 1998;10(1):5-10. Epub 1998/03/26.
11.
Zhao J, Yuan C, Wang D, Li X. Mannitolum infusion on cirrhotic patients with tense ascites treated by paracentesis. Chinese medical journal. 2000;113(1):27-30. Epub 2002/01/05.